input
stringlengths 912
558k
| output
stringlengths 234
2.18k
|
---|---|
Peraturan Nomor IV.A.4
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR: KEP- 14 /PM/2002
TENTANG
PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA
BERBENTUK PERSEROAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
: bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan pemodal, fleksibilitas
dan efisiensi pengelolaan reksa dana guna lebih meningkatkan peran
reksa dana sebagai salah satu wahana investasi dipandang
perlu untuk mengubah Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-
20/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Kontrak
Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di
Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7/M Tahun 2000;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG
PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK
PERSEROAN.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, diatur
dalam Peraturan Nomor: IV.A.4 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
IV-1
Peraturan Nomor IV.A.4
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor:
Kep-20/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
:
:
Jakarta
Agustus 2002
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Herwidayatmo
NIP 060065750
IV-2
Peraturan Nomor IV.A.4
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 14/PM/2002
Tanggal : 14 Agustus 2002
PERATURAN NOMOR IV.A.4 : PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA
BERBENTUK PERSEROAN
Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan sekurang-kurangnya memuat hal-hal
sebagai berikut :
1. Nama dan alamat Manajer Investasi.
2. Komposisi investasi dalam pasar uang dan pasar modal.
3. Rencana diversifikasi Efek dalam obligasi dan saham.
4. Rencana diversifikasi investasi Efek berdasarkan jenis industri Emiten.
5. Kewajiban-kewajiban bagi Manajer Investasi.
6. Alokasi dan perincian biaya Manajer Investasi dengan Reksa Dana.
7. Ketentuan pembukuan dan laporan (termasuk perhitungan Nilai Aktiva Bersih).
8. Tata cara pemutusan dan perubahan kontrak.
9. Tata cara penjualan atau pembelian kembali (pelunasan) saham, bagi Reksa Dana terbuka.
10. Manajer Investasi wajib menjamin bahwa semua Efek, dana dan aktiva lain Reksa Dana
disimpan oleh Bank Kustodian.
11. Keadaan yang dapat menjadi dasar dilakukannya likuidasi bagi Reksa Dana.
12. Reksa Dana dilarang melakukan, antara lain :
a. pembelian Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya tidak
dapat diakses melalui media massa atau fasilitas internet yang tersedia;
b. pembelian Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya
dapat diakses melalui media massa atau fasilitas internet yang tersedia lebih dari 15%
(lima belas per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih;
c. pembelian Efek Bersifat Ekuitas yang diterbitkan oleh perusahaan yang telah mencatatkan
Efeknya pada Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima perseratus) dari modal disetor
perusahaan dimaksud;
d. pembelian Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan lebih dari 10% (sepuluh per
seratus) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat. Pembatasan ini termasuk
pemilikan surat berharga yang dikeluarkan oleh bank-bank tetapi tidak termasuk Sertifikat
Bank Indonesia dan obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia;
e. penjualan saham Reksa Dana terbuka kepada setiap pemodal lebih dari 2% (dua per
seratus) dari modal yang dikeluarkan, kecuali bagi Manajer Investasi Reksa Dana
terbuka yang bersangkutan;
IV-3
Peraturan Nomor IV.A.4
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 14/PM/2002
Tanggal : 14 Agustus 2002
f. pembelian Efek Beragun Aset lebih dari 10% (sepuluh per seratus) dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana dengan ketentuan bahwa setiap jenis Efek Beragun Aset tidak lebih
dari 5% (lima per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana;
g. pembelian Efek yang tidak melalui Penawaran Umum dan atau tidak dicatatkan pada
Bursa Efek di Indonesia, kecuali Efek pasar uang, dan Obligasi yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia;
h. pembelian Efek yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi baik dengan Manajer Investasi
maupun pemegang Unit Penyertaan lebih dari 20% (dua puluh perseratus) dari Nilai
Aktiva Bersih, kecuali hubungan afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal pemerintah;
i. terlibat dalam kegiatan selain dari investasi, investasi kembali atau perdagangan Efek;
j. terlibat dalam penjualan Efek yang belum dimiliki (short sale );
k. terlibat dalam pembelian Efek secara margin;
l. melakukan emisi obligasi atau sekuritas kredit;
m. terlibat dalam berbagai bentuk pinjaman, kecuali pinjaman jangka pendek yang berkaitan
dengan penyelesaian transaksi dan pinjaman tersebut tidak lebih dari 10% (sepuluh per
seratus) dari nilai portofolio Reksa Dana pada saat pembelian;
n. pembelian Efek yang sedang ditawarkan dalam Penawaran Umum dimana Manajer
Investasi bertindak sebagai Penjamin Emisi dari Efek dimaksud;
o. terlibat dalam transaksi bersama atau kontrak bagi hasil dengan Manajer Investasi atau
Pihak Afiliasinya;
p. pembayaran dividen selain berasal dari laba;
q. pembelian Efek Beragun Aset dimana Manajer Investasinya sama dengan Manajer Investasi
Reksa Dana dan atau terafiliasi dengan Kreditur Awal Efek Beragun Aset tersebut; atau
r. pembelian Efek Beragun Aset yang tidak tercatat di Bursa Efek.
13. Larangan investasi dalam bidang-bidang tertentu.
14. Tanggung jawab Manajer Investasi atas segala kerugian yang timbul karena tindakannya.
15. Semua kontrak yang baru, diperpanjang maupun pengalihannya dari suatu Reksa Dana harus
merupakan hasil perundingan yang dibuat berdasarkan kepentingan objektif para Pihak yang
bersangkutan sebagaimana halnya apabila perundingan tersebut dibuat oleh Pihak-pihak
yang tidak mempunyai kepentingan terhadap Pihak lainnya.
IV-4
Peraturan Nomor IV.A.4
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 14/PM/2002
Tanggal : 14 Agustus 2002
16. Kontrak Pengelolaan Reksa Dana, Kontrak Penyimpanan Kekayaan, atau Kontrak penggunaan
jasa Akuntan hanya dapat dibuat, diperpanjang atau dialihkan berdasarkan persetujuan
sebagian besar direktur Reksa Dana.
17. Reksa Dana dilarang mengadakan kontrak untuk mengganti kerugian yang timbul bagi
Reksa Dana atau pemegang saham Reksa Dana sebagai akibat penyalahgunaan
kekuasaan, kelalaian atau kecerobohan yang dilakukan oleh Manajer Investasi.
18. Pemisahan harta Reksa Dana dan harta Manajer Investasi.
19. Hal yang memperbolehkan Reksa Dana melakukan penundaan pembelian kembali (pelunasan)
oleh pemodal.
20. Kewajiban menghitung Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana, apabila Manajer Investasi ditugaskan
untuk melakukan perhitungan Nilai Aktiva Bersih.
21. Dalam hal Reksa Dana dibubarkan, maka biaya Konsultan Hukum, Akuntan, dan beban lain
kepada Pihak ketiga menjadi tanggung jawab dan wajib dibayar Manajer Investasi kepada
Pihak-pihak yang bersangkutan.
22. Dengan berlakunya peraturan ini, maka Peraturan nomor IV.A.4 Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam Nomor Kep-20/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Kontrak
Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Ditetapkan di
pada tanggal
:
:
Jakarta
14 Agustus 2002
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Herwidayatmo
NIP 060065750
IV-5
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM </reg_type>
<reg_id> KEP-14/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN </reg_title>
<set_date> Agustus 2002 </set_date>
<effective_date> Agustus 2002 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-20/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996' </replaced_reg>
<related_reg> '46/PP/1995', '8/UU/1995', '45/PP/1995', '7/M|KEPPRES/2000' </related_reg>
|
Peraturan Nomor IX.I.6
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR: KEP- 45/PM/2004
TENTANG
DIREKSI DAN KOMISARIS EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
: bahwa dalam rangka meningkatkan penerapan prinsip-prinsip pengelolaan
perusahaan yang baik (good corporate governance) bagi Emiten dan Perusahaan
Publik terutama yang berkaitan dengan persyaratan dan pertanggungjawaban
anggota direksi dan komisaris, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua
Bapepam tentang Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan
di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan
di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3618);
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 530/KMK.01/2004 tentang Perubahan
Ketiga atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 446/KMK.01/1983 tentang
Penunjukan Pejabat Pengganti Dalam Lingkungan Departemen Keuangan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG
DIREKSI DAN KOMISARIS EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK.
IV-1
Peraturan Nomor IX.I.6
Pasal 1
Ketentuan mengenai Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik diatur dalam Peraturan Nomor
IX.I.6 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 29 November 2004
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Pgs Ketua,
DARMIN NASUTION
NIP. 130605098
IV-2
Peraturan Nomor IX.I.6
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-45/PM/2004
Tanggal : 29 November2004
PERATURAN NOMOR IX.I.6
: DIREKSI DAN KOMISARIS EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK
1. Calon anggota direksi dan komisaris wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. mempunyai akhlak dan moral yang baik;
b. mampu melaksanakan perbuatan hukum;
c. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau komisaris yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum
pengangkatan; dan
d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang keuangan dalam waktu 5 (lima)
tahun sebelum pengangkatan.
2.
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 1 peraturan ini wajib dipenuhi selama
masa jabatan anggota direksi dan komisaris.
3. Anggota direksi dan atau komisaris dilarang baik langsung maupun tidak langsung membuat
pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material
agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan Emiten atau Perusahaan Publik
yang terjadi pada saat pernyataan dibuat.
4. Anggota direksi dan atau komisaris bertanggungjawab secara sendiri-sendiri maupun tanggung
renteng atas kerugian pihak lain sebagai akibat pelanggaran terhadap ketentuan angka 3 peraturan
ini.
5. Anggota direksi dan atau komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara sendiri-sendiri
maupun tanggung renteng atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 peraturan ini,
apabila anggota direksi dan atau komisaris yang bersangkutan telah cukup berhati-hati dalam
menentukan bahwa pernyataan tersebut adalah benar dan tidak menyesatkan.
6. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam berwenang mengenakan
sanksi terhadap setiap pelanggaran keten tuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 29 November 2004
Pgs Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Darmin Nasution
NIP 130605098
IV-3
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM </reg_type>
<reg_id> KEP-45/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004 </reg_id>
<reg_title> DIREKSI DAN KOMISARIS EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title>
<set_date> 29 November 2004 </set_date>
<effective_date> 29 November 2004 </effective_date>
<related_reg> '45/PP/1995', '530/KMK.01/2004|KEP-MENKEU/2004', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '446/KMK.01/1983|KEP-MENKEU/1983', '8/UU/1995', '1/UU/1995' </related_reg>
|
Peraturan Nomor IX.C.2
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR KEP-51/PM/1996
TENTANG
PEDOMAN MENGENAI
BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DAN PROSPEKTUS RINGKAS
DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
: bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengubah Keputusan Ketua Bapepam
Nomor Kep-05/PM/1995 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus
dan Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum dengan menetapkan
Keputusan Ketua Bapepam yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG
PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DAN PROSPEKTUS
RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran
Umum diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran 1 Keputusan
ini.
Pasal 2
Ketentuan mengenai Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka
Penawaran Umum diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran 2
Keputusan ini.
IV-1
Peraturan Nomor IX.C.2
Pasal 3
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-05/PM/I995
tanggal 20 Maret 1995 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
:
:
Jakarta
17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-2
Peraturan Nomor IX.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-51/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
PERATURAN NOMOR IX.C.2: PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM
RANGKA PENAWARAN UMUM
Suatu Prospektus harus mencakup semua rincian dan fakta material mengenai Penawaran Umum
dari Emiten, yang dapat mempengaruhi keputusan pemodal, yang diketahui atau layak diketahui
oleh Emiten dan Penjamin Pelaksana Emisi Efek (jika ada). Prospektus harus dibuat sedemikian
rupa sehingga jelas dan komunikatif. Fakta-fakta dan pertimbangan-pertimbangan yang paling
penting harus dibuat ringkasannya dan diungkapkan pada bagian awal Prospektus.
Urutan
penyampaian fakta pada Prospektus ditentukan oleh relevansi fakta tersebut terhadap masalah
tertentu, bukan urutan sebagaimana dinyatakan pada peraturan ini.
Emiten harus berhati-hati apabila menggunakan foto, diagram, atau tabel pada Prospektus, karena
bahan-bahan tersebut dapat memberikan kesan yang menyesatkan kepada masyarakat. Emiten
juga harus menjaga agar penyampaian informasi penting tidak dikaburkan dengan informasi yang
kurang penting yang mengakibatkan infonnasi penting tersebut terlepas dari perhatian pembaca.
Sebagian informasi yang dicantumkan dalam peraturan ini mungkin kurang relevan dengan keadaan
Emiten tertentu. Emiten dapat melakukan penyesuaian atas pengungkapan fakta material tidak
terbatas hanya pada fakta material yang telah diatur dalam ketentuan ini. Pengungkapan atas
fakta material tersebut harus dilakukan secara jelas dengan penekanan yang sesuai dengan bidang
usaha atau sektor industrinya, sehingga Prospektus tidak menyesatkan. Emiten, Penjamin Pelaksana
Emisi, dan Lembaga serta Profesi Penunjang Pasar Modal bertanggung jawab untuk menentukan
dan mengungkapkan fakta tersebut secara jelas dan mudah dibaca. Prospektus tersebut antara
lain memuat informasi sebagai berikut :
1.
Informasi yang harus disajikan (diungkapkan) pada bagian luar kulit muka Prospektus:
a. tanggal efektif;
b. masa penawaran;
c. tanggal penjatahan;
d. tanggal pengembalian uang pemesanan;
e. tanggal penyerahan surat Efek;
f. tanggal pencatatan apabila dicatatkan di Bursa Efek;
g. nama lengkap, alamat, logo (jika ada), nomor telepon/teleks/faksimili dan kotak pos (tidak
saja kantor pusat tetapi juga pabrik serta kantor perwakilan), kegiatan usaha utama
dari Emiten;
h. nama Bursa Efek (jika ada) di mana Efek tersebut akan dicatatkan;
i. jenis dari penawaran, termasuk uraian mengenai sifat, jumlah dan uraian singkat tentang
Efek yang ditawarkan serta nilai nominal dan harga;
j. nama lengkap dari Penjamin Pelaksana Emisi Efek dan Penjamin Emisi Efek (jika ada);
k. tempat dan tanggal penerbitan Prospektus;
IV-3
Peraturan Nomor IX.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-51/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
l. pemyataan berikut dalam huruf cetak besar yang langsung dapat menarik perhatian
pembaca :
"BAPEPAM TIDAK MEMBERIKAN PERNYATAAN MENYETUJUI ATAU TIDAK MENYETUJUI
EFEK INI. TIDAK JUGA MENYATAKAN KEBENARAN ATAU KECUKUPAN ISI
PROSPEKTUS INI. SETIAP PERNYATAAN YANG BERTENTANGAN DENGAN HAL-HAL
TERSEBUT ADALAH PERBUATAN MELANGGAR HUKUM";
m. pernyataan bahwa Emiten dan Penjamin Pelaksana Emisi Efek (jika ada) bertanggung
jawab sepenuhnya atas kebenaran semua informasi dan kejujuran pendapat yang
diungkapkan dalam Prospektus sebagai berikut :
EMITEN DAN PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK (jika ada) BERTANGGUNG JAWAB
SEPENUHNYA ATAS KEBENARAN SEMUA INFORMASI
ATAU
FAKTA MATERIAL
SERTA KEJUJURAN PENDAPAT YANG TERCANTUM DALAM PROSPEKTUS INI; dan
n. pernyataan singkat, dalam huruf cetak besar yang langsung dapat menarik perhatian
pembaca, mengenai faktor risiko kemungkinan tidak likuidnya Efek yang ditawarkan.
2. Selain persyaratan yang disebut di atas, dalam hal Penawaran Efek yang bersifat utang,
keterangan berikut juga harus disajikan sesuai relevansinya :
a. tanggal jatuh tempo;
b. suku bunga;
c. tanggal pembayaran bunga;
d. pelaksanaan untuk pembayaran kembali lebih dini, hak konversi, waran;
e. nama lengkap Wali Amanat;
f. nama lengkap Penanggung (jika ada); dan
g. hasil peringkat Efek dari Perusahaan Pemeringkat Efek.
3.
Informasi yang harus diungkapkan pada bagian dalam kulit muka Prospektus sekurang-
kurangnya memuat :
a. jika direncanakan untuk menstabilisasikan harga Efek tertentu yang telah tercatat di
bursa untuk mempermudah pelaksanaan penjualan Efek dalam rangka Penawaran
Umum, harus diberikan pernyataan dalam huruf cetak besar yang langsung dapat
menarik perhatian pembaca yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut :
"DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN HARGA PASAR EFEK YANG SAMA, BAIK JENIS
MAUPUN KELASNYA, DENGAN YANG DITAWARKAN PADA PENAWARAN UMUM INI,
PENJAMIN EMISI DAPAT MELAKUKAN STABILISASI HARGA PADA TINGKAT HARGA
YANG LEBIH TINGGI DARI YANG MUNGKIN TERJADI DI BURSA EFEK SEKIRANYA
TIDAK DILAKUKAN STABILISASI HARGA. JIKA PENJAMIN EMISI MELAKUKAN
STABILISASI HARGA, MAKA BAIK STABILISASI HARGA MAUPUN PENAWARAN UMUM
TERSEBUT DAPAT DIHENTIKAN SEWAKTU-WAKTU".
IV-4
Peraturan Nomor IX.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-51/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
b. keterangan bahwa Pernyataan Pendaftaran telah diajukan kepada Bapepam dengan
menunjuk pada peraturan perundang-undangan Pasar Modal yang berlaku;
c. pernyataan bahwa semua Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal yang disebut
dalam Prospektus tersebut bertanggung jawab sepenuhnya atas data yang disajikan
sesuai dengan fungsi mereka, sesuai dengan peraturan yang berlaku di wilayah Negara
Republik Indonesia dan kode etik, norma serta standar profesi masing-masing;
d. pernyataan bahwa sehubungan dengan Penawaran Umum, setiap Pihak terafiliasi
dilarang memberikan keterangan atau pernyataan mengenai data yang tidak diungkapkan
dalam Prospektus tanpa persetujuan tertulis dari Emiten dan Penjamin Pelaksana Emisi
(jika ada); dan
e. apakah Bursa Efek telah memberikan persetujuan awal terhadap perjanjian pendahuluan
pencatatan Efek. Juga tindakan apa yang akan diambil jika bursa Efek tersebut menolak
permohonan pencatatan saham Emiten.
4. Daftar Isi
Uraian meliputi bab, sub bab, dan halaman.
5.
Informasi yang sekurang-kurangnya harus diungkapkan dalam Prospektus dan terbagi atas
bab-bab :
a. Penawaran Umum :
1) sehubungan dengan Penawaran Umum saham
Jumlah saham yang ditawarkan, nilai nominal, harga penawaran, dan Efek lain yang
menyertai saham ini (jika ada). Hak-hak pemegang saham berkenaan dengan dividen,
Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu untuk membeli tambahan saham baru yang
dikeluarkan, obligasi konversi dan penerbitan waran (jika ada) selanjutnya. Pernyataan
singkat dalam huruf cetak besar yang langsung dapat menarik perhatian pembaca
tentang faktor-faktor yang dapat
mengakibatkan perdagangan Efek yang ditawarkan
pada Penawaran Umum menjadi terbatas atau kurang likuid.
2) sehubungan dengan Penawaran Umum Efek yang bersifat utang :
a) jumlah nominal keseluruhan Efek;
b) jumlah lembar, penomoran, dan denominasi dari Efek yang akan ditawarkan
dalam rangka Penawaran Umum;
c) ikhtisar hak-hak pemegang Efek;
d) ikhtisar sifat Efek yang memberi kemungkinan untuk ditukarkan dengan jenis Efek
lain dari Emiten;
IV-5
Peraturan Nomor IX.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-51/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
e) ikhtisar sifat Efek yang memberi kemungkinan pembayaran lebih dini atas pilihan Emiten
atau pemegang Efek;
f) harga, suku bunga atau imbalan dengan cara lain yang ditetapkan untuk Efek. Jika suku
bunga mengambang, uraian lengkap tentang cara penentuan kurs mengambang;
g) tanggal atau tanggal-tanggal pembayaran utang pokok, dan jumlah utang pokok yang harus
dibayar pada tanggal-tanggal tersebut;
h) tanggal-tanggal pembayaran bunga atau imbalan dengan cara lainnya;
i) ikhtisar persyaratan mengenai dana pelunasan utang (jika ada);
j) mata uang yang menjadi denominasi utang dan mata uang lain yang menjadi alternatif (jika
ada);
k) rincian pokok-pokok perjanjian penanggungan utang serta nama dan alamat Penanggung
(jika ada);
l) nama, alamat perusahaan, dan uraian mengenai pihak yang bertindak sebagai Penanggung
(jika ada) dan Wali Amanat;
m) ikhtisar mengenai persyaratan pokok dalam perjanjian Perwaliamanatan, termasuk hal-hal
yang berhubungan dengan hak keutamaan (senioritas) dari utang secara relatif dibandingkan
dengan utang lainnya dari Emiten yang belum lunas dan tambahan utang yang dapat dibuat
oleh Emiten pada masa yang akan datang; dan
n) ikhtisar aktiva tertentu Emiten yang menjadi agunan atas utang yang timbul berkenaan dengan
Efek yang ditawarkan.
3) nama lengkap, alamat, logo (jika ada), nomor telepon/teleks/faksimili dan nomor kotak pos (tidak
saja kantor pusat tetapi juga pabrik serta kantor perwakilan), kegiatan usaha utama dari Emiten.
4) pernyataan ringkas dalam huruf cetak besar tentang faktor risiko utama yang mungkin mempunyai
dampak merugikan yang material atas kualitas Efek.
5) struktur Modal Saham pada waktu Prospektus diterbitkan meliputi Modal Dasar, Modal Ditempatkan
dan Disetor Penuh termasuk:
a) seluruh jumlah dan nilai saham yang akan ditawarkan kepada umum;
b) jumlah saham, nilai nominal per saham, dan jumlah nilai nominal;
c) keterangan tentang apakah saham yang diterbitkan dan ditawarkan kepada umum, merupakan
saham dalam simpanan (portepel) dan atau saham yang sudah disetor penuh (divestasi);
d) keterangan tentang jumlah dan persentase saham yang akan dicatatkan pada Bursa Efek,
jika ada (terbagi atas saham yang ditawarkan kepada masyarakat dan tambahan pencatatan
saham yang sudah disetor penuh); dan
e) keterangan tentang maksud Emiten atau pemegang saham yang ada untuk mengeluarkan
atau tidak mengeluarkan, atau mencatatkan atau tidak mencatatkan saham lain dan Efek
lain yang dapat dikonversikan menjadi saham dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah
tanggal efektif.
6) keterangan tentang rincian dari struktur Modal Saham sebelum dan sesudah Penawaran Umum
(dalam bentuk tabel). Tabel atau keterangan dimaksud harus mencakup :
a) Modal Dasar, Modal Ditempatkan dan Disetor Penuh (jumlah saham, nilai nominal, dan
jumlah nilai nominal);
IV-6
Peraturan Nomor IX.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-51/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
b) rincian kepemilikan saham oleh pemegang saham yang memiliki 5% (lima perseratus)
atau lebih, direktur, dan komisaris (jumlah saham, nilai nominal dan persentase);
c) saham dalam simpanan (portepel), yang mencakup jumlah saham dan nilai nominal; dan
d) proforma modal saham apabila Efek dikonversikan (jika ada).
b. penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum
Keterangan tentang tujuan Penawaran Umum dan penggunaan dana yang diperoleh dari
hasil Penawaran Umum setelah dikurangi dengan biaya-biaya dibuat secara rinci yang
mencakup antara lain :
1) rincian penggunaan dana sesuai dengan tujuan dari Penawaran Umum seperti
pengembangan sarana yang ada, diversifikasi, penambahan modal kerja dan sebagainya;
2) rincian untuk pembayaran utang, seluruhnya atau sebagian. Jika kreditur yang akan
dibayar adalah afiliasi dari Emiten, fakta tersebut dan sifat hubungannya dengan Emiten
harus diungkapkan; dan
3) rincian yang diperkirakan akan digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk
pembelian atau investasi dalam perusahaan lain (jika ada). Jika perusahaan dimaksud
adalah Pihak terafiliasi dengan Emiten, maka fakta tersebut dan sifat hubungannya dengan
Emiten harus diungkapkan;
c. Pernyataan Utang;
Keterangan yang harus diungkapkan dalam pemyataan ini meliputi :
1) pernyataan mengenai posisi seluruh kewajiban pada tanggal laporan keuangan terakhir
yang meliputi jumlah kewajiban jangka pendek dan jangka panjang;
2) penjelasan rincian masing-masing kewajiban sesuai dengan akun-akun kewajiban di
dalam neraca;
3) keterangan tentang komitmen dan kontinjensi yang ada pada tanggal laporan keuangan
terakhir; dan
4) pernyataan manajemen yang meliputi :
a) pernyataan bahwa seluruh kewajiban Perseroan per tanggal laporan keuangan terakhir
telah diungkapkan di dalam Prospektus;
b) pernyataan mengenai adanya kewajiban setelah tanggal neraca sampai dengan
tanggal laporan Akuntan dan kewajiban setelah tanggal laporan Akuntan sampai
dengan tanggal efektifnya Pemyataan Pendaftaran; dan
c) pernyataan kesanggupan manajemen untuk menyelesaikan seluruh kewajibannya.
d. Analisis dan Pembahasan oleh Manajemen
Emiten harus memberikan uraian singkat yang membahas dan menganalisis laporan keuangan
dan informasi atau fakta lain yang tercanturn dalam Prospektus, dengan tujuan untuk memberikan
penjelasan atas keadaan keuangan dan kegiatan usaha pada saat Prospektus diterbitkan dan
yang diharapkan pada masa yang akan datang. Sepanjang dipandang penting untuk
memperoleh pengertian tentang keadaan keuangan Emiten dan pengambilan keputusan
pemodal berkenaan dengan investasi pada Efek yang ditawarkan pada Penawaran Umum,
bahasan dan analisis dimaksud harus mencakup :
IV-7
Peraturan Nomor IX.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-51/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
1) bahasan mengenai kecenderungan yang diketahui, permintaan, ikatan-ikatan, kejadian-
kejadian atau ketidakpastian yang mungkin mengakibatkan terjadinya peningkatan
atau penurunan yang material terhadap likuiditas Emiten;
2) bahasan mengenai ikatan yang material untuk investasi barang modal dengan penjelasan
tentang tujuan dari ikatan tersebut, sumber dana yang diharapkan untuk memenuhi
ikatan-ikatan tersebut, mata uang yang menjadi denominasi, dan langkah-langkah
yang direncanakan Emiten untuk melindungi risiko dari posisi mata uang asing yang
terkait;
3) bahasan tentang seberapa jauh hasil usaha atau keadaan keuangan Emiten pada masa
yang akan datang menghadapi risiko fluktuasi kurs atau suku bunga. Dalam hal ini
harus diberikan keterangan tentang semua pinjaman dan ikatan tanpa proteksi yang
dinyatakan dalam mata uang asing, atau utang yang suku bunganya tidak ditentukan
terlebih dahulu;
4) bahasan dan analisis tentang inforrnasi keuangan yang telah dilaporkan yang
mengandung kejadian yang sifatnya luar biasa dan tidak akan berulang lagi dimasa
datang;
5) uraian tentang kejadian atau transaksi yang tidak normal dan jarang terjadi atau
perubahan penting dalam ekonomi yang dapat mempengaruhi jumlah pendapatan
yang dilaporkan dalain laporan keuangan yang telah diaudit Akuntan, sebagaimana
tercantum dalam Prospektus, dengan penekanan pada laporan keuangan terakhir.
Selain itu, uraian tentang komponen-komponen penting dari pendapatan atau beban
lainnya yang dianggap perlu oleh Emiten dalam rangka mengetahui hasil usaha
Emiten;
6) jika laporan keuangan dalam Prospektus mengungkapkan peningkatan yang material
dari penjualan atau pendapatan bersih, perlu adanya bahasan tentang sejauh mana
kenaikan tersebut dapat dikaitkan dengan kenaikan harga, volume atau jumlah barang
atau jasa yang dijual, atau adanya produk atau jasa baru;
7) bahasan tentang dampak perubahan harga terhadap penjualan dan pendapatan bersih
Emiten serta laba operasi Emiten selama 3 (tiga) tahun atau selama Emiten menjalankan
usahanya jika kurang dari 3 (tiga) tahun; dan
8) jika dikehendaki oleh Emiten, dapat diberikan bahasan tentang prospek. Jika prakiraan
dan atau proyeksi keuangan diungkapkan, hal tersebut harus dipersiapkan dengan
seksama serta obyektif dan berdasarkan asumsi yang layak. Penilaian atas penyusunan
laporan keuangan prospektif dan hal-hal yang mendasari asumsi harus diperiksa dan
dilaporkan oleh Akuntan yang mengaudit laporan keuangan Emiten. Namun demikian
Emiten bertanggung jawab secara langsung atas kelayakan prakiraan dan atau proyeksi
keuangan tersebut.
e. Risiko Usaha
Disusun berdasarkan bobot risiko yang dihadapi.
Keterangan tentang risiko yang disebabkan oleh antara lain :
1) persaingan;
2) pasokan bahan baku;
3) ketentuan negara lain atau peraturan intemasional; dan
IV-8
Peraturan Nomor IX.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-51/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
4) kebijaksanaan pemerintah.
f.
Kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan.
Informasi tentang semua fakta material yang terjadi setelah tanggal laporan Akuntan.
g. Keterangan tentang Emiten
1) Riwayat singkat perusahaan
a) keterangan tentang pendirian perusahaan, yaitu antara lain tanggal, pemegang
saham, nama lengkap dan kegiatan usahanya. Gambaran tersebut harus mencakup
riwayat singkat mengenai pendirian perusahaan, termasuk bentuk dan nama organisasi
dimaksud. Uraian mengenai sifat dan akibat dari kepailitan, peristiwa terjadinya
keadaan dibawah pengawasan Hakim Komisaris dalam kaitannya dengan proses
kepailitan atau penundaan pembayaran atau proses yang sejenis menyangkut
perusahaan. Uraian mengenai sifat dan akibat dari restrukturisasi penggabungan
(merger), atau konsolidasi dari Emiten atau perusahaan Afiliasinya yang penting.
Uraian tentang aktiva yang material yang dibeli diluar kegiatan usaha biasa, dan
setiap perubahan penting dalam cara menjalankan kegiatan usaha;
b) kronologis singkat dokumen hukum sehubungan dengan pendirian perusahaan dan
perubahan penting yang terjadi sesudahnya, termasuk akta pendirian, persetujuan
Menteri Kehakiman dan pendaftaran pada Pengadilan Negeri serta pengumuman
pada Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;
c) perubahan penting dalam kepemilikan saham setelah pendirian;
d) kejadian sehubungan dengan perkembangan kegiatan usaha dari perusahaan, seperti
penambahan sarana produksi yang penting atau penggunaan teknologi baru;
e) perjanjian penting menyangkut lisensi, pembeli utama, penunjukan agen atau distributor
tunggal produk penting, perjanjian teknis, dan sebagainya;
f) gambaran umum dari sarana dan prasarana yang kuasai Emiten seperti tanah, gedung
dan pabrik serta statusnya; dan
g) hubungan dengan perusahaan-perusahaan lain berdasarkan pemilikan, pemegang
saham yang sama atau faktor-faktor lain.
2) Pengurusan dan Pengawasan
a) nama-nama disertai foto masing-masing direktur dan komisaris;
b) uraian singkat dari setiap direktur dan komisaris termasuk :
(1) kewarganegaraan;
(2) umur;
(3) jabatan sekarang dan sebelumnya;
(4) pengalaman kerja serta usaha yang relevan; dan
(5) jika pendidikan diungkapkan, sekolah, bidang studi, dan tahun tamat belajar
harus dicantumkan.
IV-9
Peraturan Nomor IX.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-51/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
3) Sumber daya manusia
a) rincian pegawai menurut jabatan dan pendidikan (disajikan dalam tabel);
b) sarana pendidikan dan pelatihan (jika ada);
c) tenaga kerja asing (jika ada); dan
d) sarana kesejahteraan (jika ada), seperti :
(1) pengobatan;
(2) transportasi;
(3) perjanjian tenaga keda (SPSI, KKB);
(4) asuransi (Jamsostek);
(5) koperasi; dan
(6) dana pensiun.
h. Kegiatan dan Prospek Usaha dari Emiten
Uraian secara umum mengenai kegiatan usaha perusahaan, produk dan atau jasa utama
yang diberikan, dan kedudukannya dalam industri (jika tersedia sumber data yang layak
dipercaya), termasuk :
1) Produksi atau Operasi
a) keterangan tentang sumber dan tersedianya bahan baku untuk produksi serta tingkat
ketergantungan pada pemasok tertentu;
b) keterangan tentang proses produksi dan pengendalian mutu, termasuk uraian secara
umum mengenai status pengembangan produk dan jasa tertentu, serta apakah
perkembangan tersebut memerlukan investasi yang relatif berarti. Ketentuan ini
tidak dimaksudkan sebagai keharusan pengungkapan keterangan tentang perusahaan
yang tidak layak terbuka untuk umum, oleh karena dapat merugikan kedudukan
persaingan perusahaan;
c) kapasitas dan hasil produksi selama 5 (lima) tahun atau sejak perusahaan berdiri
jika kurang dari 5 (lima) tahun;
d) produk dan jasa utama perusahaan;
e) masa berlaku dari paten, merek, lisensi, franchise, dan konsesi utama serta pentingnya
hal tersebut bagi perusahaan;
f) besamya ketergantungan perusahaan terhadap satu atau sekelompok pelanggan;
g) sifat musiman, dari kegiatan usaha perusahaan (jika ada);
h) kegiatan usaha perusahaan sehubungan dengan modal kerja yang menimbulkan
risiko khusus seperti :
(1) memiliki persediaan dalam jumlah yang berarti;
(2) memberikan kemungkinan untuk pengembalian barang-barang dagangan; atau
(3) memberikan kelonggaran syarat pembayaran kepada pelanggan;
IV-10
Peraturan Nomor IX.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-51/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
i) uraian tentang pesanan yang sedang menumpuk, perkembangan dari pesanan-pesanan
tersebut dalam 3 (tiga) tahun terakhir dan kemungkinan penumpukan pesanan pada masa
yang akan datang;
j) ketergantungan pada kontrak-kontrak dengan pemerintah;
k) keadaan persaingan dalam industri termasuk kedudukan perusahaan dalam persaingan
tersebut (jika ada sumber data yang layak dipercaya);
l) informasi singkat tentang pengeluaran untuk riset dan pengembangan;
m) uraian tentang kegiatan pemasaran antara lain mencakup :
(1) daerah pemasaran produk;
(2) sistem penjualan dan distribusi; dan
(3) data tentang penjualan dari perusahaan dan anak perusahaan, dalam nilai rupiah
(dijelaskan kesesuaiannya dengan laporan keuangan) dan dalam satuan (jika ada)
selama 5 (lima) tahun terakhir atau sejak berdirinya jika kurang dari 5 (lima) tahun
(jika mungkin, data penjualan dirinci menurut kelompok produk utama).
n) uraian tentang prospek perusahaan sehubungan dengan industri, ekonomi secara umum
dan pasar intemasional serta dapat disertai data pendukung kuantitatif jika ada sumber
data yang layak dipercaya; dan
o) transaksi dengan Pihak Afiliasi yang uraiannya meliputi jenis transaksi, volume, jangka
waktu serta harga (jika ada).
i.
Ikhtisar Data Keuangan Penting
1) keterangan bahwa laporan keuangan merupakan sumber data;
2) pernyataan tentang apakah laporan keuangan telah diaudit Akuntan dan penjelasan
tentang jangka waktu yang dicakup;
3) data yang disajikan harus konsisten dengan laporan keuangan termasuk nama akun yang
digunakan.
4) selain data dari laporan keuangan, rasio keuangan yang relevan dengan industri
bersangkutan juga harus disajikan; dan
5) data keuangan penting 5 (lima) tahun terakhir atau sejak berdirinya perusahaan jika
kurang dari 5 (lima) tahun.
j.
Ekuitas
Keterangan tentang ekuitas berdasarkan laporan keuangan yang diaudit Akuntan, termasuk:
1) tabel ekuitas yang memuat rincian ekuitas per tanggal laporan keuangan seluruh periode
yang disajikan dalam laporan keuangan;
2) uraian secara kronologis yang menggambarkan perubahan struktur permodalan perusahaan
antara lain menyangkut perubahan modal dasar beserta keterangan pengesahan dari
Menteri Kehakiman, perubahan Modal Disetor dan nilai nominal per saham;
IV-11
Peraturan Nomor IX.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-51/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
3) perubahan struktur permodalan yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan terakhir;
4) rencana Penawaran Umum saham atau obligasi konversi yang menyebutkan jumlah
saham yang ditawarkan, nilai nominal per saham, dan atau jumlah nominal obligasi
konversi; dan
5) tabel proforma ekuitas pada tanggal laporan keuangan terakhir dengan asumsi bahwa
perubahan angka 3) di atas dan Penawaran Umum saham telah terjadi pada tanggal
laporan keuangan terakhir. Dalam hal Penawaran Umum berupa obligasi konversi,
maka tabel proforma menggambarkan posisi ekuitas pada tanggal laporan keuangan
dengan asumsi bahwa seluruh obligasi konversi telah ditukarkan ke dalam saham pada
saat diterbitkan.
k. Kebijakan Dividen
Informasi tentang kebijakan dividen yang direncanakan termasuk rentang jumlah persentase
dividen tunai yang direncanakan dikaitkan dengan jumlah laba bersih atau dasar lainnya.
l.
Perpajakan
Uraian tentang pajak yang berlaku baik bagi pemodal maupun perusahaan dan fasilitas
khusus perpajakan yang diperoleh.
m. Penjaminan Emisi Efek
1) uraian tentang ketentuan yang penting dari perjanjian Penjaminan Emisi, termasuk nama
Penjamin Pelaksana Emisi Efek, Penjamin Emisi Efek, jenis penjaminan dan besamya
persentase penjaminan serta uraian tentang masing-masing Penjamin Emisi Efek (jika
ada);
2) pengungkapan hubungan Afiliasi antara Penjamin Emisi Efek dengan Emiten; dan
3) pendekatan dalam penentuan harga Efek pada Pasar Perdana.
n. Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal
1) nama, alamat dan pernyataan tertulis dari Wali Amanat, Penanggung, Notaris, Konsultan
Hukum, Akuntan, Penilai, dan profesi penunjang lain (misal geologist) yang berperan
serta dalam Penawaran Umum; dan
2) pengungkapan tidak adanya hubungan Afiliasi antara Emiten dengan Profesi Penunjang
Pasar Modal.
o. Pendapat Dari Segi Hukum
Pendapat dari Konsultan Hukum antara lain meliputi:
1) keabsahan akta pendirian serta Anggaran Dasar dan perubahan-perubahannya;
2) keabsahan perjanjian-pedanjian dalam rangka Penawaran Umum dan perjanjian penting
lainnya;
3) apakah semua izin dan persetujuan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha
atau kegiatan usaha yang direncanakan Emiten telah diperoleh;
4) status pemilikan aktiva yang material dari Emiten;
IV-12
Peraturan Nomor IX.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-51/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
5) sengketa (litigasi) yang penting dan relevan, tuntutan perdata atau pidana serta tindakan
hukum lainnya menyangkut Emiten, komisaris atau direktur;
6) apakah modal Emiten dan perubahan-perubahan yang direncanakan, diajukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah memperoleh semua
persetujuan yang diperlukan; dan
7) hal-hal yang material lainnya sehubungan dengan status hukum dari Emiten dan penawaran
Efek yang akan dilaksanakan.
p. Laporan Keuangan
1) laporan Akuntan berkenaan dengan laporan keuangan yang disajikan;
2) menyajikan laporan keuangan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak
berdirinya bagi perusahaan yang berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun buku sebagai berikut:
a) neraca;
b) laporan laba rugi;
c) laporan saldo laba;
d) laporan arus kas;
e) catatan atas laporan keuangan; dan
f) laporan lain serta materi penjelasan yag merupakan bagian integral dari laporan
keuangan jika di persyaratkan, seperti laporan komitmen dan kontinjensi untuk Emiten
yang bergerak dalam bidang perbankan.
Dalam hal efektifnya Pernyataan Pendaftaran melebihi 180 (seratus delapan puluh) hari dari
laporan keuangan tahunan terakhir, maka laporan keuangan tahunan terakhir harus dilengkapi
dengan laporan keuangan interim yang telah diaudit, sehingga jangka waktu antara tanggal
efektif Pemyataan Pendaftaran dan tanggal laporan keuangan interim tidak melampaui 180
(seratus delapan puluh) hari.
q. Laporan Penilai (jika ada)
Ikhtisar Laporan Penilai yang mencakup antara lain metoda penilaian serta uraian tentang
aktiva bersangkutan, dan hasil penilaiannya.
r. Anggaran Dasar
Anggaran Dasar yang diungkapkan adalah Anggaran Dasar terakhir yang telah disetujui oleh
Menteri Kehakiman.
s. Persyaratan Pemesanan Pembelian Efek
1) pengajuan pemesanan pembelian Efek;
2) pemesanan yang dapat diterima;
3) jumlah yang dipesan;
4) penyerahan formulir pemesanan;
5) masa penawaran;
6) tanggal penjatahan;
IV-13
Peraturan Nomor IX.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-51/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
7) pemesanan khusus oleh karyawan;
8) persyaratan pembayaran;
9) tanda terima untuk formulir pemesanan;
10) penjatahan Efek;
11) pembatalan pemesanan;
12) pengembalian uang pemesanan;
13) penyerahan Surat Kolektif Efek; dan
14) persyaratan lain (jika ada).
t. Penyebarluasan Prospektus dan Formulir Pemesanan Pembelian Efek
Penjelasan tentang nama, alamat, dan nomor telepon Penjamin Emisi Efek dan Agen
Penjualan Efek.
u. Wali Amanat dan Penanggung
Untuk obligasi atau Efek yang bersifat utang lainnya, perlu diungkapkan informasi tentang
Penanggung (jika ada) dan Wali Amanat, yang mencakup antara lain:
1) nama lengkap;
2) struktur modal;
3) komisaris dan direksi;
4) bidang usaha;
5) tugas utama Wali Amanat, dan Penanggung (jika ada);
6) penggantian Wali Amanat atau Penanggung (jika ada); dan
7) laporan keuangan perbandingan.
Ditetapkan di
pada tanggal
:
:
Jakarta
17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-14
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM </reg_type>
<reg_id> KEP-51/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DAN PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM </reg_title>
<set_date> 17 Januari 1996 </set_date>
<effective_date> 17 Januari 1996 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-05/PM/I995|KEPTA-BAPEPAM/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995' </related_reg>
|
Peraturan Nomor III.B.5
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR KEP-11/PM/1996
TENTANG
TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR
LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
: bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam tentang
Tata Cara Pemberian Persetujuan Anggaran Dasar Lembaga Kliring dan
Penjaminan;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan
di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG
TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA
KLIRING DAN PENJAMINAN.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Tata Cara Pemberian Persetujuan Anggaran Dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan,
diatur dalam Peraturan Nomor III.B.5 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di :
Jakarta
pada tanggal : 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-1
Peraturan Nomor III.B.5
LAMPIRAN :
Keputusan Ketua BAPEPAM
Nomor : Kep-11/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
PERATURAN NOMOR III.B.5 : TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN
DASAR LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
1. Anggaran dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan, sekurang- kurangnya memuat :
a. maksud dan tujuan Perseroan menyelenggarakan kegiatan sebagai Lembaga Kliring
dan Penjaminan;
b. ketentuan mengenai direksi dan komisaris mencakup antara lain sebagai berikut :
1) persyaratan calon direktur dan komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sesuai
dengan persyaratan Peraturan Nomor III.B.3;
2) jumlah anggota direksi dan komisaris masing-masing sebanyak-banyaknya 7
(tujuh) orang;
3) tata cara pengajuan calon direktur dan komisaris;
4) anggota direksi dan komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun
dan dapat diangkat kembali;
5) berakhirnya masa jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib diatur
berbeda dengan berakhirnya masa jabatan komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan; dan
6) anggota direksi tidak mempunyai jabatan rangkap sebagai anggota direksi,
komisaris, atau pegawai pada perusahaan lain.
c. ketentuan mengenai saham mencakup antara lain :
1) saham Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah saham atas nama yang mempunyai
nilai nominal dan hak suara yang sama;
2) saham Lembaga Kliring dan Penjaminan hanya dapat dimiliki oleh Bursa Efek,
Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, atau Pihak lain atas
persetujuan Bapepam; dan
3) mayoritas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan, harus dimiliki oleh Bursa Efek.
d. ketentuan mengenai pemindahan hak atas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan:
1) pemindahan hak atas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan hanya dapat
dilakukan kepada Bursa Efek, Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Bank
Kustodian, atau Pihak lain yang memperoleh persetujuan Bapepam;
2) pemindahan hak atas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan oleh Bursa Efek
kepada Pihak yang bukan Bursa Efek hanya dapat dilakukan sepanjang Bursa
Efek tetap memiliki mayoritas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan
IV-2
Peraturan Nomor III.B.5
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 11/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
3) dalam hal saham Lembaga Kliring dan Penjaminan dimiliki oleh Pihak yang tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagai pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan, maka saham tersebut
wajib dialihkan dalam waktu 6 (enam) bulan kepada Pihak yang memenuhi persyaratan.
e. ketentuan bahwa Lembaga Kliring dan Penjaminan tidak membagikan dividen kepada pemegang
saham.
2. Setiap anggaran dasar atau perubahan anggaran dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
memperoleh persetujuan Bapepam sebelum diajukan kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh
pengesahan.
3.
Permohonan persetujuan anggaran dasar dan perubahannya diajukan kepada Bapepam dalam rangkap
4 (empat) dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.5-1 lampiran 1 peraturan ini disertai dengan
dokumen :
a. anggaran dasar atau perubahan anggaran dasar yang dimintakan persetujuan;
b. akta berita acara Rapat Umum Pemegang Saham yang dibuat oleh notaris;
c. surat panggilan Rapat Umum Pemegang Saham;
d. agenda Rapat Umum Pemegang Saham; dan
e. daftar hadir Rapat Umum Pemegang Saham.
4. Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang antara lain menyangkut latar belakang perubahan
anggaran dasar.
5. Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 peraturan
ini, Bapepam akan melakukan penelaahan atas materi anggaran dasar dan perubahannya yang diajukan
pemohon.
6. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permohonan tersebut, Bapepam wajib
memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa :
a. permohonannya tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.5 -2 lampiran 2 peraturan
ini;
b. permohonannya ditolak dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.5-3 lampiran 3 peraturan ini;
atau
c. permohonannya disetujui dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.5-4 lampiran 4 peraturan ini.
7. Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam angka 5 peraturan
ini, Bapepam tidak memberikan tanggapan maka permohonan pemberian persetujuan atas anggaran
dasar dan perubahan dimaksud berlaku efektif.
IV-3
Peraturan Nomor III.B.5
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep- 11/PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
Ditetapkan di
Pada tanggal
: Jakarta
: 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-4
Peraturan Nomor III.B.5
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.B.5-1
Nomor :
Lampiran : ---
Perihal : Permohonan Persetujuan atas
Perubahan Anggaran Dasar
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
: 1
Peraturan Nomor : III.B.5
Jakarta,. ...........................19....
KEPADA
Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
di -
Jakarta
Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, dengan ini kami mengajukan
permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebagai berikut:
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini disampaikan penjelasan dan dokumen
sebagai berikut:
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Demikian, atas perhatiannya di ucapkan terimakasih.
PT . ......................................
.............................................
(Nama Lengkap dan Jabatan)
Tembusan Yth. :
1. Sekretaris Bapepam;
2. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-5
Peraturan Nomor III.B.5
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.B.5-2
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran :
Perihal
---
: Permintaan Keterangan Tambahan
Permohonan Persetujuan Perubahan
Anggaran Dasar Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
KEPADA
Yth..................................................
di -
......................................
: 2
Peraturan Nomor : III.B.5
Jakarta,. ...........................19....
Menunjuk surat Saudara Nomor ...................... tanggal ........................ perihal
.........................., dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara masih
terdapat kekurangan data sebagai berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa
permohonan Saudara untuk memperoleh Persetujuan atas perubahan anggaran
dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan belum dapat dipertimbangkan. Selanjutnya
permohonan Saudara akan dipertimbangkan setelah Saudara memenuhi kekurangan-
kekurangan tersebut di atas.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-6
Peraturan Nomor III.B.5
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.B.5-3
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran : ---
Perihal
: Penolakan Atas Permohonan Persetujuan
Perubahan Anggaran Dasar
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
: 3
Peraturan Nomor : III.B.5
Jakarta,. ...........................19....
KEPADA
Yth..................................................
di -
......................................
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal
perihal Permohonan Persetujuan atas Perubahan Anggaran Dasar Lembaga Kliring
dan Penjaminan, setelah meneliti permohonan Saudara, dengan ini diputuskan bahwa
permohonan Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.
2.
3.
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-7
Peraturan Nomor III.B.5
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: III.B.5-4
Nomor : S-
/PM/19...
Lampiran :
Perihal
---
: Persetujuan atas Perubahan Peraturan
yang berlaku pada saat diajukan.
KEPADA
Yth..................................................
di -
......................................
: 4
Peraturan Nomor : III.B.5
Jakarta,. ...........................19....
Menunjuk surat Saudara Nomor ................... tanggal ............. perihal Permohonan
Persetujuan atas Perubahan Anggaran Dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan,
dengan ini disampaikan bahwa perubahan anggaran dasar Lembaga Kliring dan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam permohonan Saudara dapat disetujui.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
............................................
NIP. ....................................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sdr. Sekretaris Bapepam;
2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam.
IV-8
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM </reg_type>
<reg_id> KEP-11/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN </reg_title>
<set_date> 17 Januari 1996 </set_date>
<effective_date> 17 Januari 1996 </effective_date>
<related_reg> '8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995' </related_reg>
|
Peraturan Nomor X.C.2
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
NOMOR KEP-69/PM/1996
TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH
LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,
Menimbang
:
bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam
tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995;
M E M U T U S K A N :
Menetapkan
:
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN
PENYELESAIAN.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pemeliharaan Dokumen Oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, diatur
dalam Peraturan Nomor X.C.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di :
pada tanggal :
Jakarta
17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP. 060065493
IV-1
Peraturan Nomor X.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-69 /PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
PERATURAN NOMOR X.C.2 : PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN
DAN PENYELESAIAN
1. Setiap Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mengadministrasikan, menyimpan
dan memelihara catatan, pembukuan, data dan keterangan tertulis yang berhubungan dengan:
a. status dan kegiatan para pemegang rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian;
b. catatan atas penyimpanan Efek di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
c. penyelenggaraan penyimpanan dan penyelesaian Transaksi Bursa; dan
d. pengelolaan administrasi dan manajemen Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sebagai Perseroan.
2. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a peraturan ini terdiri dari sekurang-
kurangnya :
a. daftar pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan
b. catatan kegiatan pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian termasuk
kesulitan keuangan perusahaan yang dihadapi dan pelanggaran yang pernah dilakukan.
3. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b peraturan ini sekurang-kurangnya
memuat hal-hal sebagai berikut :
a. daftar nama Emiten pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan
b. jumlah dan jenis Efek yang pencatatannya pada buku daftar pemegang saham Emiten
diwakili oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
4. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf c peraturan ini terdiri dari sekurang-
kurangnya :
a. daftar mutasi penyimpanan dan penyelesaian Efek harian dengan merinci nama Efek
yang dimutasi;
b. perubahan jam penyimpanan dan penyelesaian di Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian;
c. informasi bersifat rahasia yang menurut Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dianggap
mempunyai pengaruh yang penting dan relevan terhadap pasar pada umumnya dan/atau
Efek tertentu pada khususnya;
d. penyelesaian perselisihan antar pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
dan
e. tindakan lain yang diambil dalam rangka menghadapi keadaan darurat perdagangan.
IV-2
Peraturan Nomor X.C.2
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal
Nomor : Kep-69 /PM/1996
Tanggal : 17 Januari 1996
5. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf d peraturan ini terdiri dari sekurang-
kurangnya :
a. anggaran dasar beserta semua perubahannya;
b. buku Daftar Pemegang Saham dan administrasi penyimpanannya;
c. notulen Rapat Umum Pemegang Saham, rapat direksi dan atau dewan komisaris, rapat
komite atau panitia;
d. perubahan dalam kepengurusan sampai satu tingkat di bawah direksi;
e. pembentukan komite atau panitia dan atau perubahan komposisi keanggotaan komite
atau panitia tersebut; dan
f. dokumen lain termasuk surat-menyurat, memorandum, makalah, buku, pemberitahuan,
pengumuman, edaran dan catatan lain yang dibuat atau diterima oleh Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan usahanya.
6. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, angka 3, angka 4 dan angka
5 peraturan ini wajib tersedia setiap saat untuk kepentingan pemeriksaan Bapepam.
7. Dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 6 peraturan ini wajib disimpan
sekurang-kurangnya untuk masa 5 (lima) tahun.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 17 Januari 1996
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
Ketua,
I PUTU GEDE ARY SUTA
NIP 060065493
IV-3
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM </reg_type>
<reg_id> KEP-69/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 </reg_id>
<reg_title> PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title>
<set_date> 17 Januari 1996 </set_date>
<effective_date> 17 Januari 1996 </effective_date>
<related_reg> '8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-426/BL/2007
TENTANG
PEDOMAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DANA INVESTASI REAL
ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka meningkatkan peranan Pasar Modal dan
memberikan alternatif investasi pemodal di sektor riil namun
dengan tetap memperhatikan perlindungan hukum kepada
pemodal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang
Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata
Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN
KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DANA INVESTASI
REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI
KOLEKTIF.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 โ
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Dana
Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, diatur
dalam Peraturan Nomor IX.M.2 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 18 Desember 2007
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
Kepala Bagian Umum
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-426/BL/2007
Tanggal : 18 Desember 2007
PERATURAN NOMOR IX.M.2 : PEDOMAN KONTRAK INVESTASI
KOLEKTIF DANA INVESTASI REAL ESTAT
BERBENTUK KONTRAK INVESTASI
KOLEKTIF
1. Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. nama dan alamat Manajer Investasi;
b. nama dan alamat Bank Kustodian;
c. komposisi diversifikasi investasi;
d. kebijakan pembentukan dan penggunaan Special Purpose Company (jika ada);
e. alokasi biaya yang menjadi beban Manajer Investasi, Bank Kustodian dan
pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif (jika ada);
f. kebijakan mengenai pembagian hasil secara berkala kepada pemegang Unit
Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
g. tindakan-tindakan yang dilarang dilakukan oleh Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
h. kewajiban dan tanggung jawab Manajer Investasi;
i. kewajiban dan tanggung jawab Bank Kustodian;
j. hak pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif;
k. tata cara penjualan dan pembelian kembali (pelunasan) Unit Penyertaan
Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif bagi Dana
Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang tidak
mencatatkan Unit Penyertaannya di Bursa Efek;
l. Nilai Aktiva Bersih awal Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif;
m. penyampaian laporan keuangan tahunan Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
n. ketentuan mengenai tata cara pengunduran diri Manajer Investasi dan atau
Bank Kustodian;
o. pembubaran dan likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif;
p. beban biaya atas Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang dibubarkan dan dilikuidasi; dan
q. penitipan Kolektif atas Unit Penyertaan bagi Dana Investasi Real Estat
berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang tidak mencatatkan Unit
Penyertaannya di Bursa Efek.
2.
Tindakan-tindakan yang dilarang dilakukan oleh Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam angka 1
huruf g peraturan ini, paling kurang memuat:
a. larangan terlibat dalam penjualan Efek yang belum dimiliki (short sale);
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 426/BL/2007
Tanggal : 18 Desember 2007
- 2 -
b. larangan terlibat dalam pembelian Efek secara margin;
c. larangan untuk membeli tanah kosong atau berinvestasi di properti yang
masih dalam tahap pembangunan. Kegiatan dalam tahap pembangunan ini
tidak termasuk dekorasi ulang, perbaikan (retrofitting) dan renovasi;
d. larangan untuk meminjamkan dan atau menjaminkan aset Real Estat yang
dimilikinya untuk kepentingan Pihak lain;
e. larangan berinvestasi pada aset Real Estat dan atau Aset yang berkaitan
dengan Real Estat di luar wilayah Indonesia; dan
f. larangan melakukan penerbitan Efek bersifat hutang.
3. Kewajiban dan tanggung jawab Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 huruf h peraturan ini, paling kurang memuat:
a. pelaksanaan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab sebaik
mungkin semata-mata untuk kepentingan Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
b. tanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a;
c. ketentuan pembukuan dan pelaporan;
d. ketentuan mengenai tata cara pengunduran diri Manajer Investasi sebagai
Manajer Investasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif;
e. pemisahan kekayaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif dengan kekayaan Manajer Investasi;
f. tata cara penjualan Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif;
g. penunjukan Bank Kustodian pengganti bila diperlukan;
h. pelaksanaan investasi sesuai dengan komposisi investasi yang telah
ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
i. penyusunan dan penyampaian laporan tahunan dan laporan keuangan
tahunan serta laporan lainnya Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif kepada pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real
Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan Bapepam dan LK; dan
j. penerbitan pembaharuan Prospektus yang disertai laporan keuangan
tahunan terakhir serta wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK oleh
Manajer Investasi pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan
tahunan berakhir.
4. Kewajiban dan tanggung jawab Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 huruf i peraturan ini, paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. pelaksanaan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab sebaik
mungkin semata-mata untuk kepentingan Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 426/BL/2007
Tanggal : 18 Desember 2007
- 3 -
b. tanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a
peraturan ini;
c. ketentuan pembukuan dan pelaporan;
d. ketentuan mengenai tata cara pengunduran diri Bank Kustodian sebagai
Bank Kustodian Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif;
e. penghitungan Nilai Aktiva Bersih Dana Investasi Real Estat berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif paling kurang sekali dalam satu bulan;
f. pembukuan semua perubahan aset berupa Real Estat dan Aset yang
berkaitan dengan Real Estat, jumlah Unit Penyertaan, pengeluaran, biaya-
biaya pengelolaan, pendapatan bunga atau pendapatan lain-lain yang sesuai
dengan ketentuan Bapepam dan LK;
g. penyelesaian transaksi yang dilakukan oleh Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sesuai dengan instruksi Manajer
Investasi;
h. pembayaran biaya pengelolaan dan biaya lain yang dikenakan pada aset
berupa Real Estat dan Aset yang berkaitan dengan Real Estat sesuai Dana
Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
i. pembayaran kepada pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif setiap pembagian uang tunai yang
berhubungan dengan Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif;
j. penyimpanan catatan secara terpisah yang menunjukkan semua perubahan
dalam jumlah Unit Penyertaan yang dimiliki setiap pemegang Unit
Penyertaan, nama, kewarganegaraan, alamat serta identitas lain dari para
pemegang Unit Penyertaan;
k. kepastian bahwa Unit Penyertaan diterbitkan hanya atas penerimaan dana
dari calon pemegang Unit Penyertaan;
l. pemisahan kekayaan Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif dari kekayaan Bank Kustodian;
m. pemberian jasa Penitipan Kolektif dan Kustodian sehubungan dengan
kekayaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
n. penyusunan dan penyampaian laporan kegiatan kepada Manajer Investasi,
Bapepam dan LK, serta pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan
o. penolakan instruksi Manajer Investasi secara tertulis dengan tembusan
kepada Bapepam dan LK apabila instruksi tersebut pada saat diterima oleh
Bank Kustodian secara jelas melanggar peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal dan atau Kontrak Dana Investasi Real Estat berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 426/BL/2007
Tanggal : 18 Desember 2007
- 4 -
5. Hak pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf j peraturan ini,
paling kurang memuat:
a. bukti kepemilikan;
b. laporan keuangan secara periodik;
c. informasi mengenai Nilai Aktiva Bersih Dana Investasi Real Estat berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif; dan
d. bagian atas hasil likuidasi.
6. Tahun buku Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
dimulai sejak tanggal 1 Januari dan ditutup pada tanggal 31 Desember.
7. Penyampaian laporan keuangan tahunan Dana Investasi Real Estat berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf m
peraturan ini, wajib diperiksa oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam dan LK
serta wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK oleh Manajer Investasi paling
lambat pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan
berakhir.
8. Pembubaran dan likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf o peraturan ini, paling
kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Kewajiban Manajer Investasi untuk memberitahukan terlebih dahulu kepada
Bapepam dan LK mengenai rencana pembubaran, likuidasi dan pembagian
hasil likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
dengan melampirkan:
1) kesepakatan pembubaran dan likuidasi Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif antara Manajer Investasi dengan
Bank Kustodian;
2) alasan pembubaran; dan
3) kondisi keuangan terakhir.
b. Kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan rencana pembubaran,
likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif dalam satu surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional paling lambat 2 (dua) hari bursa
setelah pemberitahuan kepada Bapepam dan LK.
c. Pada hari yang sama dengan pengumuman tentang rencana pembubaran,
likuidasi dan pembagian hasil likuidasi tersebut, Manajer Investasi wajib
memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian untuk
menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
d. Kewajiban Manajer Investasi untuk memastikan bahwa hasil dari likuidasi
dibagi secara proporsional menurut komposisi jumlah Unit Penyertaan yang
dimiliki oleh masing-masing pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real
Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 426/BL/2007
Tanggal : 18 Desember 2007
- 5 -
e. Kewajiban Manajer Investasi untuk menyampaikan laporan hasil
pembubaran, likuidasi dan pembagian hasil likuidasi Dana Investasi Real
Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada Bapepam dan LK paling
lambat 2 (dua) bulan setelah tanggal pemberitahuan rencana pembubaran,
likuidasi dan pembagian hasil likuidasi tersebut yang diajukan dengan
dilengkapi pendapat dari Konsultan Hukum dan Akuntan, serta Akta
Pembubaran dan Likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif dari Notaris.
9. Dalam hal Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
dibubarkan dan dilikuidasi, maka beban biaya pembubaran dan likuidasi Dana
Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 huruf p peraturan ini termasuk biaya Konsultan Hukum,
Akuntan dan beban lain kepada pihak ketiga menjadi tanggung jawab dan wajib
dibayar Manajer Investasi kepada Pihak-pihak yang bersangkutan.
10. Kontrak Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib
dibuat dalam bentuk akta notariil oleh Notaris yang terdaftar di Bapepam dan
LK.
11. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam
dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar
ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 18 Desember 2007
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM </reg_type>
<reg_id> KEP-426/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM/2007 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF </reg_title>
<set_date> 18 Desember 2007 </set_date>
<effective_date> 18 Desember 2007 </effective_date>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP- 412/BL/2010
TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN KONTRAK PERWALIAMANATAN
EFEK BERSIFAT UTANG
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa Wali Amanat yang mewakili kepentingan pemegang
Efek yang bersifat utang merupakan Pihak yang memiliki
peranan sangat penting dalam penerbitan Efek bersifat
utang oleh Emiten;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Wali Amanat
wajib membuat kontrak perwaliamanatan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, maka dipandang perlu
menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan tentang Ketentuan Umum
dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995
tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
Lembaran Negara Nomor 3617)
dengan Peraturan Pemerintah Nomor
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M
Tahun 2006;
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG KETENTUAN
UMUM DAN KONTRAK PERWALIAMANATAN EFEK
BERSIFAT UTANG.
86, Tambahan
sebagaimana diubah
12 Tahun 2004
27, Tambahan
64, Tambahan
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 1
Ketentuan
mengenai Ketentuan
Umum
Dan
Kontrak
Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang diatur dalam Peraturan
Nomor VI.C.4 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan
ini.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku 60 (enam puluh) hari sejak tanggal 6
September 2010.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 6 September 2010
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 195411111981121001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
PERATURAN NOMOR VI.C.4
: KETENTUAN UMUM DAN KONTRAK
PERWALIAMANATAN EFEK BERSIFAT
UTANG
1. KETENTUAN UMUM
a. Definisi yang digunakan dalam Peraturan ini adalah:
1) Kontrak Perwaliamanatan adalah perjanjian antara Emiten dan Wali
Amanat dalam rangka penerbitan Efek bersifat utang yang dibuat
dalam bentuk akta notariil.
2) Agen Pembayaran adalah Pihak yang membuat kontrak dengan
Emiten dalam bentuk akta notariil untuk melaksanakan pembayaran
bunga dan/atau pelunasan jumlah pokok Efek bersifat utang termasuk
denda kepada pemegang Efek bersifat utang untuk dan atas nama
Emiten.
3) Daerah adalah Daerah Otonom atau Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Nomor IX.C.12.
b. Tugas pokok dan tanggung jawab Wali Amanat adalah:
1) mewakili kepentingan para pemegang Efek bersifat utang, baik di
dalam maupun
di luar pengadilan sesuai dengan Kontrak
Perwaliamanatan dan peraturan perundang-undangan;
2) mengikatkan diri untuk melaksanakan tugas pokok dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud dalam butir 1) sejak menandatangani
Kontrak Perwaliamanatan dengan Emiten, tetapi perwakilan tersebut
mulai berlaku efektif pada saat Efek bersifat utang telah dialokasikan
kepada pemodal;
3) melaksanakan
tugas
Perwaliamanatan dan dokumen lainnya
Kontrak Perwaliamanatan; dan
sebagai Wali Amanat berdasarkan Kontrak
yang berkaitan dengan
4) memberikan semua keterangan atau informasi sehubungan dengan
pelaksanaan tugas-tugas perwaliamanatan kepada Bapepam dan LK.
c. Wali Amanat wajib menjalankan tugas dengan itikad baik, cermat, dan
penuh kehati-hatian sesuai dengan Kontrak Perwaliamanatan dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
d. Wali
Amanat wajib
perwaliamanatannya.
2. KEWAJIBAN WALI AMANAT
a. Sebelum penandatanganan Kontrak Perwaliamanatan, Wali Amanat wajib
melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap Emiten, yang paling sedikit
meliputi:
1) penelaahan terhadap Emiten, meliputi:
a) peninjauan lapangan (inspeksi) terhadap Emiten dan/atau proyek
yang didanai;
menaati
pedoman
operasional
kegiatan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-2-
b) jumlah dan jenis Efek bersifat utang yang diterbitkan;
c) kemampuan keuangan sebelum penerbitan dan selama umur Efek
bersifat utang;
d) risiko keuangan dan risiko-risiko lainnya yang mempunyai
dampak terhadap kelangsungan usaha Emiten;
e) benturan kepentingan dan potensi benturan kepentingan antara
Wali Amanat dengan Emiten;
f) hasil penilaian atas jaminan yang dikeluarkan oleh Penilai (jika
menggunakan jaminan);
g) hasil pemeringkatan yang dilakukan oleh Perusahaan Pemeringkat
Efek; dan
h) hal-hal material lainnya yang memiliki dampak terhadap
kemampuan keuangan Emiten baik langsung maupun tidak
langsung untuk memenuhi kewajiban Emiten kepada pemegang
Efek bersifat utang; dan
2) penelahaan terhadap rancangan Kontrak Perwaliamanatan, meliputi:
a) penelaahan
kesesuaian Kontrak Perwaliamanatan dengan
pedoman Kontrak Perwaliamanatan sebagaimana diatur dalam
Peraturan ini; dan
b) penelaahan terhadap ketentuan-ketentuan yang dapat merugikan
kepentingan pemegang Efek bersifat utang.
b. Wali Amanat wajib membuat dan menandatangani surat pernyataan di atas
meterai cukup yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
dengan Kontrak Perwaliamanatan, yang menyatakan bahwa Wali Amanat
telah melakukan uji tuntas (due diligence) sebagaimana dimaksud dalam
huruf a.
c. Wali Amanat wajib melaksanakan tugas, fungsi, dan kewajiban sebagaimana
telah ditetapkan dalam Kontrak Perwaliamanatan, paling sedikit meliputi:
1) memantau perkembangan pengelolaan kegiatan usaha Emiten atau
pengelolaan proyek jika Emiten adalah Daerah, berdasarkan data
dan/atau informasi yang diperoleh baik langsung maupun tidak
langsung, termasuk melakukan peninjauan lapangan;
2) mengawasi dan memantau pelaksanaan kewajiban Emiten berdasarkan
Kontrak Perwaliamanatan dan dokumen lainnya yang berkaitan
dengan Kontrak Perwaliamanatan;
3) melaksanakan hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Efek bersifat
utang sesuai dengan tanggung jawabnya;
4) mengawasi, melakukan inspeksi, dan mengadministrasikan harta
Emiten yang menjadi jaminan bagi pembayaran kewajiban kepada
pemegang Efek bersifat utang (jika ada);
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-3-
5) memantau pembayaran yang dilakukan oleh Emiten atau Agen
Pembayaran kepada pemegang Efek bersifat utang;
6) mengambil tindakan yang diperlukan apabila terjadi perubahan hasil
pemeringkatan Efek;
7) mengambil tindakan yang diperlukan apabila terjadi perubahan nilai
atas jaminan (jika ada); dan
8) mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam Kontrak Perwaliamanatan.
d. Wali Amanat wajib bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada
pemegang Efek bersifat utang atas kerugian karena kelalaian dalam
pelaksanaan tugasnya sebagaimana diatur dalam Kontrak Perwaliamanatan
dan peraturan perundang-undangan.
e. Wali Amanat wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK paling lambat 2
(dua) hari kerja setelah ditemukan adanya indikasi kelalaian Emiten
sebagaimana dimaksud dalam Kontrak Perwaliamanatan dan Peraturan ini.
3. LARANGAN WALI AMANAT
Sejak penandatanganan Kontrak Perwaliamanatan sampai dengan berakhirnya
tugas Wali Amanat, Wali Amanat dilarang:
a. mempunyai hubungan Afiliasi dengan Emiten kecuali hubungan Afiliasi
tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah.
b. mempunyai hubungan kredit dengan Emiten sebagaimana diatur dalam
Peraturan Nomor VI.C.3.
c. menerima dan meminta pelunasan terlebih dahulu atas kewajiban Emiten
kepada Wali Amanat selaku kreditur dalam hal Emiten mengalami kesulitan
keuangan, berdasarkan pertimbangan Wali Amanat, sehingga tidak mampu
memenuhi kewajibannya kepada pemegang Efek bersifat utang.
d. merangkap sebagai penanggung dan pemberi agunan dalam penerbitan Efek
bersifat utang sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor VI.C.3.
4. KONTRAK PERWALIAMANATAN
Dalam rangka melindungi dan mewakili hak-hak para pemegang Efek bersifat
utang, Wali Amanat wajib membuat Kontrak Perwaliamanatan dengan Emiten
yang memuat paling sedikit:
a. Identitas para pihak
Memuat keterangan identitas masing-masing pihak yang sah secara hukum
serta berhak mewakili dan bertindak untuk dan atas nama Emiten dan Wali
Amanat.
b. Utang pokok
Memuat ketentuan paling sedikit mengenai:
1) besarnya utang pokok, dalam denominasi mata uang rupiah atau mata
uang lainnya; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-4-
2) nilai satuan pemindahbukuan.
c.
Jatuh tempo utang pokok
Memuat ketentuan paling sedikit mengenai:
1)
2)
jadwal pelunasan;
jumlah yang wajib dibayarkan oleh Emiten pada tanggal pembayaran;
dan
3)
tata cara pembayaran.
d. Bunga
Memuat ketentuan paling sedikit mengenai:
1)
2)
sifat dan besarnya tingkat bunga;
jadwal dan periode pembayaran;
3) penghitungan bunga; dan
4)
tata cara pembayaran bunga.
e. Jaminan (jika ada)
1) Dalam hal Efek bersifat utang dijamin dengan kekayaan Emiten, maka
wajib dinyatakan dengan tegas, hal-hal sebagai berikut:
a) jenis benda jaminan;
b) nilai benda jaminan; dan
c) status kepemilikan.
2) Dalam hal Efek bersifat utang dijamin dengan bentuk penjaminan
lainnya, maka wajib dinyatakan dengan tegas, hal-hal sebagai berikut:
a) rincian benda jaminan dan/atau identitas penjamin;
b) identitas dari pihak yang hartanya dijaminkan;
c) penanggung telah mengikatkan diri untuk menanggung atau
menjamin
kewajiban Emiten
dalam hal Emiten
memenuhi kewajibannya (jika ada penanggung);
d) kedudukan pemegang Efek bersifat utang terhadap kreditur
Emiten lainnya yang memegang hak tanggungan atas benda
jaminan yang sama; dan
e) nilai dan/atau persentase jaminan dari total utang pokok.
3) Pembebanan jaminan atas benda jaminan wajib dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
4) Dokumen pendukung yang terkait dengan penjaminan merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan Kontrak Perwaliamanatan.
f. Hak keutamaan (senioritas) dari Efek bersifat utang (jika ada)
Dalam hal Efek bersifat utang memiliki hak keutamaan (senioritas)
dibandingkan dengan utang lainnya dari Emiten yang belum lunas dan/atau
tidak bisa
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-5-
tambahan utang yang dapat dibuat oleh Emiten pada masa yang akan
datang, maka wajib dinyatakan dengan tegas, hal-hal sebagai berikut:
1)
2)
tingkat senioritas Efek bersifat utang;
total jumlah utang yang memiliki hak keutamaan (senioritas) dan
batasan atas penerbitan tambahan utang dengan hak keutamaan
(senioritas); dan
3) batasan hak yang dimiliki oleh Efek bersifat utang karena adanya
penerbitan Efek dari jenis Efek yang berbeda.
g. Sanksi
Ketentuan mengenai sanksi yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya
kewajiban dalam Kontrak Perwaliamanatan dari Efek bersifat utang yang
diterbitkan wajib diatur secara jelas.
h. Penyisihan dana untuk pembayaran pokok atau bunga (jika ada)
Dalam hal Emiten melakukan penyisihan dana untuk pembayaran pokok
atau bunga, maka wajib dinyatakan secara tegas paling sedikit:
1)
jumlah yang harus disisihkan dan/atau perbandingan jumlah tersebut
dengan utang pokok atau bunga;
2) periode dan jangka waktu penyisihan; dan
3) penyimpanan, penempatan, dan pemanfaatan dana yang disisihkan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a) penyimpanan, penempatan, dan penggunaan pemanfaatan dana
yang disisihkan harus berada di bawah pengawasan dan atas dasar
persetujuan tertulis dari Wali Amanat;
b) bukti penyimpanan dan penempatan dana yang disisihkan wajib
disampaikan oleh Emiten kepada Wali Amanat; dan
c) Emiten wajib memisahkan dana tersebut dari aktiva lain dan
jumlah yang disisihkan wajib tercantum dalam laporan keuangan.
i. Pembatasan-pembatasan terhadap Emiten
Ketentuan tentang pembatasan keuangan dan pembatasan-pembatasan lain
terhadap Emiten (debt covenants) wajib diatur secara jelas.
j. Pemeringkatan Efek bersifat utang
Hasil pemeringkatan Efek bersifat utang wajib dicantumkan, dan apabila
terdapat lebih dari satu pemeringkatan Efek bersifat utang maka masing-
masing hasil pemeringkatan tersebut wajib dicantumkan.
k. Penggunaan dana
Penggunaan dana, perubahan penggunaan dana, dan penempatan sementara
dana hasil Penawaran Umum Efek bersifat utang, wajib mencantumkan:
1) uraian mengenai rencana penggunaan dana hasil Penawaran Umum
Efek bersifat utang;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-6-
2) ketentuan mengenai perubahan penggunaan dana hasil Penawaran
Umum Efek bersifat utang wajib memperoleh persetujuan Wali
Amanat setelah terlebih dahulu dilaporkan kepada Bapepam dan LK
dan mendapat persetujuan rapat umum pemegang Efek bersifat utang;
dan
3) ketentuan mengenai penempatan sementara dana hasil Penawaran
Umum Efek bersifat utang wajib memperhatikan keamanan dan
likuiditas serta dapat memberikan keuntungan finansial yang wajar
bagi Emiten.
l. Tugas dan kewajiban Agen Pembayaran
Memuat ketentuan paling sedikit mengenai kewajiban Agen Pembayaran
untuk:
1) memberitahukan jumlah dana yang wajib dibayar oleh Emiten untuk
pembayaran bunga dan/atau pokok Efek bersifat utang kepada Emiten
dengan tembusan kepada Wali Amanat sesuai dengan waktu yang
telah disepakati dalam Kontrak Perwaliamanatan;
2) melaksanakan pembayaran bunga dan/atau pokok Efek bersifat utang
pada tanggal pembayaran bunga dan/atau tanggal pelunasan pokok
Efek bersifat utang sesuai dengan waktu yang telah disepakati dalam
Kontrak Perwaliamanatan;
3) bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pembayaran
bunga
dan/atau pokok Efek bersifat utang sesuai dengan waktu yang telah
disepakati dalam Kontrak Perwaliamanatan; dan
4) menyampaikan laporan secara tertulis kepada Wali Amanat tentang
pemenuhan kewajiban Emiten sesuai dengan Kontrak
Perwaliamanatan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah dilakukannya
setiap pembayaran.
m. Efek bersifat utang dalam denominasi mata uang selain mata uang rupiah
Dalam hal Emiten menerbitkan Efek bersifat utang dalam denominasi mata
uang selain mata uang rupiah maka wajib mencantumkan ketentuan sebagai
berikut:
1)
2)
jumlah, nilai, dan jangka waktu serta kesetaraan nilainya dalam mata
uang rupiah pada saat Efek bersifat utang tersebut ditawarkan;
risiko yang dihadapi berkaitan dengan selisih kurs; dan
3) ada atau tidak adanya sarana lindung nilai.
n. Amortisasi Efek bersifat utang
Dalam hal Emiten melakukan amortisasi wajib memuat ketentuan sebagai
berikut:
1) amortisasi atas satu jenis Efek bersifat utang maka pemegang Efek
bersifat utang tetap mempunyai hak suara dan hak untuk menghadiri
rapat umum pemegang Efek bersifat utang secara proporsional
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-7-
sebanding dengan Efek bersifat utang yang masih beredar (outstanding)
atas Efek dimaksud; dan
2) amortisasi secara berkala atas satu jenis atau lebih Efek bersifat utang
berdasarkan Kontrak Perwaliamanatan dan memiliki jaminan yang
sama maka pemegang Efek bersifat utang tetap mempunyai hak suara
dan hak untuk menghadiri rapat umum pemegang Efek bersifat utang
dimaksud secara proporsional sebanding dengan Efek bersifat utang
yang masih beredar (outstanding) atas Efek tersebut.
o. Pembelian kembali Efek bersifat utang
Dalam hal Emiten melakukan pembelian kembali Efek bersifat utang maka
Kontrak Perwaliamanatan wajib mencantumkan ketentuan bahwa:
1) pembelian kembali Efek bersifat utang ditujukan sebagai pelunasan
atau disimpan untuk kemudian dijual kembali dengan harga pasar;
2) pelaksanaan pembelian kembali Efek bersifat utang dilakukan melalui
Bursa Efek atau di luar Bursa Efek;
3) pembelian kembali Efek bersifat utang baru dapat dilakukan satu
tahun setelah tanggal penjatahan;
4) pembelian kembali Efek bersifat utang tidak dapat dilakukan apabila
hal tersebut mengakibatkan Emiten tidak dapat memenuhi ketentuan-
ketentuan di dalam Kontrak Perwaliamanatan;
5) pembelian kembali Efek bersifat utang tidak dapat dilakukan apabila
Emiten melakukan kelalaian (wanprestasi) sebagaimana dimaksud
dalam Kontrak Perwaliamanatan, kecuali telah memperoleh
persetujuan rapat umum pemegang Efek bersifat utang;
6) pembelian kembali Efek bersifat utang hanya dapat dilakukan oleh
Emiten kepada Pihak yang tidak terafiliasi kecuali Afiliasi tersebut
terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah;
7)
rencana pembelian kembali Efek bersifat utang wajib
dilaporkan
kepada Bapepam dan LK oleh Emiten paling lambat 2 (dua) hari kerja
sebelum pengumuman rencana pembelian kembali Efek bersifat utang
tersebut di surat kabar;
8) pembelian kembali Efek bersifat utang, baru dapat dilakukan setelah
pengumuman rencana pembelian kembali Efek bersifat utang.
Pengumuman tersebut wajib dilakukan paling sedikit melalui satu
surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional
paling lambat 2 (dua) hari sebelum tanggal penawaran untuk
pembelian kembali dimulai;
9)
rencana pembelian kembali Efek bersifat utang sebagaimana dimaksud
dalam butir 7) dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam butir
8), paling sedikit memuat informasi tentang:
a) periode penawaran pembelian kembali;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-8-
b) jumlah dana maksimal yang akan digunakan untuk pembelian
kembali;
c) kisaran jumlah Efek bersifat utang yang akan dibeli kembali;
d) harga atau kisaran harga yang ditawarkan untuk pembelian
kembali Efek bersifat utang;
e) tata cara penyelesaian transaksi;
f) persyaratan bagi pemegang Efek bersifat utang yang mengajukan
penawaran jual;
g) tata cara penyampaian penawaran jual oleh pemegang Efek bersifat
utang;
h) tata cara pembelian kembali Efek bersifat utang; dan
i) hubungan Afiliasi antara Emiten dan pemegang Efek bersifat
utang;
10) Emiten wajib melakukan penjatahan secara proporsional sebanding
dengan partisipasi setiap Pihak yang melakukan penjualan Efek
bersifat utang apabila jumlah Efek bersifat utang yang ditawarkan
untuk dijual oleh pemegang Efek bersifat utang, melebihi jumlah Efek
bersifat utang yang dapat dibeli kembali;
11) Emiten wajib menjaga kerahasiaan atas semua informasi mengenai
penawaran jual yang telah disampaikan oleh pemegang Efek bersifat
utang;
12) Emiten dapat melaksanakan pembelian kembali Efek bersifat utang
tanpa melakukan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam butir 9)
dengan ketentuan:
a) jumlah pembelian kembali tidak lebih dari 5% (lima perseratus)
dari jumlah Efek bersifat utang untuk masing-masing jenis Efek
bersifat utang yang beredar dalam periode satu tahun setelah
tanggal penjatahan;
b) Efek bersifat utang yang dibeli kembali tersebut bukan Efek
bersifat utang yang dimiliki oleh Afiliasi Emiten; dan
c) Efek bersifat utang yang dibeli kembali hanya untuk disimpan
yang kemudian hari dapat dijual kembali,
dan wajib dilaporkan kepada Bapepam dan LK paling lambat akhir
hari kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya pembelian kembali Efek
bersifat utang;
13) Emiten wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK dan Wali Amanat
serta mengumumkan kepada publik dalam waktu paling lambat 2
(dua) hari kerja setelah dilakukannya pembelian kembali Efek bersifat
utang, informasi yang meliputi antara lain:
a) jumlah Efek bersifat utang yang telah dibeli;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-9-
b) rincian jumlah Efek bersifat utang yang telah dibeli kembali untuk
pelunasan atau disimpan untuk dijual kembali;
c) harga pembelian kembali yang telah terjadi; dan
d) jumlah dana yang digunakan untuk pembelian kembali Efek
bersifat utang;
14) dalam hal terdapat lebih dari satu Efek bersifat utang yang diterbitkan
oleh Emiten, maka pembelian kembali Efek bersifat utang dilakukan
dengan mendahulukan Efek bersifat utang yang tidak dijamin;
15) dalam hal terdapat lebih dari satu Efek bersifat utang yang tidak
dijamin, maka pembelian kembali wajib mempertimbangkan aspek
kepentingan ekonomis Emiten atas pembelian kembali tersebut;
16) dalam hal terdapat jaminan atas seluruh Efek bersifat utang, maka
pembelian kembali wajib mempertimbangkan aspek kepentingan
ekonomis Emiten atas pembelian kembali Efek bersifat utang tersebut;
dan
17) pembelian kembali Efek bersifat utang oleh Emiten mengakibatkan:
a) hapusnya segala hak yang melekat pada Efek bersifat utang yang
dibeli kembali, hak menghadiri rapat umum pemegang Efek
bersifat utang, hak suara, dan hak memperoleh bunga serta
manfaat lain dari Efek bersifat utang yang dibeli kembali jika
dimaksudkan untuk pelunasan; atau
b) pemberhentian sementara segala hak yang melekat pada Efek
bersifat utang yang dibeli kembali, hak menghadiri rapat umum
pemegang Efek bersifat utang, hak suara, dan hak memperoleh
bunga serta manfaat lain dari Efek bersifat utang yang dibeli
kembali, jika dimaksudkan untuk disimpan untuk dijual kembali.
p. Rapat umum pemegang Efek bersifat utang
1) Rapat umum pemegang Efek bersifat utang diadakan untuk tujuan
antara lain:
a) mengambil keputusan sehubungan dengan usulan Emiten atau
pemegang Efek bersifat utang mengenai perubahan jangka waktu,
pokok pinjaman Efek yang bersifat utang, suku bunga, perubahan
tata cara atau periode pembayaran bunga, jaminan atau penyisihan
dana pelunasan (sinking fund) dan ketentuan lain dalam Kontrak
Perwaliamanatan;
b) menyampaikan pemberitahuan kepada Emiten dan/atau Wali
Amanat, memberikan pengarahan kepada Wali Amanat, dan/atau
menyetujui
suatu
kelonggaran waktu
atas
suatu
kelalaian
berdasarkan Kontrak Perwaliamanatan serta akibat-akibatnya, atau
untuk mengambil tindakan lain sehubungan dengan kelalaian;
c) memberhentikan Wali Amanat dan menunjuk pengganti Wali
Amanat menurut ketentuan Kontrak Perwaliamanatan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-10-
d) mengambil
tindakan yang dikuasakan oleh atau atas nama
yang dapat menyebabkan
pemegang Efek bersifat utang termasuk dalam penentuan potensi
kelalaian
terjadinya kelalaian
sebagaimana dimaksud dalam Kontrak Perwaliamanatan dan
dalam Peraturan ini; dan
e) Wali Amanat bermaksud mengambil tindakan lain yang tidak
dikuasakan atau tidak termuat dalam Kontrak Perwaliamanatan
atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2) Rapat umum pemegang Efek bersifat utang dapat diselenggarakan atas
permintaan:
a) pemegang Efek bersifat utang baik sendiri maupun secara
bersama-sama yang mewakili paling sedikit lebih dari 20% (dua
puluh perseratus) dari jumlah Efek bersifat utang yang belum
dilunasi tidak termasuk Efek bersifat utang yang dimiliki oleh
Emiten dan/atau Afiliasinya kecuali Afiliasi tersebut terjadi karena
kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah;
b) Emiten;
c) Wali Amanat; atau
d) Bapepam dan LK.
3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam butir 2) poin a), poin b), dan
poin d) wajib disampaikan secara tertulis kepada Wali Amanat dan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya surat
permintaan tersebut Wali Amanat wajib melakukan panggilan untuk
rapat umum pemegang Efek bersifat utang.
4) Dalam hal Wali Amanat menolak permohonan pemegang Efek bersifat
utang atau Emiten untuk mengadakan rapat umum pemegang Efek
bersifat utang, maka Wali Amanat wajib memberitahukan secara
tertulis alasan penolakan tersebut kepada pemohon dengan tembusan
kepada Bapepam dan LK, paling lambat 14 (empat belas) hari setelah
diterimanya surat permohonan.
5) Pengumuman, pemanggilan, dan waktu penyelenggaraan rapat umum
pemegang Efek bersifat utang.
a) Pengumuman rapat umum pemegang Efek bersifat utang wajib
dilakukan melalui satu surat kabar harian berbahasa Indonesia
yang berperedaran nasional, dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari sebelum pemanggilan.
b) Pemanggilan rapat umum pemegang Efek bersifat utang dilakukan
paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum rapat umum
pemegang Efek bersifat utang, melalui paling sedikit satu surat
kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional.
c) Pemanggilan untuk rapat umum pemegang Efek bersifat utang
kedua atau ketiga dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-11-
rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua atau ketiga
dilakukan dan disertai informasi bahwa rapat umum pemegang
Efek bersifat utang sebelumnya telah diselenggarakan tetapi tidak
mencapai kuorum.
d) Panggilan harus dengan tegas memuat rencana rapat umum
pemegang Efek bersifat utang dan mengungkapkan informasi
antara lain:
(1) tanggal, tempat, dan waktu penyelenggaraan rapat umum
pemegang Efek bersifat utang;
(2) agenda rapat umum pemegang Efek bersifat utang;
(3) pihak yang mengajukan usulan rapat umum pemegang Efek
bersifat utang;
(4) pemegang Efek bersifat utang yang berhak hadir dan
memiliki hak suara dalam rapat umum pemegang Efek
bersifat utang; dan
(5) korum yang diperlukan
untuk penyelenggaraan
dan
pengambilan keputusan rapat umum pemegang Efek bersifat
utang.
e) Rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua atau ketiga
diselenggarakan paling cepat 14 (empat belas) hari dan paling
lambat 21 (dua puluh satu) hari dari rapat umum pemegang Efek
bersifat utang sebelumnya.
6)
Tata cara rapat umum pemegang Efek bersifat utang
a) Pemegang Efek bersifat utang, baik sendiri maupun diwakili
berdasarkan
surat kuasa berhak menghadiri
rapat umum
pemegang Efek bersifat utang dan menggunakan hak suaranya
sesuai dengan jumlah Efek bersifat utang yang dimilikinya.
b) Efek bersifat utang yang dimiliki oleh Emiten dan/atau Afiliasinya
tidak memiliki hak suara dan tidak diperhitungkan dalam korum
kehadiran, kecuali Afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau
penyertaan modal Pemerintah.
c) Sebelum pelaksanaan rapat umum pemegang Efek bersifat utang,
Emiten berkewajiban untuk menyerahkan daftar pemegang Efek
bersifat utang dari Afiliasinya kepada Wali Amanat.
d) Rapat umum pemegang Efek bersifat utang dapat diselenggarakan
di tempat Emiten atau tempat lain yang disepakati antara Emiten
dan Wali Amanat.
e) Rapat umum pemegang Efek bersifat utang dipimpin oleh Wali
Amanat.
f) Wali Amanat wajib mempersiapkan acara rapat umum pemegang
Efek bersifat utang termasuk materi rapat umum pemegang Efek
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-12-
bersifat utang dan menunjuk Notaris untuk membuat berita acara
rapat umum pemegang Efek bersifat utang.
g) Dalam hal penggantian Wali Amanat diminta oleh Emiten atau
pemegang Efek bersifat utang, maka rapat umum pemegang Efek
bersifat utang dipimpin oleh Emiten atau wakil pemegang Efek
bersifat utang yang meminta diadakannya rapat umum pemegang
Efek bersifat utang tersebut. Emiten atau pemegang Efek bersifat
utang yang meminta diadakannya rapat umum pemegang Efek
bersifat utang tersebut diwajibkan untuk mempersiapkan acara
rapat umum pemegang Efek bersifat utang dan materi rapat umum
pemegang Efek bersifat utang.
7) Korum dan Pengambilan Keputusan
a) Dalam hal rapat umum pemegang Efek bersifat utang bertujuan
untuk memutuskan mengenai perubahan Kontrak
Perwaliamanatan sebagaimana dimaksud dalam huruf p butir 1),
diatur sebagai berikut:
(1) Apabila rapat umum pemegang Efek
bersifat utang
dimintakan oleh Emiten maka wajib diselenggarakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
(a) dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau
diwakili paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari
jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi
dan
berhak mengambil
keputusan
yang sah dan
mengikat apabila disetujui paling sedikit 3/4 (tiga per
empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang
hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang.
(b) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud
dalam huruf (a) tidak tercapai, maka wajib diadakan
rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang kedua.
(c) rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua dapat
dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek
bersifat utang atau diwakili paling sedikit 3/4 (tiga per
empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang
masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan
yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit
3/4 (tiga per empat) bagian dari
jumlah Efek bersifat
utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek
bersifat utang.
(d) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud
dalam huruf (c) tidak tercapai, maka wajib diadakan
rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang ketiga.
(e) rapat umum pemegang Efek bersifat utang ketiga dapat
dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek
bersifat utang atau diwakili paling sedikit 3/4 (tiga per
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-13-
empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang
masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan
yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit
1/2 (satu per dua) bagian dari
jumlah Efek bersifat
utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek
bersifat utang.
(2) Apabila rapat umum pemegang Efek
bersifat utang
ketentuan
dimintakan oleh pemegang Efek bersifat utang atau Wali
Amanat maka wajib diselenggarakan dengan
sebagai berikut:
(a) dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau
diwakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari
jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi
dan
berhak mengambil
keputusan
yang sah dan
mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2 (satu per
dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir
dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang.
(b) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud
dalam huruf (a) tidak tercapai, maka wajib diadakan
rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang kedua.
(c) rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua dapat
dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek
bersifat utang atau diwakili paling sedikit 2/3 (dua per
tiga) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih
belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang
sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2
(satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang
yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat
utang.
(d) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud
dalam huruf
(c)
rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang ketiga.
(e) rapat umum pemegang Efek bersifat utang ketiga dapat
dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek
bersifat utang atau diwakili paling sedikit 2/3 (dua per
tiga) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih
belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang
sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2
(satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang
yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat
utang.
(3) Apabila rapat umum pemegang Efek
dimintakan oleh
Bapepam
bersifat utang
dan LK maka wajib
diselenggarakan dengan ketentuan sebagai berikut:
tidak tercapai, maka wajib diadakan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-14-
(a) dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau
diwakili paling sedikit 1/2 (satu per dua) bagian dari
jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi
dan
berhak mengambil
keputusan
yang sah dan
mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2 (satu per
dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir
dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang.
(b) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud
dalam huruf (a) tidak tercapai, maka wajib diadakan
rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang kedua.
(c) rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua dapat
dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek
bersifat utang atau diwakili paling sedikit 1/2 (satu per
dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih
belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang
sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2
(satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang
yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat
utang.
(d) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud
dalam huruf
(c)
rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang ketiga.
(e) rapat umum pemegang Efek bersifat utang ketiga dapat
dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek
bersifat utang atau diwakili paling sedikit 1/2 (satu per
dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih
belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang
sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2
(satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang
yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat
utang.
b) Rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang diadakan untuk
tujuan
selain
perubahan
Kontrak Perwaliamanatan, dapat
diselenggarakan dengan ketentuan sebagai berikut:
(1) dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili
paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah Efek
bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak
mengambil keputusan
yang sah dan mengikat apabila
disetujui paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari
jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum
pemegang Efek bersifat utang.
(2) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam
angka (1) tidak tercapai, maka wajib diadakan rapat umum
pemegang Efek bersifat utang kedua.
tidak tercapai, maka wajib diadakan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-15-
(3) rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua dapat
dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek bersifat
utang atau diwakili paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian
dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi
dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat
apabila disetujui paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian
dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum
pemegang Efek bersifat utang.
(4) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam
angka (3) tidak tercapai, maka wajib diadakan rapat umum
pemegang Efek bersifat utang yang ketiga.
(5) rapat umum pemegang Efek bersifat utang ketiga dapat
dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek bersifat
utang atau diwakili paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian
dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi
dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat
berdasarkan keputusan suara terbanyak.
8)
Biaya-biaya penyelenggaraan rapat umum pemegang Efek bersifat
utang menjadi beban Emiten dan wajib dibayarkan kepada Wali
Amanat paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah permintaan biaya
tersebut diterima Emiten dari Wali Amanat, yang ditetapkan dalam
Kontrak Perwaliamanatan.
9) Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang wajib
dibuatkan berita acara secara notariil.
10) Emiten, Wali Amanat, dan pemegang Efek bersifat utang wajib
memenuhi keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat umum
pemegang Efek bersifat utang.
q. Penunjukan, penggantian dan berakhirnya tugas Wali Amanat
Ketentuan mengenai penunjukan, penggantian, dan berakhirnya tugas Wali
Amanat, paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
1) penunjukkan Wali Amanat untuk pertama kalinya dilakukan oleh
Emiten;
2) penggantian Wali Amanat dilakukan karena sebab-sebab sebagai
berikut:
a) izin usaha bank sebagai Wali Amanat dicabut;
b) pencabutan atau pembekuan kegiatan usaha Wali Amanat di Pasar
Modal;
c) Wali Amanat dibubarkan oleh suatu badan peradilan atau oleh
suatu badan resmi lainnya atau dianggap telah bubar berdasarkan
ketentuan perundang-undangan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-16-
d) Wali Amanat dinyatakan pailit oleh badan peradilan yang
berwenang atau dibekukan operasinya
usahanya oleh pihak yang berwenang;
dan/atau
e) Wali Amanat tidak dapat melaksanakan kewajibannya;
f) Wali Amanat melanggar ketentuan Kontrak Perwaliamanatan
dan/atau peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
g) timbulnya hubungan Afiliasi antara Wali Amanat dengan Emiten
setelah penunjukan Wali Amanat, kecuali hubungan Afiliasi
tersebut terjadi
karena
Pemerintah;
h) timbulnya hubungan kredit yang melampaui jumlah sebagaimana
diatur dalam Peraturan Nomor VI.C.3; atau
i) atas permintaan para pemegang Efek bersifat utang.
3) berakhirnya tugas, kewajiban, dan tanggung jawab Wali Amanat
adalah pada saat:
a) Efek yang bersifat utang telah dilunasi baik pokok, bunga termasuk
denda (jika ada) dan Wali Amanat telah menerima laporan
pemenuhan kewajiban Emiten dari Agen Pembayaran atau Emiten
(jika tidak menggunakan Agen Pembayaran);
b) tanggal
tertentu
yang telah
disepakati
c) setelah diangkatnya Wali Amanat baru.
r. Keadaan Lalai
1) Memuat
ketentuan
menyebabkan Emiten
melaksanakan
atau
mengenai kondisi-kondisi
tidak menaati
Perwaliamanatan, termasuk:
a) kewajiban pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat utang
pada saat jatuh tempo.
b) fakta mengenai jaminan, keadaan, atau status Emiten serta
pengelolaannya tidak sesuai dengan informasi dan keterangan
yang diberikan oleh Emiten.
c) kondisi Emiten yang dinyatakan lalai sehubungan dengan suatu
perjanjian kredit oleh salah satu atau lebih krediturnya (cross
default).
d) adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (moratorium).
e) kewajiban lain yang tercantum dalam Kontrak Perwaliamanatan.
2) Ketentuan mengenai pernyataan default wajib diatur secara jelas.
dinyatakan lalai apabila Emiten
ketentuan
dalam
yang dapat
tidak
Kontrak
dalam Kontrak
Perwaliamanatan setelah tanggal jatuh tempo pokok Efek bersifat
utang; atau
kepemilikan
atau penyertaan modal
kegiatan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-17-
3) Ketentuan mengenai cara penyelesaian atas kondisi lalai atau Emiten
dinyatakan default wajib diatur secara jelas.
s. Wewenang Wali Amanat
Memuat ketentuan paling sedikit mengenai wewenang Wali Amanat untuk:
1) meminta dokumen dan informasi yang diperlukan dari Emiten dalam
rangka menjalankan tugas pemantauan perkembangan pengelolaan
perusahaan dan pengawasan pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang
wajib dipenuhi Emiten berdasarkan Kontrak Perwaliamanatan.
2) memegang kuasa untuk mewakili pemegang Efek bersifat utang dalam
melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan kepentingan
pemegang Efek bersifat utang, termasuk melakukan penuntutan hak-
hak pemegang Efek bersifat utang baik di dalam maupun di luar
pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari pemegang Efek
bersifat utang dimaksud.
3) menunjuk Profesi Penunjang Pasar Modal untuk membantu
melakukan pemeriksaaan
terhadap kondisi lalai/default. Segala biaya yang timbul
penunjukan tersebut menjadi beban Emiten.
4) menolak
permintaan
untuk diselenggarakannya rapat umum
pemegang Efek bersifat utang yang diajukan oleh pemegang Efek
bersifat utang atau Emiten sesuai dengan Kontrak Perwaliamanatan
dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis tentang penolakan dan
alasan penolakan.
5.
PELAPORAN
a. Emiten wajib menyampaikan laporan penggantian Wali Amanat kepada
Bapepam dan LK paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diangkatnya Wali
Amanat baru.
b. Wali Amanat yang digantikan wajib menyampaikan laporan penggantian
Wali Amanat kepada Bapepam dan LK paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah diangkatnya Wali Amanat baru.
c. Laporan penggantian Wali Amanat wajib paling kurang memuat:
1)
alasan penggantian; dan
2) Wali Amanat baru.
d. Seluruh kewajiban penyampaian laporan yang terkait
Perwaliamanatan wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK.
dalam Kontrak
e. Dalam hal kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
huruf d jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka penyampaian laporan
dimaksud wajib disampaikan pada hari kerja pertama berikutnya.
apabila terjadi perbedaan pemahaman
atas
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-412/BL/2010
Tanggal : 6 September 2010
-18-
6. KETENTUAN PENUTUP
Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal,
Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi
terhadap setiap pelanggaran
ketentuan Peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 6 September 2010
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 195411111981121001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-412/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 </reg_id>
<reg_title> KETENTUAN UMUM DAN KONTRAK PERWALIAMANATAN EFEK BERSIFAT UTANG </reg_title>
<set_date> 6 September 2010 </set_date>
<effective_date> 60 (enam puluh) hari sejak tanggal 6 September 2010 </effective_date>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP- 395/BL/2008
TENTANG
LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka efektifitas pengawasan dan pembinaan
Akuntan yang terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan, dipandang perlu menetapkan Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
tentang Laporan Berkala Kegiatan Akuntan;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M
Tahun 2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG LAPORAN
BERKALA KEGIATAN AKUNTAN.
Pasal 1
Ketentuan mengenai laporan berkala kegiatan Akuntan diatur
dalam Peraturan Nomor X.J.2 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 6 Oktober 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
: Kep- 395/BL/2008
: 6 Oktober 2008
PERATURAN NOMOR X.J.2 : LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN
1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Laporan Berkala Kegiatan Akuntan adalah laporan yang memuat informasi
tentang kegiatan yang berkaitan dengan penugasan Akuntan termasuk
penugasan profesional, selama satu tahun terhitung sejak 1 April sampai
dengan 31 Maret atau sejak terdaftar di Bapepam dan LK apabila terdaftar
kurang dari satu tahun.
b. Klien adalah pihak yang telah memperoleh izin, persetujuan, dan
pendaftaran dari Bapepam dan LK serta Pihak yang mengajukan Pernyataan
Pendaftaran atau yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif.
2. Akuntan yang terdaftar di Bapepam dan LK wajib menyampaikan Laporan
Berkala Kegiatan Akuntan atas penugasan dari Klien yang meliputi:
a. Laporan Jasa Atestasi dengan opini, yang disusun dengan menggunakan
Formulir Nomor: X.J.2-1 lampiran 1;
b. Laporan Jasa Atestasi dengan tanpa opini, yang disusun dengan
menggunakan Formulir Nomor: X.J.2-2 lampiran 2; dan
c. Laporan Jasa Non Atestasi, yang disusun dengan menggunakan Formulir
Nomor: X.J.2-3 lampiran 3.
3. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 wajib disampaikan setiap tahun
kepada kepada Bapepam dan LK paling lambat pada tanggal 15 April tahun
berikutnya.
Dalam hal tanggal 15 April jatuh pada hari libur maka Laporan Berkala
Kegiatan Akuntan disampaikan pada satu hari kerja berikutnya.
4. Laporan Berkala Kegiatan Akuntan wajib disertai dengan laporan dalam format
digital dan dilengkapi dengan Surat Pernyataan mengenai kebenaran data dan
informasi yang dilaporkan dengan menggunakan Formulir Nomor: X.J.2-4
lampiran 4.
5. Dalam hal Akuntan bekerja pada Kantor Akuntan Publik yang memiliki lebih
dari satu rekan yang terdaftar di Bapepam dan LK maka Laporan Berkala
Kegiatan Akuntan dapat disampaikan secara bersamaan dalam satu surat
pengantar yang ditandatangani oleh pimpinan rekan Kantor Akuntan Publik.
6. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal,
Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran
ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :
2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR : X.J.2-1
LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN
BIDANG JASA ATESTASI DENGAN OPINI
Periode 1 April 20... Sampai Dengan 31 Maret 20....
Nama Akuntan
Nomor STTD
No Nama
Klien
:
:
Kantor Akuntan Publik :
Keterangan
Klien*)
.........
.........
.........
Jenis Jasa
Audit
Periode
Laporan
Keuangan
yang
diaudit
1 PT A
2 PT B
3
Opini
Tanggal
Laporan
Auditor
Penugasan Profesional Penugasan Tahun ke-
Tanggal
Mulai
Tanggal
berakhir
Akuntan
KAP
Anggota Tim
Penugasan Audit
**)
Nama Jabatan
:
Peraturan Nomor :
1
X.J.2
PT .... dst
Mengetahui,
(tanda tangan dan cap)
(nama Jelas Pimpinan KAP)
Keterangan:
*) Klien sebagaimana dimaksud Peraturan Nomor : X.J.2 seperti: Emiten, Reksadana, Perusahaan Efek, dll.
**) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah dan diungkapkan untuk setiap Klien
Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan.
.......... (domisili), ...........(tanggal)
Pelapor,
(tanda tangan)
(Nama jelas)
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR : X.J.2-2
LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN
BIDANG JASA ATESTASI TANPA OPINI
Periode 1 April 20... Sampai Dengan 31 Maret 20....
Nama Akuntan
Nomor STTD
No Nama
Klien
:
:
Kantor Akuntan Publik :
.........
.........
.........
Keterangan
Klien*)
Jenis Jasa
Atestasi
Non-Audit
1 PT A
2 PT B
3
Periode
Laporan Jasa
Atestasi
Non-Audit
(jika ada)
Tanggal
Laporan
Penugasan Profesional
Tanggal
Mulai
Tanggal
berakhir
Penugasan Tahun
ke-
Akuntan KAP
Anggota Tim
Penugasan **)
Nama Jabatan
:
Peraturan Nomor :
2
X.J.2
PT .... dst
Mengetahui,
(tanda tangan dan cap)
(nama Jelas Pimpinan KAP)
Keterangan:
*) Klien sebagaimana dimaksud Peraturan Nomor : X.J.2 seperti: Emiten, Reksadana, Perusahaan Efek, dll.
**) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah dan diungkapkan untuk setiap Klien.
Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan.
.......... (domisili), ...........(tanggal)
Pelapor,
(tanda tangan)
(Nama jelas)
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR : X.J.2-3
LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN
BIDANG JASA NON ATESTASI
Periode 1 April 20... Sampai Dengan 31 Maret 20....
Nama Akuntan
Nomor STTD
Kantor Akuntan Publik
No Nama Klien
:
:
:
.........
.........
.........
Keterangan
Klien*)
Jenis Jasa
non-Audit
Ringkasan
Rekomendasi
(jika ada)**)
Tanggal
Mulai
1 PT A
2 PT B
3 PT .... dst
Mengetahui,
(tanda tangan dan cap)
(nama Jelas Pimpinan KAP)
Keterangan:
*) Klien sebagaimana dimaksud Peraturan Nomor : X.J.2 seperti: Emiten, Reksadana, Perusahaan Efek, dll.
**) Hasil Rekomendasi agar dilampirkan.
***) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah dan diungkapkan untuk setiap Klien.
Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan
Tanggal
berakhir
Nama
Jabatan
Tanggal
Laporan
Periode Penugasan
Profesional
Anggota Tim
Penugasan***)
:
Peraturan Nomor :
3
X.J.2
.......... (domisili), ...........(tanggal)
Pelapor,
(tanda tangan)
(Nama jelas)
LAMPIRAN
: 4
Peraturan Nomor :
X.J.2
FORMULIR NOMOR : X.J.2-4
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
:
Nomor STTD :
Tanggal STTD :
Nama KAP
Alamat
:
:
..............................................................
..............................................................
..............................................................
..............................................................
..............................................................
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa data dan informasi yang saya laporkan
dalam Laporan Berkala Kegiatan Akuntan untuk periode 1 April 20..... sampai
dengan 31 Maret 20..... adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Apabila dikemudian hari diketahui bahwa data dan informasi yang saya laporkan
tersebut dan pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia untuk
mempertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
........ (domisili), โฆโฆโฆโฆ.(tanggal)
Pelapor,
(tanda tangan)
(nama jelas)
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-395/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN </reg_title>
<set_date> 6 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> 6 Oktober 2008 </effective_date>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP- 133/BL/2006
TENTANG
REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka memberikan alternatif produk investasi
Reksa Dana di Pasar Modal kepada pemodal dan
perlindungan hukum yang memadai kepada pemodal,
dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Reksa
Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit
Penyertaannya Diperdagangkan Di Bursa Efek;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata
Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M
Tahun 2006;
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG REKSA
DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI
BURSA EFEK.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 1
Ketentuan mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan Di Bursa
Efek, diatur dalam Peraturan Nomor IV.B.3 sebagaimana
dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 4 Desember 2006
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Sekretaris Badan
Abraham Bastari
NIP 060076245
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : 133/BL/2006
Tanggal : 4 Desember 2006
PERATURAN NOMOR IV.B.3 : REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK
INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT
PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN
DI BURSA EFEK
1. Dalam peraturan ini yang dimaksud:
a. Dealer Partisipan adalah Anggota Bursa Efek yang menandatangani
perjanjian dengan Manajer Investasi pengelola Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di
Bursa Efek untuk melakukan penjualan atau pembelian Unit Penyertaan
Reksa Dana dimaksud baik untuk kepentingan diri sendiri maupun
untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud.
b. Sponsor adalah Pihak yang menandatangani perjanjian dengan Manajer
Investasi pengelola Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek untuk
melakukan penyertaan dalam bentuk uang dan atau Efek dalam rangka
penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek.
2. Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek, wajib mengikuti
Peraturan Nomor IV.B.2 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif dan memuat ketentuan sebagai berikut:
a. Penitipan Kolektif atas Unit Penyertaan;
b. prosedur penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa
Efek antara lain:
1) jenis Efek yang menjadi dasar pembentukan Reksa Dana dimaksud;
dan
2) jumlah minimal Unit Penyertaan yang akan dicatatkan di Bursa Efek;
c. tata cara penjualan kembali (pelunasan) Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada Manajer Investasi dan
bahwa penjualan kembali dimaksud hanya diperbolehkan bagi Sponsor
dan Dealer Partisipan;
d. pembelian kembali (pelunasan) oleh Manajer Investasi dari Sponsor dan
Dealer Partisipan per hari bursa paling banyak 10% (sepuluh per seratus)
dari total Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek yang
beredar;
e. kebijakan investasi wajib mengacu pada Peraturan Nomor IV.C.3 tentang
Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka
atau Peraturan Nomor IV.C.4 tentang Reksa Dana Terproteksi, Reksa
Dana dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks, dan memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : 133/BL/2006
Tanggal : 4 Desember 2006
- 2 -
1) komposisi portofolio Efek yang membentuk Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan
di Bursa Efek harus terdiri dari Efek yang likuid; dan
2) tingkat likuiditas Efek yang menjadi portofolio Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan
di Bursa Efek wajib ditentukan bersama antara Manajer Investasi
dengan Bank Kustodian;
f. nama Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif akan dicatatkan;
g. kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan di Bursa Efek dan
melaporkan kepada Bapepam dan LK Nilai Aktiva Bersih setiap hari
setelah penutupan perdagangan Bursa Efek sebagai indikasi harga Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
dicatatkan di Bursa Efek;
h. kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan di Bursa Efek
komposisi portofolio setiap hari setelah penutupan perdagangan di Bursa
Efek;
i. kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan di Bursa Efek jumlah
Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek yang beredar setiap
ada perubahan; dan
j. mekanisme Rapat Umum Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana yang
Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek (jika ada).
3. Manajer Investasi wajib membuat kontrak dengan Sponsor jika dalam
penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek melibatkan Sponsor,
yang antara lain memuat:
a. jumlah minimum setoran Efek atau uang oleh Sponsor yang akan
dibelikan Efek yang membentuk portofolio Efek Reksa Dana dimaksud;
dan
b. jangka waktu kesanggupan Sponsor untuk tidak melakukan penjualan
kembali.
4. Dalam rangka mewujudkan likuiditas pasar Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek, Manajer Investasi wajib membuat kontrak
dengan Dealer Partisipan.
5. Dalam hal terdapat perubahan jumlah Dealer Partisipan, Manajer Investasi
wajib mengumumkannya di Bursa Efek.
6. Penjualan kembali (pelunasan) Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif kepada Manajer Investasi hanya dapat dilakukan
oleh Sponsor dan Dealer Partisipasi dengan ketentuan:
a. jika pembayarannya dengan Efek dari portofolio Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di
Bursa Efek, maka:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : 133/BL/2006
Tanggal : 4 Desember 2006
- 3 -
1) dasar penghitungan nilai Efek tersebut adalah nilai pasar wajar; dan
2) apabila Efek dimaksud tidak ada, maka pembayarannya dilakukan
dengan uang tunai, dengan ketentuan nilainya dihitung berdasarkan
Nilai Aktiva Bersih.
b. jika pembayarannya dilakukan dengan uang tunai, maka nilainya
dihitung berdasarkan Nilai Aktiva Bersih.
c. Manajer Investasi wajib mengumumkan permohonan penjualan kembali
oleh Dealer Partisipan dan Sponsor di Bursa Efek dimana Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
diperdagangkan pada hari yang sama dengan permohonan penjualan
kembali dimaksud.
7. Dalam hal Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana yang Unit Penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek memuat ketentuan mengenai Rapat Umum
Pemegang Unit Penyertaan (RUPUP), maka ketentuan RUPUP paling kurang
memuat:
a. RUPUP dapat diselenggarakan atas usulan satu Pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana dimaksud atau lebih yang bersama-sama
mewakili 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
beredar;
b. Pemberitahuan, Pemanggilan, dan Waktu Penyelenggaraan RUPUP:
1) pemberitahuan RUPUP dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari sebelum pemanggilan dan pemanggilan dilakukan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum RUPUP melalui
paling sedikit satu surat kabar berbahasa Indonesia yang
berperedaran Nasional;
2) panggilan RUPUP wajib mencantumkan tempat, waktu
penyelenggaraan, prosedur serta agenda rapat;
3) dalam hal RUPUP pertama gagal diselenggarakan atau gagal
mengambil keputusan, maka diselenggarakan RUPUP kedua;
4) panggilan untuk RUPUP kedua dilakukan selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari sebelum RUPUP kedua dilakukan dengan menyebutkan
telah diselenggarakannya RUPUP pertama tetapi tidak mencapai
korum atau tidak dapat mengambil keputusan; dan
5) RUPUP kedua diselenggarakan paling cepat 10 (sepuluh) hari dan
paling lambat 21 (dua puluh satu) hari dari RUPUP pertama; dan
c. korum kehadiran dan keputusan RUPUP.
8. Sebelum pemberitahuan rencana RUPUP di surat kabar dilaksanakan,
Manajer Investasi wajib menyampaikan terlebih dahulu agenda rapat tersebut
secara jelas dan rinci ke Bapepam dan LK paling lambat 7 (tujuh) hari
sebelum pemberitahuan.
9. Dalam hal agenda RUPUP adalah penggantian Manajer Investasi atau Bank
Kustodian, maka Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : 133/BL/2006
Tanggal : 4 Desember 2006
- 4 -
Kolektif yang diperdagangkan di Bursa Efek yang dimiliki oleh Manajer
Investasi, Bank Kustodian, dan atau Pihak terafiliasinya tidak mempunyai
hak suara.
10. Manajer Investasi wajib menyampaikan hasil RUPUP paling lambat 2 (dua)
hari kerja setelah RUPUP tersebut diselenggarakan kepada Bapepam dan LK,
dan mengumumkannya kepada masyarakat melalui paling sedikit satu surat
kabar berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional dan Bursa Efek.
11. Untuk dapat melakukan Penawaran Umum Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek:
a. Manajer Investasi wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada
Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan:
1) Peraturan Nomor IX.C.5 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam
Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif;
2) menyampaikan dokumen perjanjian pendahuluan pencatatan antara
Manajer Investasi dengan Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek akan diperdagangkan; dan
3) menyampaikan dokumen perjanjian antara Manajer Investasi dengan
Sponsor dan antara Manajer Investasi dengan Dealer Partisipan.
b. Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek sebagaimana
dimaksud dalam huruf a telah menjadi efektif.
12. Prospektus Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.6 tentang Pedoman
Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana,
serta memuat:
a. informasi sebagaimana dimaksud dalam angka 2 peraturan ini;
b. pokok-pokok perjanjian antara Manajer Investasi dengan Dealer
Partisipan dan nama-nama Dealer Partisipan; dan
c. pokok-pokok perjanjian antara Manajer Investasi dengan Sponsor dan
nama-nama Sponsor (jika ada perjanjian dimaksud).
13. Pencatatan awal Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib
dilaksanakan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak efektifnya
Pernyataan Pendaftaran.
14. Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek yang diterbitkan setelah
pencatatan awal wajib dicatatkan selambat-lambatnya satu hari kerja sejak
diterbitkannya Unit Penyertaan dimaksud.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : 133/BL/2006
Tanggal : 4 Desember 2006
- 5 -
15. Informasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 7 huruf b butir 1)
dan butir 2) serta angka 10 wajib pula diumumkan melalui media yang dapat
diakses oleh masyarakat, antara lain:
a. website Manajer Investasi; dan
b. website atau media penyebaran informasi elektronik yang disediakan oleh
Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif diperdagangkan.
16. Dealer Partisipan wajib mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
perdagangan yang likuid atas Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di
Bursa Efek.
17. Dalam rangka menciptakan likuiditas pasar, Dealer Partisipan diperkenankan
untuk membeli dan menjual Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek
dengan ketentuan:
a. Dealer Partisipan wajib secara berkala atau terus menerus menyampaikan
penawaran jual atau penawaran beli Unit Penyertaan dimaksud pada
sistem perdagangan yang disediakan oleh Bursa Efek; dan
b. Dealer Partisipan mampu dan bersedia merealisasi transaksi dalam
jumlah sesuai dengan komitmen sebagaimana tertuang dalam Kontrak
Investasi Kolektif.
18. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal,
Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang
melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di
pada tanggal
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Sekretaris
Abraham Bastari
NIP 060076245
:
Jakarta
: 4 Desember 2006
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-133/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006 </reg_id>
<reg_title> REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK </reg_title>
<set_date> 4 Desember 2006 </set_date>
<effective_date> 4 Desember 2006 </effective_date>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP- 396/BL/2008
TENTANG
LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka efektifitas pengawasan dan pembinaan
terhadap Penilai yang terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan, dipandang perlu menetapkan
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan tentang Laporan Berkala Kegiatan Penilai;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M
Tahun 2006;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.01/2008
tentang Jasa Penilai Publik;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG LAPORAN
BERKALA KEGIATAN PENILAI.
Pasal 1
Ketentuan mengenai laporan berkala kegiatan Penilai diatur
dalam Peraturan Nomor X.J.4 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 6 Oktober 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
: Kep- 396/BL/2008
: 6 Oktober 2008
PERATURAN NOMOR X.J.4 : LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI
1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Laporan Berkala Kegiatan Penilai adalah laporan yang memuat informasi
tentang kegiatan yang berkaitan dengan penugasan Penilai termasuk
penugasan profesional selama satu tahun terhitung sejak 1 Januari sampai
dengan 31 Desember atau sejak terdaftar di Bapepam dan LK apabila
terdaftar kurang dari satu tahun.
b. Klien adalah pihak yang telah memperoleh izin, persetujuan, dan
pendaftaran dari Bapepam dan LK serta Pihak yang mengajukan Pernyataan
Pendaftaran atau yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif.
2. Penilai yang terdaftar di Bapepam dan LK wajib menyampaikan Laporan
Berkala Kegiatan Penilai sesuai ruang lingkup kegiatan penilaian atas
penugasan dari Klien yaitu:
a. Laporan Penilaian Properti, yang disusun dengan menggunakan Formulir
Nomor: X.J.4-1 lampiran 1; dan/atau
b. Laporan Penilaian Usaha, yang disusun dengan menggunakan Formulir
Nomor: X.J.4-2 lampiran 2;
3. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 wajib disampaikan setiap tahun
kepada Bapepam dan LK paling lambat pada tanggal 15 Januari tahun
berikutnya.
Dalam hal tanggal 15 Januari jatuh pada hari libur maka Laporan Berkala
Penilai disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
4. Laporan Berkala Kegiatan Penilai wajib disertai dengan laporan dalam format
digital dan dilengkapi dengan Surat Pernyataan mengenai kebenaran data dan
informasi yang dilaporkan dengan menggunakan Formulir Nomor: X.J.4-3
lampiran 3.
5. Dalam hal Penilai bekerja pada Kantor Jasa Penilai Publik yang memiliki lebih
dari satu rekan yang terdaftar di Bapepam dan LK maka Laporan Berkala
Kegiatan Penilai dapat disampaikan secara bersamaan dalam satu surat
pengantar yang ditandatangani oleh pimpinan rekan Kantor Jasa Penilai Publik.
6. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal,
Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran
ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 6 Oktober 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: X.J.4-1
LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI
BIDANG JASA PENILAIAN PROPERTI
Periode 1 Januari Sampai Dengan 31 Desember 20....
Nama Penilai
Nomor STTD
No
:
:
Kantor Jasa Penilai Publik :
Nama Klien
.........
.........
.........
Jenis
Penilaian
Properti*)
Tujuan
Penilaian
Objek
Penilaian
Tanggal
Penilaian
Opini
Nilai
Penugasan Penilaian
Profesional
Tanggal
Mulai
1 PT A
2 PT B
3
Tanggal
Berakhir
Penugasan
Penilaian
Profesional
tahun ke -
Anggota Tim
Penugasan Penilaian
Profesional **)
Nama
Jabatan
:
Peraturan Nomor :
1
X.J.4
PT.... dst
Mengetahui,
(tanda tangan dan cap)
(nama Jelas Pimpinan KJPP)
Keterangan:
*) Pengertian Properti adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor VIII.C.1
**) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah untuk setiap penugasan.
Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan
.......... (domisili), ...........(tanggal)
Pelapor,
(tanda tangan)
(Nama jelas)
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: X.J.4-2
LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI
BIDANG JASA PENILAIAN USAHA
Periode 1 Januari Sampai Dengan 31 Desember 20....
Nama Penilai
Nomor STTD
No
:
:
Kantor Jasa Penilai Publik :
Nama Klien
.........
.........
.........
Jenis
Penilaian
Usaha
Tujuan
Penilaian
Objek
Penilaian
Tanggal
Penilaian
Opini
Nilai
Penugasan Penilaian
Profesional
Tanggal
Mulai
1
2
3
PT A
PT B
PT .... dst
Mengetahui,
(tanda tangan dan cap)
(nama Jelas Pimpinan KJPP)
Keterangan:
*) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah untuk setiap penugasan.
Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan
.......... (domisili), ...........(tanggal)
Pelapor,
(tanda tangan)
(Nama jelas)
Tanggal
Berakhir
Penugasan
Penilaian
Profesional
tahun ke -
Anggota Tim
Penugasan Penilaian
Profesional *)
Nama
Jabatan
:
Peraturan Nomor :
2
X.J.4
LAMPIRAN
: 3
Peraturan Nomor :
X.J.4
FORMULIR NOMOR: X.J.4-3
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
:
Nomor STTD :
Tanggal STTD :
Nama KJPP
Alamat
:
:
..............................................................
..............................................................
..............................................................
..............................................................
..............................................................
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa data dan informasi yang saya laporkan
dalam Laporan Berkala Kegiatan Penilai untuk periode 1 Januari 20..... sampai
dengan 31 Desember 20..... adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Apabila dikemudian hari diketahui bahwa data dan informasi yang saya laporkan
tersebut dan pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia untuk
mempertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
........ (domisili), โฆโฆโฆโฆ(tanggal)
Pelapor,
(tanda tangan)
(nama jelas)
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-396/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI </reg_title>
<set_date> 6 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> 6 Oktober 2008 </effective_date>
<related_reg> '45/PP/1995', '125/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP- 372/BL/2012
TENTANG
PENDAFTARAN PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN
DI PASAR MODAL
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi Penilai
dan/atau Kantor Jasa Penilai Publik dalam menjalankan
tugasnya melakukan penilaian di Pasar Modal, dipandang perlu
menyempurnakan Peraturan Nomor VIII.C.1, Lampiran
Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-42/BL/2008
tanggal 14 Februari 2008 tentang Pendaftaran Penilai Yang
Melakukan Kegiatan Di Pasar Modal dengan menetapkan
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M
Tahun 2011;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.01/2008
tentang Jasa Penilai Publik;
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENDAFTARAN
PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR
MODAL.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 1
Ketentuan mengenai pendaftaran Penilai yang melakukan
kegiatan penilaian di Pasar Modal, diatur dalam Peraturan
Nomor VIII.C.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan
ini.
Pasal 2
Kantor Jasa Penilai Publik yang melakukan kegiatan penilaian di
Pasar Modal namun belum memiliki paling sedikit 2 (dua) orang
Penilai yang terdaftar di Bapepam dan LK, dengan ketentuan
masing-masing sekutu merupakan rekan dan salah seorang
sekutu bertindak sebagai pemimpin rekan, wajib segera
menyesuaikan dengan Peraturan Nomor VIII.C.1 Lampiran
Keputusan ini, paling lambat 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya
keputusan ini.
Pasal 3
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua
Bapepam dan LK Nomor: Kep-42/BL/2008 tanggal 14 Februari
2008 tentang Pendaftaran Penilai Yang Melakukan Kegiatan Di
Pasar Modal dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Juli 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-372/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
PERATURAN NOMOR VIII.C.1 : PENDAFTARAN
PENILAI
YANG
MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL
1. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan:
a. Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya menjalankan kegiatan
penilaian di Pasar Modal.
b. Kantor Jasa Penilai Publik yang selanjutnya disebut KJPP adalah badan usaha
yang berbentuk persekutuan dan telah mendapat izin usaha dari Menteri
Keuangan sebagai wadah bagi Penilai dalam melakukan kegiatan penilaian.
c. Forum Penilai Pasar Modal yang selanjutnya disebut FPPM adalah organisasi
profesi Penilai yang melakukan kegiatan penilaian di bidang Pasar Modal.
d. Pendidikan Profesi adalah suatu pendidikan dengan muatan materi tentang
kegiatan penilaian dan/atau peraturan perundang-undangan di bidang Pasar
Modal yang diselenggarakan oleh FPPM โ Masyarakat Profesi Penilai
Indonesia (MAPPI).
e. Pendidikan Profesi Lanjutan adalah suatu pendidikan lanjutan bagi Penilai
dengan muatan materi tentang kegiatan penilaian dan/atau peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang diselenggarakan oleh FPPM
โ MAPPI.
2. Penilai yang melakukan kegiatan penilaian di bidang Pasar Modal wajib terlebih
dahulu terdaftar di Bapepam dan LK serta memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam Peraturan ini.
3. Penilai yang telah terdaftar di Bapepam dan LK dilarang melakukan penilaian dan
pemberian jasa lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.
4. Ruang lingkup kegiatan penilaian yang dilakukan oleh Penilai mencakup:
a. penilaian properti; dan/atau
b. penilaian usaha.
5. Dalam melakukan kegiatan penilaian sebagaimana dimaksud dalam angka 4,
Penilai dapat melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Kegiatan penilaian properti, antara lain:
1)
penilaian real properti;
2)
penilaian personal properti;
3) penilaian pembangunan/pengembangan proyek;
4) penilaian pengembangan properti;
5)
penilaian aset perkebunan;
6) penilaian aset perikanan;
7) penilaian aset kehutanan;
8) penilaian aset pertambangan; dan
9)
penilaian properti lainnya.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-372/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
-2-
b. Kegiatan penilaian usaha, antara lain:
1) penilaian perusahaan dan/atau badan usaha;
2) penilaian penyertaan dalam perusahaan;
3) penilaian instrumen keuangan
4) penilaian aset takberwujud;
5) pemberian pendapat kewajaran atas transaksi;
6) penyusunan studi kelayakan proyek dan usaha;
7)
8) penilaian usaha lainnya.
6. Persyaratan Penilai sebagaimana dimaksud dalam angka 2 adalah sebagai berikut:
a. mempunyai izin Penilai dari Menteri Keuangan;
b. berpendidikan paling rendah setara sarjana strata 1 (S1);
c. telah lulus ujian standar profesi di bidang penilaian yang diselenggarakan oleh
MAPPI;
d. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana di bidang keuangan;
e. memiliki akhlak dan moral yang baik;
f. telah menjadi anggota FPPM - MAPPI;
g. tidak bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada KJPP lain dan/atau Profesi
Penunjang Pasar Modal lainnya yang terdaftar di Bapepam dan LK;
h. dalam hal Penilai merangkap jabatan pada Pihak yang memperoleh izin,
persetujuan, dan/atau yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif,
maka Penilai, KJPP, dan/atau Pihak afiliasinya dilarang memberikan jasa
penilaian atau jasa apapun yang dapat menimbulkan benturan kepentingan
terhadap Pihak dimana Penilai tersebut merangkap jabatan serta Afiliasinya;
i. wajib memiliki keahlian di bidang Pasar Modal. Persyaratan keahlian tersebut
dipenuhi melalui Pendidikan Profesi dengan jumlah paling kurang 30 (tiga
puluh) satuan kredit profesi dalam satu kali keikutsertaan; dan
j. berkedudukan sebagai rekan dan/atau sekutu pada KJPP.
7. KJPP sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf j wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. memiliki izin usaha dari Menteri Keuangan dan dipimpin oleh Penilai yang
telah memiliki izin Penilai dari Menteri Keuangan dan telah terdaftar di
Bapepam dan LK;
b. berbentuk persekutuan yang dijalankan oleh paling sedikit 2 (dua) orang
Penilai, dengan ketentuan masing-masing sekutu merupakan rekan dan salah
seorang sekutu bertindak sebagai pemimpin rekan;
penilaian keuntungan/kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh suatu
kegiatan atau suatu peristiwa tertentu; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-372/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
-3-
c. menerapkan paling tidak 2 (dua) jenjang pengendalian (supervisi) dalam
melakukan penilaian yaitu Penilai yang bertanggung jawab untuk
menandatangani laporan dan pengawas menengah yang melakukan
pengawasan terhadap staf pelaksana;
d. memiliki dan menerapkan secara konsisten pedoman pengendalian mutu yang
merupakan standar yang berlaku pada KJPP yang bersangkutan, yang terdiri
dari:
1) pedoman penerimaan dan penolakan pemberi tugas;
2) pedoman kepastian mutu dan kebijakan etika;
3) pedoman pengendalian mutu penugasan;
4) pedoman independensi Penilai dan KJPP;
5) pedoman penilaian untuk penilaian properti dan/atau penilaian usaha;
dan
6) pedoman penelaahan mutu;
Setiap unsur pedoman pengendalian mutu wajib memuat ketentuan mengenai
manajemen risiko.
e. sanggup menjalani pemeriksaan yang dilakukan oleh Bapepam dan LK
terhadap pelaksanaan pekerjaan penilaian dan pengendalian mutu pada KJPP
yang bersangkutan; dan
f. membuat surat perjanjian dengan Penilai dari KJPP lain yang memiliki ruang
lingkup kegiatan penilaian yang sama tentang pengalihan tanggung jawab
apabila Penilai yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya
dalam hal KJPP yang bersangkutan tidak memiliki 2 (dua) Penilai dengan
ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama.
8. Permohonan pendaftaran Penilai sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal diajukan
kepada Bapepam dan LK dengan mempergunakan Formulir Nomor VIII.C.1-1
Lampiran 1.
9. Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 8 disertai
dokumen sebagai berikut:
a. Dokumen yang menyangkut Penilai:
1)
daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani, serta memuat
pengalaman kerja paling kurang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dalam
ruang lingkup Penilaian yang sesuai dengan klasifikasi permohonan
pendaftaran beserta jabatan dalam pekerjaan tersebut pada KJPP yang
dilengkapi dengan keterangan tentang:
a) nama pemberi tugas,
b)
tahun penilaian,
c)
d)
2)
tujuan penilaian, dan
jenis penilaian;
fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Penilai yang
bersangkutan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-372/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
-4-
3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku;
4) pasfoto terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna sejumlah 2 (dua) lembar;
5) fotokopi izin Penilai dari Menteri Keuangan;
6)
7)
fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir paling rendah setara sarjana
strata 1 (S1) yang telah dilegalisasi;
fotokopi sertifikat Pendidikan Profesi di bidang Pasar Modal sebagaimana
dimaksud dalam angka 6 huruf i yang diperoleh dalam jangka waktu 2
(dua) tahun terakhir terhitung sejak tanggal penyelenggaraan Pendidikan
Profesi;
8) fotokopi bukti keanggotaan dalam FPPM โ MAPPI;
9)
surat rekomendasi dari FPPM - MAPPI yang menyatakan bahwa Penilai
yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan
oleh FPPM - MAPPI dan layak dipertimbangkan untuk melakukan
kegiatan di Pasar Modal sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian
yang dimiliki;
10) fotokopi sertifikat kelulusan ujian standar profesi di bidang penilaian
yang diselenggarakan oleh MAPPI sesuai dengan ruang lingkup kegiatan
penilaian yang diajukan kepada Bapepam dan LK;
11) surat pernyataan dengan meterai cukup yang menyatakan bahwa:
a)
b)
c)
Penilai tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau
dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang
keuangan;
Penilai bersedia melaporkan jika terdapat perubahan data dan
informasi dari Penilai yang bersangkutan; dan
Penilai tidak bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada KJPP lain
dan/atau Profesi Penunjang Pasar Modal lainnya yang terdaftar di
Bapepam dan LK;
12) surat pernyataan dengan materai cukup yang menyatakan bahwa dalam
melakukan penilaian, Penilai sanggup untuk:
a)
menaati Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang disusun oleh MAPPI
dan standar penilaian lain yang berlaku secara internasional jika
belum diatur dalam SPI sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Bapepam dan LK yang berlaku;
b) menaati kode etik profesi yang disusun oleh MAPPI; dan
c)
bersikap independen, obyektif, dan professional.
b. Dokumen yang menyangkut KJPP:
1)
fotokopi akta pendirian KJPP beserta perubahannya;
2) fotokopi izin usaha dari Menteri Keuangan;
3)
fotokopi Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal dari
pemimpin rekan dari Bapepam dan LK;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-372/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
-5-
4)
fotokopi surat perjanjian dengan Penilai dari KJPP lain yang memiliki
ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama tentang pengalihan
tanggung jawab apabila Penilai yang bersangkutan berhalangan untuk
melaksanakan tugasnya, dalam hal KJPP yang bersangkutan tidak
memiliki 2 (dua) Penilai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang
sama;
5) bagan organisasi KJPP yang menunjukkan:
a) susunan rekan, pengawas menengah, dan staf pelaksana, beserta
nama yang menduduki posisi tersebut; dan
b) bahwa dalam melakukan penilaian, Penilai menerapkan paling tidak
2 (dua) jenjang pengendalian (supervisi) yaitu Penilai yang
bertanggung jawab menandatangani laporan, dan pengawas
menengah yang melakukan pengawasan terhadap staf pelaksana;
6) fotokopi izin pembukaan Cabang KJPP dari Menteri Keuangan, bagi KJPP
yang mempunyai cabang;
7)
fotokopi surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai
pencantuman nama KJPP asing atau organisasi penilai asing, apabila KJPP
bekerja sama dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing;
8) dokumen perjanjian kerja sama dengan KJPP asing atau organisasi penilai
asing, apabila KJPP bekerja sama dengan KJPP asing atau organisasi
penilai asing;
9) dokumen pedoman pengendalian mutu sebagaimana dimaksud dalam
angka 7 huruf d;
10) fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama KJPP;
11) surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh
pemimpin rekan KJPP yang menyatakan bahwa:
a) pemimpin rekan KJPP bertanggung jawab atas pelaksanaan
pedoman pengendalian mutu yang berlaku pada KJPP yang
bersangkutan;
b) KJPP bersedia untuk menjalani pemeriksaan Bapepam dan LK
terhadap pelaksanaan pekerjaan penilaian dan pengendalian mutu
pada KJPP yang bersangkutan;
c) KJPP bersedia untuk menjalani penelaahan (peer review) FPPM โ
MAPPI terhadap pelaksanaan pekerjaan penilaian dan pengendalian
mutu pada KJPP yang bersangkutan; dan
d) pemimpin rekan KJPP bertanggung jawab melaporkan kepada
Bapepam dan LK setiap perubahan yang berkenaan dengan data dan
informasi dari KJPP.
10. Dalam rangka pendaftaran Penilai yang melakukan kegiatan di Pasar Modal,
Bapepam dan LK dapat meminta dokumen tambahan selain sebagaimana yang
telah disebutkan dalam angka 8 dan angka 9.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-372/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
-6-
11. Dalam hal Penilai menambah ruang lingkup kegiatan penilaian dari Penilai
Properti atau Penilai Usaha menjadi Penilai Properti dan Penilai Usaha, maka
Penilai wajib menyampaikan permohonan pendaftaran penambahan ruang
lingkup kegiatan Penilai dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.C.1-2
Lampiran 2 dengan melampirkan:
a. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal yang dimiliki
sebelumnya;
b. fotokopi izin Penilai dari Menteri Keuangan sesuai dengan ruang lingkup
kegiatan penilaian yang diajukan kepada Bapepam dan LK;
c. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani, serta memuat
pengalaman kerja paling kurang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dalam
ruang lingkup Penilaian yang sesuai dengan klasifikasi permohonan
pendaftaran beserta jabatan dalam pekerjaan tersebut pada KJPP yang
dilengkapi dengan keterangan tentang:
1) nama pemberi tugas;
2) tahun penilaian;
3) tujuan penilaian; dan
4)
jenis penilaian;
d. surat rekomendasi dari FPPM - MAPPI yang menyatakan bahwa Penilai yang
bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh FPPM -
MAPPI dan layak dipertimbangkan untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal
sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang dimiliki;
e. fotokopi sertifikat kelulusan ujian standar profesi di bidang penilaian yang
diselenggarakan oleh MAPPI sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian
yang diajukan kepada Bapepam dan LK;
f. fotokopi surat perjanjian dengan Penilai dari KJPP lain yang memiliki ruang
lingkup kegiatan penilaian yang sama tentang pengalihan tanggung jawab
apabila Penilai yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya,
dalam hal KJPP yang bersangkutan tidak memiliki 2 (dua) Penilai dengan
ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama; dan
g. dokumen pedoman pengendalian mutu sebagaimana dimaksud dalam angka 7
huruf d.
12. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 8 dan angka 11 tidak
memenuhi syarat, maka paling lambat dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima)
hari sejak diterimanya permohonan tersebut, Bapepam dan LK wajib memberikan
surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa:
a. permohonan tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.C.1-3
Lampiran 3; atau
b. permohonan ditolak dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.C.1-4
Lampiran 4.
13. Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan
dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-372/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
-7-
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam angka 12 huruf a dianggap telah
mengundurkan diri.
14. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 8 dan angka 11
memenuhi syarat, maka paling lambat dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima)
hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap, Bapepam dan LK memberikan
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal kepada pemohon dengan
menggunakan:
a. Formulir Nomor VIII.C.1-5 Lampiran 5 untuk Penilai Properti;
b. Formulir Nomor VIII.C.1-6 Lampiran 6 untuk Penilai Usaha; atau
c. Formulir Nomor VIII.C.1-7 Lampiran 7 untuk Penilai Properti dan Penilai
Usaha.
15. Penilai yang telah terdaftar di Bapepam dan LK wajib:
a. melakukan penilaian sesuai dengan Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang
disusun oleh MAPPI dan standar penilaian lain yang berlaku secara
internasional jika belum diatur dalam SPI, sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Bapepam dan LK yang berlaku;
b. secara terus-menerus mengikuti Pendidikan Profesi Lanjutan paling sedikit 5
(lima) satuan kredit profesi setiap tahun;
c. melaporkan keikutsertaannya dalam Pendidikan Profesi Lanjutan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b kepada Bapepam dan LK disertai dokumen
pendukung secara berkala setiap tahun paling lambat pada tanggal 15 Januari
tahun berikutnya;
d. melaporkan kepada Bapepam dan LK setiap perubahan yang berkenaan
dengan data dan informasi dari Penilai dan/atau KJPP paling lambat 14 (empat
belas) hari sejak terjadinya perubahan dengan disertai dokumen pendukung;
dan
e. kewajiban penyampaian perubahan data dan informasi sebagaimana dimaksud
dalam huruf d mencakup hal-hal antara lain:
1) perubahan data dan informasi terkait Penilai yang wajib dilaporkan oleh
Penilai yang bersangkutan yang meliputi:
a)
perubahan alamat tempat tinggal Penilai;
b) perubahan izin Penilai dari Menteri Keuangan;
c)
perpindahan Penilai ke KJPP lain; dan
d)
jabatan apapun pada Pihak yang memperoleh izin, persetujuan,
dan/atau Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif serta
afiliasinya.
2) perubahan data dan informasi terkait KJPP yang wajib dilaporkan oleh
pemimpin rekan KJPP yang meliputi:
a) perubahan akta pendirian KJPP termasuk apabila terjadi perubahan
susunan rekan, pemimpin rekan dan/atau perubahan nama KJPP;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-372/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
-8-
b) perubahan izin usaha KJPP dari Menteri Keuangan dalam hal terjadi
perubahan nama KJPP;
c) KJPP yang memiliki cabang dan telah memperoleh izin dari Menteri
Keuangan;
d) KJPP yang bekerja sama dengan KJPP asing atau organisasi penilai
asing dan telah memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan;
dan
e) perubahan dokumen pedoman pengendalian mutu sebagaimana
dimaksud dalam angka 7 huruf d.
f. menaati kode etik profesi Penilai yang disusun oleh MAPPI;
g. melakukan penilaian sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian
sebagaimana tercantum dalam Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar
Modal; dan
h. bersikap independen, obyektif, dan profesional dalam melakukan penilaian.
16. Dalam hal Penilai bermaksud untuk tidak menjalankan kegiatan di Pasar Modal
dalam jangka waktu paling kurang satu tahun, maka berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. Penilai wajib menyampaikan surat pemberitahuan kepada Bapepam dan LK
untuk tidak menjalankan kegiatan profesi Penilai di bidang Pasar Modal
dengan menyebutkan jangka waktunya;
b. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal atas nama Penilai
bersangkutan akan dinyatakan tidak berlaku untuk sementara waktu oleh
Bapepam dan LK dengan memberikan surat pemberitahuan menggunakan
Formulir Nomor VIII.C.1-8 sebagaimana tercantum dalam Lampiran 8;
c. Penilai bersangkutan sejak tanggal pemberitahuan sebagaimana dimaksud
huruf b:
1)
dilarang untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal untuk sementara
waktu sampai dengan diaktifkannya kembali Surat Tanda Terdaftar
Profesi Penunjang Pasar Modal; dan
2) dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 15
huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g termasuk
kewajiban penyampaian Laporan Berkala Kegiatan Penilai sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Nomor X.J.4 sampai dengan diaktifkannya
kembali Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal;
d. apabila Penilai dimaksud akan aktif kembali melakukan kegiatan di Pasar
Modal, maka Penilai wajib memberitahukan kepada Bapepam dan LK dan
menyertakan:
1)
2)
fotokopi sertifikat Pendidikan Profesi Lanjutan setiap tahunnya
sebagaimana diatur dalam angka 15 huruf b; atau
fotokopi sertifikat Pendidikan Profesi sebagaimana diatur dalam angka 6
huruf i yang diperoleh paling lama dalam waktu 2 (dua) tahun terakhir
dan telah dilegalisasi oleh FPPM - MAPPI, apabila dalam jangka waktu
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-372/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
-9-
tersebut Penilai bersangkutan tidak mengikuti Pendidikan Profesi
Lanjutan setiap tahun sebagaimana diatur dalam angka 15 huruf b; dan
3)
daftar perubahan data dan informasi dari Penilai dan/atau KJPP
sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf d dan huruf e apabila ada
perubahan yang terjadi dengan disertai bukti pendukung.
e. Bapepam dan LK akan memberlakukan kembali Surat Tanda Terdaftar setelah
Penilai memenuhi ketentuan pada huruf d dengan memberikan surat
pemberitahuan kepada Penilai yang bersangkutan menggunakan Formulir
nomor VIII.C.1-9 sebagaimana tercantum dalam Lampiran 9.
17. Ketentuan mengenai Pendidikan Profesi Lanjutan adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban Penilai untuk mengikuti Pendidikan Profesi Lanjutan sebagaimana
dimaksud dalam angka 15 huruf b mulai berlaku untuk tahun yang sama pada
saat Penilai memperoleh Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal
dari Bapepam dan LK kecuali Penilai telah mengikuti Pendidikan Profesi
sebagaimana diatur dalam ketentuan dalam angka 6 huruf i yang
diselenggarakan pada tahun yang sama pada saat Penilai memperoleh Surat
Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal dari Bapepam dan LK.
b. Penilai yang tidak menyampaikan laporan keikutsertaan Pendidikan Profesi
Lanjutan sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf c dikenakan sanksi
administratif berupa denda yang dihitung sejak tanggal kewajiban pelaporan
sampai dengan tanggal dipenuhinya kewajiban pelaporan keikutsertaan
Pendidikan Profesi Lanjutan oleh yang bersangkutan kepada Bapepam dan LK.
c. Jika dalam waktu 2 (dua) tahun berturut-turut Penilai tidak mengikuti
Pendidikan Profesi Lanjutan, atau jika dalam waktu 5 (lima) tahun Penilai tidak
mengikuti Pendidikan Profesi Lanjutan sebanyak 3 (tiga) kali, Penilai
dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan Surat Tanda Terdaftar
Profesi Penunjang Pasar Modal.
d. Jika dalam 2 (dua) tahun berturut-turut Penilai tidak menyampaikan laporan
keikutsertaannya dalam Pendidikan Profesi Lanjutan, Penilai dikenakan sanksi
administratif berupa pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang
Pasar Modal.
e. Penilai yang dikenakan sanksi pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi
Penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d
dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf b,
huruf c, dan huruf d.
f. Penilai yang dikenakan sanksi pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi
Penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d
selama satu tahun atau lebih dikecualikan dari kewajiban penyampaian
Laporan Berkala Kegiatan Penilai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Nomor X.J.4.
g. Dalam hal sanksi pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar
Modal sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d telah berakhir,
Penilai dapat melakukan kegiatan di Pasar Modal dengan mengajukan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-372/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
-10-
permohonan kepada Bapepam dan LK serta melampirkan dokumen sebagai
berikut:
1)
2)
3)
fotokopi bukti penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
huruf b;
fotokopi sertifikat Pendidikan Profesi sebagaimana diatur dalam angka 6
huruf i yang diperoleh paling lama dalam waktu 2 (dua) tahun terakhir
dan telah dilegalisasi oleh FPPM โ MAPPI;
surat rekomendasi dari FPPM - MAPPI yang menyatakan bahwa Penilai
yang bersangkutan layak dipertimbangkan untuk kembali melakukan
kegiatan di Pasar Modal sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian
yang dimiliki; dan
4)
daftar perubahan data dan informasi dari Penilai dan/atau KJPP
sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf d dan huruf e apabila
terdapat perubahan dengan disertai bukti pendukung.
h. Apabila dalam jangka waktu satu tahun Pendidikan Profesi atau Pendidikan
Profesi Lanjutan tidak diselenggarakan, maka Ketua Bapepam dan LK dapat
menetapkan ketentuan lain.
18. Dalam hal Surat Tanda Terdaftar Penilai dibekukan atas pelanggaran selain
sebagaimana dimaksud dalam angka 17 huruf c dan huruf d, maka berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. Penilai tetap wajib memenuhi ketentuan dalam angka 15 huruf b dan huruf c
serta tetap wajib menyampaikan Laporan Berkala Kegiatan Penilai
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor X.J.4 kecuali dalam hal sanksi
pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal dikenakan
selama satu tahun atau lebih.
b. Dalam hal sanksi pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar
Modal telah berakhir, Penilai dapat melakukan kegiatan di Pasar Modal
dengan mengajukan permohonan kepada Bapepam dan LK serta melampirkan
dokumen sebagai berikut:
1)
fotokopi sertifikat Pendidikan Profesi sebagaimana diatur dalam angka 6
huruf i yang diperoleh paling lama dalam waktu 2 (dua) tahun terakhir
dan telah dilegalisasi oleh FPPM - MAPPI bagi Penilai yang dikenakan
sanksi pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal
selama satu tahun atau lebih;
2)
surat rekomendasi dari FPPM - MAPPI yang menyatakan bahwa Penilai
yang bersangkutan layak dipertimbangkan untuk kembali melakukan
kegiatan di Pasar Modal sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian
yang dimiliki; dan
3)
daftar perubahan data dan informasi dari Penilai dan/atau KJPP
sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf d dan huruf e apabila
terdapat perubahan dengan disertai bukti pendukung.
19. Dalam hal Penilai dan/atau KJPP tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam angka 6 dan angka 7, maka Penilai pada KJPP tersebut tidak
dapat melakukan kegiatan penilaian di bidang Pasar Modal.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-372/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
-11-
20. Penilai yang tidak dapat melakukan kegiatan penilaian di bidang Pasar Modal
dikarenakan tidak memenuhi persyaratan dalam angka 6 huruf j tetap wajib
memenuhi ketentuan dalam angka 15 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e serta
tetap wajib menyampaikan Laporan Berkala Kegiatan Penilai sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Nomor X.J.4.
21. Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c
dan huruf d jatuh pada hari libur, maka laporan dimaksud disampaikan pada satu
hari kerja berikutnya.
22. Dalam hal Penilai terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam angka 15 huruf c dan huruf d, maka penghitungan jumlah hari
keterlambatan tersebut dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu
penyampaian laporan dimaksud.
23. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal,
Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang
melanggar ketentuan peraturan ini termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di
pada tanggal
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
: Jakarta
: 9 Juli 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-1
Nomor
: .โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Lampiran : โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Perihal
: Pendaftaran
Penilai
Sebagai
Profesi Penunjang Pasar Modal
( Penilai Properti / Penilai Usaha
/ Penilai Properti dan Usaha)*
: 1
Peraturan Nomor : VIII.C.1
โฆโฆโฆโฆโฆโฆ , โฆโฆโฆโฆโฆ. 20โฆโฆ..
KEPADA
Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal
dan
Keuangan
u.p. Kepala
di
Biro
Standar
Akuntansi dan Keterbukaan
Jakarta
Dengan ini saya mengajukan permohonan pendaftaran Penilai sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini saya sampaikan
data sebagai berikut:
A. Data Pemohon
1. Nama Lengkap
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
2. Alamat Tempat Tinggal
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(nama jalan & nomor)
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(kota & kode pos)
3. Nomor Telepon & Faksimile
4. Alamat e-mail
5. Kedudukan di KJPP
6. Nomor dan Tanggal Keanggotaan
FPPM-Masyarakat
Indonesia (MAPPI)
Profesi
Penilai
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
7. Nomor dan Tanggal Keanggotaan
MAPPI
8. Nomor dan Tanggal Izin Penilai dari
Menteri Keuangan
9. Sertifikat Pendidikan Profesi (minimal
30 SKP) di bidang Pasar Modal
a. Judul
b. Penyelenggara
c. Tanggal Penyelenggaraan
d. Jumlah SKP
10. Sertifikat Kelulusan Ujian Standar
Profesi di bidang Penilaian
a. Nama Ujian Standar Profesi
b. Penyelenggara
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Lembaga
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
c. Nomor Sertifikat
d. Tanggal Sertifikat
11. Ijazah Pendidikan Formal Terakhir
a. Sarjana / Jurusan
b. Universitas
c. Tanggal
12. Nomor Pokok Wajib Pajak Penilai
13. Nomor Kartu Tanda Penduduk
B. Data KJPP
1. Nama Kantor
2. Alamat Kantor
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(nama jalan & nomor)
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(kota & kode pos)
3. Nomor Telepon & Faksimile
4. Alamat website & e-mail
5. Nomor dan tanggal izin usaha dari
Menteri Keuangan
6. Susunan Penilai dalam KJPP
a. Nama Pemimpin Rekan
b. Nama Penilai yang telah terdaftar di
Bapepam dan LK
c. Nama Penilai yang belum terdaftar
di Bapepam dan LK
d. Jumlah karyawan dalam KJPP
1) Penilai
No. Nama
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: 1. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
: 2. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
: 3. dst.
: 1. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
: 2. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
: 3. dst.
Pendidikan
Terakhir
Kelulusan dalam Ujian
Standar Profesi
1. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
2. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
dst.
2) Non-penilai
No. Nama
Pendidikan Terakhir
1. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ...
2. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ...
dst.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
7. Daftar Riwayat Pekerjaan sebagai Penilai
No. Nama KJPP
Periode
Jabatan
1. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
2. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
dst.
8. Daftar Cabang KJPP
No. Nomor & Tanggal
Izin
Pembukaan Cabang KJPP dari
Menteri Keuangan
Alamat Cabang
KJPP
Nama Pemimpin
Cabang KJPP
1. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
2. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
dst.
9. Nomor Pokok Wajib Pajak KJPP
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
10. Kerjasama dengan Penilai dari KJPP lain yang telah terdaftar di Bapepam dan
LK dan memiliki ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama (jika
dipersyaratkan)
a. Nama Penilai
b. Nama KJPP
c. Nomor STTD
d. Jangka Waktu Kerjasama
b. Jangka waktu kerjasama
c. Nomor & Tanggal Surat Keterangan
dari Menteri Keuangan
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
11. Kerjasama/afiliasi dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing (jika ada)
a. Nama KJPP asing
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Melengkapi permohonan ini, saya lampirkan dokumen-dokumen sebagai
berikut:
A. Dokumen yang menyangkut Penilai:
1. Daftar riwayat hidup;
2. Fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku;
4. Pasfoto terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna sejumlah 2 (dua) lembar;
5. Fotokopi izin Penilai dari Menteri Keuangan;
6. Fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir yang telah dilegalisasi;
7. Fotokopi sertifikat Pendidikan Profesi di bidang Pasar Modal;
8. Fotokopi bukti keanggotaan dalam FPPM - MAPPI;
9. Surat rekomendasi dari FPPM- MAPPI yang menyatakan bahwa Penilai yang
bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh FPPM -
MAPPI dan layak dipertimbangkan untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal
sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang dimiliki;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
10. Fotokopi sertifikat kelulusan ujian standar profesi di bidang penilaian;
11. Surat pernyataan dengan meterai cukup yang menyatakan bahwa:
a. Penilai tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan;
b. Penilai bersedia melaporkan jika terdapat perubahan data dan informasi dari
Penilai yang bersangkutan; dan
c. Penilai tidak bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada KJPP lain dan/atau
Profesi Penunjang Pasar Modal lainnya yang terdaftar di Bapepam dan LK;
12. Surat pernyataan dengan materai cukup yang menyatakan bahwa dalam
melakukan penilaian, Penilai sanggup untuk:
a. menaati Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang disusun oleh MAPPI dan
standar penilaian lain yang berlaku secara internasional jika belum diatur
dalam SPI sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bapepam dan LK
yang berlaku;
b. menaati kode etik profesi yang disusun oleh MAPPI; dan
c. bersikap independen, obyektif, dan professional
13. Jawaban atas pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 (Daftar
Pertanyaan) dan lampiran 2 (Daftar A) formulir ini.
B. Dokumen yang menyangkut KJPP:
1. Fotokopi akta pendirian KJPP beserta perubahannya;
2. Fotokopi izin usaha dari Menteri Keuangan;
3. Fotokopi Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal dari pemimpin
rekan dari Bapepam dan LK;
4. Surat perjanjian dengan Penilai dari KJPP lain yang memiliki ruang lingkup
kegiatan penilaian yang sama tentang pengalihan tanggung jawab apabila
Penilai yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, dalam
hal KJPP yang bersangkutan tidak memiliki 2 (dua) Penilai dengan ruang
lingkup kegiatan penilaian yang sama;
5. Bagan organisasi KJPP yang menunjukkan:
a. susunan rekan, pengawas menengah, dan staf pelaksana, beserta nama yang
menduduki posisi tersebut; dan
b. bahwa dalam melakukan penilaian, Penilai menerapkan paling tidak 2 (dua)
jenjang pengendalian (supervisi) yaitu Penilai yang bertanggung jawab
menandatangani laporan, dan pengawas menengah yang melakukan
pengawasan terhadap staf pelaksana;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
6. Fotokopi izin pembukaan Cabang KJPP dari Menteri Keuangan, bagi KJPP yang
mempunyai cabang;
7. Fotokopi surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai pencantuman
nama KJPP asing atau organisasi penilai asing, apabila KJPP bekerja sama
dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing;
8. Dokumen perjanjian kerja sama dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing,
apabila KJPP bekerja sama dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing;
9. Dokumen pedoman pengendalian mutu;
10. Fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama KJPP;
11. Surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh pemimpin
rekan KJPP yang menyatakan bahwa:
a. pemimpin rekan KJPP bertanggung jawab atas pelaksanaan pedoman
pengendalian mutu yang berlaku pada KJPP yang bersangkutan;
b. KJPP bersedia untuk menjalani pemeriksaan Bapepam dan LK terhadap
pelaksanaan pekerjaan penilaian dan pengendalian mutu pada KJPP yang
bersangkutan;
c. KJPP bersedia untuk menjalani penelaahan (peer review) FPPM โ MAPPI
terhadap pelaksanaan pekerjaan penilaian dan pengendalian mutu pada
KJPP yang bersangkutan; dan
d. pemimpin rekan KJPP bertanggung jawab melaporkan kepada Bapepam dan
LK setiap perubahan yang berkenaan dengan data dan informasi dari KJPP.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa data dan informasi
yang saya sampaikan adalah benar adanya dan apabila terdapat kekeliruan di
kemudian hari, saya bersedia untuk bertanggung jawab.
Demikian permohonan ini saya ajukan dan atas perhatian Bapak / Ibu saya
ucapkan terima kasih.
Pemohon,
materai
...........................................
(Nama Lengkap)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Lampiran
DAFTAR PERTANYAAN
PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN DI BAWAH INI:
1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh Pemohon.
2. Berilah tanda ๏ dalam kotak di depan kata โyaโ, jika jawaban Saudara โYaโ, atau
berilah tanda ๏ dalam kotak di depan kata โTidakโ jika jawaban atas
pertanyaan berikut adalah โtidakโ.
Untuk setiap jawaban โYaโ, Pemohon wajib memberikan jawaban secara rinci dan
jelas dalam Daftar A yang antara lain memuat:
a. Lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan;
b. Kasus dan tanggal dari tindakan yang diambil;
c. Pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; dan
d. Tindakan dan sanksi yang diambil.
Jawablah pertanyaan berikut ini:
1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Pemohon pernah
dihukum karena:
a. tindak pidana yang berhubungan dengan investasi atau profesinya?
Ya
Tidak
b. atau kejahatan lain?
Ya
2. Apakah pengadilan:
a. pernah menyatakan Pemohon pailit?
Ya
Tidak
: 1
Formulir Nomor : VIII.C.1-1
Tidak
b. pernah menyatakan pailit atas perusahaan dimana pemohon berkedudukan
sebagai direksi/komisaris?
Ya
Tidak
c. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Pemohon dalam
kegiatan yang berhubungan dengan profesinya?
Ya
Tidak
d. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Pemohon dalam
kegiatan yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai direksi/komisaris?
Ya
Tidak
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
e. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha
perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut?
Ya
Tidak
3. Apakah Bapepam dan LK pernah:
a. menyatakan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai?
Ya
Tidak
b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal?
Ya
Tidak
c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha
perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ?
Ya
Tidak
d. memutuskan untuk menolak pendaftaran, membatalkan sementara,
membatalkan pendaftaran atau memberi sanksi lain yang membatasi Pemohon
dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya?
Ya
Tidak
4. Apakah instansi selain Pengadilan, Bapepam dan LK, atau Bursa Efek pernah:
a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak
jujur, tidak fair atau tidak etis?
Ya
Tidak
b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan di bidang
keuangan dan peraturan perundang-undangan lainnya?
Ya
Tidak
c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain
dibekukan, dibatasi, atau dicabut ?
Ya
Tidak
d. melarang atau membatasi Pemohon untuk melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan profesinya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
terakhir?
Ya
Tidak
e. menolak, membekukan atau mencabut pendaftaran atau izin usaha Pemohon?
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ya
Tidak
5. Apakah Bursa Efek pernah:
a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai
memberikan keterangan yang seharusnya diberikan?
Ya
Tidak
b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan Bursa
Efek?
Ya
Tidak
6. Apakah pengadilan negara lain pernah menyatakan bahwa Pemohon telah
bersalah karena adanya tuntutan tindak pidana atau gugatan perdata dalam
hubungannya dengan profesinya?
Ya
Tidak
7. Apakah Pemohon pada saat ini termasuk pihak yang berperkara di
pengadilan?
Ya
Tidak
8. Apakah Pemohon mempunyai komitmen, ikatan tertentu, atau kewajiban bersyarat
terhadap pihak ketiga yang perkaranya sedang diproses atau telah memperoleh
keputusan dari Pengadilan?
Ya
Tidak
9. Apakah Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) pernah memberi teguran,
baik lisan maupun tertulis, kepada Pemohon?
Ya
Tidak
10. Apakah Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) pernah mendapatkan atau
membuktikan bahwa Pemohon melakukan pelanggaran terhadap Standar Penilaian
Indonesia (SPI) dan Kode Etik Penilai Indonesia?
Ya
Tidak
โฆโฆโฆโฆโฆ , โฆโฆโฆโฆโฆ.. 20โฆโฆ
Pemohon,
materai
...........................................
(Nama Lengkap)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Lampiran
DAFTAR A
Penjelasan atas semua jawaban "Ya" dari lampiran 1 Formulir Nomor: VIII.C.1-1
Nomor Pertanyaan
Penjelasan
: 2
Formulir Nomor: VIII.C.1-1
Catatan
: Lampiran 2 ini harus tetap disertakan Pemohon walaupun tidak
terdapat jawaban โYaโ atas semua pertanyaan dari Lampiran 1
Formulir Nomor: VIII.C.1-1.
โฆโฆโฆโฆโฆ , โฆโฆโฆโฆโฆ.. 20โฆโฆ
Pemohon,
materai
...........................................
(Nama Lengkap)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-2
Nomor
: .โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Lampiran : โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Perihal
: Penambahan Ruang Lingkup
Kegiatan Penilai sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal
(Penilai Properti dan Usaha)
: 2
Peraturan Nomor : VIII.C.1
โฆโฆโฆโฆโฆโฆ , โฆโฆโฆโฆโฆ. 20โฆโฆ..
KEPADA
Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal
dan
Keuangan
u.p. Kepala
di
Biro
Standar
Akuntansi dan Keterbukaan
Jakarta
Dengan ini saya mengajukan permohonan pendaftaran dalam rangka
penambahan ruang lingkup kegiatan penilaian. Sebagai bahan pertimbangan, bersama
ini saya sampaikan data sebagai berikut:
A. Data Pemohon
1. Nama Lengkap
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
2. Alamat Tempat Tinggal
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(nama jalan & nomor)
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(kota & kode pos)
3. Nomor Telepon & Faksimile
4. Alamat e-mail
5. Kedudukan di KJPP
6. Nomor & Tanggal STTD yang dimiliki
saat ini
7. Nomor dan Tanggal Keanggotaan
FPPM-Masyarakat
Indonesia (MAPPI)
Profesi
Penilai
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
8. Nomor dan Tanggal Keanggotaan
MAPPI
9. Nomor dan Tanggal Izin Penilai dari
Menteri Keuangan
10. Sertifikat Pendidikan Profesi (minimal
30 SKP) di bidang Pasar Modal
a. Judul
b. Penyelenggara
c. Tanggal Penyelenggaraan
d. Jumlah SKP
11. Sertifikat Kelulusan Ujian Standar
Profesi di bidang Penilaian
a. Nama Ujian Standar Profesi
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Lembaga
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
b. Penyelenggara
c. Nomor Sertifikat
d. Tanggal Sertifikat
12. Ijazah Pendidikan Formal Terakhir
a. Sarjana / Jurusan
b. Universitas
c. Tanggal
13. Nomor Pokok Wajib Pajak Penilai
14. Nomor Kartu Tanda Penduduk
B. Data KJPP
1. Nama Kantor
2. Alamat Kantor
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(nama jalan & nomor)
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(kota & kode pos)
3. Nomor Telepon & Faksimile
4. Alamat website & e-mail
5. Nomor dan tanggal izin usaha dari
Menteri Keuangan
6. Susunan Penilai dalam KJPP
a. Nama Pemimpin Rekan
b. Nama Penilai yang telah terdaftar di
Bapepam dan LK
c. Nama Penilai yang belum terdaftar
di Bapepam dan LK
d. Jumlah karyawan dalam KJPP
1) Penilai
No. Nama
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: 1. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
: 2. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
: 3. dst.
: 1. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
: 2. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
: 3. dst.
Pendidikan
Terakhir
Kelulusan dalam Ujian
Standar Profesi
1. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
2. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
dst.
2) Non-penilai
No. Nama
Pendidikan Terakhir
1. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ...
2. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ...
dst.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
7. Daftar Riwayat Pekerjaan sebagai Penilai
No. Nama KJPP
Periode
Jabatan
1. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
2. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
dst.
8. Daftar Cabang KJPP
No. Nomor & Tanggal
Izin
Pembukaan Cabang KJPP dari
Menteri Keuangan
Alamat Cabang
KJPP
Nama Pemimpin
Cabang KJPP
1. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
2. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
dst.
9. Nomor Pokok Wajib Pajak KJPP
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
10. Kerjasama dengan Penilai dari KJPP lain yang telah terdaftar di Bapepam dan
LK dan memiliki ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama (jika
dipersyaratkan)
a. Nama Penilai
b. Nama KJPP
c. Nomor STTD
d. Jangka Waktu Kerjasama
b. Jangka waktu kerjasama
c. Nomor & Tanggal Surat Keterangan
dari Menteri Keuangan
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
11. Kerjasama/afiliasi dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing (jika ada)
a. Nama KJPP asing
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Melengkapi permohonan ini, saya lampirkan dokumen-dokumen sebagai
berikut:
A. Dokumen yang menyangkut Penilai:
1. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal yang dimiliki sebelumnya;
2. Fotokopi izin Penilai dari Menteri Keuangan;
3. Daftar riwayat hidup;
4. Surat rekomendasi dari FPPM - MAPPI yang menyatakan bahwa Penilai yang
bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh FPPM -
MAPPI dan layak dipertimbangkan untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal
sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang dimiliki;
5. Fotokopi sertifikat kelulusan ujian standar profesi di bidang penilaian;
6. Jawaban atas pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 (Daftar Pertanyaan) dan
lampiran 2 (Daftar A) formulir ini.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
B. Dokumen yang menyangkut KJPP:
1. Surat perjanjian dengan Penilai dari KJPP lain yang memiliki ruang lingkup
kegiatan penilaian yang sama tentang pengalihan tanggung jawab apabila
Penilai yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, dalam
hal KJPP yang bersangkutan tidak memiliki 2 (dua) Penilai dengan ruang
lingkup kegiatan penilaian yang sama;
2. Dokumen pedoman pengendalian mutu.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa data dan informasi
yang saya sampaikan adalah benar adanya dan apabila terdapat kekeliruan di
kemudian hari, saya bersedia untuk bertanggung jawab.
Demikian permohonan ini saya ajukan dan atas perhatian Bapak / Ibu saya
ucapkan terima kasih.
Pemohon,
materai
...........................................
(Nama Lengkap)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Lampiran
DAFTAR PERTANYAAN
PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN DI BAWAH INI:
1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh Pemohon.
2. Berilah tanda ๏ dalam kotak di depan kata โyaโ, jika jawaban Saudara โYaโ, atau
berilah tanda ๏ dalam kotak di depan kata โTidakโ jika jawaban atas
pertanyaan berikut adalah โtidakโ.
Untuk setiap jawaban โYaโ, Pemohon wajib memberikan jawaban secara rinci dan
jelas dalam Daftar A yang antara lain memuat:
a. Lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan;
b. Kasus dan tanggal dari tindakan yang diambil;
c. Pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; dan
d. Tindakan dan sanksi yang diambil.
Jawablah pertanyaan berikut ini:
1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Pemohon pernah
dihukum karena:
a. tindak pidana yang berhubungan dengan investasi atau profesinya?
Ya
Tidak
b. atau kejahatan lain?
Ya
2. Apakah pengadilan:
a. pernah menyatakan Pemohon pailit?
Ya
Tidak
: 1
Formulir Nomor : VIII.C.1-2
Tidak
b. pernah menyatakan pailit atas perusahaan dimana pemohon berkedudukan
sebagai direksi/komisaris?
Ya
Tidak
c. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Pemohon dalam
kegiatan yang berhubungan dengan profesinya?
Ya
Tidak
d. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Pemohon dalam
kegiatan yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai direksi/komisaris?
Ya
Tidak
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
e. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha
perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut?
Ya
Tidak
3. Apakah Bapepam dan LK pernah:
a. menyatakan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai?
Ya
Tidak
b. Mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal?
Ya
Tidak
c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha
perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ?
Ya
Tidak
d. memutuskan untuk menolak pendaftaran, membatalkan sementara,
membatalkan pendaftaran atau memberi sanksi lain yang membatasi Pemohon
dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya?
Ya
Tidak
4. Apakah instansi selain Pengadilan, Bapepam dan LK, atau Bursa Efek pernah:
a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak
jujur, tidak fair atau tidak etis?
Ya
Tidak
b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan di bidang
keuangan dan peraturan perundang-undangan lainnya?
Ya
Tidak
c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain
dibekukan, dibatasi, atau dicabut ?
Ya
Tidak
d. melarang atau membatasi Pemohon untuk melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan profesinya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
terakhir?
Ya
Tidak
e. menolak, membekukan atau mencabut pendaftaran atau izin usaha Pemohon?
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ya
Tidak
5. Apakah Bursa Efek pernah:
a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai
memberikan keterangan yang seharusnya diberikan?
Ya
Tidak
b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan Bursa
Efek?
Ya
Tidak
6. Apakah pengadilan negara lain pernah menyatakan bahwa Pemohon telah
bersalah karena adanya tuntutan tindak pidana atau gugatan perdata dalam
hubungannya dengan profesinya?
Ya
Tidak
7. Apakah Pemohon pada saat ini termasuk pihak yang berperkara di
pengadilan?
Ya
Tidak
8. Apakah Pemohon mempunyai komitmen, ikatan tertentu, atau kewajiban bersyarat
terhadap pihak ketiga yang perkaranya sedang diproses atau telah memperoleh
keputusan dari Pengadilan?
Ya
Tidak
9. Apakah Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) pernah memberi teguran,
baik lisan maupun tertulis, kepada Pemohon?
Ya
Tidak
10. Apakah Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) pernah mendapatkan atau
membuktikan bahwa Pemohon melakukan pelanggaran terhadap Standar Penilaian
Indonesia (SPI) dan Kode Etik Penilai Indonesia?
Ya
Tidak
โฆโฆโฆโฆโฆ , โฆโฆโฆโฆโฆ.. 20โฆโฆ
Pemohon,
materai
...........................................
(Nama Lengkap)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Lampiran
DAFTAR A
Penjelasan atas semua jawaban "Ya" dari lampiran 1 Formulir Nomor: VIII.C.1-2
Nomor Pertanyaan
Penjelasan
: 2
Formulir Nomor: VIII.C.1-2
Catatan
: Lampiran 2 ini harus tetap disertakan Pemohon walaupun tidak
terdapat jawaban โYaโ atas semua pertanyaan dari Lampiran 1
Formulir Nomor: VIII.C.1-2.
โฆโฆโฆโฆโฆ , โฆโฆโฆโฆโฆ.. 20โฆโฆ
Pemohon,
materai
...........................................
(Nama Lengkap)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-3
Nomor
: .โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Lampiran : โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Perihal
: Pemberitahuan Kekurangan Data
/Dokumen
Pendaftaran/
Penambahan Ruang Lingkup
Kegiatan Penilai Sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal
: 3
Peraturan Nomor : VIII.C.1
โฆโฆโฆโฆโฆโฆ , โฆโฆโฆโฆโฆ. 20โฆโฆ..
KEPADA
Yth. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
di โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ..........................................
perihal ..................................., dengan ini diberitahukan bahwa terkait dengan
permohonan Saudara masih terdapat kekurangan data sebagai berikut :
1. .......................................................................................................................
2. .......................................................................................................................
3. dst.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa
permohonan Saudara untuk terdaftar sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal belum
dapat dipertimbangkan. Selanjutnya permohonan Saudara akan dipertimbangkan
setelah Saudara memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut di atas.
Demikian agar Saudara maklum.
Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
Ketua,
โฆโฆโฆ.............................................
NIP โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
Tembusan Yth:
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-4
Nomor
: .โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Lampiran : โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Perihal
: Penolakan
Permohonan
Pendaftaran/Penambahan Ruang
Lingkup Kegiatan Penilai Sebagai
Profesi Penunjang Pasar Modal
: 4
Peraturan Nomor : VIII.C.1
โฆโฆโฆโฆโฆโฆ , โฆโฆโฆโฆโฆ. 20โฆโฆ..
KEPADA
Yth. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
di โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ..........................................
perihal ..................................., setelah meneliti permohonan Saudara, dengan ini
diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. .......................................................................................................................
2. .......................................................................................................................
3. dst.
Demikian agar Saudara maklum.
Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
Ketua,
โฆโฆโฆ.............................................
NIP โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
Tembusan Yth:
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-5
SURAT TANDA TERDAFTAR
PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL
Nomor : โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal diberikan kepada:
........................................................
Nomor Izin: ..................
sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Penilai Properti) dengan segala hak dan
kewajiban yang melekat kepadanya sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun
1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004, dan Peraturan Bapepam dan LK
Nomor: VIII.C.1 tentang Pendaftaran Penilai yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal.
Surat Tanda Terdaftar ini diberikan kepada Saudara untuk melakukan kegiatan
penilaian dalam ruang lingkup Penilaian Properti dan Saudara tidak dapat melakukan
kegiatan penilaian di luar ruang lingkup yang telah ditetapkan.
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dan apabila terdapat kekeliruan terhadap Surat ini, maka Ketua Bapepam
dan LK dapat meninjau kembali.
โฆโฆโฆโฆ.. , โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ 20โฆโฆ
Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
Ketua,
: 5
Peraturan Nomor : VIII.C.1
โฆโฆโฆ.............................................
NIP โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
Tembusan Yth:
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-6
SURAT TANDA TERDAFTAR
PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL
Nomor : โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal diberikan kepada:
........................................................
Nomor Izin: ..................
sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Penilai Usaha) dengan segala hak dan
kewajiban yang melekat kepadanya sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun
1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004, dan Peraturan Bapepam dan LK
Nomor: VIII.C.1 tentang Pendaftaran Penilai yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal.
Surat Tanda Terdaftar ini diberikan kepada Saudara untuk melakukan kegiatan
penilaian dalam ruang lingkup Penilaian Usaha dan Saudara tidak dapat melakukan
kegiatan penilaian di luar ruang lingkup yang telah ditetapkan.
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dan apabila terdapat kekeliruan terhadap Surat ini, maka Ketua Bapepam
dan LK dapat meninjau kembali.
โฆโฆโฆโฆ.. , โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ 20โฆโฆ
Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
Ketua,
: 6
Peraturan Nomor : VIII.C.1
โฆโฆโฆ.............................................
NIP โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
Tembusan Yth:
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-7
SURAT TANDA TERDAFTAR
PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL
Nomor : โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal diberikan kepada:
........................................................
Nomor Izin: ..................
sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Penilai Properti dan Usaha) dengan segala hak
dan kewajiban yang melekat kepadanya sesuai dengan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal sebagaimana
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004, dan Peraturan Bapepam
dan LK Nomor: VIII.C.1 tentang Pendaftaran Penilai yang Melakukan Kegiatan di Pasar
Modal.
Surat Tanda Terdaftar ini diberikan kepada Saudara untuk melakukan kegiatan
penilaian dalam ruang lingkup Penilaian Properti dan Penilaian Usaha dan Saudara
tidak dapat melakukan kegiatan penilaian di luar ruang lingkup yang telah ditetapkan.
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dan apabila terdapat kekeliruan terhadap Surat ini, maka Ketua Bapepam
dan LK dapat meninjau kembali.
โฆโฆโฆโฆ.. , โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ 20โฆโฆ
Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
Ketua,
: 7
Peraturan Nomor : VIII.C.1
โฆโฆโฆ.............................................
NIP โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
Tembusan Yth:
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-8
Nomor
: .โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Lampiran : โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Perihal
: Pemberitahuan
Sementara STTD
Pembekuan
: 8
Peraturan Nomor : VIII.C.1
โฆโฆโฆโฆโฆโฆ , โฆโฆโฆโฆโฆ. 20โฆโฆ..
KEPADA
Yth. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
di โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ..........................................
perihal ..................................., dengan ini diberitahukan bahwa bahwa Surat Tanda
Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal (STTD) atas nama Saudara dengan
Nomor:โฆโฆโฆโฆ. dinyatakan tidak berlaku sampai dengan Saudara memberitahukan
akan aktif kembali melakukan kegiatan di Pasar Modal dengan memenuhi ketentuan
pada angka 16 huruf d Peraturan Nomor VIII.C.1 tentang Pendaftaran Penilai yang
Melakukan Kegiatan di Pasar Modal.
Demikian agar Saudara maklum.
Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
Ketua,
โฆโฆโฆ.............................................
NIP โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
Tembusan Yth:
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-9
Nomor
: .โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Lampiran : โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Perihal
: Pemberitahuan
Kembali STTD
Pemberlakuan
: 9
Peraturan Nomor : VIII.C.1
โฆโฆโฆโฆโฆโฆ , โฆโฆโฆโฆโฆ. 20โฆโฆ..
KEPADA
Yth. โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
di โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ..........................................
perihal ..................................., setelah meneliti surat permohonan Saudara, dengan ini
diberitahukan bahwa Saudara telah memenuhi ketentuan pada angka 16 huruf d
Peraturan Nomor VIII.C.1 tentang Pendaftaran Penilai yang Melakukan Kegiatan di
Pasar Modal dan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal (STTD) atas
nama Saudara dengan Nomor:โฆโฆโฆโฆ. dinyatakan berlaku kembali.
Demikian agar Saudara maklum.
Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
Ketua,
โฆโฆโฆ.............................................
NIP โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
Tembusan Yth:
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-372/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> PENDAFTARAN PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 9 Juli 2012 </set_date>
<effective_date> 9 Juli 2012 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-42/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '125/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-208/BL/2012
TENTANG
KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan
perkembangan industri keuangan syariah saat ini serta
untuk mendorong perkembangan industri Pasar Modal
syariah di Indonesia, maka dipandang perlu untuk
menyempurnakan Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Kep-180/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang
Peraturan Nomor II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan
Daftar Efek Syariah, dengan menetapkan Keputusan
Ketua Bapepam dan LK yang baru;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995
tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
20/M Tahun 2011;
Memperhatikan : Surat Dewan Syariah Nasional โ Majelis Ulama
Indonesia
(DSN-MUI)
Nomor:
B-370/DSN-
MUI/X/2011 tanggal 20 Oktober 2011 perihal
Penjelasan DSN-MUI atas penggunaan Total Asset
sebagai Pengganti Total Ekuitas dalam Kriteria Rasio
Keuangan Saham Syariah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK
SYARIAH.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 1
Ketentuan mengenai kriteria dan penerbitan daftar efek
syariah diatur dalam Peraturan Nomor
II.K.1
sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan
Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-180/BL/2009
tanggal 30 Juni 2009 tentang Kriteria dan Penerbitan
Daftar Efek Syariah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
: Jakarta
pada tanggal
: 24 April 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-208/BL/2012
Tanggal : 24 April 2012
PERATURAN NOMOR II.K.1
: KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK
SYARIAH
1. KETENTUAN UMUM
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Daftar Efek Syariah adalah kumpulan Efek yang tidak bertentangan dengan
Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal, yang ditetapkan oleh Bapepam dan LK
atau diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah.
b. Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah adalah Pihak yang telah mendapatkan
persetujuan dari Bapepam dan LK untuk menerbitkan Daftar Efek Syariah.
2. DAFTAR EFEK SYARIAH YANG DITERBITKAN OLEH BAPEPAM DAN LK
a. Efek yang dapat dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang ditetapkan oleh
Bapepam dan LK meliputi:
1) Efek berupa saham termasuk Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
(HMETD) syariah dan Waran syariah yang diterbitkan oleh Emiten atau
Perusahaan Publik yang menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara
pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip
sebagaimana tertuang dalam anggaran dasar;
syariah
2) Efek berupa saham termasuk Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
(HMETD) syariah dan Waran syariah yang diterbitkan oleh Emiten atau
Perusahaan Publik yang tidak menyatakan bahwa kegiatan usaha serta
cara pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip syariah,
sepanjang Emiten atau Perusahaan Publik tersebut:
a)
tidak melakukan kegiatan usaha sebagai berikut:
(1) perjudian dan permainan yang tergolong judi;
(2) perdagangan yang dilarang menurut syariah, antara lain:
(a) perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan
barang/jasa;
(b) perdagangan dengan penawaran/permintaan palsu;
(3) jasa keuangan ribawi, antara lain:
(a) bank berbasis bunga;
(b) perusahaan pembiayaan berbasis bunga;
(4) jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar)
dan/atau judi (maisir), antara lain asuransi konvensional;
(5) memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan/atau
menyediakan antara lain:
(a) barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi);
(b) barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li-
ghairihi) yang ditetapkan oleh DSN-MUI;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-208/BL/2012
Tanggal : 24 April 2012
-2-
(c) barang atau jasa yang merusak moral dan/atau bersifat
mudarat;
(6) melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah);
dan
b) memenuhi rasio-rasio keuangan sebagai berikut:
(1) total utang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset
tidak lebih dari 45% (empat puluh lima per seratus); atau
(2) total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya
dibandingkan dengan total pendapatan usaha (revenue) dan
pendapatan lain-lain tidak lebih dari 10% (sepuluh per seratus);
dan
3) Efek Syariah lainnya.
b. Daftar Efek Syariah akan diterbitkan secara periodik 2 (dua) kali setiap tahun,
yaitu paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum berakhirnya bulan Mei dan
bulan November.
c. Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam huruf b berlaku efektif pada
setiap tanggal 1 Juni dan 1 Desember.
d. Bapepam dan LK dapat menambahkan dan/atau mengurangkan Efek yang
dimuat dalam Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
3. DAFTAR EFEK SYARIAH YANG DITERBITKAN OLEH PIHAK PENERBIT
DAFTAR EFEK SYARIAH
a. Efek yang dapat dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak
Penerbit Daftar Efek Syariah meliputi:
1) saham dan/atau Sukuk yang memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar
Modal yang diperdagangkan di bursa efek di luar negeri; dan/atau
2)
surat berharga komersial syariah (sharia commercial paper) yang memenuhi
Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal dan sudah mendapat peringkat
dari perusahaan pemeringkat Efek.
b. Efek berupa saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1) dapat
dimuat dalam DES sepanjang:
1) termasuk efek syariah yang ditetapkan oleh regulator dan/atau penyedia
indeks di luar negeri yang menggunakan kriteria kegiatan usaha dan rasio
keuangan yang paling kurang terdiri dari rasio terkait utang dan/atau
utang berbasis bunga dan rasio terkait pendapatan non halal; atau
2) disusun dengan menggunakan kriteria sebagaimana dimaksud angka 2
huruf a.
c. Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib mencantumkan sumber data atas efek
yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diperdagangkan di bursa efek di
luar negeri.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-208/BL/2012
Tanggal : 24 April 2012
-3-
4. PIHAK PENERBIT DAFTAR EFEK SYARIAH
a. Pihak yang akan menjadi Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib mengajukan
permohonan kepada Bapepam dan LK untuk mendapatkan persetujuan
dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) berbentuk badan hukum yang berkedudukan di Indonesia;
2) memiliki sumber daya manusia yang berkompeten di bidang syariah yang
berasal dari dalam perusahaan atau dari luar perusahaan;
3) memiliki standar prosedur operasi penyusunan Daftar Efek Syariah yang
paling kurang meliputi:
a)
b) prosedur penelaahan, baik periodik maupun insidentil;
c)
tujuan penerbitan Daftar Efek Syariah;
d) prosedur pemantauan Daftar Efek Syariah; dan
e)
prosedur perubahan Daftar Efek Syariah.
4) bersedia menjalani reviu yang dilakukan oleh Bapepam dan LK.
b. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan dalam rangkap 2
(dua) dengan menggunakan Formulir II.K.1-1 lampiran 1 dan wajib disertai
dengan dokumen-dokumen sebagai berikut:
1) Dokumen yang menyangkut pemohon:
a)
fotokopi akta pendirian beserta akta perubahannya;
b) fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama pemohon;
c)
daftar sumber daya manusia yang berkompeten di bidang syariah
beserta daftar riwayat hidupnya;
d) dalam hal sumber daya manusia yang berkompeten di bidang
syariah berasal dari luar pemohon, maka wajib dilengkapi dengan
surat penunjukan dari direksi pemohon;
e)
f)
fotokopi dokumen standar prosedur operasi penyusunan Daftar
Efek Syariah; dan
surat pernyataan direksi yang menyatakan bahwa pemohon bersedia
menjalani reviu Bapepam dan LK.
2) Dokumen yang menyangkut prosedur dan tata cara penetapan Efek yang
masuk dalam Daftar Efek Syariah:
a) nama dan jenis Efek yang akan dimuat dalam Daftar Efek Syariah;
dan
b) dokumen kertas kerja penelaahan Efek yang dimuat dalam Daftar
Efek Syariah yang wajib memuat kriteria yang digunakan dalam
penelaahan termasuk tetapi tidak terbatas pada akad dan skema atau
struktur masing-masing Sukuk atau Efek Syariah lainnya yang
dimasukkan dalam Daftar Efek Syariah.
prosedur pengumpulan data termasuk mekanisme permintaan
informasi tambahan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-208/BL/2012
Tanggal : 24 April 2012
-4-
c. Bapepam dan LK dapat meminta tambahan dokumen dan/atau informasi
berkaitan dengan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
d. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak
memenuhi syarat, maka dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh
lima) hari sejak diterimanya permohonan tersebut, Bapepam dan LK
memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa:
1) permohonan tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor II.K.1-
2 lampiran 2; atau
2) permohonan ditolak dengan menggunakan Formulir Nomor II.K.1-3
lampiran 3.
e. Pihak sebagaimana dimaksud huruf a yang tidak melengkapi kekurangan
dokumen dan/atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud huruf c angka
1) dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal surat pemberitahuan
Bapepam dan LK, dianggap telah mengundurkan diri.
f. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a memenuhi
persyaratan, maka dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima)
hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap, Bapepam dan LK
memberikan surat persetujuan kepada pemohon dengan menggunakan
Formulir Nomor II.K.1-4 lampiran 4.
g. Setiap Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah dapat mengumumkan Daftar Efek
Syariah yang diterbitkan atau menggunakannya secara terbatas untuk
kepentingan Pihak tertentu.
h. Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah mengumumkan Daftar Efek
Syariah kepada masyarakat, maka Pihak tersebut wajib melaporkan kepada
Bapepam dan LK serta wajib mengumumkan setiap perubahan Daftar Efek
Syariah yang diterbitkannya dalam paling sedikit satu surat kabar harian
berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional paling lambat akhir hari kerja
ke-2 (kedua) setelah terjadinya perubahan Daftar Efek Syariah dimaksud.
i. Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah menerbitkan Daftar Efek Syariah
secara terbatas untuk kepentingan Pihak tertentu, maka penerbit Daftar Efek
Syariah wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK dan memberitahukan
kepada Pihak tertentu tersebut atas setiap perubahan Daftar Efek Syariah yang
diterbitkan pada hari yang sama dengan terjadinya perubahan tersebut.
j. Setiap Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib melaporkan Daftar Efek
Syariah yang diterbitkannya kepada Bapepam dan LK setelah pelaporan
terakhir sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau huruf i per tanggal 31 Mei
dan 30 November dan disampaikan paling lambat setiap tanggal 5 bulan
berikutnya.
k. Dalam hal tanggal 5 bulan berikutnya jatuh pada hari libur, maka laporan
wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya.
l. Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah terlambat menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf k, maka penghitungan jumlah
hari keterlambatan tersebut dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir
waktu penyampaian laporan penerbitan Daftar Efek Syariah sebagaimana
dimaksud dalam huruf j.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-208/BL/2012
Tanggal : 24 April 2012
-5-
m. Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib menyimpan seluruh dokumen yang
terkait dengan Efek dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkannya untuk
jangka waktu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
tentang dokumen perusahaan.
5. KETENTUAN PENUTUP
a. Setiap Pihak yang menerbitkan indeks Efek Syariah atau menyusun daftar
portofolio investasi Efek Syariah wajib menggunakan Daftar Efek Syariah yang
disusun sesuai dengan ketentuan Peraturan ini.
b. Bapepam dan LK berwenang:
1) mencabut persetujuan yang telah diberikan kepada Pihak Penerbit Daftar
Efek Syariah, jika dikemudian hari ditemukan pelanggaran; dan/atau
2) memerintahkan kepada Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah untuk
mengeluarkan Efek yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam angka 3 huruf a dan huruf b dari Daftar Efek Syariah yang
diterbitkannya.
c. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam
dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar
ketentuan peraturan ini atau Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
ketentuan peraturan ini.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 24 April 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
FORMULIR NOMOR: II.K.1-1
LAMPIRAN: 1
Peraturan Nomor: II.K.1
Nomor
Lampiran
Perihal
:
:
Jakarta,โฆโฆโฆโฆ.โฆ.20โฆ
: Permohonan Persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
di โ
.โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Dengan ini kami mengajukan permohonan persetujuan sebagai Pihak Penerbit
Daftar Efek Syariah. Untuk bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan data
sebagai berikut :
1. Nama pemohon
2. Alamat pemohon
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
(Nama Jalan & Nomor)
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
(Kota & Kode Pos)
3. Nomor Telepon, Faksimile,
dan Email
4. Nomor dan tanggal
pengesahan Anggaran Dasar
oleh Kementerian Hukum
Dan Hak Asasi Manusia
5. Nomor Pokok Wajib Pajak
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Melengkapi permohonan ini, kami lampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. Fotokopi akta pendirian beserta akta perubahannya;
2. Fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama pemohon;
3. Daftar sumber daya manusia yang berkompeten di bidang syariah beserta daftar riwayat
hidupnya;
4. Surat penunjukan dari direksi pemohon kepada sumber daya manusia yang
berkompeten di bidang syariah;*)
5. Fotokopi dokumen standar prosedur operasi penyusunan Daftar Efek Syariah;
6. Surat pernyataan direksi yang menyatakan bahwa pemohon bersedia menjalani reviu
Bapepam dan LK;
7. Nama dan jenis Efek yang akan dimuat dalam Daftar Efek Syariah; dan
8. Dokumen kertas kerja penelaahan Efek yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang
memuat kriteria yang digunakan dalam penelaahan termasuk tetapi tidak terbatas pada
akad dan skema atau struktur masing-masing Sukuk atau Efek Syariah lainnya yang
dimasukkan dalam Daftar Efek Syariah
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Demikianlah permohonan ini kami ajukan dan atas perhatiannya kami ucapkan terima
kasih.
Pemohon,
materai
โฆ..โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
(Nama Lengkap)
Catatan:
*) Jika sumber daya manusia yang berkompeten berasal dari luar perusahaan pemohon.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR: II.K.1-2
Nomor
Lampiran
Perihal
: .../BL/20...
:
: Perubahan dan atau tambahan
informasi atas Permohonan
Persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar
Efek Syariah
Kepada
Yth ...............................................
di-
......................................................
Setelah diadakan penelaahan atas dokumen yang Saudara sampaikan melalui surat
Nomorโฆ.........tanggalโฆโฆโฆ...perihalโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ., maka Saudara diminta untuk
menyampaikan perubahan dan atau tambahan informasi yang bersangkutan kepada Bapepam
dan LK sebagai berikut:
1. Perubahan yang perlu dilaksanakan adalah:
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
2. Tambahan informasi yang wajib disampaikan adalah:
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Sebelum hal tersebut diatas dipenuhi, permohonan Saudara untuk
memperoleh persetujuan belum dapat dipertimbangkan.
Demikian agar Saudara maklum.
Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
Ketua,
LAMPIRAN: 2
Peraturan Nomor: II.K.1
Jakarta,โฆโฆโฆโฆโฆ..20โฆ
NIP ........................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sekretaris Bapepam dan LK;
2. Kepala Biro Pengelolaan Investasi, Bapepam dan LK; dan
3. Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan, Bapepam dan LK.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR: II.K.1-3
LAMPIRAN: 3
Peraturan Nomor: II.K.1
Nomor
Lampiran
Perihal
: โฆ../BL/20...
:
: Penolakan Atas Permohonan
Persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar
Efek Syariah
Kepada
Yth ...............................................
di-
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Setelah diadakan penelaahan atas dokumen yang Saudara sampaikan melalui surat
Nomorโฆโฆโฆโฆ.tanggalโฆโฆโฆโฆ.perihalโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ., maka dengan ini
diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak dengan pertimbangan sebagai berikut:
1.
2.
3.
................................................................................................................................................................................
................................................................................................................................................................................
................................................................................................................................................................................
Demikian agar Saudara maklum.
Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
Ketua,
Jakarta,โฆโฆโฆโฆโฆ..20โฆ.
NIP........................
Tembusan Kepada Yth :
1. Sekretaris Bapepam dan LK;
2. Kepala Biro Pengelolaan Investasi, Bapepam dan LK; dan
3. Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan, Bapepam dan LK.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR: II.K.1-4
LAMPIRAN: 4
Peraturan Nomor: II.K.1
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR : KEP- .../BL/20..
TENTANG
PERSETUJUAN SEBAGAI PIHAK PENERBIT DAFTAR EFEK SYARIAH
KEPADA PT........................................................................................
(NPWP :.............................. .)
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Membaca
: Surat permohonan memperoleh persetujuan sebagai Pihak
Penerbit Daftar Efek Syariah Nomor tanggal serta tambahan
kelengkapan dokumen terakhir yang telah disampaikan dengan
surat Nomor tanggal
Menimbang
Memperhatikan
: bahwa permohonan Saudara telah memenuhi persyaratan dan
atas dasar itu dapat dipertimbangkan untuk diberikan
persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah.
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomorโฆ..;
2. Peraturan Nomor IX.A.13 Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-
... ./BL/20... tanggal tentang Penerbitan Efek Syariah;
3. Peraturan Nomor II.K.1 Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-
.../BL/20.... tanggal .... tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar
Efek Syariah.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
PEMBERIAN PERSETUJUAN SEBAGAI PIHAK PENERBIT
DAFTAR EFEK SYARIAH KEPADA PTโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Pasal 1
Memberikan persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek
Syariah kepada PT โฆโฆโฆโฆ dengan alamat kantor
pusatโฆโฆโฆ..
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 3
Apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan
ini, dapat diadakan perubahan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal
:
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
NIPโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada:
1. Sekretaris Bapepam dan LK;
2. Kepala Biro Pengelolaan Investasi, Bapepam dan LK;
3. Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan, Bapepam dan LK;
4. Asosiasi Manajer Investasi (AMI);
5. Asosiasi Bank Kustodian Indonesia (ABKI); dan
6. Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI).
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-208/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH </reg_title>
<set_date> 24 April 2012 </set_date>
<effective_date> 24 April 2012 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-180/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-263/BL/2011
TENTANG
PENAWARAN TENDER SUKARELA
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas dan
efisiensi proses pelaksanaan penawaran tender yang
dilakukan secara sukarela, dipandang perlu untuk
menyempurnakan Peraturan Nomor IX.F.1, Lampiran
Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-04/PM/2002
tanggal 3 April 2002 tentang Penawaran Tender dengan
menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995
tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
20/M Tahun 2011;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
PENAWARAN TENDER SUKARELA.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 1
Ketentuan mengenai penawaran tender sukarela diatur
dalam Peraturan Nomor IX.F.1 sebagaimana dimuat
dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Pernyataan Penawaran Tender Sukarela yang telah
disampaikan kepada Bapepam dan LK sebelum
ditetapkan Keputusan ini dan belum menjadi efektif,
wajib memenuhi Peraturan Nomor IX.F.1 sebagaimana
dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 3
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan
Ketua Bapepam Nomor Kep-04/PM/2002 tanggal 3
April 2002 tentang Penawaran Tender dan Keputusan
Ketua Bapepam Nomor Kep-85/PM/1996 tanggal 24
Januari 1996 tentang Pedoman Tentang Bentuk Dan Isi
Pernyataan Penawaran Tender, dan Pedoman Tentang
Bentuk dan Isi Pernyataan Perusahaan Sasaran dan
Pihak Lainnya Sehubungan dengan Penawaran Tender,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 31 Mei 2011.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 31 Mei 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
DRAFT 11 MARET 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-1-
: Kep-263/BL/2011
: 31 Mei 2011
PERATURAN NOMOR IX.F.1 : PENAWARAN TENDER SUKARELA
1. KETENTUAN UMUM
a. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan:
1) Efek Bersifat Ekuitas adalah saham atau Efek yang dapat ditukar
dengan saham atau Efek yang mengandung hak untuk memperoleh
saham.
2) Media Massa adalah surat kabar, majalah, film, televisi, radio, dan
media elektronik lainnya, atau surat, brosur, dan barang cetak lain
yang dibagikan kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak.
3) Penawaran Tender Sukarela adalah penawaran yang dilakukan secara
sukarela oleh Pihak untuk memperoleh Efek Bersifat Ekuitas yang
diterbitkan oleh Perusahaan Sasaran dengan cara pembelian atau
pertukaran dengan Efek lainnya melalui Media Massa.
4) Pernyataan Penawaran Tender Sukarela adalah dokumen yang wajib
disampaikan kepada Bapepam dan LK oleh Pihak yang melakukan
Penawaran Tender Sukarela.
5) Perusahaan adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum
Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik.
6) Perusahaan Sasaran adalah Perusahaan yang Efek Bersifat Ekuitasnya
merupakan obyek dari Penawaran Tender Sukarela.
b. Transaksi dalam rangka Penawaran Tender Sukarela dapat dilakukan baik
di dalam maupun di luar Bursa Efek. Transaksi di luar Bursa Efek adalah
transaksi yang dilaksanakan antara pembeli dan penjual secara langsung.
2. PERNYATAAN PENAWARAN TENDER SUKARELA
a. Pihak yang akan melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib
menyampaikan Pernyataan Penawaran Tender Sukarela kepada Bapepam
dan LK, serta ditembuskan kepada:
1) Bursa Efek dimana Efek Bersifat Ekuitas yang menjadi obyek
Penawaran Tender Sukarela dicatatkan;
2) Perusahaan Sasaran; dan
3) Pihak lain yang telah menyampaikan pengumuman Penawaran Tender
Sukarela atas Efek Bersifat Ekuitas dari Perusahaan Sasaran yang sama
yang masa penawarannya belum berakhir.
b. Pernyataan Penawaran Tender Sukarela sebagaimana dimaksud dalam
huruf a wajib memuat hal-hal sebagai berikut:
1) nama dan alamat Perusahaan Sasaran;
DRAFT 11 MARET 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-2-
2) uraian lengkap mengenai Efek Bersifat Ekuitas yang menjadi obyek
Penawaran Tender Sukarela yang paling sedikit memuat informasi
tentang:
a) harga Penawaran Tender Sukarela;
b) waktu pelaksanaan Penawaran Tender Sukarela; dan
c) tata cara Penawaran Tender Sukarela;
3) persyaratan serta kondisi khusus dari Penawaran Tender Sukarela;
4) nama Bursa Efek dimana Efek Bersifat Ekuitas yang menjadi obyek
Penawaran Tender Sukarela diperdagangkan;
5) hasil penghitungan harga Efek Bersifat Ekuitas sebagaimana diatur
dalam angka 4 huruf a;
6) nama, alamat, dan kewarganegaraan dari Pihak yang melakukan
Penawaran Tender Sukarela dan Afiliasinya sehubungan dengan
Penawaran Tender Sukarela, dan keterangan apakah Pihak tersebut:
a) pernah dinyatakan pailit;
b) pernah menjadi direktur atau komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit;
c) pernah dihukum karena melakukan kejahatan di bidang keuangan;
atau
d) pernah diperintahkan oleh pengadilan atau lembaga yang
berwenang untuk menghentikan kegiatan usahanya yang
berhubungan dengan Efek;
7) penjelasan tentang hubungan, kontrak, dan transaksi material dengan
Perusahaan Sasaran atau Afiliasinya dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
terakhir yang dilakukan oleh Pihak yang akan melakukan Penawaran
Tender Sukarela, antara lain meliputi:
a) kontrak penjualan/pembelian;
b) hubungan keagenan; dan
c) hubungan kepengurusan;
8) pernyataan Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela tentang
tersedianya dana yang cukup untuk menyelesaikan Penawaran Tender
Sukarela yang didukung dengan pendapat dari Akuntan, bank, atau
Perusahaan Efek;
9) pernyataan tentang tujuan Penawaran Tender Sukarela dan setiap
rencana atas Perusahaan Sasaran setelah Penawaran Tender Sukarela
selesai dilaksanakan, diantaranya rencana untuk mengubah struktur
modal, kebijakan dividen, atau mengubah manajemen.
10) penjelasan tentang jumlah dan persentase Efek Perusahaan Sasaran
yang dimiliki baik langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang
melakukan Penawaran Tender Sukarela termasuk opsi untuk membeli
: Kep-263/BL/2011
: 31 Mei 2011
DRAFT 11 MARET 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-3-
atau hak untuk memperoleh dividen atau manfaat lain serta kuasa
untuk menggunakan hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham
Perusahaan Sasaran;
11) daftar nama dan alamat Pihak yang diberi imbalan oleh Pihak yang
melakukan Penawaran Tender Sukarela untuk membuat pembelaan
atau rekomendasi sehubungan dengan penawaran tersebut (jika ada);
12) penjelasan tentang persetujuan atau persyaratan yang ditetapkan oleh
Pemerintah yang wajib dipenuhi sehubungan dengan Penawaran
Tender Sukarela (jika ada); dan
13) informasi tambahan yang diperlukan agar pernyataan dalam
Penawaran Tender Sukarela tidak menyesatkan.
c. Seluruh informasi yang dimuat dalam Pernyataan Penawaran Tender
Sukarela sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib diumumkan dalam
paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, salah satu
diantaranya berperedaran nasional, pada tanggal yang bersamaan dengan
penyampaian Pernyataan Penawaran Tender Sukarela kepada Bapepam
dan LK.
Disamping kewajiban mengumumkan dalam surat kabar, informasi
tersebut juga dapat diumumkan dalam Media Massa yang lain.
d. Penawaran Tender Sukarela tidak dapat dibatalkan setelah pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam huruf c, kecuali memperoleh persetujuan
Bapepam dan LK.
e. Pernyataan Penawaran Tender Sukarela dapat menjadi efektif dengan
memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1) atas dasar lewatnya waktu, yakni:
a) 15 (lima belas) hari sejak tanggal Pernyataan Penawaran Tender
Sukarela diterima Bapepam dan LK secara lengkap, yaitu telah
memenuhi seluruh kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan ini;
atau
b) 15 (lima belas) hari sejak tanggal perubahan terakhir yang
disampaikan Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela
atau yang diminta Bapepam dan LK dipenuhi; atau
2) atas dasar pernyataan efektif dari Bapepam dan LK bahwa tidak ada
lagi perubahan dan/atau tambahan informasi lebih lanjut yang
diperlukan.
f. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib mengumumkan
perbaikan dan/atau tambahan atas Pernyataan Penawaran Tender
Sukarela paling lambat satu hari kerja setelah efektifnya Pernyataan
Penawaran Tender Sukarela (jika ada).
: Kep-263/BL/2011
: 31 Mei 2011
DRAFT 11 MARET 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-4-
3. PERNYATAAN PERUSAHAAN SASARAN DAN PIHAK LAINNYA
SEHUBUNGAN DENGAN PENAWARAN TENDER SUKARELA
a. Perusahaan Sasaran, Afiliasi dari Perusahaan Sasaran, Pihak yang
melakukan Penawaran Tender Sukarela atas Efek Bersifat Ekuitas yang
sama pada waktu yang bersamaan, atau Pihak yang mengungkapkan
informasi atau pendapat terhadap suatu Penawaran Tender Sukarela, dapat
membuat pernyataan tertulis untuk mendukung atau keberatan atas
Penawaran Tender Sukarela tersebut.
b. Jika direksi atau komisaris dari Perusahaan Sasaran mengetahui atau
mempunyai alasan yang cukup bahwa informasi yang dimuat dalam
Pernyataan Penawaran Tender Sukarela tidak benar atau menyesatkan,
maka Perusahaan Sasaran yang bersangkutan wajib membuat pernyataan
tertulis.
c. Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b
wajib diumumkan dalam paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian
berbahasa Indonesia, salah satu diantaranya berperedaran nasional, paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum berakhirnya masa Penawaran
Tender Sukarela.
d. Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b
wajib:
1) menunjukkan dengan jelas hal-hal yang merupakan bantahan
dan/atau menjadi keberatan serta alasan-alasannya;
2) mencantumkan dalam pernyataannya tersebut, nama, alamat, dan
hubungan dengan Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela;
dan
3) mengungkapkan secara jelas kepemilikan atas Efek Bersifat Ekuitas
oleh Pihak yang bersangkutan yang menjadi obyek Penawaran Tender
Sukarela atau perubahan kepentingan atas Efek Bersifat Ekuitas yang
akan terjadi karena adanya Penawaran Tender Sukarela.
4. HARGA EFEK BERSIFAT EKUITAS YANG MENJADI OBYEK PENAWARAN
TENDER SUKARELA
a. Untuk obyek Penawaran Tender Sukarela berupa saham dan/atau waran,
harga Penawaran Tender Sukarela atas saham dan/atau waran kecuali
ditentukan lain oleh Bapepam dan LK, harus lebih tinggi dari harga
berikut:
1) harga Penawaran Tender Sukarela tertinggi yang diajukan sebelumnya
oleh Pihak yang sama dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh)
hari sebelum pengumuman sebagaimana dimaksud dalam angka 2
huruf c;
2) harga rata-rata dari harga tertinggi perdagangan harian di Bursa Efek
selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf c, dalam hal Penawaran
: Kep-263/BL/2011
: 31 Mei 2011
DRAFT 11 MARET 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-5-
Tender Sukarela dilakukan atas saham dan/atau waran Perusahaan
Sasaran yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek;
3) harga rata-rata dari harga tertinggi pada perdagangan harian di Bursa
Efek dalam waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang dihitung mundur
dari hari perdagangan terakhir atas saham dimaksud, dalam hal saham
dan/atau waran Perusahaan Sasaran tidak diperdagangkan di Bursa
Efek dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf c; atau
4) harga wajar yang ditetapkan oleh Penilai, dalam hal Penawaran Tender
Sukarela dilakukan atas saham dan/atau waran Perusahaan Sasaran
yang tidak tercatat di Bursa Efek.
b. Dalam hal obyek Penawaran Tender Sukarela berupa surat utang yang
dapat ditukar dengan saham, maka harga Penawaran Tender Sukarela
harus lebih tinggi dari harga Efek dimaksud yang telah ditetapkan pada
saat penerbitan.
c. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dapat melakukan
perubahan harga Penawaran Tender Sukarela, sepanjang perubahan harga
tersebut tidak lebih rendah dari harga yang telah diumumkan.
d. Perubahan harga sebagaimana dimaksud dalam huruf c hanya dapat
dilakukan sebelum efektifnya Pernyataan Penawaran Tender Sukarela.
5. PELAKSANAAN PENAWARAN TENDER SUKARELA
a. Masa Penawaran Tender Sukarela wajib dimulai paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah Pernyataan Penawaran Tender Sukarela menjadi efektif.
b. Masa Penawaran Tender Sukarela adalah paling sedikit 30 (tiga puluh) hari
dan dapat diperpanjang paling lama menjadi 90 (sembilan puluh) hari,
kecuali disetujui lain oleh Ketua Bapepam dan LK.
c. Transaksi Penawaran Tender Sukarela wajib diselesaikan paling lambat
dalam waktu 12 (dua belas) hari setelah masa penawaran berakhir dengan
penyerahan uang atau penyerahan Efek sebagai penukarnya.
d. Dalam hal persyaratan atau kondisi khusus yang ditetapkan dalam
Penawaran Tender Sukarela tidak dipenuhi, maka Efek yang ditawarkan
wajib dikembalikan dalam waktu paling lambat 12 (dua belas) hari setelah
masa Penawaran Tender berakhir.
e. Dalam hal Penawaran Tender Sukarela dibatalkan, maka Efek yang
ditawarkan wajib dikembalikan dalam waktu paling lambat 12 (dua belas)
hari setelah pembatalan.
f. Dalam hal Penawaran Tender Sukarela dilaksanakan melalui penukaran
Efek Perusahaan Sasaran dengan Efek lain, maka Pihak yang melakukan
Penawaran Tender Sukarela wajib memberikan pilihan untuk menerima
Efek lain tersebut atau uang dalam jumlah sebagaimana diatur dalam
angka 4 huruf a atau angka 4 huruf b.
: Kep-263/BL/2011
: 31 Mei 2011
DRAFT 11 MARET 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-6-
g. Dengan memperhatikan batasan masa Penawaran Tender Sukarela yang
diatur dalam huruf b, setiap masa perpanjangan Penawaran Tender
Sukarela wajib dilaksanakan paling sedikit 15 (lima belas) hari dan
diumumkan dalam waktu 2 (dua) hari sebelum masa perpanjangan
dimulai. Pengumuman dimaksud wajib dimuat dalam 2 (dua) surat kabar
harian berbahasa Indonesia, salah satu di antaranya berperedaran nasional
dan mencantumkan jumlah penawaran Efek yang sudah diterima sampai
dengan masa perpanjangan dimulai.
h. Dalam hal jumlah Efek Bersifat Ekuitas yang ditawarkan untuk dijual atau
ditukar melebihi jumlah Efek Bersifat Ekuitas yang ditetapkan dalam
Penawaran Tender Sukarela, maka Pihak yang melaksanakan Penawaran
Tender Sukarela wajib melakukan penjatahan secara proporsional
sebanding dengan partisipasi setiap Pihak yang melakukan penjualan
dalam Penawaran Tender Sukarela tersebut dengan memperhatikan satuan
perdagangan yang berlaku di Bursa Efek tanpa pecahan.
i. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib menunjuk
Akuntan untuk melakukan pemeriksaan khusus mengenai kewajaran
pelaksanaan penjatahan dan wajib menyampaikan laporannya kepada
Bapepam dan LK dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal penjatahan berakhir.
j. Pihak yang akan menjual Efek Bersifat Ekuitas sehubungan dengan
Penawaran Tender Sukarela wajib menyerahkan Efek tersebut kepada
Kustodian yang ditunjuk oleh Pihak yang melakukan Penawaran Tender
Sukarela dan dapat menarik kembali Efek tersebut setiap saat sebelum
Penawaran Tender Sukarela berakhir.
k. Dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam huruf b, perubahan
persyaratan Penawaran Tender Sukarela hanya dapat dilakukan paling
lambat 15 (lima belas) hari sebelum Penawaran Tender Sukarela berakhir.
Perubahan tersebut wajib diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian
berbahasa Indonesia, salah satu diantaranya berperedaran nasional dan
disampaikan kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a
pada waktu yang bersamaan dengan pengumuman tersebut.
l. Pihak yang melakukan Penawaran Tender dilarang membeli atau menjual
Efek Bersifat Ekuitas yang sedang ditawarkan dalam jangka waktu 15 (lima
belas) hari sebelum penerbitan pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 huruf c sampai dengan masa Penawaran Tender Sukarela
berakhir.
m. Formulir Penawaran Tender Sukarela hanya dapat dibagikan setelah
Pernyataan Penawaran Tender Sukarela efektif. Formulir Penawaran
Tender Sukarela tersebut wajib memuat pernyataan bahwa Pihak yang
menawarkan Efek Bersifat Ekuitas telah menerima dan membaca
Pernyataan Penawaran Tender Sukarela.
n. Dalam masa Penawaran Tender Sukarela, Pihak yang melakukan
Penawaran Tender Sukarela dapat melakukan pengumuman ulang atas
: Kep-263/BL/2011
: 31 Mei 2011
DRAFT 11 MARET 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-7-
Pernyataan Penawaran Tender Sukarela yang diajukan kepada Bapepam
dan LK.
o. Perusahaan Sasaran dilarang melakukan transaksi yang semata-mata
dilaksanakan dengan tujuan menghalangi perubahan pengendalian
Perusahaan Sasaran dimaksud sebagai akibat pelaksanaan Penawaran
Tender Sukarela dalam jangka waktu sejak pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 huruf c sampai dengan masa Penawaran Tender
Sukarela berakhir.
p. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dan Afiliasinya wajib
merahasiakan rencana Penawaran Tender Sukarela sebelum pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf c.
q. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dilarang menetapkan
pembatasan dan persyaratan yang berbeda berdasarkan penggolongan
atau kedudukan Pihak yang menjadi pemegang Efek Bersifat Ekuitas,
kecuali apabila terdapat perbedaan hak atau manfaat yang melekat pada
Efek Bersifat Ekuitas dimaksud.
r. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dapat membuat
rencana mengenai kelangsungan atau perubahan manajemen perusahaan
dan karyawan setelah Penawaran Tender Sukarela, sepanjang hal tersebut
tidak merupakan persyaratan Penawaran Tender Sukarela, dan
diungkapkan seluruhnya dalam Pernyataan Penawaran Tender Sukarela.
6. KETENTUAN PENUTUP
a. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib melaporkan hasil
dari Penawaran Tender Sukarela tersebut kepada Bapepam dan LK paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penyelesaian Penawaran
Tender Sukarela berakhir.
b. Bukti iklan yang wajib diumumkan di surat kabar sebagaimana diatur
dalam Peraturan ini wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah iklan tersebut dimuat di surat kabar.
c. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar
Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap
pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 31 Mei 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
: Kep-263/BL/2011
: 31 Mei 2011
DRAFT 11 MARET 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-8-
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
: Kep-263/BL/2011
: 31 Mei 2011
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-263/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id>
<reg_title> PENAWARAN TENDER SUKARELA </reg_title>
<set_date> 31 Mei 2011 </set_date>
<effective_date> 31 Mei 2011 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-85/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'KEP-04/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP- 16/BL/2011
TENTANG
PENDAFTARAN KONSULTAN HUKUM
YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pembinaan
Konsultan Hukum yang terdaftar di Bapepam dan LK, maka
dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Nomor
VIII.B.1 tentang Pendaftaran Konsultan Hukum Yang Melakukan
Kegiatan di Pasar Modal, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam
dan LK Nomor: Kep-261/BL/2008 tanggal 3 Juli 2008 dengan
menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata
Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENDAFTARAN
KONSULTAN HUKUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI
PASAR MODAL.
DRAFT
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 โ
Pasal 1
Ketentuan mengenai pendaftaran konsultan hukum yang
melakukan kegiatan di Pasar Modal diatur dalam Peraturan
Nomor VIII.B.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran
Keputusan ini.
Pasal 2
Konsultan hukum yang telah terdaftar di Bapepam dan LK
sebelum ditetapkannya Keputusan ini, namun:
a. belum menjadi anggota Himpunan Konsultan Hukum Pasar
Modal;
b. tidak berkedudukan sebagai rekan yang memiliki
kewenangan untuk mengikatkan diri dengan Pihak ketiga
atas nama Kantor Konsultan Hukum atau tidak memiliki
kewenangan yang diberikan oleh para rekan Kantor
Konsultan Hukum untuk mengikatkan diri dengan Pihak
ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum; atau
c. menjadi rekan atau bekerja pada Kantor Konsultan Hukum
yang belum memiliki dan menerapkan sistem pengendalian
mutu dalam melakukan uji tuntas hukum dan memberikan
pendapat hukum,
wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Nomor VIII.B.1 Lampiran Keputusan ini, paling
lambat pada tanggal 31 Desember 2011.
Pasal 3
(1) Konsultan hukum yang telah terdaftar di Bapepam dan LK
namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a, dikenakan sanksi administratif
berupa pembekuan Surat Tanda Terdaftar sampai dengan
yang bersangkutan menjadi anggota Himpunan Konsultan
Hukum Pasar Modal.
(2) Konsultan hukum yang telah terdaftar di Bapepam dan LK
namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf b, dikenakan sanksi administratif
berupa pembekuan Surat Tanda Terdaftar sampai dengan
yang bersangkutan berkedudukan sebagai rekan yang
memiliki kewenangan untuk mengikatkan diri dengan
Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum atau
memiliki kewenangan yang diberikan oleh para rekan
Kantor Konsultan Hukum untuk mengikatkan diri dengan
Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum.
(3) Konsultan hukum yang telah terdaftar di Bapepam dan LK
namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf c, dikenakan sanksi administratif
DRAFT
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 3 โ
berupa pembekuan Surat Tanda Terdaftar sampai dengan
yang bersangkutan menjadi rekan atau bekerja pada Kantor
Konsultan Hukum yang memiliki dan menerapkan sistem
pengendalian mutu dalam melakukan uji tuntas hukum
dan memberikan pendapat hukum.
Pasal 4
Kewajiban mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan bagi
konsultan hukum yang telah terdaftar di Bapepam dan LK,
untuk pertama kalinya dilaksanakan pada tahun 2011.
Pasal 5
(1) Konsultan hukum yang diangkat atau ditetapkan sebagai
pejabat negara, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana
diatur dalam angka 11 huruf a, huruf b, dan huruf c
Peraturan Nomor VIII.B.1 Lampiran Keputusan ini sampai
dengan berakhirnya jabatan dimaksud.
(2) Konsultan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan kembali seluruh kewajiban sebagaimana
diatur dalam Peraturan Nomor VIII.B.1 Lampiran
Keputusan ini setelah yang bersangkutan tidak lagi
menduduki
jabatan sebagai pejabat negara, kecuali
kewajiban mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan.
(3) Kewajiban mengikuti Pendidikan Profesi
lanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada
tahun berikutnya setelah yang bersangkutan tidak lagi
menduduki jabatan sebagai pejabat negara.
Pasal 6
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah
pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan pejabat negara yang
ditentukan oleh undang-undang.
Pasal 7
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua
Bapepam dan LK Nomor: Kep-261/BL/2008 tanggal 3 Juli 2008
tentang Pendaftaran Konsultan Hukum Yang Melakukan
Kegiatan di Pasar Modal, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
DRAFT
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 4 โ
Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 18 Januari 2011.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 18 Januari 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP. 19541111 198112 1 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-16/BL/2011
Tanggal : 18 Januari 2011
PERATURAN NOMOR VIII.B.1: PENDAFTARAN KONSULTAN HUKUM
YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR
MODAL
1. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan:
a. Konsultan Hukum Pasar Modal adalah konsultan hukum yang telah
memperoleh surat tanda terdaftar dari Bapepam dan LK untuk melakukan
kegiatan di bidang Pasar Modal.
b. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal yang selanjutnya disebut
HKHPM adalah organisasi profesi konsultan hukum yang menjalankan
praktek spesialisasi di bidang Pasar Modal.
c. Kantor Konsultan Hukum adalah persekutuan perdata atau firma yang
menjadi wadah bagi Konsultan Hukum Pasar Modal dalam melakukan
kegiatannya.
d. Pendidikan Profesi adalah suatu pendidikan dengan muatan materi hukum
Pasar Modal dan hukum tentang kegiatan ekonomi yang diselenggarakan
oleh HKHPM, pihak lain yang bekerja sama dengan HKHPM, atau pihak
yang telah disetujui atau diakui oleh Bapepam dan LK sebelum
ditetapkannya Peraturan ini.
2. Konsultan hukum yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal wajib
terlebih dahulu terdaftar di Bapepam dan LK dan memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Peraturan ini.
3. Persyaratan konsultan hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 2 adalah
sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. anggota HKHPM;
c. memiliki gelar sarjana dalam pendidikan tinggi hukum (Strata 1);
d. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan;
e. memiliki akhlak dan moral yang baik;
f. berkedudukan sebagai rekan pada Kantor Konsultan Hukum yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) dipimpin oleh rekan yang bertanggung jawab atas uji tuntas hukum
dan pendapat hukum;
2) dalam melakukan uji tuntas hukum, menerapkan paling sedikit 2 (dua)
jenjang pengendalian atau supervisi yaitu konsultan hukum yang
bertanggung jawab menandatangani laporan dan pengawas menengah
yang melakukan pengawasan terhadap staf pelaksana;
3) memiliki dan menerapkan sistem pengendalian mutu dalam
melakukan uji tuntas hukum dan memberikan pendapat hukum; dan
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-16/BL/2011
Tanggal : 18 Januari 2011
-2-
4) bagi Kantor Konsultan Hukum yang hanya memiliki satu orang rekan
Konsultan Hukum Pasar Modal, untuk dapat melaksanakan kegiatan
di Pasar Modal wajib membuat surat perjanjian kerja sama dengan
Kantor Konsultan Hukum lain yang memiliki rekan Konsultan Hukum
Pasar Modal tentang pengalihan tanggung jawab apabila Konsultan
Hukum Pasar Modal yang bersangkutan berhalangan untuk
melaksanakan tugasnya;
g. memiliki kewenangan yang diberikan oleh para rekan untuk mengikatkan
diri dengan pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum, apabila
konsultan hukum tidak berkedudukan sebagai rekan; dan
h. memiliki keahlian di bidang Pasar Modal yang dapat dipenuhi melalui
Pendidikan Profesi dengan jumlah paling sedikit 30 (tiga puluh) satuan
kredit profesi dengan materi yang disusun oleh HKHPM.
4. Permohonan pendaftaran konsultan hukum sebagai Profesi Penunjang Pasar
Modal diajukan kepada Bapepam dan LK dalam rangkap 2 (dua) dengan
mempergunakan Formulir Nomor VIII.B.1-1. lampiran 1.
5. Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 4, disertai
dokumen sebagai berikut:
a. Dokumen yang menyangkut konsultan hukum:
1) fotocopy kartu keanggotaan dalam HKHPM;
2) fotocopy dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama konsultan
hukum yang bersangkutan;
3) fotocopy Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku;
4) pas photo terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna sejumlah satu lembar;
5) fotocopy ijazah sarjana dengan latar belakang pendidikan tinggi
hukum (Strata 1), yang telah dilegalisasi;
6) fotocopy sertifikat Pendidikan Profesi yang telah dilegalisasi,
sebagaimana diatur dalam angka 3 huruf h;
7) surat pernyataan dengan materai cukup yang menyatakan bahwa
konsultan hukum tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau
dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang
keuangan;
8) surat pernyataan dengan materai cukup yang menyatakan bahwa
konsultan hukum bersedia diperiksa oleh HKHPM atas pemenuhan
standar profesi dan kode etik profesi Konsultan Hukum Pasar Modal
yang disusun oleh HKHPM; dan
9) surat pernyataan dari rekan atau pimpinan Kantor Konsultan Hukum
yang menyatakan bahwa konsultan hukum dapat mengikatkan diri
dengan pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum, apabila
konsultan hukum yang bersangkutan tidak berkedudukan sebagai
rekan.
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-16/BL/2011
Tanggal : 18 Januari 2011
-3-
b. Dokumen yang menyangkut Kantor Konsultan Hukum:
1) fotocopy akta pendirian Kantor Konsultan Hukum beserta
perubahannya;
2) fotocopy dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Kantor
Konsultan Hukum;
3) surat perjanjian kerja sama Kantor Konsultan Hukum dimana konsultan
hukum menjadi rekan dengan Kantor Konsultan Hukum lain yang
memiliki Konsultan Hukum Pasar Modal tentang pengalihan tanggung
jawab apabila konsultan hukum yang bersangkutan berhalangan untuk
melaksanakan tugasnya, bagi Kantor Konsultan Hukum yang hanya
memiliki satu orang rekan Konsultan Hukum Pasar Modal;
4) bagan organisasi Kantor Konsultan Hukum yang menunjukkan
pimpinan, susunan rekan, pengawas menengah, dan staf pelaksana;
5) surat keterangan domisili Kantor Konsultan Hukum dari instansi yang
berwenang;
6) dokumen sistem pengendalian mutu dalam melaksanakan uji tuntas
hukum dan memberikan pendapat hukum; dan
7) surat pernyataan dengan materai cukup yang ditandatangani oleh
pimpinan rekan Kantor Konsultan Hukum yang menyatakan bahwa
Kantor Konsultan Hukum akan melaksanakan kegiatan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di Pasar Modal dan peraturan lain
yang berlaku.
6. Dalam rangka pendaftaran konsultan hukum yang melakukan kegiatan di
Pasar Modal, apabila diperlukan, Bapepam dan LK dapat meminta dokumen
tambahan untuk mendukung pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam angka 5.
7. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 tidak
memenuhi syarat, maka Bapepam dan LK memberikan surat pemberitahuan
kepada pemohon yang menyatakan bahwa:
a. permohonan tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor
VIII.B.1-2 lampiran 2; atau
b. permohonan ditolak dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.B.1-3
lampiran 3.
8. Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan
dan/atau tidak diterima Bapepam dan LK dalam waktu 45 (empat puluh lima)
hari setelah tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam angka
7 huruf a, dianggap telah membatalkan permohonan pendaftaran konsultan
hukum yang sudah diajukan dan pemohon dapat mengajukan permohonan
baru.
9. Dokumen yang telah disampaikan kepada Bapepam dan LK menjadi milik
Bapepam dan LK.
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-16/BL/2011
Tanggal : 18 Januari 2011
-4-
10. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 memenuhi
syarat, maka paling lambat dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari
sejak diterimanya permohonan secara lengkap, Bapepam dan LK memberikan
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal (STTD) kepada pemohon
dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.B. 1-4 lampiran 4.
11. Konsultan Hukum Pasar Modal, wajib:
a. mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan dengan jumlah paling sedikit 5
(lima) satuan kredit profesi setiap tahun;
b. melaporkan keikutsertaannya dalam Pendidikan Profesi lanjutan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Bapepam dan LK disertai
bukti pendukung, secara berkala paling lambat pada tanggal 15 Januari
tahun berikutnya;
Dalam hal tanggal 15 Januari jatuh pada hari libur maka laporan
disampaikan pada hari kerja pertama berikutnya;
c. melaporkan kepada Bapepam dan LK setiap perubahan yang berkenaan
dengan data dan informasi dari Konsultan Hukum Pasar Modal dan/atau
Kantor Konsultan Hukum termasuk tetapi tidak terbatas pada informasi
sebagaimana diatur dalam angka 5 paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
setelah terjadinya perubahan tersebut disertai dengan dokumen
pendukung;
d. melakukan uji tuntas hukum dan memberikan pendapat hukum sesuai
dengan standar profesi HKHPM atau standar uji tuntas hukum dan standar
pendapat hukum lainnya yang lazim berlaku, sepanjang tidak diatur dalam
standar profesi yang disusun oleh HKHPM;
e. menaati kode etik profesi yang disusun oleh HKHPM; dan
f. bersikap independen, obyektif, dan profesional dalam menjalankan
tugasnya.
12. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf a mulai berlaku
untuk tahun berikutnya sejak Konsultan Hukum Pasar Modal memperoleh
STTD dari Bapepam dan LK.
13. Dalam hal Konsultan Hukum Pasar Modal tidak melaporkan keikutsertaannya
dalam Pendidikan Profesi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam angka 11
huruf a dalam jangka waktu paling lama satu tahun setelah berakhirnya jangka
waktu pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf b, maka
Konsultan Hukum Pasar Modal dianggap tidak mengikuti Pendidikan Profesi
lanjutan.
14. Apabila dalam jangka waktu satu tahun Pendidikan Profesi dan/atau
Pendidikan Profesi lanjutan tidak terselenggarakan, maka Bapepam dan LK
dapat menetapkan ketentuan lain.
15. Dalam hal Konsultan Hukum Pasar Modal bermaksud untuk tidak
menjalankan kegiatan di bidang Pasar Modal dalam jangka waktu paling
sedikit satu tahun, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-16/BL/2011
Tanggal : 18 Januari 2011
-5-
a. menyampaikan surat pemberitahuan kepada Bapepam dan LK untuk tidak
menjalankan kegiatan di bidang Pasar Modal dengan menyebutkan jangka
waktunya;
b. STTD atas nama Konsultan Hukum Pasar Modal bersangkutan akan
dinyatakan tidak berlaku untuk sementara oleh Bapepam dan LK dengan
memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon menggunakan
Formulir Nomor VIII.B. 1-5 lampiran 5;
c. Konsultan Hukum Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam huruf b
tidak diwajibkan mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan sebagaimana
dimaksud dalam angka 11 huruf a;
d. Kewajiban Pendidikan Profesi lanjutan terhadap Konsultan Hukum Pasar
Modal sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan pada tahun
berikutnya setelah Konsultan Hukum Pasar Modal dimaksud menjalankan
kembali kegiatan di bidang Pasar Modal;
e. Apabila Konsultan Hukum Pasar Modal dimaksud akan aktif kembali
melakukan kegiatan di Pasar Modal, maka Konsultan Hukum Pasar Modal
wajib memberitahukan kepada Bapepam dan LK;
f. Bapepam dan LK akan memberlakukan kembaliSTTD dengan memberikan
surat pemberitahuan kepada Konsultan Hukum Pasar Modal yang
bersangkutan menggunakan Formulir Nomor VIII.B. 1-6 lampiran 6.
16. Konsultan Hukum Pasar Modal yang tidak mengikuti Pendidikan Profesi
lanjutan sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf a, dikenakan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis dan sanksi denda yang dihitung dari
tanggal kewajiban penyampaian laporan sampai dengan tanggal dipenuhinya
kewajiban penyampaian laporan keikutsertaan Pendidikan Profesi lanjutan
oleh yang bersangkutan kepada Bapepam dan LK;
17. Dalam hal Konsultan Hukum Pasar Modal tidak mengikuti Pendidikan Profesi
lanjutan sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf a selama 2 (dua) tahun
berturut-turut atau 3 (tiga) kali dalam waktu 5 (lima) tahun, maka Konsultan
Hukum Pasar Modal dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan STTD.
18. Konsultan Hukum Pasar Modal yang tidak lagi berkedudukan sebagai rekan
atau tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengikatkan diri dengan Pihak
ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum, tidak dapat melakukan kegiatan di
bidang Pasar Modal.
19. Dalam hal Konsultan Hukum Pasar Modal tidak lagi berkedudukan sebagai
rekan atau tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengikatkan diri dengan
Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum dalam jangka waktu paling
sedikit satu tahun, maka STTD Konsultan Hukum Pasar Modal yang
bersangkutan dapat dibekukan sampai dengan yang bersangkutan
berkedudukan sebagai rekan yang memiliki kewenangan untuk mengikatkan
diri dengan Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum atau memiliki
kewenangan yang diberikan oleh para rekan Kantor Konsultan Hukum untuk
mengikatkan diri dengan Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum.
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-16/BL/2011
Tanggal : 18 Januari 2011
-6-
20. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar
Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak
yang melanggar ketentuan Peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 18 Januari 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP. 19541111 198112 1 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
: 1
Peraturan Nomor : VIII.B.1
FORMULIR NOMOR : VIII.B.1-1
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Pendaftaran Konsultan
Hukum Sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal.
Yth.
..............., ...........................20....
KEPADA
Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan
di -
Jakarta
Dengan ini kami mengajukan permohonan Pendaftaran
Konsultan Hukum sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal. Sebagai
bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan data sebagai berikut:
1. Nama pemohon
: ........................................................................
2. Alamat pemohon
: ........................................................................
: ........................................................................
: (Nama Jalan & Nomor)
................................... -
(Kota & Kode Pos)
3. Nomor telepon
6. Alamat Kantor
: ........................................................................
4. Nomor Pokok Wajib Pajak: . . . -
5. Nama Kantor
: ........................................................................
: ........................................................................
: ........................................................................
: (Nama Jalan & Nomor)
................................... -
(Kota & Kode Pos)
7. Nomor Pokok Wajib Pajak
Kantor Konsultan Hukum : . . . -
8. Nomor telepon & Fax.
: ........................................................................
9. Nama Pimpinan Kantor : ........................................................................
Melengkapi permohonan ini, kami lampirkan dokumen-dokumen
sebagai berikut:
1. Dokumen Pemohon
a. Fotocopy kartu keanggotaan dalam HKHPM;
b. Fotocopy dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama
konsultan hukum yang bersangkutan;
c. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
d. Pas photo terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna sejumlah satu
lembar;
e. Fotocopy ijazah sarjana dengan latar belakang pendidikan
tinggi hukum (Strata 1), yang telah dilegalisasi;
f. Fotocopy sertifikat Pendidikan Profesi yang telah dilegalisasi;
g. Surat pernyataan dengan materai cukup yang menyatakan
bahwa konsultan hukum tidak pernah melakukan perbuatan
tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak
pidana di bidang keuangan;
h. Surat pernyataan dengan materai cukup yang menyatakan
bahwa konsultan hukum bersedia diperiksa oleh HKHPM
atas pemenuhan standar profesi dan kode etik profesi
Konsultan Hukum Pasar Modal yang disusun oleh HKHPM;
dan
i. Surat pernyataan dari rekan atau pimpinan Kantor Konsultan
Hukum yang menyatakan bahwa konsultan hukum dapat
mengikatkan diri dengan pihak ketiga atas nama Kantor
Konsultan Hukum, apabila konsultan hukum yang
bersangkutan tidak berkedudukan sebagai rekan.
2. Dokumen Kantor Konsultan Hukum Pemohon
a. Fotocopy akta pendirian Kantor Konsultan Hukum beserta
perubahannya;
b. Fotocopy dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama
Kantor Konsultan Hukum;
c. Surat perjanjian kerja sama Kantor Konsultan Hukum dimana
konsultan hukum menjadi rekan dengan Kantor Konsultan
Hukum lain yang memiliki Konsultan Hukum Pasar Modal
tentang pengalihan tanggung jawab apabila konsultan hukum
yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan
tugasnya, bagi Kantor Konsultan Hukum yang hanya
memiliki satu orang rekan Konsultan Hukum Pasar Modal;
d. Bagan organisasi Kantor Konsultan Hukum yang
menunjukkan pimpinan, susunan rekan, pengawas
menengah, dan staf pelaksana;
e. Surat keterangan domisili Kantor Konsultan Hukum dari
instansi yang berwenang;
f. Dokumen sistem pengendalian mutu dalam melaksanakan uji
tuntas hukum dan memberikan pendapat hukum; dan
g. Surat pernyataan dengan materai cukup yang ditandatangani
oleh pimpinan rekan Kantor Konsultan Hukum yang
menyatakan bahwa Kantor Konsultan Hukum akan
melaksanakan kegiatan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di Pasar Modal dan peraturan lain yang berlaku.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
3. Jawaban atas pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 (Daftar
Pertanyaan) dan lampiran 2 (Daftar A) formulir ini.
Demikian permohonan ini kami ajukan dan atas perhatian Bapak
kami ucapkan terima kasih.
Pemohon,
materai
..............................................
(Nama Lengkap dan Jabatan)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
: 1
Formulir Nomor : VIII.B.1-1
DAFTAR PERTANYAAN
PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN DI BAWAH INI:
1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh Pemohon.
2.
Berilah tanda ๏ณ dalam kotak di depan kata โyaโ, jika jawaban Saudara โYaโ, atau
berilah tanda ๏ณ dalam kotak di depan kata โTidakโ jika jawaban atas pertanyaan
berikut adalah โtidakโ.
Untuk setiap jawaban "Ya", Pemohon wajib memberikan jawaban secara rinci dan
jelas dalam lembaran terpisah yang antara lain memuat:
a. Lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan;
b. Kasus dan tanggal dari tindakan yang diambil;
c. Pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; dan
d. Tindakan dan sanksi yang diambil.
Jawablah pertanyaan berikut ini:
1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Pemohon pernah
dihukum karena:
a. tindak pidana yang berhubungan dengan investasi atau profesinya ?
ya
tidak
b. atau kejahatan lain?
ya
2. Apakah pengadilan:
a. pernah menyatakan Pemohon pailit?
ya
tidak
b. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Pemohon dalam
kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya?
ya
tidak
c. menyatakan Pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha
perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ?
ya
tidak
3. Apakah Bapepam dan LK pernah:
a. menyatakan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai ?
ya
tidak
tidak
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal?
ya
tidak
c. menyatakan Pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha
perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ?
ya
tidak
d. memutuskan untuk menolak pendaftaran, membatalkan sementara,
membatalkan pendaftaran atau memberi sanksi lain yang membatasi
Pemohon dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau
profesinya ?
ya
tidak
4. Apakah instansi selain Pengadilan, Bapepam dan LK, atau Bursa Efek pernah:
a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak
jujur, tidak fair atau tidak etis?
ya
tidak
b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan di bidang
investasi dan peraturan perundang-undangan lainnya?
ya
tidak
c. menyatakan Pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha
perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ?
ya
tidak
d. memerintahkan untuk melarang Pemohon dalam hubungannya dengan
kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir?
ya
tidak
e. menolak, membekukan atau mencabut pendaftaran atau izin usaha Pemohon
?
ya
tidak
5. Apakah Bursa Efek pernah:
a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai memberikan
keterangan yang seharusnya diberikan?
ya
tidak
b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan
Bursa Efek ?
ya
tidak
6. Apakah pengadilan negara lain pernah menyatakan bahwa Pemohon telah
bersalah karena adanya tuntutan tindak pidana atau gugatan perdata dalam
hubungannya dengan investasi atau profesinya ?
ya
tidak
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
7. Apakah Pemohon pada saat ini termasuk pihak yang berperkara di pengadilan?
ya
tidak
8. Apakah Pemohon mempunyai komitmen, ikatan tertentu, atau kewajiban
bersyarat terhadap pihak ketiga yang perkaranya sedang diproses atau telah
memperoleh keputusan dari Pengadilan?
ya
tidak
......................, ..............................., 20..
Pemohon
materai
..............................................
(Nama Lengkap)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
: 2
Formulir Nomor : VIII.B.1-1
DAFTAR A
Penjelasan atas semua pertanyaan "Ya" dari lampiran 1 Formulir Nomor: VIII.B.1-1
Nomor Pertanyaan
Penjelasan
Catatan: Lampiran 1 ini harus tetap disertakan Pemohon walaupun tidak terdapat
jawaban โYaโ atas semua pertanyaan dari Lampiran 1 Formulir Nomor:
VIII.B.1-1.
........................., ...............................20..
Pemohon
materai
..............................................
(Nama Lengkap)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
: 2
Peraturan Nomor : VIII.B.1
FORMULIR NOMOR : VIII.B.1-2
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Pemberitahuan
Kekurangan Data
Pendaftaran Konsultan
Hukum sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal.
Yth.
Jakarta,.............................. 20........
KEPADA
...........................................................
di -
.............................
.......................................... perihal
Menunjuk surat Saudara Nomor : ...................... tanggal
..................................., dengan ini
diberitahukan bahwa permohonan Saudara masih terdapat kekurangan
data sebagai berikut :
1. .......................................................................................................................
2. .......................................................................................................................
3. .......................................................................................................................
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami
sampaikan bahwa permohonan Saudara untuk terdaftar sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal belum dapat dipertimbangkan. Selanjutnya
permohonan Saudara akan dipertimbangkan setelah Saudara
memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut di atas.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ketua,
................................................
NIP. .......................
Tembusan:
1. Sekretaris Badan; dan
2. Kepala Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum;
3. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa; dan
4. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil.
1 s.d 4 di Lingkungan Bapepam dan LK.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
: 3
Peraturan Nomor : VIII.B.1
FORMULIR NOMOR : VIII.B.1-3
Nomor
Lampiran
Perihal
: S- /BL/20...
: ---
: Penolakan Permohonan
Pendaftaran Konsultan
Hukum Sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal.
Yth.
Jakarta,.............................. 20โฆ.....
KEPADA
............................................................
di -
.................................
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal
........................ perihal ..................................., setelah meneliti permohonan
Saudara, dengan ini diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak
karena tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. .......................................................................................................................
2. .......................................................................................................................
3. .......................................................................................................................
Demikianlah agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ketua,
................................................
NIP. .......................
Tembusan:
1. Sekretaris Badan; dan
2. Kepala Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum;
3. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa; dan
4. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil.
1 s.d 4 di Lingkungan Bapepam dan LK.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
: 4
Peraturan Nomor : VIII.B.1
FORMULIR NOMOR : VIII.B.1-4
SURAT TANDA TERDAFTAR
PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL
Nomor : .....................
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal diberikan kepada
.......................... sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Konsultan Hukum) dengan
segala hak dan kewajiban yang melekat kepadanya sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 dan
Peraturan Bapepam dan LK Nomor VIII.B.1 tentang Pendaftaran Konsultan Hukum
yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal.
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dan apabila terdapat kekeliruan terhadap surat ini, maka Ketua Bapepam
dan LK dapat meninjau kembali.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ketua,
....................................
NIP. ...................
Tembusan:
1. Sekretaris Badan; dan
2. Kepala Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum;
3. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa; dan
4. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil.
1 s.d 4 di Lingkungan Bapepam dan LK.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
: 5
Peraturan Nomor : VIII.B.1
FORMULIR NOMOR : VIII.B.1-5
Nomor
: S-
Lampiran : ---
Perihal
/BL/20...
: Pemberitahuan
Pembekuan Sementara
STTD.
Yth.
Jakarta, ........................... 20 โฆ....
KEPADA
............................................................
di -
.................................
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal
........................ perihal ..................................., dengan ini diberitahukan
bahwa Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal (STTD)
atas nama Saudara, Nomor:โฆโฆโฆโฆ. dinyatakan tidak berlaku sampai
dengan Saudara memberitahukan akan aktif kembali melakukan
kegiatan di Pasar Modal dengan memenuhi ketentuan dalam
Peraturan Nomor VIII.B.1 tentang Pendaftaran Konsultan Hukum
yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ketua,
................................................
NIP. .....................
Tembusan:
1. Sekretaris Badan; dan
2. Kepala Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum;
3. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa; dan
4. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil.
1 s.d 4 di Lingkungan Bapepam dan LK.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
: 6
Peraturan Nomor : VIII.B.1
FORMULIR NOMOR : VIII.B.1-6
Nomor
Lampiran
Perihal
: S-
: ---
/BL/20...
: Pemberitahuan
Pemberlakuan kembali
STTD.
Yth.
Jakarta, ........................... 20 โฆ...
KEPADA
............................................................
di -
.................................
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal
........................ perihal ..................................., dengan ini diberitahukan
bahwa sesuai ketentuan dalam Peraturan Nomor VIII.B.1 tentang
Pendaftaran Konsultan Hukum yang Melakukan Kegiatan di Pasar
Modal, Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal (STTD)
atas nama Saudara, Nomor:โฆโฆโฆโฆ. dinyatakan berlaku kembali.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ketua,
................................................
NIP. ..................
Tembusan:
1. Sekretaris Badan; dan
2. Kepala Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum;
3. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa; dan
4. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil.
1 s.d 4 di Lingkungan Bapepam dan LK.
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-16/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id>
<reg_title> PENDAFTARAN KONSULTAN HUKUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 18 Januari 2011 </set_date>
<effective_date> 18 Januari 2011 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-261/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 3' </penalty_list>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP- 262/BL/2011
TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA
DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka untuk memberikan fleksibilitas bagi
Manajer Investasi dalam melakukan pengelolaan Reksa Dana
dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang
Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana
Dengan Penjaminan, Dan Reksa Dana Indeks, sebagaimana diatur
dalam Peraturan Nomor IV.C.4, Lampiran Keputusan
Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-429/BL/2007 tanggal
19 Desember 2007, dengan menetapkan Keputusan Ketua
Bapepam dan LK yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata
Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M
Tahun 2011;
5. Peraturan Nomor IX.C.4, Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam dan LK Nomor Kep-52/PM/1996 tanggal
17 Januari 1996 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam
Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
6. Peraturan Nomor IV.A.3, Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam Nomor Kep-13/PM/2002 tanggal 14 Agustus 2002
tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
7. Peraturan Nomor IV.A.4, Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam Nomor Kep-14/PM/2002 tanggal 14 Agustus 2002
tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan;
8. Peraturan Nomor IV.C.4, Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam dan LK Nomor Kep-429/BL/2007 tanggal
19 Desember 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa
Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, Dan
Reksa Dana Indeks;
9. Peraturan Nomor IX.C.5, Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam dan LK Nomor Kep-430/BL/2007 tanggal
19 Desember 2007 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam
Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif;
10. Peraturan Nomor IV.B.1, Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam dan LK Nomor Kep-552/BL/2010 tanggal
30 Desember 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa
Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN
PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA
DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA
INDEKS.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana
Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, Dan Reksa Dana
Indeks diatur dalam Peraturan Nomor IV.C.4 sebagaimana
dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Terhadap Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan
Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang belum melakukan
investasi pada Efek derivatif, namun dalam Kontrak Investasi
Kolektif dan Prospektusnya telah diatur mengenai Efek derivatif
sebagai Portofolio Reksa Dana tersebut, tetap dapat berinvestasi
pada Efek derivatif tanpa harus mengubah Kontrak Investasi
Kolektif dan Prospektus Reksa Dana tersebut.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 3 -
Pasal 3
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka keputusan
Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-429/BL/2007 tanggal
19 Desember 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana
Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, Dan Reksa Dana
Indeks, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 31 Mei 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 262/BL/2011
Tanggal : 31 Mei 2011
PERATURAN NOMOR IV.C.4 : PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA
TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN
PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS
1. Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana
Indeks adalah Reksa Dana selain dari yang disebutkan dalam Peraturan Nomor
IV.C.3 tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana
Terbuka.
2. Ketentuan pada:
a. angka 14 huruf b, angka 14 huruf c, angka 14 huruf d, angka 14 huruf e, dan
angka 14 huruf f Peraturan Nomor IV.A.3 tentang Pedoman Pengelolaan
Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
b. angka 12 huruf b, angka 12 huruf c, angka 12 huruf d, angka 12 huruf e, dan
angka 12 huruf f Peraturan Nomor IV.A.4 tentang Pedoman Kontrak
Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
c. angka 14, angka 16 huruf b, angka 16 huruf c, angka 16 huruf d, dan angka
16 huruf f Peraturan Nomor IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa
Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif,
tidak berlaku bagi Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan,
dan Reksa Dana Indeks.
3. Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan
Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks wajib disampaikan kepada Bapepam dan
LK sesuai dengan Peraturan Nomor IX.C.4 tentang Pernyataan Pendaftaran
Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan atau
Peraturan Nomor IX.C.5 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
4. Penawaran Umum saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Terproteksi dan
Reksa Dana Dengan Penjaminan bersifat terbatas baik dalam masa penawaran
maupun jumlah saham atau Unit Penyertaan yang ditawarkan, sedangkan
Reksa Dana Indeks dapat bersifat terus menerus atau terbatas baik dalam masa
penawaran maupun jumlah saham atau Unit Penyertaan yang ditawarkan.
5. Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana
Indeks wajib mencantumkan nama yang mencerminkan jenis Reksa Dana
tersebut.
6. Dalam hal Manajer Investasi bermaksud menerbitkan Reksa Dana Terproteksi
sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka:
a. Manajer Investasi wajib memberikan keterangan tambahan dalam
Prospektus yang paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
1) Mekanisme proteksi yang paling kurang memuat:
a) jumlah investasi yang terproteksi yang paling kurang sama dengan
jumlah investasi awal;
b) jangka waktu proteksi;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 262/BL/2011
Tanggal : 31 Mei 2011
-2-
c) persentase investasi pada Efek Bersifat Utang yang digunakan
sebagai basis proteksi;
d) pelunasan lebih awal sebelum jangka waktu proteksi (jika ada);
e) ruang lingkup dan persyaratan bagi berlakunya proteksi;
f) hal-hal yang membuat pemegang saham atau Unit Penyertaan
kehilangan hak atas proteksi; dan
g) risiko yang ditanggung oleh pemegang saham atau Unit Penyertaan.
2) Kebijakan investasi, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Manajer Investasi wajib menjelaskan persentase dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana Terproteksi yang akan diinvestasikan pada Efek
bersifat utang, instrumen pasar uang dan Efek lain;
b) Manajer Investasi wajib membentuk Portofolio Efek sebagai basis
proteksi dengan melakukan investasi pada Efek bersifat utang
termasuk Efek Beragun Aset Arus Kas Tetap yang masuk dalam
kategori layak investasi (investment grade), sehingga nilai Efek
bersifat utang pada saat jatuh tempo paling kurang dapat menutupi
jumlah nilai yang diproteksi;
c) Kebijakan investasi sebagaimana dimaksud pada butir b) tidak
berlaku sepanjang Manajer Investasi melakukan investasi pada
Surat Berharga Negara;
d) Manajer Investasi wajib menentukan komposisi Portofolio Efek
Reksa Dana Terproteksi dengan ketentuan sebagai berikut:
(1) paling kurang 70% (tujuh puluh per seratus) dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada:
(a) portofolio Efek yang diterbitkan, ditawarkan dan /atau
diperdagangkan di Indonesia berdasarkan peraturan
perundang-undangan di Indonesia; dan/atau
(b) Efek bersifat utang yang diperdagangkan di luar negeri,
namun diterbitkan oleh:
(i) Pemerintah Republik Indonesia;
(ii) badan hukum Indonesia yang merupakan Emiten
dan/atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang
Pasar Modal;
(iii) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh
sahamnya secara langsung maupun tidak langsung
dimiliki oleh Emiten atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud pada butir (ii), dan badan hukum
asing tersebut khusus didirikan untuk menghimpun
dana dari luar negeri bagi kepentingan Emiten atau
Perusahaan Publik dimaksud; dan/atau
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 262/BL/2011
Tanggal : 31 Mei 2011
-3-
(iv) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh
sahamnya secara langsung maupun tidak langsung
dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
(2) paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada Efek yang
diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya
dapat diakses dari Indonesia melalui media massa atau fasilitas
internet.
e) Manajer
Investasi
dilarang melakukan tindakan yang
mengakibatkan Reksa Dana memiliki Efek yang diterbitkan oleh
pihak terafiliasinya sebagai basis proteksi, kecuali hubungan Afiliasi
tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal
pemerintah.
Pelaksanaan ketentuan tersebut wajib memperhatikan ketentuan
pada angka 14 huruf h Peraturan Nomor IV.A.3 tentang Pedoman
Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, angka 12 huruf h
Peraturan Nomor IV.A.4 tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan
Reksa Dana Berbentuk Perseroan, dan angka 16 huruf h Peraturan
Nomor IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif;
f) Manajer Investasi dilarang mengubah portofolio Efek sebagaimana
ketentuan butir b), kecuali dalam rangka pemenuhan penjualan
kembali dari pemegang saham atau Unit Penyertaan atau
penurunan peringkat Efek;
g) Manajer Investasi dapat melakukan investasi pada Efek derivatif
tanpa harus terlebih dahulu memiliki Efek yang menjadi underlying
dari derivatif tersebut dengan memperhatikan ketentuan bahwa
investasi dalam Efek bersifat utang tetap menjadi basis nilai
proteksi;
h) Dalam hal Manajer Investasi melakukan investasi pada Efek yang
merupakan turunan dari Efek (derivatif), maka Manajer Investasi
wajib menambahkan keterbukaan informasi mengenai investasi
pada Efek tersebut, antara lain:
(1) jenis Efek derivatif;
(2) jatuh tempo (jika ada);
(3) Efek yang mendasari (underlying asset);
(4) harga perolehan atas Efek derivatif tersebut (premi);
(5) Pihak yang memiliki kewajiban pemenuhan manfaat atas Efek
derivatif (counterparty);
(6) penghitungan nilai kas saat jatuh tempo; dan
(7) risiko Efek derivatif.
i) Manajer Investasi wajib menjelaskan kriteria pemilihan Efek dan/
atau instrumen pasar uang.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 262/BL/2011
Tanggal : 31 Mei 2011
-4-
3) Jangka waktu Penawaran Umum saham atau Unit Penyertaan;
4) Jumlah minimum dan maksimum saham atau Unit Penyertaan yang
ditawarkan; dan
5) Reksa Dana Terproteksi wajib mengumumkan dan melaporkan Nilai
Aktiva Bersih paling kurang satu kali dalam 1 (satu) bulan.
b. Manajer Investasi wajib memberikan gambaran dalam Prospektus dan/atau
dokumen keterbukaan mengenai kinerja Reksa Dana Terproteksi tersebut
ataupun indikasi hasil yang akan diterima oleh pemegang saham atau Unit
Penyertaan di masa datang, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) menjelaskan secara lengkap kalkulasi kinerja atau indikasi hasil tersebut
termasuk semua kemungkinan kinerja atau hasil yang dapat terjadi;
2) menjelaskan asumsi yang menjadi latar belakang kalkulasi dan
kemungkinan tersebut; dan
3) menjelaskan risiko yang ditanggung oleh pemegang saham atau Unit
Penyertaan Reksa Dana Terproteksi sehubungan dengan asumsi dan
kalkulasi kinerja dan indikasi hasil tersebut yang paling kurang
memuat:
a) risiko pasar;
b) risiko tingkat suku bunga;
c) risiko kredit;
d) risiko nilai tukar mata uang;
e) risiko industri yang mencerminkan sebagian besar Portofolio Efek
yang menjadi basis proteksi; dan
f) risiko likuiditas bagi pemegang saham atau pemegang Unit
Penyertaan.
c. Dokumen keterbukaan sebagaimana dimaksud pada huruf b wajib
disampaikan kepada Bapepam dan LK sebagai bagian dari dokumen
Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor
IX.C.4 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum
Reksa Dana Berbentuk Perseroan atau Peraturan Nomor IX.C.5 tentang
Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana
Berbentuk KIK.
7. Dalam hal Manajer Investasi bermaksud menerbitkan Reksa Dana Dengan
Penjaminan sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka:
a. Manajer Investasi wajib menyampaikan kepada Bapepam dan LK salinan
Kontrak Penjaminan yang dibuat secara notariil antara Manajer Investasi
dan Bank Kustodian dengan pihak yang memberikan penjaminan
(penjamin/guarantor) yang paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
1) jumlah investasi yang dijamin, paling kurang sama dengan jumlah
investasi awal;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 262/BL/2011
Tanggal : 31 Mei 2011
-5-
2) jangka waktu penjaminan;
3) pelunasan lebih awal sebelum jangka waktu penjaminan (jika ada);
4) ruang lingkup dan persyaratan bagi berlakunya penjaminan;
5) hal-hal yang membuat Reksa Dana kehilangan hak atas penjaminan;
6) syarat-syarat dan pihak-pihak yang dapat menghentikan penjaminan;
7) risiko yang ditanggung oleh Reksa Dana;
8) keadaan darurat; dan
9) hal-hal yang dimuat dalam perjanjian ini tidak boleh mengakibatkan
atau menghilangkan tanggung jawab para pihak sesuai ketentuan yang
berlaku.
b. Manajer Investasi wajib menunjuk lembaga yang dapat melakukan kegiatan
penjaminan dan mempunyai izin usaha dari instansi yang berwenang
sebagai penjamin/guarantor.
c. Manajer Investasi wajib memberikan keterangan tambahan dalam
Prospektus yang paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
1) penjelasan mengenai penjaminan sebagaimana terdapat pada angka 7
huruf a;
2) penjelasan mengenai penjamin/guarantor, yang paling kurang memuat:
a) izin usaha; dan
b) profil ringkas tentang penjamin/guarantor.
3) kebijakan investasi, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Manajer Investasi wajib melakukan investasi pada Efek bersifat
utang termasuk Efek Beragun Aset Arus Kas Tetap yang masuk
dalam kategori layak investasi (investment grade) paling kurang 80%
(delapan puluh per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih;
b) Manajer Investasi wajib menentukan komposisi Portofolio Efek
Reksa Dana dengan ketentuan sebagai berikut:
(1) paling kurang 70% (tujuh puluh per seratus) dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada:
(a) portofolio Efek yang diterbitkan, ditawarkan dan /atau
diperdagangkan di Indonesia berdasarkan peraturan
perundang-undangan di Indonesia; dan/atau
(b) Efek bersifat utang yang diperdagangkan di luar negeri,
namun diterbitkan oleh:
(i) Pemerintah Republik Indonesia;
(ii) badan hukum Indonesia yang merupakan Emiten
dan/atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 262/BL/2011
Tanggal : 31 Mei 2011
-6-
dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang
Pasar Modal.
(iii) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh
sahamnya secara langsung maupun tidak langsung
dimiliki oleh Emiten atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud pada butir (ii), dan badan hukum
asing tersebut khusus didirikan untuk menghimpun
dana dari luar negeri bagi kepentingan Emiten atau
Perusahaan Publik dimaksud; dan/atau
(iv) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh
sahamnya secara langsung maupun tidak langsung
dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
(2) paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada Efek yang
diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya
dapat diakses dari Indonesia melalui media massa atau fasilitas
internet.
c) Manajer Investasi dilarang mengubah portofolio Efek sebagaimana
ketentuan butir a), kecuali dalam rangka pemenuhan penjualan
kembali dari pemegang saham atau Unit Penyertaan atau
penurunan peringkat Efek;
d) Manajer Investasi dapat melakukan investasi pada Efek derivatif
tanpa harus terlebih dahulu memiliki Efek yang menjadi underlying
dari derivatif tersebut;
e) Dalam hal Manajer Investasi melakukan investasi pada Efek yang
merupakan turunan dari Efek (derivatif), maka Manajer Investasi
wajib menambahkan keterbukaan informasi mengenai investasi
pada Efek tersebut, antara lain:
(1) jenis Efek derivatif;
(2) jatuh tempo (jika ada);
(3) Efek yang mendasari (underlying asset);
(4) harga perolehan atas Efek derivatif tersebut (premi);
(5) Pihak yang memiliki kewajiban pemenuhan manfaat atas Efek
derivatif (counterparty);
(6) penghitungan nilai kas saat jatuh tempo; dan
(7) risiko Efek derivatif;
f) Manajer Investasi wajib menjelaskan persentase dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana Dengan Penjaminan yang akan diinvestasikan
pada Efek dan instrumen pasar uang; dan
g) Manajer Investasi wajib menjelaskan kriteria pemilihan Efek dan
atau instrumen pasar uang.
4) Jangka waktu Penawaran Umum saham atau Unit Penyertaan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 262/BL/2011
Tanggal : 31 Mei 2011
-7-
5) Jumlah minimum dan maksimum saham atau Unit Penyertaan yang
ditawarkan; dan
6) Reksa Dana Dengan Penjaminan wajib mengumumkan dan melaporkan
Nilai Aktiva Bersih paling kurang satu kali dalam satu bulan.
d. Manajer Investasi wajib memberikan gambaran dalam Prospektus dan/atau
dokumen keterbukaan mengenai kinerja Reksa Dana Dengan Penjaminan
tersebut ataupun indikasi hasil yang akan diterima oleh pemegang saham
atau Unit Penyertaan di masa datang, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) menjelaskan secara lengkap kalkulasi kinerja atau indikasi hasil tersebut
termasuk semua kemungkinan kinerja atau hasil yang dapat terjadi;
2) menjelaskan asumsi yang menjadi latar belakang kalkulasi dan
kemungkinan tersebut; dan
3) menjelaskan risiko yang ditanggung oleh pemegang saham atau Unit
Penyertaan Reksa Dana Dengan Penjaminan sehubungan dengan
asumsi dan kalkulasi kinerja dan indikasi hasil tersebut yang paling
kurang memuat:
a) risiko pasar;
b) risiko derivatif;
c) risiko tingkat suku bunga;
d) risiko kredit;
e) risiko nilai tukar mata uang;
f) risiko industri yang mencerminkan sebagian besar Portofolio Efek;
dan
g) risiko likuiditas bagi pemegang saham atau pemegang Unit
Penyertaan.
e. Dokumen keterbukaan sebagaimana dimaksud pada huruf d wajib
disampaikan kepada Bapepam dan LK sebagai bagian dari dokumen
pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor
IX.C.5 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum
Reksa Dana Berbentuk KIK.
8. Dalam hal Manajer Investasi bermaksud menerbitkan Reksa Dana Indeks
sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka:
a. Manajer Investasi wajib memberikan keterangan tambahan dalam
Prospektus mengenai ketentuan investasi sebagai berikut:
1) paling kurang 80% (delapan puluh per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih
Reksa Dana tersebut wajib diinvestasikan pada Efek yang merupakan
bagian dari kumpulan Efek yang ada dalam indeks tersebut;
2) investasi pada Efek yang ada dalam indeks sebagaimana dimaksud pada
butir 1) wajib berjumlah paling kurang 80% (delapan puluh per seratus)
dari keseluruhan Efek yang ada dalam indeks tersebut;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 262/BL/2011
Tanggal : 31 Mei 2011
-8-
3) pembobotan atas masing-masing Efek dalam Reksa Dana Indeks
tersebut paling kurang 80% (delapan puluh per seratus) dan paling
banyak 120% (seratus dua puluh per seratus) dari pembobotan atas
masing-masing Efek dalam indeks yang menjadi acuan; dan
4) tingkat penyimpangan (tracking error) dari kinerja Reksa Dana Indeks
terhadap kinerja indeks yang menjadi acuan.
b. Reksa Dana Indeks wajib melaporkan Nilai Aktiva Bersih sesuai dengan
Peraturan Nomor X.D.1 tentang Pelaporan Reksa Dana.
c. Manajer Investasi wajib menginformasikan bahwa indeks Efek tersebut
tersedia di media massa atau dapat diakses melalui fasilitas internet.
d. Bapepam dan LK berwenang menolak indeks Efek yang akan dijadikan
tujuan investasi tersebut dengan menyampaikan alasan penolakan.
9. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam
dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan
peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 31 Mei 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-262/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS </reg_title>
<set_date> 31 Mei 2011 </set_date>
<effective_date> 31 Mei 2011 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-429/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007' </replaced_reg>
<related_reg> 'KEP-429/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | Lampiran Peraturan Nomor IV.C.4', '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', 'KEP-430/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.5', 'KEP-14/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.4', 'KEP-552/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor IV.B.1', '12/PP/2004', '46/PP/1995', 'KEP-52/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM-LK/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.4', '8/UU/1995', 'KEP-13/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.3' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-181/BL/2009
TENTANG
PENERBITAN EFEK SYARIAH
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi
dalam penerbitan Efek Syariah serta pengelolaan Reksa
Dana Syariah dan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset Syariah, dipandang perlu untuk menyempurnakan
Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah,
lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-
130/BL/2006 tanggal 3 Nopember 2006, dengan
menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M
Tahun 2006.
Memperhatikan : Surat Dewan Syariah Nasional โ Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) Nomor: B-194/DSN-MUI/VI/2009 tanggal 25
Juni 2009 perihal Pernyataan DSN-MUI Atas Peraturan
Bapepam dan LK;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENERBITAN
EFEK SYARIAH.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 1
Ketentuan mengenai Penerbitan Efek Syariah diatur dalam
Peraturan Nomor IX.A.13 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua
Bapepam dan LK Nomor: KEP- 130/BL/2006 tanggal 23
Nopember 2006 tentang Penerbitan Efek Syariah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 30 Juni 2009.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 30 Juni 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
PERATURAN NOMOR IX.A.13: PENERBITAN EFEK SYARIAH
1. KETENTUAN UMUM
a. Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1) Akad Syariah adalah perjanjian/kontrak yang sesuai dengan Prinsip-
prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Nomor IX.A.14 dan/atau akad lainnya yang tidak
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.
2) Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip-prinsip hukum
Islam dalam kegiatan di bidang Pasar Modal berdasarkan fatwa Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), sepanjang fatwa
dimaksud tidak bertentangan dengan Peraturan ini dan/atau Peraturan
Bapepam dan LK yang didasarkan pada fatwa DSN-MUI.
3)
Efek Syariah adalah Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya yang akad, cara,
dan kegiatan usaha yang menjadi landasan penerbitannya tidak
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.
4) Reksa Dana Syariah adalah Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya yang
pengelolaannya tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di
Pasar Modal.
5) Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah adalah kontrak
antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang
Efek Beragun Aset dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk
mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi
wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif, yang
pelaksanaannya tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di
Pasar Modal.
6)
Efek Beragun Aset Syariah adalah Efek yang diterbitkan oleh Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah yang portofolionya terdiri
dari aset keuangan yang tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip
Syariah di Pasar Modal.
7) Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan
yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak
terpisahkan atau tidak terbagi (syuyuโ/undivided share)) atas:
a)
b)
c)
aset berwujud tertentu (aโyan maujudat);
nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul aโyan) tertentu baik yang
sudah ada maupun yang akan ada;
jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada;
d) aset proyek tertentu (maujudat masyruโ muโayyan); dan/atau
e) kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin
khashah).
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-2-
b. Kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah antara
lain:
1) perjudian dan permainan yang tergolong judi;
2) perdagangan yang dilarang menurut syariah, antara lain:
a) perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa;
dan
b) perdagangan dengan penawaran/permintaan palsu;
3)
jasa keuangan ribawi, antara lain:
a) bank berbasis bunga; dan
b) perusahaan pembiayaan berbasis bunga;
4)
jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar)
dan/atau judi (maisir), antara lain asuransi konvensional;
5) memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan dan/atau
menyediakan antara lain:
a) barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi);
b) barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi)
yang ditetapkan oleh DSN-MUI; dan/atau
c) barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
6) melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah);
c. Setiap Pihak yang melakukan penerbitan Efek Syariah dan menyatakan
bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaannya berdasarkan prinsip-prinsip
syariah wajib memenuhi:
1) Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal, Peraturan ini, dan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang terkait dengan Efek
Syariah yang ditawarkan;
2) kepatuhan terhadap Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang terkait
dengan Efek Syariah yang diterbitkan.
d. Efek Syariah tidak lagi memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal
apabila kegiatan usaha, cara pengelolaan, kekayaan Reksa Dana, dan/atau
kekayaan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset dari Pihak yang
menerbitkan Efek tersebut bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di
Pasar Modal yang terkait dengan Efek Syariah yang diterbitkan.
e. Pihak yang menerbitkan Efek Syariah dan menyatakan bahwa kegiatan usaha
serta cara pengelolaannya berdasarkan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar
Modal wajib menyatakan bahwa:
1) kegiatan usaha serta cara pengelolaan usaha Pihak yang melakukan
Penawaran Umum dilakukan berdasarkan Prinsip-prinsip Syariah di
Pasar Modal sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar Perseroan
atau Kontrak Investasi Kolektif;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-3-
2)
jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola,
akad, dan cara pengelolaan perusahaan Pihak yang melakukan
Penawaran Umum tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah
di Pasar Modal;
3) untuk Emiten dan Perusahaan Publik, wajib memiliki anggota direksi
dan anggota komisaris yang mengerti kegiatan-kegiatan yang
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; dan
4) untuk Reksa Dana Syariah dan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset Syariah, wajib memiliki Wakil Manajer Investasi dan
penanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan Kustodian pada Bank
Kustodian yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan
Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.
2. PENERBITAN ATAU PENDAFTARAN EFEK SYARIAH BERUPA SAHAM
Penerbitan atau pendaftaran Efek Syariah berupa saham yang dilakukan oleh
Emiten atau Perusahaan Publik yang menyatakan bahwa kegiatan usaha serta
cara pengelolaan usahanya berdasarkan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal,
wajib memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan ini, Pernyataan Pendaftaran dari
Emiten atau Perusahaan Publik wajib:
1) mengikuti ketentuan Peraturan Nomor IX.A.1 atau Peraturan Nomor
IX.B.1, serta ketentuan tentang Penawaran Umum yang terkait lainnya;
dan
2) mengungkapkan informasi tambahan dalam Prospektus bahwa:
a) dalam anggaran dasar dimuat ketentuan bahwa kegiatan usaha
serta cara pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan Prinsip-
prinsip Syariah di Pasar Modal;
b)
jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola,
akad, dan cara pengelolaan Emiten atau Perusahaan Publik
dimaksud tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di
Pasar Modal; dan
c) Emiten atau Perusahaan Publik memiliki anggota direksi dan
anggota komisaris yang mengerti kegiatan-kegiatan yang
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.
b. Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah berupa
saham hanya dapat mengubah anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan
dan cara pengelolaan usahanya menjadi tidak lagi memenuhi Prinsip-prinsip
Syariah di Pasar Modal hanya jika:
1)
terdapat usulan dari pemegang saham yang memenuhi syarat
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas;
dan
2) usulan tersebut telah disetujui Rapat Umum Pemegang Saham.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-4-
c. Pengumuman dan pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham
sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib dilakukan dalam paling kurang
satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional dan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Nomor IX.J.1.
d. Pengumuman Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam
huruf c wajib memuat informasi:
1) bahwa usulan Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengubah
anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan dan cara pengelolaan
usahanya menjadi tidak lagi memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar
Modal berasal dari pemegang saham;
2)
3)
4)
5)
penjelasan, pertimbangan dan alasan dilakukannya perubahan
anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan usaha dan cara
pengelolaan perusahaan;
rencana kegiatan dan pengelolaan usaha setelah Emiten tidak
memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
cara penyelesaian terhadap pemegang saham yang tidak setuju atas
perubahan tersebut; dan
penjelasan bahwa keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tentang
perubahan anggaran dasar hanya berlaku efektif setelah memperoleh
persetujuan pemegang saham dan menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.
e. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam
huruf c wajib dikirimkan dengan surat tercatat atau faksimili ke alamat
pemegang saham disamping melalui surat kabar.
f. Korum dan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham dimaksud dalam
huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai perubahan
anggaran dasar Perseroan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IX.J.1
dengan persyaratan bahwa pemegang saham yang mengusulkan perubahan
anggaran dasar serta afiliasinya tidak dapat diperhitungkan dalam korum
kehadiran.
g. Emiten atau Perusahaan Publik yang mengubah anggaran dasar sebagaimana
dimaksud dalam huruf b wajib menyelesaikan hak-hak pemegang saham
yang tidak menyetujui perubahan anggaran dasar dimaksud dengan cara
menjamin pembelian saham pemegang saham tersebut pada harga wajar
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) dalam hal sahamnya tidak tercatat di Bursa Efek, maka harga
pelaksanaan pembelian paling kurang sama dengan harga wajar yang
ditetapkan oleh Penilai independen;
2) dalam hal sahamnya tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek namun
selama 90 (sembilan puluh) hari tidak diperdagangkan atau dihentikan
sementara perdagangannya, maka harga pelaksanaan pembelian paling
kurang sebesar harga tertinggi dalam waktu 12 (dua belas) bulan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-5-
terakhir sebelum hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan
sementara perdagangannya; atau
3) dalam hal sahamnya tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek, maka
harga pelaksanaan pembelian paling kurang sebesar harga tertinggi
dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum
pengumuman Rapat Umum Pemegang Saham perubahan anggaran
dasar sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
3. PENERBITAN SUKUK
a. Sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan ini, Emiten yang melakukan
Penawaran Umum Sukuk wajib:
1) mengikuti ketentuan Peraturan Nomor IX.A.1 dan ketentuan tentang
Penawaran Umum yang terkait lainnya;
2) menyampaikan kepada Bapepam dan LK, antara lain:
a)
b)
surat pernyataan yang menyatakan bahwa:
(1) kegiatan usaha yang mendasari penerbitan Sukuk tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 huruf b; dan
(2)
selama periode Sukuk kegiatan usaha yang mendasari
penerbitan Sukuk tidak akan bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf
b.
c)
surat pernyataan dari Wali Amanat Sukuk yang menyatakan
bahwa Wali Amanat Sukuk mempunyai pejabat penanggung
jawab dan/atau tenaga ahli di bidang perwaliamanatan dalam
penerbitan Sukuk yang mengerti kegiatan-kegiatan yang
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
d) surat pernyataan yang menyatakan kesanggupan Emiten untuk
menyampaikan hasil pemeringkatan tahunan terbaru kepada
Bapepam dan LK, Wali Amanat Sukuk dan Bursa Efek tempat
Sukuk dicatatkan serta mengumumkan hasil pemeringkatan
dimaksud paling kurang dalam satu surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari setelah berakhirnya masa berlaku hasil
pemeringkatan tahunan terakhir;
e)
surat pernyataan yang menyatakan kesanggupan Emiten untuk
menyampaikan hasil pemeringkatan terbaru, pernyataan atau
pendapat dari perusahaan pemeringkat efek (termasuk
pencabutan/pembatalan peringkat) akibat terdapatnya fakta
material atau kejadian penting yang dapat mempengaruhi
kemampuan Emiten untuk memenuhi kewajibannya dan
mempengaruhi risiko yang dihadapi pemegang Sukuk, kepada
hasil pemeringkatan dan kontrak perwaliamanatan Sukuk serta
Akad Syariah yang terkait dengan penerbitan Sukuk dimaksud;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-6-
Bapepam dan LK, Wali Amanat Sukuk dan Bursa Efek dimana
sukuk tersebut dicatatkan, paling kurang dalam satu surat kabar
harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, paling
lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya hasil
pemeringkatan baru, pernyataan, atau pendapat dimaksud; dan
3) mengungkapkan informasi dalam Prospektus paling kurang meliputi:
a) kegiatan usaha yang mendasari penerbitan Sukuk tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 huruf b, dan Emiten menjamin bahwa
selama periode Sukuk kegiatan usaha yang mendasari penerbitan
Sukuk tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b;
b) Wali Amanat Sukuk mempunyai pejabat penanggungjawab
dan/atau tenaga ahli di bidang perwaliamanatan dalam
penerbitan Sukuk yang mengerti kegiatan-kegiatan yang
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
c)
jenis Akad Syariah dan skema transaksi syariah yang digunakan
dalam penerbitan Sukuk, yang disertai dengan penjelasan tentang
skema transaksi syariah;
d) ringkasan Akad Syariah atau perjanjian berdasarkan syariah yang
dilakukan oleh para Pihak;
e)
f)
g)
sumber pendapatan yang menjadi dasar penghitungan
pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa (fee);
besaran nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa (fee);
rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran
bagi hasil, marjin, atau imbal jasa (fee); dan
h) hasil pemeringkatan Sukuk.
b. Kontrak perwaliamanatan penerbitan Sukuk wajib paling kurang memuat:
1) uraian tentang Akad Syariah yang mendasari diterbitkannya Sukuk;
2) penggunaan dana hasil penerbitan Sukuk sesuai dengan karakteristik
Akad Syariah;
3)
sumber dana yang digunakan untuk melakukan pembayaran imbal
hasil sesuai dengan karakteristik Akad Syariah;
4) besaran nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa (fee);
5)
rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi
hasil, marjin, atau imbal jasa (fee);
6) kewajiban Wali Amanat Sukuk untuk mengambil segala tindakan yang
diperlukan dalam rangka memastikan kepatuhan Emiten terhadap
Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-7-
7)
tindakan yang harus dilakukan dalam hal Emiten akan mengubah jenis
Akad Syariah, isi Akad Syariah, kegiatan usaha dan/atau aset tertentu
yang mendasari penerbitan Sukuk;
8) perubahan jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah, kegiatan usaha
dan/atau aset tertentu yang mendasari penerbitan Sukuk wajib terlebih
dahulu disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Sukuk (RUP Sukuk);
9) mekanisme pemenuhan hak pemegang Sukuk yang tidak setuju
terhadap perubahan dimaksud;
10) ketentuan yang menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
angka 7), angka 8) dan angka 9) di atas dapat dijadikan alasan untuk
menyatakan bahwa Emiten gagal dalam memenuhi kewajibannya; dan
11) mekanisme penanganan dalam hal terjadi kegagalan dalam memenuhi
kewajiban.
c. Dalam hal terjadi perubahan jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah, kegiatan
usaha dan/atau aset tertentu yang mendasari penerbitan Sukuk sehingga
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal, maka Sukuk
tersebut menjadi batal demi hukum dan Emiten wajib menyelesaikan seluruh
kewajibannya kepada pemegang Sukuk.
d. Emiten dan Wali Amanat Sukuk wajib melaksanakan seluruh ketentuan yang
diatur dalam kontrak perwaliamanatan.
e. Emiten wajib menggunakan dana hasil Penawaran Umum Sukuk untuk
membiayai kegiatan atau investasi yang tidak bertentangan dengan Prinsip-
prinsip Syariah di Pasar Modal.
f. Emiten wajib menyampaikan laporan kepada Bapepam dan LK dan
mengumumkan kepada masyarakat melalui Bursa Efek paling lambat satu
hari kerja setelah terpenuhinya kondisi sebagai berikut:
1)
seluruh dana hasil Penawaran Umum Sukuk telah diterima oleh Emiten;
dan/atau
2) dana yang diterima sudah mulai digunakan sesuai dengan tujuan
penerbitan Sukuk.
g. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf f butir 1) telah
terpenuhi, maka perdagangan Sukuk selain Sukuk mudharabah dan/atau
musyarakah telah memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.
h. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf f belum terpenuhi,
maka perdagangan Sukuk mudharabah dan/atau musyarakah memenuhi
Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal hanya jika diperdagangkan pada
harga nominal.
4. PENERBITAN SAHAM DAN/ATAU UNIT PENYERTAAN KONTRAK
INVESTASI KOLEKTIF REKSA DANA SYARIAH
a. Penerbitan Saham Reksa Dana Syariah
Sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan ini, Emiten yang melakukan
Penawaran Umum Saham Reksa Dana Syariah wajib:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-8-
1) mengikuti ketentuan Peraturan Nomor IX.A.1, Peraturan Nomor IX.C.4
dan ketentuan tentang Penawaran Umum yang terkait lainnya; dan
2) mencantumkan ketentuan dalam Kontrak Pengelolaan dan/atau
Kontrak Penyimpanan Reksa Dana serta informasi tambahan dalam
Prospektus hal-hal sebagai berikut:
a) bahwa Manajer Investasi dan Bank Kustodian (wakiliin) bertindak
untuk kepentingan Direksi Reksa Dana Perseroan (muwakil)
dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk melakukan
pengelolaan Reksa Dana dan Bank Kustodian diberi wewenang
untuk melaksanakan penyimpanan kekayaan;
b) dalam anggaran dasar Emiten dimuat ketentuan bahwa kegiatan
usaha serta cara pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan
Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
c) kebijakan investasi Reksa Dana tidak bertentangan dengan Prinsip-
prinsip Syariah di Pasar Modal;
d) aset yang dikelola, akad, dan cara pengelolaan Emiten dimaksud
tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
e) memiliki anggota direksi, Wakil Manajer Investasi, dan
penanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan Kustodian pada Bank
Kustodian yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan
dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
f)
mekanisme pembersihan kekayaan Emiten dari unsur-unsur yang
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
g) kata โSyariahโ pada nama Emiten; dan
h) dana kelolaan Reksa Dana Syariahnya hanya dapat diinvestasikan
pada:
(1) Saham yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang
ditetapkan oleh Bapepam dan LK;
(2) Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) syariah dan
Waran syariah;
(3) Sukuk (Obligasi Syariah);
yang telah dijual dalam Penawaran Umum dan/atau
diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia;
(4) Saham yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang
diterbitkan oleh Pihak yang disetujui Bapepam dan LK;
(5) Sukuk yang memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar
Modal yang diperdagangkan di Bursa Efek di luar negeri,
dan termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang
ditetapkan oleh Pihak yang disetujui oleh Bapepam dan LK;
(6) Efek Beragun Aset Syariah yang memenuhi Prinsip-Prinsip
Syariah di Pasar Modal dan sudah mendapat peringkat dari
perusahaan pemeringkat Efek;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-9-
(7)
surat berharga komersial syariah (sharia commercial paper)
yang memenuhi Prinsip-Prinsip Syariah di Pasar Modal dan
sudah mendapat peringkat dari perusahaan pemeringkat
Efek serta termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang
ditetapkan oleh Pihak yang disetujui Bapepam dan LK.
(8) Efek Syariah yang memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di
Pasar Modal yang diterbitkan oleh lembaga internasional
dimana Pemerintah Indonesia menjadi salah satu
anggotanya; dan/atau
(9)
Instrumen pasar uang syariah dalam negeri yang
mempunyai jatuh tempo kurang dari satu tahun, baik dalam
rupiah maupun dalam mata uang asing.
b. Penerbitan Unit Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana Syariah.
Sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan ini, Pihak yang melakukan
Penawaran Umum Unit Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana
Syariah wajib:
1) mengikuti ketentuan Peraturan Nomor IX.A.1, Peraturan Nomor IX.C.5
dan ketentuan tentang Penawaran Umum yang terkait lainnya; dan
2) mencantumkan ketentuan dalam Kontrak Investasi Kolektif dan
informasi tambahan dalam Prospektus hal-hal sebagai berikut:
a) bahwa Manajer Investasi dan Bank Kustodian (wakiliin) bertindak
untuk kepentingan para pemegang unit penyertaan (muwakil)
dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola
portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang
untuk melaksanakan penitipan kolektif;
b) kebijakan investasi Reksa Dana tidak bertentangan dengan Prinsip-
prinsip Syariah di Pasar Modal;
c) Wakil Manajer Investasi yang melaksanakan pengelolaan Reksa
Dana dan penanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan Kustodian
pada Bank Kustodian mengerti kegiatan-kegiatan yang
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
d) kata โSyariahโ pada nama Reksa Dana yang diterbitkan;
e) mekanisme pembersihan kekayaan Reksa Dana dari unsur-unsur
yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
dan
f) dana kelolaan Reksa Dana Syariahnya hanya dapat diinvestasikan
pada:
(1) Saham yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang
ditetapkan oleh Bapepam dan LK;
(2) Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) syariah dan
Waran syariah;
(3) Sukuk (Obligasi Syariah);
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-10-
yang telah dijual dalam Penawaran Umum dan/atau
diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia;
(4) Saham yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang
diterbitkan oleh Pihak yang disetujui Bapepam dan LK;
(5) Sukuk yang memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar
Modal yang diperdagangkan di Bursa Efek di luar negeri,
dan termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang
ditetapkan oleh Pihak yang disetujui oleh Bapepam dan LK;
(6) Efek Beragun Aset Syariah yang memenuhi Prinsip-Prinsip
Syariah di Pasar Modal dan sudah mendapat peringkat dari
perusahaan pemeringkat Efek;
(7)
surat berharga komersial syariah (sharia commercial paper)
yang memenuhi Prinsip-Prinsip Syariah di Pasar Modal dan
sudah mendapat peringkat dari perusahaan pemeringkat
Efek serta termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang
ditetapkan oleh Pihak yang disetujui Bapepam dan LK;
(8) Efek Syariah yang memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di
Pasar Modal yang diterbitkan oleh lembaga internasional
dimana Pemerintah Indonesia menjadi salah satu
anggotanya; dan/atau
(9)
Instrumen pasar uang syariah dalam negeri yang
mempunyai jatuh tempo kurang dari satu tahun, baik dalam
rupiah maupun dalam mata uang asing.
c. Direksi, Manajer Investasi, dan/atau Bank Kustodian wajib melaksanakan
seluruh ketentuan yang diatur dalam Kontrak Pengelolaan, Kontrak
Penyimpanan, atau Kontrak Investasi Kolektif.
d. Bank Kustodian wajib menolak instruksi Manajer Investasi secara tertulis
dengan tembusan kepada Bapepam dan LK apabila pelaksanaan instruksi
tersebut mengakibatkan portofolio Reksa Dana terdapat Efek atau instrumen
(surat berharga) selain Efek atau instrumen (surat berharga) sebagaimana
diatur dalam huruf a butir 2) poin h) atau huruf b butir 2) poin f).
e. Dalam hal portofolio Reksa Dana terdapat Efek atau instrumen (surat
berharga) selain Efek atau instrumen (surat berharga) sebagaimana diatur
dalam huruf a butir 2) poin h) atau huruf b butir 2) poin f) yang bukan
disebabkan oleh tindakan Manajer Investasi dan Bank Kustodian, maka:
1) Manajer Investasi wajib menjual secepat mungkin dan diselesaikan
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak:
a)
saham tidak lagi tercantum dalam Daftar Efek Syariah, dengan
ketentuan selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar Wajar pada saat
masih tercantum dalam Daftar Efek Syariah dipisahkan dari
perhitungan Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana dan
diperlakukan sebagai dana sosial; dan/atau
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-11-
b) Efek atau instrumen (surat berharga) tidak memenuhi prinsip-
prinsip syariah, dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari Nilai
Pasar Wajar pada saat masih memenuhi prinsip-prinsip syariah,
dipisahkan dari perhitungan Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa
Dana dan diperlakukan sebagai dana sosial.
2) Bank Kustodian wajib menyampaikan kepada Bapepam dan LK serta
pemegang Efek Reksa Dana, informasi tentang perolehan selisih lebih
penjualan Efek sebagaimana dimaksud dalam huruf e butir 1) dan
informasi tentang penggunaannya sebagai dana sosial selambat-
lambatnya pada hari ke-12 (kedua belas) setiap bulan (jika ada).
f. Dalam hal karena tindakan Manajer Investasi dan Bank Kustodian
mengakibatkan portofolio Reksa Dana terdapat Efek atau instrumen (surat
berharga) selain Efek atau instrumen (surat berharga) sebagaimana diatur
dalam huruf a butir 2) poin h) atau huruf b butir 2) poin f)., maka Bapepam
dan LK dapat:
1) melarang Manajer Investasi untuk melakukan penjualan Unit
Penyertaan Reksa Dana baru;
2) melarang Manajer Investasi dan Bank Kustodian untuk mengalihkan
kekayaan Reksa Dana selain dalam rangka pembersihan kekayaan
Reksa Dana dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip
Syariah di Pasar Modal;
3) mewajibkan Manajer Investasi dan Bank Kustodian secara tanggung
renteng untuk membeli portfolio yang bertentangan dengan Prinsip-
prinsip Syariah di Pasar Modal sesuai dengan harga perolehan dalam
waktu yang ditetapkan oleh Bapepam dan LK; dan/atau
4) mewajibkan Manajer Investasi untuk mengumumkan kepada publik
larangan dan/atau kewajiban yang ditetapkan Bapepam dan LK
sebagaimana dimaksud pada butir 1), butir 2), dan butir 3), sesegera
mungkin paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah
diterimanya surat Bapepam dan LK, dalam 2 (dua) surat kabar harian
berbahasa Indonesia dan berperedaran nasional atas biaya Manajer
Investasi dan Bank Kustodian.
g. Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak mematuhi
larangan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan
Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam huruf f, maka Bapepam dan
LK berwenang untuk:
1) mengganti Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian; atau
2) membubarkan Reksa Dana tersebut.
5. PENERBITAN EFEK BERAGUN ASET SYARIAH
a. Sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan ini, Pihak yang melakukan
Penawaran Umum Efek Beragun Aset Syariah wajib:
1) mengikuti ketentuan Peraturan Nomor IX.A.1, Peraturan Nomor IX.C.9
dan ketentuan tentang Penawaran Umum yang terkait lainnya;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-12-
2) mencantumkan ketentuan dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset Syariah dan informasi tambahan dalam Prospektus hal-
hal sebagai berikut:
a) bahwa Manajer Investasi dan Bank Kustodian (wakiliin) bertindak
untuk kepentingan para pemegang Efek Beragun Aset Syariah
(muwakil) dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk
mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi
wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif;
b) bahwa aset yang menjadi portofolio Efek Beragun Aset Syariah
tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
c) Wakil Manajer Investasi yang melaksanakan pengelolaan Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset
Syariah dan
penanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan Kustodian pada Bank
Kustodian mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan
Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
d) kata โSyariahโ pada nama Efek Beragun Aset yang diterbitkan;
e) mekanisme pembersihan portofolio dan dana Efek Beragun Aset
Syariah dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip-
prinsip Syariah di Pasar Modal;
f)
bahwa pengelolaan dana Efek Beragun Aset Syariah dilarang
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
g) Akad Syariah dan skema transaksi syariah yang digunakan dalam
penerbitan Efek;
h)
i)
j)
ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh para Pihak;
besarnya nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa
(fee); dan
rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran
bagi hasil, marjin, atau imbal jasa (fee).
b. Dalam hal karena tindakan Manajer Investasi dan Bank Kustodian,
mengakibatkan kekayaan Efek Beragun Aset Syariah terdapat unsur
kekayaan yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal,
maka Bapepam dan LK dapat:
1) melarang Manajer Investasi dan Bank Kustodian untuk mengalihkan
kekayaan Efek Beragun Aset selain dalam rangka pembersihan
kekayaan Efek Beragun Aset dari unsur-unsur yang bertentangan
dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal;
2) mewajibkan Manajer Investasi dan Bank Kustodian secara tanggung
renteng wajib untuk membeli aset portofolio Efek Beragun Aset dengan
harga perolehan atau membersihkan dana Efek Beragun Aset yang
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal dalam
waktu yang ditetapkan oleh Bapepam dan LK dan/atau secepat
mungkin, paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah
ditemukannya pelanggaran tersebut; dan/atau
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-181/BL/2009
Tanggal : 30 Juni 2009
-13-
3) mewajibkan Manajer Investasi untuk mengumumkan kepada publik
larangan dan/atau kewajiban yang ditetapkan Bapepam dan LK
sebagaimana dimaksud pada butir 1) dan butir 2), sesegera mungkin
paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya surat
Bapepam dan LK, dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia
dan berperedaran nasional atas biaya Manajer Investasi dan Bank
Kustodian.
c. Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak mematuhi
larangan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan
Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam huruf b, maka Bapepam dan
LK berwenang untuk:
1) mengganti Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian; atau
2) membubarkan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset tersebut.
6. KETENTUAN PENUTUP
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam
dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan
peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
tersebut.
Ditetapkan di :
Jakarta
pada tanggal : 30 Juni 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
td.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 </reg_id>
<reg_title> PENERBITAN EFEK SYARIAH </reg_title>
<set_date> 30 Juni 2009 </set_date>
<effective_date> 30 Juni 2009 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-130/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-283/BL/2012
TENTANG
LAPORAN KEGIATAN BULANAN MANAJER INVESTASI
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa kegiatan Manajer Investasi yang meliputi pengelolaan
dana nasabah yang bersifat kolektif dan bersifat individual
mengalami peningkatan, baik dari sisi jumlah dana kelolaan
maupun nasabah;
b. bahwa peningkatan sebagaimana dimaksud pada huruf a
perlu disertai dengan peningkatan efektivitas pelaporan
maupun kualitas laporan kegiatan Manajer Investasi;
c. bahwa peningkatan efektivitas pelaporan kegiatan Manajer
Investasi dapat dilakukan dengan penggunaan sarana
elektronik (internet), dengan tetap memperhatikan keamanan
dan keandalan sarana elektronik dimaksud;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang
perlu untuk menyempurnakan Peraturan Nomor X.N.1
Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-
347/BL/2008 tanggal 13 Agustus 2008 tentang Laporan
Kegiatan Bulanan Manajer Investasi, dengan menetapkan
Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembara Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata
Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun
2011;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN KEGIATAN BULANAN MANAJER INVESTASI.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 1
Ketentuan mengenai laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi
diatur dalam Peraturan Nomor X.N.1 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka:
a. Ketentuan angka 2 sampai dengan angka 5 Peraturan
Bapepam Nomor II.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam
Nomor Kep-41/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 tentang
Surat, Laporan dan Dokumen Lain Yang Dikirim Kepada
Bapepam, dinyatakan tidak berlaku bagi penyampaian
laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi sejak tanggal
berakhirnya masa uji coba penerapan Peraturan X.N.1
Lampiran Keputusan ini dan/atau Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan tidak menyatakan dan
mengumumkan bahwa sistem elektronik yang digunakan
untuk penyampaian laporan kegiatan bulanan Manajer
Investasi dimaksud mengalami gangguan dan tidak dapat
digunakan; dan
b. Peraturan X.N.1 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor Kep-347/BL/2008 tanggal 13 Agustus 2008 tentang
Laporan Kegiatan Bulanan Manajer Investasi dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 3
(1) Manajer Investasi yang telah mendapatkan izin usaha dari
Bapepam dan LK sebelum berlakunya Keputusan ini, wajib
melakukan uji coba penyampaian laporan kegiatan bulanan
Manajer Investasi secara elektronik sebagaimana diatur dalam
Peraturan X.N.1 Lampiran Keputusan ini pada 3 (tiga) periode
pelaporan setelah ditetapkannya Keputusan ini.
(2) Selama masa uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Manajer Investasi tetap diwajibkan menyampaikan laporan
kegiatan bulanan sebagaimana diatur dalam Peraturan X.N.1
Lampiran Keputusan ini kepada Bapepam dan LK secara fisik
(hard copy), sesuai dengan Peraturan Bapepam Nomor II.A.3
Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-
41/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 tentang Surat,
Laporan dan Dokumen Lain Yang Dikirim Kepada Bapepam.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 3 -
Pasal 4
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka ketentuan angka 7
huruf c Peraturan Bapepam Nomor II.A.1, Lampiran Keputusan
Ketua Bapepam Nomor Kep- 39/PM/1997 tentang Dokumen
Yang Terbuka Untuk Umum dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 24 Mei 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-283/BL/2012
Tanggal : 24 Mei 2012
PERATURAN NOMOR X.N.1 :
LAPORAN KEGIATAN BULANAN
MANAJER INVESTASI
1. Setiap Manajer Investasi wajib menyampaikan laporan kegiatan bulanan kepada
Bapepam dan LK.
2. Laporan kegiatan bulanan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib dibuat
sesuai dengan Formulir Nomor X.N.1-1 lampiran Peraturan ini.
3. Laporan kegiatan bulanan sebagaimana dimaksud pada angka 1 wajib
disampaikan melalui sistem elektronik kepada Bapepam dan LK paling lambat
pada tanggal 12 bulan berikutnya. Dalam hal tanggal 12 bulan berikutnya jatuh
pada hari libur, maka laporan kegiatan bulanan wajib disampaikan pada hari
kerja berikutnya.
4. Sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada angka 3 dapat diakses oleh
Manajer Investasi dengan memasukkan data laporan pada format isian yang
telah disediakan pada http://aria.bapepam.go.id/ dengan terlebih dahulu
mengisi member ID, user ID, dan password pada form login.
Member ID, user ID, dan password dimaksud diterbitkan oleh Bapepam dan LK
kepada Manajer Investasi.
5. Manajer Investasi wajib menyimpan tanda bukti elektronik penerimaan laporan
kegiatan bulanan yang diperoleh dari sistem yang ditetapkan oleh Bapepam dan
LK beserta dokumen elektronik laporan kegiatan bulanan paling kurang 10
(sepuluh) tahun.
6. Laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi sebagaimana dimaksud pada angka
1 dianggap diterima oleh Bapepam dan LK berdasarkan menit, jam, tanggal,
bulan dan tahun yang tercantum pada tampilan tanda bukti elektronik
penerimaan laporan pada sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada angka
4 di atas.
7. Dalam hal Bapepam dan LK menyatakan dan mengumumkan bahwa sistem
elektronik sebagaimana dimaksud pada angka 3 mengalami gangguan sehingga
tidak dapat digunakan, laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi wajib
disampaikan sesuai dengan Peraturan Bapepam Nomor II.A.3 tentang Surat,
Laporan dan Dokumen Lain Yang Dikirim Kepada Bapepam.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-283/BL/2012
Tanggal : 24 Mei 2012
- 2 -
8. Laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi yang disampaikan kepada Bapepam
dan LK dalam rangka pemenuhan Peraturan ini tidak tersedia untuk umum, dan
hanya digunakan untuk kepentingan pengawasan oleh Bapepam dan LK.
9. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam
dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan
peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 24 Mei 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
Peraturan Nomor: X.N.1
FORMULIR NOMOR: X.N.1-1
LAPORAN KEGIATAN BULANAN MANAJER INVESTASI
Bulan: ...................
A. Bidang Pengelolaan
1. REKSA DANA
BANK KUSTODIAN
: (diisi dengan nama Reksa Dana)
: (diisi dengan nama Bank Kustodian)
NASABAH NASIONAL
NASABAH
Perorangan :
Lembaga :
1. Perusahaan Efek
2. Dana Pensiun
3. Asuransi
4. Bank
5. Perusahaan Swasta/Patungan
6. BUMN
7. BUMD
8. Yayasan
9. Koperasi
10. Lainnya, sebutkan
Total Lembaga
Total Perorangan dan Lembaga
Investasi Dalam Negeri (%)
Investasi Luar Negeri (%)
Jumlah
Dana Kelolaan (Rp)
NASABAH ASING
Jumlah
Dana Kelolaan (Rp)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
2. PENGELOLAAN DANA BERSIFAT BILATERAL DAN INDIVIDUAL
Nomor &
No
Nama
Nasabah
Nomor &
Tanggal
Kontrak
Tanggal
Jatuh
Tempo
Tanggal
Kontrak
Adendum
(jika ada)
Nilai
Investasi
Awal
Nilai
Investasi
Akhir
(Netto)
Indi-
vidu
Lem-
baga
IDR
Mata
Uang
Asing
IDR
Mata
Uang
Asing
Dalam
Negeri
Jenis
Efek
Nama
Efek
(DN)/
Luar
Negeri
(LN)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
Pener-
bit
Portofolio Efek
Total
Nilai
Depo-
sito
Total
Nilai
Investasi
(Bruto)
((16)atau
(18) x
(19))
Jatuh
Tempo
Efek (jika
ada) dalam
Bulan &
Tahun
(15)
Jumlah
Efek
Nilai
Pem-
belian
Nilai
Nominal
Harga
Pasar
Wajar
Kete-
rangan
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
Keterangan Tabel :
1. Nomor
: Diisi dengan nomor urut.
2. Nama Nasabah Individu
3. Nama Nasabah Lembaga
4. Nomor dan Tanggal Kontrak
5. Tanggal Jatuh Tempo
6. Nomor dan Tanggal Kontrak Adendum (jika ada)
7. Nilai Investasi Awal (IDR)
: Diisi dengan menyebutkan nama nasabah individu.
: Diisi dengan menyebutkan nama nasabah lembaga.
: Diisi dengan nomor dan tanggal kontrak dengan nasabah.
: Diisi dengan keterangan jatuh tempo/tanggal berakhirnya kontrak dimaksud.
: Diisi dengan nomor dan tanggal kontrak dengan nasabah jika terjadi adendum/perubahan.
: Diisi dengan total keseluruhan nilai investasi awal dalam mata uang Rupiah sesuai dengan kontrak.
8. Nilai Investasi Awal (Mata Uang Asing)
9. Nilai Investasi Akhir (Netto) (IDR)
10. Nilai Investasi Akhir (Netto) (Mata Uang Asing)
11. Jenis Efek
12. Nama Efek
13. Dalam Negeri (DN)/Luar Negeri (LN)
14. Penerbit
15. Jatuh Tempo Efek (jika ada) dalam Bulan& Tahun
16. Jumlah Efek
17. Nilai Pembelian
18. Nilai Nominal
19. Harga Pasar Wajar
20. Total Nilai Deposito
21. Total Nilai Investasi (Bruto)
22. Keterangan
: Diisi dengan total keseluruhan nilai investasi awal dalam mata uang asing sesuai dengan kontrak.
: Diisi dengan total keseluruhan nilai investasi akhir setelah dikurangi biaya-biaya dalam mata uang Rupiah.
: Diisi dengan total keseluruhan nilai investasi akhir setelah dikurangi biaya-biaya dalam mata uang asing.
: Diisi dengan jenis Efek dalam pengelolaan portofolio Efek atas kontrak dimaksud.
Misalnya : Saham, Surat Perbendaharaan Negara, Obligasi negara, Surat Berharga Syariah Negara, Obligasi Korporasi,
Reksa Dana, Medium Term Notes, Promissory Notes, Sertifikat Bank Indonesia, Commercial Paper, Waran, dll.
: Diisi dengan nama Efek yang dibeli, Misal: " Saham PT. A", "Obligasi PT. B", dll.
: Diisi dengan kategori Efek yang dibeli, (DN) apabila merupakan Efek dalam negeri dan (LN) jika merupakan Efek luar
negeri.
: Diisi dengan nama penerbit Efek atas Efek yang dibeli. Misal: Pemerintah, PT. A, dll.
: Diisi dengan keterangan jatuh tempo/ tanggal maturity Efek yang dibeli (jika ada).
: Diisi dengan jumlah Efek yang dibeli (dalam lembar,unit penyertaan, dsb).
: Diisi dengan nilai pembelian Efek.
: Diisi dengan total nilai nominal Efek (misal: Obligasi) yang dibeli.
: Diisi dengan harga pasar wajar Efek yang dibeli.
: Diisi dengan jumlah total nilai yang dialokasikan pada Kas, Deposito Berjangka, Sertifikat Deposito, Deposito On Call.
: Diisi dengan Total Nilai Efek yang dibeli, dengan perhitungan: jumlah efek atau nilai nominal x harga pasar wajar,
atau total nilai deposito (untuk kas dan atau jenis deposito).
: Diisi dengan keterangan lainnya.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
3. EFEK BERAGUN ASET (EBA) : (diisi dengan jumlah EBA)
NASABAH
Jumlah
Perorangan :
Lembaga :
1. Perusahaan Efek
2. Dana Pensiun
3. Asuransi
4. Bank
5. Perusahaan Swasta/Patungan
6. BUMN
7. BUMD
8. Yayasan
9. Koperasi
10. Lainnya, sebutkan
Total Lembaga
Total Perorangan dan Lembaga
Investasi Dalam Negeri (%)
Investasi Luar Negeri (%)
NASABAH NASIONAL
NASABAH ASING
Dana Kelolaan
(Rp)
Jumlah
Dana Kelolaan
(Rp)
NAMA
KUSTODIAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
4. PRODUK LAINNYA, Sebutkan.
NASABAH
Perorangan :
Lembaga :
1. Perusahaan Efek
2. Dana Pensiun
3. Asuransi
4. Bank
5. Perusahaan Swasta/Patungan
6. BUMN
7. BUMD
8. Yayasan
9. Koperasi
10. Lainnya, sebutkan
Total Lembaga
Total Perorangan dan Lembaga
Investasi Dalam Negeri (%)
Investasi Luar Negeri (%)
NASABAH NASIONAL
Jumlah
Dana Kelolaan
(Rp)
NASABAH ASING
Jumlah
Dana Kelolaan
(Rp)
NAMA
KUSTODIAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
B. Daftar Direktur, Koordinator Fungsi-Fungsi, dan Pegawai Yang Memiliki Izin Wakil Perusahaan Efek, dan Wakil Agen Penjual Efek
Reksa Dana
No.
Nama
Jabatan
Nomor dan Tanggal SK
Tanggal Mulai Bekerja
(Tempat dan tanggal)
(Nama Perusahaan Manajer Investasi)
(ttd)
.....................................
(nama jelas)
Direktur
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-283/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN KEGIATAN BULANAN MANAJER INVESTASI </reg_title>
<set_date> 24 Mei 2012 </set_date>
<effective_date> 24 Mei 2012 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-39/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 | Lampiran Peraturan Nomor II.A.1 Angka 7 Huruf c', 'KEP-347/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan X.N.1', 'KEP-41/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 | Lampiran Peraturan Nomor II.A.3 Angka 2 Sampai Dengan Angka 5' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP- 178/BL/2008
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN NOMOR V.G.5 TENTANG FUNGSI
MANAJER INVESTASI BERKAITAN DENGAN EFEK BERAGUN ASET
(ASSET BACKED SECURITIES)
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong pemanfaatan Efek Beragun
Aset (Asset Backed Securities) sebagai alternatif pendanaan dunia
usaha, maka Peraturan Nomor V.G.5, Lampiran Keputusan
Ketua Bapepam Nomor Kep-46/PM/1997 tentang Fungsi
Manajer Investasi Berkaitan Dengan Efek Beragun Aset (Asset
Backed Securities) tanggal 26 Desember 1997 perlu
disempurnakan;
Mengingat : 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
2. Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-46/PM/1997 tentang
Fungsi Manajer Investasi Berkaitan Dengan Efek Beragun
Aset (Asset Backed Securities);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
PERATURAN NOMOR V.G.5 TENTANG FUNGSI MANAJER
INVESTASI BERKAITAN DENGAN EFEK BERAGUN ASET
(ASSET BACKED SECURITIES).
Pasal 1
Ketentuan angka 1 huruf d dalam Peraturan Nomor V.G.5
tentang Fungsi Manajer Investasi Berkaitan Dengan Efek Beragun
Aset (Asset Backed Securities), Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam Nomor Kep-46/PM/1997 diubah sehingga keseluruhan
angka 1 huruf d berbunyi sebagai berikut:
โd. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Kreditur
Awal, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena
kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah.โ
Pasal 2
Dengan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
Keputusan ini, maka seluruh ketentuan dalam Peraturan Nomor
V.G.5 tentang Fungsi Manajer Investasi Berkaitan Dengan Efek
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Beragun Aset (Asset Backed Securities), Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam Nomor Kep-46/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997
adalah sebagaimana yang terlampir dalam Keputusan ini.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 14 Mei 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 178/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
PERATURAN NOMOR V.G.5: FUNGSI MANAJER INVESTASI BERKAITAN
DENGAN EFEK BERAGUN ASET (ASSET
BACKED SECURITIES)
1. Manajer Investasi Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. mempunyai Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);
b. mempunyai sekurang-kurangnya 2 (dua) orang pegawai yang mempunyai
pengalaman kerja sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dalam kegiatan
pengorganisasian, strukturisasi, dan pengelolaan Kontrak Investasi Kolektif;
c. melaksanakan kewajibannya sebaik mungkin untuk mengembangkan
likuiditas Efek Beragun Aset dan membantu pemegang Efek Beragun Aset
untuk menjual Efek Beragun Asetnya; dan
d. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Kreditur Awal, kecuali
hubungan Afiliasi yang terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal
Pemerintah.
2. Manajer Investasi Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset wajib:
a. melakukan tugas dan bertanggung jawab atas pengelolaan portofolio Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset sebagaimana ditentukan dalam Kontrak
Investasi Kolektif;
b. bertindak dengan cermat dan sikap profesional dalam meneliti Kreditur Awal,
aset keuangan yang akan diperoleh, aspek hukum dan perpajakan, dan hal
lain dalam proses strukturisasi Efek Beragun Aset;
c. bertanggung jawab atas keterbukaan dan kebenaran atas fakta material
tentang Efek Beragun Aset, sebagaimana dinyatakan dalam Dokumen
Keterbukaan Efek Beragun Aset dan dalam Pernyataan Pendaftaran apabila
Efek Beragun Aset tersebut ditawarkan melalui Penawaran Umum;
d. bertindak cepat dan efektif untuk melindungi kepentingan para pemegang
Efek Beragun Aset;
e. membeli aset dari Kreditur Awal untuk dicatatkan atas nama Bank Kustodian
yang dalam hal ini bertindak untuk kepentingan pemegang Efek Beragun
Aset; dan
f. melaporkan hasil penjualan Efek Beragun Aset yang ditawarkan melalui
Penawaran Umum setiap 15 (lima belas) hari kepada Bapepam sampai
Penawaran Umum selesai.
3. Manajer Investasi wajib melaporkan kepada setiap pemegang Efek Beragun Aset
setiap bulan:
a. jumlah Efek Beragun Aset yang dimiliki oleh pemegang Efek Beragun Aset
tersebut;
b. laporan keuangan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset;
c. laporan atas aset keuangan yang mendukung masing-masing kelas Efek
Beragun Aset;
d. rata-rata tertimbang jatuh tempo aset keuangan dalam portofolio Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 178/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
- 2 -
e. jumlah tunggakan pembayaran atas aset keuangan dalam portofolio Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset;
f. perkiraan pembayaran kepada tiap kelas Efek Beragun Aset selama 12 (dua
belas) bulan ke depan;
g. perkiraan nilai pasar wajar setiap kelas Efek Beragun Aset yang didasarkan
pada tingkat suku bunga pasar, peringkat terakhir dari tiap kelas Efek
Beragun Aset, dan pembayaran yang diharapkan untuk tiap kelas Efek
Beragun Aset, disertai dengan uraian metode penilaian tersebut; dan
h. informasi material berkaitan dengan komposisi portofolio Kontrak Investasi
Kolektif Efek Beragun Aset atau pengelolaan aset keuangan sebagai dasar
untuk menarik kesimpulan adanya kemungkinan perubahan arus kas, nilai
dan atau peringkat kelas unit tertentu.
4. Disamping berkewajiban untuk menyampaikan kepada pemegang Efek laporan
sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf b peraturan ini, Manajer Investasi juga
berkewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diperiksa
oleh Akuntan Publik yang telah terdaftar di Bapepam.
5. Manajer Investasi berwenang mengganti Bank Kustodian dan melaporkan
kepada Bapepam paling lambat 5 (lima) hari sesudah penggantian sesuai dengan
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset.
6. Manajer Investasi wajib mewakili kepentingan pemegang Efek Beragun Aset di
dalam dan di luar pengadilan sehubungan dengan aset keuangan dalam
portofolio Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset atau berkaitan dengan
fungsi Bank Kustodian dan Penyedia Jasa.
7. Bapepam berwenang untuk mengganti Manajer Investasi dalam hal Manajer
Investasi tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 14 Mei 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-178/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN PERATURAN NOMOR V.G.5 TENTANG FUNGSI MANAJER INVESTASI BERKAITAN DENGAN EFEK BERAGUN ASET (ASSET BACKED SECURITIES) </reg_title>
<set_date> 14 Mei 2008 </set_date>
<effective_date> 14 Mei 2008 </effective_date>
<changed_reg> 'KEP-46/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997' </changed_reg>
<related_reg> '45/M|KEPPRES/2006', 'KEP-46/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP- 478/BL/2009
TENTANG
PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN
LAPORAN PENILAIAN PROPERTI DI PASAR MODAL
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka meningkatkan obyektifitas dan
kualitas hasil penilaian properti, diperlukan
pedoman penilaian dan penyajian laporan penilaian
properti yang dapat mendorong profesionalisme,
independensi, dan obyektifitas Pihak yang
melakukan kegiatan sebagai Penilai Properti;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu untuk
menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang
Pedoman Penilaian dan Penyajian Laporan
Penilaian Properti di Pasar Modal;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995
tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
45/M Tahun 2006;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN
LAPORAN PENILAIAN PROPERTI DI PASAR
MODAL.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 1
Ketentuan mengenai pedoman penilaian dan penyajian
laporan penilaian properti di Pasar Modal diatur dalam
Peraturan Nomor VIII.C.4 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Penilai Properti yang telah menandatangani kontrak
penugasan penilaian profesional namun belum
menerbitkan Laporan Penilaian Properti wajib mengikuti
Peraturan Nomor VIII.C.4 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2010.
Ditetapkan di
: Jakarta
pada tanggal
: 31 Desember 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Pjs. Kepala Bagian Umum
ttd.
Kristrianti Puji Rahayu
NIP 060089892
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
PERATURAN NOMOR VIII.C.4:
TENTANG PEDOMAN PENILAIAN DAN
PENYAJIAN LAPORAN PENILAIAN
PROPERTI DI PASAR MODAL
1. KETENTUAN UMUM
a. Definisi yang digunakan dalam Peraturan ini adalah:
1) Penilai Properti adalah Penilai yang terdaftar di Bapepam dan LK sesuai
dengan Peraturan Nomor VIII.C.1.
2)
Nilai adalah perkiraan harga yang diinginkan oleh penjual dan pembeli
atas suatu barang atau jasa pada waktu tertentu dan merupakan jumlah
manfaat ekonomi berdasarkan Nilai Pasar (Market Value) yang akan
diperoleh dari obyek penilaian pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date).
3)
Nilai Pasar (Market Value) adalah perkiraan jumlah uang pada Tanggal
Penilaian (Cut Off Date), yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli
atau hasil penukaran suatu obyek penilaian, antara pembeli yang
berminat membeli dan penjual yang berniat menjual, dalam suatu
transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara layak,
dimana kedua pihak masing-masing bertindak atas dasar pemahaman
yang dimilikinya, kehati-hatian dan tanpa paksaan.
4)
Nilai Pasar Untuk Penggunaan yang Ada (Market Value for the Existing
Use) adalah Nilai Pasar (Market Value) obyek penilaian dengan
mempertimbangkan penggunaan yang ada dari obyek penilaian
tersebut tanpa mempertimbangkan prinsip penggunaan tertinggi dan
terbaik (highest and best use).
5)
Nilai dalam Penggunaan (Value in Use) adalah Nilai obyek penilaian
tertentu bagi penggunaan tertentu dan pengguna tertentu tanpa
mempertimbangkan prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik (highest
and best use).
6) Real Properti adalah real estat serta konsep hukum yang melekat pada
real estat atau penguasaan atas real estat yang mencakup semua hak
atas tanah tertentu, semua kepentingan (interest), dan keuntungan
(benefit) yang melekat real estat tersebut.
7) Personal Properti adalah properti yang tidak secara permanen melekat
pada real estat, dan dapat dipindahkan, antara lain mesin dan peralatan
termasuk semua hak, kepentingan, dan manfaat yang terkait.
8) Properti Khusus (Specialized Property) atau Properti Dengan Tujuan
Khusus (Special Purpose Property) atau Properti Yang Dirancang Khusus
(Special Design Property) adalah properti yang memiliki karakteristik
tertentu, memiliki manfaat yang terbatas pada penggunaan atau
pengguna tertentu, dan jarang diperjualbelikan di pasar terbuka, kecuali
sebagai bagian dari suatu penjualan properti secara keseluruhan.
9) Aset Operasional adalah aset yang digunakan dalam operasional
perusahaan yang digunakan secara berkelanjutan.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-2-
10) Aset Non Operasional adalah aset yang terpisahkan dari operasional
perusahaan dan terdiri atas aset yang akan dipakai pada masa yang
akan datang (reserve aset), Aset Surplus, atau Aset Investasi.
11) Aset Surplus adalah aset berlebih yang tidak digunakan dalam kegiatan
operasional perusahaan.
12) Aset Investasi adalah aset yang dimiliki oleh perusahaan untuk
menghasilkan pendapatan sewa dan/atau keuntungan, dan tidak
digunakan:
a) dalam produksi, penyediaan barang atau jasa, atau untuk
administrasi perusahaan; dan
b) untuk penjualan dalam kegiatan usaha.
13) Aset Tanaman adalah tanaman yang dibudidayakan secara komersial
pada suatu lahan tertentu dan dikelola berdasarkan teknis budidaya
yang berlaku umum pada suatu tempat tertentu.
14) Aset Non Tanaman adalah sarana dan prasarana serta fasilitas
penunjang lainnya yang merupakan bagian satu kesatuan properti
perkebunan. Sarana dan prasarana meliputi bumi atau lahan, bangunan
dan sarana pelengkap serta fasilitas penunjang.
15) Laporan Penilaian Properti adalah laporan tertulis yang dibuat oleh
Penilai Properti yang memuat opini Penilai Properti mengenai obyek
penilaian serta menyajikan informasi tentang proses penilaian.
16) Pendekatan Penilaian adalah suatu cara untuk memperkirakan Nilai
dengan menggunakan salah satu atau lebih Metode Penilaian.
17) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) adalah Pendekatan
Penilaian yang menggunakan data transaksi atau penawaran atas
properti yang sebanding dan sejenis dengan obyek penilaian yang
didasarkan pada suatu proses perbandingan dan penyesuaian.
18) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) adalah Pendekatan Penilaian
yang didasarkan pada pendapatan dan biaya dari obyek penilaian per
periode tertentu, yang dapat dihasilkan oleh obyek penilaian, yang
kemudian dikapitalisasikan.
19) Pendekatan Biaya (Cost Approach) adalah Pendekatan Penilaian untuk
mendapatkan indikasi Nilai obyek penilaian berdasarkan Biaya
Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru
(Replacement Cost New), pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date) setelah
dikurangi dengan Penyusutan.
20) Tanggal Penilaian (Cut Off Date) adalah tanggal pada saat Nilai, hasil
penilaian, atau perhitungan manfaat ekonomi dinyatakan.
21) Tanggal Laporan Penilaian Properti adalah tanggal dimana laporan
diterbitkan dan ditandatangani oleh Penilai Properti.
22) Inspeksi adalah kunjungan dan penelitian suatu obyek penilaian dengan
tujuan mendapatkan informasi atas obyek penilaian sebagai dasar
untuk menentukan opini profesional atas nilai obyek penilaian.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-3-
23) Asumsi adalah sesuatu yang dianggap akan terjadi termasuk fakta,
syarat, atau keadaan yang mungkin dapat mempengaruhi obyek
penilaian atau Pendekatan Penilaian dan kewajarannya telah dianalisis
oleh Penilai Properti sebagai bagian dari proses penilaian.
24) Dasar Penilaian adalah suatu penjelasan dan/atau pendefinisian,
tentang jenis nilai yang sedang diteliti berdasarkan kriteria tertentu.
25) Metode Penilaian adalah suatu cara atau rangkaian cara tertentu dalam
melakukan penilaian.
26) Metode Biaya Penggantian Terdepresiasi (Depreciated Replacement Cost
Method/Metode DRC) adalah Metode Penilaian dalam Pendekatan Biaya
(Cost Approach) yang digunakan untuk menentukan Nilai Properti
Khusus (Specialized Property), dimana data pasar yang tersedia terbatas
atau data yang tidak berbasis pasar, dengan mempertimbangkan
keadaan pasar atas obyek penilaian sesuai dengan penggunaannya.
27) Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) adalah estimasi biaya
untuk membuat suatu properti baru yang setara dengan obyek
penilaian, berdasarkan harga pasaran setempat pada Tanggal Penilaian
(Cut Off Date).
28) Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) adalah estimasi biaya
untuk mereproduksi suatu properti baru yang sama atau identik
dengan obyek penilaian, berdasarkan harga pasaran setempat pada
Tanggal Penilaian (Cut Off Date).
29) Metode Survei Kuantitas (Quantity Survey Method) adalah metode
perhitungan estimasi biaya pembangunan berdasarkan rincian kuantitas
satuan pekerjaan dan harga satuan pekerjaan.
30) Metode Unit Terpasang (Unit In Place Method) adalah metode
perhitungan estimasi biaya pembangunan berdasarkan harga satuan
unit terpasang.
31) Metode Meter Persegi (Square Meter Method) adalah metode perhitungan
estimasi biaya pembangunan berdasarkan satuan mata uang per unit
luas atau volume.
32) Penyusutan adalah besarnya pengurangan Nilai obyek penilaian yang
disebabkan oleh adanya kemunduran fisik (physical deterioration),
keusangan fungsional (functional obsolescence) dan keusangan ekonomis
(economic obsolescence).
33) Tingkat Diskonto adalah suatu tingkat imbal balik untuk
mengkonversikan nilai di masa depan ke nilai sekarang yang
mencerminkan nilai waktu dari uang (time value of money) dan
ketidakpastian atas terealisasinya pendapatan ekonomi.
34) Tingkat Kapitalisasi adalah jumlah pembagi yang digunakan untuk
mengkonversi pendapatan menjadi Nilai.
35) Tingkat Kekosongan adalah suatu faktor yang digunakan untuk
mengurangi pendapatan kotor potensial sehingga mencerminkan
pendapatan kotor efektif.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-4-
36) Tenaga Ahli adalah orang yang mempunyai keahlian dan kualifikasi
pada suatu bidang tertentu di luar ruang lingkup kegiatan penilaian
dan tidak bekerja pada Kantor Jasa Penilai Publik.
37) Hutan Tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka
meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan
silvikultur intensif.
38) Daur Tanaman adalah jangka waktu yang diperlukan bagi suatu jenis
tanaman sejak mulai penanaman sampai mencapai umur tebang.
39) Umur Tanaman adalah masa waktu tanaman dapat dibudidayakan
dimulai dari penanaman hingga akhir masa produktif.
40) Areal Tertanam adalah areal yang sudah diolah (land clearing) dan
ditanami dengan komoditas perkebunan, baik yang telah menghasilkan
maupun belum menghasilkan.
b. Umum
1) Dalam rangka melakukan kegiatan penilaian properti di Pasar Modal,
Penilai Properti wajib menaati kode etik dan standar yang ditetapkan
oleh asosiasi sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan ini.
2) Penilai Properti wajib menggunakan Nilai Pasar (Market Value) dalam
setiap kegiatan penilaian properti.
3) Penilaian properti dapat menggunakan Nilai Pasar untuk Penggunaan
Yang Ada (Market Value for the Existing Use) atau Nilai Dalam
Penggunaan (Value in Use) dalam penilaian Properti Khusus (Specialized
Property) dengan Metode Biaya Pengganti Terdepresiasi (Depreciated
Replacement Cost Method/Metode DRC).
4)
Nilai Pasar (Market Value), Nilai Pasar untuk Penggunaan yang Ada
(Market Value for the Existing Use) dan Nilai Dalam Penggunaan (Value in
Use) sebagaimana dimaksud dalam butir 2) dan 3) digunakan untuk
menentukan Nilai Wajar (Fair Value).
5) Penggunaan Nilai sebagaimana dimaksud dalam butir 2), 3) dan 4)
wajib disajikan secara konsisten oleh Penilai Properti dalam Laporan
Penilaian Properti.
6) Laporan Penilaian Properti berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan
sejak Tanggal Penilaian (Cut Off Date), kecuali terdapat hal-hal yang
dapat mempengaruhi kesimpulan Nilai lebih dari 5% (lima perseratus).
7) Dalam hal Penilai Properti melakukan revisi atas Laporan Penilaian
Properti, maka Penilai Properti wajib menerbitkan kembali Laporan
Penilaian Properti dengan tanggal dan nomor yang berbeda dengan
disertai alasan dan penjelasan diterbitkannya revisi atas Laporan
Penilaian Properti dimaksud. Fakta dan perubahan yang material wajib
diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti yang telah direvisi
tersebut.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-5-
2. PENGGANTIAN PENILAI PROPERTI
Dalam hal terjadi penggantian Penilai Properti, maka berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. Penggantian Penilai Properti hanya dapat dilakukan apabila Penilai Properti:
1) mengundurkan diri; atau
2) diberhentikan oleh pemberi tugas dengan pemberitahuan bahwa
penugasannya telah dihentikan disertai dengan alasan yang obyektif.
b. Penggantian Penilai Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib
dibuktikan dengan surat tertulis dari pemberi tugas.
c. Penggantian Penilai Properti hanya dilakukan untuk penilaian atas obyek
yang sama.
d. Sebelum menerima penugasan penilaian profesional, Penilai Properti
pengganti wajib terlebih dahulu:
1) meminta persetujuan tertulis dari calon pemberi tugas untuk meminta
keterangan dari Penilai Properti yang digantikan;
2) melakukan komunikasi, baik tertulis maupun lisan, dengan Penilai
Properti yang digantikan mengenai masalah-masalah yang menurut
keyakinan Penilai Properti pengganti akan membantu dalam
penerimaan atau penolakan penugasan penilaian profesional; dan
3) melakukan evaluasi atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir
1) dan 2) untuk memutuskan menerima atau menolak penugasan
penilaian profesional.
e. Penilai Properti yang digantikan wajib memberikan jawaban dengan segera
dan lengkap atas pertanyaan dari Penilai Properti pengganti berdasarkan
fakta yang diketahuinya.
f. Penilai Properti pengganti hanya dapat menerima suatu penugasan penilaian
profesional apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf d telah
dilakukan.
g. Penilai Properti yang digantikan maupun Penilai Properti pengganti wajib
menjaga kerahasiaan informasi yang telah diperoleh kecuali atas permintaan
Bapepam dan LK atau diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
h. Penilai Properti pengganti wajib mengulang pelaksanaan penilaian sesuai
dengan standar dan pedoman penilaian sebagaimana dimaksud dalam angka
1 huruf b butir 1).
i. Penilai Properti pengganti tidak bertanggung jawab atas pekerjaan Penilai
Properti yang digantikan dan tidak menerbitkan suatu laporan yang
mencerminkan pembagian tanggung jawab.
3. OPINI KEDUA (SECOND OPINION) TERHADAP HASIL PENILAIAN
a. Dalam hal terdapat dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan penilaian, maka
Bapepam dan LK dapat melakukan review khusus terhadap Laporan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-6-
Penilaian Properti yang telah diterbitkan dalam rangka memperoleh opini
kedua (second opinion).
b. Pelaksanaan review khusus terhadap Laporan Penilaian Properti
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan oleh Penilai Properti lain
yang ditunjuk oleh Bapepam dan LK.
c. Hasil review khusus atas Laporan Penilaian Properti sebagaimana dimaksud
dalam huruf a bertujuan memberikan opini bahwa analisis, Pendekatan
Penilaian, Metode Penilaian, dan kesimpulan nilai dalam Laporan Penilaian
Properti yang direview adalah benar, layak, dan didukung dengan bukti
yang cukup.
d. Review khusus atas Laporan Penilaian Properti sebagaimana dimaksud
dalam huruf a wajib dilakukan terhadap paling kurang hal-hal sebagai
berikut:
1) keakuratan atas proyeksi penilaian dan perhitungan dalam Pendekatan
Penilaian dan Metode Penilaian;
2) keakuratan dan kelayakan dari seluruh asumsi yang digunakan sesuai
dengan data dan informasi yang relevan;
3) kecukupan dan relevansi data serta kelayakan Pendekatan Penilaian
dan Metode Penilaian yang digunakan;
4) kebenaran, kelayakan, dan konsistensi atas analisis, opini, dan
kesimpulan dari Laporan Penilaian Properti yang direview; dan
5) kesesuaian hasil penilaian yang disajikan dalam Laporan Penilaian
Properti yang direview dengan standar dan pedoman sebagaimana
diatur dalam Peraturan ini.
e. Apabila diperlukan, review khusus atas Laporan Penilaian Properti
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat meminta pendapat dari Tenaga
Ahli.
f. Laporan hasil review khusus wajib paling kurang mengungkapkan:
1) identitas Penilai Properti yang menerbitkan Laporan Penilaian Properti
yang direview serta maksud dan tujuan penilaian;
2) identitas pemberi tugas dan pengguna laporan hasil review khusus;
3) hasil identifikasi atas obyek penilaian, Tanggal Penilaian (Cut Off Date),
Tanggal Laporan Penilaian Properti dan opini Penilai Properti yang ada
pada Laporan Penilaian Properti yang direview;
4)
tanggal pelaksanaan review khusus;
5) uraian proses review khusus yang dilaksanakan;
6)
7) pendapat Tenaga Ahli (jika ada);
8) opini dan kesimpulan; dan
9)
asumsi-asumsi dan kondisi pembatas dalam pelaksanaan review
khusus;
seluruh informasi yang digunakan dalam proses review khusus.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-7-
g. Review khusus atas Laporan Penilaian Properti sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dilarang mendasarkan pada kejadian-kejadian setelah Tanggal
Penilaian (subsequent event) dari Laporan Penilaian Properti yang direview.
h. Laporan hasil review khusus sebagaimana dimaksud dalam huruf f wajib
mengungkapkan alasan-alasan secara komprehensif mengenai opini dan
kesimpulan yang dinyatakan.
i. Perbedaan kesimpulan Nilai antara laporan hasil review khusus dengan
Laporan Penilaian Properti yang direview dianggap material jika terdapat
perbedaan kesimpulan Nilai lebih dari 15% (lima belas perseratus) dari
kesimpulan Nilai Laporan Penilaian Properti yang direview.
j. Hasil review khusus wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal laporan hasil review khusus.
k. Biaya yang timbul sebagai akibat dari review khusus atas Laporan Penilaian
Properti menjadi beban pemberi tugas sebagaimana disebutkan dalam
Laporan Penilaian Properti yang direview atau Pihak tertentu yang ditunjuk
oleh Bapepam dan LK.
4. KEWAJIBAN PENILAI PROPERTI DALAM PENUGASAN PENILAIAN
PROFESIONAL
Hal-hal yang wajib dilakukan Penilai Properti dalam melakukan penugasan
penilaian profesional adalah:
a. Penilai Properti wajib memiliki kualifikasi, kompetensi, dan keahlian sesuai
dengan spesialisasi industri yang terkait dengan obyek penilaian.
b. Sebelum menerima penugasan penilaian profesional, Penilai Properti wajib:
1) memperoleh informasi yang memadai paling kurang atas hal-hal
berikut ini:
a) identitas pemberi tugas;
b) kondisi entitas dan industrinya;
c) obyek penilaian;
d) Tanggal Penilaian (Cut Off Date);
e)
ruang lingkup dari penugasan penilaian profesional, antara lain:
(1) maksud dan tujuan dari penugasan penilaian profesional;
(2) asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang digunakan dalam
penugasan penilaian profesional; dan
(3) dasar Nilai yang digunakan.
f) kontrak penugasan penilaian profesional atau surat perjanjian
kerja;
g)
h)
syarat penugasan penilaian profesional yang diajukan oleh
pemberi tugas;
sifat dari obyek penilaian;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-8-
i)
j)
prosedur yang wajib dipenuhi dalam penugasan penilaian
profesional serta pembatasan prosedur tersebut oleh pemberi
tugas;
keadaan lain di luar kendali Penilai Properti atau pemberi tugas
(jika ada); dan
k) ketentuan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan
obyek penilaian atau penugasan penilaian profesional.
2) membuat kontrak penugasan penilaian profesional atau surat perjanjian
kerja dengan pemberi tugas dalam bentuk tertulis yang mencakup
paling kurang:
a) dasar Nilai yang akan digunakan;
b) maksud dan tujuan penugasan penilaian profesional;
c) hak dan kewajiban pemberi tugas;
d) hak dan kewajiban Penilai Properti;
e)
f)
asumsi-asumsi awal yang dapat digunakan dan kondisi-kondisi
pembatas;
jenis dan penggunaan laporan yang akan diterbitkan; dan
g) dasar penghitungan imbalan jasa Penilai Properti.
c. Setelah menerima penugasan, Penilai Properti wajib melakukan hal-hal
berikut:
1) pada saat permulaan penugasan profesional, Penilai Properti wajib
melakukan analisis mengenai sifat, fakta, obyek penilaian, dan kondisi
rencana transaksi untuk:
a) mengklarifikasi kebutuhan data dan melakukan diskusi dengan
pemberi tugas guna memperoleh kesepahaman atas penugasan
penilaian profesional;
b) mengidentifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis data; dan
c) menentukan penerapan Pendekatan Penilaian dan Metode
Penilaian yang sesuai dan tepat.
2) melakukan penilaian secara tidak berpihak, obyektif, dan tanpa
mengakomodasi kepentingan pribadi atau pihak tertentu;
3) menganalisis seluruh aspek obyek penilaian;
4) melakukan Inspeksi terhadap obyek penilaian;
5) membuat dan memelihara kertas kerja penilaian properti;
6) membuat dan memelihara dokumentasi pendukung; dan
7) dalam hal terdapat kondisi yang mewajibkan dilakukannya revisi atas
kontrak penugasan penilaian profesional atau surat perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud dalam huruf b butir 2), maka revisi dimaksud
wajib dilakukan atas dasar kesepakatan antara Penilai Properti dan
pemberi tugas.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-9-
d. Penilai Properti wajib mempertimbangkan ruang lingkup penugasan
penilaian profesional yang paling kurang meliputi:
1) obyek penilaian yang perlu diidentifikasi dan diinspeksi;
2)
3)
4)
Inspeksi obyek penilaian;
data yang perlu diteliti; dan
analisis data dan informasi yang perlu dilakukan untuk memperoleh
opini dan hasil penilaian.
e. Dalam hal Penilai Properti menggunakan opini, hasil pekerjaan, atau
pernyataan Tenaga Ahli, maka Penilai Properti wajib:
1) mengungkapkan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas termasuk
tingkat tanggung jawab dan asumsi Penilai Properti atas hasil pekerjaan
Tenaga Ahli tersebut;
2) memuat opini atau hasil pekerjaan atau pernyataan Tenaga Ahli
tersebut dalam Laporan Penilaian Properti; dan
3) melampirkan laporan hasil kerja Tenaga Ahli tersebut dalam Laporan
Penilaian Properti.
Jangka waktu antara laporan hasil kerja Tenaga Ahli dan Tanggal Penilaian
(Cut Off Date) tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
diterbitkannya laporan Tenaga Ahli.
f. Penilai Properti wajib menentukan klasifikasi aset yang menjadi obyek
penilaian, antara lain:
1) Aset operasional; dan
2) Aset non-operasional.
g. Penilai Properti wajib menggunakan data dan informasi atau properti
pembanding yang bersumber dari dan/atau divalidasi oleh Asosiasi Profesi
Penilai untuk setiap pendekatan dalam rangka penilaian properti.
h. Data dan informasi serta waktu perolehannya sebagaimana dimaksud dalam
huruf g wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti, antara lain:
1) Data pasar tanah;
2) Standar biaya bangunan; dan
3) Properti market.
i. Penilai Properti wajib melakukan penyesuaian atas data dan informasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf h.
j. Penilai Properti wajib memastikan bahwa Tim Penugasan Penilaian
Profesional memiliki:
1) kualifikasi, kompetensi, dan keahlian sesuai dengan spesialisasi industri
yang terkait dengan obyek penilaian; dan
2) pemahaman yang memadai mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam huruf b sampai dengan i.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-10-
5. LARANGAN PENILAI PROPERTI DALAM PENUGASAN PENILAIAN
PROFESIONAL
Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan oleh Penilai Properti dalam melakukan
penugasan penilaian profesional adalah:
a. Melakukan penilaian yang opini atau kesimpulan dalam Laporan Penilaian
Properti telah ditentukan terlebih dahulu;
b. Mengeluarkan 2 (dua) atau lebih hasil penilaian pada obyek penilaian yang
sama dan untuk Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang sama;
c. Menghasilkan Laporan Penilaian Properti yang menyesatkan dan/atau
membiarkan Pihak lain menyampaikan Laporan Penilaian Properti yang
menyesatkan;
d. Menerima penugasan penilaian profesional dari pembeli dan penjual
terhadap obyek penilaian yang sama pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date)
yang sama;
e. Menerima penugasan penilaian profesional dimana terdapat pembatasan
ruang lingkup penugasan dan/atau yang memiliki kondisi-kondisi yang
membatasi ruang lingkup penugasan sedemikian rupa sehingga dapat
mengakibatkan hasil penilaian tidak dapat dipertanggungjawabkan;
f. Memberikan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang dapat
mengakibatkan penggunaan Laporan Penilaian Properti menjadi terbatas;
g. Menggunakan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang menyebabkan
Dasar Penilaian menyimpang dari kontrak penugasan penilaian profesional
atau surat perjanjian kerja;
h. Menggunakan asumsi yang mengurangi substansi Nilai;
i. Menggunakan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang mengurangi
tanggung jawab Penilai Properti terhadap hasil penilaian;
j. Menggunakan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang membatasi
pelaksanaan prosedur penilaian secara keseluruhan;
k. Menerima pembayaran atas jasa penilaian, baik berupa komisi maupun
dalam bentuk lainnya, selain yang telah disepakati dalam kontrak penugasan
penilaian profesional atau surat perjanjian kerja; dan
l. Memberikan data dan/atau informasi yang bersifat rahasia yang digunakan
untuk melakukan penilaian properti dan/atau untuk tujuan lain selain untuk
keperluan kegiatan penilaian properti kepada siapapun, kecuali:
1)
telah memperoleh persetujuan dari Pihak yang memiliki data dan/atau
informasi rahasia tersebut;
2) dalam rangka pengawasan yang dilakukan oleh Bapepam dan LK
dan/atau Pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; dan/atau
3) untuk kepentingan peradilan.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-11-
6. KERTAS KERJA PENILAIAN PROPERTI
Dalam melakukan penugasan penilaian profesional, Penilai Properti wajib
membuat dan memelihara kertas kerja penilaian properti dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Kertas kerja penilaian properti wajib memuat catatan-catatan yang
diselenggarakan oleh Penilai Properti tentang prosedur penilaian, pengujian,
seluruh data dan informasi yang digunakan termasuk properti pembanding,
sumber data dan informasi, analisis atas data dan informasi, dan kesimpulan
yang dibuat sehubungan dengan proses penilaian yang dilakukan.
b. Bentuk kertas kerja penilaian properti antara lain berupa program penilaian,
analisis, memorandum, surat konfirmasi, surat representasi, ikhtisar dari
dokumen-dokumen pemberi tugas, dokumen properti pembanding, seluruh
dokumen yang berkaitan dengan hasil Inspeksi, bukti konfirmasi status dan
posisi hukum atas obyek penilaian dari pemberi tugas, dan daftar atau
komentar yang dibuat atau diperoleh oleh Penilai Properti dalam rangka
penugasan penilaian profesional.
c. Kertas kerja penilaian properti wajib menunjukkan bahwa:
1) penugasan penilaian profesional telah direncanakan dan disupervisi
dengan baik;
2) pemahaman yang memadai atas obyek penilaian telah diperoleh; dan
3)
data dan informasi yang digunakan, bukti penilaian yang diperoleh,
prosedur penilaian yang ditetapkan, dan pengujian yang dilaksanakan,
telah memadai sebagai dasar untuk menyatakan pendapat atas obyek
penilaian.
d. Kertas kerja penilaian properti wajib didokumentasikan baik dalam bentuk
dokumen cetak (hard copy) dan dokumen elektronik (soft copy) yang tidak
dapat diubah.
Dalam hal kertas kerja penilaian properti tidak dimungkinkan untuk
didokumentasikan dalam bentuk dokumen cetak (hard copy) maka kertas
kerja dimaksud dapat didokumentasikan dalam bentuk dokumen elektronik
(soft copy) atau sebaliknya.
e. Kertas kerja penilaian properti wajib disimpan dalam jangka waktu sesuai
dengan Undang-undang tentang Dokumen Perusahaan.
7.
INSPEKSI
Dalam melakukan Inspeksi, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Obyek Inspeksi adalah obyek penilaian yang meliputi Aset Operasional
dan/atau Aset Non Operasional.
b. Penilai Properti wajib mengajukan permintaan secara tertulis kepada pemberi
tugas untuk memperoleh data obyek penilaian, antara lain legalitas obyek
penilaian dan perizinan;
c. Penilai Properti wajib melakukan identifikasi untuk memperoleh informasi
secara obyektif atas kondisi obyek penilaian.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-12-
d. Penilai Properti wajib mengidentifikasi legalitas obyek penilaian dan
perizinan, yaitu:
1)
jenis kepemilikan atau penguasaan, antara lain:
a) hak milik;
b) hak guna bangunan;
c) hak guna usaha;
d) hak bangun serah guna (built operating transfer);
e)
sewa guna properti (leasing); atau
f) hak dan penguasaan lainnya.
2) identitas pemegang hak atas obyek penilaian;
3)
syarat dan ketentuan obyek penilaian, antara lain;
a) perjanjian-perjanjian yang mengikat obyek penilaian;
b) dampak atas rencana tata ruang dan tata kota, lingkungan, dan
rencana tata ruang dan tata kota lainnya;
c) dampak atas rencana pemerintah untuk wilayah yang terkena
pembatasan pembangunan; dan/atau
d) pelanggaran atas peraturan perundang-undangan.
e. Penilai Properti wajib melakukan verifikasi untuk memeriksa kesesuaian
antara data obyek penilaian yang diperoleh dari pemberi tugas dengan
kondisi obyek penilaian.
f. Penilai Properti wajib memperoleh daftar aset dan/atau bukti kepemilikan
lainnya dari pemberi tugas dan melakukan konfirmasi untuk memastikan
legalitas obyek penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf d.
g. Penilai Properti wajib mengungkapkan tentang keraguan atas legalitas obyek
penilaian setelah melakukan konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam huruf
f yang dapat mempengaruhi nilai (jika ada).
h. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi terhadap tanah, maka selain
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g
berlaku pula ketentuan:
1)
Inspeksi atas tanah dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi
antara lain:
a) kondisi fisik tanah, termasuk bentuk, ukuran, elevasi, topografi,
keadaan permukaan (contour), luasan, dan batas-batas.
b) karakteristik umum wilayah, kota, lingkungan setempat, fasilitas
lingkungan, sosial, ekonomi, dan lingkungan lainnya serta
peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi Nilai;
c) penggunaan lahan pada saat Tanggal Penilaian (Cut Off Date); dan
d) pengembangan (improvement) yang ada.
2) Dalam hal Penilai Properti tidak memperoleh ukuran obyek penilaian
yang pasti sebagaimana dimaksud dalam butir 1) poin a), maka Penilai
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-13-
Properti dapat melakukan pengukuran sendiri secara profesional dan
wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti.
i. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi terhadap bangunan, maka
selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf
g berlaku pula ketentuan:
1)
Inspeksi atas bangunan dilakukan untuk mendapatkan data dan
informasi antara lain:
a)
spesifikasi teknis bangunan, meliputi jenis bangunan, jenis
konstruksi, jumlah lantai, bentuk dan ukuran serta peralatan
penunjang bangunan;
b) kondisi fisik bangunan;
c) penggunaan bangunan pada saat Tanggal Penilaian (Cut Off Date);
d) izin mendirikan bangunan;
e) Peraturan Pemerintah Daerah mengenai tata bangunan di wilayah
lokasi properti; dan
f) data dan informasi antara lain tentang tarif sewa, tingkat hunian,
daftar penyewa, biaya operasi dan kondisi operasional secara
umum, dalam hal untuk bangunan komersial seperti perkantoran
yang disewakan dan pusat perbelanjaan.
2) Dalam hal Penilai Properti tidak memperoleh ukuran obyek penilaian
yang pasti sebagaimana dimaksud dalam butir 1) poin a), maka Penilai
Properti dapat melakukan pengukuran sendiri secara profesional dan
wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti.
j. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi terhadap Personal Properti
yang berupa mesin dan peralatan, maka selain ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g berlaku pula ketentuan:
1)
Inspeksi atas mesin dan peralatan dilakukan untuk mendapatkan data
dan informasi antara lain:
a)
spesifikasi teknis, antara lain nama mesin dan peralatan, merek,
buatan, tipe/model, tahun pembuatan, kapasitas dan spesifikasi
utama lainnya, serta peralatan penunjang;
b) kondisi mesin dan peralatan;
c) proses produksi dan pengelompokan mesin-mesin produksi
maupun mesin penunjang yang digunakan dari suatu industri;
d) kondisi pasar dari produk yang dihasilkan oleh industri/ usaha
dimana mesin dan peralatan digunakan serta kondisi pasar mesin
dan peralatan;
e) masa penggunaan tanah dan bangunan dimana mesin dan
peralatan melekat;
f) Peraturan Pemerintah yang terkait dengan jenis industri/ usaha
obyek penilaian; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-14-
g)
status kepemilikan atas mesin dan peralatan, antara lain dokumen
kepemilikan, kontrak, bukti pengadaan/ pembelian, faktur
(invoice), daftar aset tetap dan/atau surat keterangan kepemilikan
properti dari pemilik.
2) Dalam hal penilai tidak memperoleh informasi mengenai spesifikasi
teknis mesin dan peralatan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) poin
a), maka penilai dapat memperkirakan spesifikasi teknis mesin dan
peralatan secara profesional dan wajib diungkapkan dalam Laporan
Penilaian Properti.
k. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi terhadap prasarana, maka
selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf
g berlaku pula ketentuan:
1)
Inspeksi atas prasarana dilakukan untuk mendapatkan data dan
informasi antara lain:
a)
spesifikasi teknis prasarana, meliputi jenis prasarana, jenis
konstruksi, bentuk dan ukuran; dan
b) kondisi fisik prasarana.
2) Dalam hal Penilai Properti tidak memperoleh ukuran obyek penilaian
yang pasti sebagaimana dimaksud dalam butir 1) poin a), maka Penilai
Properti dapat melakukan pengukuran sendiri secara profesional dan
wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti.
l. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi
1)
terhadap properti
perkebunan, maka selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
sampai dengan huruf g berlaku pula ketentuan:
Inspeksi atas properti perkebunan dilakukan untuk mendapatkan data
dan informasi, antara lain:
a)
b)
c)
jenis komoditas tanaman yang dikembangkan, luas areal
keseluruhan dan areal tertanam, lokasi kebun, sarana dan
prasarana perkebunan yang ada;
sarana dan prasarana umum yang ada disekitar lokasi perkebunan;
iklim di wilayah lokasi perkebunan;
d) keadaan pasar, baik untuk komoditas yang dihasilkan maupun
perkebunan itu sendiri;
e) Peraturan Pemerintah mengenai jenis perkebunan yang menjadi
obyek penilaian serta komoditas yang dihasilkan;
f)
tanaman perkebunan, dengan memenuhi ketentuan antara lain:
(1)
Inspeksi atas tanaman dapat dilakukan secara acak maupun
satu demi satu (sensus);
(2) pada Inspeksi tanaman secara acak Penilai Properti wajib
mengungkapkan secara jelas cara pengambilan dan
penentuan sampel beserta alasannya dalam Laporan
Penilaian Properti; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-15-
(3)
Inspeksi atas tanaman dilakukan untuk mendapatkan data
dan informasi antara lain:
(a) varietas tanaman atau jenis bibit yang dikembangkan;
(b) usia tanaman;
(c) luas area tertanam per usia tanaman;
(d) jarak tanam dan kerapatan tanaman;
(e) kondisi tanaman termasuk perlakuan pemeliharaan
tanaman, pemupukan, pencegahan dan pemberantasan
hama penyakit tanaman;
(f) pembibitan, meliputi sumber bibit, metode pembibitan
dan ketersediaan bibit; dan
(g) data dan informasi tentang produktivitas tanaman,
kualitas produk, sistem pemanenan, pengumpulan hasil
dan perlakuan hasil panen, untuk tanaman yang telah
berproduksi.
g)
Inspeksi atas tanah perkebunan dilakukan sesuai dengan Inspeksi
tanah secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf h serta
wajib diperoleh tambahan data dan informasi, antara lain:
(1) Sertifikat atau jenis hak penggunaan tanah;
(2) Luas tanah, perincian luas tertanam, luas untuk sarana dan
prasarana kebun, luas untuk pembibitan, luas tanah yang
belum dikembangkan serta luas tanah yang tidak dapat
ditanami; dan
(3) Tingkat kesuburan tanah serta kesesuaian lahan untuk jenis
komoditas perkebunan yang dikembangkan;
h)
i)
j)
Inspeksi atas bangunan yang tercakup dalam properti perkebunan
dilakukan sesuai dengan Inspeksi bangunan secara umum
sebagaimana dimaksud dalam huruf i;
Inspeksi atas mesin dan peralatan yang tercakup dalam properti
perkebunan dapat dilakukan sesuai dengan Inspeksi mesin dan
peralatan secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf l; dan
Inspeksi atas prasarana yang tercakup dalam properti perkebunan
dilakukan sesuai dengan inspeksi prasarana secara umum
sebagaimana dimaksud dalam huruf k.
2) Dalam hal Penilai Properti tidak memperoleh ukuran obyek penilaian
yang pasti sebagaimana dimaksud dalam butir 1) poin g) nomor (2),
maka Penilai Properti dapat melakukan pengukuran sendiri secara
profesional dan wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti.
m. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi terhadap properti kehutanan,
maka selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan
huruf g berlaku pula ketentuan:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-16-
1)
Inspeksi atas properti kehutanan yang berupa hak pengelolaan hutan
alam dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi antara lain:
a)
jenis dari hak atau kuasa kehutanan yang dimiliki termasuk
persyaratan-persyaratan dan batasan-batasan yang tercantum
didalamnya beserta dokumen pendukungnya;
b) keadaan wilayah disekitar lokasi hutan termasuk sarana dan
prasarana yang ada;
c)
iklim di wilayah lokasi hutan;
d) keadaan pasar untuk tiap-tiap jenis tegakan kayu yang terkandung
serta produk olahan kayu;
e) Peraturan Pemerintah mengenai kehutanan yang menjadi obyek
penilaian serta komoditas yang dihasilkan;
f)
tegakan kayu yang terkandung didalam hutan yang menjadi obyek
penilaian, dengan memenuhi ketentuan antara lain:
(1)
Inspeksi atas tegakan kayu dapat dilakukan dengan cara
membandingkan kandungan tegakan kayu dengan dokumen
nilai rata-rata potensi tegakan atau melakukan sampling
secara acak maupun satu demi satu (sensus);
(2) pada Inspeksi tegakan sebagaimana dimaksud pada nomor
(1) Penilai Properti wajib mengungkapkan secara jelas cara
pengambilan dan penentuan sampel beserta alasannya dalam
kertas kerja Penilai Properti dan Laporan Penilaian Properti;
dan
(3)
Inspeksi atas tegakan dilakukan untuk mendapatkan data
dan informasi antara lain:
(a) jenis-jenis kayu yang terkandung di dalam hutan yang
menjadi obyek penilaian;
(b) diameter dan ketinggian tiap tegakan serta jumlah
tegakan untuk masing-masing jenis kayu termasuk
volume dan jumlah pohon rata-rata per satuan luas; dan
(c) luas area dan kondisi umum hutan;
g)
Inspeksi atas bangunan yang tercakup dalam properti kehutanan
yang berupa hak pengelolaan hutan alam dilakukan sesuai dengan
Inspeksi bangunan secara umum sebagaimana dimaksud dalam
huruf i;
h)
Inspeksi atas mesin dan peralatan yang tercakup dalam properti
kehutanan yang berupa hak pengelolaan hutan alam dilakukan
sesuai dengan Inspeksi mesin dan peralatan secara umum
sebagaimana dimaksud dalam huruf j; dan
i)
Inspeksi atas prasarana yang tercakup dalam properti kehutanan
yang berupa hak pengelolaan hutan alam dilakukan sesuai dengan
Inspeksi prasarana secara umum sebagaimana dimaksud dalam
huruf k.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-17-
2)
Inspeksi atas properti kehutanan yang berupa budidaya Hutan
Tanaman dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi, antara
lain:
a)
b)
c)
jenis komoditas tanaman yang di kembangkan, luas areal
keseluruhan dan areal tertanam, lokasi hutan, serta sarana dan
prasarana hutan yang ada;
sarana dan prasarana umum yang ada disekitar lokasi hutan;
iklim di wilayah lokasi hutan;
d) keadaan pasar, baik untuk komoditas yang dihasilkan maupun
hutan budidaya tanaman itu sendiri;
e) Peraturan Pemerintah mengenai jenis hutan budidaya tanaman
yang menjadi obyek penilaian serta komoditas yang dihasilkan;
f)
tanaman hutan budidaya, dengan memenuhi ketentuan antara
lain:
(1)
Inspeksi atas tanaman hutan budidaya dapat dilakukan
dengan cara membandingkan jumlah tanaman hutan
budidaya dengan hasil inventarisasi yang telah dilakukan,
atau melakukan sampling secara acak maupun satu demi
satu (sensus);
(2) pada Inspeksi
tanaman hutan budidaya sebagaimana
dimaksud pada nomor (1) Penilai Properti wajib
mengungkapkan secara jelas cara pengambilan dan
penentuan sampel beserta alasannya dalam kertas kerja
penilaian dan Laporan Penilaian Properti;
(3)
Inspeksi atas tanaman hutan budidaya dilakukan untuk
mendapatkan data dan informasi antara lain:
(a) varietas tanaman hutan budidaya atau jenis bibit yang
dikembangkan;
(b) usia tanaman hutan budidaya;
(c) luas area tertanam per kelas usia tanaman;
(d) jarak tanam dan kerapatan tanaman;
(e) kondisi tanaman hutan budidaya termasuk perlakuan
pemeliharaan tanaman, pemupukan, pencegahan dan
pemberantasan hama penyakit tanaman;
(f) pembibitan, meliputi sumber bibit, metode pembibitan
dan ketersediaan bibit; dan
(g) data dan informasi tentang sistem pemanenan,
pengumpulan hasil dan perlakuan hasil panen, untuk
tanaman hutan budidaya yang telah siap panen;
g)
Inspeksi atas tanah yang tercakup dalam properti kehutanan
berupa budidaya Hutan Tanaman dilakukan sesuai dengan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-18-
Inspeksi tanah secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf
h serta wajib diperoleh tambahan data dan informasi, antara lain:
(1)
(2)
sertifikat atau jenis hak penggunaan tanah;
luas tanah, perincian luas tertanam, luas untuk sarana dan
prasarana, luas untuk pembibitan, luas tanah yang belum
dikembangkan serta luas tanah yang tidak dapat ditanami;
dan
(3)
h)
tingkat kesuburan tanah serta kesesuaian lahan untuk jenis
komoditas perkebunan yang dikembangkan.
Inspeksi atas bangunan yang tercakup dalam properti kehutanan
berupa budidaya Hutan Tanaman dilakukan sesuai dengan
Inspeksi bangunan secara umum sebagaimana dimaksud dalam
huruf i;
i)
Inspeksi atas mesin dan peralatan yang tercakup dalam properti
kehutanan berupa budidaya Hutan Tanaman dilakukan sesuai
dengan Inspeksi mesin dan peralatan secara umum sebagaimana
dimaksud dalam huruf l; dan
j)
Inspeksi atas prasarana yang tercakup dalam properti kehutanan
yang berupa budidaya Hutan Tanaman dilakukan sesuai dengan
inspeksi prasarana secara umum sebagaimana dimaksud dalam
huruf k.
n. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi
terhadap properti
pertambangan berupa hak atau Kuasa Pertambangan, maka selain ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g berlaku pula
ketentuan:
1)
Inspeksi atas properti pertambangan berupa hak atau Kuasa
Pertambangan dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi,
antara lain:
a)
jenis dari hak atau kuasa pertambangan yang dimiliki termasuk
persyaratan-persyaratan dan batasan-batasan yang terkandung
didalamnya;
b) keadaan wilayah disekitar lokasi tambang termasuk sarana dan
prasarana yang ada;
c) Peraturan Pemerintah mengenai properti pertambangan yang
menjadi obyek penilaian serta komoditas yang dihasilkan;
d) laporan survei atau penelitian geologi atas pertambangan yang
menjadi obyek penilaian yang dilakukan oleh pihak lain yang
kompeten untuk memperoleh data dan informasi tentang:
(1) keadaan tambang secara umum termasuk luas areal dan
formasi kandungan bahan tambang;
(2) kualitas dan kuantitas kandungan bahan tambang serta
variasi tebal dan kedalaman lapisan kandungan bahan
tambang; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-19-
(3)
rekomendasi sistem eksploitasi bahan tambang,
kemungkinan diperlukannya pengolahan lanjutan serta
sistem pengangkutan bahan tambang; dan
e) Proyeksi volume eksploitasi pertahun yang diperoleh dari
manajemen dengan memperhatikan kapasitas mesin dan peralatan,
fasilitas lain yang tersedia dan keadaan pasar.
2)
3)
4)
Inspeksi atas tanah yang tercakup dalam properti pertambangan berupa
hak atau Kuasa Pertambangan dilakukan sesuai dengan Inspeksi tanah
secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf h;
Inspeksi atas bangunan yang tercakup dalam properti pertambangan
berupa hak atau Kuasa Pertambangan dilakukan sesuai dengan Inspeksi
bangunan secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf i;
Inspeksi atas mesin dan peralatan yang tercakup dalam properti
pertambangan berupa hak atau Kuasa Pertambangan dilakukan sesuai
dengan Inspeksi mesin dan peralatan secara umum sebagaimana
dimaksud dalam huruf l; dan
5)
Inspeksi atas prasarana yang tercakup dalam properti pertambangan
berupa hak atau Kuasa Pertambangan dilakukan sesuai dengan inspeksi
prasarana secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf k.
o. Dalam hal tidak dimungkinkan untuk dilakukannya Inspeksi obyek penilaian
disebabkan karena karakteristik obyek penilaian, maka Penilai Properti wajib:
1) menggunakan data yang mencerminkan kondisi dan spesifikasi obyek
penilaian dan dapat dipertanggungjawabkan;
2) meyakini bahwa sumber data dapat dipertanggungjawabkan; dan
3) mengungkapkan alasan tidak dapat dilakukannya Inspeksi terhadap
obyek penilaian dalam Laporan Penilaian Properti.
8. KEJADIAN-KEJADIAN PENTING SETELAH TANGGAL PENILAIAN
(SUBSEQUENT EVENTS)
Dalam hal terdapat kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian
(subsequent events), Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent events), baik
yang diketahui maupun yang patut diketahui sampai dengan Tanggal
Laporan Penilaian Properti, wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian
Properti.
b. Kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent events) tidak
dapat digunakan untuk memutakhirkan hasil penilaian.
c. Dalam hal kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent
events) tersebut mengandung informasi yang dapat mempengaruhi Nilai
obyek penilaian, maka Penilai Properti wajib mengungkapkan sifat dan
dampaknya dalam Laporan Penilaian Properti.
d. Pengungkapan kejadian-kejadian penting sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf c wajib secara jelas mengindikasikan bahwa
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-20-
pengungkapan tersebut tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi penentuan
Nilai pada saat Tanggal Penilaian (Cut Off Date).
9. ASUMSI-ASUMSI DAN KONDISI PEMBATAS
Asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang digunakan oleh Penilai Properti wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. menghasilkan Laporan Penilaian Properti yang bersifat non-disclaimer opinion;
b. mencerminkan bahwa Penilai Properti telah melakukan penelaahan atas
dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses penilaian;
c. mencerminkan bahwa data dan informasi yang diperoleh bersumber dari
atau divalidasi oleh Asosiasi Profesi Penilai;
d. menggunakan proyeksi keuangan yang telah disesuaikan yang
mencerminkan kewajaran proyeksi keuangan yang dibuat oleh manajemen
dengan kemampuan pencapaiannya (fiduciary duty);
e. mencerminkan bahwa Penilai Properti bertanggung jawab atas pelaksanaan
penilaian dan kewajaran proyeksi keuangan;
f. menghasilkan Laporan Penilaian Properti yang terbuka untuk publik kecuali
terdapat informasi yang bersifat rahasia, yang dapat mempengaruhi
operasional perusahaan;
g. mencerminkan bahwa Penilai Properti bertanggung jawab atas Laporan
Penilaian Properti dan kesimpulan Nilai akhir; dan
h. mencerminkan bahwa Penilai Properti telah melakukan penelaahan atas
status hukum obyek penilaian.
10. PENDEKATAN PENILAIAN, METODE PENILAIAN, DAN PROSEDUR
PENILAIAN
Penilai Properti dalam menggunakan Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian,
dan prosedur penilaian, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib memilih dan menerapkan Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian, dan
prosedur penilaian yang sesuai dengan maksud dan tujuan penilaian, definisi
Nilai yang dicari, dan karakteristik penilaian.
b. Pendekatan Penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf a terdiri dari:
1) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach);
2) Pendekatan Pendapatan (Income Approach); dan
3) Pendekatan Biaya (Cost Approach).
c. Wajib menggunakan paling kurang 2 (dua) Pendekatan Penilaian
sebagaimana dimaksud dalam huruf b untuk memperoleh hasil penilaian
yang akurat dan obyektif.
d. Dapat menggunakan satu Pendekatan Penilaian sebagaimana dimaksud
dalam huruf b, dalam hal melakukan:
1) Penilaian tanah kosong;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-21-
a) tanah yang memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik
(highest and best use) dan tidak menghasilkan pendapatan;
b) tanah yang memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik
(highest and best use) untuk dikembangkan sebagai properti yang
dapat dijual bagian demi bagian (kapling per kapling).
2) Penilaian unit properti dengan status strata title;
3) Penilaian properti dengan status bangun kelola dan serah (built operate
and transfer/BOT);
4) Penilaian properti industri termasuk mesin dan peralatan yang tidak
memiliki data pasar; dan
5) Penilaian Properti Khusus (Specialized Property).
e. Dalam hal Penilai Properti menggunakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b, c, dan d maka Penilai Properti wajib mengungkapkan
alasannya dalam Laporan Penilaian Properti.
11. PEDOMAN PENILAIAN DENGAN PENDEKATAN DATA PASAR (MARKET
DATA APPROACH)
Dalam hal Penilai Properti menggunakan Pendekatan Data Pasar (Market Data
Approach) maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) hanya dapat diterapkan
dengan menggunakan data pasar terkini dari obyek penilaian dan properti
pembanding.
b. Properti pembanding sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib
merupakan properti yang sebanding dan sejenis dengan obyek penilaian dan
telah ditransaksikan atau ditawarkan.
c. Nilai obyek penilaian wajib diperoleh melalui perbandingan antara data
pasar obyek penilaian dengan data pasar properti pembanding.
d. Properti pembanding sebagaimana dimaksud dalam huruf a, paling sedikit
berjumlah 3 (tiga) properti.
e. Dalam menentukan properti pembanding, Penilai Properti wajib
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1)
tingkat permintaan dan penawaran properti pembanding;
2) harga properti yang seharusnya dibayar untuk mendapatkan substitusi
obyek penilaian dengan utilitas properti yang serupa;
3) keseimbangan antara permintaan dan penawaran properti pembanding;
dan
4) pengaruh yang signifikan dari lingkungan sekitar obyek penilaian.
f. Data properti pembanding yang wajib diperoleh paling kurang berupa:
1)
data transaksi atau penawaran;
2) peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-22-
3)
data lainnya dari properti pembanding yang merupakan subtitusi dari
obyek penilaian.
g. Properti pembanding yang digunakan wajib terletak di lingkungan sekitar
atau kawasan yang sejenis dengan obyek penilaian dan berasal dari transaksi
atau penawaran yang bersifat layak dan wajar.
h. Setiap perbedaan data antara obyek penilaian dan properti pembanding yang
signifikan mempengaruhi Nilai, wajib digunakan sebagai faktor pembanding.
i. Wajib melakukan verifikasi dan analisis setiap data yang digunakan, paling
kurang:
1) melakukan Inspeksi untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan
antara obyek penilaian dengan properti pembanding;
2) melakukan analisis data properti pembanding sehingga memenuhi
syarat atau asumsi dalam Nilai Pasar (Market Value), yaitu:
a)
c)
penjual dan pembeli tidak berada dalam kondisi terpaksa;
b) penjual dan pembeli tidak mempunyai hubungan khusus yang
dapat menyebabkan transaksi tidak wajar;
penjual dan pembeli memiliki waktu yang cukup untuk
mengambil keputusan dalam transaksi; dan
d) tidak terdapat hal-hal khusus lainnya dalam transaksi.
3) memilih faktor-faktor pembanding yang tepat dan mengembangkan
analisis perbandingan untuk setiap faktor pembanding; dan
4) menggunakan faktor-faktor pembanding serta membuat penyesuaian
terhadap faktor-faktor pembanding dalam melakukan perbandingan
antara data pasar obyek penilaian dengan data pasar properti
pembanding.
j. Prosedur yang wajib dilakukan dalam Pendekatan Data Pasar (Market Data
Approach) adalah sebagai berikut:
1) Pengumpulan Data
a) pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan penelitian
untuk mendapatkan informasi data transaksi dan data penawaran
dari properti yang sebanding dan sejenis; dan
b) data wajib bersumber dari asosiasi penilai.
2) Penyesuaian di dalam Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach)
dilakukan paling kurang terhadap faktor:
a)
lokasi antara lain dengan memperhatikan lingkungan, akses, dan
fasilitas;
b) peruntukan (zoning) antara lain dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat penilaian;
c)
sifat-sifat fisik obyek penilaian
(1)
tanah antara lain dengan memperhatikan fisik, luasan,
bentuk, dan elevasi;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-23-
(2) bangunan antara lain dengan memperhatikan kondisi dan
fasilitas bangunan; dan
(3) obyek penilaian lainnya disesuaikan dengan karakteristik
jenis obyek penilaian.
k. Faktor-faktor pembanding yang wajib dipertimbangkan, paling kurang
meliputi:
1) Hak-hak yang terkandung dalam obyek penilaian dan properti
pembanding
Penilai Properti wajib mengidentifikasi hak-hak yang terdapat pada
obyek penilaian dan properti pembanding yang dipilih untuk dianalisis
dan selanjutnya dilakukan penyesuaian untuk setiap perbedaan hak-
hak yang terdapat pada obyek penilaian dan properti pembanding;
2) Kondisi penjualan
Penilai Properti wajib melakukan penyesuaian atas harga transaksi atau
penawaran jual properti pembanding terkait dengan kondisi penjualan,
seperti motivasi penjual dan pembeli dalam suatu transaksi yang layak
dan bersifat wajar, transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa, atau penguasaan yang dilakukan oleh pemerintah (eminent
domain);
3) Kondisi pasar
Penilai Properti wajib melakukan penyesuaian harga transaksi atau
penawaran jual properti pembanding dengan kondisi pasar;
4) Lokasi
Penilai Properti wajib melakukan penyesuaian atas harga transaksi atau
penawaran jual properti pembanding terkait dengan lokasi properti;
dan
5) Karakteristik fisik
Penilai Properti wajib melakukan penyesuaian atas perbandingan,
dalam hal terdapat perbedaan karakteristik fisik antara properti
pembanding dengan obyek penilaian. Perbedaan tersebut meliputi
antara lain ukuran, umur, kondisi, kualitas konstruksi, model arsitektur,
material bangunan, sarana pelengkap, ukuran tapak, atau karakteristik
lainnya dalam hal obyek penilaian bukan tanah dan bangunan.
l. Dalam melakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf i butir
2), Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) menerapkan secara konsisten dalam menetapkan penyesuaian antara
data obyek penilaian dengan data properti pembanding.
2) melakukan penyesuaian data properti pembanding, dengan
menggunakan bentuk penyesuaian sebagai berikut:
a) Penyesuaian bentuk persentase
Penyesuaian yang digunakan untuk menyesuaikan perbedaan
antara data obyek penilaian dengan data properti pembanding
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-24-
antara lain, berupa kondisi fisik dan lokasi dalam bentuk
persentase.
Penyesuaian dilakukan dengan menghitung perbedaan kelebihan
atau kekurangan dalam bentuk persentase, antara lain:
(1)
jika data obyek penilaian dan data properti pembanding
sama, maka tidak diperlukan penyesuaian;
(2)
jika data obyek penilaian lebih unggul sebesar x% (x
perseratus) dari data properti pembanding, maka
keunggulan sebesar x% (x perseratus) tersebut ditambahkan
kepada nilai properti pembanding; dan
(3)
jika data obyek penilaian lebih buruk sebesar x% (x
perseratus) dari data properti pembanding, maka
kekurangan sebesar x% tersebut dikurangkan dari nilai
properti pembanding; atau
b) Penyesuaian bentuk satuan uang
Penyesuaian yang digunakan untuk menyesuaikan perbedaan
antara data obyek penilaian dengan data properti pembanding
antara lain, berupa kondisi fisik dan lokasi dalam satuan uang.
Penyesuaian dilakukan dengan menghitung perbedaan kelebihan
atau kekurangan dalam bentuk satuan uang, antara lain:
(1)
(2)
jika data obyek penilaian dan data properti pembanding
sama, maka tidak diperlukan penyesuaian;
jika data obyek penilaian lebih unggul sebesar x rupiah
daripada data properti pembanding, maka keunggulan
sebesar x rupiah tersebut ditambahkan kepada nilai properti
pembanding; dan
(3)
jika data obyek penilaian lebih buruk sebesar x rupiah dari
data properti pembanding, maka kekurangan sebesar x
rupiah tersebut dikurangkan dari nilai properti pembanding.
3) melakukan rangkaian penyesuaian (sequence of adjustment) dengan cara
menjumlahkan faktor-faktor penyesuaian secara bersama-sama atau
dapat dilakukan sendiri-sendiri menurut cara penyesuaian yang
dilakukan dalam bentuk persentase atau satuan uang.
m. Dalam melakukan penyesuaian Penilai Properti dapat menggunakan teknik
penyesuaian, sebagai berikut:
1) Teknik tambah kurang secara menyeluruh (Overall Adjusment / Pluses
Minuses)
Penyesuaian dilakukan dengan langsung membandingkan secara
keseluruhan kelebihan dan kekurangan dari obyek penilaian dengan
properti pembanding.
2) Teknik Penyesuaian Biaya (Cost Adjusment)
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-25-
Penyesuaian dilakukan dengan memperhitungkan biaya yang
dibutuhkan untuk melakukan penyamaan kondisi dengan properti
pembanding jika terdapat perbedaan yang dapat diubah, seperti:
Ketinggian tanah (elevasi), topografi, struktur tanah dapat dilakukan
penyesuian dengan memperhitungkan biaya pengurukan (cut and fill).
Dalam menggunakan teknik Penyesuaian Biaya, Penilai Properti wajib
memperhatikan bahwa biaya pengembangan lahan (land improvement)
tidak selalu setara dengan nilai dari pengembangan tersebut.
3) Teknik Berpasangan (Paired Comparison)
Penyesuaian dilakukan berdasarkan satu perbedaan dari pasangan
properti pembanding yang dipasang-pasangkan.
4) Teknik Statistik
Dalam penggunaan teknik statistik diperlukan jumlah properti
pembanding yang cukup, paling kurang 20 (dua puluh) properti
pembanding.
n. Penilai Properti wajib menggunakan market data grid untuk menyatakan
konsistensi dari penyesuaian-penyesuaian yang dibuat. Grid tersebut
merupakan bagian untuk melakukan rekonsiliasi terhadap beberapa indikasi
Nilai dari properti pembanding yang telah disesuaikan.
o. Penilai Properti wajib membuat rekonsiliasi (pembobotan) terhadap berbagai
indikasi Nilai yang dihasilkan setelah dilakukan penyesuaian pada setiap
properti pembanding untuk menghasilkan indikasi nilai tunggal. Tingkat
pembobotan untuk masing-masing properti pembanding ditentukan
berdasarkan pada tingkat kemiripan masing-masing properti pembanding
terhadap obyek yang dinilai.
12. PEDOMAN PENILAIAN DENGAN PENDEKATAN PENDAPATAN (INCOME
APPROACH)
a. Dalam hal Penilai Properti menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income
Approach), maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) hanya dapat digunakan
untuk melakukan penilaian atas properti yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a) properti yang menghasilkan pendapatan (income producing
property);
(1) properti yang menghasilkan pendapatan dan sudah
beroperasi; dan
(2) properti yang menghasilkan pendapatan dan belum
beroperasi atau digunakan sendiri (owner occupied).
b)
tanah yang memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik
(highest and best use) untuk dikembangkan sebagai properti yang
menghasilkan pendapatan; atau
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-26-
c)
tanah yang memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik
(highest and best use) untuk dikembangkan sebagai properti yang
dapat dijual bagian demi bagian (kapling per kapling).
2) melakukan verifikasi dan analisis setiap data yang digunakan;
3) melakukan analisis terhadap laporan arus kas dan laba rugi selama 3
(tiga) tahun terakhir atau sejak pendirian apabila berdiri kurang dari 3
(tiga) tahun yang diperoleh dari pihak manajemen.
4) melakukan penyesuaian atas laporan arus kas dan laba rugi
sebagaimana dimaksud dalam butir 3) berdasarkan kondisi data pasar
dari properti yang sebanding dan sejenis.
5) penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam butir 4) wajib menggunakan
paling kurang 3 (tiga) properti pembanding yang sebanding dan sejenis
dengan obyek penilaian.
6) dalam hal obyek penilaian berupa properti yang menghasilkan
pendapatan dan belum beroperasi sebagaimana dimaksud dalam butir
1) poin a) nomor (2), maka ketentuan dalam butir 5) tidak diwajibkan.
7) membuat proyeksi pendapatan dan proyeksi pendapatan operasi bersih
obyek penilaian.
8) mengungkapkan data mengenai properti pembanding sebagaimana
dimaksud dalam butir 5) dalam Laporan Penilaian Properti.
9)
setelah dilakukan penyesuaian terhadap pos-pos yang relevan dalam
laporan arus kas dan laba rugi, maka Penilai Properti wajib menyajikan
proyeksi pendapatan dan proyeksi pendapatan operasi bersih dalam
Laporan Penilaian Properti.
b. Metode yang digunakan dalam Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
adalah sebagai berikut:
1) Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/Metode DCF);
2) Metode Kapitalisasi Langsung (Direct Capitalization Method);
3) Metode Penyisaan (Residual Technique Method); dan
4) Gross Income Multiplier (GIM).
c. Dalam hal Penilai Properti menggunakan metode diskonto arus kas (discounted
cash flow method/DCF), maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam hal proyeksi tingkat pendapatan tidak stabil dan dengan periode
pendapatan tertentu Penilai Properti wajib menggunakan metode
diskonto arus kas (discounted cash flow method/DCF).
2)
Nilai obyek penilaian didapatkan dengan mengalikan rangkaian
proyeksi aliran pendapatan dimasa yang akan datang dengan Tingkat
Diskonto tertentu menjadi nilai sekarang.
3) Langkah-langkah yang wajib dilakukan dalam penggunaan metode
diskonto arus kas (discounted cash flow method/DCF), paling kurang:
a) melakukan analisis pendapatan dan pengeluaran dari obyek
penilaian dan properti pembanding;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-27-
b) mengestimasi pendapatan kotor potensial (potential gross income)
dengan memperhatikan, paling kurang:
(1) keandalan asumsi yang digunakan;
(2) data historis yang digunakan; dan
(3)
biaya sewa dan luas area bangunan.
c) melakukan penjumlahan antara pendapatan lain-lain dan
pendapatan kotor potensial setelah dikurangi tingkat kekosongan
dan potensi kehilangan pendapatan (vacancy and collection loss)
untuk memperoleh perkiraan pendapatan kotor efektif (effective
gross income);
d) menentukan biaya-biaya operasi (operating expenses), dengan
memperhatikan, paling kurang:
(1) keandalan asumsi yang digunakan;
(2) data historis yang digunakan; dan
(3)
biaya perawatan bangunan.
e) mengurangkan pendapatan kotor efektif dengan biaya-biaya
operasional untuk mendapatkan pendapatan bersih operasi
sebelum bunga dan pajak;
f) menentukan Tingkat Diskonto;
g) menentukan prosedur pendiskontoan;
h) mendiskontokan pendapatan bersih operasi (net operating income)
untuk mengestimasi indikasi Nilai obyek penilaian; dan
i) dalam hal terdapat terminal value sebagai salah satu unsur
pembentuk indikasi Nilai, maka Penilai Properti dapat
menggunakan tingkat kapitalisasi terminal (terminal capitalization
rate) dalam perhitungan terminal value dengan mempertimbangkan
Tingkat Kapitalisasi pada periode awal (Initial Capitalization Rate)
yang merupakan tolok ukur untuk memastikan besaran tingkat
kapitalisasi terminal (terminal capitalization rate).
d. Dalam hal Penilai Properti menggunakan metode kapitalisasi langsung (direct
capitalization method), maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
1)
Nilai obyek penilaian didapatkan dengan membagi proyeksi
pendapatan tahunan yang mencerminkan dan mewakili pendapatan
tahunan dimasa yang akan datang dengan Tingkat Kapitalisasi tertentu.
2) Dalam melakukan penilaian dengan menggunakan metode kapitalisasi
langsung (direct capitalization method) wajib memenuhi persyaratan,
paling kurang:
a) pendapatan bersih per tahun selama masa investasi, diestimasi
jumlahnya tetap; dan
b) masa investasi sifatnya tak terhingga (perpetuity).
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-28-
3) Langkah-langkah yang wajib dilakukan dalam penggunaan metode
kapitalisasi langsung (direct capitalization method), paling kurang:
a) melakukan analisis pendapatan dan pengeluaran dari obyek
penilaian dan properti pembanding;
b) mengestimasi pendapatan kotor potensial obyek penilaian;
c) mengestimasi tingkat kekosongan dan potensi kehilangan
pendapatan (vacancy and collection loss) dari obyek penilaian;
d) melakukan pengurangan antara total pendapatan kotor potensial
dengan tingkat kekosongan dan potensi kehilangan pendapatan
(vacancy and collection loss) untuk memperoleh pendapatan kotor
efektif (effective gross income);
e) mengestimasi total biaya operasional yang terdiri dari biaya tetap,
biaya variabel dan cadangan;
f) melakukan pengurangan antara pendapatan kotor efektif (effective
gross income) dengan total biaya operasional untuk memperoleh
pendapatan bersih operasi;
g) menetapkan tingkat kapitalisasi; dan
h) mengkapitalisasikan pendapatan bersih operasi untuk
mengestimasi indikasi Nilai obyek penilaian;
e. Dalam hal Penilai Properti menggunakan metode penyisaan (residual
technique method), maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Metode ini digunakan untuk menilai obyek penilaian yang merupakan
bagian dari satu kesatuan properti.
2)
Nilai obyek penilaian didapatkan dengan mengkapitalisasi komponen
pendapatan yang merupakan bagian dari komponen properti, antara
lain tanah dan bangunan serta mesin dan peralatan.
3) Melakukan pengurangan antara pendapatan bersih operasi properti
secara keseluruhan dengan pendapatan tahunan (annual income) dari
komponen-komponen properti lainnya yang bukan obyek penilaian
untuk memperoleh komponen pendapatan obyek penilaian.
4) Teknik yang digunakan dalam metode penyisaan (residual technique
method), adalah sebagai berikut:
a) Teknik Penyisaan Tanah (Land Residual Technique);
b) Teknik Penyisaan Bangunan (Building Residual Technique);
dan/atau
c) Teknik Penyisaan Mesin dan Peralatan Bangunan (Building
Equipment Residual Technique).
5) Dalam hal Penilai Properti menggunakan Teknik Penyisaan Tanah (Land
Residual Technique), maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) penentuan proyeksi pendapatan tahunan dari properti serta
Tingkat Kapitalisasi sebagaimana dimaksud dalam metode
kapitalisasi langsung dalam huruf d butir 3);
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-29-
b) penentuan proyeksi pendapatan tahunan khusus yang dihasilkan
oleh tanah dengan cara mengurangkan proyeksi pendapatan
tahunan properti secara keseluruhan dengan proyeksi pendapatan
tahunan yang dihasilkan oleh properti selain tanah (bangunan,
prasarana, mesin serta peralatan lain);
c) properti selain tanah sebagaimana dimaksud dalam poin b) dapat
berupa properti yang telah ada ataupun berupa proyeksi apabila
dibangun/dikembangkan dalam hal memenuhi prinsip
penggunaan terbaik dan tertinggi dari tanah;
d) penentuan Tingkat Kapitalisasi khusus untuk tanah; dan
e) mengkapitalisasikan proyeksi pendapatan tahunan dari tanah
sebagaimana dimaksud dalam poin b) dengan Tingkat Kapitalisasi
tanah untuk mendapatkan indikasi nilai tanah;
6) Dalam hal Penilai Properti menggunakan Teknik Penyisaan Bangunan
(Building Residual Technique), maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) penentuan proyeksi pendapatan tahunan dari properti serta
Tingkat Kapitalisasi sebagaimana dimaksud dalam metode
kapitalisasi langsung dalam huruf d butir 3);
b) penentuan proyeksi pendapatan tahunan khusus yang dihasilkan
oleh bangunan dengan cara mengurangkan proyeksi pendapatan
tahunan properti secara keseluruhan dengan proyeksi pendapatan
tahunan yang dihasilkan oleh properti selain bangunan (tanah,
mesin serta peralatan lain);
c) penentuan Tingkat Kapitalisasi khusus untuk bangunan; dan
d) mengkapitalisasikan proyeksi pendapatan tahunan dari bangunan
sebagaimana dimaksud dalam poin b) dengan Tingkat Kapitalisasi
bangunan untuk mendapatkan indikasi nilai bangunan;
7) Dalam hal Penilai Properti menggunakan Teknik Penyisaan Mesin dan
Peralatan Bangunan (Building Equipment Residual Technique), maka
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) penentuan proyeksi pendapatan tahunan dari properti serta
Tingkat Kapitalisasi sebagaimana dimaksud dalam metode
kapitalisasi langsung dalam huruf d butir 3);
b) penentuan proyeksi pendapatan tahunan khusus yang dihasilkan
oleh mesin dan peralatan bangunan dengan cara mengurangkan
proyeksi pendapatan tahunan properti secara keseluruhan dengan
proyeksi pendapatan tahunan yang dihasilkan oleh properti selain
mesin dan peralatan bangunan (tanah, bangunan dan prasarana);
c) penentuan Tingkat Kapitalisasi khusus untuk mesin dan peralatan
bangunan; dan
d) mengkapitalisasikan proyeksi pendapatan tahunan dari mesin dan
peralatan bangunan sebagaimana dimaksud dalam poin b) dengan
Tingkat Kapitalisasi mesin dan peralatan bangunan untuk
mendapatkan indikasi nilai mesin dan peralatan bangunan.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-30-
f. Dalam hal Penilai Properti menggunakan Gross Income Multiplier (GIM), maka
berlaku ketentuan sebagai berikut:
1)
Nilai obyek penilaian didapatkan dengan mengkonversikan Pendapatan
kotor tahunan (potential gross income) yang mencerminkan dan mewakili
pendapatan tahunan dimasa yang akan datang dengan konstanta
tertentu.
2) Dalam melakukan penilaian dengan menggunakan gross income multiplier
method wajib memenuhi persyaratan, sebagai berikut:
a)
tersedianya data pasar penjualan dan sewa properti yang
sebanding dan sejenis;
b) properti pembanding yang dianalisis dengan obyek penilaian
wajib sebanding dalam hal fisik, lokasi, dan karakteristik investasi;
dan
c)
data pendapatan yang digunakan properti pembanding wajib
sesuai dengan data pendapatan yang digunakan obyek penilaian.
3) Langkah-langkah yang wajib dilakukan dalam penggunaan gross income
multiplier method, paling kurang:
a) mengestimasi nilai jual dari properti yang sebanding dan sejenis
dengan obyek penilaian;
b) mengestimasi pendapatan kotor potensial dari properti yang
sebanding dan sejenis dengan obyek penilaian;
c) membagi nilai jual properti sebanding dengan pendapatan kotor
potensial properti sebanding dan sejenis untuk memperoleh gross
income multiplier;
d) mengestimasi pendapatan kotor potensial obyek penilaian; dan
e) mengalikan gross income multiplier dengan pendapatan kotor
potensial obyek penilaian untuk memperoleh indikasi Nilai obyek
penilaian.
g. Penilai Properti dalam hal menetapkan proyeksi pendapatan dan proyeksi
pendapatan operasi bersih sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 9)
paling kurang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) menggunakan proyeksi pendapatan yang didasarkan pada proyeksi
keuangan yang diperoleh dari pihak manajemen untuk mengestimasi
aliran pendapatan obyek penilaian dan melakukan penyesuaian
terhadap proyeksi pendapatan tersebut sesuai dengan kondisi pasar;
Proyeksi keuangan wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian
Properti;
2)
3)
dilarang mendasarkan proyeksi pendapatan hanya dengan
menggunakan tren data historis;
bertanggung jawab atas proyeksi yang telah disesuaikan;
4) menganalisis laporan laba rugi dan laporan arus kas obyek penilaian
dengan memperhatikan kondisi pasar berupa data dan informasi
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-31-
mengenai tingkat operasional perusahaan pembanding pada industri
yang sebanding dan sejenis dalam rangka melakukan penyesuaian
sebagaimana dimaksud dalam butir 1);
5) memperhatikan kondisi yang terjadi setelah Tanggal Penilaian (Cut Off
Date) yang dapat mempengaruhi proyeksi pendapatan;
6) mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan usaha obyek penilaian
sesuai dengan tingkat pendapatan yang dihasilkan oleh obyek penilaian
dan kepentingan usaha obyek penilaian;
7) penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam butir 1) digunakan sebagai
kertas kerja Penilai Properti;
Informasi keuangan hasil penyesuaian wajib diungkapkan dalam
Laporan Penilai Properti.
8) dalam melakukan penyesuaian terhadap laporan laba rugi dan laporan
arus kas sebagaimana dimaksud dalam butir 1), maka Penilai Properti
wajib melakukan hal-hal sebagai berikut:
a) menganalisis dan menyajikan kembali data keuangan obyek
penilaian secara konsisten, dan menggunakan mata uang yang
sama dengan mata uang yang digunakan dalam laporan keuangan;
b) menyesuaikan nilai yang disajikan dalam laporan laba rugi dan
laporan arus kas menjadi nilai yang wajar;
c) menyesuaikan pendapatan dan beban ke tingkat yang wajar dan
menggambarkan hasil yang berkelanjutan;
d) melakukan pengelompokan serta penyesuaian terhadap seluruh,
pendapatan, dan beban non-operasi; dan
e) melakukan penyesuaian terhadap pendapatan serta biaya yang
tidak lazim.
9)
setelah dilakukan penyesuaian laporan laba rugi dan laporan arus kas,
maka Penilai Properti wajib menyajikan proyeksi pendapatan dan
proyeksi pendapatan operasi bersih dalam Laporan Penilaian Properti;
dan
10) proyeksi pendapatan dan proyeksi pendapatan operasi bersih wajib
dilakukan paling kurang 3 (tiga) tahun kedepan, atau disesuaikan
dengan sisa umur dari fasilitas produksi utama obyek penilaian.
h. Penilai Properti dalam menetapkan Tingkat Diskonto sebagaimana dimaksud
dalam huruf c butir 3) poin f) dapat ditentukan dari:
1)
data pasar, dengan cara membandingkan antara tingkat pengembalian
(rate of return) tahunan obyek penilaian dengan investasi properti yang
sebanding dan sejenis, sesuai dengan kondisi pasar;
2) metode penjumlahan (arbitrase method), dengan cara menambahkan atau
mengurangi tingkat bunga bebas risiko (risk free rate) dengan tingkat
risiko usaha dari investasi properti yang sebanding dan sejenis;
3)
band of investment, dengan cara:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-32-
a) menghitung biaya ekuitas (cost of equity) dengan memperhatikan:
(1)
(2) perkiraan inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah; dan
(3) koefisien beta wajib berasal dari data rata-rata industri pada
sektor yang sama dengan obyek penilaian.
b) mempertimbangkan imbal hasil dari investasi yang terdapat di
pasar dari industri yang sebanding dan sejenis;
c) mempertimbangkan struktur modal yang terdapat di pasar dari
industri yang sebanding dan sejenis;
d) mempertimbangkan risiko industri dan kondisi properti sejenis;
e) mempertimbangkan risiko spesifik obyek penilaian; dan
f) melakukan prosedur paling kurang sebagai berikut:
(1) menghitung persentase struktur modal investasi berdasarkan
rata-rata bank pemerintah dalam melaksanakan fungsi
pembiayaan pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date);
(2) menggunakan data tingkat bunga pinjaman dari rata-rata
bank pemerintah dalam melaksanakan fungsi pembiayaan
dalam menentukan biaya utang (cost of debt) pada Tanggal
Penilaian (Cut Off Date); dan
(3) menghitung biaya modal rata-rata secara proporsional
berdasarkan bobot setiap jenis struktur modal dan biaya dari
setiap jenis struktur modal; atau
4) menambahkan perkiraan tingkat pertumbuhan dari Tingkat Kapitalisasi
yang dipergunakan dalam metode kapitalisasi langsung (direct
capitalization method).
Penilai Properti wajib mengungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti
mengenai alasan, asumsi dan proses perhitungan Tingkat Diskonto.
i. Dalam hal penentuan Tingkat Kapitalisasi Penilai Properti wajib
membedakan:
1)
2)
Tingkat Kapitalisasi pada saat sekarang (hanya digunakan pada metode
Direct Capitalization); dan
Tingkat Kapitalisasi terminal (hanya digunakan pada metode diskonto
arus kas (discounted cash flow method/DCF)).
j. Penilai Properti dalam menetapkan Tingkat Kapitalisasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf c butir 3) poin i) dan huruf d butir 3) poin g) dapat
ditentukan dari:
1) data pasar, dengan cara membandingkan antara pendapatan bersih
tahunan obyek penilaian dengan nilai properti pembanding, sesuai
dengan kondisi pasar.
tingkat imbal hasil atas penempatan dana pada suatu
investasi yang berisiko;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-33-
2) metode penjumlahan (summation method) dengan cara menambahkan
atau mengurangi tingkat bunga bebas risiko (risk free rate) dengan
tingkat risiko usaha dari investasi properti yang sebanding dan sejenis.
3)
band of investment, dengan cara:
a) menghitung biaya ekuitas (cost of equity) dengan memperhatikan:
(1)
(2) perkiraan inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah; dan
(3) koefisien beta wajib berasal dari data rata-rata industri pada
sektor yang sama dengan obyek penilaian.
b) mempertimbangkan imbal hasil dari investasi yang terdapat di
pasar dari industri yang sebanding dan sejenis;
c) mempertimbangkan struktur modal yang terdapat di pasar dari
industri yang sebanding dan sejenis;
d) mempertimbangkan risiko industri dan kondisi properti sejenis;
e) mempertimbangkan risiko spesifik obyek penilaian; dan
f) melakukan prosedur paling kurang sebagai berikut:
(1) menghitung persentase struktur modal investasi berdasarkan
rata-rata bank pemerintah dalam melaksanakan fungsi
pembiayaan pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date).
(2) menggunakan data tingkat bunga pinjaman dari rata-rata
bank pemerintah dalam melaksanakan fungsi pembiayaan
dalam menentukan biaya utang (cost of debt) pada Tanggal
Penilaian (Cut Off Date); dan
(3) menghitung biaya modal rata-rata secara proporsional
berdasarkan bobot setiap jenis struktur modal dan biaya dari
setiap jenis struktur modal; atau
4) mengurangkan perkiraan tingkat pertumbuhan yang masih ada pada
periode terus menerus atau tak terhingga (perpetuity period) dari Tingkat
Diskonto yang dipergunakan dalam periode metode diskonto arus kas
(discounted cash flow method/DCF).
Penilai Properti wajib mengungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti
mengenai alasan, asumsi dan proses perhitungan Tingkat Kapitalisasi.
13. PEDOMAN PENILAIAN DENGAN PENDEKATAN BIAYA (COST APPROACH)
Dalam hal Penilai Properti menggunakan Pendekatan Biaya (Cost Approach) maka
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Pendekatan Biaya (Cost Approach) dilarang digunakan untuk melakukan
penilaian atas:
1) hak bangun serah guna (built operating transfer);
2) unit properti dengan status strata title;
tingkat imbal hasil atas penempatan dana pada suatu
investasi yang berisiko pada properti yang sejenis;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-34-
3) penilaian tanah;
4) penilaian kendaraan yang bukan merupakan Properti Khusus
(Specialized Property); dan
5) penilaian hak sewa (lease hold property).
b. Nilai obyek penilaian dalam Pendekatan Biaya (Cost Approach) wajib
menghasilkan:
1)
2)
3)
Nilai Pasar (Market Value);
Nilai Dalam Penggunaan (Value in Use); atau
Nilai Pasar untuk Penggunaan yang Ada (Market Value for the Existing
Use).
c. Data yang digunakan dalam Pendekatan Biaya (Cost Approach) adalah:
1)
2)
data pasar; dan
data pasar yang tersedia terbatas atau data yang tidak berbasis pasar,
dengan mempertimbangkan keadaan pasar atas obyek penilaian sesuai
dengan penggunaannya.
d. Dalam hal Pendekatan Biaya (Cost Approach) menggunakan data sebagaimana
dimaksud dalam huruf c butir 1), maka akan menghasilkan Nilai Pasar
(Market Value).
e. Dalam hal Pendekatan Biaya (Cost Approach) menggunakan data sebagaimana
dimaksud dalam huruf c butir 2), maka akan menghasilkan Nilai Dalam
Penggunaan (Value in Use) atau Nilai Pasar untuk Penggunaan yang Ada
(Market Value for the Existing Use).
f. Penggunaan data sebagaimana dimaksud dalam huruf c wajib disajikan
secara konsisten oleh Penilai Properti dalam Laporan Penilaian Properti.
g. Prosedur yang wajib dilakukan dalam penilaian dengan Pendekatan Biaya
(Cost Approach), adalah:
1) menentukan estimasi biaya yang akan digunakan, yaitu Biaya
Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru
(Replacement Cost New);
2) menghitung besarnya estimasi biaya yang telah ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam butir 1) dari obyek penilaian;
3) menghitung jumlah penyusutan dari obyek penilaian;
4) mengurangkan besarnya estimasi biaya yang telah dihitung
sebagaimana dimaksud dalam butir 2) dengan jumlah penyusutan yang
telah dihitung sebagaimana dimaksud dalam butir 3); dan
5) dalam hal obyek penilaian meliputi tanah, maka Nilai tanah wajib
ditambahkan ke dalam indikasi Nilai obyek penilaian yang merupakan
hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam butir 4).
h. Perhitungan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya
Pengganti Baru (Replacement Cost New) sebagaimana dimaksud dalam huruf f
butir 1) wajib menggunakan salah satu metode berikut:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-35-
1) Metode Survei Kuantitas (Quantity Survey Method).
a) Dalam menggunakan Metode Survei Kuantitas (Quantity Survey
Method), Penilai Properti wajib memperoleh data:
(1)
biaya langsung, antara lain biaya persiapan lahan, biaya
material, dan biaya tenaga kerja;
(2)
biaya tidak langsung, antara lain biaya survey, biaya
perizinan, biaya asuransi, biaya lain-lain (overhead cost),
keuntungan, dan pajak; dan
(3) harga satuan yang digunakan, meliputi biaya bahan dan
biaya upah;
b) Metode Survei Kuantitas (Quantity Survey Method) wajib
mencerminkan kualitas dan kuantitas seluruh bahan yang
digunakan dalam konstruksi dan seluruh kategori tenaga kerja.
2) Metode Unit Terpasang (Unit In Place Method).
Dalam menggunakan Metode Unit Terpasang (Unit In Place Method),
Penilai Properti wajib menghitung estimasi biaya bangunan atau
konstruksi berdasarkan harga satuan unit terpasang
3) Metode Meter Persegi (Square Meter Method).
a) Dalam menggunakan Metode Meter Persegi (Square Meter Method),
Penilai Properti wajib:
(1) menghitung estimasi biaya pembangunan dengan
memperhatikan harga kontrak atau biaya pembangunan dari
properti pembanding yang sebanding dan sejenis yang baru
selesai dibangun dalam jangka waktu paling lama satu tahun
sejak Tanggal Penilaian (Cut Off Date);
(2) melakukan penyesuaian terhadap data properti pembanding
yang sebanding dan sejenis, dalam hal terdapat perbedaan
data secara signifikan antara obyek penilaian dan properti
pembanding yang sebanding dan sejenis yang dapat
mempengaruhi Nilai;
(3) melakukan penyesuaian estimasi biaya pembangunan
terhadap kecenderungan perubahan biaya pembangunan
pada tanggal kontrak atau tanggal konstruksi sampai dengan
Tanggal Penilaian (Cut Off Date); dan
(4) menghitung estimasi biaya pembangunan yang dapat
diambil dari biaya pembangunan properti pembanding yang
sebanding dan sejenis atau biaya pembangunan properti
yang baru selesai dibangun dalam jangka waktu paling lama
satu tahun sebelum Tanggal Penilaian (Cut Off Date), dalam
hal biaya pembangunan pada tanggal kontrak atau tanggal
konstruksi tidak diketahui, sepanjang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-36-
(a) properti pembanding yang sebanding dan sejenis
memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik
(highest and best use);
(b) properti pembanding yang sebanding dan sejenis dalam
kondisi pasar yang stabil; dan
(c) nilai lokasi (site value) dari properti pembanding yang
sebanding dan sejenis dapat diketahui.
b) Metode Meter Persegi (Square Meter Method) wajib digunakan
untuk menghitung estimasi nilai obyek penilaian, berdasarkan
biaya properti pembanding yang sebanding dan sejenis dengan
melakukan penyesuaian, dalam hal properti pembanding dan
obyek penilaian berbeda spesifikasi.
4) Metode Indeks Biaya (Cost Indexing Method).
a) Dalam menggunakan Metode Indeks Biaya (Cost Indexing Method),
Penilai Properti wajib mengalikan biaya pembangunan properti
pembanding yang sebanding dan sejenis dengan Indeks Biaya
tertentu untuk menghasilkan estimasi biaya pembangunan obyek
penilaian.
b) Metode Indeks Biaya (Cost Indexing Method) hanya dapat
digunakan apabila diketahui biaya pembangunan dari obyek
penilaian atau properti pembanding yang sebanding dan sejenis.
c) Perbedaan tingkat biaya akibat perbedaan waktu wajib diperoleh
dengan cara membandingkan tingkat biaya pada saat ini dengan
tingkat biaya pada saat pembangunan.
d) perbedaan tingkat biaya akibat perbedaan lokasi wajib diperoleh
dengan cara membandingkan harga pasar pada lokasi properti
pembanding yang sebanding dan sejenis dengan harga pasar pada
lokasi obyek penilaian.
i. Penilai Properti wajib menghitung penyusutan estimasi biaya properti
dengan menggunakan salah satu metode penyusutan sebagai berikut:
1) Metode ekstraksi pasar
a) Metode ekstraksi pasar hanya dapat digunakan jika:
(1) harga jual properti pembanding yang berasal dari asosiasi
penilai tersedia;
(2) properti pembanding yang digunakan wajib memiliki
kriteria sebanding dan sejenis; dan
(3) perhitungan nilai tanah dan/atau Biaya Reproduksi Baru
(Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru
(Replacement Cost New) atas properti pembanding dapat
dilakukan dengan akurat.
b) Prosedur perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode
ekstraksi pasar adalah:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-37-
(1) memperoleh data transaksi atau penawaran properti
pembanding dari asosiasi penilai;
(2) melakukan penyesuaian data transaksi atau penawaran
properti pembanding;
(3) menghitung nilai properti pembanding yang telah
disusutkan (depreciated cost of improvements) untuk properti
yang terdiri atas tanah dan bangunan serta prasarana lain
dilakukan dengan cara mengurangkan data transaksi atau
penawaran properti pembanding dengan nilai tanah properti
pembanding;
(4) menghitung Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New)
atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) properti
pembanding;
(5) menghitung penyusutan dengan cara mengurangkan Biaya
Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya
Pengganti Baru (Replacement Cost New) properti pembanding
dengan nilai properti pembanding yang telah disusutkan;
dan
(6) mengkonversikan penyusutan dalam bentuk persentase
dengan cara membagi penyusutan dengan Biaya Reproduksi
Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru
(Replacement Cost New) properti pembanding.
2) Metode umur ekonomis
a) Dalam menghitung penyusutan dengan menggunakan metode
umur ekonomis, Penilai Properti wajib terlebih dahulu
memperoleh data sebagai berikut:
(1) umur aktual properti dengan cara menghitung jumlah tahun
sejak properti selesai didirikan atau dibuat sampai dengan
tanggal penilaian;
(2) umur efektif dengan cara melakukan penyesuaian terhadap
umur aktual berdasarkan kondisi dan kegunaan properti,
atau sisa umur ekonomis properti dengan cara melakukan
estimasi terhadap sisa umur yang masih tersisa sebelum
properti tidak dapat digunakan atau dioperasikan secara
ekonomis;
(3) umur ekonomis (economic life) atau umur manfaat (useful life)
dengan cara menghitung jumlah tahun sejak properti
didirikan atau dibuat sampai dengan estimasi waktu properti
tidak dapat digunakan atau dioperasikan secara ekonomis;
b) Metode umur ekonomis hanya dapat digunakan jika umur
ekonomis dan umur efektif obyek penilaian dapat ditentukan
secara akurat.
c) Prosedur perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode
umur ekonomis adalah:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-38-
(1) menentukan umur ekonomis dan umur efektif obyek
penilaian; dan
(2) menentukan penyusutan dalam bentuk persentase dengan
cara membagi umur efektif dengan umur ekonomis obyek
penilaian.
3) Metode breakdown
a) Dalam metode breakdown, penyusutan dikelompokkan kedalam
tiga bagian utama yaitu:
(1) kemunduran fisik (physical deterioration);
(2) keusangan fungsional (functional obsolescence); dan
(3) keusangan ekonomis (economic obsolescence).
b) Dalam menentukan penyusutan akibat kemunduran fisik (physical
deterioration) maka wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Kemunduran fisik (physical deterioration) disebabkan oleh
faktor-faktor antara lain:
(a) umur;
(b) intensitas penggunaan;
(c) cara pemeliharaan; atau
(d) kondisi terlihat.
(2) Prosedur perhitungan penyusutan berdasarkan kemunduran
fisik (physical deterioration), antara lain:
(a) kemunduran fisik (physical deterioration) yang tidak dapat
diperbaiki (incurable) didasarkan pada faktor umur,
dihitung dengan cara membagi umur efektif dengan
umur ekonomis; atau
(b) kemunduran fisik (physical deterioration) yang dapat
diperbaiki (curable) didasarkan pada faktor kondisi
terlihat, dihitung dengan cara memperkirakan besaran
biaya perbaikan yang diperlukan.
c) Dalam menentukan penyusutan akibat keusangan fungsional
(functional obsolescence) maka wajib memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
(1) Keusangan fungsional (functional obsolescence) disebabkan
oleh faktor-faktor yang timbul dari dalam obyek penilaian,
antara lain:
(a) perencanaan yang tidak baik;
(b) ukuran ruangan yang tidak sesuai dengan fungsinya;
(c) pemakaian bahan bangunan yang tidak sesuai dengan
kelaziman;
(d) tidak tersedianya sarana yang seharusnya ada;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-39-
(e) penggunaan yang tidak sesuai dengan fungsi semula;
atau
(f) ketertinggalan teknologi (model).
(2) perhitungan penyusutan akibat keusangan fungsional
(functional obsolescence) dilakukan dengan cara menghitung
estimasi besarnya biaya yang diperlukan untuk membuat
obyek penilaian berfungsi dengan optimal, atau
memperkirakan inefisiensi operasional.
d) Dalam menentukan penyusutan akibat keusangan ekonomis
(economic obsolescence) maka wajib memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
(1) Keusangan ekonomis (economic obsolescence) disebabkan oleh
faktor-faktor yang timbul dari luar obyek penilaian, antara
lain:
(a) peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(b) perubahan peruntukkan;
(c) perubahan kondisi sosial dan ekonomi;
(d) kondisi keamanan;
(e) masa penggunaan tanah dan bangunan dimana mesin
dan peralatan melekat;
(f) kelangkaan bahan baku; dan
(g) isu lingkungan hidup.
(2) perhitungan penyusutan akibat keusangan ekonomis
(economic obsolescence) dilakukan dengan memperhatikan hal-
hal, antara lain:
(a) dalam hal obyek penilaian dapat diperjualbelikan, maka
dihitung dari besarnya nilai perbandingan harga
penjualan pada saat sebelum terjadinya keusangan
ekonomis (economic obsolescence) dengan pada saat
sesudah terjadinya keusangan ekonomis (economic
obsolescence);
(b) dalam hal obyek penilaian merupakan properti
komersial, maka dihitung dari besarnya penurunan
pendapatan obyek penilaian dengan memperhatikan
penyebab penurunan pendapatan tersebut; dan
(c) dalam hal obyek penilaian merupakan properti industri,
maka dihitung dari besarnya penurunan produksi obyek
penilaian dengan memperhatikan penyebab penurunan
produksi tersebut.
j. Dalam melakukan penyesuaian maka Penilai Properti wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-40-
1) menerapkan secara konsisten dalam menetapkan penyesuaian harga
satuan dan volume pada obyek penilaian.
2) melakukan penyesuaian harga satuan dan volume sesuai dengan
kondisi terkini pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date), dengan
menggunakan bentuk penyesuaian sebagai berikut:
a) Penyesuaian bentuk persentase
Penyesuaian yang digunakan untuk menyesuaikan perbedaan
harga satuan dan volume dalam bentuk persentase.
b) Penyesuaian bentuk satuan uang
Penyesuaian yang digunakan untuk menyesuaikan perbedaan
harga satuan dan volume dalam satuan uang.
3) mengkonversi penyesuaian harga satuan dan volume dalam bentuk
persentase atau bentuk satuan uang untuk memperoleh Biaya
Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru
(Replacement Cost New) dari obyek penilaian.
k. Dalam hal Pendekatan Biaya (Cost Approach) menghasilkan Nilai Pasar
(Market Value) obyek penilaian, maka:
1)
Nilai Pasar (Market Value) dengan Biaya Pengganti Baru (Replacement
Cost New) atau Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New)
dikurangi penyusutan;
2) Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) atau Biaya Reproduksi
Baru (Reproduction Cost New) dan penyusutan yang digunakan
diperhitungkan berdasarkan data pasar atau data yang sesuai dengan
kelaziman yang ada di pasar atau yang seluruhnya berasal dari pasar.
l. Penilai Properti wajib memberikan penjelasan mengenai alasan penggunaan
Pendekatan Biaya (Cost Approach) sebagaimana dimaksud dalam huruf f,
huruf g dan huruf h, dalam Laporan Penilaian Properti.
m. Dalam hal Penilai Properti menggunakan Metode Biaya Pengganti
Terdepresiasi (Depreciated Replacement Cost Method/Metode DRC), maka
berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) obyek penilaian wajib memenuhi kriteria sebagai Properti Khusus
(Specialized Property).
2) obyek penilaian tidak memiliki data pasar atau data yang tidak berbasis
pasar, tetapi wajib mempertimbangkan keadaan pasar atas obyek
penilaian sesuai dengan penggunaannya.
3) perhitungan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya
Pengganti Baru (Replacement Cost New) dan penyusutan menggunakan
data yang tidak berbasis pasar, tetapi wajib mempertimbangkan
keadaan pasar atas obyek penilaian sesuai dengan penggunaannya.
4) prosedur yang digunakan dalam Metode Biaya Pengganti Terdepresiasi
(Depreciated Replacement Cost Method/Metode DRC), adalah
sebagaimana diatur dalam huruf g.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-41-
5) Metode Biaya Pengganti Terdepresiasi (Depreciated Replacement Cost
Method/Metode DRC) akan menghasilkan Nilai Dalam Penggunaan
(Value in Use) atau Nilai Pasar Untuk Penggunaan Yang Ada (Market
Value for the Existing Use).
14. PRINSIP PENGGUNAAN TERTINGGI DAN TERBAIK (HIGHEST AND BEST
USE)
a. Dalam melakukan penilaian properti untuk menghasilkan Nilai Pasar (Market
Value), Penilai Properti wajib melakukan analisis penggunaan tertinggi dan
terbaik (highest and best use analysis).
b. Dalam melakukan analisis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penilai
Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) dari obyek
penilaian wajib memenuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat penilaian.
2) melakukan analisis kelayakan fisik dari obyek penilaian.
3) melakukan analisis kelayakan finansial dari obyek penilaian yang
didukung dengan kondisi pasar.
4) melakukan analisis yang menunjukkan produktivitas optimal dari
obyek penilaian.
5)
tidak diperkenankan untuk mempertimbangkan adanya perubahan
peruntukan obyek penilaian, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai
bangunan, koefisien dasar hijau, dan ketinggian bangunan.
c. Penilai Properti wajib mengungkapkan penjelasan dan alasan dilakukannya
analisis penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use analysis) dalam
Laporan Penilaian Properti.
15. PENILAIAN REAL PROPERTI
Dalam penilaian Real Properti, Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. penilaian Real Properti dilakukan pada obyek penilaian berupa tanah dan
bangunan serta prasarananya baik secara terpisah maupun dalam satu
kesatuan.
b. melakukan identifikasi sifat dari obyek penilaian yang, mencakup antara lain:
1)
lokasi;
2) uraian data fisik, antara lain luas, tata ruang (lay-out), kualitas
konstruksi;
3)
4)
data yuridis;
aspek ekonomi serta parameter ekonomi atau parameter keuangan
untuk obyek penilaian penghasil pendapatan;
5) perlengkapan properti (trade fixtures) yang bukan real properti;
6) pembatasan dalam perjanjian (negative covenants);
7) pengenaan pajak secara khusus; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-42-
8) peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Mengungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti hal-hal yang
mempengaruhi penilaian, antara lain:
1)
2)
3)
1)
analisis kemungkinan penggabungan kepemilikan (marriage atau
assemblage value) atau pemisahan hak kepemilikan (component value);
analisis pengaruh dari kemungkinan perubahan peruntukan tanah dan
pembangunan infrastruktur, misalnya perluasan sistem utilitas publik
atau koridor akses; dan
analisis kondisi pasar yang tidak menentu.
d. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa
tanah, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Nilai Pasar (Market Value) atas tanah merupakan Nilai Pasar (Market
Value) dari:
a)
b)
c)
tanah kosong yang belum atau tanpa ada properti lain yang
melekat diatasnya;
tanah siap untuk dibangun;
tanah dengan bangunan diatasnya untuk dikembangkan menjadi
bangunan yang lebih produktif; dan
d) tanah yang telah dikembangkan sesuai dengan peruntukan.
2) memperhatikan kemampuan ekonomis tanah dan posisi atau letak
tanah.
3) Pendekatan Penilaian yang digunakan dalam melakukan penilaian Real
Properti berupa tanah adalah:
a) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach);
b) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dengan metode
penyisaan (residual technique method); atau
c) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dengan metode
penyisaan (residual technique method) hanya dipergunakan apabila:
(1) Nilai Pasar (Market Value) atas tanah diperuntukkan sebagai
bangunan komersial, seperti gedung perkantoran, hotel,
pusat perbelanjaan dan apartemen; atau
(2) asosiasi penilai tidak dapat menyediakan data dan informasi
properti pembanding yang sebanding dan sejenis atas tanah
yang menjadi obyek penilaian.
4) Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian
berupa tanah kosong, maka wajib menggunakan Pendekatan Data Pasar
(Market Data Approach) atau metode penyisaan (residual technique
method).
5) Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian
berupa tanah yang telah dikembangkan dan tanah yang belum
dikembangkan, Penilai Properti wajib melakukan analisis penggunaan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-43-
tertinggi dan terbaik (highest and best use analysis) sebagaimana
dimaksud dalam angka 14 dan tidak diperkenankan untuk
mempertimbangkan adanya perubahan peruntukan obyek penilaian,
koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, koefisien dasar
hijau, dan ketinggian bangunan.
e. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa
bangunan, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1)
Indikasi Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa bangunan
merupakan bagian dari kesatuan nilai yang tidak terpisahkan dari
unsur Nilai tanah dan Nilai bangunan.
2) Pemisahan Nilai bangunan (ekstraksi nilai) dari Real Properti berupa
tanah dan bangunan tidak mencerminkan Nilai Pasar (Market Value)
atas bangunan secara tersendiri melainkan hanya indikasi Nilai.
3) Penentuan indikasi Nilai sebagaimana dimaksud dalam butir 2) hanya
dapat dilakukan melalui Pendekatan Biaya (Cost Approach) dengan
memperhitungkan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau
Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) dikurangi dengan
penyusutan.
4) Penilaian Real Properti yang berupa bangunan yang berdiri diatas tanah
milik pihak lain wajib memperhatikan perjanjian penggunaan tanah.
5) Penilaian Real Properti yang berupa bangunan sebagaimana dimaksud
dalam butir 4) wajib dilakukan dengan menyesuaikan tingkat
penyusutan bangunan berdasarkan jangka waktu penggunaan tanah
yang masih tersisa.
6) Penilaian Real Properti yang berupa bangunan dengan menggunakan
Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dengan metode penyisaan
(residual technique method).
f. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa
strata title, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1)
strata title merupakan bangunan yang berdiri diatas tanah milik bersama
dengan status kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
2) penentuan Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa strata
title dapat dilakukan dengan menggunakan Pendekatan Data Pasar
(Market Data Approach) atau Pendekatan Pendapatan (Income Approach).
3) penentuan Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa strata
title dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
hanya dapat dilakukan apabila tersedia data berupa harga sewa dan
harga jual dari properti pembanding yang sebanding dan sejenis.
g. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa
properti komersial, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1) properti komersial merupakan properti yang memiliki potensi untuk
dioperasikan dalam jangka panjang dan menghasilkan pendapatan bagi
pemiliknya.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-44-
2) memperoleh informasi dari pihak manajemen tentang kondisi yang
dapat mempengaruhi pendapatan obyek penilaian.
3) penilaian Real Properti yang berupa bangunan dengan menggunakan
Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dengan metode penyisaan
(residual technique method).
4) penilaian Real Properti yang berupa properti komersial, dapat
menggunakan Pendekatan Penilaian sebagai berikut:
a) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach);
b) Pendekatan Pendapatan (Income Approach); dan
c) Pendekatan Biaya (Cost Approach).
5) penentuan Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa properti
komersial dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income
Approach), wajib menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted
Cash Flow Method/DCF).
h. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa
properti perhotelan, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1) melakukan analisis atas data dan informasi, paling kurang meliputi:
a) perkembangan wisatawan di daerah sekitar;
b)
c)
jumlah hotel di daerah sekitar;
hotel yang menjadi pesaing;
d) tarif kamar hotel di daerah sekitar;
e)
tingkat hunian dari hotel di daerah sekitar; dan
f) kondisi yang mempengaruhi pendapatan hotel yang menjadi
obyek penilaian.
2) melakukan analisis atas keunggulan dan kelemahan obyek penilaian
dibandingkan dengan hotel pesaing.
3) penentuan Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa properti
perhotelan dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income
Approach), wajib menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted
Cash Flow Method/DCF).
4) unsur pendapatan yang digunakan dalam Metode Diskonto Arus Kas
(Discounted Cash Flow Method/DCF) sebagaimana dimaksud dalam butir
3), paling kurang meliputi:
a) Pendapatan kamar;
b) Pendapatan makanan dan minuman; dan
c) Pendapatan lainnya yang berhubungan langsung dengan kegiatan
hotel.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-45-
i. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa
properti perkantoran, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1) melakukan analisis atas data dan informasi, paling kurang meliputi:
a) perkembangan kegiatan usaha di daerah sekitar lokasi;
b)
jumlah gedung perkantoran di daerah sekitar lokasi;
c) gedung perkantoran lain yang menjadi pesaing;
d) tarif sewa ruang perkantoran di daerah sekitar lokasi;
e)
tingkat hunian dari perkantoran di daerah sekitar lokasi; dan
f) kondisi yang mempengaruhi pendapatan obyek penilaian.
2) melakukan analisis atas keunggulan dan kelemahan obyek penilaian
dibandingkan dengan perkantoran pesaing.
3) penentuan Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa properti
perkantoran dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income
Approach), wajib menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted
Cash Flow Method/DFC).
4) unsur pendapatan yang digunakan dalam Metode Diskonto Arus Kas
(Discounted Cash Flow Method/DCF) sebagaimana dimaksud dalam butir
3), paling kurang meliputi:
a) Pendapatan sewa dan service charge; dan
b) Pendapatan lainnya yang berhubungan langsung dengan kegiatan
properti perkantoran.
j. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa
properti pusat perbelanjaan, maka Penilai Properti wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
1) melakukan analisis atas data dan informasi, paling kurang meliputi:
a) perkembangan kegiatan usaha perbelanjaan di daerah sekitar
lokasi;
b)
jumlah pusat perbelanjaan di daerah sekitar lokasi;
c) pusat perbelanjaan lain yang menjadi pesaing;
d) tarif sewa lantai pusat perbelanjaan di daerah sekitar lokasi;
e)
tingkat isian dari pusat perbelanjaan di daerah sekitar lokasi; dan
f) kondisi yang mempengaruhi pendapatan pusat perbelanjaan yang
menjadi obyek penilaian.
2) melakukan analisis atas keunggulan dan kelemahan obyek penilaian
dibandingkan dengan pusat perbelanjaan pesaing.
3) penentuan Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa properti
pusat perbelanjaan dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan
(Income Approach), wajib menggunakan Metode Diskonto Arus Kas
(Discounted Cash Flow Method/DCF).
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-46-
4) unsur pendapatan yang digunakan dalam Metode Diskonto Arus Kas
(Discounted Cash Flow Method/DCF) sebagaimana dimaksud dalam butir
3), paling kurang meliputi:
a) pendapatan sewa dan service charge;
b) pendapatan lainnya yang berhubungan langsung dengan kegiatan
properti pusat perbelanjaan;
16. PENILAIAN PERSONAL PROPERTI
Dalam penilaian Personal Properti, Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. penilaian Personal Properti dilakukan pada obyek penilaian berupa mesin
dan peralatan yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) digunakan antara lain untuk:
a) produksi atau menyediakan barang atau jasa;
b)
c)
disewakan kepada pihak lain; atau
tujuan administratif.
2) dinilai sebagai bagian yang dapat direlokasi atau dipindahkan (ex-situ);
3) dinilai sebagai bagian dari satu kesatuan unit produksi atau dinilai
sebagai suatu unit individual di tempat (in-situ); dan
4) digunakan dalam suatu produksi yang berkelanjutan dan lebih dari satu
tahun buku.
b. Dalam hal mesin dan peralatan merupakan properti milik pihak ketiga, maka
tidak dimasukan dalam penilaian.
c. Dalam hal Mesin dan Peralatan terdiri dari klasifikasi Properti Khusus
(Specialized Property) dan bukan Properti Khusus maka kesimpulan Nilai
dibuat berdasarkan masing-masing klasifikasi dan tidak dapat digabung.
d. Prosedur yang wajib dilakukan dalam penilaian mesin dan peralatan, paling
kurang:
1) mempertimbangkan biaya-biaya dari mesin dan peralatan yang
merupakan satu kesatuan unit produksi termasuk biaya fondasi,
instalasi, dan persiapan operasi mesin dan peralatan.
2) memperoleh gambaran umum tentang proses produksi dari mesin dan
peralatan;
3) melakukan identifikasi atas mesin dan peralatan yang mencakup antara
lain nama mesin atau peralatan, merk, tipe atau model, kapasitas, tahun
pembuatan, dan tahun penggunaan;
4) memperoleh data dan informasi mengenai program pemeliharaan yang
dilakukan terhadap mesin dan peralatan;
5) memperoleh data dan informasi mengenai kondisi mesin dan peralatan;
6) memperoleh data dan informasi mengenai kemampuan produksi dan
kondisi utilitas mesin;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-47-
7) memperoleh data dan informasi mengenai kondisi ekonomi atau
industri;
8) menghitung estimasi penyusutan mesin dan peralatan yang mencakup
kemunduran fisik (physical deterioration), keusangan fungsional
(functional obsolescence) dan keusangan ekonomis (economic obsolescence);
9) menentukan asumsi-asumsi mengenai status dan kondisi dari mesin
dan peralatan;
10) memperoleh informasi tentang:
a)
b)
c)
tersedianya sumber bahan baku;
jangka waktu penggunaan tanah dan bangunan;
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
d) dampak lingkungan yang mempengaruhi nilai mesin dan
peralatan.
11) menentukan klasifikasi atas bagian dari Mesin dan Peralatan sebagai
Properti Khusus (Specialized Property) atau bukan Properti Khusus.
12) memperoleh data dan informasi mengenai status kepemilikan atas
mesin dan peralatan; dan
13) memperoleh data dan informasi mengenai adanya nilai tak berwujud
(intangible value) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
mesin dan peralatan yang memberikan nilai tambah;
e. Pendekatan Penilaian yang digunakan dalam melakukan penilaian Personal
Properti berupa Mesin dan Peralatan adalah:
1) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach);
2) Pendekatan Pendapatan (Income Aproach); dan/atau
3) Pendekatan Biaya (Cost Approach).
f. Dalam hal menggunakan Pendekatan Biaya (Cost Approach), maka besarnya
penyusutan atas mesin dan peralatan ditetapkan dengan metode penyusutan
berikut:
1) Metode ekstraksi pasar
a) Metode ekstraksi pasar hanya dapat digunakan jika:
(1) harga jual properti pembanding berupa mesin dan peralatan
yang berasal dari asosiasi penilai tersedia;
(2) properti pembanding berupa mesin dan peralatan yang
digunakan wajib memiliki kriteria sebanding dan sejenis;
(3) usia dan kondisi dari properti pembanding berupa mesin
dan peralatan dapat diketahui ; dan
(4) perhitungan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New)
atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) atas
properti pembanding berupa mesin dan peralatan dapat
dilakukan dengan akurat.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-48-
b) Prosedur perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode
ekstraksi pasar adalah:
(1) memperoleh data transaksi atau penawaran properti
pembanding berupa mesin dan peralatan dari asosiasi
penilai;
(2) melakukan penyesuaian data transaksi atau penawaran
properti pembanding berupa mesin dan peralatan;
(3) menghitung nilai properti pembanding berupa mesin dan
peralatan yang telah disusutkan (depreciated cost of
improvements) dengan cara menyesuaikan data transaksi atau
penawaran properti pembanding berupa mesin dan
peralatan;
(4) menghitung Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New)
atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) properti
pembanding berupa mesin dan peralatan;
(5) menghitung penyusutan dengan cara mengurangkan Biaya
Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya
Pengganti Baru (Replacement Cost New) properti pembanding
berupa mesin dan peralatan dengan nilai properti
pembanding berupa mesin dan peralatan yang telah
disusutkan; dan
(6) mengkonversikan penyusutan dalam bentuk persentase
dengan cara membagi penyusutan dengan Biaya Reproduksi
Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru
(Replacement Cost New) properti pembanding berupa mesin
dan peralatan.
2) Metode umur ekonomis
a) Dalam menghitung penyusutan dengan menggunakan metode
umur ekonomis, Penilai Properti wajib terlebih dahulu
memperoleh data sebagai berikut:
(1) umur aktual mesin dan peralatan dengan cara menghitung
jumlah tahun sejak mesin dan peralatan selesai dibuat
hingga tanggal penilaian;
(2) umur ekonomis (economic life) atau umur manfaat (useful life)
dengan cara menghitung jumlah tahun sejak mesin dan
peralatan dibuat sampai dengan estimasi waktu dimana
mesin dan peralatan tidak lagi dapat digunakan atau
dioperasikan secara ekonomis;
(3) umur efektif dengan cara melakukan penyesuaian terhadap
umur aktual berdasarkan kondisi dan kegunaan mesin dan
peralatan, atau sisa umur ekonomis mesin dan peralatan
dengan cara melakukan estimasi terhadap sisa umur yang
masih tersisa sebelum mesin dan peralatan tidak lagi dapat
digunakan atau dioperasikan secara ekonomis;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-49-
b) Metode umur ekonomis hanya dapat digunakan jika umur
ekonomis dan umur efektif mesin dan peralatan yang menjadi
obyek penilaian dapat ditentukan secara akurat.
c) Prosedur perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode
umur ekonomis adalah:
(1) menentukan umur ekonomis, umur efektif dan sisa umur
ekonomis mesin dan peralatan yang menjadi obyek
penilaian; dan
(2) menentukan penyusutan dalam bentuk persentase dengan
cara membagi umur efektif dengan umur ekonomis obyek
penilaian, atau 100% (seratus perseratus) dikurangi dengan
presentase pembagian sisa umur ekonomis dengan umur
ekonomis mesin dan peralatan yang menjadi obyek
penilaian.
3) Menentukan penyusutan dari mesin dan peralatan dengan Metode
breakdown
Di dalam metode breakdown, depresiasi dikelompokkan kedalam tiga
bagian utama yaitu:
a) Kemunduran fisik (Physical Deterioration);
(1)
faktor penyebab Kemunduran fisik, yaitu:
(a) Akibat umur;
(b) intensitas penggunaan;
(c) cara pemeliharaan; dan
(d) Kondisi terlihat.
(2) Prosedur perhitungan penyusutan berdasarkan kemunduran
fisik (physical deterioration), antara lain:
(a) kemunduran fisik yang tidak dapat diperbaiki (incurable)
didasarkan pada faktor umur, dihitung dengan cara
membagi umur efektif dengan umur ekonomis; atau
(b) kemunduran fisik yang dapat diperbaiki (curable)
didasarkan pada faktor kondisi terlihat, dihitung dengan
cara memperkirakan besaran biaya perbaikan yang
diperlukan.
b) keusangan fungsional (Functional Obsolescence);
(1) Penyusutan akibat keusangan fungsional yang diakibatkan
oleh sebab-sebab yang timbul dari mesin dan peralatan yang
menjadi obyek penilaian tetapi diluar kemunduran fisik,
antara lain:
(a) Ketinggalan teknologi;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-50-
(b) Perencanaan yang tidak optimal;
(c) Ketidakseimbangan yang berhubungan dengan ukuran,
model, bentuk dan kapasitas;
(d) Tidak tersedianya peralatan penunjang yang semestinya
ada; dan
(e) Penggunaan yang tidak sesuai dengan fungsi semula.
(2) penyusutan akibat keusangan fungsional dapat dihitung dari
besarnya biaya yang dibutuhkan, agar mesin dan peralatan
yang menjadi obyek penilaian berfungsi sesuai dengan yang
telah direncanakan.
c) Keusangan ekonomis (Economic Obsolescence),
(1) Penyusutan akibat keusangan ekonomis diakibatkan oleh
sebab-sebab yang timbul dari luar, antara lain:
(a) peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(b) perubahan sosial ekonomi masyarakat;
(c) kondisi perekonomian;
(d) masa penggunaan tanah dan bangunan yang terbatas;
(e) kelangkaan bahan baku; dan
(f) isu lingkungan hidup.
(2) penyusutan akibat keusangan ekonomis dari mesin dan
peralatan yang menjadi obyek penilaian dapat dihitung
dengan cara, antara lain:
(a) dalam hal terdapat data pasar, digunakan perbandingan
harga penjualan pada saat sebelum dan sesudah
terjadinya keusangan ekonomis; dan
(b) dari tingkat pemanfaatan kapasitas pada saat sebelum
dan sesudah terjadinya keusangan ekonomis.
g. Mesin dan Peralatan yang termasuk dalam jenis Properti Khusus (Specialized
Property) dinilai atas dasar Nilai Dalam Penggunaan atau Nilai Pasar untuk
Penggunaan Yang Ada, sedangkan mesin dan peralatan yang termasuk
dalam jenis properti bukan khusus dinilai atas dasar Nilai Pasar (Market
Value).
17. PENILAIAN PROPERTI PERKEBUNAN
a. Obyek penilaian dalam penilaian properti perkebunan antara lain Aset
Tanaman dan Aset Non Tanaman.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-51-
b. Penilai Properti wajib memahami dan mengetahui sifat dan karateristik
properti perkebunan.
c. Properti perkebunan meliputi tanah dalam satuan lahan yang dalam luasan
tertentu, dengan satu atau lebih dari satu komoditas tanaman yang
dibudidayakan, sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang lainnya.
d. Tahapan-tahapan yang wajib dilakukan dalam melakukan penilaian properti
perkebunan adalah sebagai berikut:
1) melakukan review atas rencana penugasan, yang antara lain meliputi:
a) identifikasi obyek penilaian;
b) identifikasi status obyek penilaian;
c) Tanggal Penilaian (Cut Off Date);
d) maksud dan tujuan penilaian;
e) batasan nilai; dan
f)
asumsi-asumsi dan kondisi pembatas.
2) membuat rencana Inspeksi yang antara lain meliputi:
a) mengidentifikasi jumlah dan jenis data yang diperlukan;
b) mengidentifikasi sumber data;
c) mengidentifikasi kebutuhan tenaga kerja;
d) membuat rencana kerja; dan
e) mengidentifikasi peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang perkebunan.
3) melakukan pengumpulan data dan analisis data, yaitu:
a) data umum, antara lain meliputi:
(1) lokasi yang meliputi wilayah, aksesibilitas, dan kondisi
sosial;
(2) kondisi ekonomi yang meliputi analisis pasar, pertumbuhan
dan arah perkembangan ekonomi; dan
(3) karateristik lahan secara umum yang meliputi iklim,
ketinggian dari permukaan laut, topografi, kedalaman efektif
tanah, jenis, fisik dan kimia tanah, sumber air dan sistem
pengairan (drainase), dan batuan dipermukaan dan di dalam
tanah.
b) data khusus, antara lain meliputi:
(1) data agronomi dan budidaya komoditi perkebunan yang
diusahakan antara lain jarak tanam, jumlah populasi pokok
per tahun tanam yang berdasarkan hasil sensus atau secara
sampling, produksi per tahun tanam, asal bibit/kecambah,
data kesesuaian lahan, pemupukan dan perawatan tanaman;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-52-
(2)
(3)
teknik budidaya, sertifikat asal bibit, klasifikasi kelas lahan,
hasil sensus tanaman atau hasil sampling, laporan analisis
tanah dan daun (jika ada), daftar curah hujan;
legalitas (masa berlakunya hak guna usaha), gambaran
umum perusahaan, jumlah tenaga kerja; dan
(4) peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang
perkebunan.
4) melakukan analisis penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best
use analysis) dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam angka 14 kecuali huruf b butir 5) serta tidak diperkenankan
untuk mempertimbangkan adanya perubahan peruntukan obyek
penilaian.
5) menerapkan pendekatan dan Metode Penilaian;
6) melakukan rekonsiliasi nilai; dan
7) memberikan kesimpulan nilai.
e. Pendekatan Penilaian yang digunakan dalam penilaian properti perkebunan
adalah:
1) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) hanya dapat digunakan
apabila diperoleh properti pembanding yang sebanding dan sejenis
dengan obyek penilaian.
2) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) hanya dapat digunakan
untuk penilaian properti perkebunan yang memiliki
menghasilkan.
tanaman
3) Pendekatan Biaya (Cost Approach) hanya dapat digunakan untuk
penilaian Properti Perkebunan yang seluruhnya terdiri dari tanaman
belum menghasilkan.
4) Dalam hal menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
atau Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach), nilai tanaman wajib
diperoleh melalui teknik ekstraksi, yaitu dengan cara mengurangi nilai
perkebunan dengan nilai tanah, nilai aktiva non tanaman seperti
bangunan, infrastruktur, kendaraan dan alat berat, mesin-mesin dan
peralatan lainnya.
5) Untuk memperoleh nilai aktiva non tanaman dalam teknik ekstraksi
sebagaimana dimaksud dalam butir 4), wajib menggunakan Pendekatan
Biaya dan/atau Pendekatan Data Pasar.
f. Biaya yang dapat dimasukkan dalam menilai tanaman belum menghasilkan,
meliputi:
1) Pembukaan lahan (Land Clearing);
2) Pemancangan;
3) Pembuatan lubang tanam;
4) Penanaman pohon pelindung, kacang-kacangan/leguminosa (jika ada);
5) Pembibitan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-53-
6) Penanaman;
7) Penyulaman dan Penyisipan (jika ada);
8) Pemeliharaan tanaman belum menghasilkan;
9) Sarana Penunjang meliputi, antara lain:
a) bangunan kantor dan perumahan;
b)
infrastruktur jalan dan jembatan;
c) mesin dan peralatan;
d) alat berat dan kendaraan;
e)
inventaris kantor; dan
f) unit pengolahan (Pabrik).
10) Biaya yang dapat dimasukkan dalam menilai aset tanah perkebunan,
meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan dalam mengurus perizinan
sampai diperolehnya hak guna usaha, yaitu antara lain:
a)
b)
biaya pembebasan tanah; dan
biaya administrasi dan pengadaan tanah, yang meliputi, antara
lain:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
biaya pendaftaran hak guna usaha;
biaya pengukuran;
biaya panitia;
biaya analisis tata guna lahan;
biaya pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL);
biaya ganti rugi tanam tumbuh (jika ada); dan
biaya-biaya lain yang dibayarkan.
g. Dalam hal menggunakan Pendekatan Biaya, penilaian Properti Perkebunan
yang seluruhnya terdiri dari tanaman belum menghasilkan, untuk biaya
tanaman per hektar (unit cost) dan standar pemeliharaan tanaman per hektar,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Perkiraan semua biaya yang dikeluarkan mengacu pada standar
properti perkebunan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dikalikan
dengan luas areal tanaman dan dilakukan penyesuaian (adjusment)
dengan kondisi sebenarnya sesuai dengan hasil penilaian teknis
tanaman; dan
2) Penyesuaian (adjustment) dengan kondisi sebenarnya sebagaimana
dimaksud dalam butir 1) dilakukan terhadap, antara lain:
a) populasi tanaman;
b) keragaman tanaman;
c)
tingkat perawatan tanaman; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-54-
d) kualitas tanaman.
h. Metode Penilaian properti perkebunan yang memiliki tanaman menghasilkan
wajib menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow
Method/DCF).
i. Prosedur yang wajib dilakukan dalam menggunakan Metode Diskonto Arus
Kas (Discounted Cash Flow Method/DCF) sebagaimana dimaksud dalam huruf
h, paling kurang meliputi:
1) menghitung pendapatan bersih tahunan dari produksi tanaman;
2) memperkirakan dan memproyeksikan biaya operasional (Operating
Cost) yaitu biaya variabel, biaya tetap, dan beban biaya cadangan atas
aktiva pengganti;
3) menghitung pendapatan bersih tahunan, yang diperoleh dari selisih
pendapatan kotor dengan biaya operasional (Operating Cost); dan
4) mendiskontokan pendapatan bersih tahunan selama periode
operasional atau periode tanaman produktif dengan menggunakan
Tingkat Diskonto yang disesuaikan dengan risiko usaha obyek
penilaian.
18. PENILAIAN PROPERTI KEHUTANAN
a. Penilaian Properti Kehutanan dikelompokkan dalam:
1) Penilaian terhadap Hak Pengelolaan Hutan Alam (HPH), yang terdiri
atas Hak Pengelolaan terhadap:
a) Kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI);
b) Kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan
Buatan Alam (THPB);
c) Kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan
Alam (THPA); dan
d) Kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur
(TPTJ).
2) Penilaian terhadap Budidaya Hutan Tanaman.
3) Penilaian terhadap sarana dan prasarana properti antara lain bangunan
dan peralatan kerja.
b. Pendekatan Penilaian yang dapat digunakan dalam penilaian properti
kehutanan berupa Hak Pengelolaan Hutan adalah Pendekatan Pendapatan
(Income Approach) dan/atau Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach).
c. Pendekatan Penilaian yang digunakan dalam penilaian properti kehutanan
berupa Budidaya Hutan Tanaman adalah sebagai berikut :
1) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) hanya dapat digunakan
apabila diperoleh properti pembanding yang sebanding dan sejenis
dengan obyek penilaian.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-55-
2) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dapat digunakan untuk
menilai suatu tegakan hutan yang terletak dalam kawasan hutan baik
yang dikelola dengan hutan alam maupun Hutan Tanaman industri
dengan menggunakan adalah Metode Diskonto Arus Kas (Discounted
Cash Flow Method/DCF).
3) Pendekatan Biaya (Cost Approach) digunakan untuk menilai tegakan
Hutan Tanaman yang belum masak tebang dan atau pohon bila
ditebang belum dapat digunakan.
d. Teknik ekstraksi wajib digunakan untuk:
1) menilai tanaman belum masak tebang pada budidaya Hutan Tanaman;
2) menilai tanaman masak tebang pada budidaya Hutan Tanaman; dan
3) menilai tegakan budidaya Hutan Tanaman;
apabila Penilai menggunakan Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach)
atau Pendekatan Biaya (Cost Approach).
e. Teknik ekstraksi untuk memperoleh nilai aktiva non tanaman antara lain
bangunan, infrastruktur, kendaraan dan alat berat, mesin-mesin dan
peralatan lainnya digunakan Pendekatan Biaya dan/atau Pendekatan Data
Pasar.
f. Penilai Properti dalam melakukan penilaian terhadap properti kehutanan
wajib memperoleh pemahaman yang memadai tentang jenis dan karakteristik
properti kehutanan yang dinilai. komponen penting yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
1) Properti kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI)
a) Penataan Areal Kerja;
b) Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan;
c) Pembukaan Wilayah Hutan;
d) Penebangan;
e) Pembebasan;
f)
Inventarisasi Tegakan Tinggal;
g) Pengadaan Bibit;
h) Penanaman Pengayaan;
i) Pemeliharaan Tahapan Pertama;
j) Pemeliharaan Lanjutan (Pembebasan dan Penjarangan); dan
k) Perlindungan dan Penelitian.
2) Properti kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan
Buatan Alam (THPB)
a) Penataan Areal Kerja;
b) Pembibitan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-56-
c) Pembukaan Wilayah Hutan;
d) Penebangan;
e) Penyaradan;
f) Pengangkutan;
g) Pengumpulan;
h) Penanaman;
i) Pemeliharaan; dan
j) Perlindungan dan Penelitian.
3) Properti kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan
Alam (THPA)
a) Inventarisasi pohon dan permudaan tingkat semai sebelum
eksploitasi;
b) Penebangan;
c) Penyemaian;
d) Inventarisasi permudaan tingkat pancang setelah eksploitasi;
e) Pemeliharaan Tegakan Hutan; dan
f) Perlindungan Hutan.
4) Properti kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur
(TPTJ)
a) Rancangan Penataan Areal Kerja dan Risalah;
b) Pembukaan Wilayah Hutan;
c) Pengadaan Bibit;
d) Penebangan dan Pembuatan Jalur Bebas Naungan;
e) Penyiapan Jalur Bersih;
f) Penanaman;
g) Pemeliharaan Tanaman; dan
h) Perlindungan Tanaman.
5) Properti kehutanan dengan sistem Budidaya Hutan Tanaman
a) Pra Tanam, yang meliputi kegiatan:
(1) Land Clearing;
(2) Pemancangan;
(3) Pembuatan lubang tanam; dan
(4) Pembibitan.
b) Masa Tanaman Belum Masak Tebang (TBMT), yang meliputi
kegiatan:
(1) Penanaman;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-57-
(2) Penyulaman (bila ada);
(3) Pemeliharaan TBMT; dan
(4) Penjarangan (tergantung jenis tanaman).
c) Masa Tanaman Masak Tebang (TMT), yang meliputi kegiatan:
(1) Biaya pemanenan tegakan; dan
(2) Hasil pemanenan (sesuai jenis dan daur).
d) Pengolahan dan Pemasaran Hasil, yang meliputi kegiatan:
(1) Pengolahan;
(2) Pengepakan; dan
(3) Pengiriman.
g. Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dalam penilaian Properti
Kehutanan wajib memperhatikan:
1) Sumber Pendapatan
a) Sumber pendapatan properti kehutanan diperoleh dari penjualan
tegakan kayu yang terkandung didalam hutan yang menjadi obyek
penilaian.
b) Harga jual tegakan kayu diperoleh dari data pasar disekitar lokasi
hutan, dengan memperhatikan jenis, perkiraan usia dan diameter
tegakan.
c)
Jumlah tegakkan yang dapat ditebang dan dijual disesuaikan
dengan potensi tegakkan yang terkandung di dalam hutan.
d) Melakukan analisis terhadap fungsi hutan, kondisi hutan (primer
atau sekunder) dan pertumbuhan tegakan hutan.
2) Biaya dan Pengeluaran
Biaya dan pengeluaran yang diperhitungkan dalam operasional
properti kehutanan, antara lain:
a) Hutan Alam
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
biaya penebangan dan pengangkutan;
iuran dan kewajiban lain kepada pemerintah;
biaya operasional dan pemasaran;
biaya reboisasi; dan
biaya perizinan.
b) Hutan Budidaya
(1)
(2)
(3)
(4)
biaya perizinan
biaya penanaman dan pemeliharaan;
biaya operasional;
biaya penebangan, pengangkutan, dan pemasaran; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-58-
(5)
3)
iuran dan kewajiban lain kepada Pemerintah.
Tingkat Diskonto (Discount Rate)
Besaran Tingkat Diskonto (Discount Rate) yang diterapkan mengacu
pada penentuan Tingkat Diskonto (Discount Rate) sebagaimana
dimaksud dalam angka 12 huruf h disesuaikan dengan jenis oprasional
properti kehutanan obyek penilaian.
19. PENILAIAN PROPERTI PERTAMBANGAN
a. Obyek penilaian pada properti pertambangan terdiri dari:
1) Aset cadangan antara lain cadangan tambang, areal produktif dan areal
belum produktif; dan
2) Aset non cadangan antara lain sarana dan prasarana properti termasuk
bangunan dan peralatan kerja.
b. Dalam melakukan penilaian properti pertambangan wajib memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1) Penyelidikan umum, termasuk observasi secara geologi untuk
menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian (prospeksi);
2) Eksplorasi, dengan penyelidikan geologi pertambangan untuk
menetapkan lebih teliti dan seksama adanya dan letak sifat letakan
bahan galian;
3) Eksploitasi properti pertambangan dengan maksud untuk
menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya dengan cara:
a)
b)
c)
tambang terbuka (surface mining/open pit);
tambang dalam/bawah tanah (underground mining); dan
tambang bawah air (underwater mining/marine mine).
4) Pengolahan dan pemurnian bahan galian;
5) Penjualan bahan galian dari hasil pengolahan dan pemurnian; dan
6)
Analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan setelah
penambangan.
c. Penilai Properti dalam melakukan prosedur penilaian pertambangan wajib
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Pengumpulan Data Dan Analisis Pendahuluan:
a) Aspek teknik;
(1) Kajian geologi dan eksplorasi;
(2) Kajian geoteknik;
(3) Kajian hidrogeologi;
(4) Sistim penambangan;
(5) Sistim pengolahan dan pemurnian;
(6) Sistem pengangkutan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-59-
(7) Nisbah Pengupasan (Stripping Ratio/SR);
(8) Kadar Batas Rata-rata Terendah (COG); dan
(9) Ketebalan Batas Rata-rata Terambil (COT).
b) Aspek ekonomi;
(1)
Infrastruktur;
(2) Tenaga kerja;
(3) Harga komoditas bahan galian dan persaingan;
(4) Jenis produk sampingan dan produk akhir; dan
(5) Nilai dan prospek bahan galian.
c) Aspek lingkungan, Kesehatan dan keselamatan Kerja; dan
d) Aspek hukum.
d. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penilaian properti
Pertambangan adalah sebagai berikut:
1) Dalam hal penilaian properti pertambangan berupa aset cadangan,
pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:
a) Pendekatan Biaya (Cost Approach) digunakan untuk penilaian pada
areal belum produktif (areal dalam tahap penyelidikan umum,
eksplorasi dan konstruksi) di Wilayah Izin Usaha Pertambangan;
b) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) digunakan untuk
penilaian pada areal produktif (areal kawasan produktif dan areal
belum produktif tetapi sudah dapat diukur besarnya cadangan
tambang) di Wilayah Izin Usaha Pertambangan dengan
menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow
Method/DCF);
c) Penentuan nilai cadangan dilakukan dengan menghitung
perkiraan penerimaan yang akan diperoleh pada tahun-tahun
mendatang selama umur tambang dan didiskontokan menjadi nilai
saat ini; dan
d) Teknik ekstraksi untuk memperoleh nilai cadangan dilakukan
dengan cara mengurangi nilai pertambangan dengan nilai tanah
dan nilai aktiva non cadangan antara lain bangunan, infrastruktur,
kendaraan dan alat berat, mesin-mesin dan peralatan.
2) Dalam hal penilaian properti pertambangan berupa aset non cadangan,
pendekatan penilaian yang digunakan adalah Pendekatan Biaya (Cost
Approach) dan/atau Pendekatan Data Pasar.
e. Penilai Properti pertambangan dalam melakukan penilaian dengan
menggunakan metode Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow
Method/DCF) wajib melakukan prosedur sebagaimana dimaksud dalam
angka 12 huruf c, dan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Mengestimasi dan memproyeksikan Pendapatan kotor tahunan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-60-
2) Mengestimasi biaya operasional (Operating Cost) yang diperoleh dari
biaya variabel, biaya tetap dan beban biaya cadangan, sesuai dengan
pos pengeluaran sebagai berikut:
a)
b)
biaya eksplorasi;
biaya eksploitasi, antara lain;
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
c)
biaya persiapan dan biaya pembersihan;
biaya pengupasan overburden (OB);
biaya penggalian atau peledakan dan pemuatan bahan
galian;
biaya pengangkutan ke tempat penimbunan (stockpile);
biaya perawatan jalan;
biaya tenaga kerja langsung;
biaya bahan bakar dan pelumas;
biaya perawatan alat berat;
biaya reklamasi atau penutupan tambang; dan
(10) biaya pencadangan.
biaya pengolahan atau pemurnian atau ekstraksi;
d) biaya pengolahan, termasuk bahan kimia (jika ada);
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)
biaya tenaga kerja langsung;
biaya bahan bakar dan pelumas;
biaya pemasaran;
biaya umum dan administrasi;
biaya perawatan: alat berat, mesin dan pelaratan, dermaga, aset
operasional lainnya, infrastruktur;
biaya pencadangan: alat berat, mesin dan pelaratan, dermaga, aset
operasional lainnya, infrastruktur;
biaya pemuatan dari stockpile ke kapal (vessel);
biaya royalty;
m) biaya retribusi;
n) biaya pajak bumi dan bangunan;
o) biaya asuransi; dan
p) keuntungan penambang yang wajar.
3) Mengestimasi pendapatan bersih tahunan, yang diperoleh dari selisih
pendapatan kotor proyeksi dengan biaya operasi proyeksi.
4) mendiskontokan pendapatan bersih tahunan proyeksi selama periode
operasi atau periode penambangan produktif berdasarkan Tingkat
Diskonto sebagaimana dimaksud dalam angka 12 huruf h.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-61-
20. KESIMPULAN NILAI
a. Dalam membuat kesimpulan Nilai, Penilai Properti wajib
mempertimbangkan:
1) Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian dan prosedur penilaian yang
relevan sesuai dengan maksud dan tujuan penilaian; dan
2) Data dan informasi yang relevan serta dapat dipertanggungjawabkan.
b. Kesimpulan Nilai sebagaimana dimaksud dalam huruf a, wajib diperoleh
dengan cara:
1) mengukur kehandalan hasil penilaian yang didapatkan dari
penggunaan beberapa Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang
berbeda;
2) menghubungkan dan merekonsiliasi hasil penilaian yang didapatkan
dari penggunaan beberapa Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian
yang berbeda; dan
3) menentukan bahwa kesimpulan Nilai merupakan hasil penilaian pada
lebih dari satu Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian.
c. Penilai Properti wajib melakukan rekonsiliasi atas hasil yang didapatkan
dengan cara Metode Rata-Rata Tertimbang (Gross Weighted Method) dalam hal
menggunakan lebih dari satu pendekatan, dengan memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1) Langkah-langkah minimum Metode Rata-Rata Tertimbang (Gross
Weighted Method) dilakukan dengan cara:
a) menetapkan faktor tertimbang (weighting factor) berdasarkan
besarnya indikasi Nilai yang didapatkan dari pendekatan yang
digunakan, dengan cara:
(1) menjumlahkan indikasi Nilai yang didapatkan dari masing-
masing pendekatan; dan
(2) membagi indikasi Nilai masing-masing pendekatan dengan
jumlah keseluruhan indikasi Nilai yang didapatkan
sebagaimana dimaksud dalam nomor (1).
b) mengalikan faktor tertimbang dengan indikasi Nilai yang
didapatkan dari masing-masing pendekatan sebagaimana
dimaksud dalam poin a).
2)
Nilai dari Metode Rata-Rata Tertimbang (Gross Weighted Method)
didapatkan dengan cara menjumlahkan indikasi Nilai sebagaimana
dihasilkan dari butir 1).
d. Penilai Properti wajib mengungkapkan secara jelas dalam Laporan Penilaian
Properti mengenai prosedur penyesuaian dan rekonsiliasi yang dilakukan
untuk memperoleh kesimpulan Nilai, termasuk:
1)
alasan-alasan penerapan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian
yang digunakan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-62-
2) pertimbangan dalam melakukan penyesuaian laporan laba rugi dan
laporan arus kas, dalam hal Penilai Properti menggunakan data dan
informasi dari laporan keuangan;
3) pertimbangan dalam melakukan penyesuaian proyeksi yang diperoleh
dari pihak pemberi tugas, dalam hal Penilai Properti menggunakan data
dan informasi dari pemberi tugas; dan
4)
rekonsiliasi terhadap indikasi Nilai yang dihasilkan oleh masing-masing
Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang digunakan.
e. Kesimpulan Nilai wajib dinyatakan dalam satu nilai tertentu (single amount)
dalam mata uang yang sesuai dengan mata uang yang digunakan di dalam
laporan keuangan obyek penilaian.
21. LAPORAN PENILAIAN PROPERTI
a. Ketentuan Umum
1) Penilai Properti yang melakukan penugasan penilaian profesional wajib
membuat Laporan Penilaian Properti.
2) Laporan Penilaian Properti sebagaimana dimaksud dalam butir 1) wajib
berbentuk laporan lengkap (narrative report atau long form report) dan
laporan ringkas (short form report).
3)
Jenis dan isi laporan tergantung pada penggunaan laporan penilaian,
persyaratan hukum jenis properti, dan sifat dasar serta kompleksitas
penugasan.
4) Penilai Properti wajib mengungkapkan dalam Laporan Penilaian
Properti, ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban
pelaporan dalam Peraturan ini.
5) Penilai Properti wajib menggunakan definisi dan istilah-istilah
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a. Dalam hal Penilai
Properti menggunakan definisi dan istilah-istilah lain yang tidak
ditetapkan dalam Peraturan ini, maka definisi dan istilah-istilah lain
tersebut wajib diungkapkan secara jelas dalam Laporan Penilaian
Properti.
b. Isi Laporan Penilai Properti
Laporan Penilai Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 2) yang
berbentuk laporan lengkap (narrative report atau long form report) paling
kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
1) Surat Pengantar;
2) Daftar Isi;
3) Pendahuluan, yang wajib menjelaskan dan mengungkapkan paling
kurang hal-hal sebagai berikut:
a) nomor laporan penilaian atau nomor referensi;
b)
tanggal laporan penilaian;
c)
identitas pemberi tugas antara lain nama, bidang usaha, alamat,
nomor telepon, faksimili, alamat email;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-63-
d) nomor dan tanggal kontrak surat perjanjian kerja atau proposal
yang telah disetujui untuk penugasan dimaksud;
e) uraian mengenai obyek penilaian;
f)
g) Tanggal Penilaian (Cut Off Date);
h) maksud dan tujuan penilaian;
i)
j)
ruang lingkup penilaian;
dasar nilai yang digunakan;
k) definisi dan istilah yang digunakan dalam penilaian;
l) uraian informasi yang digunakan dalam analisis;
m) pendekatan dan metode penilaian yang ditetapkan serta alasan
penggunaannya;
n) uraian proses penilaian;
o) pernyataan independensi dari Penilai Properti dan tim penugasan
penilaian profesional yang terlibat dalam penugasan dan Kantor
Jasa Penilai Publik (KJPP);
p) asumsi-asumsi dan kondisi pembatas serta skenario hipotesis yang
secara langsung mempengaruhi penilaian;
q) uraian mengenai Tenaga Ahli dan hasil pekerjaan Tenaga Ahli
dalam hal Penilai Properti mendasarkan penilaiannya pada hasil
kerja Tenaga Ahli;
r) penjelasan mengenai kejadian penting setelah Tanggal Penilaian
(subsequent event);
s) uraian mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan penilaian (jika ada); dan
t)
4)
tambahan informasi lain yang diperlukan diluar hal-hal yang telah
diuraikan sebagaimana dimaksud dalam poin a) sampai poin t).
Tinjauan Pasar
Penilai Properti wajib menguraikan tinjauan pasar yang memuat paling
kurang:
a) obyek penilaian, termasuk kondisi-kondisi yang mempengaruhi
proses dan hasil penilaian; dan
b) produk yang dihasilkan oleh obyek penilaian.
5) Pengungkapan atas aset adalah sebagai berikut:
a) Aset Operasional
Uraian teknis, pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan
Nilai dan Nilai setiap Aset Operasional tersebut termasuk status
kepemilikan; dan
tanggal Inspeksi properti yang diuraikan untuk setiap obyek
penilaian;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-64-
b) Aset Non-Operasional
Uraian teknis, pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan
Nilai dan Nilai setiap Aset Non-Operasional tersebut termasuk
status kepemilikan.
6) Data dan Informasi
Penilai Properti wajib mengidentifikasi dan mengungkapkan data dan
informasi baik yang diketahui maupun patut diketahui, yang diperoleh
dari dalam atau dari luar pihak pemberi tugas, atas obyek penilaian
yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh pemberi tugas, paling kurang
meliputi:
a) Dalam hal obyek penilaian meliputi tanah, maka hal-hal yang
wajib diungkapkan, antara lain:
Uraian teknis tanah meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1) Lokasi dan Identifikasi;
Berisi uraian tentang lokasi tanah dengan menyebutkan:
(a) Alamat lengkap;
(b) akses menuju lokasi tanah;
(c) jarak lokasi tanah dengan properti atau tempat tertentu
yang mudah diidentifikasi; dan
(d) spesifikasi jalan di sekitar lokasi tanah.
(2) Data Lingkungan;
Uraian tentang keadaan lingkungan dari lokasi tanah berada
dan sekitarnya, paling kurang:
(a) pemanfaatan atau penggunaan tanah disekitarnya;
(b) peruntukkan penggunaan tanah (zoning);
(c) properti atau tempat disekitarnya yang mudah
diidentifikasi dan dapat dijadikan acuan lokasi; dan
(d) fasilitas umum yang tersedia.
(3) Data Tanah;
Uraian tentang keadaan status atau legalitas sertifikat tanah
serta spesifikasi teknis tanah obyek penilaian, paling kurang:
(a) jenis dan nomor sertifikat, tanggal dan tempat
diterbitkan serta masa berlaku, nomor dan tanggal
gambar situasi atau surat ukur, luas tanah, dan nama
pemegang hak; dan
(b) bentuk, ukuran, keadaan permukaan, serta keterangan
lainnya yang terkait dan relevan.
(4) Pemanfaatan Tanah;
Uraian tentang pemanfaatan atau penggunaan tanah pada
saat penilaian.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-65-
(5) Penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use); dan
Uraian tentang Penggunaan Terbaik dan Tertinggi dari
obyek penilaian, dalam hal memenuhi prinsip penggunaan
tertinggi dan terbaik (highest and best use).
(6) Uraian tentang obyek penilaian yang tidak memenuhi
prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best
use).
(7) Data dan/atau Properti Pembanding
Uraian tentang data dan/atau properti pembanding yang
digunakan sebagai pembanding dalam proses penilaian.
b) Dalam hal obyek penilaian meliputi bangunan, maka hal-hal yang
wajib diungkapkan, paling kurang:
(1) uraian teknis, pendekatan yang digunakan untuk
mendapatkan Nilai dan Nilai setiap bangunan tersebut; dan
(2)
spesifikasi teknis bangunan meliputi nama bangunan, jenis
konstruksi, jumlah lantai, jenis fondasi, material yang
digunakan, tata ruang, kelengkapan bangunan, luas lantai
dan kondisi fisik.
c) Dalam hal obyek penilaian meliputi mesin dan peralatan, maka
hal-hal yang wajib diungkapkan, adalah sebagai berikut:
(1) uraian teknis, pendekatan yang digunakan untuk
mendapatkan Nilai dan Nilai setiap Mesin dan Peralatan;
dan
(2)
spesifikasi teknis mesin dan peralatan meliputi jenis mesin,
nama mesin, pembuat, model atau tipe mesin, tahun
pembuatan, negara asal, sistem kerja, kapasitas keluar,
tenaga penggerak, sumber daya dan kebutuhan tenaganya,
peralatan pendukung, kelengkapan mesin, dan kondisi fisik.
d) Dalam hal obyek penilaian meliputi prasarana maka hal-hal yang
wajib diungkapkan, adalah sebagai berikut:
(1) uraian teknis, pendekatan yang digunakan untuk
mendapatkan Nilai dan Nilai setiap prasarana.
(2)
spesifikasi teknis prasarana meliputi nama prasarana, jenis
konstruksi, jenis fondasi, material yang digunakan,
kelengkapan prasarana dan kondisi fisik.
7) Pertimbangan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian
Penilai Properti wajib menyatakan bahwa telah mempertimbangkan
penggunaan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan ini.
8) Penggunaan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-66-
Penilai Properti wajib menjelaskan dan mengungkapkan penggunaan
Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian serta uraian dalam
penerapannya.
9) Perhitungan Indikasi Nilai
Penilai Properti wajib mengungkapkan proses perhitungan untuk
menghasilkan indikasi Nilai.
10) Rekonsiliasi Estimasi Nilai dan Kesimpulan Nilai
a) Penilai Properti wajib menyajikan rekonsiliasi dari berbagai
estimasi Nilai yang diperoleh dari Pendekatan Penilaian dan
Metode Penilaian yang digunakan serta mengungkapkan
pertimbangan rekonsiliasi yang mendasari kesimpulan Nilai,
terkecuali penilaian atas obyek penilaian sebagaimana dimaksud
dalam angka 10 huruf d.
b) uraian dari indikasi Nilai obyek penilaian atau bagian dari obyek
penilaian serta kesimpulan Nilai akhir yang berupa nilai tunggal
(single amount).
11) Pernyataan Penilai Properti
Penilai Properti wajib menyatakan bahwa:
a) penugasan penilaian profesional telah dilakukan terhadap obyek
penilaian pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date);
b)
analisis telah dilakukan untuk tujuan penilaian yang diungkapkan
dalam Laporan Penilaian Properti;
c) penugasan penilaian profesional telah dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d) telah dilakukan Inspeksi terhadap obyek penilaian;
e)
f)
h)
i)
perkiraan Nilai yang dihasilkan dalam penugasan penilaian
profesional telah disajikan sebagai kesimpulan Nilai;
lingkup pekerjaan dan data yang dianalisa telah diungkapkan;
g) kesimpulan Nilai telah sesuai dengan asumsi-asumsi dan kondisi
pembatas;
seluruh data dan informasi yang diungkapkan dalam laporan
dapat dipertanggungjawabkan; dan
besaran imbalan jasa penilai tidak tergantung pada hasil penilaian.
12) Kualifikasi Penilai Properti
Penilai Properti wajib mengungkapkan informasi mengenai kualifikasi
dan keahlian Penilai Properti.
13) Tanda Tangan Penilai Properti
Penilai Properti wajib menandatangani Laporan Penilaian Properti
dengan mencantumkan nama, tempat, Nomor STTD serta tanggal
pelaporan.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-67-
14) Lampiran
Laporan Penilai Properti wajib memuat lampiran yang diperlukan
dalam melakukan analisis dan mendukung hasil penilaian.
c. Dalam hal Penilai Properti melakukan penilaian atas Properti khusus
(Specialized Property), maka laporan lengkap (long form report) paling kurang
memuat:
1)
2)
3)
informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
penjelasan identifikasi Properti Khusus (Specialized Property); dan
alasan penggunaan Pendekatan Biaya (Cost Approach) dengan Metode
Biaya Penggantian Terdepresiasi (Depreciated Replacement Cost
Method/Metode DRC).
d. Dalam hal Penilai Properti melakukan penilaian atas obyek penilaian dalam
tahap pembangunan atau pengembangan, maka Laporan Penilaian lengkap
(long form report) paling kurang memuat:
1)
2)
3)
4)
1)
2)
informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
tingkat penyelesaian pembangunan atau pengembangan properti;
rencana penyelesaian pembangunan atau pengembangan; dan
rencana mulai beroperasi secara komersial.
e. Dalam hal Penilai Properti melakukan penilaian atas properti perkebunan,
maka laporan lengkap (long form report) paling kurang memuat:
informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
informasi tambahan yang wajib disajikan dalam laporan penilaian
properti perkebunan, antara lain:
a) Tanaman Perkebunan meliputi
tanaman belum menghasilkan;
b) bibitan;
c)
perkebunan plasma; dan
d) Aset Non Tanaman.
f. Dalam hal Penilai Properti melakukan penilaian atas properti kehutanan,
maka Laporan Penilaian lengkap (long form report) paling kurang memuat:
1)
informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
2)
Identifikasi properti, meliputi:
a)
legalitas properti;
b) perizinan pemanfaatan hasil hutan yang telah diperoleh;
c)
sejarah pengelolaan kawasan hutan;
d) kondisi fisik dan sosial ekonomi;
e)
f)
fungsi hutan;
analisis areal efektif;
tanaman menghasilkan dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-68-
g)
h)
i)
j)
k)
3)
luas dan umur tanaman;
survei potensi, jenis kayu yang bisa diperdagangkan dan
dilindungi;
etat luas, etat volume, daur tanaman, faktor eksploitasi dan
pengaman;
kewajiban-kewajiban perlindungan hutan;
areal konsesi dan proyeksi rencana kerja tahunan sesuai daur; dan
l) kinerja pengelolaan properti hutan.
Analisis pasar sesuai dengan jenis dan penggunaan kayu obyek
penilaian;
g. Dalam hal Penilai Properti melakukan penilaian atas properti pertambangan,
maka laporan lengkap (long form report) paling kurang memuat:
1)
informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
2) Uraian mengenai data yang telah diverifikasi dalam penilaian properti
pertambangan antara lain:
a) Legalitas perizinan perusahaan termasuk sertifikat Hak Guna
Bangunan pada unit pengolahan, dan perizinan lainnya yang
berkaitan dengan penambangan termasuk pada:
(1) uraian mengenai kepemilikan, hak guna lahan, Izin Usaha
Pertambangan;
(2)
tanggal persetujuan, mulai, dan masa berlakunya Izin Usaha
Pertambangan;
(3) penjelasan mengenai daerah target eksploitasi dan/atau
daerah yang dilepas;
(4) penjelasan mengenai bahan galian yang diselidiki; dan
(5)
luas wilayah properti pertambangan, dan luas daerah
penyelidikan.
b) Standar biaya pengolahan per Ton atau per Kilo Gram atau per
satuan lainnya dari hasil bahan galian (break event stripping
ratio/BESR);
c) Hasil pekerjaan Tenaga Ahli mengenai kelayakan pertambangan
dan laporan analisa cadangan;
d) Uraian tentang lokasi pertambangan dengan mengungkapkan:
(1) akses menuju lokasi tambang;
(2)
(3)
3)
spesifikasi jalan di sekitar lokasi tambang.
informasi tambahan yang wajib disajikan dalam Laporan Penilaian
Properti pertambangan, antara lain:
a) Aset Cadangan; dan
jarak lokasi obyek penilaian dengan properti/aset atau
tempat tertentu yang mudah diidentifikasi; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-478/BL/2009
Tanggal : 31 Desember 2009
-69-
b) Aset Non Cadangan.
h. Laporan ringkas (short form report) sebagaimana dimaksud dalam huruf a
butir 3) merupakan ringkasan seluruh informasi penting dari Laporan
Penilaian Properti yang berbentuk laporan lengkap (long form report).
i. Laporan ringkas (short form report) dapat disajikan secara terpisah namun
merupakan satu kesatuan dari Laporan Penilaian Properti.
22. KETENTUAN PENUTUP
a. Untuk obyek penilaian dalam kondisi tertentu, Bapepam dan LK dapat
menetapkan ketentuan mengenai obyek penilaian tersebut.
b. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal,
Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran
ketentuan Peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 31 Desember 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Pjs. Kepala Bagian Umum
ttd.
Kristrianti Puji Rahayu
NIP 060089892
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-478/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN LAPORAN PENILAIAN PROPERTI DI PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 31 Desember 2009 </set_date>
<effective_date> 1 April 2010 </effective_date>
<related_reg> '45/PP/1995', '125/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP- 106 /BL/2008
TENTANG
KOMISARIS BURSA EFEK
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan Bursa Efek yang sehat
dan berdaya saing global, maka diperlukan pengawas Bursa
Efek yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi
serta memenuhi persyaratan sebagaimana dipersyaratkan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka
dipandang perlu untuk menyempurnakan persyaratan, tata
cara pencalonan dan pemilihan komisaris Bursa Efek dengan
menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan yang baru;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun
1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG KOMISARIS
BURSA EFEK.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Komisaris Bursa Efek, diatur dalam Peraturan
Nomor III.A.12 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan
ini.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 โ
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka semua ketentuan
terkait dengan komisaris Bursa Efek sebagaimana tersebut dalam
Peraturan Nomor III.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam
Nomor: Kep-05/PM/2001 tanggal 8 Maret 2001 sebagaimana
diubah terakhir dengan Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor: Kep-352/BL/2007 Tentang Perubahan Peraturan Nomor
III.A.3 Tentang Komisaris dan Direktur Bursa Efek tanggal 30
Oktober 2007 dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 3
Komisaris Bursa Efek yang sedang menjabat pada saat
ditetapkannya Keputusan ini tetap dapat menjabat sampai dengan
masa jabatannya berakhir.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 April 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-106/BL/2008
Tanggal : 10 April 2008
PERATURAN NOMOR III.A.12 : KOMISARIS BURSA EFEK
1. Ketentuan Umum
a. Bursa Efek wajib mempunyai paling sedikit 3 (tiga) orang komisaris.
b. Dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam angka 1 huruf a, Bapepam dan
LK dapat menetapkan jumlah kebutuhan komisaris Bursa Efek paling lambat 50
(lima puluh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pemilihan komisaris.
Penetapan Bapepam dan LK dimaksud berlaku sampai dengan adanya
penetapan Bapepam dan LK selanjutnya.
2. Persyaratan Komisaris
a. Setiap komisaris Bursa Efek wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan
perbuatan hukum;
2) memiliki akhlak dan moral yang baik;
3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang
dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit;
4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan
keuangan;
6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
7) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal;
8) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Bursa Efek dan Pasar Modal
Indonesia; dan
9) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-
prinsip pengelolaan risiko.
b. Anggota Dewan Komisaris Bursa Efek, selain persyaratan huruf a tersebut di
atas, wajib pula memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam hal anggota Dewan Komisaris terdiri dari 3 (tiga) atau 4 (empat)
orang, maka:
a) paling sedikit satu orang komisaris merupakan direktur Anggota Bursa
Efek dan telah menjabat paling kurang 2 (dua) tahun;
b) satu orang komisaris merupakan direktur pada Emiten atau Perusahaan
Publik yang tercatat di Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan
Publik tersebut dicatatkan dan telah menjabat paling kurang 2 (dua)
tahun; dan
c) satu orang komisaris wajib:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-106/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 2 -
(1) berpengalaman pada posisi manajemen pada institusi Pasar Modal
paling kurang 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada
institusi pengawas jasa keuangan;
(2) berpengalaman pada posisi direktur pada organisasi yang diberi
kewenangan oleh Undang-undang tentang Pasar Modal untuk
mengatur pelaksanaan kegiatannya paling kurang 2 (dua) tahun; atau
(3) merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan
yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling kurang
5 (lima) tahun; atau
2) Dalam hal anggota Dewan Komisaris terdiri dari 5 (lima) orang, maka:
a) 2 (dua) orang komisaris merupakan direktur Anggota Bursa Efek dan
telah menjabat paling kurang 2 (dua) tahun;
b) satu orang komisaris merupakan direktur pada Emiten atau Perusahaan
Publik yang tercatat di Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan
Publik tersebut dicatatkan dan telah menjabat paling kurang 2 (dua)
tahun;
c) satu orang komisaris wajib berpengalaman pada:
(1) posisi manajemen pada institusi Pasar Modal paling kurang 5 (lima)
tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa
keuangan; atau
(2) posisi direktur pada organisasi yang diberi kewenangan oleh
Undang-undang tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan
kegiatannya paling kurang 2 (dua) tahun; dan
d) satu orang komisaris merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi,
atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal
paling kurang 5 (lima) tahun; atau
3) Dalam hal anggota Dewan Komisaris terdiri lebih dari 5 (lima) orang, maka:
a) paling sedikit 2 (dua) orang komisaris merupakan direktur Anggota
Bursa Efek dan telah menjabat paling kurang 2 (dua) tahun;
b) paling sedikit 2 (dua) orang komisaris merupakan direktur pada Emiten
atau Perusahaan Publik yang tercatat di Bursa Efek dimana Efek Emiten
atau Perusahaan Publik tersebut dicatatkan dan telah menjabat paling
kurang 2 (dua) tahun;
c) paling sedikit satu orang komisaris wajib berpengalaman pada:
(1) posisi manajemen pada institusi Pasar Modal paling kurang 5 (lima)
tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa
keuangan; atau
(2) posisi direktur pada organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-
undang tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan
kegiatannya paling kurang 2 (dua) tahun; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-106/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 3 -
d) paling sedikit satu orang komisaris merupakan profesional di bidang
hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam
bidang Pasar Modal paling kurang 5 (lima) tahun.
c. Dua atau lebih komisaris Bursa Efek dilarang berasal dari perusahaan yang sama
atau berasal dari 2 (dua) atau lebih perusahaan yang dikendalikan baik
langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang sama.
3. Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Calon Komisaris
a. Pencalonan dan pengajuan calon komisaris Bursa Efek wajib dilakukan oleh
kelompok Anggota Bursa Efek dengan paling sedikit terdiri dari 10 (sepuluh)
Anggota Bursa Efek, dengan persyaratan sebagai berikut:
1) 10 (sepuluh) atau lebih Anggota Bursa Efek tersebut telah melakukan
transaksi Efek secara bersama-sama paling kurang 10% (sepuluh per seratus)
dari total frekuensi dan nilai perdagangan Efek di Bursa Efek selama 12 (dua
belas) bulan terakhir;
2) masing-masing Anggota Bursa Efek secara sendiri-sendiri telah melakukan
transaksi Efek paling kurang 0,2% (dua per seribu) dari total frekuensi dari
nilai perdagangan Efek di Bursa Efek selama 12 (dua belas) bulan terakhir;
dan
3) masing-masing Anggota Bursa Efek hanya dapat menjadi anggota pada satu
kelompok Anggota Bursa Efek.
b. Dalam pencalonan komisaris Bursa Efek, kelompok Anggota Bursa Efek yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas secara
bersama-sama bertanggung jawab menyeleksi calon komisaris, meneliti tingkat
keahlian, pengalaman dan tanggung jawab sebagai komisaris sesuai peraturan
ini dan mengusulkan atau merekomendasikan honorarium dengan
mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan angka 10 huruf c peraturan ini (jika ada).
c. Calon komisaris wajib diajukan kepada Bapepam dan LK oleh kelompok
Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dalam satu
kesatuan paket calon Dewan Komisaris dan salah satu calon wajib ditetapkan
sebagai komisaris utama.
d. Dalam pengajuan calon komisaris kepada Bapepam dan LK, kelompok Anggota
Bursa sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a wajib melampirkan dalam
rangkap 2 (dua) dokumen-dokumen sebagai berikut:
1) riwayat hidup calon komisaris;
2) surat pernyataan calon komisaris yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memenuhi ketentuan angka 2 huruf a angka 3) sampai
dengan angka 8) peraturan ini;
3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon komisaris;
4) surat pernyataan tentang ada tidaknya hubungan afiliasi calon komisaris
dengan Anggota Bursa Efek, Emiten atau Perusahaan Publik yang Efeknya
tercatat di Bursa Efek;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-106/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 4 -
5) fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan tingkat keahlian
dari calon komisaris (jika ada);
6) surat pernyataan dari masing-masing pihak yang diajukan sebagai calon
komisaris yang memuat antara lain tentang kesediaan untuk dipilih menjadi
komisaris dan kesediaan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dalam rangka
pelaksanaan kegiatan Bursa Efek yang teratur, wajar dan efisien dengan
komisaris lain dan direktur Bursa Efek;
7) jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1
peraturan ini mengenai integritas calon komisaris dengan menggunakan
Formulir Nomor III.A.12-1;
8) 3 (tiga) buah pas photo berwarna terbaru ukuran 10 x 15 cm (kartu pos); dan
9) surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti calon
komisaris dan minuta rapat dari kelompok Anggota Bursa Efek, termasuk
rekomendasi mengenai honorarium apabila calon komisaris diangkat
menjadi komisaris, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan
secara profesional dan tidak ada kepentingan lain termasuk kepentingan
karena hubungan Afiliasi, selain semata-mata untuk kepentingan Bursa Efek
khususnya dan Pasar Modal pada umumnya;
e. Pengajuan nama calon komisaris oleh Anggota Bursa Efek sebagaimana
dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c tersebut di atas beserta dokumen-
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf d tersebut di
atas wajib diterima secara lengkap oleh Bapepam dan LK paling lambat 35 (tiga
puluh lima) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan
komisaris. Dalam hal terdapat kekurangan maka pengajuan dianggap telah
lengkap pada saat kekurangan tersebut diajukan kembali kepada Bapepam dan
LK.
4. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
a. Setiap calon komisaris yang diajukan wajib lulus penilaian kemampuan dan
kepatutan yang dilakukan oleh Komite yang dibentuk oleh Ketua Bapepam dan
LK.
b. Anggota Komite sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a terdiri dari 5
(lima) orang yang terdiri dari Ketua Bapepam dan LK sebagai Ketua merangkap
anggota, dan 4 (empat) pejabat setingkat Eselon II di Bapepam dan LK sebagai
anggota.
c. Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling
sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite.
d. Komite melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon komisaris antara
lain melalui penelitian administratif, wawancara, dan atau permintaan
presentasi.
e. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon
komisaris memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi.
f. Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 4 huruf e
di atas meliputi:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-106/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 5 -
1) cakap melakukan perbuatan hukum;
2) memiliki akhlak dan moral yang baik;
3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang
dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit;
4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan
keuangan;
6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan
perundangโundangan di bidang Pasar Modal; dan
7) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Bursa Efek dan Pasar Modal
Indonesia.
g. persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 4 huruf
e di atas meliputi:
1) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal;
2) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-
prinsip pengelolaan risiko; dan
3) memiliki asal usul atau pengalaman yang cukup, sebagaimana
dipersyaratkan dalam ketentuan angka 2 huruf b atau c di atas.
h. Berdasarkan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
dalam angka 4 huruf d yang dilakukan, Bapepam dan LK menyampaikan hasil
penilaian dimaksud kepada kelompok Anggota Bursa Efek yang mengajukan
calon komisaris paling lambat 14 (empat belas) hari setelah permohonan
diterima secara lengkap.
5. Jika dalam satu paket calon Dewan Komisaris yang diajukan oleh kelompok
Anggota Bursa sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c terdapat
calon komisaris yang tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan, maka
kelompok Anggota Bursa Efek dapat mengajukan kembali calon komisaris lain
untuk menggantikan calon komisaris yang tidak lulus kepada Bapepam dan LK
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan hasil penilaian oleh Bapepam
dan LK kepada kelompok Anggota Bursa Efek dimaksud, dengan memenuhi
ketentuan angka 2 dan angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e
peraturan ini.
6. Apabila semua dokumen sudah lengkap dan semua persyaratan telah dipenuhi,
Bapepam dan LK menyampaikan surat persetujuan dan daftar paket calon Dewan
Komisaris beserta fotokopi dokumen calon komisaris kepada direksi Bursa Efek
paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham.
7. Direksi Bursa Efek wajib menyampaikan kepada semua pemegang saham daftar
calon komisaris yang disetujui Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam
angka 6 di atas beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud angka 3
huruf d paling lambat satu hari kerja setelah diterimanya daftar calon komisaris
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-106/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 6 -
dari Bapepam dan LK. Daftar calon komisaris beserta fotokopi dokumen lengkap
tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan publik.
8. Rapat Umum Pemegang Saham dan Tata Cara Pemilihan Komisaris
a. Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan Rapat Umum
Pemegang Saham Bursa Efek dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum dilakukannya pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham dengan
memuat antara lain rencana pengangkatan komisaris.
b. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Bursa Efek untuk mengangkat
komisaris Bursa Efek dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum
Rapat Umum Pemegang Saham dimaksud, dengan memuat antara lain rencana
pengangkatan komisaris.
c. Komisaris dipilih dan diangkat dari paket calon Dewan Komisaris yang
memperoleh suara terbanyak dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
d. Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengangkat komisaris wajib dipimpin
oleh direktur utama atau salah satu direktur dalam hal direktur utama
berhalangan.
9. Dewan Komisaris wajib mengadakan rapat paling kurang satu bulan sekali yang
dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu komisaris dalam hal komisaris
utama berhalangan.
10. Dewan Komisaris dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk Komite Audit
dan Komite Remunerasi, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ketua Komite Audit dan Komite Remunerasi adalah salah seorang komisaris.
b. Komite Audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang
independen kepada Dewan Komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang
disampaikan oleh direksi kepada Dewan Komisaris serta mengidentifikasikan
hal-hal yang memerlukan perhatian komisaris. Anggota Komite Audit wajib
memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan.
c. Komite Remunerasi adalah panitia ad hoc yang dibentuk oleh Dewan Komisaris
untuk mengkaji dan mengusulkan honorarium termasuk metode penentuannya,
bagi komisaris atau gaji dan manfaat lain bagi direktur dengan memperhatikan
masing-masing jabatan direktur dengan tugas dan tanggung jawabnya serta
kelayakan yang berlaku pada umumnya.
11. Komisaris diberi honorarium yang jumlahnya diusulkan atau direkomendasikan
oleh kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a
dan huruf c peraturan ini dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c peraturan ini (jika ada),
sebelum pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan komisaris.
12. Honorarium bagi komisaris sebagaimana dimaksud dalam angka 11 wajib
mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
13. Masa jabatan komisaris adalah 3 (tiga) tahun dan hanya dapat diangkat kembali
untuk satu kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Apabila seorang komisaris diangkat karena menggantikan jabatan komisaris
yang berhenti sebelum masa jabatannya berakhir dan atau ada tambahan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-106/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 7 -
komisaris baru, maka masa jabatan komisaris tersebut berlaku selama sisa masa
jabatan Dewan Komisaris yang sedang menjabat; dan
b. Keseluruhan masa jabatan komisaris pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3
(tiga) kali masa jabatan.
14. Berakhirnya masa jabatan Dewan Komisaris wajib diatur berbeda dengan
berakhirnya masa jabatan direksi.
15. Komisaris yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 peraturan ini wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat, dan kelompok Anggota
Bursa Efek wajib segera mengajukan calon komisaris penggantinya kepada
Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 peraturan ini.
16. Dalam hal terdapat jabatan komisaris yang lowong, maka direksi Bursa Efek wajib
melaporkan kepada Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak
diketahui oleh direksi Bursa Efek.
17. Dalam pengisian jabatan komisaris untuk menggantikan jabatan komisaris yang
lowong dan atau diperlukannya tambahan komisaris baru, maka:
a. penggantian atau penambahan komisaris wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam angka 2 dan angka 3 peraturan ini.
b. calon komisaris yang akan diajukan wajib bersedia bekerjasama dengan dan
tidak memperoleh keberatan dari komisaris yang ada.
c. penambahan komisaris baru wajib memperhatikan ketentuan angka 1 b dan
pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 peraturan ini.
18. Anggota Dewan Komisaris dapat diberhentikan dari jabatannya apabila komisaris
tersebut, antara lain:
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;
b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
c. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik;
d. dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan
bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit;
e. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
f. melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di
bidang keuangan pada umumnya;
g. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
h. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Bursa Efek;
i. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas; dan atau
j. berhalangan tetap.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-106/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 8 -
19. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan
LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan
peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 April 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Formulir Nomor: III.A.12-1
DAFTAR PERTANYAAN
I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN:
1. Semua pertanyaan dalam daftar pertanyaan ini adalah berkaitan dengan
integritas wajib dijawab oleh setiap calon komisaris.
2. Berilah tanda โ dalam kotak di depan kata โYaโ, jika jawaban Saudara
โYaโ, atau berilah tanda โ dalam kotak di depan kata โTidakโ jika
jawaban atas pertanyaan berikut adalah โTidakโ.โ.
3. Untuk setiap jawaban โYaโ, pemohon wajib memberikan jawaban secara
rinci dan jelas, antara lain memuat:
a. lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan;
b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan;
c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan;
d. tindakan atau sanksi yang dikenakan.
II. INTEGRITAS CALON KOMISARIS
Definisi:
Investasi adalah
kegiatan
atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha
perumahan atau real estate termasuk kegiatan baik langsung maupun tidak
langsung, berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasehat Investasi, Bank
atau Perusahaan Lain yang bergerak di bidang keuangan.
Jawablah pertanyaan di bawah ini:
1. Dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir, apakah calon komisaris
pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak menggugat atas
tuduhan:
a. tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha
berhubungan dengan investasi, penipuan, pernyataan palsu atau
penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan?
๎ ya
๎ tidak
1
b. atau kejahatan lain?
๎ ya
๎ tidak
2. Apakah pengadilan:
a. pernah memutuskan bahwa calon komisaris pailit?
๎ ya
๎ tidak
b. dalam sepuluh tahun terakhir ini melarang calon komisaris dalam
kegiatannya yang berhubungan dengan Investasi?
๎ ya
c. pernah memutuskan
๎ tidak
bahwa calon komisaris terlibat dalam
pelanggaran hukum yang berhubungan dengan investasi, terlibat
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku?
๎ ya
๎ tidak
3. Apakah Bapepam dan LK pernah:
a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu atau
melakukan kelalaian?
๎ ya
๎ tidak
b. menemukan calon komisaris terlibat dalam pelanggaran hukum,
keputusan- keputusan atau peraturan-peraturan yang dikeluarkan
oleh Bapepam dan LK?
๎ ya
๎ tidak
c. menemukan calon komisaris menyebabkan suatu perusahaan
berhubungan dengan investasi yang Izin Usaha, Persetujuan atau
Pernyataan Pendaftarannya ditolak, ditangguhkan, dicabut atau
dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
d. memerintahkan untuk menolak, menghentikan untuk sementara
atau mencabut Izin Usaha, Persetujuan atau Pernyataan Pendaftaran
atau sanksi dengan membatasi kegiatan-kegiatan calon komisaris?
2
๎ ya
๎ tidak
4. Apakah lembaga atau institusi lain yang berwenang di Indonesia atau di
luar negeri pernah:
a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu, tidak
memberikan pernyataan yang diminta, tidak jujur, tidak adil atau
tidak etis?
๎ ya
b.
๎ tidak
menemukan calon komisaris melakukan kegiatan yang
menyebabkan suatu Izin Usaha, Persetujuan, atau Pernyataan
Pendaftaran ditolak, dihentikan untuk sementara, dicabut atau
dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
c. memerintahkan untuk menegur calon komisaris sehubungan dengan
kegiatan yang berhubungan dengan Investasi?
๎ ya
๎ tidak
d. menolak, menghentikan untuk sementara, atau membatalkan Izin
Usaha, Persetujuan, atau Pernyataan Pendaftaran para calon
komisaris atau direktur untuk bergerak dalam usaha yang
berhubungan dengan Investasi, atau membatasi kegiatan dalam
bidang usaha tersebut?
๎ ya
๎ tidak
e. mencabut atau menghentikan untuk sementara Izin Usaha calon
komisaris sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan,
Notaris, Pengacara atau Penilai?
๎ ya
๎ tidak
5. Apakah Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian pernah:
a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu atau tidak
menyatakan fakta?
๎ ya
๎ tidak
3
b. menemukan calon komisaris terlibat dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan yang berlaku?
๎ ya
๎ tidak
c. menemukan calon komisaris menyebabkan suatu usaha yang
berhubungan dengan Investasi dimana Izin Usaha, Persetujuan atau
Pernyataan Pendaftarannya untuk menjalankan usahanya ditolak,
dihentikan sementara, dicabut atau dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
d. menertibkan calon komisaris dalam kedudukannya sebagai direktur
atau komisaris Anggota Bursa, Anggota Kliring, atau partisipan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan:
1) mengeluarkan atau menghentikan sementara dari keanggotaan
suatu Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
2) menghalangi atau menghentikan sementara hubungannya
dengan Anggota Bursa atau Anggota Kliring lainnya atau
partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; atau
3) membatasi kegiatan Anggota Bursa atau Anggota Kliring atau
partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut?
๎ ya
๎ tidak
6. Apakah calon komisaris pernah atau sedang dituntut oleh suatu Pihak
sehubungan dengan Investasi atau penipuan?
๎ ya
๎ tidak
7. Apakah calon komisaris pernah atau sedang digugat atau dituntut oleh
suatu Pihak sehubungan dengan perkara perdata atau pidana?
๎ ya
๎ tidak
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..20
Pemohon
Materai
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(Nama Lengkap)
4
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-106/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id>
<reg_title> KOMISARIS BURSA EFEK </reg_title>
<set_date> 10 April 2008 </set_date>
<effective_date> 10 April 2008 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-352/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | Lampiran Peraturan Nomor III.A.3', 'KEP-05/PM/2001|KEPTA-BAPEPAM/2001 | Lampiran Peraturan Nomor III.A.3' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP- 394/BL/2008
TENTANG
INDEPENDENSI PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN
DI PASAR MODAL
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
:
a. bahwa untuk meningkatkan kualitas informasi
penilaian yang menjadi salah satu dasar dalam
pengambilan keputusan pemodal, maka diperlukan
pendapat dari Penilai yang independen dan
profesional;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu untuk menetapkan
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan tentang independensi Penilai
yang melakukan kegiatan di Pasar Modal;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995
tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
45/M Tahun 2006;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
INDEPENDENSI PENILAI YANG MELAKUKAN
KEGIATAN DI PASAR MODAL.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 1
Ketentuan mengenai independensi Penilai yang
melakukan kegiatan di Pasar Modal diatur dalam
Peraturan Nomor VIII.C.2 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Penilai yang pada saat berlakunya peraturan ini telah
memberikan jasa penilaian untuk 3 (tiga) tahun
berturut-turut atau lebih kepada klien dan masih
mempunyai perikatan penugasan penilaian profesional
pada tahun berikutnya, hanya dapat melaksanakan
perikatan dimaksud untuk satu penugasan penilaian
profesional.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 6 Oktober 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
: Kep- 394/BL/2008
: 6 Oktober 2008
PERATURAN NOMOR VIII.C.2: INDEPENDENSI PENILAI YANG MELAKUKAN
KEGIATAN DI PASAR MODAL
1.
Definisi dari istilah-istilah pada peraturan ini adalah:
a. Penugasan Penilaian Profesional adalah penugasan yang diterima oleh
Penilai dari klien untuk melakukan penilaian atas objek tertentu dengan
tujuan penilaian tertentu pada tanggal tertentu dimana Penilai
mendasarkan opininya, yang disajikan dalam laporan penilaian.
b. Periode Penugasan Penilaian Profesional adalah periode penugasan yang
diperlukan untuk melakukan suatu proses penilaian hingga
ditandatanganinya laporan penilaian.
c. Anggota Keluarga Dekat adalah istri atau suami, orang tua, anak baik di
dalam maupun di luar tanggungan, dan saudara kandung.
d. Fee Kontinjen adalah fee yang ditetapkan untuk pelaksanaan suatu jasa
profesional yang hanya akan dibebankan apabila ada temuan atau hasil
tertentu dimana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil tertentu
tersebut kecuali jika fee ditetapkan oleh pengadilan atau badan pengatur
atau dalam hal perpajakan, jika dasar penetapan adalah hasil penyelesaian
hukum atau temuan badan pengatur.
e. Orang Dalam Kantor Jasa Penilai Publik adalah:
1) Orang yang termasuk dalam Tim Penugasan Penilaian Profesional
yaitu:
a) semua rekan, pimpinan, karyawan profesional dan atau tenaga
ahli yang berpartisipasi dalam penugasan penilaian;
b) mereka yang melakukan penelaahan lanjutan atau yang
bertindak sebagai rekan ke dua dan (seterusnya) selama Periode
Penugasan Penilaian Profesional; atau
c) Penilai lain sebagai anggota konsorsium dalam suatu
penugasan penilaian profesional; atau
2) Orang yang termasuk dalam rantai pelaksana/perintah yaitu semua
orang yang:
a) mengawasi atau mempunyai tanggung jawab manajemen
secara langsung terhadap penugasan penilaian profesional;
b) mengevaluasi kinerja atau merekomendasikan kompensasi bagi
rekan dan anggota Tim Penugasan Penilaian Profesional; atau
c) mengawasi pelaksanaan pengendalian mutu atau pengawasan
lain atas penugasan penilaian profesional; atau
3) Setiap rekan, pimpinan, karyawan profesional dan atau tenaga ahli
lainnya dari Kantor Jasa Penilai Publik yang telah melaksanakan
penugasan penilaian profesional lainnya kepada klien.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-2-
f. Tenaga Ahli yaitu orang-orang yang mempunyai keahlian dan kualifikasi
pada suatu bidang tertentu di luar ruang lingkup kegiatan Penilaian dan
tidak bekerja pada Kantor Jasa Penilai Publik.
g. Karyawan Kunci yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan
tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, dan mengendalikan
kegiatan perusahaan yang meliputi anggota Komisaris, anggota Direksi,
dan manajer dari pihak yang dinilai dan atau pemberi tugas.
h. Hubungan usaha yang material adalah hubungan usaha yang nilainya
lebih dari 5 % (lima perseratus) dari total pendapatan usaha yang diterima
dari klien.
2.
Jangka waktu Periode Penugasan Penilaian Profesional:
a. Periode Penugasan Penilaian Profesional dimulai sejak dimulainya
pekerjaan lapangan
profesional, mana yang lebih dahulu.
b. Periode Penugasan Penilaian Profesional berakhir pada saat laporan
penilaian yang ditandatangani oleh Penilai diserahkan kepada klien.
3.
4.
5.
Dalam memberikan jasa profesional, khususnya dalam memberikan opini atau
penilaian, Penilai wajib mempertahankan sikap independen.
Dalam memberikan jasa profesional, Penilai dilarang menggunakan tenaga
penilai dari Kantor Jasa Penilai Publik lain.
Penilai tidak independen selama Periode Penugasan Penilaian Profesionalnya,
apabila Penilai, Kantor Jasa Penilai Publik, atau Orang Dalam Kantor Jasa
Penilai Publik:
a. mempunyai kepentingan keuangan langsung atau tidak langsung yang
material pada klien, seperti:
1)
investasi pada klien; atau
2)
kepentingan keuangan lain pada klien,
yang dapat menimbulkan benturan kepentingan;
b. mempunyai hubungan pekerjaan dengan klien, seperti:
1) merangkap sebagai Karyawan Kunci pada klien;
2) memiliki Anggota Keluarga Dekat yang bekerja pada klien sebagai
Karyawan Kunci;
3) mempunyai mantan rekan atau karyawan profesional dari Kantor
Jasa Penilai Publik yang bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci,
kecuali setelah lebih dari 1 (satu) tahun tidak bekerja lagi pada
Kantor Jasa Penilai Publik yang bersangkutan; atau
4) mempunyai rekan atau karyawan profesional dari Kantor Jasa Penilai
Publik yang sebelumnya pernah bekerja pada klien sebagai
Karyawan Kunci, kecuali yang bersangkutan tidak ikut
melaksanakan penugasan penilaian profesional terhadap klien
tersebut dalam Periode Penugasan Penilaian Profesional;
c. mempunyai Hubungan Usaha Yang Material secara langsung atau tidak
langsung dengan klien, atau dengan Karyawan Kunci yang bekerja pada
atau penandatanganan penugasan penilaian
: Kep- 394/BL/2008
: 6 Oktober 2008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-3-
klien, atau dengan Pemegang Saham Utama atau pengendali klien.
Hubungan usaha dalam ketentuan ini tidak termasuk hubungan usaha
dalam hal Penilai, Kantor Jasa Penilai Publik, atau Orang Dalam Kantor
Jasa Penilai Publik memberikan jasa penilaian kepada klien, atau
merupakan konsumen dari produk barang atau jasa klien dalam rangka
menunjang kegiatan rutin;
d. memberikan jasa-jasa lain kepada klien yang dapat menimbulkan
benturan kepentingan; atau
e. memberikan jasa atau produk kepada klien dengan dasar Fee Kontinjen
atau komisi, atau menerima Fee Kontinjen atau komisi dari klien.
6.
Sistim Pengendalian Mutu
Kantor Jasa Penilai Publik wajib mempunyai sistem pengendalian mutu
dengan tingkat keyakinan yang memadai bahwa Kantor Jasa Penilai Publik
atau karyawannya dapat menjaga sikap independen dengan
mempertimbangkan ukuran dan sifat praktik dari Kantor Jasa Penilai Publik
tersebut.
7.
Pembatasan Penugasan Penilaian Profesional
a. Pemberian jasa penilaian kepada klien hanya dapat dilakukan oleh
seorang Penilai paling lama 3 (tiga) tahun berturut-turut terhitung sejak
tanggal laporan penilaian pada Penugasan Penilaian Profesional pertama.
b. Penilai dapat menerima penugasan penilaian profesional kembali dari
klien sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf a peraturan ini setelah
3 (tiga) tahun berturut-turut tidak melakukan penugasan penilaian
profesional bagi klien tersebut terhitung sejak tanggal laporan penilaian
pada penugasan penilaian profesional terakhir.
c. Dalam hal pemberian jasa penilaian kepada klien yang dilakukan oleh
seorang Penilai tidak 3 (tiga) tahun berturut-turut sebagaimana dimaksud
dalam angka 7 huruf a peraturan ini, maka Penilai baru dapat menerima
penugasan penilaian profesional kembali dari klien tersebut setelah
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf b
peraturan ini.
8.
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam
dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan
peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 6 Oktober 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
: Kep- 394/BL/2008
: 6 Oktober 2008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-4-
: Kep- 394/BL/2008
: 6 Oktober 2008
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-394/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id>
<reg_title> INDEPENDENSI PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 6 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> 6 Oktober 2008 </effective_date>
<related_reg> '45/PP/1995', '125/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP- 13/BL/2009
TENTANG
DIREKTUR LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam
rangka
mewujudkan Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang sehat dan berdaya saing global, maka
diperlukan pengelola Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta
memenuhi persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, maka
dipandang perlu untuk menyempurnakan persyaratan, tata
cara pencalonan dan pemilihan Direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun
1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
diatur dalam Peraturan Nomor III.B.3 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
DIREKTUR
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka semua ketentuan
terkait dengan Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebagaimana tersebut dalam Peraturan Nomor III.B.3, Lampiran
Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-09/PM/1996 tentang
Persyaratan Calon Direktur dan Direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan tanggal 17 Januari 1996 dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 3
Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sedang menjabat
sebelum ditetapkannya peraturan ini tetap dapat menjabat sampai
dengan masa jabatannya berakhir.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 30 Januari 2009.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 Januari 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan
Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 13/BL/2009
Tanggal : 30 Januari 2009
PERATURAN NOMOR III.B.3
: DIREKTUR LEMBAGA KLIRING DAN
PENJAMINAN
1. Ketentuan Umum
a. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua)
orang direktur.
b. Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan menelaah jumlah
kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan serta
mengajukan kepada Bapepam dan LK paling lambat 121 (seratus dua puluh
satu) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pemilihan direktur
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
c. Dalam menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Kliring
dan Penjaminan, dewan komisaris dapat membentuk komite dengan atau
tanpa melibatkan pihak lain, dengan berpedoman pada Peraturan ini,
Peraturan Nomor III.B.1, dan struktur organisasi Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang berlaku.
d. Dalam menentukan jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan,
Dewan Komisaris wajib memperhatikan kegiatan yang menjadi tanggung
jawab masing-masing jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebagaimana diatur dalam angka 11 dan angka 12.
e. Apabila dalam batas waktu pengajuan sebagaimana dimaksud dalam huruf
b, dewan komisaris belum mengajukan jumlah kebutuhan dan jabatan
direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, maka Bapepam dan LK
menetapkan langsung jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
f. Bapepam dan LK menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan direktur
Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 109 (seratus sembilan) hari
sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pemilihan direktur Lembaga Kliring
dan Penjaminan.
g. Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan kebutuhan operasional
Lembaga Kliring dan Penjaminan, Bapepam dan LK dapat menambah
direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam Direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan yang sedang menjabat.
2.
Persyaratan Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
a. Setiap direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan
perbuatan hukum;
2) memiliki akhlak dan moral yang baik;
3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur
yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu
perusahaan dinyatakan pailit;
4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 13/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 2 -
5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan
keuangan;
6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
7) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal
termasuk perkembangan pasar modal internasional;
8) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan
Penjaminan dan Pasar Modal Indonesia; dan
9) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-
prinsip pengelolaan risiko.
b. Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a, calon direktur
Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1) paling sedikit 1 (satu) orang calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib mempunyai pengalaman dalam posisi manajerial
pada bidang pengelolaan risiko dan/atau pengelolaan investasi pada
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan;
2) calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan lainnya wajib
berpengalaman pada:
a) posisi direktur pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan
paling kurang 5 (lima) tahun;
b) posisi manajerial pada bidang teknologi informasi paling kurang 3
(tiga) tahun dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sistem
informasi perusahaan yang bergerak di bidang keuangan;
c) posisi manajerial paling kurang satu tingkat di bawah direktur atau
jabatan yang setara pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau
organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-undang tentang
Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya, paling
kurang 3 (tiga) tahun; dan/atau
d) mempunyai pengalaman sebagai profesional di bidang hukum,
akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang
Pasar Modal, paling kurang 5 (lima) tahun.
c. Bagi calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang diajukan sebagai
direktur utama Lembaga Kliring dan Penjaminan, selain wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, juga wajib
mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat.
3. Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Calon Direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan
a. Pencalonan dan pengajuan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
wajib dilakukan oleh pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 13/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 3 -
b. Dalam pencalonan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, pemegang
saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud
pada huruf a bertanggung jawab mencari dan menyeleksi calon direktur,
meneliti bahwa setiap calon direktur tersebut mempunyai keahlian,
pengalaman dan tanggung jawab untuk masing-masing jabatan dan kegiatan
yang menjadi tugas jabatannya sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka
11 dan angka 12, dan menegosiasikan atau merekomendasikan gaji serta
manfaat lain bagi masing-masing calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan dengan mempertimbangkan usulan
Komite Remunerasi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c Peraturan Nomor
III.B.8 (jika ada).
c. Calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib diajukan kepada
Bapepam dan LK oleh pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam satu kesatuan
paket calon direksi, dengan memenuhi ketentuan jabatan sebagaimana
dimaksud dalam angka 1, angka 11 dan angka 12.
d. Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak berlaku
untuk pengajuan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk
mengisi jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong atau
untuk menambah calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan.
e. Dalam pengajuan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada
Bapepam dan LK, pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen-dokumen
sebagai berikut:
1) riwayat hidup calon direktur;
2)
surat pernyataan calon direktur yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memenuhi ketentuan angka 2 huruf a angka 3),
angka 4), angka 5), angka 6) dan angka 8);
3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon direktur;
4) surat pernyataan tentang ada tidaknya hubungan Afiliasi calon direktur
Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan calon direktur lain dari
Lembaga Kliring dan Penjaminan, komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan, dan/atau Anggota Bursa Efek yang merupakan anggota
kliring Lembaga Kliring dan Penjaminan;
5) fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan keahlian dari
calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan (jika ada);
6) surat pernyataan dari masing-masing pihak yang diajukan sebagai calon
direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memuat antara lain
tentang kesediaan untuk dipilih menjadi direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang bertanggung jawab untuk kegiatan yang menjadi
tugasnya sebagaimana dimaksud dalam, angka 11 dan angka 12 dan
untuk bekerja sama sebaik-baiknya dalam rangka pelaksanaan kegiatan
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang teratur, wajar, dan efisien
dengan komisaris dan direktur lain dari Lembaga Kliring dan
Penjaminan dimaksud;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 13/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 4 -
7) surat pernyataan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk
tidak melakukan perangkapan jabatan sebagai direktur, komisaris, atau
pegawai pada perusahaan atau institusi lain, apabila yang bersangkutan
terpilih sebagai direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan;
8) jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1
peraturan ini mengenai integritas calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.3-1;
9) 3 (tiga) buah pas photo berwarna terbaru ukuran 10 x 15 cm (kartu pos);
10) surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi, dan meneliti
calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dari pemegang saham
mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam angka 3 huruf a, termasuk negosiasi atau rekomendasi mengenai
gaji dan manfaat lain apabila calon direktur diangkat menjadi direktur
Lembaga Kliring dan Penjaminan, yang menyatakan bahwa proses
tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak ada kepentingan
lain termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, melainkan semata-
mata kepentingan Lembaga Kliring dan Penjaminan khususnya dan
Pasar Modal pada umumnya;
11) Rencana strategis calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
sejalan dengan visi dan misi Lembaga Kliring dan Penjaminan;
12) surat pernyataan dari calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
yang menyatakan bahwa calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan setelah menjadi direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
tidak akan menggunakan aset Lembaga Kliring dan Penjaminan atau
melakukan transaksi dan memberi manfaat dalam bentuk apapun
kepada Pihak terafiliasinya, direktur lain dari Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Pihak terafiliasi dari direktur lain Lembaga Kliring dan
Penjaminan, komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan/atau
Pihak terafiliasi dari komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan
13) surat pernyataan dari calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
yang menyatakan antara lain :
a) kesediaan untuk tidak memiliki saham atau sebagai pengendali baik
langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek selama menjabat
sebagai direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan/atau
b) kesediaan untuk tidak mengendalikan baik langsung atau tidak
langsung Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau tidak
mentransaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik yang
dimilikinya sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya
berakhir.
f. Pengajuan nama calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan oleh
pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf c beserta dokumen-dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam huruf e, diterima secara lengkap oleh
Bapepam dan LK paling lambat 56 (lima puluh enam) hari sebelum Rapat
Umum Pemegang Saham pengangkatan direktur Lembaga Kliring dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 13/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 5 -
Penjaminan. Dalam hal terdapat kekurangan maka pengajuan dianggap telah
lengkap pada saat kekurangan tersebut disampaikan kepada Bapepam dan
LK.
4. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
a. Setiap calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang diajukan wajib
lulus penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite yang
dibentuk oleh Ketua Bapepam dan LK.
b. Anggota Komite sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri dari 5 (lima)
orang yang terdiri dari Ketua Bapepam dan LK sebagai Ketua merangkap
anggota, dan 4 (empat) pejabat setingkat Eselon II di Bapepam dan LK
sebagai anggota.
c. Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri
paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite.
d. Komite melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon direktur
Lembaga Kliring dan Penjaminan antara lain melalui penelitian administratif,
wawancara, dan/atau permintaan presentasi.
e. Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon direktur
Lembaga Kliring dan Penjaminan, Komite dapat dibantu oleh nara sumber
dengan keahlian tertentu yang berasal dari luar Bapepam dan LK.
f. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon
direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan memenuhi persyaratan integritas
dan kompetensi.
g. Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam huruf f meliputi:
1) cakap melakukan perbuatan hukum;
2) memiliki akhlak dan moral yang baik;
3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur
yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu
perusahaan dinyatakan pailit;
4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan
keuangan;
6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan
peraturan perundangโundangan di bidang Pasar Modal; dan
7) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan
Penjaminan dan Pasar Modal Indonesia.
h. persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam huruf f meliputi:
1) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal
termasuk perkembangan pasar modal internasional;
2) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan
prinsip-prinsip pengelolaan risiko;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 13/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 6 -
3) memiliki asal usul atau pengalaman yang cukup, sebagaimana
dipersyaratkan dalam ketentuan angka 2 huruf b atau huruf c; dan
4) memiliki keahlian di bidang Pasar Modal dan/atau keahlian sesuai
dengan bidang yang dipersyaratkan dalam ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 huruf b butir 1) dan butir 2) poin b).
i. Berdasarkan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
dalam huruf d, Bapepam dan LK menyampaikan hasil penilaian dimaksud
kepada kelompok pemegang saham mayoritas yang mengajukan calon
direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 21 (duapuluh satu)
hari setelah permohonan diterima secara lengkap.
5. Jika dalam satu daftar paket calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
diajukan oleh pemegang saham mayoritas sebagaimana dimaksud dalam angka 3
huruf a dan huruf c terdapat calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
yang tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan, maka pemegang saham
mayoritas dapat mengajukan kembali calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan lain untuk menggantikan calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang tidak lulus kepada Bapepam dan LK paling lambat 14 (empat
belas) hari setelah pemberitahuan hasil penilaian oleh Bapepam dan LK kepada
pemegang saham mayoritas dimaksud, dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan
angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e.
6. Apabila semua dokumen sudah lengkap dan semua persyaratan telah dipenuhi,
Bapepam dan LK menyampaikan surat persetujuan dan daftar paket calon
Direktur beserta fotokopi dokumen calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan kepada direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 7
(tujuh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham.
7.
Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan kepada semua
pemegang saham daftar calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
disetujui Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam angka 6 beserta fotokopi
dokumen lengkap sebagaimana dimaksud angka 3 huruf e paling lambat satu hari
kerja setelah diterimanya daftar calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
dari Bapepam dan LK. Daftar paket calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan beserta fotokopi dokumen lengkap tersebut wajib tersedia dan dapat
diakses oleh pemegang saham dan publik.
8. Rapat Umum Pemegang Saham dan Tata Cara Pemilihan Direktur Lembaga
Kliring dan Penjaminan
a. Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan Rapat Umum
pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan paling lambat
14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan Rapat Umum
Pemegang Saham dengan memuat antara lain rencana pengangkatan
direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan.
b. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Kliring dan
Penjaminan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum Rapat
Umum Pemegang Saham, dengan tidak memperhitungkan tanggal
pemanggilan dan tanggal Rapat Umum Pemegang Saham, dengan memuat
antara lain rencana pengangkatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 13/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 7 -
c. Direktur untuk masing-masing jabatan sebagaimana dimaksud dalam angka
6, dipilih dan diangkat berdasarkan suara terbanyak dalam Rapat Umum
Pemegang Saham dengan tetap memenuhi komposisi sebagaimana
ditetapkan dalam angka 2 huruf b.
d. Pemilihan dan pengangkatan calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan secara paket sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf c tidak
berlaku untuk pemilihan dan pengangkatan calon direktur Lembaga Kliring
dan Penjaminan untuk mengisi jabatan direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang lowong atau untuk menambah calon direktur Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
e. Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengangkat direktur Lembaga Kliring
dan Penjaminan wajib dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu
komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan.
f. Seorang calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan terpilih
sebagaimana huruf c, mempunyai hak untuk mengundurkan diri, sebelum
diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
g. Pada saat Rapat Umum Pemegang Saham calon direktur Lembaga Kliring
dan Penjaminan wajib menjelaskan rencana strategis kepada pemegang
saham. Penjelasan dapat juga disampaikan dalam forum lainnya sebelum
Rapat Umum Pemegang Saham yang memungkinkan pemegang saham
melakukan interaksi dengan calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
9. Gaji dan manfaat lain bagi calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf b wajib ditentukan berdasarkan
kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk masing-masing jabatan direktur
Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan tugas dan tanggung jawabnya
berdasarkan keahlian, dan pengalaman masing-masing calon direktur Lembaga
Kliring dan Penjaminan, dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c Peraturan Nomor
III.B.8 (jika ada).
10. Gaji dan manfaat lain bagi direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam angka 9 yang diajukan oleh pemegang saham mayoritas
Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a
wajib disetujui dan ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
11. Salah seorang diantara calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
ditetapkan sebagai calon direktur utama Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan
tugas utama antara lain mengambil keputusan yang bersifat final jika rapat direksi
tidak dapat mengambil keputusan, melakukan koordinasi kegiatan Lembaga
Kliring dan Penjaminan, kegiatan hubungan masyarakat dan kegiatan
pemeriksaan internal.
12. Calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan lainnya wajib ditetapkan sebagai
direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang antara lain bertanggung jawab
terhadap satu atau lebih kegiatan sebagai berikut:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 13/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 8 -
a.
kliring dan penyelesaian;
b. penjaminan dan pengelolaan risiko;
c. riset dan pengembangan;
d.
teknologi informasi;
e. hukum; dan
f. keuangan dan sumber daya manusia serta administrasi umum.
13. Dalam hal direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan mengganggap direktur
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang bertanggung jawab dan menjalankan tugas
atas beberapa kegiatan sebagaimana ditetapkan pada saat yang bersangkutan
diangkat tidak dapat melaksanakan sebagian tugasnya, maka atas keputusan rapat
direksi, sebagian tugasnya dapat dialihkan kepada direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang lain yang dianggap mampu untuk menjalankan tugas setelah
mendapatkan persetujuan dewan komisaris, Bapepam dan LK, dan ditetapkan
Rapat Umum Pemegang Saham.
14. Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang mempunyai hubungan
Afiliasi dengan direktur lain dari Lembaga Kliring dan Penjaminan dan/atau
komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan.
15. Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang memiliki saham atau sebagai
pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek.
16. Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang mengendalikan baik langsung
atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau dilarang
mentraksaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik. Dalam hal pada saat
direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan diangkat oleh Rapat Umum Pemegang
Saham telah memiliki saham Emiten atau Perusahaan Publik, maka saham
tersebut tidak dapat ditransaksikan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa
jabatannya berakhir.
17. Masa jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 Tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal dan hanya dapat diangkat
kembali untuk satu kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Apabila seorang direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan diangkat untuk
mengisi jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong atau
untuk menambah calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, maka
masa jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan tersebut berlaku
selama sisa masa jabatan direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
sedang menjabat;
b. Penghitungan satu kali masa jabatan bagi seorang direktur Lembaga Kliring
dan Penjaminan adalah jika yang bersangkutan menjabat selama paling
kurang 2/3 (dua per tiga) dari masa jabatan direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan; dan
c. Keseluruhan masa jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan pada
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 13/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 9 -
18. Berakhirnya masa jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib diatur
berbeda dengan berakhirnya masa jabatan komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
19. Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 wajib diganti dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan diketahui atau dinyatakan oleh
Bapepam dan LK tidak lagi memenuhi syarat, dan pemegang saham mayoritas
wajib segera mengajukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
penggantinya kepada Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan
angka 3.
20. Dalam hal terdapat jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
lowong, maka jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan tersebut wajib
diisi dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak jabatan direktur
Lembaga Kliring dan Penjaminan dimaksud lowong, dan pemegang saham
mayoritas wajib segera mengajukan calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan penggantinya kepada Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan
angka 2 dan angka 3.
21. Dalam hal terjadi:
a. Jabatan direktur utama Lembaga Kliring dan Penjaminan lowong, maka salah
satu direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib ditunjuk berdasarkan
keputusan Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk menduduki
jabatan direktur utama yang lowong tersebut sampai dengan diangkatnya
pengganti oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah mendapat
persetujuan Dewan Komisaris dan Bapepam dan LK.
b. Jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan selain direktur utama
lowong, maka tugas direktur tersebut berdasarkan keputusan rapat Direksi
Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib dialihkan kepada direktur Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang lain sampai dengan diangkatnya pengganti
oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah mendapat persetujuan Dewan
Komisaris dan Bapepam dan LK.
22. Bapepam dan LK dapat menetapkan jabatan direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang lowong tidak wajib diisi sebagaimana ditentukan dalam angka
20 setelah mempertimbangkan perkembangan kegiatan dan operasional Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
23. Batas waktu penggantian dan/atau pengisian direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 19 dan angka 20 dapat
ditentukan lain oleh Bapepam dan LK.
24. Dalam hal terdapat jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
lowong atau dalam hal adanya pengunduran diri direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan, maka direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib melaporkan
kepada Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui atau
diterimanya surat pengunduran diri oleh direksi Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 13/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 10 -
25. Dalam pengisian jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk
menggantikan jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong
dan/atau diperlukannya tambahan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
baru, maka:
a. penggantian atau penambahan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam angka 2 dan angka 3.
b. calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang akan diajukan wajib
bersedia bekerjasama dengan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
yang ada.
c. penambahan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan baru wajib
memperhatikan ketentuan angka 1 huruf f dan huruf g, dan pelaksanaannya
wajib memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3.
26. Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang tidak lagi menjabat sebagai
direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan karena sebab apapun, tidak berhak
menerima gaji dan manfaat lainnya dari Lembaga Kliring dan penjaminan kecuali
hak atas uang kompensasi atau jasa penghargaan sepanjang disetujui oleh Rapat
Umum Pemegang Saham dengan ketentuan jumlah kompensasi atau jasa
penghargaan dimaksud tidak lebih besar dari jumlah gaji dari sisa masa jabatan.
27. Masa jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan berakhir dengan
sendirinya apabila direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan tersebut antara lain:
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;
b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
c. dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan
bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan
pailit;
d. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
e.
berhalangan tetap.
f.
meninggal dunia; dan/atau
g. masa jabatan berakhir.
28. Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat diberhentikan dari jabatannya
oleh Bapepam dan LK apabila direktur tersebut, antara lain:
a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di
bidang keuangan pada umumnya;
c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan
Penjaminan; dan/atau
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 13/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 11 -
e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas.
29. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan
LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan
peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 Januari 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN : 1
Peraturan Nomor : III.B.3
Formulir Nomor: III.B.3-1
DAFTAR PERTANYAAN
I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN:
1. Semua pertanyaan dalam daftar pertanyaan ini adalah berkaitan dengan
integritas dan wajib dijawab oleh setiap calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
2. Berilah tanda โ dalam kotak di depan kata โYaโ, jika jawaban Saudara โYaโ,
atau berilah tanda โ dalam kotak di depan kata โTidakโ jika jawaban atas
pertanyaan berikut adalah โTidakโ.โ.
3. Untuk setiap jawaban โYaโ, calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas, antara lain memuat:
a. lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan;
b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan;
c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan;
d. tindakan atau sanksi yang dikenakan.
II. INTEGRITAS CALON DIREKTUR
Definisi:
Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha perumahan
atau real estate termasuk kegiatan baik langsung maupun tidak langsung,
berhubungan
dengan
Perusahaan
Efek, Penasehat
Perusahaan Lain yang bergerak di bidang keuangan.
Jawablah pertanyaan di bawah ini:
1. Dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir, apakah calon direktur Lembaga
Kliring dan Penjaminan pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak
menggugat atas tuduhan:
a. tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha yang
berhubungan dengan Investasi, penipuan, pernyataan palsu atau
penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan?
๎ ya
b. atau kejahatan lain?
๎ ya
2. Apakah pengadilan:
a. pernah memutuskan bahwa calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan pailit?
๎ tidak
๎ tidak
Investasi, Bank
atau
1
๎ ya
๎ tidak
b. dalam sepuluh tahun terakhir ini melarang calon direktur Lembaga
Kliring dan Penjaminan dalam kegiatannya yang berhubungan dengan
Investasi?
๎ ya
๎ tidak
c. pernah memutuskan bahwa calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan terlibat dalam pelanggaran hukum yang berhubungan
dengan Investasi, dan/atau terlibat pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku?
๎ ya
๎ tidak
3. Apakah Bapepam dan LK pernah:
a. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan membuat
pernyataan palsu atau melakukan kelalaian?
๎ ya
๎ tidak
b. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan terlibat
dalam pelanggaran hukum, keputusan- keputusan atau
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam dan LK?
๎ ya
๎ tidak
c. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
menyebabkan suatu perusahaan berhubungan dengan Investasi yang
Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran atau Pernyataan Pendaftarannya
ditolak, ditangguhkan, dicabut atau dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
d. memerintahkan untuk menolak, menghentikan untuk sementara atau
mencabut Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran atau Pernyataan
Pendaftaran atau mengenakan sanksi dengan membatasi
kegiatan-kegiatan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan?
๎ ya
๎ tidak
4. Apakah lembaga atau institusi lain yang berwenang di Indonesia atau di luar
negeri pernah:
a. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan membuat
pernyataan palsu, tidak memberikan pernyataan yang diminta, tidak
jujur, tidak adil atau tidak etis?
๎ ya
b.
๎ tidak
menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
melakukan kegiatan yang menyebabkan suatu Izin Usaha, Persetujuan,
Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftaran ditolak, dihentikan untuk
sementara, dicabut atau dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
2
c. memerintahkan untuk menegur calon direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan sehubungan dengan kegiatan yang berhubungan dengan
Investasi?
๎ ya
๎ tidak
d. menolak, menghentikan untuk sementara, atau membatalkan Izin
Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftaran calon
direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk bergerak dalam
usaha yang berhubungan dengan Investasi, atau membatasi kegiatan
dalam bidang usaha tersebut?
๎ ya
๎ tidak
e. mencabut atau menghentikan untuk sementara izin usaha/kegiatan
calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan, Notaris, Konsultan Hukum
(Advokat), atau Penilai?
๎ ya
๎ tidak
5. Apakah Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian pernah:
a. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan membuat
pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta?
๎ ya
๎ tidak
b. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan terlibat
dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku?
๎ ya
๎ tidak
c. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan
menyebabkan suatu usaha berhubungan dengan Investasi yang Izin
Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftarannya
untuk menjalankan usahanya ditolak, dihentikan sementara, dicabut
atau dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
d. menertibkan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam
kedudukannya sebagai direktur atau komisaris Anggota Bursa Efek,
Anggota Kliring, atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, dengan:
1) mengeluarkan atau menghentikan sementara perusahaannya dari
keanggotaan suatu Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan,
dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
2) menghalangi atau menghentikan sementara hubungan
perusahaannya dengan Anggota Bursa Efek atau Anggota Kliring
lainnya atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
atau
3
3) membatasi kegiatan perusahaannya sebagai Anggota Bursa Efek
atau Anggota Kliring atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian tersebut?
๎ ya
๎ tidak
6. Apakah calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan pernah atau sedang
dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan Investasi atau penipuan?
๎ ya
๎ tidak
7. Apakah calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan pernah atau sedang
digugat atau dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan perkara perdata
atau pidana?
๎ ya
๎ tidak
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..20
Calon Direktur
Materai
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(Nama Lengkap)
4
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-13/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 </reg_id>
<reg_title> DIREKTUR LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN </reg_title>
<set_date> 30 Januari 2009 </set_date>
<effective_date> 30 Januari 2009 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-09/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.3' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP- 181/BL/2007
TENTANG
PENGENAAN BIAYA TAHUNAN ATAS BURSA EFEK, LEMBAGA KLIRING DAN
PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 huruf m Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang
perlu menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pengenaan Biaya
Tahunan atas Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENGENAAN
BIAYA TAHUNAN ATAS BURSA EFEK, LEMBAGA KLIRING
DAN PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN
PENYELESAIAN.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pengenaan Biaya Tahunan atas Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian diatur dalam Peraturan Nomor II.J.1 sebagaimana
dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Pengenaan biaya tahunan atas Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diatur
dalam Peraturan Nomor II.J.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran
Keputusan ini mulai berlaku atas pendapatan usaha tahun 2007.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 3
Biaya tahunan atas Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 tidak dikenakan kepada PT Bursa Efek Surabaya atas pendapatan
usaha tahun 2007.
Pasal 4
Penyetoran biaya tahunan oleh Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk
periode 3 (tiga) bulan pertama tahun 2007 wajib dilaksanakan
bersamaan dengan penyetoran biaya tahunan untuk periode 3 (tiga)
bulan berikutnya, yaitu paling lambat tanggal 15 Juli 2007.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 13 Juni 2007
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 181/BL/2007
Tanggal : 13 Juni 2007
PERATURAN NOMOR II.J.1 : PENGENAAN BIAYA TAHUNAN ATAS
BURSA EFEK, LEMBAGA KLIRING DAN
PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA
PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
1. Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dikenakan biaya tahunan masing-masing sebesar 7,5% (tujuh koma
lima perseratus) dari pendapatan usaha tahun berjalan berdasarkan laporan
realisasi anggaran.
2. Biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib disetorkan oleh
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian ke Kas Negara setiap 3 (tiga) bulan paling lambat pada setiap
tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober tahun berjalan, dan Januari tahun
berikutnya.
3. Biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 merupakan penerimaan
negara dan disetor ke Kas Negara dengan menggunakan formulir Surat Setoran
Penerimaan Negara Bukan Pajak (SSBP) dengan kode MAP 423483 dan asli
lembar ke-5 (kelima) bukti penyetoran ke Kas Negara tersebut wajib segera
disampaikan ke Bapepam dan LK.
4. Dalam hal terdapat kekurangan pembayaran terhadap penerimaan negara
sebagaimana dimaksud dalam angka 3, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melakukan
pembayaran atas kekurangan pembayaran tersebut paling lama pada periode
pembayaran bulan April tahun berikutnya.
5. Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran terhadap penerimaan negara
sebagaimana dimaksud dalam angka 3, maka kelebihan pembayaran tersebut
diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas penerimaan negara yang
terutang dari Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian pada periode berikutnya.
6. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka
4, penyetoran biaya tahunan atau kekurangan pembayaran tidak dilakukan,
Bapepam dan LK memberikan surat teguran pertama untuk segera melunasi
biaya tersebut ditambah denda berupa bunga selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari sejak ditetapkannya surat teguran pertama.
7. Besarnya denda sebagaimana dimaksud dalam angka 6 ditetapkan sebesar 2%
(dua perseratus) per bulan dari kewajiban yang harus disetor.
8. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada surat teguran
pertama sebagaimana dimaksud dalam angka 6 telah lewat, maka Bapepam dan
LK memberikan surat teguran kedua dengan jangka waktu pelunasan selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari sejak ditetapkannya surat teguran kedua.
9. Apabila jangka waktu yang diberikan dalam surat teguran kedua sebagaimana
dimaksud dalam angka 8 telah lewat, maka kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam angka 6 tersebut dikategorikan sebagai piutang macet yang
pengurusannya dilimpahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 181/BL/2007
Tanggal : 13 Juni 2007
- 2 -
10. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam
dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar
ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 13 Juni 2007
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-181/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 </reg_id>
<reg_title> PENGENAAN BIAYA TAHUNAN ATAS BURSA EFEK, LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title>
<set_date> 13 Juni 2007 </set_date>
<effective_date> 13 Juni 2007 </effective_date>
<related_reg> '8/UU/1995', '45/M|KEPPRES/2006' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP-107/BL/2008
TENTANG
KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka
mewujudkan Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang sehat dan berdaya saing global, maka
diperlukan pengawas Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta
memenuhi persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka
dipandang perlu untuk menyempurnakan persyaratan, tata
cara pencalonan dan pemilihan komisaris Lembaga Kliring
dan Penjaminan dengan menetapkan Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang
baru;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG KOMISARIS
LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 1
Ketentuan mengenai Komisaris
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka semua ketentuan
terkait dengan komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebagaimana tersebut dalam Peraturan Nomor III.B.3, Lampiran
Keputusan Ketua Bapepam Nomor:Kep-09/PM/1996 tentang
Persyaratan Calon Direktur dan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan tanggal 17 Januari 1996 dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 3
Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sedang
menjabat pada saat ditetapkannya peraturan ini tetap dapat
menjabat sampai dengan masa jabatannya berakhir.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 April 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
Lembaga Kliring dan
Penjaminan diatur dalam Peraturan Nomor III.B.8 sebagaimana
dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 107/BL/2008
Tanggal : 10 April 2008
PERATURAN NOMOR III.B.8
1. Ketentuan Umum
a. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang
komisaris.
b. Dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam angka 1 huruf a, Bapepam dan
LK dapat menetapkan jumlah kebutuhan komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan paling lambat 50 (lima puluh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang
Saham pemilihan komisaris. Penetapan Bapepam dan LK dimaksud berlaku
sampai dengan adanya penetapan Bapepam dan LK selanjutnya.
2. Persyaratan Komisaris
a. Setiap komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1) orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan
perbuatan hukum;
2) memiliki akhlak dan moral yang baik;
3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang
dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit;
4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan
keuangan;
6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
7) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal;
8) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan
Penjaminan dan Pasar Modal Indonesia; dan
9) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-
prinsip pengelolaan risiko.
b. Anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, selain persyaratan
huruf a tersebut di atas, wajib pula memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) berpengalaman pada posisi direktur pada perusahaan yang bergerak di
bidang Pasar Modal atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun;
2) berpengalaman pada posisi manajemen pada institusi Pasar Modal paling
kurang 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi
pengawas jasa keuangan;
3) berpengalaman pada posisi direktur pada organisasi yang diberi
kewenangan oleh Undang-undang tentang Pasar Modal untuk mengatur
pelaksanaan kegiatannya paling kurang 2 (dua) tahun; atau
: KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN
PENJAMINAN
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 107/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 2 -
4) merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang
berpraktek secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling kurang 5 (lima)
tahun.
c. Komposisi komisaris diatur sebagai berikut:
1) dalam hal jumlah anggota Dewan Komisaris terdiri dari 4 (empat) orang atau
kurang, maka komposisi anggota Dewan Komisaris wajib mempunyai asal
usul dan atau pengalaman yang berbeda; dan
2) dalam hal jumlah komisaris terdiri dari 5 (lima) orang atau lebih, maka
sekurang-kurangnya komposisi komisaris sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 huruf c butir 1) tetap wajib dipenuhi.
d. Dua atau lebih komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang berasal dari
perusahaan yang sama atau berasal dari 2 (dua) atau lebih perusahaan yang
dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang sama.
3. Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Calon Komisaris
a. Pencalonan dan pengajuan calon komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan
wajib dilakukan oleh pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
b. Dalam pencalonan komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, pemegang
saham mayoritas bertanggung jawab menyeleksi calon komisaris, meneliti
tingkat keahlian, pengalaman dan tanggung jawab sebagai komisaris sesuai
peraturan ini dan mengusulkan atau merekomendasikan honorarium dengan
mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan angka 10 huruf c peraturan ini (jika ada).
c. Calon komisaris wajib diajukan kepada Bapepam dan LK oleh pemegang
saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam angka 3 huruf a dalam satu kesatuan paket calon Dewan Komisaris, dan
salah satu calon wajib ditetapkan sebagai komisaris utama.
d. Dalam pengajuan calon komisaris kepada Bapepam dan LK, pemegang saham
mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib melampirkan dalam rangkap
2 (dua) dokumen-dokumen sebagai berikut:
1) riwayat hidup calon komisaris;
2) surat pernyataan calon komisaris yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memenuhi ketentuan angka 2 huruf a angka 3) sampai
dengan angka 8) peraturan ini;
3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon komisaris;
4) surat pernyataan tentang ada tidaknya hubungan afiliasi calon komisaris
dengan Anggota Bursa Efek yang merupakan anggota kliring Lembaga
Kliring dan Penjaminan;
5) fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan tingkat keahlian
dari calon komisaris (jika ada);
6) surat pernyataan dari masing-masing pihak yang diajukan sebagai calon
komisaris yang memuat antara lain tentang kesediaan untuk dipilih menjadi
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 107/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 3 -
komisaris dan kesediaan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dalam rangka
pelaksanaan kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan yang teratur, wajar
dan efisien dengan komisaris lain dan direktur Lembaga Kliring dan
Penjaminan;
7) jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1
peraturan ini mengenai integritas calon komisaris dengan menggunakan
Formulir Nomor III.B.8-1;
8) 3 (tiga) buah pas photo berwarna terbaru ukuran 10 x 15 cm (kartu pos); dan
9) surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti calon
komisaris dan minuta rapat dari pemegang saham mayoritas Lembaga
Kliring dan Penjaminan termasuk rekomendasi mengenai honorarium
apabila calon komisaris diangkat menjadi komisaris, yang menyatakan
bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak ada
kepentingan lain termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, selain
semata-mata untuk kepentingan Lembaga Kliring dan Penjaminan
khususnya dan Pasar Modal pada umumnya;
e. Pengajuan nama calon komisaris oleh pemegang saham mayoritas Lembaga
Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan
huruf c tersebut di atas beserta dokumen-dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam angka 3 huruf d tersebut di atas, diterima secara lengkap oleh
Bapepam dan LK paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari sebelum Rapat Umum
Pemegang Saham pengangkatan komisaris. Dalam hal terdapat kekurangan
maka pengajuan dianggap telah lengkap pada saat kekurangan tersebut
diajukan kembali kepada Bapepam dan LK.
4. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
a. Setiap calon komisaris yang diajukan wajib lulus penilaian kemampuan dan
kepatutan yang dilakukan oleh Komite yang dibentuk oleh Ketua Bapepam dan
LK.
b. Anggota Komite sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a terdiri dari 5
(lima) orang yang terdiri dari Ketua Bapepam dan LK sebagai Ketua merangkap
anggota, dan 4 (empat) pejabat setingkat Eselon II di Bapepam dan LK sebagai
anggota.
c. Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling
sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite.
d. Komite melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon komisaris antara
lain melalui penelitian administratif, wawancara, dan atau permintaan
presentasi.
e. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon
komisaris memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi.
f. Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf e di atas
meliputi:
1) cakap melakukan perbuatan hukum;
2) memiliki akhlak dan moral yang baik;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 107/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 4 -
3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang
dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit;
4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan
keuangan;
6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan
peraturan perundangโundangan di bidang Pasar Modal; dan
7) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan
Penjaminan dan Pasar Modal Indonesia.
g. persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf c di atas
meliputi:
1) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal;
2) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-
prinsip pengelolaan risiko; dan
3) memiliki asal usul atau pengalaman yang cukup, sebagaimana
dipersyaratkan dalam ketentuan angka 2 huruf b atau c di atas.
h. Berdasarkan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
dalam angka 4 huruf d yang dilakukan, Bapepam dan LK menyampaikan hasil
penilaian dimaksud kepada pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan
Penjaminan yang mengajukan calon komisaris paling lambat 14 (empat belas)
hari setelah permohonan diterima secara lengkap.
5. Jika dalam satu paket calon Dewan Komisaris yang diajukan oleh pemegang saham
mayoritas sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c terdapat
calon komisaris yang tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan, maka
Pemegang saham mayoritas dapat mengajukan kembali calon komisaris lain untuk
menggantikan calon komisaris yang tidak lulus kepada Bapepam dan LK paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan hasil penilaian oleh Bapepam dan LK
kepada pemegang saham mayoritas dimaksud, dengan memenuhi ketentuan angka
2 dan angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e peraturan ini.
6. Apabila semua dokumen sudah lengkap dan semua persyaratan telah dipenuhi,
Bapepam dan LK menyampaikan surat persetujuan dan daftar paket calon Dewan
Komisaris beserta fotokopi dokumen calon komisaris kepada direksi Lembaga
Kliring dan Penjaminan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Rapat Umum
Pemegang Saham.
7. Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan kepada semua
pemegang saham daftar calon komisaris yang disetujui Bapepam dan LK
sebagaimana dimaksud dalam angka 6 di atas beserta fotokopi dokumen lengkap
sebagaimana dimaksud angka 3 huruf d paling lambat satu hari kerja setelah
diterimanya daftar calon komisaris dari Bapepam dan LK. Daftar calon komisaris
beserta fotokopi dokumen lengkap tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh
pemegang saham dan publik.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 107/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 5 -
8. Rapat Umum Pemegang Saham dan Tata Cara Pemilihan Komisaris
a. Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan Rapat Umum
pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan paling lambat 14
(empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan Rapat Umum Pemegang
Saham dengan memuat antara lain rencana pengangkatan komisaris.
b. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Kliring dan Penjaminan
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum Rapat Umum Pemegang
Saham, dengan memuat antara lain rencana pengangkatan komisaris.
c. Komisaris dipilih dan diangkat dari paket calon Dewan Komisaris yang
memperoleh suara terbanyak dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
d. Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengangkat komisaris wajib dipimpin
oleh direktur utama atau salah satu direktur dalam hal direktur utama
berhalangan.
9. Dewan Komisaris wajib mengadakan rapat paling kurang satu bulan sekali yang
dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu komisaris dalam hal komisaris
utama berhalangan.
10. Dewan Komisaris dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk Komite Audit
dan Komite Remunerasi, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ketua Komite Audit dan Komite Remunerasi adalah salah seorang komisaris.
b. Komite Audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang
independen kepada Dewan Komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang
disampaikan oleh direksi kepada Dewan Komisaris serta mengidentifikasikan
hal-hal yang memerlukan perhatian komisaris. Anggota Komite Audit wajib
memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum, akuntansi, atau
keuangan.
c. Komite Remunerasi adalah panitia ad hoc yang dibentuk oleh Dewan Komisaris
untuk mengkaji dan mengusulkan honorarium, termasuk metode
penentuannya, bagi komisaris atau gaji dan manfaat lain bagi direktur dengan
memperhatikan masing-masing jabatan direktur dengan tugas dan tanggung
jawabnya serta kelayakan yang berlaku pada umumnya.
11. Komisaris diberi honorarium yang jumlahnya diusulkan atau direkomendasikan
oleh kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a
dan huruf c peraturan ini dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c peraturan ini (jika ada),
sebelum pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan komisaris.
12. Honorarium bagi komisaris sebagaimana dimaksud dalam angka 11 wajib
mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
13. Masa jabatan komisaris adalah 3 (tiga) tahun dan hanya dapat diangkat kembali
untuk satu kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. apabila seorang komisaris diangkat karena menggantikan jabatan komisaris
yang lowong dan atau ada tambahan komisaris baru, maka masa jabatan
komisaris tersebut berlaku selama sisa masa jabatan Dewan Komisaris yang
sedang menjabat; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 107/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 6 -
b. Keseluruhan masa jabatan komisaris pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3
(tiga) kali masa jabatan.
14. Berakhirnya masa jabatan Dewan Komisaris wajib diatur berbeda dengan
berakhirnya masa jabatan direksi.
15. Komisaris yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 peraturan ini wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat, dan pemegang saham
mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib segera mengajukan calon
komisaris penggantinya kepada Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan
angka 2 dan angka 3 peraturan ini.
16. Dalam hal terdapat jabatan komisaris yang lowong, maka direksi Lembaga Kliring
dan Penjaminan wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima)
hari kerja sejak diketahui oleh direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan.
17. Dalam pengisian jabatan komisaris untuk menggantikan jabatan komisaris yang
lowong dan atau diperlukannya tambahan komisaris baru, maka:
a. penggantian atau penambahan komisaris wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam angka 2 dan angka 3 peraturan ini.
b. calon komisaris yang akan diajukan wajib bersedia bekerjasama dengan dan
tidak memperoleh keberatan dari komisaris yang ada.
c. penambahan komisaris baru wajib memperhatikan ketentuan angka 1 b dan
pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 peraturan ini.
18. Anggota komisaris dapat diberhentikan dari jabatannya apabila komisaris tersebut,
antara lain:
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;
b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
c. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik;
d. dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan
bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit;
e. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
f. melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di
bidang keuangan pada umumnya;
g. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
h. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan
Penjaminan;
i. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas; dan atau
j. berhalangan tetap.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 107/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 7 -
19. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan
LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan
peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 April 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Formulir Nomor: III.B.8-1
DAFTAR PERTANYAAN
I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN:
1. Semua pertanyaan dalam daftar pertanyaan ini adalah berkaitan dengan
integritas wajib dijawab oleh setiap calon komisaris.
2. Berilah tanda โ dalam kotak di depan kata โYaโ, jika jawaban Saudara
โYaโ, atau berilah tanda โ dalam kotak di depan kata โTidakโ jika
jawaban atas pertanyaan berikut adalah โTidakโ.โ.
3. Untuk setiap jawaban โYaโ, pemohon wajib memberikan jawaban secara
rinci dan jelas, antara lain memuat:
a. lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan;
b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan;
c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan;
d. tindakan atau sanksi yang dikenakan.
II. INTEGRITAS CALON KOMISARIS
Definisi:
Investasi adalah
kegiatan
atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha
perumahan atau real estate termasuk kegiatan baik langsung maupun tidak
langsung, berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasehat Investasi, Bank
atau Perusahaan Lain yang bergerak di bidang keuangan.
Jawablah pertanyaan di bawah ini:
1. Dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir, apakah calon komisaris
pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak menggugat atas
tuduhan:
a. tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha
berhubungan dengan investasi, penipuan, pernyataan palsu atau
penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan?
๎ ya
๎ tidak
1
b. atau kejahatan lain?
๎ ya
๎ tidak
2. Apakah pengadilan:
a. pernah memutuskan bahwa calon komisaris pailit?
๎ ya
๎ tidak
b. dalam sepuluh tahun terakhir ini melarang calon komisaris dalam
kegiatannya yang berhubungan dengan Investasi?
๎ ya
c. pernah memutuskan
๎ tidak
bahwa calon komisaris terlibat dalam
pelanggaran hukum yang berhubungan dengan investasi, terlibat
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku?
๎ ya
๎ tidak
3. Apakah Bapepam dan LK pernah:
a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu atau
melakukan kelalaian?
๎ ya
๎ tidak
b. menemukan calon komisaris terlibat dalam pelanggaran hukum,
keputusan- keputusan atau peraturan-peraturan yang dikeluarkan
oleh Bapepam dan LK?
๎ ya
๎ tidak
c. menemukan calon komisaris menyebabkan suatu perusahaan
berhubungan dengan investasi yang Izin Usaha, Persetujuan atau
Pernyataan Pendaftarannya ditolak, ditangguhkan, dicabut atau
dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
d. memerintahkan untuk menolak, menghentikan untuk sementara
atau mencabut Izin Usaha, Persetujuan atau Pernyataan Pendaftaran
atau sanksi dengan membatasi kegiatan-kegiatan calon komisaris?
2
๎ ya
๎ tidak
4. Apakah lembaga atau institusi lain yang berwenang di Indonesia atau di
luar negeri pernah:
a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu, tidak
memberikan pernyataan yang diminta, tidak jujur, tidak adil atau
tidak etis?
๎ ya
b.
๎ tidak
menemukan calon komisaris melakukan kegiatan yang
menyebabkan suatu Izin Usaha, Persetujuan, atau Pernyataan
Pendaftaran ditolak, dihentikan untuk sementara, dicabut atau
dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
c. memerintahkan untuk menegur calon komisaris sehubungan dengan
kegiatan yang berhubungan dengan Investasi?
๎ ya
๎ tidak
d. menolak, menghentikan untuk sementara, atau membatalkan Izin
Usaha, Persetujuan, atau Pernyataan Pendaftaran para calon
komisaris atau direktur untuk bergerak dalam usaha yang
berhubungan dengan Investasi, atau membatasi kegiatan dalam
bidang usaha tersebut?
๎ ya
๎ tidak
e. mencabut atau menghentikan untuk sementara Izin Usaha calon
komisaris sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan,
Notaris, Pengacara atau Penilai?
๎ ya
๎ tidak
5. Apakah Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian pernah:
a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu atau tidak
menyatakan fakta?
๎ ya
๎ tidak
3
b. menemukan calon komisaris terlibat dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan yang berlaku?
๎ ya
๎ tidak
c. menemukan calon komisaris menyebabkan suatu usaha yang
berhubungan dengan Investasi dimana Izin Usaha, Persetujuan atau
Pernyataan Pendaftarannya untuk menjalankan usahanya ditolak,
dihentikan sementara, dicabut atau dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
d. menertibkan calon komisaris dalam kedudukannya sebagai direktur
atau komisaris Anggota Bursa, Anggota Kliring, atau partisipan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan:
1) mengeluarkan atau menghentikan sementara dari keanggotaan
suatu Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
2) menghalangi atau menghentikan sementara hubungannya
dengan Anggota Bursa atau Anggota Kliring lainnya atau
partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; atau
3) membatasi kegiatan Anggota Bursa atau Anggota Kliring atau
partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut?
๎ ya
๎ tidak
6. Apakah calon komisaris pernah atau sedang dituntut oleh suatu Pihak
sehubungan dengan Investasi atau penipuan?
๎ ya
๎ tidak
7. Apakah calon komisaris pernah atau sedang digugat atau dituntut oleh
suatu Pihak sehubungan dengan perkara perdata atau pidana?
๎ ya
๎ tidak
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..20
Pemohon
Materai
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(Nama Lengkap)
4
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-107/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id>
<reg_title> KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN </reg_title>
<set_date> 10 April 2008 </set_date>
<effective_date> 10 April 2008 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-09/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.3' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-692/BL/2011
TENTANG
PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN
PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OBLIGASI
DAERAH
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka menyelaraskan tata cara dan
prosedur
mengenai
penyampaian
Pernyataan
Pendaftaran Penawaran Umum obligasi daerah dengan
tata cara dan prosedur Penawaran Umum yang berlaku,
dipandang perlu untuk menyempurnakan Keputusan
Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-66/BL/2007
tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi
Daerah, dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam
dan LK yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
20/M Tahun 2011;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA
PENAWARAN UMUM OBLIGASI DAERAH.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 1
Ketentuan tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi
Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran
Umum Obligasi Daerah diatur dalam Peraturan Nomor
IX.C.12 sebagaimana dimuat dalam Lampiran
Keputusan ini.
Pasal 2
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Peraturan
Bapepam dan LK Nomor IX.C.12, Lampiran Keputusan
Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-66/BL/2007
tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum
Obligasi Daerah dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
: Jakarta
: 30 Desember 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
: Kep-692/BL/2011
: 30 Desember 2011
PERATURAN NOMOR IX.C.12 : PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM
RANGKA PENAWARAN UMUM OBLIGASI
DAERAH
1. KETENTUAN UMUM
a. Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1) Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah
lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
3) Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi
daerah kabupaten atau wali kota bagi daerah kota.
4) Obligasi Daerah adalah obligasi yang diterbitkan oleh Daerah melalui
Penawaran Umum.
5) Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan
perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah.
6) Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
7) Proyek adalah kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam
rangka penyediaan pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan
bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana
tersebut.
b.
c.
Peraturan ini berlaku bagi Daerah yang melakukan Penawaran Umum
Obligasi Daerah.
Peraturan Nomor IX.A.1 dan Peraturan Nomor IX.A.2 berlaku bagi
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Obligasi
Daerah, kecuali diatur lain dalam Peraturan ini.
2. DOKUMEN PERNYATAAN PENDAFTARAN
a.
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Obligasi
Daerah paling sedikit mencakup:
1) surat pengantar Pernyataan Pendaftaran, sesuai dengan Formulir
Nomor IX.C.12-1 lampiran Peraturan ini;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-2-
2) Prospektus, sesuai dengan Peraturan Nomor IX.C.13;
3) Prospektus ringkas, sesuai dengan Peraturan Nomor IX.C.14;
4) rencana jadwal Penawaran Umum;
5) contoh surat Obligasi Daerah;
6) laporan keuangan Daerah tahun terakhir yang disajikan berdasarkan
Peraturan Nomor VIII.G.14 dan telah diaudit oleh Akuntan;
7) surat dari Akuntan sehubungan dengan perubahan keadaan
keuangan Daerah yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan
(comfort letter) yang disusun berdasarkan Peraturan Nomor VIII.G.15;
8) surat pernyataan dari Kepala Daerah di bidang akuntansi yang
disusun berdasarkan Peraturan Nomor VIII.G.16;
9) laporan pemeriksaan dan pendapat dari segi hukum;
10) riwayat hidup dari Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Pimpinan
unit pengelolaan Obligasi Daerah, Pimpinan Proyek, dan
Bendaharawan Proyek;
11) Kontrak Perwaliamanatan antara Daerah dan Wali Amanat;
12) pernyataan Pihak yang berkaitan dengan Penawaran Umum Obligasi
Daerah, yaitu:
a) pernyataan Kepala Daerah sesuai dengan Formulir Nomor
IX.C.12-2 lampiran Peraturan ini; dan
b) pernyataan Profesi Penunjang Pasar Modal sesuai dengan
Formulir Nomor IX.C.12-3 lampiran Peraturan ini;
13) laporan hasil studi kelayakan atas Proyek dan usaha Proyek dari
Penilai;
14) persetujuan Menteri Keuangan Republik Indonesia terkait dengan
penerbitan Obligasi Daerah; dan
15) Peraturan Daerah tentang penerbitan Obligasi Daerah.
b. Dalam hal Daerah:
1) melakukan Penawaran Awal;
2) memiliki perjanjian penanggungan dengan penanggung;
3) memiliki perjanjian pendahuluan pencatatan Efek dengan Bursa Efek;
4) memiliki perjanjian penjaminan emisi Efek dengan Penjamin Emisi
Efek; dan/atau
5) mencantumkan hasil pemeringkatan Efek dari Perusahaan
Pemeringkat Efek dalam Prospektus,
maka Prospektus Awal, perjanjian penanggungan, perjanjian
pendahuluan pencatatan Efek, perjanjian penjaminan emisi Efek,
dan/atau hasil pemeringkatan Efek dari Perusahaan Pemeringkat Efek
dimaksud wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK pada saat
penyampaian Pernyataan Pendaftaran.
: Kep-692/BL/2011
: 30 Desember 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-3-
c. Dalam hal Penawaran Umum Obligasi Daerah dijamin oleh Penjamin
Emisi Efek, maka Penjamin Pelaksana Emisi Efek wajib membuat
pernyataan sesuai dengan Formulir Nomor IX.C.12-4 lampiran Peraturan
ini, dan Daerah wajib menyampaikan pernyataan dimaksud kepada
Bapepam dan LK pada saat penyampaian Pernyataan Pendaftaran.
d.
Seluruh dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c merupakan dokumen yang terbuka untuk umum, setelah
diterimanya pernyataan Bapepam dan LK bahwa Daerah wajib
mengumumkan Prospektus Ringkas dan/atau Daerah sudah dapat
melakukan Penawaran Awal (bookbuilding).
e. Bapepam dan LK dapat meminta keterangan atau informasi tambahan
selain yang telah diatur dalam huruf a, antara lain:
1) informasi tertentu yang berkaitan dengan Kepala Daerah, Wakil
Kepala Daerah, Pimpinan unit pengelolaan Obligasi Daerah,
Pimpinan Proyek, dan Bendaharawan Proyek, antara lain berupa:
a) Nomor Pokok Wajib Pajak;
b) fotokopi KTP;
c) surat pernyataan bermeterai cukup tentang ada atau tidaknya
keterlibatan dalam kasus hukum; dan
2) keterangan lain dari Pihak yang berperan dalam suatu Penawaran
Umum untuk mendukung kecukupan dan ketelitian dari
pengungkapan yang diwajibkan.
f.
g.
Seluruh dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf e bukan
merupakan dokumen yang terbuka untuk umum.
Jangka waktu antara tanggal penilaian studi kelayakan Proyek dan usaha
Proyek (cut off date) sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 13) dan
tanggal efektif Pernyataan Pendaftaran tidak lebih dari 9 (sembilan) bulan.
3. KETENTUAN PENUTUP
Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar
Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak
yang melanggar ketentuan Peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
ttd..
Nurhaida
NIP 195906271989022001
: 30 Desember 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
: Kep-692/BL/2011
: 30 Desember 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-4-
: Kep-692/BL/2011
: 30 Desember 2011
LAMPIRAN : 1
Peraturan Nomor : IX.C.12
FORMULIR NOMOR : IX.C.12-1
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Surat
Pengantar
Pernyataan
untuk
Pendaftaran
dalam rangka Penawaran
Umum Obligasi Daerah
............................................
(nama Daerah)
Yth.
.......(domisili) ,........ (tgl./bln./thn.)
Kepada
Ketua Bapepam dan LK
di-
J a k a r t a
Bersama ini kami menyampaikan Pernyataan Pendaftaran
dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dalam rangkap 2
(dua) beserta salinan elektronik (softcopy) nya sebagai berikut:
(JELASKAN : - SIFAT
- JUMLAH PENAWARAN OBLIGASI DAERAH dan
- URAIAN SINGKAT TENTANG OBLIGASI DAERAH
YANG DITAWARKAN)
1. Daerah:
a. Nama lengkap;
b. Alamat lengkap; dan
c. Dasar hukum yang mendasari keberadaan/pembentukan Daerah.
2. Nama, lokasi, tujuan, dan nilai Proyek.
3. Masa Penawaran Umum yang direncanakan.
4. Daftar dokumen yang dilampirkan:
a. .....................................................................................................
b. .....................................................................................................
c. .....................................................................................................
PERNYATAAN ATAU KETERANGAN YANG DIMUAT DALAM
PERNYATAAN PENDAFTARAN ADALAH BENAR DAN TIDAK
ADA FAKTA MATERIAL YANG TIDAK DIMUAT DALAM
PERNYATAAN PENDAFTARAN YANG DIPERLUKAN AGAR
PERNYATAAN PENDAFTARAN TIDAK MENYESATKAN.
Kepala Daerah
.................(nama Daerah)
Meterai yang cukup
(tanda tangan)
(nama jelas)
LAMPIRAN : 2
Peraturan Nomor : IX.C.12
FORMULIR NOMOR : IX.C.12-2
PERNYATAAN KEPALA DAERAH
Daerah
Alamat
Kami yang bertanda tangan di bawah ini, Kepala Daerah dari:
: ................ (nama Daerah)
: ................ (alamat kantor Pemerintah Daerah)
dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah ..... (nama Daerah) sejumlah
............... (โฆโฆdalam huruf) lembar dengan total nilai Rp............ (.........Rupiah)
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa :
1.
Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum Obligasi Daerah yang telah
disampaikan kepada Bapepam dan LK pada tanggal .............................. telah
lengkap dan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam peraturan Pasar
Modal yang berlaku.
2.
3.
4.
Setelah dilakukan penelaahan secara cermat dan seksama, kami yakin bahwa
Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan tidak memuat pernyataan-
pernyataan atau informasi atau fakta yang tidak benar atau menyesatkan.
Setelah dilakukan penelaahan secara cermat dan seksama, kami yakin bahwa
seluruh Informasi atau Fakta Material yang diperlukan bagi pemodal untuk
pengambilan keputusan investasi telah diungkapkan seluruhnya.
Selanjutnya kami akan melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu
dalam rangka menyempurnakan atau melengkapi Pernyataan Pendaftaran yang
telah disampaikan. Dalam hal ditemukan adanya informasi atau fakta yang tidak
benar, menyesatkan atau belum mengungkapkan Informasi atau Fakta Material
yang seharusnya diungkapkan, maka kami berjanji untuk segera memperbaiki
dan menyampaikan informasi atau fakta tersebut kepada Bapepam dan LK baik
sebelum ataupun sesudah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif.
5. Dalam hal ditemukan adanya informasi atau fakta yang tidak benar,
menyesatkan atau tidak mengungkapkan Informasi atau Fakta Material yang
seharusnya diungkapkan, maka atas perintah Bapepam dan LK kami bersedia
untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. mengubah Pernyataan Pendaftaran dan menyebarluaskan kembali
Prospektus;
b. menangguhkan Penawaran Umum; dan atau
c. membatalkan Penawaran Umum.
6.
Selanjutnya kami menyadari sepenuhnya bahwa terdapat kemungkinan adanya
tuntutan baik perdata maupun pidana sebagai akibat dari informasi atau fakta
yang tidak benar, menyesatkan atau tidak mengungkapkan Informasi atau Fakta
Material yang ada hubungannya dengan Penawaran Umum ini.
7. Kami tidak membuat perjanjian lain dengan Penjamin Emisi Efek dalam rangka
Penawaran Umum ini selain perjanjian yang telah diungkapkan dalam
Pernyataan Pendaftaran (jika Daerah menggunakan Penjamin Emisi Efek).
8. Kami berjanji untuk memberikan informasi atau fakta yang sama, baik kepada
calon pemodal Indonesia maupun asing pada saat yang bersamaan.
9. Kami sanggup menyerahkan semua informasi atau laporan yang diwajibkan dan
diminta oleh Bapepam dan LK sesuai dengan peraturan Pasar Modal yang
berlaku.
10. Kami berjanji akan mengelola dan mengawasi Proyek yang akan didanai dengan
Obligasi Daerah dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan seluruh pemegang
Obligasi Daerah.
.................. (domisili) , .....................(tgl./bln./thn.)
Kepala Daerah
....(nama Daerah)
(tanda tangan)
di atas meterai yang cukup
(nama jelas)
LAMPIRAN : 3
Peraturan Nomor : IX.C.12
FORMULIR NOMOR : IX.C.12-3
PERNYATAAN PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL
(Akuntan/Notaris/Konsultan Hukum/Penilai
*)
)
Kami yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Profesi Penunjang Pasar Modal
Nama Rekan
Alamat
STTD Nomor
*)
: ..........................................................
: ..........................................................
: ..........................................................
: ..........................................................
bertindak sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Akuntan/Notaris/Konsultan
Hukum/Penilai
) dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah (nama Daerah)
sejumlah .............(......dalam huruf) lembar dengan total nilai Rp ...........(.........Rupiah)
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
1. Kami bertanggung jawab atas pendapat yang kami berikan yang merupakan
bagian dari Pernyataan Pendaftaran.
2. Kami sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal dalam melaksanakan tugas telah
bertindak sesuai dengan norma atau standar profesi dan kode etik profesi
.............. (Akuntan /Notaris/Konsultan Hukum /Penilai )
*)
3. Kami sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal dalam melaksanakan tugas telah
bersikap independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan Daerah
dan Profesi Penunjang Pasar Modal lainnya.
4. Kami bertanggung jawab atas penelaahan Pernyataan Pendaftaran dan telah
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan permintaan informasi secara tertulis
kepada ...... (nama Daerah) dan permintaan informasi atau fakta kepada Pihak
lain yang dipandang perlu. Jawaban telah kami terima dari Pihak lain dan secara
tertulis dari ...... (nama Daerah). Prosedur yang kami laksanakan telah sesuai
dengan norma atau standar profesi kami dan peraturan Pasar Modal yang
berlaku.
5.
6.
Setelah dilakukan penelaahan secara cermat dan seksama, kami yakin bahwa
Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan tidak memuat pernyataan atau
informasi atau fakta yang tidak benar dan menyesatkan.
Setelah dilakukan penelaahan secara cermat dan seksama sesuai dengan standar
profesi, kami yakin bahwa tidak terdapat hal-hal yang dapat menghambat
terlaksananya Penawaran Umum ini.
7. Kami bertanggung jawab atas pendapat yang kami buat dalam rangka
Penawaran Umum ini dan kami juga telah membaca seluruh Prospektus dan
dokumen Pernyataan Pendaftaran terutama untuk melihat apakah informasi
atau fakta yang dimuat tidak bertentangan dengan pendapat kami.
8. Dalam hal ditemukan adanya informasi atau fakta yang tidak benar,
menyesatkan atau belum mengungkapkan informasi atau fakta yang seharusnya
diungkapkan, kami berjanji untuk segera menyampaikan informasi atau fakta
tersebut kepada Bapepam dan LK baik sebelum maupun sesudah Pernyataan
Pendaftaran menjadi efektif.
....................... (domisili) , .....................(tgl./bln./thn.)
Profesi Penunjang Pasar Modal
(Akuntan/Notaris/Konsultan Hukum/Penilai
(tanda tangan)
di atas meterai yang cukup
(nama jelas)
*)
)
*) coret yang tidak perlu
LAMPIRAN : 4
Peraturan Nomor : IX.C.12
FORMULIR NOMOR : IX.C.12-4
PERNYATAAN PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK
Kami yang bertanda tangan di bawah ini komisaris dan direktur dari:
Penjamin Pelaksana Emisi Efek : ..............................................................................
Alamat
: ..............................................................................
..............................................................................
dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah .........(nama Daerah) sejumlah
..................(.......dalam huruf) lembar dengan total nilai Rp ............ (......... Rupiah)
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
1.
Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum yang telah disampaikan kepada
Bapepam dan LK pada tanggal .............................. telah lengkap dan sesuai
dengan persyaratan yang tercantum dalam peraturan Pasar Modal yang berlaku.
2.
3.
Setelah dilakukan penelaahan secara cermat dan seksama, kami yakin bahwa
Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan tidak memuat pernyataan atau
informasi atau fakta yang tidak benar atau menyesatkan.
Setelah dilakukan penelaahan secara cermat dan seksama, kami yakin bahwa
seluruh Informasi atau Fakta Material yang diperlukan bagi pemodal untuk
pengambilan keputusan investasi telah diungkapkan seluruhnya.
4. Kami telah melakukan penelaahan atas Pernyataan Pendaftaran dan telah
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan meminta informasi secara tertulis
kepada ......(nama Daerah) dan kepada Profesi Penunjang Pasar Modal yang
namanya tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran. Pertanyaan dan permintaan
informasi tersebut telah dijawab secara tertulis dan telah mencakup seluruh
Informasi atau Fakta Material yang harus diketahui oleh pemodal sebagai bahan
pertimbangan dalam mengambil keputusan investasi untuk membeli atau
menjual Efek yang ditawarkan.
5. Kami juga telah melakukan penelaahan atas seluruh informasi atau fakta yang
diberikan oleh Daerah dan Profesi Penunjang Pasar Modal. Berdasarkan
penelaahan yang kami lakukan atas seluruh jawaban dan informasi atau fakta
yang diberikan oleh......(nama Daerah) dan Profesi Penunjang Pasar Modal, kami
berkesimpulan bahwa informasi atau fakta yang disampaikan adalah lengkap
dan benar.
6. Kami telah menyadari sepenuhnya bahwa terdapat kemungkinan adanya
gugatan perdata atau tuntutan pidana apabila ternyata terdapat informasi atau
fakta yang tidak benar, menyesatkan atau tidak mengungkapkan Informasi atau
Fakta Material dalam Pernyataan Pendaftaran sehubungan dengan Penawaran
Umum ini.
7. Kami tidak membuat perjanjian lain dengan .....(nama Daerah) atau Penjamin
Emisi Efek lain dalam rangka Penawaran Umum ini selain perjanjian yang telah
diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran.
8. Kami sanggup menyerahkan semua informasi, fakta, atau laporan yang
diwajibkan dan diminta oleh Bapepam dan LK sesuai dengan peraturan Pasar
Modal yang berlaku.
9. Kami berjanji untuk memberikan informasi yang sama, baik kepada calon
pemodal Indonesia maupun asing pada saat yang bersamaan.
............................ (domisili) , .........................(tgl./bln./thn.)
Komisaris
(tanda tangan)
(nama jelas)
Direktur
(tanda tangan)
di atas meterai yang cukup
(nama jelas)
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-692/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OBLIGASI DAERAH </reg_title>
<set_date> 30 Desember 2011 </set_date>
<effective_date> 30 Desember 2011 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-66/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.12' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP-326/BL/2012
TENTANG
SUB REKENING EFEK
PADA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan kepada
pemegang Rekening Efek pada Kustodian dan meningkatkan
efektifitas pengawasan transaksi Efek maka dipandang perlu untuk
menyempurnakan Peraturan Nomor III.C.7 tentang Sub Rekening
Efek Pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan
menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan yang baru;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3617)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M
Tahun 2011;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG SUB REKENING EFEK
PADA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 1
Ketentuan mengenai Sub Rekening Efek pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, diatur dalam Peraturan Nomor
III.C.7 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Perusahaan Efek dan Bank Kustodian selaku Partisipan pada
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyesuaikan
dengan ketentuan dalam Peraturan Nomor III.C.7 Lampiran
Keputusan ini termasuk tetapi tidak terbatas untuk:
a. memperbaharui kontrak pembukaan rekening Efek nasabah
yang telah ada sesuai dengan ketentuan angka 9 Peraturan
dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2012 dan
melaporkan perkembangannya kepada Bapepam dan LK pada
tanggal 30 September 2012 dan 31 Desember 2012; dan
b. membuat nomor tunggal identitas pemodal (single investor
identification) untuk nasabah, bagi nasabah yang telah ada sesuai
dengan ketentuan angka 4 (empat) Peraturan dimaksud paling
lambat tanggal 31 Juli 2012.
Pasal 3
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyesuaikan
kontrak pembukaan rekening Efek Partisipan pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sesuai dengan ketentuan angka 10
Peraturan Nomor III.C.7 Lampiran Keputusan ini, paling lambat
tanggal 31 Agustus 2012.
Pasal 4
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep- 01/PM/2003 tentang
Sub Rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
tanggal 5 Januari 2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 14 Juni 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
Nurhaida
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19751028 198512 1 001
NIP 19590627 198902 2 001
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-326/BL/2012
Tanggal : 14 Juni 2012
PERATURAN NOMOR III.C.7 TENTANG SUB REKENING EFEK PADA
LEMBAGA
PENYIMPANAN
PENYELESAIAN
1. Definisi dari istilah-istilah pada peraturan ini adalah:
a. Nasabah adalah pemegang rekening Efek pada Partisipan.
b. Partisipan adalah Perusahaan Efek atau Bank Kustodian yang telah membuka
rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
c. Sub Rekening Efek adalah rekening Efek setiap Nasabah yang tercatat dalam
rekening Efek Partisipan pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
2. Partisipan yang mengadministrasikan rekening Efek Nasabah atas Efek yang
disimpan pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib:
a. membuka Sub Rekening Efek atas nama setiap Nasabahnya pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
b. mencatat rekening Efek Nasabah dalam Sub Rekening Efek;
c. memastikan saldo rekening Efek setiap Nasabah yang tercatat dalam
pembukuan Partisipan selalu sama dengan saldo rekening Efek setiap Nasabah
yang tercatat dalam Sub Rekening Efek; dan
d. memastikan identitas Nasabah yang tercatat dalam pembukuan Partisipan sama
dengan identitas Nasabah yang tercatat dalam Sub Rekening Efek.
3. Dalam rangka melaksanakan penyelesaian transaksi Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan dan/atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dapat mewajibkan
Partisipan untuk membuka Sub Rekening Efek Jaminan untuk setiap Nasabah.
4. Pembukaan Sub Rekening Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a
wajib diikuti dengan pembuatan nomor tunggal identitas pemodal (single investor
identification) untuk Nasabah oleh Partisipan pada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, bagi Nasabah yang belum memiliki.
5. Pembuatan nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification) di
Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
6. Partisipan wajib memberikan akses informasi kepada Nasabah yang
memungkinkan Nasabah dapat secara langsung memonitor mutasi dan/atau saldo
Efek dan/atau dana yang disimpan pada Sub Rekening Efek atas nama Nasabah
tersebut pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
7. Partisipan wajib menyampaikan nomor Sub Rekening Efek sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 huruf a dan nomor tunggal identitas pemodal (single investor
identification) untuk Nasabah sebagaimana dimaksud dalam angka 4 kepada
masing-masing Nasabah yang bersangkutan.
8. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memberikan akses informasi yang
memungkinkan Nasabah dapat secara langsung memonitor mutasi dan/atau saldo
Efek dan/atau dana yang disimpan pada Sub Rekening Efek atas nama Nasabah
DAN
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-326/BL/2012
Tanggal : 14 Juni 2012
- 2 -
tersebut pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Nasabah yang telah
diberi akses oleh Partisipan untuk mengakses Sub Rekening Efek milik Nasabah di
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
9. Kontrak pembukaan rekening Efek Nasabah pada Partisipan wajib memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta memuat ketentuan
mengenai:
a. pemberian kuasa oleh Nasabah kepada Partisipan untuk membuka Sub
Rekening Efek dan pembuatan nomor tunggal identitas pemodal (single investor
identification) untuk Nasabah;
b. kewajiban Partisipan untuk melaksanakan kuasa pembukaan Sub Rekening Efek
dan pembuatan nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification)
untuk Nasabah; dan
c. hak Nasabah untuk sewaktu-waktu meminta laporan dan/atau menguji
kesesuaian antara saldo rekening Efek Nasabah dalam pembukuan Partisipan
dengan saldo Efek Nasabah dalam Sub Rekening Efek.
10. Kontrak pembukaan rekening Efek Partisipan pada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib memuat ketentuan tentang pembukaan Sub Rekening Efek dan
pembuatan nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification) untuk
Nasabah.
11. Dalam rangka pembukaan Sub Rekening Efek dan pembuatan nomor tunggal
identitas pemodal (single investor identification) untuk Nasabah, Partisipan wajib
menyampaikan data Nasabah kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
paling kurang terdiri dari:
a. nama;
b. tempat lahir/pendirian;
c. tanggal lahir/pendirian;
d. nomor identitas;
e. domisili;
f. kewarganegaraan bagi nasabah orang perseorangan;
g. tipe Nasabah berupa orang perseorangan atau kelembagaan; dan
h. jenis usaha, bagi nasabah kelembagaan.
12. Dalam rangka pembukaan Sub Rekening Efek, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib:
a. menyediakan sistem pengadministrasian Sub Rekening Efek yang memadai dan
aman;
b. mengadministrasikan secara terpisah setiap Sub Rekening Efek dan wajib
tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rekening
Efek; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-326/BL/2012
Tanggal : 14 Juni 2012
- 3 -
c. menyampaikan laporan harian mengenai posisi Sub Rekening Efek kepada
setiap Partisipan;
13. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melakukan pemeriksaan atau
evaluasi berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali atas pemenuhan peraturan
ini yang terkait dengan penerapan pembukaan Sub Rekening Efek dan pembuatan
nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification) untuk Nasabah oleh
Partisipan dan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan atau evaluasi berkala
dimaksud kepada Bapepam dan LK jika terdapat dugaan pelanggaran yang
dilakukan oleh Partisipan.
14. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian hanya bertanggung jawab kepada
Partisipan atas pengadministrasian Sub Rekening Efek di Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian dan tidak bertanggung jawab kepada Pihak lain termasuk
Nasabah
15. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan
LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini,
termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 14 Juni 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19751028 198512 1 001
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-326/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> SUB REKENING EFEK PADA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title>
<set_date> 14 Juni 2012 </set_date>
<effective_date> 14 Juni 2012 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-01/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP- 108 /BL/2008
TENTANG
KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian yang sehat dan berdaya saing global, maka
diperlukan pengawas Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang memiliki kompetensi dan integritas yang
tinggi serta memenuhi persyaratan sebagaimana
dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
b. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka
dipandang perlu untuk menyempurnakan persyaratan, tata
cara pencalonan dan pemilihan komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dengan menetapkan
Keputusan Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan yang
baru;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun
1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG LEMBAGA
PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN.
Pasal 1
Ketentuan mengenai
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian diatur dalam Peraturan Nomor III.C.8 sebagaimana
dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 โ
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka semua ketentuan
terkait dengan komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sebagaimana tersebut dalam Peraturan Nomor III.C.3, Lampiran
Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-14/PM/1996 tentang
Persyaratan Calon Direktur dan Komisaris Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian tanggal 17 Januari 1996 dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 3
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sedang
menjabat pada saat ditetapkannya Keputusan ini tetap dapat
menjabat sampai dengan masa jabatannya berakhir.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 April 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-108/BL/2008
Tanggal : 10 April 2008
PERATURAN NOMOR III.C.8 : KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN
DAN PENYELESAIAN
1. Ketentuan Umum
a. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mempunyai paling sedikit 2
(dua) orang komisaris.
b. Dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam angka 1 huruf a, Bapepam dan
LK dapat menetapkan jumlah kebutuhan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian paling lambat 50 (lima puluh) hari sebelum Rapat Umum
Pemegang Saham pemilihan komisaris. Penetapan Bapepam dan LK dimaksud
berlaku sampai dengan adanya penetapan Bapepam dan LK selanjutnya.
2. Persyaratan Komisaris
a. Setiap komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan
perbuatan hukum;
2) memiliki akhlak dan moral yang baik;
3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang
dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit;
4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan
keuangan;
6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
7) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal;
8) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dan Pasar Modal Indonesia; dan
9) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-
prinsip pengelolaan risiko.
b. Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, selain
persyaratan huruf a tersebut di atas, wajib pula memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1) berpengalaman pada posisi direktur pada Perusahaan Efek paling kurang 2
(dua) tahun;
2) berpengalaman pada posisi direktur pada Bank Kustodian atau Biro
Administrasi Efek paling kurang 2 (dua) tahun;
3) berpengalaman pada posisi manajemen pada institusi Pasar Modal paling
kurang 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi
pengawas jasa keuangan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep-108/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 2 -
4) berpengalaman pada posisi direktur pada organisasi yang diberi
kewenangan oleh Undang-undang tentang Pasar Modal untuk mengatur
pelaksanaan kegiatannya paling kurang 2 (dua) tahun; atau
5) merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang
berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling kurang 5 (lima)
tahun.
c. Komposisi komisaris diatur sebagai berikut:
1) dalam hal jumlah anggota Dewan Komisaris terdiri dari 5 (lima) orang atau
kurang, maka komposisi anggota Dewan Komisaris wajib mempunyai asal
usul dan atau pengalaman yang berbeda; dan
2) dalam hal jumlah komisaris terdiri dari 6 (enam) orang atau lebih, maka
sekurang-kurangnya komposisi komisaris sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 huruf c butir 1) tetap wajib dipenuhi.
d. Dua atau lebih komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang
berasal dari perusahaan yang sama atau berasal dari 2 (dua) atau lebih
perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh
Pihak yang sama.
3. Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Calon Komisaris
a. Pencalonan dan pengajuan calon komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib dilakukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang
saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan
mempunyai hak suara. Masing-masing pemegang saham Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian hanya dapat menjadi anggota pada satu
kelompok pemegang saham.
b. Dalam pencalonan komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling
kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara, bertanggung
jawab menyeleksi calon komisaris, meneliti tingkat keahlian, pengalaman dan
tanggung jawab sebagai komisaris sesuai peraturan ini dan mengusulkan atau
merekomendasikan honorarium dengan mempertimbangkan usulan Komite
Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c
peraturan ini (jika ada).
c. Calon komisaris wajib diajukan kepada Bapepam dan LK oleh pemegang saham
atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh
perseratus) dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam angka 3 huruf a dalam satu kesatuan paket calon Dewan
Komisaris, dan salah satu calon wajib ditetapkan sebagai komisaris utama.
d. Dalam pengajuan calon komisaris kepada Bapepam dan LK, pemegang saham
atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh
perseratus) dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melampirkan
dalam rangkap 2 (dua) dokumen-dokumen sebagai berikut:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep-108/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 3 -
1) riwayat hidup calon komisaris;
2) surat pernyataan calon komisaris yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memenuhi ketentuan angka 2 huruf a angka 3) sampai
dengan angka 8) peraturan ini;
3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon komisaris;
4) surat pernyataan tentang ada tidaknya hubungan afiliasi calon komisaris
dengan Perusahaan Efek dan Bank Kustodian yang merupakan
partisipan/pengguna jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
5) fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan tingkat keahlian
dari calon komisaris (jika ada);
6) surat pernyataan dari masing-masing pihak yang diajukan sebagai calon
komisaris yang memuat antara lain tentang kesediaan untuk dipilih menjadi
komisaris dan kesediaan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dalam rangka
pelaksanaan kegiatan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang teratur,
wajar dan efisien dengan komisaris lain dan direktur Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
7) jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1
peraturan ini mengenai integritas calon komisaris dengan menggunakan
Formulir Nomor III.C.8-1;
8) 3 (tiga) buah pas photo berwarna terbaru ukuran 10 x 15 cm (kartu pos); dan
9) surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti calon
komisaris dan minuta rapat dari pemegang saham atau kelompok pemegang
saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, termasuk rekomendasi
mengenai honorarium apabila calon komisaris diangkat menjadi komisaris,
yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional
dan tidak ada kepentingan lain termasuk kepentingan karena hubungan
Afiliasi, selain semata-mata untuk kepentingan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian khususnya dan Pasar Modal pada umumnya.
e. Pengajuan nama calon komisaris oleh pemegang saham atau kelompok
pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c tersebut di atas beserta dokumen-
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf d tersebut di
atas, diterima secara lengkap oleh Bapepam dan LK paling lambat 35 (tiga
puluh lima) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan
komisaris. Dalam hal terdapat kekurangan maka pengajuan dianggap telah
lengkap pada saat kekurangan tersebut diajukan kembali kepada Bapepam dan
LK.
4. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
a. Setiap calon komisaris yang diajukan wajib lulus penilaian kemampuan dan
kepatutan yang dilakukan oleh Komite yang dibentuk oleh Ketua Bapepam dan
LK.
b. Anggota Komite sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a terdiri dari 5
(lima) orang yang terdiri dari Ketua Bapepam dan LK sebagai Ketua merangkap
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep-108/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 4 -
anggota, dan 4 (empat) pejabat setingkat Eselon II di Bapepam dan LK sebagai
anggota.
c. Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling
sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite.
d. Komite melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon komisaris antara
lain melalui penelitian administratif, wawancara, dan atau permintaan
presentasi.
e. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon
komisaris memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi.
f. Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf e di atas
meliputi:
1) cakap melakukan perbuatan hukum;
2) memiliki akhlak dan moral yang baik;
3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang
dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit;
4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan
keuangan;
6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan
perundangโundangan di bidang Pasar Modal; dan
7) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dan Pasar Modal Indonesia.
g. persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf d di
atas meliputi:
1) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal;
2) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-
prinsip pengelolaan risiko; dan
3) memiliki asal usul atau pengalaman yang cukup, sebagaimana
dipersyaratkan dalam ketentuan angka 2 huruf b atau c di atas.
h. Berdasarkan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
dalam angka 4 huruf d yang dilakukan, Bapepam dan LK menyampaikan hasil
penilaian dimaksud kepada pemegang saham atau kelompok pemegang saham
yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang mengajukan calon komisaris paling
lambat 14 (empat belas)hari setelah permohonan diterima secara lengkap.
5. Jika dalam satu paket calon Dewan Komisaris yang diajukan oleh pemegang saham
atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh
perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam
angka 3 huruf a dan huruf c terdapat calon komisaris yang tidak lulus penilaian
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep-108/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 5 -
kemampuan dan kepatutan, maka Pemegang saham atau kelompok pemegang
saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham
Lembaga Penyimpanan dapat mengajukan kembali calon komisaris lain untuk
menggantikan calon komisaris yang tidak lulus kepada Bapepam dan LK paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan hasil penilaian oleh Bapepam dan LK
kepada pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling
kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dimaksud,
dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, dan huruf e peraturan ini.
6. Apabila semua dokumen sudah lengkap dan semua persyaratan telah dipenuhi,
Bapepam dan LK menyampaikan surat persetujuan dan daftar paket calon Dewan
Komisaris beserta fotokopi dokumen calon komisaris kepada direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Rapat Umum
Pemegang Saham.
7. Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan kepada
semua pemegang saham daftar calon komisaris yang disetujui Bapepam dan LK
sebagaimana dimaksud dalam angka 6 di atas beserta fotokopi dokumen lengkap
sebagaimana dimaksud angka 3 huruf d paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
diterimanya daftar calon komisaris dari Bapepam dan LK. Daftar calon komisaris
beserta fotokopi dokumen lengkap tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh
pemegang saham dan publik.
8. Rapat Umum Pemegang Saham dan Tata Cara Pemilihan Komisaris
a. Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan Rapat Umum
Pemegang Saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan Rapat Umum
Pemegang Saham dengan memuat antara lain rencana pengangkatan komisaris.
b. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum Rapat
Umum Pemegang Saham dimaksud, dengan memuat antara lain rencana
pengangkatan komisaris.
c. Komisaris dipilih dan diangkat dari paket calon Dewan Komisaris yang
memperoleh suara terbanyak dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
d. Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengangkat komisaris wajib dipimpin
oleh direktur utama atau salah satu direktur dalam hal direktur utama
berhalangan.
9. Dewan Komisaris wajib mengadakan rapat paling kurang 1 (satu) bulan sekali yang
dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu komisaris dalam hal komisaris
utama berhalangan.
10. Dewan Komisaris dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk Komite Audit
dan Komite Remunerasi, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ketua Komite Audit dan Komite Remunerasi adalah salah seorang komisaris.
b. Komite Audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang
independen kepada Dewan Komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep-108/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 6 -
disampaikan oleh direksi kepada Dewan Komisaris serta mengidentifikasikan
hal-hal yang memerlukan perhatian komisaris. Anggota Komite Audit wajib
memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan.
c. Komite Remunerasi adalah panitia ad hoc yang dibentuk oleh Dewan Komisaris
untuk mengkaji dan mengusulkan honorarium, termasuk metode
penentuannya, bagi komisaris atau gaji dan manfaat lain bagi direktur dengan
memperhatikan masing-masing jabatan direktur dengan tugas dan tanggung
jawabnya serta kelayakan yang berlaku pada umumnya.
11. Komisaris diberi honorarium yang jumlahnya diusulkan atau direkomendasikan
oleh pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c
peraturan ini dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c peraturan ini (jika ada), sebelum
pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan komisaris.
12. Honorarium bagi komisaris sebagaimana dimaksud dalam angka 11 wajib
mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
13. Masa jabatan komisaris adalah 3 (tiga) tahun dan hanya dapat diangkat kembali
untuk satu kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. apabila seorang komisaris diangkat karena menggantikan jabatan komisaris
yang lowong dan atau ada tambahan komisaris baru, maka masa jabatan
komisaris tersebut berlaku selama sisa masa jabatan Dewan Komisaris yang
sedang menjabat; dan
b. Keseluruhan masa jabatan komisaris pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3
(tiga) kali masa jabatan.
14. Berakhirnya masa jabatan Dewan Komisaris wajib diatur berbeda dengan
berakhirnya masa jabatan direksi
15. Komisaris yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 peraturan ini wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat, dan pemegang saham
atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh
perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah
dikeluarkan dan mempunyai hak suara wajib segera mengajukan calon komisaris
penggantinya kepada Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan
angka 3 peraturan ini
16. Dalam hal terdapat jabatan komisaris yang lowong, maka direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK paling
lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui oleh direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
17. Dalam pengisian jabatan komisaris untuk menggantikan jabatan komisaris yang
lowong dan atau diperlukannya tambahan komisaris baru, maka:
a. penggantian atau penambahan komisaris wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam angka 2 dan angka 3 peraturan ini.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep-108/BL/2008
Tanggal
: 10 April 2008
- 7 -
b. calon komisaris yang akan diajukan wajib bersedia bekerjasama dengan dan
tidak memperoleh keberatan dari komisaris yang ada.
c. penambahan komisaris baru wajib memperhatikan ketentuan angka 1 b dan
pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 peraturan ini.
18. Anggota Dewan Komisaris dapat diberhentikan dari jabatannya apabila komisaris
tersebut, antara lain:
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;
b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
c. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik;
d. dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan
bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit;
e. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
f. melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di
bidang keuangan pada umumnya;
g. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
h. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian;
i. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas; dan atau
j. berhalangan tetap.
19. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan
LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan
peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 April 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Formulir Nomor: III.C.8-1
DAFTAR PERTANYAAN
I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN:
1. Semua pertanyaan dalam daftar pertanyaan ini adalah berkaitan dengan
integritas wajib dijawab oleh setiap calon komisaris.
2. Berilah tanda โ dalam kotak di depan kata โYaโ, jika jawaban Saudara
โYaโ, atau berilah tanda โ dalam kotak di depan kata โTidakโ jika
jawaban atas pertanyaan berikut adalah โTidakโ.โ.
3. Untuk setiap jawaban โYaโ, pemohon wajib memberikan jawaban secara
rinci dan jelas, antara lain memuat:
a. lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan;
b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan;
c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan;
d. tindakan atau sanksi yang dikenakan.
II. INTEGRITAS CALON KOMISARIS
Definisi:
Investasi adalah
kegiatan
atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha
perumahan atau real estate termasuk kegiatan baik langsung maupun tidak
langsung, berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasehat Investasi, Bank
atau Perusahaan Lain yang bergerak di bidang keuangan.
Jawablah pertanyaan di bawah ini:
1. Dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir, apakah calon komisaris
pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak menggugat atas
tuduhan:
a. tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha
berhubungan dengan investasi, penipuan, pernyataan palsu atau
penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan?
๎ ya
๎ tidak
1
b. atau kejahatan lain?
๎ ya
๎ tidak
2. Apakah pengadilan:
a. pernah memutuskan bahwa calon komisaris pailit?
๎ ya
๎ tidak
b. dalam sepuluh tahun terakhir ini melarang calon komisaris dalam
kegiatannya yang berhubungan dengan Investasi?
๎ ya
c. pernah memutuskan
๎ tidak
bahwa calon komisaris terlibat dalam
pelanggaran hukum yang berhubungan dengan investasi, terlibat
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku?
๎ ya
๎ tidak
3. Apakah Bapepam dan LK pernah:
a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu atau
melakukan kelalaian?
๎ ya
๎ tidak
b. menemukan calon komisaris terlibat dalam pelanggaran hukum,
keputusan- keputusan atau peraturan-peraturan yang dikeluarkan
oleh Bapepam dan LK?
๎ ya
๎ tidak
c. menemukan calon komisaris menyebabkan suatu perusahaan
berhubungan dengan investasi yang Izin Usaha, Persetujuan atau
Pernyataan Pendaftarannya ditolak, ditangguhkan, dicabut atau
dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
d. memerintahkan untuk menolak, menghentikan untuk sementara
atau mencabut Izin Usaha, Persetujuan atau Pernyataan Pendaftaran
atau sanksi dengan membatasi kegiatan-kegiatan calon komisaris?
2
๎ ya
๎ tidak
4. Apakah lembaga atau institusi lain yang berwenang di Indonesia atau di
luar negeri pernah:
a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu, tidak
memberikan pernyataan yang diminta, tidak jujur, tidak adil atau
tidak etis?
๎ ya
b.
๎ tidak
menemukan calon komisaris melakukan kegiatan yang
menyebabkan suatu Izin Usaha, Persetujuan, atau Pernyataan
Pendaftaran ditolak, dihentikan untuk sementara, dicabut atau
dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
c. memerintahkan untuk menegur calon komisaris sehubungan dengan
kegiatan yang berhubungan dengan Investasi?
๎ ya
๎ tidak
d. menolak, menghentikan untuk sementara, atau membatalkan Izin
Usaha, Persetujuan, atau Pernyataan Pendaftaran para calon
komisaris atau direktur untuk bergerak dalam usaha yang
berhubungan dengan Investasi, atau membatasi kegiatan dalam
bidang usaha tersebut?
๎ ya
๎ tidak
e. mencabut atau menghentikan untuk sementara Izin Usaha calon
komisaris sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan,
Notaris, Pengacara atau Penilai?
๎ ya
๎ tidak
5. Apakah Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian pernah:
a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu atau tidak
menyatakan fakta?
๎ ya
๎ tidak
3
b. menemukan calon komisaris terlibat dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan yang berlaku?
๎ ya
๎ tidak
c. menemukan calon komisaris menyebabkan suatu usaha yang
berhubungan dengan Investasi dimana Izin Usaha, Persetujuan atau
Pernyataan Pendaftarannya untuk menjalankan usahanya ditolak,
dihentikan sementara, dicabut atau dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
d. menertibkan calon komisaris dalam kedudukannya sebagai direktur
atau komisaris Anggota Bursa, Anggota Kliring, atau partisipan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan:
1) mengeluarkan atau menghentikan sementara dari keanggotaan
suatu Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
2) menghalangi atau menghentikan sementara hubungannya
dengan Anggota Bursa atau Anggota Kliring lainnya atau
partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; atau
3) membatasi kegiatan Anggota Bursa atau Anggota Kliring atau
partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut?
๎ ya
๎ tidak
6. Apakah calon komisaris pernah atau sedang dituntut oleh suatu Pihak
sehubungan dengan Investasi atau penipuan?
๎ ya
๎ tidak
7. Apakah calon komisaris pernah atau sedang digugat atau dituntut oleh
suatu Pihak sehubungan dengan perkara perdata atau pidana?
๎ ya
๎ tidak
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..20
Pemohon
Materai
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(Nama Lengkap)
4
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-108/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id>
<reg_title> KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title>
<set_date> 10 April 2008 </set_date>
<effective_date> 10 April 2008 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-14/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor III.C.3' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-412/BL/2009
TENTANG
TRANSAKSI AFILIASI DAN BENTURAN KEPENTINGAN
TRANSAKSI TERTENTU
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka lebih memberikan kepastian
hukum dan perlindungan kepada pemegang saham,
khususnya pemegang saham independen berkaitan
dengan transaksi yang dilakukan oleh Emiten atau
Perusahaan Publik dengan Afiliasinya atau transaksi
yang mengandung benturan kepentingan, dipandang
perlu untuk menyempurnakan Peraturan Bapepam dan
LK Nomor IX.E.1, Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam dan LK Nomor: Kep-521/BL/2008 tentang
Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi
Tertentu dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang
baru;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995
tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
45/M Tahun 2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
TRANSAKSI AFILIASI DAN BENTURAN
KEPENTINGAN TRANSAKSI TERTENTU.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 1
Ketentuan mengenai Transaksi Afiliasi dan Benturan
Kepentingan Transaksi tertentu diatur dalam Peraturan
Nomor IX.E.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran
Keputusan ini.
Pasal 2
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan
Ketua Bapepam Nomor Kep-521/BL/2008 tanggal 12
Desember 2008 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan
Kepentingan Transaksi Tertentu dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 25
Nopember 2009.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 25 Nopember 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
PERATURAN NOMOR IX.E.1
: Kep-412/BL/2009
: 25 Nopember 2009
: TRANSAKSI AFILIASI DAN BENTURAN
KEPENTINGAN TRANSAKSI TERTENTU
1. KETENTUAN UMUM
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Perusahaan adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek
Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik.
b. Perusahaan Terkendali adalah suatu perusahaan yang dikendalikan baik
secara langsung maupun tidak langsung oleh Perusahaan.
c. Transaksi adalah aktivitas dalam rangka:
1) memberikan dan/atau mendapat pinjaman;
2) memperoleh, melepaskan, atau menggunakan aset termasuk dalam
rangka menjamin;
3) memperoleh, melepaskan, atau menggunakan jasa atau Efek suatu
Perusahaan atau Perusahaan Terkendali; atau
4) mengadakan kontrak sehubungan dengan aktivitas sebagaimana
dimaksud dalam butir 1), butir 2), dan butir 3),
yang dilakukan dalam satu kali transaksi atau dalam suatu rangkaian
transaksi untuk suatu tujuan atau kegiatan tertentu.
d. Transaksi Afiliasi adalah Transaksi yang dilakukan oleh Perusahaan atau
Perusahaan Terkendali dengan Afiliasi dari Perusahaan atau Afiliasi dari
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau pemegang saham utama
Perusahaan.
e. Benturan Kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis
Perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, atau pemegang saham utama yang dapat
merugikan Perusahaan dimaksud.
f. Pemegang Saham Independen adalah pemegang saham yang tidak
mempunyai Benturan Kepentingan sehubungan dengan suatu Transaksi
tertentu dan/atau bukan merupakan Afiliasi dari anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris atau pemegang saham utama yang mempunyai Benturan
Kepentingan atas Transaksi tertentu.
g. Karyawan adalah semua tenaga kerja yang menerima upah dan/atau gaji
dari Perusahaan.
2. TRANSAKSI AFILIASI
a. Perusahaan wajib mengumumkan keterbukaan informasi atas setiap
Transaksi Afiliasi kepada masyarakat dan menyampaikan bukti
pengumuman dan dokumen pendukungnya kepada Bapepam dan LK
paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya Transaksi,
yang paling kurang meliputi:
1) uraian mengenai Transaksi Afiliasi paling kurang:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-2-
a) obyek transaksi yang bersangkutan;
b) nilai transaksi yang bersangkutan;
c) nama Pihak-pihak yang melakukan transaksi dan hubungan
mereka dengan Perusahaan; dan
d) sifat hubungan Afiliasi dari Pihak-pihak yang melakukan transaksi
dengan Perusahaan;
2) ringkasan laporan Penilai, paling kurang meliputi informasi:
a) identitas Pihak;
b) obyek penilaian;
c) tujuan penilaian;
d) asumsi;
e) pendekatan dan metode penilaian;
f) kesimpulan nilai; dan
g) pendapat kewajaran atas transaksi.
Jangka waktu antara tanggal penilaian dan tanggal transaksi tidak
boleh melebihi 6 (enam) bulan.
3) penjelasan, pertimbangan dan alasan dilakukannya Transaksi tersebut,
dibandingkan dengan apabila dilakukan Transaksi lain yang sejenis
yang tidak dilakukan dengan Pihak terafiliasi;
4) rencana Perusahaan, data perusahaan yang diambil alih, dan informasi
terkait lain dalam hal Transaksi merupakan pengambilalihan
perusahaan;
5) pernyataan Dewan Komisaris dan Direksi yang menyatakan bahwa
semua informasi material telah diungkapkan dan informasi tersebut
tidak menyesatkan; dan
6) ringkasan laporan tenaga ahli atau konsultan independen, jika
dianggap perlu.
b. Transaksi Afiliasi berikut ini hanya wajib dilaporkan oleh Perusahaan
kepada Bapepam dan LK paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua)
setelah terjadinya Transaksi yang meliputi informasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf a butir 1), butir 3), butir 4), dan butir 5):
1) penggunaan setiap fasilitas yang diberikan oleh Perusahaan atau
Perusahaan Terkendali kepada anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, dan/atau pemegang saham utama dalam hal pemegang saham
utama juga menjabat sebagai Karyawan dan fasilitas tersebut langsung
berhubungan dengan tanggung jawab mereka terhadap Perusahaan dan
sesuai dengan kebijakan Perusahaan, serta telah disetujui Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS);
2) Transaksi antara Perusahaan dengan Karyawan, anggota Direksi, atau
anggota Dewan Komisaris Perusahaan tersebut maupun dengan
Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan
Terkendali dengan persyaratan yang sama, sepanjang hal tersebut telah
: Kep-412/BL/2009
: 25 Nopember 2009
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-3-
disetujui RUPS. Dalam Transaksi tersebut termasuk pula manfaat yang
diberikan oleh Perusahaan kepada semua Karyawan, anggota Direksi,
atau anggota Dewan Komisaris dengan persyaratan yang sama, menurut
kebijakan yang ditetapkan Perusahaan;
3) Transaksi dengan nilai transaksi tidak melebihi 0,5% (nol koma lima
perseratus) dari modal disetor Perusahaan dan tidak melebihi jumlah
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
4) Transaksi yang dilakukan oleh Perusahaan sebagai pelaksanaan
peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan;
5) Transaksi antara Perusahaan dengan Perusahaan Terkendali yang saham
atau modalnya dimiliki paling kurang 99% (sembilan puluh sembilan
perseratus) atau antara sesama Perusahaan Terkendali yang saham atau
modalnya dimiliki paling kurang 99% (sembilan puluh sembilan
perseratus) oleh Perusahaan dimaksud; dan/atau
6) Transaksi antara Perusahaan dengan Perusahaan Terkendali yang saham
atau modalnya tidak dimiliki seluruhnya dan tidak satu pun saham atau
modal Perusahaan Terkendali dimiliki oleh anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, pemegang saham utama Perusahaan dimaksud, atau
Pihak Terafiliasinya, dan laporan keuangan Perusahaan Terkendali
tersebut dikonsolidasikan dengan Perusahaan.
c. Transaksi Afiliasi berikut ini dikecualikan dari kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b:
1) imbalan, termasuk gaji, iuran dana pensiun, dan/atau manfaat khusus
yang diberikan kepada anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan
pemegang saham utama dalam hal pemegang saham utama menjabat
juga sebagai Karyawan, jika jumlah secara keseluruhan dari imbalan
tersebut diungkapkan dalam laporan keuangan berkala;
2) Transaksi berkelanjutan yang telah dilakukan sebelum Perusahaan
melaksanakan Penawaran Umum perdana atau sebelum
disampaikannya pernyataan pendaftaran sebagai Perusahaan Publik,
dengan persyaratan:
a) Transaksi telah diungkapkan sepenuhnya dalam Prospektus
Penawaran Umum perdana atau dalam keterbukaan informasi
pernyataan pendaftaran Perusahaan Publik; dan
b) syarat dan kondisi Transaksi tidak mengalami perubahan yang
dapat merugikan Perusahaan;
3) Transaksi berkelanjutan yang dilakukan sesudah Perusahaan melakukan
Penawaran Umum atau setelah pernyataan pendaftaran sebagai
Perusahaan Publik menjadi efektif, dengan persyaratan:
a) Transaksi awal yang mendasari Transaksi selanjutnya telah
memenuhi peraturan ini; dan
b) syarat dan kondisi Transaksi tidak mengalami perubahan yang
dapat merugikan Perusahaan;
4) Transaksi yang merupakan kegiatan usaha utama Perusahaan atau
Perusahaan Terkendali; dan
: Kep-412/BL/2009
: 25 Nopember 2009
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-4-
5) Transaksi yang merupakan penunjang kegiatan usaha utama Perusahaan
atau Perusahaan Terkendali.
3. TRANSAKSI YANG MENGANDUNG BENTURAN KEPENTINGAN
a. Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan wajib terlebih dahulu
disetujui oleh para Pemegang Saham Independen atau wakil mereka yang
diberi wewenang untuk itu dalam RUPS sebagaimana diatur dalam
Peraturan ini. Persetujuan mengenai hal tersebut harus ditegaskan dalam
bentuk akta notariil.
b. Dalam hal Transaksi yang telah disetujui dalam RUPS sebagaimana
dimaksud dalam huruf a belum dilaksanakan dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan sejak tanggal persetujuan RUPS, maka Transaksi hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan kembali RUPS.
c. Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan berikut ini
dikecualikan dari ketentuan huruf a, yaitu:
1) penggunaan setiap fasilitas yang diberikan oleh Perusahaan atau
Perusahaan Terkendali kepada anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, dan/atau pemegang saham utama dalam hal pemegang saham
utama juga menjabat sebagai Karyawan, dan fasilitas tersebut langsung
berhubungan dengan tanggung jawab mereka terhadap Perusahaan dan
sesuai dengan kebijakan Perusahaan, serta telah disetujui RUPS;
2) Transaksi antara Perusahaan baik dengan Karyawan, anggota Direksi,
atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan tersebut maupun dengan
Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan
Terkendali, atau Transaksi antara Perusahaan Terkendali baik dengan
Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan
Terkendali tersebut maupun dengan Karyawan, anggota Direksi, atau
anggota Dewan Komisaris Perusahaan dengan persyaratan yang sama,
sepanjang hal tersebut telah disetujui RUPS.
Dalam Transaksi tersebut termasuk pula manfaat yang diberikan oleh
Perusahaan atau Perusahaan Terkendali kepada semua Karyawan,
anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris dengan persyaratan
yang sama, menurut kebijakan yang ditetapkan Perusahaan;
3) imbalan, termasuk gaji, iuran dana pensiun, dan/atau manfaat khusus
yang diberikan kepada anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan
pemegang saham utama yang juga sebagai Karyawan, jika jumlah secara
keseluruhan dari imbalan tersebut diungkapkan dalam laporan
keuangan berkala;
4) Transaksi berkelanjutan yang dilakukan sesudah Perusahaan melakukan
Penawaran Umum atau setelah pernyataan pendaftaran sebagai
Perusahaan Publik menjadi efektif, dengan persyaratan:
a) Transaksi awal yang mendasari Transaksi selanjutnya telah
memenuhi Peraturan ini; dan
b) syarat dan kondisi Transaksi tidak mengalami perubahan yang
dapat merugikan Perusahaan;
: Kep-412/BL/2009
: 25 Nopember 2009
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-5-
5) Transaksi dengan nilai transaksi tidak melebihi 0,5% (nol koma lima
perseratus) dari modal disetor Perusahaan dan tidak melebihi jumlah
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
6) Transaksi yang dilakukan oleh Perusahaan sebagai pelaksanaan
peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan; dan/atau
7) Transaksi antara Perusahaan dengan Perusahaan Terkendali yang saham
atau modalnya dimiliki paling kurang 99% (sembilan puluh sembilan
perseratus) atau antara sesama Perusahaan Terkendali yang saham atau
modalnya dimiliki paling kurang 99% (sembilan puluh sembilan
perseratus) oleh Perusahaan dimaksud.
d. Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan sebagaimana
dimaksud dalam huruf c, namun merupakan Transaksi Afiliasi, tetap
mengikuti ketentuan mengenai Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud
dalam angka 2.
4. RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM INDEPENDEN
a. Pengumuman mengenai RUPS untuk menyetujui suatu Transaksi yang
mengandung Benturan Kepentingan, harus meliputi informasi sebagai
berikut:
1) uraian mengenai Transaksi paling kurang:
a) obyek transaksi yang bersangkutan;
b) nilai Transaksi yang bersangkutan;
c) nama Pihak-pihak yang mengadakan Transaksi dan hubungan
mereka dengan Perusahaan yang bersangkutan; dan
d) sifat dari Benturan Kepentingan Pihak-pihak yang bersangkutan
dalam Transaksi tersebut;
2) ringkasan laporan Penilai, paling kurang meliputi informasi:
a)
identitas Pihak;
b) obyek penilaian;
c)
tujuan penilaian;
d) asumsi;
e) pendekatan dan metode penilaian;
f) kesimpulan nilai; dan
g) pendapat kewajaran atas transaksi;
3) keterangan tentang RUPS selanjutnya yang direncanakan akan
diselenggarakan jika korum kehadiran Pemegang Saham Independen
yang disyaratkan tidak diperoleh dalam rapat pertama, pernyataan
tentang persyaratan pemberian suara dalam rencana Transaksi tersebut
dan pemberian suara setuju yang disyaratkan dalam setiap rapat sesuai
dengan Peraturan ini;
4) penjelasan, pertimbangan, dan alasan dilakukannya Transaksi tersebut,
dibandingkan dengan apabila dilakukan Transaksi lain yang sejenis yang
tidak mengandung Benturan Kepentingan;
: Kep-412/BL/2009
: 25 Nopember 2009
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-6-
5) rencana Perusahaan, data Perusahaan, dan informasi lain yang
dipersyaratkan sebagaimana diatur dalam butir 3) dan 4);
6) pernyataan Dewan Komisaris dan Direksi yang menyatakan bahwa
semua informasi material telah diungkapkan dan informasi tersebut
tidak menyesatkan; dan
7) ringkasan laporan tenaga ahli atau konsultan independen, jika dianggap
perlu oleh Bapepam dan LK.
b. Salinan atau fotokopi pengumuman sebagaimana dimaksud dalam huruf a
wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling lambat pada akhir hari
kerja ke-2 (kedua) setelah diumumkan.
c. Perusahaan wajib menyampaikan dokumen kepada Bapepam dan LK
bersamaan dengan pengumuman RUPS, yang paling kurang meliputi:
1) informasi tentang rencana transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf
a butir 1);
2) laporan Penilai, dengan ketentuan jangka waktu antara tanggal penilaian
dalam laporan Penilai dan tanggal pelaksanaan RUPS tidak boleh
melebihi 6 (enam) bulan;
3) data perusahaan yang akan diakuisisi atau didivestasi, jika obyek
transaksi adalah saham, yang sekurang-kurangnya berisi antara lain:
a) laporan keuangan yang telah diaudit untuk 2 (dua) tahun terakhir
berturut-turut;
b) struktur permodalan; dan
c) struktur kepengurusan;
jika data perusahaan belum tersedia di Bapepam dan LK dan publik.
4) pernyataan Dewan Komisaris dan Direksi bahwa informasi material yang
disajikan telah diungkapkan secara lengkap dan tidak menyesatkan; dan
5) ringkasan laporan tenaga ahli atau konsultan independen, jika ada.
d. Dalam hal terdapat perubahan atau penambahan informasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, maka wajib diumumkan paling lambat 2 (dua)
hari kerja sebelum RUPS dilaksanakan.
e. Sebelum RUPS, Perusahaan wajib menyediakan formulir pernyataan
bermeterai cukup untuk ditandatangani Pemegang Saham Independen
yang paling kurang menyatakan bahwa:
1) yang bersangkutan benar-benar merupakan Pemegang Saham
Independen; dan
2) apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan tersebut tidak
benar, maka yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Pengumuman dan pemanggilan RUPS yang disyaratkan untuk rapat-rapat
dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Jangka waktu pengumuman dan pemanggilan RUPS wajib dilakukan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor
: Kep-412/BL/2009
: 25 Nopember 2009
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-7-
IX.J.1. Pemanggilan dapat dikirimkan dengan surat tercatat atau
faksimili ke alamat pemegang saham disamping pemanggilan yang
diterbitkan melalui surat kabar. Pemanggilan dimaksud harus disertai
dengan informasi yang disyaratkan dalam huruf a; dan
2) untuk rapat kedua dan ketiga dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a) jangka waktu penyelenggaraan RUPS kedua dan ketiga dilakukan
sesuai ketentuan sebagaimana Peraturan Nomor IX.J.1;
b) pemanggilan dimaksud harus diumumkan melalui 2 (dua) surat
kabar harian berbahasa Indonesia yang satu diantaranya
mempunyai peredaran nasional dan lainnya yang terbit ditempat
kedudukan Perusahaan, dengan menyebutkan telah
diselenggarakannya RUPS pertama atau kedua tetapi tidak
mencapai korum.
g. Pemberian suara dari Pemegang Saham Independen dapat dilakukan
langsung oleh Pemegang Saham Independen atau wakil yang diberi kuasa.
h. RUPS ketiga hanya dapat menyetujui Transaksi dimaksud apabila disetujui
oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 50%
(limapuluh perseratus) saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham
Independen yang hadir.
i.
Jika suatu Transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan tidak
memperoleh persetujuan Pemegang Saham Independen dalam RUPS yang
telah mencapai korum kehadiran, maka rencana Transaksi dimaksud tidak
dapat diajukan kembali dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal keputusan penolakan.
j. Hasil pelaksanaan Transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan
wajib segera dilaporkan kepada Bapepam dan LK.
5. KETENTUAN PENUTUP
a. Dalam hal Transaksi Afiliasi:
1) nilainya memenuhi kriteria Transaksi Material sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Nomor IX.E.2 dan tidak terdapat Benturan
Kepentingan, maka Perusahaan hanya wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.E.2.
2) merupakan transaksi pengambilalihan Perusahaan Terbuka
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.H.1, maka
Perusahaan disamping wajib memenuhi peraturan ini juga wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor
IX.H.1.
b. Dalam hal Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan:
1) merupakan Transaksi Material dan/atau Perubahan Kegiatan Usaha
Utama, maka Perusahaan tersebut disamping wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini juga wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor
IX.E.2.
: Kep-412/BL/2009
: 25 Nopember 2009
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-8-
2) merupakan pengambilalihan Perusahaan Terbuka, maka Perusahaan
tersebut disamping wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan ini juga wajib memenuhi ketentuan Peraturan Nomor
IX.H.1.
c. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar
Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap
pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang
menyebabkan terjadi pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 25 Nopember 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
: Kep-412/BL/2009
: 25 Nopember 2009
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-412/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI AFILIASI DAN BENTURAN KEPENTINGAN TRANSAKSI TERTENTU </reg_title>
<set_date> 25 Nopember 2009 </set_date>
<effective_date> 25 Nopember 2009 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-521/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-690/BL/2011
TENTANG
KETENTUAN UMUM PENGAJUAN PERNYATAAN PENDAFTARAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa untuk lebih menyederhanakan persyaratan
penyampaian Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum oleh Emiten atau Perusahaan Publik,
dipandang perlu untuk menyempurnakan Keputusan
Ketua Bapepam Nomor KEP-111/PM/1996 tentang
Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran,
dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK
yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
20/M Tahun 2011;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
KETENTUAN UMUM PENGAJUAN PERNYATAAN
PENDAFTARAN.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Ketentuan Umum Pengajuan
Pernyataan Pendaftaran diatur dalam Peraturan
Nomor IX.A.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran
Keputusan ini.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 2
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Peraturan
Bapepam Nomor IX.A.1, Lampiran Keputusan Ketua
Bapepam Nomor KEP-111/PM/1996
tentang
Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
: Jakarta
: 30 Desember 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
: Kep-690/BL/2011
: 30 Desember 2011
PERATURAN NOMOR IX.A.1 : KETENTUAN UMUM PENGAJUAN
PERNYATAAN PENDAFTARAN
1. Pernyataan Pendaftaran serta semua dokumen pendukungnya wajib diajukan
kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan
LK) secara lengkap, kecuali informasi tertentu seperti informasi harga
penawaran dan tanggal efektif yang belum dapat ditentukan pada saat
pengajuan Pernyataan Pendaftaran.
2. Pengajuan Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 1
wajib dilaksanakan oleh Emiten atau Perusahaan Publik.
3. Emiten atau Perusahaan Publik bertanggung jawab sepenuhnya atas ketelitian,
kecukupan, dan kebenaran serta kejujuran pendapat dari semua informasi yang
ada dalam Pernyataan Pendaftaran serta semua dokumen lainnya yang
disampaikan kepada Bapepam dan LK. Apabila ketentuan mengenai
keterbukaan dalam peraturan atau formulir Bapepam dan LK tidak relevan
bagi Emiten atau Perusahaan Publik, maka hal tersebut tidak perlu
diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran.
4. Di samping keterangan dan dokumen yang secara khusus wajib disertakan
dalam Pernyataan Pendaftaran, Pihak yang mengajukan Pernyataan
Pendaftaran wajib pula menyertakan informasi yang material lainnya yang
diperlukan untuk memastikan bahwa para pemodal telah memperoleh
informasi yang cukup tentang keadaan keuangan dan kegiatan usaha Emiten
atau Perusahaan Publik tersebut dan bahwa pengungkapan yang diwajibkan
tersebut tidak menyesatkan.
5. Penjamin Pelaksana Emisi Efek, Profesi Penunjang Pasar Modal serta Pihak lain
yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas persetujuannya dimuat
dalam Pernyataan Pendaftaran, bertanggung jawab atas pernyataan dan
pendapat yang diberikannya sebagaimana tercantum dalam dokumen yang
disampaikan kepada Bapepam dan LK.
6. Pengajuan Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 wajib dalam bentuk:
a.
b.
naskah tercetak (hardcopy) dalam rangkap 2 (dua), masing-masing wajib
dijilid atau disatukan dengan cara lain atau terdiri atas beberapa bagian,
sebagai satu kesatuan; dan
salinan elektronik (softcopy).
7. Paling sedikit satu naskah tercetak Pernyataan Pendaftaran dan dokumen
pendukung lainnya harus memuat tanda tangan asli dari Pihak yang namanya
disebut dalam Pernyataan Pendaftaran dan dibubuhi meterai yang cukup.
8. Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf a wajib
dibuat di atas kertas berwarna terang yang berkualitas baik, dengan ukuran A4.
Tabel, grafik, laporan keuangan, dan dokumen lainnya dapat berukuran lebih
besar, namun wajib dilipat sehingga menjadi berukuran A4. Prospektus dapat
berukuran lebih kecil dari dokumen Pernyataan Pendaftaran lainnya apabila
dikehendaki.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-2-
9. Pernyataan Pendaftaran dan semua dokumen pendukung lainnya yang
diajukan wajib dicetak, diketik, atau dipersiapkan dengan cara proses lain yang
sama, sehingga isinya jelas, mudah dibaca serta mudah untuk difotokopi dan
disimpan.
10. Pernyataan Pendaftaran wajib dalam Bahasa Indonesia. Jika dokumen lain yang
tidak merupakan bagian dari Pernyataan Pendaftaran menggunakan bahasa
lain, Bapepam dan LK dapat meminta dokumen tersebut diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah.
11. Surat pengantar untuk Pernyataan Pendaftaran dan dokumen lain yang
disampaikan dalam rangka Pernyataan Pendaftaran wajib diberi nomor secara
berurutan. Masing-masing dokumen wajib diberi nomor halaman secara
berurutan.
12. Setiap dokumen yang disampaikan dalam rangka Pernyataan Pendaftaran baik
secara langsung diberikan maupun dalam rangka memenuhi permintaan
Bapepam dan LK, yang tidak merupakan bagian dari Pernyataan Pendaftaran
serta bersifat rahasia, wajib dipisahkan dari dokumen yang diwajibkan dalam
rangka Pernyataan Pendaftaran dimaksud dan diberi tanda secara jelas dengan
permintaan supaya tidak terbuka untuk umum. Apabila hal tersebut tidak
dipenuhi, dokumen bersangkutan merupakan dokumen yang tersedia untuk
umum.
13. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar
Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak
yang melanggar ketentuan Peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
ttd..
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd..
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
: Kep-690/BL/2011
: 30 Desember 2011
: 30 Desember 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-690/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id>
<reg_title> KETENTUAN UMUM PENGAJUAN PERNYATAAN PENDAFTARAN </reg_title>
<set_date> 30 Desember 2011 </set_date>
<effective_date> 30 Desember 2011 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-111/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.1' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-122/BL/2009
TENTANG
TATA CARA PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan Penawaran Umum dengan tetap memperhatikan
perlindungan kepada masyarakat pemodal, dipandang perlu
untuk menyempurnakan Peraturan Bapepam Nomor IX.A.2
tentang Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum,
Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-25/PM/2003
tanggal 17 Juli 2003, dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372)
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG TATA CARA
PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum diatur dalam Peraturan Nomor IX.A.2
sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 2
Pernyataan Pendaftaran yang telah diterima oleh Bapepam dan
LK namun belum menjadi efektif, tetap mengikuti Peraturan
Nomor IX.A.2 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor:
Kep-25/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Tata Cara
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum.
Pasal 3
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua
Bapepam Nomor: Kep-25/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang
Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
Salinan sesuai dengan aslinya
Sekretaris
: 29 Mei 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Pande Putu Raka
NIP 060034443
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-122/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
PERATURAN NOMOR IX.A.2: TATA CARA PENDAFTARAN DALAM RANGKA
PENAWARAN UMUM
1. PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN
a. Untuk melaksanakan Penawaran Umum wajib dipenuhi hal-hal berikut:
1) Emiten harus menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dan dokumen
pendukungnya kepada Bapepam dan LK dalam bentuk serta mencakup
informasi yang ditetapkan untuk Penawaran Umum sesuai dengan
Peraturan Nomor IX.A.1; dan
2) Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada butir 1) harus
sudah menjadi efektif.
b. Pada waktu menerima Pernyataan Pendaftaran dan dokumen
pendukungnya, Bapepam dan LK membuat tanda terima sebagai bukti
penyerahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor II.A.3.
c. Emiten bertanggung jawab atas kelengkapan dan kebenaran informasi yang
diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukungnya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Setiap Pihak yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas
persetujuannya, pendapat atau keterangan tersebut dimuat dalam
Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukungnya, wajib bertanggung
jawab baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, atas pendapat atau
keterangan yang diberikannya.
d. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, tidak menghalangi Emiten
atau Pihak yang mewakilinya untuk melengkapi atau memperbaiki isi
Pernyataan Pendaftaran yang telah disampaikan semula jika
dipertimbangkan bahwa data yang bersangkutan kurang lengkap, tidak
benar atau menyesatkan, atau mengadakan perubahan yang dipandang perlu
karena terjadinya perubahan keadaan sesudah pengajuan Pernyataan
Pendaftaran.
2. PENGUMUMAN PROSPEKTUS RINGKAS, PROSPEKTUS, DAN PROSPEKTUS
AWAL
a. Setelah disampaikannya Pernyataan Pendaftaran, Emiten dan setiap Pihak
yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas persetujuannya,
pendapat atau keterangan tersebut dimuat dalam Pernyataan Pendaftaran
dan dokumen pendukungnya dilarang:
1) mengumumkan Prospektus Ringkas yang merupakan bagian dari
Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor
IX.C.1 sampai dengan diterimanya pernyataan Bapepam dan LK bahwa
Emiten wajib mengumumkan Prospektus Ringkas sesuai dengan Formulir
Nomor: IX.A.2-9 lampiran 9, untuk Emiten yang bukan merupakan
Perusahaan Menengah atau Kecil; atau
2) mengumumkan Prospektus dan/atau Prospektus Awal sampai dengan
diterimanya pernyataan Bapepam dan LK bahwa Emiten sudah dapat
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-122/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
-2-
melakukan Penawaran Awal (bookbuilding) dan/atau menyebarkan
informasi yang berkaitan dengan Penawaran Umum sesuai dengan
Formulir Nomor: IX.A.2-10 lampiran 10, untuk Emiten yang merupakan
Perusahaan Menengah atau Kecil.
b. Propektus Ringkas wajib diumumkan dalam paling kurang satu surat kabar
harian berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran nasional paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya pernyataan Bapepam dan LK
sesuai dengan Formulir Nomor: IX.A.2-9 lampiran 9.
Disamping kewajiban mengumumkan dalam surat kabar, Emiten dapat juga
mengumumkan Propektus Ringkas tersebut dalam media massa yang lain.
Bukti pengumuman Propektus Ringkas wajib disampaikan oleh Emiten
kepada Bapepam dan LK paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah
pengumuman Propektus Ringkas dimaksud.
c. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak berlaku dalam hal
penawaran dimaksud dilakukan oleh Perusahaan Menengah atau Kecil, atau
ditujukan kepada Pihak tertentu dan sifat penawarannya terbatas.
d. Dalam hal Emiten bermaksud mengumumkan Prospektus dan/atau
Prospektus Awal melalui media massa, maka pengumuman tersebut wajib
dilaksanakan:
1) untuk Emiten yang bukan merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil,
paling cepat bersamaan dengan diumumkannya Prospektus Ringkas.
2) untuk Emiten yang merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil, paling
cepat bersamaan dengan diterimanya pernyataan Bapepam dan LK
bahwa Emiten sudah dapat melakukan Penawaran Awal (bookbuilding)
dan/atau menyebarkan informasi yang berkaitan dengan Penawaran
Umum sesuai dengan Formulir Nomor: IX.A.2-10 lampiran 10.
e. Dalam hal Emiten akan melakukan Penawaran Awal (bookbuilding)
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.A.8, maka Penawaran
Awal tersebut hanya dapat dilakukan setelah Bapepam dan LK memberikan
pernyataan bahwa Emiten sudah dapat melakukan Penawaran Awal
(bookbuilding) dengan menggunakan:
1) Formulir Nomor: IX.A.2-9 lampiran 9, untuk Emiten yang bukan
merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil.
2) Formulir Nomor: IX.A.2-10 lampiran 10, untuk Emiten yang merupakan
Perusahaan Menengah atau Kecil.
3. PERMINTAAN PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN INFORMASI
a. Bapepam dan LK dapat meminta perubahan dan/atau tambahan informasi
kepada Emiten untuk tujuan penelaahan atau pengungkapan keterbukaan
kepada umum. Hal ini dimaksudkan agar Emiten dapat memenuhi
kewajibannya dalam mengungkapkan semua fakta material tentang
penawaran Efek yang bersangkutan dan keadaan keuangan serta kegiatan
usaha Emiten.
b. Dalam hal Bapepam dan LK meminta Emiten membuat perubahan dan/atau
tambahan informasi atas Pernyataan Pendaftaran dan dokumen
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-122/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
-3-
pendukungnya, maka Pernyataan Pendaftaran tersebut dianggap telah
disampaikan kembali pada tanggal perubahan dimaksud disampaikan
kepada Bapepam dan LK.
c. Emiten wajib menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi atas
Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam huruf b dalam waktu
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan Bapepam
dan LK.
d. Pernyataan Pendaftaran menjadi batal apabila dalam waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan Bapepam dan LK
sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Emiten tidak memberikan tanggapan.
e. Dalam hal Bapepam dan LK tidak meminta Emiten untuk menyampaikan
perubahan dan tambahan informasi dalam jangka waktu 45 (empat puluh
lima) hari setelah penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau perubahan dan
tambahan informasi terakhir dari Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam
dan LK, maka Pernyataan Pendaftaran dianggap telah disampaikan secara
lengkap dan memenuhi persyaratan serta prosedur yang ditetapkan.
4. EFEKTIFNYA PERNYATAAN PENDAFTARAN
a. Pernyataan Pendaftaran dapat menjadi efektif dengan memperhatikan
ketentuan sebagai berikut:
1) atas dasar lewatnya waktu, yakni:
a) 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal Pernyataan Pendaftaran
diterima Bapepam dan LK secara lengkap, yaitu telah mencakup
seluruh kriteria yang ditetapkan dalam peraturan yang terkait
dengan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
dan peraturan yang terkait dengan Penawaran Umum; atau
b) 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal perubahan terakhir yang
disampaikan Emiten atau yang diminta Bapepam dan LK
dipenuhi; atau
2) atas dasar pernyataan efektif dari Bapepam dan LK bahwa tidak ada lagi
perubahan dan/atau tambahan informasi lebih lanjut yang diperlukan.
b. Pernyataan efektif dari Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam
huruf a butir 2) dapat diberikan setiap saat setelah:
1) kecukupan dan objektivitas informasi yang diungkapkan dalam
Pernyataan Pendaftaran selesai ditelaah oleh Bapepam dan LK, serta
Bapepam dan LK tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak
mempunyai tanggapan lebih lanjut; dan
2) Emiten telah mengkonfirmasikan ada atau tidak adanya perubahan
informasi atau telah menyampaikan informasi mengenai jumlah dan
harga penawaran Efek, penjaminan emisi Efek, dan/atau tingkat suku
bunga obligasi atau imbal hasil Sukuk.
c. Pernyataan efektif harus dibuat berdasarkan Formulir Nomor: IX.A.2-1
lampiran 1.
d. Konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b butir 2) disampaikan
kepada Bapepam dan LK paling cepat 7 (tujuh) hari kerja setelah
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-122/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
-4-
pengumuman Prospektus Ringkas dan/atau setelah Bapepam dan LK
menyatakan bahwa Emiten sudah dapat melakukan Penawaran Awal
(bookbuilding) dan/atau menyebarkan informasi yang berkaitan dengan
Penawaran Umum.
e. Apabila dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah
pengumuman Prospektus Ringkas dan/atau setelah Bapepam dan LK
menyatakan bahwa Emiten sudah dapat melakukan Penawaran Awal
(bookbuilding) dan/atau menyebarkan informasi yang berkaitan dengan
Penawaran Umum, Emiten tidak menyampaikan konfirmasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf b butir 2), maka Pernyataan Pendaftaran yang
disampaikan oleh Emiten menjadi batal.
f. Pernyataan yang dimaksud dalam huruf a butir 2), huruf b, dan huruf c tidak
berarti bahwa Bapepam dan LK telah menyetujui Efek yang bersangkutan
atau menyatakan bahwa data yang diungkapkan adalah cukup atau benar.
Memberikan pernyataan yang bertentangan dengan hal tersebut di atas
adalah perbuatan melanggar hukum.
g. Jangka waktu antara tanggal laporan keuangan terakhir yang diperiksa
Akuntan sebagaimana dimuat dalam Prospektus dan efektifnya Pernyataan
Pendaftaran tidak lebih dari 6 (enam) bulan. Dalam hal Penawaran Umum
Obligasi Daerah maka jangka waktu antara tanggal laporan keuangan
terakhir yang diperiksa Akuntan sebagaimana dimuat dalam Prospektus dan
efektifnya Pernyataan Pendaftaran tidak lebih dari 9 (sembilan) bulan.
h. Perubahan atau tambahan informasi dalam Prospektus sebagaimana
dimaksud dalam huruf b butir 2) dapat dibuat dalam bentuk suplemen
Prospektus yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari
Prospektus.
i. Setelah efektifnya Pernyataan Pendaftaran dan sebelum dimulainya masa
Penawaran Umum, Emiten wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) mengumumkan perbaikan dan/atau tambahan atas Prospektus Ringkas,
jika ada, mengenai informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b butir
2) dan tanggal efektif dalam paling kurang satu surat kabar harian
berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran nasional paling lambat
satu hari kerja setelah efektifnya Pernyataan Pendaftaran. Disamping
kewajiban mengumumkan dalam surat kabar, Emiten dapat juga
mengumumkan informasi tersebut dalam media massa yang lain.
Kewajiban tersebut tidak berlaku dalam hal penawaran dimaksud
dilakukan oleh Perusahaan Menengah atau Kecil, atau ditujukan kepada
Pihak tertentu dan sifat penawarannya terbatas.
2) menyediakan Prospektus yang dipersyaratkan sebagai bagian Pernyataan
Pendaftaran bagi masyarakat atau calon pembeli.
3) menyampaikan Prospektus dalam bentuk tercetak kepada Bapepam dan
LK sebanyak 5 (lima) eksemplar beserta salinan elektronik (soft copy) nya.
4) menyampaikan kepada Bapepam dan LK bukti pengumuman
sebagaimana dimaksud pada butir 1) paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah pengumuman dimaksud.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-122/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
-5-
5. MASA PENAWARAN UMUM, PENJATAHAN, DAN LAPORAN HASIL
PENAWARAN UMUM
a. Dalam rangka Penawaran Umum, Efek dapat ditawarkan oleh para Penjamin
Emisi Efek dengan bantuan para Agen Penjualan Efek.
b. Emiten wajib melaksanakan Penawaran Umum paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif.
c. Masa Penawaran Umum paling kurang satu hari kerja dan paling lama 5
(lima) hari kerja.
d. Dalam hal terjadi penghentian perdagangan Efek di Bursa Efek selama paling
kurang satu hari bursa dalam masa Penawaran Umum, maka Emiten dapat
melakukan perpanjangan masa Penawaran Umum untuk periode yang sama
dengan masa penghentian perdagangan Efek dimaksud.
e. Pembayaran atas pemesanan Efek dalam rangka Penawaran Umum wajib
dilunasi paling lambat pada saat dilakukannya penyerahan Efek.
f. Dalam hal jumlah permintaan Efek selama masa Penawaran Umum melebihi
jumlah Efek yang ditawarkan, maka harus diadakan penjatahan sesuai
dengan Peraturan Nomor: IX.A.7.
g. Penjatahan Efek untuk suatu Penawaran Umum Efek wajib diselesaikan
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah berakhirnya masa Penawaran Umum.
h. Jika dalam Pernyataan Pendaftaran dinyatakan bahwa Efek akan dicatatkan
pada Bursa Efek dan ternyata persyaratan pencatatan tidak dipenuhi,
Penawaran atas Efek batal demi hukum dan pembayaran pesanan Efek
dimaksud wajib dikembalikan kepada pemesan.
i. Dalam hal suatu pemesanan Efek ditolak sebagian atau seluruhnya, atau
dalam hal terjadi pembatalan Penawaran Umum, jika pesanan Efek sudah
dibayar maka uang pemesanan harus dikembalikan oleh Manajer Penjatahan
atau Agen Penjualan Efek kepada para pemesan, paling lambat 2 (dua) hari
kerja sesudah tanggal penjatahan atau sesudah tanggal diumumkannya
pembatalan tersebut.
j. Persyaratan dan tata cara penggantian kerugian untuk pemesan jika terjadi
keterlambatan dalam pengembalian uang sehingga menjadi lebih dari 2 (dua)
hari kerja sebagaimana dimaksud dalam huruf i, harus diungkapkan dalam
Prospektus, Prospektus Ringkas, dan Prospektus Awal (jika ada).
k. Penyerahan Efek beserta bukti kepemilikan Efek wajib dilakukan kepada
pembeli Efek dalam Penawaran Umum paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah tanggal penjatahan.
l. Apabila Efek yang ditawarkan dalam rangka Penawaran Umum akan
dicatatkan pada Bursa Efek, maka pencatatan tersebut wajib dilaksanakan
paling lambat satu hari kerja setelah tanggal penyerahan Efek.
m. Penjamin Emisi Efek atau Emiten (dalam hal tidak menggunakan Penjamin
Emisi Efek) wajib menyerahkan laporan hasil Penawaran Umum kepada
Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal penjatahan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-122/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
-6-
dalam bentuk dan isi sesuai dengan Formulir Nomor: IX.A.2-2 lampiran 2,
Formulir Nomor: IX.A.2-3 lampiran 3, Formulir Nomor: IX.A.2-4 lampiran 4,
Formulir Nomor: IX.A.2-5 lampiran 5, Formulir Nomor: IX.A.2-6 lampiran 6,
Formulir Nomor: IX.A.2-7 lampiran 7, dan Formulir Nomor: IX.A.2-8
lampiran 8. Laporan dimaksud disertai dengan Laporan Penjatahan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IX.A.7.
n. Penjamin Emisi Efek atau Emiten (dalam hal tidak menggunakan Penjamin
Emisi Efek) wajib menunjuk Akuntan yang terdaftar di Bapepam dan LK
untuk melakukan pemeriksaan khusus mengenai telah diterimanya dana
hasil Penawaran Umum oleh Emiten. Laporan pemeriksaan tersebut wajib
disampaikan kepada Bapepam dan LK paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah berakhirnya masa Penawaran Umum.
6. PENUNDAAN MASA PENAWARAN UMUM ATAU PEMBATALAN
PENAWARAN UMUM.
a. Dalam jangka waktu sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran sampai dengan
berakhirnya masa Penawaran Umum, Emiten dapat menunda masa
Penawaran Umum untuk masa paling lama 3 (tiga) bulan sejak efektifnya
Pernyataan Pendaftaran atau membatalkan Penawaran Umum, dengan
ketentuan:
1) terjadi suatu keadaan di luar kemampuan dan kekuasaan Emiten yang
meliputi:
a) Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek turun melebihi 10%
(sepuluh perseratus) selama 3 (tiga) hari bursa berturut-turut;
b) Bencana alam, perang, huru-hara, kebakaran, pemogokan yang
berpengaruh secara signifikan terhadap kelangsungan usaha
Emiten; dan/atau
c) Peristiwa lain yang berpengaruh secara signifikan terhadap
kelangsungan usaha Emiten yang ditetapkan oleh Bapepam dan
LK berdasarkan Formulir Nomor: IX.A.2-11 lampiran 11; dan
2) Emiten wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a) mengumumkan penundaan masa Penawaran Umum atau
pembatalan Penawaran Umum dalam paling kurang satu surat
kabar harian berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran
nasional paling lambat satu hari kerja setelah penundaan atau
pembatalan tersebut. Disamping kewajiban mengumumkan dalam
surat kabar, Emiten dapat juga mengumumkan informasi tersebut
dalam media massa lainnya;
b) menyampaikan informasi penundaan masa Penawaran Umum
atau pembatalan Penawaran Umum tersebut kepada Bapepam dan
LK pada hari yang sama dengan pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam poin a);
c) menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
poin a) kepada Bapepam dan LK paling lambat satu hari kerja
setelah pengumuman dimaksud; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-122/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
-7-
d) Emiten yang menunda masa Penawaran Umum atau membatalkan
Penawaran Umum yang sedang dilakukan, dalam hal pesanan
Efek telah dibayar maka Emiten wajib mengembalikan uang
pemesanan Efek kepada pemesan paling lambat 2 (dua) hari kerja
sejak keputusan penundaan atau pembatalan tersebut.
b. Emiten yang melakukan penundaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
dan akan memulai kembali masa Penawaran Umum berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1) dalam hal penundaan masa Penawaran Umum disebabkan oleh kondisi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 1) poin a), maka Emiten wajib
memulai kembali masa Penawaran Umum paling lambat 8 (delapan) hari
kerja setelah indeks harga saham gabungan di Bursa Efek mengalami
peningkatan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari total
penurunan indeks harga saham gabungan yang menjadi dasar
penundaan;
2) dalam hal indeks harga saham gabungan di Bursa Efek mengalami
penurunan kembali sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 1) poin
a), maka Emiten dapat melakukan kembali penundaan masa Penawaran
Umum;
3) wajib menyampaikan kepada Bapepam dan LK informasi mengenai
jadwal Penawaran Umum dan informasi tambahan lainnya, termasuk
informasi peristiwa material yang terjadi setelah penundaan masa
Penawaran Umum (jika ada) dan mengumumkannya dalam paling
kurang satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang mempunyai
peredaran nasional paling lambat satu hari kerja sebelum dimulainya lagi
masa Penawaran Umum. Disamping kewajiban mengumumkan dalam
surat kabar, Emiten dapat juga mengumumkan dalam media massa
lainnya; dan
4) wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
butir 3) kepada Bapepam dan LK paling lambat satu hari kerja setelah
pengumuman dimaksud.
7. KETENTUAN PENUTUP
a. Setelah selesainya Penawaran Umum, Emiten wajib:
1) menyimpan dokumen Pernyataan Pendaftaran yang telah dinyatakan
efektif oleh Bapepam dan LK sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan dokumen perusahaan; dan
2) menyampaikan Prospektus yang telah tergabung dengan suplemennya
dalam bentuk tercetak kepada Bapepam dan LK sebanyak 5 (lima)
eksemplar beserta salinan elektroniknya (soft copy), dalam waktu paling
lama 15 (lima belas) hari kerja setelah selesainya penyerahan Efek kepada
pembeli Efek.
b. Contoh alur proses Penawaran Umum tercantum dalam lampiran 12
Peraturan ini.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-122/BL/2009
Tanggal : 29 Mei 2009
-8-
c. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar
Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap
pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang
menyebabkan terjadi pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 29 Mei 2009
Salinan sesuai dengan aslinya
Sekretaris
Pande Putu Raka
NIP 060034443
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
tttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR: IX.A.2-1
LAMPIRAN: 1
Peraturan Nomor: IX.A.2
Nomor
Lampiran
Perihal
:
:
: Pemberitahuan Efektifnya
Pernyataan Pendaftaran
Kepada
Ythโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
di-
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Berkenaan dengan Pernyataan Pendaftaran Saudara yang disampaikan
dengan Surat Nomorโฆโฆโฆtanggal โฆโฆโฆperihal โฆโฆserta revisi kelengkapan
dokumen dengan Surat Nomor:โฆโฆโฆ..tanggalโฆโฆโฆโฆperihalโฆโฆโฆโฆ setelah di
lakukan penelaahan lebih lanjut, kami tidak memerlukan informasi tambahan dan
tidak mempunyai tanggapan lebih lanjut dan Pernyataan Pendaftaran tersebut
menjadi efektif.
Penyataan efektif ini bukan merupakan persetujuan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atas kecukupan atau kebenaran keterangan
yang tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran atau dokumen lampirannya atau
menyetujui, mengesahkan atau meneliti keunggulan investasi pada perusahaan atau
Efek yang disampaikan dalam Pernyataan Pendaftaran tersebut di atas.
Dengan efektifnya Pernyataan Pendaftaran ini, maka Perusahaan wajib
tunduk pada peraturan Pasar Modal yang berlaku.
Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
Ketua,
Jakarta, ..............................20...
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
NIPโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Tembusan kepada Yth :
1. Menteri Keuangan Republik Indonesia;
2. Sekretaris Jenderal, Departemen Keuangan Republik Indonesia;
3. Sekretaris Bapepam dan LK;
4. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam dan LK;
5. Penjamin Pelaksana Emisi Efek (jika ada);
6. Wali Amanat / Wali Amanat Sukuk *); dan
7. Pusat Referensi Pasar Modal.
Catatan: *) Jika Penawaran Umum Obligasi / Sukuk
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR : IX.A.2-2
KEGIATAN PENJAMIN EMISI EFEK
PADA PASAR PERDANA PENAWARAN UMUM SAHAM /
WARAN/OBLIGASI/SUKUK *)
PT. .........................................................................
Tanggal ......................... s/d ..................
Jumlah untuk setiap
Penjamin Emisi Efek
No.
Penjamin
Emisi
Efek
A
B
Jumlah
Saham/Waran
/Obligasi/
Sukuk *)
C
Nilai
(Rp 000,00)
D
Jumlah Pemesanan
Jumlah
Pemesanan
Saham/Waran/
Obligasi/
Sukuk *)
E
% Pemesanan
terhadap jatah
E x 100%
C
F
Saham/Waran/Obligasi/Sukuk *)
oleh golongan pemodal
Perorangan
G
Lembaga/
Badan
Usaha
H
Total
I
Perorangan
J
LAMPIRAN: 2
Peraturan Nomor : IX.A.2
Jumlah Golongan
Pemesan
Lembaga/
Badan
Usaha
K
Total
L
Sub
Total
Dikurangi jumlah pemesan yang sama yang mengajukan sahamnya kepada lebih dari satu Penjamin Emisi Efek
Total
CATATAN : *) Coret yang tidak perlu.
Mengetahui :
E M I T E N
Direktur
Jakarta, .......................................20 .....
PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK
Direktur
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR : IX.A.2-3
KEGIATAN PENJAMIN EMISI EFEK
PADA PASAR PERDANA PENAWARAN UMUM SAHAM /
WARAN/OBLIGASI/ SUKUK *)
PT. ..............................................................
Tanggal .................... s/d .....................
LAMPIRAN: 3
Peraturan Nomor : IX.A.2
No Agen Penjualan
Efek
A
B
Jatah untuk setiap
Agen Penjualan Efek
% Jatah
Jumlah
Jumlah
Saham/Waran/
Obligasi/Sukuk *)
Nilai
(Rp 000,00)
Pemesanan
Saham/Waran/
Obligasi/Sukuk *)
% Pemesanan
terhadap Jatah
E x 100%
C
C D E F
terhadap
Pemesanan
C x 100%
E
G
Perorangan
H
Jumlah Pemesanan
Lembaga/
Badan
Usaha
T o t a l
I J
Jumlah
Catatan : *) Coret yang tidak perlu.
Mengetahui :
E M I T E N
Direktur
Jakarta, .......................................20 .....
PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK
Direktur
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR: IX.A.2-4
PEMESANAN DAN PENJATAHAN
PADA PASAR PERDANA PENAWARAN UMUM SAHAM /
WARAN/OBLIGASI/ SUKUK *)
PT. ..........................................................................
Tanggal ........................... s/d .............
No
A
I
Perorangan :
a. Indonesia
b. Asing
c. Karyawan Perseroan
Sub Total
II
Lembaga/Badan Usaha :
a. Indonesia
b. Asing
Sub Total
Total
CATATAN : *) Coret yang tidak perlu.
Mengetahui :
E M I T E N
Direktur
Jakarta, .......................................20 .....
PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK
Direktur
Kelompok/Golongan
Pemesan (Investor)
B
Jumlah
Formulir
Pemesanan
C
Jumlah
Pemesanan
D
Jumlah
Pemesanan
Saham/Waran/
Obligasi/Sukuk *)
E
Jumlah Penjatahan
Saham/ Waran/
Obligasi/Sukuk *)
F
% Penjatahan
Terhadap
Pemesanan
G
LAMPIRAN: 4
Peraturan Nomor : IX.A.2
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR : IX.A.2-5
PENYEBARAN SAHAM/ WARAN/OBLIGASI/SUKUK *)
PADA PASAR PERDANA
PT. ..............................................................
Tanggal ................... s/d ..................
Jumlah Pemesanan
No
A
P R O P I N S I
B
Per-
orangan
C
Lembaga/
Badan
Usaha
D
Jumlah
E
Saham/ Waran/Obligasi/
Sukuk *) yang dipesan
Per-
orangan
F
Lembaga/
Badan
Usaha
G
Jumlah
H
LAMPIRAN: 5
Peraturan Nomor : IX.A.2
Penjatahan Saham/ Waran/Obligasi/
Sukuk *)
Per-
orangan
I
Lembaga/
Badan
Usaha
J
Jumlah
K
Persen-
tase
( % )
L
J U M L A H
CATATAN : *) Coret yang tidak perlu.
Mengetahui :
E M I T E N
Jakarta, .......................................20 .....
PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK
Direktur
Direktur
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR : IX.A.2-6
PENYEBARAN PEMILIKAN OLEH PERORANGAN
BERDASARKAN JUMLAH PEMILIKAN SAHAM/
WARAN/OBLIGASI/SUKUK *) PADA PASAR PERDANA
PENAWARAN UMUM
SAHAM/WARAN/OBLIGASI/SUKUK*)
PT. ................................................................
Tanggal ................... s/d .....................
Penggolongan
No
berdasarkan jumlah
Saham/Waran/
Obligasi/Sukuk*)
Jumlah
Saham/Waran/
Obligasi/
Sukuk*)
yang dipesan
Jumlah
Pemesan
Jumlah
Pemilikan Saham/Waran/ Obligasi/Sukuk*) Setelah Penyerahan
Persentase Pemilikan
(% dari Penawaran
Umum)
Tanggal Penyerahan
LAMPIRAN: 6
Peraturan Nomor : IX.A.2
Jumlah
CATATAN : *) Coret yang tidak perlu.
Mengetahui :
E M I T E N
Direktur
Jakarta, .......................................20 .....
PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK
Direktur
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR : IX.A.2-7
PENYEBARAN PEMILIKAN OLEH LEMBAGA/BADAN USAHA
BERDASARKAN JENIS KELEMBAGAAN
PADA PASAR PERDANA PENAWARAN UMUM
SAHAM/WARAN/OBLIGASI/SUKUK *)
PT. ..............................................................
Tanggal ................... s/d .....................
Penggolongan
No
berdasarkan jumlah
Saham/Waran/
Obligasi/Sukuk*)
Jumlah
Saham/Waran/
Obligasi/Sukuk*)
yang dipesan
Jumlah
Pemesan
Jumlah
LAMPIRAN: 7
Peraturan Nomor : IX.A.2
Pemilikan Saham/Waran/ Obligasi/ Sukuk*) Setelah Penyerahan
Persentase Pemilikan
(% dari Penawaran
Umum)
Tanggal Penyerahan
Jumlah
CATATAN : *) Coret yang tidak perlu.
Mengetahui :
E M I T E N
Direktur
Jakarta, .......................................20 .....
PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK
Direktur
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR : IX.A.2-8
SISTEM PENJATAHAN *)
PADA PASAR PERDANA PENAWARAN UMUM
SAHAM/WARAN/OBLIGASI/SUKUK **)
PT. ........................................................................
Tanggal ...................... s/d ..........................
NO
Pemesanan Saham/Waran/Obligasi/Sukuk **)
Sampai dengan ........................................................................................ Saham/Waran/Obligasi/Sukuk
**)
s/d
s/d
s/d
s/d
s/d
s/d
Dipenuhi
Dipenuhi
Dipenuhi
Dipenuhi
Dipenuhi
Dipenuhi
Dipenuhi
Penjatahan
Saham/Waran/Obligasi/Sukuk **)
%
%
%
%
%
%
%
LAMPIRAN: 8
Peraturan Nomor : IX.A.2
CATATAN : *) Atau metode lain (bila ada)
**) Coret yang tidak perlu.
Mengetahui :
E M I T E N
Jakarta, .......................................20 .....
PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Direktur
Direktur
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR: IX.A.2-9
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
Kepada
Yth โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
di-
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Berkenaan dengan Pernyataan Pendaftaran Saudara yang disampaikan
dengan Surat Nomorโฆโฆโฆtanggal โฆโฆโฆperihal โฆโฆserta revisi kelengkapan
dokumen dengan Surat Nomorโฆโฆโฆ..tanggalโฆโฆโฆโฆperihalโฆโฆโฆโฆ setelah di
lakukan penelaahan lebih lanjut, kami beritahukan bahwa Saudara wajib
mengumumkan Prospektus Ringkas paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah
diterimanya surat ini dan sudah dapat melaksanakan Penawaran Awal
(bookbuilding)*) bersamaan dengan diumumkannya Prospektus Ringkas.
Surat ini bukan merupakan pernyataan efektif atas Pernyataan
Pendaftaran yang Saudara ajukan dan Penawaran Umum yang akan Saudara
laksanakan hanya dapat dilakukan apabila Pernyataan Pendaftaran telah menjadi
efektif.
Pernyataan efektif hanya akan diberikan oleh Bapepam dan LK setelah:
1. kecukupan dan objektivitas informasi yang diungkapkan dalam Pernyataan
Pendaftaran selesai ditelaah oleh Bapepam dan LK, serta Bapepam dan LK
tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak mempunyai tanggapan lebih
lanjut; dan
2. Emiten telah mengkonfirmasikan ada atau tidak adanya perubahan informasi
atau telah menyampaikan informasi mengenai jumlah dan harga penawaran
Efek, penjaminan emisi Efek, dan/atau tingkat suku bunga obligasi atau imbal
hasil Sukuk.
Demikian, agar Saudara maklum.
Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
Ketua,
LAMPIRAN: 9
Peraturan Nomor: IX.A.2
Jakarta,โฆโฆโฆโฆโฆโฆ.20...
: Pengumuman Prospektus Ringkas dan/atau
Pelaksanaan Penawaran Awal (bookbuilding) *)
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
NIPโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Tembusan:
1. Sekretaris Badan;
2. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa/Riil; dan
3. Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan.
Catatan: *) Jika Emiten bermaksud untuk melakukan Penawaran Awal (bookbuilding)
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR: IX.A.2-10
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
LAMPIRAN: 10
Peraturan Nomor: IX.A.2
Jakarta,โฆโฆโฆโฆโฆโฆ.20...
: Pelaksanaan Penawaran Awal (bookbuilding) *)
dan/atau Penyebaran Informasi yang Berkaitan
dengan Penawaran Umum
Kepada
Yth โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
di-
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Berkenaan dengan Pernyataan Pendaftaran Saudara yang disampaikan
dengan Surat Nomorโฆโฆโฆtanggal โฆโฆโฆperihal โฆโฆserta revisi kelengkapan
dokumen dengan Surat Nomorโฆโฆโฆ..tanggalโฆโฆโฆโฆperihalโฆโฆโฆโฆ setelah di
lakukan penelaahan lebih lanjut, kami beritahukan bahwa Saudara sudah dapat
melaksanakan Penawaran Awal (bookbuilding)*)
dan/atau menyebarkan informasi
yang berkaitan dengan Penawaran Umum paling cepat bersamaan dengan
diterimanya surat ini.
Surat ini bukan merupakan pernyataan efektif atas Pernyataan
Pendaftaran yang Saudara ajukan dan Penawaran Umum yang akan Saudara
laksanakan hanya dapat dilakukan apabila Pernyataan Pendaftaran telah menjadi
efektif.
Pernyataan efektif hanya akan diberikan oleh Bapepam dan LK setelah:
1. kecukupan dan objektivitas informasi yang diungkapkan dalam Pernyataan
Pendaftaran selesai ditelaah oleh Bapepam dan LK, serta Bapepam dan LK
tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak mempunyai tanggapan lebih
lanjut; dan
2. Emiten telah mengkonfirmasikan ada atau tidak adanya perubahan informasi
atau telah menyampaikan informasi mengenai jumlah dan harga penawaran
Efek, penjaminan emisi Efek, dan/atau tingkat suku bunga obligasi atau imbal
hasil Sukuk.
Demikian, agar Saudara maklum.
Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
Ketua,
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
NIPโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Tembusan:
1. Sekretaris Badan;
2. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa/Riil; dan
3. Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan.
Catatan: *) Jika Emiten bermaksud untuk melakukan Penawaran Awal (bookbuilding)
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
FORMULIR NOMOR: IX.A.2-11
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
: Penundaan Masa Penawaran Umum atau
Pembatalan Penawaran Umum *)
Kepada
Yth โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
di-
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.
Berkenaan dengan surat Saudara Nomorโฆโฆโฆtanggal โฆโฆโฆperihal โฆโฆ
dan setelah dilakukan penelaahan lebih lanjut, kami beritahukan bahwa Saudara
dapat/tidak dapat**) menunda masa Penawaran Umum atau membatalkan
Penawaran Umum*).
Saudara wajib mengumumkan penundaan masa Penawaran Umum atau
pembatalan Penawaran Umum*) dalam paling kurang satu surat kabar harian
berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran nasional paling lambat satu hari
kerja setelah penundaan masa Penawaran Umum atau pembatalan Penawaran
Umum.
Demikian, agar Saudara maklum.
Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
Ketua,
LAMPIRAN: 11
Peraturan Nomor: IX.A.2
Jakarta,โฆโฆโฆโฆโฆโฆ.20...
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
NIPโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
Tembusan:
1. Menteri Keuangan Republik Indonesia;
2. Sekretaris Jenderal, Departemen Keuangan Republik Indonesia;
3. Sekretaris Bapepam dan LK;
4. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam dan LK;
5. Penjamin Pelaksana Emisi Efek (jika ada);
6. Wali Amanat / Wali Amanat Sukuk***)
; dan
7. Pusat Referensi Pasar Modal.
Catatan:*) Disesuaikan dengan surat Emiten.
**) Pilih salah satu.
***) Jika Penawaran Umum Obligasi / Sukuk.
LAMPIRAN : 12
PERATURAN NOMOR IX.A.2
CONTOH ALUR PROSES PENAWARAN UMUM (SEBELUM EFEKTIF)
Pemberian Ijin
Permintaan perubahan
/tambahan Informasi I
permintaan perubahan
/tambahan Informasi II
Penelaahan dokumen
Masa eksposur dan bookbuilding
โค 10 hari kerja
Jawaban atas
permintaan perubahan
/tambahan Informasi I
Penyampaian
Pernyataan
Pendaftaran
Jawaban atas
permintaan perubahan
/tambahan Informasi II
Pengumuman
Prospektus
Ringkas
โค 10 hari kerja
โค 2 hari kerja
โค 2 hari kerja
โฅ 7 hari kerja dan
โค 21 hari kerja
Prospektus
publikasi Prospektus
Ringkas
Surat Pernyataan
Efektif
Penyampaian informasi
harga + keterbukaan lain
Penyampaian bukti
Pengumuman Prospektus
Ringkas
Alur proses Penawaran Umum ini hanyalah gambaran singkat dari
keseluruhan proses Penawaran Umum. Tatacara Pendaftaran
dalam Rangka Penawaran Umum secara lengkap tetap mengacu
pada Peraturan Nomor IX.A.2.
EMITEN
BAPEPAM DAN LK
LAMPIRAN : 12
PERATURAN NOMOR IX.A.2
CONTOH ALUR PROSES PENAWARAN UMUM (SETELAH EFEKTIF)
Surat Pernyataan
Efektif
mulai masa
Penawaran Umum
โค 2 hari kerja
โฅ 1 hari kerja dan
โค 5 hari kerja
โค 5 hari kerja
masa Penawaran Umum*
akhir masa
Penawaran Umum
โค 30 hari
โค 1 hari kerja
โค 2 hari kerja
โค 2 hari kerja
Penyampaian
bukti
pengumuman
Pengumuman
perbaikan / tambahan
atas Prospektus
Ringkas
Catatan:
* untuk kondisi tertentu, masa Penawaran Umum
dapat ditunda untuk masa paling lama 3 bulan
sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran.
Listing
Penjatahan
Refund/
distribusi
Efek
Penyampaian
laporan hasil
Penawaran Umum
Penyampaian
laporan hasil
pemeriksaan
Akuntan
โค 2 hari kerja โค 1 hari kerja
Alur proses Penawaran Umum ini hanyalah gambaran singkat dari
keseluruhan proses Penawaran Umum. Tata cara Pendaftaran
dalam Rangka Penawaran Umum secara lengkap tetap mengacu
pada Peraturan Nomor IX.A.2.
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-122/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM </reg_title>
<set_date> 29 Mei 2009 </set_date>
<effective_date> 29 Mei 2009 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-25/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP- 68/BL/2007
TENTANG
PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS RINGKAS DALAM
RANGKA PENAWARAN UMUM OBLIGASI DAERAH
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa untuk menciptakan tertib administrasi dan menjamin
kepastian hukum dalam penyusunan Prospektus Ringkas
dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dipandang
perlu untuk menetapkan Peraturan Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Mengenai
Bentuk Dan Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran
Umum Obligasi Daerah;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata
Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3618);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang
Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor
136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4574);
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M
Tahun 2006;
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006
tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan
Publikasi Informasi Obligasi Daerah;
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS
RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM
OBLIGASI DAERAH.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi
Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi
Daerah diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.14 sebagaimana
dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Ketentuan Peraturan Nomor IX.C.14 sebagaimana dimuat
dalam Lampiran Keputusan ini berlaku untuk penyusunan
Prospektus ringkas yang digunakan sebagai dokumen
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Obligasi Daerah yang disampaikan kepada Bapepam dan
Lembaga Keuangan pada atau setelah tanggal ditetapkannya
keputusan ini.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 13 April 2007
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 68/BL/2007
Tanggal : 13April 2007
PERATURAN NOMOR IX.C.14: PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI
PROSPEKTUS RINGKAS DALAM
RANGKA PENAWARAN
OBLIGASI DAERAH
UMUM
1. Seluruh definisi yang tercantum dalam Peraturan Nomor IX.C.12 tentang
Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Obligasi Daerah, berlaku pula untuk peraturan ini.
2. Prospektus ringkas wajib mencakup seluruh informasi atau fakta penting dan
relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi
harga Efek pada Bursa Efek dan atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau
Pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut, yang
diketahui atau selayaknya diketahui oleh Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah,
pimpinan unit pengelolaan Obligasi Daerah/satuan kerja perangkat daerah,
Pimpinan Proyek, Bendaharawan Proyek, dan Penjamin Pelaksana Emisi Efek
(jika menggunakan Penjamin Emisi Efek).
3. Prospektus ringkas wajib memuat data dan informasi yang secara substansi
sama dengan Prospektus dan dibuat sedemikian rupa sehingga memuat
informasi yang lengkap, cukup, objektif, jelas, dan mudah dimengerti.
4. Data dan informasi dalam Prospektus ringkas wajib diungkapkan dengan
urutan sebagai berikut:
a. informasi tentang prakiraan jadwal Penawaran Umum, meliputi :
1) tanggal efektif;
2) masa penawaran;
3) tanggal penyerahan surat Obligasi Daerah;
4) tanggal penjatahan;
5) tanggal pengembalian uang pemesanan;
6) tanggal pencatatan di Bursa Efek (jika ada); dan
7) Bursa Efek dimana Obligasi Daerah tersebut akan dicatatkan (jika ada).
b. informasi berupa pernyataan dalam huruf kapital yang langsung dapat
menarik perhatian pembaca, yaitu:
1) โINFORMASI DALAM DOKUMEN INI MASIH DAPAT
DILENGKAPI DAN ATAU DIUBAH. PERNYATAAN
PENDAFTARAN OBLIGASI DAERAH INI TELAH DISAMPAIKAN
KEPADA BAPEPAM DAN LK NAMUN PERNYATAAN
PENDAFTARAN TERSEBUT BELUM EFEKTIF. OBLIGASI DAERAH
INI TIDAK DAPAT DIJUAL SEBELUM PERNYATAAN
PENDAFTARAN YANG TELAH DISAMPAIKAN KEPADA
BAPEPAM DAN LK MENJADI EFEKTIF. PEMESANAN MEMBELI
OBLIGASI DAERAH INI HANYA DAPAT DILAKSANAKAN
SETELAH CALON PEMBELI ATAU PEMESAN MENERIMA ATAU
MEMPUNYAI KESEMPATAN UNTUK MEMBACA PROSPEKTUSโ;
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 68/BL/2007
Tanggal : 13 April 2007
-2-
2) โBAPEPAM DAN LK TIDAK MEMBERIKAN PERNYATAAN
MENYETUJUI ATAU TIDAK MENYETUJUI OBLIGASI DAERAH INI,
TIDAK JUGA MENYATAKAN KEBENARAN ATAU KECUKUPAN
ISI PROSPEKTUS
INI. SETIAP PERNYATAAN
YANG
BERTENTANGAN DENGAN HAL-HAL TERSEBUT ADALAH
PERBUATAN MELANGGAR HUKUMโ; dan
3) โDAERAH DAN PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK (jika ada)
BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA ATAS KEBENARAN
SEMUA INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL SERTA KEJUJURAN
PENDAPAT YANG TERCANTUM DALAM PROSPEKTUS INIโ;
c. informasi tentang nama lengkap, alamat, lambang Daerah, nomor telepon,
nomor faksimili, alamat e-mail (jika ada), website (jika ada) dan kotak pos
(jika ada) dari Kantor Pemerintah Daerah serta Proyek yang akan dibiayai
dengan Obligasi Daerah tersebut;
d. data dan informasi tentang Penawaran Umum Obligasi daerah, meliputi :
1) jenis dari penawaran, termasuk uraian mengenai sifat, jumlah nominal
keseluruhan dan uraian singkat tentang Obligasi Daerah yang
ditawarkan;
2) jumlah lembar, penomoran (jika dalam bentuk
denominasi dari Obligasi Daerah yang akan ditawarkan;
warkat), dan
3) ikhtisar sifat Obligasi Daerah termasuk uraian tentang pelunasan lebih
dini atas pilihan Daerah atau pemegang Obligasi Daerah, atau
pembelian kembali (jika ada);
4) harga penawaran, suku bunga, tingkat diskonto atau premi untuk
Obligasi Daerah. Jika menggunakan suku bunga mengambang, maka
diuraikan lengkap tentang cara penentuan kurs mengambang;
5) tanggal atau tanggal-tanggal pembayaran utang pokok Obligasi
Daerah, dan jumlah utang pokok yang wajib dibayar pada tanggal-
tanggal tersebut;
6) tanggal-tanggal pembayaran bunga atau imbalan dengan cara lainnya;
7) ikhtisar persyaratan mengenai dana pelunasan Obligasi Daerah;
8) nama, alamat kantor Pemerintah Daerah, dan uraian mengenai pihak
yang bertindak sebagai penjamin Obligasi Daerah (jika ada) dan Wali
Amanat;
9) ikhtisar mengenai persyaratan pokok dalam perjanjian
perwaliamanatan, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan hak
keutamaan (senioritas) dari utang Obligasi Daerah secara relatif
dibandingkan dengan jenis pinjaman lainnya dari Daerah yang belum
lunas dan tambahan utang pinjaman yang dapat dibuat oleh Daerah
pada masa yang akan datang;
10) Proyek dan barang milik Daerah yang melekat dalam Proyek tersebut
yang menjadi jaminan atas Obligasi Daerah (jika ada);
11) keterangan mengenai sinking fund;
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 68/BL/2007
Tanggal : 13 April 2007
-3-
12) hasil peringkat Obligasi Daerah dari perusahaan pemeringkat Efek
(jika ada);
13) nama lengkap dari Penjamin Pelaksana Emisi Efek dan Penjamin Emisi
Efek (jika ada); dan
14) prakiraan tempat dan tanggal penerbitan Prospektus;
e. pernyataan bahwa sehubungan dengan Penawaran Umum, Daerah
melarang setiap Pihak yang terlibat dalam Penawaran Umum untuk
memberikan keterangan atau pernyataan mengenai data yang tidak
diungkapkan dalam Prospektus tanpa persetujuan tertulis dari Daerah dan
Penjamin Pelaksana Emisi Efek (jika ada), kecuali diatur lain oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. informasi berupa pernyataan singkat, dalam huruf kapital yang langsung
dapat menarik perhatian pembaca, mengenai faktor risiko kemungkinan
tidak likuidnya Obligasi Daerah yang ditawarkan dan risiko utama dari
Daerah serta Proyek yang dibiayai dengan Obligasi Daerah;
g. data dan informasi ringkas tentang penggunaan dana yang diperoleh dari
hasil Penawaran Umum;
h. data dan informasi ringkas tentang analisis dan pembahasan oleh Daerah
yang mencakup:
1) analisis kinerja keuangan berdasarkan laporan keuangan tahun
terakhir, antara lain mengenai:
a) aset;
b) kewajiban;
c) penerimaan;
d) belanja; dan
e) sisa anggaran lebih atau kurang;
2) bahasan mengenai ikatan yang material untuk investasi barang modal
dengan penjelasan tentang tujuan dari ikatan tersebut, sumber dana
yang diharapkan untuk memenuhi ikatan-ikatan tersebut, mata uang
yang menjadi denominasi, dan langkah-langkah yang ditempuh
Daerah untuk melindungi risiko dari posisi mata uang yang terkait
(jika ada); dan
3) bahasan dan analisis tentang informasi keuangan yang telah
dilaporkan yang mengandung kejadian yang sifatnya luar biasa dan
jarang terjadi (jika ada);
i. data dan informasi tentang kejadian penting setelah tanggal laporan
Akuntan;
j. data dan informasi tentang perubahan peraturan perundang-undangan
yang berpengaruh signifikan terhadap Daerah dan dampaknya terhadap
laporan keuangan (jika ada);
k. data dan informasi tentang perubahan kebijakan akuntansi, alasan dan
dampaknya terhadap laporan keuangan (jika ada);
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 68/BL/2007
Tanggal : 13 April 2007
-4-
l. data dan informasi ringkas tentang risiko Daerah dan Proyek yang disusun
sesuai dengan bobot risiko yang dihadapi;
m. data dan informasi ringkas tentang Proyek yang dibiayai dengan Obligasi
Daerah yang sekurang-kurangnya meliputi:
1) nama pimpinan dan bendaharawan Proyek;
2) keterangan umum tentang Proyek meliputi:
a) nama;
b) lokasi;
c) latar belakang;
d) tujuan;
e) manfaat;
f)
nilai;
g) perizinan dalam rangka pelaksanaan;
h) jangka waktu; dan
i) tahap-tahap pelaksanaan Proyek;
n. data dan informasi ringkas tentang studi kelayakan Proyek dan usaha
Proyek, berupa uraian mengenai hal-hal penting dalam studi kelayakan
Proyek dan usaha Proyek yang telah dilakukan oleh Penilai sekurang-
kurangnya mencakup metode, asumsi, dan pendapat atas kelayakan
Proyek;
o. data dan informasi ringkas tentang rencana operasional Proyek secara
komersial, yang sekurang-kurangnya meliputi:
1) mulai beroperasinya Proyek secara komersial;
2) unit pelaksana operasional Proyek;
3) perkiraan kapasitas dan hasil atau pendapatan dari Proyek;
4) tingkat ketergantungan pada pelanggan tertentu termasuk pelanggan
dari Pemerintah;
5) keadaan persaingan dalam sektor industri yang akan dijalankan;
6) uraian tentang aspek pemasaran yang meliputi daerah pemasaran dan
sistem pemasaran; dan
7) keterangan tentang prospek usaha dari Proyek;
p. data dan informasi ringkas tentang Daerah meliputi :
1) pengurusan Daerah berupa nama Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah;
2) sarana dan atau prasarana yang dimiliki;
3) sumber daya alam; dan
4) nama perusahaan-perusahaan yang dimiliki Daerah dan jumlah atau
persentase kepemilikannya;
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 68/BL/2007
Tanggal : 13 April 2007
-5-
q. data dan informasi tentang ikhtisar data keuangan penting, yang sekurang-
kurangnya meliputi:
1) pernyataan bahwa laporan keuangan merupakan sumber data;
2) pernyataan bahwa laporan keuangan telah diaudit dan memperoleh
opini dari Akuntan beserta penjelasan tentang jangka waktu laporan
keuangan yang dicakup;
3) rasio keuangan yang relevan dengan Daerah; dan
4) data keuangan penting sekurang-kurangnya dari laporan keuangan
satu tahun terakhir;
Data yang disajikan wajib konsisten dengan laporan keuangan
termasuk nama pos yang digunakan.
r. data dan informasi tentang aspek perpajakan berupa uraian tentang pajak
yang berlaku baik bagi pemodal, Proyek maupun Daerah dan fasilitas
khusus perpajakan yang diperoleh;
s. informasi tentang nama lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal;
t. data dan informasi tentang penjaminan emisi Efek berupa ringkasan
tentang ketentuan penting dari perjanjian penjaminan emisi termasuk
nama Penjamin Pelaksana Emisi Efek dan Penjamin Emisi Efek, jenis
penjaminan dan besarnya persentase penjaminan. Dalam hal Penjamin
Emisi Efek terdapat hubungan Afiliasi dengan Daerah agar diungkapkan;
u. informasi tentang persyaratan pemesanan pembelian Obligasi Daerah yang
sekuang-kurangnya meliputi:
1) pengajuan pemesanan pembelian Obligasi Daerah;
2) kriteria pesanan Obligasi Daerah yang dapat diterima;
3) jumlah Obligasi Daerah yang dapat dipesan;
4) penyerahan formulir pemesanan Obligasi Daerah;
5) persyaratan pembayaran Obligasi Daerah;
6) bentuk tanda terima pesanan Obligasi Daerah;
7) metode penjatahan Obligasi Daerah;
8) pembatalan pesanan Obligasi Daerah;
9) pengembalian uang pesanan Obligasi Daerah; dan
10) penyerahan surat kolektif Obligasi Daerah; dan
v. informasi tentang penyebarluasan Prospektus dan formulir pemesanan
pembelian Obligasi Daerah yang meliputi penjelasan tentang nama,
alamat, dan nomor telepon Penjamin Emisi Efek dan agen penjual Efek
dimana Prospektus dan formulir pesanan pembelian Obligasi Daerah
dapat diperoleh.
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 68/BL/2007
Tanggal : 13 April 2007
-6-
5. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar
Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak
yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 13 April 2007
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP. 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-68/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OBLIGASI DAERAH </reg_title>
<set_date> 13 April 2007 </set_date>
<effective_date> 13 April 2007 </effective_date>
<related_reg> '147/PMK.07/2006|PER-MENKEU/2006', '45/PP/1995', '33/UU/2004', '45/M|KEPPRES/2006', '54/PP/2005', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995', '32/UU/2004' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-367/BL/2012
TENTANG
NILAI PASAR WAJAR DARI EFEK DALAM PORTOFOLIO REKSA DANA
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka memberikan landasan hukum bagi Manajer
Investasi untuk menggunakan harga pasar wajar yang ditetapkan
oleh Lembaga Penilaian Harga Efek (LPHE) sebagai acuan
penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa
Dana, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan
Nomor IV.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor: Kep-402/BL/2008 tanggal 9 Oktober 2008 tentang Nilai
Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa Dana, dengan
menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata
Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun
2011.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG NILAI PASAR
WAJAR DARI EFEK DALAM PORTOFOLIO REKSA DANA.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam
Portofolio Reksa Dana diatur dalam Peraturan Nomor IV.C.2
sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 2
Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana wajib
menghitung Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa
Dana sesuai dengan Peraturan Nomor IV.C.2 Lampiran
Keputusan ini sejak tanggal 1 Januari 2013.
Pasal 3
Sejak ditetapkannya Keputusan ini sampai dengan tanggal
31 Desember 2012, penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek
dalam portofolio Reksa Dana dilakukan sesuai Peraturan Nomor
IV.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor:
Kep-402/BL/2008 tanggal 9 Oktober 2008 tentang Nilai Pasar
Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa Dana.
Pasal 4
Peraturan Nomor IV.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam
dan LK Nomor: Kep-402/BL/2008 tanggal 9 Oktober 2008
tentang Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa
Dana, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1
Januari 2013.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku sejak ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 9 Juli 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 367/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
PERATURAN NOMOR IV.C.2 : NILAI PASAR WAJAR DARI EFEK DALAM
PORTOFOLIO REKSA DANA
1. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan:
a. Efek Bersifat Utang adalah Efek yang menunjukkan hubungan utang
piutang antara kreditor (pemegang Efek) dengan Pihak yang menerbitkan
Efek.
b. Nilai Pasar Wajar (fair market value) dari Efek adalah nilai yang dapat
diperoleh dari transaksi Efek yang dilakukan antar para Pihak yang bebas
bukan karena paksaan atau likuidasi.
c. Lembaga Penilaian Harga Efek (LPHE) adalah Pihak yang telah memperoleh
izin usaha dari Bapepam dan LK untuk melakukan penilaian harga Efek
dalam rangka menetapkan harga pasar wajar, sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Nomor V.C.3 tentang Lembaga Penilaian Harga Efek.
2. Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana wajib dihitung dan
disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Bank Kustodian paling lambat
pukul 17.00 WIB setiap hari bursa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek yang aktif diperdagangkan di
Bursa Efek menggunakan informasi harga perdagangan terakhir atas Efek
tersebut di Bursa Efek;
b. Penghitungan Nilai Pasar Wajar dari:
1) Efek yang diperdagangkan di luar Bursa Efek (over the counter);
2) Efek yang tidak aktif diperdagangkan di Bursa Efek;
3) Efek yang diperdagangkan dalam denominasi mata uang asing;
4) Instrumen pasar uang dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Nomor IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
5) Efek lain yang transaksinya wajib dilaporkan kepada Penerima Laporan
Transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor X.M.3
tentang Penerima Laporan Transaksi Efek;
6) Efek lain yang berdasarkan Keputusan Bapepam dan LK dapat menjadi
Portofolio Efek Reksa Dana; dan/atau
7) Efek dari perusahaan yang dinyatakan pailit atau kemungkinan besar
akan pailit, atau gagal membayar pokok utang atau bunga dari Efek
tersebut,
menggunakan harga pasar wajar yang ditetapkan oleh LPHE sebagai harga
acuan bagi Manajer Investasi.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 367/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
c. Dalam hal harga perdagangan terakhir Efek di Bursa Efek tidak
mencerminkan Nilai Pasar Wajar pada saat itu, penghitungan Nilai Pasar
Wajar dari Efek tersebut menggunakan harga pasar wajar yang ditetapkan
oleh LPHE sebagai harga acuan bagi Manajer Investasi.
d. Dalam hal LPHE tidak mengeluarkan harga pasar wajar terhadap Efek
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf b butir 1) sampai dengan butir
6), dan angka 2 huruf c Peraturan ini, Manajer Investasi wajib menentukan
Nilai Pasar Wajar dari Efek dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
berdasarkan metode yang menggunakan asas konservatif dan diterapkan
secara konsisten, dengan mempertimbangkan antara lain:
1) harga perdagangan sebelumnya;
2) harga perbandingan Efek sejenis; dan/atau
3) kondisi fundamental dari penerbit Efek.
e. Dalam hal LPHE tidak mengeluarkan harga pasar wajar terhadap Efek dari
perusahaan yang dinyatakan pailit atau kemungkinan besar akan pailit, atau
gagal membayar pokok utang atau bunga dari Efek tersebut, sebagaimana
dimaksud pada angka 2 huruf b butir 7), Manajer Investasi wajib
menghitung Nilai Pasar Wajar dari Efek dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab berdasarkan metode yang menggunakan asas konservatif
dan diterapkan secara konsisten dengan mempertimbangkan:
1) harga perdagangan terakhir Efek tersebut;
2) kecenderungan harga Efek tersebut;
3) tingkat bunga umum sejak perdagangan terakhir (jika berupa Efek
Bersifat Utang);
4) informasi material yang diumumkan mengenai Efek tersebut sejak
perdagangan terakhir;
5) perkiraan rasio pendapatan harga (price earning ratio), dibandingkan
dengan rasio pendapatan harga untuk Efek sejenis (jika berupa saham);
6) tingkat bunga pasar dari Efek sejenis pada saat tahun berjalan dengan
peringkat kredit sejenis (jika berupa Efek Bersifat Utang); dan
7) harga pasar terakhir dari Efek yang mendasari (jika berupa derivatif atas
Efek).
f. Dalam hal Manajer Investasi menganggap bahwa harga pasar wajar yang
ditetapkan LPHE tidak mencerminkan Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam
portofolio Reksa Dana yang wajib dibubarkan karena:
1) diperintahkan oleh Bapepam dan LK sesuai peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal; dan/atau
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 367/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
2) total Nilai Aktiva Bersih kurang dari Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah) selama 90 (sembilan puluh) hari bursa secara berturut-
turut,
Manajer Investasi dapat menghitung sendiri Nilai Pasar Wajar dari Efek
tersebut dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan metode
yang menggunakan asas konservatif dan diterapkan secara konsisten.
g. Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana yang
diperdagangkan dalam denominasi mata uang yang berbeda dengan
denominasi mata uang Reksa Dana tersebut, wajib dihitung dengan
menggunakan kurs tengah Bank Indonesia.
3. LPHE wajib:
a. menentukan standar deviasi atas harga pasar wajar atas Efek yang
ditetapkannya; dan
b. mempunyai prosedur operasi standar atau mekanisme untuk memperbaiki
harga pasar wajar atas Efek dimaksud, apabila terjadi kesalahan penilaian
(error pricing).
4. LPHE wajib menyediakan:
a. akses digital secara daring (online) kepada Manajer Investasi yang mengelola
Reksa Dana untuk mengetahui harga pasar wajar dari Efek dalam portofolio
Reksa Dana dimaksud; dan
b. harga pasar wajar atas Efek, sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf b,
yang terdapat dalam portofolio Reksa Dana yang dikelola oleh masing-
masing Manajer Investasi untuk hari yang bersangkutan dan satu hari
sebelumnya,
secara harian dan tanpa memungut biaya.
5. Dalam rangka penghitungan harga pasar wajar dari Efek dalam portofolio
Reksa Dana, LPHE dapat meminta informasi kepada Manajer Investasi atas Efek
yang menjadi Portofolio Efek Reksa Dana yang dikelola oleh Manajer Investasi
tersebut.
6. Dengan memperhatikan ketentuan Peraturan Nomor V.C.3 tentang Lembaga
Penilaian Harga Efek, LPHE dapat memungut biaya atas akses harga pasar
wajar dari Efek, jika Manajer Investasi:
a. mengakses harga pasar wajar atas Efek sebagaimana dimaksud pada angka 2
huruf b, selain pada waktu sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf b di
atas;
b. mengakses harga pasar wajar atas Efek sebagaimana dimaksud pada angka 2
huruf b di atas dalam bentuk olahan, atau bentuk tertentu untuk memenuhi
kebutuhan khusus Manajer Investasi; dan/atau
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 367/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
c. mengakses harga pasar wajar atas Efek selain sebagaimana dimaksud pada
angka 2 huruf b.
7. LPHE wajib menyediakan harga pasar wajar Efek sebagaimana dimaksud pada
angka 2 huruf b di atas kepada Manajer Investasi pengelola Reksa Dana
sebelum pukul 17.00 WIB setiap hari bursa.
8. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf d
dan huruf e di atas, Manajer Investasi wajib sekurang-kurangnya:
a. memiliki prosedur operasi standar;
b. menggunakan dasar penghitungan yang dapat dipertanggungjawabkan
berdasarkan metode yang menggunakan asas konservatif dan diterapkan
secara konsisten;
c. membuat catatan dan/atau kertas kerja tentang tata cara penghitungan Nilai
Pasar Wajar dari Efek yang mencakup antara lain faktor atau fakta yang
menjadi pertimbangan; dan
d. menyimpan catatan tersebut di atas paling kurang 5 (lima) tahun.
9. Penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana, wajib menggunakan Nilai Pasar
Wajar dari Efek yang ditentukan oleh Manajer Investasi.
10. Dalam penghitungan Nilai Pasar Wajar Surat Berharga Negara yang menjadi
Portofolio Efek Reksa Dana Terproteksi, Manajer Investasi dapat menggunakan
metode harga perolehan yang diamortisasi, sepanjang Surat Berharga Negara
dimaksud untuk dimiliki dan tidak akan dialihkan sampai dengan tanggal jatuh
tempo (hold to maturity).
11. Bagi Reksa Dana Terproteksi yang portofolionya terdiri dari Surat Berharga
Negara yang dimiliki dan tidak akan dialihkan sampai dengan tanggal jatuh
tempo, dan penghitungan Nilai Pasar Wajar-nya menggunakan metode harga
perolehan yang diamortisasi, maka pembelian kembali atas Unit Penyertaan
hanya dapat dilakukan pada tanggal pelunasan sesuai dengan Kontrak Investasi
Kolektif dan Prospektus.
12. Nilai Aktiva Bersih per saham atau Unit Penyertaan dihitung berdasarkan Nilai
Aktiva Bersih pada akhir hari bursa yang bersangkutan, setelah penyelesaian
pembukuan Reksa Dana dilaksanakan, tetapi tanpa memperhitungkan
peningkatan atau penurunan kekayaan Reksa Dana karena permohonan
pembelian dan/atau pelunasan yang diterima oleh Bank Kustodian pada hari
yang sama.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 367/BL/2012
Tanggal : 9 Juli 2012
13. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam
dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan
peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Juli 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-367/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> NILAI PASAR WAJAR DARI EFEK DALAM PORTOFOLIO REKSA DANA </reg_title>
<set_date> 9 Juli 2012 </set_date>
<effective_date> 9 Juli 2012 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-402/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor IV.C.2' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP- 423 /BL/2007
TENTANG
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM
OLEH DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK
KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka mendorong investasi di bidang real estat
melalui Pasar Modal dan memberikan landasan hukum
Pernyataan Pendaftaran dalam Penawaran Umum Efek
berbasis real estat, dipandang perlu untuk menetapkan
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Oleh Dana Investasi Real Estat Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata
Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M
Tahun 2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA
PENAWARAN UMUM OLEH DANA INVESTASI REAL
ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Oleh Dana Investasi Real Estat Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif, diatur dalam Peraturan Nomor
IX.C.15 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 18 Desember 2007
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 423/BL/2007
Tanggal : 18 Desember 2007
PERATURAN NOMOR IX.C.15 : PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM
RANGKA PENAWARAN UMUM OLEH
DANA INVESTASI REAL ESTAT
BERBENTUK KONTRAK INVESTASI
KOLEKTIF
1. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Dana Investasi Real
Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diajukan oleh Manajer Investasi
dengan cara sebagai berikut:
a. menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dengan mengisi Formulir Nomor
IX.C.15-1 lampiran 1 peraturan ini;
b. Pernyataan Pendaftaran diajukan dalam rangkap 2 (dua);
c. paling kurang satu dokumen Pernyataan Pendaftaran dan dokumen lainnya
harus ditandatangani secara langsung oleh Pihak yang namanya disebut
dalam Pernyataan Pendaftaran dan dibubuhi meterai yang cukup;
d. pernyataan bahwa semua Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal
yang disebut dalam Pernyataan Pendaftaran bertanggung jawab sepenuhnya
atas data yang disajikan relevan dengan fungsi mereka, sesuai dengan
peraturan yang berlaku, kode etik, norma, dan standar profesi masing-
masing;
e. menyertakan dokumen antara lain sebagai berikut:
1) Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif disertai dengan format digitalnya;
2) perjanjian pengelolaan Real Estat;
3) dokumen penilaian Real Estat;
4) perjanjian Agen Penjual Unit penyertaan (jika ada);
5) perjanjian pendahuluan antara Manajer Investasi dengan Bursa Efek jika
Unit Penyertaan dicatatkan di Bursa Efek;
6) perjanjian penyimpanan Unit Penyertaan dalam penitipan kolektif
antara Manajer Investasi dengan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian jika Unit Penyertaan dicatatkan di Bursa Efek;
7) pendapat hukum dan laporan Uji Tuntas dari segi hukum;
8) Prospektus (diberi meterai dan ditandantangani para pihak disertai
dengan format digitalnya);
9) salinan perjanjian sewa menyewa yang terkait dengan Real Estat;
10) salinan perjanjian jual beli Real Estat;
11) foto copy Sertifikat Hak Guna Bangunan dan Sertifikat Hak atas tanah
dan atau bangunan lainnya; dan
12) Dalam hal Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif menggunakan Special Purpose Company, wajib menyertakan
pula:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 423/BL/2007
Tanggal : 18 Desember 2007
- 2 -
a) akta pendirian dan perubahan anggaran dasar Special Purpose
Company;
b) ijin usaha dari pihak yang berwenang; dan
c) daftar Pihak yang terafiliasi dengan Special Purpose Company.
f. menyampaikan rencana pemasaran dan operasional Dana Investasi Real
Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
2. Dalam hal Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf
a peraturan ini, tidak memenuhi syarat atau memenuhi syarat, Bapepam dan LK
memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa:
a. Pernyataan Pendaftaran tidak lengkap dengan menggunakan Formulir
Nomor IX.C.15-2 lampiran 2 peraturan ini.
b. Pernyataan Pendaftaran yang dinyatakan efektif oleh Bapepam dan LK,
menggunakan Formulir Nomor IX.C.15-3 lampiran 3 peraturan ini.
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam
dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar
ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 18 Desember 2007
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: IX.C.15-1
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
:
Pernyataan Pendaftaran
Dalam Rangka Penawaran
Umum Oleh Dana Investasi
Real Estat Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif ....................
(nama Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif)
KEPADA
Yth. Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
Di Jakarta
: 1
Peraturan Nomor : IX.C.15
Jakarta,............. 20...
Bersama ini kami mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum sejumlah ................. Unit Penyertaan dengan nilai per Unit
Penyertaan Rpโฆโฆโฆโฆ
I. Manajer Investasi
Nama
1. Alamat
2. Nomor dan tanggal akta
pendirian berikut perubahan
anggaran dasar
3. Nomor dan tanggal persetujuan
atau pemberitahuan Menteri
Hukum dan HAM
4. Nomor dan tanggal
pengumuman dalam Berita
Negara Indonesia
5. Nomor dan tanggal izin usaha
dari Bapepam dan LK
6. Nomor Pokok Wajib Pajak
perusahaan
7. Anggota direksi dan dewan
komisaris
No.
a.
b.
c.
d.
e.
II. Bank Kustodian
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor dan tanggal akta
:
:
:
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
Nama
:
:
:
:
:
:
:
:
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
Kewarganegaraan
Alamat
pendirian berikut perubahan
anggaran dasar
4. Nomor dan tanggal persetujuan
atau pemberitahuan Menteri
Hukum dan HAM
5. Nomor dan tanggal
pengumuman dalam Berita
Negara Indonesia
6. Nomor dan tanggal izin usaha
Dari Bapepam dan LK
7. Nomor Pokok Wajib Pajak
Perusahaan
8. Anggota Direksi dan Dewan
Komisaris
No.
a.
b.
c.
d.
e.
III. Akuntan
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor Pokok Wajib Pajak
4. Nomor pendaftaran di
Bapepam dan LK
IV. Konsultan Hukum
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor Pokok Wajib Pajak
4. Nomor pendaftaran di
Bapepam dan LK
V. Penilai
1. Nama
2. Alamat
3. Nomor Pokok Wajib Pajak
4. Nomor pendaftaran di
Bapepam dan LK
:
:
:
:
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
Nama
:
:
:
:
:
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
Kewarganegaraan
Alamat
:
:
:
:
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
:
:
:
:
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
...........................................................................
VI. Jumlah halaman Pernyataan Pendaftaran ini adalah ____ halaman.
VII. Daftar dokumen yang dilampirkan:
1. Prospektus (diberi meterai dan ditandatangani para Pihak);
2. Spesimen Unit Penyertaan (jika ada);
3. Contoh formulir pemesanan pembelian Unit Penyertaan;
4. Foto copy Kontrak Pencetakan Unit Penyertaan (jika ada);
5. Salinan perjanjian yang telah ditandatangani para Pihak:
a. Kontrak Investasi Kolektif;
b. Perjanjian pengelolaan Real Estat;
c. Perjanjian agen penjual Unit Penyertaan (jika ada);
d. perjanjian pendahuluan dengan Bursa Efek (jika ada);
e. perjanjian Penitipan Kolektif dengan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian (jika ada);
f. Perjanjian hak sewa menyewa;
g. Perjanjian jual beli Real Estat;
h. Perjanjian-perjanjian lainnya (jika ada);
6. Foto copy Sertifikat Hak Guna Bangunan dan Sertifikat Hak atas tanah dan
atau bangunan lainnya;
7. Dalam hal Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
menggunakan Special Purpose Company, wajib melampirkan pula:
a. akta pendirian dan perubahan anggaran dasar Special Purpose Company;
b. ijin usaha dari pihak yang berwenang; dan
c. daftar Pihak yang terafiliasi dengan Special Purpose Company;
8. Rencana pemasaran dan operasional Dana Investasi Real Estat berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif;
9. Laporan uji tuntas hukum (legal audit) dan pendapat hukum (legal opinion)
berdasarkan dokumen-dokumen yang relevan;
10. Dokumen tentang Manajer Investasi:
a. foto copy akta pendirian perseroan yang telah disahkan Menteri Hukum
dan HAM;
b. laporan Keuangan sebagai Manajer Investasi;
c. struktur Organisasi;
d. foto copy izin usaha sebagai Manajer Investasi;
e. pengalaman sebagai Manajer Investasi;
f. foto copy izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi;
g. foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor dari masing-masing
anggota direksi Manajer Investasi; dan
h. riwayat hidup masing-masing anggota direksi;
11. Dokumen Bank Kustodian:
a. Foto copy Akta pendirian perseroan yang telah disahkan oleh Menteri
Hukum dan HAM;
b. Laporan keuangan;
c. Foto copy persetujuan dari Bapepam dan LK;
d. Pengalaman sebagai Bank Kustodian;
e. Penanggung jawab Bank Kustodian; dan
f. Struktur organisasi bagian Kustodian;
12. Foto copy Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal:
a. Notaris;
b. Konsultan Hukum;
c. Akuntan;
d. Penilai; dan
e. Profesi lain (jika ada).
13. Batas jumlah Unit Penyertaan yang akan diterbitkan;
14. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 formulir
ini (Daftar Pertanyaan) dan lampiran 2 formulir ini yang terdiri dari daftar
Afiliasi direksi dan setiap Pihak yang melakukan pengendalian atas
perusahaan (Daftar A) serta lampiran 3 formulir ini yang memuat penjelasan
atas jawaban โyaโ (Daftar B).
PERNYATAAN ATAU KETERANGAN YANG DIMUAT DALAM PERNYATAAN
PENDAFTARAN ADALAH BENAR DAN TIDAK ADA FAKTA MATERIAL YANG
TIDAK DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN YANG DIPERLUKAN
AGAR PERNYATAAN PENDAFTARAN TIDAK MENYESATKAN.
MANAJER INVESTASI,
Materai
............................................
Nama lengkap
LAMPIRAN
: 1
Formulir Nomor: IX.C.15-1
DAFTAR PERTANYAAN
I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN:
1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh setiap anggota direksi dan Pihak yang
melakukan pengendalian atas perusahaan.
2. Berilah tanda โ dalam kotak di depan kata โyaโ, jika jawaban Saudara โYaโ,
atau berilah tanda โ dalam kotak di depan kata โTidakโ jika jawaban atas
pertanyaan berikut adalah โtidakโ.
Untuk setiap jawaban "ya" setiap anggota direksi Manajer Investasi dan
Pihak yang melakukan pengendalian atas perusahaan (Manajer Investasi)
wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas dalam Daftar B lampiran 3
Formulir Nomor IX.C.15-1 antara lain memuat:
a. perusahaan dan pihak-pihak yang terkait;
b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan;
c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan;
d. tindakan dan sanksi yang dikenakan.
II. INTEGRITAS SETIAP ANGGOTA DIREKSI PERUSAHAAN EFEK YANG
BERTINDAK SEBAGAI MANAJER INVESTASI DAN SETIAP PIHAK
YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN ATAS PERUSAHAAN.
Definisi:
Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha
perumahan/real estate, termasuk kegiatan baik langsung atau tidak langsung
berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, dan perusahaan
lain yang bergerak di bidang keuangan
Jawablah pertanyaan dibawah ini:
1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Saudara pernah
dihukum atau mengaku bersalah atau tidak membantah atas tuduhan:
a. Tindak pidana atau kejahatan melibatkan investasi atau usaha
berhubungan dengan investasi, penipuan, pernyataan palsu atau
penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan?
๎ ya
๎ tidak
b. Atau kejahatan lain?
๎ ya
๎ tidak
2. Apakah pengadilan :
a. Pernah memutuskan Saudara bangkrut?
๎ ya
๎ tidak
b. Dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir ini melarang Saudara dalam kegiatan
yang berhubungan dengan investasi?
๎ ya
๎ tidak
c. Pernah memutuskan bahwa Saudara menyebabkan suatu usaha yang
berhubungan dengan
menjalankan usahanya ditolak, dibekukan, dicabut atau dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
3. Apakah Bapepam dan LK pernah:
a. Menemukan Saudara membuat pernyataan palsu atau
kelalaian?
๎ ya
๎ tidak
b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-
undangan yang berlaku?
๎ ya
๎ tidak
c. Menemukan Saudara menyebabkan ditolaknya, dibekukannya,
dicabutnya atau dibatasinya izin usaha Saudara atau izin menjalankan
usaha Saudara yang berhubungan dengan Investasi?
๎ ya
๎ tidak
d. Menolak, menghentikan untuk sementara atau mencabut izin usaha
Saudara, memberi sanksi dengan membatasi kegiatan Saudara?
๎ ya
๎ tidak
4. Apakah lembaga/instansi lain yang berwenang di Indonesia atau negara
lain pernah:
a. Mendapatkan Saudara membuat pernyataan palsu atau tidak
menyatakan fakta yang benar atau tidak jujur, tidak adil atau tidak etis?
๎ ya
๎ tidak
b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan Investasi,
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku?
๎ ya
๎ tidak
5. Apakah suatu Bursa Efek pernah:
a. Menemukan Saudara membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan
fakta yang sebenarnya.
๎ ya
๎ tidak
b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-
undangan yang berlaku?
๎ ya
๎ tidak
c. Menemukan Saudara menyebabkan Izin Usaha atau persetujuan untuk
menjalankan usaha suatu Reksa Dana yang berhubungan dengan
Investasi yang menyebabkan dibekukan, dicabut atau dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
d. Mengambil tindakan disipliner terhadap Saudara dengan mengeluarkan
atau membekukan
dari keanggotaan, dengan mencegah atau
membekukan hubungannya dengan anggota lain, atau dengan
membatasi kegiatannya?
๎ ya
๎ tidak
6. Apakah pengadilan dari negara lain, badan peraturan, atau Bursa Efek
memerintahkan diambilnya tindakan terhadap Saudara sehubungan dengan
investasi atau penipuan?
๎ ya
๎ tidak
melakukan
investasi, izin usahanya atau izin untuk
7. Apakah Saudara sedang menghadapi perkara dalam sidang pengadilan?
๎ ya
๎ tidak
8. Apakah suatu perusahaan asuransi pernah menolak membayar kepada atau
mencabut pertanggungan Saudara?
๎ ya
๎ tidak
9. Apakah Saudara mempunyai kewajiban atas dasar keputusan pengadilan
atau perikatan lain yang dibuatnya dengan pihak lain yang tidak dapat
dilaksanakan?
๎ ya
๎ tidak
10. Apakah Saudara pernah menjadi direktur dan atau komisaris Perusahaan
Efek, Penasihat Investasi Perorangan atau Pihak yang melakukan
pengendalian atas Perusahaan Efek yang dinyatakan bangkrut?
๎ ya
๎ tidak
.............................., ..............
Yang membuat pernyataan
..........................................
(nama lengkap)
LAMPIRAN
: 2
Formulir Nomor: IX.C.15-1
DAFTAR A
AFILIASI DIREKSI PERUSAHAAN EFEK YANG BERTINDAK SEBAGAI
MANAJER INVESTASI
Daftar ini memuat keterangan tentang Afiliasi dari semua anggota direksi Perusahaan
Efek Yang Bertindak Sebagai Manajer Investasi dengan:
1. Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif itu sendiri selain
sebagai anggota direksi Perusahaan Efek Yang Bertindak Sebagai Manajer
Investasi;
2. Perusahaan Efek Yang Bertindak Sebagai Manajer Investasinya;
3. Bank Kustodian;
4. Akuntan atau Konsultan Hukum yang akan atau memberikan jasa profesional
kepada Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan atau
Afiliasi dari profesi dimaksud;
5. Perusahaan Efek lain;
6. Orang perseorangan yang mempunyai hubungan usaha penting dan relevan atau
hubungan profesi dengan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif dimaksud, Manajer Investasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif dimaksud atau dengan Dana Investasi Real Estat berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif lain.
Beri tanda โ apabila ada Afiliasi
Nama Lengkap Direktur/Pihak
yang melakukan pengendalian
Afilisasi sebagaimana dijelaskan di atas dengan
angka
1
2
3
4
5
6
LAMPIRAN
: 3
Formulir Nomor: IX.C.15-1
DAFTAR B
PENJELASAN ATAS JAWABAN โYAโ
Daftar pertanyaan nomor 1 sampai dengan 10.
Diisi dengan penjelasan rinci terhadap jawaban โYaโ atas pertanyaan nomor 1 sampai
dengan nomor 10.
No
Nomor Pertanyaan/Daftar
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Penjelasan
.............................., ..............
Yang membuat pernyataan
Materai
..........................................
(nama lengkap)
LAMPIRAN
FORMULIR NOMOR: IX.C.15-2
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
S-
/BL/20
: Perubahan dan atau Tambahan
Informasi Pernyataan Pendaftaran
Dalam Rangka Penawaran Umum
Oleh Dana Investasi Real Estat
Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif ...............................................
: 2
Peraturan Nomor : IX.C.15
Jakarta,. ............ 20....
KEPADA
Yth.................................
di
...........................
Menunjuk surat Saudara Nomor : ................. tanggal ....................................
perihal .............................., dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan
penelaahan atas Pernyataan Pendaftaran Dana Investasi Real Estat Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif.........................................., maka Saudara diminta untuk
menyampaikan perubahan dan atau tambahan informasi yang bersangkutan
kepada Bapepam dan LK sebagai berikut :
1. Perubahan yang perlu dilaksanakan adalah :
a. .........................................................................................................................................
b. .........................................................................................................................................
2. Tambahan informasi yang wajib disampaikan adalah :
a. .........................................................................................................................................
b. .........................................................................................................................................
Sebelum hal-hal di atas dipenuhi, Pernyataan Pendaftaran Saudara belum
dapat dinyatakan menjadi efektif.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ketua,
............................................
NIP. ..................................
Tembusan Yth :
Kepala Biro Pengelolaan Investasi.
LAMPIRAN
: 3
Peraturan Nomor : IX.C.15
FORMULIR NOMOR: IX.C.15-3
Nomor
:
Lampiran :
Perihal
S-
/BL/20
: Pemberitahuan Efektifnya
Pernyataan Pendaftaran
Jakarta,. ............ 20...
KEPADA
Yth. .................................
di
.......................
Sehubungan dengan Pernyataan Pendaftaran Saudara Nomor ......................,
tanggal ................... serta revisi kelengkapan dokumen yang telah disampaikan
dengan surat Nomor ..................., tanggal ......................, dan setelah dilakukan
penelaahan lebih lanjut, kami tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak
mempunyai tanggapan lebih lanjut dan Pernyataan Pendaftaran tersebut menjadi
efektif.
Pernyataan efektif ini bukan merupakan persetujuan Bapepam dan LK atas
kecukupan atau kebenaran keterangan yang tercantum dalam Pernyataan
Pendaftaran atau dokumen lampirannya atau menyetujui, mengesahkan, atau
meneliti keunggulan investasi pada Efek yang diajukan dalam Pernyataan
Pendaftaran tersebut di atas
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ketua,
............................................
NIP. ..................................
Tembusan Yth :
Kepala Biro Pengelolaan Investasi.
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-423/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 </reg_id>
<reg_title> PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OLEH DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF </reg_title>
<set_date> 18 Desember 2007 </set_date>
<effective_date> 18 Desember 2007 </effective_date>
<related_reg> '12/PP/2004', '8/UU/1995', '45/PP/1995', '46/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP- 179/BL/2008
TENTANG
POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG
MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN
PERUSAHAAN PUBLIK
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas, diperlukan penyesuaian
terhadap ketentuan yang mengatur tentang pokok-pokok
anggaran dasar Perseroan yang melakukan Penawaran Umum
Efek bersifat ekuitas dan Perusahaan Publik;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menyempurnakan Peraturan Nomor
IX.J.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-
13/PM/1997 tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan
yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas dan
Perusahaan Publik dengan menetapkan Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang
baru;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4756);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun
1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG POKOK-POKOK
ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN
PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN
PERUSAHAAN PUBLIK.
Pasal 1
Ketentuan mengenai pokok-pokok anggaran dasar Perseroan
yang melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dan
Perusahaan Publik diatur dalam Peraturan Nomor IX.J.1
sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
(1) Perseroan yang melakukan Penawaran Umum Efek bersifat
ekuitas dan Perusahaan Publik sebelum ditetapkannya
Keputusan ini, wajib mengubah anggaran dasarnya sesuai
dengan Peraturan Nomor IX.J.1 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini paling lambat tanggal 30 Agustus
2009.
(2) Perseroan yang telah mengajukan Pernyataan Pendaftaran
kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan, namun pada saat ditetapkannya Keputusan ini
Pernyataan Pendaftaran tersebut belum menjadi efektif,
wajib menyesuaikan anggaran dasarnya sesuai dengan
Peraturan Nomor IX.J.1 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini paling lambat pada Rapat Umum
Pemegang Saham pertama yang dilaksanakan setelah
Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif.
Pasal 3
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua
Bapepam Nomor Kep-13/PM/1997 tanggal 30 April 1997 tentang
Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan yang Melakukan
Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-3-
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 14 Mei 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 179/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
PERATURAN NOMOR IX.J.1 : POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR
PERSEROAN YANG MELAKUKAN
PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT
EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK
1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Efek Bersifat Ekuitas adalah:
1) Saham;
2) Efek yang dapat ditukar dengan saham; atau
3) Efek yang mengandung hak untuk memperoleh saham;
dari Perseroan selaku penerbit.
b. HMETD adalah Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
c. Perseroan adalah Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam UUPT
yang melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan
Publik.
d. RUPS adalah Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan yang dapat berupa
Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan atau Rapat Umum Pemegang
Saham lainnya.
e. UUPT adalah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
2. Nama dan Tempat Kedudukan Perseroan
a. Pada akhir nama Perseroan wajib ditambahkan kata โTbkโ yang berarti
terbuka.
b. Tempat kedudukan Perseroan adalah Kecamatan atau kota di Indonesia
dimana Perseroan berkantor pusat, dengan ketentuan apabila tempat
kedudukan tersebut terletak di Kecamatan harus disebutkan juga Daerah
Tingkat II dari Kecamatan tersebut.
3. Jangka Waktu Berdirinya Perseroan
Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas.
4. Maksud dan Tujuan serta Kegiatan Usaha Perseroan
a. Maksud dan tujuan Perseroan merupakan usaha pokok Perseroan;
b. Kegiatan Usaha Perseroan merupakan aktivitas bisnis yang dilaksanakan
oleh Perseroan sesuai dengan izin kegiatan usaha yang dimiliki yang
diperoleh dari instansi yang berwenang;
c. Kegiatan usaha utama yang dilakukan untuk merealisasikan usaha pokok
wajib diuraikan secara rinci dan jelas dalam anggaran dasar.
d. Kegiatan usaha penunjang yang mendukung kegiatan usaha utama wajib
diuraikan secara rinci dan jelas dalam anggaran dasar.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 179/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
-2-
5. Permodalan
a. Modal disetor harus sama dengan modal ditempatkan.
b. Bentuk penyetoran harus dijelaskan dalam pasal yang mengatur mengenai
permodalan.
c. Penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang baik berupa benda
berwujud maupun tidak berwujud wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1) benda yang akan dijadikan setoran modal dimaksud wajib diumumkan
kepada publik pada saat pemanggilan RUPS mengenai penyetoran
tersebut;
2) benda yang dijadikan sebagai setoran modal wajib dinilai oleh Penilai
yang terdaftar di Bapepam dan LK dan tidak dijaminkan dengan cara
apapun juga;
3) memperoleh persetujuan RUPS dengan kuorum sebagaimana diatur
dalam angka 15 huruf c butir 1) peraturan ini;
4) dalam hal benda yang dijadikan sebagai setoran modal dilakukan dalam
bentuk saham Perseroan yang tercatat di Bursa Efek, maka harganya
harus ditetapkan berdasarkan nilai pasar wajar; dan
5) dalam hal penyetoran tersebut berasal dari laba ditahan, agio saham,
laba bersih Perseroan, dan/atau unsur modal sendiri, maka laba ditahan,
agio saham, laba bersih Perseroan, dan/atau unsur modal sendiri
lainnya tersebut sudah dimuat dalam Laporan Keuangan Tahunan
terakhir yang telah diperiksa oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam
dan LK dengan pendapat wajar tanpa pengecualian.
d. Dalam RUPS yang memutuskan untuk menyetujui Penawaran Umum, harus
diputuskan mengenai jumlah maksimal saham yang akan dikeluarkan
kepada masyarakat serta memberi kuasa kepada dewan komisaris untuk
menyatakan realisasi jumlah saham yang telah dikeluarkan dalam
Penawaran Umum tersebut.
6. Pengeluaran Efek Bersifat Ekuitas
a. Setiap penambahan modal melalui pengeluaran Efek Bersifat Ekuitas yang
dilakukan dengan pemesanan, maka hal tersebut wajib dilakukan dengan
memberikan HMETD kepada pemegang saham yang namanya terdaftar
dalam daftar pemegang saham Perseroan pada tanggal yang ditentukan
RUPS yang menyetujui pengeluaran Efek Bersifat Ekuitas dalam jumlah
yang sebanding dengan jumlah saham yang telah terdaftar dalam daftar
pemegang saham Perseroan atas nama pemegang saham masing-masing
pada tanggal tersebut.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 179/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
-3-
b. Pengeluaran Efek bersifat ekuitas tanpa memberikan HMETD kepada
pemegang saham dapat dilakukan dalam hal pengeluaran saham:
1) ditujukan kepada karyawan Perseroan;
2) ditujukan kepada pemegang obligasi atau Efek lain yang dapat
dikonversi menjadi saham, yang telah dikeluarkan dengan persetujuan
RUPS;
3) dilakukan dalam rangka reorganisasi dan/atau restrukturisasi yang
telah disetujui oleh RUPS; dan/atau
4) dilakukan sesuai dengan peraturan di bidang Pasar Modal yang
memperbolehkan penambahan modal tanpa HMETD.
c. HMETD wajib dapat dialihkan dan diperdagangkan dalam jangka waktu
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Nomor IX.D.1 Tentang Hak
Memesan Efek Terlebih Dahulu.
d. Efek bersifat ekuitas yang akan dikeluarkan oleh Perseroan dan tidak
diambil oleh pemegang HMETD harus dialokasikan kepada semua
pemegang saham yang memesan tambahan Efek bersifat ekuitas, dengan
ketentuan apabila jumlah Efek bersifat ekuitas yang dipesan melebihi jumlah
Efek bersifat ekuitas yang akan dikeluarkan, Efek bersifat ekuitas yang tidak
diambil tersebut wajib dialokasikan sebanding dengan jumlah HMETD yang
dilaksanakan oleh masing-masing pemegang saham yang memesan
tambahan Efek bersifat ekuitas.
e. Dalam hal masih terdapat sisa Efek bersifat ekuitas yang tidak diambil
bagian oleh pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf
d peraturan ini, maka dalam hal terdapat pembeli siaga, Efek bersifat ekuitas
tersebut wajib dialokasikan kepada Pihak tertentu yang bertindak sebagai
pembeli siaga dengan harga dan syarat-syarat yang sama.
f. Pelaksanaan pengeluaran saham dalam portepel untuk pemegang Efek yang
dapat ditukar dengan saham atau Efek yang mengandung hak untuk
memperoleh saham, dapat dilakukan oleh direksi berdasarkan RUPS
Perseroan terdahulu yang telah menyetujui pengeluaran Efek tersebut.
g. Penambahan modal disetor menjadi efektif setelah terjadinya penyetoran,
dan saham yang diterbitkan mempunyai hak-hak yang sama dengan saham
yang mempunyai klasifikasi yang sama yang diterbitkan oleh Perseroan,
dengan tidak mengurangi kewajiban Perseroan untuk mengurus
pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
7. Penambahan Modal Dasar Perseroan
a. Penambahan modal dasar Perseroan hanya dapat dilakukan berdasarkan
keputusan RUPS. Perubahan anggaran dasar dalam rangka perubahan
modal dasar harus disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
b. Penambahan modal dasar yang mengakibatkan modal ditempatkan dan
disetor menjadi kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal
dasar, dapat dilakukan sepanjang:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 179/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
-4-
1) telah memperoleh persetujuan RUPS untuk menambah modal dasar;
2) telah memperoleh persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
3) penambahan modal ditempatkan dan disetor sehingga menjadi paling
sedikit 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal dasar wajib
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah
persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana
dimaksud dalam angka 7 huruf b butir 2) peraturan ini;
4) Dalam hal penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam
angka 7 huruf b butir 3) peraturan ini tidak terpenuhi sepenuhnya, maka
Perseroan harus mengubah kembali anggaran dasarnya, sehingga modal
dasar dan modal disetor memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan ayat
(2) UUPT, dalam jangka waktu 2 (dua) bulan setelah jangka waktu
dalam angka 7 huruf b butir 3) peraturan ini tidak terpenuhi;
5) Persetujuan RUPS sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf b butir
1) peraturan ini termasuk juga persetujuan untuk mengubah anggaran
dasar sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf b butir 4) peraturan
ini.
b. perubahan anggaran dasar dalam rangka penambahan modal dasar menjadi
efektif setelah terjadinya penyetoran modal yang mengakibatkan besarnya
modal disetor menjadi paling kurang 25% (dua puluh lima perseratus) dari
modal dasar dan mempunyai hak-hak yang sama dengan saham lainnya
yang diterbitkan oleh Perseroan, dengan tidak mengurangi kewajiban
Perseroan untuk mengurus persetujuan perubahan anggaran dasar dari
Menteri atas pelaksanaan penambahan modal disetor tersebut.
8. Saham
a. Saham Perseroan adalah saham atas nama.
b. Perseroan dapat mengeluarkan saham dengan nilai nominal atau tanpa nilai
nominal.
c. Pengeluaran saham tanpa nilai nominal wajib dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
d. Anggaran dasar Perseroan wajib memuat ketentuan mengenai perlakuan
pecahan nilai nominal saham, hak pemegang pecahan nilai nominal saham,
dan bukti kepemilikan pecahan nilai nominal saham.
e. Seluruh saham yang dikeluarkan oleh Perseroan dapat dijaminkan dengan
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberian
jaminan saham, peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal, dan
UUPT.
9. Bukti Kepemilikan Saham
a. Dalam hal Saham Perseroan tidak masuk dalam Penitipan Kolektif pada
Lembaga Penyelesaian dan Penyimpanan, maka
Perseroan wajib
memberikan bukti pemilikan saham berupa surat saham atau surat kolektif
saham kepada pemegang sahamnya.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 179/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
-5-
b. Dalam hal Saham Perseroan masuk dalam Penitipan Kolektif Lembaga
Penyelesaian dan Penyimpanan, maka Perseroan wajib menerbitkan
sertifikat atau konfirmasi tertulis kepada Lembaga Penyelesaian dan
Penyimpanan sebagai tanda bukti pencatatan dalam buku daftar pemegang
saham Perseroan.
10. Surat saham dan surat kolektif saham yang rusak atau hilang
a. Dalam hal surat saham rusak, penggantian surat saham tersebut dapat
dilakukan jika:
1) Pihak yang mengajukan permohonan penggantian saham adalah
pemilik surat saham tersebut; dan
2) Perseroan telah menerima surat saham yang rusak.
b. Perseroan wajib memusnahkan surat saham yang rusak setelah memberikan
penggantian surat saham.
c. Dalam hal surat saham hilang, penggantian surat saham tersebut dapat
dilakukan jika:
1) Pihak yang mengajukan permohonan penggantian saham adalah
pemilik surat saham tersebut;
2) Perseroan telah mendapatkan dokumen pelaporan dari Kepolisian RI
atas hilangnya suratsaham tersebut;
3) Pihak yang mengajukan permohonan penggantian saham memberikan
jaminan yang dipandang cukup oleh direksi Perseroan; dan
4) rencana pengeluaran pengganti surat saham yang hilang telah
diumumkan di Bursa Efek di mana saham Perseroan dicatatkan dalam
waktu paling kurang 14 (empat belas) hari sebelum pengeluaran
pengganti surat saham.
d. Ketentuan tentang surat saham dalam angka 10 huruf a, huruf b, dan huruf c
peraturan ini, berlaku pula bagi surat kolektif saham.
11. Penitipan Kolektif
Ketentuan mengenai Penitipan Kolektif sekurang-kurangnya memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. Saham dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian harus dicatat dalam buku daftar pemegang saham Perseroan
atas nama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk kepentingan
pemegang rekening pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
b. Saham dalam Penitipan Kolektif pada Bank Kustodian atau Perusahaan Efek
yang dicatat dalam rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dicatat atas nama Bank Kustodian atau Perusahaan Efek
dimaksud untuk kepentingan pemegang rekening pada Bank Kustodian
atau Perusahaan Efek tersebut.
c. Apabila saham dalam Penitipan Kolektif pada Bank Kustodian merupakan
bagian dari Portofolio Efek Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif
dan tidak termasuk dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, maka Perseroan akan mencatatkan saham tersebut dalam
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 179/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
-6-
buku daftar pemegang saham Perseroan atas nama Bank Kustodian untuk
kepentingan pemilik Unit Penyertaan dari Reksa Dana berbentuk kontrak
investasi kolektif tersebut.
d. Perseroan wajib menerbitkan sertifikat atau konfirmasi kepada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 11
huruf a peraturan ini atau Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam
angka 11 huruf c peraturan ini sebagai tanda bukti pencatatan dalam buku
daftar pemegang saham Perseroan.
e. Perseroan wajib memutasikan saham dalam Penitipan Kolektif yang
terdaftar atas nama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau Bank
Kustodian untuk Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif dalam
buku daftar pemegang saham Perseroan menjadi atas nama Pihak yang
ditunjuk oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau Bank Kustodian
dimaksud. Permohonan mutasi disampaikan oleh Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian atau Bank Kustodian kepada Perseroan atau Biro
Administrasi Efek yang ditunjuk Perseroan.
f. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Bank Kustodian atau Perusahaan
Efek wajib menerbitkan konfirmasi kepada pemegang rekening sebagai
tanda bukti pencatatan dalam rekening Efek.
g. Dalam Penitipan Kolektif setiap saham dari jenis dan klasifikasi yang sama
yang diterbitkan Perseroan adalah sepadan dan dapat dipertukarkan antara
satu dengan yang lain.
h. Perseroan wajib menolak pencatatan saham ke dalam Penitipan Kolektif
apabila surat saham tersebut hilang atau musnah, kecuali Pihak yang
meminta mutasi dimaksud dapat memberikan bukti dan/atau jaminan yang
cukup bahwa Pihak tersebut benar-benar sebagai pemegang saham dan
surat saham tersebut benar-benar hilang atau musnah.
i. Perseroan wajib menolak pencatatan saham ke dalam Penitipan Kolektif
apabila saham tersebut dijaminkan, diletakkan dalam sita berdasarkan
penetapan pengadilan atau disita untuk pemeriksaan perkara pidana.
j. Pemegang rekening Efek yang Efeknya tercatat dalam Penitipan Kolektif
berhak hadir dan/atau mengeluarkan suara dalam RUPS sesuai dengan
jumlah saham yang dimilikinya pada rekening tersebut.
k. Bank Kustodian dan Perusahaan Efek wajib menyampaikan daftar rekening
Efek beserta jumlah saham Perseroan yang dimiliki oleh masing-masing
pemegang rekening pada Bank Kustodian dan Perusahaan Efek tersebut
kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk selanjutnya
diserahkan kepada Perseroan paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum
panggilan RUPS.
l. Manajer Investasi berhak hadir dan mengeluarkan suara dalam RUPS atas
saham Perseroan yang termasuk dalam Penitipan Kolektif pada Bank
Kustodian yang merupakan bagian dari portofolio Efek Reksa Dana
berbentuk kontrak investasi kolektif dan tidak termasuk dalam Penitipan
Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan ketentuan
bahwa Bank Kustodian tersebut wajib menyampaikan nama Manajer
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 179/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
-7-
Investasi tersebut kepada Perseroan paling lambat 1 (satu) hari kerja
sebelum panggilan RUPS.
m. Perseroan wajib menyerahkan dividen, saham bonus atau hak-hak lain
sehubungan dengan pemilikan saham kepada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian atas saham dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dan seterusnya Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian tersebut menyerahkan dividen, saham bonus atau hak-hak lain
kepada Bank Kustodian dan kepada Perusahaan Efek untuk kepentingan
masing-masing pemegang rekening pada Bank Kustodian dan Perusahaan
Efek tersebut.
n. Perseroan wajib menyerahkan dividen, saham bonus atau hak-hak lain
sehubungan dengan pemilikan saham kepada Bank Kustodian atas saham
dalam Penitipan Kolektif pada Bank Kustodian yang merupakan bagian dari
portofolio Efek Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif dan tidak
termasuk dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
o. Batas waktu penentuan pemegang rekening Efek yang berhak untuk
memperoleh dividen, saham bonus atau hak-hak lainnya sehubungan
dengan pemilikan saham dalam Penitipan Kolektif ditentukan oleh RUPS
dengan ketentuan bahwa Bank Kustodian dan Perusahaan Efek wajib
menyampaikan daftar pemegang rekening Efek beserta jumlah saham
Perseroan yang dimiliki oleh masing-masing pemegang rekening Efek
tersebut kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, paling lambat
pada tanggal yang menjadi dasar penentuan pemegang saham yang berhak
untuk memperoleh dividen, saham bonus atau hak-hak lainnya, untuk
selanjutnya diserahkan kepada Perseroan paling lambat 1 (satu) hari kerja
setelah tanggal yang menjadi dasar penentuan pemegang saham yang
berhak untuk memperoleh dividen, saham bonus atau hak-hak lainnya
tersebut.
12. Pemindahan Hak atas Saham
a. Pemindahan hak atas saham harus dibuktikan dengan suatu dokumen yang
ditandatangani oleh atau atas nama Pihak yang memindahkan hak dan oleh
atau atas nama Pihak yang menerima pemindahan hak atas saham yang
bersangkutan. Dokumen pemindahan hak atas saham harus berbentuk
sebagaimana ditentukan atau disetujui oleh direksi.
b. Bentuk dan tata cara pemindahan hak atas saham yang diperdagangkan di
Pasar Modal wajib memenuhi peraturan perundang-undangan di bidang
Pasar Modal.
c. Pemindahan hak atas saham yang termasuk dalam Penitipan Kolektif
dilakukan dengan pemindahbukuan dari rekening Efek satu ke rekening
Efek yang lain pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Bank
Kustodian, dan Perusahaan Efek.
13. Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris
a. Persyaratan anggota direksi dan anggota dewan komisaris Perseroan wajib
mengikuti ketentuan UUPT, peraturan perundang-undangan di bidang
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 179/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
-8-
Pasar Modal, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan
kegiatan usaha Perseroan.
b. Dalam anggaran dasar ditentukan jangka waktu masa jabatan anggota
direksi dan anggota dewan komisaris dengan ketentuan satu periode masa
jabatan tidak melebihi 5 (lima) tahun atau sampai dengan penutupan RUPS
tahunan pada akhir satu periode masa jabatan dimaksud.
c. Orang perseorangan yang menduduki jabatan sebagai anggota direksi atau
anggota dewan komisaris setelah masa jabatannya berakhir dapat diangkat
kembali sesuai dengan keputusan RUPS.
d. Perseroan wajib menyelenggarakan RUPS untuk memutuskan permohonan
pengunduran diri anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris dalam
jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya surat
pengunduran diri.
e. Dalam hal Perseroan tidak menyelenggarakan RUPS dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam angka 13 huruf d peraturan ini, maka dengan
lampaunya kurun waktu tersebut, pengunduran diri anggota direksi
dan/atau anggota dewan komisaris menjadi sah tanpa memerlukan
persetujuan RUPS.
f. Dalam hal anggota direksi dan anggota dewan komisaris mengundurkan
diri sehingga mengakibatkan jumlah anggota direksi dan anggota dewan
komisaris masing-masing menjadi kurang dari 2 (dua) orang, maka
pengunduran diri tersebut sah apabila telah ditetapkan oleh RUPS dan telah
diangkat anggota direksi dan anggota dewan komisaris yang baru sehingga
memenuhi persyaratan minimal jumlah anggota direksi dan anggota dewan
komisaris.
g. Dalam hal terdapat anggota direksi yang diberhentikan sementara oleh
dewan komisaris, maka perseroan wajib menyelenggarakan RUPS dalam
jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal
pemberhentian sementara.
h. Dalam hal RUPS sebagaimana dimaksud dalam angka 13 huruf g peraturan
ini tidak dapat mengambil keputusan atau setelah lewatnya jangka waktu
dimaksud RUPS tidak diselenggarakan, maka pemberhentian sementara
anggota direksi menjadi batal.
14. Rencana Kerja, Laporan Tahunan, Laporan Kuangan Tahunan, dan Penggunaan
Laba.
a. Direksi wajib membuat dan melaksanakan rencana kerja tahunan.
b. Rencana kerja tahunan wajib disampaikan kepada dewan komisaris untuk
memperoleh persetujuan.
c. Persetujuan laporan tahunan, termasuk pengesahan laporan keuangan
tahunan serta laporan tugas pengawasan dewan komisaris, dan keputusan
penggunaan laba ditetapkan oleh RUPS.
d. Perseroan wajib mengumumkan Neraca dan Laporan Laba/Rugi dalam
surat kabar berbahasa Indonesia dan berperedaran nasional menurut tata
cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor X.K.2 tentang tentang
Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 179/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
-9-
15. Rapat Umum Pemegang Saham
a. Tempat dan Pimpinan RUPS:
1) RUPS dapat diadakan di:
a) tempat kedudukan Perseroan;
b) tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya; atau
c) tempat kedudukan Bursa Efek dimana saham Perseroan dicatatkan.
2) RUPS sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf a butir 1) peraturan
ini wajib dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia.
3) RUPS dipimpin oleh seorang anggota komisaris yang ditunjuk oleh
dewan komisaris. Dalam hal semua anggota dewan komisaris tidak
hadir atau berhalangan, maka RUPS dipimpin oleh salah seorang
anggota direksi yang ditunjuk oleh direksi. Dalam hal semua anggota
direksi tidak hadir atau berhalangan, maka RUPS dipimpin oleh
pemegang saham yang hadir dalam RUPS yang ditunjuk dari dan oleh
peserta RUPS.
4) dalam hal anggota komisaris yang ditunjuk oleh komisaris mempunyai
benturan kepentingan atas hal yang akan diputuskan dalam RUPS, maka
RUPS dipimpin oleh anggota komisaris lainnya yang tidak mempunyai
benturan kepentingan yang ditunjuk oleh komisaris. Apabila semua
anggota komisaris mempunyai benturan kepentingan, maka RUPS
dipimpin oleh salah satu direktur yang ditunjuk oleh direksi. Dalam hal
salah satu direktur yang ditunjuk oleh direksi mempunyai benturan
kepentingan atas hal yang akan diputuskan dalam RUPS, maka RUPS
dipimpin oleh anggota direksi yang tidak mempunyai benturan
kepentingan. Apabila semua anggota direksi mempunyai benturan
kepentingan, maka RUPS dipimpin oleh salah seorang pemegang saham
independen yang ditunjuk oleh pemegang saham lainnya yang hadir
dalam RUPS.
b. Pengumuman, Pemanggilan, dan Waktu Penyelenggaraan RUPS
1) Pengumuman RUPS dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum pemanggilan, dengan tidak memperhitungkan tanggal
pengumuman dan tanggal pemanggilan.
2) Pemanggilan RUPS dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum RUPS, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan
dan tanggal RUPS.
3) Pemanggilan untuk RUPS kedua dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari
sebelum RUPS kedua dilakukan dengan tidak memperhitungkan
tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS dan disertai informasi bahwa
RUPS pertama telah diselenggarakan tetapi tidak mencapai kuorum.
4) Dalam panggilan RUPS wajib dicantumkan tanggal, waktu, tempat,
mata acara, dan pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan
dalam RUPS tersedia di kantor Perseroan sesuai dengan UUPT kecuali
diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pasar
Modal.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 179/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
-10-
5) RUPS kedua diselenggarakan paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling
lambat 21 (dua puluh satu) hari dari RUPS pertama.
c. Kuorum dan Keputusan RUPS
1) Kuorum kehadiran dan keputusan RUPS terhadap hal-hal yang harus
diputuskan dalam RUPS termasuk pengeluaran Efek Bersifat Ekuitas
dilakukan dengan mengikuti ketentuan:
a) kuorum kehadiran RUPS pertama dan kedua dilakukan dengan
mengikuti ketentuan Pasal 86 ayat (1) dan ayat (4) UUPT;
b) keputusan RUPS adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu
perdua) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir
dalam RUPS; dan
c) dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua tidak tercapai, atas
permohonan Perseroan, kuorum kehadiran, jumlah suara untuk
mengambil keputusan, pemanggilan, dan waktu penyelenggaraan
RUPS ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan LK.
2) RUPS untuk perubahan anggaran dasar Perseroan yang memerlukan
persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, kecuali perubahan
anggaran dasar dalam rangka memperpanjang jangka waktu berdirinya
Perseroan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) RUPS dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit
2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara yang sah dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh lebih
dari 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh saham dengan hak suara
yang hadir dalam RUPS;
b) dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam angka
15 huruf c butir 2) poin a) peraturan ini tidak tercapai, maka dalam
RUPS kedua, keputusan sah apabila dihadiri oleh pemegang saham
yang mewakili paling sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh lebih
dari 1/2 (satu perdua) bagian dari seluruh saham dengan hak suara
yang hadir dalam RUPS; dan
c) dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam angka
15 huruf c butir 2) poin b) peraturan ini tidak tercapai, maka atas
permohonan Perseroan, kuorum kehadiran RUPS ketiga, jumlah
suara untuk mengambil keputusan, pemanggilan, dan waktu
penyelenggaraan RUPS ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan LK.
3) RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan atau menjadikan jaminan
utang kekayaan Perseroan yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh
persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam satu transaksi atau
lebih baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak, penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, pemisahan, pengajuan permohonan agar
Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya
Perseroan, dan pembubaran, dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 179/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
-11-
a) RUPS dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit
3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara yang sah dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh lebih
dari 3/4 (tiga perempat) bagian dari seluruh saham dengan hak
suara yang hadir dalam RUPS;
b) dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam angka
15 huruf c butir 3) poin a) peraturan ini tidak tercapai, maka dalam
RUPS kedua, keputusan sah apabila dihadiri oleh pemegang saham
yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh lebih
dari 3/4 (tiga perempat) bagian dari seluruh saham dengan hak
suara yang hadir dalam RUPS; dan
c) dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam angka
15 huruf c butir 3) poin b) peraturan ini tidak tercapai, maka atas
permohonan Perseroan, kuorum kehadiran, jumlah suara untuk
mengambil keputusan, pemanggilan, dan waktu penyelenggaraan
RUPS ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan LK.
4) RUPS untuk menyetujui transaksi yang mempunyai benturan
kepentingan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan dianggap
telah memberikan keputusan yang sama dengan keputusan yang
disetujui oleh pemegang saham independen yang tidak mempunyai
benturan kepentingan;
b) RUPS dihadiri oleh pemegang saham independen yang mewakili
lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh pemegang saham
independen dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh pemegang
saham independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua)
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang
dimiliki oleh pemegang saham independen;
c) dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf c
butir 4) poin b) peraturan ini tidak tercapai, maka dalam RUPS
kedua, keputusan sah apabila dihadiri oleh pemegang saham
independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh
pemegang saham independen dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu
perdua) bagian dari jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang
saham independen yang hadir dalam RUPS; dan
d) dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam angka
15 huruf c butir 4) poin c) peraturan ini tidak tercapai, maka atas
permohonan Perseroan, kuorum kehadiran, jumlah suara untuk
mengambil keputusan, pemanggilan, dan waktu penyelenggaraan
RUPS ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan LK.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 179/BL/2008
Tanggal : 14 Mei 2008
-12-
5) Pemegang saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS namun
tidak mengeluarkan suara (abstain) dianggap mengeluarkan suara yang
sama dengan suara mayoritas pemegang saham yang mengeluarkan
suara.
16. Ketentuan dalam UUPT yang berkaitan dengan anggaran dasar, sepanjang tidak
diatur secara khusus dalam peraturan ini, tetap berlaku bagi anggaran dasar
Perseroan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 14 Mei 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-179/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id>
<reg_title> POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title>
<set_date> 14 Mei 2008 </set_date>
<effective_date> 14 Mei 2008 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-13/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '40/UU/2007', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP- 327/BL/2012
TENTANG
PEMBUATAN NOMOR TUNGGAL IDENTITAS PEMODAL PADA LEMBAGA
PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK
ATAU EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK YANG MENYELENGGARAKAN
ADMINISTRASI EFEK SENDIRI
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mewujudkan transparansi kepemilikan
Efek warkat yang diadministrasikan oleh Biro Administrasi
Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik yang
menyelenggarakan administrasi Efek sendiri dan menciptakan
Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien, diperlukan
adanya kewajiban pembuatan nomor tunggal identitas
Pemodal pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a di atas,
dipandang perlu untuk menerbitkan Peraturan tentang
Pembuatan Nomor Tunggal Identitas Pemodal Pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian oleh Biro Administrasi Efek
atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang Menyelenggarakan
Administrasi Efek Sendiri dengan menetapkan Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3617)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M
Tahun 2011;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEMBUATAN
NOMOR TUNGGAL IDENTITAS PEMODAL PADA LEMBAGA
PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN OLEH BIRO
ADMINISTRASI EFEK ATAU EMITEN DAN PERUSAHAAN
PUBLIK YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK
SENDIRI.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pembuatan Nomor Tunggal Identitas
Pemodal Pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian oleh Biro
Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang
Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri diatur dalam
Peraturan Nomor VI.B.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran
Keputusan ini.
Pasal 2
Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang
Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri wajib melakukan
pembuatan nomor tunggal identitas Pemodal pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan angka 3 Peraturan Nomor VI.B.2, Lampiran Keputusan
ini, terhadap Pemodal yang telah diadministrasikannya sebelum
berlakunya peraturan ini, paling lambat tanggal 31 Agustus 2012.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 14 Juni 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19751028 198512 1 001
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 327/BL/2012
Tanggal : 14 Juni 2012
PERATURAN NOMOR VI.B.2 : PEMBUATAN NOMOR TUNGGAL
IDENTITAS PEMODAL PADA LEMBAGA
PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK ATAU
EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK
YANG
MENYELENGGARAKAN
ADMINISTRASI EFEK SENDIRI
1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan Pemodal adalah pemegang Efek
warkat yang diterbitkan oleh Emiten dan Perusahaan Publik yang
diadministrasikan oleh Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan
Publik Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri.
2. Pembuatan nomor tunggal identitas Pemodal (single investor identification) di
Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
3. Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang
Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri wajib membuat nomor tunggal
identitas Pemodal (single investor identification) pada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian bagi Pemodal yang belum memiliki.
4. Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang
Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri wajib menyampaikan nomor
tunggal identitas Pemodal kepada masing-masing Pemodal yang bersangkutan.
5. Dalam rangka pembuatan nomor tunggal identitas Pemodal, Biro Administrasi
Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang Menyelenggarakan Administrasi
Efek Sendiri wajib menyampaikan data Pemodal kepada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian paling kurang terdiri dari:
a. nama;
b. tempat lahir/pendirian;
c. tanggal lahir/pendirian;
d. nomor identitas;
e. domisili;
f. kewarganegaraan bagi Pemodal orang perseorangan;
g. tipe Pemodal berupa orang perseorangan atau kelembagaan; dan
h. jenis usaha, bagi Pemodal kelembagaan.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 327/BL/2012
Tanggal : 14 Juni 2012
- 2 -
6. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam
dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan
peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: 14 Juni 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19751028 198512 1 001
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-327/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> PEMBUATAN NOMOR TUNGGAL IDENTITAS PEMODAL PADA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK ATAU EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK SENDIRI </reg_title>
<set_date> 14 Juni 2012 </set_date>
<effective_date> 14 Juni 2012 </effective_date>
<related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-264/BL/2011
TENTANG
PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN TERBUKA
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka lebih memberikan kepastian
hukum terkait dengan pengalihan kembali saham hasil
penawaran tender yang diwajibkan bagi Pihak yang
melakukan pengambilalihan Perusahaan Terbuka,
dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan
Nomor IX.H.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam
dan LK Nomor Kep-259/BL/2008 tanggal 30 Juni 2008
tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka dengan
menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995
tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
20/M Tahun 2011;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN TERBUKA.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 1
Ketentuan mengenai pengambilalihan perusahaan
terbuka diatur dalam Peraturan Nomor IX.H.1
sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Pihak yang telah melakukan pengambilalihan
perusahaan terbuka sebelum ditetapkannya Keputusan
ini dan berkewajiban melakukan pengalihan kembali
saham berdasarkan Peraturan Nomor IX.H.1, Lampiran
Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-
259/BL/2008 tanggal 30 Juni 2008, wajib memenuhi
Peraturan Nomor IX.H.1 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
Pasal 3
Pernyataan Penawaran Tender dalam rangka
pengambilalihan perusahaan terbuka yang telah
disampaikan kepada Bapepam dan LK sebelum
ditetapkannya Keputusan ini dan belum menjadi
efektif, wajib memenuhi Peraturan Nomor IX.H.1
sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 4
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan
Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-259/BL/2008
tanggal 30 Juni 2008 tentang Pengambilalihan
Perusahaan Terbuka dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 31 Mei 2011.
Ditetapkan di
: Jakarta
pada tanggal
: 31 Mei 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
: Kep-264/BL/2011
: 31 Mei 2011
PERATURAN NOMOR IX.H.1 : PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN TERBUKA
1. KETENTUAN UMUM
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran
Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik.
b. Kelompok yang Terorganisasi adalah pihak-pihak yang membuat rencana,
kesepakatan, atau keputusan untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan
tertentu.
c. Pengendali Perusahaan Terbuka, yang selanjutnya disebut Pengendali,
adalah Pihak yang memiliki saham lebih dari 50% (lima puluh perseratus)
dari seluruh saham yang disetor penuh, atau Pihak yang mempunyai
kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung,
dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijaksanaan Perusahaan
Terbuka.
d. Pengambilalihan adalah tindakan, baik langsung maupun tidak langsung,
yang mengakibatkan perubahan Pengendali.
e. Penawaran Tender Wajib adalah penawaran untuk membeli sisa saham
Perusahaan Terbuka yang wajib dilakukan oleh Pengendali baru.
2. NEGOSIASI DALAM RANGKA PENGAMBILALIHAN
a. Calon Pengendali baru yang melakukan negosiasi yang dapat
mengakibatkan Pengambilalihan dapat mengumumkan negosiasi tersebut
dalam paling sedikit satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang
berperedaran nasional, serta menyampaikan pengumuman tersebut
kepada Perusahaan Terbuka yang akan diambil alih, Bapepam dan LK, dan
Bursa Efek dimana saham Perusahaan Terbuka yang akan diambil alih
tercatat.
b. Dalam hal calon Pengendali baru mengumumkan dan menyampaikan
informasi negosiasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka setiap
informasi perkembangan negosiasi, termasuk penundaan dan/atau
pembatalan rencana Pengambilalihan, wajib diumumkan dalam paling
sedikit satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran
nasional, serta diinformasikan kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam
huruf a. Pengumuman dan penyampaian informasi tersebut dilakukan
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah adanya perkembangan negosiasi
tersebut.
c. Informasi yang diumumkan dan disampaikan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a wajib meliputi:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-2-
1) perkiraan jumlah saham dan nama Perusahaan Terbuka yang akan
diambil alih;
2) jati diri calon Pengendali baru yang meliputi nama Pihak, alamat,
telepon, faksimili, jenis usaha, serta tujuan pengendalian;
3) jumlah Efek yang telah dimiliki calon Pengendali baru (jika ada);
4) rencana, kesepakatan, atau keputusan untuk bekerja sama antara
pihak-pihak dalam Kelompok yang Terorganisasi dalam rangka
pengendalian Perusahaan Terbuka (jika ada);
5) cara dan proses negosiasi Pengambilalihan; dan
6) materi negosiasi Pengambilalihan.
d. Dalam hal calon Pengendali baru memutuskan untuk tidak
mengumumkan negosiasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka
calon Pengendali baru termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi
wajib merahasiakan informasi hasil negosiasi tersebut.
3. PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN TERBUKA
a. Pihak yang melakukan Pengambilalihan wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1) mengumumkan dalam paling sedikit satu surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional, serta menyampaikan kepada
Bapepam dan LK perihal terjadinya Pengambilalihan paling lambat
satu hari kerja setelah terjadinya Pengambilalihan, informasi yang
meliputi:
a) jumlah seluruh saham yang diambil alih dan total kepemilikan
sahamnya;
b) identitas diri yang meliputi nama Pihak, alamat, telepon, faksimili,
jenis usaha (jika ada), serta tujuan pengendalian; dan
c) pernyataan bahwa Pengendali baru adalah Kelompok yang
Terorganisasi, dalam hal Pengendali baru adalah Kelompok yang
Terorganisasi; dan
2) melakukan Penawaran Tender Wajib, kecuali terhadap:
a) saham yang dimiliki pemegang saham yang telah melakukan
transaksi Pengambilalihan dengan Pengendali baru;
b) saham yang dimiliki Pihak lain yang telah mendapatkan
penawaran dengan syarat dan kondisi yang sama dari Pengendali
baru;
c) saham yang dimiliki Pihak lain yang pada saat bersamaan juga
melakukan Penawaran Tender Wajib atau Penawaran Tender
Sukarela atas saham Perusahaan Terbuka yang sama;
: Kep-264/BL/2011
: 31 Mei 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-3-
d) saham yang dimiliki Pemegang Saham Utama; dan
e) saham yang dimiliki oleh Pengendali lain Perusahaan Terbuka
tersebut.
b. Perusahaan Terbuka yang diambil alih tidak wajib memperoleh
persetujuan dari pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), kecuali apabila persetujuan tersebut dipersyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan yang khusus mengatur bidang usaha Perusahaan
Terbuka yang diambil alih.
c. Dalam hal Pengambilalihan dilakukan oleh Perusahaan Terbuka, maka
Perusahaan Terbuka tersebut tidak wajib memperoleh persetujuan dari
pemegang saham dalam RUPS mengenai Pengambilalihan, kecuali apabila
persetujuan tersebut dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan
yang khusus mengatur bidang usaha Perusahaan Terbuka yang melakukan
Pengambilalihan.
d. Dalam setiap Pengambilalihan, apabila antara Pemegang Saham Utama
atau Pengendali dengan calon Pengendali baru membuat suatu kontrak
atau aktivitas yang mengakibatkan adanya:
1) penggunaan sumber daya Perusahaan Terbuka yang akan diambil alih
dalam jumlah yang material;
2) perubahan perjanjian atau kesepakatan yang sudah dibuat oleh
Perusahaan Terbuka yang akan diambil alih; atau
3) perubahan terhadap standar prosedur operasional Perusahaan Terbuka
yang akan diambil alih;
dimana hal tersebut merupakan Transaksi Afiliasi atau transaksi yang
mengandung Benturan Kepentingan, wajib memenuhi ketentuan Peraturan
Nomor IX.E.1.
4. PELAKSANAAN PENAWARAN TENDER WAJIB
a. Dalam pelaksanaan Penawaran Tender Wajib, Pengendali baru wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) menyampaikan teks pengumuman keterbukaan informasi dalam
rangka Penawaran Tender Wajib beserta dokumen pendukungnya
kepada Bapepam dan LK dan Perusahaan Terbuka yang diambil alih,
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman Pengambilalihan
sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a butir 1);
2) menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi atas teks
pengumuman dalam rangka Penawaran Tender Wajib beserta
dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud dalam butir 1) dalam
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan
Bapepam dan LK, jika Bapepam dan LK meminta Pengendali baru
untuk membuat perubahan dan/atau tambahan informasi tersebut;
: Kep-264/BL/2011
: 31 Mei 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-4-
3) mengumumkan keterbukaan informasi dalam rangka Penawaran
Tender Wajib dalam satu surat kabar harian yang berperedaran
nasional paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya surat dari
Bapepam dan LK yang menyatakan bahwa Pengendali baru dapat
mengumumkan keterbukaan informasi dalam rangka Penawaran
Tender Wajib;
4) melaksanakan Penawaran Tender Wajib selama jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari yang dimulai satu hari setelah pengumuman sebagaimana
dimaksud butir 3);
5) menyelesaikan transaksi Penawaran Tender Wajib, dengan cara
penyerahan uang, paling lambat 12 (dua belas) hari setelah jangka
waktu penawaran sebagaimana dimaksud dalam butir 4) berakhir; dan
6) menyampaikan laporan hasil Penawaran Tender Wajib kepada
Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya
penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud dalam butir 5).
b. Pengumuman keterbukaan informasi dalam rangka Penawaran Tender
Wajib sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 3) wajib memuat
informasi sebagai berikut:
1) latar belakang Pengambilalihan;
2) keterangan tentang saham, meliputi:
a) penjelasan tentang jumlah dan persentase saham yang akan dibeli;
dan
b) jumlah dan persentase saham Perusahaan Terbuka yang diambil
alih, yang dimiliki baik langsung maupun tidak langsung oleh
Pengendali baru, termasuk opsi untuk membeli atau hak untuk
memperoleh dividen atau manfaat lain serta kuasa untuk
menggunakan hak suara dalam RUPS Perusahaan Terbuka yang
diambil alih;
3) keterangan tentang Pengendali baru, meliputi:
a) dalam hal Pengambilalihan dilakukan oleh orang perseorangan,
wajib diungkapkan informasi
tentang nama, alamat,
kewarganegaraan, dan hubungan Afiliasinya dengan Perusahaan
Terbuka (jika ada); dan
b) dalam hal Pengambilalihan dilakukan oleh Pihak lain selain orang
perseorangan, wajib diungkapkan informasi tentang pendirian,
kegiatan usaha, struktur permodalan, susunan direksi dan dewan
komisaris, susunan pemegang saham, pemilik manfaat (beneficial
owner), dan hubungan Afiliasinya dengan Perusahaan Terbuka
(jika ada);
: Kep-264/BL/2011
: 31 Mei 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-5-
4) keterangan tentang Perusahaan Terbuka yang diambil alih, meliputi
nama, alamat, serta kegiatan usaha;
5) ketentuan dan persyaratan Penawaran Tender Wajib, meliputi:
a) harga pembelian serta cara perhitungannya;
b) masa pelaksanaan;
c) ketentuan mengenai pembayaran;
d) mekanisme pembelian; dan
e) penjelasan tentang persetujuan atau persyaratan yang ditetapkan
oleh Pemerintah yang wajib dipenuhi sehubungan dengan
Penawaran Tender Wajib (jika ada);
6) daftar nama dan alamat lembaga dan/atau Profesi Penunjang Pasar
Modal yang terlibat dalam Penawaran Tender Wajib; dan
7) informasi penting lainnya:
a) uraian
tentang
gugatan hukum sehubungan dengan
Pengambilalihan (jika ada); dan
b) informasi tambahan yang diperlukan agar keterbukaan informasi
dalam rangka Penawaran Tender Wajib tidak menyesatkan.
c. Harga pembelian saham Perusahaan Terbuka yang diambil alih dalam
Penawaran Tender Wajib, ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) dalam hal Pengambilalihan dilakukan secara langsung atas saham
Perusahaan Terbuka yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek,
maka harga pembelian saham paling rendah sebesar:
a) harga rata-rata dari harga tertinggi perdagangan harian di Bursa
Efek selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir:
(1) sebelum pengumuman Pengambilalihan sebagaimana
dimaksud dalam angka 3 huruf a butir 1); atau
(2) sebelum pengumuman negosiasi sebagaimana dimaksud
angka 2 huruf a, (jika mengumumkan negosiasi); atau
b) harga Pengambilalihan yang sudah dilakukan,
mana yang paling tinggi;
2) dalam hal Pengambilalihan dilakukan secara langsung atas saham
Perusahaan Terbuka yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek,
namun selama 90 (sembilan puluh) hari atau lebih sebelum
pengumuman Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam angka 3
huruf a butir 1) atau sebelum pengumuman negosiasi sebagaimana
dimaksud angka 2 huruf a, tidak diperdagangkan di Bursa Efek atau
dihentikan sementara perdagangannya oleh Bursa Efek, maka harga
pembelian saham paling rendah sebesar:
: Kep-264/BL/2011
: 31 Mei 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-6-
a) harga rata-rata dari harga tertinggi perdagangan harian di Bursa
Efek dalam waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang dihitung
mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan
sementara perdagangannya; atau
b) harga Pengambilalihan yang sudah dilakukan,
mana yang paling tinggi;
3) dalam hal Pengambilalihan dilakukan secara langsung atas saham
Perusahaan Terbuka yang tidak tercatat dan tidak diperdagangkan di
Bursa Efek, maka harga pembelian saham paling rendah sebesar:
a) harga Pengambilalihan yang sudah dilakukan; atau
b) harga wajar yang ditetapkan oleh Penilai,
mana yang paling tinggi;
4) dalam hal Pengambilalihan dilakukan secara tidak langsung atas
saham Perusahaan Terbuka yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa
Efek, maka harga pembelian saham paling rendah sebesar harga rata-
rata dari harga tertinggi perdagangan harian di Bursa Efek selama 90
(sembilan puluh) hari terakhir:
a) sebelum pengumuman Pengambilalihan sebagaimana dimaksud
dalam angka 3 huruf a butir 1); atau
b) sebelum pengumuman negosiasi sebagaimana dimaksud angka 2
huruf a, (jika mengumumkan negosiasi);
5) dalam hal Pengambilalihan dilakukan secara tidak langsung atas
saham Perusahaan Terbuka yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa
Efek, namun selama 90 (sembilan puluh) hari atau lebih sebelum
pengumuman Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam angka 3
huruf a butir 1) atau sebelum pengumuman negosiasi sebagaimana
dimaksud angka 2 huruf a, tidak diperdagangkan di Bursa Efek atau
dihentikan sementara perdagangannya oleh Bursa Efek, maka harga
pembelian saham paling rendah sebesar harga rata-rata dari harga
tertinggi perdagangan harian di Bursa Efek dalam waktu 12 (dua belas)
bulan terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir
atau hari dihentikan sementara perdagangannya; atau
6) dalam hal Pengambilalihan dilakukan secara tidak langsung atas
saham Perusahaan Terbuka yang tidak tercatat dan tidak
diperdagangkan di Bursa Efek, maka harga pembelian saham paling
rendah sama dengan harga wajar yang ditetapkan oleh Penilai.
d. Dalam hal Pihak yang melakukan Pengambilalihan mengumumkan
negosiasi sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a dan dimulainya
pelaksanaan Penawaran Tender Wajib melebihi batas waktu 180 (seratus
delapan puluh) hari sejak pengumuman negosiasi tersebut, maka jangka
: Kep-264/BL/2011
: 31 Mei 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-7-
waktu penentuan harga Penawaran Tender Wajib sebagaimana dimaksud
dalam huruf c butir 1) dan huruf c butir 4) bergeser mengikuti jangka
waktu pelaksanaan Penawaran Tender Wajib.
e. Dalam hal harga pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam huruf d lebih
rendah dibandingkan dengan harga pelaksanaan sebagaimana dimaksud
dalam huruf c butir 1) dan huruf c butir 4), maka harga pelaksanaan
Penawaran Tender Wajib menggunakan harga pelaksanaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf c butir 1) dan huruf c butir 4).
f. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Wajib dilarang menetapkan
pembatasan dan persyaratan yang berbeda berdasarkan penggolongan
atau kedudukan Pihak yang menjadi pemegang saham, kecuali apabila
terdapat pembedaan hak atau manfaat tertentu yang melekat pada saham
dimaksud.
5. KEWAJIBAN PENGALIHAN KEMBALI SAHAM
a. Dalam hal pelaksanaan Penawaran Tender Wajib mengakibatkan
kepemilikan saham oleh Pengendali baru lebih besar dari 80% (delapan
puluh perseratus) dari modal disetor Perusahaan Terbuka, maka
Pengendali baru wajib mengalihkan kembali saham Perusahaan Terbuka
tersebut kepada masyarakat sehingga saham yang dimiliki masyarakat
paling sedikit 20% (dua puluh perseratus) dari modal disetor Perusahaan
Terbuka dan dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) Pihak dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Penawaran Tender Wajib
selesai dilaksanakan.
b. Dalam hal Pengambilalihan mengakibatkan Pengendali baru memiliki
saham Perusahaan Terbuka lebih besar dari 80% (delapan puluh
perseratus) dari modal disetor Perusahaan Terbuka, maka Pengendali baru
dimaksud wajib mengalihkan kembali saham Perusahaan Terbuka tersebut
kepada masyarakat dengan jumlah paling sedikit sebesar persentase saham
yang diperoleh pada saat pelaksanaan Penawaran Tender Wajib dan
dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) Pihak dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun.
c. Kewajiban mengalihkan saham oleh Pengendali baru sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b tidak berlaku apabila setelah
terjadinya Pengambilalihan, Perusahaan Terbuka melakukan aksi
korporasi yang mengakibatkan terpenuhinya persyaratan sebagaimana
diatur dalam huruf a atau huruf b.
d. Bapepam dan LK dapat memperpanjang jangka waktu pelaksanaan
kewajiban pengalihan kembali saham sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan huruf b, jika terjadi kondisi sebagai berikut:
1) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek turun melebihi
10% (sepuluh perseratus) selama 3 (tiga) hari bursa berturut-turut;
: Kep-264/BL/2011
: 31 Mei 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-8-
2) Bursa Efek dimana saham Perusahaan Terbuka dicatat dan
diperdagangkan ditutup;
3) perdagangan saham Perusahaan Terbuka di Bursa Efek dihentikan;
4) bencana alam, perang, huru-hara, kebakaran, dan/atau pemogokan,
yang berpengaruh secara signifikan terhadap kelangsungan usaha
Perusahaan Terbuka;
5) harga saham pada masa pengalihan kembali tidak pernah sama atau
lebih tinggi dari harga Penawaran Tender Wajib; dan/atau
6) Pengendali baru telah melakukan upaya untuk mengalihkan kembali
saham, namun kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan/atau huruf b tidak terpenuhi.
e. Penundaan kewajiban pengalihan kembali saham sebagaimana dimaksud
dalam huruf d butir 5) dan butir 6) dapat diberikan oleh Bapepam dan LK
dengan tata cara sebagai berikut:
1) Pengendali baru menyampaikan surat permohonan penundaan
kewajiban pengalihan kembali saham kepada Bapepam dan LK paling
lambat satu hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu kewajiban
pengalihan kembali saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b.
2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) untuk kondisi
sebagaimana dimaksud dalam huruf d butir 5) disertai dengan data
dan informasi mengenai harga saham yang membuktikan bahwa harga
saham pada masa pengalihan kembali tidak pernah sama atau lebih
tinggi dari harga Penawaran Tender Wajib.
3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) untuk kondisi
sebagaimana dimaksud dalam huruf d butir 6) disertai dengan
penjelasan mengenai:
a) upaya yang telah dilakukan terkait dengan pelaksanaan kewajiban
pengalihan kembali saham; dan
b) kesulitan yang dialami dalam pelaksanaan kewajiban pengalihan
kembali saham.
f. Penundaan kewajiban pengalihan kembali saham atas kondisi
sebagaimana dimaksud dalam huruf d butir 5) dan butir 6) diberikan
untuk jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tanggal dikeluarkannya surat
persetujuan penundaan kewajiban pengalihan kembali saham oleh
Bapepam dan LK.
g. Dalam hal setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam huruf f, kewajiban pengalihan kembali saham tidak dapat
dilaksanakan atau belum dapat diselesaikan, Pengendali baru dapat
: Kep-264/BL/2011
: 31 Mei 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-9-
menyampaikan kembali permohonan penundaan sebagaimana diatur
dalam huruf e.
h. Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam huruf g dapat
dilakukan jika kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf d butir 5)
dan/atau butir 6) terpenuhi.
i. Bapepam dan LK dapat memberikan penundaan kembali atau
memutuskan tindakan lain sesuai dengan kewenangannya atas
permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf g.
j. Pengendali baru wajib melaporkan perkembangan pemenuhan kewajiban
pengalihan kembali saham kepada Bapepam dan LK secara berkala setiap 3
(tiga) bulan (Maret, Juni, September, dan Desember) paling lambat pada
hari kerja ke-10 (ke sepuluh) bulan berikutnya.
k. Informasi perkembangan pemenuhan kewajiban pengalihan kembali
saham sebagaimana dimaksud dalam huruf j, paling sedikit memuat:
1) jumlah dan persentase seluruh saham yang telah dialihkan sampai
dengan periode laporan; dan
2) jumlah pemegang saham Perusahaan Terbuka yang diambil alih
sampai dengan periode laporan.
6. PENGECUALIAN
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a tidak berlaku
jika:
1) Pengambilalihan terjadi karena perkawinan atau pewarisan;
2) Pengambilalihan oleh Pihak yang sebelumnya tidak memiliki saham
Perusahaan Terbuka yang terjadi karena pembelian atau perolehan
saham Perusahaan Terbuka dalam jangka waktu setiap 12 (dua belas)
bulan, dalam jumlah paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari
jumlah saham yang beredar dengan hak suara yang sah;
3) Pengambilalihan terjadi karena pelaksanaan tugas dan wewenang dari
badan atau lembaga pemerintah atau negara berdasarkan undang-
undang;
4) Pengambilalihan terjadi karena pembelian langsung saham yang
dimiliki dan/atau dikuasai badan atau lembaga pemerintah atau
negara sebagai pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
butir 3);
5) Pengambilalihan terjadi karena penetapan atau putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
6) Pengambilalihan terjadi karena penggabungan usaha, pemisahan
usaha, peleburan usaha, atau pelaksanaan likuidasi pemegang saham;
: Kep-264/BL/2011
: 31 Mei 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-10-
7) Pengambilalihan terjadi karena adanya hibah yang merupakan
penyerahan saham tanpa perjanjian untuk memperoleh imbalan dalam
bentuk apapun;
8) Pengambilalihan terjadi karena adanya jaminan utang tertentu yang
telah ditetapkan dalam perjanjian utang-piutang, serta jaminan utang
dalam rangka restrukturisasi Perusahaan Terbuka yang ditetapkan oleh
badan atau lembaga pemerintah atau negara berdasarkan undang-
undang;
9) Pengambilalihan terjadi karena perolehan saham sebagai pelaksanaan
Peraturan Nomor IX.D.1 dan Peraturan Nomor IX.D.4;
10) Pengambilalihan terjadi karena pelaksanaan kebijakan badan atau
lembaga pemerintah atau negara;
11) Penawaran Tender Wajib, yang apabila dilaksanakan akan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan
12) Pengambilalihan terjadi karena pelaksanaan Penawaran Tender
Sukarela berdasarkan Peraturan Nomor IX.F.1.
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a tidak berlaku
terhadap Pengambilalihan yang dilakukan secara tidak langsung melalui
Perusahaan Terbuka lain, dengan ketentuan kontribusi pendapatan
Perusahaan Terbuka kepada Perusahaan Terbuka lain dimaksud kurang
dari 50% (lima puluh perseratus) pada saat terjadinya Pengambilalihan
berdasarkan laporan keuangan konsolidasi Perusahaan Terbuka lain.
c. Dalam hal terjadi Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
maka Pengendali baru wajib mengumumkan dalam paling sedikit satu
surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, serta
menyampaikan informasi tersebut kepada Perusahaan Terbuka yang
diambil alih, Bapepam dan LK, serta Bursa Efek paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah Pengambilalihan, yang antara lain meliputi:
1) identitas Pengendali baru;
2) nama dan persentase saham Perusahaan Terbuka yang diambil alih
sebelum dan sesudah Pengambilalihan; dan
3) bukti pendukung yang sah.
d. Dalam hal Pengambilalihan terjadi sebagaimana dimaksud dalam huruf a
butir 4) dan huruf a butir 8), maka selain informasi sebagaimana dimaksud
dalam huruf c, Pengendali baru wajib pula melakukan keterbukaan
informasi mengenai:
1) hubungan Afiliasi (jika ada);
2) alasan Pengambilalihan; dan
: Kep-264/BL/2011
: 31 Mei 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-11-
3) rencana Pengendali baru terhadap Perusahaan Terbuka yang diambil
alih.
e. Kewajiban mengumumkan dalam surat kabar sebagaimana dimaksud
dalam huruf c tidak berlaku bagi Pihak yang menjadi Pengendali baru
sebagai akibat sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 1), huruf a butir
2), huruf a butir 5), dan huruf a butir 6).
7. KETENTUAN PENUTUP
a. Bukti iklan yang wajib diumumkan di surat kabar sebagaimana diatur
dalam Peraturan ini wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah iklan tersebut dimuat di surat kabar.
b. Pengambilalihan yang dilakukan oleh Perusahaan Terbuka yang nilainya
memenuhi kriteria Transaksi Material sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Nomor IX.E.2, selain wajib mengikuti Peraturan ini juga wajib
memenuhi Peraturan Nomor IX.E.2.
c. Transaksi berkelanjutan yang telah dilakukan antara Pengendali baru
dengan Perusahaan Terbuka yang diambil alih sebelum dilakukannya
Pengambilalihan dan memenuhi kriteria Transaksi Afiliasi dan/atau
transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.E.1, dikecualikan dari pemenuhan
kewajiban Peraturan Nomor IX.E.1 sampai dengan diperbaharuinya
perjanjian dalam transaksi dimaksud.
d. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar
Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap
Pihak yang melanggar ketentuan Peraturan ini termasuk Pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran, dengan ketentuan:
1) Pelanggaran atas ketentuan angka 3 huruf a butir 2), dapat dikenakan:
a) pembatalan transaksi dan mewajibkan Pengendali baru untuk:
(1) membayar denda; dan
(2) mengembalikan saham kepada Pihak yang menjadi lawan
transaksi dan mengganti kerugian yang timbul; atau
2) Pelanggaran
b) denda dan kewajiban melakukan Penawaran Tender Wajib.
keterlambatan
atas
menyampaikan
informasi
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf b, angka 3 huruf a butir
1), angka 4 huruf a butir 1), angka 4 huruf a butir 3), angka 6 huruf c,
dan angka 6 huruf d dikenakan sanksi administratif berupa denda
Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan.
3) Pelanggaran atas ketentuan angka 4 huruf c, angka 4 huruf d, dan
angka 4 huruf e dikenakan sanksi untuk membayar ganti rugi kepada
pemegang saham Perusahaan Terbuka akibat kelalaian Pihak yang
melakukan Pengambilalihan.
: Kep-264/BL/2011
: 31 Mei 2011
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-12-
4) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3
huruf d, dikenakan pembatalan kontrak atau penghentian aktivitas
sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf d, serta dikenakan denda.
5) pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5
huruf a dan angka 5 huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa
denda dengan tanpa mengurangi kewajiban melaksanakan ketentuan
angka 5 huruf a dan angka 5 huruf b.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal
: Kep-264/BL/2011
: 31 Mei 2011
: 31 Mei 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-264/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id>
<reg_title> PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title>
<set_date> 31 Mei 2011 </set_date>
<effective_date> 31 Mei 2011 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-259/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP- 309/BL/2008
TENTANG
HUBUNGAN KREDIT DAN PENJAMINAN ANTARA WALI AMANAT
DENGAN EMITEN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka menjaga agar Wali Amanat yang
berkedudukan sebagai kreditur Emiten dapat melaksanakan
tugas dan fungsinya secara independen sehingga kepentingan
pemegang Efek bersifat utang dapat terlindungi secara
maksimal, dipandang perlu menetapkan Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang
Hubungan Kredit dan Penjaminan Antara Wali Amanat Dengan
Emiten;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M
Tahun 2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG HUBUNGAN
KREDIT DAN PENJAMINAN ANTARA WALI AMANAT
DENGAN EMITEN.
Pasal 1
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Ketentuan mengenai hubungan kredit dan penjaminan antara
Wali Amanat dengan Emiten diatur dalam Peraturan Nomor
VI.C.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 1 Agustus 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
: Kep- 309/BL/2008
: 1 Agustus 2008
PERATURAN NOMOR VI.C.3 : HUBUNGAN KREDIT DAN PENJAMINAN
ANTARA WALI AMANAT DENGAN
EMITEN
1. Yang dimaksud dengan Kredit dalam peraturan ini adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank sebagai Wali Amanat dengan
Emiten yang diwaliamanati sebagai peminjam, yang mewajibkan Emiten untuk
melunasi pinjaman setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
imbalan, atau pembagian hasil keuntungan termasuk transaksi rekening
administratif yang sudah dibukukan secara on balance-sheet dan pembelian surat
berharga termasuk Sukuk dari Emiten yang diwaliamanati yang dilengkapi
dengan perjanjian pembelian (note purchase agreement).
2. Dalam melakukan kegiatan di Pasar Modal, Wali Amanat dilarang:
a. mempunyai hubungan Kredit dengan Emiten dalam jumlah lebih dari 25%
(dua puluh lima perseratus) dari jumlah Efek yang bersifat utang dan/atau
Sukuk yang diwaliamanati; dan/atau
b. merangkap menjadi penanggung dan/atau pemberi agunan dalam
penerbitan Efek bersifat utang, Sukuk, dan/atau kewajiban Emiten dan
menjadi Wali Amanat dari pemegang Efek yang diterbitkan oleh Emiten
dimaksud.
3. Yang tidak termasuk Kredit sebagaimana dimaksud dalam angka 1 adalah:
a. Penempatan atau penanaman dana bank kepada bank lain, pembelian surat
berharga termasuk Sukuk dari Emiten yang diwaliamanati; dan
b. Transaksi rekening administratif (off balance-sheet) seperti Letter of Credit (LC),
Standby LC, bank garansi, fasilitas valas (foreign exchange line valuta today,
tomorrow, spot termasuk transaksi derivatif seperti forward, futures, dan lain-
lain).
4. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal,
Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran
ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 1 Agustus 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-309/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id>
<reg_title> HUBUNGAN KREDIT DAN PENJAMINAN ANTARA WALI AMANAT DENGAN EMITEN </reg_title>
<set_date> 1 Agustus 2008 </set_date>
<effective_date> 1 Agustus 2008 </effective_date>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR KEP- 14/BL/2009
TENTANG
DIREKTUR LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian yang sehat dan berdaya saing global, maka
diperlukan pengelola Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang memiliki kompetensi dan integritas yang
tinggi serta memenuhi persyaratan sebagaimana
dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, maka
dipandang perlu untuk menyempurnakan persyaratan, tata
cara pencalonan dan pemilihan direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dengan menetapkan
Keputusan Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan yang
baru;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang
Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun
1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN
LEMBAGA
LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian diatur dalam Peraturan Nomor III.C.3 sebagaimana
dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
KEUANGAN TENTANG DIREKTUR
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 โ
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka semua ketentuan
terkait dengan Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sebagaimana tersebut dalam Peraturan Nomor III.C.3, Lampiran
Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-14/PM/1996 tentang
Persyaratan Calon Direktur dan Komisaris Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian tanggal 17 Januari 1996 dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 3
Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sedang
menjabat sebelum ditetapkannya peraturan ini tetap dapat
menjabat sampai dengan masa jabatannya berakhir.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 30 Januari 2009.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 Januari 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan
Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep- 14/BL/2009
Tanggal : 30 Januari 2009
PERATURAN NOMOR III.C.3
: DIREKTUR LEMBAGA PENYIMPANAN
DAN PENYELESAIAN
1. Ketentuan Umum
a. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mempunyai paling sedikit 2
(dua) orang direktur.
b. Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian menelaah jumlah
kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
serta mengajukan kepada Bapepam dan LK paling lambat 121 (seratus
duapuluh satu) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pemilihan
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
c. Dalam menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, komisaris dapat membentuk komite dengan
atau tanpa melibatkan pihak lain, dengan berpedoman pada peraturan ini,
Peraturan Nomor III.C.1, Peraturan Nomor III.C.6, dan struktur organisasi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang berlaku.
d. Dalam menentukan jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, Dewan Komisaris wajib memperhatikan kegiatan yang menjadi
tanggung jawab masing-masing jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sebagaimana diatur dalam angka 11 dan angka 12.
e. Apabila dalam batas waktu pengajuan sebagaimana dimaksud dalam huruf
b, dewan komisaris belum mengajukan jumlah kebutuhan dan jabatan
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka Bapepam dan LK
menetapkan langsung jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
f. Bapepam dan LK menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan direktur
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 109 (seratus
sembilan) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pemilihan direktur
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
g. Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan kebutuhan operasional
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Bapepam dan LK dapat
menambah direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dalam Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sedang menjabat.
2. Persyaratan Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
a.
Setiap direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan
perbuatan hukum;
2) memiliki akhlak dan moral yang baik;
3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur
yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu
perusahaan dinyatakan pailit;
4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan
keuangan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep- 14/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 2 -
6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
7) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal
termasuk perkembangan pasar modal internasional;
8) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dan Pasar Modal Indonesia; dan
9) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan
prinsip-prinsip pengelolaan risiko.
b. Selain persyaratan huruf a, calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) paling sedikit 1 (satu) orang calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib mempunyai pengalaman dalam posisi manajerial
pada bidang pengelolaan risiko dan/atau pengelolaan investasi pada
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, atau posisi manajerial
yang membawahi jasa kustodian sekurang-kurangnya satu tingkat di
bawah direktur pada Bank Kustodian, paling kurang 5 (lima) tahun;
2) calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lainnya wajib
berpengalaman pada:
a) posisi direktur pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan
paling kurang 5 (lima) tahun;
b) posisi manajerial pada bidang teknologi informasi paling kurang 3
(tiga) tahun dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sistem
informasi perusahaan yang bergerak di bidang keuangan;
c) posisi manajerial paling kurang satu tingkat di bawah direktur atau
jabatan yang setara pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau
organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-undang tentang
Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya, paling
kurang 3 (tiga) tahun; dan/atau
d) mempunyai pengalaman sebagai profesional di bidang hukum,
akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang
Pasar Modal, paling kurang 5 (lima) tahun;
c. Bagi calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang diajukan
sebagai direktur utama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, selain
wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b, juga wajib mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat.
3. Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Calon Direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian
a. Pencalonan dan pengajuan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib dilakukan oleh pemegang saham atau para pemegang
saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memiliki sekurang-
kurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep- 14/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 3 -
b. Dalam pencalonan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling
kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara,
bertanggung jawab menyeleksi calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, meneliti bahwa setiap calon direktur Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian tersebut mempunyai keahlian, pengalaman dan tanggung
jawab untuk masing-masing jabatan dan kegiatan yang menjadi tugas
jabatannya sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 11, dan angka 12,
dan menegosiasikan atau merekomendasikan gaji serta manfaat lain bagi
masing-masing calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi
sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c Peraturan Nomor III.C.8 (jika
ada).
c. Calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib diajukan
kepada Bapepam dan LK oleh pemegang saham atau kelompok pemegang
saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dalam satu kesatuan paket calon direksi, dengan memenuhi
ketentuan jabatan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 11 dan
angka 12.
d. Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak berlaku
untuk pengajuan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
untuk mengisi jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
yang lowong atau untuk menambah calon direktur Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
e. Dalam pengajuan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
kepada Bapepam dan LK, pemegang saham mayoritas Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua)
dokumen-dokumen sebagai berikut:
1) riwayat hidup calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
2) surat pernyataan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah
memenuhi ketentuan angka 2 huruf a angka 3) angka 4), angka 5), angka
6) dan angka 8);
3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon direktur Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian;
4) surat pernyataan tentang ada tidaknya hubungan Afiliasi calon direktur
dengan calon direktur lain dari Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
Perusahaan Efek, dan Bank Kustodian yang merupakan partisipan atau
pengguna jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
5) fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan keahlian dari
calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (jika ada);
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep- 14/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 4 -
6) surat pernyataan dari masing-masing pihak yang diajukan sebagai calon
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memuat antara
lain tentang kesediaan untuk dipilih menjadi direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dan kesediaan untuk bekerja sama
sebaik-baiknya dalam rangka pelaksanaan kegiatan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang teratur, wajar, dan efisien dengan
komisaris dan direktur lain Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
7) surat pernyataan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian untuk tidak melakukan perangkapan jabatan sebagai
direktur, komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau institusi lain,
apabila yang bersangkutan terpilih sebagai direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
8) jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1
peraturan ini mengenai integritas calon direktur Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.3-1;
9) 3 (tiga) buah pas photo berwarna terbaru ukuran 10 x 15 cm (kartu pos);
10) surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti
calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dari pemegang
saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang
20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara,
termasuk rekomendasi mengenai gaji dan manfaat lain apabila calon
direktur diangkat menjadi direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan
secara profesional dan tidak ada kepentingan lain termasuk kepentingan
karena hubungan Afiliasi, selain semata-mata untuk kepentingan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian khususnya dan Pasar Modal
pada umumnya;
11) rencana strategis calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang sejalan dengan visi dan misi Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian;
12) surat pernyataan dari calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang menyatakan bahwa calon direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian setelah menjadi direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian tidak akan menggunakan aset Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian atau melakukan transaksi dan memberi
manfaat dalam bentuk apapun kepada Pihak terafiliasinya, direktur lain
dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Pihak terafiliasi dari
direktur lain Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan/atau Pihak terafiliasi
dari komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan
13) surat pernyataan dari calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang menyatakan antara lain:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep- 14/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 5 -
a) kesediaan untuk tidak memiliki saham atau sebagai pengendali baik
langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek selama menjabat
sebagai direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan/atau
b) kesediaan untuk tidak mengendalikan baik langsung atau tidak
langsung Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau tidak
mentransaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik yang
dimilikinya sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya
berakhir.
f. Pengajuan nama calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki
paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak
suara sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf c beserta dokumen-
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf e tersebut
di atas, diterima secara lengkap oleh Bapepam dan LK paling lambat 56 (lima
puluh enam) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan
direktur. Dalam hal terdapat kekurangan maka pengajuan dianggap telah
lengkap pada saat kekurangan tersebut disampaikan kepada Bapepam dan
LK.
4. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
a. Setiap calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
diajukan wajib lulus penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan
oleh Komite yang dibentuk oleh Ketua Bapepam dan LK.
b. Anggota Komite sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri dari 5 (lima)
orang yang terdiri dari Ketua Bapepam dan LK sebagai Ketua merangkap
anggota, dan 4 (empat) pejabat setingkat Eselon II di Bapepam dan LK
sebagai anggota.
c. Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri
paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite.
d. Komite melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon direktur
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian antara lain melalui penelitian
administratif, wawancara, dan/atau permintaan presentasi.
e. Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon direktur
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Komite dapat dibantu oleh nara
sumber dengan keahlian tertentu yang berasal dari luar Bapepam dan LK.
f. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian memenuhi persyaratan
integritas dan kompetensi.
g. Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf f
meliputi:
1) cakap melakukan perbuatan hukum;
2) memiliki akhlak dan moral yang baik;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep- 14/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 6 -
3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur
yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu
perusahaan dinyatakan pailit;
4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan
keuangan;
6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan
peraturan perundangโundangan di bidang Pasar Modal; dan
7) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dan Pasar Modal Indonesia.
h. persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf f
meliputi:
1) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal
termasuk perkembangan pasar modal internasional;
2) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan
prinsip-prinsip pengelolaan risiko;
3) memiliki asal usul atau pengalaman yang cukup, sebagaimana
dipersyaratkan dalam ketentuan angka 2 huruf b atau huruf c; dan
4) memiliki keahlian di bidang Pasar Modal dan/atau keahlian sesuai
dengan bidang yang dipersyaratkan dalam ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 huruf b butir 1) dan butir 2) poin b).
i. Berdasarkan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
dalam huruf d, Bapepam dan LK menyampaikan hasil penilaian dimaksud
kepada pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki
paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang mengajukan calon direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 21 (dua puluh satu) hari
setelah permohonan diterima secara lengkap.
5. Jika dalam satu daftar paket calon Direksi yang diajukan oleh pemegang saham
atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh
perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan
sebagaimana dimaksud dalam
angka 3 huruf a dan huruf c terdapat calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan, maka
Pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang
20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dapat mengajukan
kembali calon direktur lain untuk menggantikan calon direktur yang tidak lulus
kepada Bapepam dan LK paling lambat 14 (empat belas) hari setelah
pemberitahuan hasil penilaian oleh Bapepam dan LK kepada pemegang saham
atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh
perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dimaksud, dengan memenuhi
ketentuan angka 2 dan angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep- 14/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 7 -
6. Apabila semua dokumen sudah lengkap dan semua persyaratan telah dipenuhi,
Bapepam dan LK menyampaikan surat persetujuan dan daftar paket calon
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian beserta fotokopi dokumen
calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Rapat Umum
Pemegang Saham.
7. Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan kepada
semua pemegang saham daftar calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang disetujui Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam
angka 6 beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud angka 3 huruf
e paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya daftar calon direktur
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dari Bapepam dan LK. Daftar paket
calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian beserta fotokopi
dokumen lengkap tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang
saham dan publik.
8. Rapat Umum Pemegang Saham dan Tata Cara Pemilihan Direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian
a. Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan Rapat Umum
Pemegang Saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan Rapat
Umum Pemegang Saham dengan memuat antara lain rencana pengangkatan
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
b. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum Rapat
Umum Pemegang Saham dimaksud, dengan tidak memperhitungkan tanggal
pemanggilan dan tanggal Rapat Umum Pemegang Saham, dengan memuat
antara lain rencana pengangkatan direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
c. Pemilihan dan pengangkatan direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang diajukan dalam satu kesatuan paket pencalonan kepada
Rapat Umum Pemegang Saham wajib dilakukan dalam satu kesatuan paket
dimaksud berdasarkan suara terbanyak dalam Rapat Umum Pemegang
Saham
d. Pemilihan dan pengangkatan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian secara paket sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf c
tidak berlaku untuk pemilihan dan pengangkatan calon direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian untuk mengisi jabatan direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau untuk menambah calon
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
e. Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengangkat direktur Lembaga
Penyimanan dan Penyelesaian wajib dipimpin oleh komisaris utama atau
salah satu komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan.
f. Seorang calon direktur terpilih sebagaimana dimaksud dalam huruf c,
mempunyai hak untuk mengundurkan diri, sebelum diangkat oleh Rapat
Umum Pemegang Saham.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep- 14/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 8 -
g. Pada saat Rapat Umum Pemegang Saham calon direktur wajib menjelaskan
rencana strategis kepada pemegang saham. Penjelasan dapat juga
disampaikan dalam forum lainnya sebelum Rapat Umum Pemegang Saham
yang memungkinkan pemegang saham melakukan interaksi dengan calon
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
9. Gaji dan manfaat lain bagi calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf b wajib ditentukan
berdasarkan kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk masing-masing
jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sesuai dengan tugas
dan tanggung jawabnya berdasarkan keahlian, dan pengalaman masing-masing
calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan
mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan angka 10 huruf c Peraturan Nomor III.C.8 (jika ada).
10. Gaji dan manfaat lain bagi direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam angka 9 yang diajukan oleh kelompok Anggota
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 3
huruf a wajib disetujui dan ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
11. Salah seorang diantara calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
wajib ditetapkan sebagai calon direktur utama dengan tugas utama antara lain
mengambil keputusan yang bersifat final jika rapat direksi tidak dapat mengambil
keputusan, melakukan koordinasi kegiatan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, kegiatan hubungan masyarakat dan kegiatan pemeriksaan internal.
12. Calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lainnya wajib ditetapkan
sebagai direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang antara lain
bertanggung jawab terhadap satu atau lebih kegiatan sebagai berikut:
a.
b.
penyelesaian;
jasa kustodian;
c. riset dan pengembangan;
d.
teknologi informasi;
e. hukum; dan
f. keuangan dan sumber daya manusia serta administrasi umum.
13. Dalam hal direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian mengganggap
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian bertanggung jawab dan
menjalankan tugas atas beberapa kegiatan sebagaimana ditetapkan sebagaimana
pada saat yang bersangkutan diangkat tidak dapat melaksanakan sebagian
tugasnya, maka atas keputusan rapat direksi, sebagian tugasnya dapat dialihkan
kepada direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lain yang
dianggap mampu untuk menjalankan tugas setelah mendapatkan persetujuan
dewan komisaris, Bapepam dan LK, dan ditetapkan Rapat Umum Pemegang
Saham.
14. Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang mempunyai
hubungan Afiliasi dengan direktur lain dari Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dan/atau komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep- 14/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 9 -
15. Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang memiliki saham atau
sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek dan/atau
Bank Kustodian.
16. Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang mengendalikan baik
langsung atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan Publik. Dalam hal direktur
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian memiliki saham Emiten atau
Perusahaan Publik, maka saham tersebut tidak dapat ditransaksikan sampai
dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya berakhir.
17. Masa jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 Tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal dan hanya dapat diangkat
kembali untuk satu kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Apabila seorang direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diangkat
untuk mengisi jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
yang lowong atau untuk menambah calon direktur Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, maka masa jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian tersebut berlaku selama sisa masa jabatan direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang sedang menjabat; dan
b. Penghitungan satu kali masa jabatan bagi seorang direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian adalah jika yang bersangkutan menjabat
selama paling kurang 2/3 (dua per tiga) dari masa jabatan direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian; dan
c. Keseluruhan masa jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan.
18. Berakhirnya masa jabatan Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
diatur berbeda dengan berakhirnya masa jabatan komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
19. Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 wajib diganti dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan diketahui atau
dinyatakan oleh Bapepam dan LK tidak lagi memenuhi syarat, dan pemegang
saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua
puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah
dikeluarkan dan mempunyai hak suara wajib segera mengajukan calon direktur
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian penggantinya kepada Bapepam dan LK
dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3.
20. Dalam hal terdapat jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
yang lowong, maka jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
tersebut wajib diisi dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak jabatan
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dimaksud lowong, dan
pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang
20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara wajib segera mengajukan calon
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep- 14/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 10 -
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian penggantinya kepada Bapepam
dan LK dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3.
21. Dalam hal terjadi:
a. Jabatan direktur utama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lowong,
maka salah satu direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
ditunjuk berdasarkan keputusan Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian untuk menduduki jabatan direktur utama yang lowong
tersebut sampai dengan diangkatnya pengganti oleh Rapat Umum Pemegang
Saham, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dan Bapepam dan
LK.
b. Jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian selain direktur
utama lowong, maka tugas direktur tersebut berdasarkan keputusan rapat
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dialihkan kepada
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lain sampai dengan
diangkatnya pengganti oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah
mendapat persetujuan Dewan Komisaris dan Bapepam dan LK.
22. Bapepam dan LK dapat menetapkan jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang lowong tidak wajib diisi sebagaimana ditentukan dalam angka
20 setelah mempertimbangkan perkembangan kegiatan dan operasional Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
23. Batas waktu penggantian dan/atau pengisian direktur Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 19 dan angka 20 dapat
ditentukan lain oleh Bapepam dan LK.
24. Dalam hal terdapat jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
yang lowong atau dalam hal adanya pengunduran diri direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, maka direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima)
hari sejak diketahui atau diterimanya surat pengunduran diri oleh direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
25. Dalam pengisian jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk
menggantikan jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
lowong dan/atau diperlukannya tambahan direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian baru, maka:
a. penggantian atau penambahan direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam angka 2
dan angka 3.
b. calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang akan diajukan
wajib bersedia bekerjasama dengan direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang ada.
c. penambahan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian baru wajib
memperhatikan ketentuan angka 1 huruf f dan huruf g, dan pelaksanaannya
wajib memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3.
26. Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang tidak lagi menjabat
sebagai direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian karena sebab apapun,
LAMPIRAN
Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan LK
Nomor : Kep- 14/BL/2009
Tanggal
: 30 Januari 2009
- 11 -
tidak berhak menerima gaji dan manfaat lainnya dari Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa penghargaan sepanjang
disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham yang mengangkatnya dengan
ketentuan jumlah kompensasi atau jasa penghargaan dimaksud tidak lebih besar
dari jumlah gaji dari sisa masa jabatan.
27. Masa jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian berakhir dengan
sendirinya apabila direktur tersebut antara lain:
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;
b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
c. dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan
bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan
pailit;
d. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
e.
berhalangan tetap;
f.
meninggal dunia; dan/atau
g. masa jabatan berakhir.
28. Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dapat diberhentikan dari
jabatannya oleh Bapepam dan LK apabila direktur tersebut, antara lain:
a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di
bidang keuangan pada umumnya;
c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian; dan/atau
e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas.
29. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan
LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan
peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 30 Januari 2009
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan
ttd
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
LAMPIRAN : 1
Peraturan Nomor : III.C.3
Formulir Nomor: III.C.3-1
DAFTAR PERTANYAAN
I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN:
1. Semua pertanyaan dalam daftar pertanyaan ini adalah berkaitan dengan
integritas wajib dijawab oleh setiap calon direktur Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
2. Berilah tanda โ dalam kotak di depan kata โYaโ, jika jawaban Saudara โYaโ,
atau berilah tanda โ dalam kotak di depan kata โTidakโ jika jawaban atas
pertanyaan berikut adalah โTidakโ.โ.
3. Untuk setiap jawaban โYaโ, calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas, antara lain
memuat:
a. lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan;
b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan;
c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan;
d. tindakan atau sanksi yang dikenakan.
II. INTEGRITAS CALON DIREKTUR
Definisi:
Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha perumahan
atau real estate termasuk kegiatan baik langsung maupun tidak langsung,
berhubungan
dengan
Perusahaan
Efek, Penasehat
Perusahaan Lain yang bergerak di bidang keuangan.
Jawablah pertanyaan di bawah ini:
1. Dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir, apakah calon direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian pernah dihukum atau mengaku bersalah
atau tidak menggugat atas tuduhan:
a. tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha yang
berhubungan dengan Investasi, penipuan, pernyataan palsu atau
penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan?
๎ ya
b. atau kejahatan lain?
๎ ya
2. Apakah pengadilan:
๎ tidak
๎ tidak
Investasi, Bank
atau
1
a. pernah memutuskan bahwa calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian pailit?
๎ ya
๎ tidak
b. dalam sepuluh tahun terakhir ini melarang calon direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dalam kegiatannya yang berhubungan
dengan Investasi?
๎ ya
๎ tidak
c. pernah memutuskan bahwa calon direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian terlibat dalam pelanggaran hukum yang berhubungan
dengan Investasi, dan/atau terlibat pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku?
๎ ya
๎ tidak
3. Apakah Bapepam dan LK pernah:
a. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
membuat pernyataan palsu atau melakukan kelalaian?
๎ ya
๎ tidak
b. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
terlibat dalam pelanggaran hukum, keputusan- keputusan atau
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam dan LK?
๎ ya
๎ tidak
c. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
menyebabkan suatu perusahaan berhubungan dengan investasi yang
Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftarannya
ditolak, ditangguhkan, dicabut atau dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
d. memerintahkan untuk menolak, menghentikan untuk sementara atau
mencabut Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan
Pendaftaran atau sanksi dengan membatasi kegiatan-kegiatan calon
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian?
๎ ya
๎ tidak
4. Apakah lembaga atau institusi lain yang berwenang di Indonesia atau di luar
negeri pernah:
a. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
membuat pernyataan palsu, tidak memberikan pernyataan yang
diminta, tidak jujur, tidak adil atau tidak etis?
๎ ya
๎ tidak
b. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
melakukan kegiatan yang menyebabkan suatu Izin Usaha, Persetujuan,
2
Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftaran ditolak, dihentikan untuk
sementara, dicabut atau dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
c. memerintahkan untuk menegur calon direktur Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian sehubungan dengan kegiatan yang berhubungan
dengan Investasi?
๎ ya
๎ tidak
d. menolak, menghentikan untuk sementara, atau membatalkan Izin
Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftaran calon
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk bergerak
dalam usaha yang berhubungan dengan Investasi, atau membatasi
kegiatan dalam bidang usaha tersebut?
๎ ya
๎ tidak
e. mencabut atau menghentikan untuk sementara Izin Usaha calon
direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan, Notaris, Konsultan Hukum
(Advokat) atau Penilai?
๎ ya
๎ tidak
5. Apakah Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian pernah:
a. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta?
๎ ya
๎ tidak
b. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan yang
berlaku?
๎ ya
๎ tidak
c. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
menyebabkan suatu usaha berhubungan dengan Investasi yang Izin
Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftarannya
untuk menjalankan usahanya ditolak, dihentikan sementara, dicabut
atau dibatasi?
๎ ya
๎ tidak
d. menertibkan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dalam kedudukannya sebagai direktur atau komisaris Anggota Bursa
Efek, Anggota Kliring, atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, dengan:
1) mengeluarkan atau menghentikan sementara perusahaannya dari
keanggotaan suatu Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan,
dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
3
2) menghalangi atau menghentikan sementara hubungan
perusahaannya dengan Anggota Bursa Efek atau Anggota Kliring
lainnya atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
atau
3) membatasi kegiatan perusahaannya sebagai Anggota Bursa Efek
atau Anggota Kliring atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian tersebut?
๎ ya
๎ tidak
6. Apakah calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pernah atau
sedang dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan Investasi atau
penipuan?
๎ ya
๎ tidak
7. Apakah calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pernah atau
sedang digugat atau dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan perkara
perdata atau pidana?
๎ ya
๎ tidak
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..20
Calon Direktur
Materai
โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ
(Nama Lengkap)
4
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-14/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 </reg_id>
<reg_title> DIREKTUR LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title>
<set_date> 30 Januari 2009 </set_date>
<effective_date> 30 Januari 2009 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-14/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor III.C.3' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP- 196/BL/2012
TENTANG
PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN
LAPORAN PENILAIAN USAHA DI PASAR MODAL
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka melakukan penyesuaian atas
Peraturan Nomor VIII.C.3 agar selaras dengan
Peraturan Nomor VIII.C.5 tentang Pedoman Penilaian
dan Penyajian Laporan Penilaian Aset Takberwujud di
Pasar Modal serta melakukan penyempurnaan
beberapa ketentuan dalam Peraturan Nomor VIII.C.3
agar selaras dengan perkembangan proses penilaian
yang terjadi pada Pasar Modal di Indonesia, maka
dipandang perlu untuk menyempurnakan Keputusan
Ketua Bapepam dan LK Kep-340/BL/2009 tanggal 5
Oktober 2009 tentang Peraturan Nomor VIII.C.3
tentang Pedoman Penilaian dan Penyajian Laporan
Penilaian Usaha di Pasar Modal, dengan menetapkan
Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995
tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
20/M Tahun 2011;
5. Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN
LAPORAN PENILAIAN USAHA DI PASAR MODAL.
Pasal 1
Ketentuan mengenai pedoman penilaian dan penyajian
laporan penilaian usaha di Pasar Modal diatur dalam
Peraturan Nomor VIII.C.3 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Penilai Usaha yang telah menandatangani kontrak
penugasan penilaian
profesional namun belum
menerbitkan Laporan Penilaian Usaha wajib mengikuti
Peraturan Nomor VIII.C.3 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
Pasal 3
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan
Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-340/BL/2009
tanggal 5 Oktober 2009 tentang Pedoman Penilaian dan
Penyajian Laporan Penilaian Usaha di Pasar Modal
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
: Jakarta
pada tanggal
: 19 April 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
PERATURAN NOMOR VIII.C.3:
PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN
LAPORAN PENILAIAN USAHA DI PASAR
MODAL
1. KETENTUAN UMUM
a. Definisi yang digunakan dalam Peraturan ini adalah:
1)
2)
3)
Penilai Usaha adalah Penilai yang melakukan kegiatan penilaian usaha
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor VIII.C.1.
Penilai Properti adalah Penilai yang melakukan kegiatan penilaian
properti sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Nomor VIII.C.1.
Penilaian Usaha adalah kegiatan atau proses untuk menghasilkan suatu
opini atau perkiraan atas Nilai Pasar Wajar Obyek Penilaian.
4) Obyek Penilaian adalah setiap obyek kegiatan penilaian usaha
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor VIII.C.1.
5)
Nilai adalah perkiraan harga yang diinginkan oleh penjual dan pembeli
atas suatu barang atau jasa dan merupakan jumlah manfaat ekonomi
berdasarkan Nilai Pasar Wajar yang akan diperoleh dari Obyek
Penilaian pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date).
6) Tanggal Penilaian (Cut Off Date) adalah tanggal pada saat Nilai, hasil
penilaian, atau perhitungan manfaat ekonomi dinyatakan.
7) Dasar Penilaian adalah suatu penjelasan dan/atau pendefinisian
tentang jenis nilai yang sedang diteliti berdasarkan kriteria tertentu.
8) Premis Nilai adalah asumsi Nilai yang berhubungan dengan suatu
kondisi transaksi yang dapat digunakan pada Obyek Penilaian.
9)
Nilai Buku adalah:
a)
b)
hasil Kapitalisasi atas biaya perolehan aset, dikurangi akumulasi
depresiasi, deplesi, atau amortisasi sebagaimana yang tercatat
dalam laporan keuangan; atau
selisih antara total aset setelah dikurangi depresiasi, deplesi, atau
amortisasi dengan total kewajiban dari perusahaan sebagaimana
tercatat dalam laporan keuangan.
10) Nilai Buku Disesuaikan adalah Nilai Buku yang dihasilkan setelah
dilakukan penyesuaian (normalisasi) terhadap nilai dari satu atau lebih
aset atau kewajiban.
11) Nilai Aset Bersih (Net Asset Value) adalah total nilai pasar wajar aset
dikurangi total nilai pasar wajar kewajiban.
12) Nilai Pasar Wajar (Fair Market Value) adalah perkiraan jumlah uang
pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang dapat diperoleh dari suatu
transaksi jual beli Obyek Penilaian antara pembeli yang berminat
membeli (willing buyer) dan penjual yang berminat menjual (willing
seller) dalam suatu transaksi yang bersifat layak dan wajar.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-2-
13) Asumsi adalah sesuatu yang dianggap akan terjadi termasuk fakta,
syarat, atau keadaan yang mungkin dapat mempengaruhi Obyek
Penilaian atau Pendekatan Penilaian dan kewajarannya telah dianalisis
oleh Penilai Usaha sebagai bagian dari proses penilaian.
14) Pendekatan Penilaian adalah suatu cara untuk memperkirakan Nilai
dengan menggunakan satu atau lebih Metode Penilaian.
15) Pendekatan Aset (Asset Based Approach) adalah Pendekatan Penilaian
berdasarkan laporan keuangan historis Obyek Penilaian yang telah
diaudit, dengan cara menyesuaikan seluruh aset dan kewajiban menjadi
Nilai Pasar Wajar sesuai dengan Premis Nilai yang digunakan dalam
Penilaian Usaha.
16) Pendekatan Pasar (Market Based Approach) adalah Pendekatan Penilaian
dengan cara membandingkan Obyek Penilaian dengan obyek lain yang
sebanding dan sejenis serta telah memiliki harga jual.
17) Pendekatan Pendapatan (Income Based Approach) adalah Pendekatan
Penilaian dengan cara mengkonversi manfaat ekonomis atau
pendapatan yang diperkirakan akan dihasilkan oleh Obyek Penilaian
dengan tingkat diskonto tertentu.
18) Metode Penilaian adalah suatu cara atau rangkaian cara tertentu dalam
melakukan penilaian.
19) Metode Diskonto untuk Pendapatan Mendatang (Multi Period of Income
Discounting) adalah Metode Penilaian yang digunakan untuk menentukan
nilai sekarang suatu pendapatan yang akan diterima di masa yang akan
datang atas Obyek Penilaian yang akan diterima, dengan suatu tingkat
diskonto.
20) Metode Kapitalisasi Pendapatan (Capitalization of Income Method) adalah
Metode Penilaian yang mendasarkan pada suatu pendapatan yang
dianggap mewakili kemampuan di masa mendatang dari suatu perusahaan
atau business interest yang dinilai dibagi dengan suatu Tingkat Kapitalisasi
atau dikali dengan faktor kapitalisasi sehingga menjadi suatu indikasi
nilai dari perusahaan atau business interest.
21) Laporan Penilaian Usaha adalah laporan tertulis yang dibuat oleh
Penilai Usaha yang memuat pendapat Penilai Usaha mengenai Obyek
Penilaian serta menyajikan informasi tentang proses penilaian.
22) Tanggal Laporan Penilaian Usaha adalah tanggal ditandatanganinya
Laporan Penilaian Usaha oleh Penilai Usaha.
23) Tenaga Ahli adalah orang yang mempunyai keahlian dan kualifikasi
pada suatu bidang tertentu di luar ruang lingkup kegiatan penilaian
dan tidak bekerja pada Kantor Jasa Penilai Publik.
24) Holding Company adalah suatu perusahaan yang sebagian besar
pendapatannya atau seluruhnya berasal dari penyertaan pada
perusahaan-perusahaan lain.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-3-
25) Diskon Pengendalian (Discount For Lack of Control) adalah suatu jumlah
atau persentase tertentu yang merupakan pengurang dari nilai suatu
ekuitas sebagai cerminan dari tingkat pengendalian atas Obyek
Penilaian.
26) Diskon Likuiditas Pasar (Discount For Lack of Marketabilities) adalah
suatu jumlah atau persentase tertentu yang merupakan pengurang dari
nilai suatu ekuitas sebagai cerminan dari kurangnya likuiditas Obyek
Penilaian.
27) Business Interest adalah kepemilikan dalam perusahaan yang antara lain
meliputi penyertaan dalam perusahaan, surat berharga, aset keuangan
(financial assets) lainnya dan Aset Takberwujud (intangible assets).
28) Faktor Kapitalisasi adalah semua jenis rasio yang digunakan untuk
mengkonversi pendapatan menjadi suatu nilai.
29) Kelangsungan Usaha (Going Concern) adalah:
a) suatu kondisi yang mencerminkan usaha yang sedang beroperasi
atau dalam konstruksi; atau
b) suatu premis dalam penilaian, dimana Penilai Usaha menganggap
suatu perusahaan akan terus melanjutkan operasinya secara
berkelanjutan.
30) Kapitalisasi adalah:
a) pengkonversian Arus Kas Bersih (AKB) atau penghasilan bersih
lain, baik yang bersifat aktual maupun perkiraan, selama periode
tertentu yang ekuivalen dengan nilai aset pada suatu tanggal
tertentu; atau
b) pengakuan atas suatu pengeluaran modal (capital expenditure).
31) Pengendalian adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur
manajemen perusahaan atau kebijakan usaha.
32) Premi Pengendalian (Premium for Control) adalah suatu jumlah atau
persentase tertentu yang merupakan penambah dari nilai suatu ekuitas
sebagai cerminan dari tingkat pengendalian atas Obyek Penilaian.
33) Kendali Mayoritas adalah tingkat kemampuan pengendalian suatu
perseroan oleh pemegang saham pengendali.
34) Modal Kerja Bersih adalah selisih lebih aset lancar terhadap kewajiban
lancar.
35) Modal yang Diinvestasikan (Invested Capital) adalah jumlah utang
jangka panjang dan ekuitas pada suatu perusahaan.
36) Tingkat Kapitalisasi adalah jumlah pembagi yang digunakan untuk
mengkonversi pendapatan menjadi Nilai.
37) Tingkat Imbal Balik (Rate of Return) adalah jumlah laba (rugi) dan/atau
perubahan nilai yang direalisasikan atau diharapkan dari suatu
investasi yang dinyatakan dalam persentase.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-4-
38) Tingkat Diskonto adalah suatu Tingkat Imbal Balik untuk
mengkonversikan nilai di masa depan ke nilai sekarang yang
mencerminkan nilai waktu dari uang (time value of money) dan
ketidakpastian atas terealisasinya pendapatan ekonomi.
39) Arus Kas Bersih (AKB) adalah jumlah kas yang:
a)
tersedia setelah terpenuhinya kebutuhan kas untuk kegiatan
operasional;
b) merupakan arus kas yang tersedia bagi penyedia modal (utang dan
ekuitas); dan
c)
telah bebas dari kewajiban untuk mempertahankan operasi saat ini
(current operation) dan untuk mengantisipasi pertumbuhan
perusahaan.
40) Arus Kas Kotor adalah laba bersih setelah pajak, ditambah transaksi
bukan kas berupa penyusutan aset (depresiasi dan/atau amortisasi).
b. Umum
1) Dalam rangka melakukan kegiatan Penilaian Usaha di bidang Pasar
Modal, Penilai Usaha wajib menaati kode etik dan standar yang
ditetapkan oleh asosiasi sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
ini.
2)
Penilai Usaha wajib menggunakan Nilai Pasar Wajar (Fair Market Value)
dalam setiap kegiatan Penilaian Usaha.
3) Dalam hal penilaian yang dilakukan oleh Penilai Usaha mengacu pada
hasil penilaian properti, maka:
a) hasil penilaian properti yang digunakan sebagai acuan adalah hasil
penilaian properti yang diterbitkan oleh Penilai Properti;
b)
hasil penilaian properti yang dijadikan acuan wajib dilampirkan
dalam Laporan Penilaian Usaha; dan
c) Tanggal Penilaian (Cut Off Date) pada Penilaian Usaha wajib sama
dengan Tanggal Penilaian (Cut Off Date) pada penilaian properti.
4) Dalam hal penilaian yang dilakukan oleh Penilai Usaha mengacu pada
hasil Penilaian Usaha, maka:
a) hasil Penilaian Usaha yang digunakan sebagai acuan adalah hasil
Penilaian Usaha yang diterbitkan oleh Penilai Usaha;
b) hasil Penilaian Usaha yang dijadikan acuan wajib dilampirkan
dalam Laporan Penilaian Usaha; dan
c) Tanggal Penilaian (Cut Off Date) pada Penilaian Usaha yang
dijadikan acuan wajib sama dengan Tanggal Penilaian (Cut Off Date)
pada Penilaian Usaha.
5) Dalam hal penilaian yang dilakukan oleh Penilai Usaha mengacu pada
laporan keuangan, maka:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-5-
a) laporan keuangan yang digunakan sebagai dasar penilaian adalah
laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan yang telah
terdaftar di Bapepam dan LK kecuali dalam hal Penilai Usaha
melakukan penugasan pendapat kewajaran (fairness opinion), maka
dapat menggunakan laporan keuangan dengan penelahaan
terbatas (limited review);
b) laporan keuangan yang digunakan sebagai dasar penilaian adalah
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan yang terdaftar
di negara yang bersangkutan untuk penilaian atas perusahaan
yang berada di luar yurisdiksi Indonesia;
c)
jangka waktu antara tanggal laporan keuangan dan Tanggal
Laporan Penilaian Usaha tidak lebih dari 6 (enam) bulan; dan
d) Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang digunakan oleh Penilai
Usaha wajib sama dengan tanggal laporan keuangan.
6) Dalam hal Penilai Usaha melakukan revisi atas Laporan Penilaian
Usaha, maka Penilai Usaha wajib menerbitkan kembali Laporan
Penilaian Usaha dengan tanggal dan nomor yang berbeda dengan
disertai alasan dan penjelasan diterbitkannya revisi atas Laporan
Penilaian Usaha dimaksud. Fakta dan perubahan yang material wajib
diungkapkan dalam Laporan Penilaian Usaha yang telah direvisi
tersebut.
7) Laporan Penilaian Usaha berlaku selama 6 (enam) bulan sejak Tanggal
Penilaian (Cut Off Date), kecuali terdapat hal-hal yang dapat
mempengaruhi kesimpulan Nilai lebih dari 5% (lima perseratus).
2. PENGGANTIAN PENILAI USAHA
Dalam hal terjadi penggantian Penilai Usaha, maka berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. Penggantian Penilai Usaha hanya dapat dilakukan apabila Penilai Usaha:
1) mengundurkan diri; atau
2)
diberhentikan oleh pemberi tugas dengan pemberitahuan bahwa
penugasannya telah dihentikan disertai dengan alasan yang obyektif.
b. Penggantian Penilai Usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2)
wajib dibuktikan dengan surat tertulis dari pemberi tugas.
c. Penggantian Penilai Usaha hanya dilakukan untuk penilaian atas obyek yang
sama.
d. Sebelum menerima penugasan penilaian profesional, Penilai Usaha pengganti
wajib terlebih dahulu:
1) meminta persetujuan tertulis dari calon pemberi tugas untuk meminta
keterangan dari Penilai Usaha yang digantikan;
2) melakukan komunikasi, baik tertulis maupun lisan, dengan Penilai
Usaha yang digantikan mengenai masalah-masalah yang menurut
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-6-
keyakinan Penilai Usaha pengganti akan membantu dalam penerimaan
atau penolakan penugasan penilaian profesional; dan
3) melakukan evaluasi atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka
1) dan angka 2) untuk memutuskan menerima atau menolak penugasan
penilaian profesional.
e. Penilai Usaha yang digantikan wajib memberikan jawaban dengan segera
dan lengkap atas pertanyaan dari Penilai Usaha pengganti berdasarkan fakta
yang diketahuinya.
f. Penilai Usaha pengganti hanya dapat menerima suatu penugasan penilaian
profesional apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf d telah
dilakukan.
g. Penilai Usaha yang digantikan maupun Penilai Usaha pengganti wajib
menjaga kerahasiaan informasi yang telah diperoleh kecuali atas permintaan
Bapepam dan LK atau diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
h. Penilai Usaha pengganti wajib mengulang pelaksanaan penilaian sesuai
dengan standar dan pedoman penilaian sebagaimana dimaksud dalam angka
1 huruf b angka 1).
i. Penilai Usaha pengganti tidak bertanggung jawab atas pekerjaan Penilai
Usaha yang digantikan dan tidak menerbitkan suatu laporan yang
mencerminkan pembagian tanggung jawab.
3.
OPINI KEDUA (SECOND OPINION) TERHADAP HASIL PENILAIAN
a. Dalam hal terdapat dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan penilaian, maka
Bapepam dan LK dapat melakukan review khusus terhadap Laporan
Penilaian Usaha yang telah diterbitkan dalam rangka memperoleh opini
kedua (second opinion).
b. Pelaksanaan review khusus terhadap Laporan Penilaian Usaha sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan oleh Penilai Usaha lain yang ditunjuk
oleh Bapepam dan LK.
c. Hasil review khusus atas Laporan Penilaian Usaha sebagaimana dimaksud
dalam huruf a bertujuan memberikan opini bahwa analisis, Pendekatan
Penilaian, Metode Penilaian, dan kesimpulan nilai dalam Laporan Penilaian
Usaha yang direview adalah benar, layak, dan didukung dengan bukti yang
cukup.
d. Review khusus atas Laporan Penilaian Usaha sebagaimana dimaksud dalam
huruf a wajib dilakukan terhadap paling kurang hal-hal sebagai berikut:
1) keakuratan atas proyeksi penilaian dan perhitungan dalam Metode
Penilaian;
2) keakuratan dan kelayakan dari seluruh asumsi yang digunakan sesuai
dengan data dan informasi yang relevan;
3) kecukupan dan relevansi data serta kelayakan Pendekatan Penilaian
dan Metode Penilaian yang digunakan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-7-
4) kebenaran, kelayakan, dan konsistensi atas analisis, opini, dan
kesimpulan dari Laporan Penilaian Usaha yang direview; dan
5) kesesuaian hasil penilaian yang disajikan dalam Laporan Penilaian
Usaha yang direview dengan standar dan pedoman sebagaimana diatur
dalam Peraturan ini.
e. Apabila diperlukan, review khusus atas Laporan Penilaian Usaha
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat meminta pendapat dari Tenaga
Ahli.
f. Laporan hasil review khusus wajib paling kurang mengungkapkan:
1)
identitas Penilai Usaha yang menerbitkan Laporan Penilaian Usaha
yang direview dan tujuan penugasan;
2) identitas pemberi tugas dan pengguna laporan hasil review khusus;
3)
4) tanggal pelaksanaan review khusus;
5) uraian proses review khusus yang dilaksanakan;
6) asumsi-asumsi dan kondisi pembatas dalam pelaksanaan review
khusus;
7) opini dan kesimpulan; dan
8) seluruh informasi yang digunakan dalam proses review khusus.
g. Review khusus atas Laporan Penilaian Usaha sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dilarang mendasarkan pada kejadian-kejadian setelah Tanggal
Penilaian (subsequent event) dari Laporan Penilaian Usaha yang direview.
h. Laporan hasil review khusus sebagaimana dimaksud dalam huruf f wajib
mengungkapkan alasan-alasan secara komprehensif mengenai opini dan
kesimpulan yang dinyatakan.
i. Perbedaan kesimpulan Nilai antara laporan hasil review khusus dengan
Laporan Penilaian Usaha yang direview dianggap material jika terdapat
perbedaan kesimpulan Nilai lebih dari 15% (lima belas perseratus) dari
kesimpulan Nilai Laporan Penilaian Usaha yang direview.
j. Hasil review khusus wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal laporan hasil review khusus.
k. Biaya yang timbul sebagai akibat dari review khusus atas Laporan Penilaian
Usaha menjadi beban pemberi tugas sebagaimana disebutkan dalam Laporan
Penilaian Usaha yang direview atau Pihak tertentu yang ditunjuk oleh
Bapepam dan LK.
4. KEWAJIBAN PENILAI USAHA DALAM PENUGASAN PENILAIAN
PROFESIONAL
Hal-hal yang wajib dilakukan Penilai Usaha dalam melakukan penugasan
penilaian profesional adalah:
hasil identifikasi atas Obyek Penilaian, Tanggal Penilaian (Cut Off Date),
Tanggal Laporan Penilaian Usaha dan opini Penilai Usaha yang ada
pada Laporan Penilaian Usaha yang direview;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-8-
a. Penilai Usaha dan tim penugasan penilaian profesional wajib memiliki
kualifikasi, kompetensi, dan keahlian sesuai dengan spesialisasi industri yang
terkait dengan Obyek Penilaian.
b. Sebelum menerima penugasan penilaian profesional Penilai Usaha wajib:
1) memperoleh informasi yang memadai paling kurang atas hal-hal
berikut ini:
a)
identitas pemberi tugas;
b) kondisi entitas dan industrinya;
c)
Obyek Penilaian;
d) Tanggal Penilaian (Cut Off Date);
e) ruang lingkup dari penugasan penilaian profesional, antara lain:
(1) tujuan dari penugasan penilaian profesional;
(2) asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang digunakan dalam
penugasan penilaian profesional; dan
(3) dasar Nilai dan Premis Nilai yang digunakan.
f)
g)
h)
i)
j)
kontrak penugasan penilaian profesional (surat perjanjian kerja);
syarat penugasan penilaian profesional yang diajukan oleh
pemberi tugas;
sifat dari obyek yang dinilai termasuk karakteristik pengendalian
dan tingkat marketabilitasnya;
prosedur yang wajib dipenuhi dalam penugasan penilaian
profesional serta pembatasan prosedur tersebut oleh pemberi
tugas;
keadaan lain di luar kendali Penilai Usaha atau pemberi tugas (jika
ada); dan
k) ketentuan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan
Obyek Penilaian atau penugasan penilaian profesional.
2) membuat kontrak penugasan penilaian profesional (surat perjanjian
kerja) dengan pemberi tugas dalam bentuk tertulis yang mencakup
paling kurang:
a) dasar Nilai yang akan digunakan;
b) sifat dan tujuan penugasan penilaian profesional;
c) hak dan kewajiban pemberi tugas;
d) hak dan kewajiban Penilai Usaha;
e) asumsi-asumsi awal yang dapat digunakan dan kondisi-kondisi
pembatas;
f)
jenis dan penggunaan laporan yang akan diterbitkan; dan
g) dasar penghitungan imbalan jasa Penilai Usaha.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-9-
c. Setelah menerima penugasan, Penilai Usaha wajib melakukan hal-hal berikut:
1) Pada saat permulaan penugasan profesional, Penilai Usaha wajib
melakukan analisis mengenai sifat, fakta, Obyek Penilaian, dan kondisi
rencana transaksi untuk:
a)
mengklarifikasi kebutuhan data dan melakukan diskusi dengan
pemberi tugas guna memperoleh kesepahaman atas penugasan
penilaian profesional;
b) mengidentifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis data; dan
c) menentukan penerapan Pendekatan Penilaian dan Metode
Penilaian yang sesuai dan tepat.
2) menganalisis seluruh aspek Obyek Penilaian;
3) melakukan inspeksi terhadap Obyek Penilaian, termasuk diskusi
dengan manajemen dan kunjungan lapangan;
4) membuat dan memelihara kertas kerja penilaian usaha sebagaimana
dimaksud dalam angka 6;
5) membuat dan memelihara dokumentasi pendukung; dan
6) Dalam hal terdapat kondisi yang mewajibkan dilakukannya revisi atas
kontrak penugasan penilaian profesional (surat perjanjian kerja)
sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 2), maka revisi dimaksud
wajib dilakukan atas dasar kesepakatan antara Penilai Usaha dan
pemberi tugas.
d. Penilai Usaha wajib mempertimbangkan ruang lingkup penugasan penilaian
profesional yang paling kurang meliputi:
1) Obyek Penilaian yang perlu diidentifikasi dan diinspeksi;
2) data yang perlu diteliti; dan
3)
analisis data dan informasi yang perlu dilakukan untuk memperoleh
opini dan hasil penilaian.
e. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan opini, hasil pekerjaan, atau
pernyataan Tenaga Ahli, maka Penilai Usaha wajib:
1) mengungkapkan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas termasuk
tingkat tanggung jawab dan asumsi Penilai Usaha atas hasil pekerjaan
Tenaga Ahli tersebut;
2) memuat opini atau hasil pekerjaan atau pernyataan Tenaga Ahli
tersebut dalam Laporan Penilaian Usaha; dan
3) melampirkan laporan hasil kerja Tenaga Ahli tersebut dalam Laporan
Penilaian Usaha.
Jangka waktu antara laporan hasil kerja Tenaga Ahli dan Tanggal Penilaian
(Cut Off Date) tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
diterbitkannya laporan Tenaga Ahli.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-10-
f. Penilai Usaha wajib menggunakan data dan informasi yang diperoleh dari
sumber yang dapat dipercaya dan wajib mengungkapkan sumber dimaksud
dan waktu perolehannya dalam Laporan Penilaian Usaha.
5. LARANGAN PENILAI USAHA DALAM PENUGASAN PENILAIAN
PROFESIONAL
Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan oleh Penilai Usaha dalam melakukan
penugasan penilaian profesional adalah:
a. Melakukan penilaian yang opini atau kesimpulan dalam Laporan Penilaian
Usaha telah ditentukan terlebih dahulu;
b. Mengeluarkan 2 (dua) atau lebih hasil penilaian pada Obyek Penilaian yang
sama dan untuk Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang sama;
c. Menerima penugasan penilaian profesional, jika penilai usaha memiliki
informasi bahwa Penilai Usaha lain telah ditunjuk oleh pemberi tugas yang
sama untuk melakukan penilaian atas Obyek Penilaian dengan maksud dan
tujuan dan Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang sama, kecuali dilakukan
dalam rangka sebagaimana dimaksud dalam angka 2;
d. Menghasilkan Laporan Penilaian Usaha yang menyesatkan dan/atau
membiarkan Pihak lain menyampaikan Laporan Penilaian Usaha yang
menyesatkan;
e. Menerima penugasan penilaian profesional dari pembeli dan penjual
terhadap Obyek Penilaian yang sama pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date)
yang sama;
f. Menerima penugasan penilaian profesional dimana terdapat pembatasan
ruang lingkup penugasan dan/atau yang memiliki kondisi-kondisi yang
membatasi ruang lingkup penugasan sedemikian rupa sehingga dapat
mengakibatkan hasil penilaian tidak dapat dipertanggungjawabkan;
g. Memberikan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang dapat
mengakibatkan penggunaan Laporan Penilaian Usaha menjadi terbatas;
h. Menggunakan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang menyebabkan
Dasar Penilaian atau Premis Nilai menyimpang dari kontrak penugasan
penilaian profesional (surat perjanjian kerja);
i. Menggunakan asumsi yang mengurangi substansi Nilai;
j. Menggunakan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang mengurangi
tanggung jawab Penilai Usaha terhadap hasil penilaian;
k. Menerima pembayaran atas jasa penilaian, baik berupa komisi maupun
dalam bentuk lainnya, selain yang telah disepakati dalam kontrak penugasan
penilaian profesional (surat perjanjian kerja); dan
l. Memberikan data dan/atau informasi yang bersifat rahasia yang digunakan
untuk melakukan Penilaian Usaha dan/atau untuk tujuan lain selain untuk
keperluan kegiatan Penilaian Usaha kepada siapapun, kecuali:
1)
telah memperoleh persetujuan dari Pihak yang memiliki data dan/atau
informasi rahasia tersebut;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-11-
2) dalam rangka pengawasan yang dilakukan oleh Bapepam dan LK
dan/atau Pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; dan/atau
3) untuk kepentingan peradilan.
6. KERTAS KERJA PENILAIAN USAHA
Dalam melakukan penugasan penilaian profesional, Penilai Usaha wajib
membuat dan memelihara kertas kerja Penilaian Usaha dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Kertas kerja Penilaian Usaha wajib memuat catatan-catatan yang
diselenggarakan oleh Penilai Usaha tentang prosedur penilaian, pengujian,
seluruh data dan informasi yang digunakan termasuk data pembanding,
sumber data dan informasi, analisis atas data dan informasi, dan kesimpulan
yang dibuat sehubungan dengan proses penilaian yang dilakukan.
b. Bentuk kertas kerja Penilaian Usaha antara lain berupa program penilaian,
analisis, memorandum, surat konfirmasi, surat representasi, ikhtisar dari
dokumen-dokumen pemberi tugas, dokumen data pembanding, hasil
inspeksi, dan daftar atau komentar yang dibuat atau diperoleh oleh Penilai
Usaha dalam rangka penugasan penilaian profesional.
c. Kertas kerja Penilaian Usaha wajib menunjukkan bahwa:
1) penugasan penilaian profesional telah direncanakan dan disupervisi
dengan baik;
2) pemahaman yang memadai atas Obyek Penilaian telah diperoleh; dan
3) data dan informasi yang digunakan, bukti penilaian yang diperoleh,
prosedur penilaian yang ditetapkan, dan pengujian yang dilaksanakan,
telah memadai sebagai dasar untuk menyatakan pendapat atas Obyek
Penilaian.
d. Kertas kerja Penilaian Usaha wajib didokumentasikan baik dalam bentuk
fisik (hard copy) dan elektronik (soft copy) yang tidak dapat diubah.
Dalam hal kertas kerja Penilaian Usaha tidak dimungkinkan untuk
didokumentasikan dalam bentuk fisik (hard copy) maka kertas kerja dimaksud
dapat didokumentasikan dalam bentuk elektronik (soft copy) atau sebaliknya.
e. Kertas kerja Penilaian Usaha wajib disimpan dalam jangka waktu sesuai
dengan Undang-undang tentang Dokumen Perusahaan.
7. PENDEKATAN PENILAIAN, METODE PENILAIAN, DAN PROSEDUR
PENILAIAN
Penilai Usaha dalam menggunakan Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian, dan
prosedur penilaian, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. wajib menggunakan paling kurang 2 (dua) Pendekatan Penilaian untuk
memperoleh hasil penilaian yang akurat dan obyektif;
b. dapat menggunakan paling kurang satu Pendekatan Penilaian yaitu
Pendekatan Pasar (Market Based Approach) untuk melakukan penilaian
terhadap penyertaan atau kepemilikan di bawah 20% (dua puluh perseratus)
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-12-
dan tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung
maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau
kebijakan perusahaan tersebut dalam rangka penilaian terhadap Holding
Company;
c. wajib memilih dan menerapkan Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian, dan
prosedur penilaian, yang sesuai dengan definisi Nilai yang dicari dan
karakteristik penilaian; dan
d. wajib memperhatikan persyaratan dan pengungkapan yang ditetapkan
dalam Peraturan ini.
8. PENYESUAIAN-PENYESUAIAN (NORMALISASI) DALAM PENILAIAN
a. Penilai Usaha wajib melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap pos-pos
dalam laporan keuangan untuk menghasilkan indikasi Nilai.
b. Penilai Usaha wajib bersikap hati-hati dalam membuat penyesuaian terhadap
laporan keuangan historis dan didukung dengan data dan informasi yang
cukup untuk menjamin validitas laporan keuangan.
c. Dalam melakukan penyesuaian atas laporan keuangan, Penilai Usaha wajib
melakukan analisis yang antara lain untuk:
1) memahami hubungan antara laporan laba rugi dengan neraca, termasuk
kecenderungan historis, serta menilai risiko yang terkait dengan operasi
usaha dan prospek kinerja usaha di masa depan;
2) membandingkan risiko dan parameter lainnya dengan usaha sejenis;
dan
3) melakukan estimasi terhadap kemampuan ekonomis dan prospek
usaha.
d. Dalam melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Penilai
Usaha wajib menganalisis, antara lain:
1) besarnya kemampuan nilai uang (money value);
2) common size statement percentage dari penjualan dalam laporan laba rugi
dan dari total aset dalam neraca; dan
3)
rasio-rasio keuangan.
e. Sebagai dasar dalam proses penilaian, analisis dan/atau penyesuaian atas
laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d wajib
dilakukan selama paling kurang 5 (lima) tahun buku berturut-turut, atau
sesuai dengan lama berdirinya perusahaan apabila perusahaan berdiri
kurang dari 5 (lima) tahun.
f. Dalam melakukan penyesuaian atas laporan keuangan, Penilai Usaha wajib
memperhatikan antara lain:
1) pemisahan pos-pos yang bersifat tidak berulang dalam operasi normal
perusahaan (non-recurring), pos-pos dalam laporan keuangan yang tidak
mencerminkan peristiwa-peristiwa yang bersifat tidak berulang, atau
pos-pos di dalam laporan keuangan yang tidak mencerminkan nilai
yang wajar;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-13-
2) pemisahan pos-pos di luar operasi normal perusahaan yang harus
dikeluarkan terlebih dahulu sebelum melakukan perhitungan penilaian;
3) penyesuaian pengaruh unsur kendali (controlling adjustment) dalam hal
dilakukan penilaian atas saham pengendali dengan memisahkan pos-
pos dalam laporan keuangan dari transaksi yang bersifat memiliki
kepentingan kendali (controlling interest), seperti transaksi dengan
pihak-pihak terafiliasi yang memiliki kendali, antara lain berupa
kompensasi manajemen yang berlebihan, struktur permodalan yang
tidak normal, biaya dan beban yang berlebihan, dan gaji pengurus yang
terlalu tinggi; dan
4) penyesuaian pos-pos lainnya yang tidak wajar.
g. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan perbandingan laporan keuangan
perusahaan dengan laporan keuangan perusahaan lain, maka tiap pos dalam
laporan keuangan wajib dievaluasi dan jika terdapat perbedaan kebijakan
akuntansi, maka wajib dilakukan penyesuaian dalam kebijakan akuntansi
yang digunakan oleh perusahaan yang dinilai untuk mengurangi perbedaan
tersebut.
h. Penilai Usaha wajib memperhatikan dampak penyesuaian terhadap pos-pos
yang terkait.
i. Penilai Usaha wajib mengungkapkan dan menjelaskan dalam Laporan
Penilaian Usaha atas setiap penyesuaian terhadap laporan keuangan yang
telah dilakukan.
9. ASUMSI-ASUMSI DAN KONDISI PEMBATAS
Asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang digunakan oleh Penilai Usaha wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. menghasilkan Laporan Penilaian Usaha yang bersifat non-disclaimer opinion.
b. mencerminkan bahwa Penilai Usaha telah melakukan penelaahan atas
dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses penilaian.
c. mencerminkan bahwa data dan informasi yang diperoleh berasal dari sumber
yang dapat dipercaya keakuratannya.
d. menggunakan proyeksi keuangan yang telah disesuaikan yang
mencerminkan kewajaran proyeksi keuangan yang dibuat oleh manajemen
dengan kemampuan pencapaiannya (fiduciary duty).
e. mencerminkan bahwa Penilai Usaha bertanggung jawab atas pelaksanaan
penilaian dan kewajaran proyeksi keuangan.
f. menghasilkan Laporan Penilaian Usaha yang terbuka untuk publik kecuali
terdapat informasi yang bersifat rahasia, yang dapat mempengaruhi
operasional perusahaan.
g. mencerminkan bahwa Penilai Usaha bertanggung jawab atas Laporan
Penilaian Usaha dan kesimpulan Nilai akhir.
h. mencerminkan bahwa Penilai Usaha telah memperoleh informasi atas status
hukum Obyek Penilaian dari pemberi tugas.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-14-
10. SUKU BUNGA BEBAS RISIKO (RISK FREE RATE)
Dalam hal Penilai Usaha menggunakan suku bunga bebas risiko (risk free rate),
maka wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Suku bunga bebas risiko (risk free rate) yang digunakan disesuaikan dengan
mata uang yang disajikan dalam laporan keuangan Obyek Penilaian.
b. Dalam hal transaksi dilakukan dengan mata uang Rupiah, maka penentuan
tingkat suku bunga bebas risiko (risk free rate) wajib berdasarkan Surat Utang
Negara (SUN) yang masa jatuh temponya paling kurang 10 (sepuluh) tahun.
c. Dalam hal transaksi dilakukan dengan mata uang selain Rupiah, maka
penentuan tingkat suku bunga bebas risiko (risk free rate) wajib berdasarkan
obligasi Negara Republik Indonesia dalam mata uang yang sesuai dengan
mata uang yang disajikan dalam laporan keuangan Obyek Penilaian (Republic
of Indonesian Paper) yang masa jatuh temponya paling kurang 10 (sepuluh)
tahun.
d. Jangka waktu acuan penentuan tingkat suku bunga bebas risiko (risk free rate)
wajib disesuaikan dengan jangka waktu proyeksi atas Obyek Penilaian untuk
paling kurang 10 (sepuluh) tahun.
e. Sumber data dan tanggal jatuh tempo dari instrumen yang digunakan dalam
menentukan suku bunga bebas risiko (risk free rate) serta besarnya tingkat
suku bunga bebas risiko (risk free rate) wajib diungkapkan dalam Laporan
Penilaian Usaha.
11. DISKON DAN PREMI
a. Dalam menentukan kesimpulan Nilai akhir atas Obyek Penilaian, Penilai
Usaha wajib menggunakan Diskon Likuiditas Pasar (Discount for Lack of
Marketability) dan Premi Pengendalian (Premium for Control) atau Diskon
Pengendalian (Discount For Lack of Control).
b. Dalam menggunakan Diskon Likuiditas Pasar (Discount for Lack of
Marketability), Penilai Usaha wajib memperhatikan:
1) Dalam hal Obyek Penilaian bukan merupakan perusahaan terbuka,
maka:
a) Diskon Likuiditas Pasar (Discount for Lack of Marketability) bagi
pemegang saham mayoritas adalah antara 20% (dua puluh
perseratus) sampai dengan 40% (empat puluh perseratus) dari
indikasi Nilai.
b) Diskon Likuiditas Pasar (Discount for Lack of Marketability) bagi
pemegang saham minoritas adalah antara 30% (tiga puluh
perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) dari indikasi
Nilai.
2) Dalam hal Obyek Penilaian merupakan perusahaan terbuka, maka:
a) Diskon Likuiditas Pasar (Discount for Lack of Marketability) bagi
pemegang saham mayoritas paling besar adalah 20% (dua puluh
perseratus) dari indikasi Nilai.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-15-
b) Diskon Likuiditas Pasar (Discount for Lack of Marketability) bagi
pemegang saham minoritas adalah antara 10% (sepuluh perseratus)
sampai dengan 30% (tiga puluh perseratus) dari indikasi Nilai.
c. Dalam menggunakan Premi Pengendalian (Premium for Control) atau Diskon
Pengendalian (Discount For Lack of Control), maka Penilai Usaha wajib
memperhatikan:
1) Besarnya kerugian pemegang saham minoritas dari perusahaan tertutup
apabila dibandingkan dengan pemegang saham minoritas perusahaan
yang tercatat di bursa efek;
2) Hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemegang saham pengendali terhadap
perusahaan yang dikendalikan untuk membuat saham yang dimilikinya
lebih menguntungkan.
3) Dalam hal Obyek Penilaian adalah perusahaan terbuka, Premi
Pengendalian (Premium for Control) atau Diskon Pengendalian (Discount
For Lack of Control) yang dapat digunakan dalam penilaian adalah antara
20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 35% (tiga puluh lima
perseratus) dari indikasi Nilai.
4) Dalam hal Obyek Penilaian adalah perusahaan tertutup, Premi
Pengendalian (Premium for Control) atau Diskon Pengendalian (Discount
For Lack of Control) yang dapat digunakan dalam penilaian adalah antara
30% (tiga puluh perseratus) sampai dengan 70% (tujuh puluh perseratus)
dari indikasi Nilai.
d. Penilai Usaha wajib menjelaskan alasan penentuan persentase nilai diskon
atau premi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c, yang
digunakan dalam perhitungan penilaian pada Laporan Penilaian Usaha.
12. KESIMPULAN NILAI
a. Dalam membuat kesimpulan Nilai akhir,
mempertimbangkan:
1) Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian dan prosedur penilaian yang
relevan;
2) data dan informasi yang tersedia dan relevan; dan
3) diskon atau premi yang tepat.
b. Kesimpulan Nilai sebagaimana dimaksud dalam huruf a, wajib diperoleh
dengan cara:
1) mengukur kehandalan hasil penilaian yang didapatkan dari
penggunaan beberapa Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang
berbeda;
2) menghubungkan dan merekonsiliasi hasil penilaian yang didapatkan
dari penggunaan beberapa Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian
yang berbeda; dan
3) menentukan bahwa kesimpulan Nilai akhir merupakan hasil penilaian
pada lebih dari satu Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian.
Penilai Usaha wajib
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-16-
c. Penilai Usaha wajib mengungkapkan secara jelas dalam Laporan Penilaian
Usaha mengenai prosedur penyesuaian dan rekonsiliasi yang dilakukan
untuk memperoleh kesimpulan Nilai akhir, termasuk:
1)
alasan-alasan penerapan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian
yang digunakan;
2) pertimbangan dalam melakukan penyesuaian laporan keuangan; dan
3)
rekonsiliasi terhadap indikasi Nilai yang dihasilkan oleh masing-masing
Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang digunakan.
d. Kesimpulan Nilai akhir wajib dinyatakan dalam satu nilai tertentu (single
amount) dalam mata uang yang sesuai dengan mata uang yang digunakan di
dalam laporan keuangan Obyek Penilaian.
e. Dalam hal penugasan penilaian profesional ditujukan untuk kepentingan
pemberian pendapat kewajaran (fairness opinion), maka Penilai Usaha dapat
menyajikan hasil penilaian dalam kisaran Nilai dengan memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1)
Penilai Usaha wajib mengungkapkan penjelasan dan alasan yang cukup
dalam Laporan Penilaian Usaha mengenai antara lain:
a) ketidakpastian rencana pembiayaan dalam rencana transaksi;
b) ketidakpastian nilai tukar mata uang;
c)
ketidakpastian risiko pasar; atau
d) faktor-faktor lain yang berpengaruh.
2)
batas atas dan batas bawah pada kisaran Nilai, tidak boleh melebihi
7,5% (tujuh koma lima perseratus) dari Nilai yang dijadikan acuan
kisaran
tersebut yang didapatkan berdasarkan perhitungan
sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
13. KEJADIAN-KEJADIAN PENTING SETELAH TANGGAL PENILAIAN
(SUBSEQUENT EVENTS)
a. Kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent events), baik
yang diketahui maupun yang patut diketahui sampai dengan Tanggal
Laporan Penilaian Usaha, wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian
Usaha;
b. Kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent events) tidak
dapat digunakan untuk memutakhirkan hasil penilaian;
c. Dalam hal kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent
events) tersebut mengandung informasi yang dapat mempengaruhi Nilai
Obyek Penilaian, maka Penilai Usaha wajib mengungkapkan sifat dan
dampaknya dalam Laporan Penilaian Usaha; dan
d. Pengungkapan kejadian-kejadian penting sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf c wajib secara jelas mengindikasikan bahwa
pengungkapan tersebut tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi penentuan
Nilai pada saat Tanggal Penilaian (Cut Off Date).
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-17-
14. PENILAIAN HOLDING COMPANY
a. Dalam penilaian terhadap Holding Company, Penilai Usaha wajib melakukan
penilaian terhadap seluruh penyertaan atau kepemilikan pada entitas lain.
b. Dalam hal melakukan penilaian terhadap penyertaan atau kepemilikan di
bawah 20%(dua puluh perseratus) dan tidak mempunyai kemampuan untuk
menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun
pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan tersebut maka berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1) Penilai Usaha dapat menggunakan paling kurang satu Pendekatan
Penilaian yaitu Pendekatan Pasar (Market Based Approach) sesuai dengan
angka 7 huruf b; dan
2) Penilai Usaha dapat menggunakan laporan keuangan yang diaudit atau
tidak diaudit, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) jangka waktu antara tanggal laporan keuangan dan Tanggal Laporan
Penilaian Usaha tidak lebih dari 6 (enam) bulan; dan
b) tanggal laporan keuangan yang digunakan wajib sama dengan
Tanggal Penilaian (Cut Off Date).
3) Dalam hal digunakan laporan keuangan yang tidak diaudit, wajib tersedia
laporan keuangan Obyek Penilaian yang telah diaudit oleh akuntan yang
memiliki tanggal laporan keuangan tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan
dari Tanggal Penilaian (Cut Off Date).
15. PEDOMAN PENILAIAN DENGAN PENDEKATAN ASET (ASSET BASED
APPROACH)
a. Penilai Usaha yang menggunakan Pendekatan Aset (Asset Based Approach)
dalam penugasan penilaian profesional wajib memiliki keahlian dalam
bidang penilaian properti dan Penilaian Usaha.
b. Dalam hal Penilai Usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak
memiliki keahlian dalam bidang penilaian properti, maka Penilai Usaha wajib
mengacu pada hasil penilaian properti.
c. Pendekatan Aset (Asset Based Approach) dapat digunakan untuk memperoleh
indikasi Nilai dari Nilai suatu perusahaan, Nilai dari Modal yang
Diinvestasikan (Invested Capital), Nilai dari struktur permodalan (capital
structure), dan/atau Nilai Aset Bersih perusahaan (ekuitas).
d. Indikasi nilai ekuitas atau estimasi Nilai Aset Bersih (Net Asset Value)
diperoleh dari selisih antara nilai aset termasuk Aset Takberwujud dengan
nilai kewajiban, atas dasar nilai yang disesuaikan (appraised value).
e. Dalam hal penilaian dilakukan atas bagian dari suatu aset (partial interest),
maka pemegang hak kepemilikan atas aset tersebut wajib dapat memutuskan
untuk melakukan penjualan atau mampu menyebabkan terjadinya penjualan
(majority interest).
f. Dalam hal penilaian dilakukan terhadap kepemilikan mayoritas atas Obyek
Penilaian, maka Penilai Usaha wajib mengungkapkan estimasi Nilai
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-18-
berdasarkan kepemilikan mayoritas dan minoritas atas Obyek Penilaian
dalam Laporan Penilaian Usaha.
g. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan proyeksi keuangan, maka proyeksi
keuangan wajib diperoleh dari pihak manajemen dan diungkapkan dalam
Laporan Penilaian Usaha.
h. Pos-pos dalam laporan keuangan wajib disesuaikan untuk mencerminkan
Nilai Pasar Wajar (Fair Market Value) pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date).
i. Penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf h untuk masing-masing
pos wajib diungkapkan di dalam Laporan Penilaian Usaha.
j. Metode yang digunakan dalam Pendekatan Aset (Asset Based Approach)
adalah sebagai berikut:
1) Metode Penyesuaian Aset Bersih (PAB) (Adjusted Net Asset Method
(ANAM), Adjusted Book Value Method (ABVM), Net Asset Valuation
Method (NAVM), dan Assets Accumulation Method (AAM)); dan/atau
2) Metode Kapitalisasi Kelebihan Pendapatan (KKP) (Excess Earning
Method (EEM)).
k. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan metode PAB, maka Aset
Takberwujud wajib diidentifikasi dan dinilai secara individual.
l. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan metode KKP, maka Aset
Takberwujud wajib dinilai secara kolektif (big pot theory of goodwill).
m. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan metode PAB maka berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1) Metode PAB wajib digunakan untuk menilai:
a)
ekuitas suatu perusahaan dimana Nilai perusahaan sangat
bergantung pada Nilai aset tetap (a heavy based on fixed assets
company), seperti perusahaan real estat;
b)
ekuitas dari Holding Company;
c) perusahaan yang tidak memiliki riwayat pendapatan yang
mempunyai prospek positif, perusahaan yang memiliki
pendapatan yang berfluktuasi, atau perusahaan yang diragukan
kemampuannya untuk melanjutkan operasi yang bersifat going
concern, seperti perusahaan yang baru berdiri (start up company)
atau perusahaan yang berada dalam kesulitan untuk memperoleh
pendapatan (trouble companies);
d) perusahaan yang memiliki dan/atau menguasai aset berwujud
dalam jumlah yang signifikan;
e) perusahaan yang memiliki tenaga kerja yang memberikan nilai
tambah relatif kecil terhadap barang dan jasa yang dihasilkan
perusahaan; atau
f)
perusahaan yang memiliki Aset Takberwujud dalam jumlah yang
tidak signifikan.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-19-
2) Penyesuaian terhadap aset lancar wajib dilakukan sesuai dengan sifat
aset lancar tersebut, antara lain:
a) kas dan setara kas dinilai sesuai dengan nilai yang tercantum
dalam neraca (face value);
b) piutang dan ekuivalen piutang yang diperhitungkan dalam
penilaian adalah piutang dan ekuivalen piutang yang diyakini
dapat ditagih;
c)
surat berharga yang diperdagangkan atau penyertaan pada
perusahaan lain wajib disesuaikan menjadi Nilai Pasar Wajar (Fair
Market Value); dan
d) persediaan dinilai kembali atas dasar nilai pasar setelah dikurangi
biaya-biaya yang berkaitan dengan persediaan dengan
memperhatikan kebijakan masuk pertama keluar pertama (First In
First Out/FIFO).
3)
4)
Penilaian atas aset tetap berwujud (fixed tangible assets) wajib dilakukan
sesuai dengan metode yang berlaku dalam penilaian properti sesuai
dengan Premis Nilai yang ditetapkan.
Penilaian atas Aset Takberwujud wajib dilakukan dengan memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a)
b)
Penilai Usaha wajib mengidentifikasi Aset Takberwujud dari
Obyek Penilaian.
Penilai Usaha wajib menentukan Aset Takberwujud yang
memenuhi syarat untuk dilakukan penilaian.
c) komponen Aset Takberwujud yang dinilai wajib mempunyai
kriteria sebagai berikut:
(1) dapat diidentifikasi dan dijelaskan secara terperinci;
(2) dapat memberikan manfaat ekonomi yang dapat diukur bagi
pemilik Obyek Penilaian;
(3) memiliki potensi untuk menghasilkan aset lainnya dan/atau
mampu menciptakan nilai tambah terhadap aset lain
tersebut;
(4) merupakan subyek hak milik (right of private ownership) yang
dapat dialihkan secara hukum (legally transferable);
(5) dapat diakui dan dilindungi; dan
(6) memiliki jangka waktu manfaat ekonomis.
d) penilaian Aset Takberwujud wajib dilakukan dengan:
(1) menggunakan metode yang mempertimbangkan manfaat
ekonomi yang dihasilkan oleh Aset Takberwujud tersebut;
(2) mendasarkan pada harga pasar dari Aset Takberwujud; atau
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-20-
(3) mendasarkan pada biaya yang wajib dikeluarkan untuk
menciptakan kembali (cost of recreation) pada saat ini dengan
memperhatikan sisa umur manfaat (remaining useful life) dari
Aset Takberwujud.
e)
Penilai Usaha wajib mengungkapkan identifikasi Aset
Takberwujud yang dinilai dan Metode Penilaian yang digunakan
dalam menilai aset tersebut dalam Laporan Penilaian Usaha.
5) Utang atau kewajiban dinilai sesuai dengan nilai yang tercantum dalam
neraca (face value), kecuali terdapat faktor-faktor lain yang
mempengaruhi.
6) Surat utang dinilai atas dasar nilai pasar.
n. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan metode KKP, maka berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1) Metode KKP wajib digunakan untuk menilai ekuitas perusahaan
operasional (operating company) dengan tingkat pertumbuhan
pendapatan dan laba yang relatif stabil.
2) Pendapatan suatu perusahaan yang digunakan merupakan hasil dari
produktivitas aset berwujud maupun tidak berwujud. Setiap kelebihan
pengembalian (excess return atau earning) yang diperoleh diatas
pengembalian normal (normal return)
atas
3) Laporan laba rugi yang digunakan adalah:
a) laporan laba rugi tahunan tahun terakhir;
b) laporan laba rugi 12 (dua belas) bulan terakhir;
c)
aset berwujud,
diperhitungkan sebagai pengembalian dari Aset Takberwujud secara
kolektif.
rata-rata tertimbang dari paling kurang 5 (lima) tahun terakhir;
atau
d) proyeksi tahun berikutnya yang diyakini dapat dipertahankan
dimasa depan.
4) Laporan laba rugi sebagaimana dimaksud dalam angka 3) wajib
disesuaikan dengan prinsip dan prosedur penyesuaian untuk
memperoleh laba operasi normal dari Obyek Penilaian.
5)
6)
Penilaian kembali atas aset berwujud dan kewajiban perusahaan wajib
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada metode PAB.
Penilaian yang digunakan pada Metode KKP wajib didasarkan atas:
a)
c) jumlah imbal balik wajar (dalam rupiah) untuk NABB; atau
d) laporan keuangan yang telah disesuaikan.
nilai aset berwujud bersih (NABB)/net tangible asset value (NTAV);
b) Tingkat Imbal Balik wajar (normal rate of return) dalam persentase
untuk NABB;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-21-
7) Penentuan Tingkat Imbal Balik wajar (normal rate of return) untuk NABB
wajib sesuai dengan risiko yang melekat pada NABB tersebut dan
mencerminkan Tingkat Imbal Balik rata-rata tertimbang antara biaya
ekuitas dan biaya utang sesuai dengan kapasitas NABB dalam
memperoleh pinjaman (borrowing capacity).
8) Pendapatan ekonomi atau laba normal yang akan dikurangi dengan
jumlah imbal balik wajar atas NABB mencerminkan pendapatan
ekonomi yang diperkirakan akan dapat dipertahankan dimasa datang.
Selisih antara pendapatan ekonomi normal dan jumlah imbal balik atas
NABB adalah jumlah imbal balik atas aset berwujud.
9) Konversi kelebihan pendapatan menjadi nilai Aset Takberwujud secara
keseluruhan (going concern value), dilakukan dengan menggunakan
Tingkat Kapitalisasi sesuai dengan risiko yang melekat atas Aset
Takberwujud dengan memperhatikan:
a)
sifat usaha;
b) manajemen perusahaan;
c) pangsa pasar perusahaan;
d) reputasi perusahaan;
e) konsistensi dari pendapatan ekonomi yang dihasilkan; dan
f)
konsistensi basis pelanggan perusahaan.
10) Nilai ekuitas yang diperoleh dengan menambahkan nilai Aset
Takberwujud (going concern value) terhadap NABB mencerminkan nilai
ekuitas (common stocks) secara keseluruhan.
11) Penetapan Tingkat Imbal Balik untuk NABB dan Tingkat Kapitalisasi
untuk Aset Takberwujud wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian
Usaha.
16. PEDOMAN PENILAIAN DENGAN PENDEKATAN PASAR (MARKET BASED
APPROACH)
a. Metode yang digunakan dalam Pendekatan Pasar (Market Based Approach)
adalah sebagai berikut:
1) Metode Pembanding Perusahaan Tercatat di Bursa Efek (Guideline
Publicly Traded Company Method);
2) Metode Pembanding Perusahaan Merger dan Akusisi (Guideline Merged
and Acquired Company Method); dan/atau
3) Metode Transaksi Sebelumnya (Prior Transactions Method).
b. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan Metode Pembanding Perusahaan
Tercatat di Bursa Efek (Guideline Publicly Traded Company Method), maka
berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Perusahaan yang dapat digunakan sebagai perusahaan pembanding
adalah perusahaan yang telah memiliki harga pasar yang terjadi dalam
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-22-
jangka waktu tidak lebih dari 6 (enam) bulan sebelum Tanggal
Penilaian.
2)
Penilai Usaha wajib memiliki keyakinan yang memadai untuk
membuktikan dan menjelaskan bahwa data harga pasar yang
digunakan dalam Pendekatan Pasar (Market Based Approach) dihasilkan
dari suatu transaksi yang bersifat wajar (arms-length transaction).
3)
Penilaian dengan menggunakan Metode Pembanding Perusahaan
Tercatat di Bursa Efek (Guideline Publicly Traded Company Method) hanya
dapat menghasilkan indikasi Nilai minoritas.
4) Perusahaan pembanding yang digunakan wajib merupakan perusahaan
yang tercatat di bursa efek dan sahamnya ditransaksikan selama 60
(enam puluh) hari bursa dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari
bursa terakhir sebelum Tanggal Penilaian (Cut Off Date).
5) Perusahaan pembanding yang digunakan wajib memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a) industri, kegiatan usaha, produk, dan risiko usaha adalah sejenis;
b)
c)
karakteristik pertumbuhan (growth in sales and earnings) dan
struktur permodalan (capital structure) adalah sebanding;
kinerja keuangan historis selama 5 (lima) tahun terakhir adalah
sebanding.
d) ukuran perusahaan (total assets) adalah sebanding; dan
e) pangsa pasar (market share) adalah sebanding.
6) Jumlah perusahaan pembanding yang digunakan paling sedikit 5 (lima)
perusahaan atau paling sedikit 8 (delapan) perusahaan dalam hal
kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 5) hanya terpenuhi paling
sedikit 3 (tiga) kriteria.
7)
Penilai Usaha wajib melakukan penyesuaian terhadap laporan
keuangan perusahaan pembanding yang paling kurang meliputi:
a) penyesuaian pos-pos non-recurring, extraordinary dan window
dressing beserta dampaknya terhadap perpajakan;
b) penyesuaian kebijakan akuntansi perusahaan pembanding dengan
Obyek Penilaian, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
(1) penyesuaian metode penyusutan dan umur ekonomis aset;
dan
(2) penyesuaian perbedaan kebijakan akuntansi untuk
persediaan, antara lain menyamakan kebijakan dari
kebijakan masuk terakhir keluar pertama (LIFO/Last In First
Out) ke kebijakan masuk pertama keluar pertama
(FIFO/First In First Out) atau sebaliknya; dan
c) penyesuaian atas pos-pos non operasi dan transaksi yang tidak
wajar dengan pihak terafiliasi (unusual transaction with related
parties).
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-23-
c. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan Metode Pembanding Perusahaan
Merger dan Akusisi (Guideline Merged and Acquired Company Method), maka
berlaku ketentuan sebagai berikut:
1)
Penilaian dengan menggunakan Metode Pembanding Perusahaan
Merger dan Akusisi (Guideline Merged and Acquired Company Method)
hanya dapat menghasilkan indikasi Nilai mayoritas.
2) Perusahaan pembanding yang digunakan wajib memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a) Dalam hal perusahaan pembanding yang digunakan adalah
perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, maka:
(1) perusahaan yang digunakan sebagai pembanding wajib
pernah melakukan transaksi merger atau akusisi dalam
jangka waktu tidak lebih dari 5 (lima) tahun sebelum
Tanggal Penilaian;
(2) perusahaan yang digunakan sebagai pembanding wajib
tercatat di bursa efek yang sama dengan perusahaan yang
menjadi Obyek Penilaian;
(3) perusahaan yang digunakan sebagai pembanding wajib
mempunyai bidang usaha yang sama;
(4) perusahaan yang digunakan sebagai pembanding wajib
mempunyai kapitalisasi pasar (market capitalization) dan/atau
struktur permodalan (capital structure) yang setara dengan
perusahaan yang menjadi Obyek Penilaian; dan
(5)
transaksi merger atau akusisi yang pernah dilakukan
merupakan suatu transaksi yang bersifat arms-length dan
bukan transaksi antara pihak yang terafiliasi (non-related parties
transaction) atau dalam satu pengendalian (under common
control transaction).
b) Dalam hal perusahaan pembanding yang digunakan adalah
perusahaan tertutup, maka:
(1) perusahaan yang digunakan sebagai pembanding wajib
pernah melakukan transaksi merger atau akusisi dalam
jangka waktu tidak lebih dari 3 (tiga) tahun sebelum Tanggal
Penilaian (Cut Off Date); dan
(2) Nilai yang didapat berasal dari transaksi yang bersifat wajar
(arms-length transaction) dan bukan transaksi antara pihak yang
terafiliasi (non-related parties transaction) atau dalam satu
pengendalian (under common control transaction).
3) Jumlah perusahaan pembanding yang digunakan paling sedikit 5 (lima)
perusahaan.
4) Dalam hal jumlah perusahaan pembanding yang digunakan hanya
berjumlah 3 (tiga) atau 4 (empat) perusahaan, maka Metode Pembanding
Perusahaan Merger dan Akusisi (Guideline Merged and Acquired Company
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-24-
Method) tidak boleh digunakan sebagai metode penilaian utama atau
memperoleh bobot yang material dalam menghasilkan suatu kesimpulan
Nilai.
d. Dalam hal Penilai Usaha tidak dapat menggunakan Metode Pembanding
Perusahaan Tercatat di Bursa Efek (Guideline Publicly Traded Company Method)
dan Metode Pembanding Perusahaan Merger dan Akusisi (Guideline Merged
And Acquired Company Method), maka Penilai Usaha dapat menggunakan
Metode Transaksi Sebelumnya (Prior Transactions Method) dengan
persyaratan bahwa transaksi yang digunakan sebagai pembanding wajib
bersifat wajar (arms-length transaction).
e. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan rasio-rasio penilaian dalam melakukan
pembandingan untuk mengkonversi variabel keuangan yang relevan dari
Obyek Penilaian, maka Penilai Usaha wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1) Rasio penilaian yang digunakan wajib diterapkan pada Obyek Penilaian
secara konsisten terhadap variabel yang sebanding atau relevan dari
Obyek Penilaian.
2) Alasan pemilihan dan cara penerapan rasio penilaian yang digunakan
wajib dijelaskan dalam Laporan Penilaian Usaha.
3) Dalam hal Penilai Usaha menggunakan rasio-rasio ekuitas (equity
multiple), maka wajib mempergunakan rasio-rasio sebagai berikut:
a)
b)
c)
Price to earnings ratio (Rasio P/E)
rasio ini dapat diterapkan jika nilai depresiasi tidak merupakan
biaya yang signifikan pada unsur biaya.
Price to net cash flow ratio (Rasio P/NCF)
Price to book value ratio (Rasio P/BV)
book value atau nilai ekuitas bersih, wajib digunakan jika nilai buku
aset perusahaan pembanding telah disesuaikan ke dalam nilai pasar.
4) Dalam hal Penilai Usaha menggunakan rasio nilai pasar terhadap kapital
yang diinvestasikan (market value of invested capital) (MVIC), maka untuk
memperoleh indikasi nilai ekuitas dari Obyek Penilaian, nilai pasar dari
kapital yang diinvestasikan wajib dikurangi terlebih dahulu dengan
kapital lain yang lebih utama atau senior.
5) Dalam hal Penilai Usaha menggunakan rasio-rasio investasi maka Penilai
Usaha dapat mempergunakan rasio-rasio sebagai berikut:
a) MVIC to gross cash flow before depreciation and taxes (MVIC /GCF);
rasio ini diterapkan jika nilai depresiasi merupakan nilai yang
signifikan dan perusahaan mempunyai lebih dari satu kebijakan
depresiasi.
b) MVIC to sales (MVIC/sales);
rasio ini diterapkan jika antara Obyek Penilaian dan perusahaan
pembanding mempunyai karakteristik usaha yang sama;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-25-
c) MVIC to Earning before interest, taxes, depreciation and amortization
(MVIC/EBITDA);
d) MVIC to Earning before interes and, taxes (MVIC/EBIT); atau
e) MVIC to Book Value Invested Capital (MVIC/BVIC);
6) Periode pembanding terhadap dari rasio-rasio penilaian dalam laporan
keuangan Obyek Penilaian dan perusahaan pembanding wajib sama.
7) Laporan keuangan perusahaan pembanding wajib merupakan laporan
keuangan yang diaudit.
8)
Rasio-rasio penilaian wajib didukung dengan data yang akurat serta
dihitung berdasarkan analisis atas perbandingan fundamental variabel
keuangan perusahaan yang menjadi Obyek Penilaian dengan
perusahaan pembanding.
f. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan proyeksi keuangan, maka proyeksi
keuangan wajib diperoleh dari pihak manajemen dan diungkapkan dalam
Laporan Penilaian Usaha.
17. PEDOMAN PENILAIAN DENGAN PENDEKATAN PENDAPATAN (INCOME
BASED APPROACH)
a. Pendekatan Pendapatan (Income Based Approach) dapat digunakan untuk
memperkirakan Nilai dengan mengantisipasi dan mengkuantifikasi kemampuan
Obyek Penilaian dalam menghasilkan imbal balik (return) yang akan diterima
dimasa datang.
b. Dalam hal penilaian terhadap suatu kepentingan pemegang saham
pengendali dilakukan dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income
Based Approach), maka:
1) nilai dari aset dan kewajiban non-operasional; atau
2) kelebihan atau kekurangan dari aset operasional,
dalam laporan keuangan wajib dikeluarkan dari perhitungan nilai aset
operasional, dan wajib ditambahkan pada atau dihapuskan dari nilai entitas
operasional.
c. Metode yang digunakan dalam Pendekatan Pendapatan (Income Based
Approach) adalah sebagai berikut:
1) Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method); dan
2) Metode Kapitalisasi Pendapatan (Capitalization of Income Method).
d. Metode sebagaimana dimaksud dalam huruf c hanya dapat digunakan apabila
manajemen Obyek Penilaian telah menyusun rencana usaha yang akan
dijadikan sebagai dasar penilaian (business plan based valuation).
e. Dalam hal manajemen Obyek Penilaian belum menyusun rencana usaha
sebagaimana dimaksud dalam huruf d, maka Penilai Usaha dapat menyusun
rencana usaha dimaksud yang wajib terlebih dahulu disetujui oleh pemberi
tugas dan Penilai Usaha wajib bertanggung jawab atas rencana usaha (business
plan) yang disusunnya.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-26-
f. Penilai Usaha wajib memiliki keyakinan yang memadai bahwa asumsi yang
digunakan dalam penyusunan rencana usaha (business plan) sebagaimana
dimaksud dalam huruf d dan huruf e adalah relevan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Keyakinan tersebut wajib diungkapkan di dalam Laporan Penilaian Usaha.
g. Manfaat atau pendapatan ekonomi yang wajib digunakan dalam Pendekatan
Pendapatan (Income Based Approach) adalah berupa Arus Kas Bersih (AKB) untuk
perusahaan (net or free cash flow for the firm) atau untuk ekuitas (net or free cash flow
for the equity).
h. Biaya Modal yang dipergunakan dalam Pendekatan Pendapatan (Income Based
Approach) wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1)
2)
Biaya utang jangka pendek maupun jangka panjang wajib menggunakan
data tingkat bunga yang dikeluarkan oleh bank pemerintah.
Biaya ekuitas saham preferen wajib menggunakan dividen yang
mencerminkan tingkat dividen pasar. Dalam dividen tidak mencerminkan
tingkat dividen pasar, maka nilai dividen dicari dari perusahaan terbuka
yang sebanding.
i. Biaya ekuitas untuk saham wajib dihitung melalui:
1) Capital Asset Pricing Model (CAPM); dan/atau
2) Discounted Cash FlowModel (DCF).
j.
Penilai Usaha wajib mengungkapkan hasil penghitungan dari masing-masing
metode sebagaimana dimaksud dalam huruf i pada Laporan Penilaian Usaha.
k. Dalam hal biaya ekuitas untuk saham dihitung menggunakan CAPM, maka
Penilai Usaha wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1)
Tingkat Imbal Balik bebas risiko (Risk-free rate) wajib menggunakan bunga
bebas risiko sesuai dengan ketentuan angka 10;
2) Koefisien Beta yang dipergunakan dalam menghitung CAPM wajib
berasal dari data rata-rata industri pada sektor yang sama dengan Obyek
Penilaian atau rata-rata beberapa perusahaan pembanding.
3) premi risiko ekuitas wajib didasarkan pada data yang dipublikasikan; dan
4)
risiko spesifik yang melekat pada Obyek Penilaian.
l. Dalam hal biaya ekuitas untuk saham dihitung dengan menggunakan DCF,
maka Penilai Usaha wajib menggunakan perusahaan-perusahaan pembanding
yang memiliki nilai pasar ekuitas.
m. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan Metode Diskonto Arus Kas
(Discounted Cash Flow Method), maka Penilai Usaha melakukan penelaahan atau
penyesuaian atas asumsi, keakuratan perhitungan dan kebijakan akuntansi
yang digunakan dalam menyusun proyeksi laporan keuangan.
n. Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method) hanya dapat
digunakan untuk menilai perusahaan yang telah melakukan kegiatan
operasional selama satu tahun atau lebih.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-27-
o. Proyeksi Arus Kas Bersih (AKB) dapat ditetapkan dalam 2 (dua) periode
proyeksi yaitu:
1) Periode waktu tetap atau khusus (fixed or specific time period) yang
mengacu pada:
a) umur teknis faktor produksi utama; dan
b) periode waktu perencanaan usaha yang belum stabil.
2) Periode waktu kekal (perpetuity period) yang dimulai dari satu tahun
setelah periode waktu tetap sampai dengan seterusnya.
p. Penerapan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method)
sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 1) dapat menggunakan model
ekuitas (equity model) atau model modal yang diinvestasikan (invested capital
model).
q. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan model ekuitas (equity model), maka
berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) arus kas yang didiskonto wajib merupakan arus kas yang tersedia untuk
pemegang saham biasa (equity); dan
2) Tingkat Diskonto wajib merupakan Tingkat Imbal Balik (rate of return)
atau biaya atas ekuitas (cost of equity).
r. Dalam hal Penilai usaha menggunakan model modal yang diinvestasikan
(invested capital model), maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) arus kas yang didiskonto wajib merupakan arus kas yang tersedia untuk
semua penyedia kapital;
2) Tingkat Diskonto wajib mencerminkan biaya kapital rata-rata
tertimbang (weighted average cost of capital) yang digunakan untuk
menghasilkan arus kas; dan
3)
nilai ekuitas diestimasikan dengan mengurangi Nilai perusahaan atau
nilai kapital yang diinvestasikan dengan nilai pasar dari modal senior
(saham preferen dalam hal perusahaan mengeluarkan saham preferen
dan interest bearing long term debt).
s. Dalam hal menggunakan laporan keuangan tengah tahunan sebagai dasar
penilaian, maka Penilai Usaha wajib mengungkapkan dalam Laporan
Penilaian Usaha alasan atau dasar digunakannya proyeksi tengah tahunan
yang telah disesuaikan.
18. TINGKAT DISKONTO
a. Penilai Usaha dalam menetapkan Tingkat Diskonto wajib:
1) menghitung biaya ekuitas dengan memperhatikan:
a)
b)
tingkat imbal hasil atas penempatan dana pada suatu investasi yang
berisiko;
biaya ekuitas saham preferen yang merupakan dividen saham
preferen yang dibayarkan; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-28-
c) perkiraan inflasi;
2) mempertimbangkan imbal hasil dari investasi yang sebanding
(comparable investments);
3) mempertimbangkan biaya utang yang digolongkan sebagai struktur
modal;
4) mempertimbangkan risiko industri dan kondisi perusahaan;
5) melakukan prosedur paling kurang sebagai berikut:
a) mengidentifikasi sumber pembiayaan yang digunakan; dan
b) menetapkan utang yang digolongkan sebagai struktur modal yang
memenuhi ketentuan antara lain:
(1) utang tidak berbunga kepada pemegang saham; dan
(2) utang jangka pendek berbunga yang masuk ke dalam
golongan modal kerja permanen;
6) menghitung persentase struktur modal atau tingkat leverage
perusahaan, dengan ketentuan:
a)
b)
dalam hal penilaian dilakukan atas Obyek Penilaian yang
merupakan kepemilikan minoritas, maka Penilai Usaha dapat
menggunakan struktur modal berdasarkan nilai buku; dan
dalam hal penilaian dilakukan atas Obyek Penilaian yang
merupakan kepemilikan mayoritas, maka Penilai Usaha wajib
menggunakan struktur modal berdasarkan nilai pasar perusahaan-
perusahaan yang sebanding dalam industri yang sama;
7) menggunakan data tingkat bunga pasar dari rata-rata bank yang
melaksanakan fungsi pembiayaan dalam menentukan biaya utang, baik
utang jangka pendek (utang modal kerja) maupun utang jangka panjang
(utang investasi);
8) melakukan penyesuaian dalam hal terdapat pembiayaan utang dengan
tingkat bunga yang berbeda dengan tingkat bunga pasar untuk
mencerminkan risiko yang sebanding pada Obyek Penilaian; dan
9) menghitung biaya modal rata-rata tertimbang (weighted average cost of
capital) secara proporsional berdasarkan bobot setiap jenis struktur
modal dan biaya dari setiap jenis struktur modal.
b. Penilai Usaha wajib mengungkapkan dalam Laporan Penilaian Usaha
mengenai alasan, asumsi dan proses perhitungan Tingkat Diskonto.
19. PROYEKSI PENDAPATAN EKONOMIS
a. Penilai Usaha wajib menggunakan proyeksi pendapatan ekonomis dalam
Pendekatan Pendapatan (Income Based Approach).
b. Proyeksi pendapatan ekonomis digunakan untuk mengestimasi aliran
pendapatan ekonomis Obyek Penilaian dengan menggunakan Tingkat
Diskonto yang wajib disesuaikan dengan tingkat pendapatan ekonomis
Obyek Penilaian.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-29-
c. Tingkat Diskonto dan Tingkat Kapitalisasi yang ditetapkan oleh Penilai
Usaha wajib diuraikan dan digunakan dalam analisis proyeksi pendapatan
ekonomis serta mengungkapkannya dalam Laporan Penilaian Usaha.
d. Dalam membuat proyeksi pendapatan ekonomis, Penilai Usaha wajib:
1) menganalisis laporan keuangan Obyek Penilaian dan perusahaan
pembanding pada industri yang sama dalam kurun waktu paling
kurang 3 (tiga) tahun terakhir;
2) melakukan penyesuaian atas laporan keuangan Obyek Penilaian, yang
meliputi neraca, laporan laba rugi, dan laporan arus kas;
3) memperhatikan kondisi yang terjadi setelah Tanggal Penilaian (Cut Off
Date) yang dapat mempengaruhi proyeksi pendapatan ekonomis;
4) mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan usaha Obyek Penilaian
sesuai dengan tingkat pendapatan ekonomis yang dihasilkan oleh
Obyek Penilaian dan kepentingan usaha Obyek Penilaian;
5) melakukan penyesuaian terhadap proyeksi laporan keuangan yang
meliputi neraca, laporan laba rugi, dan laporan arus kas;
6) mempertimbangkan masa manfaat atau siklus usaha Obyek Penilaian;
dan
7) Dalam hal pendapatan ekonomis Obyek Penilaian atau operasional
Obyek Penilaian tergantung pada faktor produksi utama yang memiliki
masa manfaat terbatas atau memiliki siklus tertentu maka proyeksi
keuangan wajib disusun selama masa manfaat atau mencerminkan sifat
siklikal dari bisnis tersebut.
e. Penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf d angka 2) digunakan
sebagai kertas kerja Penilai Usaha. Informasi keuangan hasil penyesuaian
wajib diungkapkan dalam laporan Penilai Usaha.
f. Dalam melakukan penyesuaian terhadap laporan keuangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf d angka 2), maka Penilai Usaha wajib melakukan hal-
hal sebagai berikut:
1) menganalisis dan menyajikan kembali data keuangan Obyek Penilaian
secara konsisten dan menggunakan mata uang yang sama dengan mata
uang yang digunakan dalam laporan keuangan;
2) menyesuaikan nilai yang disajikan dalam laporan keuangan menjadi
nilai yang wajar;
3) menyesuaikan pendapatan dan beban ke tingkat yang wajar dan
menggambarkan hasil yang berkelanjutan;
4) melakukan pengelompokan serta penyesuaian terhadap seluruh aset,
kewajiban, pendapatan, dan beban non-operasi; dan
5) melakukan penyesuaian terhadap pendapatan serta biaya yang tidak
lazim dalam hal penilaian dilakukan atas Obyek Penilaian yang
merupakan kepemilikan mayoritas.
g. Setelah dilakukan penyesuaian laporan keuangan, maka Penilai Usaha wajib
menyajikan proyeksi pendapatan ekonomis dalam Laporan Penilaian Usaha,
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-30-
yang mencakup dividen berdasarkan perkiraan dividend pay out ratio, arus
kas, dan Earning Before Interest, Tax, Depreciation, and Amortization (EBITDA).
h. Periode proyeksi pendapatan ekonomis wajib dilakukan dalam kurun waktu
paling kurang 5 (lima) tahun kedepan, atau disesuaikan dengan sisa umur
dari fasilitas produksi utama Obyek Penilaian.
i. Penilai Usaha dilarang mendasarkan proyeksi pendapatan ekonomis hanya
dengan menggunakan tren data historis.
20. NILAI TERMINAL (TERMINAL VALUE)
Untuk melakukan penilaian suatu bisnis dengan premis going concern dimana
terdapat proyeksi untuk periode waktu tetap dan periode waktu kekal, Penilai
Usaha perlu menghitung nilai bisnis untuk periode waktu tetap dan periode
waktu kekal. Nilai bisnis tersebut adalah jumlah dari nilai periode waktu tetap
dan periode waktu kekal yang disebut sebagai nilai terminal.
Dalam hal Penilai Usaha menghitung nilai terminal, maka berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. Nilai terminal merupakan nilai dari jumlah arus kas untuk periode setelah
periode waktu tetap, dimana arus kas yang diterapkan dapat menggunakan
model ekuitas (equity model) atau modal yang diinvestasikan (invested capital
model).
b. Estimasi nilai terminal dilakukan dalam mengaplikasikan metode diskonto
arus kas dengan 2 (dua) periode proyeksi laporan keuangan, yaitu periode
waktu tetap dan periode waktu kekal.
c. Metode yang digunakan untuk mengestimasi nilai terminal antara lain:
1) Nilai sisa (residual value)
Nilai sisa dapat digunakan dalam hal Obyek Penilaian memiliki jangka
waktu yang tertentu.
a) Dalam hal menghitung nilai sisa Obyek Penilaian yang memiliki jangka
waktu tertentu dengan menggunakan model modal yang diinvestasikan
(invested capital model), maka nilai terminal diperoleh dengan
mengestimasi nilai sisa dari modal yang diinvestasikan, yaitu aset tetap
ditambah dengan estimasi jumlah yang dapat direalisasikan dari modal
kerja bersih dikurangi dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan
pada akhir periode spesifik.
b) Dalam hal menghitung nilai sisa Obyek Penilaian yang memiliki jangka
waktu tertentu dengan menggunakan Model Ekuitas, maka nilai
terminal diperoleh dengan mengurangkan jumlah kewajiban pada
akhir periode tertentu terhadap estimasi dari nilai sisa modal yang
diinvestasikan.
c) Dalam hal menghitung nilai sisa Obyek Penilaian yang memiliki jangka
waktu tertentu berupa aset tetap maka Penilai Usaha wajib mengacu
pada hasil Penilaian Properti.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-31-
d) Penilai Usaha wajib menjelaskan dan mengungkapkan asumsi yang
digunakan untuk mengestimasi nilai sisa dari Obyek Penilaian dalam
laporan penilaian.
2) Kapitalisasi Pendapatan
a) Metode kapitalisasi digunakan dalam hal Entitas yang menjadi obyek
penilaian memiliki jangka waktu yang tak terhingga (kekal) atau tidak
dapat ditentukan (seperti halnya untuk Aset Takberwujud tertentu)
maka nilai terminal diestimasi dengan mengkapitalisasi arus kas
periode kekal, yaitu arus kas satu periode setelah periode tetap, dengan
tingkat kapitalisasi terminal.
b) Metode kapitalisasi dapat digunakan untuk suatu Entitas atau Aset
Takberwujud yang menjadi obyek penilaian yang dianggap sudah
berada dalam tahap pertumbuhan yang konstan. Arus kas untuk
periode kekal adalah arus kas periodik yang mewakili Entitas atau Aset
Takberwujud yang menjadi obyek penilaian dalam satu siklus usaha.
c) Tingkat kapitalisasi terminal diperoleh dengan mengurangi tingkat
diskonto yang digunakan dalam penilaian dengan suatu tingkat
pertumbuhan tertentu yang diasumsikan konstan, dimana tingkat
pertumbuhan dapat positif, negatif, maupun nol.
d) Tingkat pertumbuhan untuk periode kekal tidak dapat melebihi tingkat
pertumbuhan ekonomi atau industri jangka panjang dimana
perusahaan beroperasi dan Penilai wajib memilih tingkat pertumbuhan
jangka panjang yang lebih rendah.
e) Penilai Usaha wajib menjelaskan dan mengungkapkan dalam laporan
penilaian Aset Takberwujud, asumsi yang digunakan untuk
pertumbuhan periode kekal dengan mempertimbangkan antara lain:
(1) Pembatasan operasi perusahaan;
(2) Penggunaan mata uang dalam Proyeksi; dan
(3) Penyusunan Proyeksi keuangan dengan asumsi nilai riil tanpa
memperhitungkan inflasi atau nilai nominal.
21. PEMBERIAN PENDAPAT KEWAJARAN (FAIRNESS OPINION)
Dalam hal Penilai Usaha melakukan penugasan penilaian profesional berupa
pemberian pendapat kewajaran (fairness opinion), maka Penilai Usaha wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Pendapat kewajaran (fairness opinion) merupakan suatu pernyataan yang
diberikan oleh Penilai Usaha untuk menyatakan bahwa suatu transaksi yang
akan dilakukan adalah wajar atau tidak wajar.
b. Pendapat kewajaran (fairness opinion) sebagaimana dimaksud dalam huruf a
diberikan setelah Penilai Usaha melakukan analisis atas:
1) Nilai dari obyek yang ditransaksikan;
2) dampak keuangan dari transaksi yang akan dilakukan terhadap
kepentingan pemegang saham; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-32-
3) pertimbangan bisnis yang digunakan oleh manajemen perusahaan
terkait dengan rencana transaksi yang akan dilakukan terhadap
kepentingan pemegang saham.
c. Dalam melakukan analisis sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Penilai
Usaha wajib melakukan hal-hal yang paling kurang meliputi:
1)
analisis transaksi;
2)
analisis kualitatif dan kuantitatif atas rencana transaksi;
3) analisis atas kewajaran nilai transaksi; dan
4)
analisis atas faktor-faktor lain yang relevan.
d. Analisis transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 1) wajib
paling kurang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) identifikasi dan hubungan antara pihak-pihak yang bertransaksi;
2)
3)
perjanjian dan persyaratan yang disepakati dalam transaksi; dan
penilaian atas risiko dan manfaat dari transaksi yang akan dilakukan.
e. Analisis kualitatif sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 2) wajib
paling kurang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) riwayat perusahaan dan sifat kegiatan usaha;
2) analisis industri dan lingkungan;
3)
4)
analisis operasional dan prospek perusahaan;
alasan dilakukannya transaksi; dan
5) keuntungan dan kerugian yang bersifat kualitatif atas transaksi yang
akan dilakukan.
f. Analisis kuantitatif sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 2) wajib
paling kurang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1)
penilaian atas potensi pendapatan, aset, kewajiban, dan kondisi
keuangan perusahaan, termasuk:
a)
penilaian kinerja historis;
b) penilaian arus kas;
c)
penilaian atas proyeksi keuangan yang diperoleh dari pihak
manajemen pemberi tugas;
d) analisis rasio keuangan; dan
e)
analisis laporan keuangan sebelum transaksi dan proforma laporan
keuangan setelah transaksi dilakukan.
2) melakukan analisis inkremental (incremental analysis) untuk mengukur
nilai tambah dari transaksi dengan mempertimbangkan paling kurang
hal-hal sebagai berikut:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-33-
a)
kontribusi nilai tambah terhadap perusahaan sebagai akibat dari
transaksi yang akan dilakukan, termasuk dampaknya terhadap
proyeksi keuangan perusahaan;
b) biaya atau pendapatan yang relevan;
c) informasi non keuangan yang relevan; dan
d) prosedur pengambilan keputusan oleh perusahaan dalam
menentukan rencana dan nilai transaksi dengan memperhatikan
alternatif lain; dan
e)
hal-hal material lainnya yang dapat memberikan keyakinan bagi
Penilai Usaha dalam memberikan opini kewajaran transaksi.
3) melakukan analisis sensitivitas (sensitivity analysis) untuk mengukur
keuntungan dan kerugian dari transaksi yang akan dilakukan (jika
diperlukan).
g. Analisis atas kewajaran nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf c
angka 3) wajib paling kurang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) perbandingan antara rencana Nilai transaksi dengan hasil penilaian atas
transaksi yang akan dilakukan; dan
2)
analisis untuk memastikan bahwa rencana Nilai transaksi memberikan
nilai tambah dari transaksi yang akan dilakukan.
Analisis atas kewajaran nilai transaksi dilakukan untuk meyakini bahwa
rencana nilai transaksi berada dalam kisaran Nilai yang didapatkan dari
hasil penilaian.
h. Pendapat kewajaran (fairness opinion) wajib diberikan atas keseluruhan
rencana transaksi dan unsur analisis rencana transaksi.
22. PENDAPAT KEWAJARAN (FAIRNESS OPINION) ATAS TRANSAKSI PINJAM
MEMINJAM DANA DAN/ATAU PENJAMINAN
Pemberian pendapat kewajaran atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau
penjaminan termasuk menjaminkan aset dan/atau memberikan jaminan
perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian pendapat kewajaran atas transaksi pinjam meminjam dana
dan/atau penjaminan wajib didasarkan pada hasil evaluasi atas obyek
transaksi.
b. Pendapat kewajaran (fairness opinion) atas transaksi pinjam meminjam dana
dan/atau penjaminan merupakan suatu pernyataan yang diberikan oleh
Penilai Usaha untuk menyatakan bahwa transaksi pinjam meminjam dana
dan/atau penjaminan adalah wajar atau tidak wajar.
c. Pemberian pendapat kewajaran wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Pendapat kewajaran (fairness opinion) sebagaimana dimaksud dalam huruf
b diberikan setelah Penilai Usaha melakukan analisis atas:
a) besaran dana dari obyek transaksi;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-34-
b) dampak keuangan dari transaksi pinjam meminjam dana dan/atau
penjaminan terhadap kepentingan perusahaan; dan
c) pertimbangan bisnis yang digunakan oleh manajemen perusahaan
terkait dengan transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan
terhadap kepentingan pemegang saham.
2) Dalam melakukan analisis sebagaimana dimaksud dalam angka 1), Penilai
Usaha wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) analisis pengaruh transaksi pinjam meminjam dana dan/atau
penjaminan terhadap keuangan perusahaan;
b) identifikasi dan hubungan antara pihak-pihak dalam hal transaksi
pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan;
c) analisis perjanjian dan persyaratan yang disepakati oleh pihak dalam
transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan;
d) analisis likuiditas dari transaksi pinjam meminjam dana dan/atau
penjaminan;
e) analisis manfaat dan risiko dari transaksi pinjam meminjam dana
dan/atau penjaminan;
f) analisis kualitatif atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau
penjaminan;
g) analisis kuantitatif atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau
penjaminan;
h) analisis kelayakan rencana penggunaan dana atas transaksi pinjam
meminjam dana dan/atau penjaminan antara lain:
(1) analisis kelayakan investasi;
(2) analisis kelayakan pelunasan utang; dan
(3) analisis atas faktor-faktor lain yang relevan.
3) Analisis kualitatif sebagaimana dimaksud dalam angka 2) huruf f) wajib
memperhatikan paling kurang hal-hal sebagai berikut:
a) riwayat perusahaan (riwayat transaksi pinjam meminjam dana
dan/atau penjaminan) dan sifat kegiatan usaha;
b) analisis industri dan bisnis;
c) analisis operasional dan prospek perusahaan;
d) analisis alasan dan latar belakang manajemen untuk melakukan
transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan;
e) keuntungan dan kerugian yang bersifat kualitatif atas transaksi pinjam
meminjam dana dan/atau penjaminan;
f) analisis dampak leverage pada keuangan perusahaan di masa yang akan
datang, yang dibandingkan dengan industri yang sejenis dan
sebanding;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-35-
g) analisis dampak likuiditas pada keuangan perusahaan di masa yang
akan datang untuk memastikan bahwa pinjaman dapat dilunasi pada
saat jatuh tempo; dan
h) analisis dampak keuangan perusahaan jika proyek yang dibiayai oleh
dana hasil transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan
tersebut mengalami kegagalan.
4) Analisis kuantitatif sebagaimana dimaksud dalam angka 2) huruf g) wajib
memperhatikan paling kurang hal-hal sebagai berikut:
a) penilaian atas potensi pendapatan, aset, kewajiban, dan kondisi
keuangan perusahaan, termasuk:
(1) penilaian kinerja historis;
(2) penilaian atas proyeksi keuangan;
(3) analisis rasio keuangan;
(4) analisis keuangan baik sebelum maupun setelah transaksi pinjam
meminjam dana dan/atau penjaminan;
(5) analisis atas kemampuan perusahaan atau penerima jaminan untuk
melunasi transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan
sampai saat jatuh tempo; dan
(6) analisis cash management dan financial covenant dari transaksi pinjam
meminjam dana.
b) Analisis yield dari transaksi pinjam meminjam dana terhadap efek
bersifat utang yang sejenis dan sebanding yang memiliki peringkat
yang sama atau 1 notch di atas atau di bawah (jika dalam bentuk surat
berharga);
c) melakukan analisis inkremental (incremental analysis) untuk mengukur
nilai tambah dari transaksi pinjam meminjam dana dengan
mempertimbangkan paling kurang hal-hal sebagai berikut:
(1) kontribusi nilai tambah terhadap perusahaan sebagai akibat dari
transaksi pinjam meminjam dana, termasuk dampaknya terhadap
proyeksi keuangan perusahaan;
(2) biaya atau pendapatan yang relevan; dan
(3) informasi non keuangan yang relevan.
d) melakukan analisis sensitivitas (sensitivity analysis) untuk mengukur
keuntungan dan kerugian dari transaksi pinjam meminjam dana
dan/atau penjaminan (jika diperlukan).
5) Analisis atas jaminan yang terkait dengan transaksi pinjam meminjam
dana dan/atau penjaminan. Dalam hal jaminan yang diberikan adalah
saham kepemilikan di anak perusahaan, maka saham anak perusahaan
tersebut wajib dilakukan penilaian, dengan ketentuan sebagai berikut:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-36-
a) Tanggal Penilaian (Cut Off Date) pada penilaian saham anak
perusahaan wajib sama dengan Tanggal Penilaian (Cut Off Date)
pendapat kewajaran (fairness opinion);
b) Dalam hal penilaian saham anak perusahaan mengacu pada laporan
keuangan interim maka dapat digunakan laporan keuangan dengan
penelahaan terbatas (limited review);
c) Dalam hal penilaian saham anak perusahaan mengacu pada hasil
penilaian properti maka hasil penilaian properti yang digunakan
sebagai acuan adalah hasil penilaian properti yang diterbitkan oleh
Penilai Properti; dan
d) Hasil penilaian properti yang dijadikan acuan wajib dilampirkan dalam
laporan penilaian saham anak perusahaan tersebut.
6) Pendapat kewajaran (fairness opinion) wajib diberikan atas keseluruhan
rencana transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan serta
unsur analisis rencana transaksi.
23. STUDI KELAYAKAN USAHA (FEASIBILITY STUDY)
Dalam hal Penilai Usaha melakukan penugasan penilaian profesional berupa
studi kelayakan usaha (feasibility study), maka Penilai Usaha wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. Pendapat yang diberikan oleh Penilai Usaha dalam melakukan penugasan
penilaian profesional berupa sudi kelayakan usaha (feasibility study) adalah
untuk menyatakan kelayakan suatu usaha atau proyek.
b. Dalam hal Penilai Usaha tidak memiliki keahlian dalam bidang properti
maka studi kelayakan usaha yang memerlukan penilaian properti, wajib
mengacu pada hasil opini Penilai Properti.
c. Pendapat sebagaimana dimaksud dalam huruf a diberikan setelah Penilai
Usaha melakukan analisis atas:
1) Kelayakan pasar;
2) Kelayakan teknis;
3) Kelayakan pola bisnis;
4) Kelayakan model manajemen; dan
5) Kelayakan keuangan;
d. Dalam melakukan analisis atas kelayakan pasar sebagaimana dimaksud
dalam huruf c angka 1), Penilai Usaha wajib memperhatikan:
1) Kondisi pasar, seperti pangsa pasar, kesinambungan (sustainability),
potensi pasar, sasaran, dan potensi nilai pasar;
2) Pesaing usaha; dan
3) Strategi pemasaran.
e. Dalam melakukan analisis atas kelayakan teknis sebagaimana dimaksud
dalam huruf c angka 2), Penilai Usaha wajib memperhatikan:
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-37-
1) Kapasitas;
2) Ketersediaan dan kualitas sumber daya, termasuk bahan baku mentah,
pekerja dan ahli profesional; dan
3) Proses produksi.
f. Dalam melakukan analisis atas kelayakan pola bisnis sebagaimana dimaksud
dalam huruf c angka 3), Penilai Usaha wajib memperhatikan:
1) Keunggulan kompetitif karena keunikan dari pola bisnis;
2) Kemampuan pesaing untuk meniru produk; dan
3) Kemampuan untuk menciptakan nilai.
g. Dalam melakukan analisis atas kelayakan model manajemen sebagaimana
dimaksud dalam huruf c angka 4), Penilai Usaha wajib memperhatikan:
1) Ketersediaan tenaga kerja;
2) Manajemen kekayaan intelektual (intellectual Property);
3) Manajemen risiko;
4) Kapasitas dan kemampuan manajemen; dan
5) Kesesuaian struktur organisasi dan manajemen.
h. Dalam melakukan analisis atas keuangan manajemen sebagaimana dimaksud
dalam huruf c angka 5), Penilai Usaha wajib memperhatikan:
1) Biaya pendirian (Start up costs);
2) Modal kerja;
3) Sumber pembiayaan;
4)
Biaya operasional;
5) Biaya bahan baku mentah;
6) Proyeksi laporan keuangan;
7) Analisis Titik Impas (break even analysis);
8)
24. LAPORAN PENILAIAN USAHA
a. Ketentuan Umum
1)
Analisis Profitabilitas (Overall Profitability); dan
9) Tingkat Imbal Balik Investasi (Overall Return on investment).
Penilai Usaha yang melakukan penugasan penilaian profesional wajib
membuat Laporan Penilaian Usaha.
2) Laporan Penilaian Usaha sebagaimana dimaksud dalam angka 1) terdiri
dari:
a) laporan yang menyajikan kesimpulan Nilai akhir terhadap Obyek
Penilaian;
b) laporan pendapat kewajaran (fairness opinion) yang menyajikan
kesimpulan atas kewajaran suatu transaksi;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-38-
c)
laporan pendapat kewajaran (fairness opinion) yang menyajikan
kesimpulan atas kewajaran transaksi pinjam meminjam dana
dan/atau penjaminan;
d) laporan studi kelayakan usaha (feasibility study) yang menyajikan
kesimpulan kelayakan suatu usaha atau proyek; atau
e) laporan penilaian usaha lainnya.
3) Laporan Penilaian Usaha sebagaimana dimaksud dalam angka 2) wajib
berbentuk laporan lengkap (narrative report atau long form report) dan
laporan ringkas (short form report).
4)
Penilai Usaha wajib menggunakan definisi dan istilah-istilah
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a. Dalam hal Penilai Usaha
menggunakan definisi dan istilah-istilah lain yang tidak ditetapkan
dalam peraturan ini, maka definisi dan istilah-istilah lain tersebut wajib
diungkapkan secara jelas dalam Laporan Penilaian Usaha.
b. Isi Laporan Yang menyajikan Kesimpulan Nilai Akhir
Laporan yang menyajikan kesimpulan Nilai akhir terhadap Obyek Penilaian
sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2) huruf a) dalam bentuk
laporan lengkap (narrative report atau long form report) paling kurang memuat
hal-hal sebagai berikut:
1) Surat Pengantar;
2)
Daftar Isi;
3)
Identitas pemberi tugas antara lain nama, bidang usaha, alamat, nomor
telepon, faksimili, email;
4) Maksud dan tujuan penilaian;
5) Definisi dan istilah yang digunakan dalam penilaian;
6) Tanggal Penilaian (Cut Off Date);
7) Tanggal Laporan Penilaian Usaha;
8) Premis Nilai dan Dasar Nilai yang digunakan;
9) Asumsi-asumsi dan kondisi pembatas serta skenario hipotesis yang
secara langsung mempengaruhi penilaian;
10) Data dan Informasi
Penilai Usaha wajib mengidentifikasi dan mengungkapkan data dan
informasi baik yang diketahui maupun patut diketahui, yang diperoleh
dari dalam atau dari luar pihak pemberi tugas, yang paling kurang
meliputi:
a)
b)
c)
hasil pelaksanaan inspeksi;
hasil pemeriksaan atas dokumen hukum yang relevan dengan
Obyek Penilaian;
penjelasan mengenai tingkat kepemilikan dan sifat pengendalian
Obyek Penilaian (controlling);
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-39-
d) penjelasan mengenai tingkat likuiditas pasar Obyek Penilaian
(marketability);
e)
f)
g)
uraian mengenai Tenaga Ahli dan hasil pekerjaan Tenaga Ahli
dalam hal Penilai Usaha mendasarkan penilaiannya pada hasil
kerja Tenaga Ahli;
uraian mengenai Penilai Properti dan hasil penilaian oleh Penilai
Properti dalam hal Penilai Usaha mendasarkan penilaiannya pada
hasil penilaian properti;
penjelasan mengenai kejadian penting setelah Tanggal Penilaian
(subsequent event);
h) uraian mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan penilaian (jika ada);
i)
hasil identifikasi atas aset non operasional, kewajiban non
operasional, dan kelebihan atau kekurangan aset operasional
(excess or deficient) yang terkait dan pengaruhnya terhadap
penilaian;
j)
informasi mengenai identitas dan jabatan pihak-pihak yang telah
diwawancarai dan hubungannya dengan Obyek Penilaian;
k) informasi keuangan;
l)
informasi perpajakan;
m) data industri, data pasar, data ekonomi, dan informasi empiris
lainnya yang mendukung penilaian;
n) dokumen dan sumber informasi yang disediakan oleh atau yang
terkait dengan entitas; dan
o) informasi non keuangan yang relevan mengenai Obyek Penilaian,
paling kurang meliputi:
(1) sifat, latar belakang dan riwayat perusahaan;
(2)
fasilitas produksi, jika ada;
(3) struktur organisasi;
(4) manajemen, termasuk direktur dan komisaris dan karyawan
kunci;
(5) jenis-jenis ekuitas dan hak yang melekat;
(6) produk dan/atau jasa yang dihasilkan;
(7)
latar belakang ekonomi;
(8) pasar geografis;
(9) pasar industri, jika ada;
(10) pemasok dan pelanggan kunci, jika ada;
(11) persaingan;
(12) risiko usaha; dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-40-
(13) strategi dan rencana masa depan perusahaan (business plan).
p) tambahan informasi lain yang diperlukan oleh pengguna Laporan
Penilaian Usaha diluar hal-hal yang telah diuraikan.
11) Penyesuaian terhadap data laporan keuangan
Penilai Usaha wajib menguraikan penyesuaian (normalisasi) data
laporan keuangan serta pertimbangan yang mendasari setiap
penyesuaian (normalisasi) terhadap data laporan keuangan.
12) Analisis atas Laporan Keuangan dan Informasi Keuangan Lainnya
Penilai Usaha wajib mengungkapkan uraian mengenai hasil analisis
atas:
a) laporan keuangan historis tahunan atau interim termasuk rasio-
rasio utama, dan data stastistik;
b) informasi keuangan prospektif (dapat berupa anggaran, perkiraan,
dan/atau proyeksi);
c) perbandingan laporan keuangan yang sebanding (common size)
untuk periode yang sesuai;
d) perbandingan informasi keuangan industri yang sebanding
(common size) untuk periode yang sesuai;
e)
informasi perpajakan;
f) informasi kompensasi bagi pemegang saham;
g) informasi mengenai asuransi yang ditanggung oleh perusahaan
untuk karyawan kunci (jika ada); dan
h)
analisis dan pembahasan manajemen mengenai:
(1) keuntungan dan kerugian atas kontrak usaha;
(2) aset dan kewajiban diluar neraca (kontijensi);
(3)
hasil penjualan produk atau jasa oleh perusahaan pada
periode sebelumnya (jika ada);
(4) perbandingan kinerja saat ini dengan kinerja historis pada
Obyek Penilaian; dan
(5) perbandingan kinerja Obyek Penilaian dengan tren industri
yang sesuai.
13) Pertimbangan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian
Penilai Usaha wajib menyatakan bahwa Penilai Usaha telah
mempertimbangkan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini.
14) Penggunaan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian
Penilai Usaha wajib menjelaskan dan mengungkapkan pertimbangan
penggunaan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian serta uraian
dalam penerapannya.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-41-
15) Perhitungan Indikasi Nilai
Penilai Usaha wajib mengungkapkan proses perhitungan untuk
menghasilkan indikasi Nilai.
16) Penggunaan Diskon dan Premi
Penilai Usaha wajib:
a) mengungkapkan diskon dan premi yang digunakan, seperti DLOC
dan/atau DLOM;
b) menguraikan faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam
menetapkan jumlah atau persentase diskon dan premi yang
digunakan; dan
c) menguraikan nilai setelah diskon dan premi digunakan.
17) Rekonsiliasi Estimasi Nilai dan Kesimpulan Nilai
a)
Penilai Usaha wajib menyajikan rekonsiliasi dari berbagai estimasi
Nilai yang diperoleh dari Pendekatan Penilaian dan Metode
Penilaian yang digunakan serta mengungkapkan pertimbangan
rekonsiliasi yang mendasari kesimpulan Nilai.
b) uraian mengenai kesimpulan nilai, baik berupa nilai tunggal (single
amount) maupun kisaran (range);
18) Pernyataan Penilai Usaha yang meliputi:
a) pernyataan mengenai independensi Penilai Usaha;
b) pernyataan bahwa Penilai Usaha bertanggungjawab atas Laporan
Penilaian Usaha;
c)
pernyataan bahwa penugasan penilaian profesional telah
dilakukan terhadap Obyek Penilaian pada Tanggal Penilaian (Cut
Off Date);
d) pernyataan bahwa analisis telah dilakukan untuk tujuan
sebagaimana diungkapkan dalam Laporan Penilaian Usaha;
e) pernyataan bahwa penugasan penilaian profesional telah
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f)
pernyataan bahwa perkiraan Nilai yang dihasilkan dalam
penugasan penilaian profesional telah disajikan sebagai
kesimpulan Nilai;
g) pernyataan bahwa lingkup pekerjaan dan data yang dianalisis
telah diungkapkan;
h) pernyataan bahwa kesimpulan Nilai telah sesuai dengan asumsi-
asumsi dan kondisi pembatas; dan
i)
pernyataan bahwa data ekonomi dan industri dalam Laporan
Penilaian Usaha diperoleh dari berbagai sumber yang diyakini
Penilai Usaha dapat dipertanggungjawabkan.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-42-
19) Kualifikasi Penilai Usaha
Penilai Usaha wajib mengungkapkan informasi mengenai kualifikasi
dan keahlian Penilai Usaha.
20) Tanda Tangan Penilai Usaha
Penilai Usaha wajib menandatangani Laporan Penilaian Usaha dengan
mencantumkan nama, tempat, Nomor STTD serta tanggal pelaporan.
21) Lampiran
Penilai Usaha wajib memuat lampiran yang diperlukan dalam
melakukan analisis dan mendukung hasil penilaian dalam Laporan
Penilaian Usaha.
c. Laporan Pendapat Kewajaran (Fairness Opinion)
Laporan pendapat kewajaran (fairness opinion) sebagaimana dimaksud dalam
huruf a angka 2) huruf b) yang berbentuk laporan lengkap paling kurang
memuat:
1) nomor dan Tanggal Laporan Penilaian Usaha;
2) Tanggal Penilaian (Cut Off Date);
3) identitas pemberi tugas;
4) maksud dan tujuan pemberian pendapat kewajaran;
5) uraian mengenai ada atau tidak adanya benturan kepentingan atas
transaksi yang akan dilakukan;
6) pernyataan Penilai Usaha yang meliputi:
a) pernyataan mengenai independensi Penilai Usaha;
b) pernyataan bahwa perhitungan dan analisis dalam rangka
pemberian pendapat kewajaran (fairness opinion) telah dilakukan
dengan benar; dan
c)
7)
pernyataan bahwa Penilai Usaha bertanggungjawab atas laporan
pendapat kewajaran (fairness opinion);
penjelasan mengenai data, informasi, dan prosedur yang digunakan;
8) penjelasan tentang ruang lingkup penilaian;
9) uraian mengenai, asumsi-asumsi dan kondisi pembatas;
10) informasi mengenai hubungan pihak-pihak yang akan melakukan
transaksi;
11) uraian mengenai Penilai Usaha dan/atau Penilai Properti serta hasil
penilaian oleh Penilai Usaha dan/atau Penilai Properti yang menjadi
dasar dalam pemberian pendapat kewajaran;
12) uraian mengenai perjanjian dan analisis terhadap resiko dan peluang
atas transaksi;
13) uraian mengenai hasil analisis kualitatif dan analisis kuantitatif
sebagaimana dimaksud dalam angka 21 huruf e dan huruf f;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-43-
14) uraian mengenai hasil analisis atas kewajaran Nilai transaksi
sebagaimana dimaksud dalam angka 21 huruf g;
15) pendapat mengenai kewajaran transaksi (fairness opinion);
16) Kualifikasi Penilai Usaha
Penilai Usaha wajib mengungkapkan informasi mengenai kualifikasi
dan keahlian Penilai Usaha.
17) Tanda Tangan Penilai Usaha
Penilai Usaha wajib menandatangani Laporan Penilaian Usaha dengan
mencantumkan nama, tempat, Nomor Surat Tanda Terdaftar (STTD),
serta tanggal pelaporan.
18) Lampiran
Penilai Usaha wajib memuat lampiran yang diperlukan dalam
melakukan analisis dan mendukung hasil penilaian dalam Laporan
Penilaian Usaha.
d. Laporan Pendapat Kewajaran (Fairness Opinion) Atas Transaksi Pinjam
Meminjam Dana dan/atau Penjaminan
Laporan pendapat kewajaran (fairness opinion) atas transaksi pinjam
meminjam dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2) huruf c)
yang berbentuk laporan lengkap paling kurang memuat:
1) nomor dan Tanggal Laporan Penilaian Usaha;
2) Tanggal Penilaian (Cut Off Date);
3) identitas pemberi tugas;
4) maksud dan tujuan pemberian pendapat kewajaran;
5) uraian mengenai ada atau tidak adanya benturan kepentingan atas
transaksi yang akan dilakukan;
6) pernyataan Penilai Usaha yang meliputi:
a) pernyataan mengenai independensi Penilai Usaha;
b) pernyataan bahwa perhitungan dan analisis dalam rangka
pemberian pendapat kewajaran (fairness opinion) atas transaksi
pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan telah dilakukan
dengan benar; dan
c)
pernyataan bahwa Penilai Usaha bertanggungjawab atas laporan
pendapat kewajaran (fairness opinion) atas transaksi pinjam
meminjam dana dan/atau penjaminan;
7) penjelasan mengenai data, informasi, dan prosedur yang digunakan;
8) penjelasan tentang ruang lingkup penilaian;
9) uraian mengenai, asumsi-asumsi dan kondisi pembatas;
10) uraian mengenai pengaruh transaksi pinjam meminjam dana dan/atau
penjaminan terhadap keuangan perusahaan;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-44-
11) informasi mengenai hubungan pihak-pihak yang akan melakukan
transaksi;
12) uraian mengenai Penilai Usaha dan/atau Penilai Properti serta hasil
penilaian oleh Penilai Usaha dan/atau Penilai Properti yang menjadi
dasar dalam pemberian pendapat kewajaran atas transaksi pinjam
meminjam dana dan/atau penjaminan;
13) uraian mengenai perjanjian atas transaksi pinjam meminjam dana
dan/atau penjaminan;
14) uraian mengenai perjanjian dan analisis terhadap likuiditas atas
transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan;
15) uraian mengenai risiko dan manfaat atas transaksi pinjam meminjam
dana dan/atau penjaminan;
16) uraian mengenai hasil analisis kelayakan rencana penggunaan dana atas
transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam angka 22 huruf c angka 2) huruf h);
17) uraian mengenai hasil analisis kualitatif sebagaimana dimaksud dalam
angka 22 huruf c angka 3);
18) uraian mengenai hasil analisis kuantitatif sebagaimana dimaksud dalam
angka 22 huruf c angka 4);
19) uraian mengenai hasil analisis atas jaminan yang terkait dengan
transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam angka 22 huruf c angka 5);
20) pendapat mengenai kewajaran transaksi (fairness opinion) atas transaksi
pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan;
21) Kualifikasi Penilai Usaha
Penilai Usaha wajib mengungkapkan informasi mengenai kualifikasi dan
keahlian Penilai Usaha.
22) Tanda Tangan Penilai Usaha
Penilai Usaha wajib menandatangani Laporan Penilaian Usaha dengan
mencantumkan nama, tempat, Nomor Surat Tanda Terdaftar (STTD),
serta tanggal pelaporan.
23) Lampiran
Laporan Penilai Usaha wajib memuat lampiran yang diperlukan dalam
melakukan analisis dan mendukung hasil penilaian.
e. Laporan Studi Kelayakan Usaha (Feasibility Study)
Laporan pendapat atas studi kelayakan usaha (feasibility study) sebagaimana
dimaksud pada huruf a angka 2) huruf d) yang berbentuk laporan lengkap
paling kurang memuat:
1) nomor dan Tanggal Laporan Penilaian Usaha;
2) Tanggal Penilaian (Cut Off Date);
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-45-
3) identitas pemberi tugas;
4) maksud dan tujuan pemberian pendapat mengenai kelayakan usaha
atau proyek;
5) penjelasan mengenai data, informasi, dan prosedur yang digunakan;
6) penjelasan tentang ruang lingkup penugasan penilaian profesional;
7) uraian mengenai, asumsi-asumsi dan kondisi pembatas;
8) keterangan dan informasi usaha atau proyek yang dinilai, paling kurang
meliputi:
a) profil usaha atau proyek;
b) kinerja keuangan (jika ada);
c) produk dan jasa;
d) teknologi yang digunakan;
e) pasar yang dituju (intended market environment);
f)
g)
h)
i)
j)
pesaing dan persaingan;
informasi industri;
pola bisnis;
strategi pemasaran dan penjualan;
kebutuhan produksi atau operasi;
k) kebutuhan manajemen dan sumber daya manusia;
l)
hak atas kekayaan intelektual;
m) peraturan perundang-undangan yang terkait (jika ada);
n) aspek lingkungan;
o) faktor risiko utama; dan
p) persyaratan modal dan strategi finansial.
9) uraian mengenai hasil analisis atas hal-hal sebagaimana diatur dalam
angka 23 huruf c;
10) uraian mengenai pendapat atas kelayakan suatu usaha atau proyek;
11) pernyataan Penilai Usaha yang meliputi:
a) pernyataan mengenai independensi Penilai Usaha;
b) pernyataan bahwa perhitungan dan analisis dalam studi kelayakan
usaha (feasibility study) telah dilakukan dengan benar; dan
c)
pernyataan bahwa Penilai Usaha bertanggungjawab hasil studi
kelayakan usaha (feasibility study);
12) Kualifikasi Penilai Usaha
Penilai Usaha wajib mengungkapkan informasi mengenai kualifikasi
dan keahlian Penilai Usaha.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: Kep-196/BL/2012
Tanggal : 19 April 2012
-46-
13) Tanda Tangan Penilai Usaha
Penilai Usaha wajib menandatangani Laporan Penilaian Usaha dengan
mencantumkan nama, tempat, Nomor STTD serta tanggal pelaporan.
14) Lampiran
Laporan Penilai Usaha wajib memuat lampiran yang diperlukan dalam
melakukan analisis dan mendukung hasil penilaian.
f. Laporan ringkas (short form report) sebagaimana dimaksud dalam huruf a
angka 3) merupakan ringkasan seluruh informasi penting dari Laporan
Penilaian Usaha yang berbentuk laporan lengkap (long form report).
g. Laporan ringkas (short form report) dapat disajikan secara terpisah namun
merupakan satu kesatuan dari Laporan Penilaian Usaha.
25. KETENTUAN PENUTUP
Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal,
Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran
ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadi
pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 19 April 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-196/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN LAPORAN PENILAIAN USAHA DI PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 19 April 2012 </set_date>
<effective_date> 19 April 2012 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-340/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '125/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP- 41/BL/2008
TENTANG
PENDAFTARAN AKUNTAN YANG MELAKUKAN KEGIATAN
DI PASAR MODAL
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas
pendaftaran Akuntan yang melakukan kegiatan di
Pasar Modal serta meningkatkan independensi,
obyektifitas dan profesionalisme Akuntan, dipandang
perlu untuk menyempurnakan Peraturan Bapepam
Nomor VIII.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam
Nomor: Kep-34/PM/2003 tentang Pendaftaran
Akuntan Yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal
dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995
tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
45/M Tahun 2006;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
PENDAFTARAN AKUNTAN YANG MELAKUKAN
KEGIATAN DI PASAR MODAL.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 1
Ketentuan mengenai pendaftaran Akuntan yang
melakukan kegiatan di Pasar Modal diatur dalam
Peraturan Nomor VIII.A.1 sebagaimana dimuat dalam
Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Akuntan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK
sebelum ditetapkannya Keputusan ini wajib
berkedudukan sebagai Rekan pada Kantor Akuntan
yang memiliki pedoman pengendalian mutu.
Pasal 3
Akuntan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK
sebelum ditetapkannya Keputusan ini wajib
menyampaikan dokumen pedoman pengendalian
mutu yang merupakan standar yang berlaku pada
Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Nomor VIII.A.1 Lampiran Keputusan ini
kepada Bapepam dan LK paling lambat 6 (enam) bulan
sejak ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 4
Pedoman pengendalian mutu yang merupakan standar
yang berlaku pada Kantor Akuntan Publik dalam
melaksanakan penugasan bagi Akuntan yang telah
terdaftar di Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Nomor VIII.A.1 Lampiran Keputusan
ini wajib dilaksanakan paling lambat 6 (enam) bulan
sejak ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 5
Akuntan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK
sebelum ditetapkannya Keputusan ini namun masih
bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada Pihak
yang memperoleh izin, persetujuan, dan pendaftaran
dari Bapepam dan LK, serta Pihak yang mengajukan
Pernyataan Pendaftaran atau yang Pernyataan
Pendaftarannya telah menjadi efektif, wajib tidak lagi
bekerja rangkap paling lambat 6 (enam) bulan sejak
ditetapkannya keputusan ini, kecuali yang
diperkenankan dalam Peraturan Nomor VIII.A.1
Lampiran Keputusan ini.
Pasal 6
Kantor Akuntan Publik yang melakukan kegiatan di
Pasar Modal namun belum dipimpin oleh Akuntan
yang terdaftar di Bapepam dan LK, wajib segera
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-3-
menyesuaikan dengan Peraturan Nomor VIII.A.1
Lampiran Keputusan ini, paling lambat 12 (dua belas)
bulan sejak ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 7
Dengan berlakunya keputusan ini, maka ketentuan
yang mengatur mengenai pendaftaran Akuntan yang
melakukan kegiatan di Pasar Modal sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bapepam Nomor VIII.A.1,
Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-
34/PM/2003 tentang Pendaftaran Akuntan Yang
Melakukan Kegiatan di Pasar Modal dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 14 Februari 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-41/BL/2008
Tanggal : 14 Februari 2008
PERATURAN NOMOR VIII.A.1 : PENDAFTARAN
AKUNTAN
YANG
MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR
MODAL
1. Akuntan yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal wajib terlebih dahulu
terdaftar di Bapepam dan LK serta memenuhi persyaratan sebagaimana diatur
dalam peraturan ini.
2. Persyaratan Akuntan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 peraturan ini
adalah sebagai berikut:
a. mempunyai izin Akuntan Publik dari Menteri Keuangan;
b. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan;
c. memiliki akhlak dan moral yang baik;
d. wajib menaati kode etik yang ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik
Indonesia (IAPI) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
e. wajib menaati standar profesi yang ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik
Indonesia (IAPI) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
f. wajib menerapkan Standar Akuntansi Keuangan yang ditetapkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan praktek akuntansi keuangan yang lazim
berlaku di Pasar Modal;
g. wajib bersikap independen, objektif, dan profesional dalam melakukan
kegiatan di bidang Pasar Modal;
h. telah menjadi anggota Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI);
i. tidak bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada Kantor Akuntan lain dan
atau pada Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, dan pendaftaran dari
Bapepam dan LK, serta Pihak yang mengajukan Pernyataan Pendaftaran
atau yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif, kecuali:
1) komisaris Bursa Efek; dan
2) dosen pada perguruan tinggi yang tidak menduduki jabatan sebagai
pimpinan, pengurus atau jabatan yang setara di perguruan tinggi.
j. wajib memiliki keahlian di bidang Pasar Modal. Persyaratan keahlian
tersebut dipenuhi melalui program Pendidikan Profesi yang
diselenggarakan oleh Forum Akuntan Pasar Modal-Institut Akuntan Publik
Indonesia (FAPM-IAPI) dengan jumlah paling kurang 30 (tiga puluh) satuan
kredit profesi dalam satu kali keikutsertaan;
k. wajib secara terus menerus mengikuti pendidikan profesi lanjutan di bidang
akuntansi Pasar Modal dan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar
Modal yang diselenggarakan oleh Forum Akuntan Pasar Modal-Institut
Akuntan Publik Indonesia (FAPM-IAPI) paling kurang 5 (lima) satuan kredit
profesi setiap tahun;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-41/BL/2008
Tanggal : 14 Februari 2008
- 2 -
l. berkedudukan sebagai rekan pada Kantor Akuntan Publik yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut;
1) memiliki izin usaha dari Menteri Keuangan dan dipimpin oleh Akuntan
yang telah memiliki izin Akuntan Publik dari Menteri Keuangan dan
telah terdaftar di Bapepam dan LK;
2) menerapkan paling tidak 2 (dua) jenjang pengendalian (supervisi) dalam
melakukan pemeriksaan yaitu Rekan yang bertanggung jawab untuk
menandatangani laporan dan pengawas menengah yang melakukan
pengawasan terhadap staf pelaksana;
3) memiliki dan menaati pedoman pengendalian mutu yang merupakan
standar yang berlaku pada Kantor Akuntan Publik yang bersangkutan,
yang antara lain memuat:
a) pedoman penerimaan dan penolakan klien;
b) kepastian mutu dan kebijakan etika;
c) pedoman manajemen risiko;
d) pengendalian mutu penugasan;
e) pedoman independensi Akuntan dan Kantor Akuntan Publik
(KAP);
f) prosedur audit dan non audit; dan
g) penelaahan mutu.
4) telah menjadi anggota Forum Akuntan Pasar Modal-Institut Akuntan
Publik Indonesia (FAPM-IAPI);
5) sanggup menjalani review yang dilakukan oleh Bapepam dan LK
terhadap pelaksanaan pekerjaan pemeriksaan dan pengendalian mutu
pada Kantor Akuntan Publik yang bersangkutan; dan
6) bagi Kantor Akuntan Publik yang hanya memiliki 1 (satu) orang Rekan
yang terdaftar di Bapepam dan LK, untuk dapat melaksanakan kegiatan
di Pasar Modal wajib membuat surat perjanjian kerja sama dengan
Kantor Akuntan Publik lain tentang pengalihan tanggung jawab apabila
Akuntan yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan
tugasnya, dengan ketentuan bahwa Kantor Akuntan Publik lain tersebut
mempunyai Rekan yang sudah terdaftar di Bapepam dan LK.
3. Permohonan pendaftaran Akuntan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal
diajukan kepada Bapepam dan LK dalam rangkap 2 (dua) dengan
mempergunakan Formulir Nomor: VIII.A.1-1 lampiran 1 peraturan ini.
4. Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 3 peraturan ini
disertai dokumen sebagai berikut:
a. Dokumen yang menyangkut Akuntan:
1) daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani, serta
pengalaman kerja sebagai auditor yang dilengkapi dengan penjelasan
tentang penugasan yang pernah diterima dalam 3 (tiga) tahun terakhir
pada Kantor Akuntan Publik yang dilengkapi dengan keterangan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-41/BL/2008
Tanggal : 14 Februari 2008
- 3 -
tentang nama perusahaan yang diaudit, tahun penugasan, dan jenis
penugasan;
2) fotocopy dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Akuntan yang
bersangkutan;
3) fotocopy Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku;
4) pas photo terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna;
5) fotocopy izin Akuntan Publik dari Menteri Keuangan;
6) fotocopy ijazah pendidikan formal terakhir di bidang Akuntansi yang
telah dilegalisasi;
7) fotocopy sertifikat Pendidikan Profesi di bidang Pasar Modal
sebagaimana diatur dalam angka 2 huruf j peraturan ini yang diperoleh
dalam 2 (dua) tahun terakhir;
8) fotocopy Surat Tanda Register Negara;
9) fotocopy bukti keanggotaan dalam Institut Akuntan Publik Indonesia
(IAPI);
10) surat rekomendasi untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal dari
Forum Akuntan Pasar Modal-Institut Akuntan Publik Indonesia (FAPM-
IAPI); dan
11) surat pernyataan dengan meterai cukup yang menyatakan bahwa
Akuntan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan.
b. Dokumen yang menyangkut Kantor Akuntan Publik:
1) fotocopy akta pendirian Kantor Akuntan Publik beserta perubahannya;
2) fotocopy izin usaha dari Menteri Keuangan;
3) fotocopy izin Akuntan Publik dari Rekan yang menjadi pimpinan pada
Kantor Akuntan Publik dari Menteri Keuangan;
4) fotocopy Surat Tanda Terdaftar dari Rekan yang menjadi pimpinan pada
Kantor Akuntan Publik dari Bapepam dan LK;
5) fotocopy bukti keanggotaan dalam Forum Akuntan Pasar Modal-Institut
Akuntan Publik Indonesia (FAPM-IAPI);
6) surat perjanjian kerja sama yang ditandatangani oleh Akuntan dengan
Kantor Akuntan Publik lain, yang mempunyai Rekan yang sudah
terdaftar di Bapepam dan LK, tentang pengalihan tanggung jawab
apabila Akuntan yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan
tugasnya, bagi Kantor Akuntan Publik yang hanya mempunyai 1 (satu)
orang Rekan;
7) bagan organisasi Kantor Akuntan Publik yang menunjukkan:
a) susunan Rekan, pengawas menengah dan staf pelaksana beserta
nama yang menduduki posisi tersebut; dan
b) bahwa dalam melakukan pemeriksaan, Akuntan menerapkan
paling tidak 2 (dua) jenjang pengendalian (supervisi) yaitu nama
Rekan yang bertanggungjawab (menandatangani laporan), dan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-41/BL/2008
Tanggal : 14 Februari 2008
- 4 -
pengawas menengah yang melakukan pengawasan terhadap staf
pelaksana.
8) fotocopy izin pembukaan cabang Kantor Akuntan Publik dari instansi
yang berwenang bagi Kantor Akuntan Publik yang mempunyai cabang;
9) fotocopy surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai
pencantuman nama Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA), apabila
Kantor Akuntan Publik bekerjasama dengan
Asing (KAPA);
Kantor Akuntan Publik
10) fotocopy surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai
pencantuman nama Organisasi Audit Asing (OAA), apabila Kantor
Akuntan Publik bekerjasama dengan Organisasi Audit Asing (OAA);
11) dokumen perjanjian kerjasama dengan Kantor Akuntan Publik Asing
(KAPA), apabila Kantor Akuntan Publik bekerjasama dengan Kantor
Akuntan Publik Asing (KAPA);
12) dokumen perjanjian kerjasama dengan Organisasi Audit Asing (OAA),
apabila Kantor Akuntan Publik bekerjasama dengan Organisasi Audit
Asing (OAA);
13) dokumen pedoman pengendalian mutu sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 huruf l butir 3) peraturan ini;
14) fotocopy dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Kantor
Akuntan Publik;
15) Surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh
Pimpinan Rekan Kantor Akuntan Publik yang menyatakan bahwa
Pimpinan Rekan Kantor Akuntan Publik bertanggungjawab atas
pelaksanaan pedoman pengendalian mutu yang berlaku pada Kantor
Akuntan Publik yang bersangkutan; dan
16) surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh
Pimpinan Rekan Kantor Akuntan Publik yang menyatakan bahwa
Kantor Akuntan Publik bersedia untuk menjalani review Bapepam dan
LK terhadap pelaksanaan pemeriksaan dan pengendalian mutu pada
Kantor Akuntan Publik yang bersangkutan.
5. Dalam rangka pendaftaran Akuntan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal,
Bapepam dan LK dapat meminta dokumen pendukung selain sebagaimana yang
telah disebutkan dalam angka 4 huruf a dan huruf b peraturan ini.
6. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 peraturan ini
tidak memenuhi syarat, maka selambat-lambatnya dalam jangka waktu 45
(empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan tersebut, Bapepam dan
LK memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan
bahwa:
a. permohonan tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor
VIII.A.1-2 lampiran 2 peraturan ini; atau
b. permohonan ditolak dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.A.1-3
lampiran 3 peraturan ini.
7. Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan
dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-41/BL/2008
Tanggal : 14 Februari 2008
- 5 -
sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf a peraturan ini, dianggap telah
mengundurkan diri.
8. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 peraturan ini
memenuhi syarat, maka selambat-lambatnya dalam jangka waktu 45 (empat
puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap, Bapepam dan
LK memberikan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal kepada
pemohon dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.A.1-4 lampiran 4
peraturan ini.
9. Akuntan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK wajib melaporkan
kepada
Bapepam dan LK atas hal-hal sebagai berikut:
a. keikutsertaannya dalam pendidikan profesi lanjutan secara berkala setiap
tahun paling lambat pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya disertai
dengan bukti pendukung;
Dalam hal tanggal 15 Januari jatuh pada hari libur maka laporan
disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
b. setiap perubahan yang berkenaan dengan data dan informasi dari Akuntan
dan atau Kantor Akuntan Publik termasuk informasi sebagaimana diatur
dalam angka 4 huruf a dan huruf b peraturan ini paling lambat 14 (empat
belas) hari sejak terjadinya perubahan dengan disertai dokumen pendukung
dengan ketentuan jika hari keempat belas tersebut jatuh pada hari libur,
maka laporan perubahan data dan informasi dimaksud wajib disampaikan
pada satu hari kerja berikutnya.
c. kewajiban penyampaian perubahan data dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam angka 9 huruf b termasuk pula kewajiban penyampaian
data dan informasi antara lain:
1) perpindahan Akuntan ke Kantor Akuntan Publik lain;
2) perubahan nama Kantor Akuntan Publik; dan
3) perubahan alamat Kantor Akuntan Publik.
10. Dalam hal Akuntan bermaksud untuk tidak menjalankan kegiatan di Pasar
Modal dalam jangka waktu paling kurang satu tahun, maka berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. menyampaikan surat pemberitahuan kepada Bapepam dan LK untuk tidak
menjalankan kegiatan profesi Akuntan di bidang Pasar Modal dengan
menyebutkan jangka waktunya;
b. Surat Tanda Terdaftar atas nama Akuntan bersangkutan akan dinyatakan
tidak berlaku untuk sementara oleh Bapepam dan LK dengan memberikan
surat pemberitahuan menggunakan Formulir Nomor VIII.A.1-5 lampiran 5
peraturan ini;
c. apabila Akuntan dimaksud akan aktif kembali melakukan kegiatan di Pasar
Modal, maka Akuntan wajib memberitahukan kepada Bapepam dan LK dan
menyertakan:
1) fotocopy sertifikat pendidikan profesi lanjutan setiap tahunnya, jika
dalam jangka waktu tersebut Akuntan bersangkutan masih mengikuti
program pendidikan profesi lanjutan setiap tahun sebagaimana diatur
dalam angka 9 huruf a Peraturan ini;
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-41/BL/2008
Tanggal : 14 Februari 2008
- 6 -
2) fotocopy sertifikat pendidikan profesi lanjutan sebanyak jumlah satuan
kredit profesi yang diwajibkan setiap tahunnya, apabila dalam jangka
waktu tidak melakukan kegiatan di Pasar Modal tersebut, Akuntan
bersangkutan tidak mengikuti pendidikan profesi lanjutan setiap tahun
sebagaimana diatur dalam angka 9 huruf a Peraturan ini, bagi Akuntan
yang menyampaikan pemberitahuan untuk tidak melakukan kegiatan di
Pasar Modal paling lama 2 (dua) tahun; atau
3) fotocopy sertifikat pendidikan profesi sebagaimana diatur dalam
ketentuan angka 2 huruf j peraturan ini yang diperoleh paling lama
dalam waktu 2 (dua) tahun terakhir dan telah dilegalisasi, apabila dalam
jangka waktu tersebut Akuntan bersangkutan tidak mengikuti
pendidikan profesi lanjutan setiap tahun sebagaimana diatur dalam
angka 9 huruf a Peraturan ini; dan
4) daftar perubahan data dan informasi dari Akuntan dan atau Kantor
Akuntan Publik apabila ada perubahan yang terjadi dengan disertai
bukti pendukung; dan
d. Bapepam dan LK akan memberlakukan kembali Surat Tanda Terdaftar
setelah setelah Akuntan memenuhi ketentuan pada angka angka 10 huruf c
peraturan ini dengan memberikan surat pemberitahuan kepada Akuntan
yang bersangkutan menggunakan Formulir nomor VIII.A.1-6 lampiran 6
peraturan ini.
11. Ketentuan mengenai pendidikan profesi lanjutan adalah sebagai berikut:
a. Akuntan yang tidak mengikuti pendidikan profesi lanjutan akan dikenakan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan sanksi denda yang
dihitung dari tanggal kewajiban pelaporan sampai dengan tanggal
dipenuhinya kewajiban pelaporan keikutsertaan pendidikan profesi lanjutan
oleh yang bersangkutan kepada Bapepam dan LK;
b. jika dalam 2 (dua) tahun berturut-turut Akuntan tidak mengikuti
pendidikan profesi lanjutan atau jika dalam 5 (lima) tahun Akuntan tidak
mengikuti pendidikan profesi lanjutan sebanyak 3 (tiga) kali, Akuntan
dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan kegiatan usaha sebagai
Akuntan di bidang Pasar Modal, kecuali Akuntan sebagaimana dimaksud
dalam angka 10 peraturan ini;
c. Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
angka 11 huruf b peraturan ini telah berakhir, Akuntan dapat melakukan
kegiatan di Pasar Modal dengan mengajukan permohonan kepada Bapepam
dan LK serta melampirkan dokumen sebagai berikut:
1) fotocopy sertifikat program Pendidikan Profesi sebagaimana diatur
dalam ketentuan dalam angka 2 huruf j Peraturan ini yang diperoleh
paling lama dalam waktu 2 (dua) tahun terakhir dan telah dilegalisasi;
2) surat rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a butir
10) peraturan ini; dan
3) daftar perubahan data dan informasi dari Akuntan dan atau Kantor
Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam angka 9 huruf b dan
huruf c Peraturan ini apabila terdapat perubahan dengan disertai bukti
pendukung.
LAMPIRAN
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : Kep-41/BL/2008
Tanggal : 14 Februari 2008
- 7 -
d. apabila dalam 1 (satu) tahun pendidikan profesi lanjutan tidak
diselenggarakan, maka Ketua Bapepam dan LK dapat menetapkan
ketentuan lain.
12. Akuntan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK namun tidak lagi
berkedudukan sebagai rekan pada Kantor Akuntan Publik, tidak dapat
melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal.
13. Dalam hal Kantor Akuntan Publik tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf l peraturan ini, maka Akuntan
yang sudah terdaftar di Bapepam dan LK yang berkedudukan sebagai Rekan
pada Kantor Akuntan Publik tersebut tidak dapat melakukan kegiatan di bidang
Pasar Modal.
14. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal,
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan berwenang mengenakan
sanksi terhadap setiap pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk
pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 14 Februari 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN : 1
Peraturan Nomor : VIII.A.1
FORMULIR NOMOR : VIII.A.1-1
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pendaftaran Akuntan
Sebagai Profesi Penunjang
Pasar Modal.
Yth.
............... , ...........................20....
KEPADA
Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan
di -
Jakarta
Dengan ini kami mengajukan permohonan Pendaftaran Akuntan sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan
data sebagai berikut:
A. Data Pemohon
1. Nama : ...................................................................
2. Alamat tempat tinggal
: ...................................................................
...................................................................
(Nama jalan & nomor)
...................................
(Kota & Kode Pos)
3. Nomor telepon & faksimili
4. Alamat e-mail
5. Nomor Pokok Wajib Pajak
: ...................................................................
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
: ๎.๎๎๎.๎๎๎.๎-๎๎๎
6. Kedudukan di Kantor Akuntan Publik : ...................................................................
7. Nomor & tanggal Register Negara
Akuntan Publik dari Menteri Keuangan : ...................................................................
10. Sertifikat pendidikan profesi di bidang
Pasar Modal
a. Judul
b. Penyelenggara
c. Tanggal penyelenggaraan
d. Jumlah SKP
11. Ijazah pendidikan formal di bidang
akuntansi
a. Sarjana/Jurusan
b. Universitas
c. Tanggal ijazah
12. Nomor Kartu Tanda Penduduk
: ...................................................................
: ...................................................................
: ...................................................................
: ...................................................................
: ...................................................................
: ...................................................................
: ................................................................
: ................................................................
: ...................................................................
8. Nomor & tanggal Keanggotaan IAPI : ...................................................................
9. Nomor & tanggal Izin
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
B. Data Kantor Akuntan Publik (KAP)
1. Nama KAP
2. Alamat KAP
: ...................................................................
: ...................................................................
...................................................................
(Nama jalan & nomor)
...................................
(Kota & Kode Pos)
3. Nomor telepon & faksimili
4. Alamat e-mail/website
5. Nomor Pokok Wajib Pajak
7. Nomor & tanggal Izin Usaha
dari Menteri Keuangan
8. Susunan Rekan dalam KAP
a. Nama Pimpinan KAP
b. Nama Rekan yang telah terdaftar
di Bapepam dan LK
c. Nama Rekan yang belum terdaftar
di Bapepam dan LK
d. Jumlah tenaga profesi dalam KAP
1) D-3
2) S-1
3) lainnya
9. Daftar cabang KAP serta Nomor dan
tanggal Izin pembukaan cabang KAP
dari Menteri Keuangan
10. Kerja sama dengan KAP lain
a. Nama Akuntan
b. Nama KAP
c. Jangka waktu
11. Kerja sama/afiliasi dengan KAPA
a. Nama KAPA
b. Jangka waktu
12. Kerja sama/afiliasi dengan OAA
a. Nama OAA
: ...................................................................
: โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..
: . ๎.๎๎๎.๎๎๎.๎-๎๎๎
6. Nomor Keanggotaan KAP pada
FAPM-IAPI : ..............................................................
: ...................................................................
: ...................................................................
: 1. ...............................................................
2. ...............................................................
3. dst.
: 1. ...............................................................
2. ...............................................................
3. dst.
: ...............................................orang
: ...............................................orang
: ...............................................orang
: 1. ...............................................................
2. ...............................................................
3. dst.
: ................................................................
: ...................................................................
: ...................................................................
: ................................................................
: ...................................................................
: ................................................................
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
b. Jangka waktu
: ...................................................................
Melengkapi permohonan ini, kami lampirkan dokumen-dokumen sebagai
berikut:
A. Dokumen yang menyangkut Akuntan:
1. Datfar riwayat hidup.
2. Fotocopy dokumen NPWP.
3. Fotocopy KTP.
4. Pas photo terbaru dengan ukuran 4 x 6 berwarna.
5. Fotocopy izin Akuntan Publik.
6. Fotocopy ijazah pendidikan formal terakhir di bidang Akuntansi.
7. Fotocopy sertifikat pendidikan profesi di bidang Pasar Modal.
8. Fotocopy Surat Tanda Register Negara.
9. Fotocopy bukti keanggotaan dalam IAPI.
10. Surat rekomendasi untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal dari FAPM-IAPI.
11. Surat pernyataan dengan meterai cukup yang menyatakan bahwa Akuntan
tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana di bidang keuangan.
12. Jawaban atas pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 (Daftar pertanyaan)
dan lampiran 2 (Daftar A) formulir ini.
B. Dokumen yang menyangkut Kantor Akuntan Publik:
1. Fotocopy akta pendirian Kantor Akuntan Publik beserta akta perubahannya.
2. Fotocopy izin usaha Kantor Akuntan dari Menteri Keuangan.
3. Fotocopy izin Akuntan Publik dari Rekan yang menjadi pimpinan pada KAP.
4. Fotocopy Surat Tanda Terdaftar dari Rekan yang menjadi pimpinan pada KAP.
5. Fotocopy bukti keanggotaan dalam FAPM-IAPI.
6. Surat perjanjian kerja sama yang ditanda tangani oleh Akuntan dengan KAP
lain yang mempunyai rekan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK tentang
pengalihan tanggung jawab apabila Akuntan yagn bersangkutan berhalangan
untuk melaksanakan tugasnya. Bagi KAP yang hanya mempunyai satu orang
rekan.
7. Bagan organisasi KAP.
8. Fotocopy izin pembukaan cabang KAP.
9. Fotocopy surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai kerja sama
dengan KAPA (jika ada).
10. Fotocopy surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai kerja sama
dengan OAA (jika ada).
11. Dokumen perjanjian kerja sama dengan KAPA (jika ada).
12. Dokumen perjanjian kerja sama dengan OAA (jika ada).
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
13. Dokumen pedoman pengendalian mutu dalam rangka penugasan, yang antara
lain memuat:
a. pedoman penerimaan dan penolakan klien;
b. kepastian mutu dan kebijakan etika;
c. pedoman manajemen risiko;
d. pengendalian mutu penugasan;
e. pedoman independensi Akuntan dan Kantor Akuntan Publik (KAP);
f. prosedur audit dan non audit; dan
g. penelaahan mutu.
14. Fotocopy dokumen NPWP.
15. Surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh Pimpinan
Rekan Kantor Akuntan Publik yang menyatakan bahwa Pimpinan Rekan
Kantor Akuntan Publik bertanggungjawab atas pelaksanaan pedoman
pengendalian mutu yang berlaku pada Kantor Akuntan Publik yang
bersangkutan.
16. Surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh Pimpinan
Rekan Kantor Akuntan Publik yang menyatakan bahwa Kantor Akuntan Publik
bersedia untuk menjalani review Bapepam dan LK terhadap pelaksanaan
pemeriksaan dan pengendalian mutu pada Kantor Akuntan Publik yang
bersangkutan.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa data dan informasi
yang saya sampaikan adalah benar adanya dan apabila terdapat kekeliruan di
kemudian hari, saya bersedia untuk bertanggung jawab.
Demikian permohonan ini saya ajukan dan atas perhatian Bapak saya ucapkan
terima kasih.
Pemohon,
materai
..............................................
(Nama Lengkap)
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
: 1
Formulir Nomor : VIII.A.1-1
DAFTAR PERTANYAAN
PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN DI BAWAH INI:
1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh Pemohon.
2.
Berilah tanda ๎นdalam kotak di depan kata โyaโ, jika jawaban Saudara โYaโ, atau
berilah tanda ๎นdalam kotak di depan kata โTidakโ jika jawaban atas pertanyaan
berikut adalah โtidakโ.
Untuk setiap jawaban "Ya", Pemohon wajib memberikan jawaban secara rinci dan
jelas dalam lembaran terpisah yang antara lain memuat:
a. Lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan;
b. Kasus dan tanggal dari tindakan yang diambil;
c. Pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; dan
d. Tindakan dan sanksi yang diambil.
Jawablah pertanyaan berikut ini:
1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Pemohon pernah
dihukum karena:
a. tindak pidana yang berhubungan dengan investasi atau profesinya ?
๎ ya
๎ tidak
b. atau kejahatan lain?
๎ ya
2. Apakah pengadilan:
a. pernah menyatakan Pemohon pailit?
๎ ya
๎ tidak
b. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Pemohon dalam
kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya?
๎ ya
๎ tidak
c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha
perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ?
๎ ya
๎ tidak
3. Apakah Bapepam dan LK pernah:
a. menyatakan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai ?
๎ ya
๎ tidak
๎ tidak
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal?
๎ ya
๎ tidak
c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha
perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ?
๎ ya
๎ tidak
d.
memutuskan untuk menolak pendaftaran, membatalkan sementara,
membatalkan pendaftaran atau memberi sanksi lain yang membatasi
Pemohon dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau
profesinya ?
๎ ya
๎ tidak
4. Apakah instansi selain Pengadilan, Bapepam dan LK, atau Bursa Efek pernah:
a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak
jujur, tidak fair atau tidak etis?
๎ ya
๎ tidak
b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan di bidang
investasi dan peraturan perundang-undangan lainnya?
๎ ya
๎ tidak
c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan
yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha
perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ?
๎ ya
๎ tidak
d. memerintahkan untuk melarang Pemohon dalam hubungannya dengan
kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir?
๎ ya
๎ tidak
e. menolak, membekukan atau mencabut pendaftaran atau izin usaha Pemohon
?
๎ ya
๎ tidak
5. Apakah Bursa Efek pernah:
a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai memberikan
keterangan yang seharusnya diberikan?
๎ ya
๎ tidak
b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan Bursa
Efek ?
๎ ya
๎ tidak
6. Apakah pengadilan negara lain pernah menyatakan bahwa Pemohon telah
bersalah karena adanya tuntutan tindak pidana atau gugatan perdata dalam
hubungannya dengan investasi atau profesinya ?
๎ ya
๎ tidak
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
7. Apakah Pemohon pada saat ini termasuk pihak yang berperkara di pengadilan?
๎ ya
๎ tidak
8. Apakah Pemohon mempunyai komitmen, ikatan tertentu, atau kewajiban bersyarat
terhadap pihak ketiga yang perkaranya sedang diproses atau telah memperoleh
keputusan dari Pengadilan?
๎ ya
๎ tidak
9. Apakah Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) pernah memberi teguran, baik
lisan maupun tertulis, kepada Pemohon?
๎ ya
๎ tidak
10. Apakah Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) pernah mendapatkan atau
membuktikan bahwa Pemohon melakukan pelanggaran terhadap Standar
Profesional Akuntan Publik atau kode etik profesi Akuntan?
๎ ya
๎ tidak
......................, ..............................., 20..
Pemohon
materai
..............................................
(Nama Lengkap)
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
DAFTAR A
Penjelasan atas semua pertanyaan "Ya" dari lampiran 1 Formulir Nomor: VIII.A.1-1
Nomor Pertanyaan
Penjelasan
: 2
Formulir Nomor : VIII.A.1-1
Catatan: Lampiran 2 ini harus tetap disertakan Pemohon walaupun tidak terdapat
jawaban โYaโ atas semua pertanyaan dari Lampiran 1 Formulir Nomor:
VIII.A.1-1.
........................., ...............................20..
Pemohon
materai
..............................................
(Nama Lengkap)
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN : 2
Peraturan Nomor : VIII.A.1
FORMULIR NOMOR : VIII.A.1-2
Nomor : S- /BL/20...
Lampiran :
Perihal : Pemberitahuan
Kekurangan Data
Pendaftaran Akuntan
sebagai Profesi Penunjang
Pasar Modal.
.............................
Menunjuk surat Saudara Nomor : ...................... tanggal
.......................................... perihal ..................................., dengan ini
diberitahukan bahwa permohonan Saudara masih terdapat kekurangan
data sebagai berikut :
1. .......................................................................................................................
2. .......................................................................................................................
3. .......................................................................................................................
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami
sampaikan bahwa permohonan Saudara untuk terdaftar sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal belum dapat dipertimbangkan. Selanjutnya
permohonan Saudara akan dipertimbangkan setelah Saudara memenuhi
kekurangan-kekurangan tersebut di atas.
Demikian agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ketua,
Yth.
Jakarta, ............................... 20.......
KEPADA
...........................................................
di -
................................................
NIP. .......................
Tembusan Yth:
...................................
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN : 3
Peraturan Nomor : VIII.A.1
FORMULIR NOMOR : VIII.A.1-3
Nomor : S- /BL/20...
Lampiran : ---
Perihal : Penolakan Permohonan
Pendaftaran Akuntan
Sebagai Profesi Penunjang
Pasar Modal.
Yth.
Jakarta, ........................... 20 โฆ....
KEPADA
............................................................
di -
.................................
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal
........................ perihal ..................................., setelah meneliti
permohonan Saudara, dengan ini diputuskan bahwa permohonan
Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. ......................................................................................................................
2. ......................................................................................................................
3. ......................................................................................................................
Demikianlah agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ketua,
................................................
NIP. ..................
Tembusan Yth:
...........................................
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN : 4
Peraturan Nomor : VIII.A.1
FORMULIR NOMOR : VIII.A.1-4
SURAT TANDA TERDAFTAR
PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL
Nomor : ......./BL/STTD-AP/20โฆโฆ
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal diberikan kepada:
........................................................
Reg. Negara No. ..................
sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Akuntan) dengan segala hak dan kewajiban
yang melekat kepadanya sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal sebagaimana
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 dan Peraturan Bapepam
dan LK Nomor VIII.A.1 tentang Pendaftaran Akuntan yang Melakukan Kegiatan di
Pasar Modal.
Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dan apabila terdapat kekeliruan terhadap Surat ini, maka Ketua Bapepam
dan LK dapat meninjau kembali.
โฆโฆโฆโฆโฆโฆ, โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ..20โฆโฆ..
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ketua,
....................................
NIP. ...................
Tembusan Yth:
1. Sdr. Sekretaris Bapepam dan LK;
2. Sdr. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam dan LK; dan
3. Sdr. Ketua FAPM-IAPI.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN : 5
Peraturan Nomor : VIII.A.1
FORMULIR NOMOR : VIII.A.1-5
Nomor : S- /BL/20...
Lampiran : ---
Perihal : Pemberitahuan
Pembekuan Sementara
STTD.
Yth.
Jakarta, ........................... 20 โฆ....
KEPADA
............................................................
di -
.................................
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal
........................ perihal ..................................., dengan ini diberitahukan
bahwa bahwa Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal
(STTD) atas nama Saudara, Nomor:โฆโฆโฆโฆ. dinyatakan tidak berlaku
sampai dengan Saudara memberitahukan akan aktif kembali
melakukan kegiatan di Pasar Modal dengan memenuhi ketentuan
pada angka 10 huruf c Peraturan Nomor VIII.A.1 tentang Pendaftaran
Akuntan yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal.
Demikianlah agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ketua,
................................................
NIP. ..................
Tembusan Yth:
........................................
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN : 6
Peraturan Nomor : VIII.A.1
FORMULIR NOMOR : VIII.A.1-6
Nomor : S- /BL/20...
Lampiran : ---
Perihal : Pemberitahuan
Pemberlakuan kembali
STTD.
Yth.
Jakarta, ............................ 20 โฆ....
KEPADA
............................................................
di -
.................................
Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal
........................ perihal ..................................., setelah meneliti surat
permohonan Saudara, dengan ini diberitahukan bahwa bahwa
Saudara telah memenuhi ketentuan pada angka 10 huruf c Peraturan
Nomor VIII.A.1 tentang Pendaftaran Akuntan yang Melakukan
Kegiatan di Pasar Modal dan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang
Pasar Modal (STTD) atas nama Saudara, Nomor:โฆโฆโฆโฆ. dinyatakan
berlaku kembali.
Demikianlah agar Saudara maklum.
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Ketua,
................................................
NIP. ..................
Tembusan Yth:
......................................
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-41/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id>
<reg_title> PENDAFTARAN AKUNTAN YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 14 Februari 2008 </set_date>
<effective_date> 14 Februari 2008 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-34/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003 | Lampiran Peraturan Nomor VIII.A.1' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '17/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: KEP-712/BL/2012
TENTANG
PEMERINGKATAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
:
a. Bahwa pemeringkatan terhadap efek bersifat utang
dan/atau sukuk merupakan informasi penting bagi
para investor untuk mengetahui kondisi Perseroan
saat ini dan perkiraan perkembangannya di masa
yang akan datang serta kemampuan untuk
memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat
waktu;
b. bahwa dalam rangka memberikan kemudahan bagi
Emiten dalam melakukan keterbukaan informasi
terkait pemeringkatan efek bersifat utang dan/atau
sukuk, dipandang perlu untuk menyempurnakan
Peraturan Bapepam Nomor IX.C.11, Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor: KEP-135/BL/2006
tentang Pemeringkatan Atas Efek Bersifat Utang
dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
yang baru;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995
tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995
tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar
Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618);
4. Surat Kuasa Khusus Nomor: SKU-194/MK.01/2012;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
PEMERINGKATAN EFEK BERSIFAT UTANG
DAN/ATAU SUKUK.
Pasal 1
Ketentuan mengenai Pemeringkatan Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.11
sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 2
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: Kep-135/BL/2006 tanggal 14
Desember 2006 tentang Pemeringkatan Atas Efek
Bersifat Utang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Pasal 3
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
pada tanggal
ttd.
Ngalim Sawega
NIP 195505301977111001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
: Jakarta
: 26 Desember 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
: Kep-712/BL/2012
: 26 Desember 2012
PERATURAN NOMOR IX.C.11
: PEMERINGKATAN EFEK BERSIFAT UTANG
DAN/ATAU SUKUK
1. KETENTUAN UMUM
a. Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1) Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk adalah opini tentang
kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu
oleh Emiten berkaitan dengan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk.
2) Peringkat Tahunan adalah Peringkat Efek bersifat utang dan/atau Sukuk
yang dikeluarkan oleh Perusahaan Pemeringkat Efek dalam rangka kaji
ulang setiap tahun.
3) Peringkat Baru adalah Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang
berbeda dari peringkat sebelumnya yang dikeluarkan oleh Perusahaan
Pemeringkat Efek karena adanya fakta material, kejadian penting, atau
faktor lainnya.
4) Klasifikasi Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk adalah pengklasifikasian
berdasarkan waktu penerbitan dan seri Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk.
b. Kewajiban Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk berlaku untuk
Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang jatuh temponya lebih dari 1 (satu)
tahun, termasuk obligasi yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham, yang
diterbitkan Emiten melalui Penawaran Umum, selanjutnya disebut dengan Efek
Bersifat Utang dan/atau Sukuk.
2. PEMERINGKATAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT
UTANG DAN/ATAU SUKUK
a. Emiten yang akan menerbitkan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk wajib:
1) memperoleh Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk atas setiap
Klasifikasi Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tersebut dari Perusahaan
Pemeringkat Efek yang paling sedikit memuat informasi sebagai berikut:
a) keunggulan atau kelebihan Emiten dan Efek Bersifat Utang dan/atau
Sukuk serta kaitannya dengan kemampuan Emiten untuk memenuhi
kewajiban atas Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk;
b) kelemahan-kelemahan Emiten dan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk
serta kaitannya dengan risiko yang dihadapi oleh pemegang Efek
Bersifat Utang dan/atau Sukuk;
c) simbol Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang
mencerminkan informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a) dan
huruf b);
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 2 -
d) masa berlaku Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yaitu satu
tahun setelah peringkat tersebut diterbitkan; dan
e) prospek (outlook);
2) memuat Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk dan tanggal
penerbitan peringkat tersebut dalam Kontrak Perwaliamanatan dan
Prospektus.
Dalam hal Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk diperoleh lebih
dari satu Perusahaan Pemeringkat Efek, maka masing-masing peringkat
tersebut wajib dimuat dalam Kontrak Perwaliamanatan dan Prospektus.
b. Jangka waktu antara tanggal hasil pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau
Sukuk dengan tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tidak lebih dari 6
(enam) bulan.
3. PEMERINGKATAN TAHUNAN
a. Emiten wajib menyampaikan Peringkat Tahunan atas setiap Klasifikasi Efek
Bersifat Utang dan/atau Sukuk kepada Bapepam dan LK paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa berlaku peringkat terakhir sampai
dengan Emiten telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang terkait dengan
Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang diterbitkan.
b. Dalam hal Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk diperoleh lebih dari
satu Perusahaan Pemeringkat Efek pada saat Penawaran Umum, maka Emiten
dapat menunjuk salah satu dari Perusahaan Pemeringkat Efek tersebut untuk
melakukan pemeringkatan tahunan sampai dengan selesainya seluruh
kewajiban Emiten yang terkait dengan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk
yang diterbitkan sepanjang telah diatur dalam Kontrak Perwaliamanatan.
c. Dalam hal Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang diperoleh
berbeda dari peringkat sebelumnya, Emiten wajib mengumumkan kepada
masyarakat paling sedikit dalam satu surat kabar harian berbahasa Indonesia
yang berperedaran nasional atau laman (website) Bursa Efek paling lama 10
(sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa berlaku peringkat terakhir,
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Peringkat Tahunan yang diperoleh; dan
2) penjelasan singkat mengenai penyebab perubahan peringkat.
4. PEMERINGKATAN KARENA TERDAPAT FAKTA MATERIAL/KEJADIAN
PENTING
a. Dalam hal Perusahaan Pemeringkat Efek menerbitkan Peringkat Baru maka
Emiten wajib menyampaikan kepada Bapepam dan LK serta mengumumkan
kepada masyarakat paling sedikit dalam satu surat kabar harian berbahasa
: Kep-712/BL/2012
: 26 Desember 2012
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 3 -
Indonesia yang berperedaran nasional atau laman (website) Bursa Efek paling
lama akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya Peringkat Baru tersebut,
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Peringkat Baru; dan
2) penjelasan singkat mengenai faktor-faktor penyebab terbitnya Peringkat
Baru.
b. Masa berlaku Peringkat Baru adalah sampai dengan akhir periode Peringkat
Tahunan.
5. PEMERINGKATAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK DALAM
PENAWARAN UMUM BERKELANJUTAN
a. Emiten yang menerbitkan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk melalui
Penawaran Umum Berkelanjutan sebagaimana diatur pada Peraturan Nomor
IX.A.15 wajib memperoleh Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang
mencakup keseluruhan nilai Penawaran Umum Berkelanjutan yang
direncanakan.
b. Peringkat Tahunan dan Peringkat Baru wajib mencakup keseluruhan nilai
Penawaran Umum Berkelanjutan sepanjang:
1) periode Penawaran Umum Berkelanjutan masih berlaku; dan
2) Emiten tidak dalam keadaan kondisi dilarang untuk melaksanakan
penawaran Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tahap berikutnya dalam
periode Penawaran Umum Berkelanjutan sebagaimana diatur pada
Peraturan Nomor IX.A.15.
6. PEMERINGKATAN ULANG
a. Dalam hal Emiten menerima hasil pemeringkatan ulang dari Perusahaan
Pemeringkat Efek terkait dengan Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk
selain karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan angka
4 huruf a, maka Emiten wajib menyampaikan hasil pemeringkatan ulang
dimaksud kepada Bapepam dan LK paling lama akhir hari kerja ke-2 (kedua)
setelah diterimanya peringkat dimaksud.
b. Dalam hal peringkat yang diterima sebagaimana dimaksud dalam huruf a
berbeda dari peringkat sebelumnya, maka Emiten wajib mengumumkan kepada
masyarakat paling kurang dalam satu surat kabar harian berbahasa Indonesia
yang berperedaran nasional atau laman Bursa Efek paling lama akhir hari kerja
ke-2 (kedua) setelah diterimanya peringkat dimaksud.
7. PENCABUTAN, PENARIKAN KEMBALI ATAU PEMBATALAN PERINGKAT
a. Dalam hal hasil Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk dicabut, ditarik
kembali, atau dibatalkan oleh Perusahaan Pemeringkat Efek, maka Emiten wajib
: Kep-712/BL/2012
: 26 Desember 2012
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 4 -
menyampaikan informasi kepada Bapepam dan LK, dan mengumumkan
kepada masyarakat paling sedikit dalam satu surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional atau laman (website) Bursa Efek paling
lama 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya hal dimaksud.
b. Dalam hal terjadi pencabutan, penarikan kembali, atau pembatalan Peringkat
Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk sebagaimana dimaksud dalam angka 7
huruf a yang mengakibatkan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tidak
memiliki peringkat, maka Emiten wajib memperoleh peringkat paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan dari Perusahaan
Pemeringkat Efek.
c. Emiten wajib menyampaikan peringkat sebagaimana dimaksud dalam angka 7
huruf b kepada Bapepam dan LK dan mengumumkan kepada masyarakat
paling sedikit dalam satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang
berperedaran nasional atau laman (website) Bursa Efek, paling sedikit memuat
hal-hal sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a angka 1), paling lama
akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya peringkat dimaksud.
8. KETENTUAN PENUTUP
a. Dalam hal Peringkat Tahunan atau Peringkat Baru diperoleh lebih dari satu
Perusahaan Pemeringkat Efek, maka penyampaian dan/atau pengumuman atas
seluruh Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tersebut wajib mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a, angka 3 huruf c, dan
angka 4 huruf a.
b. Emiten wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam angka 3 huruf c, angka 4 huruf a, angka 6 huruf b, angka 7 huruf a, dan
angka 7 huruf b yang diwajibkan dalam Peraturan ini kepada Bapepam dan LK
paling lama 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman.
c. Dalam hal batas waktu penyampaian laporan atau pengumuman yang
diwajibkan dalam Peraturan ini jatuh pada hari libur, maka laporan atau
pengumuman wajib disampaikan paling lama pada satu hari kerja berikutnya.
d. Seluruh kewajiban dalam Peraturan ini berlaku sampai dengan Emiten telah
menyelesaikan seluruh kewajiban yang terkait dengan Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk yang diterbitkan.
e. Dalam hal Emiten memperoleh peringkat default, maka kewajiban
pemeringkatan atas Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tidak berlaku sampai
dengan terdapat perkembangan yang menunjukkan kemampuan Emiten untuk
menyelesaikan kewajiban Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk.
: Kep-712/BL/2012
: 26 Desember 2012
LAMPIRAN:
Keputusan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 5 -
f. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal,
Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang
melanggar ketentuan Peraturan ini termasuk pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 26 Desember 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan
ttd.
Ngalim Sawega
NIP 195505301977111001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
: Kep-712/BL/2012
: 26 Desember 2012
| <reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> KEP-712/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> PEMERINGKATAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK </reg_title>
<set_date> 26 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> 26 Desember 2012 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-135/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '45/PP/1995', '12/PP/2004', '46/PP/1995', 'SKU-194/MK.01/2012|SKK/2012', '8/UU/1995' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/ 7 /PADG/2019
TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa data dan keterangan yang lengkap, benar, dan
tepat waktu, yang diperoleh dari hasil pelaporan kegiatan
lalu lintas devisa lembaga bukan bank sangat diperlukan
untuk melengkapi penyusunan statistik, terutama
statistik Neraca Pembayaran Indonesia dan statistik Posisi
Investasi Internasional Indonesia;
b. bahwa pengaturan pelaporan kegiatan lalu lintas devisa
perlu didukung ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman
bagi penduduk dalam pelaporan kegiatan lalu lintas devisa
lembaga bukan bank;
c. bahwa mekanisme pelaporan kegiatan lalu lintas devisa
perlu disempurnakan guna meningkatkan kualitas data
dan keterangan yang disampaikan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pelaporan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/2/PBI/2019 tentang
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6298);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA
BUKAN BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah
lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan
sistem nilai tukar.
2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu
lintas devisa dan sistem nilai tukar.
3. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat
AFLN adalah aktiva Penduduk pada bukan Penduduk baik
dalam valuta asing maupun rupiah, dalam bentuk kas
valuta asing, simpanan, surat berharga, dan aset luar
negeri lainnya.
4. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya
disingkat KFLN adalah pasiva Penduduk pada bukan
Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah, dalam
bentuk utang luar negeri, ekuitas dari bukan Penduduk,
dan kewajiban luar negeri lainnya.
5. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah
utang Penduduk kepada bukan Penduduk dalam valuta
asing dan/atau rupiah, termasuk di dalamnya
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
3
6. Lembaga Bukan Bank yang selanjutnya disingkat LBB
adalah lembaga selain bank yang berstatus Penduduk.
7. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LBB.
8. Kegiatan LLD LBB yang selanjutnya disebut Kegiatan LLD
adalah kegiatan yang menimbulkan perpindahan AFLN
dan/atau KFLN selain ULN antara Penduduk dan bukan
Penduduk, termasuk perpindahan AFLN dan/atau KFLN
selain ULN antar-Penduduk.
9. Laporan Kegiatan LLD yang selanjutnya disebut Laporan
adalah laporan atas Kegiatan LLD.
10. Pelapor adalah LBB yang melakukan Kegiatan LLD, baik
untuk kepentingan Pelapor yang bersangkutan maupun
pihak lain.
11. Periode Laporan yang selanjutnya disingkat PL adalah
periode data tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang
bersangkutan yang dilaporkan pada bulan berikutnya.
12. Masa Pelaporan adalah tanggal 1 sampai dengan akhir
bulan yang bersangkutan setelah PL.
13. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang selanjutnya
disingkat BWPL adalah tanggal paling lambat
disampaikannya Laporan.
14. Masa Keterlambatan Penyampaian Laporan yang
selanjutnya disingkat MKPL adalah periode waktu Pelapor
dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan.
15. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk
hari kerja operasional terbatas.
16. Jam Kerja adalah jam kerja kantor Bank Indonesia
setempat sesuai dengan kedudukan Pelapor.
BAB II
PELAPOR
Pasal 2
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan secara lengkap,
benar, dan tepat waktu.
(2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi LBB
sebagai berikut:
4
a. lembaga keuangan bukan bank;
b. badan usaha bukan lembaga keuangan; dan
c. badan lainnya.
BAB III
JENIS LAPORAN, PERIODE LAPORAN, KOREKSI LAPORAN,
DAN FORMAT LAPORAN
Pasal 3
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
meliputi:
a. Laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan
transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan
Penduduk;
b. Laporan posisi dan perubahan AFLN;
c. Laporan posisi dan perubahan ekuitas dari bukan
Penduduk dan kewajiban lain yang terkait;
d. Laporan posisi dan perubahan kewajiban derivatif
luar negeri;
e. Laporan posisi komitmen dan kontinjensi luar negeri;
dan
f.
Laporan posisi surat berharga milik Nasabah
kustodian.
(2) Jenis Laporan yang disampaikan oleh Pelapor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
Kegiatan LLD yang dilakukan oleh Pelapor.
Pasal 4
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
disampaikan secara berkala setiap bulan.
(2) Laporan mencakup data dan keterangan kegiatan yang
dilakukan sejak tanggal 1 sampai dengan akhir bulan
dan/atau posisi Laporan akhir bulan.
(3) Format Laporan diatur dalam pedoman pelaporan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
5
Pasal 5
(1) Dalam hal terdapat kesalahan Laporan yang telah
disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia, Pelapor
harus menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan
yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia.
(2) Koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara lengkap untuk setiap jenis Laporan
yang dikoreksi.
(3) Koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang terakhir diterima oleh Bank Indonesia merupakan
Laporan pengganti atas Laporan yang diterima
sebelumnya.
BAB IV
TATA CARA PELAPORAN
Pasal 6
(1) Pelapor yang baru pertama kali menyampaikan Laporan
harus menyampaikan surat permohonan dan melengkapi
data profil Pelapor.
(2) Profil Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi informasi mengenai identitas Pelapor yang terdiri
atas:
a.
b.
informasi umum Pelapor; dan
informasi keuangan
(3) Format surat permohonan dan data profil Pelapor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II dan Lampiran III, yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Pelapor menyampaikan surat permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia sesuai
dengan wilayah kerja sebagaimana tercantum dalam
daftar wilayah kerja Bank Indonesia pada Lampiran I.
6
(5) Pelapor dapat mengajukan permohonan pengelolaan
Laporan ke Kantor Pusat Bank Indonesia atau Kantor
Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia di luar domisili
alamat Pelapor.
Pasal 7
(1) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1), Bank Indonesia akan
memberitahukan kepada Pelapor mengenai sandi Pelapor,
username, dan password.
(2) Dalam hal Pelapor telah memiliki sandi Pelapor terkait
pelaporan ULN sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan kegiatan
lalu lintas devisa berupa utang luar negeri dan transaksi
partisipasi risiko, Pelapor cukup melengkapi data profil
Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(3) Pelapor menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia
dengan menggunakan sandi Pelapor, username, dan
password sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
(1) Pelapor melaporkan seluruh Kegiatan LLD yang dilakukan
selama PL.
(2) Apabila dalam suatu PL tertentu Pelapor tidak melakukan
Kegiatan LLD, Pelapor tetap harus menyampaikan
Laporan dengan baris (record) dikosongkan sesuai tata
cara sebagaimana dimaksud dalam petunjuk teknis
aplikasi pelaporan yang terdapat dalam laman (website)
pelaporan di Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Pelapor tidak lagi melakukan Kegiatan LLD,
Pelapor harus menyampaikan surat pernyataan tidak lagi
melakukan Kegiatan LLD bermeterai cukup dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini disertai bukti pendukung.
7
(4) Dalam hal Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
melakukan Kegiatan LLD kembali, Pelapor wajib
menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2.
Pasal 9
(1) Bagi Pelapor yang memiliki 1 (satu) atau lebih kantor
cabang, Laporan yang disampaikan merupakan Laporan
gabungan dari kantor pusat dan seluruh kantor cabang di
Indonesia.
(2) Bagi Pelapor yang tergabung dalam 1 (satu) grup
perusahaan, Laporan disampaikan oleh Pelapor secara
terpisah dari Laporan induk perusahaan.
Pasal 10
(1) Dalam hal Kegiatan LLD dilakukan oleh Pelapor untuk
kepentingan Nasabah atau pihak lain, Pelapor dapat
meminta keterangan dan data kepada Nasabah atau pihak
lain tersebut mengenai Kegiatan LLD yang dilakukan.
(2) Nasabah atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memberikan keterangan dan data mengenai
Kegiatan LLD yang diminta oleh Pelapor.
Pasal 11
Dalam hal Pelapor pindah alamat, Pelapor harus terlebih
dahulu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Bank
Indonesia sesuai dengan wilayah kerja sebagaimana tercantum
dalam daftar wilayah kerja Bank Indonesia pada Lampiran I.
Pasal 12
Tata cara penggunaan aplikasi pelaporan mengacu pada
petunjuk teknis aplikasi pelaporan sebagaimana terdapat
dalam laman (website) pelaporan Bank Indonesia.
8
BAB V
MEDIA PENYAMPAIAN LAPORAN
Pasal 13
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
disampaikan kepada Bank Indonesia secara online melalui
laman (website) pelaporan di Bank Indonesia dengan
alamat https://www.bi.go.id/lkpbuv2.
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat penyampaian
Laporan dan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan secara
tertulis perubahan alamat tersebut.
(3) Dalam hal penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan secara offline, Laporan
dan koreksi Laporan disampaikan dengan menggunakan
media attachment e-mail, compact disc (CD), flash disk,
dan/atau media elektronik lainnya pada Hari dan Jam
Kerja.
(4) Penyampaian Laporan secara offline sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditujukan kepada Bank Indonesia
sesuai dengan wilayah kerja sebagaimana tercantum
dalam daftar wilayah kerja Bank Indonesia pada Lampiran
I.
BAB VI
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN
DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN
Pasal 14
(1) Laporan yang meliputi data dan keterangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 wajib disampaikan secara online
secara bulanan paling lambat tanggal 15 bulan
โberikutnya.
9
(2) Dalam hal hari terakhir penyampaian Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, BWPL jatuh pada Hari
berikutnya.
(3) Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada
hari terakhir penyampaian Laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sehingga Pelapor tidak dapat
menyampaikan Laporan secara
online, Laporan
disampaikan secara offline pada Hari berikutnya.
(4) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
Pelapor untuk menyampaikan kembali Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara online apabila
gangguan teknis telah dapat diatasi.
(5) Laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila
softcopy seluruh Laporan berhasil diunggah dan lolos
verifikasi, yang dibuktikan dengan adanya tanda terima
dari sistem Bank Indonesia.
(6) Laporan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila
softcopy seluruh Laporan telah diterima oleh petugas di
Bank Indonesia, yang dibuktikan dengan adanya tanda
terima dari petugas Bank Indonesia.
(7) Dalam hal Pelapor menyampaikan Laporan secara offline
menggunakan surat elektronik (e-mail), Pelapor harus
melakukan konfirmasi pada Jam Kerja melalui telepon
kepada petugas di Bank Indonesia untuk memastikan
bahwa surat elektronik (e-mail) yang berisi softcopy
Laporan telah diterima oleh Bank Indonesia.
Pasal 15
(1) Koreksi Laporan secara online harus disampaikan paling
lambat tanggal 20 pada bulan penyampaian Laporan yang
bersangkutan.
(2) Penyampaian Koreksi Laporan setelah tanggal 20
dilakukan secara offline.
10
(3) Dalam hal hari terakhir penyampaian koreksi Laporan
jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti
bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, koreksi
Laporan dapat disampaikan pada Hari berikutnya secara
online.
Pasal 16
(1) Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada
hari terakhir penyampaian koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) sehingga Pelapor tidak
dapat menyampaikan koreksi Laporan secara online,
koreksi Laporan disampaikan secara offline pada Hari
berikutnya.
(2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
Pelapor untuk menyampaikan kembali koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara online apabila
gangguan teknis telah dapat diatasi.
(3) Koreksi Laporan secara online sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia
apabila softcopy seluruh koreksi Laporan berhasil
diunggah dan lolos verifikasi, yang dibuktikan dengan
adanya tanda terima dari sistem Bank Indonesia.
(4) Koreksi Laporan secara offline sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia
apabila softcopy seluruh koreksi Laporan telah diterima
oleh petugas di Bank Indonesia, yang dibuktikan dengan
adanya tanda terima dari petugas Bank Indonesia.
(5) Dalam hal Pelapor menyampaikan koreksi Laporan secara
offline menggunakan surat elektronik (e-mail), Pelapor
dapat melakukan konfirmasi melalui telepon kepada
petugas di Bank Indonesia untuk memastikan bahwa
surat elektronik (e-mail) yang berisi softcopy koreksi
Laporan telah diterima oleh Bank Indonesia.
11
Pasal 17
(1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
apabila Pelapor menyampaikan Laporan dalam MKPL,
yaitu masa setelah berakirnya BWPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) sampai dengan akhir
bulan.
(2) Penyampaian Laporan setelah tanggal 20 dilakukan secara
offline.
Pasal 18
(1) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan apabila
sampai dengan batas akhir MKPL sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, Bank Indonesia belum menerima Laporan
dari Pelapor.
(2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap harus
menyampaikan Laporan secara offline.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 19
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Kegiatan LLD yang dilakukan oleh Pelapor.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan cara:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan
pihak instansi terkait; dan/atau
b. kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
12
(4) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf a paling lambat 15 (lima belas) Hari sejak tanggal
surat permintaan dari Bank Indonesia.
(5) Dalam hal Pelapor tidak memberikan penjelasan, bukti,
catatan, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) maka bagi Pelapor:
a. yang telah menyampaikan Laporan, Laporan yang
disampaikan dinyatakan tidak benar; dan
b. yang belum menyampaikan Laporan, dinyatakan
tidak menyampaikan Laporan.
(6) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain
untuk melakukan penelitian kebenaran Laporan.
Pasal 20
(1) Apabila berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), Pelapor
atau LBB yang terindikasi memiliki Kegiatan LLD
diketahui melakukan Kegiatan LLD maka Pelapor atau
LBB yang terindikasi memiliki Kegiatan LLD harus
menyampaikan Laporan berdasarkan permintaan dari
Bank Indonesia melalui surat.
(2) Pelapor atau LBB yang terindikasi memiliki Kegiatan LLD
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan apabila Pelapor
atau LBB yang terindikasi memiliki Kegiatan LLD belum
menyampaikan Laporan yang diminta Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak 3 (tiga) bulan
setelah diketahui melakukan Kegiatan LLD.
13
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Sanksi Atas Laporan yang Tidak Benar, Terlambat,
dan Tidak Disampaikan
Pasal 21
Pelapor yang:
a. menyampaikan Laporan secara tidak benar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), yang tidak
ditindaklanjuti dengan penyampaian koreksi;
b. terlambat menyampaikan
Laporan
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1); dan/atau
c.
tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (5), dan Pasal 20
ayat (2).
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Bagian Kedua
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
Pasal 22
(1) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 untuk Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, mulai
diberlakukan bagi Pelapor baru setelah 3 (tiga) kali masa
pelaporan sejak penyampaian Laporan yang pertama.
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 untuk Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, mulai
diberlakukan bagi Pelapor yang belum menyampaikan
Laporan kepada Bank Indonesia sejak 3 (tiga) bulan
setelah diketahui melakukan Kegiatan LLD.
(3) Pelapor yang sedang dalam proses pailit atau yang sudah
tidak beroperasi dapat mengajukan permohonan kepada
Bank Indonesia untuk tidak dikenai sanksi administratif
sebagaimana
14
berupa teguran tertulis dengan menyampaikan bukti
pendukung.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak
dikenai kepada Pelapor yang terlambat atau tidak
menyampaikan Laporan yang disebabkan adanya
gangguan teknis di Bank Indonesia.
Pasal 23
Pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang berwenang,
dan/atau perusahaan induk dari Pelapor mengenai pengenaan
sanksi dilakukan dalam hal Pelapor telah 3 (tiga) kali
mendapatkan teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 huruf c karena tidak menyampaikan Laporan dalam 1
(satu) tahun pelaporan.
BAB IX
KEADAAN MEMAKSA
Pasal 24
(1) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan keterangan dan data untuk penyusunan
Laporan tidak tersedia, dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
(2) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga menyebabkan
terhambatnya penyampaian Laporan, dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan Laporan dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(3) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harus segera
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Bank Indonesia, dengan memberikan penjelasan
mengenai keadaan memaksa yang dialami, yang paling
kurang memuat:
15
jenis keadaan memaksa, dengan melampirkan
dokumen pendukung dan/atau surat keterangan dari
instansi terkait di daerah setempat; dan
b. dampak terhadap pelaporan.
a.
(4) Pelapor dapat menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis mengenai keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) melalui kantor pusat Pelapor,
kantor cabang Pelapor, atau pihak lain yang ditunjuk
Pelapor.
(5) Pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan
memaksa yang terjadi selama 1 (satu) PL atau lebih harus
disampaikan untuk setiap PL sampai dengan berakhirnya
keadaan memaksa.
(6) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) berlaku dalam hal Pelapor memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia.
(7) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus menyampaikan Laporan setelah Pelapor kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 25
Dalam hal Pelapor sedang dalam proses pailit atau sudah tidak
beroperasi, Pelapor tetap wajib menyampaikan Laporan kepada
Bank Indonesia.
Pasal 26
Laporan yang memuat data dan keterangan individual Pelapor
yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia,
kecuali secara tegas dinyatakan lain dalam Undang-Undang.
16
Pasal 27
Dalam hal terdapat permasalahan yang timbul dalam
pelaporan Kegiatan LLD yang berdampak strategis, Bank
Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XI
KORESPONDENSI
Pasal 28
(1) Penyampaian surat, pertanyaan, dokumen pendukung,
dan/atau informasi lainnya berkaitan dengan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini ditujukan kepada Bank
Indonesia sesuai dengan wilayah kerja sebagaimana
tercantum dalam daftar wilayah kerja Bank Indonesia
pada Lampiran I.
(2) Dalam hal terjadi perubahan alamat korespondensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
memberitahukan secara tertulis.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/26/DSta
tanggal 15 Oktober 2015 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu
Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 30
(1) Kewajiban penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) mulai berlaku sejak PL bulan Maret
2019 yang disampaikan pada bulan April 2019.
17
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 mulai
berlaku sejak PL bulan Maret 2019 yang disampaikan
pada bulan April 2019.
Pasal 31
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 April 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
MIRZA ADITYASWARA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/ 7 /PADG/2019
TENTANG
PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK
I. UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk meminta keterangan dan data
mengenai Kegiatan LLD yang dilakukan oleh Penduduk, melalui suatu
sistem pemantauan LLD yang efektif. Keterangan dan data yang diperoleh
melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk penyusunan
statistik, yang meliputi statistik Neraca Pembayaran Indonesia, Posisi
Investasi Internasional Indonesia, dan statistik lainnya. Selanjutnya,
statistik tersebut dipergunakan sebagai sumber bagi perumusan dan
pelaksanaan kebijakan baik di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan,
maupun sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
Dengan disusunnya ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman
pelaporan Kegiatan LLD LBB ini maka Pelapor diharapkan berperan aktif
untuk menyampaikan laporan Kegiatan LLD LBB kepada Bank Indonesia
secara lengkap, akurat, dan tepat waktu.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โsecara lengkapโ adalah Laporan yang
memenuhi rincian cakupan Laporan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Yang dimaksud dengan โsecara benarโ adalah Laporan yang
memuat data sesuai dengan fakta sebenarnya berdasarkan
laporan keuangan dan pembukuan seperti neraca dan laba rugi
serta off-balance sheet Pelapor.
Yang dimaksud dengan โsecara tepat waktuโ adalah Laporan yang
disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a
Berdasarkan kepemilikannya, lembaga keuangan bukan
bank dapat berupa badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, atau badan usaha milik swasta.
Badan usaha milik negara yaitu badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai badan usaha milik negara.
Badan usaha milik daerah yaitu badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai badan usaha milik daerah.
Badan usaha milik swasta yaitu badan usaha yang tidak
termasuk dalam pengertian badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah yang berkedudukan di Indonesia,
baik yang berbentuk badan hukum Indonesia maupun asing
dan yang tidak berbentuk badan hukum.
Huruf b
Badan usaha bukan lembaga keuangan meliputi badan
usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum.
Badan usaha yang berbentuk badan hukum meliputi badan
hukum Indonesia maupun asing.
Berdasarkan kepemilikannya, badan usaha bukan lembaga
keuangan dapat berupa badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan usaha milik swasta.
3
Huruf c
Yang dimaksud dengan โbadan lainnyaโ adalah badan selain
badan usaha.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya
antara Penduduk dan bukan Penduduk meliputi seluruh
transaksi penjualan dan/atau pembelian barang dan/atau
jasa dengan bukan Penduduk, perolehan dan/atau
pemberian hibah dari atau kepada bukan Penduduk, serta
transaksi lainnya dengan bukan Penduduk, sebagaimana
tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor.
Huruf b
Posisi dan perubahan AFLN meliputi penambahan atau
pengurangan dari seluruh aktiva yang merupakan klaim
terhadap bukan Penduduk sebagaimana tercatat pada
laporan keuangan dan pembukuan Pelapor, yang mencakup:
1. rekening giro di bank luar negeri;
2. piutang dagang atau usaha kepada bukan Penduduk;
3. surat berharga yang diterbitkan oleh bukan Penduduk
yang tidak disimpan pada kustodian dalam negeri,
termasuk surat berharga yang diterbitkan oleh bukan
Penduduk yang dimiliki oleh
Pelapor yang
menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai kustodian;
4. penyertaan pada bukan Penduduk, antara lain
penyertaan modal, tagihan dividen, dan laba ditahan;
5. tanah dan/atau bangunan di luar negeri;
6. aset lainnya pada bukan Penduduk antara lain kas
dalam valuta asing, simpanan lainnya, pinjaman yang
diberikan, pembayaran di muka, dan tagihan lainnya;
dan
7. tagihan derivatif pada bukan Penduduk.
Termasuk di dalam pelaporan posisi dan perubahan AFLN
yaitu kegiatan yang mengakibatkan nilai AFLN menjadi
negatif.
4
Huruf c
Posisi dan perubahan ekuitas dari bukan Penduduk dan
kewajiban lain yang terkait meliputi posisi dan penambahan
atau pengurangan ekuitas dari bukan Penduduk dan
kewajiban terkait, antara lain modal disetor dari bukan
Penduduk, kewajiban dividen kepada bukan Penduduk, dan
laba ditahan dari bukan Penduduk sebagaimana tercatat
pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor.
Huruf d
Posisi dan perubahan kewajiban derivatif luar negeri meliputi
posisi dan penambahan atau pengurangan kewajiban
derivatif kepada bukan Penduduk sebagaimana tercatat
pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor.
Huruf e
Posisi komitmen dan kontinjensi luar negeri meliputi posisi
yang menjadi tagihan dan/atau kewajiban komitmen
dan/atau kontinjensi kepada bukan Penduduk yang tercatat
pada off-balance sheet Pelapor, antara lain posisi pembelian
dan/atau penjualan derivatif yang masih berjalan, garansi
yang diterima dan/atau diberikan, dan fasilitas pinjaman
kepada bukan Penduduk yang belum ditarik.
Huruf f
Posisi surat berharga milik Nasabah kustodian meliputi
posisi surat berharga Penduduk yang dimiliki bukan
Penduduk dan/atau surat berharga bukan Penduduk yang
dimiliki Penduduk yang tercatat pada Pelapor yang
menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai kustodian,
beserta hasil investasi yang diakui pada PL seperti bunga dan
dividen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
5
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan pembiayaan telah menyampaikan Laporan
penyertaan pada bukan Penduduk sebanyak 4 (empat) baris
(record), namun terdapat kesalahan pengisian sandi negara anak
perusahaan (investee) pada baris ke-2 Laporan. Berdasarkan hal
tersebut, perusahaan pembiayaan wajib menyampaikan kembali
Laporan penyertaan pada bukan Penduduk sebanyak 4 (empat)
baris (record) dengan sandi negara anak perusahaan (investee)
yang telah dikoreksi pada baris ke-2 Laporan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Informasi umum Pelapor mencakup antara lain nama
Pelapor, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
penanggung jawab pelaporan, dan lokasi usaha Pelapor.
Huruf b
Informasi keuangan mencakup antara lain total ekuitas,
aktiva lancar, dan kewajiban lancar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
6
Pasal 7
Ayat (1)
Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat,
surat elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Sandi Pelapor, username, dan password yang telah diberikan oleh
Bank Indonesia, dapat digunakan Pelapor untuk pelaporan ULN
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pelaporan kegiatan lalu lintas devisa berupa
utang luar negeri dan transaksi partisipasi risiko.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bukti pendukung dimaksud antara lain berupa laporan keuangan
Pelapor
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Contoh:
Perusahaan perkebunan karet PT X yang berkantor pusat di
Medan memiliki 2 (dua) kantor cabang yaitu di Pekanbaru dan
Bandar Lampung.
PT X menyampaikan 1 (satu) Laporan yang merupakan gabungan
dari kegiatan yang memengaruhi AFLN dan ekuitas dari bukan
Penduduk yang dilakukan kantor pusat Medan, kantor cabang
Pekanbaru, dan kantor cabang Bandar Lampung.
7
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan pertambangan PT Y merupakan induk perusahaan
(holding company) yang memiliki 3 (tiga) anak perusahaan, yaitu
PT A, PT B, dan PT C.
Laporan disampaikan secara terpisah oleh induk perusahaan dan
masing-masing anak perusahaan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat,
surat elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk penyampaian Laporan pada bulan Juni 2019, BWPL jatuh
pada hari Senin 17 Juni 2019, mengingat tanggal 15 Juni 2019
jatuh pada hari Sabtu.
8
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โgangguan teknisโ adalah gangguan yang
terjadi di Bank Indonesia, antara lain gangguan jaringan
dan/atau komunikasi.
Yang dimaksud dengan โsecara offlineโ adalah menyampaikan
Laporan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media
elektronik, antara lain compact disc (CD), flash disk, atau surat
elektronik (e-mail), yang disampaikan pada Jam Kerja.
Contoh:
Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Senin
tanggal 15 Juli 2019 yang merupakan hari terakhir penyampaian
Laporan. Laporan dimaksud wajib disampaikan secara online
pada hari Selasa tanggal 16 Juli 2019 pada Jam Kerja. Dalam hal
gangguan teknis masih berlangsung pada tanggal 16 Juli 2019,
Laporan wajib disampaikan oleh Pelapor pada hari tersebut
secara offline dalam Jam Kerja.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Contoh:
Perusahaan sekuritas PT S melaporkan kepemilikan deposito
pada bank di Singapura untuk PL Juni 2019 pada tanggal 5 Juli
2019. Berdasarkan konfirmasi Bank Indonesia, selain memiliki
deposito, perusahaan juga memiliki simpanan (pooling account)
pada grup perusahaan di Hongkong yang belum dilaporkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada tanggal 15 Juli 2019
perusahaan menyampaikan koreksi Laporan aset lainnya pada
bukan Penduduk.
9
Selanjutnya karena terdapat kesalahan pada pengisian jangka
waktu simpanan (pooling account), perusahaan mengirimkan
kembali koreksi Laporan tersebut pada tanggal 18 Juli 2019.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Untuk data bulan Maret 2019, koreksi Laporan dapat
disampaikan paling lambat pada hari Senin 22 April 2019,
mengingat tanggal 20 April 2019 jatuh pada hari Sabtu.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โgangguan teknisโ adalah gangguan yang
terjadi di Bank Indonesia, antara lain gangguan jaringan
dan/atau komunikasi.
Yang dimaksud dengan โsecara offlineโ adalah menyampaikan
koreksi Laporan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan
media elektronik, antara lain compact disc (CD), flash disk, atau
surat elektronik (e-mail), yang disampaikan pada Jam Kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Contoh:
Apabila Pelapor menyampaikan Laporan PL September 2019 pada
tanggal 16 Oktober 2019 maka Pelapor dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan.
10
Ayat (2)
Contoh:
Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia maka
penyampaian Laporan PL Juni 2019 dilakukan secara offline hari
Kamis tanggal 1 Agustus 2019 dalam Jam Kerja.
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh:
Apabila sampai dengan 30 September 2019, Pelapor belum
menyampaikan Laporan bulan Agustus 2019 maka Pelapor
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian
atas Laporan yang disampaikan oleh Pelapor.
Pengawasan tidak langsung dilakukan antara lain dalam
bentuk:
a. evaluasi atas Laporan yang telah disampaikan Pelapor
kepada Bank Indonesia; dan/atau
b.
Huruf b
Pemeriksaan dilakukan untuk meneliti kebenaran Laporan
yang disampaikan Pelapor dan/atau untuk mengkonfirmasi
atas kebenaran informasi yang diterima oleh Bank Indonesia
berdasarkan hasil pengawasan tidak langsung, termasuk
informasi mengenai Pelapor yang belum menyampaikan
Laporan.
klarifikasi hasil penelitian terhadap LBB yang
terindikasi memiliki Kegiatan LLD.
11
Ayat (3)
Huruf a
Dokumen pendukung antara lain berupa laporan keuangan
dan daftar mutasi rekening koran (bank statement).
Yang dimaksud dengan โinstansi terkaitโ adalah lembaga,
kementerian, atau otoritas yang memiliki kewenangan
mengatur Pelapor, antara lain Otoritas Jasa Keuangan bagi
lembaga keuangan bukan bank dan Kementerian Badan
Usaha Milik Negara bagi korporasi berupa badan usaha milik
negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, perusahaan M
diketahui melakukan Kegiatan LLD pada bulan Desember 2019.
Selanjutnya, Bank Indonesia mengirimkan surat kepada
perusahaan tersebut untuk menyampaikan Laporan kepada Bank
Indonesia, yang mencakup data bulan Desember 2019, Januari
2020, dan Februari 2020.
Dalam hal perusahaan M belum menyampaikan Laporan sampai
dengan bulan Maret 2020, perusahaan M dinyatakan tidak
menyampaikan Laporan.
Pasal 21
Cukup jelas.
12
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โPelapor baruโ adalah:
a. Pelapor yang baru pertama kali menyampaikan Laporan
sejak mulai diberlakukannya ketentuan ini.
Contoh:
Perusahaan A menyampaikan Laporan pertama kali kepada
Bank Indonesia pada bulan Juli 2019 untuk pelaporan data
bulan Juni 2019.
Perusahaan A terlambat menyampaikan Laporan untuk
masa pelaporan bulan Agustus 2019, September 2019,
Oktober 2019, dan November 2019. Bank Indonesia
mengenakan sanksi teguran tertulis untuk masa pelaporan
bulan November 2019 untuk PL bulan Oktober 2019.
b. Pelapor yang kembali melakukan Kegiatan LLD setelah
sebelumnya menginformasikan sudah tidak melakukan
Kegiatan LLD dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu)
tahun;
Contoh:
Perusahaan B telah menginformasikan kepada Bank
Indonesia bahwa di bulan Maret 2018 perusahaan dimaksud
sudah tidak melakukan Kegiatan LLD.
Perusahaan B kembali melakukan Kegiatan LLD pada bulan
Juli 2019.
Perusahaan B menyampaikan Laporan pertama kali pada
bulan Agustus 2019.
Perusahaan B tidak menyampaikan Laporan untuk masa
pelaporan bulan September 2019, Oktober 2019, November
2019, dan Desember 2019.
Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis untuk
masa pelaporan bulan Desember 2019, untuk PL bulan
November 2019.
c. Pelapor yang baru pertama kali menyampaikan Laporan
setelah diketahui melakukan Kegiatan LLD berdasarkan
hasil pengawasan Bank Indonesia.
13
Contoh:
Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, perusahaan
C diketahui melakukan Kegiatan LLD sehingga wajib
menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia.
Selanjutnya, perusahaan C menyampaikan Laporan pertama
kali pada bulan September 2019.
Perusahaan C tidak menyampaikan Laporan untuk masa
pelaporan bulan Oktober 2019, November 2019, Desember
2019, dan Januari 2020.
Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis kepada
perusahaan C untuk masa pelaporan bulan Januari 2020
untuk PL bulan Desember 2019.
Ayat (2)
Contoh:
Berdasarkan pengawasan Bank Indonesia, perusahaan D
melakukan Kegiatan LLD yang diketahui pada bulan September
2019 dan belum menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia.
Perusahaan D wajib menyampaikan Laporan dimaksud paling
lambat bulan Desember 2019. Laporan yang disampaikan
mencakup data sejak diketahuinya Kegiatan LLD oleh Bank
Indonesia, yaitu bulan September 2019, Oktober 2019, dan
November 2019.
Dalam hal perusahaan D tidak menyampaikan Laporan sampai
dengan bulan Desember 2019 maka Bank Indonesia akan
mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada
perusahaan D.
Ayat (3)
Bukti pendukung yang dimaksud antara lain surat permohonan
pengajuan kepailitan ke pengadilan atau surat pencabutan izin
dari kementerian terkait.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โgangguan teknisโ adalah gangguan yang
terjadi di Bank Indonesia, antara lain gangguan jaringan
dan/atau komunikasi.
14
Pasal 23
Contoh:
Perusahaan F telah dikenai 3 (tiga) kali sanksi administratif teguran
tertulis oleh Bank Indonesia karena tidak menyampaikan Laporan,
yaitu untuk PL bulan Mei 2019, Juli 2019, dan Desember 2019.
Mengingat perusahaan F dikenai sanksi sebanyak 3 (tiga) kali dalam 1
(satu) tahun pelaporan, yaitu tahun 2019, maka Bank Indonesia
memberitahukan pengenaan sanksi administratif teguran tertulis
dimaksud secara tertulis kepada otoritas atau instansi yang
berwenang, dan/atau perusahaan induk.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โkeadaan memaksaโ adalah keadaan
yang berada di luar kendali Pelapor serta secara nyata
menyebabkan Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan
Laporan yang disebabkan antara lain kebakaran, kerusuhan
massa, pemogokan pekerja, terorisme, perang, sabotase,
serangan virus komputer melalui jaringan (cyber attack), serta
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, sesuai dengan
dokumen pendukung dan/atau dibenarkan oleh pejabat dari
instansi terkait di daerah setempat, termasuk Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat,
surat elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Persetujuan dari Bank Indonesia dapat diberikan melalui antara
lain surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Ayat (7)
Cukup jelas.
15
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Yang dimaksud dengan โUndang-Undangโ adalah Undang-Undang
yang mewajibkan pengungkapan data dan keterangan yang bersifat
rahasia.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat,
surat elektronik (e-mail), atau media lainnya.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/7/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK </reg_title>
<set_date> 12 April 2019 </set_date>
<effective_date> 12 April 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '17/26/DSta|SE-BI/2015' </replaced_reg>
<related_reg> '21/2/PBI/2019' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/ 22 /PADG/2018
TENTANG
RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO
VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT
ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai rasio loan to value
untuk kredit properti, rasio financing to value untuk
pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau
pembiayaan kendaraan bermotor;
b. bahwa peraturan mengenai rasio loan to value untuk
kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan
properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan
kendaraan bermotor, perlu didukung dengan peraturan
pelaksanaan yang mengatur mengenai mekanisme
pelaksanaan ketentuan rasio loan to value untuk kredit
properti, rasio financing to value untuk pembiayaan
properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan
kendaraan bermotor;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Rasio Loan to Value
untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk
2
Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau
Pembiayaan Kendaraan Bermotor;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang
Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to
Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk
Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 118, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6230);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG RASIO
LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO
FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN
UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
KENDARAAN BERMOTOR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
3
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS.
5. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.
6. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
7. Properti adalah rumah tapak, rumah susun, dan rumah
toko atau rumah kantor.
8. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah
dan bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat
keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh
lembaga atau pejabat yang berwenang.
9. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam
bagian yang distrukturkan secara fungsional baik dalam
arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan
yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, yang berupa griya tawang, kondominium,
apartemen, flat, dan bangunan lainnya.
10. Rumah Toko atau Rumah Kantor adalah tanah berikut
bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal
sekaligus untuk tujuan komersial yang berupa pertokoan,
perkantoran, gudang, dan bangunan lainnya.
11. Kredit Properti Rumah Tapak yang selanjutnya disebut KP
Rumah Tapak adalah Kredit yang diberikan BUK untuk
pemilikan Rumah Tapak, termasuk Kredit konsumsi
beragun Rumah Tapak.
12. Kredit Properti Rumah Susun yang selanjutnya disebut KP
Rusun adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan
Rumah Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun
Rumah Susun.
4
13. Kredit Properti Rumah Toko atau Kredit Properti Rumah
Kantor yang selanjutnya disebut KP Ruko atau KP Rukan
adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan
Rumah Toko atau Rumah Kantor, termasuk Kredit
konsumsi beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor.
14. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah
Kredit konsumsi berupa KP Rumah Tapak, KP Rusun, dan
KP Ruko atau KP Rukan.
15. Pembiayaan Properti Rumah Tapak yang selanjutnya
disebut PP Rumah Tapak adalah Pembiayaan yang
diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Tapak,
termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Tapak.
16. Pembiayaan Properti Rumah Susun yang selanjutnya
disebut PP Rusun adalah Pembiayaan yang diberikan BUS
atau UUS untuk pemilikan Rumah Susun, termasuk
Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Susun.
17. Pembiayaan Properti Rumah Toko atau Pembiayaan
Properti Rumah Kantor yang selanjutnya disebut PP Ruko
atau PP Rukan adalah Pembiayaan yang diberikan BUS
atau UUS untuk pemilikan Rumah Toko atau Rumah
Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah
Toko atau Rumah Kantor.
18. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disingkat PP adalah
Pembiayaan konsumsi berupa PP Rumah Tapak, PP
Rusun, dan PP Ruko atau PP Rukan.
19. Akad Murabahah adalah akad Pembiayaan suatu barang
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai
keuntungan yang disepakati.
20. Akad Istishnaโ adalah akad Pembiayaan barang dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan atau pembeli (mustashniโ) dan penjual atau
pembuat (shaniโ).
21. Akad Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disebut
Akad MMQ adalah akad Pembiayaan musyarakah yang
kepemilikan aset atau modal salah satu pihak (syarik)
5
berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh
pihak lainnya.
22. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya disebut
Akad IMBT adalah akad penyediaan dana untuk
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang
atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi
pemindahan kepemilikan barang.
23. Akad Qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah
dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan
dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.
24. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV
adalah angka rasio antara nilai Kredit yang dapat
diberikan oleh BUK terhadap nilai agunan berupa Properti
pada saat pemberian Kredit berdasarkan hasil penilaian
terkini.
25. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio
FTV adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang
dapat diberikan oleh BUS atau UUS terhadap nilai agunan
berupa Properti pada saat pemberian Pembiayaan
berdasarkan hasil penilaian terkini.
26. Kredit Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat
KKB adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pembelian
kendaraan bermotor.
27. Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya
disingkat PKB adalah Pembiayaan yang diberikan BUS
atau UUS untuk pembelian kendaraan bermotor.
28. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar
persentase tertentu dari nilai pembelian Properti atau
harga kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal
dari debitur atau nasabah.
29. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut
LBU adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan bulanan bank umum.
30. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang
selanjutnya disebut LSMK adalah laporan stabilitas
6
moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum
syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan
bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah.
BAB II
PENGATURAN RASIO LTV DAN RASIO FTV
Bagian Kesatu
Penghitungan Kredit, Penghitungan Pembiayaan,
Nilai Agunan, dan Penilaian Agunan
Paragraf 1
Penghitungan Kredit dan Nilai Agunan untuk BUK
Pasal 2
(1) BUK wajib melakukan penghitungan Kredit dan nilai
agunan dalam penghitungan Rasio LTV untuk KP dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang
diterima oleh debitur sebagaimana tercantum dalam
perjanjian Kredit; dan
b.
nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran
yang dilakukan penilai intern BUK atau penilai
independen terhadap Properti yang menjadi agunan.
(2) Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b mengacu pada metode dan prinsip yang
berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan
oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang.
7
Paragraf 2
Penghitungan Pembiayaan dan Nilai Agunan
untuk BUS dan UUS
Pasal 3
(1) BUS dan UUS wajib melakukan penghitungan Pembiayaan
dan nilai agunan dalam penghitungan Rasio FTV untuk PP
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang
digunakan yaitu:
1. Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah atau
Akad Istishnaโ ditetapkan berdasarkan harga
pokok Pembiayaan yang diberikan kepada
nasabah sebagaimana tercantum dalam akad
Pembiayaan;
2. Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ ditetapkan
berdasarkan penyertaan BUS atau UUS untuk
pemilikan Properti sebagaimana tercantum
dalam akad Pembiayaan, termasuk pemberian
Pembiayaan dengan akad al-Ijarah al-Maushufah
fi al-Dzimmah untuk pemilikan Properti yang
akan dibiayai belum tersedia secara utuh; dan
3. Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT ditetapkan
berdasarkan hasil pengurangan harga Properti
dengan deposit sebagaimana tercantum dalam
akad Pembiayaan, termasuk pemberian
Pembiayaan dengan akad al-Ijarah al-Maushufah
fi al-Dzimmah untuk pemilikan Properti yang
akan dibiayai belum tersedia secara utuh; dan
b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran
yang dilakukan penilai intern BUS atau UUS, atau
penilai independen terhadap Properti yang menjadi
agunan.
(2) Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b mengacu pada metode dan prinsip yang
berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan
oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang.
8
Paragraf 3
Tata Cara Penilaian Agunan
Pasal 4
(1) Tata cara penilaian agunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 3 ayat (1) huruf b
ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon
sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah), nilai agunan didasarkan pada taksiran yang
dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai
independen; dan
b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon di
atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah),
nilai agunan didasarkan pada taksiran yang
dilakukan oleh penilai independen.
(2) Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada metode dan prinsip yang berlaku
umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh
asosiasi dan/atau institusi yang berwenang.
(3) Contoh penetapan penilai agunan tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kedua
Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
Pasal 5
(1) Bank yang memberikan:
a. KP atau PP untuk fasilitas pertama; dan
b. KP atau PP untuk fasilitas kedua dan seterusnya bagi
Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi),
harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio
FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan
Bank.
9
(2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
Pasal 6
Bank yang memberikan KP atau PP untuk fasilitas kedua dan
seterusnya wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP sebagai berikut:
a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan
Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ untuk fasilitas kedua
dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi)
paling tinggi 80% (delapan puluh persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi)
paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di
atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
80% (delapan puluh persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan dari
22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85%
(delapan puluh lima persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan
paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan
b. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas kedua dan seterusnya, ditetapkan
sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85%
(delapan puluh lima persen);
10
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2
(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 90%
(sembilan puluh persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh
lima persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh
lima persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi
85% (delapan puluh lima persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 85% (delapan
puluh lima persen).
Pasal 7
(1) Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV
untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal
6 berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a.
rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah secara neto kurang dari 5% (lima persen);
dan
b. rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah secara
bruto kurang dari 5% (lima persen).
(2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio
Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan rasio KP bermasalah atau rasio PP
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
didasarkan pada LBU atau LSMK periode 2 (dua) bulan
sebelumnya.
(3) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat
dipenuhi dari LBU atau LSMK sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) maka Bank Indonesia dapat meminta Bank
untuk menyampaikan laporan lain.
11
(4) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 8
Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi
ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai
berikut:
a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan
Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ untuk fasilitas
pertama ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi)
paling tinggi 80% (delapan puluh persen);
2. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di
atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
80% (delapan puluh persen); dan
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan dari
22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 90%
(sembilan puluh persen);
b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan
Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ untuk fasilitas kedua
ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi)
paling tinggi 70% (tujuh puluh persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi)
paling tinggi 80% (delapan puluh persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di
atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
70% (tujuh puluh persen);
12
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan dari
22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80%
(delapan puluh persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
paling tinggi 80% (delapan puluh persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan
paling tinggi 80% (delapan puluh persen);
c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan
Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ untuk fasilitas ketiga
dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi)
paling tinggi 60% (enam puluh persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi)
paling tinggi 70% (tujuh puluh persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di
atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
60% (enam puluh persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan dari
22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70%
(tujuh puluh persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan
paling tinggi 70% (tujuh puluh persen);
d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85%
(delapan puluh lima persen);
13
2. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh
lima persen); dan
3. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi 90% (sembilan
puluh persen);
e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 75% (tujuh
puluh lima persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2
(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80%
(delapan puluh persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi 75% (tujuh puluh
lima persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh
persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi
80% (delapan puluh persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 80% (delapan
puluh persen); dan
f.
Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan
sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 65% (enam
puluh lima persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2
(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
14
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh
puluh persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi 65% (enam puluh
lima persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh
persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi
70% (tujuh puluh persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 70% (tujuh
puluh persen).
Pasal 9
(1) Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan memberikan:
a. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi),
untuk fasilitas pertama;
b. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu
meter persegi), untuk fasilitas pertama dan
seterusnya;
c. KP Rusun atau PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi),
untuk fasilitas pertama; dan
d. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan,
untuk fasilitas pertama,
harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio
FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan
Bank.
(2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud
15
pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
Pasal 10
Dalam menentukan urutan fasilitas KP atau PP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 9, Bank
wajib memperhitungkan seluruh KP dan PP yang telah diterima
debitur atau nasabah yang masih berjalan di Bank yang sama
maupun Bank lainnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. berdasarkan urutan tanggal perjanjian KP atau akad PP;
dan
b. dalam hal terdapat tanggal perjanjian KP atau akad PP
yang sama maka penentuan urutan fasilitas diawali dari
KP atau PP dengan nilai agunan paling rendah.
Pasal 11
Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
sampai dengan Pasal 10 tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Bagian Ketiga
Penghitungan Rasio Kredit Bermasalah, Rasio Pembiayaan
Bermasalah, Rasio KP Bermasalah, dan Rasio PP Bermasalah
Pasal 12
(1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio
Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf a diatur dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. penghitungan rasio Kredit bermasalah secara neto
merupakan persentase dari hasil penjumlahan Kredit
kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas
kurang lancar, diragukan, dan macet setelah
dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan
nilai Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan
16
bank dibandingkan dengan total Kredit kepada pihak
ketiga bukan bank setelah dikurangi dengan
cadangan kerugian penurunan nilai Kredit
bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank; dan
b. penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara
neto merupakan persentase dari hasil penjumlahan
Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan
kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet setelah
dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan
nilai Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga
bukan bank dibandingkan dengan total Pembiayaan
kepada pihak ketiga bukan bank setelah dikurangi
dengan cadangan kerugian penurunan nilai
Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan
bank.
(2) Penghitungan rasio KP bermasalah dan rasio PP
bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf b diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penghitungan rasio KP bermasalah secara bruto
merupakan persentase dari hasil penjumlahan KP
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
dibandingkan dengan total KP;
b. penghitungan rasio PP bermasalah secara bruto
merupakan persentase dari hasil penjumlahan PP
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
dibandingkan dengan total PP; dan
c. PP yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud
dalam huruf b yaitu PP yang menggunakan Akad
Murabahah, Akad Istishnaโ, Akad MMQ, dan Akad
IMBT.
(3) Bagi BUK yang memiliki UUS, penghitungan rasio Kredit
bermasalah dan rasio KP bermasalah bagi BUK dilakukan
secara terpisah dengan penghitungan rasio Pembiayaan
bermasalah dan rasio PP bermasalah bagi UUS.
17
Bagian Keempat
Sumber Data, Nilai yang Digunakan, dan Laporan Lain
Pasal 13
Penetapan masing-masing komponen dalam penghitungan
rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (1) huruf a, rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, rasio KP bermasalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a, dan
rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK periode
2 (dua) bulan sebelum tanggal perjanjian KP atau akad PP
ditandatangani.
Pasal 14
(1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 menggunakan nilai Kredit
bermasalah, nilai cadangan kerugian penurunan nilai
Kredit bermasalah, dan nilai total Kredit yang diperoleh
dan dihitung dari LBU dalam form 11 mengenai daftar
rincian kredit yang diberikan.
(2) Penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 menggunakan nilai Pembiayaan
bermasalah, nilai cadangan kerugian penurunan nilai
Pembiayaan bermasalah, dan nilai total Pembiayaan yang
diperoleh dan dihitung dari LSMK pada:
a. form 10 mengenai daftar rincian piutang murabahah
untuk Akad Murabahah;
b. form 11 mengenai daftar rincian piutang istishnaโ
untuk Akad Istishnaโ;
c. form 12 mengenai daftar rincian piutang qardh untuk
Akad Qardh;
d. form 13 mengenai daftar rincian pembiayaan bagi
hasil untuk akad bagi hasil;
e. form 14 mengenai daftar rincian pembiayaan sewa
untuk akad sewa; dan
18
f.
form 18 mengenai daftar rincian salam untuk akad
salam;
(3) Penghitungan rasio KP bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 menggunakan nilai KP
bermasalah dan total KP yang diperoleh dan dihitung dari
LBU dalam form 11 mengenai daftar rincian kredit yang
diberikan.
(4) Rincian sumber data untuk penghitungan rasio Kredit
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dan penghitungan rasio KP
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 15
(1) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat
dipenuhi dari LBU atau LSMK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 maka Bank Indonesia dapat meminta
Bank untuk menyampaikan laporan lain.
(2) Dalam hal LSMK belum dapat memberikan informasi yang
diperlukan untuk menghitung rasio PP bermasalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Bank wajib
menyampaikan laporan lain berupa laporan PP kepada
Bank Indonesia melalui media surat elektronik (email)
sampai dengan batas waktu yang ditetapkan.
(3) Penetapan batas waktu penghentian penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diinformasikan oleh
Bank Indonesia kepada Bank.
Pasal 16
Penyampaian laporan PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. periode penyampaian laporan PP yaitu:
19
1. untuk laporan bulan berjalan, Bank menyampaikan
laporan PP kepada Bank Indonesia paling lambat
pada tanggal 20 bulan berikutnya; dan
2. dalam hal tanggal 20 jatuh pada hari libur maka Bank
menyampaikan laporan PP pada hari kerja
berikutnya;
b.
c.
laporan PP menggunakan format yang telah disediakan
dalam situs web Bank Indonesia;
format laporan PP dan petunjuk pengisian laporan PP
yaitu sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
d.
laporan PP disampaikan kepada:
1. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan
Pengawasan LBU dan GWM, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia; atau
2. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan
Pengawasan LBU dan GWM, dengan tembusan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat,
bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia;
e. Bank mengirimkan laporan PP kepada Bank Indonesia
melalui surat elektronik (email) setiap bulan dengan
subjek surat elektronik (email) disamakan dengan nama
dokumen (file) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
IV;
f.
laporan PP kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dan
tembusan laporan PP kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat, disampaikan melalui surat elektronik
(email) sesuai dengan daftar alamat surat elektronik
(email) sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
20
g. dalam hal penyampaian laporan PP melalui surat
elektronik (email) sebagaimana dimaksud dalam huruf f
tidak dapat dilakukan maka:
1. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, laporan PP
disampaikan dalam bentuk salinan lunak (soft copy)
dan salinan keras (hard copy) kepada Departemen
Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi
Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; atau
2. bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, laporan PP
disampaikan dalam bentuk salinan lunak (soft copy)
dan salinan keras (hard copy) kepada Departemen
Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi
Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, dengan tembusan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat;
h. batas waktu penyampaian laporan PP sebagaimana
dimaksud dalam huruf g mengikuti ketentuan batas
waktu penyampaian laporan PP sebagaimana dimaksud
dalam huruf a; dan
i. Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai
nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk
untuk menyusun dan menyampaikan laporan PP, serta
alamat surat elektronik (email) pengirim laporan,
termasuk apabila terdapat perubahannya kepada:
1. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan
Pengawasan LBU dan GWM, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia; atau
2. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan
Pengawasan LBU dan GWM, dengan tembusan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat,
21
bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia.
Bagian Kelima
Kewajiban Administratif
Pasal 17
(1) Dalam menetapkan Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk
PP, dan penetapan urutan fasilitas KP dan PP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8,
dan Pasal 9, Bank wajib:
a. memperlakukan debitur dan suami atau istri debitur
menjadi 1 (satu) debitur, atau nasabah dan suami
atau istri nasabah menjadi 1 (satu) nasabah, kecuali
terdapat perjanjian pemisahan harta;
b. meminta surat pernyataan dari calon debitur atau
nasabah yang memuat keterangan mengenai:
1. KP dan/atau PP yang masih dimiliki baik untuk
pemilikan Properti yang telah tersedia maupun
Properti yang belum tersedia secara utuh;
2. KP atau PP yang sedang dalam proses pengajuan
permohonan baik untuk pemilikan Properti yang
telah tersedia maupun Properti yang belum
tersedia secara utuh;
3. KP atau PP yang merupakan Kredit tambahan
(top up) atau Pembiayaan baru yang berasal dari
Kredit atau Pembiayaan yang tidak lancar;
4. KP atau PP yang diambil alih (take over) dan
disertai Kredit tambahan (top up) atau
Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau
Pembiayaan yang tidak lancar; dan/atau
5. keterangan terkait lainnya,
baik pada Bank yang sama maupun pada Bank yang
lain; dan
c. menolak permohonan KP dan/atau PP yang diajukan
apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia
menyerahkan surat pernyataan sebagaimana
22
dimaksud dalam huruf b.
(2) Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV untuk KP
atau Rasio FTV untuk PP serta penetapan urutan fasilitas
KP dan PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran II.
Bagian Keenam
Kredit Tambahan (Top Up) atau Pembiayaan Baru
Berdasarkan Properti yang Masih Menjadi Agunan dari KP
atau PP Sebelumnya
dan KP atau PP yang Diambil Alih (Take Over)
Paragraf 1
Kredit Tambahan (Top Up) atau Pembiayaan Baru
Berdasarkan Properti yang Masih Menjadi Agunan dari KP
atau PP Sebelumnya
Pasal 18
(1) Dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up)
atau Pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih
menjadi agunan dari KP atau PP sebelumnya, Bank wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pemberian Kredit tambahan (top up) oleh BUK yang
merupakan tambahan dari KP sebelumnya
menggunakan Rasio LTV KP sebelumnya sepanjang
Kredit tambahan (top up) tersebut menggunakan
agunan yang sama dan KP sebelumnya memiliki
kualitas lancar;
b. pemberian Pembiayaan baru oleh BUS atau UUS yang
merupakan tambahan dari PP sebelumnya
menggunakan Rasio FTV PP sebelumnya sepanjang
kedua Pembiayaan tersebut menggunakan agunan
yang sama dan PP sebelumnya memiliki kualitas
lancar;
c. dalam hal Kredit tambahan (top up) tidak
menggunakan agunan yang sama dan/atau KP
sebelumnya tidak memiliki kualitas lancar
23
sebagaimana dimaksud dalam huruf a maka Kredit
tambahan (top up) menggunakan Rasio LTV untuk KP
sebagaimana Kredit baru;
d. dalam hal Pembiayaan baru tidak menggunakan
agunan yang sama dan/atau PP sebelumnya tidak
memiliki kualitas lancar sebagaimana dimaksud
dalam huruf b maka Pembiayaan baru tersebut
menggunakan Rasio FTV untuk PP sebagaimana
Pembiayaan baru;
e. dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top
up) sebagaimana dimaksud dalam huruf c maka
dalam menetapkan Rasio LTV untuk KP selanjutnya,
Bank memperhitungkan KP awal dan Kredit
tambahan (top up) tersebut sebagai 2 (dua) fasilitas;
f.
Rasio LTV untuk KP bagi Kredit tambahan (top up)
dan Rasio FTV untuk PP bagi Pembiayaan baru
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai
dengan huruf e mengacu pada Rasio LTV untuk KP
atau Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, atau Pasal 9; dan
g. jumlah Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan
baru yang diberikan oleh Bank memperhitungkan
jumlah baki debet KP atau PP sebelumnya yang
menggunakan agunan yang sama.
(2) Mekanisme pemberian Kredit tambahan (top up) atau
Pembiayaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d mengacu pada
ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.
Paragraf 2
KP atau PP yang Diambil Alih (Take Over)
Pasal 19
(1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan
mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain, Bank
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. KP atau PP yang hanya ditujukan untuk pelunasan
24
KP atau PP sebelumnya di Bank lain, tidak
diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru;
atau
b. dalam hal Bank mengambil alih (take over) KP atau
PP dari Bank lain sebagaimana dimaksud dalam
huruf a disertai dengan Kredit tambahan (top up) atau
disertai dengan Pembiayaan baru maka perlakuan KP
atau PP dengan mengambil alih (take over) KP atau PP
dari Bank lain tersebut mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(2) Mekanisme pengambilalihan (take over) KP atau PP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.
Pasal 20
Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV untuk Kredit
tambahan (top up) atau Rasio FTV untuk Pembiayaan baru dan
pengambilalihan (take over) KP atau PP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 dan Pasal 19 tercantum dalam Lampiran VI
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Ketujuh
KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia
Secara Utuh
Paragraf 1
Persyaratan KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang Belum
Tersedia Secara Utuh
Pasal 21
(1) Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan:
1. rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah secara neto sebagaimana dimaksud
25
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan rasio KP
bermasalah atau rasio PP bermasalah secara
bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf b;
2. memiliki perjanjian kerja sama antara Bank
dengan pengembang yang paling sedikit memuat
kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan
Properti sesuai dengan yang diperjanjikan
dengan debitur atau nasabah; dan
3. memiliki jaminan yang diberikan oleh
pengembang atau pihak lain kepada Bank:
a) yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan kewajiban pengembang
apabila Properti tidak dapat diselesaikan
dan/atau tidak dapat diserahterimakan
sesuai dengan perjanjian; dan
b) dengan nilai jaminan paling sedikit sebesar
selisih antara komitmen KP atau PP dengan
pencairan KP atau PP yang telah dilakukan
oleh Bank; dan
b. tidak melanggar jumlah fasilitas KP atau PP untuk
pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh
yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
(2) Ketentuan mengenai jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a angka 3 diatur sebagai berikut:
a. jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada
Bank meliputi aset tetap, aset bergerak, bank
guarantee, standby letter of credit, dan/atau dana
yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow
account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan;
b. jaminan yang diberikan oleh pihak lain kepada Bank
meliputi corporate guarantee, standby letter of credit,
bank guarantee, dan/atau dana yang dititipkan
dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank
pemberi Kredit atau Pembiayaan;
26
c. dana yang dititipkan dan/atau yang disimpan dalam
escrow account di Bank pemberi Kredit atau
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan huruf b merupakan dana yang ditahan atas nama
pengembang, yang digunakan untuk menyelesaikan
pembangunan Properti; dan
d. Bank harus dapat memastikan bahwa jaminan dapat
dieksekusi dalam hal pengembang tidak dapat
menyelesaikan kewajibannya, yang paling sedikit
tertuang dalam perjanjian kerja sama antara
pengembang dengan Bank.
(3) Jumlah fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang
belum tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b ditetapkan paling banyak 5 (lima) fasilitas
KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia
secara utuh.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi Bank yang memberikan KP atau PP untuk
pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh
dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank
lain.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4) tidak berlaku dalam hal Properti telah
tersedia secara utuh yang dibuktikan dengan adanya
berita acara serah terima.
(6) Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV dan Rasio
FTV untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara
utuh tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
27
Paragraf 2
Tahapan Pencairan KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang
Belum Tersedia Secara Utuh
Pasal 22
(1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 maka Bank wajib melakukan
pencairan KP atau PP secara bertahap.
(2) Pencairan KP atau PP secara bertahap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari plafon
setelah tanda tangan perjanjian KP atau PP, tanpa
diperlukan penilaian perkembangan pembangunan;
b. paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari plafon
setelah pencairan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a sampai dengan penyelesaian fondasi,
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan;
c.
paling tinggi 90% (sembilan puluh persen) dari plafon
setelah pencairan sebagaimana dimaksud dalam
huruf b sampai dengan penyelesaian tutup atap,
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan;
dan
d. sebesar 100% (seratus persen) dari plafon setelah
penandatanganan berita acara serah terima yang
dilengkapi dengan akta jual beli dan akta
pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa
membebankan hak tanggungan.
(3) Pencairan bertahap dan penilaian perkembangan
pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dan huruf c wajib didasarkan atas laporan
perkembangan pembangunan yang berasal dari:
a. pengembang dengan verifikasi dari penilai intern
Bank; atau
b.
penilai independen.
28
Bagian Kedelapan
Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian KP atau PP
Pasal 23
(1) Dalam implementasi pengaturan Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 sampai dengan Pasal 22, Bank wajib mematuhi prinsip
kehati-hatian dalam pemberian KP atau PP dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. memastikan bahwa tidak terjadi pengalihan KP atau
PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia
secara utuh kepada debitur atau nasabah lain baik
pada Bank yang sama maupun pada Bank lain,
untuk jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun;
b. memperhatikan kemampuan debitur atau nasabah
untuk menyelesaikan kewajiban KP atau PP;
c. memperhatikan kelayakan usaha pengembang terkait
penyelesaian Properti yang belum tersedia secara
utuh; dan
d. memastikan bahwa transaksi dalam pemberian KP
atau PP harus dilakukan melalui rekening debitur
atau nasabah kepada rekening pengembang atau
penjual yang berada di Bank.
(2) Bank dapat mengalihkan KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh sebelum jangka
waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a untuk KP atau PP bermasalah.
BAB III
PENGATURAN UANG MUKA KKB ATAU PKB
Bagian Kesatu
Uang Muka KKB atau PKB
Pasal 24
Bank yang memberikan KKB atau PKB wajib memenuhi
ketentuan Uang Muka sebagai berikut:
29
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling
sedikit 20% (dua puluh persen); dan
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih
yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen).
Pasal 25
(1) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 berlaku bagi Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima
persen); dan
b. rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah
secara bruto kurang dari 5% (lima persen).
(2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio
Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan rasio KKB bermasalah atau rasio PKB
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
didasarkan pada LBU atau LSMK periode 2 (dua) bulan
sebelumnya.
Pasal 26
Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi
ketentuan Uang Muka sebagai berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen); dan
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih
yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling
sedikit 30% (tiga puluh persen).
Pasal 27
Bank yang memberikan KKB atau PKB untuk pembelian
kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang diperuntukkan
bagi kegiatan produktif, wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
30
a. memberikan KKB atau PKB dengan uang muka paling
sedikit 20% (dua puluh persen); dan
b. memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk
angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang; atau
2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang
memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung
kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya.
Pasal 28
Contoh penghitungan dan penetapan Uang Muka KKB dan PKB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal
27 tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kedua
Penghitungan Rasio Kredit Bermasalah, Rasio Pembiayaan
Bermasalah, Rasio KKB Bermasalah, dan Rasio PKB
Bermasalah
Pasal 29
(1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio
Pembiayaan bermasalah diatur dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. penghitungan rasio Kredit bermasalah secara bruto
merupakan persentase dari hasil penjumlahan Kredit
kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas
kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan
dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank:
dan
b. penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara
bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan
Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan
kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
31
dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak
ketiga bukan bank.
(2) Penghitungan rasio KKB bermasalah dan rasio PKB
bermasalah diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penghitungan rasio KKB bermasalah secara bruto
merupakan persentase dari hasil penjumlahan KKB
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
dibandingkan dengan total KKB; dan
b. penghitungan rasio PKB bermasalah secara bruto
merupakan persentase dari hasil penjumlahan PKB
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
dibandingkan dengan total PKB.
Bagian Ketiga
Sumber Data, Laporan Lain, dan Nilai yang Digunakan
Pasal 30
Penetapan masing-masing komponen dalam penghitungan
rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (1) huruf a, rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b, rasio KKB
bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
huruf a, dan rasio PKB bermasalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan LBU
atau LSMK periode 2 (dua) bulan sebelum tanggal perjanjian
Kredit atau akad Pembiayaan ditandatangani.
Pasal 31
(1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 menggunakan nilai Kredit
bermasalah dan nilai total Kredit yang diperoleh dan
dihitung dari LBU dalam form 11 mengenai daftar rincian
kredit yang diberikan.
(2) Penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 menggunakan nilai Pembiayaan
bermasalah dan nilai total Pembiayaan yang diperoleh dan
dihitung dari LSMK pada:
32
a. form 10 mengenai daftar rincian piutang murabahah
untuk Akad Murabahah;
b. form 11 mengenai daftar rincian piutang istishnaโ
untuk Akad Istishnaโ;
c. form 12 mengenai daftar rincian piutang qardh untuk
Akad Qardh;
d. form 13 mengenai daftar rincian pembiayaan bagi
hasil untuk akad bagi hasil;
e. form 14 mengenai daftar rincian pembiayaan sewa
untuk akad sewa; dan
f.
form 18 mengenai daftar rincian salam untuk akad
salam;
(3) Penghitungan rasio KKB bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 menggunakan nilai KKB
bermasalah dan total KKB yang diperoleh dan dihitung
dari LBU dalam form 11 mengenai daftar rincian kredit
yang diberikan.
(4) Penghitungan rasio PKB bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 menggunakan nilai PKB
bermasalah dan total PKB yang diperoleh dan dihitung
dari LSMK pada:
a. form 10 mengenai daftar rincian piutang murabahah
untuk Akad Murabahah;
b. form 11 mengenai daftar rincian piutang istishnaโ
untuk Akad Istishnaโ;
c. form 12 mengenai daftar rincian piutang qardh untuk
Akad Qardh;
d. form 13 mengenai daftar rincian pembiayaan bagi
hasil untuk akad bagi hasil; dan
e. form 14 mengenai daftar rincian pembiayaan sewa
untuk akad sewa.
(5) Rincian sumber data untuk penghitungan rasio Kredit
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penghitungan rasio KKB
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan
penghitungan rasio PKB bermasalah sebagaimana
33
dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran IX
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB IV
LARANGAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
UANG MUKA
Pasal 32
(1) Bank dilarang memberikan:
a.
Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang
Muka bagi KP dan PP kepada debitur atau nasabah;
dan
b. Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang
Muka bagi KKB dan PKB kepada debitur atau
nasabah.
(2) Contoh larangan pemberian Kredit atau Pembiayaan
untuk pemenuhan Uang Muka sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran X yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB V
EVALUASI KEBIJAKAN LOAN TO VALUE UNTUK KP,
FINANCING TO VALUE UNTUK PP, DAN UANG MUKA UNTUK
KKB ATAU PKB
Pasal 33
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi terhadap kebijakan:
a.
b. Uang Muka untuk KKB atau PKB,
paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun.
(2) Evaluasi terhadap kebijakan loan to value untuk KP dan
financing to value untuk PP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan terhadap besaran Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP, pengaturan Kredit
loan to value untuk KP dan financing to value untuk
PP; dan
34
tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang
menggunakan agunan yang sama dan KP atau PP yang
diambil alih (take over), KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh, dan/atau hal
lain terkait kebijakan loan to value untuk KP dan financing
to value untuk PP.
(3) Evaluasi terhadap kebijakan Uang Muka untuk KKB atau
PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan terhadap besaran Uang Muka untuk KKB atau
PKB dan jenis penggunaan KKB atau PKB dan/atau hal
lain terkait kebijakan Uang Muka untuk KKB atau PKB.
(4) Hasil evaluasi terhadap kebijakan loan to value untuk KP,
financing to value untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB
atau PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
penetapan:
a. tidak terdapat perubahan kebijakan; atau
b. terdapat perubahan kebijakan.
(5) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank.
BAB VI
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 34
(1) Bank yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai rasio loan to value
untuk kredit properti, rasio financing to value untuk
pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau
pembiayaan kendaraan bermotor dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. sanksi teguran tertulis; dan/atau
b. sanksi kewajiban membayar.
(2) Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban
membayar kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, Bank Indonesia mendebit rekening giro rupiah
Bank pada Bank Indonesia.
35
(3) Contoh penghitungan sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum
dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/19/DKMP
tanggal 6 September 2016 perihal Rasio Loan to Value untuk
Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan
Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan
Kendaraan Bermotor, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 September 2018
...........................
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
ERWIN RIJANTO
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/ 222/PADG/2018
TENTANG
RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO
VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT
ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
I. UMUM
Untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan yang
seimbang dan berkualitas dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
nasional, Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan kebijakan
makroprudensial mengenai Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan
Uang Muka untuk KKB atau PKB yang dimuat dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit
Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang
Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Pelonggaran
kebijakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian
nasional serta tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan
perlindungan konsumen.
Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio
Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk
Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang mengatur mengenai
mekanisme pelaksanaan ketentuan rasio loan to value untuk kredit
properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang
muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Asosiasi yang berwenang antara lain Masyarakat Profesi Penilai
Indonesia (MAPPI).
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan โdepositโ adalah uang yang
harus diserahkan oleh nasabah kepada BUS atau UUS
untuk pemilikan Properti yang dilakukan dengan Akad
IMBT.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Asosiasi yang berwenang antara lain Masyarakat Profesi Penilai
Indonesia (MAPPI).
Pasal 4
Ayat (1)
Penetapan batasan plafon sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) mengubah batasan plafon yang menjadi dasar
penetapan penilai agunan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio
Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value
3
untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau
Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
Ayat (2)
Asosiasi yang berwenang antara lain Masyarakat Profesi Penilai
Indonesia (MAPPI).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
KP atau PP untuk fasilitas pertama diberikan bagi Rumah
Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Toko atau Rumah Kantor
dengan luas bangunan:
1. di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
2. dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan
3. sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โprinsip kehati-hatianโ adalah prinsip
kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai permodalan
bank, kualitas aset, dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
4
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โprinsip kehati-hatianโ adalah prinsip
kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai permodalan
bank, kualitas aset, dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Formula penghitungan rasio Kredit bermasalah secara neto
yaitu sebagai berikut:
jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga
bukan bank - cadangan kerugian penurunan nilai
Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan
bank
x 100%
total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank -
cadangan kerugian penurunan nilai Kredit
bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank
Keterangan:
Jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank
merupakan penjumlahan Kredit kualitas kurang lancar,
Kredit kualitas diragukan, dan Kredit kualitas macet.
Huruf b
Formula penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara
neto yaitu sebagai berikut:
5
jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak
ketiga bukan bank - cadangan kerugian
penurunan nilai Pembiayaan bermasalah kepada
pihak ketiga bukan bank
total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan
bank - cadangan kerugian penurunan nilai
Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga
bukan bank
x 100%
Keterangan:
Jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan
bank merupakan penjumlahan Pembiayaan kualitas kurang
lancar, Pembiayaan kualitas diragukan, dan Pembiayaan
kualitas macet.
Ayat (2)
Huruf a
Formula penghitungan rasio KP bermasalah secara bruto
yaitu sebagai berikut:
KP kualitas kurang lancar + KP kualitas
diragukan + KP kualitas macet
total KP
Huruf b
Formula penghitungan rasio PP bermasalah secara bruto
yaitu sebagai berikut:
PP kualitas kurang lancar + PP kualitas
diragukan + PP kualitas macet
total PP
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Contoh:
Dalam hal penandatanganan perjanjian KP atau akad PP dilakukan
pada bulan Desember 2018 maka penghitungan rasio Kredit
bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah dan penghitungan
x 100%
x 100%
6
rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah dilakukan berdasarkan
LBU atau LSMK untuk data bulan Oktober 2018.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โlaporan lainโ antara lain berupa laporan
PP untuk BUS dan UUS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Informasi kepada Bank mengenai penghentian penyampaian
laporan dilakukan melalui surat dan/atau penyempurnaan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 16
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan โhari liburโ adalah hari Sabtu, hari
Minggu, hari libur nasional, atau hari kerja yang kemudian
ditetapkan sebagai hari libur, termasuk dalam hal Bank
Indonesia beroperasi secara terbatas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
7
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Perjanjian pemisahan harta dibuktikan dengan fotokopi
perjanjian yang disahkan atau dilegalisir oleh notaris.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โmenggunakan Rasio LTV KP
sebagaimana Kredit baruโ adalah tambahan Kredit
diperhitungkan sebagai fasilitas KP yang berikutnya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โmenggunakan Rasio FTV PP
sebagaimana Pembiayaan baruโ adalah tambahan
Pembiayaan diperhitungkan sebagai fasilitas PP yang
berikutnya.
Huruf e
Cukup jelas.
8
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โbelum tersedia secara utuhโ adalah
belum siap diserahterimakan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โdana yang ditahan atas nama
pengembangโ adalah dana yang digunakan untuk
menyelesaikan kewajiban pengembang apabila Properti tidak
dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan
sesuai dengan perjanjian, termasuk apabila pengembang
tidak dapat menyelesaikan akta jual beli dan akta
pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa
membebankan hak tanggungan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam menghitung jumlah fasilitas KP atau PP yang diberikan
untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh, Bank
memperhitungkan fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk
9
pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh yang telah
diberikan oleh Bank yang sama maupun Bank lainnya.
Dalam hal debitur atau nasabah telah memperoleh fasilitas KP
atau PP yang diberikan untuk pemilikan Properti yang belum
tersedia secara utuh sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value
untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan
Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan
Kendaraan Bermotor, Bank memperhitungkan fasilitas tersebut
sebagai fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pencairan setelah
penandatanganan perjanjian KP atau PP.
Huruf b
Bank dapat melakukan pencairan lebih dari 1 (satu) kali
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan untuk
masing-masing pencairan.
Huruf c
Bank dapat melakukan pencairan lebih dari 1 (satu) kali
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan untuk
masing-masing pencairan.
Huruf d
Dalam hal akta jual beli dan akta pembebanan hak
tanggungan atau surat kuasa membebankan hak
tanggungan belum tersedia maka untuk pencairan plafon
10
dapat dilaksanakan setelah Bank menerima berita acara
serah terima dan cover note dari notaris atau pejabat
pembuat akta tanah (PPAT).
Cover note dari notaris atau PPAT antara lain memuat
informasi mengenai penyelesaian akta jual beli dan akta
pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa
membebankan hak tanggungan tersebut dan kesanggupan
dari notaris atau PPAT untuk menyerahkan akta jual beli dan
akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa
membebankan hak tanggungan.
Ayat (3)
Besaran persentase pencairan bertahap diserahkan kepada Bank
sesuai dengan kebijakan Bank dengan tetap memperhatikan
prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โjangka waktu paling singkat 1 (satu)
tahunโ adalah:
1. KP atau PP yang diberikan setelah berlakunya
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018
tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio
Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan
Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor; dan/atau
2. KP atau PP yang telah diberikan sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018
tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio
Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan
Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor, namun belum melewati waktu 1 (satu) tahun,
dihitung sejak tanggal perjanjian KP atau PP tersebut.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
11
Huruf d
Termasuk dalam transaksi pemberian KP atau PP yaitu
pembayaran uang muka dan pencairan bertahap.
Dalam hal pembayaran uang muka dilakukan sebelum
berlakunya
Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit
Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan
Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan
Kendaraan Bermotor maka mekanisme pembayaran uang
muka diserahkan kepada kebijakan Bank.
Contoh:
Debitur menandatangani perjanjian KP pada tanggal 6
Agustus 2018. Pembayaran uang muka dilakukan dalam 2
(dua) tahap, yaitu pada tanggal 30 Juli 2018 dan pada
tanggal 3 Agustus 2018. Dengan demikian, mekanisme
pembayaran uang muka pada tanggal 30 Juli 2018
diserahkan kepada pihak Bank. Sementara itu, mekanisme
pembayaran uang muka pada tanggal 3 Agustus 2018 wajib
melalui rekening debitur atau nasabah kepada rekening
pengembang atau penjual yang berada di Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โKP atau PP bermasalahโ adalah KP atau
PP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Rasio Kredit bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah
Kredit bermasalah dibandingkan dengan total Kredit kepada
pihak ketiga bukan bank.
Yang dimaksud dengan โjumlah Kredit bermasalahโ adalah
jumlah dari Kredit dengan kualitas kurang lancar,
diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan bank.
12
Rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto diperoleh dari
jumlah Pembiayaan bermasalah dibandingkan dengan total
Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank.
Yang dimaksud dengan โjumlah Pembiayaan bermasalahโ
adalah jumlah dari Pembiayaan dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan
bank.
Huruf b
Rasio KKB bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah
KKB bermasalah dibandingkan dengan total KKB.
Yang dimaksud dengan โjumlah KKB bermasalahโ adalah
jumlah dari KKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan,
dan macet.
Rasio PKB bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah
PKB bermasalah dibandingkan dengan total PKB.
Yang dimaksud dengan โjumlah PKB bermasalahโ adalah
jumlah dari PKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan,
dan macet.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Formula penghitungan rasio Kredit bermasalah secara bruto
yaitu sebagai berikut:
13
jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga
bukan bank
x 100%
total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank
Keterangan:
Jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank
merupakan penjumlahan Kredit kualitas kurang lancar,
Kredit kualitas diragukan, dan Kredit kualitas macet.
Huruf b
Formula penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara
bruto yaitu sebagai berikut:
jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak
ketiga bukan bank
x 100%
total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan
bank
Keterangan:
Jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan
bank merupakan penjumlahan Pembiayaan kualitas kurang
lancar, Pembiayaan kualitas diragukan, dan Pembiayaan
kualitas macet.
Ayat (2)
Huruf a
Formula penghitungan rasio KKB bermasalah secara bruto
yaitu sebagai berikut:
KKB kualitas kurang lancar + KKB kualitas
diragukan + KKB kualitas macet
total KKB
x 100%
Huruf b
Formula penghitungan rasio PKB bermasalah secara bruto
yaitu sebagai berikut:
PKB kualitas kurang lancar + PKB kualitas
diragukan + PKB kualitas macet
total PKB
x 100%
14
Pasal 30
Contoh:
Dalam hal penandatanganan perjanjian KKB atau akad PKB dilakukan
pada bulan Desember 2018 maka penghitungan rasio Kredit
bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah dan penghitungan
rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah dilakukan
berdasarkan LBU atau LSMK untuk data bulan Oktober 2018.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Termasuk pengertian debitur atau nasabah antara lain debitur
atau nasabah yang merupakan karyawan Bank yang
bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia
yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi,
moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi
perekonomian global.
Ayat (3)
Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia
yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi,
moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi
perekonomian global.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman dalam situs web
Bank Indonesia untuk hasil evaluasi berupa penetapan tidak
15
terdapat perubahan kebijakan atau melakukan penyempurnaan
ketentuan untuk hasil evaluasi berupa penetapan terdapat
perubahan kebijakan.
Pasal 34
Ayat (1)
Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada Bank,
Bank Indonesia memberikan tembusan surat pengenaan sanksi
kepada otoritas yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/22/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR </reg_title>
<set_date> 18 September 2018 </set_date>
<effective_date> 18 September 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '18/19/DKMP|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '20/8/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/19/PADG/2019
TENTANG
PENYEDIA ELECTRONIC TRADING PLATFORM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pasar keuangan yang
berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien,
Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan terkait
penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di pasar
uang dan pasar valuta asing;
b. bahwa salah satu penyelenggara sarana pelaksanaan
transaksi yaitu penyedia electronic trading platform;
c. bahwa agar kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf
a dapat terlaksana dengan baik dan terstruktur maka
diperlukan ketentuan pelaksanaan bagi penyedia
electronic trading platform;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penyedia
Electronic Trading Platform;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/5/PBI/2019 tentang
Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang
dan Pasar Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6336);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PENYEDIA ELECTRONIC TRADING PLATFORM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing yang selanjutnya disebut
Penyelenggara Transaksi adalah badan usaha yang
menyediakan teknologi dan menyelenggarakan sarana
untuk melaksanakan transaksi di pasar uang dan pasar
valuta asing yang sudah memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
2. Pasar Uang adalah pasar uang sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pasar uang.
3. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari sistem keuangan
yang berkaitan dengan kegiatan penjualan dan/atau
pembelian valuta asing terhadap rupiah.
4. Pelaku Pasar adalah pelaku Pasar Uang dan pelaku Pasar
Valuta Asing.
5. Pelaku Pasar Uang adalah pelaku Pasar Uang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai pasar uang.
6. Pelaku Pasar Valuta Asing adalah pihak yang melakukan
kegiatan transaksi di Pasar Valuta Asing.
7. Penyedia Electronic Trading Platform yang selanjutnya
disebut Penyedia ETP adalah badan usaha yang didirikan
khusus untuk menyediakan sarana tertentu yang
digunakan dalam melakukan interaksi dan/atau
transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing.
8. Electronic Trading Platform yang selanjutnya disingkat ETP
adalah sistem elektronik yang digunakan oleh pelaku
pasar sebagai sarana untuk melakukan transaksi pasar
keuangan.
9. Messaging Service adalah alat telekomunikasi yang
digunakan sebagai sarana untuk melakukan interaksi
dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta
Asing yang dapat menampilkan data dan informasi
keuangan serta dapat diintegrasikan dengan sistem di
middle office dan/atau back office yang dimiliki oleh
pengguna jasa.
10. Systematic Internaliser adalah bank yang menyediakan
sarana tertentu yang digunakan dalam melakukan
transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing atas
akun miliknya sendiri dengan Pengguna Jasa.
11. Penyelenggara Bursa adalah bursa berjangka
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi,
yang menyediakan sarana tertentu bagi Pengguna Jasa
untuk melakukan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar
Valuta Asing.
12. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik berbasis teknologi komputasi dan
telekomunikasi.
13. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa yang
ditawarkan oleh Penyedia ETP.
14. Instrumen Pasar Uang adalah instrumen pasar uang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai pasar uang.
15. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah, termasuk unit usaha
syariah.
16. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum,
perorangan, dan/atau kelompok usaha yang memiliki
saham Penyedia ETP sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Penyedia
ETP dan mempunyai hak suara atau memiliki saham
Penyedia ETP kurang dari 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah saham yang dikeluarkan Penyedia ETP dan
mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian Penyedia ETP baik secara
langsung maupun tidak langsung.
17. Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus
sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada Direksi.
18. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan
untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan
tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam
maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar.
19. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak
termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia.
20. Penggabungan adalah penggabungan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perseroan terbatas.
21. Peleburan adalah peleburan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perseroan terbatas.
22. Pengambilalihan adalah pengambilalihan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perseroan terbatas.
23. Pemisahan adalah pemisahan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perseroan terbatas.
BAB II
PERIZINAN
Pasal 2
(1) Pihak yang menyediakan ETP dan/atau Messaging
Services yang digunakan dalam melakukan interaksi
dan/atau transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai
Penyedia ETP.
(2) Kewajiban untuk memperoleh izin dari Bank Indonesia
sebagai Penyedia ETP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikecualikan untuk:
a. Bank yang menyediakan ETP untuk transaksi di
Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing yang telah
memperoleh izin sebagai Systematic Internaliser dari
Bank Indonesia; dan
b. Penyelenggara Bursa yang menyediakan ETP untuk
transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing,
yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara
Bursa dari Bank Indonesia.
Pasal 3
Pemberian izin kepada Penyedia ETP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu:
a. persetujuan prinsip; dan
b.
izin usaha.
Pasal 4
Pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip
sebagai Penyedia ETP harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memiliki akta pendirian dan anggaran dasar bagi pihak
yang telah berbadan hukum perseroan terbatas atau
memiliki rancangan akta pendirian dan rancangan
anggaran dasar bagi pihak yang belum berbadan hukum
perseroan terbatas, yang menunjukkan bahwa tujuan
pendirian perseroan terbatas khusus untuk menyediakan
sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan/atau
Pasar Valuta Asing;
b. memiliki rancangan kepemilikan saham dan calon
pengurus;
c. memiliki rancangan struktur organisasi dan sumber daya
manusia; dan
d. memiliki rancangan rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun
pertama yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan;
2. potensi ekonomi;
3. rencana pengembangan jenis produk;
4. rencana pengembangan sistem; dan
5. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik.
Pasal 5
Pihak yang mengajukan permohonan izin usaha sebagai
Penyedia ETP harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP dari
Bank Indonesia;
b. berbadan hukum perseroan terbatas dengan persyaratan
kepemilikan tertentu, yaitu dimiliki oleh:
1. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia; atau
2. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia dengan warga negara asing dan/atau
badan hukum asing, dengan batasan kepemilikan
warga negara asing dan/atau badan hukum asing
paling tinggi sebesar 49% (empat puluh sembilan
persen) dari modal disetor;
c. memiliki
modal disetor
paling
sedikit
Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah), yang
tidak berasal dari dan/atau untuk tujuan pencucian uang
(money laundering);
d. memiliki infrastruktur yang andal dan aman;
e. memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau
aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali,
anggota Dewan Komisaris, dan anggota Direksi;
f.
memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang
memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan;
2. potensi ekonomi;
3. rencana pengembangan jenis produk;
4. rencana pengembangan sistem; dan
5. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik;
g. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko teknologi
informasi yang efektif;
h. memiliki tata kelola yang baik; dan
i.
memenuhi persyaratan administratif lainnya.
Pasal 6
(1) Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf e harus memenuhi persyaratan
integritas dan aspek keuangan.
(2) Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit
ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang
berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana sebagai berikut:
1. tindak pidana di sektor jasa keuangan, dalam
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir;
2. tindak pidana kejahatan yang tercantum dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dan/atau yang sejenis KUHP di luar negeri
dengan ancaman hukuman pidana penjara 1
(satu) tahun atau lebih, dalam jangka waktu 10
(sepuluh) tahun terakhir; dan/atau
3. tindak pidana lainnya dengan ancaman
hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau
lebih, yaitu tindak pidana korupsi, pencucian
uang,
narkotika
penyelundupan,
atau
kepabeanan,
psikotropika,
cukai,
perdagangan orang, perdagangan senjata gelap,
terorisme, pemalsuan uang, di bidang
perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang
lingkungan hidup, dan di bidang kelautan dan
perikanan, dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun terakhir,
sebelum dicalonkan;
b. memiliki komitmen terhadap pengembangan Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing domestik;
c. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan dan
mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam
pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
domestik; dan
d.
tidak tercantum dalam daftar tidak lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan sebagai pemegang
saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pejabat
eksekutif, yang ditatausahakan otoritas berwenang.
(3) Persyaratan aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan
macet; dan
b. memiliki kemampuan keuangan yang dapat
mendukung perkembangan kegiatan usaha Penyedia
ETP.
Pasal 7
(1) Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Penyedia
ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e harus
memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan aspek
keuangan.
(2) Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit
ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang
berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana sebagai berikut:
1. tindak pidana di sektor jasa keuangan, dalam
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir;
2. tindak pidana kejahatan yang tercantum dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dan/atau yang sejenis KUHP di luar negeri
dengan ancaman hukuman pidana penjara 1
(satu) tahun atau lebih, dalam jangka waktu 10
(sepuluh) tahun terakhir; dan/atau
3. tindak pidana lainnya dengan ancaman
hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau
lebih, yaitu tindak pidana korupsi, pencucian
uang, narkotika
penyelundupan,
atau
kepabeanan,
psikotropika,
cukai,
perdagangan orang, perdagangan senjata gelap,
terorisme, pemalsuan uang, di bidang
perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang
lingkungan hidup, dan di bidang kelautan dan
perikanan, dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun terakhir,
sebelum dicalonkan;
b. memiliki komitmen terhadap pengembangan Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing domestik;
c. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan dan
mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam
pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
domestik; dan
d.
tidak tercantum dalam daftar tidak lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan sebagai pemegang
saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pejabat
eksekutif, yang ditatausahakan otoritas berwenang.
(3) Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. untuk anggota Dewan Komisaris:
1. memiliki pengetahuan di bidang pasar keuangan
yang memadai dan relevan dengan jabatannya;
dan
2. memiliki pengalaman paling sedikit 2 (dua)
tahun pada perusahaan yang bergerak di sektor
pasar keuangan.
b. untuk anggota Direksi:
1. memiliki pengetahuan di bidang pasar keuangan
yang memadai dan relevan dengan jabatannya;
2. berpendidikan paling rendah setingkat sarjana
strata 1; dan
3. memiliki pengalaman dan keahlian di bidang
pasar keuangan paling sedikit 2 (dua) tahun
pada jabatan manajerial di perusahaan yang
bergerak di sektor pasar keuangan.
(4) Persyaratan aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yakni tidak memiliki kredit macet dan/atau
pembiayaan macet.
BAB III
PERSETUJUAN PRINSIP
Bagian Kesatu
Pengajuan Persetujuan Prinsip
Pasal 8
(1) Pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip
sebagai Penyedia ETP menyampaikan surat permohonan
kepada Bank Indonesia.
(2) Surat permohonan persetujuan prinsip sebagai Penyedia
ETP diajukan paling sedikit oleh:
a. satu anggota Direksi, dalam hal pihak yang
mengajukan permohonan sudah berbadan hukum
perseroan terbatas; atau
b. satu calon pemegang saham, dalam hal pihak yang
mengajukan permohonan belum berbadan hukum
perseroan terbatas.
(3) Contoh surat permohonan persetujuan prinsip sebagai
Penyedia ETP tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 9
Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a. akta pendirian dan anggaran dasar atau rancangan akta
pendirian dan rancangan anggaran dasar, sebagai berikut:
1.
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang, berikut perubahan
terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari
instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat
penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran
dasar dari instansi yang berwenang, dalam hal pihak
yang mengajukan permohonan sudah berbadan
hukum perseroan terbatas; atau
2. rancangan akta pendirian dan rancangan anggaran
dasar, dalam hal pihak yang mengajukan
permohonan belum berbadan hukum perseroan
terbatas,
yang menunjukkan bahwa tujuan pendirian perseroan
terbatas khusus untuk menyediakan sarana pelaksanaan
transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing;
b. rancangan kepemilikan saham yang dilengkapi dengan
data pemegang saham sebagai berikut:
1. dalam hal pemegang saham merupakan badan
hukum:
a)
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang, berikut perubahan
terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan
dari instansi yang berwenang atau telah
diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari instansi yang
berwenang; dan
b) daftar susunan pemegang saham; dan/atau
2. dalam hal pemegang saham merupakan
perseorangan:
a)
fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda
Penduduk atau paspor; dan
b) daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh
yang bersangkutan;
c. rancangan susunan anggota Dewan Komisaris dan
anggota Direksi, yang masing-masing dilengkapi dengan:
1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda
Penduduk atau paspor;
2. daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang
bersangkutan; dan
3. khusus untuk anggota Direksi, fotokopi ijazah paling
rendah setingkat sarjana strata 1;
d. rancangan struktur organisasi dan sumber daya manusia;
e. rancangan rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama
yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi:
a) proyeksi laporan keuangan dan analisis break-
even point; dan
b) model bisnis yang paling sedikit meliputi:
1) mekanisme transaksi;
2)
jenis instrumen dan/atau transaksi yang
akan diselenggarakan;
3) nominal transaksi, yang mencakup
maksimal nominal transaksi dan minimal
nominal transaksi;
4) skema penetapan biaya bagi calon
Pengguna Jasa, yang terdiri atas biaya
berlangganan (subscription fee), biaya per
transaksi, atau biaya lainnya; dan
5) calon Pengguna Jasa; dan
2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai
jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi
bisnis;
3. rencana pengembangan jenis produk;
4. rencana pengembangan sistem;
5. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik; dan
f.
dokumen administratif lainnya dalam hal diperlukan.
Bagian Kedua
Pemrosesan Persetujuan Prinsip
Pasal 10
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia
terdapat dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak
sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan
tertulis kepada pihak yang mengajukan permohonan
untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen
pendukung.
(2) Pihak yang mengajukan permohonan harus melengkapi
dan/atau
memperbaiki
dokumen
pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan
kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan
tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan pihak yang
mengajukan permohonan belum menyampaikan dokumen
yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, pihak yang
mengajukan permohonan dianggap telah membatalkan
permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagai Penyedia ETP.
Pasal 11
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP
melalui surat paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja setelah
dokumen pendukung dinyatakan lengkap.
Pasal 12
(1) Pihak yang telah memperoleh persetujuan prinsip sebagai
Penyedia ETP dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penyedia ETP sebelum mendapatkan izin usaha sebagai
Penyedia ETP dari Bank Indonesia.
(2) Pihak yang telah memperoleh persetujuan prinsip sebagai
Penyedia ETP harus mengajukan permohonan izin usaha
sebagai Penyedia ETP kepada Bank Indonesia paling
lambat 270 (dua ratus tujuh puluh) hari kalender sejak
tanggal surat persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP
diterbitkan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan pihak yang telah
mendapat persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP
belum mengajukan permohonan izin usaha sebagai
Penyedia ETP, persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dinyatakan tidak
berlaku.
BAB IV
IZIN USAHA
Bagian Kesatu
Pengajuan Izin Usaha
Pasal 13
(1) Surat permohonan izin usaha sebagai Penyedia ETP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) diajukan
paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi.
(2) Contoh surat permohonan izin usaha sebagai Penyedia
ETP sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 14
Surat permohonan izin usaha sebagai Penyedia ETP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dilengkapi
dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a.
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi
yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang
telah memperoleh persetujuan dari instansi yang
berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan
pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi
yang berwenang, yang menunjukkan bahwa tujuan
pendirian perseroan terbatas khusus untuk menyediakan
sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan/atau
Pasar Valuta Asing;
b.
fotokopi bukti pemenuhan modal disetor menjadi paling
sedikit Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) ke
rekening Penyedia ETP;
c. keterangan mengenai jenis, spesifikasi, jumlah unit, dan
kapasitas sarana pelaksanaan transaksi;
d. daftar kepemilikan saham, yang dilengkapi dengan surat
pernyataan dari masing-masing Pemegang Saham
Pengendali yang menyatakan bahwa yang bersangkutan:
1. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana dalam jangka waktu tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf
a;
2. berkomitmen untuk mengembangkan Pasar Uang
dan Pasar Valuta Asing domestik;
3. berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan dan
mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam
pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
domestik;
4. tidak menjadi Pemegang Saham Pengendali pada
Penyedia ETP dan/atau Penyelenggara Transaksi
lainnya;
5. modal disetor tidak berasal dari dan/atau untuk
tujuan pencucian uang (money laundering);
6. tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan
macet; dan
7. memiliki kemampuan keuangan yang dapat
mendukung perkembangan kegiatan usaha Penyedia
ETP,
sebagaimana contoh surat pernyataan Pemegang Saham
Pengendali dalam Lampiran I;
e. susunan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi,
yang dilengkapi dengan surat pernyataan dari masing-
masing anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi
yang menyatakan bahwa yang bersangkutan:
1. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana dalam jangka waktu tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf
a;
2. berkomitmen untuk mengembangkan Pasar Uang
dan Pasar Valuta Asing domestik;
3. berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan dan
mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam
pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
domestik; dan
4. tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan
macet,
f.
sebagaimana contoh surat pernyataan anggota Dewan
Komisaris dan anggota Direksi dalam Lampiran I;
struktur organisasi dan sumber daya manusia ;
g. rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat
paling sedikit:
1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi:
a) proyeksi laporan keuangan dan analisis break-
even point; dan
b) model bisnis yang paling sedikit meliputi:
1) mekanisme transaksi;
2)
jenis instrumen dan/atau transaksi yang
akan diselenggarakan;
3) nominal transaksi, yang mencakup
maksimal nominal transaksi dan minimal
nominal transaksi;
4) skema penetapan biaya bagi calon Pengguna
Jasa, yang terdiri atas biaya berlangganan
(subscription fee), biaya per transaksi, atau
biaya lainnya; dan
5) calon Pengguna Jasa;
2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai
jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi
bisnis;
3. rencana pengembangan jenis produk;
4. rencana pengembangan sistem; dan
5. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar
Valuta Asing domestik;
h. prosedur operasional standar yang menunjukkan
manajemen risiko teknologi informasi yang efektif dan tata
kelola yang baik; dan
i.
dokumen administratif lainnya dalam hal diperlukan.
Bagian Kedua
Pemrosesan Izin Usaha
Pasal 15
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia
terdapat dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak
sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan
tertulis kepada pihak yang mengajukan permohonan
untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen
pendukung.
(2) Pihak yang mengajukan permohonan harus melengkapi
dan/atau
memperbaiki
dokumen
pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan
kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan
tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan pihak yang
mengajukan permohonan belum menyampaikan dokumen
yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, pihak yang
mengajukan permohonan dianggap telah membatalkan
permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagai
Penyedia ETP.
Pasal 16
Bank Indonesia melakukan kunjungan ke lokasi pihak yang
mengajukan permohonan izin usaha sebagai Penyedia ETP (on
site visit) untuk memastikan kesiapan operasional.
Pasal 17
(1) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan izin usaha sebagai Penyedia
ETP melalui surat paling lambat 90 (sembilan puluh) Hari
Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap.
(2) Izin sebagai Penyedia ETP memuat informasi yang
meliputi:
a. jenis sarana pelaksanaan transaksi; dan
b.
jenis instrumen dan/atau jenis transaksi yang dapat
diselenggarakan oleh Penyedia ETP.
(3) Bank Indonesia memublikasikan Penyedia ETP yang telah
memperoleh izin usaha sebagai Penyedia ETP pada laman
resmi Bank Indonesia.
Pasal 18
(1) Penyedia ETP harus mulai melakukan kegiatan usaha
paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja sejak tanggal
izin usaha sebagai Penyedia ETP diterbitkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Penyedia ETP harus melaporkan pelaksanaan kegiatan
usaha paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah
tanggal pelaksanaan kegiatan usaha.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Penyedia ETP belum melakukan kegiatan
usaha, Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin
usaha sebagai Penyedia ETP.
BAB V
PENGGUNA JASA
Pasal 19
(1) Penyedia ETP mempertemukan Pengguna Jasa yang
melakukan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta
Asing.
(2) Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa Pelaku Pasar yang terdiri atas:
a. Pelaku Pasar Uang; dan/atau
b. Pelaku Pasar Valuta Asing.
(3) Pelaku Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilarang menggunakan jasa Penyedia ETP yang tidak
memiliki izin dari Bank Indonesia.
BAB VI
SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI
Pasal 20
(1) Sarana pelaksanaan transaksi yang disediakan oleh
Penyedia ETP memiliki fungsi paling sedikit untuk:
a. pemantauan harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga
terbaik dan terkini; dan
b. memublikasikan order dan kuotasi.
(2) Selain memiliki fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), sarana pelaksanaan transaksi Penyedia ETP harus
memiliki salah satu fungsi untuk:
a. pelaksanaan negosiasi;
b. pelaksanaan konfirmasi transaksi;
c. pelaksanaan eksekusi transaksi di Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing; atau
d. pelaksanaan lelang secara langsung dan/atau tidak
langsung.
BAB VII
JENIS INSTRUMEN DAN/ATAU TRANSAKSI
Pasal 21
Jenis instrumen dan/atau transaksi yang dapat ditawarkan
oleh Penyedia ETP mencakup:
a. instrumen moneter baik konvensional dan/atau dengan
prinsip syariah;
b. transaksi di Pasar Uang baik dalam rupiah dan/atau
valuta asing termasuk dengan prinsip syariah;
c. transaksi di Pasar Valuta Asing yaitu transaksi spot, swap,
forward, dan option valuta asing terhadap rupiah;
d. instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau
Pasar Valuta Asing lainnya, sesuai dengan persetujuan
Bank Indonesia; dan/atau
e.
instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya, sesuai
dengan persetujuan Bank Indonesia.
BAB VIII
PERUBAHAN JENIS SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI,
JENIS INSTRUMEN DAN/ATAU TRANSAKSI,
SISTEM ELEKTRONIK, STRUKTUR KEPEMILIKAN, NAMA
BADAN USAHA, SUSUNAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS,
DAN SUSUNAN ANGGOTA DIREKSI
Bagian Kesatu
Perubahan Jenis Sarana Pelaksanaan Transaksi, Jenis
Instrumen dan/atau Transaksi, dan Sistem Elektronik
Pasal 22
Penyedia ETP wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia
dalam hal akan melakukan perubahan atas:
a.
b.
layanan berupa jenis sarana pelaksanaan transaksi;
jenis instrumen dan/atau transaksi; dan
c.
Sistem Elektronik secara signifikan yang menimbulkan
risiko terganggunya transaksi Pengguna Jasa.
Pasal 23
Penyedia ETP yang mengajukan permohonan perubahan
layanan berupa jenis sarana pelaksanaan transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a dan perubahan
jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a.
memiliki infrastruktur yang andal dan aman untuk
mendukung perubahan jenis sarana pelaksanaan
transaksi dan jenis instrumen dan/atau transaksi;
b. memperbarui rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama
sejak rencana perubahan jenis sarana pelaksanaan
transaksi dan jenis instrumen dan/atau transaksi yang
memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan; dan
2. potensi ekonomi;
c.
memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko teknologi
informasi yang efektif;
d. menyampaikan hasil uji coba implementasi perubahan
sistem, dalam hal terdapat pengembangan sistem; dan
e.
memenuhi persyaratan administrasi lainnya.
Pasal 24
(1) Surat permohonan perubahan jenis sarana pelaksanaan
transaksi dan jenis instrumen dan/atau transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilengkapi dengan
dokumen pendukung sebagai berikut:
a. dokumen yang menunjukkan keandalan dan
keamanan infrastruktur untuk mendukung
perubahan atas layanan berupa sarana pelaksanaan
transaksi dan jenis instrumen dan/atau transaksi
berupa:
1. keterangan mengenai perubahan
jenis,
spesifikasi, jumlah unit, dan kapasitas sarana
pelaksanaan transaksi; dan
2.
b.
hasil audit teknologi informasi terkini sesuai
dengan ketentuan otoritas yang berwenang;
rencana bisnis yang telah diperbarui untuk 2 (dua)
tahun pertama sejak rencana perubahan yang
memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi:
a) proyeksi laporan keuangan dan analisis
break-even point; dan
b) model bisnis yang paling sedikit meliputi:
1) mekanisme transaksi;
2)
jenis instrumen dan/atau transaksi
yang akan diselenggarakan;
3) nominal transaksi, yang mencakup
maksimal nominal transaksi dan
minimal nominal transaksi;
4) skema penetapan biaya bagi calon
Pengguna Jasa, yang terdiri atas biaya
berlangganan (subscription fee), biaya
per transaksi, atau biaya lainnya; dan
5) calon Pengguna Jasa; dan
2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan
mengenai jangkauan atau cakupan wilayah
bisnis dan strategi bisnis;
c. prosedur operasional standar yang menunjukkan
manajemen risiko teknologi informasi yang efektif;
d.
hasil uji coba implementasi perubahan sistem, dalam
hal terdapat pengembangan sistem; dan
e. dokumen administratif lainnya dalam hal diperlukan.
(2) Surat permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) anggota
Direksi.
(3) Contoh surat permohonan perubahan jenis sarana
pelaksanaan transaksi dan jenis instrumen dan/atau
transaksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 25
(1) Penyedia ETP yang akan melakukan perubahan Sistem
Elektronik secara signifikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 huruf c harus melaporkan rencana perubahan
Sistem Elektronik paling lambat 1 (satu) tahun sebelum
implementasi perubahan kepada Bank Indonesia.
(2) Penyedia ETP wajib menyampaikan surat permohonan
perubahan Sistem Elektronik kepada Bank Indonesia paling
lambat 6 (enam) bulan sebelum implementasi perubahan.
(3) Surat permohonan perubahan Sistem Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilengkapi dengan
dokumen pendukung sebagai berikut:
a. alasan dan deskripsi perubahan Sistem Elektronik;
b.
c. persyaratan administratif lainnya.
(4) Surat permohonan perubahan
analisis mitigasi risiko perubahan Sistem Elektronik;
dan
Sistem Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani paling
sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi.
(5) Contoh surat permohonan perubahan Sistem Elektronik
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 26
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia terdapat
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 dan Pasal 25 yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak
sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan
tertulis kepada Penyedia ETP untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen pendukung.
(2) Penyedia ETP harus melengkapi dan/atau memperbaiki
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal
pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Penyedia ETP belum
menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau
diperbaiki, Penyedia ETP dianggap telah membatalkan
permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22.
Pasal 27
Bank Indonesia dapat melakukan kunjungan ke lokasi
Penyedia ETP (on site visit) untuk memastikan kesiapan
operasional atas perubahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22.
Pasal 28
(1) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan perubahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 melalui surat paling lambat 60
(enam puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung
dinyatakan lengkap.
(2) Penyedia ETP harus melaporkan realisasi atas perubahan
jenis sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 huruf a dan perubahan Sistem
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf
c kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) Hari
Kerja setelah dilakukan implementasi perubahan.
Bagian Kedua
Perubahan Struktur Kepemilikan, Nama Badan Usaha,
Susunan Anggota Dewan Komisaris,
dan Susunan Anggota Direksi
Pasal 29
Penyedia ETP wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia
dalam hal akan melakukan perubahan atas:
a. struktur kepemilikan badan usaha yang tidak
mengakibatkan perubahan pengendalian Penyedia ETP;
b. nama badan usaha; dan
c. susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau susunan
anggota Direksi.
Pasal 30
(1) Penyedia ETP yang akan melakukan perubahan struktur
kepemilikan badan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) huruf a menyampaikan surat
permohonan kepada Bank Indonesia yang dilengkapi
dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a. rancangan kepemilikan saham;
b. fotokopi risalah rapat umum pemegang saham
mengenai perubahan struktur kepemilikan badan
usaha; dan
c. dalam hal terdapat calon pemegang saham baru,
dokumen pendukung dilengkapi dengan data calon
pemegang saham baru sebagai berikut:
1. untuk calon pemegang saham baru yang
merupakan badan hukum:
a)
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang, berikut
perubahan terakhirnya yang telah
memperoleh persetujuan dari instansi yang
berwenang atau telah diterbitkan surat
penerimaan pemberitahuan perubahan
anggaran dasar dari instansi yang
berwenang; dan
b) daftar susunan pemegang saham; dan
2. untuk calon pemegang saham baru yang
merupakan perseorangan:
a)
fotokopi tanda pengenal berupa Kartu
Tanda Penduduk atau paspor;
b) daftar riwayat hidup yang ditandatangani
oleh yang bersangkutan; dan
c) surat pernyataan yang menyatakan bahwa
yang bersangkutan tidak memiliki kredit
macet dan/atau pembiayaan macet.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi.
(3) Contoh surat permohonan perubahan struktur
kepemilikan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 31
(1) Penyedia ETP yang akan melakukan perubahan nama
badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat
(1) huruf b menyampaikan surat permohonan kepada
Bank Indonesia yang dilengkapi dengan dokumen
pendukung berupa fotokopi akta perubahan anggaran
dasar yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi.
(3) Contoh surat permohonan perubahan nama badan usaha
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 32
(1) Penyedia ETP yang akan melakukan perubahan susunan
anggota Dewan Komisaris dan/atau susunan anggota
Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
huruf c menyampaikan surat permohonan kepada Bank
Indonesia yang dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagai berikut:
a. rancangan susunan anggota Dewan Komisaris
dan/atau anggota Direksi;
b. data calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota Direksi, yang masing-masing dilengkapi
dengan:
1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda
Penduduk atau paspor;
2. daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh
yang bersangkutan; dan
3. khusus untuk anggota Direksi, fotokopi ijazah
paling rendah setingkat sarjana strata 1; dan
c. surat pernyataan dari masing-masing calon anggota
Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi.
(3) Contoh surat permohonan perubahan susunan anggota
Dewan Komisaris dan/atau susunan anggota Direksi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 33
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia
terdapat dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 yang dinilai tidak
lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Penyedia
ETP untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen
pendukung.
(2) Penyedia ETP harus melengkapi dan/atau memperbaiki
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja
sejak tanggal pemberitahuan tertulis disampaikan oleh
Bank Indonesia.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Penyedia ETP
belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi
dan/atau diperbaiki, Penyedia ETP dianggap telah
membatalkan permohonan perubahan.
Pasal 34
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 melalui surat paling lambat 60 (enam puluh) Hari
Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap.
Pasal 35
(1) Penyedia ETP harus melakukan perubahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a dan huruf c
paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja sejak tanggal
surat persetujuan diterbitkan oleh Bank Indonesia.
(2) Penyedia ETP harus melaporkan pelaksanaan perubahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a
dan huruf c paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah
tanggal pelaksanaan perubahan.
(3) Penyedia ETP yang telah mendapatkan persetujuan untuk
melakukan perubahan struktur kepemilikan badan usaha
menyampaikan perubahan anggaran dasar yang telah
disetujui oleh instansi yang berwenang kepada Bank
Indonesia.
BAB IX
AKSI KORPORASI
Pasal 36
Penyedia ETP yang melakukan aksi korporasi berupa:
a. Penggabungan;
b. Peleburan;
c. Pengambilalihan; dan/atau
d. Pemisahan,
wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
Pasal 37
(1) Penyedia ETP yang melakukan aksi korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 menyampaikan
surat permohonan kepada Bank Indonesia.
(2) Surat permohonan aksi korporasi diajukan paling sedikit
oleh 1 (satu) anggota Direksi.
(3) Surat permohonan aksi korporasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung
berupa:
a.
fotokopi risalah rapat umum pemegang saham
mengenai keputusan aksi korporasi;
b. target waktu aksi korporasi;
c. rancangan kepemilikan saham yang dilengkapi
dengan data pemegang saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, dalam hal terdapat
perubahan struktur kepemilikan saham akibat aksi
korporasi;
d. surat pernyataan dari masing-masing Pemegang
Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 huruf e, dalam hal terdapat perubahan
Pemegang Saham Pengendali; dan
e. rancangan perubahan susunan anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi yang dilengkapi
dengan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf c dan surat pernyataan dari masing-masing
anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f,
dalam hal terdapat perubahan susunan anggota
Dewan Komisaris dan/atau susunan anggota Direksi.
(4) Contoh surat permohonan aksi korporasi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 38
Dalam hal Penyedia ETP melakukan aksi korporasi berupa:
a. Penggabungan, maka:
1. Penyedia ETP yang bukan merupakan hasil
Penggabungan mengajukan surat permohonan
pencabutan izin sebagai Penyedia ETP; dan
2. Penyedia ETP hasil Penggabungan (surviving
company) tetap dapat menjalankan kegiatan sebagai
Penyedia ETP tanpa mengajukan izin usaha kembali;
b. Peleburan, maka:
1. masing-masing Penyedia ETP yang meleburkan diri,
mengajukan permohonan pencabutan izin sebagai
Penyedia ETP kepada Bank Indonesia; dan
2. Penyedia ETP yang merupakan hasil Peleburan
mengajukan permohonan izin sebagai Penyedia ETP
kepada Bank Indonesia;
c. Pengambilalihan, maka Penyedia ETP yang merupakan
hasil Pengambilalihan tetap dapat menjalankan kegiatan
sebagai Penyedia ETP tanpa mengajukan izin usaha
kembali; atau
d. Pemisahan, maka:
1. Penyedia ETP yang melakukan Pemisahan murni,
mengajukan permohonan pencabutan izin sebagai
Penyedia ETP kepada Bank Indonesia;
2. Penyedia ETP yang melakukan Pemisahan tidak
murni tetap dapat menjalankan kegiatan sebagai
Penyedia ETP tanpa mengajukan izin usaha kembali;
dan
3. perseroan hasil Pemisahan wajib mendapatkan izin
terlebih dahulu dari Bank Indonesia untuk dapat
melakukan kegiatan sebagai Penyedia ETP.
Pasal 39
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan persetujuan aksi korporasi melalui surat
paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja setelah dokumen
pendukung dinyatakan lengkap.
Pasal 40
Penyedia ETP harus mulai melakukan aksi korporasi paling
lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja sejak tanggal persetujuan
aksi korporasi diterbitkan oleh Bank Indonesia.
BAB X
KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Penyampaian Informasi
Pasal 41
(1) Penyedia ETP wajib menyampaikan informasi kepada
Bank Indonesia dalam hal:
a.
b.
terdapat kejadian yang berpotensi memengaruhi
kelancaran operasional;
terdapat indikasi manipulasi pasar yang dilakukan
oleh Pengguna Jasa;
c. melakukan penghentian sementara kegiatan sebagai
Penyedia ETP;
d.
terjadi perselisihan antara Penyedia ETP dengan
Pengguna Jasa;
e. dikenakan sanksi oleh otoritas terkait di dalam
dan/atau di luar negeri;
f.
terdapat perjanjian pertukaran informasi yang telah
disepakati antara Penyedia ETP dengan pihak lain
atau kewajiban penyampaian informasi kepada
otoritas yang berwenang di dalam dan/atau di luar
negeri; dan/atau
g. terdapat informasi lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf d disampaikan kepada Bank
Indonesia melalui laporan insidental paling lambat 1 (satu)
Hari Kerja setelah kejadian.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
sampai dengan huruf g disampaikan kepada Bank
Indonesia melalui laporan insidental paling lambat 10
(sepuluh) Hari Kerja setelah kejadian.
Pasal 42
(1) Dalam hal terdapat anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi yang terbukti tidak dapat menjalankan
fungsinya atau berhalangan tetap, Penyedia ETP wajib
menyampaikan informasi tersebut kepada Bank
Indonesia.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan bersamaan dengan surat permohonan
persetujuan perubahan susunan anggota Dewan
Komisaris dan/atau susunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c.
anggota Direksi
Bagian Kedua
Pemeliharaan Total Ekuitas
Pasal 43
(1) Penyedia ETP wajib memelihara total ekuitas paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Total ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan total ekuitas yang tercantum dalam laporan
keuangan triwulanan dan/atau laporan keuangan
tahunan yang telah diaudit.
Pasal 44
(1) Penyedia ETP dengan total ekuitas di bawah
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib
memenuhi kekurangan total ekuitas tersebut dalam
jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak total
ekuitas di bawah Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
(2) Penyedia ETP dengan total ekuitas di bawah
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) harus
menyampaikan rencana penambahan kekurangan total
ekuitas kepada Bank Indonesia yang paling sedikit
meliputi:
a. mekanisme dan tahapan pemenuhan ekuitas;
b. sumber dana untuk pemenuhan ekuitas; dan
c. hal lain yang perlu diinformasikan kepada Bank
Indonesia.
(3) Rencana penambahan kekurangan total
ekuitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan sejak total
ekuitas di bawah Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Bagian Ketiga
Konektivitas dengan Sistem Bank Indonesia
Pasal 45
Sistem Elektronik dari Penyedia ETP wajib terkoneksi dengan
sistem Bank Indonesia dan/atau infrastruktur lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Risiko
Pasal 46
Penyedia ETP wajib menerapkan prinsip kehati-hatian yang
dituangkan dalam pedoman internal yang paling sedikit
memuat:
a. pedoman etika bisnis sebagai Penyedia ETP;
b. transparansi dan keterbukaan informasi;
c. mekanisme penyelesaian sengketa; dan
d. perlindungan konsumen.
Pasal 47
(1) Penyedia ETP wajib menerapkan manajemen risiko yang
efektif, yang dituangkan dalam pedoman internal yang paling
sedikit memuat:
a. perencanaan keberlangsungan bisnis;
b. rencana pemulihan bencana; dan
c. jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip
kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan.
(2) Perencanaan keberlangsungan bisnis ebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan rencana pemulihan bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. bersifat fleksibel untuk dapat merespons berbagai
skenario gangguan yang sifatnya tidak terduga dan
spesifik, yaitu gambaran kondisi tertentu dan tindakan
yang dibutuhkan segera;
b. pengujian dan evaluasi rencana keberlangsungan bisnis
secara berkala; dan
c. kebijakan dan prosedur rencana keberlangsungan
bisnis harus didokumentasikan secara memadai dan
dikomunikasikan kepada seluruh pegawai.
(3) Jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip kerahasiaan,
integritas, dan ketersediaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dibuktikan dengan adanya kebijakan,
standar, dan prosedur yang paling sedikit meliputi:
a. pengukuran kinerja dan perencanaan kapasitas
jaringan (performance and capacity planning);
b. pengamanan jaringan komunikasi (network access
control);
c. change management (setting, configuration, and testing);
d. network management, network logging, dan network
monitoring;
e. penggunaan internet, intranet, surat elektronik, dan
wireless termasuk mekanisme penggunaan jaringan
komunikasi;
f. prosedur penanganan masalah (problem handling); dan
g.
fasilitas rekam cadang (back up) dan pemulihan
(recovery).
Pasal 48
Dalam menawarkan jasanya kepada Pengguna Jasa, Penyedia
ETP wajib memiliki buku pedoman (rule book) yang paling
sedikit memuat:
a. aturan mengenai transparansi dan keterbukaan
informasi;
b. mekanisme penyelesaian sengketa;
c. tata cara pendaftaran Pengguna Jasa;
d. tata cara penghentian layanan kepada Pengguna Jasa;
dan
e. struktur biaya yang dikenakan kepada Pengguna Jasa.
Bagian Kelima
Larangan
Pasal 49
Penyedia ETP dilarang:
a. memberikan jasa di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
yang tidak sesuai dengan izin Bank Indonesia;
b. memberikan saran dan/atau nasihat investasi;
c. melakukan transaksi atas namanya sendiri dan/atau
dananya sendiri;
d. melakukan transaksi atas nama pemegang saham
dan/atau dana pemegang saham;
e. melakukan penyelesaian transaksi atau setelmen untuk
Pengguna Jasa;
f. memberikan informasi nama Pengguna Jasa sebelum
transaksi disepakati; dan/atau
g. melakukan publikasi atas informasi yang bukan
didasarkan atas informasi Pengguna Jasa yang akan
melakukan transaksi.
Pasal 50
Pemegang Saham Pengendali Penyedia ETP dilarang menjadi
Pemegang Saham Pengendali pada Penyelenggara Transaksi
lainnya.
Bagian Keenam
Tata Cata Pelaporan
Pasal 51
(1) Penyedia ETP wajib menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia sebagai berikut:
a.
b.
laporan berkala; dan
laporan insidental.
(2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi:
a. laporan transaksi bulanan;
b. laporan keuangan triwulanan;
c. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit; dan
d. laporan audit sistem.
(3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas kewajiban penyampaian informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan Pasal
42 ayat (1).
Pasal 52
(1) Laporan transaksi bulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (2) huruf a memuat informasi volume
instrumen dan/atau transaksi yang dilakukan melalui
Penyedia ETP dan disampaikan setiap bulan paling lambat
14 (empat belas) Hari Kerja setelah berakhirnya bulan
laporan.
(2) Laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b memuat posisi keuangan
akhir triwulan dan disampaikan setiap triwulan paling
lambat 20 (dua puluh) Hari Kerja setelah berakhirnya
periode laporan triwulanan.
(3) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf c
memuat posisi keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
kantor akuntan publik dan disampaikan paling lambat 4
(empat) bulan setelah berakhirnya periode laporan
tahunan.
(4) Laporan audit sistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 ayat (2) huruf d memuat laporan hasil audit sistem
informasi dari auditor independen eksternal atau internal
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun dan
disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) Hari Kerja sejak
hasil audit sistem diterbitkan.
(5) Format laporan transaksi bulanan tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 53
(1) Penyedia ETP menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) kepada Bank Indonesia
secara online atau offline.
(2) Penyampaian laporan secara online sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Penyedia ETP
dengan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyampaian laporan secara online.
(3) Dalam hal laporan secara online sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) belum tersedia, laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) disampaikan secara
offline.
BAB XI
PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Tata Cara Pengawasan
Pasal 54
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Penyedia ETP meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan terhadap penyedia teknologi yang melakukan
kerja sama dengan Penyedia ETP.
(3) Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap Penyedia ETP,
Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain
yang berwenang.
Pasal 55
(1) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 ayat (1) huruf b.
(2) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga
kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang
diperoleh dari hasil pemeriksaan
Pasal 56
Dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b, petugas pemeriksa yang
ditugaskan oleh Bank Indonesia dilengkapi dengan surat
penugasan yang memuat tujuan pemeriksaan, objek
pemeriksaan atau informasi lainnya.
Bagian Kedua
Pencabutan Izin Berdasarkan Hasil Evaluasi
Pasal 57
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin yang
diberikan kepada Penyedia ETP berdasarkan hasil
pengawasan dan informasi dari otoritas lain.
(2) Bank Indonesia dapat melakukan pencabutan izin
Penyedia ETP berdasarkan hasil evaluasi Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB XII
TATA CARA PENCABUTAN IZIN
DI LUAR PENGENAAN SANKSI
Pasal 58
Bank Indonesia melakukan pencabutan izin Penyedia ETP
dalam hal:
a. Penyedia ETP dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; atau
b. adanya permintaan pemegang saham Penyedia ETP.
Bagian Kesatu
Penyedia ETP Dinyatakan Pailit
Pasal 59
Dalam hal Penyedia ETP dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,
Bank Indonesia mengeluarkan surat pencabutan izin usaha
Penyedia ETP.
Bagian Kedua
Permintaan Pemegang Saham Penyedia ETP
Pasal 60
(1) Penyedia ETP yang akan mengajukan permohonan
pencabutan izin usaha karena adanya permintaan
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
huruf b menyampaikan surat permohonan pencabutan
izin usaha kepada Bank Indonesia.
(2) Surat permohonan pencabutan izin usaha diajukan paling
sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi.
(3) Surat permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen
pendukung sebagai berikut:
a.
fotokopi risalah rapat umum pemegang saham
mengenai keputusan penutupan Penyedia ETP;
b. laporan keuangan terakhir;
c. rencana penyelesaian seluruh kewajiban kepada
pihak lain yang meliputi penyelesaian kewajiban
kepada kreditur, pembayaran gaji terutang,
pembayaran biaya kantor, pajak terutang, dan biaya
lain yang relevan; dan
d. surat pernyataan bahwa Penyedia ETP akan
mengikuti ketentuan perundang-undangan yang
berlaku termasuk Undang-Undang yang mengatur
mengenai perseroan terbatas, Undang-Undang yang
mengatur mengenai perpajakan, dan Undang-
Undang yang mengatur mengenai ketenagakerjaan.
(4) Contoh surat permohonan pencabutan izin usaha atas
permintaan pemegang saham sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I.
Pasal 61
Bank Indonesia menerbitkan surat pencabutan izin usaha
Penyedia ETP paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja setelah
dokumen pendukung dinyatakan lengkap.
BAB XIII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi
Pasal 62
(1) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), Pelaku Pasar, dan/atau Penyedia ETP melakukan
pelanggaran terhadap
kewajiban dan larangan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, Bank Indonesia
menyampaikan surat teguran tertulis kepada pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pelaku
Pasar, dan/atau Penyedia ETP yang melakukan
pelanggaran.
(2) Dalam hal Penyedia ETP melakukan pelanggaran atas
ketentuan yang sama dari Peraturan Bank Indonesia
tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
kalender, Bank Indonesia mengenakan sanksi
penghentian sementara selama 6 (enam) bulan kepada
Penyedia ETP.
(3) Dalam hal Penyedia ETP melakukan pelanggaran dengan
sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 5
(lima) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun kalender,
Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian
sementara selama 6 (enam) bulan kepada Penyedia ETP.
(4) Dalam hal Penyedia ETP yang terkena sanksi penghentian
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) tidak melakukan penghentian usaha paling lambat 1
(satu) bulan setelah tanggal surat sanksi penghentian
sementara, Bank Indonesia mencabut izin usaha Penyedia
ETP tersebut.
Bagian Kedua
Sanksi Kewajiban Pemeliharaan Total Ekuitas
Pasal 63
(1) Dalam hal Penyedia ETP melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban pemeliharaan total ekuitas, Bank Indonesia
menyampaikan surat teguran tertulis kepada Penyedia
ETP yang melakukan pelanggaran.
(2) Dalam hal Penyedia ETP dengan total ekuitas di bawah
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tidak
memenuhi kekurangan total ekuitas tersebut dalam waktu
2 (dua) tahun, Bank Indonesia mencabut izin usaha
Penyedia ETP.
Bagian Ketiga
Sanksi Pemegang Saham Pengendali
Pasal 64
(1) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Penyedia ETP
menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Penyelenggara
Transaksi lainnya, Bank Indonesia menyampaikan surat
teguran tertulis kepada Pemegang Saham Pengendali yang
melanggar kewajiban untuk mengalihkan kepemilikan
sahamnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
tanggal surat teguran tertulis.
(2) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Penyedia ETP
tidak mengalihkan sahamnya dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengenakan
sanksi penghentian sementara selama 6 (enam) bulan
kepada Penyedia ETP dan Penyelenggara Transaksi
lainnya tersebut.
(3) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Penyedia ETP
tidak mengalihkan sahamnya dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sejak tanggal surat penghentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia
mencabut izin usaha Penyedia ETP dan Penyelenggara
Transaksi lainnya tersebut.
BAB XIV
KORESPONDENSI
Pasal 65
(1) Alamat surat-menyurat atau korespondensi terkait
perizinan dan pengaturan disampaikan kepada:
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan
Bank Indonesia
Jalan MH. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat
Surat elektronik: perizinan_pk@bi.go.id.
(2) Alamat surat-menyurat atau korespondensi terkait
pelaporan disampaikan kepada:
Departemen Surveilans Sistem Keuangan
Bank Indonesia
Jalan MH. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 66
(1) Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan sebagai
Penyedia ETP dan telah beroperasi sebelum Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini berlaku, tetap dapat
melakukan kegiatan sebagai Penyedia ETP.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap wajib
memenuhi persyaratan perizinan paling lambat tanggal 31
Oktober 2022.
(3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak
dapat memenuhi persyaratan perizinan Bank Indonesia
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilarang melakukan kegiatan sebagai Penyedia ETP.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 67
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 31 Oktober 2019.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
DESTRY DAMAYANTI
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/19/PADG/2019
TENTANG
PENYEDIA ELECTRONIC TRADING PLATFORM
I. UMUM
Kegiatan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di Indonesia telah
menunjukkan perkembangan yang pesat sebagai dampak positif dari
kebijakan Bank Indonesia. Era globalisasi juga menambah tuntutan bagi
Pelaku Pasar untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas di dalam
pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Peran
Penyedia ETP di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing semakin penting untuk
mencapai hal tersebut. Sebagai perantara dari transaksi antar Pelaku
Pasar, Penyedia ETP juga dituntut untuk bekerja secara profesional dan
berhati-hati sehingga dapat mewujudkan pasar keuangan yang
berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpersetujuan prinsipโ adalah
persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon
Penyedia ETP.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis
sebagai Penyedia ETP dalam 2 (dua) tahun pertama setelah
memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia.
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpersetujuan prinsipโ adalah
persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon
Penyedia ETP.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โinfrastruktur yang andal dan amanโ
antara lain Sistem Elektronik dan/atau perangkat komunikasi
dengan jumlah unit atau kapasitas yang cukup dan teknologi
yang tidak obsolet.
Huruf e
Pemenuhan persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek
keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan
Komisaris, dan anggota Direksi dilakukan antara lain melalui
penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia, serta
mempertimbangkan hasil penilaian otoritas lain dan rekam jejak.
Huruf f
Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana pengembangan
sistem dan aspek lainnya yang terkait transaksi di Pasar Uang
dan Pasar Valuta Asing.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Contoh:
Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana di sektor jasa
keuangan pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani
masa hukuman pada bulan Mei 1999. Tuan A baru
dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali Penyedia
ETP pada bulan Juni 2019.
Angka 2
Contoh:
Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan
penipuan pada bulan Mei 2007 dan selesai menjalani
masa hukuman pada bulan Mei 2009. Tuan A baru
dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali Penyedia
ETP pada bulan Juni 2019.
Angka 3
Contoh:
Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian
uang pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa
hukuman pada bulan Mei 1999. Tuan A baru dapat
menjadi Pemegang Saham Pengendali Penyedia ETP
pada bulan Juni 2019.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Contoh:
Tuan A calon anggota Direksi dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan pada
bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa hukuman
pada bulan Mei 1999. Tuan A baru dapat menjadi
anggota Direksi Penyedia ETP pada bulan Juni 2019.
Angka 2
Contoh:
Tuan A calon anggota Dewan Komisaris dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan
penipuan pada bulan Mei 2007 dan selesai menjalani
masa hukuman pada bulan Mei 2009. Tuan A baru
dapat menjadi anggota Dewan Komisaris Penyedia ETP
pada bulan Juni 2019.
Angka 3
Contoh:
Tuan A calon anggota Dewan Komisaris dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian
uang pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa
hukuman pada bulan Mei 1999. Tuan A baru dapat
menjadi anggota Dewan Komisaris Penyedia ETP pada
bulan Juni 2019.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โpersetujuan prinsipโ adalah
persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon
Penyedia ETP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis
sebagai Penyedia ETP dalam 2 (dua) tahun pertama setelah
memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โjenis sarana pelaksanaan transaksiโ
adalah sarana berupa ETP dan/atau Messaging Services.
Yang dimaksud dengan โspesifikasi sarana pelaksanaan
transaksiโ adalah deskripsi teknis atas perangkat yang
digunakan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis sebagai
Penyedia ETP dalam 2 (dua) tahun pertama setelah memperoleh
izin usaha dari Bank Indonesia.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Instrumen moneter antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
termasuk SBI dengan prinsip syariah, Sertifikat Deposito Bank
Indonesia (SDBI), dan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI)
dalam valuta asing.
Huruf b
Transaksi di Pasar Uang antara lain transaksi di Pasar Uang Antar
Bank (PUAB), Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip
Syariah (PUAS), dan jenis transaksi lainnya yang telah
distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum volume
dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen.
Huruf c
Transaksi di Pasar Valuta Asing termasuk juga jenis transaksi
yang telah distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum
volume dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen.
Transaksi spot mencakup transaksi today dan tomorrow.
Huruf d
Instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang antara lain
transaksi jual beli sertifikat deposito (negotiable certificate of
deposit) dan surat berharga komersial (commercial paper)
berbentuk scripless.
Transaksi di Pasar Valuta Asing antara lain derivatif valuta asing
terhadap rupiah yang merupakan transaksi yang didasari oleh
suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya
merupakan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah
serta suku bunga valuta asing dan rupiah atau gabungan
antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah.
Huruf e
Instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya antara lain
currency futures dan/atau interest rate futures serta transaksi
Surat Berharga Negara dengan mengacu pada ketentuan otoritas
terkait.
Pasal 22
Huruf a
Contoh melakukan perubahan atas layanan berupa jenis sarana
pelaksanaan transaksi yaitu:
Penyedia ETP yang menggunakan sarana pelaksanaan transaksi
berupa ETP ingin menambah sarana pelaksanaan transaksi
berupa messaging services.
Huruf b
Contoh melakukan perubahan atas jenis instrumen dan/atau
transaksi yaitu:
Penyedia ETP yang menyelenggarakan transaksi spot ingin
menambah layanannya untuk transaksi swap.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โperubahan Sistem Elektronik secara
signifikanโ adalah perubahan Sistem Elektronik yang bersifat
mendasar, struktural, dan berbiaya tinggi sehingga berpotensi
mengganggu kelancara transaksi Pengguna Jasa, misalnya
Penyedia ETP melakukan perubahan atas operating system.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Aksi korporasi berupa Pemisahan dapat dilakukan dengan cara
Pemisahan murni atau Pemisahan tidak murni.
Yang dimaksud dengan โPemisahan murniโ adalah Pemisahan
yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan
beralih karena hukum ke 2 (dua) atau lebih perseroan lain yang
menerima peralihan dan perseroan yang melakukan
Pemisahan tersebut berakhir karena hukum.
Yang dimaksud dengan โPemisahan tidak murniโ adalah
Pemisahan yang mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva
perseroan beralih karena hukum ke 1 (satu) atau lebih
perseroan lain yang menerima peralihan, dan perseroan yang
melakukan Pemisahan tersebut tetap ada.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โmanipulasi pasarโ antara lain:
1.
layering and spoofing, yaitu memasukkan penawaran
secara berulang pada satu sisi (bid atau offer) untuk
selanjutnya melakukan eksekusi transaksi atas sisi yang
berlawanan;
2. manipulation of benchmarks, yaitu mengirimkan informasi
palsu atau menyesatkan, melakukan input yang salah
atau menyesatkan, atau aktivitas setara lainnya dengan
sengaja untuk memanipulasi perhitungan benchmark
harga, suku bunga, atau nilai tukar;
3. momentum ignition, yaitu memasukkan order atau order
berseri yang bertujuan memulai atau memperburuk tren
dan mendorong Pelaku Pasar mengakselerasi atau
memperpanjang tren sehingga menciptakan kesempatan
atau peluang bagi Pelaku Pasar tersebut untuk melakukan
unwind atau membuka posisi pada tingkat harga yang
diinginkan;
4. price flashing, yang merupakan salah satu bentuk strategi
manipulasi yang serupa dengan spoofing, antara lain
melakukan distribusi harga atau order ke dalam suatu
ETP dalam jangka waktu singkat pada frekuensi tertentu
dimana risiko eksekusi minimal atau tidak ada dan
memberikan kesan yang keliru terkait harga dan likuiditas
di pasar; atau
5. quote stuffing, yaitu Pelaku Pasar memasukkan sejumlah
besar pesanan dan/atau pembatalan atau pembaruan
pesanan sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi
Pelaku Pasar lainnya, memperlambat proses transaksi,
dan untuk menyamarkan strategi mereka sendiri.
Huruf b
Kejadian yang berpotensi memengaruhi kelancaran
operasional antara lain:
1. Penyedia ETP melakukan pemeliharaan sistem
dan/atau jaringan Sistem Elektronik; dan/atau
2. Penyedia ETP mengalami gangguan koneksi dan/atau
serangan virus,
sehingga mengganggu layanan kepada Pengguna Jasa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Contoh menyampaikan informasi dalam hal dikenakan
sanksi yaitu:
Penyedia ETP yang merupakan perusahaaan global dan
beroperasi di berbagai negara pada suatu waktu diberi
sanksi oleh otoritas negara lain maka Penyedia ETP wajib
melaporkan hal tersebut kepada Bank Indonesia.
Huruf f
Perjanjian pertukaran informasi dengan pihak lain atau
kewajiban penyampaian informasi kepada otoritas lain
meliputi data transaksi domestik.
Contoh penyampaian informasi kepada otoritas lain yaitu:
Penyedia ETP yang merupakan perusahaan global dan
beroperasi di berbagai negara melaporkan seluruh transaksi
yang terjadi dalam ETP termasuk transaksi di pasar
domestik kepada otoritas negara lain maka Penyedia ETP
wajib melaporkan hal tersebut kepada Bank Indonesia.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Contoh tidak dapat menjalankan fungsi atau berhalangan tetap
antara lain meninggal dunia, mengalami cacat fisik, cacat mental,
dan/atau kondisi lain yang tidak memungkinkan yang
bersangkutan untuk melakukan tugasnya dengan baik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โtotal ekuitasโ antara lain modal disetor
ditambah dengan saldo laba (rugi) beserta komponen total ekuitas
lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Sistem Bank Indonesia antara lain Sistem Monitoring Transaksi Valuta
Asing terhadap Rupiah (Sismontavar).
Infrastruktur lain yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain central
counterparty (CCP).
Pasal 46
Huruf a
Salah satu pedoman etika bisnis yang dapat diacu yaitu market
code of conduct yang diterbitkan oleh komite pasar antara lain
Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) dan/atau
Bank for International Settlement (BIS).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โperencanaan keberlangsungan
bisnisโ adalah kebijakan dan prosedur yang memuat
rangkaian kegiatan yang terencana dan terkoordinasi
mengenai langkah pengurangan risiko, penanganan dampak
gangguan atau bencana, dan proses pemulihan agar
kegiatan operasional Penyedia ETP dan pelayanan kepada
Pengguna Jasa tetap dapat berjalan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โrencana pemulihan bencanaโ
adalah dokumen yang berisikan rencana dan langkah untuk
menggantikan dan/atau memulihkan kembali akses data,
perangkat keras, dan perangkat lunak yang diperlukan, agar
Penyedia ETP dapat menjalankan kegiatan operasional yang
kritikal setelah adanya gangguan dan/atau bencana.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud โstruktur biayaโ adalah biaya yang dikenakan
tanpa adanya diskriminasi dan diperlakukan sama kepada semua
pengguna jasa.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Contoh:
Laporan transaksi bulan Januari 2020 disampaikan paling
lambat pada tanggal 20 Februari 2020.
Ayat (2)
Contoh:
Laporan keuangan triwulan I tahun 2020 disampaikan paling
lambat pada tanggal 29 April 2020.
Ayat (3)
Contoh:
Laporan keuangan tahun 2019 disampaikan paling lambat pada
tanggal 30 April 2020.
Ayat (4)
Contoh:
Laporan hasil audit sistem diterbitkan oleh auditor pada tanggal
31 Maret 2020. Penyedia ETP menyampaikan laporan hasil audit
sistem paling lambat pada tanggal 29 April 2020.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Pihak lain yang ditugaskan antara lain auditor independen yang
memiliki sertifikasi dan kompetensi di bidang keuangan dan/atau
teknologi informasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pencabutan izin dapat dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain
dalam hal Penyedia ETP memberikan jasa lain selain
menyediakan sarana tertentu yang digunakan dalam melakukan
interaksi dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar
Valuta Asing.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jangka waktu 2 (dua) tahun dihitung sejak tanggal posisi
keuangan menunjukkan ekuitas di bawah Rp10.000.000.000,-
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/19/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PENYEDIA ELECTRONIC TRADING PLATFORM </reg_title>
<set_date> 31 Oktober 2019 </set_date>
<effective_date> 31 Oktober 2019 </effective_date>
<related_reg> '21/5/PBI/2019' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
1
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/ 11 /PADG/2019
TENTANG
BATAS NILAI NOMINAL TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-
REAL TIME GROSS SETTLEMENT DAN SISTEM KLIRING NASIONAL BANK
INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap
penyediaan sarana penyelesaian transaksi yang semakin
besar dengan biaya yang semakin efisien, perlu dilakukan
penyesuaian batas maksimal nilai nominal transaksi yang
dapat diproses melalui penyelenggaraan layanan transfer
dana dan layanan pembayaran reguler pada
penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh
Bank Indonesia;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Batas Nilai Nominal Transaksi
Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015
tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan
2
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/14/PBI/2017
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan
Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen
Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 301, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6169);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 21/8/PBI/2019 tentang Perubahan
Ketiga
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana
dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 103,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6355);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG BATAS
NILAI NOMINAL TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK
INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT DAN SISTEM
KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
3
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
2. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang
setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara
individual.
3. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh
Bank Indonesia dalam penyelenggaraan transfer dana dan
kliring berjadwal untuk memproses data keuangan
elektronik pada layanan transfer dana, layanan kliring
warkat debit, layanan pembayaran reguler, dan layanan
penagihan reguler.
4. Penyelenggara
adalah Bank Indonesia sebagai
penyelenggara Sistem BI-RTGS dan penyelenggara SKNBI.
5. Peserta Sistem BI-RTGS adalah pihak yang telah
memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan
dari Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS.
6. Peserta SKNBI adalah pihak yang telah memenuhi
persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan
SKNBI.
7. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir transaksi
keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening
setelmen dana, rekening surat berharga, dan/atau
rekening lainnya di Bank Indonesia.
8. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat DKE
adalah data keuangan dalam format elektronik yang
digunakan sebagai dasar perhitungan dalam
penyelenggaraan SKNBI.
4
BAB II
BATAS NILAI NOMINAL TRANSAKSI
MELALUI SISTEM BI-RTGS
Pasal 2
(1) Penyelenggara menetapkan batas minimal nilai nominal
transaksi antar-Peserta Sistem BI-RTGS berupa Bank
untuk kepentingan nasabah.
(2) Batas minimal nilai nominal transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk transaksi transfer
dana single credit dan transaksi transfer dana multiple
credit.
(3) Batas minimal nilai nominal transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yaitu di atas Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) per instruksi Setelmen Dana.
BAB III
BATAS NILAI NOMINAL TRANSAKSI MELALUI SKNBI
Pasal 3
(1) Penyelenggara menetapkan batas maksimal nilai nominal
transaksi yang diproses melalui layanan SKNBI.
(2) Batas maksimal nilai nominal transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. untuk layanan transfer dana yaitu paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per DKE
transfer dana;
b. untuk layanan kliring warkat debit yaitu paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
per DKE warkat debit;
c. untuk layanan pembayaran reguler yaitu paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per
rincian DKE pembayaran; dan
d. untuk layanan penagihan reguler yaitu paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per rincian
DKE penagihan.
5
BAB IV
PENGUMUMAN
Pasal 4
(1) Seluruh Peserta Sistem BI-RTGS dan Peserta SKNBI harus
mengumumkan batas nilai nominal transaksi yang
diproses melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI kepada
nasabah.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menempatkan informasi mengenai
batas nilai nominal transaksi pada setiap kantor Peserta
Sistem BI-RTGS dan Peserta SKNBI pada tempat yang
mudah dilihat oleh nasabah.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 5
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
17/35/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Batas Nilai
Nominal Transfer Dana Melalui Sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 September 2019.
6
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
dengan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/ 11 /PADG/2019
TENTANG
BATAS NILAI NOMINAL TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-
REAL TIME GROSS SETTLEMENT DAN SISTEM KLIRING NASIONAL
BANK INDONESIA
I. UMUM
Bank Indonesia selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat terhadap penyelesaian transaksi keuangan yang semakin besar
dengan biaya yang semakin efisien. Untuk itu, Bank Indonesia menetapkan
kebijakan meningkatkan batas atas penyelesaian transaksi layanan transfer
dana dan layanan pembayaran reguler dalam penyeleggaraan transfer dana
dan kliring berjadwal.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
2
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โlayanan transfer danaโ adalah
layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah
dana antar-Peserta SKNBI dari 1 (satu) pengirim kepada 1
(satu) penerima.
Yang dimaksud dengan โDKE transfer danaโ adalah DKE yang
dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan
sebagai dasar perhitungan dalam layanan transfer dana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โlayanan kliring warkat debitโ adalah
layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah
dana yang dilakukan antar-Peserta SKNBI dari 1 (satu)
pengirim tagihan kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai
dengan fisik warkat debit.
Yang dimaksud dengan โDKE warkat debitโ adalah DKE yang
dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan
sebagai dasar perhitungan dalam layanan kliring warkat
debit.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โlayanan pembayaran regulerโ adalah
layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah
dana antar-Peserta SKNBI dari 1 (satu) atau beberapa
pengirim kepada 1 (satu) atau beberapa penerima.
Yang dimaksud dengan โDKE pembayaranโ adalah DKE yang
dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan
sebagai dasar perhitungan dalam layanan pembayaran
reguler.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โlayanan penagihan regulerโ adalah
layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah
dana antar-Peserta SKNBI dari 1 (satu) pengirim tagihan
kepada beberapa penerima tagihan.
3
Yang dimaksud dengan โDKE penagihanโ adalah DKE yang
dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan
sebagai dasar perhitungan dalam layanan penagihan reguler.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/11/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> BATAS NILAI NOMINAL TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT DAN SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 31 Mei 2019 </set_date>
<effective_date> 1 September 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '17/35/DPSP|SE-BI/2015' </replaced_reg>
<related_reg> '17/18/PBI/2015', '17/9/PBI/2015', '19/14/PBI/2017', '21/8/PBI/2019' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/20/PADG/2017
TENTANG
REKENING GIRO DI BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung pelaksanaan kebijakan Bank
Indonesia dalam bidang moneter, makroprudensial, dan
sistem pembayaran serta pelaksanaan fungsi sebagai
pemegang kas Pemerintah,
Bank Indonesia
melaksanakan penatausahaan rekening giro;
b. bahwa untuk pelaksanaan penatausahaan rekening giro
yang efektif dan dapat dipertanggungjawabkan dengan
tetap mengutamakan penerapan prinsip tata kelola yang
baik, perlu diperjelas pengaturan mengenai pihak yang
dapat membuka rekening giro dan persyaratan yang
harus dipenuhi oleh pemilik rekening giro; dan
c. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Rekening
Giro di Bank Indonesia;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/24/PBI/2015 tentang
Rekening Giro di Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 416, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 5832).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
REKENING GIRO DI BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank di luar negeri dan
bank umum syariah termasuk unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah.
2. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern di Bank
Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan
transaksi dari simpanan yang penyetoran dan
penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan
dan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata
uang rupiah.
4. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya
disebut Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam
valuta asing.
5. Rekening Giro Khusus adalah Rekening Giro yang
persyaratan dan tata cara pembukaan, penyetoran,
penarikan, penutupan, dan/atau peruntukannya
ditetapkan secara khusus oleh Bank Indonesia.
3
6. Pemilik Rekening Giro adalah pihak yang mempunyai
Rekening Giro.
7. Pimpinan adalah direksi atau pejabat yang berwenang
mewakili Pemilik Rekening Giro sesuai dengan ketentuan
yang berlaku bagi Pemilik Rekening Giro.
8. Pejabat Penerima Kuasa adalah pejabat yang menerima
kuasa dari Pimpinan.
9. Pejabat yang Mewakili adalah pejabat yang berwenang
mewakili Pemilik Rekening Giro untuk melakukan
penarikan dana, penandatangan surat, dan/atau
kegiatan yang terkait dengan Rekening Giro, yang dapat
terdiri atas Pimpinan dan/atau Pejabat Penerima Kuasa.
10. Cek Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Cek BI
adalah cek yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
11. Bilyet Giro Bank Indonesia yang selanjutnya disebut BG
BI adalah bilyet giro yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia.
12. Penyetoran ke Rekening Giro adalah kegiatan
penambahan dana atau pengkreditan pada Rekening
Giro.
13. Penarikan dari Rekening Giro adalah kegiatan
pengurangan dana atau pendebitan pada Rekening Giro.
14. Penatausahaan Rekening Giro adalah kegiatan yang
mencakup pencatatan kepemilikan, penyelesaian
transaksi melalui pendebitan dan pengkreditan, dan
pelaporan hasil penyelesaian transaksi Rekening Giro.
15. Rekening Koran adalah laporan yang memuat posisi dan
mutasi atas transaksi yang terjadi pada Rekening Giro.
4
BAB II
KEPEMILIKAN REKENING GIRO
Bagian Kesatu
Rekening Giro
Pasal 2
(1) Pihak yang dapat memiliki Rekening Giro terdiri atas:
a. pihak yang menurut
ketentuan
peraturan
perundang-undangan diwajibkan untuk memiliki
rekening di Bank Indonesia yaitu:
1. Bank;
2. Kementerian Keuangan; dan
3.
lembaga atau pihak lain;
b. pihak yang menurut Bank Indonesia perlu memiliki
Rekening Giro yaitu:
1. instansi pemerintah di luar Kementerian
Keuangan;
2. lembaga keuangan internasional;
3. bank sentral negara lain; dan
4. pihak lain.
(2) Penetapan pihak yang menurut Bank Indonesia perlu
memiliki Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b didasarkan pada pertimbangan sebagai
berikut:
a. memiliki keterkaitan dengan tugas Bank Indonesia
dalam bidang moneter, makroprudensial, dan sistem
pembayaran;
b. memiliki hubungan kerja sama internasional
dengan Bank Indonesia secara bilateral atau
multilateral; dan/atau
c. memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas dan
fungsi Bank Indonesia.
5
Pasal 3
Rekening Giro terdiri atas:
a. Rekening Giro Rupiah;
b. Rekening Giro Valas; dan
c. Rekening Giro Khusus.
Pasal 4
(1) Setiap Bank wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro
Rupiah.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bagi Bank yang melakukan kegiatan dalam valuta asing
juga wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Valas.
(3) Bank dapat memiliki Rekening Giro dan/atau Rekening
Giro Khusus selain Rekening Giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sepanjang
diamanatkan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan yang pelaksanaannya mengacu pada
ketentuan dalam Peraturan Anggota Gubernur ini.
(4) Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, selain memiliki kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang digunakan untuk
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, juga
wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah yang
digunakan untuk melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
(5) Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah yang melakukan kegiatan dalam valuta asing,
selain memiliki kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional, juga wajib memiliki 1 (satu)
Rekening Giro
Valas yang digunakan untuk
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
6
Pasal 5
Setiap Rekening Giro hanya dapat dimiliki oleh 1 (satu) pihak.
Bagian Kedua
Rekening Giro Khusus
Pasal 6
(1) Rekening Giro Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c terdiri atas:
a. escrow account;
b. rekening khusus; dan
c. Rekening Giro Khusus lainnya.
(2) Bank dan Kementerian Keuangan dapat memiliki
Rekening Giro Khusus berupa escrow account dan
Rekening Giro Khusus lainnya.
(3) Rekening khusus hanya dapat dimiliki oleh Kementerian
Keuangan.
BAB III
PEMBUKAAN REKENING GIRO
Bagian Kesatu
Pembukaan Rekening Giro
Pasal 7
(1) Bank Indonesia membuka Rekening Giro berdasarkan
permohonan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2.
(2) Permohonan pembukaan Rekening Giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. bagi:
1. pihak yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan diwajibkan untuk
memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan
2. pihak yang menurut Bank Indonesia perlu
memiliki Rekening Giro berupa instansi
7
pemerintah di luar Kementerian Keuangan dan
pihak lain,
permohonan diajukan oleh Pejabat yang Mewakili.
b. bagi pihak yang menurut Bank Indonesia perlu
memiliki Rekening Giro berupa lembaga keuangan
internasional dan bank sentral negara lain,
permohonan diajukan oleh Pimpinan lembaga
keuangan internasional atau bank sentral negara
lain yang bersangkutan.
(3) Permohonan pembukaan Rekening Giro oleh Bank
dilakukan oleh kantor pusat Bank yang bersangkutan.
(4) Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri,
permohonan pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh
kantor cabang Bank tersebut di Indonesia.
(5) Permohonan pembukaan Rekening Giro oleh lembaga
keuangan internasional dan bank sentral negara lain,
selain dapat dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, juga dapat dilakukan
oleh satuan kerja di Bank Indonesia yang memiliki
kewenangan bertindak untuk dan atas nama lembaga
keuangan internasional atau bank sentral negara lain
tersebut.
Pasal 8
(1) Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk Bank
diajukan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi
surveilans dan stabilitas sistem keuangan di Bank
Indonesia.
(2) Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk pihak
selain Bank diajukan kepada:
a. satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional
tresuri dan pinjaman di Kantor Pusat Bank
Indonesia (KPBI); atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) untuk
pembukaan Rekening Giro di KPwBI.
8
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) disampaikan secara tertulis dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 9
Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) harus disertai
dengan dokumen berupa:
a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah
disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau
dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang
bersangkutan;
b. fotokopi surat persetujuan izin usaha dari otoritas yang
berwenang, yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang
berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh
Pimpinan yang bersangkutan;
c.
fotokopi surat keputusan dari otoritas yang berwenang
mengenai pembukaan kantor cabang Bank asing, bagi
kantor cabang Bank asing;
d. fotokopi surat persetujuan pembukaan unit usaha
syariah, bagi Bank konvensional yang akan membuka
Rekening Giro untuk unit usaha syariah;
e.
fotokopi anggaran dasar Bank yang dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan
aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan;
f.
surat kuasa untuk membuka Rekening Giro dari kantor
pusat Bank asing kepada Pimpinan kantor cabang Bank
asing, yang dibuat dalam Bahasa Indonesia oleh
penerjemah tersumpah, bagi kantor cabang Bank asing;
g. struktur organisasi Bank;
h. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa:
1. kartu tanda penduduk (KTP), surat izin mengemudi
(SIM), atau paspor bagi warga negara Indonesia
(WNI); dan/atau
9
2. paspor, keterangan izin tinggal sementara (KITAS),
dan surat izin kerja dari instansi yang berwenang,
bagi warga negara asing (WNA);
i.
j.
fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama
Bank; dan
fotokopi surat peningkatan status Bank menjadi Bank
Devisa yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang,
bagi Bank yang akan membuka Rekening Giro Valas.
Pasal 10
Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk Kementerian
Keuangan, instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan
yang berkantor pusat di Jakarta, dan lembaga negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai
dengan dokumen berupa:
a. fotokopi surat keputusan Presiden, surat keputusan
menteri, atau surat keputusan pejabat yang berwenang
mengenai pengangkatan Pimpinan, yang dinyatakan
sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan;
b. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa KTP, SIM, atau
paspor;
c. surat pemberitahuan kewenangan Pimpinan dengan
mengacu pada format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
d. surat kuasa dalam hal permohonan pembukaan
Rekening Giro tidak dilakukan oleh Pimpinan;
e. surat persetujuan pembukaan Rekening Giro dari kuasa
Bendahara Umum Negara (BUN), dalam hal Rekening
Giro dibuka oleh pihak selain kuasa BUN sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai pengelolaan rekening
milik kementerian, negara, lembaga, kantor, atau satuan
kerja;
f.
informasi mengenai nama Pemilik Rekening Giro dan
informasi lain dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
10
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
g. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia
dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
h. surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
dan
i.
surat kuasa substitusi dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang
merupakan satu kesatuan dengan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini, dalam hal pembukaan Rekening
Giro dilakukan oleh pihak yang menerima kuasa dari
Pejabat Penerima Kuasa.
Pasal 11
Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk instansi
pemerintah di luar Kementerian Keuangan berupa lembaga
pemerintah nonkementerian (LPNK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai dengan dokumen berupa:
a. ketentuan peraturan perundang-undangan terkait
pendirian LPNK;
b. fotokopi surat keputusan atau surat pengangkatan
mengenai penunjukan Pimpinan, yang telah dilegalisasi
oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai
dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan;
c. struktur organisasi LPNK;
d. fotokopi NPWP atas nama LPNK, apabila ada;
e.
f.
fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa KTP, SIM, atau
paspor;
surat kuasa dalam hal pembukaan Rekening Giro tidak
dilakukan oleh Pimpinan;
11
g. surat persetujuan pembukaan Rekening Giro dari kuasa
BUN, dalam hal Rekening Giro dibuka oleh pihak selain
kuasa BUN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan
yang mengatur
mengenai pengelolaan rekening milik kementerian,
negara, lembaga, kantor, atau satuan kerja;
h. informasi mengenai nama Pemilik Rekening Giro dan
informasi lain dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III;
i.
surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia
dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV;
j.
surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran V; dan
k. surat kuasa substitusi dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI, dalam hal
pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh pihak yang
menerima kuasa dari Pejabat Penerima Kuasa.
Pasal 12
Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk instansi
pemerintah di luar Kementerian Keuangan berupa badan
usaha milik negara (BUMN) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) harus disertai dengan dokumen berupa:
a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah
disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau
dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang
bersangkutan;
b. fotokopi anggaran dasar, yang dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya
oleh Pimpinan yang bersangkutan;
c. fotokopi bukti identitas Pimpinan, berupa:
1. KTP, SIM, atau paspor, bagi WNI; dan/atau
2. paspor, KITAS, dan surat izin kerja dari instansi
yang berwenang, bagi WNA;
12
d. fotokopi NPWP atas nama BUMN;
e. surat kuasa, dalam hal pembukaan Rekening Giro tidak
dilakukan oleh Pimpinan;
f.
surat persetujuan pembukaan Rekening Giro dari kuasa
BUN, dalam hal Rekening Giro dibuka oleh pihak selain
kuasa BUN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan
yang mengatur
mengenai pengelolaan rekening milik kementerian,
negara, lembaga, kantor, satuan kerja;
g. informasi mengenai nama Pemilik Rekening Giro dan
informasi lain dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III;
h. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia
dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV;
i.
surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran V; dan
j.
surat kuasa substitusi dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI, dalam hal
pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh pihak yang
menerima kuasa dari Pejabat Penerima Kuasa.
Pasal 13
Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk instansi
pemerintah di luar Kementerian Keuangan yang berkantor
pusat selain di Jakarta yaitu Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai dengan dokumen berupa:
a. fotokopi surat keputusan atau surat pengangkatan
mengenai penunjukan Pimpinan, yang dinyatakan sesuai
dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan;
b. fotokopi bukti identitas berupa KTP, SIM, atau paspor;
c. surat pemberitahuan kewenangan Pimpinan dengan
mengacu pada format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II;
13
d. surat kuasa, dalam hal pembukaan Rekening Giro tidak
dilakukan oleh Pimpinan;
e. surat persetujuan pembukaan Rekening Giro dari kuasa
Bendahara Umum Daerah (BUD), dalam hal Rekening
Giro dibuka oleh pihak selain kuasa BUD;
f.
informasi mengenai nama Pemilik Rekening Giro dan
informasi lain dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III;
g. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia
dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV;
h. surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran V; dan
i.
surat kuasa substitusi dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI, dalam hal
pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh pihak yang
menerima kuasa dari Pejabat Penerima Kuasa.
Pasal 14
Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk instansi
pemerintah di luar Kementerian Keuangan berupa badan
usaha milik daerah (BUMD) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) harus disertai dengan dokumen berupa:
a. fotokopi surat keputusan atau surat pengangkatan
mengenai penunjukan Pimpinan, yang dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan
aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan;
b. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa:
1. KTP, SIM, atau paspor, bagi WNI; dan/atau
2. paspor, KITAS, dan surat izin kerja dari instansi
berwenang, bagi WNA;
c.
fotokopi NPWP atas nama BUMD;
d. surat kuasa, dalam hal pembukaan Rekening Giro tidak
dilakukan oleh Pimpinan;
14
e. surat persetujuan pembukaan Rekening Giro dari kuasa
BUD, dalam hal Rekening Giro dibuka oleh pihak selain
kuasa BUD;
f.
informasi mengenai nama Pemilik Rekening Giro dan
informasi lain dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III;
g. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia
dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV;
h. surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran V; dan
i.
surat kuasa substitusi dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI, dalam hal
pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh pihak yang
menerima kuasa dari Pejabat Penerima Kuasa.
Pasal 15
Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk lembaga
keuangan internasional atau bank sentral negara lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai
dengan dokumen:
a.
fotokopi surat pengangkatan atau penunjukan sebagai
Pimpinan, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang
atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan
yang bersangkutan;
b. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa:
1. KTP, SIM, atau paspor, bagi WNI; dan/atau
2. paspor, KITAS, dan/atau surat izin kerja dari
instansi yang berwenang, bagi WNA;
c. surat kuasa, dalam hal pembukaan Rekening Giro tidak
dilakukan oleh Pimpinan, yang dibuat dalam Bahasa
Indonesia oleh penerjemah tersumpah;
d. fotokopi perjanjian atau memorandum of understanding
(MoU) antara Bank Indonesia dengan lembaga keuangan
internasional atau bank sentral negara lain, dalam hal
terdapat perjanjian atau MoU antara Bank Indonesia
15
dengan lembaga keuangan internasional atau bank
sentral negara lain; dan
e. surat kuasa atau surat permintaan resmi dari lembaga
keuangan internasional atau bank sentral negara lain
kepada Bank Indonesia untuk dan atas nama lembaga
keuangan internasional atau bank sentral negara lain
untuk melakukan pembukaan Rekening Giro atau
dokumen lain, yang dapat dibuat dalam bahasa
Indonesia oleh penerjemah tersumpah, dalam hal
pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh satuan kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5).
Pasal 16
Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk lembaga atau
pihak lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan diwajibkan untuk memiliki rekening di Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
harus disertai dengan dokumen:
a. fotokopi surat keputusan Presiden atau surat keputusan
pejabat yang berwenang mengenai pengangkatan
Pimpinan, yang dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh
Pimpinan yang bersangkutan;
b. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa KTP, SIM, atau
paspor;
c. surat kuasa, dalam hal pembukaan Rekening Giro tidak
dilakukan oleh Pimpinan;
d. informasi mengenai nama Pemilik Rekening Giro dan
informasi lain dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III;
e. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; dan
f.
surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran V.
16
Pasal 17
Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk pihak lain yang
menurut Bank Indonesia perlu memiliki Rekening Giro
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai
dokumen:
a. rekomendasi dari satuan kerja terkait di Bank Indonesia
bahwa pihak lain tersebut perlu membuka Rekening
Giro;
b.
fotokopi anggaran dasar pendirian institusi pihak lain
tersebut, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang
atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan
yang bersangkutan;
c. surat keputusan atau surat pengangkatan mengenai
penunjukan Pimpinan, yang dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya
oleh Pimpinan yang bersangkutan;
d. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa KTP, SIM, atau
paspor; dan
e.
fotokopi NPWP atas nama pihak lain tersebut.
Pasal 18
(1) Dalam hal Kementerian Keuangan dan instansi
pemerintah di luar Kementerian Keuangan yang
berkantor pusat di Jakarta telah memiliki Rekening Giro
dan akan melakukan pembukaan Rekening Giro lain
maka dokumen persyaratan pembukaan Rekening Giro
dapat menggunakan dokumen yang
masih
ditatausahakan di Bank Indonesia sepanjang dokumen
tersebut masih berlaku.
(2) Pengajuan pembukaan Rekening Giro dapat disertai
dengan permintaan penambahan persyaratan penarikan
Rekening Giro berupa penandatanganan oleh lebih dari 1
(satu) Pejabat yang Mewakili.
17
Pasal 19
(1) Dalam hal diperlukan Bank Indonesia dapat meminta
dokumen tambahan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 sampai dengan Pasal 17.
(2) Permintaan dokumen tambahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan pertimbangan penerapan
prinsip kehati-hatian bagi Bank Indonesia.
(3) Permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dipenuhi oleh pihak yang mengajukan
permohonan pembukaan Rekening Giro.
Pasal 20
Bank Indonesia dapat menyetujui atau menolak permohonan
pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8.
Pasal 21
(1) Persetujuan pembukaan Rekening Giro bagi Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a
angka 1, lembaga atau pihak lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 3, dan pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
angka 4, diberikan dengan tahapan sebagai berikut:
a. persetujuan prinsip; dan
b. persetujuan akhir.
(2) Bank Indonesia memberikan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila pihak yang
mengajukan permohonan telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 16, dan Pasal 17.
(3) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan secara tertulis paling lama 15 (lima belas)
hari kerja terhitung sejak Bank Indonesia menerima
dokumen permohonan pembukaan Rekening Giro secara
lengkap.
18
(4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling sedikit memuat:
a. nomor dan nama Rekening Giro yang akan dibuka;
dan
b. kelengkapan dokumen yang masih harus dipenuhi
untuk memperoleh persetujuan akhir.
(5) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf b meliputi:
a. data Rekening Giro yang paling sedikit memuat
nama dan alamat Pemilik Rekening Giro, nama
Rekening Giro, nomor Rekening Giro dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III;
b. surat kuasa dalam hal Pejabat yang Mewakili
merupakan Pejabat Penerima Kuasa dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VI;
c. surat permohonan pembuatan spesimen tanda
tangan di Bank Indonesia yang ditandatangani oleh
Pimpinan dengan menggunakan
contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; dan
d. surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro
dengan menggunakan contoh format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran V.
(6) Bank Indonesia memberikan persetujuan akhir secara
tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
Bank Indonesia menerima dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) secara lengkap.
(7) Persetujuan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
juga memuat informasi mengenai tanggal efektif
pembukaan Rekening Giro.
(8) Dalam hal kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) tidak dipenuhi dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal
persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
maka permohonan pembukaan Rekening Giro yang
diajukan dinyatakan telah dibatalkan.
19
Pasal 22
(1) Persetujuan pembukaan Rekening Giro terhadap
Kementerian Keuangan dan instansi pemerintah di luar
Kementerian Keuangan diberikan apabila
telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13, dan Pasal 14.
(2) Bank Indonesia memberikan persetujuan pembukaan
Rekening Giro secara tertulis paling lama 5 (lima) hari
kerja terhitung sejak Bank Indonesia menerima dokumen
permohonan pembukaan Rekening Giro secara lengkap.
persetujuan pembukaan Rekening Giro
(3) Surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga memuat
informasi mengenai tanggal efektif pembukaan Rekening
Giro.
Pasal 23
(1) Persetujuan pembukaan Rekening Giro terhadap lembaga
keuangan internasional dan bank sentral negara lain
diberikan apabila telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 15.
(2) Dalam hal permohonan pembukaan Rekening Giro
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
Pimpinan lembaga keuangan internasional dan bank
sentral negara lain maka persetujuan oleh Bank
Indonesia mengacu pada tahapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
(3) Penyampaian persetujuan prinsip pembukaan Rekening
Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
khusus untuk lembaga keuangan internasional dan bank
sentral negara lain dilakukan paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak Bank Indonesia menerima
dokumen permohonan pembukaan Rekening Giro secara
lengkap.
(4) Waktu penyampaian persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang dengan
pertimbangan untuk menjaga kepentingan nasional.
20
Pasal 24
Bank Indonesia menolak permohonan pembukaan Rekening
Giro apabila:
a. pihak yang mengajukan permohonan pembukaan
Rekening Giro tidak memenuhi kelengkapan dokumen
yang dipersyaratkan; dan/atau
b. Rekening Giro yang akan dibuka ditujukan untuk
transaksi yang pada dasarnya dapat dilakukan dengan
menggunakan Rekening Giro yang telah ada.
Pasal 25
(1) Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan
pembukaan Rekening Giro sebelum persyaratan
dokumen dilengkapi apabila terdapat keadaan darurat.
(2) Rekening Giro yang dibuka sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat digunakan untuk transaksi kredit
dan transaksi debit yang dilakukan oleh Bank Indonesia
untuk pembebanan kewajiban dan/atau koreksi
transaksi.
(3) Dalam hal persyaratan dokumen telah dilengkapi maka
Pemilik Rekening Giro dapat menggunakan fasilitas yang
disediakan oleh Bank Indonesia berupa:
a. layanan penyetoran, penarikan, dan administrasi
terkait penatausahaan Rekening Giro;
b. sarana warkat pembukuan untuk penyetoran dan
penarikan Rekening Giro;
c. sarana elektronik bagi Pemilik Rekening Giro
tertentu; dan
d. layanan data dan/atau informasi hasil penyelesaian
transaksi Rekening Giro.
21
Bagian Kedua
Pembukaan Rekening Giro Khusus
Pasal 26
(1) Pembukaan Rekening Giro Khusus dilakukan dengan
mengacu pada ketentuan pembukaan Rekening Giro
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat informasi mengenai tujuan pembukaan
Rekening Giro Khusus.
(3) Bank Indonesia memberikan persetujuan secara tertulis
berdasarkan pertimbangan atas tujuan pembukaan
Rekening Giro Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(4) Pengajuan pembukaan Rekening Giro Khusus dapat
disertai dengan permintaan penambahan persyaratan
penarikan Rekening Giro Khusus berupa persetujuan
dari instansi tertentu.
(5) Bentuk persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
berupa penandatanganan oleh pejabat yang berwenang
dari instansi tertentu tersebut pada sarana penarikan
Rekening Giro Khusus.
BAB IV
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
PEMILIK REKENING GIRO
Pasal 27
Pemilik Rekening Giro wajib untuk:
a. menjaga kelancaran dan keamanan penggunaan sarana
elektronik yang disediakan oleh Bank Indonesia; dan
b. memberikan keterangan dan data kepada Bank Indonesia
apabila diperlukan.
22
Pasal 28
(1) Pemilik Rekening Giro bertanggung jawab atas:
a. penatausahaan seluruh sarana penyetoran dan
sarana penarikan yang diterima dari Bank
Indonesia;
b. kerugian yang terjadi akibat penyalahgunaan sarana
penyetoran dan sarana penarikan yang diterima dari
Bank Indonesia; dan
c. kebenaran setiap instruksi pendebitan rekening dan
seluruh informasi yang disampaikan kepada Bank
Indonesia.
(2) Pemilik Rekening Giro harus melakukan pengkinian
terhadap dokumen yang disampaikan kepada Bank
Indonesia terkait Rekening Giro.
BAB V
SARANA PENYETORAN DAN SARANA PENARIKAN
Pasal 29
(1) Penyetoran ke Rekening Giro dilakukan dengan
menggunakan:
a. warkat penyetoran tunai;
b. BG BI;
c. sarana penyetoran elektronik yang disediakan oleh
Bank Indonesia; dan
d. sarana penyetoran lain.
(2) Warkat penyetoran tunai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a yang disediakan oleh Bank Indonesia
meliputi:
a.
formulir surat setoran yang mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia, untuk Pemilik Rekening
Giro bukan peserta sistem Bank Indonesia Real Time
Gross Settlement (sistem BI-RTGS); dan
b. formulir transaksi penyetoran tunai sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
23
seketika untuk Pemilik Rekening Giro peserta sistem
BI-RTGS.
(3) Penyetoran ke Rekening Giro dengan menggunakan
warkat penyetoran tunai sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) hanya dilakukan untuk Rekening Giro Rupiah.
(4) Penyetoran ke Rekening Giro dengan menggunakan
warkat penyetoran tunai sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak dapat dilakukan untuk Rekening Giro
Valas.
(5) Sarana penyetoran elektronik yang disediakan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi:
a. sistem BI-RTGS;
b. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI); dan
c. Sistem Bank Indonesia Government โ electronic
Banking (sistem BIG-eB).
(6) Sarana penyetoran lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d yaitu authenticated message Society for
Worldwide Interbank Financial Telecommunication
(SWIFT).
Pasal 30
(1) Penarikan dari Rekening Giro dilakukan dengan
menggunakan:
a. Cek BI;
b. BG BI;
c. sarana penarikan elektronik yang disediakan oleh
Bank Indonesia; dan
d. sarana penarikan lain.
(2) Sarana penarikan elektronik yang disediakan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi:
a. sistem BI-RTGS; dan
b. sistem BIG-eB.
(3) Sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d meliputi:
24
a. sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia;
b. sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik
Rekening Giro dan disetujui Bank Indonesia; dan
c. sarana penarikan lain yang berlaku umum.
(4) Sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
meliputi:
a. warkat pembebanan rekening (WPR) untuk Pemilik
Rekening Giro; dan
b. sarana penarikan untuk transaksi penarikan
internal Bank Indonesia.
(5) Sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia berupa WPR digunakan untuk mendebit 1
(satu) Rekening Giro dan mengkredit 1 (satu) atau
beberapa rekening penerima dana yang disebutkan dalam
lampiran WPR.
(6) Lampiran WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
memuat:
a. nomor dan nama Rekening Giro penerima dana atau
nomor dan nama rekening penerima dana pada
Bank;
b. nominal penarikan dalam angka untuk setiap
penerima dana;
c. jumlah sub total maupun total nominal penarikan;
dan
d. tempat, tanggal, dan tanda tangan Pemilik Rekening
Giro pada setiap halaman lampiran WPR.
Pasal 31
Sarana penarikan Rekening Giro yang berbasis kertas berupa
BG BI, Cek BI, WPR untuk Pemilik Rekening Giro, dan sarana
penarikan yang diterbitkan oleh pemilik Rekening Giro dan
disetujui oleh Bank Indonesia, harus memenuhi persyaratan
yang memuat paling sedikit:
a. perintah pemindahan dana;
b. nomor dan nama Rekening Giro yang didebit;
25
c. nomor dan nama Rekening Giro atau nomor dan nama
rekening penerima dana di Bank yang dikredit;
d. nilai nominal dalam angka dan huruf; dan
e. tempat dan tanggal penarikan.
BAB VI
PENGGUNAAN SARANA PENYETORAN
DAN SARANA PENARIKAN
Bagian Kesatu
Penggunaan BG BI dan Cek BI
Pasal 32
(1) BG BI dan Cek BI diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam
bentuk buku BG BI dan buku Cek BI.
(2) Tata cara memperoleh buku BG BI dan buku Cek BI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai
berikut:
a. bagi pihak yang baru pertama kali melakukan
pembukaan Rekening Giro Rupiah, permintaan
buku BG BI dan/atau buku Cek BI diajukan secara
tertulis sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran V;
b. bagi Pemilik Rekening Giro yang telah memperoleh
buku BG BI dan/atau buku Cek BI, permintaan
dilakukan dengan cara mengisi formulir yang
terdapat dalam buku BG BI dan buku Cek BI;
c. permintaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan huruf b ditandatangani oleh Pejabat yang
Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia;
d. dalam hal formulir sebagaimana dimaksud dalam
huruf b hilang atau rusak maka permintaan buku
BG BI dan/atau buku Cek BI diajukan secara
tertulis kepada Bank Indonesia sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
disertai alasannya; dan
26
e. pengambilan buku BG BI dan buku Cek BI
dilakukan oleh Pejabat yang Mewakili atau pihak
yang menerima kuasa dari Pejabat yang Mewakili,
dengan menggunakan contoh
surat kuasa
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 33
(1) BG BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
huruf b dan Pasal 30 ayat (1) huruf b digunakan hanya
untuk pemindahan dana dalam rupiah yang dilakukan:
a. antar-Rekening Giro; dan
b. dari Rekening Giro ke rekening lain yang
ditatausahakan di Bank Indonesia.
(2) Dalam penggunaan BG BI berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. BG BI hanya akan dibayarkan apabila telah diisi
secara lengkap sesuai dengan syarat formal bilyet
giro sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai bilyet giro;
b. penarikan dari Rekening Giro dengan menggunakan
BG BI hanya dapat ditujukan kepada 1 (satu)
Rekening Giro penerima dana atau rekening
penerima dana pada Bank;
c. BG BI diserahkan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi operasional tresuri dan
pinjaman di Bank Indonesia sesuai jadwal layanan
yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia;
d. Bank Indonesia tidak memproses BG BI dalam hal:
1. terdapat perbedaan nominal antara yang
tertulis dalam angka dengan yang tertulis
dalam huruf;
2. terdapat pencoretan atau perubahan pada
penulisan nominal dalam angka dan/atau
huruf; dan
27
3. terdapat pencoretan atau perubahan pada
penulisan nomor dan/atau nama rekening;
e.
kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada
huruf d, Bank Indonesia memproses BG BI yang
dikoreksi dengan cara:
1. mencoret
tulisan
yang salah dengan
menggunakan pena atau sejenisnya dan tidak
diperkenankan menggunakan alat atau bahan
pengoreksi tulisan;
2. melakukan penulisan yang benar di tempat
kosong terdekat dari tulisan yang dicoret; dan
3. mencantumkan tanda tangan Pejabat yang
Mewakili di tempat kosong terdekat dari tulisan
yang dicoret;
f.
penulisan pada BG BI harus menggunakan alat atau
bahan yang tidak dapat dihapus;
g. Bank Indonesia menolak BG BI yang ditandatangani
oleh Pejabat yang Mewakili yang spesimen tanda
tangannya di Bank Indonesia sudah tidak berlaku;
h. Pemilik Rekening Giro harus menyerahkan kepada
Bank Indonesia lembar pertama buku BG BI yang
telah ditandatangani oleh Pejabat yang Mewakili
yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia, sebelum BG BI digunakan;
i. dalam hal Pemilik Rekening Giro tidak menyerahkan
lembar pertama buku BG BI sebagaimana dimaksud
pada huruf h maka BG BI tersebut tidak dapat
digunakan untuk melakukan penarikan atas
Rekening Giro Rupiah;
j. Bank Indonesia tidak bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita Pemilik Rekening Giro karena
ketidaklengkapan dalam pengisian BG BI yang
kemudian dilengkapi oleh pihak lain; dan
k. Pemilik Rekening Giro bertanggung jawab atas
penggunaan tiap lembar BG BI oleh pihak yang tidak
berhak serta segala akibat yang ditimbulkan atas
penggunaan tersebut.
28
Pasal 34
(1) Cek BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
huruf a hanya dapat digunakan untuk keperluan
penarikan tunai atas beban Rekening Giro Rupiah.
(2) Penggunaan Cek BI diatur sebagai berikut:
a. Cek BI hanya akan dibayarkan apabila telah diisi
secara lengkap sesuai dengan syarat formal cek
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD);
b. Cek BI diserahkan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi pengelolaan uang di Bank
Indonesia sesuai jadwal layanan kas yang telah
ditetapkan oleh Bank Indonesia;
c. Bank Indonesia tidak memproses Cek BI dalam hal:
1. terdapat perbedaan nominal antara yang
tertulis dalam angka dengan yang tertulis
dalam huruf;
2. terdapat pencoretan atau perubahan pada
penulisan nominal dalam angka dan/atau
huruf; dan
3. terdapat pencoretan atau perubahan pada
penulisan nomor dan/atau nama rekening;
d. kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
huruf c, Bank Indonesia memproses Cek BI yang
dikoreksi dengan cara:
1. mencoret
tulisan
yang salah dengan
menggunakan pena atau sejenisnya dan tidak
diperkenankan menggunakan alat atau bahan
pengoreksi tulisan;
2. melakukan penulisan yang benar di tempat
kosong terdekat dari tulisan yang dicoret; dan
3. mencantumkan tanda tangan Pejabat yang
Mewakili di tempat kosong terdekat dari tulisan
yang dicoret;
e. penulisan pada Cek BI harus menggunakan alat
atau bahan yang tidak dapat dihapus;
29
f. Bank Indonesia menolak Cek BI yang ditandatangani
oleh Pejabat yang Mewakili yang spesimen tanda
tangannya di Bank Indonesia sudah tidak berlaku;
g. Pemilik Rekening Giro harus menyerahkan kepada
Bank Indonesia lembar pertama buku Cek BI yang
telah ditandatangani oleh Pejabat yang Mewakili
yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia, sebelum Cek BI digunakan;
h. dalam hal Pemilik Rekening Giro tidak menyerahkan
lembar pertama buku Cek BI sebagaimana
dimaksud pada huruf g maka Cek BI tersebut tidak
dapat digunakan untuk melakukan penarikan atas
Rekening Giro Rupiah;
i. Bank Indonesia tidak bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita Pemilik Rekening Giro karena
ketidaklengkapan
dalam
pengisian Cek
BI yang kemudian dilengkapi oleh pihak lain; dan
j. Pemilik Rekening Giro bertanggung jawab atas
penggunaan tiap lembar Cek BI oleh pihak yang
tidak berhak serta segala akibat yang ditimbulkan
atas penggunaan tersebut.
Pasal 35
(1) Dalam hal BG BI atau Cek BI tidak digunakan oleh
Pemilik Rekening Giro atau hilang maka Pejabat yang
Mewakili harus segera memberitahukan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan alasan dan informasi mengenai nomor
seri BG BI atau Cek BI.
(3) Dalam hal BG BI atau Cek BI tidak digunakan oleh
Pemilik Rekening Giro, BG BI atau Cek BI tersebut harus
dikembalikan kepada Bank Indonesia bersamaan dengan
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal BG BI atau Cek BI hilang maka
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
30
harus disertai dengan surat keterangan kehilangan dari
kepolisian.
Bagian Kedua
Penggunaan Sarana Penyetoran Elektronik
dan Sarana Penarikan Elektronik
Pasal 36
(1) Sarana penyetoran elektronik yang disediakan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
huruf c dan sarana penarikan elektronik yang disediakan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) huruf c digunakan untuk pemindahan dana
antar-Rekening Giro.
(2) Sarana penarikan elektronik yang disediakan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
huruf c digunakan untuk pemindahan dana dari
Rekening Giro ke rekening lain yang ditatausahakan di
Bank Indonesia.
(3) Pemindahan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan untuk kepentingan Pemilik
Rekening Giro atau penerima dana yang disebutkan
dalam perintah pemindahan dana.
(4) Penggunaan sarana penarikan elektronik yang disediakan
oleh Bank Indonesia hanya dapat dilakukan oleh peserta
sistem BI-RTGS, SKNBI, dan/atau sistem BIG-eB.
(5) Tata cara penggunaan sarana penarikan elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengacu pada tata
cara sebagaimana dimaksud dalam:
a. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika;
b. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal
oleh Bank Indonesia; dan
c. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
Bank Indonesia government โ electronic banking.
31
Bagian Ketiga
Penggunaan Sarana Penyetoran Lain dan
Sarana Penarikan Lain
Pasal 37
Penggunaan sarana penyetoran lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) huruf d mengacu pada penggunaan
sarana penarikan lain yang berlaku umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf c.
Pasal 38
(1) Permintaan penggunaan sarana penarikan lain
sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1) huruf d
harus diajukan oleh Pejabat yang Mewakili yang memiliki
spesimen tanda tangan di Bank Indonesia.
(2) Permintaan penggunaan sarana penarikan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk
penggunaan sarana penarikan lain yang berlaku umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf c.
(3) Bank Indonesia memberikan persetujuan atas
permintaan penggunaan sarana penarikan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 39
(1) Bank Indonesia tidak memproses sarana penarikan lain
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berupa WPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf a
dalam hal:
a. terdapat perbedaan nominal antara yang tertulis
dalam angka dengan yang tertulis dalam huruf;
b. terdapat pencoretan atau perubahan pada penulisan
nominal dalam angka dan/atau huruf; dan
c. terdapat pencoretan atau perubahan pada penulisan
nomor dan nama rekening.
32
(2) Kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Bank Indonesia memproses sarana penarikan lain yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia berupa WPR yang
dikoreksi dengan cara:
a. mencoret tulisan yang salah dengan menggunakan
pena atau sejenisnya dan tidak diperkenankan
menggunakan alat atau bahan pengoreksi tulisan;
b. melakukan penulisan yang benar di tempat kosong
terdekat dari tulisan yang dicoret; dan
c. mencantumkan tanda tangan Pejabat yang Mewakili
di tempat kosong terdekat dari tulisan yang dicoret.
(3) Dalam hal sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia berupa WPR tidak digunakan oleh
Pemilik Rekening Giro atau hilang, Pejabat yang Mewakili
harus segera memberitahukan secara tertulis kepada
satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional
tresuri dan pinjaman di Bank Indonesia.
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disertai dengan alasan dan informasi mengenai nomor
seri WPR.
(5) Dalam hal sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia berupa WPR tidak digunakan oleh
Pemilik Rekening Giro, WPR tersebut harus dikembalikan
kepada Bank Indonesia bersamaan dengan
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Dalam hal sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia berupa WPR hilang maka pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disertai
dengan surat keterangan kehilangan dari kepolisian.
Pasal 40
(1) Sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik
Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (3) huruf b harus memenuhi persyaratan paling
sedikit:
a. perintah pemindahan dana;
b. nomor dan nama Rekening Giro yang didebit;
33
c. nomor dan nama Rekening Giro atau nomor dan
nama rekening penerima dana di Bank yang
dikredit;
d. nilai nominal dalam angka dan huruf; dan
e. tempat dan tanggal penarikan.
(2) Permintaan penggunaan sarana penarikan lain yang
diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis
kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi
operasional tresuri dan pinjaman di Bank Indonesia.
(3) Permintaan penggunaan sarana penarikan lain yang
diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disertai dengan contoh sarana
penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening
Giro dengan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
terhadap contoh sarana penarikan lain yang diterbitkan
oleh Pemilik Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
(5) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) disampaikan secara tertulis paling lama 15 (lima
belas) hari kerja terhitung sejak contoh sarana penarikan
lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(6) Dalam hal contoh sarana penarikan lain yang diterbitkan
oleh Pemilik Rekening Giro disetujui oleh Bank Indonesia
menjadi sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh
Pemilik Rekening Giro, Pemilik Rekening Giro
menyampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan
fungsi operasional tresuri dan pinjaman di Bank
Indonesia:
a. 3 (tiga) lembar sarana penarikan lain yang
diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro apabila akan
digunakan di KPBI atau KPwBI setempat; atau
34
b. 50 (lima puluh) lembar sarana penarikan lain yang
diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro apabila akan
digunakan di seluruh kantor Bank Indonesia.
Pasal 41
(1) Bank Indonesia tidak memproses sarana penarikan lain
yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf b dalam hal:
a. terdapat perbedaan nominal antara yang tertulis
dalam angka dengan yang tertulis dalam huruf;
b. terdapat pencoretan atau perubahan pada penulisan
nominal dalam angka dan/atau huruf; dan
c. terdapat pencoretan atau perubahan pada penulisan
nomor dan nama rekening.
(2) Kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Bank Indonesia memproses sarana penarikan lain yang
diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro yang dikoreksi
dengan cara:
a. mencoret tulisan yang salah dengan menggunakan
pena atau sejenisnya dan tidak diperkenankan
menggunakan alat atau bahan pengoreksi tulisan;
b. melakukan penulisan yang benar di tempat kosong
terdekat dari tulisan yang dicoret; dan
c. mencantumkan tanda tangan Pejabat yang Mewakili
di tempat kosong terdekat dari tulisan yang dicoret.
(3) Dalam hal terdapat perubahan sarana penarikan lain
yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro maka
perubahan tersebut harus memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia sesuai dengan tata cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40.
Pasal 42
Penarikan Rekening Giro melalui sarana penarikan lain yang
berlaku umum berupa SWIFT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (3) huruf c oleh Pemilik Rekening Giro berupa
Bank untuk Rekening Giro Valas, diatur sebagai berikut:
35
a. penarikan dilakukan dengan menggunakan authenticated
message SWIFT;
b. penarikan dilakukan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di
Bank Indonesia; dan
c. penarikan dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja
sebelum tanggal efektif penarikan.
Pasal 43
Penggunaan sarana penyetoran dan/atau sarana penarikan
diajukan kepada Bank Indonesia untuk masing-masing
permohonan pembukaan Rekening Giro.
BAB VII
PENYETORAN KE REKENING GIRO
Pasal 44
Penyetoran ke Rekening Giro dapat dilakukan oleh:
a. Pemilik Rekening Giro yang bersangkutan;
b. Pemilik Rekening Giro lain; atau
c. bukan Pemilik Rekening Giro.
Pasal 45
(1) Penyetoran ke Rekening Giro sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 dilakukan secara tunai atau nontunai.
(2) Tata cara penyetoran ke Rekening Giro secara tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai
berikut:
a. penyetoran dilakukan dengan menggunakan sarana
penyetoran sebagaimana Pasal 29 ayat (1) huruf a;
b. penyetoran dilakukan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi pengelolaan uang KPBI atau
unit kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan
kas di KPwBI; dan
c. penyetoran dilakukan sesuai dengan jadwal
pelayanan kas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
36
(3) Tata cara penyetoran ke Rekening Giro secara nontunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai
berikut:
a. penyetoran dilakukan dengan menggunakan sarana
penyetoran sebagaimana Pasal 29 ayat (1) huruf b,
huruf c, dan huruf d;
b. khusus sarana penyetoran dengan menggunakan
BG BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat
(1) huruf b, penyetoran dilakukan kepada satuan
kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri
dan pinjaman di KPBI atau unit kerja yang
melaksanakan fungsi akunting di KPwBI; dan
c. penyetoran dilakukan sesuai dengan jadwal
pelayanan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4) Tata cara penyetoran ke Rekening Giro secara nontunai
melalui SWIFT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (6) oleh Bank diatur sebagai berikut:
a. penyetoran dilakukan dengan menggunakan
authenticated message SWIFT;
b. penyetoran dilakukan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi operasional tresuri dan
pinjaman di Bank Indonesia; dan
c. penyetoran dilakukan pada hari kerja paling lambat
pukul 14.00 WIB untuk transaksi yang akan
dilakukan pada hari yang sama.
(5) Penyetoran ke Rekening Giro Valas hanya dapat
dilakukan secara nontunai.
BAB VIII
PENARIKAN REKENING GIRO
Bagian Kesatu
Penarikan Rekening Giro
Pasal 46
(1) Penarikan dari Rekening Giro dilakukan oleh:
37
a. Pemilik Rekening Giro atau pihak yang diberi kuasa
oleh Pemilik Rekening Giro; atau
b. Bank Indonesia.
(2) Penarikan dari Rekening Giro yang dilakukan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
hanya dapat dilakukan untuk:
a. pembebanan biaya atas layanan jasa yang
disediakan oleh Bank Indonesia;
b. pembebanan karena pengenaan sanksi kewajiban
membayar kepada Bank Indonesia sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia;
c. pelaksanaan setelmen dana atas transaksi sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia; dan
d. pembebanan karena pengenaan sanksi kewajiban
membayar kepada:
1. otoritas yang berwenang untuk mengatur dan
mengawasi perbankan; dan/atau
2. lembaga lain yang memiliki keterkaitan
langsung dengan tugas Bank Indonesia.
Pasal 47
(1) Penarikan dari Rekening Giro sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 dilakukan secara tunai atau nontunai.
(2) Penarikan dari Rekening Giro secara tunai hanya dapat
dilakukan menggunakan sarana penarikan berupa Cek
BI.
(3) Tata cara penarikan dari Rekening Giro secara tunai
diatur sebagai berikut:
a. penarikan dilakukan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi pengelolaan uang di KPBI atau
unit kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan
Kas di KPwBI; dan
b. penarikan dilakukan sesuai dengan jadwal
pelayanan kas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4) Tata cara penarikan dari Rekening Giro secara nontunai
diatur sebagai berikut:
38
a. penarikan dilakukan dengan menggunakan sarana
penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. penarikan dilakukan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi operasional tresuri dan
pinjaman di KPBI atau unit
melaksanakan fungsi akunting di KPwBI; dan
c. penarikan dilakukan sesuai dengan jadwal
pelayanan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(5) Penarikan dari Rekening Giro Valas hanya dapat
dilakukan secara nontunai.
Pasal 48
(1) Penarikan dari Rekening Giro dilakukan dengan jumlah
paling banyak sebesar jumlah saldo efektif setelah
dikurangi biaya transaksi.
(2) Sarana penarikan Rekening Giro yang berbasis kertas
berupa BG BI, Cek BI, WPR untuk Pemilik Rekening Giro,
dan sarana penarikan yang diterbitkan oleh pemilik
Rekening Giro dan disetujui oleh Bank Indonesia harus
ditandatangani oleh Pejabat yang Mewakili yang memiliki
spesimen tanda tangan di Bank Indonesia.
(3) Dalam hal pada saat pembukaan Rekening Giro terdapat
persyaratan bahwa penarikan Rekening Giro dengan
menggunakan sarana penarikan Rekening Giro berupa
BG BI, Cek BI, WPR untuk Pemilik Rekening Giro, dan
sarana penarikan yang diterbitkan oleh pemilik Rekening
Giro dan disetujui oleh Bank Indonesia, harus
ditandatangani oleh lebih dari 1 (satu) orang Pejabat yang
Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia maka tanda tangan dilakukan sesuai
persyaratan tersebut.
Pasal 49
(1) Bank Indonesia melakukan koreksi atas kesalahan
pembukuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia
kerja yang
39
terhadap penarikan Rekening Giro dan memberikan bukti
koreksinya kepada Pemilik Rekening Giro.
(2) Khusus untuk Rekening Giro yang dimiliki oleh
Kementerian Keuangan,
koreksi
pembukuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan atas dasar surat kuasa dari Kementerian
Keuangan dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Bagian Kedua
Penarikan Rekening Giro Khusus
Pasal 50
(1) Dalam hal pada saat pembukaan Rekening Giro Khusus
terdapat persyaratan bahwa penarikan Rekening Giro
Khusus harus disetujui oleh instansi tertentu maka
sarana penarikan Rekening Giro Khusus harus
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari instansi
tertentu tersebut.
(2) Bank Indonesia dibebaskan dari segala risiko yang timbul
akibat dari pelaksanaan penarikan dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB IX
SPESIMEN TANDA TANGAN
Bagian Kesatu
Pembuatan Spesimen Tanda Tangan di Bank Indonesia
Pasal 51
(1) Pejabat Yang Mewakili harus membuat spesimen tanda
tangan di Bank Indonesia untuk keperluan pembukaan,
penyetoran, penarikan, dan keperluan lain terkait dengan
Rekening Giro.
40
(2) Pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia
harus dilakukan untuk masing-masing Rekening Giro.
(3) Spesimen tanda tangan di Bank Indonesia berlaku efektif
mulai 5 (lima) hari kerja sejak Bank Indonesia menerima
dokumen secara lengkap dan Pejabat yang Mewakili
melakukan penandatanganan pada formulir spesimen
tanda tangan.
Pasal 52
(1) Pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 harus disertai
dengan:
a. fotokopi surat keputusan presiden, surat keputusan
menteri, atau surat keputusan Pejabat yang
berwenang;
b. fotokopi anggaran dasar yang telah disahkan oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau
dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan
yang bersangkutan;
c.
fotokopi bukti identitas berupa KTP, SIM, atau
paspor; dan/atau
d. dokumen lain apabila diperlukan.
(2) Tata cara pembuatan spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia bagi Bank, Kementerian Keuangan, dan
lembaga atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a serta instansi pemerintah di luar
Kementerian Keuangan dan pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 1 dan
angka 4 diatur sebagai berikut:
a. permohonan diajukan secara tertulis oleh Pejabat
yang Mewakili dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV;
b. penandatangan pada formulir spesimen tanda
tangan harus dilakukan di hadapan pejabat yang
berwenang di Bank Indonesia;
41
c. penandatanganan dilakukan pada formulir spesimen
tanda tangan yang disediakan oleh Bank Indonesia
dalam rangkap 3 (tiga) atau lebih untuk Rekening
Giro Rupiah dan rangkap 2 (dua) atau lebih untuk
Rekening Giro Valas sesuai dengan kepentingan
Bank Indonesia;
d. penandatanganan pada formulir spesimen tanda
tangan untuk Rekening Giro baru milik Kementerian
Keuangan dan instansi pemerintah di luar
Kementerian Keuangan, yang Pejabat yang Mewakili
dan spesimen tanda tangannya sama dengan yang
ditatausahakan oleh Bank Indonesia, dapat tidak
dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang di
Bank Indonesia;
e. penandatanganan pada formulir spesimen tanda
tangan di Bank Indonesia dilakukan paling lambat 3
(tiga) bulan terhitung sejak
tanggal surat
permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia; dan
f. dalam hal penandatanganan pada formulir spesimen
tanda tangan di Bank Indonesia tidak dilakukan
dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf e
maka Pejabat yang Mewakili yang belum
menandatangani formulir spesimen tanda tangan
harus mengajukan kembali permohonan pembuatan
spesimen tanda tangan di Bank Indonesia.
(3) Tata cara pembuatan spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia bagi lembaga keuangan internasional dan bank
sentral negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 diatur sebagai
berikut:
a. permohonan diajukan secara tertulis oleh Pejabat
yang Mewakili dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV;
b. penandatanganan pada formulir spesimen tanda
tangan dilakukan di hadapan pejabat yang
42
berwenang di Bank Indonesia atau disampaikan
melalui surat; dan
c. penandatanganan pada formulir spesimen tanda
tangan di Bank Indonesia dilakukan dalam rangkap
2 (dua) atau lebih untuk Rekening Giro Rupiah dan
rangkap 1 (satu) atau lebih untuk Rekening Giro
Valas sesuai dengan kepentingan Bank Indonesia.
Pasal 53
(1) Dalam hal terdapat perbedaan:
a. penulisan nama Pejabat yang Mewakili antara yang
tercantum dalam bukti identitas dengan yang
tercantum dalam dokumen yang disampaikan
kepada Bank Indonesia; dan/atau
b. tanda tangan Pejabat yang Mewakili antara yang
tercantum dalam bukti identitas dengan yang
tercantum dalam formulir spesimen tanda tangan,
Pejabat yang Mewakili harus membuat pernyataan
tertulis dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IX dan Lampiran X yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan nama dan/atau tanda
tangan Pejabat yang Mewakili, surat pernyataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diketahui
oleh 1 (satu) atau lebih Pejabat yang Mewakili lain yang
telah memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia,
apabila ada.
Bagian Kedua
Perubahan dan Pencabutan Spesimen Tanda Tangan
Pasal 54
(1) Tata cara perubahan spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia mengacu pada tata cara pembuatan spesimen
tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51,
Pasal 52, dan Pasal 53.
43
(2) Dalam hal terdapat perubahan spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia yang disebabkan perubahan Pejabat yang
Mewakili maka spesimen tanda tangan Pejabat yang
Mewakili yang baru, dapat berlaku efektif lebih awal dari
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(3).
(3) Permohonan pemberlakuan efektif spesimen tanda
tangan di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengacu pada format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 55
(1) Pencabutan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia
harus dilakukan dalam hal terdapat:
a. perubahan anggaran dasar atau surat keputusan
yang menyebabkan perubahan Pejabat yang
Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia; atau
b. pencabutan kuasa kepada Pejabat Penerima Kuasa
yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia.
(2) Pencabutan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Tata cara pencabutan spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
sebagai berikut:
a. surat pemberitahuan ditandatangani oleh:
1. Pimpinan atau Pejabat yang Mewakili yang
memiliki spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia; atau
2. Pimpinan yang baru dalam hal Pejabat yang
Mewakili diganti seluruhnya; dan
harus
44
b. surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a disertai dengan dokumen yang mendasari
adanya pencabutan spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia.
(4) Pencabutan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia
berlaku sejak Bank Indonesia menerima surat
pemberitahuan dan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b secara lengkap.
Pasal 56
(1) Dalam hal perubahan atau pencabutan spesimen tanda
tangan di Bank Indonesia tidak diberitahukan kepada
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
dan Pasal 55 maka spesimen tanda tangan yang berlaku
yaitu spesimen tanda tangan yang masih ditatausahakan
di Bank Indonesia.
(2) Spesimen tanda tangan pihak yang menerima kuasa
secara subtitusi dari Pejabat Penerima Kuasa dianggap
tidak berlaku, dalam hal surat kuasa kepada Pejabat
Penerima Kuasa telah dicabut.
(3) Spesimen tanda tangan pihak yang menerima kuasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan
perubahan atau pencabutan spesimen tanda tangan
sesuai dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 dan Pasal 55.
BAB X
PERUBAHAN REKENING GIRO
Pasal 57
(1) Perubahan Rekening Giro hanya dapat dilakukan apabila
terdapat perubahan:
a. nomor Rekening Giro; atau
b. nama Rekening Giro.
(2) Perubahan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk Bank dapat disebabkan oleh:
45
a. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan
pemisahan;
b. perubahan status;
c. perubahan nama;
d. pencabutan izin usaha; dan/atau
e.
langkah strategis lainnya,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu
bagi kegiatan operasional bank umum di Bank Indonesia.
(3) Perubahan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menyebabkan perubahan data Pemilik Rekening
Giro.
Pasal 58
(1) Perubahan nomor Rekening Giro sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan
oleh Bank Indonesia.
(2) Bank dapat mengusulkan nomor Rekening Giro yang
akan digunakan dalam hal perubahan nomor Rekening
Giro
disebabkan alasan
penggabungan atau
pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
ayat (2) huruf a dan langkah strategis lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf e.
Pasal 59
(1) Tata cara perubahan nomor Rekening Giro yang
disebabkan alasan
penggabungan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a diatur sebagai
berikut:
a. pemberitahuan perubahan disampaikan secara
tertulis oleh Pejabat yang Mewakili Bank peserta
penggabungan;
b. pemberitahuan perubahan disampaikan kepada
satuan kerja yang melaksanakan fungsi surveilans
sistem keuangan di Bank Indonesia dengan
mengacu pada format sebagaimana tercantum pada
Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak
46
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
c. pemberitahuan perubahan termasuk informasi
mengenai Rekening Giro yang akan menjadi
Rekening Giro Bank hasil penggabungan;
d. pemberitahuan perubahan disertai dengan:
1. fotokopi surat persetujuan penggabungan dari
otoritas yang berwenang; dan
2. fotokopi perubahan anggaran dasar Bank yang
telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia,
yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang dan
dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan
yang bersangkutan;
e. Rekening Giro yang tidak digunakan sebagai
Rekening Giro Bank hasil penggabungan harus
ditutup;
f.
sebelum penutupan Rekening Giro sebagaimana
dimaksud dalam huruf e, saldo pada Rekening Giro
tersebut dinihilkan dan dipindahkan ke Rekening
Giro Bank hasil penggabungan;
g. Bank hasil penggabungan menyampaikan surat
pemberitahuan penggabungan kepada satuan kerja
yang melaksanakan fungsi surveilans sistem
keuangan di Bank Indonesia dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum pada Lampiran XIV
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
h. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf g
ditandatangani oleh Pimpinan Bank hasil
penggabungan yang memiliki spesimen tanda tangan
di Bank Indonesia;
i.
surat sebagaimana dimaksud dalam huruf g disertai
dengan surat pernyataan pemberitahuan Pejabat
yang Mewakili Bank hasil penggabungan dengan
menggunakan format yang tercantum dalam
Lampiran XV yang merupakan bagian tidak
47
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
j.
Pejabat yang Mewakili Bank hasil penggabungan
harus membuat spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia dengan mengacu pada tata cara
pembuatan spesimen tanda tangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53, dalam hal
belum memiliki spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia; dan
k. Bank Indonesia menutup Rekening Giro yang tidak
digunakan sebagai Rekening Giro Bank hasil
penggabungan.
(2) Tata cara perubahan nomor Rekening Giro yang
disebabkan alasan peleburan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a diatur sebagai berikut:
a. Bank hasil peleburan mengajukan permohonan
pembukaan Rekening Giro kepada Bank Indonesia
dengan mengacu pada tata cara pembukaan
Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7, Pasal 8, dan Pasal 9;
b. Pejabat yang Mewakili dari Bank hasil peleburan
harus membuat spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia dengan mengacu tata cara pembuatan
spesimen tanda tangan di Bank Indonesia;
c. Bank peserta peleburan menyampaikan surat
pemberitahuan peleburan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi surveilans sistem keuangan di
Bank Indonesia dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII;
d. pemberitahuan peleburan disertai dengan:
1.
fotokopi surat persetujuan peleburan dari
otoritas yang berwenang; dan
2. fotokopi perubahan anggaran dasar Bank yang
telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia,
48
yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang dan
dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan
yang bersangkutan;
e. Bank peserta peleburan melakukan penihilan dan
pemindahan saldo dari Rekening Giro Bank yang
tidak digunakan ke Rekening Giro Bank hasil
peleburan;
f. Bank peserta peleburan mengajukan permohonan
penutupan Rekening Giro yang tidak digunakan
sebagai Rekening Giro hasil peleburan;
g. Bank hasil peleburan menyampaikan surat
pemberitahuan peleburan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi surveilans sistem keuangan di
Bank Indonesia dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum pada Lampiran XVI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
h. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf g
ditandatangani oleh Pimpinan Bank hasil peleburan
yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank
Indonesia;
i.
surat sebagaimana dimaksud dalam huruf g disertai
dengan surat pernyataan pemberitahuan Pejabat
yang Mewakili Bank hasil peleburan dengan
menggunakan contoh yang tercantum dalam
Lampiran XV; dan
j.
Pejabat yang Mewakili Bank hasil peleburan harus
membuat spesimen tanda tangan dengan mengacu
pada tata cara pembuatan spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 dan Pasal 53, dalam hal belum memiliki
spesimen tanda tangan di Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis
perubahan nomor Rekening Giro sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Pemilik Rekening Giro.
(4) Bank Indonesia menerbitkan sarana penarikan dalam hal
diterbitkan nomor Rekening Giro baru.
49
Pasal 60
(1) Perubahan nama Rekening Giro sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan
oleh Pemilik Rekening Giro.
(2) Tata cara perubahan nama Rekening Giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. pemberitahuan perubahan disampaikan secara
tertulis dan ditandatangani oleh Pejabat yang
Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia atau satuan kerja di Bank Indonesia
yang melakukan pembukaan Rekening Giro
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
b. pemberitahuan perubahan disampaikan kepada:
1. satuan kerja yang melaksanakan fungsi
operasional tresuri dan pinjaman di KPBI,
untuk Pemilik Rekening Giro selain Bank;
2. satuan kerja yang melaksanakan fungsi
surveilans sistem keuangan, untuk Pemilik
Rekening Giro berupa Bank; atau
3. KPwBI yang mewilayahi, untuk Rekening Giro
yang ditatausahakan di KPwBI;
c. khusus bagi Pemilik Rekening Giro berupa Bank,
pemberitahuan perubahan disertai dengan:
1. keputusan otoritas yang berwenang mengenai
perubahan nama Bank; dan
2. anggaran dasar Bank yang baru yang telah
disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia,
yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau
dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan
yang bersangkutan;
d. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis
perubahan nama Rekening Giro kepada Pemilik
Rekening Giro; dan
e. Bank Indonesia menerbitkan sarana penarikan
untuk nama Rekening Giro baru.
50
Pasal 61
Khusus bagi Pemilik Rekening Giro yang menjadi peserta
sistem BI-RTGS, perubahan nomor dan nama Rekening Giro
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 selain mengacu pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59,
dan Pasal 60 juga mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika.
Pasal 62
(1) Pemilik Rekening Giro memberitahukan kepada Bank
Indonesia dalam hal terdapat perubahan data:
a. direksi, komisaris, dan pemegang saham;
b. Pejabat yang Mewakili; dan/atau
c. alamat pemilik rekening.
(2) Pemberitahuan perubahan data sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan dengan tata
cara sebagai berikut:
a. pemberitahuan disampaikan secara tertulis dan
ditandatangani oleh Pejabat yang Mewakili yang
memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia;
b. pemberitahuan perubahan data disertai dengan:
1. dokumen perubahan Pejabat yang Mewakili
berupa:
a)
fotokopi surat keputusan presiden atau
surat keputusan menteri atau surat
keputusan pejabat yang berwenang; dan
b) fotokopi perubahan anggaran dasar yang
telah disahkan oleh Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia, yang dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang atau dinyatakan
sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang
bersangkutan;
2. surat pencabutan spesimen tanda tangan di
Bank Indonesia dengan menggunakan contoh
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran
XII;
51
3. surat permohonan pembuatan spesimen tanda
tangan
di Bank Indonesia
dengan
menggunakan contoh format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV;
4. surat kuasa dalam hal Pejabat yang Mewakili
merupakan Pejabat Penerima Kuasa dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VI; dan
5. fotokopi bukti identitas berupa KTP, SIM, atau
paspor.
(3) Pemberitahuan perubahan data sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c disampaikan secara tertulis dan
ditandatangani oleh:
a. Pejabat yang Mewakili yang memiliki spesimen tanda
tangan di Bank Indonesia; atau
b. pejabat yang berwenang pada satuan kerja di Bank
Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama
Pemilik Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (5).
Pasal 63
Dalam hal Pemilik Rekening Giro tidak memberitahukan
perubahan data Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 maka data yang berlaku adalah data yang masih
ditatausahakan oleh Bank Indonesia.
BAB XI
PEMBATASAN KEGIATAN TERKAIT REKENING GIRO
Pasal 64
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pembatasan sebagian
atau seluruh kegiatan terkait Rekening Giro
berdasarkan pertimbangan:
a. Pemilik Rekening Giro tidak memenuhi ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. permintaan tertulis dan/atau keputusan dari
otoritas yang berwenang melakukan pengawasan
52
terhadap kegiatan usaha Pemilik Rekening Giro;
dan/atau
c. kondisi lain.
(2) Pembatasan sebagian kegiatan terkait Rekening Giro
dapat dilakukan dengan pembatasan sementara
terhadap kegiatan penarikan dana sampai dengan
terdapat keputusan final dari Bank Indonesia.
(3) Pembatasan seluruh kegiatan terkait Rekening Giro
dapat dilakukan dengan pembatasan terhadap seluruh
kegiatan penarikan maupun penyetoran dana.
(4) Khusus untuk Rekening Giro yang ditatausahakan pada
sistem BI-RTGS, pembatasan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen
dana seketika.
(5) Khusus untuk Rekening Giro yang ditatausahakan selain
pada
sistem
BI-RTGS,
pembatasan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang terkait.
BAB XII
PENUTUPAN REKENING GIRO
Bagian Kesatu
Penutupan Rekening Giro
Pasal 65
Bank Indonesia dapat menutup Rekening Giro atas:
a. permohonan tertulis Pemilik Rekening Giro;
b. permintaan tertulis dan/atau keputusan dari otoritas
yang berwenang melakukan pengawasan terhadap
kegiatan usaha Pemilik Rekening Giro; atau
c. pertimbangan Bank Indonesia.
53
Pasal 66
(1) Permohonan atau permintaan penutupan Rekening Giro
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a
dan huruf b diatur sebagai berikut:
a. Pemilik Rekening Giro atau otoritas yang berwenang
melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha
Pemilik Rekening Giro menyampaikan surat kepada:
1. satuan kerja yang melaksanakan fungsi
operasional tresuri dan pinjaman di KPBI,
untuk Rekening Giro yang ditatausahakan di
KPBI; atau
2. KPwBI,
untuk Rekening Giro yang
ditatausahakan di KPwBI;
b. untuk Rekening Giro Bank:
1. penutupan Rekening Giro yang disebabkan
karena
penggabungan,
peleburan,
pengambilalihan, dan pemisahan, perubahan
status, pencabutan izin usaha, dan/atau
langkah strategis lainnya, surat disampaikan
kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi
surveilans dan stabilitas sistem keuangan di
Bank Indonesia;
2. penutupan Rekening Giro yang disebabkan
selain sebagaimana dimaksud dalam angka 1,
surat disampaikan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem
pembayaran di Bank Indonesia;
c. untuk Rekening Giro milik lembaga keuangan
internasional atau bank sentral negara lain yang
pembukaannya dilakukan oleh satuan kerja di Bank
Indonesia, permintaan tertulis disampaikan oleh
satuan kerja tersebut kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi operasional tresuri dan
pinjaman di Bank Indonesia.
(2) Khusus bagi Bank, permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disertai dengan fotokopi surat keputusan
pencabutan izin usaha dari otoritas yang berwenang.
54
(3) Khusus bagi peserta sistem BI-RTGS, permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
bersamaan dengan permohonan penghentian
kepesertaan dalam sistem BI-RTGS dengan mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan
berharga, dan setelmen dana seketika.
Pasal 67
Penutupan Rekening Giro atas pertimbangan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf c dilakukan
dengan alasan:
a. dalam hal:
1. karakteristik atau peruntukan mutasi transaksi
sama;
2. Pemilik Rekening Giro sama; dan
3. Rekening Giro dibuka pada lokasi yang sama,
sehingga mutasi transaksi tersebut pada dasarnya dapat
ditampung pada salah satu Rekening Giro;
b. Rekening Giro tidak aktif selama 2 (dua) tahun; dan/atau
c. Pemilik Rekening Giro dinilai tidak perlu memiliki
Rekening Giro.
Pasal 68
(1) Bank Indonesia menyetujui atau menolak permintaan
atau permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
65.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dalam hal saldo Rekening Giro telah nihil dan
seluruh kewajiban Pemilik Rekening Giro kepada Bank
Indonesia telah diselesaikan.
(3) Penihilan saldo Rekening Giro dilakukan oleh Bank
Indonesia sebesar jumlah saldo efektif setelah dikurangi
biaya terkait penutupan Rekening Giro.
(4) Penihilan saldo Rekening Giro untuk Bank yang dicabut
izin usahanya selain atas permintaan Bank sendiri,
transaksi, penatausahaan surat
55
dilakukan oleh Bank Indonesia atas dasar permintaan
dari otoritas yang berwenang.
(5) Bukti bahwa seluruh kewajiban Pemilik Rekening Giro
kepada Bank Indonesia telah diselesaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan bersamaan dengan
permohonan penutupan Rekening Giro.
(6) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis
mengenai persetujuan atau penolakan penutupan
Rekening Giro disertai alasannya.
Pasal 69
(1) Penutupan Rekening Giro yang tidak aktif selama 2 (dua)
tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b
diatur sebagai berikut:
a. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis
kepada Pemilik Rekening Giro bahwa tidak terdapat
mutasi pada Rekening Giro selama 18 (delapan
belas) bulan dan meminta Pemilik Rekening Giro
untuk menutup Rekening Giro tersebut;
b. Pemilik Rekening Giro dapat meminta Rekening Giro
sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk tidak
ditutup disertai dengan alasannya;
c. permintaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b
disampaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. Bank Indonesia dapat mempertimbangkan
permintaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
e. apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
tanggal surat sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
Pemilik Rekening Giro tidak mengajukan permintaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf b maka Bank
Indonesia melakukan penutupan Rekening Giro
tersebut;
f.
saldo atas Rekening Giro sebagaimana dimaksud
dalam huruf e dipindahkan ke rekening tertentu di
Bank Indonesia;
56
g. saldo sebagaimana dimaksud dalam huruf f mulai
dikenakan biaya administrasi pada awal tahun
ketiga; dan
h. dalam hal Rekening Giro tidak terdapat saldo, Bank
Indonesia dapat langsung melakukan penutupan
Rekening Giro.
(2) Untuk penutupan Rekening Giro sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemilik Rekening Giro atau Pejabat
Penerima Kuasa yang sah hanya dapat melakukan 1
(satu) kali penarikan Rekening Giro tanpa harus
membuat spesimen tanda tangan di Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Penutupan Rekening Giro Khusus
Pasal 70
Penutupan Rekening Giro Khusus diatur sebagai berikut:
a. untuk escrow account sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Rekening Giro Khusus
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, penutupan Rekening Giro Khusus dilakukan
sesuai dengan perjanjian pembukaan Rekening Giro
Khusus.
b. untuk rekening khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf b, penutupan Rekening Giro
Khusus dilakukan sesuai dengan ketentuan penutupan
Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
sampai dengan Pasal 69
BAB XIII
BIAYA
Pasal 71
(1) Bank Indonesia menetapkan jenis dan besar biaya
Penatausahaan Rekening Giro.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
kepada Pemilik Rekening Giro.
57
(3) Bank Indonesia dapat mengecualikan pengenaan jenis
dan besar biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk pihak dan dengan pertimbangan tertentu.
Pasal 72
(1) Jenis biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat
(1) meliputi:
a. biaya transaksi;
b. biaya administrasi; dan
c. biaya meterai.
(2) Biaya administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas:
a. biaya perolehan sarana penarikan Rekening Giro;
dan
b. biaya administrasi Rekening Giro tidak aktif.
(3) Pembebanan biaya transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut:
a. biaya transaksi dikenakan untuk penarikan
Rekening Giro berupa pemindahan dana dari
Rekening Giro yang dilakukan melalui sistem BI-
RTGS dan SWIFT;
b. biaya transaksi tidak dikenakan untuk penarikan
Rekening Giro berupa pemindahan dana dari
Rekening Giro yang dilakukan melalui SKNBI; dan
c. biaya transaksi atas penarikan Rekening Giro
dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN).
(4) Pembebanan biaya perolehan sarana penarikan Rekening
Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dikenakan untuk sarana penarikan Rekening Giro berupa
buku BG BI dan Cek BI.
(5) Pembebanan biaya administrasi Rekening Giro tidak aktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur
sebagai berikut:
a. biaya administrasi dikenakan untuk saldo Rekening
Giro tidak aktif yang telah dipindahkan ke rekening
tertentu di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf f;
58
b. biaya administrasi sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dibebankan sampai dengan saldo 0 (nol)
atau telah daluwarsa; dan
c.
sisa saldo Rekening Giro yang telah dipindahkan ke
rekening tertentu di Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan telah daluwarsa diakui
sebagai penerimaan Bank Indonesia.
(6) Pembebanan biaya meterai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dikenakan untuk:
a. permintaan informasi saldo;
b. penyediaan Rekening Koran akhir tahun; dan
c. permintaan lain.
Pasal 73
(1) Besar biaya transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. besar biaya transaksi untuk Pemilik Rekening Giro
yang merupakan peserta sistem BI-RTGS mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai
penyelenggaraan
transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika;
b. besar biaya transaksi untuk Pemilik Rekening Giro
yang bukan merupakan peserta sistem BI-RTGS
ditetapkan sebesar biaya setelmen dana tertinggi
untuk peserta sistem BI-RTGS sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika; dan
c. besar biaya transaksi untuk setiap penyetoran
dan/atau penarikan Rekening Giro Valas mengacu
pada biaya sebagaimana tercantum dalam Lampiran
XVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
59
(2) Besar biaya administrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. besar biaya administrasi untuk perolehan buku BG
BI dan Cek BI mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai biaya perolehan
buku blanko cek dan bilyet giro Bank Indonesia; dan
b. besar biaya administrasi untuk Rekening Giro tidak
aktif ditetapkan sebesar Rp200.000,00 (dua ratus
ribu Rupiah) per bulan.
(3) Besar biaya meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71 ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai bea
meterai.
Pasal 74
(1) Pembayaran biaya transaksi dan biaya administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan dengan pendebitan pada Rekening Giro
Rupiah atau Rekening Giro Valas yang bersangkutan.
(2) Pembayaran biaya meterai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 73 ayat (3) dilakukan dengan pendebitan pada
Rekening Giro Rupiah yang bersangkutan.
Pasal 75
Penarikan dari Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (2) yang dilakukan melalui sistem BI-RTGS,
SKNBI, dan SWIFT tidak dikenakan biaya transaksi dan biaya
administrasi.
BAB XIV
LAPORAN
Pasal 76
(1) Bank Indonesia menyediakan Rekening Koran bagi
Pemilik Rekening Giro.
(2) Penyediaan Rekening Koran untuk Rekening Giro Rupiah
diatur sebagai berikut:
60
a. Bank Indonesia menyediakan Rekening Koran di
sistem BI-RTGS dan sistem BIG-eB;
b. Rekening Koran disediakan dalam bentuk hasil
olahan komputer (HOK); dan
c. Rekening Koran sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terdiri atas:
1. Rekening Koran harian;
2. Rekening Koran bulanan; dan
3. Rekening Koran akhir tahun.
(3) Penyediaan Rekening Koran untuk Rekening Giro Valas
diatur sebagai berikut:
a. Bank Indonesia menyediakan Rekening Koran di
sistem BI-RTGS dan sistem BIG-eB;
b. Rekening Koran disediakan dalam bentuk HOK; dan
c. Rekening Koran sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terdiri atas:
1. Rekening Koran harian;
2. Rekening Koran mingguan; dan
3. Rekening Koran akhir tahun.
(4) Rekening Koran yang disediakan dalam sistem BI-RTGS
dan sistem BIG-eB dapat diakses secara langsung oleh
Pemilik Rekening Giro yang merupakan peserta sistem
BI-RTGS atau sistem BIG-eB.
(5) Perolehan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai
penyelenggaraan
transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika atau ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan sistem Bank Indonesia
government electronic banking.
Pasal 77
(1) Rekening Koran akhir tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c angka 3 dan ayat (3)
huruf c angka 3 dicetak oleh Bank Indonesia dan
dibubuhi stempel tanda tangan pejabat yang berwenang
di Bank Indonesia di atas meterai yang cukup.
61
(2) Bank Indonesia mendebit Rekening Giro Rupiah Pemilik
Rekening Giro untuk pembebanan biaya meterai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal
Rekening Koran akhir tahun.
(4) Khusus untuk Rekening Koran akhir tahun milik:
a. Kementerian Keuangan dan lembaga atau pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf
a; dan
b. instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan,
lembaga keuangan internasional, bank sentral
negara lain, dan pihak lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b,
dapat dibebaskan dari pembebanan biaya meterai atas
dasar pertimbangan Bank Indonesia.
Pasal 78
(1) Pengambilan Rekening Koran yang dicetak oleh Bank
Indonesia dilakukan oleh Pejabat yang Mewakili atau
pihak yang menerima kuasa dari Pejabat yang Mewakili.
(2) Khusus untuk Rekening Giro milik lembaga keuangan
internasional dan bank sentral negara lain, pengambilan
Rekening Koran dapat dilakukan oleh satuan kerja di
Bank Indonesia yang melakukan pembukaan rekening
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5).
(3) Pengambilan Rekening Koran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan di:
a. unit kerja yang melaksanakan fungsi layanan jasa
perbankan pada satuan kerja yang melaksanakan
fungsi operasional tresuri dan pinjaman di KPBI,
untuk Pemilik Rekening Giro selain Bank;
b. unit kerja yang melaksanakan fungsi setelmen dana
dan penatausahaan surat berharga pada satuan
kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan
sistem pembayaran di KPBI, untuk Pemilik Rekening
Giro berupa Bank; atau
62
c.
unit kerja yang melaksanakan fungsi akunting di
KPwBI, untuk Rekening Giro yang ditatausahakan di
KPwBI.
(4) Pengambilan Rekening Koran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan setelah 1 (satu) hari kerja sampai
dengan 1 (satu) bulan setelah tanggal Rekening Koran
pada setiap hari kerja pukul 08.00-15.00 waktu
setempat.
(5) Dalam hal pengambilan Rekening Koran dilakukan
melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Bank Indonesia dapat melakukan pemusnahan
Rekening Koran tersebut.
(6) Pemilik Rekening Giro dapat mengajukan permohonan
untuk memperoleh Rekening Koran yang telah melewati
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) secara
tertulis dan disampaikan kepada unit kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 79
(1) Bank Indonesia dapat menyediakan dan menyampaikan
Rekening Koran kepada pihak yang berwenang selain
Pemilik Rekening Giro sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Untuk keperluan tertentu, Pemilik Rekening Giro dapat
mengajukan permohonan untuk memperoleh Rekening
Koran dan/atau informasi mengenai saldo Rekening Giro
kepada Bank Indonesia.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan secara tertulis oleh Pejabat yang Mewakili.
(4) Untuk lembaga keuangan internasional dan bank sentral
negara lain permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat disampaikan melalui SWIFT atau surat
elektronik.
(5) Informasi mengenai saldo Rekening Giro dikenakan biaya
meterai yang pelaksanaannya mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3).
63
Pasal 80
(1) Pemilik Rekening Giro dapat melaporkan kepada Bank
Indonesia dalam hal terdapat perbedaan antara data
pada Rekening Koran dengan data yang ditatausahakan
oleh Pemilik Rekening Giro.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
sejak tanggal Rekening Koran tersebut.
(3) Khusus untuk Rekening Koran akhir tahun, Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan
paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal Rekening Koran
tersebut.
(4) Dalam hal Pemilik Rekening Giro tidak melaporkan
adanya perbedaan data sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) maka data yang terdapat dalam Rekening Koran
dianggap sebagai data yang benar.
BAB XV
KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU KEADAAN DARURAT
Pasal 81
(1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal dalam
Penatausahaan Rekening Giro dan/atau keadaan darurat
di lokasi Bank Indonesia, Bank Indonesia
memberitahukan keadaan tersebut kepada Pemilik
Rekening Giro berikut langkah penanganan untuk
mengatasi keadaan tidak normal dan/atau keadaan
darurat.
(2) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal dan/atau
keadaan darurat di lokasi Pemilik Rekening Giro yang
mengakibatkan Pemilik Rekening Giro tidak dapat
melakukan penyetoran dan/atau penarikan Rekening
Giro, Pemilik Rekening Giro menyampaikan informasi
dan/atau meminta persetujuan untuk melakukan
langkah penyelesaian transaksi penyetoran dan/atau
penarikan kepada Bank Indonesia.
64
(3) Prosedur penanganan keadaan tidak normal dan/atau
keadaan darurat untuk peserta sistem BI-RTGS, SKNBI,
dan sistem BIG-eB mengacu pada prosedur penanganan
keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika, ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring
berjadwal oleh Bank Indonesia, serta ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Bank Indonesia
government โ electronic banking.
(4) Prosedur penanganan keadaan tidak normal dan/atau
keadaan darurat untuk selain peserta sistem BI-RTGS,
SKNBI, dan sistem BIG-eB diatur sebagai berikut:
a. dalam hal keadaan tidak normal dan/atau keadaan
darurat terjadi di lokasi Bank Indonesia maka
langkah penanganan sesuai dengan yang
diberitahukan oleh Bank Indonesia kepada Pemilik
Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
dan
b. dalam hal keadaan tidak normal dan/atau keadaan
darurat terjadi di lokasi Pemilik Rekening Giro maka
langkah penanganan sesuai dengan langkah
penanganan yang disampaikan oleh Pemilik
Rekening Giro dan disetujui oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Langkah penanganan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf b merupakan langkah yang berlaku bagi Pemilik
Rekening Giro.
65
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 82
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/34/DASP tanggal
22 Desember 2006 perihal Hubungan Rekening Giro
Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/26/DPTP tanggal
31 Desember 2014 perihal Perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 8/34/DASP tanggal 22 Desember
2006 perihal Hubungan Rekening Giro Antara Bank
Indonesia Dengan Pihak Ekstern,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 83
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
1
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/20/PADG/2017
TENTANG
REKENING GIRO DI BANK INDONESIA
I. UMUM
Untuk mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam bidang moneter,
makroprudensial, dan sistem pembayaran, Bank Indonesia melaksanakan
penatausahaan Rekening Giro. Rekening Giro yang ditatausahakan oleh
Bank Indonesia termasuk Rekening Giro yang dimiliki oleh Pemerintah
dalam kaitannya dengan fungsi Bank Indonesia sebagai pemegang kas
pemerintah.
Sehubungan dengan penerbitan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/24/PBI/2015 tentang Rekening Giro, diperlukan penyempurnaan
peraturan pelaksanaan untuk penatausahaan Rekening Giro.
Penyempurnaan peraturan pelaksanaan tersebut antara lain terkait dengan
klasifikasi kategori pihak yang dapat membuka Rekening Giro di Bank
Indonesia, kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan pendebitan
Rekening Giro atas dasar permintaan dari otoritas yang berwenang dalam
rangka pengenaan sanksi berupa kewajiban membayar atas pelanggaran
kepatuhan terhadap ketentuan kehati-hatian, hak Pemilik Rekening Giro
untuk mengklaim sisa saldo Rekening Giro tidak aktif sampai dengan batas
waktu daluwarsa sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan
pengenaan biaya administrasi untuk Rekening giro yang tidak aktif selama
2 (dua) tahun.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan โinstansi pemerintah di luar
Kementerian Keuanganโ adalah kementerian selain
Kementerian Keuangan,
lembaga pemerintah
nonkementerian, lembaga negara, badan usaha milik
negara, pemerintah daerah, atau badan usaha milik
daerah.
Angka 2
Yang dimaksud dengan โlembaga keuangan
internasionalโ adalah
lembaga yang tujuan
pembentukannya untuk meningkatkan kerjasama
internasional di bidang ekonomi dan/atau keuangan
yang di dalamnya Pemerintah Republik Indonesia atau
Bank Indonesia menjadi anggota atau lembaga
keuangan tersebut memberi bantuan keuangan kepada
Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia
dan lembaga tersebut mensyaratkan pembukaan
rekening pada Bank Indonesia.
Termasuk lembaga keuangan internasional antara lain
International Monetary Funds (IMF), Asian Development
Bank (ADB), International Bank for Restructuring
Development (IBRD), dan International Development
Agency (IDA).
Angka 3
Cukup jelas.
3
Angka 4
Yang dimaksud dengan โpihak lainโ antara lain Ikatan
Pegawai Bank Indonesia (IPEBI), Persatuan Istri Pegawai
Bank Indonesia (PIPEBI), Yayasan Kesejahteraan
Karyawan Bank Indonesia (YKKBI), Dana Pensiun
Pegawai Bank Indonesia (DAPENBI), Koperasi Pegawai
Bank Indonesia (KOPEBI), dan Manajemen Masjid Bank
Indonesia (MMBI).
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โmemiliki keterkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan fungsi Bank Indonesiaโ antara lain
pihak tersebut memiliki keterkaitan dengan kebijakan
pemerintah yang terkait dengan kebijakan Bank Indonesia.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โketentuan peraturan perundang-
undanganโ antara lain ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai surat berharga Bank Indonesia dalam valuta asing.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
4
Pasal 5
Yang dimaksud dengan โhanya dapat dimiliki oleh 1 (satu) pihakโ
adalah Rekening Giro tidak dapat dibuka dan dimiliki dalam bentuk
rekening gabungan.
Contoh rekening gabungan adalah 1 (satu) rekening yang dimiliki oleh
2 (dua) instansi pemerintah.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โescrow accountโ adalah rekening
yang dibuka secara khusus untuk tujuan tertentu guna
menampung dana yang dipercayakan kepada Bank
Indonesia berdasarkan persyaratan tertentu sesuai dengan
perjanjian tertulis.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โrekening khususโ adalah Rekening
Giro yang digunakan khusus untuk menatausahakan
pinjaman dan hibah luar negeri pemerintah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โRekening Giro Khusus lainnyaโ
adalah Rekening Giro yang persyaratan dan tata cara
pembukaan, penyetoran, penarikan dan penutupannya
diatur secara khusus dalam surat atau perjanjian tertulis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
5
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pengajuan pembukaan Rekening Giro oleh satuan kerja di Bank
Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama lembaga
keuangan internasional atau bank sentral negara lain dilakukan
antara lain dalam hal terdapat hubungan kerja sama
internasional antara lembaga keuangan internasional atau bank
sentral negara lain dengan Bank Indonesia secara bilateral atau
multilateral.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas
Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen
dimaksud.
Pasal 10
Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas
Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen
dimaksud.
Pasal 11
Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas
Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen
dimaksud.
Pasal 12
Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas
Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen
dimaksud.
6
Pasal 13
Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas
Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen
dimaksud.
Pasal 14
Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas
Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen
dimaksud.
Pasal 15
Huruf a
Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada
petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi
dokumen dimaksud.
Huruf b
Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada
petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi
dokumen dimaksud.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada
petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi
dokumen dimaksud.
Huruf e
Yang dimaksud dengan โdokumen lainโ antara lain term &
condition yang disepakati oleh lembaga keuangan internasional
dan/atau bank sentral negara lain dengan Bank Indonesia.
Pasal 16
Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas
Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen
dimaksud.
7
Pasal 17
Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas
Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen
dimaksud.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penambahan persyaratan penarikan termasuk dalam hal Pemilik
Rekening Giro memiliki persyaratan untuk adanya countersign
dari pihak lain yang ditunjuk oleh Pemilik Rekening Giro.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh penerapan prinsip kehati-hatian bagi Bank Indonesia
antara lain pembatasan penggunaan Rekening Giro misalnya
Rekening Giro hanya dapat digunakan sesuai dengan term &
condition.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemberian nomor Rekening Giro dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Bank Indonesia.
8
Pemberian nama Rekening Giro dilaksanakan dengan
mempertimbangkan data atau informasi yang disampaikan oleh
calon Pemilik Rekening Giro.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โmenjaga kepentingan nasionalโ antara
lain transaksi yang dilakukan oleh lembaga keuangan
internasional dan/atau bank sentral negara lain diyakini tidak
mengandung unsur yang dapat dikenai sanksi dari Office of
Foreign Assets Control (OFAC).
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โkeadaan daruratโ adalah suatu keadaan
yang terjadi di luar kekuasaan Bank Indonesia dan/atau Pemilik
Rekening Giro yang menyebabkan Penatausahaan Rekening Giro
9
tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh tetapi tidak
terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dinyatakan
oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat,
termasuk Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tujuan pembukaan Rekening Giro Khusus dituangkan dalam
surat atau perjanjian tertulis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 27
Kewajiban berlaku juga untuk Pemilik Rekening Giro berupa
Rekening Giro Khusus.
Pasal 28
Ayat (1)
Tanggung jawab berlaku juga untuk Pemilik Rekening Giro
berupa Rekening Giro Khusus.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โpengkinian dokumenโ antara lain
penyampaian dokumen pembukaan Rekening Giro yang belum
dipenuhi secara lengkap oleh Pemilik Rekening Giro existing
kepada Bank Indonesia dan pembaharuan surat kuasa dari
Pimpinan kepada Pejabat Penerima Kuasa atau surat kuasa
10
substitusi dari Pejabat Penerima Kuasa kepada pihak yang
menerima kuasa substitusi.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โketentuan Bank Indonesiaโ antara
lain ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
sentralisasi otomasi sistem akunting Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyetoran ke Rekening Giro Valas dilakukan secara nontunai
atau transfer.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โsistem BI-RTGSโ adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana
elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per
transaksi secara individual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โSKNBIโ adalah infrastruktur yang
digunakan oleh Bank Indonesia dalam penyelenggaraan
transfer dana dan kliring berjadwal untuk memproses data
keuangan elektronik pada layanan transfer dana, layanan
kliring warkat debit, layanan pembayaran reguler, dan
layanan penagihan reguler.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โsistem BIG-eBโ adalah sarana
elektronik dan online yang disediakan untuk pemilik
rekening giro dalam rangka melakukan transaksi keuangan
dan memperoleh informasi keuangan.
11
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan โSWIFTโ adalah suatu jaringan (network)
internasional untuk sistem pemindahan dana dan/atau
pertukaran berita dengan menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi antar anggota SWIFT.
Yang dimaksud dengan โauthenticated message SWIFTโ adalah
dokumen SWIFT yang digunakan sebagai sarana penyetoran lain.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โsistem BI-RTGSโ adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana
elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per
transaksi secara individual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โsistem BIG-eBโ adalah sarana
elektronik dan online yang disediakan untuk pemilik
rekening giro guna melakukan transaksi keuangan dan
memperoleh informasi keuangan.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sarana penarikan lain dibuat sesuai dengan ketentuan yang
berlaku pada Pemilik Rekening Giro antara lain identitas,
logo, dan kertas yang digunakan sebagai sarana penarikan.
Contoh sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik
Rekening Giro dan disetujui Bank Indonesia yaitu:
1. surat perintah pencairan dana (SP2D); dan
2. surat perintah debit (SPD).
Huruf c
Contoh sarana penarikan lain yang berlaku umum yaitu
authenticated message SWIFT.
12
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan โrekening penerima danaโ adalah
Rekening Giro atau rekening penerima dana pada Bank.
Ayat (6)
Lampiran WPR merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
WPR tersebut.
Nominal yang tercantum dalam WPR sama dengan total nominal
penarikan pada lampiran WPR.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
13
Huruf h
Lembar pertama buku BG BI merupakan bukti yang
menunjukkan bahwa Pemilik Rekening Giro telah menerima
dari Bank Indonesia 1 (satu) buku BG BI dengan jumlah
lembar dan nomor seri warkat sesuai dengan yang tercantum
pada buku BG BI tersebut.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Lembar pertama buku Cek BI merupakan bukti yang
menunjukkan bahwa Pemilik Rekening Giro telah menerima
dari Bank Indonesia 1 (satu) buku Cek BI dengan jumlah
lembar dan nomor seri warkat sesuai dengan yang tercantum
pada buku Cek BI tersebut.
Huruf h
Cukup jelas.
14
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โtidak digunakanโ antara lain Rekening
Giro ditutup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Contoh sarana penarikan lain yang berlaku umum yaitu authenticated
message SWIFT.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh sarana penarikan lain yang berlaku umum yaitu
authenticated message SWIFT.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
15
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โtidak digunakanโ antara lain Rekening
Giro telah ditutup.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โbukan Pemilik Rekening Giroโ adalah
pihak yang tidak memiliki Rekening Giro namun memiliki
kepentingan untuk melakukan penyetoran ke Rekening Giro.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
16
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โpada hari yang samaโ adalah
tanggal efektif transaksi penyetoran yang disampaikan
melalui sarana komunikasi antara lain telepon, faksimili, dan
email.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Pemberikan kuasa oleh Pemilik Rekening Giro berupa kuasa
tanpa atau dengan hak substitusi.
Kuasa dengan hak subtitusi diberikan untuk 1 (satu) kali
hak substitusi.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โbiaya atas layanan jasa yang
disediakan oleh Bank Indonesiaโ adalah biaya transaksi,
biaya administrasi, dan biaya meterai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โketentuan Bank Indonesiaโ antara
lain ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro
wajib minimum Bank umum dalam rupiah dan valuta asing
bagi Bank umum konvensional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โketentuan Bank Indonesiaโ antara
lain ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro
17
wajib minimum Bank umum dalam rupiah dan valuta asing
bagi Bank umum konvensional.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โsaldo efektifโ adalah saldo yang tersedia
dalam Rekening Giro untuk ditarik dan digunakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โbukti koreksiโ adalah Rekening Koran
dan tembusan warkat pembukuan koreksi yang dibuat oleh Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โinstansi tertentuโ antara lain Otoritas
Jasa Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โkeperluan lainโ antara lain keperluan
permintaan perubahan Pejabat yang Mewakili dan informasi
saldo.
18
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pada masing-masing formulir dibubuhi 3 (tiga) spesimen
tanda tangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pada masing-masing formulir dibubuhi 3 (tiga) spesimen
tanda tangan.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
19
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โkegiatan terkait Rekening Giroโ adalah
kegiatan yang berkaitan dengan penarikan dan/atau penyetoran
dana pada Rekening Giro.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
20
Huruf c
Yang dimaksud dengan โkondisi lainโ antara lain kondisi
karena adanya putusan pengadilan yang menyebabkan
pembatasan kegiatan terkait Rekening Giro.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โkeputusan finalโ antara lain keputusan
yang menyebabkan kegiatan terkait Rekening Giro menjadi tidak
dibatasi atau dibatasi secara keseluruhan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โpembatasan seluruh kegiatan terkait
Rekening Giroโ antara lain dalam hal terdapat perubahan status
peserta sistem BI-RTGS menjadi dibekukan atau ditutup
kepesertaannya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 65
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โpertimbangan Bank Indonesiaโ antara
lain terdapat putusan pengadilan yang menyebabkan penutupan
Rekening Giro.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Huruf a
Cukup jelas.
21
Huruf b
Yang dimaksud dengan โRekening Giro tidak aktifโ adalah tidak
terdapat mutasi pada Rekening Giro.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โtidak perlu memiliki Rekening Giroโ
antara lain dalam perkembangannya alasan kepemilikan
Rekening Giro tidak lagi mempunyai keterkaitan tugas dengan
Bank Indonesia atau Pemilik Rekening Giro melakukan transaksi
yang diduga mengandung unsur yang dapat dikenai sanksi dari
Office of Foreign Assets Control (OFAC).
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โsaldo efektifโ adalah saldo yang tersedia
dalam Rekening Giro untuk ditarik dan digunakan.
Yang dimaksud dengan โbiaya terkait penutupan Rekening Giroโ
antara lain biaya transaksi dan biaya administrasi.
Ayat (4)
Penihilan saldo Rekening Giro yang dilakukan oleh Bank
Indonesia atas dasar permintaan dari otoritas yang berwenang
dengan cara dipindahkan ke rekening tertentu di Bank Indonesia
yang digunakan untuk menampung saldo Rekening Giro tidak
aktif.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan โbuktiโ antara lain pernyataan bahwa
seluruh kewajiban Pemilik Rekening Giro kepada Bank Indonesia
telah diselesaikan, yang tercantum dalam surat permohonan
penutupan Rekening Giro.
Ayat (6)
Cukup jelas.
22
Pasal 69
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โRekening Giro tidak aktifโ adalah tidak
terdapat mutasi pada Rekening Giro.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โrekening tertentuโ adalah rekening
di Bank Indonesia yang digunakan untuk menampung saldo
Rekening Giro tidak aktif.
Saldo yang terdapat dalam rekening tertentu tetap
merupakan hak Pemilik Rekening Giro sampai dengan batas
waktu daluwarsa sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penarikan Rekening Giro sebanyak 1 (satu) kali ditujukan untuk
penihilan saldo Rekening Giro.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
23
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โpihakโ antara lain lembaga keuangan
internasional dan bank sentral negara lain.
Yang dimaksud dengan โpertimbangan tertentuโ antara lain
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โsaldo Rekening Giro tidak aktifโ
adalah termasuk dalam hal saldo atas Rekening Giro telah
dipindahkan ke rekening tertentu di Bank Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โdaluwarsaโ adalah Rekening Giro
telah tidak aktif selama 30 (tiga puluh) tahun.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan โpermintaan lainโ antara lain biaya
meterai untuk surat kuasa yang belum dibubuhi meterai oleh
Pemilik Rekening Giro.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
24
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
HOK dapat diunduh secara langsung dalam bentuk softcopy
atau dicetak dalam bentuk hardcopy.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan โRekening Koran harianโ adalah
Rekening Koran yang memuat transaksi yang terjadi
pada hari yang bersangkutan.
Angka 2
Yang dimaksud dengan โRekening Koran bulananโ
adalah Rekening Koran yang memuat transaksi yang
terjadi selama periode bulan yang bersangkutan.
Angka 3
Yang dimaksud dengan โRekening Koran akhir tahunโ
adalah Rekening Koran yang dicetak pada setiap akhir
bulan Desember.
Rekening Koran akhir tahun untuk Rekening Giro
Rupiah memuat transaksi yang terjadi pada hari kerja
selama bulan Desember.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
25
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan โRekening Koran harianโ adalah
Rekening Koran yang memuat transaksi yang terjadi
pada hari yang bersangkutan.
Angka 2
Yang dimaksud dengan โRekening Koran mingguanโ
adalah Rekening Koran yang memuat transaksi yang
terjadi selama periode minggu yang bersangkutan.
Angka 3
Yang dimaksud dengan โRekening Koran akhir tahunโ
adalah Rekening Koran yang dicetak pada setiap akhir
bulan Desember.
Rekening Koran akhir tahun untuk Rekening Giro
Rupiah memuat transaksi yang terjadi pada minggu
keempat bulan Desember.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Pencetakan Rekening Koran akhir tahun dilakukan pada 1 (satu)
hari kerja sebelumnya apabila akhir tahun adalah hari libur.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
26
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โuntuk keperluan tertentuโ antara lain
untuk keperluan audit.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Yang dimaksud dengan โkeadaan tidak normalโ adalah situasi atau
kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan
pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi,
maupun sarana pendukung yang mempengaruhi kelancaran
Penatausahaan Rekening Giro.
Yang dimaksud dengan โkeadaan daruratโ adalah suatu keadaan yang
terjadi di luar kekuasaan Bank Indonesia dan/atau Pemilik Rekening
Giro yang menyebabkan Penatausahaan Rekening Giro tidak dapat
diselenggarakan yang diakibatkan oleh tetapi tidak terbatas pada
kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti
gempa bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau
pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia.
Sarana penyetoran dan sarana penarikan yang digunakan pada saat
keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat tetap mengacu pada
persyaratan warkat yang diatur dalam ketentuan yang berlaku.
27
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/20/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> REKENING GIRO DI BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 29 Desember 2017 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2017 </effective_date>
<replaced_reg> '8/34/DASP|SE-BI/2006', '16/26/DPTP|SE-BI/2014' </replaced_reg>
<related_reg> '17/24/PBI/2015' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/13/PADG/2017
TENTANG
PENUKARAN UANG RUPIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kebutuhan uang rupiah di
masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis
pecahan yang sesuai, dan dalam kondisi yang layak edar
maka diperlukan layanan penukaran uang rupiah kepada
masyarakat;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Penukaran Uang
Rupiah;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang
Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 138, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5323);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PENUKARAN UANG RUPIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Uang Rupiah adalah rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai mata
uang.
2. Uang Rupiah Kertas adalah Uang Rupiah dalam bentuk
lembaran yang terbuat dari kertas uang.
3. Uang Rupiah Logam adalah Uang Rupiah dalam bentuk
koin yang terbuat dari logam uang.
4. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang
terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan
Uang Rupiah rusak.
5. Uang Rupiah Lusuh adalah Uang Rupiah yang ukuran
dan bentuk fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya,
tetapi kondisinya telah berubah yang antara lain karena
jamur, minyak, bahan kimia, atau coretan.
6. Uang Rupiah Cacat adalah Uang Rupiah hasil cetak yang
spesifikasi teknisnya tidak sesuai dengan yang telah
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7. Uang Rupiah Rusak adalah Uang Rupiah yang ukuran
atau fisiknya telah berubah dari ukuran aslinya yang
antara lain karena terbakar, berlubang, hilang sebagian,
atau Uang Rupiah yang ukuran fisiknya berbeda dengan
ukuran aslinya, antara lain karena robek atau mengerut.
8. Uang Rupiah Khusus adalah Uang Rupiah yang
dikeluarkan secara khusus untuk tujuan tertentu atau
dalam rangka memperingati peristiwa yang bersifat
nasional atau internasional dan memiliki nilai nominal
yang berbeda dengan nilai jualnya.
9.
Ciri Uang Rupiah adalah tanda tertentu pada setiap Uang
Rupiah yang ditetapkan dengan tujuan untuk
menunjukkan identitas, membedakan harga atau nilai
nominal, dan mengamankan Uang Rupiah tersebut dari
upaya pemalsuan.
10. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
11. Penukaran Uang Rupiah adalah kegiatan penerimaan
Uang Rupiah dari masyarakat dan memberikan
penggantian berupa Uang Rupiah.
BAB II
PENUKARAN UANG RUPIAH
Bagian Kesatu
Penggantian Uang Rupiah
Pasal 2
(1) Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia memberikan layanan Penukaran Uang kepada
masyarakat.
(2) Layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
penukaran:
a. Uang Rupiah yang masih layak edar dalam pecahan
yang sama atau pecahan lainnya; dan/atau
b. Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Cacat, Uang
Rupiah Rusak, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut
dan ditarik dari peredaran,
yang diberikan penggantian sepanjang memenuhi
persyaratan yang diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 3
Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang
Rupiah yang hilang atau musnah karena sebab apapun.
Bagian Kedua
Tempat dan Waktu Penukaran Uang Rupiah
Pasal 4
(1) Pelaksanaan Penukaran Uang Rupiah dilakukan:
a.
b.
di kantor dan/atau di luar kantor Bank Indonesia;
dan/atau
di kantor dan/atau di luar kantor pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Penukaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pada hari dan jam operasional
Penukaran Uang Rupiah yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dan diumumkan kepada masyarakat.
Pasal 5
(1) Penukaran Uang Rupiah di kantor Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a
dilakukan untuk Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah
Rusak, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik
dari peredaran.
(2) Penukaran Uang Rupiah di kantor Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
untuk Uang Rupiah yang masih layak edar dan/atau
Uang Rupiah Lusuh, pada waktu tertentu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada
masyarakat.
(3) Penukaran Uang Rupiah di luar kantor Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a
dilakukan untuk Uang Rupiah yang masih layak edar,
Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah
Rusak, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik
dari peredaran.
(4) Penukaran Uang Rupiah di kantor dan/atau di luar
kantor pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b
dilakukan untuk Uang Rupiah yang masih layak edar,
Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah
Rusak, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik
dari peredaran.
BAB III
TATA CARA PENUKARAN UANG RUPIAH DAN
PERSYARATAN PENGGANTIAN UANG RUPIAH
Bagian Kesatu
Tata Cara Penukaran Uang Rupiah
Pasal 6
(1) Masyarakat yang akan menukarkan Uang Rupiah kepada
Bank Indonesia dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh
Bank Indonesia, harus terlebih dahulu memilah dan
mengemas Uang Rupiah yang akan ditukarkan.
(2) Tata cara pemilahan dan pengemasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terhadap Uang Rupiah Kertas
yaitu:
a. Uang Rupiah Kertas dipilah menurut jenis pecahan
dan tahun emisi, disusun searah, dan dipisahkan
antara Uang Rupiah yang masih layak edar dengan
Uang Rupiah Tidak Layak Edar, dan/atau Uang
Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran; dan
b. Uang Rupiah Kertas dikemas dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Uang Rupiah Kertas dalam jumlah 100 (seratus)
lembar dengan jenis pecahan dan tahun emisi
yang sama diikat menjadi 1 (satu) pak; dan
2. Uang Rupiah Kertas dalam jumlah 10 (sepuluh)
pak dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang
sama diikat menjadi 1 (satu) brood.
(3) Tata cara pemilahan dan pengemasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terhadap Uang Rupiah Logam
yaitu:
a. Uang Rupiah Logam dipilah menurut jenis pecahan
dan tahun emisi, serta dipisahkan antara Uang
Rupiah yang masih layak edar dengan Uang Rupiah
Tidak Layak Edar, dan/atau Uang Rupiah yang
dicabut dan ditarik dari peredaran; dan
b. Uang Rupiah Logam dalam jumlah 500 (lima ratus)
keping dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang
sama dikemas dalam kantong transparan.
Bagian Kedua
Persyaratan Penggantian Uang Rupiah
Pasal 7
(1) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada
masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah yang masih
layak edar sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang
ditukarkan dalam pecahan dan tahun emisi yang sama
atau berbeda.
(2) Penggantian terhadap Uang Rupiah yang masih layak
edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
sepanjang Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada
masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Lusuh
dan/atau Uang Rupiah Cacat sebesar nilai nominal Uang
Rupiah yang ditukarkan.
(2) Penggantian terhadap Uang Rupiah Lusuh dan/atau
Uang Rupiah Cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan sepanjang Ciri Uang Rupiah dapat dikenali
keasliannya.
Pasal 9
(1) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada
masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Rusak
sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan.
(2) Penggantian terhadap Uang Rupiah Rusak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan sepanjang berdasarkan
hasil pemeriksaan Bank Indonesia memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Uang Rupiah Kertas
1. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas lebih besar
dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya dan Ciri
Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya,
diberikan penggantian sebesar nilai nominal
Uang Rupiah yang ditukarkan dengan
persyaratan:
a) Uang Rupiah Kertas masih merupakan
satu kesatuan dengan atau tanpa nomor
seri yang lengkap; atau
b) Uang Rupiah Kertas tidak merupakan satu
kesatuan dan kedua nomor seri pada Uang
Rupiah Rusak tersebut lengkap dan sama;
dan
2. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas sama
dengan atau kurang dari 2/3 (dua pertiga)
ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian.
b. Uang Rupiah Logam
1. dalam hal fisik Uang Rupiah Logam lebih besar
dari 1/2 (satu perdua) ukuran aslinya dan Ciri
Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya,
diberikan penggantian sebesar nilai nominal
Uang Rupiah yang ditukarkan; dan
2. dalam hal fisik Uang Rupiah Logam sama
dengan atau kurang dari 1/2 (satu perdua)
ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian.
c. Uang Rupiah Kertas yang terbuat dari bahan plastik
(polimer)
1. diberikan penggantian sebesar nilai nominal
Uang Rupiah yang ditukarkan sepanjang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a;
2. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas mengerut
dan masih utuh serta Ciri Uang Rupiah dapat
dikenali keasliannya, diberikan penggantian
sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang
ditukarkan;
3. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas mengerut
dan tidak utuh, diberikan penggantian sebesar
nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan
sepanjang Ciri Uang Rupiah dapat dikenali
keasliannya dan fisik Uang Rupiah Kertas lebih
besar dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya
dalam kondisi mengerut; dan
4. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas sama
dengan atau kurang dari 2/3 (dua pertiga)
ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada
masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Rusak
sebagian karena terbakar, sebesar nilai nominal Uang
Rupiah yang ditukarkan sepanjang menurut penelitian
Bank Indonesia Ciri Uang Rupiah dapat dikenali
keasliannya dan memenuhi persyaratan penggantian
yang ditetapkan Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia dapat meminta masyarakat yang
menukarkan Uang Rupiah Rusak sebagian karena
terbakar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
menyertakan surat keterangan dari kelurahan atau
kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat
dengan pertimbangan tertentu.
Pasal 11
(1) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada
masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah yang dicabut
dan ditarik dari peredaran, sebesar nilai nominal Uang
Rupiah yang ditukarkan sepanjang Ciri Uang Rupiah
dapat dikenali keasliannya dan masih dalam jangka
waktu penukaran sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pencabutan dan penarikan uang rupiah.
(2) Penggantian atas Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik
dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku setelah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal
pencabutan.
(3) Jangka waktu penggantian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), diatur sebagai berikut:
a. 5 (lima) tahun sejak tanggal pencabutan, penukaran
dilakukan di Bank Indonesia, Bank yang beroperasi
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia; dan
b. 5 (lima) tahun sejak berakhirnya jangka waktu
penukaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
penukaran dilakukan di Bank Indonesia dan pihak
lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(4) Jangka waktu penggantian atas Uang Rupiah yang
dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Uang Rupiah
yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebelum tanggal
17 Mei 1999 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pencabutan
dan penarikan uang rupiah.
Pasal 12
Bank Indonesia memberikan penggantian kepada masyarakat
yang menukarkan Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Cacat,
atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran
dalam kondisi rusak sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang
ditukarkan apabila memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) atau Pasal 10 ayat (1).
Bagian Ketiga
Penukaran Uang Rupiah Khusus
Pasal 13
(1) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada
masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Khusus
sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan
sepanjang Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya.
(2) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada
masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Khusus
dalam kondisi lusuh atau cacat sebesar nilai nominal
Uang Rupiah yang ditukarkan sepanjang Ciri Uang
Rupiah dapat dikenali keasliannya.
(3) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada
masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Khusus
dalam kondisi rusak sebesar nilai nominal Uang Rupiah
yang ditukarkan sepanjang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan
Pasal 10 ayat (1).
BAB IV
UANG RUPIAH RUSAK YANG KERUSAKANNYA DIDUGA
DILAKUKAN SECARA SENGAJA ATAU
DILAKUKAN SECARA SENGAJA
Pasal 14
Bank Indonesia tidak memberikan penggantian terhadap
Uang Rupiah Rusak apabila menurut Bank Indonesia
kerusakan Uang Rupiah tersebut:
a. diduga dilakukan secara sengaja; atau
b. dilakukan secara sengaja.
Pasal 15
(1) Kerusakan Uang Rupiah diduga dilakukan secara sengaja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a apabila
tanda kerusakan fisik Uang Rupiah meyakinkan Bank
Indonesia adanya dugaan unsur kesengajaan.
(2) Kerusakan Uang Rupiah dilakukan secara sengaja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b apabila
berdasarkan pembuktian melalui laboratorium dan/atau
putusan pengadilan disimpulkan atau diputuskan bahwa
Uang Rupiah dirusak secara sengaja.
BAB V
UANG RUPIAH YANG TIDAK MENDAPAT PENGGANTIAN
Pasal 16
(1) Bank Indonesia mengembalikan Uang Rupiah yang tidak
mendapat penggantian kepada penukar.
(2) Bank Indonesia memberikan tanda pada Uang Rupiah
yang tidak mendapat penggantian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dengan mencantumkan frasa
โTIDAK DIGANTIโ atau tanda lainnya yang
memungkinkan untuk dicantumkan pada Uang Rupiah
tersebut sebelum dikembalikan kepada penukar.
Pasal 17
(1) Uang Rupiah yang tidak mendapat penggantian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dapat diserahkan
oleh penukar kepada Bank Indonesia untuk
dimusnahkan.
(2) Penyerahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan pengisian dan
penandatanganan formulir penyerahan Uang Rupiah.
(3) Bank Indonesia memusnahkan Uang Rupiah yang
diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
dituangkan dalam berita acara.
BAB VI
PENELITIAN TERHADAP UANG RUPIAH
Pasal 18
(1) Dalam hal diperlukan, pemeriksaan untuk penggantian
Uang Rupiah Rusak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) dapat ditindaklanjuti dengan penelitian
terhadap Uang Rupiah Rusak sepanjang disetujui oleh
penukar.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam formulir penelitian yang memuat:
a. identitas dan alamat lengkap penukar;
b. persetujuan bahwa Uang Rupiah Rusak diserahkan
kepada Bank Indonesia untuk dilakukan penelitian;
c. persetujuan bahwa Uang Rupiah Rusak setelah
penelitian tidak dikembalikan oleh Bank Indonesia
apabila kondisi fisik Uang Rupiah Rusak tersebut
tidak memungkinkan untuk dikembalikan dan
selanjutnya dimusnahkan oleh Bank Indonesia;
d. nomor telepon penukar yang dapat dihubungi;
e. alamat surat elektronik penukar apabila ada;
f. nama dan nomor rekening Bank yang ditunjuk oleh
penukar apabila penggantian dilakukan secara
transfer; dan
g. keterangan lainnya apabila diperlukan.
(3) Bank Indonesia melakukan penelitian dan
menyampaikan pemberitahuan hasil penelitian kepada
penukar paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal formulir penelitian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4) Penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan melalui surat dan/atau surat
elektronik.
(5) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan
memberitahukan kepada penukar melalui surat
dan/atau surat elektronik.
Pasal 19
(1) Dalam hal hasil penelitian menyatakan Uang Rupiah
Rusak mendapat penggantian maka Bank Indonesia
memberikan penggantian kepada penukar secara:
a. tunai; atau
b. transfer ke rekening Bank yang ditunjuk oleh
penukar.
(2) Bank Indonesia mengembalikan Uang Rupiah Rusak
yang tidak mendapatkan penggantian berdasarkan hasil
penelitian kepada penukar sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2),
sepanjang kondisi fisik Uang Rupiah Rusak tersebut
memungkinkan untuk dikembalikan.
(3) Dalam memberikan penggantian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan konfirmasi
kepada penukar mengenai:
a. kebenaran identitas penukar;
b. jumlah Uang Rupiah Rusak yang memperoleh
penggantian;
c.
lokasi dan waktu pengambilan penggantian secara
tunai di kantor Bank Indonesia;
d. rekening Bank yang ditunjuk oleh penukar, apabila
penukar memilih penggantian dengan cara transfer
ke rekening Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b; dan/atau
e. pengambilan fisik Uang Rupiah Rusak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) di kantor Bank Indonesia.
(4) Dalam hal penukar tidak dapat dihubungi oleh Bank
Indonesia selama jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
tanggal konfirmasi pertama atau penukar tidak diketahui
keberadaannya maka penyelesaian terhadap penggantian
Uang Rupiah dialihkan kepada pihak yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Dalam hal penukar tidak bersedia mengambil atau tidak
dapat dihubungi oleh Bank Indonesia selama jangka
waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal konfirmasi pertama
atau penukar tidak diketahui keberadaannya maka Bank
Indonesia memusnahkan Uang Rupiah Rusak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dituangkan
dalam berita acara.
BAB VII
PENUKARAN UANG RUPIAH MELALUI POS
Pasal 20
(1) Masyarakat dapat melakukan Penukaran Uang Rupiah
Cacat, Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari
peredaran, dan/atau Uang Rupiah Rusak dengan cara
mengirimkan formulir penukaran disertai fisik Uang
Rupiah tersebut ke kantor Bank Indonesia terdekat
menggunakan pos tercatat atau penyedia jasa pengiriman
barang.
(2) Pengiriman formulir penukaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditujukan ke alamat kantor Bank Indonesia
yang tercantum dalam laman resmi Bank Indonesia.
(3) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi Bank dan lembaga keuangan bukan Bank.
(4) Masyarakat yang melakukan penukaran Uang Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan
hal sebagai berikut:
a. mengisi formulir penukaran sesuai contoh yang
tercantum pada Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
b. memilah dan mengemas Uang Rupiah dengan tata
cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
dan ayat (3); dan
c. menempatkan Uang Rupiah ke dalam amplop atau
kemasan yang tertutup dan tidak mudah rusak.
(5) Bank Indonesia menerima dan mencatat formulir
penukaran berikut fisik Uang Rupiah Cacat, Uang
Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran,
dan/atau Uang Rupiah Rusak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan jumlah dan kondisi fisik
Uang Rupiah tersebut sebagai bukti Penukaran Uang
Rupiah.
(6) Segala risiko yang terjadi terhadap fisik Uang Rupiah
Cacat, Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari
peredaran, dan/atau Uang Rupiah Rusak selama dalam
proses pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi tanggung jawab penukar.
Pasal 21
(1) Penggantian terhadap Uang Rupiah yang ditukarkan
dengan menggunakan pos tercatat atau penyedia jasa
pengiriman barang diberikan berdasarkan hasil
penelitian Bank Indonesia.
(2) Tata cara penelitian dan penggantian Uang Rupiah Rusak
yang disampaikan menggunakan pos tercatat atau
penyedia jasa pengiriman barang dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19.
BAB VIII
PENUKARAN UANG RUPIAH OLEH BANK
Pasal 22
(1) Bank yang beroperasi di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia memberikan layanan Penukaran
Uang Rupiah kepada masyarakat.
(2) Pelaksanaan Penukaran Uang Rupiah kepada
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di setiap kantor operasional Bank.
Pasal 23
(1) Penggantian Uang Rupiah oleh Bank kepada penukar
dilakukan secara:
a. tunai; atau
b. mengkredit rekening simpanan yang ditunjuk oleh
penukar di Bank yang bersangkutan.
(2) Dalam hal penggantian dilakukan secara tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a maka Bank
memberikan Uang Rupiah yang masih layak edar dengan
jenis pecahan sesuai yang dibutuhkan oleh penukar.
(3) Jenis pecahan sesuai yang dibutuhkan oleh penukar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
sepanjang Bank memiliki persediaan jenis pecahan
tersebut.
(4) Dalam hal penggantian dilakukan dengan cara
mengkredit ke rekening simpanan yang ditunjuk oleh
penukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
maka Bank harus terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dari penukar.
Pasal 24
Bank tidak boleh menolak permintaan Penukaran Uang
Rupiah dari masyarakat sepanjang Bank memiliki persediaan
Uang Rupiah yang masih layak edar.
Pasal 25
(1) Masyarakat yang akan menukarkan Uang Rupiah kepada
Bank harus terlebih dahulu memilah dan mengemas
Uang Rupiah yang akan ditukarkan menurut jenis
pecahan, disusun searah, tahun emisi, dan dipisahkan
antara Uang Rupiah yang masih layak edar, Uang Rupiah
yang Tidak Layak Edar, dan Uang Rupiah yang dicabut
dan ditarik dari peredaran serta dikemas dengan tata
cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf b dan Pasal 6 ayat (3) huruf b.
(2) Bank dalam melakukan penggantian terhadap:
a. Uang Rupiah yang masih layak edar berpedoman
pada persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7;
b. Uang Rupiah Lusuh dan/atau Uang Rupiah Cacat
berpedoman pada persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8;
c. Uang Rupiah Rusak berpedoman pada persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2);
dan/atau
d. Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari
peredaran berpedoman pada persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(3) Dalam hal Bank mengalami kesulitan dalam melakukan
penggantian terhadap Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah
yang dicabut dan ditarik dari peredaran, dan/atau Uang
Rupiah Rusak yang ditukarkan oleh penukar karena
memerlukan penelitian, Bank menindaklanjuti dengan
menerima dan menyampaikan Uang Rupiah tersebut
kepada Bank Indonesia.
(4) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:
a. mencatat identitas lengkap penukar;
b. meminta penukar mengisi dan menandatangani
formulir penukaran;
c. menginformasikan kepada penukar bahwa Uang
Rupiah dimaksud akan disampaikan kepada kantor
Bank Indonesia terdekat untuk memperoleh hasil
penelitian akan diganti atau tidak diganti;
d. menginformasikan kepada penukar apabila Uang
Rupiah tersebut tidak mendapatkan penggantian
dari Bank Indonesia maka fisik Uang Rupiah akan
dimusnahkan oleh Bank Indonesia; dan
e. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah sampai dengan
Uang Rupiah tersebut disampaikan kepada kantor
Bank Indonesia terdekat.
(5) Formulir penukaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) memuat:
a. identitas dan alamat lengkap penukar;
b. persetujuan bahwa Uang Rupiah Rusak diserahkan
kepada Bank Indonesia untuk dilakukan penelitian;
c. persetujuan bahwa Uang Rupiah Rusak setelah
penelitian tidak dikembalikan oleh Bank Indonesia;
d. nomor telepon penukar yang dapat dihubungi;
e. nama dan nomor rekening Bank yang ditunjuk oleh
penukar apabila penggantian dilakukan secara
transfer; dan
f.
keterangan lainnya apabila diperlukan.
Pasal 26
(1) Bank meneruskan Uang Rupiah yang diserahkan oleh
penukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3)
kepada kantor Bank Indonesia terdekat secara langsung
dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) dan ayat (3).
(2) Bank Indonesia memberikan bukti Penukaran Uang
Rupiah kepada Bank untuk disampaikan kepada
penukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3).
(3) Tanpa mengesampingkan atau mengurangi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf b,
Bank dapat menerima Penukaran Uang Rupiah yang
dicabut dan ditarik dari peredaran.
(4) Dalam hal Bank menerima Penukaran Uang Rupiah yang
dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), tata cara pelaksanaan
penggantiannya mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
Pasal 27
(1) Bank harus menahan Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya yang diterima dari masyarakat dalam
kegiatan Penukaran Uang Rupiah.
(2) Bank menindaklanjuti Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya yang diterima dari masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai klarifikasi atas uang
rupiah yang diragukan keasliannya.
BAB VII
PENYELESAIAN TERHADAP UANG RUPIAH TIDAK ASLI
Pasal 28
(1) Bank Indonesia tidak memberikan penggantian terhadap
Uang Rupiah tidak asli yang diterima dari masyarakat
dalam kegiatan Penukaran Uang Rupiah.
(2) Bank Indonesia menahan Uang Rupiah tidak asli yang
diperoleh dari masyarakat dalam Penukaran Uang
Rupiah untuk diselesaikan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai klarifikasi atas
uang rupiah yang diragukan keasliannya.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 29
(1) Masyarakat dapat meminta klarifikasi atas Uang Rupiah
yang diragukan keasliannya kepada Bank Indonesia
dalam kegiatan Penukaran Uang Rupiah di luar kantor
Bank Indonesia.
(2) Tata cara permintaan klarifikasi atas Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai klarifikasi atas uang rupiah yang
diragukan keasliannya.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
10/8/DPU tanggal 28 Februari 2008 perihal Penukaran Uang
Rupiah sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 13/12/DPU tanggal 29 April 2011, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 31
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 2 Januari 2018.
Agar
setiap
orang
mengetahuinya, memerintahkan
penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 November 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/ 13 /PADG/2017
TENTANG
PENUKARAN UANG RUPIAH
I. UMUM
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang diatur bahwa Bank Indonesia, Bank yang beroperasi di di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk oleh
Bank Indonesia melakukan penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat.
Penukaran Uang Rupiah oleh Bank tersebut sejalan dengan peran
perbankan sebagai lembaga intermediasi.
Penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat merupakan salah satu
kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan Uang
Rupiah dalam jumlah nominal yang cukup, tepat waktu, jenis pecahan
yang sesuai, dan dalam kondisi yang layak edar.
Untuk memberikan kemudahan akses Penukaran Uang Rupiah
kepada masyarakat maka Bank Indonesia membuka kesempatan bagi
masyarakat untuk mengirimkan Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah yang
dicabut dan ditarik dari peredaran, dan/atau Uang Rupiah Rusak kepada
kantor Bank Indonesia terdekat menggunakan pos tercatat atau penyedia
jasa pengiriman barang. Selain itu, Penukaran Uang Rupiah oleh Bank
kepada nasabahnya dapat dilakukan dengan cara mengkredit rekening
simpanan yang ditunjuk penukar di Bank tersebut dalam rangka
efektivitas layanan Penukaran Uang Rupiah oleh Bank.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan โUang Rupiah yang hilang atau musnahโ
adalah Uang Rupiah yang karena suatu sebab maka fisik dan/atau
tanda keasliannya telah hilang atau musnah.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Kantor Bank Indonesia meliputi Kantor Pusat Bank
Indonesia dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam
Negeri yang memiliki fungsi pengelolaan Uang Rupiah.
Penukaran Uang Rupiah di luar kantor Bank Indonesia
dilaksanakan antara lain dalam bentuk kas keliling yaitu
layanan Penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat
dengan menggunakan moda transportasi di tempat
keramaian dan/atau tempat lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Huruf b
Pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia adalah badan
usaha yang memiliki kerja sama Penukaran Uang Rupiah
dengan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Pengumuman kepada masyarakat dilakukan melalui media
massa, pengumuman di kantor Bank Indonesia, dan/atau
laman resmi Bank Indonesia.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
3
Ayat (2)
Waktu tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain
menjelang hari raya keagamaan, hari libur nasional, atau waktu
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pengumuman kepada masyarakat dilakukan melalui media
massa, pengumuman di kantor Bank Indonesia, dan/atau
laman resmi Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Pemilahan dan pengemasan Uang Rupiah oleh masyarakat
bertujuan untuk kemudahan dan kelancaran proses Penukaran
Uang Rupiah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โpecahanโ adalah angka yang tercantum
pada Uang Rupiah sebagai nilai nominal.
Yang dimaksud dengan โtahun emisiโ adalah tahun pengeluaran
Uang Rupiah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โpecahanโ adalah angka yang tercantum
pada Uang Rupiah sebagai nilai nominal.
Yang dimaksud dengan โtahun emisiโ adalah tahun pengeluaran
Uang Rupiah.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
4
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โsatu kesatuanโ adalah kondisi fisik
Uang Rupiah Kertas yang diserahkan oleh masyarakat
hanya terdiri atas 1 (satu) bagian.
Yang dimaksud dengan โtidak merupakan satu kesatuanโ
adalah kondisi fisik Uang Rupiah Kertas terdiri atas 2 (dua)
bagian atau lebih yang terpisah yang tidak disambungkan
atau disambungkan kembali dengan perekat atau alat
lainnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pertimbangan tertentu Bank Indonesia antara lain Uang Rupiah
Rusak sebagian karena terbakar yang disebabkan oleh
kebakaran rumah/properti lain.
Surat keterangan dari kelurahan atau kantor Kepolisian Negara
Republik Indonesia berisi antara lain keterangan terjadinya
kebakaran rumah/properti lain atau kecelakaan atau kejadian
lain yang menyebabkan terbakarnya Uang Rupiah, waktu
kejadian, dan perkiraan nilai nominal Uang Rupiah yang
terbakar.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
5
Ayat (4)
Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebelum
tanggal 17 Mei 1999 memiliki jangka waktu penukaran lebih
dari 10 (sepuluh) tahun, seperti contoh Uang Rupiah pecahan
10.000 tahun emisi 1979 yang dicabut dan ditarik dari
peredaran mulai tanggal 1 Mei 1992 memiliki jangka waktu
penukaran sampai dengan tanggal 30 April 2025.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Uang Rupiah Khusus terdiri atas:
a. Uang Rupiah Kertas yang dapat berbentuk Uang Rupiah
Kertas bersambung (uncut banknotes); dan
b. Uang Rupiah Logam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Dugaan kesengajaan antara lain terdapat bekas potongan
dengan alat tajam atau alat lainnya, benang pengaman hilang
seluruhnya atau sebagian karena dirusak, dan/atau jumlah
Uang Rupiah yang ditukarkan relatif banyak dengan pola
kerusakan yang sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
6
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pertimbangan Bank Indonesia memberikan tanda pada Uang
Rupiah yang tidak mendapat penggantian karena Uang Rupiah
tersebut dinyatakan sudah tidak memiliki nilai nominal.
Pasal 17
Ayat (1)
Pertimbangan penyerahan Uang Rupiah yang tidak mendapat
penggantian kepada Bank Indonesia untuk dimusnahkan antara
lain:
a. Uang Rupiah yang tidak mendapat penggantian sudah tidak
memiliki nilai nominal; dan
b. mencegah Uang Rupiah yang tidak mendapat penggantian
beredar kembali di masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pemberitahuan kepada penukar bertujuan untuk memberikan
kepastian bagi penukar.
7
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penggantian secara tunai adalah
penukar menerima penggantian berupa Uang Rupiah yang
masih layak edar baik dalam pecahan yang sama atau pecahan
lainnya.
Penggantian dari Bank Indonesia dilakukan di kantor Bank
Indonesia tempat penukar menukarkan Uang Rupiah.
Ayat (2)
Proses penelitian terhadap Uang Rupiah Rusak dapat
menyebabkan kondisi fisik Uang Rupiah tersebut musnah atau
tidak dapat lagi dikembalikan kepada penukar.
Ayat (3)
Konfirmasi kepada penukar dilakukan melalui telepon dan/atau
surat elektronik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Penukaran Uang Rupiah melalui pos tercatat atau penyedia jasa
pengiriman barang bertujuan untuk memberikan kemudahan
akses kepada masyarakat untuk menukarkan Uang Rupiah
Cacat, Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran,
dan/atau Uang Rupiah Rusak kepada kantor Bank Indonesia
terdekat. Masyarakat dapat mencantumkan tulisan โPenukaran
Uang Rupiahโ pada amplop atau kemasan lain yang tertutup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
8
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Bank sebagai lembaga intermediasi memiliki tugas memberikan
layanan Penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat yang
didukung dengan jaringan kantor operasional Bank yang ada di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Termasuk Bank yaitu kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
Yang dimaksud dengan masyarakat merupakan masyarakat
yang memiliki rekening simpanan (nasabah) dan yang tidak
memiliki rekening simpanan (selain nasabah) di Bank tersebut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Penukaran Uang Rupiah di setiap kantor
operasional Bank termasuk dalam hal kantor operasional Bank
tersebut melakukan kegiatan di luar kantor dengan penyediaan
layanan Penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penggantian secara tunai adalah
penukar menerima penggantian berupa Uang Rupiah yang
masih layak edar dari Bank di kantor atau luar kantor Bank
tempat penukar menukarkan Uang Rupiah.
Yang dimaksud dengan penggantian secara mengkredit rekening
simpanan yang ditunjuk penukar di Bank tersebut adalah untuk
efektivitas layanan Penukaran Uang Rupiah oleh Bank kepada
nasabahnya.
Ayat (2)
Uang Rupiah yang masih layak edar sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
9
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Pemilahan dan pengemasan Uang Rupiah oleh masyarakat
bertujuan untuk kemudahan dan kelancaran proses Penukaran
Uang Rupiah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bank tetap menerima dan menyampaikan Uang Rupiah Cacat,
Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran, dan/atau
Uang Rupiah Rusak kepada kantor Bank Indonesia terdekat
dimaksudkan untuk membantu masyarakat dalam melakukan
Penukaran Uang Rupiah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Bank harus meminta klarifikasi atas Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya yang diperoleh dari penukar kepada
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
10
Pasal 29
Ayat (1)
Kegiatan Penukaran Uang Rupiah di luar kantor Bank Indonesia
seperti kegiatan kas keliling.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/13/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> PENUKARAN UANG RUPIAH </reg_title>
<set_date> 27 November 2017 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '13/12/DPU|SE-BI/2011', '10/8/DPU|SE-BI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '14/7/PBI/2012' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/ 7/PADG/2017
TENTANG
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO
DI PASAR UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan
efisien dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang
yang dapat ditransaksikan oleh pelaku pasar uang
berupa sertifikat deposito;
b. bahwa untuk menciptakan pasar yang teratur dan efisien
diperlukan pengaturan sertifikat deposito yang
ditransaksikan di pasar uang;
c. bahwa pengaturan
sertifikat deposito yang
ditransaksikan di pasar uang perlu memperhatikan
aspek tata kelola yang baik, mekanisme transaksi yang
aman dan efisien, serta memperhatikan prinsip kehati-
hatian dan didukung dengan pengawasan yang efektif;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang
Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016
tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5909);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/2/PBI/2017 tentang
Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6034);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO DI PASAR UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
2. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pasar modal.
3. Kustodian adalah kustodian sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar
modal.
4. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah
perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing.
5. Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk
deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat
dipindahtangankan.
6. Transaksi Sertifikat Deposito adalah pemindahtanganan
secara jual-beli putus (outright) Sertifikat Deposito yang
dilakukan melalui Pasar Uang dengan kesepakatan
harga, mekanisme penyelesaian, dan penatausahaan
tertentu.
7. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau
selanjutnya disingkat LPP adalah pihak yang
menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral bagi Bank
Kustodian, Perusahaan Efek, dan pihak lain untuk
kepentingan pencatatan dan penatausahaan Sertifikat
Deposito dalam bentuk tanpa warkat.
8. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum, atau
badan lainnya yang tidak berdomisili di Indonesia atau
berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu) tahun dan
kegiatan utamanya tidak di Indonesia.
9. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang
bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam-
meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai
dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan
valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan
moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan dan
kelancaran sistem pembayaran.
BAB II
TENOR SERTIFIKAT DEPOSITO YANG DITRANSAKSIKAN DI
PASAR UANG
Pasal 2
(1) Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang
memiliki tenor paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 36 (tiga puluh enam) bulan, yaitu 1 (satu) bulan, 3
(tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, 12 (dua
belas) bulan, 24 (dua puluh empat) bulan, atau 36 (tiga
puluh enam) bulan.
(2) Perhitungan tenor Sertifikat Deposito yang
ditransaksikan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a.
tenor dihitung mulai dari tanggal penerbitan sampai
dengan tanggal jatuh tempo Sertifikat Deposito yang
ditransaksikan di Pasar Uang;
b. perhitungan 1 (satu) bulan tenor sama dengan 30
(tiga puluh) hari kalender;
c. dalam hal Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di
Pasar Uang memiliki jumlah hari bukan kelipatan 30
(tiga puluh) hari, dilakukan pembulatan dalam
perhitungan tenor sesuai dengan kelebihan hari dari
kelipatan 30 (tiga puluh) hari terakhir; dan
d. pembulatan dilakukan ke bawah (rounded down)
dalam perhitungan tenor apabila kelebihan hari
kurang dari 15 (lima belas) hari.
(3) Contoh perhitungan tenor sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
BAB III
PENGAJUAN PERMOHONAN IZIN
Bagian Kesatu
Pengajuan Permohonan Izin Sebagai Penerbit Sertifikat
Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang
Pasal 3
(1) Bank yang akan menerbitkan Sertifikat Deposito yang
ditransaksikan di Pasar Uang wajib memperoleh izin dari
Bank Indonesia.
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan
surat permohonan yang dilengkapi dengan dokumen
pendukung sebagai berikut:
a.
informasi perusahaan, paling sedikit meliputi nama,
alamat kantor pusat dan kontak korespondensi,
serta daftar nama direksi dan dewan komisaris
perusahaan;
b.
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang, berikut perubahan
anggaran dasar terkini yang telah memperoleh
persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah
diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari instansi yang
berwenang;
c.
fotokopi surat persetujuan untuk menerbitkan
Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat
(scripless) dari otoritas yang berwenang; dan
d. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen
perusahaan.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d meliputi komitmen manajemen untuk:
a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya;
b. memenuhi kriteria Sertifikat Deposito sesuai dengan
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi
Sertifikat Deposito di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya setiap kali akan menerbitkan
Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar
Uang;
c. menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko dalam penerbitan Sertifikat Deposito yang
ditransaksikan di Pasar Uang; dan
d. mempertimbangkan risiko sistemik dalam
penerbitan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan
di Pasar Uang.
(4) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
(5) Contoh dokumen informasi perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, tercantum dalam
Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kedua
Pengajuan Permohonan Izin Sebagai Perantara Pelaksanaan
Transaksi Sertifikat Deposito
Pasal 4
(1) Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang yang bertindak
sebagai perantara pelaksanaan Transaksi Sertifikat
Deposito wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengajukan surat permohonan yang dilengkapi dengan
dokumen pendukung sebagai berikut:
a.
informasi perusahaan, paling sedikit meliputi nama,
alamat kantor pusat dan kontak korespondensi,
serta daftar nama direksi dan dewan komisaris
perusahaan;
b.
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang, berikut perubahan
anggaran dasar terkini yang telah memperoleh
persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah
diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari instansi yang
berwenang;
c.
fotokopi surat persetujuan izin usaha sebagai
perantara pedagang efek dari otoritas yang
berwenang;
d. prosedur operasi standar dalam kegiatan perantara
pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito; dan
e.
surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen
perusahaan.
(3) Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengajukan surat permohonan yang dilengkapi dengan
dokumen pendukung berupa surat pernyataan yang
berisi komitmen manajemen perusahaan.
(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf e dan ayat (3) meliputi komitmen manajemen
untuk:
a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya;
b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito sesuai
dengan ketentuan yang berlaku; dan
c. menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko dalam Transaksi Sertifikat Deposito.
(5) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Contoh dokumen informasi perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a tercantum dalam
Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(7) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf e dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran
VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Ketiga
Pengajuan Permohonan Izin Sebagai Kustodian Sertifikat
Deposito
Pasal 5
(1) Bank dan Perusahaan Efek yang bertindak sebagai
Kustodian Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di
Pasar Uang wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengajukan surat permohonan yang dilengkapi
dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a.
informasi perusahaan, paling sedikit meliputi nama,
alamat kantor pusat dan kontak korespondensi,
serta daftar nama direksi dan dewan komisaris
perusahaan;
b.
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang, berikut perubahan
anggaran dasar terkini yang telah memperoleh
persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah
diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari instansi yang
berwenang;
c. prosedur operasi standar dalam kegiatan kustodian
Sertifikat Deposito; dan
d. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen
perusahaan.
(3) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Bank menyampaikan fotokopi surat
persetujuan izin kegiatan usaha bank umum sebagai
Kustodian dari otoritas yang berwenang.
(4) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Perusahaan Efek menyampaikan fotokopi
surat persetujuan izin kegiatan usaha sebagai perantara
pedagang efek yang dapat mengadministrasikan rekening
efek nasabah dari otoritas yang berwenang;
(5) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d meliputi komitmen manajemen untuk:
a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito di Pasar Uang beserta peraturan
pelaksanaannya; dan
b. menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko dalam pelaksanaan fungsi kustodian
Transaksi Sertifikat Deposito.
(6) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
(7) Contoh dokumen informasi perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, tercantum dalam
Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(8) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d tercantum dalam Lampiran VII yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 6
Pengajuan permohonan izin ke Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ditujukan
kepada:
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan
Bank Indonesia
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
BAB IV
PEMROSESAN PERMOHONAN IZIN
Pasal 7
(1) Bank Indonesia memberikan izin atau menolak
permohonan secara tertulis paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja terhitung sejak surat permohonan dan
dokumen pendukung sesuai yang dipersyaratkan
diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia melakukan penelitian administratif
terhadap kesesuaian dokumen yang diajukan
sebagaimana kriteria yang ditetapkan di dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di
Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya.
(3) Bank Indonesia dapat melakukan klarifikasi lanjutan
dalam bentuk:
a. pertemuan tatap muka dengan pihak yang
mengajukan izin untuk melakukan verifikasi atas
kebenaran dan kesesuaian dokumen yang diajukan;
dan/atau
b. meminta informasi kepada otoritas yang berwenang.
(4) Berdasarkan hasil penelitian administratif dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan klarifikasi
lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank
Indonesia memutuskan untuk:
a. memberikan izin; atau
b. menolak permohonan.
(5)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a
diberikan dalam hal:
a. hasil penelitian administratif menunjukkan bahwa
dokumen yang disampaikan pemohon telah lengkap,
benar, dan sesuai dengan kriteria yang diatur oleh
Bank Indonesia; dan
b. hasil klarifikasi lanjutan menunjukkan kebenaran
sesuai dengan dokumen yang diajukan dan/atau
tidak terdapat permasalahan berdasarkan infomasi
dari otoritas yang berwenang;
(6) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf b ditolak dalam hal:
a. hasil penelitian administratif menunjukkan bahwa
dokumen yang disampaikan pemohon tidak benar
dan/atau tidak sesuai terhadap kriteria yang diatur
dengan yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia;
dan
b. hasil klarifikasi lanjutan tidak menunjukkan
kebenaran dan kesesuaian dengan dokumen yang
diajukan
dan/atau
berdasarkan informasi dari otoritas yang berwenang.
terdapat permasalahan
Pasal 8
Izin sebagai penerbit, perantara pelaksanaan transaksi,
dan/atau Kustodian Sertifikat Deposito yang ditransaksikan
di Pasar Uang dapat dicabut oleh Bank Indonesia dalam hal:
a.
izin usaha sebagai Bank, Perusahaan Efek, dan/atau
Perusahaan Pialang dicabut oleh otoritas yang
berwenang;
b.
c.
d.
terdapat putusan badan peradilan;
terdapat rekomendasi dari otoritas yang berwenang;
telah dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan
di Pasar Uang sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana diatur
di dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi
Sertifikat Deposito di Pasar Uang; dan/atau
e. berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia
menunjukkan adanya permasalahan yang mempengaruhi
kemampuan Bank, Perusahaan Efek, dan/atau
Perusahaan Pialang, dalam melakukan kegiatan
sebagaimana diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia
tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang.
BAB V
KETERBUKAAN INFORMASI DAN PENDAFTARAN PADA LPP
Bagian Kesatu
Keterbukaan Informasi
Pasal 9
Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito yang
ditransaksikan di Pasar Uang harus mencantumkan
pernyataan โdapat ditransaksikan di Pasar Uangโ dalam
halaman depan dokumen informasi penawaran kepada
investor.
Bagian Kedua
Pendaftaran pada LPP
Pasal 10
(1) Bank yang telah mendapatkan izin dari Bank Indonesia
untuk menerbitkan Sertifikat Deposito yang
ditransaksikan di Pasar Uang harus menyampaikan
fotokopi surat izin dimaksud kepada LPP sebagai bagian
dari dokumen pendukung pendaftaran instrumen
Sertifikat Deposito dalam penatausahaan LPP.
(2) Penyampaian fotokopi surat izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan sebelum Sertifikat
Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang terdaftar
secara efektif di LPP.
BAB VI
PENYAMPAIAN INFORMASI PENERBITAN
Pasal 11
(1) Bank yang telah mendapatkan izin untuk menerbitkan
Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang
dari Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi
realisasi penerbitan secara tertulis kepada Bank
Indonesia setiap kali menerbitkan Sertifikat Deposito
yang ditransaksikan di Pasar Uang.
(2)
Informasi realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) antara lain:
a. security name (termasuk seri penerbitan) dan nomor
International Securities Identification Number (ISIN);
b. nominal penerbitan;
c. diskonto;
d.
e.
f.
jangka waktu;
tanggal penerbitan;
tanggal jatuh tempo; dan
g. penatalaksana penerbitan (arranger).
(3)
Informasi realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat 5 (lima)
hari kerja setelah Sertifikat Deposito diterbitkan dan
dicatat secara efektif pada LPP.
(4) Penyampaian informasi realisasi penerbitan ke Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
kepada alamat korespondensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6.
BAB VII
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO DI PASAR UANG
Pasal 12
(1) Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito harus
dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
transaksi (t+5).
(2) Contoh penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran IX yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 13
(1) Perhitungan harga Transaksi Sertifikat Deposito
menggunakan konvensi perhitungan hari (day-count
convention) yaitu Actual/360.
(2) Contoh perhitungan harga Transaksi Sertifikat Deposito
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran X yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 14
(1) Penentuan harga dalam Transaksi Sertifikat Deposito
dapat mengacu pada suku bunga acuan yang berlaku
secara umum di Pasar Uang.
(2) Suku bunga acuan yang berlaku secara umum di Pasar
Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) untuk mata
uang rupiah; atau
b. London Interbank Offered Rate (LIBOR) atau suku
bunga acuan lainnya yang lazim digunakan untuk
mata uang valuta asing.
Pasal 15
(1) Bank dan Perusahaan Efek dilarang menjual Sertifikat
Deposito yang berdenominasi rupiah dan/atau valuta
asing kepada Bukan Penduduk di pasar sekunder.
(2) Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang dilarang
memberikan jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito
yang berdenominasi rupiah dan/atau valuta asing dari
nasabah penduduk kepada Bukan Penduduk di pasar
sekunder.
(3) Contoh larangan transaksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran XI yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB VIII
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pelaporan Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang
Pasal 16
(1) Pelapor Transaksi Sertifikat Deposito terdiri atas:
a. Bank;
b. Perusahaan Efek; dan
c. Perusahaan Pialang.
(2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia yang
terdiri atas:
a.
laporan Transaksi Sertifikat Deposito untuk
kepentingan sendiri yang dilakukan oleh Bank dan
Perusahaan Efek; dan/atau
b.
laporan Transaksi Sertifikat Deposito untuk
kepentingan nasabah yang dilakukan oleh
Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang sebagai
perantara.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan pengaturan
sebagai berikut:
a. bagi pelapor Bank, melalui sistem laporan harian
bank umum;
b. bagi pelapor Perusahaan Efek dan Perusahaan
Pialang, melalui sistem laporan sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan transaksi sertifikat deposito oleh
perusahaan efek dan perusahaan pialang.
(4) Tata cara penyampaian laporan mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian
bank umum dan laporan transaksi sertifikat deposito
oleh perusahaan efek dan perusahaan pialang.
Bagian Kedua
Pelaporan Penatausahaan Sertifikat Deposito
Pasal 17
(1) LPP wajib menyampaikan laporan atas penatausahaan
Sertifikat Deposito kepada Bank Indonesia secara
periodik.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam perjanjian antara
Bank Indonesia dengan LPP.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 18
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank,
Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan LPP yang
terkait dengan penerbitan dan transaksi Sertifikat
Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi
dengan otoritas lain yang berwenang.
Pasal 19
(1) Bank, Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan LPP
wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi,
dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank
Indonesia.
(2) Bank, Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan LPP
wajib bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi,
dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank
Indonesia.
BAB X
PENGENAAN SANKSI
Bagian Kesatu
Pengenaan Sanksi Pelaporan
Pasal 20
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) dalam Peraturan Bank Indonesia
tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur tentang laporan harian bank
umum.
(2) Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar
Uang dan Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2) dalam
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito di Pasar Uang dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan transaksi sertifikat deposito oleh perusahaan
efek dan perusahaan pialang.
Bagian Kedua
Pengenaan Sanksi Teguran Tertulis
Pasal 21
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) dan/atau Pasal 7 ayat (2) dalam
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito di Pasar Uang dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Perusahaan Efek atau Perusahaan Pialang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) dan/atau Pasal 7 ayat (2) dalam
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(3) Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi
Sertifikat Deposito di Pasar Uang dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(4) Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis
kepada Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan
Pialang yang melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dengan
tembusan kepada otoritas yang berwenang.
Bagian Ketiga
Pengenaan Sanksi Kewajiban Membayar
Pasal 22
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dan/atau Pasal 5 ayat (1) dalam
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito di Pasar Uang dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari
nilai nominal penerbitan, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
per penerbitan.
(2) Bank atau Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dalam
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito di Pasar Uang dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari
nilai nominal transaksi yang tidak memenuhi
persyaratan dimaksud, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
per transaksi.
(3) Perusahaan Efek atau Perusahaan Pialang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia tentang
Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak
memenuhi persyaratan dimaksud, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
per transaksi.
(4) Bank Indonesia menyampaikan surat pengenaan sanksi
kewajiban membayar kepada Bank, Perusahaan Efek,
atau Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), dengan tembusan kepada otoritas yang berwenang.
(5) Pengenaan sanksi kewajiban membayar diatur sebagai
berikut:
a. Sanksi kewajiban membayar bagi Bank dilakukan
oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening
giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.
b. Sanksi kewajiban membayar bagi Perusahaan Efek
dan Perusahaan Pialang dilakukan dengan cara
melakukan setoran kepada rekening Bank Indonesia
dan menyampaikan bukti setoran paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah diterimanya surat
pengenaan sanksi kewajiban membayar kepada
alamat korespondensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.
(6) Contoh pengenaan sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Bagian Keempat
Pengenaan Sanksi Penghentian Sementara
Kegiatan di Pasar Uang
Pasal 23
(1) Bank yang melakukan pelanggaran atas Pasal 3 ayat (1),
Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 9
ayat (1), dan/atau Pasal 11 dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar
Uang, sebanyak 3 (tiga) kali selama 6 (enam) bulan
dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di
Pasar Uang, berupa penerbitan Sertifikat Deposito yang
ditransaksikan di Pasar Uang, kegiatan sebagai
Kustodian, dan/atau Transaksi Sertifikat Deposito untuk
kepentingan sendiri dan/atau nasabah, selama 1 (satu)
bulan.
(2) Perusahaan Efek yang melakukan pelanggaran atas Pasal
7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat
(2), dan/atau Pasal 11 dalam Peraturan Bank Indonesia
tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang,
sebanyak 3 (tiga) kali selama 6 (enam) bulan dikenakan
sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang,
yaitu kegiatan sebagai Kustodian dan/atau Transaksi
Sertifikat Deposito untuk kepentingan sendiri dan/atau
nasabah, selama 1 (satu) bulan.
(3) Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran atas
Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), dan/atau Pasal 11
dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi
Sertifikat Deposito di Pasar Uang, sebanyak 3 (tiga) kali
selama 6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian
sementara kegiatan di Pasar Uang, yaitu pemberian jasa
perantara pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito,
selama 1 (satu) bulan.
(4) Bank Indonesia menyampaikan surat penghentian
sementara kegiatan di Pasar Uang kepada Bank,
Perusahaan Efek, atau Perusahaan Pialang yang
melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dengan tembusan kepada
otoritas yang berwenang.
(5) Contoh pengenaan sanksi penghentian sementara
kegiatan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran XIII
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kelima
Pengenaan Sanksi Pencabutan Izin
Pasal 24
(1) Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang
yang telah mendapatkan sanksi penghentian sementara
kegiatan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Bank
Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar
Uang, sebanyak 3 (tiga) kali dikenakan sanksi
pencabutan izin yang telah diberikan.
(2) Bank Indonesia menyampaikan surat pencabutan izin
kepada Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan
Pialang, dengan tembusan kepada otoritas yang
berwenang.
(3) Contoh pengenaan sanksi pencabutan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XIV
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Surat Edaran Nomor 21/27/UPG tanggal 27 Oktober
1988 perihal Penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 26
Kewajiban pelaporan yang disampaikan oleh:
a. Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi
Sertifikat Deposito di Pasar Uang;
b. Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi
Sertifikat Deposito di Pasar Uang; atau
c. LPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat
Deposito di Pasar Uang,
mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018.
Pasal 27
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Juli 2017.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juni 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
PERRY WARJIYO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/7/PADG/2017
TENTANG
TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO
DI PASAR UANG
I. UMUM
Dalam rangka meningkatkan efektivitas kebijakan moneter,
makroprudensial, stabilitas sistem keuangan, kelancaran sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, perlu dilakukan
pengembangan pasar uang yang likuid, dalam, dan efisien. Salah satu
elemen utama pengembangan pasar uang adalah pengembangan
instrumen pasar uang yang mampu mendorong tersedianya variasi
instrumen bagi pelaku pasar.
Terkait hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 19/2/PBI/2017 tentang Transaksi Sertifikat
Deposito di Pasar Uang. Dalam ketentuan tersebut, Bank Indonesia
selaku otoritas di pasar uang mengatur, memberikan perizinan,
mengembangkan dan mengawasi Sertifikat Deposito yang dapat
ditransaksikan di Pasar Uang. Ketentuan tersebut merupakan landasan
hukum bagi pelaku pasar dalam melakukan transaksi Sertifikat Deposito
di Pasar Uang.
Dalam rangka implementasi ketentuan tersebut, Bank Indonesia
menetapkan peraturan pelaksanaan yang berfungsi sebagai pedoman
pelaksanaan bagi pelaku pasar dalam melakukan transaksi Sertifikat
Deposito di Pasar Uang, yang terdiri dari aspek perizinan, pelaporan, dan
pengawasan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โtanggal penerbitanโ adalah tanggal
dilakukannya distribusi Sertifikat Deposito secara
elektronik oleh LPP.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup pelaksanaan:
1.
2. perlindungan konsumen; dan
transparansi dan keterbukaan informasi kepada
nasabah;
3. penyelesaian sengketa.
Penerapan manajemen risiko dalam penerbitan Sertifikat
Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang mengacu pada
ketentuan otoritas yang berwenang mengatur penerapan
manajemen risiko bank.
Huruf d
Pertimbangan risiko sistemik bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman (awareness) penerbit mengenai
dampak dari penerbitan Sertifikat Deposito yang
ditransaksikan di Pasar Uang terhadap stabilitas sistem
keuangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Prosedur operasi standar mencakup paling sedikit antara
lain:
1.
judul prosedur operasi standar;
2. penanggung jawab prosedur operasi standar;
3. pihak yang melaksanakan prosedur operasi standar;
4. diagram alir (flowchart) dan penjelasan pelaksanaan
tahapan prosedur (input, process, output); dan
5. batasan waktu dan pelaksanaan dalam setiap
prosedur.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup:
1. penerapan etika bertransaksi dan market code of
conduct yang diterima secara umum;
2.
transparansi dan keterbukaan informasi kepada
nasabah;
3. perlindungan konsumen; dan
4. penyelesaian sengketa.
Penerapan manajemen risiko dalam penerbitan Sertifikat
Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang mengacu pada
ketentuan otoritas yang berwenang mengatur penerapan
manajemen risiko perusahaan efek.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Prosedur operasi standar mencakup antara lain:
1.
judul prosedur operasi standar;
2. penanggung jawab prosedur operasi standar;
3. pihak yang melaksanakan prosedur operasi standar;
4. diagram alir (flowchart) dan penjelasan pelaksanaan
tahapan prosedur (input, process, output); dan
5. batasan waktu dan pelaksanaan dalam setiap
prosedur.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup:
1. penerapan etika bertransaksi dan market code of
conduct yang diterima secara umum;
2.
transparansi dan keterbukaan informasi kepada
nasabah;
3. perlindungan konsumen; dan
4. penyelesaian sengketa.
Penerapan manajemen risiko dalam penerbitan Sertifikat
Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang mengacu pada
ketentuan otoritas yang berwenang mengatur penerapan
manajemen risiko bank dan perusahaan efek.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penelitian administratif dilakukan setelah surat permohonan
dan dokumen pendukung sesuai yang dipersyaratkan diterima
secara lengkap oleh Bank Indonesia.
Ayat (3)
Klarifikasi lanjutan dilakukan dalam hal diperlukan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โputusan badan peradilanโ adalah
putusan yang dapat mempengaruhi kinerja/legalitas Bank,
Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang, antara lain
putusan kepailitan, pembubaran perusahaan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 9
Pencantuman pernyataan โdapat ditransaksikan di Pasar Uangโ
dalam rangka transparansi kepada investor bahwa Sertifikat Deposito
yang memiliki fitur dapat ditransaksikan di Pasar Uang hanya dapat
diterbitkan oleh Bank yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
Dokumen informasi penawaran yang digunakan antara lain dalam
bentuk memorandum informasi atau dokumen sejenis yang lazim
dipergunakan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan โtanggal penerbitanโ adalah tanggal
dilakukannya distribusi Sertifikat Deposito secara
elektronik oleh LPP.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/7/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO DI PASAR UANG </reg_title>
<set_date> 19 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2017 </effective_date>
<replaced_reg> '21/27/UPG|SE-BI/1988' </replaced_reg>
<related_reg> '18/11/PBI/2016', '19/2/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/16/PADG/2018
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN
PIHAK DOMESTIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendorong pasar keuangan yang likuid dan
efisien diperlukan pengembangan pasar valuta asing
domestik secara menyeluruh, dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam
bertransaksi;
b. bahwa dalam upaya pengembangan pasar valuta asing
domestik diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai
transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank
dengan pihak domestik terkait dengan penggunaan
kontrak dalam bertransaksi,
variasi instrumen,
underlying transaksi, dan penyelesaian transaksi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak
Domestik;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/18/PBI/2016 tentang
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan
Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5926);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA
BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
serta bank umum syariah dan unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
namun tidak termasuk kantor bank umum dan bank
umum syariah berbadan hukum Indonesia yang
beroperasi di luar negeri.
2. Nasabah adalah:
a. perorangan yang memiliki kewarganegaraan
Indonesia; atau
b. badan usaha selain Bank yang berbadan hukum
Indonesia, berdomisili di Indonesia, dan memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
3. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi
penjualan dan pembelian valuta asing terhadap rupiah.
4. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah
transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian
pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai
3
tukar valuta asing terhadap rupiah, gabungan turunan
dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah dan suku
bunga (valuta asing dan rupiah), atau gabungan
antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap
rupiah.
5. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari
pembelian atau penjualan valuta asing terhadap rupiah.
6. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta asing
terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2
(dua) hari kerja setelah tanggal transaksi, termasuk
transaksi dengan penyerahan dana pada hari yang sama
(today) atau dengan penyerahan dana 1 (satu) hari kerja
setelah tanggal transaksi (tomorrow).
7. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan
dalam waktu lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal
transaksi.
8. Transaksi Swap adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah dengan cara pembelian secara tunai
atau berjangka dengan penjualan kembali secara
berjangka atau penjualan secara tunai atau berjangka
dengan pembelian kembali secara berjangka, yang
dilakukan secara simultan dengan pihak yang sama pada
tanggal transaksi.
9. Transaksi Option adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah yang didasari suatu perjanjian yang
memberikan hak kepada pembeli untuk membeli (call
option) atau menjual (put option) pada tanggal tertentu
dalam periode perjanjian transaksi.
10. Transaksi Cross Currency Swap adalah transaksi 2 (dua)
pihak untuk melakukan pertukaran serangkaian
pembayaran bunga (interest payment) dalam mata uang
berbeda yang dilakukan dengan atau tanpa pertukaran
pokok (principal) dalam jangka waktu tertentu.
4
11. Call Spread Option adalah gabungan beli call option dan
jual call option yang dilakukan secara simultan dalam 1
(satu) kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda
dan nominal yang sama.
BAB II
TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Kontrak
Pasal 2
Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah atas dasar suatu kontrak untuk kepentingan:
a.
sendiri; dan/atau
b. Nasabah yang merupakan pihak domestik.
Pasal 3
(1) Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
berupa:
a. konfirmasi tertulis berupa kontrak Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah yang lazim digunakan oleh
pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi
terkait; dan/atau
b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya
transaksi.
(2) Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank untuk
kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a paling sedikit berisi:
a. nomor kontrak;
b. tanggal transaksi dan tanggal valuta;
c. nilai nominal transaksi;
d. nama counterparty;
e. mata uang atau denominasi; dan
f.
rekening bank koresponden.
5
(3) Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank untuk
kepentingan Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf b paling sedikit berisi:
a. nomor kontrak;
b. hak dan kewajiban dari kedua belah pihak, yaitu
Bank dan Nasabah;
c. tanggal transaksi dan tanggal valuta;
d. nilai nominal transaksi;
e. pagu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah;
f.
jenis valuta yang diperjualbelikan;
g. jenis transaksi yang digunakan;
h. besarnya komisi; dan
i.
rekening bank koresponden.
(4) Kontrak yang digunakan oleh pelaku pasar dalam
melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah dapat berupa perjanjian induk derivatif Indonesia
dengan contoh yang tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 4
(1) Dalam hal kontrak yang digunakan Bank dalam Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) mencantumkan
penggunaan acuan kurs dalam penyelesaian transaksi
pada saat jatuh waktu, Bank harus mengacu pada kurs
Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR).
(2)
JISDOR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sebagai berikut:
a. Bank Indonesia menerbitkan JISDOR setiap hari
kerja melalui situs web Bank Indonesia dan/atau
media lainnya; dan
b. penggunaan JISDOR berlaku untuk transaksi dolar
Amerika Serikat terhadap rupiah.
6
Bagian Kedua
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Pasal 5
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi
transaksi pembelian dan penjualan dalam denominasi
seluruh valuta asing terhadap rupiah.
(2) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan Nasabah, Bank wajib menggunakan
kuotasi harga atau kurs valuta asing terhadap rupiah yang
ditetapkan oleh Bank.
Pasal 6
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi:
a. Transaksi Spot; dan
b. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(2) Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a.
transaksi derivatif yang standar (plain vanilla), dalam
bentuk forward, swap, option, dan cross currency
swap; dan
b.
transaksi structured product valuta asing terhadap
rupiah berupa Call Spread Option.
Pasal 7
(1) Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf a dan transaksi derivatif yang standar (plain
vanilla) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf a yang dilakukan Bank dengan Nasabah di atas
jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying
Transaksi.
(2) Transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah
berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) huruf b wajib memiliki Underlying
Transaksi.
7
Pasal 8
Pembelian dan penjualan valuta asing terhadap rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat dilakukan
untuk:
a.
jenis valuta asing yang sama dengan yang tercantum
dalam dokumen Underlying Transaksi; atau
b.
jenis valuta asing yang berbeda dengan dokumen
Underlying Transaksi apabila disertai dengan dokumen
yang dapat menjelaskan alasan perbedaan tersebut.
Pasal 9
(1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah
kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat
dilakukan paling banyak:
a. sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar
Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per
Nasabah melalui Transaksi Spot; dan
b. sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika
Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah
melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah yang standar (plain vanilla) melalui Transaksi
Forward dan Transaksi Option.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berlaku pula untuk pembelian valuta asing terhadap
rupiah yang dilakukan dalam Transaksi Spot beli pada
near leg untuk kepentingan Transaksi Swap jual.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berlaku pula untuk pembelian valuta asing terhadap
rupiah yang dilakukan dalam Transaksi Forward beli pada
far leg untuk kepentingan Transaksi Swap beli.
(4) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah
kepada Bank dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. perhitungan 1 (satu) bulan didasarkan pada bulan
kalender, yaitu sejak tanggal permulaan bulan
kalender sampai dengan tanggal berakhirnya bulan
kalender;
8
b. perhitungan nominal transaksi didasarkan pada
tanggal transaksi (transaction date);
c. perhitungan nominal transaksi pembelian valuta
asing terhadap rupiah didasarkan pada jenis
transaksi;
d. perhitungan nominal transaksi didasarkan pada
akumulasi seluruh transaksi dalam 1 (satu) bulan
kalender yang dilakukan oleh masing-masing
Nasabah baik secara tunai maupun nontunai dalam
bentuk simpanan valuta asing; dan
e.
jumlah nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah melalui rekening gabungan (joint account)
yang dimiliki lebih dari 1 (satu) Nasabah dihitung per
rekening gabungan (joint account).
(5) Penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat
dilakukan paling banyak:
a. sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika
Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Nasabah
melalui Transaksi Forward; dan
b. sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Nasabah
melalui Transaksi Option.
Pasal 10
Transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh
penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing
(KUPVA) kepada Bank diatur sebagai berikut:
a. transaksi wajib didukung oleh Underlying Transaksi
berupa kegiatan usaha jual beli Uang Kertas Asing (UKA)
oleh penyelenggara KUPVA Bank dan penyelenggara
KUPVA bukan Bank yang memiliki izin dari Bank
Indonesia yang masih berlaku untuk memenuhi
kebutuhan nasabah dari penyelenggara KUPVA;
9
b. Bank dapat memenuhi kebutuhan pembelian valuta asing
terhadap rupiah yang dilakukan penyelenggara KUPVA
hanya dalam bentuk UKA;
c. penyerahan UKA dalam penyelesaian transaksi pembelian
valuta asing terhadap rupiah dari Bank kepada
penyelenggara KUPVA harus dilakukan secara fisik; dan
d. penyerahan dana rupiah dalam penyelesaian transaksi
pembelian valuta asing terhadap rupiah dapat dilakukan
melalui pemindahbukuan rekening.
Pasal 11
(1) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah, Bank wajib memberikan edukasi
kepada Nasabah yang bertujuan untuk memberikan
pemahaman mengenai manfaat dan risiko Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(2) Edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui seminar, workshop, Focus Group Discussion (FGD),
dan kegiatan lainnya.
BAB III
UNDERLYING TRANSAKSI
Pasal 12
Underlying Transaksi meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri;
b. investasi berupa direct investment, portfolio investment,
pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di
luar negeri; dan/atau
c. pemberian kredit atau pembiayaan Bank berdasarkan
prinsip syariah dalam valuta asing dan/atau dalam rupiah
untuk kegiatan perdagangan dan investasi.
10
Pasal 13
(1) Underlying Transaksi berupa investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf b termasuk fasilitas
pemberian kredit antarnasabah (intercompany loan) yang
telah ditarik.
(2) Dalam hal fasilitas pemberian kredit antarnasabah
(intercompany loan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum ditarik maka tidak dapat menjadi Underlying
Transaksi.
(3) Nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan
Underlying Transaksi berupa pemberian kredit
antarnasabah (intercompany loan) baik dalam bentuk
tunai maupun barang yang telah ditarik paling banyak
sama dengan nominal kredit yang telah ditarik.
(4) Jatuh waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
dengan Underlying Transaksi berupa pemberian kredit
antarnasabah (intercompany loan) yang telah ditarik,
paling lama sama dengan jatuh waktu pelunasan kredit
yang ditarik tersebut.
(5) Jangka waktu Underlying Transaksi berupa pemberian
kredit antarnasabah (intercompany loan) yang telah ditarik
paling singkat 1 (satu) bulan dengan jangka waktu
pengembalian paling singkat 1 (satu) bulan sejak tanggal
penarikan dana kredit.
Pasal 14
(1) Underlying Transaksi berupa kegiatan jual beli UKA oleh
penyelenggara KUPVA kepada Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 yaitu jumlah kebutuhan
pembelian valuta asing terhadap rupiah.
(2) Kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan selisih antara total penjualan valuta asing
dengan total pembelian valuta asing atau net jual yang
dilakukan penyelenggara KUPVA kepada nasabah selama
1 (satu) bulan terakhir dari bulan dilakukannya pembelian
valuta asing terhadap rupiah oleh penyelenggara KUPVA
kepada Bank.
11
(3) Perhitungan net jual sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak memperhitungkan transaksi jual beli UKA oleh
penyelenggara KUPVA dengan Bank dan/atau KUPVA
lainnya.
(4) Contoh perhitungan jumlah kebutuhan pembelian valuta
asing terhadap rupiah oleh penyelenggara KUPVA kepada
Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 15
(1) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap rupiah
melalui Transaksi Forward oleh Nasabah kepada Bank,
Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan dana
valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri.
(2) Nominal Transaksi Forward sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling banyak sebesar saldo dan/atau jumlah
kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan/atau
di luar negeri.
(3) Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen
yang memiliki tanggal jatuh waktu, jatuh waktu penjualan
valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward
paling lama sama dengan jatuh waktu penempatan dana
tersebut.
(4) Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen
yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu, jatuh waktu
penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Forward tidak dibatasi.
(5) Dalam hal kepemilikan dana valuta asing berupa
instrumen yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), saldo rekening
valuta asing pada instrumen tersebut paling sedikit sama
dengan nominal penjualan valuta asing terhadap rupiah
melalui Transaksi Forward untuk sepanjang waktu
Transaksi Forward.
12
Pasal 16
(1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah
kepada Bank melalui Transaksi Spot di atas jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a dilarang melebihi nominal Underlying
Transaksi.
(2) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dalam
kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat)
maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi
dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam
kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat).
Pasal 17
(1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah
kepada Bank melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) di atas
jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf b dan penjualan valuta asing
terhadap rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui
Transaksi Forward dan Transaksi Option di atas jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (5) dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi.
(2) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi tidak dalam
kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying
Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas
dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat).
13
BAB IV
PENYELESAIAN TRANSAKSI
Pasal 18
(1) Penyelesaian Transaksi Spot sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a wajib dilakukan dengan
pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund).
(2) Pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sebagai berikut:
a. secara riil atas nilai pokok masing-masing transaksi
jual dan/atau transaksi beli yang disepakati pada
awal transaksi tersebut;
b. didukung oleh tersedianya sejumlah dana riil yang
cukup untuk membiayai transaksi dimaksud (good
fund), dan bukan didasarkan pada aspek pencatatan
dalam pembukuan (akuntansi); dan
c. dana pokok tersebut digunakan untuk proses
penyelesaian Transaksi Spot pada tanggal valuta dan
tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat
dibuktikan dari urutan waktu penyelesaian
transaksi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
pula untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah yang standar (plain vanilla) dengan nilai nominal
paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold).
(4) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah antara Bank dengan Nasabah yang dapat
dilakukan secara netting hanya berlaku untuk
perpanjangan transaksi (roll over), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) sepanjang didukung
dengan dokumen Underlying Transaksi.
14
(5) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah antar-Bank yang dapat dilakukan secara netting
hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over),
percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind).
(6) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 19
(1) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap rupiah oleh
Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Forward dengan
nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5)
huruf a wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok
secara penuh (full movement of fund).
(2) Pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai
berikut:
a. dilakukan pada saat jatuh waktu Transaksi Forward
jual;
b. dilakukan pada saat berakhirnya kontrak
perpanjangan transaksi (roll over) atau kontrak
percepatan penyelesaian transaksi (early termination)
dalam hal sebelum berakhirnya kontrak Transaksi
Forward jual awal dilakukan perpanjangan transaksi
(roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi
(early termination); dan
c.
paling banyak sejumlah tertentu (threshold) tidak
dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi
(unwind) karena tidak terdapat pemindahan dana
pokok secara penuh (full movement of fund).
15
(3) Perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan
penyelesaian transaksi (early termination) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan
sepanjang didukung oleh Underlying Transaksi dari
Transaksi Forward jual awal.
(4) Penyelesaian transaksi secara netting atas perpanjangan
transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi
(early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind)
tidak dapat dilakukan untuk Transaksi Forward jual
valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah kepada Bank
dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa
kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar
negeri.
(5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB V
TRANSAKSI STRUCTURED PRODUCT
Bagian Kesatu
Transaksi Call Spread Option
Pasal 20
(1) Bank dilarang melakukan transaksi structured product
valuta asing terhadap rupiah.
(2) Larangan transaksi structured product sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk structured
product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread
Option.
(3) Bank yang melakukan transaksi structured product valuta
asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option dengan
Nasabah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki Underlying Transaksi;
b. nominal transaksi tidak melebihi nominal Underlying
Transaksi; dan
16
c.
jangka waktu transaksi tidak melebihi jangka waktu
Underlying Transaksi;
(4) Transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap rupiah
merupakan satu kesatuan transaksi yang dilakukan
secara simultan sehingga perhitungan nominal transaksi
tidak dihitung 2 (dua) kali.
(5) Transaksi Spot yang dilakukan untuk kepentingan
transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah
berupa Call Spread Option dapat menggunakan Underlying
Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option
awal.
(6) Contoh transaksi structured product valuta asing terhadap
rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kedua
Dynamic Hedging
Pasal 21
(1) Transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah
berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (2) wajib dilakukan secara dynamic hedging.
(2) Dynamic hedging dilakukan untuk memastikan pelaku
transaksi Call Spread Option tidak terekspos pada risiko
nilai tukar akibat kurs pasar melampaui kisaran kurs Call
Spread Option awal.
(3) Dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratan
sebagai berikut:
a. kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal;
b. kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal.
c. menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan
belum jatuh waktu;
d. nominal tidak bersifat kumulatif;
17
e. memiliki jangka waktu paling singkat 6 (enam) bulan
untuk transaksi Call Spread Option awal yang
memiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih;
f. mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call Spread
Option awal untuk transaksi Call Spread Option awal
yang memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6 (enam)
bulan; dan
g. dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja apabila
kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread
Option awal.
BAB VI
PENGATURAN UNDERLYING TRANSAKSI DAN TRANSAKSI
VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH UNTUK KEPENTINGAN
PENGAMPUNAN PAJAK
Pasal 22
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank
dengan Nasabah dapat dilakukan dengan Underlying
Transaksi berupa investasi dan/atau transaksi yang
dilakukan untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan
Pemerintah terkait perpajakan yaitu berupa
pengampunan pajak.
(2) Underlying Transaksi berupa pengampunan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat
digunakan untuk kepentingan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah adalah yang mengakibatkan adanya
pengalihan harta ke wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau repatriasi dana dan didukung oleh
dokumen repatriasi dana
pengampunan pajak.
untuk kepentingan
(3) Dokumen repatriasi dana
untuk kepentingan
pengampunan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan sebagai Underlying Transaksi paling singkat 3
(tiga) tahun sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
18
pengampunan pajak atau dalam masa periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri.
(4) Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana
untuk kepentingan pengampunan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya dapat digunakan 1 (satu)
kali pada saat terjadinya konversi dana masuk yaitu dari
valuta asing ke rupiah dan 1 (satu) kali pada saat
terjadinya konversi dana keluar yaitu dari rupiah ke valuta
asing.
(5) Dalam hal wajib pajak menggunakan dokumen repatriasi
dana untuk kepentingan pengampunan pajak sebagai
Underlying Transaksi pada saat dilakukan konversi dana
keluar sebelum periode kewajiban menginvestasikan dana
repatriasi di dalam negeri berakhir maka hasil konversi
tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang
valuta asing hingga periode kewajiban menginvestasikan
dana repatriasi di dalam negeri berakhir.
(6) Wajib pajak dapat melakukan konversi dana keluar yang
dilakukan secara bertahap dengan menggunakan
Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana
untuk kepentingan pengampunan pajak dengan tidak
melampaui nominal Underlying Transaksi dana repatriasi.
Pasal 23
(1) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi berupa
repatriasi dana untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (2) tidak berlaku untuk perpanjangan
transaksi (roll over) atau pengakhiran transaksi (unwind)
untuk kepentingan penyelesaian Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah terkait lindung nilai.
(2) Dalam hal dilakukan percepatan penyelesaian transaksi
(early termination) atas Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang menggunakan Underlying
Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk
kepentingan pengampunan pajak maka hasil konversi
dana keluar yaitu dari rupiah ke valuta asing tersebut
19
hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing
hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan
dana repatriasi di dalam negeri.
(3) Dalam hal dilakukan pengakhiran transaksi (unwind)
terhadap Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah menggunakan Underlying Transaksi berupa
dokumen repatriasi dana
untuk kepentingan
pengampunan pajak maka wajib pajak dapat
menggunakan dokumen repatriasi dana untuk
kepentingan pengampunan pajak yang sama paling
banyak 1 (satu) kali untuk Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah dalam masa periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri.
Pasal 24
(1) Dokumen Underlying Transaksi berupa dokumen
repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) diatur
sebagai berikut:
a. pada Bank gateway awal, dokumen Underlying
Transaksi berupa surat keterangan pengampunan
pajak (SKPP) untuk kepentingan pengalihan harta
dalam menampung dana wajib pajak yang dialihkan;
dan
b. pada Bank gateway tujuan, dokumen Underlying
Transaksi dapat berupa surat keterangan mengenai
riwayat investasi.
(2) Penyampaian dokumen
Underlying
Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis
bermeterai cukup yang ditandatangani oleh wajib pajak
atau pernyataan tertulis yang autentik dari wajib pajak
yang memuat informasi mengenai:
a. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying
Transaksi;
20
b. penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya
digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap
rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying
Transaksi untuk kepentingan pengampunan pajak
dalam sistem perbankan di Indonesia; dan
c. hanya digunakan paling banyak 1 (satu) kali di
seluruh sistem perbankan di Indonesia untuk tujuan
konversi dana keluar.
(3) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan
kebijakan pemerintah terkait pengampunan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam
Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB VII
DOKUMEN TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Jenis Dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah
Pasal 25
(1) Bank wajib memastikan Nasabah memiliki Underlying
Transaksi yang dibuktikan dengan penyampaian dokumen
Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan
dokumen pendukung untuk:
a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas
jumlah tertentu (threshold); atau
b.
transaksi structured product valuta asing terhadap
rupiah berupa Call Spread Option.
(2) Bank harus memastikan kebenaran dan kewajaran atas
dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah.
21
(3) Untuk memastikan kebenaran dan kewajaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank dapat
meminta kepada Nasabah untuk menunjukkan dokumen
asli dalam hal diperlukan.
(4) Bank harus menerapkan prosedur dan sistem
pengendalian dokumen untuk memastikan agar:
a. dokumen yang telah digunakan Nasabah sebagai
Underlying Transaksi dari Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah tertentu dapat digunakan untuk
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang lain
sepanjang tidak melampaui nominal Underlying
Transaksi;
b. dalam hal terdapat beberapa jenis dokumen
Underlying Transaksi pada satu rangkaian aktivitas
ekonomi maka yang digunakan sebagai dokumen
untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
adalah salah satu dari dokumen Underlying
Transaksi tersebut; dan
c. dalam hal Nasabah telah melakukan pembelian
valuta asing terhadap rupiah dengan menggunakan
salah satu dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud dalam huruf b maka Nasabah
tidak dapat melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah dengan menggunakan dokumen
Underlying Transaksi lainnya yang berasal dari satu
rangkaian kegiatan ekonomi yang sama.
Pasal 26
(1) Dokumen Underlying Transaksi dapat berupa:
a. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final;
atau
b. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat
perkiraan.
22
(2) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan
dokumen yang menunjukkan bukti perdagangan barang
dan jasa dan/atau kegiatan investasi di dalam dan di luar
negeri dengan jumlah nominal yang tidak berubah.
(3) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi merupakan
bukti tagihan atas kegiatan pembelian barang dari luar
negeri atau impor, Bank harus memastikan Nasabah
menyampaikan dokumen yang menunjukkan bahwa
barang dimaksudkan untuk masuk dan diterima di
wilayah pabean Indonesia.
(4) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan
dokumen yang menunjukkan perkiraan besarnya rencana
penerimaan atau kebutuhan pembayaran perdagangan
barang dan jasa atau kegiatan investasi di dalam negeri
dan di luar negeri.
(5) Dalam hal Nasabah menggunakan dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat perkiraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b berupa proyeksi arus kas, Bank
harus menilai kewajaran melalui:
a. dokumen tambahan;
b. data historis paling singkat 1 (satu) tahun
sebelumnya; dan
c.
track record Nasabah.
(6) Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) tercantum
dalam Lampiran VI dan Lampiran VII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 27
Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang
dikecualikan dari kewajiban penggunaan rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dapat dijadikan sebagai dokumen
23
Underlying Transaksi dengan melampirkan fotokopi
persetujuan pengecualian kewajiban penggunaan rupiah dari
Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Penyampaian Dokumen
Pasal 28
(1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah kepada Bank di atas jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
dan transaksi structured product valuta asing terhadap
rupiah berupa Call Spread Option, dokumen yang
disampaikan berupa:
a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat
dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final
maupun berupa perkiraan;
b. dokumen pendukung berupa:
1. fotokopi dokumen identitas Nasabah dan
fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); dan
2. pernyataan tertulis bermeterai cukup yang
ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari
Nasabah atau pernyataan tertulis yang autentik
dari Nasabah yang memuat informasi mengenai:
a) keaslian dan kebenaran dokumen
Underlying
Transaksi sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
b) penggunaan dokumen Underlying Transaksi
hanya digunakan untuk pembelian valuta
asing terhadap rupiah paling banyak
sebesar nominal Underlying Transaksi
dalam sistem perbankan di Indonesia; dan
c) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan,
dan tanggal penggunaan valuta asing,
dalam hal dokumen Underlying Transaksi
berupa perkiraan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
24
c. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dimiliki
oleh Nasabah yang berbentuk badan usaha selain
Bank, pernyataan tertulis ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang dari badan usaha selain
Bank.
d. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dimiliki
oleh Nasabah perorangan maka yang dimaksud
dengan pihak yang berwenang adalah dirinya sendiri
atau pihak yang diberi kuasa oleh Nasabah
perorangan dimaksud.
(2) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk
pembelian valuta asing terhadap rupiah di atas jumlah
tertentu (threshold) dan transaksi structured product valuta
asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2
tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(3) Contoh surat kuasa untuk pemberian kuasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d tercantum dalam
Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 29
(1) Dalam hal Nasabah melakukan transaksi penjualan valuta
asing terhadap rupiah kepada Bank melalui Transaksi
Forward atau Transaksi Option di atas jumlah tertentu
(threshold), dokumen yang disampaikan berupa:
a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final
maupun berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis
bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pihak
yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan
tertulis yang autentik dari Nasabah yang menyatakan
bahwa:
25
1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf
a; dan
2. dokumen
Underlying
Transaksi hanya
digunakan untuk penjualan valuta asing
terhadap rupiah paling banyak sebesar nominal
Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di
Indonesia.
(2) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa perkiraan maka di
dalam pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b ditambahkan informasi terkait sumber,
jumlah, dan waktu penerimaan valuta asing.
(3) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dimiliki oleh Nasabah yang
berbentuk badan usaha selain Bank maka pernyataan
tertulis ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari
badan usaha selain Bank.
(4) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dimiliki oleh Nasabah
perorangan maka pihak yang berwenang adalah dirinya
sendiri atau pihak yang diberi kuasa oleh Nasabah
perorangan dimaksud.
(5) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk penjualan
valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward
atau Transaksi Option di atas jumlah tertentu (threshold)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum
dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Contoh surat kuasa untuk pemberian kuasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran X yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
26
Pasal 30
(1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak
sebesar jumlah tertentu (threshold) wajib didukung oleh
dokumen pendukung berupa:
a. pernyataan tertulis bermeterai cukup yang
ditandatangani oleh Nasabah yang bersangkutan
untuk Nasabah perorangan;
b. pernyataan tertulis bermeterai cukup yang
ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari
Nasabah badan usaha selain Bank; atau
c. pernyataan tertulis yang autentik dari Nasabah,
yang berisi informasi bahwa pembelian valuta asing
terhadap rupiah tidak melebihi jumlah tertentu (threshold)
per bulan per Nasabah dalam sistem perbankan di
Indonesia.
(2) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk
pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak
sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XI
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 31
(1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Spot, dokumen
Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung
dilampirkan untuk setiap transaksi pada tanggal
transaksi.
(2) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka
dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada
tanggal valuta (value date).
(3) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) secara bertahap sehingga melebihi
27
jumlah tertentu (threshold) dalam 1 (satu) bulan yang
sama maka dokumen Underlying Transaksi disampaikan
untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah yang
melebihi jumlah tertentu (threshold).
Pasal 32
(1) Dalam hal Nasabah melakukan Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dan
transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah
berupa Call Spread Option, dokumen Underlying Transaksi
dan/atau dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap
transaksi pada tanggal transaksi.
(2) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka
dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5
(lima) hari kerja setelah tanggal transaksi.
(3) Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal
transaksi maka penyampaian dokumen Underlying
Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan paling
lambat pada tanggal jatuh waktu.
(4) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah secara bertahap sehingga melebihi
jumlah tertentu (threshold) dalam 1 (satu) bulan yang
sama maka dokumen Underlying Transaksi disampaikan
untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah yang
melebihi jumlah tertentu (threshold).
28
Pasal 33
(1) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) yang akan diselesaikan secara netting wajib
diterima oleh Bank paling lambat pada:
a. tanggal valuta (value date), dalam hal pengakhiran
transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot;
b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dalam
hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah;
atau
c. tanggal jatuh waktu, dalam hal perpanjangan
transaksi (roll over), percepatan penyelesaian
transaksi (early termination), dan pengakhiran
transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja
setelah tanggal transaksi.
(2) Dokumen pendukung untuk pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) yang akan diselesaikan secara netting mengacu
pada dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf b.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berupa pernyataan tertulis yang autentik untuk
pembelian derivatif valuta asing terhadap rupiah paling
banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan
diselesaikan secara netting dapat menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
29
(4) Dokumen pendukung untuk penjualan valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Forward atau
Transaksi Option paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) yang akan diselesaikan secara netting mengacu
pada dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) huruf b.
(5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) berupa pernyataan tertulis yang autentik untuk
penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Forward atau Transaksi Option paling banyak sebesar
jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara
netting dapat menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 34
(1) Bank dapat meminta dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b dan Pasal 29
ayat (1) huruf b secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun kalender apabila:
a. dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan
b. Bank telah mengetahui track record Nasabah dengan
baik.
(2) Nasabah yang melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) untuk Transaksi Spot sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dan paling banyak sebesar
jumlah tertentu (threshold) untuk Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b per bulan per Nasabah,
dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis
bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang autentik
disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
bulan kalender.
30
(3) Penyampaian dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan pada
transaksi pertama.
Pasal 35
Dalam hal terdapat jenis dokumen selain sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VI dan Lampiran VII, Bank dapat:
a. mengajukan terlebih dahulu jenis dokumen tersebut
kepada Indonesia Foreign Exchange Market Committee
(IFEMC) untuk dikonsultasikan kepada Bank Indonesia;
atau
b. mengajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia, cq.
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan.
BAB VIII
LARANGAN KREDIT KEPADA NASABAH
Pasal 36
(1) Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan dalam
valuta asing dan/atau dalam rupiah kepada Nasabah
khusus untuk membiayai kegiatan Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Nasabah.
(2) Pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam valuta
asing dan/atau rupiah untuk kegiatan perdagangan dan
investasi, dapat menjadi Underlying Transaksi dari
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk
kepentingan lindung nilai.
BAB IX
PELAPORAN
Pasal 37
(1) Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah, termasuk transaksi structured product
valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option,
melalui sistem pelaporan Bank Indonesia, yaitu laporan
harian bank umum (LHBU).
31
(2) Mekanisme pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan harian bank umum (LHBU).
BAB X
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 38
(1) Bank dapat dikenakan sanksi berupa teguran tertulis
maupun kewajiban membayar.
(2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi berupa kewajiban
membayar, Bank Indonesia mengenakan sanksi dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya kewajiban membayar yaitu 1% (satu persen)
dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk
setiap pelanggaran dengan jumlah sanksi paling
sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah);
b. untuk pelanggaran terhadap larangan pemberian
kredit atau pembiayaan, besarnya kewajiban
membayar yaitu 1% (satu persen) dari nilai
persetujuan kredit atau pembiayaan yang digunakan
untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan jumlah sanksi paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan
c. untuk pelanggaran terhadap larangan pemberian
cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat
dipersamakan dengan cerukan, besarnya kewajiban
membayar yaitu 1% (satu persen) dari nilai cerukan
dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan
dengan cerukan yang diberikan oleh Bank kepada
Nasabah dengan jumlah sanksi paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
32
(3) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan cara mendebet rekening giro rupiah Bank yang
bersangkutan di Bank Indonesia.
Pasal 39
Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai
pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (1) kepada otoritas perbankan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/34/DPPK
tanggal 13 Desember 2016 perihal Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 41
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Agustus 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
DODY BUDI WALUYO
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/16/PADG/2018
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN
PIHAK DOMESTIK
I. UMUM
Dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah, diperlukan upaya mempercepat
tercapainya pasar keuangan yang likuid dan efisien, yang pada akhirnya
dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional. Untuk mencapai pasar
keuangan yang likuid dan efisien salah satunya diperlukan upaya
pengembangan pasar valuta asing domestik yang dilakukan secara
komprehensif dan menyeluruh.
Untuk mendukung pelaksanaan pengembangan pasar valuta asing
domestik tersebut Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank
Indonesia No. 18/18/PBI/2016 mengenai Transaksi Valuta Asing terhadap
Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik. Sebagai pedoman
implementasi ketentuan tersebut diperlukan peraturan yang mengatur
pelaksanaan kegiatan dan transaksi valuta asing di pasar domestik.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan โTransaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
untuk kepentingan sendiriโ adalah pada saat Bank berperan
sebagai counterparty dalam bertransaksi dengan pihak domestik
sehingga kedudukan Bank dan pihak domestik setara.
Contoh:
Bank A melakukan Transaksi Spot USD/IDR sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan
Nasabah X. Dalam hal ini, posisi Bank A sebagai counterparty dari
Nasabah X.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โTransaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
untuk Nasabah yang merupakan pihak domestikโ adalah pada
saat Bank bertransaksi atas nama pihak domestik sehingga Bank
bertindak sebagai pihak yang mewakili kepentingan pihak
domestik.
Contoh:
Nasabah A meminta kepada Bank B untuk mewakili Nasabah A
tersebut untuk melakukan transaksi dengan Bank X Ltd di luar
negeri. Dalam hal ini, transaksi yang diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini yaitu transaksi antara Nasabah A
dengan Bank B, dan posisi Bank B hanya merupakan perantara
atas transaksi yang dilakukan Nasabah A dan Bank X Ltd.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi
antara lain berupa dealing conversation atau print out dari
Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication
(SWIFT).
Ayat (2)
Cukup jelas.
3
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penggunaan kontrak merupakan tanggung jawab masing-masing
pihak yang melakukan transaksi.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โJISDORโ adalah representasi harga spot
dolar Amerika Serikat (USD) terhadap rupiah dari transaksi antar-
Bank di pasar domestik termasuk transaksi Bank dengan bank di
luar negeri, yang dilaporkan Bank melalui sistem monitoring
transaksi valuta asing terhadap rupiah (SISMONTAVAR).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Contoh:
Bank A dapat melakukan transaksi mata uang selain USD
terhadap rupiah, antara lain euro terhadap rupiah, yen terhadap
rupiah, atau poundsterling terhadap rupiah.
Ayat (2)
Contoh:
Bank A melakukan Transaksi Spot USD/IDR dengan Nasabah B.
Dalam hal ini, Bank A wajib menggunakan kuotasi harga
USD/IDR yang ditetapkan oleh Bank A, dan bukan berasal dari
Nasabah B.
Pasal 6
Cukup jelas.
4
Pasal 7
Ayat (1)
Perhitungan jumlah tertentu (threshold) kewajiban Underlying
Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, selain
USD terhadap rupiah, misalnya yen terhadap rupiah, euro
terhadap rupiah, yaitu sebagai berikut:
(๐๐ข๐๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐ท+๐๐ข๐๐ ๐๐ข๐๐ ๐๐๐ท)
2
(๐๐ข๐๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐ท+๐๐ข๐๐ ๐๐ข๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐ท)
2
x threshold dalam USD
Keterangan: Kurs pada rumus yaitu valuta asing terhadap rupiah.
Kurs merupakan kurs penutupan Bank Indonesia pada 1 (satu)
hari kerja sebelumnya (H-1) yang tersedia pada sistem Laporan
Harian Bank Umum (LHBU).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan A melakukan Transaksi Swap jual valuta asing
terhadap rupiah dengan nominal sebesar USD30,000.00 (tiga
puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi dimaksud,
Perusahaan A wajib menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi karena terdapat pembelian valuta asing terhadap
rupiah melalui Transaksi Spot pada near leg sebesar
USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi Swap jual dapat
menggunakan Underlying Transaksi dari Transaksi Swap jual
dimaksud, termasuk Underlying Transaksi berupa penjualan
valuta asing terhadap rupiah.
5
Ayat (3)
Contoh:
Perusahaan B melakukan Transaksi Swap beli valuta asing
terhadap rupiah dengan nominal sebesar USD150,000.00
(seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi
dimaksud, Perusahaan B wajib menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi karena terdapat pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Forward pada far leg sebesar
USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Ayat (4)
Huruf a
Contoh:
Pada tanggal 2 November 2018, Nasabah melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Spot sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat). Pada tanggal 5 November 2018, Nasabah kembali
melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui
Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar
Amerika Serikat) dan melalui Transaksi Forward sebesar
USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Selanjutnya pada tanggal 6 November 2018, Nasabah
kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah
melalui Transaksi Forward sebesar USD70,000.00 (tujuh
puluh ribu dolar Amerika Serikat). Seluruh transaksi
tersebut telah mencapai batas maksimum yang
diperhitungkan sebagai transaksi pembelian valuta asing
terhadap rupiah tanpa Underlying Transaksi pada bulan
November 2018, yaitu Transaksi Spot sebesar USD25,000.00
(dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) dan Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebesar
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat).
Nasabah hanya dapat kembali melakukan pembelian valuta
asing terhadap rupiah tanpa Underlying Transaksi melalui
Transaksi Spot dan Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah paling banyak sebesar threshold pada
bulan berikutnya.
6
Huruf b
Contoh:
Pada tanggal 12 November 2018, Nasabah melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Spot beli sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika
Serikat). Kemudian, Nasabah kembali melakukan Transaksi
Spot beli valuta asing terhadap rupiah pada tanggal 30
November 2018 sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat). Perhitungan transaksi pembelian valuta
asing terhadap rupiah oleh Nasabah sampai dengan tanggal
30 November 2018 adalah sebesar USD15,000.00 (lima belas
ribu dolar Amerika Serikat).
Huruf c
Contoh:
Pada tanggal 12 November 2018, Nasabah melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Spot sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat). Kemudian Nasabah melakukan pembelian valuta
asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward pada
tanggal 16 November 2018 sebesar USD20,000.00 (dua
puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 19 November
2018, Nasabah kembali melakukan pembelian valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar
USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat) dan
melalui Transaksi Option sebesar USD40,000.00 (empat
puluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan transaksi
pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah pada
akhir bulan November 2018 adalah sebesar USD25,000.00
(dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) melalui
Transaksi Spot dan sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu
dolar Amerika Serikat) melalui Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah yaitu forward dan option.
7
Huruf d
Contoh:
Nasabah A melakukan pembelian valuta asing terhadap
rupiah di Bank X melalui Transaksi Spot sebesar
USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal
12 November 2018. Kemudian, pada tanggal 14 November
2018 Nasabah A melakukan konversi simpanan rupiah
menjadi simpanan valuta asing dalam USD dengan cara
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Spot di Bank X sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar
Amerika Serikat). Selanjutnya, pada tanggal 15 November
2018 Nasabah A melakukan lagi konversi simpanan rupiah
menjadi simpanan valuta asing dalam USD dengan cara
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Forward di Bank X sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu
dolar Amerika Serikat). Perhitungan kumulatif transaksi
Nasabah A pada akhir bulan November 2018 adalah sebesar
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat)
untuk pembelian melalui Transaksi Spot dan sebesar
USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat) untuk
pembelian melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah (forward).
Huruf e
Contoh:
Nasabah A dan Nasabah B memiliki joint account. Pada
tanggal 12 November 2018, Nasabah A melakukan Transaksi
Spot pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui joint
account sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar
Amerika Serikat). Atas transaksi tersebut, Nasabah A tidak
wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada
tanggal 23 November 2018, Nasabah B melakukan Transaksi
Spot pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui joint
account yang sama sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu
dolar Amerika Serikat). Atas pembelian valuta asing tersebut,
Nasabah B wajib menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat pada
8
tanggal 26 November 2018. Hal ini disebabkan jumlah
pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan
melalui joint account pada bulan November 2018 telah
melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika
Serikat), yaitu sebesar USD35,000.00 (tiga puluh lima ribu
dolar Amerika Serikat).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Pada tanggal 10 Januari 2019, PT B mendapatkan komitmen
kredit valuta asing sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta
dolar Amerika Serikat) dari C Ltd. di luar negeri yang merupakan
perusahaan afiliasi PT B. Kredit valuta asing tersebut diberikan
dalam bentuk tunai dan barang.
Pada tanggal 1 Februari 2019, PT B melakukan penarikan
pinjaman dari C Ltd. dalam bentuk tunai sebesar
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dan
dalam bentuk barang sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar
Amerika Serikat).
Atas penarikan kredit ini, PT B dapat melakukan pembelian
valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward untuk
kepentingan lindung nilai kredit tersebut paling banyak sebesar
9
jumlah dari kredit yang ditarik dalam bentuk tunai dan barang,
yaitu USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat).
Ayat (3)
Contoh:
Pada tanggal 2 Januari 2019, PT A melakukan penarikan kredit
valuta asing dari Bank X sebesar USD2,000,000.00 (dua juta
dolar Amerika Serikat) dengan jatuh waktu pelunasan kredit pada
tanggal 28 Juni 2019.
PT A dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah
melalui Transaksi
Forward paling banyak sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan jatuh
waktu Transaksi Forward paling lama sama dengan tanggal
pelunasan kredit yaitu tanggal 28 Juni 2019.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Perusahaan B melakukan pembelian USD terhadap IDR melalui
Transaksi Spot sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika) untuk membayar pinjaman dari kantor pusatnya di luar
negeri dengan dokumen Underlying Transaksi berupa perjanjian
pemberian kredit antarnasabah dan bukti penarikan dana antara
lain berupa SWIFT message MT103. Dokumen Underlying
Transaksi berupa perjanjian pemberian kredit antarnasabah
tersebut harus memiliki jangka waktu paling singkat 1 (satu)
bulan dan jangka waktu pengembalian dana kredit paling singkat
1 (satu) bulan sejak tanggal penarikan dana kredit, yang
dibuktikan antara lain dengan SWIFT message berupa MT103.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Tanggal 12 November 2018, KUPVA XYZ melakukan pembelian
valuta asing kepada Bank ABC sebesar USD300,000.00 (tiga
10
ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan menggunakan dokumen
Underlying Transaksi berupa data net jual KUPVA XYZ kepada
Nasabah bulan Oktober 2018 sebesar USD559,000.00 (lima ratus
lima puluh sembilan ribu dolar Amerika Serikat).
Tanggal 23 November 2018, KUPVA XYZ melakukan pembelian
valuta asing lagi kepada Bank ABC sebesar USD150,000.00
(seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan tetap
menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa data net
jual KUPVA XYZ kepada Nasabah bulan Oktober 2018 sebesar
USD559,000.00 (lima ratus lima puluh sembilan ribu dolar
Amerika Serikat).
Sampai dengan akhir bulan November 2018, KUPVA XYZ masih
dapat melakukan pembelian valuta asing kepada Bank sepanjang
tidak melampaui sisa plafon dokumen Underlying Transaksi
berupa data net jual KUPVA XYZ kepada Nasabah pada bulan
Oktober 2018, yaitu sebesar USD109,000.00 (seratus sembilan
ribu dolar Amerika Serikat).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Nasabah A memiliki deposito valuta asing di Bank X sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat).
Berdasarkan Underlying Transaksi berupa deposito valuta asing
tersebut, Nasabah A dapat melakukan penjualan valuta asing
terhadap rupiah melalui Transaksi Forward paling banyak
sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika
Serikat).
11
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan instrumen yang memiliki tanggal jatuh
waktu antara lain berupa deposito dan/atau Negotiable Certificate
of Deposit (NCD).
Contoh:
Nasabah A memiliki deposito dalam valuta asing yang akan jatuh
waktu tanggal 29 Maret 2019. Atas kepemilikan deposito dalam
valuta asing tersebut, Nasabah A dapat melakukan penjualan
dalam valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward
dengan jatuh waktu paling lama tanggal 29 Maret 2019.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan instrumen yang tidak memiliki tanggal
jatuh waktu antara lain berupa tabungan atau giro.
Contoh:
Pada tanggal 2 Januari 2019, Nasabah A memiliki rekening valuta
asing dalam bentuk tabungan sebesar USD20,000,000.00 (dua
puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas kepemilikan dana valuta
asing tersebut, pada tanggal 2 Januari 2019, Nasabah A dapat
melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui
Transaksi Forward sebesar USD12,000,000.00 (dua belas juta
dolar Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 4 Februari
2019 dan sebesar USD8,000,000.00 (delapan juta dolar Amerika
Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 3 Juni 2019.
Ayat (5)
Contoh:
Pada tanggal 5 Februari 2019, PT B memiliki tabungan dalam
valuta asing sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika
Serikat). Pada tanggal yang sama, PT B melakukan penjualan
valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward sebesar
USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) dengan
jangka waktu 1 (satu) bulan. PT B harus memiliki saldo tabungan
valuta asing dengan jumlah paling sedikit USD6,000,000.00
(enam juta dolar Amerika Serikat) selama 1 (satu) bulan ke depan
sampai dengan Transaksi Forward tersebut jatuh waktu.
12
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh 1:
Perusahaan A memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri
sebesar USD73,500.00 (tujuh puluh tiga ribu lima ratus dolar
Amerika Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud,
Perusahaan A dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar
USD75,000.00 (tujuh puluh lima ribu dolar Amerika Serikat).
Contoh 2:
Perusahaan B memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri
sebesar USD61,000.00 (enam puluh satu ribu dolar Amerika
Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud, Perusahaan
B dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD65,000.00
(enam puluh lima ribu dolar Amerika Serikat).
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan B memiliki utang dalam valuta asing dengan nominal
sebesar USD1,432,500.00 (satu juta empat ratus tiga puluh dua
ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Perusahaan B dapat
melakukan lindung nilai dengan melakukan Transaksi Forward
beli sebesar USD1,440,000.00 (satu juta empat ratus empat
puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Nasabah A melakukan transaksi pembelian Spot dolar Amerika
Serikat
terhadap
rupiah dengan Bank B sebesar
13
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) pada kurs
Spot USD/IDR 13.500,00. Pada tanggal valuta, Nasabah A wajib
melakukan penyerahan dana rupiah melalui pemindahan dana
pokok secara penuh (full movement of fund) sebesar
Rp13.500.000.000,00 (tiga belas miliar lima ratus juta rupiah)
secara riil pada saat proses penyelesaian transaksi tersebut
dilakukan, dan tercatat pada sistem treasury Bank yang dapat
dibuktikan berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi.
Bank B wajib melakukan penyerahan dana dolar Amerika Serikat
melalui pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of
fund) sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
secara riil pada saat proses penyelesaian transaksi tersebut
dilakukan, dan tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat
dibuktikan berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Contoh:
Nasabah A melakukan Transaksi Forward jual dengan tenor 1
(satu) bulan sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar
Amerika Serikat) pada tanggal 15 Januari 2019 kepada Bank C
dengan forward rate USD/IDR 13.500,00. Atas transaksi
tersebut, Nasabah A menggunakan simpanan valuta asing pada
Bank sebagai Underlying Transaksi.
Setelah transaksi berjalan 2 (dua) minggu, nilai tukar rupiah
melemah hingga mencapai kurs spot USD/IDR 13.800,00,
Nasabah A ingin melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas
14
transaksi tersebut secara netting. Penyelesaian secara netting atas
transaksi tersebut tidak dapat dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan
Bank B sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika
Serikat) dengan tenor 2 (dua) tahun, maka transaksi
dimaksud wajib memiliki Underlying Transaksi paling sedikit
sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
Huruf b
Contoh:
PT X melakukan transaksi Call Spread Option valuta asing
terhadap rupiah dengan menggunakan Underlying Transaksi
berupa utang luar negeri sebesar USD100,000.00 (seratus
ribu dolar Amerika Serikat) maka transaksi Call Spread
Option dapat dilakukan sepanjang tidak melebihi nominal
Underlying Transaksi, yaitu sebesar USD100,000.00 (seratus
ribu dolar Amerika Serikat).
15
Huruf c
Contoh:
PT C memiliki Underlying Transaksi berupa pinjaman dengan
jangka waktu 2 (dua) tahun maka transaksi Call Spread
Option dapat dilakukan paling lama 2 (dua) tahun.
Ayat (4)
Contoh:
Nasabah B melakukan transaksi Call Spread Option sebesar
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Meskipun
transaksi Call Spread Option merupakan gabungan dari 2 (dua)
transaksi Call Option (beli dan jual) maka nominal tetap dihitung
sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat)
dan bukan USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika
Serikat).
Ayat (5)
Contoh 1:
Perusahaan A melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR
dengan tenor 1 (satu) tahun, dengan nominal sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat), dengan strike
price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar
USD/IDR 15.000,00, dan Underlying Transaksi berupa pinjaman
sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pada
saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar berada
pada level USD/IDR 13.800,00 sehingga perusahaan A
melakukan eksekusi (exercise) transaksi Call Spread Option dan
melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui
Transaksi Spot pada strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00.
Contoh 2:
PT X melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan
tenor 1 (satu) tahun, dengan nominal sebesar USD3,000,000.00
(tiga juta dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar
USD/IDR 13.800,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR
15.000,00, dan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar
USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). Pada saat
transaksi Call Spread Option jatuh waktu kurs pasar berada pada
level USD/IDR 13.500,00 dan PT X tidak melakukan eksekusi
16
(exercise) transaksi Call Spread Option tersebut, dan melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot
beli pada kurs pasar yaitu USD/IDR 13.500,00 dengan nominal
sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). PT X
dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan
Underlying Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman
untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud.
Contoh 3:
PT X melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan
tenor 1 (satu) tahun, nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta
dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR
13.300,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.200,00, dan
Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD3,000,000.00
(tiga juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread
Option jatuh waktu, kurs pasar melemah dan berada pada level
USD/IDR 14.500,00. PT X dapat melakukan pembelian valuta
asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot pada kurs
USD/IDR 13.600,00 (dari perhitungan Rp14.500,00-
(Rp14.200,00-Rp13.300,00)) dengan nominal
sebesar
USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). PT X dapat
menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan
Underlying Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman
untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank
B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike
price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3 (tiga) tahun
dengan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri. Apabila
pada tahun ke 2 (dua) Nasabah A menilai bahwa nilai tukar
17
rupiah akan lebih besar daripada strike price 2 sebesar USD/IDR
15.000,00 maka Nasabah A melakukan transaksi Call Spread
Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sama
dengan strike price 2 transaksi Call Spread Option awal sebesar
USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR
16.000,00.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan
Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00
dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor
3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa utang
luar negeri. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar rupiah
ditransaksikan mencapai USD/IDR 15.100,00 sehingga
melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00 maka
Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option
berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sebesar
USD/IDR 14.500,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR
16.500,00 (overlap). Hal tersebut bukan merupakan dynamic
hedging karena terjadi overlap yaitu strike price 3 transaksi
Call Spread Option untuk kepentingan dynamic hedging lebih
rendah daripada strike price 2 transaksi Call Spread Option
awal, sehingga transaksi tersebut dianggap sebagai kontrak
Call Spread Option yang berbeda dan tidak dapat
menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan
transaksi Call Spread Option awal.
Huruf b
Contoh:
PT X melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank
C dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan
strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 4
(empat) tahun dengan Underlying Transaksi berupa
pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar rupiah
ditransaksikan mencapai USD/IDR 15.500,00 sehingga
melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00 maka PT
18
X melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya
dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 15.500,00 dan strike
price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (gap). Hal tersebut
bukan merupakan dynamic hedging karena terjadi gap yaitu
strike price 3 transaksi Call Spread Option untuk kepentingan
dynamic hedging lebih tinggi daripada strike price 2 transaksi
Call Spread Option awal, sehingga transaksi tersebut
dianggap sebagai kontrak Call Spread Option yang berbeda
dan tidak dapat menggunakan Underlying Transaksi yang
sama dengan transaksi Call Spread Option awal.
Huruf c
Contoh:
Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan
Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00
dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor
3 (tiga) tahun dan Underlying Transaksi berupa utang luar
negeri. Apabila pada tahun kedua nilai tukar rupiah
mencapai USD/IDR 15.500,00 sehingga melampaui strike
price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00, maka Nasabah A
melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya dengan
strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4
sebesar USD/IDR 16.000,00. Hal tersebut merupakan
dynamic hedging dan menggunakan Underlying Transaksi
yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal.
Huruf d
Contoh:
Pada tanggal 1 Februari 2019, PT A melakukan transaksi
lindung nilai atas utang valuta asing yang dimilikinya
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar
USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR
14.200,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 1 Agustus 2019,
nilai tukar rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR
14.300,00 sehingga PT A melakukan dynamic hedging
dengan melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya
19
pada strike price 3 sebesar USD/IDR 14.200,00 dan strike
price 4 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan nominal sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Nominal
transaksi Call Spread Option tersebut dihitung bukan
kumulatif namun mengacu kepada nominal transaksi Call
Spread Option awal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta
dolar Amerika Serikat).
Huruf e
Contoh:
Pada tanggal 1 Februari 2019, PT B melakukan transaksi
lindung nilai atas utang valuta asing yang dimilikinya
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar
USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR
14.000,00 dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat), dengan jangka waktu selama 2
(dua) tahun. Pada tanggal 1 April 2019, nilai tukar rupiah
melemah menjadi sebesar USD/IDR 14.100,00 sehingga PT
B wajib melakukan dynamic hedging dengan melakukan
pembelian Call Spread Option pada strike price 3 sebesar
USD/IDR 14.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR
15.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu paling
singkat sampai dengan 1 Oktober 2019 atau minimal 6
(enam) bulan sejak tanggal transaksi.
Huruf f
Contoh:
Pada tanggal 2 Januari 2019, PT C melakukan transaksi Call
Spread Option sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar
Amerika Serikat) dengan strike price 1 sebesar USD/IDR
14.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00
dengan jangka waktu 1 (satu) tahun atau tanggal 31
Desember 2019. Pada tanggal 10 Oktober 2019 nilai tukar
rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 15.200,00. Atas
dasar hal tersebut PT C wajib melakukan dynamic hedging
dengan melakukan transaksi Call Spread Option yang kedua
20
pada strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike
price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00 dengan jangka waktu
paling lama sampai dengan jatuh waktu transaksi Call
Spread Option awal, yaitu pada tanggal 31 Desember 2019.
Huruf g
Yang dimaksud dengan kurs pasar adalah kurs penutupan
Bank Indonesia hari yang sama dalam LHBU setelah pukul
16.00 atau acuan kurs lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Contoh:
Pada tanggal 1 Januari 2019, Nasabah Y melakukan
transaksi Call Spread Option dengan Bank Z dengan strike
price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar
USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 3 (tiga) tahun dan
Underlying Transaksi berupa utang luar negeri. Apabila pada
tanggal 1 September 2019 kurs pasar atau kurs penutupan
Bank Indonesia hari yang sama dalam LHBU melampaui
strike price 2 yaitu sebesar USD/IDR 15.200,00 maka
Nasabah Y wajib melakukan transaksi Call Spread Option
berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sebesar
USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR
16.500,00 (dynamic hedging) paling lambat pada 1 (satu) hari
kerja berikutnya yaitu pada tanggal 2 September 2019.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan
pajak yang dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi pada
saat wajib pajak melakukan lindung nilai terhadap investasi dana
repatriasi di pasar domestik, antara lain investasi saham, obligasi,
dan penempatan dana pada Bank.
Contoh 1:
Wajib pajak A yang merupakan Nasabah domestik melakukan
deklarasi dana sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar
21
Amerika Serikat) dan repatriasi dana valuta asing untuk
kepentingan pengampunan pajak sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Maka wajib pajak A dapat
menggunakan bukti repatriasi dana sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat) sebagai Underlying Transaksi
dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah.
Contoh 2:
Wajib pajak B melakukan repatriasi dana valuta asing untuk
kepentingan pengampunan pajak sebesar USD100,000,000.00
(seratus juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut
kemudian dijual untuk memperoleh rupiah atau konversi dari
valuta asing ke Rupiah untuk diinvestasikan sebesar ekuivalen
USD40,000,000.00 (empat puluh juta dolar Amerika Serikat) pada
surat berharga negara, USD40,000,000.00 (empat puluh juta
dolar Amerika Serikat) pada saham, dan USD20,000,000.00 (dua
puluh juta dolar Amerika Serikat) pada deposito rupiah. Wajib
pajak B kemudian melakukan lindung nilai terhadap investasi
dimaksud melalui Transaksi
Forward beli
sebesar
USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). Wajib
pajak B menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen
repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak.
Ayat (3)
Contoh:
Wajib pajak C melakukan repatriasi dana untuk kepentingan
pengampunan pajak sebesar ekuivalen Rp500.000.000.000,00
(lima ratus miliar rupiah). Dana yang direpatriasi tersebut
diinvestasikan dalam portofolio saham selama 4 (empat) tahun.
Bukti dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan
pajak tersebut dapat dijadikan dokumen Underlying Transaksi,
dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi
di dalam negeri yaitu selama 4 (empat) tahun.
Ayat (4)
Contoh 1, dokumen disampaikan 1 (satu) kali pada saat konversi:
Wajib pajak D melakukan repatriasi dana valuta asing untuk
kepentingan pengampunan pajak sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut
22
kemudian dijual untuk memperoleh rupiah untuk diinvestasikan
dalam aset rupiah ekuivalen sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh
juta dolar Amerika Serikat). Wajib pajak D hanya bisa
menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi
dana untuk kepentinganpengampunan pajak 1 (satu) kali, yaitu
pada saat wajib pajak D melakukan konversi dana keluar sebesar
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat).
Contoh 2, penggunaan dokumen di akhir periode kebijakan
pengampunan pajak:
Wajib pajak E melakukan repatriasi dana pengampunan pajak
dan melakukan konversi dana masuk (valuta asing ke rupiah)
sebesar USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika
Serikat). Dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana
repatriasi di dalam negeri, dana repatriasi tersebut diinvestasikan
atau ditempatkan dalam aset rupiah. Dengan demikian, Wajib
pajak E dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa
dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak
untuk melakukan konversi dana keluar (rupiah ke valuta asing)
sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar
Amerika Serikat) dari hasil likuidasi aset rupiah pada akhir
periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam
negeri.
Ayat (5)
Contoh penggunaan dokumen dalam masa periode kebijakan
pengampunan pajak:
Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan
repatriasi dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke
rupiah sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika
Serikat), dan dilakukan investasi pada aset rupiah. Pada tanggal
1 Juni 2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut
dikonversi dari rupiah ke valuta asing dengan menggunakan
Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk
kepentingan pengampunan pajak. Selanjutnya, wajib pajak F
hanya dapat melakukan investasi dalam mata uang valuta asing
di pasar keuangan domestik sejak 1 Juni 2017 hingga
23
berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi
di dalam negeri.
Ayat (6)
Contoh pembelian secara bertahap:
Pada tanggal 1 Desember 2016, Wajib pajak G melakukan
repatriasi dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke
rupiah sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika
Serikat), dan melakukan investasi pada aset rupiah. Pada tanggal
1 Maret 2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut
dikonversi sebagian dari rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen
USD20,000,000 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan
menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi
dana untuk kepentinganpengampunan pajak, maka wajib pajak
G hanya bisa melakukan investasi dana tersebut dalam mata
uang asing.
Pada tanggal 1 Desember 2017, wajib pajak G kembali melakukan
konversi sebagian dari rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) maka
wajib pajak dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa
dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak
yang sama, namun wajib pajak G hanya bisa melakukan investasi
dana tersebut dalam mata uang asing.
Pada tanggal 3 Desember 2018, wajib pajak G kembali melakukan
konversi sebagian dari rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen
USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat) maka
wajib pajak G dapat kembali menggunakan Underlying Transaksi
berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan
pengampunan pajak yang sama, dan hanya dapat diinvestasikan
dalam mata uang asing hingga berakhirnya periode kewajiban
menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri.
24
Pasal 23
Ayat (1)
Contoh 1, perpanjangan transaksi lindung nilai (roll over):
Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak H melakukan
Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD10,000,000.00
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor selama 1 (satu)
tahun dan jatuh waktu tanggal 1 Desember 2017, dengan
menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi
dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Pada saat
Transaksi Forward tersebut akan jatuh waktu, wajib pajak H
melakukan perpanjangan transaksi (roll over) selama 1 (satu)
tahun dan jatuh waktu pada tanggal 3 Desember 2018. Wajib
pajak H melakukan Transaksi Swap beli USD/IDR (sell buy)
kepada Bank yang sama sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh
juta dolar Amerika Serikat). Atas perpanjangan transaksi (roll
over) tersebut, wajib pajak H tidak wajib menyerahkan dokumen
Underlying Transaksi baru.
Contoh 2, pengakhiran transaksi lindung nilai (unwind):
Pada tanggal 3 Januari 2017, wajib pajak I melakukan Transaksi
Forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh
juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan
jatuh waktu tanggal 3 Oktober 2017, dengan menggunakan
Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk
kepentingan pengampunan pajak. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu
tanggal 3 Juli 2017, wajib pajak I melakukan pengakhiran
transaksi (unwind) atas Transaksi Forward dimaksud. Wajib
pajak I melakukan Transaksi Spot jual USD/IDR sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat)
dengan Bank yang sama. Atas pengakhiran transaksi (unwind)
tersebut, wajib pajak I tidak wajib menyerahkan dokumen
Underlying Transaksi baru.
Ayat (2)
Contoh:
Pada tanggal 3 Januari 2017, wajib pajak AA melakukan
Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00
(dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan)
25
bulan dan jatuh waktu tanggal 3 Oktober 2017, dengan
menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi
dana dalam rangka pengampunan pajak. Pada bulan ke-6 (enam)
yaitu tanggal 3 Juli 2017, wajib pajak AA melakukan percepatan
penyelesaian transaksi (early termination) atas Transaksi Forward
dimaksud. Wajib pajak AA melakukan Transaksi Swap jual
USD/IDR (buy sell) kepada Bank yang sama sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas
percepatan penyelesaian transaksi (early termination) tersebut,
wajib pajak AA tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying
Transaksi baru. Namun demikian, dana valuta asing hasil
konversi sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar
Amerika Serikat) tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam
instrumen valuta asing di pasar keuangan domestik sejak 3 Juli
2017 hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan
dana repatriasi di dalam negeri.
Ayat (3)
Contoh:
Pada tanggal 3 Januari 2017, wajib pajak X melakukan Transaksi
Forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh
juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan
jatuh waktu tanggal 3 Oktober 2017, dengan menggunakan
Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam
rangka pengampunan pajak. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu
tanggal 3 Juli 2017, wajib pajak X melakukan pengakhiran
transaksi (unwind) atas Transaksi Forward dimaksud. Wajib
pajak X hanya dapat kembali menggunakan Underlying Transaksi
yang sama sebanyak 1 (satu) kali untuk melakukan transaksi
valuta asing terhadap rupiah.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
26
Ayat (2)
Kriteria kebenaran paling sedikit berupa:
a. dokumen tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, antara lain tidak bertentangan
dengan kewajiban penggunaan rupiah, dan
b. dokumen dikeluarkan oleh perusahaan atau instansi yang
dapat dipastikan keberadaannya.
Kriteria kewajaran paling sedikit berupa:
a. dokumen telah sesuai dengan market practice yang berlaku
secara umum,
b. transaksi yang dilakukan sesuai dengan dokumen
Underlying Transaksi, dan
c. transaksi yang dilakukan Nasabah sesuai dengan data
historis yang dimiliki oleh Bank dan/atau kebutuhan
Nasabah.
Ayat (3)
Penelitian kebenaran dokumen oleh Bank dilakukan secara
sampling.
Contoh 1:
Perusahaan A melakukan pembelian USD/IDR melalui Transaksi
Spot kepada Bank B sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) untuk pembayaran impor dengan dokumen
Underlying Transaksi berupa invoice dari eksportir di luar negeri.
Atas invoice tersebut Bank B harus melakukan:
a. menilai kesesuaian transaksi dengan data historis yang
dimiliki oleh Bank atau dengan kebutuhan Nasabah;
b.
jika diperlukan mencari informasi mengenai penerbit
dokumen Underlying Transaksi berupa invoice untuk
memastikan keberadaan perusahaan tersebut melalui surat
elektronik, internet, atau media lain yang terpercaya.
Berdasarkan data historis Bank, kebutuhan Perusahaan A rata-
rata sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat) per transaksi. Untuk memastikan kebenaran dan
kewajaran kebutuhan Perusahaan A, maka Bank dapat meminta
dokumen asli kepada Perusahaan A.
27
Contoh 2:
Perusahaan N melakukan
Transaksi
Spot
sebesar
USD10,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan Bank
M pada bulan Januari 2019 dengan beberapa dokumen invoice.
Selain itu, pada bulan Febuari 2019, Perusahaan N melakukan
Transaksi Forward sebesar USD7,000,000.00 (tujuh juta dolar
Amerika Serikat) dengan Bank M. Untuk memastikan kebenaran
dan kewajaran, Bank M meminta Perusahaan N menunjukan
dokumen asli secara sampling untuk Transaksi Spot tersebut.
Ayat (4)
Huruf a
Contoh:
Pada bulan Januari 2019, Nasabah X melakukan pembelian
valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward
sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat)
kepada Bank A. Atas transaksi tersebut, Nasabah X
menyerahkan dokumen Underlying Transaksi berupa
dokumen pembayaran lisensi kepada principal di luar negeri
sebesar USD7,000,000.00 (tujuh juta dolar Amerika Serikat).
Transaksi dilakukan di kantor cabang Bank A di Jakarta.
Pada bulan Februari 2019, Nasabah X kembali berencana
untuk melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah
melalui kantor cabang Bank A di Surabaya. Nasabah X dapat
melakukan
Transaksi
Forward
beli sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) karena
Transaksi Forward tersebut belum melebihi nominal
Underlying Transaksi.
Huruf b
Contoh:
Pada bulan Februari 2019, Nasabah Y yang merupakan
importir makanan dan minuman memesan barang dan
menerbitkan purchase order kepada eksportir di luar negeri.
Atas pembelian barang tersebut, Nasabah Y memperoleh
invoice yang diterbitkan eksportir di luar negeri. Nasabah Y
dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah
28
dengan menggunakan salah satu dokumen Underlying
Transaksi yaitu berupa purchase order atau invoice.
Huruf c
Contoh:
Pada tanggal 4 Maret 2019, Nasabah Z yang merupakan
importir pakaian jadi memesan barang dan menerbitkan
purchase order kepada eksportir A di luar negeri. Pada
tanggal 5 Maret 2019, Nasabah Z melakukan pembelian
valuta asing terhadap rupiah dengan menggunakan
dokumen Underlying Transaksi berupa purchase order
tersebut. Pada tanggal 15 Maret 2019, Nasabah Z
memperoleh invoice yang diterbitkan eksportir A. Atas invoice
tersebut, Nasabah Z tidak dapat melakukan pembelian
valuta asing terhadap rupiah karena sebelumnya telah
melakukan pembelian dengan menggunakan dokumen
Underlying Transaksi berupa purchase order yang berasal
dari kegiatan ekonomi yang sama.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final atas kegiatan
perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri dapat
berupa fotokopi invoice, list of invoices, Letter of Credit (L/C), atau
fotokopi kontrak jasa konsultan. Dalam hal dokumen Underlying
Transaksi berupa list of invoices, Bank harus memastikan
ketersediaan seluruh invoice yang terdapat dalam list of invoices.
Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final atas kegiatan
investasi berupa direct investment, portfolio investment, pinjaman,
modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri antara
lain berupa surat perjanjian jual beli surat berharga atau surat
permintaan penyetoran rekening saldo oleh otoritas yang
berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
29
Ayat (4)
Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan atas
kegiatan perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri
antara lain berupa perkiraan kebutuhan biaya sekolah di luar
negeri, perkiraan kebutuhan biaya berobat di luar negeri,
proforma invoice yang dilengkapi dengan invoice final pada saat
invoice diterbitkan, atau proyeksi arus kas untuk kegiatan ekspor
impor yang paling sedikit berisi rincian sumber penerimaan dan
pengeluaran valuta asing yang menunjukkan selisih bersih
kekurangan atau kelebihan valuta asing secara bulanan.
Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan atas
kegiatan investasi di dalam dan di luar negeri antara lain berupa
proyeksi arus kas yang terkait dengan proyek tertentu.
Ayat (5)
Huruf a
Dokumen tambahan untuk dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat perkiraan antara lain berupa invoice, perjanjian
kerja, kontrak kerjasama, nota kesepahaman, atau dokumen
lain yang sejenis.
Dalam hal dokumen tambahan berupa invoice,
penyampaiannya dilakukan setelah invoice diterbitkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penilaian kewajaran melalui track record adalah kegiatan
berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan untuk
memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik,
dan/atau pola transaksi Nasabah.
Contoh 1:
Perusahaan N melakukan pembelian USD terhadap IDR
melalui Transaksi Spot sebesar USD2,000,000.00 (dua juta
dolar Amerika Serikat) kepada Bank M dengan Underlying
Transaksi berupa proyeksi arus kas dengan selisih bersih
sebesar USD2,000,00.00 (dua juta dolar Amerika Serikat).
Atas dasar hal tersebut, Bank M harus memastikan
kewajaran nilai pembelian USD terhadap IDR melalui
30
Transaksi Spot tersebut dengan melihat data historis selama
1 (satu) tahun kebelakang untuk menilai kesesuaian
transaksi tersebut dengan data transaksi yang ada.
Contoh 2:
Perusahaan H melakukan pembelian USD terhadap IDR
melalui Transaksi Spot sebesar USD500,000.00 (lima ratus
ribu dolar Amerika Serikat) kepada Bank O pada tanggal 2
Agustus 2019 dan Transaksi Spot sebesar USD600,000.00
(enam ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 2
September 2019, dengan menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi berupa proyeksi arus kas. Bank O
harus memastikan kewajaran transaksi tersebut dengan
melihat data historis selama 1 (satu) tahun kebelakang
untuk menilai kesesuaian transaksi tersebut dengan total
pembelian sebesar USD1,100,000.00 (satu juta seratus ribu
dolar Amerika Serikat)
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pernyataan tertulis yang autentik dapat berupa surat
elektronik resmi (official email), SWIFT message,
negative confirmation, atau sistem business internet
banking.
31
Huruf c
Yang dimaksud dengan โpejabat yang berwenang dari badan
usaha selain Bankโ adalah:
1. pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan
anggaran dasar badan usaha dimaksud; atau
2. pihak yang diberi kewenangan melalui surat kuasa oleh
pejabat sebagaimana dimaksud pada angka 1.
Surat kuasa ini diperlukan untuk menandatangani
pernyataan tertulis yang terkait dengan Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Bank.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pernyataan tertulis yang autentik dapat berupa surat
elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative
confirmation, atau sistem business internet banking.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โpejabat yang berwenang dari badan
usaha selain Bankโ adalah:
1. pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan anggaran
dasar badan usaha dimaksud; atau
2. pihak yang diberi kewenangan melalui surat kuasa oleh
pejabat sebagaimana dimaksud pada angka 1.
32
Surat kuasa ini diperlukan untuk menandatangani
pernyataan tertulis yang terkait dengan Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah dengan Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โpejabat yang berwenang dari badan
usaha selain Bankโ adalah:
1. pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan
anggaran dasar badan usaha dimaksud; atau
2. pihak yang diberi kewenangan melalui surat kuasa oleh
pejabat sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Surat kuasa diperlukan untuk menandatangani
pernyataan tertulis yang terkait dengan Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Bank.
Huruf c
Pernyataan tertulis yang autentik dapat berupa surat
elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative
confirmation, atau sistem business internet banking.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
33
Ayat (3)
Contoh:
Pada tanggal 9 November 2018, Nasabah melakukan pembelian
valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar
USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian pada
tanggal 14 November 2018, Nasabah yang sama melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot
sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
Selanjutnya, pada tanggal 19 November 2018, Nasabah kembali
melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui
Transaksi Spot sebesar USD32,500.00 (tiga puluh dua ribu lima
ratus dolar Amerika Serikat). Pembelian valuta asing terhadap
rupiah melalui Transaksi Spot yang dilakukan pada tanggal 19
November 2018 tersebut telah melampaui batas maksimal
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot
tanpa Underlying Transaksi sebesar USD25,000.00 (dua puluh
lima ribu dolar Amerika Serikat). Dengan demikian untuk
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot
yang dilakukan pada tanggal 19 November 2018 tersebut, Bank
wajib meminta Nasabah untuk menyediakan dokumen Underlying
Transaksi sebesar USD32,500.00 (tiga puluh dua ribu lima ratus
dolar Amerika Serikat).
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh 1:
Perusahaan A merupakan eksportir dan akan melakukan
Transaksi Forward jual USD/IDR sebesar USD30,000,000.00
(tiga puluh juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 3 Desember
2018 dengan tenor 3 (tiga) bulan. Pada saat Transaksi Forward
dilakukan, Perusahaan A wajib menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat
pada tanggal 10 Desember 2018 (5 (lima) hari kerja). Penyampaian
dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung
34
tersebut berlaku untuk penyelesaian transaksi baik secara netting
maupun diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara
penuh (full movement of fund).
Contoh 2:
Individu B merupakan importir dan akan melakukan Transaksi
Forward beli USD/IDR sebesar USD80,000.00 (delapan puluh
ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 8 Januari 2019 dengan
tenor 2 (dua) bulan (jatuh waktu tanggal 8 Maret 2019) dan tidak
wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada
tanggal 8 Februari 2019, individu B memutuskan untuk
melakukan unwind posisi forward beli di atas dengan melakukan
Transaksi Forward jual dengan tenor 1 (satu) bulan, jatuh waktu
8 Maret 2019. Untuk penyelesaian transaksi ini, individu B wajib
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung paling lambat tanggal 15 Februari 2019 atau 5 (lima)
hari kerja setelah tanggal Transaksi Forward yang kedua. Dalam
hal sampai dengan tanggal 15 Februari 2019 individu B tidak
dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung maka penyelesaian Transaksi Forward beli
dan Forward jual dilakukan dengan pemindahan dana pokok
secara penuh (full movement of fund).
Ayat (3)
Contoh:
Individu C melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal
11 Januari 2019 dengan tenor 4 (empat) hari atau jatuh waktu
tanggal 17 Januari 2019. Individu C wajib menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling
lambat tanggal 17 Januari 2019.
Ayat (4)
Contoh:
Pada tanggal 12 November 2018, Nasabah melakukan pembelian
valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward sebesar
USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Kemudian, pada tanggal 19 November 2018, Nasabah yang sama
melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui
35
transaksi Call Spread Option sebesar USD50,000.00 (lima puluh
ribu dolar Amerika Serikat).
Selanjutnya, pada tanggal 21 November 2018, Nasabah kembali
melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui
Transaksi Forward sebesar USD22,500.00 (dua puluh dua ribu
lima ratus dolar Amerika Serikat). Pembelian yang dilakukan pada
tanggal 21 November 2018 tersebut telah melampaui batas
maksimal pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah tanpa
Underlying Transaksi sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat).
Dengan demikian untuk pembelian melalui Transaksi Forward
yang dilakukan pada tanggal 21 November 2018 tersebut, Bank
wajib meminta Nasabah untuk menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi sebesar USD22,500.00 (dua puluh dua ribu
lima ratus dolar Amerika Serikat).
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Bank telah mengetahui track record Nasabah dengan baik
antara lain berdasarkan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah yang dilakukan Nasabah secara reguler dari waktu
ke waktu.
Contoh:
PT A melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah
kepada Bank X pada tanggal 19 November 2018 sebesar
USD120,000.00 (seratus dua puluh ribu dolar Amerika
Serikat). Atas pembelian ini Bank X wajib memastikan PT A
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung berupa fotokopi dokumen identitas
36
Nasabah dan fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP), serta
pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan
tertulis yang autentik.
Pada tanggal 14 Desember 2018, PT A melakukan pembelian
valuta asing terhadap rupiah kepada Bank X sebesar
USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika
Serikat). Atas pembelian ini, Bank X wajib memastikan PT A
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi.
Pada tanggal 21 Januari 2019, PT A kembali melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank X
sebesar USD130,000.00 (seratus tiga puluh ribu dolar
Amerika Serikat). Atas pembelian ini Bank X wajib
memastikan PT A menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung berupa fotokopi
dokumen identitas Nasabah dan fotokopi nomor pokok wajib
pajak (NPWP), serta pernyataan tertulis bermeterai cukup
atau pernyataan tertulis yang autentik.
Ayat (2)
Contoh:
Nasabah B melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah
melalui Transaksi Spot kepada Bank Y pada tanggal 19 November
2018 sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Atas
pembelian ini, Bank Y wajib meminta Nasabah B untuk
menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis bermeterai
cukup atau pernyataan tertulis yang autentik.
Selanjutnya, pada tanggal 26 November 2018, Nasabah B
melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui
Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD3,000.00 (tiga ribu
dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Nasabah B tidak wajib
menyampaikan kepada Bank Y dokumen berupa pernyataan
tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang autentik
karena telah disampaikan pada transaksi sebelumnya (19
November 2018).
Pada tanggal 17 Desember 2018, Nasabah B melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot
kepada Bank Y sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika
37
Serikat). Atas pembelian ini, Bank Y wajib memastikan Nasabah
B menyampaikan kembali dokumen berupa pernyataan tertulis
bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang autentik
mengingat transaksi dilakukan dalam bulan yang berbeda.
Ayat (3)
Contoh:
Pada tanggal 5 Januari 2019, PT C melakukan Transaksi Forward
beli USD/IDR kepada Bank X sebesar USD150,000.00 (seratus
lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan dokumen
Underlying Transaksi berupa invoice. Atas pembelian tersebut,
Bank X wajib memastikan PT C menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi dan dokumen pendukung berupa fotokopi
dokumen identitas Nasabah dan fotokopi nomor pokok wajib
pajak (NPWP), serta pernyataan tertulis bermeterai cukup atau
pernyataan tertulis yangautentik.
Pada tanggal 20 Februari 2019, PT C melakukan Transaksi
Forward beli USD/IDR kepada Bank X sebesar USD110,000.00
(seratus sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian
tersebut, PT C menyampaikan dokumen Underlying Transaksi
namun tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung kembali.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Contoh:
Nasabah N melakukan Transaksi Forward beli kepada Bank M
sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) yang
jatuh waktu selama 3 (tiga) bulan. Pada saat jatuh waktu,
Nasabah N tidak memiliki dana rupiah untuk memenuhi
kewajibannya. Atas hal tersebut, Bank M dilarang memberikan
kredit rupiah kepada Nasabah N yang akan digunakan untuk
menyelesaikan Transaksi Forward tersebut.
38
Ayat (2)
Contoh:
Nasabah mengajukan permintaan kredit kepada Bank A sebesar
USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat) untuk
tujuan investasi berupa pembangunan pabrik. Bank menyetujui
permohonan kredit Nasabah dengan perjanjian kredit sebagai
berikut:
a. kredit diberikan dalam USD;
b. bunga kredit berupa variable rate yaitu 6 months USD LIBOR
+ 300 bps dengan repricing date setiap 6 (enam) bulan sekali;
dan
c.
jangka waktu kredit selama 5 (lima) tahun dengan
mekanisme pembayaran prinsipal kredit secara balloon
payment pada akhir tahun ke-5 (lima) dan pembayaran
bunga secara semesteran.
Untuk memenuhi kewajiban pembayaran bunga kredit berupa
variable rate tersebut, Nasabah memiliki kebutuhan untuk
menerima dana pencairan kredit dalam mata uang rupiah dan
membayar bunga kredit dalam fixed rate.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Nasabah melakukan
kontrak Transaksi Cross Currency Swap (CCS) valuta asing
terhadap rupiah yang berjangka waktu 5 (lima) tahun dengan
Bank A sesuai mekanisme sebagai berikut:
a. pada awal kontrak, Nasabah memberikan prinsipal sebesar
USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat),
sedangkan Bank A memberikan sejumlah nominal tertentu
dalam rupiah yang ekuivalen dengan USD100,000,000.00
(seratus juta dolar Amerika Serikat), sesuai dengan kurs
yang berlaku saat itu kepada Nasabah;
b. setiap 6 (enam) bulan sampai akhir kontrak, Nasabah (fixed
payer) membayar 10% dalam mata uang rupiah kepada Bank
A, sedangkan Bank A (variable payer) membayar 6 months
LIBOR + 300 bps dalam mata uang USD kepada Nasabah;
c. pada akhir kontrak, Nasabah memberikan nominal tertentu
dalam rupiah yang ekuivalen dengan USD100,000,000.00
(seratus juta dolar Amerika Serikat), sesuai dengan kurs
39
yang disepakati kepada Bank A, sedangkan Bank A
menyerahkan USD100,000,000.00 (seratus juta dolar
Amerika Serikat), kepada Nasabah;dan
d. dalam hal ini, kredit yang diberikan oleh Bank A kepada
Nasabah bukan ditujukan untuk melakukan Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah, melainkan untuk
pembangunan pabrik. Selanjutnya, pada saat Nasabah
melakukan kontrak derivatif CCS valuta asing terhadap
rupiah dengan Bank A, kredit yang didapatkan dari Bank A
dijadikan Underlying Transaksi dalam kontrak derivatif
dengan Bank A.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh 1:
Pada tanggal 5 September 2018, Nasabah A melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika
Serikat). Kemudian, pada tanggal 14 September 2018,
Nasabah A melakukan pembelian valuta asing terhadap
rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima
belas ribu dolar Amerika Serikat). Total pembelian valuta
asing terhadap rupiah Nasabah A pada bulan September
2018 adalah sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar
Amerika Serikat). Pembelian valuta asing terhadap rupiah
pada tanggal 14 September 2018, tidak didukung dengan
dokumen Underlying Transaksi, sehingga terdapat
pelanggaran karena total Transaksi Spot melebihi threshold
sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) tanpa
didukung dengan dokumen Underlying Transaksi.
40
Kurs JISDOR tanggal 14 September 2018 adalah USD/IDR
13.500,00.
Atas pelanggaran tersebut, Bank dikenakan sanksi berupa
teguran tertulis dan kewajiban membayar dari nilai nominal
USD5,000.00 x 1% x Rp13.500,00 yaitu sebesar
Rp675.000,00 (enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
Namun demikian, karena dalam PBI diatur bahwa sanksi
kewajiban membayar paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka Bank
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Contoh 2:
Pada tanggal 12 September 2018, Nasabah melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
Forward 1 (satu) bulan sebesar USD160,000.00 (seratus
enam puluh ribu dolar Amerika Serikat). Sampai dengan 5
(lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, yaitu tanggal 17
September 2018, Nasabah tidak menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi dan dokumen pendukung, sehingga
terdapat pelanggaran karena total Transaksi Forward
melebihi jumlah tertentu (threshold) sebesar USD60,000.00
(enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) tanpa didukung
dengan dokumen Underlying Transaksi.
Kurs JISDOR tanggal 17 September 2018 adalah USD/IDR
13.500,00.
Atas pelanggaran tersebut, Bank dikenakan sanksi berupa
teguran tertulis dan kewajiban membayar dari nilai nominal
USD60,000.00 x 1% x Rp13.500,00 yaitu sebesar
Rp8100.000,00 (delapan juta seratus ribu rupiah). Namun
demikian, karena dalam PBI diatur bahwa sanksi kewajiban
membayar paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) maka Bank dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
41
Huruf b
Contoh:
Pada tanggal 13 September 2018, Bank B memberikan kredit
kepada Nasabah A sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta
dolar Amerika Serikat) yang digunakan khusus untuk
membiayai kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah, yang tidak terkait dengan kegiatan ekspor
dan/atau impor. Kurs JISDOR tanggal 13 September 2018
adalah Rp13.500,00. Dalam hal ini, Bank B telah melakukan
pelanggaran larangan pemberian kredit untuk membiayai
kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
dan dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar Rp1.350.000.000,00 (satu miliar tiga
ratus lima puluh juta rupiah) yang berasal dari perhitungan
(USD10,000,000.00 x 1% x Rp13.500,00), dengan
pembayaran sanksi paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Huruf c
Contoh:
PT X tidak memiliki rekening valuta asing maupun rekening
rupiah di Bank Y. Pada tanggal 14 September 2018, PT X
melakukan Transaksi Forward jual USD/IDR 1 (satu) bulan
dengan Bank Y sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar
Amerika Serikat) pada kurs USD/IDR 13.500,00. Untuk itu
Bank Y melakukan penyerahan dana rupiah terlebih dahulu
kepada PT X sebesar Rp27.000.000.000,00 (dua puluh tujuh
miliar rupiah), dengan harapan pada akhir hari tanggal
valuta, PT X akan menyerahkan dana sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Namun
demikian, sampai dengan akhir hari tanggal 15 Oktober 2018
waktu penyelesaian transaksi US Dollar PT X tidak dapat
memenuhi janjinya menyerahkan dana sebesar
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Dengan
demikian, Bank Y telah memberikan cerukan senilai
USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) kepada
PT X untuk kepentingan Transaksi Valuta Asing Terhadap
42
Rupiah. Kurs JISDOR tanggal 15 Oktober 2018 adalah
Rp13.500,00. Atas pelanggaran dimaksud, Bank Y
dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar Rp270.000.000,00 (dua ratus tujuh
puluh juta rupiah) yang berasal dari perhitungan
(USD2,000,000.00 x 1% x Rp13.500,00).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/16/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK </reg_title>
<set_date> 15 Agustus 2018 </set_date>
<effective_date> 15 Agustus 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '18/34/DPPK|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '18/18/PBI/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/35/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR
TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter,
Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia
sebagai salah satu instrumen operasi moneter
berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa dengan diterbitkannya Sukuk Bank Indonesia
sebagai instrumen operasi moneter berdasarkan prinsip
syariah, diperlukan pengaturan mengenai mekanisme
pelaksanaan penerbitan Sukuk Bank Indonesia tersebut;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar
Terbuka;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/14/PBI/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi
Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6278);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018
PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan
Operasi Pasar Terbuka sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/29/PADG/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang
Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka diubah sebagai berikut:
1. Di antara angka 16 dan angka 17 Pasal 1 disisipkan 1
(satu) angka, yakni angka 16A dan angka 55 diubah
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah.
2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya
disingkat BUK adalah bank umum yang
TENTANG
3
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter, yang dilakukan secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah.
6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya
disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter yang dilakukan secara konvensional.
7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat
OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh
Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat
OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang
dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain
untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.
9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang
selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah
kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar
valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan BUK dan/atau pihak lain.
10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya
disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di
4
pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau
pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain.
11. Peserta OPT adalah peserta OPT Konvensional dan
peserta OPT Syariah.
12. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta
OMK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan
operasi moneter.
13. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang
telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai
peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kepesertaan operasi moneter.
14. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah
dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai
dealer utama yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi
Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kepesertaan operasi moneter.
15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
16. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan
prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu
pendek.
16A. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut
SuKBI adalah sukuk yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia dengan menggunakan underlying asset
berupa surat berharga berdasarkan prinsip syariah
milik Bank Indonesia.
5
17. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek
yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK.
18. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing
yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat
berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka
waktu pendek.
19. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah surat utang negara dan surat berharga
syariah negara.
20. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara.
21. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
22. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga
untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi
penjualan surat berharga oleh Peserta OPT
Konvensional kepada Bank Indonesia, dengan
kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT
Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu
yang disepakati.
23. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga
untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi
penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah
kepada Bank Indonesia, dengan janji pembelian
kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati.
24. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT
6
Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi
pembelian surat berharga oleh Peserta OPT
Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban
penjualan kembali oleh Peserta OPT Konvensional
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati.
25. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT
Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse
Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat
berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank
Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh
Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
26. Penempatan Berjangka OPT Konvensional yang
selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional adalah penempatan dana secara
berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah dan/atau
valuta asing milik Peserta OPT Konvensional.
27. Penempatan Berjangka OPT Syariah yang selanjutnya
disebut Transaksi Term Deposit OPT Syariah adalah
penempatan dana secara berjangka di Bank
Indonesia dalam valuta asing milik Peserta OPT
Syariah.
28. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di
Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau
valuta asing.
29. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat
berharga milik Bank pada BI-SSSS dalam mata uang
rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di
Bank Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan
setelmen atas transaksi surat berharga, transaksi
dengan Bank Indonesia, dan/atau transaksi pasar
keuangan.
30. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank
Indonesia sebagai peserta BI-SSSS untuk melakukan
7
fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah.
31. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah
Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
32. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah
BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
33. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform
yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah
Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
34. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya
disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank
kepada Bank Indonesia secara harian, termasuk
penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman
dari Bank Indonesia.
35. Bank Koresponden adalah bank yang memelihara
rekening giro valuta asing dalam rangka pembayaran
dan/atau penerimaan dana valuta asing ke dan/atau
dari Bank.
36. Bank Pembayar adalah bank yang memiliki Rekening
Giro valuta asing di Bank Indonesia untuk
melakukan pembayaran dan/atau penerimaan dana
dalam rangka setelmen transaksi SBBI Valas.
37. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana
dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
38. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia adalah transaksi
beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia
8
dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja
setelah tanggal transaksi.
39. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia adalah transaksi
jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua)
hari kerja setelah tanggal transaksi.
40. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta
asing terhadap rupiah melalui pembelian atau
penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau
pembelian kembali secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang
sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
41. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia adalah transaksi
jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi
pembelian kembali valuta asing terhadap rupiah oleh
Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang
sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
42. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia adalah
transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi
penjualan kembali valuta asing terhadap rupiah oleh
Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang
sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
43. Standard Settlement Instruction adalah suatu
pedoman tertentu dalam melakukan transfer dana
melalui sarana telekomunikasi yang antara lain
memuat nama Bank Koresponden, nomor rekening,
kode kliring, dan kode Society for Worldwide Interbank
Financial Telecommunication (SWIFT).
44. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli
valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan
9
dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal transaksi.
45. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia adalah
transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih
dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
46. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah
transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih
dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
47. Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward yang
selanjutnya disebut Transaksi DNDF adalah
transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang
standar (plain vanilla) berupa transaksi forward
dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar
domestik.
48. Mekanisme Fixing adalah mekanisme penyelesaian
transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara
menghitung selisih antara kurs Transaksi Forward
dan kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah
ditetapkan di dalam kontrak (fixing date).
49. Transaksi DNDF Jual Bank Indonesia adalah
transaksi derivatif jual valuta asing terhadap rupiah
yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia
berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing
yang dilakukan di pasar domestik.
50. Transaksi DNDF Beli Bank Indonesia adalah
transaksi derivatif beli valuta asing terhadap rupiah
yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia
berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing
yang dilakukan di pasar domestik.
51. Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate
yang selanjutnya disebut JISDOR adalah representasi
harga spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah
dari transaksi antar Bank di pasar domestik,
termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri,
yang informasi data transaksinya dapat diakses
10
melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank
dengan pihak domestik.
52. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan
dan pengkreditan Rekening Surat Berharga untuk
penatausahaan.
53. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan Rekening Giro di Bank Indonesia
melalui Sistem BI-RTGS untuk penatausahaan.
54. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat
DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan
cara Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana
dilakukan secara bersamaan.
55. Pelunasan atau Pencairan Sebelum Jatuh Waktu
yang selanjutnya disebut Early Redemption adalah
pelunasan SBI, SDBI, SukBI, SBBI Valas sebelum
jatuh waktu atau pencairan Term Deposit OPT
Konvensional atau Term Deposit OPT Syariah sebelum
jatuh waktu.
56. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia,
termasuk hari kerja operasional terbatas Bank
Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 58 ayat (1) diubah sehingga Pasal 58
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 58
(1) Peserta OPT Konvensional yang melakukan
pengajuan penawaran lelang Transaksi Repo OPT
Konvensional dengan surat berharga dalam valuta
asing harus mengirimkan dokumen ke Bank
Indonesia sebagai berikut:
a. surat pernyataan yang menyatakan bahwa:
11
1) surat berharga dalam valuta asing yang di-
repo-kan merupakan aset milik Peserta OPT
Konvensional; dan
2) Peserta OPT Konvensional tidak lagi
memiliki SBI, SDBI, SukBI, dan SBN;
b. data terkait surat berharga dalam valuta asing
yang paling sedikit meliputi jadwal pembayaran
kupon terakhir (last coupon date), jadwal
pembayaran kupon selanjutnya (next coupon
date), tingkat kupon (coupon rate), dan nominal
kupon;
c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dilampiri dengan statement of holding
atas kepemilikan surat berharga dalam valuta
asing di lembaga kustodian yang ditunjuk Bank
Indonesia dan Hasil Olahan Komputer (HOK)
posisi kepemilikan surat berharga dalam Rupiah
Peserta OPT Konvensional pada posisi
penutupan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal
transaksi.
(2) Contoh surat pernyataan dan data terkait surat
berharga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menggunakan format sebagaimana
contoh dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
3. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 72
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah tidak
mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen
second leg sampai dengan sebelum periode cut-off
warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan
kegagalan setelmen second leg, BI-SSSS secara
otomatis membatalkan Transaksi Repo OPT
12
Konvensional jatuh waktu (second leg).
(2) Dalam hal Peserta OPT Konvensional gagal
melakukan setelmen second leg sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) maka Bank Indonesia
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam hal surat berharga berupa SBI, SDBI, dan
SukBI, Bank Indonesia melakukan Early
Redemption atas SBI, SDBI, dan SukBI dan
mengenakan biaya Transaksi Repo OPT
Konvensional.
b. Dalam hal surat berharga berupa SBN,
transaksi yang bersangkutan diperlakukan
sebagai transaksi penjualan secara putus
(outright) oleh Peserta OPT Konvensional.
(3) Dalam hal Bank Indonesia melakukan Early
Redemption atas SBI, SDBI, dan SukBI sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, Bank Indonesia
membayar diskonto SBI dan SDBI, dan imbalan
SukBI kepada Peserta OPT Konvensional sampai
dengan tanggal Early Redemption atas SBI, SDBI, dan
SukBI.
(4) Atas kegagalan setelmen second leg, Peserta OPT
Konvensional tetap membayar biaya Transaksi Repo
OPT Konvensional kepada Bank Indonesia.
(5) Perhitungan setelmen dan penggunaan harga surat
berharga transaksi penjualan secara putus
(outright) oleh Peserta OPT Konvensional mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga
dalam operasi moneter.
(6) Dalam hal hasil Early Redemption dan transaksi
penjualan secara putus (outright) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak mencukupi, Bank
Indonesia akan mendebit Rekening Giro rupiah
sebesar kekurangan kewajiban Peserta OPT
Konvensional kepada Bank Indonesia.
13
4. Di antara Bagian Kesatu dan Bagian Kedua Bab III
disisipkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Kesatu A dan di
antara Pasal 196 dan Pasal 197 disisipkan 15 (lima belas)
pasal, yakni Pasal 196A sampai dengan Pasal 196O yang
berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kesatu A
Penerbitan SukBI
Paragraf 1
Pengumuman Lelang SukBI
Pasal 196A
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang
SukBI dan perubahannya paling lambat sebelum
window time, melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU,
dan/atau sarana lain.
(2) Pengumuman rencana lelang SukBI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat informasi:
a. sarana transaksi;
b. hari dan tanggal lelang;
c. window time;
d. jangka waktu;
e. tanggal jatuh waktu;
f.
nisbah bagi hasil;
g. metode lelang;
h. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender);
i.
indikasi tingkat imbalan, apabila lelang
dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate
tender);
j. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
k. informasi lainnya.
14
Paragraf 2
Pengajuan Penawaran Lelang SukBI
Pasal 196B
Peserta OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui
Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang SukBI
kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam
window time yang ditetapkan.
Pasal 196C
(1) Pengajuan penawaran lelang SukBI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 196B meliputi informasi:
a.
nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga
tetap (fixed rate tender); atau
b. tingkat imbalan dan nilai nominal, untuk lelang
dengan metode harga beragam (variable rate
tender),
untuk masing-masing jangka waktu SukBI yang akan
diterbitkan.
(2) Peserta OPT Syariah mengajukan setiap penawaran
dengan nilai nominal paling sedikit sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
selebihnya
dengan
kelipatan
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal lelang SukBI dilakukan dengan metode
harga beragam (variable rate tender), pengajuan
penawaran tingkat imbalan dilakukan dengan
kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen).
Paragraf 3
Penetapan Pemenang Lelang SukBI
Pasal 196D
(1) Dalam hal lelang SukBI dilakukan dengan metode
harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang
lelang dihitung dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta
sebesar
15
OPT Syariah dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal
yang diajukan Peserta OPT Syariah dapat
dimenangkan sebagian secara proporsional
sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia,
dengan pembulatan nominal terkecil SukBI
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Dalam hal lelang SukBI dilakukan dengan metode
harga beragam (variable rate tender), penetapan
pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan tingkat imbalan
SukBI tertinggi yang dapat diterima atau Stop
Out Rate (SOR); dan
b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang
dimenangkan dengan cara:
1. dalam hal tingkat imbalan SukBI yang
diajukan Peserta OPT Syariah lebih rendah
dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan,
Peserta OPT Syariah yang bersangkutan
memenangkan seluruh penawaran SukBI
yang diajukan; atau
2. dalam hal tingkat imbalan SukBI yang
diajukan Peserta OPT Syariah sama dengan
Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan,
Peserta OPT Syariah yang bersangkutan
memenangkan seluruh atau sebagian
penawaran SukBI yang diajukan secara
proporsional sesuai dengan perhitungan
Bank Indonesia, dengan pembulatan
nominal terkecil
SukBI
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 196E
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang
lelang SukBI.
sebesar
16
Paragraf 4
Pengumuman Hasil Lelang SukBI
Pasal 196F
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SukBI setelah
dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank
Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui
Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai
nominal, nilai transaksi SukBI yang dimenangkan,
indikasi tingkat imbalan, dan/atau informasi lainnya;
dan
b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem
LHBU, dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal
seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal
seluruh penawaran yang dimenangkan, nisbah bagi
hasil, Stop Out Rate (SOR), indikasi tingkat imbalan,
dan/atau informasi lainnya.
Paragraf 5
Setelmen SukBI
Pasal 196G
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang
SukBI paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah
pengumuman hasil lelang SukBI.
(2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki dana di Rekening
Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen hasil
lelang SukBI.
Pasal 196H
(1) Bank Indonesia melakukan Setelmen Dana hasil
lelang SukBI dengan mendebit Rekening Giro rupiah
Peserta OPT Syariah dan Setelmen Surat Berharga
dengan mengkredit Rekening Surat Berharga Peserta
OPT Syariah sebesar nilai nominal SukBI.
(2) Setelmen Dana dan Setelmen Surat Berharga
17
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mekanisme penyelesaian transaksi per
transaksi (gross to gross) dan DVP.
Pasal 196I
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Syariah tidak mencukupi untuk memenuhi
kewajiban setelmen sampai dengan sebelum periode
cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga
mengakibatkan kegagalan setelmen lelang SukBI, BI-
SSSS secara otomatis membatalkan transaksi lelang
SukBI yang dimenangkan Peserta OPT Syariah yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal pada lelang SukBI yang sama terdapat
lebih dari 1 (satu) kali pembatalan transaksi SukBI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk
perhitungan pengenaan sanksi penghentian
sementara mengikuti kegiatan OMS, pembatalan
transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali.
Pasal 196J
(1) Setelmen pelunasan SukBI dilakukan pada tanggal
jatuh waktu.
(2) BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen
pelunasan sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai
dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-
RTGS.
(3) Bank Indonesia melunasi SukBI jatuh waktu
berdasarkan pencatatan kepemilikan SukBI yang
tercatat di BI-SSSS pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum
tanggal jatuh waktu SukBI.
(4) Dalam hal setelah terjadinya transaksi, tanggal jatuh
waktu SukBI ditetapkan sebagai hari libur oleh
pemerintah, pelaksanaan setelmen pelunasan SukBI
dilakukan pada Hari Kerja berikutnya, tanpa
memperhitungkan tambahan imbalan untuk hari
libur dimaksud.
18
(5) Pada tanggal jatuh waktu SukBI, Bank Indonesia
melakukan pelunasan SukBI dengan cara:
1. mengkredit Rekening Giro rupiah Bank pemilik
SukBI sebesar nilai nominal SukBI jatuh waktu
dan imbalan; dan
2. mendebit Rekening Surat Berharga Bank pemilik
SukBI sebesar nilai nominal SukBI jatuh waktu.
(6) Contoh perhitungan imbalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) tercantum pada Lampiran XVI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Paragraf 6
Pembatasan Transaksi SukBI di Pasar Sekunder
Pasal 196K
Bank dilarang mentransaksikan SukBI yang dimilikinya
dengan pihak selain Bank.
Pasal 196L
Bank dapat mentransaksikan SukBI dengan Bank
Indonesia.
Pasal 196M
Sub-Registry wajib menatausahakan SukBI milik
nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 196K.
Pasal 196N
Bank Indonesia melakukan pengawasan tidak langsung
dan/atau pemeriksaan atas pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196K oleh Bank dan
Sub-Registry.
Pasal 196O
(1) Atas pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 196K, Bank Indonesia
19
melakukan Early Redemption atas SukBI yang
dimiliki oleh pihak selain Bank tanpa persetujuan
pemilik.
(2) Perhitungan Early Redemption
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung 1 (satu) Hari Kerja
setelah tanggal setelmen pemindahtanganan SukBI
ke pihak selain Bank.
(3) Perhitungan Early Redemption atas SukBI mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga
dalam operasi moneter.
5. Ketentuan Pasal 214 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 214
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah tidak
mencukupi untuk memenuhi kewajiban
setelmen second leg sampai dengan sebelum
periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga
mengakibatkan kegagalan setelmen second leg, BI-
SSSS secara
otomatis membatalkan
Transaksi Repo OPT Syariah jatuh waktu (second leg).
(2) Dalam hal Peserta OPT Syariah gagal melakukan
setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) maka:
a. Transaksi Repo OPT Syariah yang menggunakan
SBSN diperlakukan sebagai transaksi penjualan
SBSN secara putus (outright) oleh Peserta OPT
Syariah; dan/atau
b. Transaksi Repo OPT Syariah yang menggunakan
SukBI, maka dilakukan Early Redemption atas
SukBI milik Peserta OPT Syariah.
(3) Dalam hal Bank Indonesia melakukan Early
Redemption SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b, Bank Indonesia membayar imbalan SukBI
kepada Peserta OPT Syariah sampai dengan tanggal
20
Early Redemption SukBI.
(4) Atas kegagalan setelmen second leg, Peserta OPT
Syariah tetap membayar biaya Transaksi Repo OPT
Syariah kepada Bank Indonesia.
6. Ketentuan Pasal 322 ayat (1) diubah sehingga Pasal 322
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 322
(1) Peserta OPT Syariah dikenakan sanksi dalam hal
tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi
OPT dalam rupiah, meliputi:
a. transaksi penerbitan SBIS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1);
b. transaksi penerbitan SukBI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 196I ayat (1);
c. Transaksi Repo OPT Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1) dan Pasal
214 ayat (1);
d. Transaksi
Reverse Repo OPT Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1)
dan Pasal 235 ayat (1);
e. Transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara
putus (outright) di pasar sekunder sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1).
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis dengan tembusan kepada
Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma
nol satu persen) dari nilai transaksi OPT Syariah
dalam rupiah yang dibatalkan, paling sedikit
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) untuk setiap pembatalan.
(3) Dalam hal terjadi pembatalan Transaksi Repo OPT
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayat
(2) huruf a dan dalam hal harga surat berharga pada
21
saat second leg lebih rendah dari harga surat
berharga pada transaksi first leg, selain dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta
OPT Syariah dikenakan sanksi tambahan berupa
kewajiban membayar sebesar selisih antara harga
pada transaksi first leg dan harga pada transaksi
second leg setelah dikalikan dengan nominal surat
berharga yang di-repo-kan.
(4) Dalam hal terjadi pembatalan Transaksi Reverse Repo
OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235
ayat (1) dan dalam hal harga surat berharga pada saat
second leg lebih tinggi dari harga surat berharga pada
transaksi first leg, selain dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta OPT
Syariah dikenakan sanksi tambahan berupa
kewajiban membayar sebesar selisih antara harga
pada transaksi second leg dan harga pada transaksi
first leg setelah dikalikan dengan nominal surat
berharga yang di-reverse repo-kan.
7. Ketentuan Bab V Bagian Kedua ditambah 1 (satu)
paragraf, yakni Paragraf 4 dan di antara Pasal 330 dan
Pasal 331 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 330A, Pasal
330B, dan Pasal 330C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Paragraf 4
Sanksi Pelanggaran Transaksi SukBI antara Bank
dengan Pihak Selain Bank di Pasar Sekunder
Pasal 330A
Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 196K dan Sub-Registry yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
196M dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas
Jasa Keuangan; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
22
satu persen) dari nilai transaksi SukBI yang tidak
memenuhi ketentuan dimaksud paling sedikit
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) per hari.
Pasal 330B
Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 330A dilakukan pada 1 (satu) Hari Kerja
setelah diketahuinya pelanggaran ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 196K dan Pasal 196M.
Pasal 330C
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 330B dilakukan dengan mendebit
Rekening Giro rupiah dan/atau rekening giro bank
pembayar yang ditunjuk Sub-Registry.
8. Ketentuan Bab V Bagian Kedua ditambah 1 (satu)
paragraf, yakni Paragraf 5 sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Paragraf 5
Sanksi terkait Pengaturan dan Pengawasan Moneter
dan/atau Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial
Pasal 331
Sanksi pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan
dalam OMS juga dapat dikenakan bagi Peserta OPT
Syariah yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan moneter
dan/atau ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pengaturan dan pengawasan makroprudensial.
9. Lampiran IV dan Lampiran XI diubah sehingga menjadi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV dan Lampiran
23
XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
10. Lampiran ditambahkan 1 (satu) lampiran, yakni Lampiran
XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/35/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR
TERBUKA
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa
tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia
menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi
Moneter berdasarkan prinsip syariah. Mekanisme pelaksanaan penerbitan
Sukuk Bank Indonesia tersebut perlu diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan kedua atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang
Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 58
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 72
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 196A
Cukup jelas.
Pasal 196B
Cukup jelas.
Pasal 196C
Cukup jelas.
Pasal 196D
Cukup jelas.
Pasal 196E
Cukup jelas.
Pasal 196F
Cukup jelas.
Pasal 196G
Cukup jelas.
3
Pasal 196H
Cukup jelas.
Pasal 196I
Cukup jelas.
Pasal 196J
Cukup jelas.
Pasal 196K
Cukup jelas.
Pasal 196L
Cukup jelas.
Pasal 196M
Cukup jelas.
Pasal 196N
Cukup jelas.
Pasal 196O
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 214
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 322
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 330A
Cukup jelas.
4
Pasal 330B
Cukup jelas.
Pasal 330C
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 331
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/35/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 20 Desember 2018 </set_date>
<effective_date> 20 Desember 2018 </effective_date>
<changed_reg> '20/6/PADG/2018' </changed_reg>
<extension_of> '20/29/PADG/2018' </extension_of>
<related_reg> '20/14/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 4 Pasal 196I Ayat 2', 'Pasal I Angka 6 Pasal 322', 'Pasal I Angka 7 Bab V Bagian Kedua Paragraf 4', 'Pasal I Angka 8 Bab V Bagian Kedua Paragraf 5 Pasal 331' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/13/PADG/2019
TENTANG
TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH
BERUPA TRANSAKSI INTEREST RATE SWAP
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendorong pasar keuangan yang likuid dan
efisien diperlukan pengembangan pasar derivatif suku
bunga rupiah secara menyeluruh dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam
bertransaksi;
b. bahwa dalam upaya pengembangan pasar derivatif suku
bunga rupiah diperlukan pengaturan lebih lanjut
mengenai transaksi derivatif suku bunga rupiah berupa
transaksi interest rate swap;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Transaksi
Derivatif Suku Bunga Rupiah Berupa Transaksi Interest
Rate Swap;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/13/PBI/2018 tentang
Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 201, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6261);
2
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH BERUPA
TRANSAKSI INTEREST RATE SWAP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah adalah transaksi
yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian
pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari suku
bunga rupiah.
2. Transaksi Interest Rate Swap yang selanjutnya disebut
Transaksi IRS adalah kontrak/perjanjian antara 2 (dua)
pihak untuk mempertukarkan aliran suku bunga dalam
rupiah secara periodik selama masa kontrak atau di akhir
masa kontrak berdasarkan suatu jumlah nosional
(principal) tertentu.
3. Transaksi Overnight Index Swap yang selanjutnya disebut
Transaksi OIS adalah kontrak/perjanjian antara 2 (dua)
pihak untuk mempertukarkan aliran suku bunga dalam
rupiah secara periodik selama masa kontrak atau di akhir
masa kontrak berdasarkan suatu jumlah nosional
(principal) tertentu yang perhitungannya menggunakan
basis bunga harian (daily compounding).
4. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional, termasuk kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri, tidak termasuk
kantor bank umum berbadan hukum Indonesia yang
beroperasi di luar negeri.
5. Nasabah adalah perorangan yang memiliki
kewarganegaraan Indonesia atau badan hukum selain
3
Bank yang berdomisili di Indonesia dan memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak.
6. Pihak Asing adalah:
a. warga negara asing;
b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya;
c. warga negara Indonesia yang memiliki status
penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan
tidak berdomisili di Indonesia;
d. kantor bank umum berbadan hukum Indonesia yang
beroperasi di luar negeri; atau
e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan
yang berbadan hukum Indonesia.
7.
Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya
disebut IndONIA adalah indeks suku bunga atas transaksi
pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang
dilakukan antarbank untuk jangka waktu overnight di
Indonesia.
8. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut
JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi
pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan dan
dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank
kontributor kepada bank kontributor lain untuk
meminjamkan rupiah untuk jangka waktu tertentu di
Indonesia.
BAB II
TRANSAKSI IRS
Bagian Kesatu
Cakupan Transaksi
Pasal 2
(1) Bank melakukan Transaksi IRS dengan mempertukarkan
aliran suku bunga sebagai berikut:
a.
aliran suku bunga tetap (fixed rate) dengan aliran
suku bunga mengambang (floating rate); atau
4
b. aliran suku bunga mengambang (floating rate)
dengan aliran suku bunga mengambang (floating
rate) lainnya.
(2) Perhitungan aliran suku bunga Transaksi IRS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
a. periodik; atau
b. majemuk harian (daily compounding).
(3) Suku bunga mengambang (floating rate) pada Transaksi
IRS dapat mengacu pada:
a.
b.
JIBOR;
IndONIA; atau
c. suku bunga lainnya yang dapat diandalkan (reliable).
(4) Contoh Transaksi IRS sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Bagian Kedua
Pelaku
Pasal 3
(1) Bank dapat melakukan Transaksi IRS dengan:
a. Nasabah yang memenuhi klasifikasi tertentu;
b. Pihak Asing; dan/atau
c. Bank lainnya.
(2) Klasifikasi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a untuk Nasabah berbentuk badan hukum adalah
sebagai berikut:
a. merupakan nasabah di Bank yang bersangkutan;
b. menyampaikan laporan keuangan, sekurang-
kurangnya posisi
tahun
terakhir
yang
memperlihatkan kepemilikan ekuitas paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau
ekuivalennya dalam valuta asing; dan
c.
telah melakukan kegiatan usaha paling sedikit 12
(dua belas) bulan berturut-turut.
5
(3) Klasifikasi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a untuk Nasabah perorangan adalah sebagai
berikut:
a. merupakan nasabah di Bank yang bersangkutan;
dan
b. menyampaikan bukti kepemilikan portofolio aset
berupa kas, giro, tabungan, dan/atau deposito di
perbankan Indonesia, sekurang-kurangnya posisi
bulan terakhir dengan jumlah paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau
ekuivalennya dalam valuta asing.
Bagian Ketiga
Kontrak
Pasal 4
(1) Bank yang melakukan Transaksi IRS dengan Nasabah,
Pihak Asing, dan/atau Bank lainnya wajib didasarkan
atas suatu kontrak yang terdiri atas:
a. kontrak utama yang lazim digunakan oleh pelaku
pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan
b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya
transaksi.
(2) Kontrak transaksi IRS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus ditatausahakan oleh Bank.
(3) Contoh kontrak utama yang lazim digunakan oleh pelaku
pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu
Perjanjian Induk Derivatif Indonesia (PIDI) tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Contoh konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya
transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
6
Pasal 5
(1) Kewajiban penggunaan kontrak utama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dikecualikan
untuk Transaksi IRS yang dilakukan:
a. antara Bank dengan kantor cabangnya;
b. antarkantor cabang Bank; dan
c. antara kantor cabang dari Bank yang berkedudukan
di luar negeri dengan kantor pusatnya atau kantor
cabang lainnya di luar negeri.
(2) Transaksi IRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap
wajib didasarkan atas kontrak berupa konfirmasi tertulis
yang menunjukkan terjadinya transaksi.
Bagian Keempat
Konvensi Pasar
Pasal 6
(1) Bank harus mengikuti konvensi pasar dalam melakukan
Transaksi IRS.
(2) Konvensi pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit mencakup:
a. jumlah desimal suku bunga;
b. jumlah hari dalam setahun; dan
c. mekanisme pembayaran bunga pada saat jatuh
waktu.
Bagian Kelima
Nilai Nominal dan Tenor
Pasal 7
(1) Bank melakukan Transaksi IRS dengan nilai nominal
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Tenor Transaksi IRS yang dilakukan oleh Bank berjangka
waktu 1 (satu) minggu, 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan,
6 (enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, 12 (dua belas) bulan,
atau tenor lainnya.
7
Bagian Keenam
Analisis Kebutuhan Transaksi
Pasal 8
(1) Bank wajib melakukan analisis kebutuhan Transaksi IRS
paling sedikit 1 (satu) kali sebelum melakukan Transaksi
Derivatif Suku Bunga Rupiah.
(2) Analisis kebutuhan Transaksi IRS yang dilakukan oleh
Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didukung oleh dokumen yang relevan.
(3) Bank harus memiliki pedoman internal terkait
penyusunan analisis kebutuhan Transaksi IRS termasuk
penetapan jenis dokumen yang relevan.
(4) Contoh analisis kebutuhan Transaksi IRS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 9
(1) Kewajiban melakukan analisis kebutuhan Transaksi IRS
sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) dikecualikan
dalam hal:
a. Bank melakukan Transaksi IRS dengan tujuan untuk
meneruskan (pass on) transaksi yang dilakukan
dengan Nasabah, Pihak Asing, atau Bank lainnya
atau untuk tujuan lindung nilai aset dan/atau
kewajiban Bank; atau
b. Transaksi IRS dilakukan antar-Bank.
(2) Dalam hal Bank melakukan Transaksi IRS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, Bank menatausahakan
dokumen yang relevan yang menunjukkan transaksi yang
dilakukan dengan Nasabah, Pihak Asing, atau Bank
lainnya yang diteruskan (pass on) atau aset dan/atau
kewajiban Bank yang dilakukan lindung nilai.
8
Pasal 10
(1) Bank wajib melakukan evaluasi (review) terhadap analisis
kebutuhan Transaksi IRS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) secara periodik paling sedikit 1 (satu)
tahun sekali.
(2) Kewajiban melakukan evaluasi (review) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk Transaksi IRS
dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
BAB III
PENYELESAIAN TRANSAKSI IRS
Pasal 11
(1) Penyelesaian Transaksi IRS dilakukan dengan:
a. pemindahan dana secara penuh; atau
b. pemindahan dana dengan memperhitungkan selisih
kewajiban pembayaran (netting),
oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi
untuk setiap periode pembayaran sesuai dengan kontrak
dan konvensi pasar.
(2) Selisih kewajiban pembayaran (netting) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan selisih dari
aliran suku bunga yang dipertukarkan.
Pasal 12
(1) Dalam hal terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak yang
bertransaksi, penyelesaian Transaksi IRS dapat dilakukan
secara close-out netting dengan ketentuan:
a. dipersyaratkan atau diperjanjikan dalam kontrak;
b. transaksi merupakan transaksi yang dilakukan
dalam satu perjanjian induk; dan
c. dilakukan sebelum adanya pernyataan putusan pailit
oleh pengadilan.
(2) Contoh penerapan close-out netting sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
9
BAB IV
PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN MANAJEMEN RISIKO
Pasal 13
(1) Bank yang melakukan Transaksi IRS wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian.
(2) Kewajiban penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:
a.
etika bertransaksi (market code of conduct) atau
pedoman lain yang sejenis;
b. transparansi dan keterbukaan informasi;
c. perlindungan konsumen; dan
d. mekanisme penyelesaian sengketa (dispute
resolution).
(3) Penerapan transparansi dan keterbukaan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling
sedikit mencakup:
a. pengungkapan informasi yang lengkap, benar, dan
tidak menyesatkan kepada Nasabah dan/atau Pihak
Asing;
b. pemberian informasi mengenai potensi manfaat yang
mungkin diperoleh dan risiko kerugian yang
mungkin timbul bagi Nasabah dan/atau Pihak Asing
dari Transaksi IRS; dan
c. penyampaian informasi yang tidak menyamarkan,
mengurangi, atau menutupi risiko yang mungkin
timbul dari Transaksi IRS.
(4) Penerapan perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur sebagai berikut:
a. Transaksi IRS harus memperhatikan transparansi
dan keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3);
b. Transaksi IRS didahului dengan penyampaian
dokumen tertulis mengenai informasi terkait
Transaksi IRS yang disusun menggunakan bahasa
Indonesia dan dapat disandingkan dengan bahasa
lain apabila diperlukan, serta memperhatikan kaidah
10
penulisan yang memberikan kemudahan dalam
membaca dan memahami informasi mengenai
Transaksi IRS yang ditawarkan;
c. dalam hal terdapat ilustrasi perhitungan yang
menggunakan asumsi tertentu, perlu adanya
penegasan bahwa informasi yang bersifat perkiraan
mengandung unsur ketidakpastian, yang dapat
mengakibatkan hasil sebenarnya berbeda dari yang
telah diperkirakan; dan
d. memberikan laporan berkala atau akses informasi
kepada Nasabah dan/atau Pihak Asing mengenai
perkembangan Transaksi IRS yang telah dilakukan
dan informasi material yang berpengaruh terhadap
hasil akhir Transaksi IRS.
Pasal 14
(1) Bank wajib memberikan edukasi tentang Transaksi IRS
kepada Nasabah dan/atau Pihak Asing yang bertujuan
untuk memberikan pemahaman mengenai manfaat dan
risiko Transaksi IRS.
(2) Edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit mencakup:
a. penyampaian informasi kepada Nasabah dan/atau
Pihak Asing yang paling sedikit memuat:
1. karakteristik atau fitur transaksi;
2.
ilustrasi perhitungan bunga/pendapatan/
keuntungan yang dapat diperoleh atau kerugian
yang dapat dialami beserta asumsi yang
digunakan dan data pendukungnya, apabila
ada;
3. biaya, apabila ada;
4. hak dan kewajiban;
5. faktor risiko dan hal yang mempengaruhi
perhitungan penyelesaian;
6. syarat dan kondisi lainnya seperti jangka waktu,
tanggal efektif, waktu atau periode penyelesaian
transaksi, penyelesaian sengketa, prasyarat dan
11
mekanisme untuk perpanjangan transaksi (roll
over), percepatan penyelesaian transaksi (early
termination), dan/atau penghentian transaksi
(unwind) apabila ada; dan
7. informasi lain yang diperlukan untuk menilai
pengambilan keputusan sebelum melakukan
Transaksi IRS;
b. penerapan transparansi dan keterbukaan informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
c. pemberian waktu kepada Nasabah dan/atau Pihak
Asing untuk mempelajari penawaran dan dokumen
yang berisi penjelasan Transaksi IRS; dan
d. kepastian Nasabah dan/atau Pihak Asing telah
menerima dan memahami informasi maupun fitur
Transaksi IRS.
(3) Edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan melalui seminar, workshop, focus group
discussion, diseminasi melalui media publikasi, dan/atau
kegiatan lainnya.
Pasal 15
Dalam melakukan Transaksi IRS, Bank harus menerapkan
manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
otoritas perbankan yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko bank.
BAB V
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 16
(1) Bank atau pihak yang melanggar ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Transaksi Derivatif
Suku Bunga Rupiah dikenai sanksi berupa teguran
tertulis dengan tembusan kepada otoritas perbankan atau
otoritas/lembaga terkait lainnya.
(2) Bank yang telah mendapat 3 (tiga) kali teguran tertulis
dalam kurun waktu 1 (satu) tahun atas pelanggaran
12
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
direkomendasikan kepada otoritas perbankan untuk
dikenai sanksi berupa penghentian sementara dalam
melakukan Transaksi IRS yang baru selama 6 (enam)
bulan.
(3) Contoh pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran VI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB VI
KORESPONDENSI
Pasal 17
(1) Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan
Bank Indonesia terkait pelaksanaan Transaksi IRS
disampaikan kepada:
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan
Bank Indonesia
Jalan M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10350
Email : perizinan_pk@bi.go.id.
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
menginformasikan perubahan alamat tersebut melalui
surat dan/atau media lainnya.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
13
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
DODY BUDI WALUYO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/13/PADG/2019
TENTANG
TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH
BERUPA TRANSAKSI INTEREST RATE SWAP
I. UMUM
Untuk mendorong pasar keuangan yang likuid dan efisien diperlukan
pengembangan pasar derivatif suku bunga rupiah secara menyeluruh
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam bertransaksi.
Dalam upaya pengembangan pasar derivatif suku bunga rupiah
diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai Transaksi Derivatif Suku
Bunga Rupiah berupa Transaksi IRS yang mengatur mengenai cakupan
transaksi, pelaku, kontrak, konvensi pasar, nilai nominal dan tenor,
analisis kebutuhan transaksi, penyelesaian Transaksi IRS, prinsip kehati-
hatian dan manajemen risiko, serta tata cara pengenaan sanksi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Aliran suku bunga yang dipertukarkan merupakan aliran
pembayaran suku bunga atas nominal tertentu.
2
Ayat (2)
Huruf a
Perhitungan aliran suku bunga dengan cara periodik seperti
bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan.
Huruf b
Transaksi IRS dengan perhitungan aliran suku bunga
dengan cara majemuk harian (daily compounding) disebut
juga dengan Transaksi OIS.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Suku bunga lainnya yang dapat diandalkan (reliable) antara
lain suku bunga Transaksi OIS.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โekuitasโ adalah total ekuitas yang
terdiri atas modal disetor, laba ditahan, tambahan modal
disetor (agio saham), dan akumulasi dari penghasilan
komprehensif lain.
Huruf c
Contoh 1 โ Nasabah merupakan perusahaan baru:
Perusahaan AAA melakukan kegiatan usaha sejak tanggal
1 Maret 2019. Pada tanggal 1 November 2019, Perusahaan
AAA berencana akan melakukan Transaksi IRS untuk tujuan
lindung nilai suku bunga atas kredit modal kerja.
3
Perusahaan AAA tidak dapat melakukan Transaksi IRS
karena belum melakukan kegiatan usaha selama 12 (dua
belas) bulan berturut-turut.
Contoh 2 โ Nasabah menghentikan kegiatan usahanya:
Perusahaan BBB melakukan kegiatan usaha sejak tanggal
1 Maret 2008. Pada tanggal 1 Maret 2017, Perusahaan BBB
menghentikan kegiatan usahanya karena kondisi keuangan
perusahaan sedang memburuk. Pada tanggal 1 Maret 2018,
setelah mendapat tambahan modal, Perusahaan BBB
kembali menjalankan kegiatan usahanya. Atas hal tersebut,
Perusahaan BBB baru dapat melakukan Transaksi IRS
setelah melakukan kegiatan usaha selama 12 (dua belas)
bulan berturut-turut yakni pada tanggal 1 Maret 2019 dan
memiliki ekuitas paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Kontrak utama dan konfirmasi tertulis yang menunjukkan
terjadinya transaksi dapat dituangkan dalam satu dokumen yang
sama, seperti long-form confirmation.
Huruf a
Contoh kontrak utama transaksi yang lazim digunakan oleh
pelaku pasar antara lain International Swaps and Derivatives
Association (ISDA) Master Agreement, Perjanjian Induk
Derivatif Indonesia (PIDI), dan counterparty agreement.
Huruf b
Konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi
antara lain berupa dealing conversation atau Society of
Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
4
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Analisis kebutuhan Transaksi IRS memuat analisis kebutuhan
Nasabah dan/atau Pihak Asing untuk melakukan Transaksi IRS
dan kemampuan Nasabah dan/atau Pihak Asing dalam
mengendalikan risiko yang timbul dari pelaksanaan Transaksi
IRS.
Ayat (2)
Yang termasuk dalam jenis dokumen yang relevan antara lain
terdiri atas:
a. bukti kepemilikan investasi dalam rupiah yang diterbitkan
oleh pihak yang berwenang;
b. bukti kepemilikan dana dalam rupiah;
c. dokumen kredit;
d. laporan keuangan; dan/atau
e. dokumen lainnya.
Ayat (3)
Pedoman internal terkait penyusunan analisis kebutuhan
Transaksi IRS termasuk penetapan jenis dokumen yang relevan
dapat dimuat dengan menyesuaikan pedoman internal Bank yang
telah ada.
Ayat (4)
Cukup jelas.
5
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Bank NNN melakukan Transaksi IRS dengan Nasabah CCC
yang menyebabkan adanya posisi terbuka (eksposur) bagi
Bank NNN. Untuk melakukan lindung nilai, Bank NNN akan
meneruskan (pass on) posisi terbuka tersebut dengan
melakukan Transaksi IRS dengan perusahaan asuransi DDD
di Indonesia. Atas Transaksi IRS tersebut, Bank NNN tidak
wajib melakukan analisis kebutuhan Transaksi IRS dari
perusahaan asuransi DDD.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Evaluasi (review) dilakukan untuk penerapan prinsip kehati-
hatian dan bertujuan antara lain untuk menilai eligibilitas
Transaksi IRS yang dilakukan oleh Nasabah dan/atau Pihak
Asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal Transaksi IRS mempertukarkan aliran suku bunga
tetap (fixed rate) dengan aliran suku bunga mengambang (floating
rate), selisih kewajiban pembayaran (netting) merupakan selisih
dari aliran suku bunga tetap (fixed rate) dengan aliran suku
bunga mengambang (floating rate).
6
Dalam hal Transaksi IRS mempertukarkan aliran suku bunga
mengambang (floating rate) dengan aliran suku bunga
mengambang (floating rate) lainnya, selisih kewajiban
pembayaran (netting) merupakan selisih dari aliran suku bunga
mengambang (floating rate) dengan aliran suku bunga
mengambang (floating rate) lainnya.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โclose-out nettingโ adalah proses
pengakhiran seluruh Transaksi IRS dan transaksi derivatif
lainnya dalam satu perjanjian induk dan dengan menghitung nilai
bersih (netting) dari nilai/jumlah hak atau kewajiban dengan
pihak yang mengalami wanprestasi (defaulting party).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Etika bertransaksi (market code of conduct) dapat mengacu
pada market code of conduct yang ditetapkan oleh asosiasi
pelaku pasar, antara lain Indonesia Foreign Exchange
Market Committee (IFEMC).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Pengungkapan informasi yang lengkap, benar dan tidak
menyesatkan oleh Bank dimaksudkan agar Nasabah
7
dan/atau Pihak Asing dapat melakukan penilaian dan
analisis sebelum melakukan Transaksi IRS.
Huruf b
Dalam memberikan informasi, Bank harus menyampaikan
secara utuh, tidak menyembunyikan, mengurangi, atau
menutupi hal terkait risiko yang mungkin timbul dari
Transaksi IRS.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/13/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH BERUPA TRANSAKSI INTEREST RATE SWAP </reg_title>
<set_date> 31 Mei 2019 </set_date>
<effective_date> 31 Mei 2019 </effective_date>
<related_reg> '20/13/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/4/PADG/2017
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas transmisi
kebijakan moneter dilakukan perubahan kebijakan
perhitungan giro wajib minimum;
b. bahwa perubahan perhitungan tersebut bertujuan untuk
memberikan fleksibilitas, meningkatkan efisiensi
pengelolaan likuiditas bank, dan mengurangi volatilitas
suku bunga;
c. bahwa untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
pengaturan pemenuhan sebagian giro wajib minimum
primer secara rata-rata dan penyesuaian lainnya terkait
giro wajib minimum;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang
Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan
Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013
tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah
dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 235, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5478) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 19/6/PBI/2017 tentang Perubahan Kelima atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013
Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Dalam Rupiah
dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6047);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG GIRO
WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA
ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta
Asing adalah Bank yang memperoleh persetujuan dari
otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan
usaha dalam valuta asing.
3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
4. Dana Pihak Ketiga Bank yang selanjutnya disingkat DPK
adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan
penduduk dalam rupiah dan valuta asing.
5. Rekening Giro adalah rekening giro sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia.
6. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata
uang rupiah.
7. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya
disebut Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam
valuta asing.
8. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM
adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh
Bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebesar persentase tertentu dari DPK.
9. GWM Primer adalah simpanan minimum dalam rupiah
yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo
Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase
tertentu dari DPK.
10. GWM Sekunder adalah cadangan minimum dalam rupiah
yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk Sertifikat
Bank Indonesia, Sertifikat Deposito Bank Indonesia, dan
Surat Berharga Negara, yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK.
11. Loan to Funding Ratio yang selanjutnya disingkat LFR
adalah rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga
dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit
kepada bank lain, terhadap:
a. dana pihak ketiga mencakup giro, tabungan, dan
deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak
termasuk dana antarbank; dan
b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing yang
memenuhi persyaratan tertentu yang diterbitkan
oleh Bank untuk memperoleh sumber pendanaan.
12. LFR Target adalah kisaran LFR yang dibatasi oleh batas
bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LFR.
13. GWM LFR adalah simpanan minimum dalam rupiah yang
wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening
Giro pada Bank Indonesia sebesar persentase tertentu
dari DPK yang dihitung berdasarkan selisih antara LFR
yang dimiliki oleh Bank dengan LFR Target.
14. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut
JIBOR adalah Jakarta Interbank Offered Rate
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai suku bunga penawaran
antarbank.
15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter.
16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai operasi moneter.
17. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat berharga yang terdiri atas Surat Utang
Negara dalam mata uang rupiah dan Surat Berharga
Syariah Negara dalam mata uang rupiah yang diterbitkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia.
18. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Surat
Utang Negara, yang terdiri atas Obligasi Negara dan
Surat Perbendaharaan Negara.
19. Obligasi Negara yang selanjutnya disingkat ON adalah
SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas)
bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran
bunga secara diskonto.
20. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat
SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan
12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
21. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah Surat Berharga Syariah Negara
atau Sukuk Negara sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Surat Berharga Syariah Negara yang
terdiri atas Surat Berharga Syariah Negara Jangka
Panjang dan Surat Berharga Syariah Negara Jangka
Pendek namun terbatas dalam mata uang rupiah.
22. Surat Berharga Syariah Negara Jangka Panjang yang
selanjutnya disingkat SBSN Jangka Panjang adalah Surat
Berharga Syariah Negara yang berjangka waktu lebih dari
12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa
kupon dan/atau secara diskonto.
23. Surat Berharga Syariah Negara Jangka Pendek yang
selanjutnya disingkat SBSN Jangka Pendek adalah Surat
Berharga Syariah Negara yang berjangka waktu sampai
dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran
imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
24. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan
penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS.
25. Sub-Rekening Investasi pada BI-SSSS adalah sub-
rekening untuk menampung pencatatan kepemilikan
surat berharga yang diperoleh peserta Bank dalam
rangka program pemerintah antara lain program
rekapitalisasi perbankan, namun terbatas dalam mata
uang rupiah.
26. Sub-Rekening Perdagangan atau Sub-Rekening Aktif
pada BI-SSSS adalah sub-rekening untuk menampung
pencatatan kepemilikan surat berharga yang dapat
diperdagangkan baik yang berasal dari Sub-Rekening
Investasi maupun hasil pembelian surat berharga di
pasar perdana dan di pasar sekunder.
27. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang
selanjutnya disebut KPMM adalah rasio antara modal
terhadap aset tertimbang menurut risiko sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum bank umum.
28. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LFR.
29. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali
yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR bagi Bank
yang memiliki LFR kurang dari batas bawah LFR Target.
30. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali
yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR bagi Bank
yang memiliki LFR lebih dari batas atas LFR Target.
31. Total Kredit adalah seluruh kredit yang diberikan oleh
Bank kepada Bank dan bukan Bank dalam rupiah dan
valuta asing.
32. Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang
selanjutnya disebut Kredit UMKM adalah kredit usaha
mikro, kecil, dan menengah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank
umum dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil,
dan menengah.
33. Rasio Kredit UMKM adalah perbandingan antara jumlah
Kredit UMKM terhadap Total Kredit.
34. Rasio Nonperforming Loan Total Kredit yang selanjutnya
disebut Rasio NPL Total Kredit adalah rasio antara
jumlah Total Kredit dengan kualitas kurang lancar,
diragukan, dan macet terhadap Total Kredit.
35. Rasio Nonperforming Loan Kredit UMKM yang selanjutnya
disebut Rasio NPL Kredit UMKM adalah rasio antara
jumlah Kredit UMKM dengan kualitas kurang lancar,
diragukan, dan macet terhadap Total Kredit UMKM.
36. Merger adalah merger sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai merger, konsolidasi,
dan akuisisi bank.
37. Konsolidasi adalah konsolidasi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan yang mengatur mengenai merger,
konsolidasi, dan akuisisi bank.
38. Tanggal Efektif adalah tanggal pelaksanaan peralihan
operasional dari Bank yang menggabungkan diri kepada
Bank yang menerima penggabungan atau dari Bank yang
meleburkan diri kepada Bank yang didirikan.
39. Laporan Berkala Bank Umum adalah laporan berkala
bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
40. Laporan Bulanan Bank Umum adalah laporan bulanan
bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
bulanan bank umum.
BAB II
TATA CARA PERHITUNGAN GWM PRIMER
Pasal 2
GWM Primer ditetapkan sebesar rata-rata 6,5% (enam koma
lima persen) dari DPK dalam rupiah selama masa laporan
tertentu yang dipenuhi:
a. secara harian sebesar 5% (lima persen); dan
b. secara rata-rata untuk masa laporan tertentu sebesar
1,5% (satu koma lima persen).
Pasal 3
Pemenuhan GWM Primer secara harian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dihitung dengan
membandingkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah Bank di
Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 2 (dua) masa laporan
terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam 2
(dua) masa laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya.
Pasal 4
(1) Pemenuhan GWM Primer secara rata-rata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dihitung dengan
membandingkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro
Rupiah Bank di Bank Indonesia pada akhir hari pada
setiap akhir 2 (dua) masa laporan terhadap rata-rata
harian jumlah DPK dalam rupiah dalam 2 (dua) masa
laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya.
(2) Pemenuhan GWM Primer secara rata-rata sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dipenuhi setelah
Bank memenuhi GWM Primer secara harian.
Pasal 5
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas
kewajiban pemenuhan GWM Primer kepada Bank yang
melakukan Merger atau Konsolidasi.
(2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas
kewajiban pemenuhan GWM Primer secara harian
sebesar 1% (satu persen) untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun terhitung sejak Tanggal Efektif pelaksanaan
Merger atau Konsolidasi.
(3) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
terhadap kewajiban pemenuhan GWM Primer secara
rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b.
(4) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam
rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku terhadap kewajiban pemenuhan GWM Sekunder
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan GWM LFR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(5) Pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM
Primer secara harian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan atas permintaan Bank kepada Bank
Indonesia.
(6) Permintaan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
harus disertai dengan persetujuan dari OJK mengenai
pemberian insentif Merger atau Konsolidasi berupa
kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer.
BAB III
TATA CARA PERHITUNGAN GWM SEKUNDER
Pasal 6
GWM Sekunder ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari
DPK dalam rupiah.
Pasal 7
(1) Komponen yang diperhitungkan sebagai cadangan dalam
pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 adalah:
a. SBI untuk seluruh jangka waktu;
b. SDBI untuk seluruh jangka waktu; dan/atau
c. SBN yang mencakup:
1) SUN berupa ON dan/atau SPN, untuk seluruh
jenis dan jangka waktu, tidak termasuk SUN
yang tidak dapat diperdagangkan (non-tradable);
dan/atau
2) SBSN berupa SBSN Jangka Panjang dan/atau
SBSN Jangka Pendek untuk seluruh jenis dan
jangka waktu, tidak termasuk SBSN yang tidak
dapat diperdagangkan (non-tradable).
(2) SBI, SDBI, dan/atau SBN yang dapat diperhitungkan
dalam pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah SBI, SDBI,
dan/atau SBN milik Bank yang tercatat pada rekening
surat berharga Bank di BI-SSSS, yaitu dalam:
a. Sub-Rekening Investasi; dan/atau
b. Sub-Rekening Perdagangan atau Sub-Rekening Aktif,
namun tidak termasuk SBI, SDBI, dan/atau SBN milik
Bank yang tercatat pada rekening surat berharga sub-
registry.
(3) Nilai SBI, SDBI, dan/atau SBN yang digunakan dalam
perhitungan GWM Sekunder adalah nilai pasar (market
value) yang tercantum di BI-SSSS untuk SBI, SDBI,
dan/atau SBN dimaksud.
Pasal 8
Pemenuhan GWM Sekunder sebagaimana dimaksud pada
Pasal 6 dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SDBI,
dan/atau SBN milik Bank yang tercatat di Bank Indonesia
setiap akhir hari dalam 2 (dua) masa laporan terhadap rata-
rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam 2 (dua) masa
laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya.
BAB IV
TATA CARA PERHITUNGAN GWM LFR
Bagian Kesatu
Besaran dan Parameter GWM LFR
Pasal 9
GWM LFR ditetapkan sebesar hasil perhitungan antara
Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas
dengan selisih antara LFR Bank dan LFR Target dengan
memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM
Insentif.
Pasal 10
(1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam
perhitungan GWM LFR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ditetapkan sebagai berikut:
a. batas bawah LFR Target sebesar 80% (delapan puluh
persen);
b. batas atas LFR Target sebesar 92% (sembilan puluh
dua persen);
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen);
d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma
satu); dan
e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma
dua).
(2) Batas atas LFR Target untuk Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan sebesar 94%
(sembilan puluh empat persen) dalam hal Bank:
a. memenuhi Rasio Kredit UMKM lebih cepat dari
target waktu tahapan pencapaian Rasio Kredit
UMKM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian
kredit atau pembiayaan oleh bank umum dan
bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha
mikro, kecil, dan menengah, sebagai berikut:
1. paling sedikit 5% (lima persen) untuk posisi
tanggal 30 Juni 2015 sampai dengan tanggal 30
November 2015 untuk perhitungan GWM LFR
mulai tanggal 1 Agustus 2015 sampai dengan
tanggal 31 Januari 2016;
2. paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk
posisi tanggal 31 Desember 2015 sampai
dengan tanggal 30 November 2016 untuk
perhitungan GWM LFR mulai tanggal 1 Februari
2016 sampai dengan tanggal 31 Januari 2017;
3. paling sedikit 15% (lima belas persen) untuk
posisi tanggal 31 Desember 2016 sampai
dengan tanggal 30 November 2017 untuk
perhitungan GWM LFR mulai tanggal 1 Februari
2017 sampai dengan tanggal 31 Januari 2018;
atau
4. paling sedikit 20% (dua puluh persen) untuk
posisi tanggal 31 Desember 2017 sampai
dengan tanggal 30 November 2018 untuk
perhitungan GWM LFR mulai tanggal 1 Februari
2018 sampai dengan tanggal 31 Januari 2019;
b. memenuhi Rasio NPL Total Kredit secara bruto
(gross) kurang dari 5% (lima persen); dan
c. memenuhi Rasio NPL Kredit UMKM secara bruto
(gross) kurang dari 5% (lima persen).
Bagian Kedua
Sumber Data dan Nilai yang Digunakan
Pasal 11
(1) Perhitungan LFR menggunakan sumber data dan nilai
sebagai berikut:
a. kredit;
b. dana pihak ketiga; dan
c. surat berharga yang diterbitkan Bank.
(2) Data kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diperoleh dari pos kredit yang diberikan kepada pihak
ketiga bukan bank dalam Formulir 2 Neraca Mingguan
pada tanggal akhir data laporan pada 4 (empat) masa
laporan sebelumnya dalam Laporan Berkala Bank Umum
yang disampaikan Bank sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
(3) Dana pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b diperoleh dari pos giro, pos tabungan, dan pos
simpanan berjangka dalam Formulir 2 Neraca Mingguan
pada tanggal akhir data laporan pada 4 (empat) masa
laporan sebelumnya dalam Laporan Berkala Bank Umum
yang disampaikan Bank sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
(4) Surat berharga yang diterbitkan Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c diperoleh dari:
a. saldo total nominal dalam laporan surat berharga
yang diterbitkan oleh Bank posisi 2 (dua) masa
laporan sebelumnya yang disampaikan Bank kepada
Bank Indonesia secara bulanan; atau
b. saldo total nominal dari laporan surat berharga yang
diterbitkan oleh Bank yang diperoleh dari PT
Kustodian Sentral Efek Indonesia dalam hal Bank
Indonesia telah mengumumkan melalui surat
pemberitahuan kepada Bank mengenai penghentian
kewajiban penyampaian laporan surat berharga
yang diterbitkan.
Pasal 12
Penggunaan Data KPMM dalam perhitungan GWM LFR diatur
sebagai berikut:
a. KPMM yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR
adalah KPMM triwulanan dari Bank yang bersangkutan;
dan
b. KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
merupakan KPMM Bank untuk posisi akhir triwulan,
yaitu sebagai berikut:
1. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan
untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan
Juni, Juli, dan Agustus;
2. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan
untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan
September, Oktober, dan November;
3. KPMM pada posisi akhir bulan September
digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian
untuk bulan Desember pada tahun yang sama serta
bulan Januari dan Februari pada tahun berikutnya;
dan
4. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan
untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan
Maret, April, dan Mei pada tahun berikutnya.
Pasal 13
Perhitungan Rasio Kredit UMKM, Rasio NPL Total Kredit Bank,
dan Rasio NPL Kredit UMKM menggunakan sumber data dan
nilai yang berasal dari:
a. daftar rincian kredit yang diberikan dalam Laporan
Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua) masa laporan
sebelumnya yang disampaikan Bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai
laporan bulanan bank umum, untuk:
1. Kredit UMKM selain yang dilakukan dengan pola
executing;
2. Total Kredit;
3. non-performing loan Total Kredit; dan
4. non-performing loan Kredit UMKM selain yang
dilakukan dengan pola executing, dan
b.
laporan realisasi pemberian kredit atau pembiayaan
usaha mikro, kecil, dan menengah melalui kerja sama
pola executing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian
kredit atau pembiayaan oleh bank umum dalam rangka
pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah untuk:
1. Kredit UMKM yang dilakukan dengan pola executing;
dan
2. non-performing loan Kredit UMKM yang dilakukan
dengan pola executing,
yang disampaikan Bank secara triwulanan.
Pasal 14
Penggunaan data dari laporan realisasi pemberian kredit atau
pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui kerja
sama pola executing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf b diatur sebagai berikut:
a. posisi akhir bulan Maret digunakan untuk perhitungan
GWM LFR harian untuk bulan Mei, Juni, dan Juli;
b. posisi akhir bulan Juni digunakan untuk perhitungan
GWM LFR harian untuk bulan Agustus, September, dan
Oktober;
c. posisi akhir bulan September digunakan untuk
perhitungan GWM LFR harian untuk bulan November
dan Desember pada tahun yang sama serta Januari pada
tahun berikutnya; dan
d. posisi akhir bulan Desember digunakan untuk
perhitungan GWM LFR harian bulan Februari, Maret, dan
April pada tahun berikutnya.
Bagian Ketiga
Perhitungan Pemenuhan GWM LFR
Pasal 15
(1) LFR Bank merupakan persentase yang dihitung antara
perbandingan kredit dengan penjumlahan dana pihak
ketiga dan surat berharga yang diterbitkan Bank.
(2) Dalam hal LFR Bank berada dalam kisaran LFR Target
maka GWM LFR Bank adalah sebesar 0% (nol persen)
dari DPK dalam rupiah.
(3) Dalam hal LFR Bank lebih kecil dari batas bawah LFR
Target maka GWM LFR merupakan hasil perkalian antara
Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah
LFR Target dan LFR Bank, dan DPK dalam rupiah.
(4) Dalam hal LFR Bank lebih besar dari batas atas LFR
Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif
maka GWM LFR merupakan hasil perkalian antara
Parameter Disinsentif Atas, selisih antara LFR Bank dan
batas atas LFR Target, dan DPK dalam rupiah.
(5) Dalam hal LFR Bank lebih besar dari batas atas LFR
Target dan KPMM Bank sama atau lebih besar dari
KPMM Insentif maka GWM LFR Bank adalah sebesar 0%
(nol persen) dari DPK dalam rupiah.
(6) DPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan
ayat (5) diperoleh dari rata-rata harian jumlah DPK dalam
2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa laporan
sebelumnya pada laporan DPK rupiah dan valuta asing
dalam Laporan Berkala Bank Umum.
Bagian Keempat
Perhitungan Rasio Kredit UMKM, Rasio NPL Total Kredit, dan
Rasio NPL Kredit UMKM
Pasal 16
(1) Rasio Kredit UMKM dihitung dengan membandingkan
jumlah Kredit UMKM terhadap Total Kredit.
(2) Rasio NPL Total Kredit Bank merupakan perhitungan
rasio antara jumlah Total Kredit dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet, terhadap Total Kredit.
(3) Rasio NPL Kredit UMKM merupakan perhitungan rasio
antara jumlah Kredit UMKM dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet, terhadap jumlah Kredit
UMKM.
BAB V
TATA CARA PERHITUNGAN GWM DALAM VALUTA ASING
Pasal 17
GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 8% (delapan
persen) dari DPK dalam valuta asing.
Pasal 18
Pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 dihitung dengan membandingkan posisi saldo
Rekening Giro Valas Bank di Bank Indonesia setiap akhir hari
dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah
DPK dalam valuta asing dalam 1 (satu) masa laporan pada 2
(dua) masa laporan sebelumnya.
BAB VI
PEMENUHAN GWM BAGI BANK YANG MELAKUKAN MERGER
ATAU KONSOLIDASI, BANK YANG MELAKUKAN PERUBAHAN
KEGIATAN USAHA MENJADI BANK UMUM SYARIAH, DAN
BANK YANG BARU MENJADI BANK YANG MELAKUKAN
KEGIATAN USAHA DALAM VALUTA ASING
Bagian Kesatu
Bank yang Melakukan Merger atau Konsolidasi
Pasal 19
Pemenuhan GWM Primer bagi Bank yang melakukan Merger
atau Konsolidasi diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum Tanggal Efektif
pelaksanaan Merger atau Konsolidasi maka pemenuhan
GWM Primer untuk masing-masing Bank dihitung
dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan Pasal 4;
b. pada 1 (satu) hari kerja sebelum Tanggal Efektif
pelaksanaan Merger atau Konsolidasi, pemenuhan GWM
Primer hanya dihitung untuk Bank hasil Merger atau
Konsolidasi dengan menggunakan data gabungan Bank
yang melakukan Merger atau Konsolidasi dengan tata
cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan Pasal 4;
c. sampai dengan 4 (empat) masa laporan pada Laporan
Berkala Bank Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi
tersedia maka pemenuhan GWM Primer dihitung dengan
membandingkan saldo Rekening Giro Bank hasil Merger
atau Konsolidasi pada Bank Indonesia dihitung dengan
tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan Pasal 4; dan
d. setelah 4 (empat) masa laporan pada Laporan Berkala
Bank Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi maka
pemenuhan GWM Primer untuk Bank hasil Merger atau
Konsolidasi dihitung dengan membandingkan saldo
Rekening Giro Bank hasil Merger atau Konsolidasi pada
Bank Indonesia dihitung dengan tata cara perhitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4.
Pasal 20
Pemenuhan GWM Sekunder bagi Bank yang melakukan
Merger atau Konsolidasi diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum Tanggal Efektif
pelaksanaan Merger atau Konsolidasi maka pemenuhan
GWM Sekunder untuk masing-masing Bank dihitung
dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
b. pada 1 (satu) hari kerja sebelum Tanggal Efektif
pelaksanaan Merger atau Konsolidasi, pemenuhan GWM
Sekunder hanya dihitung untuk Bank hasil Merger atau
Konsolidasi dengan menggunakan data gabungan Bank
yang melakukan Merger atau Konsolidasi dengan tata
cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
c. sampai dengan 4 (empat) masa laporan pada Laporan
Berkala Bank Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi
tersedia maka pemenuhan GWM Sekunder dihitung
dengan membandingkan jumlah SBI, SDBI, dan/atau
SBN yang dimiliki oleh Bank hasil Merger atau
Konsolidasi pada Bank Indonesia dengan tata cara
perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; dan
d. setelah 4 (empat) masa laporan pada Laporan Berkala
Bank Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi maka
pemenuhan GWM Sekunder untuk Bank hasil Merger
atau Konsolidasi dihitung dengan membandingkan
jumlah SBI, SDBI, dan/atau SBN Bank hasil Merger atau
Konsolidasi pada Bank Indonesia dengan tata cara
perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Pasal 21
Pemenuhan GWM LFR bagi Bank yang melakukan Merger
atau Konsolidasi diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum Tanggal Efektif
pelaksanaan Merger atau Konsolidasi, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1. pemenuhan GWM LFR diperoleh dengan
memperhitungkan LFR Bank yang merupakan
persentase antara perbandingan kredit dengan
penjumlahan dana pihak ketiga dan surat berharga
yang diterbitkan Bank, yang dihitung untuk masing-
masing Bank; dan
2. KPMM yang digunakan adalah KPMM triwulanan
masing-masing Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12;
b. pada 1 (satu) hari kerja sebelum Tanggal Efektif
pelaksanaan Merger atau Konsolidasi, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1. pemenuhan GWM LFR hanya dihitung untuk Bank
hasil Merger atau Konsolidasi dengan menggunakan
data gabungan Bank yang melakukan Merger atau
Konsolidasi;
2. data KPMM yang digunakan diperoleh dari Bank
yang melakukan Merger atau Konsolidasi
berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh
Bank atas penggabungan data yang digunakan
dalam perhitungan KPMM masing-masing Bank
sebelum Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau
Konsolidasi;
3. Bank menyampaikan hasil perhitungan KPMM
sebagaimana dimaksud dalam angka 2) kepada
Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja
sebelum Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau
Konsolidasi; dan
4. pemenuhan GWM LFR diperoleh dengan
memperhitungkan LFR Bank yang merupakan
persentase antara perbandingan kredit dengan
penjumlahan dana pihak ketiga dan surat berharga
yang diterbitkan Bank, yang dihitung untuk Bank
hasil Merger atau Konsolidasi;
c. sejak Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau
Konsolidasi sampai dengan 4 (empat) masa laporan pada
Laporan Berkala Bank Umum Bank hasil Merger atau
Konsolidasi tersedia, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. pemenuhan GWM LFR merupakan persentase
antara perbandingan kredit dengan penjumlahan
dana pihak ketiga dan surat berharga yang
diterbitkan Bank; dan
2. data KPMM yang digunakan adalah data KPMM
sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 2.
sampai dengan tersedianya data KPMM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12;
d. setelah 4 (empat) masa Laporan Berkala Bank Umum
Bank hasil Merger atau Konsolidasi, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1. pemenuhan GWM LFR diperoleh dengan
memperhitungkan LFR Bank yang merupakan
persentase antara perbandingan kredit dengan
penjumlahan dana pihak ketiga dan surat berharga
yang diterbitkan Bank; dan
2. data KPMM yang digunakan adalah data KPMM
sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 2
sampai dengan tersedianya data KPMM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12; dan
e. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan
KPMM yang diterima oleh Bank Indonesia dari OJK
dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh
Bank sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 2,
huruf c angka 2, dan huruf d angka 2 maka yang berlaku
adalah KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK.
Pasal 22
Pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi Bank yang
melakukan Merger atau Konsolidasi diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum Tanggal Efektif
pelaksanaan Merger atau Konsolidasi maka pemenuhan
GWM dalam valuta asing untuk masing-masing Bank
dihitung dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18;
b. pada 1 (satu) hari kerja sebelum Tanggal Efektif
pelaksanaan Merger atau Konsolidasi, pemenuhan GWM
dalam valuta asing hanya dihitung untuk Bank hasil
Merger atau Konsolidasi dengan menggunakan data
gabungan Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi
dengan tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18;
c. sampai dengan 2 (dua) masa Laporan Berkala Bank
Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi tersedia maka
pemenuhan GWM dalam valuta asing dihitung dengan
membandingkan saldo Rekening Giro Valas Bank hasil
Merger atau Konsolidasi pada Bank Indonesia dengan
tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18; dan
d. setelah 2 (dua) masa Laporan Berkala Bank Umum Bank
hasil Merger atau Konsolidasi maka pemenuhan GWM
dalam valuta asing untuk Bank hasil Merger atau
Konsolidasi dihitung dengan membandingkan saldo
Rekening Giro Valas Bank hasil Merger atau Konsolidasi
pada Bank Indonesia dengan tata cara perhitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Bagian Kedua
Bank yang Melakukan Perubahan Kegiatan Usaha Menjadi
Bank Umum Syariah
Pasal 23
Pemenuhan GWM untuk Bank yang melakukan perubahan
kegiatan usaha menjadi bank umum syariah diatur sebagai
berikut:
a. sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum Bank
melaksanakan kegiatan usaha sebagai bank umum
syariah maka pemenuhan GWM dihitung sesuai dengan
ketentuan yang mengatur mengenai giro wajib minimum
bank umum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank
umum konvensional;
b. pemenuhan GWM oleh Bank setelah melaksanakan
kegiatan usaha sebagai bank umum syariah dihitung
dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai giro wajib minimum dalam rupiah
dan valuta asing bagi bank umum syariah dan unit
usaha syariah;
c. perhitungan GWM sebagaimana dimaksud dalam huruf b
dilakukan dengan menggunakan data Bank pada saat
Bank belum melaksanakan kegiatan usaha sebagai bank
umum syariah, yaitu menggunakan data:
1.
rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah yang
terdapat pada laporan DPK rupiah dan valuta asing
dalam Laporan Berkala Bank Umum dalam 1 (satu)
masa laporan pada 2 (dua) masa laporan
sebelumnya untuk perhitungan GWM bagi bank
umum syariah;
2. dana pihak ketiga untuk perhitungan LFR yang
terdapat pada neraca mingguan posisi akhir tanggal
laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya
untuk perhitungan rasio pembiayaan dalam rupiah
terhadap DPK dalam rupiah bagi bank umum
syariah; dan
3. kredit yang terdapat pada pos kredit yang diberikan
kepada pihak ketiga bukan Bank dalam Formulir 2
Neraca Mingguan posisi akhir tanggal laporan pada
2 (dua) masa laporan sebelumnya untuk
perhitungan rasio pembiayaan dalam rupiah
terhadap DPK dalam rupiah bagi bank umum
syariah;
d. data Bank sebagaimana dimaksud dalam huruf c
digunakan sampai dengan data Bank setelah melakukan
kegiatan usaha sebagai bank umum syariah tersedia,
yaitu setelah 2 (dua) masa laporan pada Laporan Berkala
Bank Umum Syariah.
Bagian Ketiga
Bank yang Baru Menjadi Bank yang Melakukan Kegiatan
Usaha dalam Valuta Asing
Pasal 24
Pemenuhan GWM untuk Bank yang baru menjadi Bank yang
Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing diatur sebagai
berikut:
a. selain memenuhi GWM Primer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, GWM Sekunder sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, dan GWM LFR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9, Bank yang baru menjadi Bank yang
Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing juga
wajib memenuhi GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17; dan
b. kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi
Bank yang baru menjadi Bank yang Melakukan Kegiatan
Usaha dalam Valuta Asing berlaku setelah 2 (dua) masa
laporan pada Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18.
BAB VII
PEMENUHAN GWM BAGI BANK YANG MENERIMA PINJAMAN
LIKUIDITAS JANGKA PENDEK
Pasal 25
(1) Pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dikecualikan bagi bank yang menerima pinjaman
likuiditas jangka pendek.
(2) Bank yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek
wajib memenuhi GWM Primer secara harian sebesar 6,5%
(enam koma lima persen) dari DPK dalam rupiah.
(3) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Bank yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek tetap wajib memenuhi GWM Sekunder, GWM
LFR, dan GWM dalam valuta asing.
(4) Pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian
pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan satu
hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman likuiditas
jangka pendek.
Pasal 26
(1) Sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal
aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek
dan sejak tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka
pendek maka pemenuhan GWM Primer untuk bank yang
menerima pinjaman likuiditas jangka pendek dihitung
dengan tata cara pemenuhan GWM Primer secara harian
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan pemenuhan GWM
Primer secara rata-rata sebagaimana diatur dalam Pasal
4.
(2) Tanggal aktivasi dan tanggal pelunasan pinjaman
likuiditas jangka pendek sebagaimana diatur dalam Pasal
25 ayat (4) adalah tanggal aktivasi dan tanggal pelunasan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka
pendek.
(3) Dalam hal tanggal pelunasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) jatuh pada hari libur atau hari kerja yang
kemudian ditetapkan pemerintah sebagai hari libur maka
pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dilakukan pada hari kerja berikutnya.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 27
(1) Bank wajib menyampaikan laporan surat berharga yang
diterbitkan kepada Bank Indonesia setiap bulan sebagai
dasar perhitungan GWM LFR dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Laporan surat berharga yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Bank melalui
email kepada Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia dapat menghentikan kewajiban
penyampaian laporan surat berharga yang diterbitkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan surat
pemberitahuan kepada Bank.
Pasal 28
(1) Surat berharga yang digunakan sebagai dasar
perhitungan GWM LFR dan dilaporkan ke Bank
Indonesia adalah surat berharga yang diterbitkan oleh
Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. diterbitkan dalam bentuk medium term notes,
floating rate notes, dan obligasi selain obligasi
subordinasi;
b. ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum
(public offering);
c. memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga
pemeringkat paling kurang setara dengan peringkat
investasi;
d. dimiliki bukan Bank baik penduduk dan bukan
penduduk; dan
e. ditatausahakan di PT Kustodian Sentral Efek
Indonesia.
(2) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah lembaga
pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai
ketentuan yang berlaku.
(3) Bank yang tidak menerbitkan surat berharga atau
menerbitkan surat berharga namun tidak memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap
diwajibkan menyampaikan laporan surat berharga yang
diterbitkan berupa laporan nihil.
Pasal 29
(1) Laporan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal
28 ayat (3) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja pada bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan surat
berharga yang diterbitkan apabila Bank menyampaikan
laporan setelah batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan 5
(lima) hari kerja berikutnya.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan surat
berharga yang diterbitkan apabila Bank belum
menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya
batas waktu keterlambatan penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 30
(1) Laporan surat berharga yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3)
disampaikan melalui email kepada:
a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan
M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan
M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat, bagi Bank yang berkantor pusat selain di
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia,
dengan alamat email sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai
nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk
untuk menyusun dan menyampaikan laporan, serta
alamat email pengirim laporan surat berharga yang
diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1) dan Pasal 28 ayat (3), termasuk apabila terdapat
perubahannya, kepada:
a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan
M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan
M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat, bagi Bank yang berkantor pusat selain di
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
(3) Dalam hal penyampaian laporan melalui email
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
dilakukan, Bank menyampaikan laporan surat berharga
yang diterbitkan dalam bentuk softcopy dan hardcopy
kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan
M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan
M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat, bagi Bank yang berkantor pusat selain di
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
(4) Batas waktu penyampaian laporan surat berharga yang
diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29.
BAB IX
PENGENAAN SANKSI
Pasal 31
Bank yang melanggar:
a. kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah;
b. kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing;
dan/atau
c. kewajiban penyampaian laporan,
dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar.
Pasal 32
(1) Bank, termasuk bank yang menerima pinjaman likuiditas
jangka pendek, yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM Primer secara harian, GWM Sekunder, dan/atau
GWM LFR dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari suku
bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR
dalam rupiah pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap
kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap hari kerja
pelanggaran.
(2) Perhitungan suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari
overnight dari JIBOR dalam rupiah mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
suku bunga penawaran antarbank.
Pasal 33
(1) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM
Primer secara rata-rata dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen)
dari suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari
rata-rata JIBOR dalam rupiah selama 2 (dua) masa
laporan, terhadap rata-rata kekurangan GWM Primer
yang wajib dipenuhi secara rata-rata selama masa
laporan tertentu untuk setiap hari kerja selama 2 (dua)
masa laporan.
(2) Perhitungan suku bunga jangka waktu 1 hari (overnight)
dari JIBOR dalam rupiah mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga
penawaran antarbank.
Pasal 34
(1) Bank, termasuk bank yang menerima pinjaman likuiditas
jangka pendek, yang melanggar kewajiban pemenuhan
GWM dalam valuta asing dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen)
per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo
harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia
yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro
Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank
Indonesia.
(2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibayarkan dalam rupiah dengan
menggunakan kurs tengah dari kurs transaksi Bank
Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
Pasal 35
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan surat
berharga yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (2) dikenakan sanksi teguran tertulis dan
kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari kerja keterlambatan.
(2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
surat berharga yang diterbitkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (3) dikenakan sanksi teguran tertulis
dan kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah).
(3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk
menyampaikan laporan surat berharga yang diterbitkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal
28 ayat (3).
BAB X
CONTOH PERHITUNGAN GWM
Pasal 36
(1) Contoh perhitungan GWM dalam rupiah, jasa giro, dan
sanksi kewajiban membayar tercantum dalam Lampiran
III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Contoh perhitungan GWM bagi Bank yang melakukan
Merger tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(3) Contoh perhitungan pemenuhan GWM bagi bank yang
menerima pinjaman likuiditas jangka pendek tercantum
dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini.
BAB XI
KORESPONDENSI TERKAIT GWM
Pasal 37
Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank
Indonesia dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal:
1. Bank mengajukan permohonan kelonggaran atas
kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam rangka
Merger atau Konsolidasi;
2. OJK mengajukan permintaan kelonggaran atas
pemenuhan ketentuan GWM LFR terhadap Bank
yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha;
atau
3. OJK mengajukan permintaan agar Bank dalam
status pengawasan tertentu yang sedang dikenakan
pembatasan kegiatan usaha berupa penyaluran
Kredit UMKM tidak dikenakan pengurangan jasa
giro,
maka
permohonan atau permintaan tersebut
disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia dan
dialamatkan kepada:
1. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan
M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
2. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan
M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat, bagi Bank yang berkantor pusat selain di
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia;
b. dalam hal Bank menyampaikan pemberitahuan tertulis
bahwa Bank tutup dan menegaskan bahwa Bank tidak
melakukan kegiatan operasional terkait saldo giro Bank
pada hari yang ditetapkan libur secara fakultatif maka
pemberitahuan disampaikan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum
pelaksanaan libur secara fakultatif dengan alamat:
1. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
2. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat, bagi Bank yang berkantor pusat selain di
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
c. perhitungan KPMM Bank hasil Merger atau Konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b angka 2
disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan
alamat:
1. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
2. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat, bagi Bank yang berkantor pusat selain di
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP
tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib
Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing
Bagi Bank Umum Konvensional;
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/47/DKEM
tanggal 30 November 2015 perihal Perubahan atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26
Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank
Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum
Konvensional;
3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/3/DKEM tanggal
15 Maret 2016 perihal Perubahan Kedua atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26
Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank
Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum
Konvensional;
4. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/18/DKMP
tanggal 22 Agustus 2016 perihal Perubahan Ketiga atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP
tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib
Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing
Bagi Bank Umum Konvensional;
5. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/38/DKMP
tanggal 23 Desember 2016 perihal Perubahan Keempat
atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP
tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib
Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing
Bagi Bank Umum Konvensional,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 39
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Juli 2017.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 April 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
MIRZA ADITYASWARA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/4/PADG/2017
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
I. UMUM
Bank Indonesia telah melakukan perubahan kebijakan perhitungan
GWM Primer yang pemenuhan sebagian secara rata-rata dalam rangka
mendukung pelonggaran kebijakan moneter yang telah dilakukan.
Perubahan perhitungan GWM Primer tersebut diharapkan akan
memberikan fleksibilitas dan pengelolaan likuiditas perbankan sehingga
dapat memperkuat peran perbankan dalam pendalaman pasar keuangan
dan semakin berperan dalam pembiayaan perekonomian guna mendorong
momentum pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga stabilitas
makroekonomi, di tengah masih lemahnya perekonomian global.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer secara harian
adalah sebagai berikut:
Jumlah harian saldo Rekening Giro rupiah
Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap
akhir hari dalam 2 (dua) masa laporan
Rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
Bank dalam 2 (dua) masa laporan pada 4
(empat) masa laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer secara harian
didasarkan pada DPK dalam rupiah Bank sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 dan masa laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7
dan masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan sebelumnya; dan
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 dan masa laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23
dan masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir
bulan sebelumnya.
Pasal 4
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer secara rata-
rata dalam masa laporan tertentu adalah sebagai berikut:
Jumlah rata-rata saldo Rekening Giro Rupiah
Bank yang tercatat di Bank Indonesia pada
akhir hari pada setiap akhir 2 (dua) masa
laporan
x 100%
Rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
Bank dalam 2 (dua) masa laporan pada 4
(empat) masa laporan sebelumnya
X 100%
Perhitungan pemenuhan GWM Primer secara rata-rata dalam
masa laporan tertentu didasarkan pada DPK dalam rupiah Bank
sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 dan masa laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7
dan masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
bulan sebelumnya; dan
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 dan masa laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah
dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23
dan masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir
bulan sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dengan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan
GWM Primer secara harian sebesar 1% (satu persen) maka
kewajiban pemenuhan GWM Primer secara harian oleh Bank
yang semula sebesar 5% (lima persen) berubah menjadi sebesar
4% (empat persen).
Jumlah hari dalam setahun 360 hari.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan jumlah SBI, SDBI, SBN yang dimiliki Bank dilakukan
berdasarkan data yang tercatat pada rekening surat berharga
Bank di BI-SSSS sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 8
pada posisi akhir hari, yaitu pada saat cut off time BI-SSSS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Sekunder adalah sebagai
berikut:
SBI + SDBI + SBN setiap akhir hari dalam 2
(dua) masa laporan
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam
rupiah dalam 2 (dua) masa laporan pada 4
(empat) masa laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan GWM Sekunder didasarkan pada DPK Bank
dalam rupiah sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah
sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian
jumlah DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan sebelumnya;
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal
akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan
dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
x 100%
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh Penetapan Batas atas LFR Target sebesar 94% (sembilan
puluh empat persen) sebagai berikut:
Berdasarkan Laporan Bulanan Bank Umum posisi tanggal 31
Oktober 2017 dan laporan realisasi pemberian kredit atau
pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui kerja
sama pola executing posisi akhir bulan September 2017, Rasio
Kredit UMKM Bank A mencapai 16% (enam belas persen), Rasio
NPL Total Kredit sebesar 3% (tiga persen), dan Rasio NPL Kredit
UMKM sebesar 4,5% (empat koma lima persen). Dengan
demikian:
a. dalam hal Bank memiliki KPMM lebih dari atau sama
dengan 14% (empat belas persen) maka Bank tidak terkena
kewajiban tambahan pemenuhan GWM LFR pada bulan
Desember 2017; dan
b. dalam hal Bank memiliki KPMM kurang dari 14% (empat
belas persen) maka batas atas LFR Target Bank menjadi
94% (sembilan puluh empat persen) untuk perhitungan
GWM LFR pada bulan Desember 2017.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Contoh penggunaan sumber data dan nilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan penggunaan data KPMM untuk perhitungan
GWM LFR sebagai berikut:
a. GWM LFR untuk masa laporan tanggal 1 September 2017
sampai dengan tanggal 15 September 2017 didasarkan pada
perhitungan:
1. nilai kredit dan dana pihak ketiga pada akhir masa laporan
tanggal 8 Agustus 2017 sampai dengan tanggal 15 Agustus
2017;
2. nilai surat berharga yang diterbitkan pada posisi tanggal 31
Juli 2017; dan
3. KPMM yang digunakan adalah KPMM pada posisi akhir
bulan Juni 2017.
b. GWM LFR untuk masa laporan tanggal 16 September sampai
dengan tanggal 30 September 2017 didasarkan pada
perhitungan:
1. nilai kredit dan dana pihak ketiga pada akhir masa laporan
tanggal 24 Agustus 2017 sampai dengan tanggal 31 Agustus
2017; dan
2. nilai surat berharga yang diterbitkan pada posisi tanggal 31
Juli 2017.
3. KPMM yang digunakan adalah KPMM pada posisi akhir
bulan Juni 2017.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Contoh penggunaan sumber data dan nilai yang digunakan untuk
perhitungan Rasio Kredit UMKM, Rasio NPL Total Kredit Bank, dan
Rasio NPL Kredit UMKM, yaitu:
a. Perhitungan Rasio Kredit UMKM, Rasio NPL Total Kredit, dan
Rasio NPL Kredit UMKM Bank untuk bulan September 2017
didasarkan pada data:
1. Daftar rincian kredit yang diberikan dalam Laporan Bulanan
Bank Umum bulan Juli 2017; dan
2. Laporan realisasi pemberian kredit atau pembiayaan usaha
mikro, kecil, dan menengah melalui kerja sama pola
executing bulan Juni 2017.
b. Perhitungan Rasio Kredit UMKM, Rasio NPL Total Kredit, dan
Rasio NPL Kredit UMKM Bank untuk bulan Desember 2017
didasarkan pada data:
1. Daftar rincian kredit yang diberikan dalam Laporan Bulanan
Bank Umum bulan Oktober 2017; dan
2. Laporan realisasi pemberian kredit atau pembiayaan usaha
mikro, kecil, dan menengah melalui kerja sama pola
executing bulan September 2017.
Pasal 15
Ayat (1)
Rumus perhitungan LFR Bank sebagai berikut:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Rumus perhitungan GWM LFR dalam hal LFR Bank lebih kecil
dari batas bawah LFR Target adalah sebagai berikut:
GWM LFR = Parameter Disinsentif Bawah x (batas bawah LFR
Target โ LFR Bank) x DPK dalam rupiah
Ayat (4)
Rumus perhitungan GWM LFR dalam hal LFR Bank lebih besar
dari batas atas LFR Target dan KPMM Bank lebih kecil dari
KPMM Insentif adalah sebagai berikut:
GWM LFR = Parameter Disinsentif Atas x (LFR Bank โ batas atas
LFR Target) x DPK dalam rupiah
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Rumus perhitungan Rasio Kredit UMKM adalah sebagai berikut:
Ayat (2)
Rumus perhitungan Rasio NPL Total Kredit Bank adalah sebagai
berikut:
Ayat (3)
Rumus perhitungan Rasio NPL Kredit UMKM adalah sebagai
berikut:
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam valuta asing adalah
sebagai berikut:
Jumlah harian saldo Rekening Giro Valas Bank yang
tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu)
masa laporan
Rata-rata harian jumlah DPK dalam valuta asing Bank
dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa
laporan sebelumnya
x100%
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing didasarkan pada
DPK dalam valuta asing Bank sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM dalam valuta asing
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam valuta
asing dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 bulan sebelumnya;
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM dalam valuta asing
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam valuta
asing dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan sebelumnya;
c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM dalam valuta
asing yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam
valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 bulan yang sama; dan
d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM
dalam valuta asing yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah
DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Rumus LFR Bank:
Keterangan:
1. Kredit diperoleh dari pos kredit dalam neraca mingguan pada
Laporan Berkala Bank Umum posisi 4 (empat) masa laporan
sebelumnya.
2. Dana pihak ketiga diperoleh dari pos dana pihak ketiga dalam
neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum posisi 4
(empat) masa laporan sebe1umnya.
3. Surat berharga yang diterbitkan diperoleh dari saldo total nominal
dalam laporan surat berharga yang diterbitkan posisi 2 (dua) masa
laporan sebelumnya.
Huruf b
Rumus LFR Bank:
Keterangan:
1. Kredit diperoleh dari penjumlahan kredit Bank yang melakukan
Merger atau Konsolidasi yang didasarkan pada pos kredit dalam
neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum posisi 4
(empat) masa laporan sebelumnya.
2. Dana pihak ketiga diperoleh dari penjumlahan dana pihak ketiga
Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi yang didasarkan
pada pos DPK dalam neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank
Umum posisi 4 (empat) masa laporan sebelumnya.
3. Surat berharga yang diterbitkan diperoleh dari penjumlahan saldo
pada pos total nominal dalam laporan surat berharga yang
diterbitkan posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya untuk Bank
yang melakukan Merger atau Konsolidasi.
Huruf c
Rumus LFR Bank:
Keterangan:
1. Kredit diperoleh dari penjumlahan kredit Bank yang melakukan
Merger atau Konsolidasi yang didasarkan pada pos kredit dalam
neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum posisi 4
(empat) masa laporan sebelumnya.
2. Dana pihak ketiga diperoleh dari penjumlahan dana pihak ketiga
Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi yang didasarkan
pada pos dana pihak ketiga dalam neraca mingguan pada Laporan
Berkala Bank Umum posisi 4 (empat) masa laporan sebelumnya.
3. Surat berharga yang diterbitkan diperoleh dari penjumlahan saldo
pada pos total nominal dalam laporan surat berharga yang
diterbitkan posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya untuk Bank
yang melakukan Merger atau Konsolidasi.
Huruf d
Rumus LFR Bank:
Keterangan:
1. Kredit diperoleh dari kredit Bank hasil Merger atau Konsolidasi
yang didasarkan pada pos kredit dalam neraca mingguan pada
Laporan Berkala Bank Umum posisi 4 (empat) masa laporan
sebelumnya.
2. Dana pihak ketiga diperoleh dari dana pihak ketiga Bank hasil
Merger atau Konsolidasi yang didasarkan pada pos dana pihak
ketiga dalam neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum
posisi 4 (empat) masa laporan sebelumnya.
3. Surat berharga yang diterbitkan diperoleh dari penjumlahan saldo
pada pos total nominal dalam laporan surat berharga yang
diterbitkan posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya dari Bank
yang melakukan Merger atau Konsolidasi sampai tersedia data
surat berharga yang diterbitkan Bank hasil Merger atau
Konsolidasi yaitu setelah 2 (dua) masa laporan surat berharga yang
diterbitkan.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bank Indonesia dapat menghentikan kewajiban penyampaian
laporan surat berharga yang diterbitkan Bank antara lain
apabila PT Kustodian Sentral Efek Indonesia dapat menyediakan
data surat berharga yang diterbitkan Bank untuk perhitungan
LFR.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
125% x suku bunga JIBOR dalam rupiah x
kekurangan GWM dalam rupiah yang wajib
dipenuhi secara harian x hari kerja
360
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
Primer secara rata-rata dihitung dengan rumus sebagai berikut:
125% x rata-rata JIBOR dalam rupiah selama 2
(dua) masa laporan x kekurangan GWM Primer
yang wajib dipenuhi secara rata-rata x jumlah hari
kerja selama 2 (dua) masa laporan
360
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
dalam valuta asing dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kekurangan GWM dalam valuta asing x 0,04% x hari kerja
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh:
Pada tanggal 1 November 2017, Pemerintah Daerah X
memutuskan tanggal tersebut sebagai hari libur di wilayah
tersebut. Namun, Kantor Perwakilan Bank Indonesia di wilayah
tersebut tetap beroperasi. Dalam hal terdapat:
1. Bank yang berkantor pusat di wilayah tersebut beroperasi,
maka Bank tersebut tetap dikenakan kewajiban
pemenuhan GWM.
2. Bank yang berkantor pusat di wilayah tersebut tutup, maka
Bank tersebut tidak dikenakan kewajiban pemenuhan GWM
apabila telah menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada
Bank Indonesia paling lambat tanggal 31 Oktober 2017,
yang menegaskan bahwa Bank baik kantor pusat maupun
kantor cabang Bank tidak melakukan kegiatan operasional
terkait saldo giro Bank.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/4/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 28 April 2017 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2017 </effective_date>
<replaced_reg> '17/47/DKEM|SE-BI/2015', '18/38/DKMP|SE-BI/2016', '17/17/DKMP|SE-BI/2015', '18/18/DKMP|SE-BI/2016', '18/3/DKEM|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '15/15/PBI/2013', '19/6/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/16/PADG/2019
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat
dibutuhkan untuk mendukung perumusan dan
pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia, baik di bidang
moneter, stabilitas sistem keuangan, maupun sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah;
b. bahwa pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor yang
diperoleh dari barang ekspor kegiatan pengusahaan,
pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam
perlu lebih ditingkatkan efektivitasnya guna mendukung
optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor;
c. bahwa pengaturan mengenai cakupan laporan, format
laporan, dan tata cara penyampaian laporan kegiatan lalu
lintas devisa, termasuk penerimaan devisa hasil ekspor
yang diperoleh dari barang ekspor kegiatan pengusahaan,
pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam
sangat diperlukan dalam rangka penyusunan statistik dan
untuk mendukung pelaksanaan kebijakan penerimaan
devisa hasil ekspor;
2
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf c perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pemantauan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/10/PBI/2016
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank
dan Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5897);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014
tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan
Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5534) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan
Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar
Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 374, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5814);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/3/PBI/2019 tentang
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan
Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber
Daya Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6303);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN
NASABAH.
3
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing
yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor
cabang bank asing di Indonesia namun tidak termasuk
kantor cabang luar negeri dari bank yang berkantor pusat
di Indonesia, yang memperoleh persetujuan dari otoritas
yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing.
2. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah
lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan
sistem nilai tukar.
3. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu
lintas devisa dan sistem nilai tukar.
4. Kegiatan LLD adalah kegiatan yang menimbulkan
perpindahan aset dan kewajiban finansial antara
Penduduk dan bukan Penduduk, termasuk perpindahan
aset dan kewajiban finansial luar negeri antar-Penduduk.
5. Aset Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut
AFLN Bank adalah aktiva Bank terhadap bukan Penduduk
baik dalam valuta asing maupun rupiah.
6. Kewajiban Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya
disebut KFLN Bank adalah pasiva Bank terhadap bukan
Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah.
7. Nasabah adalah nasabah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan
4
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
8. Laporan Kegiatan LLD yang selanjutnya disebut Laporan
LLD adalah laporan atas seluruh Kegiatan LLD yang
menimbulkan perubahan AFLN Bank dan/atau KFLN
Bank yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh
Bank yang bersangkutan maupun Nasabah.
9. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah
pabean sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kepabeanan.
10. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau
badan lainnya yang tidak berbadan hukum yang
melakukan Ekspor.
11. Eksportir Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang
selanjutnya disebut Eksportir SDA adalah Eksportir yang
melakukan Ekspor atas hasil kegiatan pengusahaan,
pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam.
12. Pemberitahuan Pabean Ekspor yang selanjutnya disingkat
PPE adalah pernyataan yang dibuat oleh orang untuk
melaksanakan kewajiban pabean Ekspor dalam bentuk
dan syarat yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan
peraturan perundang-undangan
mengatur mengenai kepabeanan.
13. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE
adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor.
14. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya
Alam yang selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang
diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan,
dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh
dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau
pengolahan sumber daya alam.
15. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut
Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank
yang
5
dalam valuta rupiah atau valuta asing yang digunakan
khusus untuk penerimaan DHE SDA.
16. Perintah Transfer Dana adalah perintah transfer dana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai transfer dana.
17. Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) adalah transaksi
LLD Nasabah berupa transfer dana keluar dalam valuta
asing dengan nilai setara di atas jumlah tertentu
(threshold).
18. Nilai Ekspor adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang
tercantum pada PPE.
19. Dokumen Pendukung DHE adalah dokumen yang
membuktikan kebenaran data dan/atau keterangan
mengenai penerimaan DHE.
20. Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) yang selanjutnya disebut Dokumen Pendukung
Outgoing Transfer adalah dokumen terkait transaksi LLD
Nasabah berupa Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer)
dalam valuta asing dengan nilai setara di atas jumlah
tertentu (threshold).
21. Rincian Transaksi Ekspor yang selanjutnya disingkat RTE
adalah rincian informasi terkait dengan kegiatan Ekspor.
22. Daftar Penyampaian Dokumen Pendukung DHE yang
selanjutnya disebut DPDP adalah daftar rekapitulasi
Dokumen Pendukung DHE yang disampaikan Bank
kepada Bank Indonesia.
23. Periode Laporan yang selanjutnya disingkat PL adalah
periode data dari tanggal 1 sampai dengan akhir bulan
yang bersangkutan.
24. Masa Penyampaian Laporan yang selanjutnya disingkat
MPL adalah periode penyampaian Laporan LLD dari
tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setelah berakhirnya
PL.
25. Masa Penyampaian Koreksi Laporan yang selanjutnya
disingkat MPKL adalah periode penyampaian koreksi
Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 20
setelah berakhirnya PL.
6
26. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia.
27. Jam Kerja adalah jam kerja Bank Indonesia setempat
sesuai dengan kedudukan Bank.
BAB II
RUANG LINGKUP LAPORAN
Pasal 2
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank
Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu.
(2) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a.
b.
c.
laporan transaksi;
laporan posisi; dan
laporan pendukung.
(3) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara bulanan yang meliputi data selama 1
(satu) PL.
Pasal 3
Laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf a meliputi transaksi Bank dan/atau Nasabah yang
memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank.
Pasal 4
Laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b meliputi posisi dan penambahan atau pengurangan
dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank.
Pasal 5
(1) Laporan pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) huruf c meliputi:
a.
b.
c.
d.
laporan RTE;
laporan DPDP;
laporan transaksi Reksus DHE SDA; dan
laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE.
7
(2) Laporan RTE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a meliputi data dan keterangan tambahan atas laporan
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau
laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c yang terkait dengan
kegiatan Ekspor.
(3) Laporan DPDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b meliputi daftar rekapitulasi Dokumen Pendukung DHE.
(4) Laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi transaksi
Nasabah yang memengaruhi Reksus DHE SDA milik
Nasabah di Bank.
(5) Laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi
posisi awal dan posisi akhir dari Reksus DHE SDA
dan/atau deposito DHE yang dananya bersumber dari
Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank.
Pasal 6
(1) Transaksi Bank dan/atau Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan transaksi Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dengan nilai
lebih besar dari USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat) atau yang nilainya setara dengan itu
dilaporkan secara individual per transaksi dan terperinci,
kecuali ditentukan secara khusus.
(2) Transaksi Bank dan/atau Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan transaksi Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dengan nilai
sampai dengan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat) atau yang nilainya setara dengan itu
dilaporkan secara gabungan dan dikelompokkan menurut
informasi tertentu, kecuali ditentukan secara khusus.
(3) Dalam hal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memberikan data dan keterangan transaksi secara
individual per transaksi dan terperinci, Bank harus
melaporkan transaksi dimaksud secara individual per
8
transaksi dan terperinci.
(4) Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang ditentukan
secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) meliputi:
a. pengiriman dana antar-Bank di dalam negeri;
b. transaksi yang memengaruhi lebih dari satu rekening
AFLN Bank dan/atau KFLN Bank; dan
c. transaksi tertentu,
dilaporkan secara individual atau gabungan berdasarkan
kaidah khusus.
(5) Perhitungan nilai ekuivalen USD untuk transaksi dalam
valuta selain USD menggunakan kurs tengah akhir bulan
yang diumumkan Bank Indonesia pada PL sebelumnya.
(6) Untuk valuta yang tidak terdapat dalam daftar kurs akhir
bulan yang diumumkan Bank Indonesia pada PL
sebelumnya, perhitungan nilai ekuivalen USD untuk
transaksi menggunakan kurs Reuters akhir bulan pada PL
sebelumnya.
Pasal 7
(1) Dalam hal terdapat transaksi terkait Ekspor Nasabah pada
laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan/atau laporan transaksi Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), Bank wajib
menyampaikan laporan RTE sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a berdasarkan informasi dari
Nasabah.
(2) Penyampaian laporan RTE sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilengkapi dengan laporan DPDP dan
Dokumen Pendukung DHE yang disebutkan dalam DPDP
dalam hal sebagai berikut:
a. di dalam PPE tidak terdapat penerimaan DHE;
b. terdapat selisih kurang antara nilai DHE dan nilai
Ekspor;
c.
terdapat penerimaan DHE yang melebihi atau sama
dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PPE
untuk cara pembayaran usance L/C, konsinyasi,
9
pembayaran kemudian, dan/atau collection; atau
d. terdapat penerimaan DHE secara tunai di dalam
negeri.
(3) Penyampaian laporan RTE sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan laporan RTE yang dilengkapi dengan laporan
DPDP dan Dokumen Pendukung DHE sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilakukan dalam MPL setelah
Bank memperoleh informasi dari Nasabah.
(4) Dalam hal laporan RTE tidak dilengkapi dengan laporan
DPDP dan Dokumen Pendukung DHE sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), laporan RTE dimaksud dianggap
tidak benar.
(5) Bank yang menerima pembayaran di muka untuk
transaksi Ekspor wajib menyampaikan laporan RTE
kepada Bank Indonesia dengan rincian informasi atas
penerimaan pembayaran di muka.
(6) Dalam hal Bank telah mendapatkan informasi PPE untuk
transaksi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Bank wajib menyampaikan kembali laporan RTE pada
MPL berikutnya dengan informasi yang sama dengan
laporan RTE yang telah disampaikan sebelumnya dan
dilengkapi dengan informasi PPE setelah Bank
memperoleh informasi PPE dari Nasabah.
Pasal 8
(1) Dalam hal tidak terdapat transaksi Bank dan/atau
Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN
Bank pada suatu PL tertentu, Bank wajib menyampaikan
laporan transaksi nihil kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal tidak terdapat posisi dan mutasi dari setiap
rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank sebagai akibat
dari transaksi yang dilakukan oleh Bank dan/atau
Nasabah pada suatu PL tertentu, Bank wajib
menyampaikan laporan posisi nihil kepada Bank
Indonesia.
(3) Dalam hal tidak terdapat informasi transaksi terkait
Ekspor Nasabah pada suatu PL tertentu, Bank wajib
10
menyampaikan laporan RTE dan laporan DPDP nihil
kepada Bank Indonesia.
(4) Dalam hal tidak terdapat transaksi Nasabah yang
memengaruhi Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank
pada suatu PL tertentu, Bank wajib menyampaikan
laporan transaksi Reksus DHE SDA nihil kepada Bank
Indonesia.
(5) Dalam hal tidak terdapat posisi dan mutasi dari setiap
Reksus DHE SDA dan/atau deposito yang dananya
bersumber dari Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank
pada suatu PL tertentu, Bank wajib menyampaikan
laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE nihil
kepada Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dinyatakan benar apabila memuat data dan keterangan
Kegiatan LLD sesuai dengan:
a. informasi dari Nasabah;
b. Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dan surat
pernyataan untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer); dan/atau
c. dokumen lainnya.
(2) Laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dinyatakan benar apabila memuat data dan keterangan
sesuai sistem pelaporan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(3) Laporan pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) dinyatakan benar apabila memuat data dan
keterangan sesuai dengan:
a. informasi dari Nasabah;
b. Dokumen Pendukung DHE;
c. Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dan surat
pernyataan untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer); dan/atau
d. dokumen lainnya.
11
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 10
(1) Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
disampaikan oleh kantor pusat bagi Bank yang berkantor
pusat di Indonesia dan oleh kantor cabang yang bertindak
sebagai koordinator bagi bank yang berkedudukan di luar
negeri kepada Bank Indonesia.
(2) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 setiap bulan secara online selama
MPL.
(3) Batas akhir MPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yaitu tanggal 15 bulan MPL pukul 23:59 WIB.
(4) Dalam hal hari terakhir penyampaian Laporan LLD secara
online jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur,
dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, batas akhir MPL tidak berubah kecuali
ditetapkan lain melalui pemberitahuan resmi Bank
Indonesia.
Pasal 11
(1) Dalam hal terdapat gangguan teknis selama MPL yang
menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan Laporan
LLD secara online, Laporan LLD harus disampaikan secara
offline selama Jam Kerja dengan memberikan bukti
pendukung terjadinya gangguan teknis
ditandatangani oleh pejabat setingkat direktur Bank.
yang
(2) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD
secara online terjadi gangguan teknis di Bank yang
menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan Laporan
LLD secara online, penyampaian Laporan LLD diatur
sebagai berikut:
a. untuk gangguan teknis yang baru dapat diatasi pada
hari berikutnya, Bank harus menyampaikan Laporan
LLD secara online pada hari tersebut dengan
memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan
12
teknis yang ditandatangani oleh direktur Bank; dan
b. untuk gangguan teknis yang belum dapat diatasi
pada hari berikutnya, Bank harus menyampaikan
Laporan LLD secara offline pada Hari berikutnya
dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti
pendukung terjadinya gangguan teknis yang
ditandatangani oleh direktur Bank; dan
(3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD
secara online terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia
yang menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan
Laporan LLD secara online, penyampaian Laporan LLD
diatur sebagai berikut:
a. untuk gangguan teknis yang baru dapat diatasi pada
hari berikutnya, Bank harus menyampaikan Laporan
LLD secara online pada hari tersebut; dan
b. untuk gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada
huruf a yang belum dapat diatasi sampai dengan
berakhirnya Jam Kerja, Bank harus menyampaikan
laporan secara offline pada Hari berikutnya dalam
Jam Kerja.
Pasal 12
(1) Penyampaian Laporan LLD bagi Bank yang melakukan
penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 1 (satu) Hari sebelum tanggal
operasional pelaksanaan penggabungan atau
peleburan, penyampaian Laporan LLD tetap
dilakukan secara terpisah oleh masing-masing Bank;
dan
b. sejak tanggal operasional Bank hasil penggabungan
atau peleburan, penyampaian Laporan LLD
dilakukan oleh Bank hasil penggabungan atau
peleburan.
(2) Dalam hal izin terkait pelaporan belum dicabut oleh
otoritas terkait, Bank wajib menyampaikan Laporan LLD
kepada Bank Indonesia.
13
Pasal 13
(1) Dalam hal Laporan LLD yang telah disampaikan oleh Bank
kepada Bank Indonesia tidak benar dan/atau tidak
lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
Bank harus menyampaikan koreksi atas Laporan LLD
yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia secara
online selama MPKL.
(2) Batas akhir MPKL yaitu tanggal 20 bulan MPL pukul 23:59
WIB.
(3) Dalam hal hari terakhir penyampaian koreksi Laporan
LLD secara online jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari
libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, batas akhir MPKL tidak berubah, kecuali
ditetapkan lain melalui pemberitahuan resmi Bank
Indonesia.
(4) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian koreksi
Laporan LLD secara online terjadi gangguan teknis yang
menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan koreksi
Laporan LLD secara online, penyampaian koreksi Laporan
LLD diatur sebagai berikut:
a. untuk gangguan teknis yang terjadi di Bank, Bank
harus menyampaikan koreksi Laporan LLD secara
offline pada Hari berikutnya dalam Jam Kerja dengan
memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan
teknis yang ditandatangani oleh direktur Bank; dan
b. untuk gangguan teknis yang terjadi di Bank
Indonesia yang belum dapat diatasi sampai dengan
berakhirnya Jam Kerja, Bank harus menyampaikan
koreksi Laporan LLD secara offline pada Hari
berikutnya dalam Jam Kerja.
Pasal 14
Bank harus menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi
Laporan LLD yang melampaui MPKL secara offline dalam Jam
Kerja.
14
Pasal 15
(1) Dalam hal terdapat koreksi terhadap Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Bank
harus menyampaikan koreksi tersebut secara lengkap
untuk setiap jenis laporan terkait yang dikoreksi.
(2) Khusus untuk koreksi laporan pendukung berupa laporan
RTE, Bank harus melampirkan Dokumen Pendukung DHE
dalam hal koreksi memerlukan Dokumen Pendukung
DHE.
Pasal 16
(1) Dalam hal Laporan LLD yang telah disampaikan Bank
kepada Bank Indonesia diindikasikan tidak wajar atau
Bank Indonesia memerlukan penjelasan lebih lanjut atas
Laporan LLD, Bank Indonesia dapat meminta klarifikasi
kepada Bank melalui surat dan/atau media lainnya.
(2) Bank harus menyampaikan tanggapan atas permintaan
klarifikasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 12 (dua
belas) Hari setelah tanggal permintaan klarifikasi.
(3) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
disampaikan dengan koreksi apabila terdapat kesalahan
dalam Laporan LLD.
(4) Koreksi Laporan LLD atas dasar permintaan klarifikasi
Bank Indonesia dapat dilakukan secara offline dalam Jam
Kerja.
Pasal 17
(1) Laporan LLD disusun berdasarkan spesifikasi format
laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Laporan LLD terdiri atas beberapa baris (record) dan setiap
baris (record) terdiri atas beberapa rincian baris (field) yang
dinyatakan dalam bentuk sandi-sandi dengan format
American Standard Code for Information Interchange
(ASCII).
(3) Data atau keterangan dalam Laporan LLD yang belum
dapat diperoleh dari Nasabah dapat diisi dengan sandi
15
sementara dan harus diganti dengan sandi yang sesuai
data dan/atau keterangan yang sebenarnya sebelum MPL
berakhir.
(4) Dokumen Pendukung DHE yang diperlukan dalam
Laporan LLD disampaikan dalam bentuk softcopy dengan
format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 18
(1) Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD yang
disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia harus
melalui tahapan uji pelaporan, yaitu memenuhi
persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas
sebagaimana hasil verifikasi sistem pelaporan Bank
Indonesia.
(2) Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD dinyatakan
telah diterima Bank Indonesia apabila:
a.
telah memenuhi kedua tahapan uji pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. terdapat keterangan โUJI KUALITAS OKโ pada sistem
pelaporan Bank Indonesia.
(3) Tanggal penerimaan Laporan LLD dan/atau koreksi
Laporan LLD yaitu tanggal penerimaan file laporan
tersebut yang telah memenuhi persyaratan kuantitas dan
persyaratan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Apabila Bank dalam MPL melakukan koreksi atas Laporan
LLD, status penyampaian laporan yang berlaku sesuai
dengan status koreksi laporan yang terakhir disampaikan
oleh Bank kepada Bank Indonesia.
(5) Apabila Bank menyampaikan koreksi atas Laporan LLD
pada tanggal 16 sampai dengan tanggal 20 dan tidak
memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan
kualitas, Laporan LLD yang dinyatakan diterima Bank
Indonesia yaitu laporan terakhir yang telah memenuhi
persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas.
16
Pasal 19
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD
apabila Laporan LLD disampaikan setelah berakhirnya
MPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3)
sampai dengan akhir bulan MPL dalam Jam Kerja.
(2) Dalam hal akhir bulan MPL jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, Bank dinyatakan
terlambat menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan
LLD disampaikan setelah berakhirnya MPL sampai dengan
Hari berikutnya setelah akhir bulan MPL dalam Jam Kerja.
(3) Batas akhir penyampaian Laporan LLD secara online bagi
Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD yaitu
tanggal 20 bulan MPL pukul 23.59 WIB.
Pasal 20
(1) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
apabila sampai dengan Jam Kerja berakhir pada akhir
bulan MPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1), Bank Indonesia belum menerima Laporan LLD.
(2) Dalam hal akhir bulan MPL jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, Bank dinyatakan tidak
menyampaikan Laporan LLD apabila sampai dengan Jam
Kerja berakhir pada Hari berikutnya, Bank Indonesia
belum menerima Laporan LLD.
(3) Dalam hal Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Bank tetap wajib menyampaikan Laporan LLD yang belum
disampaikan kepada Bank Indonesia secara offline dalam
Jam Kerja.
Pasal 21
Cakupan laporan, format laporan, dan tata cara penyampaian
laporan, mengacu pada Petunjuk Teknis Pelaporan Kegiatan
Lalu Lintas Devisa oleh Bank sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
17
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB IV
PENGAKSEPAN PERINTAH TRANSFER DANA KELUAR
(OUTGOING TRANSFER) NASABAH DAN PENATAUSAHAAN
DOKUMEN PENDUKUNG OUTGOING TRANSFER
Pasal 22
(1) Dalam hal Nasabah melakukan transaksi LLD berupa
Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dalam valuta
asing dengan nilai setara di atas USD100,000.00 (seratus
ribu dolar Amerika Serikat), Nasabah harus
menyampaikan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer
kepada Bank.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pula bagi Eksportir SDA yang melakukan Transfer Dana
Keluar (Outgoing Transfer) melalui Reksus DHE SDA.
(3) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah
Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
sepanjang dilengkapi dengan Dokumen Pendukung
Outgoing Transfer.
(4) Keharusan penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing
Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak berlaku untuk:
a. transaksi yang dilakukan oleh Bank untuk
kepentingan Bank itu sendiri; dan
b. transaksi yang bertujuan untuk pemindahan
simpanan oleh Nasabah yang sama di dalam negeri.
(5) Dalam hal bank bertindak selaku Nasabah dari Bank,
transaksi bank dimaksud dikategorikan sebagai transaksi
Nasabah.
Pasal 23
(1) Nilai Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) yang
dilakukan Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (1) dan ayat (2) paling banyak sebesar nilai
18
nominal dari Dokumen Pendukung Outgoing Transfer
dengan toleransi lebih sebesar 2,5% (dua koma lima
persen) dari nilai yang tercantum di Dokumen Pendukung
Outgoing Transfer.
(2) Perhitungan nilai ekuivalen USD untuk transaksi dalam
mata uang selain USD menggunakan kurs tengah akhir
bulan yang diumumkan Bank Indonesia pada PL
sebelumnya.
(3) Untuk valuta yang tidak terdapat dalam daftar kurs yang
diumumkan Bank Indonesia pada PL sebelumnya,
perhitungan nilai ekuivalen USD menggunakan kurs akhir
bulan Reuters pada PL sebelumnya.
Pasal 24
(1) Jenis Dokumen Pendukung Outgoing Transfer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat
(2) mengacu pada daftar Dokumen Pendukung Outgoing
Transfer sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
(2) Dalam hal Dokumen Pendukung Outgoing Transfer yang
disampaikan tidak tercantum dalam daftar Dokumen
Pendukung pada Lampiran I, Nasabah harus melengkapi
dengan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus ditandatangani oleh:
a. Nasabah yang bersangkutan atau pihak yang diberi
kuasa bagi Nasabah perorangan; atau
b. pihak yang berwenang dari Nasabah bagi Nasabah
yang berbentuk badan usaha selain Bank.
(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang diterima oleh Bank harus diparaf oleh petugas Bank.
(5) Bagi Nasabah yang telah menyampaikan bukti atau
dokumen kepada Bank guna pemenuhan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing
terhadap rupiah antara bank dengan pihak domestik dan
transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank
19
dengan pihak asing, Bank dapat menggunakan bukti atau
dokumen tersebut sebagai Dokumen Pendukung Outgoing
Transfer sepanjang bukti atau dokumen tersebut sama
dengan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer.
(6) Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan surat pernyataan atas
Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus diterima sebelum
pelaksanaan penyelesaian transaksi.
(7) Nasabah bertanggung jawab atas kebenaran Dokumen
Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan surat pernyataan atas Transfer Dana
Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
Pasal 25
(1) Bank harus menatausahakan Dokumen Pendukung
Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1) dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar
(Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2) dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy.
(2) Bank harus melaporkan kepada Bank Indonesia mengenai
penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing Transfer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan surat
pernyataan atas Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) yang
mengakibatkan berkurangnya giro Bank di luar negeri.
(3) Tata cara pelaporan kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I.
BAB V
PROSEDUR PEROLEHAN DAN VERIFIKASI TERHADAP
INFORMASI DARI NASABAH
Pasal 26
(1) Untuk penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Bank harus meminta data, keterangan,
20
Dokumen Pendukung DHE, dan/atau Dokumen
Pendukung Outgoing Transfer kepada Nasabah yang
melakukan Kegiatan LLD melalui Bank, baik untuk
kepentingan administrasi pelaporan Bank maupun untuk
memenuhi permintaan Bank Indonesia.
(2) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan data, keterangan, Dokumen Pendukung
DHE, dan/atau Dokumen Pendukung Outgoing Transfer
kepada Bank dengan benar sesuai dengan permintaan
Bank.
Pasal 27
(1) Dalam hal Kegiatan LLD melibatkan lebih dari 1 (satu)
Bank di dalam negeri, untuk mendukung kelancaran
pelaporan, Bank dapat melakukan tukar-menukar
informasi yang diperlukan untuk pelaporan Kegiatan LLD
dengan Bank lain dengan memperhatikan ketentuan yang
berlaku mengenai kerahasiaan data dan/atau informasi.
(2) Tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperhatikan batas waktu MPL.
(3) Untuk keperluan komunikasi dalam rangka tukar-
menukar informasi antar-Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), setiap Bank harus menunjuk petugas yang
bertanggung jawab terhadap kelancaran komunikasi
tersebut, dilengkapi dengan alamat surat elektronik
(e-mail), nomor telepon, dan/atau nomor faksimili.
Pasal 28
(1) Bank harus melakukan verifikasi terhadap data dan
keterangan yang diperoleh dari Nasabah untuk
memastikan akurasi Laporan LLD.
(2) Untuk transaksi Ekspor, Bank harus melakukan verifikasi
terhadap Dokumen Pendukung DHE untuk memastikan
data dan keterangan yang disampaikan Nasabah sesuai
dengan Dokumen Pendukung DHE.
(3) Bank harus melaporkan dan menyampaikan Dokumen
Pendukung DHE yang diterima dari Nasabah kepada Bank
21
Indonesia.
(4) Bank harus melakukan verifikasi terhadap kesesuaian
antara perintah Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer)
dengan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer yang
disampaikan Nasabah, yang mencakup nama penerima
dan nilai pembayaran.
(5) Bank harus memberikan penjelasan kepada Nasabah
bahwa kebenaran dan/atau kesesuaian Dokumen
Pendukung Outgoing Transfer dan surat pernyataan atas
Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) merupakan
tanggung jawab Nasabah.
Pasal 29
(1) Bank harus memiliki sistem dan prosedur dalam
perolehan data dan keterangan serta dalam penyusunan
Laporan LLD yang dituangkan dalam suatu pedoman
tertulis, sehingga Bank dapat menyampaikan Laporan
LLD secara lengkap, benar, dan tepat waktu.
(2) Bank harus menunjuk petugas dan/atau penanggung
jawab untuk menyusun, memverifikasi, dan
menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia.
(3) Nama petugas dan/atau penanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) termasuk perubahannya harus
disampaikan kepada Bank Indonesia.
BAB VI
PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN
Pasal 30
(1) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
penelitian terhadap kebenaran Laporan LLD dengan cara
sebagai berikut:
a. kegiatan evaluasi; dan/atau
b. pemeriksaan langsung (on-site) terhadap Bank.
(2) Penelitian kebenaran laporan dalam bentuk kegiatan
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
22
dilakukan oleh Bank Indonesia sewaktu-waktu dalam
rangka meningkatkan kualitas Laporan LLD.
(3) Penelitian kebenaran laporan dalam bentuk pemeriksaan
langsung (on-site) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan terhadap Laporan LLD yang masih
diragukan kebenarannya.
(4) Dalam rangka penelitian kebenaran laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta
Bank untuk memberikan penjelasan, bukti transaksi,
pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang
terkait dengan Laporan LLD.
(5) Bank harus memberikan penjelasan, bukti transaksi,
pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang
terkait dengan Laporan LLD dalam rangka penelitian
kebenaran laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
(6) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menunjuk
pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(7) Berdasarkan kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank dinyatakan tidak menyampaikan
Laporan LLD dengan benar apabila:
a. laporan tidak diisi sesuai dengan informasi dari
Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya;
dan/atau
b. Bank tidak dapat menunjukkan penjelasan, bukti
transaksi, pembukuan, catatan, dan/atau dokumen
lainnya yang terkait dengan Laporan LLD.
Pasal 31
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian terhadap kebenaran
Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) ditemukan ketidakwajaran dalam Dokumen
Pendukung Outgoing Transfer, Bank Indonesia berwenang
melakukan hal-hal sebagai berikut:
23
a. meminta penjelasan, bukti transaksi, pembukuan,
catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait
kepada Nasabah;
b. melakukan pemeriksaan langsung terhadap
Nasabah;
c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian
kebenaran Dokumen Pendukung Outgoing Transfer
terhadap Nasabah; dan/atau
d. melakukan penelitian lain.
(2) Nasabah harus memberikan penjelasan, bukti transaksi,
pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang
terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Nasabah tidak dapat memberikan penjelasan,
bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait
dengan Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Dokumen
Pendukung Outgoing Transfer yang disampaikan Nasabah
kepada Bank dinyatakan tidak benar.
BAB VII
SANKSI
Pasal 32
(1) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
dengan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dikenai sanksi administratif berupa denda.
(2) Dalam hal Bank menyampaikan Laporan LLD secara tidak
benar karena:
a. belum memuat data dan keterangan sesuai dengan
informasi dari Nasabah dan/atau dokumen
pendukungnya sampai dengan berakhirnya MPL;
b. tidak memuat data dan keterangan sesuai dengan
informasi dari Nasabah dan/atau dokumen
pendukungnya, karena:
1. baris (record) yang sama disampaikan kepada
Bank Indonesia lebih dari 1 (satu) kali;
24
2. Bank tidak melaporkan seluruh Kegiatan LLD
dalam Laporan LLD; dan/atau
3. alasan lainnya.
yang ditemukan pada kegiatan penelitian terhadap
kebenaran Laporan LLD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dan Pasal 31; dan/atau
c. Bank tidak dapat memberikan penjelasan, bukti,
catatan, dan/atau dokumen pendukung pada saat
kegiatan penelitian,
Bank dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap rincian
baris (field) yang tidak benar dengan denda paling banyak
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 33
Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
Pasal 34
Bank yang tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 35
Bank yang melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana
untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) tanpa
dilengkapi Dokumen Pendukung Outgoing Transfer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) untuk setiap Perintah Transfer Dana.
Pasal 36
(1) Pengenaan sanksi administratif berupa denda bagi Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan
Pasal 35 dilakukan melalui surat penetapan sanksi
25
administratif berupa denda dari Bank Indonesia kepada
Bank.
(2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 35 tidak
menggugurkan kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh
Bank.
(3) Pembayaran sanksi
administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan
Pasal 35 dilakukan dengan cara mendebet rekening giro
Bank di Bank Indonesia.
Pasal 37
(1) Nasabah yang dinyatakan tidak menyampaikan data,
keterangan, dan/atau Dokumen Pendukung Outgoing
Transfer dengan benar kepada Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda
sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen) dari nilai
transaksi dengan nominal paling banyak sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap
Perintah Transfer Dana.
(2) Bagi Nasabah yang dikenai sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sanksi
administratif berupa denda dikenakan dalam mata uang
rupiah dan dihitung dengan menggunakan kurs tengah
Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) Hari sebelum tanggal
pengenaan sanksi administratif berupa denda.
Pasal 38
(1) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis
dan/atau denda bagi Nasabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan dengan mengeluarkan
surat penetapan sanksi administratif berupa teguran
tertulis dan/atau denda dari Bank Indonesia kepada
Nasabah.
(2) Pembayaran sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke
26
rekening Bank Indonesia.
Pasal 39
(1) Bank yang telah dikenai sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai
dengan Pasal 35, dan Nasabah yang telah dikenai sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1), dapat mengajukan pembebasan sanksi
administratif berupa denda.
(2) Bank Indonesia dapat memberikan pembebasan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam hal:
a. Bank atau Nasabah menyampaikan surat
permohonan pembebasan pengenaan sanksi
administratif berupa denda dengan mengacu pada
contoh sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, yang disertai
dengan bukti pendukung; dan
b. berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank atau
Nasabah tidak melakukan pelanggaran terhadap
pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan LLD
oleh Bank atau penyampaian Dokumen Pendukung
Outgoing Transfer oleh Nasabah kepada Bank.
(3) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif
berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah bulan diterbitkannya surat penetapan sanksi
administratif berupa denda.
(4) Bank Indonesia melakukan penelitian atas bukti
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
yang disampaikan oleh Bank atau Nasabah.
(5) Dalam hal Bank atau Nasabah terbukti tidak melakukan
pelanggaran kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh
Bank atau penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing
Transfer oleh Nasabah kepada Bank, Bank Indonesia
menginformasikan secara tertulis kepada Bank atau
27
Nasabah mengenai pembebasan sanksi administratif
berupa denda.
(6) Dalam hal Bank atau Nasabah terbukti melakukan
pelanggaran kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh
Bank atau penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing
Transfer oleh Nasabah kepada Bank, Bank Indonesia
menyampaikan surat penolakan terhadap permohonan
pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada
Bank atau Nasabah.
(7) Dalam hal berdasarkan penelitian atas bukti pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat
koreksi atas nominal sanksi administratif berupa denda
yang telah disampaikan sebelumnya, Bank Indonesia
menyampaikan koreksi tersebut di dalam surat penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Bank Indonesia menyampaikan surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling lambat akhir
bulan berikutnya setelah tanggal diterimanya surat
permohonan pembebasan sanksi administratif berupa
denda beserta bukti pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a.
Pasal 40
(1) Pembayaran sanksi dengan mendebet rekening giro Bank
di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (3) dan pembayaran sanksi dengan melakukan
penyetoran ke rekening Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dilakukan setelah batas
waktu pengajuan permohonan untuk pembebasan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (3) berakhir.
(2) Dalam hal Bank atau Nasabah mengajukan permohonan
pembebasan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 maka pembayaran
sanksi dengan mendebet rekening giro Bank di Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3)
dan pembayaran sanksi dengan melakukan penyetoran ke
28
rekening Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2) dilakukan setelah terdapat surat
penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(6).
Pasal 41
Bank Indonesia dapat memberitahukan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
kepada:
a. Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal sanksi dikenakan
kepada Nasabah berupa bank atau lembaga keuangan
bukan bank;
b. Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dalam hal sanksi
dikenakan kepada Nasabah berupa korporasi Badan
Usaha Milik Negara; dan/atau
c. Bursa Efek Indonesia, dalam hal sanksi dikenakan kepada
Nasabah berupa korporasi publik yang tercatat di Bursa
Efek Indonesia.
BAB VIII
PENYAMPAIAN HASIL PENGAWASAN DHE SDA
Pasal 42
(1) Bank Indonesia menyampaikan informasi
hasil
pengawasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh
Nasabah berupa Eksportir SDA terkait kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) kepada:
a. Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai (DJBC); dan
b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait,
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
(2) Penyampaian informasi hasil pengawasan dan
pelanggaran kepada kementerian dan/atau lembaga
teknis terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b disampaikan sepanjang kementerian dan/atau lembaga
teknis terkait dimaksud memiliki ketentuan pelaksanaan
29
atas Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai
devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan,
pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam.
BAB IX
KEADAAN MEMAKSA
Pasal 43
(1) Bank yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan data, keterangan, dan/atau dokumen
pendukung dalam penyusunan Laporan LLD tidak
tersedia dikecualikan dari kewajiban menyampaikan
Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Bank yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan LLD
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 dan Pasal 13.
(3) Bank yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) harus segera
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Bank Indonesia, dengan memberikan penjelasan
mengenai keadaan memaksa yang dialami, yang paling
sedikit memuat:
a. jenis keadaan memaksa;
b. dampak terhadap pelaporan; dan
c. perkiraan lamanya keadaan memaksa.
(4) Bank dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) melalui kantor pusat Bank, kantor cabang Bank,
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank.
(5) Pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan
memaksa yang terjadi selama 1 (satu) PL atau lebih harus
disampaikan untuk setiap PL sampai dengan berakhirnya
keadaan memaksa.
(6) Pengecualian kewajiban menyampaikan Laporan LLD
untuk PL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
30
(2) berlaku dalam hal Bank memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia untuk tidak menyampaikan laporan.
(7) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
wajib menyampaikan Laporan LLD setelah Bank kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
BAB X
PENYAMPAIAN LAPORAN LLD SECARA OFFLINE
DAN KORESPONDENSI
Pasal 44
(1) Bagi Bank yang berkedudukan di dalam wilayah Jakarta,
Depok, Bogor, Bekasi, Karawang, penyampaian Laporan
LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara offline serta
korespondensi ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
Grup Pengelolaan dan Pengawasan Laporan LLD & DHE
Divisi Pengelolaan dan Pengawasan Laporan LLD
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16
Jl. M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10350.
(2) Bagi Bank yang berkedudukan di luar wilayah Jakarta,
Depok, Bogor, Bekasi, Karawang, penyampaian Laporan
LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara offline serta
korespondensi lainnya ditujukan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat sebagaimana
terdapat dalam daftar alamat penyampaian Laporan LLD
Bank berdasarkan kedudukan Bank pada Lampiran I.
(3) Help desk untuk komunikasi melalui media elektronik
yaitu sebagai berikut:
a. telepon : (021) 29817410 dan (021) 29818388;
b. faksimili : (021) 3800134; dan/atau
c. surat elektronik (e-mail) : lldbank@bi.go.id.
(4) Komunikasi terkait sistem informasi dan jaringan
ditujukan kepada Departemen Pengelolaan Sistem
Informasi Bank Indonesia dengan nomor telepon (021)
31
29818000.
(5) Dalam hal terdapat perubahan:
a. alamat penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi
Laporan LLD secara offline dan korespondensi
lainnya; serta
b. media untuk komunikasi,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4), Bank Indonesia memberitahukan perubahan tersebut
kepada Bank melalui surat dan/atau media lainnya.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/23/DSta
tanggal 26 Oktober 2016 perihal Pemantauan Kegiatan Lalu
Lintas Devisa Bank dan Nasabah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 46
(1) Penyampaian laporan pendukung berupa:
a. Laporan transaksi Reksus DHE SDA; dan
b. Laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan
huruf d mulai berlaku untuk data PL bulan Juli 2019 yang
disampaikan bulan Agustus 2019.
(2) Penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 mulai berlaku untuk untuk data PL bulan
Juli 2019 yang disampaikan bulan Agustus 2019.
Pasal 47
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
32
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
MIRZA ADITYASWARA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/16/PADG/2019
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH
I. UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk meminta data dan keterangan
mengenai Kegiatan LLD yang dilakukan oleh Penduduk, melalui suatu
sistem pemantauan LLD yang efektif. Data dan keterangan yang diperoleh
melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk perumusan
kebijakan Bank Indonesia, baik di bidang moneter, stabilitas sistem
keuangan, maupun sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Di
samping itu, data dan keterangan tersebut juga diperlukan untuk
penyusunan statistik, yang meliputi statistik neraca pembayaran
Indonesia, posisi investasi internasional Indonesia, dan statistik lainnya.
Pemanfaatan data dalam sistem pemantauan ini juga digunakan untuk
mendukung pelaksanaan ketentuan mengenai penerimaan devisa hasil
Ekspor.
Sejalan dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam dan
untuk meningkatkan kualitas informasi yang diperoleh guna pemantauan
DHE yang lebih efektif, perlu diatur kembali mengenai penyampaian
keterangan, data, dan dokumen pendukung terkait Kegiatan LLD oleh
Bank.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โlengkapโ adalah laporan memuat data
dan keterangan seluruh Kegiatan LLD, serta telah memenuhi
rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan โbenarโ adalah Laporan LLD memuat data
dan keterangan Kegiatan LLD sesuai dengan informasi dari
Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya.
Yang dimaksud dengan โtepat waktuโ adalah Laporan LLD
disampaikan dalam MPL yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
telah diterima oleh Bank Indonesia, dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Laporan transaksi memuat informasi yang meliputi antara lain:
a. tanggal transaksi;
b. nomor identifikasi transaksi;
c. jenis AFLN Bank dan/atau KFLN Bank;
d. status pelaku transaksi;
e. kategori pelaku transaksi;
f. hubungan keuangan antarpelaku transaksi;
g. jenis valuta;
h. nilai transaksi; dan
i.
tujuan transaksi.
Jenis AFLN Bank antara lain dalam bentuk kas dalam valuta asing,
simpanan, dan surat berharga.
Jenis KFLN Bank antara lain dalam bentuk simpanan milik bukan
Penduduk, utang luar negeri, dan ekuitas dari bukan Penduduk.
3
Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank
dan/atau KFLN Bank, meliputi antara lain:
a. penerimaan dari dan pembayaran ke luar negeri baik dalam
rupiah maupun valuta asing;
b. penerimaan dari dan pembayaran kepada bukan Penduduk di
dalam negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing; dan
c. penerimaan dan pembayaran di dalam negeri antar Penduduk
dalam valuta asing.
Pasal 4
Laporan posisi memuat informasi yang meliputi antara lain:
a. jenis AFLN Bank dan/atau KFLN Bank;
b. negara debitur atau kreditur;
c.
jenis valuta;
d. posisi awal;
e. mutasi debet;
f.
mutasi kredit;
g. mutasi lainnya; dan
h. posisi akhir.
Posisi dan penambahan atau pengurangan dari setiap rekening AFLN
Bank dan/atau KFLN Bank dipengaruhi oleh transaksi yang dilakukan
baik oleh Bank maupun Nasabah.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan RTE memuat informasi yang meliputi antara lain:
a. nomor identifikasi transaksi;
b. identitas penerima DHE;
c. sandi kantor pabean;
d. nomor pendaftaran PPE;
e. tanggal pendaftaran PPE;
f. jenis valuta DHE; dan
g. nilai DHE.
4
Ayat (3)
Laporan DPDP memuat informasi yang meliputi antara lain:
a. sandi kantor pabean;
b. nomor pendaftaran PPE;
c. tanggal pendaftaran PPE; dan
d. nama berkas (file) dokumen pendukung.
Ayat (4)
Laporan transaksi Reksus DHE SDA memuat informasi yang
meliputi antara lain:
a. tanggal transaksi;
b. nomor identifikasi transaksi;
c. jenis Reksus DHE SDA;
d. nomor Reksus DHE SDA;
e. status pelaku transaksi;
f.
kategori pelaku transaksi;
g. hubungan keuangan antarpelaku transaksi;
h. jenis valuta;
i.
j.
Ayat (5)
Laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE memuat
informasi yang meliputi antara lain:
a.
jenis rekening;
b. nomor rekening;
c. identitas pemilik rekening;
d. jenis valuta;
e.
f.
posisi awal; dan
posisi akhir.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
nilai transaksi; dan
tujuan transaksi.
5
Ayat (4)
Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang ditentukan secara
khusus berupa transaksi tertentu antara lain mencakup
transaksi antar bukan Penduduk, transaksi pembayaran kartu
kredit, transaksi jual beli mata uang asing, dan transaksi jual beli
cek perjalanan.
Ayat (5)
Contoh:
Untuk data PL Februari 2019 yang dilaporkan pada Maret 2019,
perhitungan nilai ekuivalen USD untuk transaksi dalam valuta
SGD (Singapore Dollar) menggunakan kurs tengah yang
diumumkan Bank Indonesia pada akhir Januari 2019.
Ayat (6)
Contoh:
Untuk data PL Februari 2019 yang dilaporkan pada Maret 2019,
perhitungan nilai ekuivalen USD untuk transaksi dalam valuta
INR (Indian Rupee) menggunakan kurs Reuters pada akhir
Januari 2019.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen Pendukung DHE antara lain dapat berupa dokumen
PPE, usance L/C, faktur penjualan, perjanjian jual beli antara
eksportir dan importir, dan surat keterangan tentang
penangguhan pembayaran dari importir.
Ayat (3)
Contoh:
Nasabah Bank A yaitu PT X mengirimkan barang ke luar negeri
dengan cara pembayaran menggunakan usance L/C dengan
jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari. Selanjutnya,
berdasarkan dokumen PPE diperoleh informasi antara lain
tanggal PPE yaitu 14 Maret 2019. PT X menyampaikan informasi
PPE beserta dokumen pendukung yaitu perjanjian penjualan dan
usance L/C kepada Bank A tanggal 27 Maret 2019.
6
Dalam hal ini, Bank A harus menyampaikan informasi PPE PT X
dalam laporan RTE bulan Maret 2019 beserta laporan DPDP dan
Dokumen Pendukung DHE pada MPL bulan April 2019.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Nasabah Bank C yaitu PT W menerima pembayaran di muka pada
tanggal 18 Oktober 2019 dan Bank C telah menyampaikan
laporan RTE terkait informasi atas penerimaan pembayaran di
muka Nasabah tersebut untuk PL bulan Oktober 2019 yang
disampaikan bulan November 2019, yang berisi nomor
identifikasi tertentu, identitas penerima DHE, dan nilai
penerimaan pembayaran di muka.
Ayat (6)
Informasi PPE dari Nasabah meliputi antara lain:
a. sandi kantor pabean;
b. nomor pendaftaran PPE;
c. tanggal PPE;
d. nilai PPE; dan
e. jenis valuta PPE.
Contoh:
Berdasarkan dokumen PPE yang diterbitkan tanggal 20 Januari
2020 yaitu pada saat barang dikirim, PT W memperoleh informasi
PPE dimaksud yang kemudian disampaikan kepada Bank C pada
tanggal 30 Januari 2020 berikut Dokumen Pendukung DHE
berupa perjanjian penjualan.
Dalam hal ini, Bank C menyampaikan informasi PPE PT W dalam
laporan RTE bulan Januari 2020 beserta laporan DPDP dan
Dokumen Pendukung DHE-nya pada MPL bulan Februari 2020
dengan nomor identifikasi yang sama dengan yang dicantumkan
pada laporan RTE bulan Oktober 2019.
Pasal 8
Cukup jelas.
7
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal Nasabah tidak menyampaikan Dokumen
Pendukung Outgoing Transfer yang terdapat dalam daftar
Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I, Nasabah harus menyampaikan
surat pernyatan atas Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer).
Huruf c
Dokumen lainnya antara lain berupa bukti transfer dan
SWIFT message.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam hal Nasabah tidak menyampaikan Dokumen
Pendukung Outgoing Transfer yang terdapat dalam daftar
Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I, Nasabah harus menyampaikan
surat pernyatan atas Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer).
Huruf d
Dokumen lainnya antara lain berupa bukti transfer dan
SWIFT message.
Pasal 10
Ayat (1)
Contoh:
Bank S berkedudukan di Singapura memiliki kantor cabang di
Jakarta, Bali, dan Palembang. Kantor cabang koordinator bank S
8
di Indonesia yaitu kantor cabang di Jakarta. Berdasarkan hal
tersebut, Laporan LLD disampaikan oleh kantor cabang bank S di
Jakarta kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Penyampaian secara online dilakukan melalui media ekstranet
Bank Indonesia dengan menggunakan akses ke jaringan
ekstranet yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank.
Ayat (3)
Contoh:
Untuk Kegiatan LLD PL bulan Juni 2019, batas akhir MPL yaitu
pada hari Senin tanggal 15 Juli 2019 pukul 23.59 WIB.
Ayat (4)
Contoh:
Untuk Kegiatan LLD PL bulan Mei 2019, batas akhir MPL yaitu
pada hari Sabtu tanggal 15 Juni 2019 pukul 23.59 WIB.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โgangguan teknisโ adalah gangguan yang
terjadi di Bank Indonesia dan/atau Bank yang meliputi antara
lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi, namun tidak
termasuk gangguan pada sistem penyusunan Laporan LLD di
Bank.
Contoh:
Gangguan teknis di Bank terjadi pada hari Kamis tanggal 5
Februari 2019 pukul 10.10 WIB. Bank dapat menyampaikan
Laporan LLD untuk PL bulan Januari 2019 secara offline pada
tanggal 5 Februari 2019 dalam Jam Kerja dan Bank A tidak perlu
menyampaikan kembali laporan secara online meskipun
gangguan teknis di Bank telah dapat diatasi sebelum MPL.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Jumat tanggal
15 Maret 2019 dan baru dapat diatasi pada hari Sabtu
tanggal 16 Maret 2019 pukul 10.00 WIB. Dalam hal ini, Bank
A harus menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan
9
Februari 2019 secara online pada hari berikutnya pada saat
gangguan teknis berakhir, yaitu hari Sabtu tanggal 16 Maret
2019 dengan memberikan bukti pendukung terjadinya
gangguan teknis. Dengan demikian, Bank A tidak
dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD.
Huruf b
Contoh:
Gangguan teknis di Bank B terjadi pada hari Kamis tanggal
15 Agustus 2019 dan belum dapat diatasi sampai dengan
hari Jumat tanggal 16 Agustus 2019. Dalam hal ini, Bank B
menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Juli 2019
secara offline pada Hari berikutnya, yaitu tanggal 16 Agustus
2019 dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti
pendukung terjadinya gangguan teknis. Dengan demikian,
Bank B tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
LLD.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Jumat
tanggal 15 Maret 2019 dan baru dapat diatasi pada hari
Sabtu tanggal 16 Maret 2019 pukul 09.00 WIB. Dalam hal
ini, Bank A menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan
Februari 2019 secara online pada hari berikutnya, yaitu
tanggal 16 Maret 2019. Dengan demikian, Bank A tidak
dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD.
Huruf b
Contoh:
Apabila gangguan teknis pada contoh 1 di atas tidak dapat
diatasi pada tanggal 16 Maret 2019 maka Bank A
menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Februari 2019
secara offline pada Hari berikutnya, yaitu Senin tanggal 18
Maret 2019 dalam Jam Kerja. Dengan demikian, Bank A
tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD.
10
Pasal 12
Ayat (1)
Contoh:
Bank X melakukan penggabungan dengan Bank Y menjadi Bank
X yang mulai operasional pada tanggal 22 Juli 2019. Dalam hal
ini, kewajiban pelaporan bulanan diatur sebagai berikut:
a. Bank X dan Bank Y menyampaikan Laporan LLD untuk PL
bulan Juni 2019 pada bulan Juli 2019; dan
b. Bank X menyampaikan Laporan LLD pada bulan Agustus
2019 sebagai berikut:
1. data bulan Juli 2019 dari Bank X sebelum
penggabungan dan dari Bank X hasil penggabungan;
dan
2. data Bank Y dari tanggal 1 sampai dengan 21 Juli 2019.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Koreksi atas Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada
hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk Kegiatan LLD PL bulan April 2019, batas akhir MPKL yaitu
pada hari Senin tanggal 20 Mei 2019 pukul 23.59 WIB.
Ayat (3)
Contoh:
Untuk Kegiatan LLD PL bulan Maret 2019, batas akhir MPKL
yaitu pada hari Sabtu tanggal 20 April 2019 pukul 23.59 WIB.
Ayat (4)
Huruf a
Contoh:
Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Jumat tanggal
20 September 2019 pukul 11.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A
menyampaikan koreksi Laporan LLD untuk PL bulan
Agustus 2019 secara offline pada Hari berikutnya, yaitu
11
Senin tanggal 23 September 2019 dalam Jam Kerja dengan
memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis.
Huruf b
Contoh:
Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Kamis
tanggal 20 Juni 2019 pukul 15.00 WIB. Dalam hal ini, Bank
B menyampaikan koreksi Laporan LLD untuk PL bulan Mei
2019 secara offline pada Hari berikutnya, yaitu hari Jumat
tanggal 21 Juni 2019 dalam Jam Kerja.
Pasal 14
Penyampaian secara offline dilakukan melalui media elektronik,
antara lain compact disk (CD), flash disk, atau surat elektronik (e-mail)
melalui Kantor Pusat Bank Indonesia atau Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat sesuai dengan kedudukan Bank.
Contoh 1:
Batas akhir penyampaian Laporan LLD untuk PL bulan Januari 2019
secara offline yaitu hari Kamis tanggal 28 Februari 2019 dalam Jam
Kerja.
Contoh 2:
Bank M telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Juni 2019
pada tanggal 15 Juli 2019. Pada tanggal 22 Juli 2019, Bank M
bermaksud melakukan koreksi terhadap kesalahan pengisian field
nilai transaksi pada salah satu baris (record) di laporan transaksi.
Dalam hal ini, Bank M harus menyampaikan koreksi Laporan LLD
secara offline kepada Bank Indonesia karena telah melampaui MPKL.
Pasal 15
Ayat (1)
Contoh 1:
Bank P telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan
November 2019, namun masih terdapat kesalahan pada laporan
RTE, yaitu field Nilai PPE pada baris ke-7 dan baris ke-90.
Dalam hal ini, Bank P melakukan koreksi terhadap kesalahan
pengisian field Nilai PPE pada baris ke-7 dan baris ke-90 dalam
laporan RTE bulan November 2019 dan menyampaikan kembali
secara lengkap seluruh file Laporan LLD kepada Bank Indonesia.
12
Contoh 2:
Bank D telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan April
2019, namun masih terdapat kesalahan pada laporan transaksi,
yaitu field nilai transaksi untuk tujuan transaksi pembayaran
pinjaman pada baris ke-76.
Dalam hal ini, Bank D harus melakukan koreksi terhadap
kesalahan pengisian field nilai transaksi pada baris ke-76 dalam
laporan transaksi bulan April 2019 dan menyampaikan kembali
secara lengkap file laporan transaksi dan laporan posisi kepada
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Contoh:
Bank Indonesia meminta klarifikasi kepada Bank A apabila dalam
laporan transaksi terdapat field status penerima yang diisi
dengan Indonesia untuk tujuan transaksi impor barang.
Ayat (2)
Contoh:
Bank N telah menyampaikan transaksi PT B dengan nomor pokok
wajb pajak (NPWP) tertentu melalui laporan transaksi bulan
Agustus 2019. Namun berdasarkan database yang dimiliki Bank
Indonesia, NPWP tersebut bukan atas nama PT B. Bank Indonesia
meminta klarifikasi kepada Bank N pada tanggal 1 Oktober 2019.
Bank N harus menyampaikan tanggapan atas permintaan
klarifikasi dari Bank Indonesia paling lama 12 (dua belas) Hari
setelah tanggal permintaan klarifikasi, yaitu pada tanggal 17
Oktober 2019.
Ayat (3)
Dalam hal laporan yang diindikasikan tidak wajar tersebut telah
sesuai dengan data dan keterangan yang dimiliki, Bank cukup
memberikan tanggapan tanpa melakukan koreksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
13
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dokumen Pendukung DHE disampaikan dalam bentuk softcopy
dengan format PDF, JPG, TIFF, BMP, PNG, GIF, atau file dengan
format tersebut yang telah dikompresi.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
Bank Y telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Juni
2019 pada tanggal 5 Juli 2019 yang telah memenuhi persyaratan
kuantitas dan persyaratan kualitas. Pada tanggal 10 Juli 2019,
Bank Y menyampaikan koreksi atas Laporan LLD tersebut dan
juga telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan
kualitas.
Selanjutnya, apabila pada tanggal 15 Juli 2019 (akhir MPL) Bank
Y kembali melakukan koreksi dan sampai dengan pukul 23.59
WIB masih belum memenuhi persyaratan kuantitas dan
persyaratan kualitas, status laporan yang berlaku yaitu status
laporan yang disampaikan pada tanggal 15 Juli 2019. Dalam hal
ini, Bank Y dinyatakan belum menyampaikan laporan.
Selanjutnya apabila Bank Y menyampaikan kembali koreksi atas
Laporan LLD tersebut pada tanggal 16 Juli 2019 dan telah
memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas,
14
dalam hal ini Bank Y dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan.
Ayat (5)
Contoh:
Bank F telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan
Agustus 2019 pada tanggal 13 September 2019 dan telah
memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. Pada
tanggal 18 September 2019, Bank F menyampaikan koreksi atas
Laporan LLD yang disampaikan pada tanggal 13 September 2019
dan telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan
kualitas.
Selanjutnya, apabila pada tanggal 20 September 2019 (akhir
MPKL) Bank F kembali melakukan koreksi dan sampai dengan
pukul 23.59 WIB masih belum memenuhi persyaratan kuantitas
dan kualitas maka Laporan LLD yang dinyatakan diterima Bank
Indonesia yaitu laporan yang disampaikan pada tanggal 18
September 2019.
Pasal 19
Ayat (1)
Contoh:
Laporan LLD Bank A untuk PL bulan Maret 2019 diterima Bank
Indonesia secara online pada hari Selasa tanggal 16 April 2019.
Dengan demikian Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan LLD untuk PL bulan Maret 2019.
Ayat (2)
Contoh:
Bank A menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Oktober
2019 pada hari Senin tanggal 2 Desember 2019 dalam Jam Kerja.
Dengan demikian Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan LLD untuk PL bulan Oktober 2019.
Ayat (3)
Contoh:
Batas akhir penyampaian Laporan LLD untuk PL bulan Januari
2019 secara online adalah hari Rabu tanggal 20 Februari 2019
sampai dengan pukul 23.59 WIB.
15
Pasal 20
Ayat (1)
Contoh:
Laporan LLD Bank A untuk PL bulan Maret 2019 tidak diterima
Bank Indonesia sampai dengan hari Selasa tanggal 30 April 2019
dalam Jam Kerja sehingga Bank A dinyatakan tidak
menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Maret 2019.
Ayat (2)
Contoh:
Apabila pada hari Senin tanggal 2 Desember 2019 sampai dengan
berakhirnya Jam Kerja, Bank Indonesia belum menerima
Laporan LLD Bank A untuk PL bulan Oktober 2019, Bank A
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan
Oktober 2019.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Dokumen pendukung dapat berupa dokumen yang mendasari
adanya kegiatan transaksi (underlying transaction) Transfer Dana
Keluar (Outgoing Transfer) dalam valuta asing, antara lain:
a. tagihan dari penjual barang dan jasa di luar negeri;
b. kontrak pinjaman atau dokumen lain yang menunjukkan
adanya kewajiban pembayaran bunga dan/atau pokok
pinjaman;
c. kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan adanya
kewajiban membayar royalti dan kewajiban hak intelektual
lainnya;
d. dokumen rapat umum pemegang saham yang menunjukkan
kewajiban pembagian dividen kepada pemegang saham di
luar negeri;
16
e.
perjanjian kerja atau dokumen kepegawaian lainnya yang
menunjukkan kewajiban membayar gaji dan penghasilan
lainnya;
f. dokumen likuidasi aset di dalam negeri yang merupakan hak
pihak di luar negeri; dan/atau
g. dokumen pengecualian atau penangguhan kewajiban
penggunaan rupiah untuk transaksi valuta asing di dalam
negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Contoh:
Pada tanggal 20 Agustus 2019, Bank A melakukan transfer
kepada perusahaan Z di Singapura sebesar USD300,000.00
(tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) atas pembelian
perangkat komputer untuk kepentingan Bank A.
Dalam hal ini, transaksi yang dilakukan Bank A tidak
memerlukan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer.
Huruf b
Contoh:
Pada tanggal 18 Oktober 2019, PT Q memerintahkan Bank
P di Jakarta untuk mentransfer dana sebesar
USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika
Serikat) dari rekening valuta asing milik PT Q untuk untung
rekening valuta asing milik PT Q di Bank S di Surabaya.
Dalam hal ini, transaksi yang dilakukan PT Q tidak
memerlukan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer.
Ayat (5)
Cukup jelas.
17
Pasal 23
Ayat (1)
Contoh:
PT U memerintahkan Bank K di Jakarta untuk membayar kepada
rekening perusahaan induknya (perusahaan V) di Singapura
sebesar USD101,000.00 (seratus satu ribu dolar Amerika
Serikat). Berdasarkan perintah Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) dari PT U, diperoleh informasi bahwa pembayaran
tersebut merupakan pembayaran atas pembelian barang dari
perusahaan V. Untuk transaksi ini, PT U menyampaikan fotokopi
invoice sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika
Serikat) kepada Bank K.
Selisih lebih antara nilai perintah Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) dengan nilai yang tercantum di fotokopi invoice tidak
melebihi 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai yang tercantum
di fotokopi invoice. Dalam hal ini, perintah Transfer Dana Keluar
(Outgoing Transfer) masih dianggap sesuai dengan Dokumen
Pendukung Outgoing Transfer dari sisi nilai transaksi.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk transaksi Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) selama
bulan Februari 2019, perhitungan nilai ekuivalen USD untuk
transaksi dalam valuta MYR (Malaysian Ringgit) menggunakan
kurs tengah yang diumumkan Bank Indonesia pada akhir
Januari 2019.
Ayat (3)
Contoh:
Untuk transaksi Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) selama
Februari 2019, perhitungan nilai ekuivalen USD untuk transaksi
dalam valuta UAD (United Arab Emirates Dirham) menggunakan
kurs Reuters pada akhir Januari 2019.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
18
Ayat (2)
Contoh:
PT S melakukan transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar
(Outgoing Transfer) melalui Bank T di Jakarta sebesar
USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dalam
rangka pembayaran dividen ke perusahaan T di Jepang. PT S
memiliki Dokumen Pendukung Outgoing Transfer yang tidak
tercantum dalam daftar Dokumen Pendukung pada Lampiran I.
PT S harus melengkapi Dokumen Pendukung Outgoing Transfer
dimaksud dengan surat pernyataan dan menyampaikan kedua
dokumen dimaksud kepada Bank.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โpihak yang berwenang dari
Nasabahโ adalah:
a. pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan
anggaran dasar;
b. pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat
kuasa; atau
c. pejabat yang memiliki kewenangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Pada tanggal 17 dan 18 Juni 2019, PT R membeli valuta asing
masing-masing sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar
Amerika Serikat) dan USD125,000.00 (seratus dua puluh lima
ribu dolar Amerika Serikat) di Bank C untuk menambah rekening
USD-nya dengan mendebet rekening rupiah milik perusahaan
tersebut di Bank yang sama. Untuk transaksi ini, PT R telah
memberikan dokumen berupa fotokopi invoice dari perusahaan T
di Hongkong untuk pembelian barang dari luar negeri sebesar
USD425,000.00 (empat ratus dua puluh lima ribu dolar Amerika
Serikat) kepada Bank C. Selanjutnya, pada tanggal 19 Juni 2019
PT R memerintahkan Bank C untuk melakukan transfer sebesar
19
USD425,000.00 (empat ratus dua puluh lima ribu dolar Amerika
Serikat) kepada perusahaan T.
Untuk transaksi tersebut, Bank C dapat menggunakan dokumen
yang telah disampaikan Nasabah sebelumnya dalam pemenuhan
ketentuan ini.
Ayat (6)
Contoh:
PT J melakukan transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar
(Outgoing Transfer) melalui Bank D di Jakarta sebesar
USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) dalam
rangka pembayaran pinjaman luar negeri. Jika tanggal valuta
untuk transfer dimaksud yaitu tanggal 19 Desember 2019,
Dokumen Pendukung Outgoing Transfer untuk transaksi
dimaksud harus diterima Bank D sebelum pelaksanaan
penyelesaian transaksi pada tanggal valuta.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dan surat pernyataan
atas Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) yang diberikan
Nasabah kepada Bank, baik dalam bentuk hardcopy dan/atau
softcop, tidak perlu disampaikan kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Contoh:
PT M melakukan transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar
(Outgoing Transfer) melalui Bank D di Jakarta sebesar
USD250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika
Serikat) dalam rangka pembayaran impor ke perusahaan N yang
memiliki rekening di bank F di Singapura. Transaksi tersebut
mengakibatkan rekening giro Bank D di Singapura berkurang,
sehingga Nasabah harus melengkapi transaksi dimaksud dengan
Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dan Bank harus
melaporkan informasi penyampaian Dokumen Pendukung
Outgoing Transfer kepada Bank Indonesia dalam Laporan LLD.
20
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Data dan keterangan yang diberikan Nasabah meliputi antara
lain nilai dan jenis transaksi, tujuan transaksi, pelaku transaksi,
dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
PT W memerintahkan Bank L di Jakarta untuk membayar kepada
rekening perusahaan G di Amerika Serikat sebesar
USD202,500.00 (dua ratus dua ribu lima ratus dolar Amerika
Serikat). Berdasarkan perintah Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) dari PT W, diperoleh informasi bahwa pembayaran
tersebut merupakan pembayaran atas pembelian barang dari
perusahaan G. Untuk transaksi ini, PT W menyampaikan fotokopi
invoice sebesar USD200,000.00 (seratus ribu dolar Amerika
Serikat) kepada Bank L. Dalam hal ini, Bank L melakukan
verifikasi antara nama penerima dan nilai pembayaran yang
tercantum dalam perintah transfer dengan nama penjual dan
nilai kewajiban membayar yang tercantum dalam invoice.
Mengingat selisih lebih antara nilai perintah Transfer Dana
Keluar (Outgoing Transfer) dengan nilai yang tercantum di
21
fotokopi invoice tidak melebihi 2,5% (dua koma lima persen) dari
nilai yang tercantum di fotokopi invoice maka perintah Transfer
Dana Keluar (Outgoing Transfer) dianggap sesuai dengan
Dokumen Pendukung Outgoing Transfer.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โdokumen lainnya yang terkait dengan
Laporan LLDโ antara lain laporan keuangan dan daftar mutasi
rekening koran (bank statement).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
22
Ayat (2)
Huruf a
Laporan LLD belum memuat keterangan dan data sesuai
dengan informasi dari Nasabah dan/atau dokumen
pendukungnya apabila masih diisi dengan sandi sementara
dan tidak diperbaiki sampai dengan berakhirnya MPL.
Contoh:
Bank A dalam laporan RTE untuk PL bulan Juli 2019
terdapat 1 (satu) record yang masih menggunakan sandi
sementara, yaitu untuk field Sandi Kantor Pabean (diisi
โYYYYYYโ), nomor pendaftaran PPE (diisi โYYYYYYYYโ), dan
tanggal PPE (diisi โYYYYYYYYโ). Berdasarkan hal tersebut,
apabila sampai dengan tanggal 15 Agustus 2019 sandi
sementara tersebut belum diperbaiki, Bank A dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp150.000,00 (3 field x
Rp50.000,00).
Huruf b
Contoh:
Berdasarkan kegiatan evaluasi terhadap Bank A atas
laporan RTE untuk PL bulan Juli 2019 sampai dengan
Desember 2019 terdapat 50 (lima puluh) isian field yang
tidak benar, yang terdiri dari 20 (dua puluh) field sandi
kantor pabean, 20 (dua puluh) field tanggal PPE, dan 10
(sepuluh) field Nilai PPE. Berdasarkan hal tersebut, Bank
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp2.500.000,00 (50 field x Rp50.000,00).
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 33
Contoh:
Laporan LLD Bank A untuk PL bulan Maret 2019 diterima Bank
Indonesia pada tanggal 18 April 2019 sehingga Bank dinyatakan
terlambat menyampaikan laporan selama 3 (tiga) hari keterlambatan
dan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp3.000.000,00 (3 x Rp1.000.000,00).
23
Pasal 34
Contoh:
Laporan LLD Bank A untuk PL bulan Maret 2019 belum diterima Bank
Indonesia sampai dengan tanggal 30 April 2019 sehingga Bank A
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD dan dikenai sanksi
denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 35
Contoh:
PT A di Jakarta melakukan transaksi sebanyak 3 (tiga) kali pada
tanggal 21 Mei 2019 melalui Bank X tanpa Dokumen Pendukung
Outgoing Transfer dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar
(Outgoing Transfer) (dalam hal diperlukan), dengan rincian sebagai
berikut:
a. USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat)
kepada perusahaan B dengan rekening di bank C yang berlokasi
di Singapura;
b. USD230,000.00 (dua ratus tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat)
kepada PT D dengan rekening di bank E yang berlokasi di
Surabaya; dan
c. USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) kepada
perusahaan F dengan rekening di bank G yang berlokasi di
Malaysia.
Bank X mengaksep ketiga Perintah Transfer Dana ini pada tanggal
yang sama dengan mendebet rekening PT A. Dalam hal ini, Bank X
akan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), yaitu atas pelanggaran
ketentuan untuk transfer ke perusahaan B dan PT D. Untuk transfer
ke perusahaan F di Malaysia tidak ada keharusan penyampaian
Dokumen Pendukung Outgoing Transfer atau surat pernyataan
sehingga tidak dikenai sanksi.
Pasal 36
Cukup jelas.
24
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh 1:
Nasabah H melakukan transaksi Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) pada bulan September 2019 dengan nilai transaksi
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
Setelah Bank Indonesia melakukan penelitian kebenaran
terhadap Dokumen Pendukung Outgoing Transfer, Dokumen
Pendukung Outgoing Transfer yang diberikan Nasabah untuk
transaksi tersebut dinilai tidak memadai.
Apabila kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) hari
kerja sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp14.000,00 (empat belas ribu rupiah),
perhitungan denda Nasabah H sebesar (0,25% x
USD1,000,000.00 x Rp14.000,00) = Rp35.000.000,00.
Contoh 2:
Nasabah J melakukan transaksi Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) pada bulan Oktober 2019 dengan nilai transaksi
sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat).
Setelah Bank Indonesia melakukan penelitian kebenaran
terhadap Dokumen Pendukung Outgoing Transfer, Dokumen
Pendukung Outgoing Transfer yang diberikan Nasabah untuk
transaksi tersebut dinilai tidak memadai.
Apabila kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) hari
kerja sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp14.000,00 (empat belas ribu rupiah),
perhitungan denda Nasabah J sebesar (0,25% x
USD2,000,000.00 x Rp14.000,00) = Rp70.000.000,00. Mengingat
perhitungan denda tersebut melebihi nilai denda maksimal maka
Nasabah J dikenai denda maksimal sebesar Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
Pasal 38
Cukup jelas.
25
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh 1:
Bank Indonesia pada tanggal 10 Juli 2019 menerbitkan surat
penetapan sanksi administratif berupa denda terhadap Bank J
atas pelanggaran kewajiban pelaporan Kegiatan LLD PL bulan
Mei 2019. Dalam hal ini, Bank J dapat menyampaikan
permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa
denda kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 31
Agustus 2019.
Contoh 2:
Bank J sebagaimana dimaksud pada contoh 1 dapat
menyampaikan permohonan untuk pembebasan sanksi
administratif berupa denda kepada Bank Indonesia paling lambat
tanggal 31 Agustus 2019. Apabila Bank J menyampaikan
permohonan pada tanggal 3 September 2019, Bank Indonesia
tidak akan memproses permohonan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
26
Pasal 42
Ayat (1)
Contoh:
Nasabah PT S yang merupakan Eksportir SDA melakukan
transaksi Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dari Reksus
DHE SDA miliknya pada bulan November 2019 dengan nilai
transaksi sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat) dengan tujuan transaksi untuk pembayaran impor
barang. Setelah Bank Indonesia melakukan penelitian kebenaran
terhadap Dokumen Pendukung Outgoing Transfer, Dokumen
Pendukung Outgoing Transfer yang diberikan Nasabah untuk
transaksi tersebut dinilai tidak memadai.
Bank Indonesia menyampaikan informasi hasil pengawasan dan
pelanggaran yang dilakukan oleh Nasabah PT S kepada:
a. Kementerian Keuangan c.q. DJBC; dan
b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait,
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โkeadaan memaksaโ adalah keadaan
yang berada di luar kendali Bank dan secara nyata dialami Bank
yang disebabkan antara lain karena kebakaran, kerusuhan
massa, pemogokan pekerja, terorisme, bom, perang, sabotase,
serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang
dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di
daerah setempat, termasuk Bank Indonesia.
Contoh:
Pada akhir bulan April 2019, tempat kedudukan Bank Y
mengalami gempa bumi yang mengakibatkan Bank Y tidak dapat
menyusun Laporan LLD untuk bulan tersebut karena hilangnya
data. Dalam hal ini, Bank Y dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan April 2019.
27
Ayat (2)
Contoh:
Pada tanggal 10 Maret 2019 sampai dengan 21 Maret 2019 terjadi
pemogokan seluruh karyawan Bank D yang mengakibatkan Bank
D terhambat menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan
Februari 2019. Dalam hal ini, Bank D dapat menyampaikan
Laporan LLD dimaksud melewati batas waktu penyampaian
laporan dan Bank D tidak dikenai sanksi administratif.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/16/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH </reg_title>
<set_date> 19 Juli 2019 </set_date>
<effective_date> 19 Juli 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '18/23/DSta|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '16/10/PBI/2014', '21/3/PBI/2019', '17/23/PBI/2015', '18/10/PBI/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/25/PADG/2019
TENTANG
RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO
VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT
ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Peraturan Bank Indonesia mengenai rasio loan to
value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk
pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau
pembiayaan kendaraan bermotor, perlu didukung dengan
peraturan pelaksanaan mengenai mekanisme
pelaksanaan dan hal teknis terkait rasio loan to value
untuk kredit properti, rasio financing to value untuk
pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau
pembiayaan kendaraan bermotor;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit
Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan
Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan
Kendaraan Bermotor;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang
Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to
Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk
Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 118, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6230)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 21/13/PBI/2019 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to
Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk
Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau
Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 227, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6423);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG RASIO
LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO
FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN
UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
KENDARAAN BERMOTOR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai perbankan, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah.
3
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai perbankan syariah.
4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS.
5. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai perbankan.
6. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah.
7. Properti adalah rumah tapak, rumah susun, dan rumah
toko atau rumah kantor.
8. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah
dan bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat
keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh
lembaga atau pejabat yang berwenang.
9. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam
bagian yang distrukturkan secara fungsional baik dalam
arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan
yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, yang berupa griya tawang, kondominium,
apartemen, flat, dan bangunan lainnya.
10. Rumah Toko atau Rumah Kantor adalah tanah berikut
bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal
sekaligus untuk tujuan komersial yang berupa pertokoan,
perkantoran, gudang, dan bangunan lainnya.
11. Properti Berwawasan Lingkungan adalah Properti yang
memenuhi kriteria bangunan hijau sesuai dengan standar
atau sertifikasi yang diakui secara nasional dan/atau
internasional.
12. Kredit Properti Rumah Tapak yang selanjutnya disebut KP
Rumah Tapak adalah Kredit yang diberikan BUK untuk
pemilikan Rumah Tapak, termasuk Kredit konsumsi
beragun Rumah Tapak.
13. Kredit Properti Rumah Susun yang selanjutnya disebut KP
Rusun adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan
4
Rumah Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun
Rumah Susun.
14. Kredit Properti Rumah Toko atau Kredit Properti Rumah
Kantor yang selanjutnya disebut KP Ruko atau KP Rukan
adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan
Rumah Toko atau Rumah Kantor, termasuk Kredit
konsumsi beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor.
15. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah
Kredit konsumsi berupa KP Rumah Tapak, KP Rusun, dan
KP Ruko atau KP Rukan.
16. Pembiayaan Properti Rumah Tapak yang selanjutnya
disebut PP Rumah Tapak adalah Pembiayaan yang
diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Tapak,
termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Tapak.
17. Pembiayaan Properti Rumah Susun yang selanjutnya
disebut PP Rusun adalah Pembiayaan yang diberikan BUS
atau UUS untuk pemilikan Rumah Susun, termasuk
Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Susun.
18. Pembiayaan Properti Rumah Toko atau Pembiayaan
Properti Rumah Kantor yang selanjutnya disebut PP Ruko
atau PP Rukan adalah Pembiayaan yang diberikan BUS
atau UUS untuk pemilikan Rumah Toko atau Rumah
Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah
Toko atau Rumah Kantor.
19. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disingkat PP adalah
Pembiayaan konsumsi berupa PP Rumah Tapak, PP
Rusun, dan PP Ruko atau PP Rukan.
20. Akad Murabahah adalah akad Pembiayaan suatu barang
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai
keuntungan yang disepakati.
21. Akad Istishnaโ adalah akad Pembiayaan barang dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan atau pembeli (mustashniโ) dan penjual atau
pembuat (shaniโ).
5
22. Akad Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disebut
Akad MMQ adalah akad Pembiayaan musyarakah yang
kepemilikan aset atau modal salah satu pihak (syarik)
berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh
pihak lainnya.
23. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya disebut
Akad IMBT adalah akad penyediaan dana untuk
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang
atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi
pemindahan kepemilikan barang.
24. Akad Qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah
dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan
dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.
25. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV
adalah angka rasio antara nilai Kredit yang dapat
diberikan oleh BUK terhadap nilai agunan berupa Properti
pada saat pemberian Kredit berdasarkan hasil penilaian
terkini.
26. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio
FTV adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang
dapat diberikan oleh BUS atau UUS terhadap nilai agunan
berupa Properti pada saat pemberian Pembiayaan
berdasarkan hasil penilaian terkini.
27. Kendaraan Bermotor Berwawasan Lingkungan adalah
kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai percepatan program kendaraan bermotor listrik
berbasis baterai (battery electric vehicle) untuk
transportasi jalan.
28. Kredit Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat
KKB adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pembelian
kendaraan bermotor.
29. Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya
disingkat PKB adalah Pembiayaan yang diberikan BUS
atau UUS untuk pembelian kendaraan bermotor.
30. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar
persentase tertentu dari nilai pembelian Properti atau
6
harga kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal
dari debitur atau nasabah.
31. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut
LBU adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan bulanan bank umum.
32. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang
selanjutnya disebut LSMK BUS UUS adalah laporan
stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank
umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan
bank umum syariah dan unit usaha syariah.
BAB II
PENGATURAN RASIO LTV DAN RASIO FTV
Bagian Kesatu
Penghitungan Kredit, Penghitungan Pembiayaan,
Nilai Agunan, dan Penilaian Agunan
Paragraf 1
Penghitungan Kredit dan Nilai Agunan untuk BUK
Pasal 2
(1) BUK wajib melakukan penghitungan Kredit dan nilai
agunan dalam penghitungan Rasio LTV untuk KP dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang
diterima oleh debitur sebagaimana tercantum dalam
perjanjian Kredit; dan
b.
nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran
yang dilakukan penilai intern BUK atau penilai
independen terhadap Properti yang menjadi agunan.
(2) Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b mengacu pada metode dan prinsip yang
7
berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan
oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang.
Paragraf 2
Penghitungan Pembiayaan dan Nilai Agunan
untuk BUS dan UUS
Pasal 3
(1) BUS dan UUS wajib melakukan penghitungan Pembiayaan
dan nilai agunan dalam penghitungan Rasio FTV untuk PP
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang
digunakan yaitu:
1. Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah atau
Akad Istishnaโ ditetapkan berdasarkan harga
pokok Pembiayaan yang diberikan kepada
nasabah sebagaimana tercantum dalam akad
Pembiayaan;
2. Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ ditetapkan
berdasarkan penyertaan BUS atau UUS untuk
kepemilikan Properti sebagaimana tercantum
dalam akad Pembiayaan, termasuk pemberian
Pembiayaan dengan akad al-Ijarah al-Maushufah
fi al-Dzimmah untuk pemilikan Properti yang
akan dibiayai belum tersedia secara utuh; dan
3. Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT ditetapkan
berdasarkan hasil pengurangan harga Properti
dengan deposit sebagaimana tercantum dalam
akad Pembiayaan, termasuk pemberian
Pembiayaan dengan akad al-Ijarah al-Maushufah
fi al-Dzimmah untuk pemilikan Properti yang
akan dibiayai belum tersedia secara utuh; dan
b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran
yang dilakukan penilai intern BUS atau UUS, atau
penilai independen terhadap Properti yang menjadi
agunan.
8
(2) Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b mengacu pada metode dan prinsip yang
berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan
oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang.
Paragraf 3
Tata Cara Penilaian Agunan
Pasal 4
(1) Tata cara penilaian agunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 3 ayat (1) huruf b
ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon
sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah), nilai agunan didasarkan pada taksiran yang
dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai
independen; dan
b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon di
atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah),
nilai agunan didasarkan pada taksiran yang
dilakukan oleh penilai independen.
(2) Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada metode dan prinsip yang berlaku
umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh
asosiasi dan/atau institusi yang berwenang.
(3) Contoh penetapan penilai agunan tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
9
Bagian Kedua
Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
Pasal 5
(1) Bank yang memberikan:
a. KP atau PP untuk fasilitas pertama; dan
b. KP atau PP untuk fasilitas kedua dan seterusnya bagi
Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi),
harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio
FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan
Bank.
(2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
Pasal 6
Bank yang memberikan KP atau PP untuk fasilitas kedua dan
seterusnya wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP sebagai berikut:
a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan
Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ untuk fasilitas kedua
dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter
persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima
persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi), paling tinggi 90% (sembilan puluh persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih
dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi
85% (delapan puluh lima persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih
dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai
10
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling
tinggi 90% (sembilan puluh persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi),
paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan,
paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); dan
b. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas kedua dan seterusnya, ditetapkan
sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 90%
(sembilan puluh persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari
21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 95%
(sembilan puluh lima persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 70m2
(tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 90%
(sembilan puluh persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua
puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi), paling tinggi 90% (sembilan
puluh persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi), paling tinggi
90% (sembilan puluh persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan, paling tinggi 90% (sembilan
puluh persen).
Pasal 7
(1) Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV
untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal
6 berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
11
a.
rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima
persen); dan
b. rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah secara
bruto kurang dari 5% (lima persen).
(2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio
Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan rasio KP bermasalah atau rasio PP
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
didasarkan pada LBU atau LSMK BUS UUS periode 2 (dua)
bulan sebelumnya.
Pasal 8
Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi
ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai
berikut:
a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan
Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ untuk fasilitas
pertama ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter
persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima
persen);
2. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih
dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi
85% (delapan puluh lima persen); dan
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih
dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling
tinggi 95% (sembilan puluh lima persen);
b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan
Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ untuk fasilitas kedua
ditetapkan sebagai berikut:
12
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter
persegi), paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima
persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih
dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi
75% (tujuh puluh lima persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih
dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling
tinggi 85% (delapan puluh lima persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi),
paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan,
paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen);
c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan
Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ untuk fasilitas ketiga
dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter
persegi), paling tinggi 65% (enam puluh lima persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi), paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih
dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi
65% (enam puluh lima persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih
dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling
tinggi 75% (tujuh puluh lima persen);
13
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi),
paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan,
paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen);
d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 90%
(sembilan puluh persen);
2. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 70m2
(tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 90%
(sembilan puluh persen); dan
3. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua
puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi), paling tinggi 95% (sembilan
puluh lima persen);
e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 80%
(delapan puluh persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari
21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 85%
(delapan puluh lima persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 70m2
(tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 80%
(delapan puluh persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua
puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi), paling tinggi 85% (delapan
puluh lima persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi), paling tinggi
85% (delapan puluh lima persen); dan
14
6. PP Ruko atau PP Rukan, paling tinggi 85% (delapan
puluh lima persen); dan
f.
Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad
IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan
sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 70%
(tujuh puluh persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari
21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 75%
(tujuh puluh lima persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 70m2
(tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 70% (tujuh
puluh persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua
puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh
puluh meter persegi), paling tinggi 75% (tujuh puluh
lima persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan
21m2 (dua puluh satu meter persegi), paling tinggi
75% (tujuh puluh lima persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan, paling tinggi 75% (tujuh
puluh lima persen).
Pasal 9
(1) Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan memberikan:
a. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi), untuk fasilitas pertama;
b. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas
bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu
meter persegi), untuk fasilitas pertama dan
seterusnya;
15
c. KP Rusun atau PP Rusun dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi),
untuk fasilitas pertama; dan
d. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan,
untuk fasilitas pertama,
harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio
FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan
Bank.
(2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
Pasal 10
Dalam menentukan urutan fasilitas KP atau PP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 9, Bank
wajib memperhitungkan seluruh KP dan PP yang telah diterima
debitur atau nasabah yang masih berjalan di Bank yang sama
maupun Bank lainnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. berdasarkan urutan tanggal perjanjian KP atau akad PP;
dan
b. dalam hal terdapat tanggal perjanjian KP atau akad PP
yang sama maka penentuan urutan fasilitas diawali dari
KP atau PP dengan nilai agunan paling rendah.
Bagian Ketiga
Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP bagi Properti
Berwawasan Lingkungan
Pasal 11
(1) Bagi Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan
Properti Berwawasan Lingkungan berlaku ketentuan
sebagai berikut:
16
a. Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP
dan Rasio FTV untuk PP paling tinggi ditambah 5%
(lima persen) atas Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV
untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a serta huruf b angka 1 dan angka 3 sampai
dengan angka 6; dan
b. Bank harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk
KP dan Rasio FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai
dengan kebijakan Bank untuk:
1.
fasilitas pertama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a;
2.
fasilitas kedua dan seterusnya bagi KP atau PP
Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai
dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf b; dan
3.
fasilitas kedua dan seterusnya bagi PP Rumah
Tapak dengan Akad MMQ dan Akad IMBT
dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua
puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf b angka 2,
dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian Kredit atau Pembiayaan.
(2) Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV
untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
bagi Bank yang memenuhi persyaratan rasio sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
Pasal 12
Dalam hal Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan
Properti Berwawasan Lingkungan tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) maka berlaku
ketentuan sebagai berikut:
17
a. Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP paling tinggi ditambah 5% (lima
persen) atas Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a angka 1 dan
angka 2, huruf b, huruf c, huruf d angka 1 dan angka 2,
huruf e, dan huruf f; dan
b. Bank harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan
kebijakan Bank untuk:
1.
fasilitas pertama bagi KP Rumah Tapak atau PP
Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 21m2
(dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a;
2.
fasilitas pertama dan seterusnya bagi KP Rumah
Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas bangunan
sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
b;
3.
fasilitas pertama bagi KP Rusun atau PP Rusun
dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua
puluh satu meter persegi) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c;
4.
fasilitas pertama bagi KP Rusun atau PP Rusun
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ
dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh
satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf a angka 3;
5.
fasilitas pertama bagi PP Rusun berdasarkan Akad
MMQ dan Akad IMBT dengan luas bangunan lebih
dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai
dengan 70m2
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d angka
3; dan
(tujuh puluh meter persegi)
18
6.
fasilitas pertama bagi KP Ruko atau KP Rukan dan PP
Ruko atau PP Rukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf d,
dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian Kredit atau Pembiayaan.
Pasal 13
Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia
terkait pemberian KP atau PP untuk pemilikan Properti
Berwawasan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 dan Pasal 12.
Pasal 14
Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV untuk KP atau
Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
sampai dengan Pasal 12 tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Bagian Keempat
Penghitungan Rasio Kredit Bermasalah, Rasio Pembiayaan
Bermasalah, Rasio KP Bermasalah, dan Rasio PP Bermasalah
Pasal 15
(1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio
Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf a diatur dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. penghitungan rasio Kredit bermasalah secara bruto
merupakan persentase dari hasil penjumlahan Kredit
kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas
kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan
dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank;
dan
b. penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara
bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan
Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan
19
kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak
ketiga bukan bank.
(2) Penghitungan rasio KP bermasalah dan rasio PP
bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf b diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penghitungan rasio KP bermasalah secara bruto
merupakan persentase dari hasil penjumlahan KP
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
dibandingkan dengan total KP;
b. penghitungan rasio PP bermasalah secara bruto
merupakan persentase dari hasil penjumlahan PP
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
dibandingkan dengan total PP; dan
c. PP yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud
dalam huruf b yaitu PP yang menggunakan Akad
Murabahah, Akad Istishnaโ, Akad MMQ, dan Akad
IMBT.
(3) Bagi BUK yang memiliki UUS, penghitungan rasio Kredit
bermasalah dan rasio KP bermasalah bagi BUK dilakukan
secara terpisah dengan penghitungan rasio Pembiayaan
bermasalah dan rasio PP bermasalah bagi UUS.
Bagian Kelima
Sumber Data, Nilai yang Digunakan, dan Laporan Lain
Pasal 16
(1) Penetapan masing-masing komponen dalam penghitungan
rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) huruf a dan rasio KP bermasalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a
dilakukan berdasarkan LBU periode 2 (dua) bulan sebelum
tanggal perjanjian KP ditandatangani.
(2) Penetapan masing-masing komponen dalam penghitungan
rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dan rasio PP bermasalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b
20
dilakukan berdasarkan LSMK BUS UUS periode 2 (dua)
bulan sebelum tanggal akad PP ditandatangani.
Pasal 17
(1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) menggunakan nilai
Kredit bermasalah dan nilai total Kredit yang diperoleh dan
dihitung dari LBU dalam Formulir 11 Daftar Rincian Kredit
yang Diberikan.
(2) Penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menggunakan nilai
Pembiayaan bermasalah dan nilai total Pembiayaan yang
diperoleh dan dihitung dari LSMK BUS UUS pada:
a. Formulir 10 Daftar Rincian Piutang Murabahah
untuk Akad Murabahah;
b. Formulir 11 Daftar Rincian Piutang Istishnaโ untuk
Akad Istishnaโ;
c. Formulir 12 Daftar Rincian Piutang Qardh untuk Akad
Qardh;
d. Formulir 13 Daftar Rincian Pembiayaan Bagi Hasil
untuk akad bagi hasil; dan
e. Formulir 14 Daftar Rincian Pembiayaan Sewa untuk
akad sewa.
(3) Penghitungan rasio KP bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) menggunakan nilai KP
bermasalah dan total KP yang diperoleh dan dihitung dari
LBU dalam Formulir 11 Daftar Rincian Kredit yang
Diberikan.
(4) Rincian sumber data untuk penghitungan rasio Kredit
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dan penghitungan rasio KP
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
21
Pasal 18
(1) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat
dipenuhi dari LBU atau LSMK BUS UUS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 maka Bank Indonesia dapat
meminta Bank untuk menyampaikan laporan lain.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melalui media surat elektronik
sampai dengan batas waktu yang ditetapkan.
(3) Laporan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa laporan PP.
(4) Penyampaian Laporan PP sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan sampai dengan LSMK BUS UUS dapat
memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung
rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16.
(5) Penetapan batas waktu penghentian penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4)
diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank.
Bagian Keenam
Kewajiban Administratif
Pasal 19
(1) Dalam menetapkan Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk
PP, dan penetapan urutan fasilitas KP dan PP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8,
dan Pasal 9, Bank wajib:
a. memperlakukan debitur dan suami atau istri debitur
menjadi 1 (satu) debitur, atau nasabah dan suami
atau istri nasabah menjadi 1 (satu) nasabah, kecuali
terdapat perjanjian pemisahan harta;
b. meminta surat pernyataan dari calon debitur atau
calon nasabah yang memuat keterangan mengenai:
1. KP dan/atau PP yang masih dimiliki baik untuk
pemilikan Properti yang telah tersedia maupun
Properti yang belum tersedia secara utuh;
22
2. KP atau PP yang sedang dalam proses pengajuan
permohonan baik untuk pemilikan Properti yang
telah tersedia maupun Properti yang belum
tersedia secara utuh;
3. KP atau PP yang merupakan Kredit tambahan
atau Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit
atau Pembiayaan yang tidak lancar;
4. KP atau PP yang diambil alih dan disertai Kredit
tambahan atau Pembiayaan baru yang berasal
dari Kredit atau Pembiayaan yang tidak lancar;
dan/atau
5. keterangan terkait lainnya,
baik pada Bank yang sama maupun pada Bank yang
lain; dan
c. menolak permohonan KP dan/atau PP yang diajukan
apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia
menyerahkan surat pernyataan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b.
(2) Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV untuk KP
atau Rasio FTV untuk PP serta penetapan urutan fasilitas
KP dan PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran II.
Bagian Ketujuh
Kredit Tambahan atau Pembiayaan Baru Berdasarkan Properti
yang Masih Menjadi Agunan dari KP atau PP Sebelumnya dan
KP atau PP yang Diambil Alih
Paragraf 1
Kredit Tambahan atau Pembiayaan Baru Berdasarkan Properti
yang Masih Menjadi Agunan dari KP atau PP Sebelumnya
Pasal 20
(1) Dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan atau
Pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih
menjadi agunan dari KP atau PP sebelumnya, Bank wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
23
a. pemberian Kredit tambahan oleh BUK yang
merupakan tambahan dari KP sebelumnya
menggunakan Rasio LTV KP sebelumnya sepanjang
Kredit tambahan tersebut menggunakan agunan
yang sama dan KP sebelumnya memiliki kualitas
lancar;
b. pemberian Pembiayaan baru oleh BUS atau UUS yang
merupakan tambahan dari PP sebelumnya
menggunakan Rasio FTV PP sebelumnya sepanjang
kedua Pembiayaan tersebut menggunakan agunan
yang sama dan PP sebelumnya memiliki kualitas
lancar;
c. dalam hal Kredit tambahan tidak menggunakan
agunan yang sama dan/atau KP sebelumnya tidak
memiliki kualitas lancar sebagaimana dimaksud
dalam huruf a maka Kredit tambahan menggunakan
Rasio LTV untuk KP sebagaimana Kredit baru;
d. dalam hal Pembiayaan baru tidak menggunakan
agunan yang sama dan/atau PP sebelumnya tidak
memiliki kualitas lancar sebagaimana dimaksud
dalam huruf b maka Pembiayaan baru tersebut
menggunakan Rasio FTV untuk PP sebagaimana
Pembiayaan baru;
e. dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan
sebagaimana dimaksud dalam huruf c maka dalam
menetapkan Rasio LTV untuk KP selanjutnya, Bank
memperhitungkan KP awal dan Kredit tambahan
tersebut sebagai 2 (dua) fasilitas;
f.
Rasio LTV untuk KP bagi Kredit tambahan dan Rasio
FTV untuk PP bagi Pembiayaan baru sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e
mengacu pada Rasio LTV untuk KP atau Rasio FTV
untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 8, atau Pasal 9; dan
g. jumlah Kredit tambahan atau Pembiayaan baru yang
diberikan oleh Bank memperhitungkan jumlah baki
24
debet KP atau PP sebelumnya yang menggunakan
agunan yang sama.
(2) Mekanisme pemberian Kredit tambahan atau Pembiayaan
baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d mengacu pada ketentuan yang
dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.
Paragraf 2
KP atau PP yang Diambil Alih
Pasal 21
(1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan
mengambil alih KP atau PP dari Bank lain, Bank wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. KP atau PP yang hanya ditujukan untuk pelunasan
KP atau PP sebelumnya di Bank lain, tidak
diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru;
atau
b. dalam hal Bank mengambil alih KP atau PP dari Bank
lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai
dengan Kredit tambahan atau disertai dengan
Pembiayaan baru maka perlakuan KP atau PP dengan
mengambil alih KP atau PP dari Bank lain tersebut
mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20.
(2) Mekanisme pengambilalihan KP atau PP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang
dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.
Pasal 22
Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV untuk Kredit
tambahan dan Rasio FTV untuk Pembiayaan baru dan
pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan
Pasal 21 tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
25
Bagian Kedelapan
KP atau PP untuk Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh
Paragraf 1
Persyaratan KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang Belum
Tersedia Secara Utuh
Pasal 23
(1) Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan:
1. rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) huruf a dan rasio KP bermasalah atau
rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b;
2. memiliki perjanjian kerja sama antara Bank
dengan pengembang yang paling sedikit memuat
kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan
Properti sesuai dengan yang diperjanjikan
dengan debitur atau nasabah; dan
3. memiliki jaminan yang diberikan oleh
pengembang atau pihak lain kepada Bank:
a) yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan kewajiban pengembang
apabila Properti tidak dapat diselesaikan
dan/atau tidak dapat diserahterimakan
sesuai dengan perjanjian; dan
b) dengan nilai jaminan paling sedikit selisih
antara komitmen KP atau PP dengan
pencairan KP atau PP yang telah dilakukan
oleh Bank; dan
b. tidak melanggar jumlah fasilitas KP atau PP untuk
pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh
yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
26
(2) Ketentuan mengenai jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a angka 3 diatur sebagai berikut:
a. jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada
Bank meliputi aset tetap, aset bergerak, bank
guarantee, standby letter of credit, dan/atau dana
yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow
account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan;
b. jaminan yang diberikan oleh pihak lain kepada Bank
meliputi corporate guarantee, standby letter of credit,
bank guarantee, dan/atau dana yang dititipkan
dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank
pemberi Kredit atau Pembiayaan;
c. dana yang dititipkan dan/atau yang disimpan dalam
escrow account di Bank pemberi Kredit atau
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan huruf b merupakan dana yang ditahan atas nama
pengembang, yang digunakan untuk menyelesaikan
pembangunan Properti; dan
d. Bank harus dapat memastikan bahwa jaminan dapat
dieksekusi dalam hal pengembang tidak dapat
menyelesaikan kewajibannya, yang paling sedikit
tertuang dalam perjanjian kerja sama antara
pengembang dengan Bank.
(3) Jumlah fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang
belum tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b ditetapkan paling banyak 5 (lima) fasilitas
KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia
secara utuh.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi Bank yang memberikan KP atau PP untuk
pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh
dengan mengambil alih KP atau PP dari Bank lain.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4) tidak berlaku dalam hal Properti telah
tersedia secara utuh yang dibuktikan dengan adanya
berita acara serah terima.
27
(6) Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV dan Rasio
FTV untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara
utuh tercantum dalam Lampiran V yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Paragraf 2
Tahapan Pencairan KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang
Belum Tersedia Secara Utuh
Pasal 24
(1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 maka Bank wajib melakukan
pencairan KP atau PP secara bertahap.
(2) Pencairan KP atau PP secara bertahap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari plafon
setelah tanda tangan perjanjian KP atau PP, tanpa
diperlukan penilaian perkembangan pembangunan;
b. paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari plafon
setelah pencairan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a sampai dengan penyelesaian fondasi,
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan;
c.
paling tinggi 90% (sembilan puluh persen) dari plafon
setelah pencairan sebagaimana dimaksud dalam
huruf b sampai dengan penyelesaian tutup atap,
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan;
dan
d. sebesar 100% (seratus persen) dari plafon setelah
penandatanganan berita acara serah terima yang
dilengkapi dengan akta jual beli dan akta
pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa
membebankan hak tanggungan.
(3) Pencairan bertahap dan penilaian perkembangan
pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
28
b dan huruf c wajib didasarkan atas laporan
perkembangan pembangunan yang berasal dari:
a. pengembang dengan verifikasi dari penilai intern
Bank; atau
b. penilai independen.
Bagian Kesembilan
Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian KP atau PP
Pasal 25
(1) Dalam implementasi pengaturan Rasio LTV untuk KP dan
Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 sampai dengan Pasal 24, Bank wajib mematuhi prinsip
kehati-hatian dalam pemberian KP atau PP dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. memastikan bahwa tidak terjadi pengalihan KP atau
PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia
secara utuh kepada debitur atau nasabah lain baik
pada Bank yang sama maupun pada Bank lain,
untuk jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun;
b. memperhatikan kemampuan debitur atau nasabah
untuk menyelesaikan kewajiban KP atau PP;
c. memperhatikan kelayakan usaha pengembang terkait
penyelesaian properti yang belum tersedia secara
utuh; dan
d. memastikan bahwa transaksi dalam pemberian KP
atau PP harus dilakukan melalui rekening debitur
atau nasabah kepada rekening pengembang atau
penjual yang berada di Bank.
(2) Bank dapat mengalihkan KP atau PP untuk pemilikan
Properti yang belum tersedia secara utuh sebelum jangka
waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a untuk KP atau PP bermasalah.
29
BAB III
PENGATURAN UANG MUKA KKB ATAU PKB
Bagian Kesatu
Uang Muka KKB atau PKB
Pasal 26
Bank yang memberikan KKB atau PKB wajib memenuhi
ketentuan Uang Muka sebagai berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling
sedikit 15% (lima belas persen); dan
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih
yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling
sedikit 15% (lima belas persen).
Pasal 27
(1) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 berlaku bagi Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan
bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima
persen); dan
b. rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah
secara neto kurang dari 5% (lima persen).
(2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio
Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan rasio KKB bermasalah atau rasio PKB
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
didasarkan pada LBU atau LSMK BUS UUS periode 2 (dua)
bulan sebelumnya.
Pasal 28
Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi
ketentuan Uang Muka sebagai berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling
sedikit 20% (dua puluh persen); dan
30
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih
yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen).
Pasal 29
(1) Bank yang memberikan KKB atau PKB untuk pembelian
kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang
diperuntukkan bagi kegiatan produktif, wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memberikan KKB atau PKB dengan Uang Muka
paling sedikit 10% (sepuluh persen); dan
b. memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk
angkutan orang atau barang yang dikeluarkan
oleh pihak berwenang; atau
2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum
yang memiliki izin usaha tertentu yang
dikeluarkan oleh pihak berwenang dan
digunakan untuk mendukung kegiatan
operasional dari usaha yang dimilikinya.
(2) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a berlaku bagi Bank yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1).
(3) Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) maka
Bank yang memberikan KKB atau PKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi
ketentuan Uang Muka paling sedikit 15% (lima belas
persen).
Pasal 30
(1) Bank yang memberikan KKB atau PKB untuk pembelian
Kendaraan Bermotor Berwawasan Lingkungan wajib
memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua,
paling sedikit 10% (sepuluh persen);
31
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan
produktif, paling sedikit 10% (sepuluh persen); dan
c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih yang diperuntukkan bagi kegiatan produktif,
paling sedikit 5% (lima persen).
(2) Ketentuan Uang Muka untuk KKB atau PKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1).
(3) Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) maka
Bank wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai
berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua
paling sedikit 15% (lima belas persen);
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan
produktif paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan
c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih yang diperuntukkan bagi kegiatan produktif
paling sedikit 10% (sepuluh persen).
(4) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia terkait pemberian KKB atau PKB untuk
pembelian Kendaraan Bermotor Berwawasan Lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3).
Pasal 31
Contoh penghitungan dan penetapan Uang Muka KKB dan PKB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal
30 tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
32
Bagian Kedua
Penghitungan Rasio Kredit Bermasalah, Rasio Pembiayaan
Bermasalah, Rasio KKB Bermasalah, dan Rasio PKB
Bermasalah
Pasal 32
(1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio
Pembiayaan bermasalah diatur dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. penghitungan rasio Kredit bermasalah secara bruto
merupakan persentase dari hasil penjumlahan Kredit
kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas
kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan
dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank;
dan
b. penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara
bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan
Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan
kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak
ketiga bukan bank.
(2) Penghitungan rasio KKB bermasalah dan rasio PKB
bermasalah diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penghitungan rasio KKB bermasalah secara neto
merupakan persentase dari hasil penjumlahan KKB
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai
KKB bermasalah dibandingkan dengan total KKB
setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai
KKB bermasalah; dan
b. penghitungan rasio PKB bermasalah secara neto
merupakan persentase dari hasil penjumlahan PKB
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai
PKB bermasalah dibandingkan dengan total PKB
setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai
PKB bermasalah.
33
Bagian Ketiga
Sumber Data, Laporan Lain, dan Nilai yang Digunakan
Pasal 33
(1)
Penetapan masing-masing komponen dalam penghitungan
rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (1) huruf a dan rasio KKB bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a dilakukan
berdasarkan LBU periode 2 (dua) bulan sebelum tanggal
perjanjian Kredit ditandatangani.
(2)
Penetapan masing-masing komponen dalam penghitungan
rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (1) huruf b dan rasio PKB bermasalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b
dilakukan berdasarkan LSMK BUS UUS periode 2 (dua)
bulan sebelum tanggal akad Pembiayaan ditandatangani.
Pasal 34
(1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 menggunakan nilai Kredit
bermasalah dan nilai total Kredit yang diperoleh dan
dihitung dari LBU dalam Formulir 11 Daftar Rincian Kredit
yang Diberikan.
(2) Penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 menggunakan nilai Pembiayaan
bermasalah dan nilai total Pembiayaan yang diperoleh dan
dihitung dari LSMK BUS UUS pada:
a. Formulir 10 Daftar Rincian Piutang Murabahah
untuk Akad Murabahah;
b. Formulir 11 Daftar Rincian Piutang Istishnaโ untuk
Akad Istishnaโ;
c. Formulir 12 Daftar Rincian Piutang Qardh untuk Akad
Qardh;
d. Formulir 13 Daftar Rincian Pembiayaan Bagi Hasil
untuk akad bagi hasil; dan
e. Formulir 14 Daftar Rincian Pembiayaan Sewa untuk
akad sewa.
34
(3) Penghitungan rasio KKB bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 menggunakan nilai KKB
bermasalah, nilai cadangan kerugian penurunan nilai KKB
bermasalah, dan total KKB yang diperoleh dan dihitung
dari LBU dalam Formulir 11 Daftar Rincian Kredit yang
Diberikan.
(4) Penghitungan rasio PKB bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 menggunakan nilai PKB
bermasalah, nilai cadangan kerugian penurunan nilai PKB
bermasalah, dan total PKB yang diperoleh dan dihitung
dari LSMK BUS UUS pada:
a. Formulir 10 Daftar Rincian Piutang Murabahah
untuk Akad Murabahah;
b. Formulir 11 Daftar Rincian Piutang Istishnaโ untuk
Akad Istishnaโ;
c. Formulir 12 Daftar Rincian Piutang Qardh untuk Akad
Qardh;
d. Formulir 13 Daftar Rincian Pembiayaan Bagi Hasil
untuk akad bagi hasil; dan
e. Formulir 14 Daftar Rincian Pembiayaan Sewa untuk
akad sewa.
(5) Rincian sumber data untuk penghitungan rasio Kredit
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penghitungan rasio KKB
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan
penghitungan rasio PKB bermasalah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran VII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
35
BAB IV
LARANGAN PEMBERIAN KREDIT ATAU
PEMBIAYAAN UANG MUKA
Pasal 35
(1) Bank dilarang memberikan:
a. Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang
Muka bagi KP dan PP kepada debitur atau nasabah;
dan
b. Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang
Muka bagi KKB dan PKB kepada debitur atau
nasabah.
(2) Contoh larangan pemberian Kredit atau Pembiayaan
untuk pemenuhan Uang Muka sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 36
(1) Penyampaian laporan pemberian KP atau PP untuk
pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, laporan PP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), dan laporan pemberian
KKB atau PKB untuk pembelian Kendaraan Bermotor
Berwawasan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (4), diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. periode penyampaian laporan yaitu:
1. untuk laporan bulan berjalan, Bank
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia
paling lambat pada tanggal 20 bulan berikutnya;
dan
2. dalam hal tanggal 20 jatuh pada hari libur maka
Bank menyampaikan laporan pada hari kerja
berikutnya;
36
b. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IX yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
c. disampaikan kepada:
1. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan
dan Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan
Pengawasan LBU dan GWM, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia; atau
2. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan
dan Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan
Pengawasan LBU dan GWM, dengan tembusan
kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
d. Bank mengirimkan laporan kepada Bank Indonesia
melalui surat elektronik setiap bulan dengan subjek
surat elektronik disamakan dengan nama dokumen;
e. laporan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dan
tembusan laporan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat, disampaikan melalui surat
elektronik sesuai dengan daftar alamat surat
elektronik sebagaimana tercantum dalam Lampiran X
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
f. dalam hal penyampaian laporan melalui surat
elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf e
tidak dapat dilakukan maka:
1. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, laporan
disampaikan dalam bentuk salinan lunak (soft
copy) dan salinan keras (hard copy) kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan
Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan
LBU dan GWM, Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350; atau
37
2. bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, laporan
disampaikan dalam bentuk salinan lunak (soft
copy) dan salinan keras (hard copy) kepada
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan
Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan
LBU dan GWM, Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat;
g. batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada huruf f mengikuti ketentuan batas
waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada huruf a;
h. Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai
nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk
untuk menyusun dan menyampaikan laporan, serta
alamat surat elektronik pengirim laporan, termasuk
apabila terdapat perubahannya kepada:
1. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan
dan Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan
Pengawasan LBU dan GWM, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia; atau
2. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan
dan Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan
Pengawasan LBU dan GWM, dengan tembusan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
dan
i. Bank harus menyampaikan nama petugas dan
penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun
dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam huruf h kepada Bank Indonesia sebelum
pelaksanaan penyampaian laporan pertama kali.
(2) Dalam hal Bank tidak memberikan KP atau PP untuk
pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan, tidak
38
memberikan PP, dan/atau tidak memberikan KKB atau
PKB untuk pembelian Kendaraan Bermotor Berwawasan
Lingkungan, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diisi dengan isian nihil.
BAB VI
EVALUASI KEBIJAKAN LOAN TO VALUE UNTUK KP,
FINANCING TO VALUE UNTUK PP, DAN
UANG MUKA UNTUK KKB ATAU PKB
Pasal 37
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi terhadap kebijakan:
a.
b. Uang Muka untuk KKB atau PKB,
paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun.
(2) Evaluasi terhadap kebijakan loan to value untuk KP dan
financing to value untuk PP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan terhadap besaran Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP, pengaturan Kredit
tambahan atau Pembiayaan baru yang menggunakan
agunan yang sama dan KP atau PP yang diambil alih, KP
atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia
secara utuh, dan/atau hal lain terkait kebijakan loan to
value untuk KP dan financing to value untuk PP.
(3) Evaluasi terhadap kebijakan Uang Muka untuk KKB atau
PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan terhadap besaran Uang Muka untuk KKB atau
PKB dan jenis penggunaan KKB atau PKB dan/atau hal
lain terkait kebijakan Uang Muka untuk KKB atau PKB.
(4) Hasil evaluasi terhadap kebijakan loan to value untuk KP,
financing to value untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB
atau PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
penetapan:
a. tidak terdapat perubahan kebijakan; atau
b. terdapat perubahan kebijakan.
loan to value untuk KP dan financing to value untuk
PP; dan
39
(5) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank.
BAB VII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 38
(1) Bank yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia mengenai rasio loan to value untuk kredit
properti, rasio financing to value untuk pembiayaan
properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan
kendaraan bermotor dikenai sanksi administratif berupa:
a. sanksi teguran tertulis; dan/atau
b. sanksi kewajiban membayar.
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan
mendebit rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia.
(3) Contoh penghitungan sanksi kewajiban membayar
tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/22/PADG/2018 tanggal 18 September 2018 tentang Rasio
Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value
untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau
Pembiayaan Kendaraan Bermotor, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 40
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
40
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Desember 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
1
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/25/PADG/2019
TENTANG
RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO
VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT
ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
I. UMUM
Untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan yang
seimbang dan berkualitas dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
nasional, Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan kebijakan
makroprudensial mengenai Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan
Uang Muka untuk KKB atau PKB yang dimuat dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit
Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang
Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/13/PBI/2019
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018
tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value
untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan
Kendaraan Bermotor. Pelonggaran kebijakan termasuk penetapan Rasio
LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP bagi pemilikan Properti Berwawasan
Lingkungan, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB bagi pembelian
Kendaraan Bermotor Berwawasan Lingkungan dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional serta tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen.
2
Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio
Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk
Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang mengatur mengenai
mekanisme pelaksanaan ketentuan rasio loan to value untuk kredit
properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang
muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โasosiasi yang berwenangโ antara lain
Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI).
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan โdepositโ adalah uang yang
harus diserahkan oleh nasabah kepada BUS atau UUS
untuk kepemilikan Properti yang dilakukan dengan
Akad IMBT.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
3
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
KP atau PP untuk fasilitas pertama diberikan bagi Rumah
Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Toko atau Rumah Kantor
dengan luas bangunan:
1. di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi);
2. lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai
dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan
3. sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โprinsip kehati-hatianโ adalah prinsip
kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai permodalan
bank, kualitas aset, dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โprinsip kehati-hatianโ adalah prinsip
kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
4
perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai permodalan
bank, kualitas aset, dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Formula penghitungan rasio Kredit bermasalah secara bruto
yaitu sebagai berikut:
jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank
total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank
x 100%
Keterangan:
Jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank
merupakan penjumlahan Kredit kualitas kurang lancar,
Kredit kualitas diragukan, dan Kredit kualitas macet.
Huruf b
Formula penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara
bruto yaitu sebagai berikut:
jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank
total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank
x 100%
Keterangan:
Jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan
bank merupakan penjumlahan Pembiayaan kualitas kurang
5
lancar, Pembiayaan kualitas diragukan, dan Pembiayaan
kualitas macet.
Ayat (2)
Huruf a
Formula penghitungan rasio KP bermasalah secara bruto
yaitu sebagai berikut:
jumlah KP kualitas kurang lancar + KP kualitas diragukan + KP kualitas macet
Total KP
Huruf b
Formula penghitungan rasio PP bermasalah secara bruto
adalah sebagai berikut:
jumlah PP kualitas kurang lancar + PP kualitas diragukan + PP kualitas macet
Total PP
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Contoh:
Dalam hal penandatanganan perjanjian KP atau akad PP dilakukan
pada bulan Desember 2020 maka penghitungan rasio Kredit
bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah dan penghitungan
rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah dilakukan berdasarkan
LBU atau LSMK BUS UUS untuk data bulan Oktober 2020.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โlaporan lainโ antara lain berupa laporan
PP untuk BUS dan UUS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
x 100%
x 100%
6
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Informasi kepada Bank mengenai penghentian penyampaian
laporan dilakukan melalui surat dan/atau penyempurnaan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Perjanjian pemisahan harta dibuktikan dengan fotokopi
perjanjian yang disahkan atau dilegalisir oleh notaris.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โmenggunakan Rasio LTV KP
sebagaimana Kredit baruโ adalah tambahan Kredit
diperhitungkan sebagai fasilitas KP yang berikutnya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โmenggunakan Rasio FTV PP
sebagaimana Pembiayaan baruโ adalah tambahan
Pembiayaan diperhitungkan sebagai fasilitas PP yang
berikutnya.
Huruf e
Cukup jelas.
7
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โbelum tersedia secara utuhโ adalah
belum siap diserahterimakan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โdana yang ditahan atas nama
pengembangโ adalah dana yang digunakan untuk
menyelesaikan kewajiban pengembang apabila Properti tidak
dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan
sesuai dengan perjanjian, termasuk apabila pengembang
tidak dapat menyelesaikan akta jual beli dan akta
pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa
membebankan hak tanggungan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam menghitung jumlah fasilitas KP atau PP yang diberikan
untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh, Bank
memperhitungkan fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk
8
pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh yang telah
diberikan oleh Bank yang sama maupun Bank lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pencairan setelah
penandatanganan perjanjian KP atau PP.
Huruf b
Bank dapat melakukan pencairan lebih dari 1 (satu) kali
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan untuk
masing-masing pencairan.
Huruf c
Bank dapat melakukan pencairan lebih dari 1 (satu) kali
berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan untuk
masing-masing pencairan.
Huruf d
Dalam hal akta jual beli dan akta pembebanan hak
tanggungan atau surat kuasa membebankan hak
tanggungan belum tersedia maka untuk pencairan plafon
dapat dilaksanakan setelah Bank menerima berita acara
serah terima dan cover note dari notaris atau pejabat
pembuat akta tanah (PPAT).
Cover note dari notaris atau PPAT antara lain memuat
informasi mengenai penyelesaian akta jual beli dan akta
pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa
membebankan hak tanggungan tersebut dan kesanggupan
dari notaris atau PPAT untuk menyerahkan akta jual beli dan
9
akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa
membebankan hak tanggungan.
Ayat (3)
Besaran persentase pencairan bertahap diserahkan kepada Bank
sesuai dengan kebijakan Bank dengan tetap memperhatikan
prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun dihitung sejak
tanggal perjanjian KP atau PP tersebut.
Contoh:
KP atau PP yang telah diberikan sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang
Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to
Value untuk Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk
Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, namun belum
melewati waktu 1 (satu) tahun, dihitung sejak tanggal
perjanjian KP atau PP tersebut.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk dalam transaksi pemberian KP atau PP yaitu
pembayaran uang muka dan pencairan bertahap.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โKP atau PP bermasalahโ adalah KP atau
PP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet.
Pasal 26
Cukup jelas.
10
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Rasio Kredit bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah
Kredit bermasalah dibandingkan dengan total Kredit kepada
pihak ketiga bukan bank.
Yang dimaksud dengan โjumlah Kredit bermasalahโ adalah
jumlah dari Kredit dengan kualitas kurang lancar,
diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan bank.
Rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto diperoleh dari
jumlah Pembiayaan bermasalah dibandingkan dengan total
Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank.
Yang dimaksud dengan โjumlah Pembiayaan bermasalahโ
adalah jumlah dari Pembiayaan dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan
bank.
Huruf b
Rasio KKB bermasalah secara neto diperoleh dari jumlah
KKB bermasalah setelah dikurangi cadangan kerugian
penurunan nilai KKB bermasalah dibandingkan dengan total
KKB setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai
KKB bermasalah.
Yang dimaksud dengan โjumlah KKB bermasalahโ adalah
jumlah dari KKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan,
dan macet.
Rasio PKB bermasalah secara neto diperoleh dari jumlah PKB
bermasalah setelah dikurangi cadangan kerugian
penurunan nilai PKB bermasalah dibandingkan dengan total
PKB setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai
PKB bermasalah.
Yang dimaksud dengan โjumlah PKB bermasalahโ adalah
jumlah dari PKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan,
dan macet.
Yang dimaksud dengan โcadangan kerugian penurunan
nilaiโ adalah cadangan kerugian penurunan nilai
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
11
perudang-undangan yang mengatur mengenai penilaian
kualitas aset bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Huruf a
Formula penghitungan rasio Kredit bermasalah secara bruto
yaitu sebagai berikut:
jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank
total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank
x 100%
Keterangan:
Jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank
merupakan penjumlahan Kredit kualitas kurang lancar,
Kredit kualitas diragukan, dan Kredit kualitas macet.
Huruf b
Formula penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara
bruto yaitu sebagai berikut:
jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank
total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank
x 100%
Keterangan:
Jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan
bank merupakan penjumlahan Pembiayaan kualitas kurang
lancar, Pembiayaan kualitas diragukan, dan Pembiayaan
kualitas macet.
12
Ayat (2)
Huruf a
Formula penghitungan rasio KKB bermasalah secara neto
yaitu sebagai berikut:
jumlah KKB kualitas kurang lancar + KKB kualitas diragukan + KKB kualitas macet
โ cadangan kerugian penurunan nilai KKB bermasalah
Total KKB โ cadangan kerugian penurunan nilai KKB bermasalah
Huruf b
x 100%
Formula penghitungan rasio PKB bermasalah secara neto
yaitu sebagai berikut:
jumlah PKB kualitas kurang lancar + PKB kualitas diragukan + PKB kualitas macet
โ cadangan kerugian penurunan nilai PKB bermasalah
Total PKB โ cadangan kerugian penurunan nilai PKB bermasalah
Pasal 33
Contoh:
Dalam hal penandatanganan perjanjian KKB atau akad PKB dilakukan
pada bulan Desember 2020 maka penghitungan rasio Kredit
bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah dan penghitungan
rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah dilakukan
berdasarkan LBU atau LSMK BUS UUS untuk data bulan Oktober
2020.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Termasuk pengertian debitur atau nasabah antara lain debitur
atau nasabah yang merupakan karyawan Bank yang
bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
x 100%
13
Angka 2
Yang dimaksud dengan โhari liburโ adalah hari Sabtu,
hari Minggu, hari libur nasional, atau hari kerja yang
kemudian ditetapkan sebagai hari libur, termasuk
dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas.
Huruf b
Format laporan disediakan dalam situs web Bank Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Penyampaian nama petugas dan penanggung jawab
dilakukan sebelum penyampaian laporan posisi bulan
Desember 2019.
Contoh:
Bank A akan menyampaikan laporan posisi bulan Desember
2019 kepada Bank Indonesia pada tanggal 20 Januari 2020.
Dengan demikian, Bank A harus menyampaikan nama
petugas dan penanggung jawab sebelum tanggal 20 Januari
2020.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
14
Ayat (2)
Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia
yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi,
moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi
perekonomian global.
Ayat (3)
Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia
yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi,
moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi
perekonomian global.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman dalam situs web
Bank Indonesia untuk hasil evaluasi berupa penetapan tidak
terdapat perubahan kebijakan atau melakukan penyempurnaan
ketentuan untuk hasil evaluasi berupa penetapan terdapat
perubahan kebijakan.
Pasal 38
Ayat (1)
Dalam mengenakan sanksi kepada Bank, Bank Indonesia
memberikan tembusan surat pengenaan sanksi kepada otoritas
yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/25/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR </reg_title>
<set_date> 17 Desember 2019 </set_date>
<effective_date> 17 Desember 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '20/22/PADG/2018' </replaced_reg>
<related_reg> '21/13/PBI/2019', '20/8/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/ 18 /PADG/2018
TENTANG
TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa kestabilan rupiah perlu didukung dengan upaya
memperkuat cadangan devisa;
c. bahwa untuk memperkuat cadangan devisa, Bank
Indonesia mengembangkan aktivitas lindung nilai yang
terkait dengan kegiatan ekonomi melalui pengembangan
transaksi swap dalam rangka lindung nilai kepada Bank
Indonesia;
d. bahwa
diperlukan penyempurnaan peraturan
pelaksanaan untuk mendukung pengembangan transaksi
swap dalam rangka lindung nilai kepada Bank Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Transaksi
Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia;
2
Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang
Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 237,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5480)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/13/PBI/2016 tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai
Kepada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 173, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5920);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di
Indonesia, namun tidak termasuk kantor bank berbadan
hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
2. Transaksi Swap Beli Bank kepada Bank Indonesia adalah
transaksi pertukaran dua valuta melalui penjualan tunai
(spot) dengan pembelian kembali secara berjangka yang
dilakukan secara simultan dengan Bank Indonesia dan
pada tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
3. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
adalah transaksi swap beli Bank dalam valuta asing
3
terhadap rupiah, dalam rangka lindung nilai yang
dilakukan antara Bank dengan Bank Indonesia.
4. Underlying Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia yang selanjutnya disebut Underlying Transaksi
adalah kegiatan yang mendasari Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia.
5. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan
lainnya yang berdomisili atau berencana berdomisili di
Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk
perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar
negeri.
6. Pinjaman Luar Negeri adalah kewajiban Penduduk kepada
bukan Penduduk dalam valuta asing.
7.
Investasi Langsung di Indonesia yang selanjutnya disebut
Investasi Langsung adalah investasi jangka panjang
secara langsung, yang tidak melalui pasar modal,
dilakukan oleh investor asing untuk melakukan kegiatan
usaha di wilayah Republik Indonesia.
8. Kontrak Lindung Nilai adalah informasi dari Bank yang
disampaikan kepada Bank Indonesia berisi rencana
jangka waktu dan jumlah Underlying Transaksi yang
digunakan sebagai dasar Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia, melalui sarana transaksi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
9. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya
disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank
kepada Bank Indonesia secara harian, termasuk
penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari
Bank Indonesia.
BAB II
TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK
INDONESIA
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia.
4
(2) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dilakukan dalam valuta asing terhadap rupiah.
(3) Bank yang melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus termasuk dalam klasifikasi Bank yang
melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan peringkat
komposit paling rendah 3 (tiga).
(4) Persyaratan peringkat komposit sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) berlaku juga untuk Bank yang melakukan
perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank
Indonesia.
(5) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi yang
dimiliki oleh Bank atau nasabah;
b. jangka waktu Underlying Transaksi sama dengan
atau lebih panjang daripada jangka waktu Kontrak
Lindung Nilai Bank; dan
c.
nilai nominal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai nominal
Underlying Transaksi.
(6) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, ruang
lingkup Underlying Transaksi meliputi:
a. Pinjaman Luar Negeri Bank dalam bentuk perjanjian
kredit dan/atau penerbitan surat utang; dan/atau
b. dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha).
(7) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, ruang
lingkup Underlying Transaksi meliputi transaksi swap jual
antara Bank dengan nasabah yang terkait Lindung Nilai
atas:
a. Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk perjanjian kredit
dan/atau penerbitan surat utang;
Investasi Langsung;
b.
c. devisa hasil ekspor;
5
d. investasi pada infrastruktur pembangunan sarana
umum dan/atau produksi;
e.
f.
investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia; dan/atau
investasi pada kegiatan ekonomi lainnya.
BAB III
DOKUMEN UNDERLYING TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI
KEPADA BANK INDONESIA
Pasal 3
Dokumen yang digunakan untuk Underlying Transaksi milik
Bank dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6)
berupa:
a. dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar
Negeri Bank dalam bentuk perjanjian kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a maka dokumen
Underlying Transaksi berupa perjanjian kredit (loan
agreement) antara Bank dengan kreditur Bank;
b. dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar
Negeri Bank dalam bentuk penerbitan surat utang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a
maka dokumen Underlying Transaksi berupa laporan
penjualan surat utang, termasuk yang dikeluarkan oleh
global custody; dan
c. dalam hal Underlying Transaksi berupa dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (6) huruf b maka dokumen Underlying
Transaksi berupa:
1) surat dana usaha yang dinyatakan (declared dana
usaha) dari kantor pusat Bank atau dari Bank kepada
otoritas yang berwenang untuk dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha) yang tidak
mengalami perubahan; atau
2) surat persetujuan otoritas yang berwenang atas
perubahan dana usaha yang dinyatakan (declared
6
dana usaha) yang disampaikan kantor pusat Bank
atau Bank untuk dana usaha yang dinyatakan
(declared dana usaha) yang mengalami perubahan.
Pasal 4
Dokumen yang digunakan untuk Underlying Transaksi milik
nasabah dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7)
berupa dokumen transaksi swap jual antara Bank dengan
nasabah dalam bentuk deal ticket atau kontrak.
Pasal 5
Dokumen yang digunakan untuk Underlying Transaksi milik
nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) sebagai
berikut:
a. dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar
Negeri dalam bentuk perjanjian kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) huruf a maka dokumen
Underlying Transaksi berupa perjanjian kredit (loan
agreement) antara nasabah dengan kreditur nasabah;
b. dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar
Negeri dalam bentuk penerbitan surat utang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) huruf a maka dokumen
Underlying Transaksi berupa laporan penjualan surat
utang, termasuk yang dikeluarkan oleh global custody;
c. dalam hal Underlying Transaksi berupa Investasi Langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) huruf b
maka dokumen Underlying Transaksi berupa dokumen
terkait dengan realisasi investasi;
d. dalam hal Underlying Transaksi berupa devisa hasil ekspor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) huruf c
maka dokumen Underlying Transaksi berupa:
1) authenticated Society for Worldwide Interbank
Financial Telecommunication (SWIFT) message MT910
yang berisi informasi penerimaan devisa hasil ekspor;
2) bank guarantee; atau
7
3) dokumen yang berkaitan dengan kegiatan ekspor
yang meliputi:
a) kontrak antara eksportir dengan importir; dan
b) surat pernyataan dari eksportir didukung
dengan bukti kepemilikan valuta asing dalam
bentuk fotokopi tabungan atau fotokopi bilyet
deposito atau dokumen lain yang menyatakan
bahwa valuta asing yang telah dimiliki oleh
eksportir adalah sebagai sumber dana untuk
membiayai kegiatan ekspor;
e. dalam hal Underlying Transaksi berupa investasi pada
infrastruktur pembangunan sarana umum dan/atau
produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7)
huruf d maka dokumen Underlying Transaksi:
1) dalam hal pemilik proyek infrastruktur adalah
pemerintah maka dokumen berupa persetujuan
proyek dari instansi yang berwenang;
2) dalam hal pemilik proyek infrastruktur adalah
lembaga nonpemerintah maka dokumen berupa
persetujuan proyek dari lembaga pemilik proyek;
f. dalam hal Underlying Transaksi berupa investasi pada
surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7)
huruf e maka dokumen Underlying Transaksi berupa
rencana investasi pada surat berharga yang diterbitkan
oleh Pemerintah, dan/atau bukti realisasi investasi pada
surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah.
Pasal 6
Bank Indonesia dapat menetapkan penambahan dokumen
Underlying Transaksi yang terkait dengan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5.
Pasal 7
(1) Dalam hal suatu Underlying Transaksi hanya memiliki 1
(satu) satu jenis valuta asing, Bank dilarang menggunakan
Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari:
8
a. 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai; dan
b. 1 (satu) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia.
(2) Dalam hal suatu Underlying Transaksi memiliki lebih dari
1 (satu) jenis valuta asing, Bank dapat menggunakan
Underlying Transaksi yang sama untuk:
a. lebih dari 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai; dan
b. lebih dari 1 (satu) Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia,
yang dinyatakan dalam masing-masing valuta asing.
(3) Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk lebih dari 1
(satu) Kontrak Lindung Nilai dan 1 (satu) Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan jenis valuta
asing yang sama.
Pasal 8
(1) Bank wajib bertanggung jawab atas kelengkapan
dokumen:
a.
b.
c.
asli dokumen Underlying Transaksi milik Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
asli dokumen Underlying Transaksi milik nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
fotokopi dokumen Underlying Transaksi milik
nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Bank bertanggung jawab untuk menatausahakan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
diterima oleh Bank dari nasabah paling lambat 1 (satu)
bulan setelah tanggal Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia.
9
BAB IV
TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK
INDONESIA
Bagian Kesatu
Pelaksanaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia
Pasal 9
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dilakukan melalui Transaksi Swap Beli Bank kepada Bank
Indonesia dalam valuta asing terhadap rupiah untuk lindung
nilai yang dilakukan antara Bank dengan Bank Indonesia.
Pasal 10
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dilakukan pada setiap hari kerja.
Pasal 11
(1) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dapat memiliki jangka waktu 3 (tiga) bulan, 6 (enam)
bulan, atau 12 (dua belas) bulan, yang dihitung sejak 1
(satu) hari setelah tanggal valuta atau tanggal setelmen
sampai dengan tanggal jatuh waktu.
(2) Tanggal valuta atau tanggal setelmen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah tanggal Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Jenis valuta asing dalam Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia sesuai dengan jenis valuta asing
yang diumumkan oleh Bank Indonesia paling lambat
sebelum window time transaksi dibuka.
(2) Nilai nominal minimum penawaran yang diajukan dalam
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan
kelipatannya diumumkan oleh Bank Indonesia melalui
10
Sistem LHBU dan/atau sarana informasi lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, dengan nilai nominal
penawaran paling banyak sebesar nilai Underlying
Transaksi.
Pasal 13
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam
dolar Amerika Serikat terhadap rupiah menggunakan kurs spot
yaitu kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada
tanggal transaksi.
Pasal 14
(1) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dalam valuta asing selain dolar Amerika Serikat terhadap
rupiah menggunakan kurs spot yaitu kurs tengah
transaksi Bank Indonesia valuta asing terhadap rupiah
pada tanggal transaksi.
(2) Perhitungan kurs tengah transaksi Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan
rumus sebagai berikut:
Kurs Tengah Transaksi
Bank Indonesia
=
Kurs Jual Transaksi
Bank Indonesia
+ Kurs Beli Transaksi
Bank Indonesia
2
Bagian Kedua
Pengumuman Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia
Pasal 15
Bank Indonesia mengumumkan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia paling lambat sebelum window time
transaksi dibuka melalui Sistem LHBU dan/atau sarana
informasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
11
Pasal 16
Window time Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 15
dimulai pukul 14.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB atau
waktu lain yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
Pasal 17
Pengumuman Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 meliputi:
a. jangka waktu transaksi swap;
b. premi swap;
c. tanggal transaksi;
d. window time transaksi;
e. tanggal valuta atau tanggal setelmen;
f. kurs JISDOR atau kurs tengah transaksi Bank Indonesia;
g. jenis valuta asing;
h. jumlah minimum penawaran dan kelipatan penawaran;
i. sarana pengajuan Kontrak Lindung Nilai dan sarana
pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia; dan/atau
informasi lainnya.
j.
Bagian Ketiga
Pengajuan Kontrak Lindung Nilai
Pasal 18
Pengajuan Kontrak Lindung Nilai dilakukan oleh Bank
bersamaan dengan pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia melalui sarana transaksi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 19
Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
berlaku efektif pada tanggal valuta atau tanggal setelmen.
12
Pasal 20
(1) Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 meliputi informasi:
a. nama Bank;
b. jangka waktu Kontrak Lindung Nilai;
c. Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan/atau Pasal 5;
d. jenis valuta asing; dan
e.
nilai nominal Underlying Transaksi
dicantumkan dalam Kontrak Lindung Nilai.
yang
(2) Contoh nilai nominal dan Underlying Transaksi yang
dinyatakan dalam Kontrak Lindung Nilai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 21
Bank bertanggung jawab atas kebenaran data Kontrak Lindung
Nilai yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia
Pasal 22
Bank mengajukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia secara langsung tanpa melalui lembaga perantara.
Pasal 23
Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan
melalui sarana transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 24
Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia memuat informasi sebagai berikut:
a. nama Bank;
13
b. jenis valuta asing;
c.
jenis dokumen Underlying Transaksi;
d. jangka waktu dan nominal Underlying Transaksi yang
tercantum pada Kontrak Lindung Nilai;
e. tanggal transaksi;
f. tanggal valuta atau tanggal setelmen;
g. jangka waktu transaksi;
h. tanggal jatuh waktu;
i.
nilai nominal;
j. nomor rekening valuta asing Bank di bank koresponden;
k. nomor rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia; dan
l.
informasi lainnya dalam hal diperlukan.
Pasal 25
(1) Setiap pengajuan Kontrak Lindung Nilai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 disertai
dengan informasi yang berisi pernyataan Bank bahwa
seluruh persyaratan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia telah dipenuhi.
(2) Dalam hal Bank melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia dengan Underlying Transaksi
berupa dana usaha yang dinyatakan (declared dana
usaha) tanpa informasi jangka waktu atas dana usaha
yang dinyatakan (declared dana usaha) maka pernyataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan
informasi terkait jangka waktu dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha).
(3) Contoh pernyataan Bank mengenai pemenuhan
persyaratan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 26
Setelah Bank Indonesia menerima pengajuan Kontrak Lindung
Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan pengajuan
14
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Bank Indonesia
memberikan nomor referensi kepada Bank untuk setiap
Kontrak Lindung Nilai.
Pasal 27
(1) Dalam hal terjadi koreksi atas pengajuan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22, Bank hanya dapat mengajukan
1 (satu) kali koreksi untuk setiap Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia yang diajukan dalam window
time sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
(2) Dalam hal dilakukan koreksi atas nilai nominal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai nominal
dimaksud harus memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
Pasal 28
Bank bertanggung jawab atas kebenaran data Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang disampaikan
kepada Bank Indonesia.
Pasal 29
Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia
tidak dapat dibatalkan oleh Bank.
Pasal 30
Kontrak Lindung Nilai berakhir apabila Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia telah berakhir dan tidak
dilakukan perpanjangan oleh Bank.
Pasal 31
Bank Indonesia dapat menolak pengajuan Kontrak Lindung
Nilai dan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia.
15
Bagian Kelima
Konfirmasi atas Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia
Pasal 32
Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan konfirmasi
atas pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia yang dilakukan oleh Bank melalui sarana transaksi
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang meliputi:
a. jenis valuta asing;
b. nilai nominal;
c. jangka waktu transaksi;
d. tanggal valuta;
e. tanggal jatuh waktu;
f. kurs JISDOR atau kurs tengah transaksi Bank Indonesia;
g. kurs forward;
h. premi swap;
i. nomor rekening valuta asing Bank di bank koresponden;
j. nomor rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia; dan
k. informasi lainnya dalam hal diperlukan.
Bagian Keenam
Setelmen Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia
Paragraf Satu
Kewajiban Setelmen
Pasal 33
Bank bertanggung jawab atas setelmen Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
16
Paragraf Dua
Setelmen First Leg
Pasal 34
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling lama
2 (dua) hari kerja setelah tanggal Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia dengan mengkredit rekening
giro rupiah Bank sebesar nilai setelmen first leg.
(2) Nilai setelmen first leg sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dihitung sebesar nilai nominal valuta asing yang
diajukan dikalikan dengan:
(a) kurs spot JISDOR dalam hal valuta asing yang
digunakan adalah dolar Amerika Serikat; atau
(b) kurs tengah transaksi Bank Indonesia dalam hal
valuta asing yang digunakan adalah selain dolar
Amerika Serikat.
Pasal 35
(1) Bank wajib menyelesaikan transfer dana valuta asing ke
rekening Bank Indonesia di bank koresponden pada
tanggal valuta atau tanggal setelmen first leg.
(2) Dalam hal pada tanggal setelmen first leg Bank tidak
menyelesaikan transfer dana valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebesar nilai transaksi yang
diajukan maka Bank wajib menyelesaikan transfer dana
valuta asing sebesar nilai transaksi yang diajukan pada
hari kerja berikutnya.
Paragraf Tiga
Setelmen Second Leg
Pasal 36
(1) Pada tanggal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia jatuh waktu atau second leg, Bank Indonesia
melakukan transfer dana valuta asing ke rekening Bank di
bank koresponden sebesar nilai nominal valuta asing pada
setelmen first leg.
17
(2) Bank Indonesia mendebet rekening giro rupiah Bank
sebesar nilai nominal valuta asing pada setelmen first leg
dikalikan kurs setelmen second leg.
(3) Kurs setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah kurs spot saat tanggal transaksi ditambah
premi swap yang dibayarkan Bank kepada Bank
Indonesia.
Pasal 37
(1) Bank wajib menyediakan dana rupiah pada tanggal valuta
atau tanggal setelmen second leg di rekening giro rupiah
Bank pada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal pada tanggal setelmen second leg, Bank tidak
memiliki dana rupiah yang cukup untuk memenuhi
kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
maka Bank wajib menyediakan dana rupiah yang cukup
untuk memenuhi kewajiban setelmen pada hari kerja
berikutnya.
(3) Pembayaran nominal Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui pendebetan rekening giro rupiah
Bank di Bank Indonesia.
Pasal 38
Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia, tanggal setelmen first leg sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dan/atau tanggal setelmen second
leg sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, ditetapkan sebagai
hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan
pada hari kerja berikutnya tanpa memperhitungkan
pengurangan dan/atau penambahan premi untuk hari libur
dimaksud.
18
BAB V
PERPANJANGAN KONTRAK LINDUNG NILAI DAN
PERPANJANGAN TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA
BANK INDONESIA
Bagian Kesatu
Pelaksanaan Perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan
Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia
Pasal 39
(1) Bank dapat mengajukan:
a. perpanjangan Kontrak Lindung Nilai; dan/atau
b. perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada
Bank Indonesia.
(2) Jangka waktu perpanjangan Kontrak Lindung Nilai paling
lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying
Transaksi, dengan perpanjangan kontrak paling lama 3
(tiga) tahun.
(3) Bank dapat mengajukan perpanjangan Transaksi Swap
Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia sepanjang masih
terdapat sisa jangka waktu Kontrak Lindung Nilai.
(4) Jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia adalah 3 (tiga) bulan, 6
(enam) bulan, 12 (dua belas) bulan, atau sesuai dengan
sisa jangka waktu Kontrak Lindung Nilai, dengan jangka
waktu perpanjangan transaksi paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan.
Pasal 40
(1) Bank yang mengajukan perpanjangan Kontrak Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama
sesuai dengan Underlying Transaksi yang tercantum
dalam Kontrak Lindung Nilai awal;
b. dalam hal jenis Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dimiliki oleh Bank maka
19
nilai nominal perpanjangan Kontrak Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai
outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau dana
usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank;
dan
c. jangka waktu perpanjangan Kontrak Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia paling lama sama dengan sisa
jangka waktu Underlying Transaksi, dengan
perpanjangan Kontrak Lindung Nilai paling lama 3
(tiga) tahun.
(2) Bank yang mengajukan perpanjangan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. menggunakan Kontrak Lindung Nilai yang masih
berlaku;
b. menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama
sesuai dengan nomor referensi yang tercantum dalam
Kontrak Lindung Nilai;
c. dalam hal jenis Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dimiliki oleh Bank maka
nilai nominal perpanjangan Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar
nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau
dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha)
Bank; dan
d. jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia adalah 3 (tiga) bulan, 6
(enam) bulan, 12 (dua belas) bulan, atau sesuai
dengan sisa jangka waktu Kontrak Lindung Nilai,
dengan perpanjangan paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan.
(3) Bank yang mengajukan perpanjangan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
wajib
mencantumkan pada deal conversation nomor referensi
Kontrak Lindung Nilai yang sesuai.
20
Pasal 41
(1) Bank mengajukan perpanjangan Kontrak Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja sebelum
Kontrak Lindung Nilai jatuh waktu.
(2) Bank mengajukan perpanjangan Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja
sebelum Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia jatuh waktu.
Pasal 42
(1) Window time pengajuan perpanjangan Kontrak Lindung
Nilai dan/atau Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia adalah pukul 14.00 WIB sampai dengan
pukul 16.00 WIB.
(2) Dalam hal Bank mengajukan perpanjangan Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan jangka
waktu yang sesuai dengan sisa jangka waktu Kontrak
Lindung Nilai selain 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 12 (dua
belas) bulan dengan perpanjangan paling singkat 3 (tiga)
bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan, pengajuan
perpanjangan dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh)
menit setelah window time transaksi dibuka.
Pasal 43
(1) Terhadap pengajuan perpanjangan Transaksi Swap
Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia yang diajukan Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Bank
Indonesia akan menginformasikan langsung kepada Bank
premi swap sesuai jangka waktu yang diajukan Bank,
melalui sarana yang ditetapkan Bank Indonesia selama
window time transaksi.
(2) Bank yang mengajukan perpanjangan Kontrak Lindung
Nilai melakukan prosedur yang sama dengan pengajuan
pada awal Kontrak Lindung Nilai sebagaimana diatur
dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20.
21
(3) Bank yang mengajukan perpanjangan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia melakukan prosedur
yang sama dengan pengajuan pada awal Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 25 serta
Pasal 27 sampai dengan Pasal 30.
(4) Bank yang mengajukan perpanjangan Kontrak Lindung
Nilai dan/atau perpanjangan Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia harus menginformasikan
nomor referensi Kontrak Lindung Nilai yang telah
diberikan Bank Indonesia kepada Bank pada saat
diterimanya pengajuan Kontrak Lindung Nilai awal.
Pasal 44
Bank Indonesia dapat menolak pengajuan perpanjangan
Kontrak Lindung Nilai dan perpanjangan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 40 ayat (2).
Pasal 45
(1) Pengajuan terkait Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia dilakukan dalam bentuk deal conversation
melalui sarana transaksi yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dengan cakupan sebagai berikut:
a. pengajuan Kontrak Lindung Nilai;
b. pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia;
c. perpanjangan Kontrak Lindung Nilai; dan
d. perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia.
(2) Contoh format deal conversation sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
22
Bagian Kedua
Konfirmasi Perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan
Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia
Pasal 46
Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan konfirmasi
atas pengajuan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia melalui sarana transaksi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia yang meliputi:
a. jenis valuta asing;
b. nominal transaksi;
c. jangka waktu transaksi;
d. tanggal valuta;
e. tanggal jatuh waktu;
f. kurs JISDOR atau kurs tengah transaksi Bank Indonesia;
g. kurs forward;
h. premi swap;
i.
nilai nominal netting baik dalam valuta asing maupun
dalam rupiah dalam hal penyelesaian dilakukan secara
netting;
j. nomor rekening Bank di bank koresponden;
k. nomor rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia; dan
l.
informasi lainnya.
Bagian Ketiga
Setelmen Perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan Transaksi
Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia
Pasal 47
(1) Setelmen perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia dapat dilakukan secara netting,
termasuk pada saat perpanjangan Kontrak Lindung Nilai.
(2) Dalam hal Bank melakukan penyelesaian perpanjangan
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
23
secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
harus menginformasikan cara penyelesaian dimaksud
pada saat pengajuan perpanjangan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
Pasal 48
Setelmen secara netting untuk perpanjangan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia termasuk pada saat
perpanjangan Kontrak Lindung Nilai meliputi:
a. netting untuk nilai nominal yang sama pada setiap
perpanjangan;
b. netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap
perpanjangan; atau
c. netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan nilai
outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau dana usaha
yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank pada setiap
periode perpanjangan.
Pasal 49
(1) Setelmen netting untuk nilai nominal yang sama pada
setiap perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 huruf a dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a. nilai setelmen netting untuk nominal rupiah dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
Nilai
Nilai
Setelmen
Netting
= Nominal
Valuta Asing
x
[
Kurs Setelmen 2nd Leg
Transaksi Swap
Lindung Nilai Kepada
Bank Indonesia
Awal
-
Perpanjangan]
Kurs
Setelmen
1st Leg
Saat
b. dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a menghasilkan selisih negatif, Bank Indonesia
mengkredit rekening giro rupiah Bank sebesar hasil
perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
atau
c. dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a menghasilkan selisih positif, Bank Indonesia
mendebet rekening giro rupiah Bank sebesar hasil
perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
24
(2) Contoh perhitungan setelmen netting untuk nilai nominal
yang sama sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV
dan Lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 50
(1) Setelmen netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada
setiap perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 huruf b dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a. nilai setelmen netting untuk valuta asing dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
Nilai
Setelmen
Netting
=
Swap Lindung Nilai
Kepada Bank Indonesia
Awal
Nilai Nominal
Valuta Asing
Saat Transaksi
-
Nilai Nominal
Valuta Asing
Saat Perpanjangan
Transaksi Swap
Lindung Nilai
Kepada Bank Indonesia
b. Bank Indonesia melakukan transfer dana valuta
asing ke rekening Bank di bank koresponden sebesar
nilai setelmen netting sebagaimana dimaksud dalam
huruf a;
c. nilai setelmen netting untuk rupiah dihitung sebagai
berikut:
Nilai
Setelmen
Netting
=
[
Nilai Nominal
Valuta Asing Saat
Transaksi Swap
Lindung Nilai Kepada
Bank Indonesia Awal
x
Kurs Setelmen 2๐๐Leg
Transaksi Swap
Lindung Nilai Kepada
Bank Indonesia
Awal
]
โ
[
Nilai Nominal
Valuta Asing Saat
Perpanjangan Transaksi
Swap Lindung Nilai
Kepada Bank Indonesia
x
Kurs 1๐ ๐กLeg Saat
Perpanjangan Transaksi
Swap Lindung Nilai
Kepada Bank Indonesia
Awal
]
d. dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam
huruf c menghasilkan selisih positif maka Bank
Indonesia mendebet rekening giro rupiah Bank
sebesar hasil perhitungan sebagaimana dimaksud
dalam huruf c; atau
e. dalam hal perhitungan sebagimana dimaksud dalam
huruf c menghasilkan selisih negatif maka Bank
Indonesia mengkredit rekening giro rupiah Bank
sebesar hasil perhitungan sebagaimana dimaksud
dalam huruf c.
(2) Contoh perhitungan setelmen netting untuk nilai nominal
yang lebih kecil pada setiap perpanjangan sebagaimana
25
tercantum dalam Lampiran VI dan Lampiran VII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 51
(1) Setelmen netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan
nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau nilai
dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank
pada setiap periode perpanjangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 huruf c dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman
Luar Negeri Bank dalam bentuk perjanjian kredit
maka nilai perpanjangan Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia disesuaikan dengan nilai
outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank yang telah
berubah sesuai dengan jadwal pembayaran cicilan
Pinjaman Luar Negeri Bank kepada kreditur;
b. dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman
Luar Negeri Bank dalam bentuk penerbitan surat
utang maka nilai perpanjangan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia disesuaikan
dengan nilai outstanding surat utang yang diterbitkan
Bank; atau
c. dalam hal Underlying Transaksi berupa dana usaha
yang dinyatakan (declared dana usaha) maka nilai
perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia disesuaikan dengan nilai dana usaha
yang dinyatakan (declared dana usaha).
(2) Mekanisme perhitungan setelmen netting untuk nilai
nominal yang sesuai dengan nilai outstanding Pinjaman
Luar Negeri Bank atau nilai dana usaha yang dinyatakan
(declared dana usaha) Bank pada setiap periode
perpanjangan mengacu pada mekanisme perhitungan
setelmen netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada
26
setiap perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50.
(3) Contoh perhitungan setelmen netting untuk nilai nominal
yang sesuai dengan nilai outstanding Pinjaman Luar
Negeri Bank atau dana usaha yang dinyatakan (declared
dana usaha) Bank pada setiap periode perpanjangan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB VI
PENIADAAN TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA
BANK INDONESIA
Pasal 52
(1) Bank Indonesia dapat meniadakan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
(2) Peniadaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
termasuk transaksi yang dilakukan dalam rangka
perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan/atau
perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia.
Pasal 53
(1) Bank Indonesia mengumumkan peniadaan Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sebelum tanggal peniadaan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
27
BAB VII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 54
(1) Bank yang melanggar kewajiban terkait persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 7
ayat (1), Pasal 7 ayat (3), Pasal 40 ayat (1), dan/atau Pasal
40 ayat (2) dikenakan sanksi sebagai berikut:
a.
teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,1% (nol koma satu
persen) dari nilai Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia dalam denominasi rupiah
dengan menggunakan:
1) kurs JISDOR untuk Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia dalam dolar
Amerika Serikat terhadap rupiah; dan/atau
2) kurs tengah transaksi Bank Indonesia untuk
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia dalam valuta asing selain dolar
Amerika Serikat terhadap rupiah,
pada tanggal transaksi.
(2) Kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) per Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia.
(3) Bank yang melanggar ketentuan terkait kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan/atau
Pasal 40 ayat (3) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis.
(4) Bank yang melanggar ketentuan terkait setelmen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan/atau
Pasal 37 ayat (1) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1) rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang
berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi
28
ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis
point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360
(satu per tiga ratus enam puluh), untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam
valuta asing dolar Amerika Serikat;
2) rata-rata Bank Indonesia 7-Day (Reverse) Repo
Rate yang berlaku ditambah margin sebesar 350
(tiga ratus lima puluh) basis point dikalikan nilai
transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus
enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran dalam rupiah; atau
3) rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh
bank sentral atau otoritas moneter di negara
valuta yang bersangkutan (official rate) yang
berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi
ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis
point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360
(satu per tiga ratus enam puluh), untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam
valuta asing non-dolar Amerika Serikat.
Pasal 55
(1) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b dilakukan
melalui pendebetan rekening giro rupiah Bank yang
bersangkutan pada Bank Indonesia.
(2) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) huruf b angka 1) atau
angka 2) dilakukan melalui pendebetan rekening giro
valuta asing atau rekening giro rupiah Bank yang
bersangkutan pada Bank Indonesia.
(3) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) huruf b angka 3)
dilakukan melalui pendebetan rekening giro rupiah Bank
yang bersangkutan pada Bank Indonesia dengan konversi
nilai ke rupiah menggunakan kurs tengah Bank Indonesia
pada tanggal penyelesaian transaksi.
29
(4) Bank Indonesia dapat mengubah besaran margin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) huruf b.
Pasal 56
Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai
pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 kepada Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 57
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku maka:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal
28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai
Kepada Bank Indonesia;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/19/DPM tanggal
28 November 2018 perihal Perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari
2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank
Indonesia; dan
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/13/DPM tanggal
24 Mei 2016 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari
2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank
Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 58
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
30
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Agustus 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/ 18 /PADG/2018
TENTANG
TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA
I. UMUM
Sistem keuangan internasional yang semakin kompetitif dan
terintegrasi telah membentuk suatu perekonomian global yang
memudahkan pergerakan arus modal yang berpengaruh terhadap kondisi
likuiditas dan pergerakan nilai tukar rupiah.
Sebagai bagian dari pengelolaan likuiditas dan upaya untuk
meminimalkan risiko nilai tukar perlu dilakukan pendalaman pasar valuta
asing domestik antara lain melalui pengembangan aktivitas transaksi swap
dalam rangka lindung nilai.
Bank Indonesia menyediakan instrumen swap lindung nilai bagi
pelaku pasar domestik yang merupakan bagian dari pendalaman pasar
keuangan yang diharapkan dapat meningkatkan kegiatan investasi
ekonomi di Indonesia khususnya ekspor yang pada gilirannya dapat
memperkuat cadangan devisa.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
3
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Peringkat komposit mengacu pada ketentuan mengenai sistem
penilaian tingkat kesehatan yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Istilah dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha)
merupakan istilah yang digunakan dalam ketentuan yang
mengatur mengenai dana usaha yang diterbitkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan dan/atau ketentuan Bank Indonesia
mengenai pinjaman luar negeri bank.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
4
Pasal 7
Ayat (1)
Contoh:
Pada bulan September 2019 Bank A menandatangani 1 (satu)
perjanjian pinjaman dari luar negeri dalam valuta asing. Jumlah
Pinjaman Luar Negeri yang diterima oleh Bank A sebesar
USD500,000,000.00 (lima ratus juta dolar Amerika Serikat) dan
JPY150,000,000.00 (seratus lima puluh juta yen Jepang). Atas
Pinjaman Luar Negeri tersebut Bank A menyampaikan 2 (dua)
Kontrak Lindung Nilai, yaitu 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai dalam
dolar Amerika Serikat dan 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai dalam
yen Jepang. Selanjutnya Bank A dapat mengajukan 2 (dua)
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, yaitu:
a. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam
dolar Amerika Serikat dengan nilai nominal sebesar
USD500,000,000.00 (lima ratus juta dolar Amerika Serikat)
dan tenor 12 (dua belas) bulan; dan
b. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam
yen Jepang. Bank A melakukan Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia dengan nilai nominal
JPY150,000,000.00 (seratus lima puluh juta yen Jepang) dan
tenor 12 (dua belas) bulan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
5
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Contoh Kontrak Lindung Nilai untuk transaksi swap atas
underlying milik Bank adalah sebagai berikut:
Nama Bank
Jangka Waktu
Underlying
: Bank A
: 2 tahun
: Kontrak Pinjaman Luar Negeri Bank
Jenis Valuta Asing : dolar Amerika Serikat
Nilai Nominal
: USD500 juta
6
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
7
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
8
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
9
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/18/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 21 Agustus 2018 </set_date>
<effective_date> 21 Agustus 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '16/2/DPM|SE-BI/2014', '16/19/DPM|SE-BI/2018', '18/13/DPM|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '18/13/PBI/2016', '15/17/PBI/2013' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/20/PADG/2018
TENTANG
LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna efektivitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia
di sektor moneter, makroprudensial, serta sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang lebih
efektif diperlukan dukungan informasi secara mingguan,
bulanan, triwulanan, dan tahunan yang tersedia secara
tepat waktu, benar, dan lengkap;
b. bahwa untuk menyediakan informasi secara tepat waktu,
benar, dan lengkap diperlukan pengembangan sistem
pelaporan kantor pusat bank umum;
c. bahwa untuk meningkatkan ketersediaan informasi secara
lebih lengkap, diperlukan penyempurnaan laporan serta
pedoman bagi bank dalam menyusun dan menyampaikan
laporan melalui sistem pelaporan kantor pusat bank
umum;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Laporan
Kantor Pusat Bank Umum;
2ii
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/12/PBI/2012
tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 190,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5349);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang
Uang Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6203);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5000) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5275);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri, serta bank umum syariah dan unit usaha
3ii
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
2. Bank Pelapor adalah Bank yang mempunyai kewajiban
menyampaikan laporan kantor pusat bank umum kepada
Bank Indonesia.
3. Sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum, yang
selanjutnya disebut Sistem LKPBU adalah sistem
penerimaan laporan (capturing) yang berbasis web melalui
jaringan ekstranet.
4. Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang selanjutnya
disebut Laporan adalah laporan yang disusun dan
disampaikan oleh Bank Pelapor secara mingguan,
bulanan, triwulanan, dan/atau tahunan kepada Bank
Indonesia melalui Sistem LKPBU.
5. Online adalah penyampaian Laporan yang dilakukan
dengan mengirim rekaman data secara langsung melalui
jaringan komunikasi data kepada Bank Indonesia.
6. Offline adalah penyampaian Laporan yang dilakukan
dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk media
perekaman data elektronik kepada Bank Indonesia.
7. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang
mewilayahi Bank Pelapor, tidak termasuk pada saat Bank
Indonesia menyelenggarakan kegiatan
operasional
terbatas.
BAB II
BANK PELAPOR DAN CAKUPAN LAPORAN
Bagian Kesatu
Bank Pelapor LKPBU
Pasal 2
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan kepada Bank
Indonesia.
(2) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
4ii
a. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional;
b. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara syariah;
c. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri; dan
d. unit usaha syariah.
Bagian Kedua
Cakupan Laporan LKPBU
Pasal 3
Laporan yang disampaikan Bank Pelapor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
a. Laporan yang disusun secara mingguan yaitu laporan
proyeksi arus kas;
b. Laporan yang disusun secara bulanan terdiri atas laporan:
1) kegiatan kustodian;
2) surat kredit berdokumen dalam negeri (SKBDN);
3) penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan
menggunakan kartu (APMK) dan uang elektronik;
4) remittance tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri
dan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia;
5) mutasi rekening pemerintah;
6)
aktivitas Bank sebagai agen penjual produk
non-Bank berupa produk keuangan luar negeri;
7) transaksi perbankan melalui delivery channel
e-banking;
8) structured products berupa data:
a) outstanding transaksi structured products;
b) transaksi structured products yang bermasalah;
9) pejabat eksekutif;
10) jaringan kantor; dan
11) laporan keuangan publikasi bulanan;
c. Laporan yang disusun secara triwulanan terdiri atas
laporan:
1) penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik;
5ii
2)
aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non-
Bank berupa data:
a) bancassurance; dan
b) reksadana;
3) laporan keuangan publikasi triwulanan; dan
4) penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah;
dan
d. Laporan yang disusun secara tahunan yaitu laporan
tenaga kerja perbankan.
BAB III
FORMAT LAPORAN
Bagian Kesatu
Format Laporan yang Disampaikan ke Bank Indonesia
Pasal 4
Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
mengacu pada pedoman penyusunan dan petunjuk teknis
Laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini, dengan menggunakan format sebagai
berikut:
a. Laporan yang disusun secara mingguan berupa laporan
proyeksi arus kas menggunakan form 707;
b. Laporan yang disusun secara bulanan terdiri atas:
1) kegiatan kustodian menggunakan form 101;
2) SKBDN:
a) transaksi SKBDN menggunakan form 201;
b) pembelian wesel SKBDN menggunakan form
202; dan
c) penjualan wesel SKBDN menggunakan form 203;
3) penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik
bulanan:
a) penerbit kartu kredit menggunakan form 301;
b) penerbit selain kartu kredit menggunakan form
302;
6ii
c) acquirer menggunakan form 303;
d) infrastruktur menggunakan form 304;
e) fraud APMK dan uang elektronik mengunakan
form 306;
f) perkembangan layanan keuangan digital (LKD)
menggunakan form 314;
g) transaksi LKD menggunakan form 315;
h) agen LKD menggunakan form 316;
i) permasalahan LKD menggunakan form 317;
j)
kartu kredit per regional menggunakan form 318;
k) kartu kredit per sektor usaha menggunakan form
319;
l)
kartu kredit per kelompok usia menggunakan
form 320;
m) kartu kredit per kelompok penghasilan
pemegang kartu kredit menggunakan form 321;
n) kartu kredit per limit kartu kredit menggunakan
form 322;
o) kartu kredit berdasarkan jenis transaksi
menggunakan form 323; dan
p) informasi nominal revolving rate menggunakan
form 324;
4) remittance:
a)
remittance dari TKI di luar negeri menggunakan
form 401; dan
b) remittance dari TKA di Indonesia menggunakan
form 402;
5) mutasi rekening pemerintah menggunakan form 501;
6)
aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri
menggunakan form 703;
7) transaksi perbankan melalui delivery channel
e-banking menggunakan form 704;
8) structured products berupa data:
a) outstanding transaksi structured products
menggunakan form 705; dan
b) transaksi structured products yang bermasalah
menggunakan form 706;
7ii
9) pejabat eksekutif:
a) pengangkatan, pergantian, dan pemberhentian
pejabat eksekutif menggunakan form 801; dan
b) riwayat pekerjaan individual pejabat eksekutif
menggunakan form 802;
10) jaringan kantor menggunakan form 807; dan
11) laporan keuangan publikasi bulanan menggunakan
form 901;
c. Laporan yang disusun secara triwulanan terdiri atas:
1) penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik
triwulanan berupa penyelenggara kliring dan/atau
penyelesaian akhir (settlement) menggunakan form
305;
2)
aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non-
Bank berupa data:
a) bancassurance menggunakan form 701; dan
b) reksadana menggunakan form 702;
3) laporan keuangan publikasi triwulanan
menggunakan form 902;
4) penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah:
a)
jenis produk dan permasalahan yang diadukan
menggunakan form 601;
b) pengaduan yang diselesaikan dalam masa
laporan menggunakan form 602;
c) penyebab pengaduan menggunakan form 603;
d) publikasi negatif menggunakan form 604; dan
e) penyelesaian sengketa menggunakan form 605;
dan
d. Laporan yang disusun secara tahunan berupa data tenaga
kerja perbankan terdiri atas:
1) struktur tenaga kerja menurut jenjang informasi
pendidikan, status tenaga kerja, jenis kelamin, usia,
pendidikan, dan jabatan menggunakan form 803;
2) perkembangan jumlah tenaga kerja pensiun, pensiun
dini, dan tenaga kerja yang diberhentikan
menggunakan form 804;
8ii
3) prediksi jumlah kebutuhan pegawai berdasarkan
jenis pekerjaan dan kualifikasi menggunakan form
805; dan
4) jumlah dan pelatihan karyawan menggunakan form
806.
Bagian Kedua
Format Laporan yang Disampaikan oleh Bank Pelapor
Pasal 5
(1) Kantor pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional wajib menyampaikan Laporan
dengan format sebagai berikut:
a. form 101;
b. form 201;
c. form 202;
d. form 203;
e. form 301;
f.
form 302;
g. form 303;
h. form 304;
i.
j.
form 305;
form 306;
k. form 314;
l.
form 315;
m. form 316;
n. form 317;
o. form 318;
p. form 319;
q. form 320;
r. form 321;
s. form 322;
t. form 323;
u. form 324;
v. form 401;
w. form 402;
x. form 501;
9ii
y. form 601;
z. form 602;
aa. form 603;
bb. form 604;
cc. form 605;
dd. form 701;
ee. form 702;
ff. form 703;
gg. form 704;
hh. form 705;
ii. form 706;
jj. form 707;
kk. form 801;
ll. form 802;
mm. form 803;
nn. form 804;
oo. form 805;
pp. form 806;
qq. form 807;
rr. form 901; dan
ss. form 902.
(2) Kantor pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah wajib menyampaikan
Laporan dengan format sebagai berikut:
a. form 101;
b. form 201;
c. form 202;
d. form 203;
e. form 301;
f.
form 302;
g. form 303;
h. form 304;
i.
j.
form 305;
form 306;
k. form 314;
l.
form 315;
m. form 316;
10ii
n. form 317;
o. form 318;
p. form 319;
q. form 320;
r. form 321;
s. form 322;
t. form 323;
u. form 324;
v. form 401;
w. form 402;
x. form 501;
y. form 601;
z. form 602;
aa. form 603;
bb. form 604;
cc. form 605;
dd. form 701;
ee. form 702;
ff. form 704;
gg. form 707;
hh. form 801;
ii. form 802;
jj. form 803;
kk. form 804;
ll. form 805;
mm. form 806;
nn. form 807;
oo. form 901; dan
pp. form 902.
(3) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri wajib menyampaikan Laporan dengan format
sebagai berikut:
a. form 101;
b. form 201;
c. form 202;
d. form 203;
e. form 301;
11ii
f.
form 302;
g. form 303;
h. form 304;
i.
j.
form 305;
form 306;
k. form 314;
l.
form 315;
m. form 316;
n. form 317;
o. form 318;
p. form 319;
q. form 320;
r. form 321;
s. form 322;
t. form 323;
u. form 324;
v. form 401;
w. form 402;
x. form 501;
y. form 601;
z. form 602;
aa. form 603;
bb. form 604;
cc. form 605;
dd. form 701;
ee. form 702;
ff. form 703;
gg. form 704;
hh. form 705;
ii. form 706;
jj. form 707;
kk. form 801;
ll. form 802;
mm. form 803;
nn. form 804;
oo. form 805;
pp. form 806;
12ii
qq. form 807;
rr. form 901; dan
ss. form 902.
(4) Unit usaha syariah wajib menyampaikan Laporan dengan
format sebagai berikut:
a. form 301;
b. form 302;
c. form 303;
d. form 304;
e. form 305;
f.
form 306;
g. form 314;
h. form 315;
i.
j.
form 316;
form 317;
k. form 318;
l.
form 319;
m. form 320;
n. form 321;
o. form 322;
p. form 323;
q. form 324; dan
r. form 902.
(5) Kewajiban penyampaian form 301, form 302, form 303,
form 304, form 305, form 306, form 314, form 315, form
316, form 317, form 318, form 319, form 320, form 321,
form 322, form 323, dan form 324 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur sebagai
berikut:
a. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan
sebagai penerbit kartu kredit wajib menyampaikan
form 301, form 306, form 318, form 319, form 320,
form 321, form 322, form 323, dan form 324;
b. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan
sebagai penerbit kartu automated teller machine
(ATM) atau kartu debet wajib menyampaikan form
302 dan form 306;
13ii
c. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan
sebagai
penerbit
uang
menyampaikan form 302, form 304, dan form 306;
d. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan
sebagai acquirer kartu kredit wajib menyampaikan
form 303, form 304, form 306, form 318, form 319, form
320, form 321, form 322, dan form 323;
e. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan
sebagai acquirer kartu ATM atau kartu debet
dan/atau acquirer uang
elektronik wajib
menyampaikan form 303, form 304, dan form 306;
f. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan
sebagai
penyelenggara
kliring dan/atau
penyelenggara penyelesaian akhir (settlement) wajib
menyampaikan form 305; dan
g. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan LKD
wajib menyampaikan form 314, form 315, form 316,
dan form 317.
Bagian Ketiga
Format Laporan atas Kegiatan atau Aktivitas Tertentu
Pasal 6
(1) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan
kustodian tidak menyampaikan form 101.
(2) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan
APMK dan uang elektronik tidak menyampaikan form 301,
form 302, form 303, form 304, form 305, form 306, form
314, form 315, form 316, form 317, form 318, form 319,
form 320, form 321, form 322, form 323, dan form 324.
(3) Bank Pelapor yang belum memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia terhadap rencana penyelenggaraan
kegiatan LKD, tidak menyampaikan form 314, form 315,
form 316, dan form 317.
(4) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas
bancassurance tidak menyampaikan form 701.
elektronik wajib
14ii
(5) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas
sebagai agen penjual reksadana tidak menyampaikan form
702.
(6) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas
keagenan produk keuangan luar negeri tidak
menyampaikan form 703.
(7) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan transaksi
perbankan melalui delivery channel e-banking tidak
menyampaikan form 704.
(8) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan
structured products tidak menyampaikan form 705 dan
form 706.
BAB IV
PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Bagian Kesatu
Tata Cara Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau
Koreksi Laporan Secara Online
Pasal 7
(1) Sebelum menyampaikan Laporan, Bank Pelapor
melakukan validasi teknis sesuai dengan spesifikasi
sebagaimana ditetapkan dalam pedoman penyusunan dan
petunjuk teknis Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran.
(2) Bank Pelapor wajib menyampaikan form sesuai dengan
jenis Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(3) Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki data Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang wajib
disampaikan selama periode Laporan, Bank Pelapor tetap
wajib menyampaikan Laporan dengan cara
menyampaikan form header.
(4) Kewajiban menyampaikan form header sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Bank Pelapor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
15ii
Pasal 8
(1) Tata Cara Penyampaian Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan bagi Bank Pelapor yang melakukan
penggabungan atau peleburan dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. sampai dengan 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal
operasional pelaksanaan penggabungan atau
peleburan, penyampaian Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan tetap dilakukan secara
terpisah untuk masing-masing Bank Pelapor;
b. sejak tanggal operasional Bank Pelapor hasil
penggabungan atau peleburan, penyampaian
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
dilakukan oleh Bank Pelapor hasil penggabungan
atau peleburan.
(2) Dalam hal izin penyelenggaraan terkait Pelaporan belum
dicabut oleh otoritas terkait, Bank Pelapor wajib
menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Batas Waktu Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau
Koreksi Laporan Secara Online
Pasal 9
(1) Batas waktu penyampaian Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan yang disusun secara mingguan
diatur sebagai berikut:
a. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf a pada setiap hari
Jumat.
b. Dalam hal hari Jumat bukan merupakan Hari Kerja
maka Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
a disampaikan kepada Bank Indonesia pada Hari
Kerja sebelumnya:
16ii
(2) Batas waktu penyampaian Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan yang disusun secara bulanan
diatur sebagai berikut:
a. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2,
angka 4, angka 5, angka 7, angka 8, angka 9, dan
angka 10 paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal
bulan Laporan berikutnya.
b. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 11 paling
lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal 2 (dua) bulan
Laporan berikutnya.
c. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 3 dan angka
6 paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan
berikutnya.
(3) Batas waktu penyampaian Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan yang disusun secara
triwulanan diatur sebagai berikut:
a. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf c angka 4 paling
lambat:
1) 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan April untuk
triwulan I;
2) 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Juli untuk
triwulan II;
3) 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Oktober
untuk triwulan III; dan
4) 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Januari
untuk triwulan IV.
b. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
17ii
dimaksud dalam Pasal 4 huruf c angka 1 dan angka
2 paling lambat:
1) tanggal 15 bulan April untuk triwulan I;
2) tanggal 15 bulan Juli untuk triwulan II;
3) tanggal 15 bulan Oktober untuk triwulan III;dan
4) tanggal 15 bulan Januari untuk triwulan IV.
c. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf c angka 3 paling
lambat:
1) tanggal 15 bulan Mei untuk triwulan I;
2) tanggal 15 bulan Agustus untuk triwulan II;
3) tanggal 15 bulan November untuk triwulan III;
dan
4) tanggal 15 bulan April untuk triwulan IV.
(4) Untuk Laporan yang disusun secara tahunan, Bank
Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf d paling lambat tanggal 15 Februari tahun
berikutnya.
(5) Dalam hal batas waktu penyampaian Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c, ayat (3) huruf b dan huruf c, serta
ayat (4) bukan Hari Kerja, penyampaian Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan paling
lambat pada Hari Kerja berikutnya.
Bagian Ketiga
Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi
Laporan Secara Online
Pasal 10
(1) Sistem LKPBU secara Online digunakan untuk
penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan sampai dengan akhir bulan periode penyampaian
Laporan.
18ii
(2) Khusus untuk laporan proyeksi arus kas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, Sistem LKPBU secara
Online hanya dapat digunakan sampai dengan 2 (dua) Hari
Kerja setelah hari Jumat.
(3) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia
yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LKPBU.
Bagian Keempat
Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi
Laporan Secara Offline
Pasal 11
(1) Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan yang dilakukan melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan secara
Offline.
(2) Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis pada
batas waktu penyampaian Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, Bank Pelapor wajib
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan secara Offline kepada Bank Indonesia.
(3) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
gangguan teknis yang dialami yang ditandatangani oleh
pejabat Bank Pelapor yang berwenang pada hari terjadinya
gangguan teknis kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl.
M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank
Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia; atau
b. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl.
M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat,
bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
19ii
(4) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan secara Offline kepada Bank Indonesia dengan
alamat:
a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl.
M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank
Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia paling lambat pukul 10.00 WIB
pada Hari Kerja berikutnya; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang mewilayahi
Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia paling lambat
pukul 10.00 waktu setempat pada Hari Kerja
berikutnya.
(5) Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia,
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis dan/atau
menggunakan sarana lainnya kepada Bank Pelapor.
(6) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) terjadi pada batas waktu penyampaian Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, Bank Pelapor wajib
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan pada Hari Kerja berikutnya secara Offline.
(7) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan karena keadaan
memaksa (force majeure) wajib segera memberitahukan
secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab
terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang
ditandatangani oleh pejabat Bank Pelapor yang berwenang
kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl.
M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank
Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia; atau
b. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl.
M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat,
20ii
bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
BAB VI
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 12
(1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan atau
form header setelah batas waktu penyampaian Laporan
atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling
banyak sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus
ribu rupiah) untuk setiap form.
(2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan atau
form header setelah batas waktu penyampaian Laporan
atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (3) dan ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling
banyak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
untuk setiap form.
Pasal 13
Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan
setelah batas waktu penyampaian koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 namun masih dalam
periode Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00
(lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja
keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp750.000,00 (tujuh
ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form.
Pasal 14
Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan melebihi
periode Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
21ii
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00
(lima puluh ribu rupiah) untuk setiap item data dan paling
banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap
form.
Pasal 15
Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, Pasal 13, dan/atau Pasal 14, Bank Pelapor dikenakan
sanksi berupa teguran tertulis dalam hal Bank Pelapor belum
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan
Pasal 11 sampai periode penyampaian Laporan berikutnya.
Pasal 16
Bank Pelapor yang tidak menyampaikan pemberitahuan
tertulis perihal gangguan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) dan/atau perihal keadaan memaksa (force
majeure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7)
dikenakan sanksi teguran tertulis.
Pasal 17
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet
rekening giro rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada
Bank Pelapor mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh
Bank Pelapor dan besarnya sanksi kewajiban membayar
yang dikenakan.
BAB VII
PENYAMPAIAN PERTANYAAN DAN/ATAU KORESPONDENSI
Pasal 18
Dalam hal terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan sistem,
materi, dan/atau ketentuan mengenai Laporan, Bank Pelapor
dapat menyampaikan pertanyaan dimaksud kepada BICARA
22ii
Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, Telp
021-131 atau melalui surat elektronik dengan alamat
bicara@bi.go.id.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/31/DPNP tanggal
31 Oktober 2012 perihal Laporan Kantor Pusat Bank
Umum;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/1/DSta tanggal
26 Januari 2015 perihal Perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 14/31/DPNP tanggal 31 Oktober
2012 perihal Laporan Kantor Pusat Bank Umum; dan
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/26/DSta tanggal
22 November 2016 perihal Perubahan Kedua atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 14/31/DPNP tanggal 31
Oktober 2012 perihal Laporan Kantor Pusat Bank Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 September 2018.
23ii
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Agustus 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
MIRZA ADITYASWARA
i
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/20/PADG/2018
TENTANG
LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM
I. UMUM
Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan Sistem
LKPBU untuk menghasilkan informasi yang lebih utuh, komprehensif, dan
berkualitas, perlu dilakukan perluasan cakupan kandungan informasi yang
dilaporkan serta penyempurnaan sistem dan tata cara penyampaian
Laporan.
Terkait dengan perluasan cakupan kandungan informasi tersebut
perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Pedoman Penyusunan dan
Petunjuk Teknis Laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
2ii
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Contoh 1:
Bank Pelapor X melakukan penggabungan dengan Bank Pelapor
Y menjadi Bank Pelapor X yang mulai operasional pada tanggal
22 Juli 2019. Dalam hal ini, kewajiban pelaporan bulanan
dilakukan sebagai berikut:
a. Bank Pelapor X dan Bank Pelapor Y menyampaikan Laporan
pada bulan Juli 2019 yang berisi data bulan Juni 2019;
b. Bank Pelapor X menyampaikan Laporan pada bulan Agustus
2019 yang berisi data bulan Juli 2019 dari Bank Pelapor X
sebelum penggabungan dan dari Bank Pelapor X hasil
penggabungan.
c. Bank Pelapor Y menyampaikan Laporan pada bulan Agustus
2019 yang berisi data tanggal 1 sampai dengan 21 Juli 2019.
Contoh 2:
Bank Pelapor X melakukan penggabungan dengan Bank Pelapor
Y menjadi Bank Pelapor X yang mulai operasional pada tanggal
22 Juli 2019. Dalam hal ini kewajiban pelaporan triwulanan
dilakukan sebagai berikut:
a. Bank Pelapor X dan Bank Pelapor Y menyampaikan Laporan
pada bulan Juli 2019 yang berisi data triwulan II 2019
(akumulasi data bulan April, Mei, Juni 2019);
b. Bank Pelapor X menyampaikan Laporan triwulan III 2019
pada bulan Oktober 2019 yang berisi data bulan Juli 2019
3ii
dari Bank Pelapor X sebelum penggabungan dan dari Bank
Pelapor X hasil penggabungan yang diakumulasikan dengan
data bulan Agustus dan September 2019.
c. Bank Pelapor Y menyampaikan Laporan triwulan III 2019
pada bulan Oktober 2019 yang berisi data tanggal 1 sampai
dengan 21 Juli 2019.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Laporan proyeksi arus kas periode tanggal 6 sampai dengan
tanggal 10 Agustus 2018 disampaikan pada hari Jumat
tanggal 3 Agustus 2018.
Huruf b
Contoh:
Laporan proyeksi arus kas periode tanggal 20 sampai dengan
tanggal 24 Agustus 2018 yang seharusnya disampaikan pada
hari Jumat tanggal 17 Agustus 2018 menjadi disampaikan
pada hari Kamis tanggal 16 Agustus 2018, karena tanggal 17
Agustus 2018 merupakan hari libur.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan kegiatan
kustodian bulan Agustus 2018 disampaikan paling lambat
pada hari Jumat tanggal 7 September 2018.
Huruf b
Contoh:
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan keuangan
publikasi bank bulan Agustus 2018 disampaikan paling
lambat pada hari Jumat tanggal 5 Oktober 2018.
4ii
Huruf c
Contoh:
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan penerbit
kartu kredit bulan Desember 2018 disampaikan paling
lambat pada hari Selasa tanggal 15 Januari 2019.
Ayat (3)
Huruf a
Contoh:
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
penanganan dan pengaduan nasabah untuk triwulan III
tahun 2018 disampaikan paling lambat tanggal 5 Oktober
2018. Data yang dilaporkan merupakan akumulasi data dari
tanggal 1 Juli 2018 sampai dengan tanggal 30 September
2018.
Huruf b
Contoh:
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
penyelenggara kliring dan/atau penyelesaian akhir
(settlement) untuk triwulan III tahun 2018 disampaikan
paling lambat tanggal 15 Oktober 2018.
Huruf c
Contoh:
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan keuangan
publikasi Bank untuk triwulan III posisi akhir bulan
September 2018 disampaikan paling lambat tanggal 15
November 2018.
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan keuangan
publikasi Bank untuk triwulan IV posisi akhir bulan
Desember 2018 disampaikan paling lambat tanggal 15 April
2019.
Ayat (4)
Contoh:
Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan tenaga kerja
perbankan untuk tahun 2018 disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat pada tanggal 15 Februari 2019.
5ii
Ayat (5)
Contoh 1:
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan penerbit kartu
kredit bulan Agustus 2018 disampaikan paling lambat hari Senin
tanggal 17 September 2018, karena tanggal 15 September 2018
merupakan hari libur.
Contoh 2:
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan penyelenggara
kliring dan/atau penyelesaian akhir (settlement) untuk triwulan II
tahun 2018 disampaikan paling lambat hari Senin tanggal 16 Juli
2018, karena tanggal 15 Juli 2018 merupakan hari libur.
Pasal 10
Ayat (1)
Contoh 1:
Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan kegiatan kustodian bulan September
2018 secara Online paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal
bulan Oktober 2018. Sistem LKPBU secara Online hanya dapat
digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan kegiatan kustodian sampai dengan akhir Oktober
2018.
Contoh 2:
Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan bancassurance untuk triwulan III
tahun 2018 secara Online paling lambat tanggal 15 Oktober 2018.
Sistem LKPBU secara Online hanya dapat digunakan untuk
penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
bancassurance sampai dengan akhir Oktober 2018.
Contoh 3:
Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan tenaga kerja perbankan untuk tahun
2018 secara Online paling lambat tanggal 15 Februari 2019.
Sistem LKPBU secara Online hanya dapat digunakan untuk
penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
tenaga kerja perbankan sampai dengan akhir Februari 2019.
6ii
Ayat (2)
Contoh:
Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan proyeksi arus kas untuk periode tanggal 8
sampai dengan 12 Oktober 2018 secara Online pada hari Jumat
pada tanggal 5 Oktober 2018. Sistem LKPBU secara Online hanya
dapat digunakan untuk penyampaian Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan proyeksi arus kas sampai dengan
tanggal 9 Oktober 2018.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan gangguan teknis di Bank Pelapor adalah
gangguan yang menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
secara Online kepada Bank Indonesia, antara lain karena
gangguan pada sistem di internal Bank Pelapor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
Pada tanggal 5 Oktober 2018 Bank Pelapor X mengalami
gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan secara Online. Bank
Pelapor X wajib menyampaikan Laporan, form/header, dan/atau
koreksi Laporan secara Offline paling lambat tanggal 8 Oktober
2018 pukul 10.00 waktu setempat.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan gangguan teknis di Bank Indonesia
adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat
menerima penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan secara Online dari Bank Pelapor, antara lain karena
gangguan pada jaringan telekomunikasi dan/atau penyebab
lainnya.
7ii
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah
keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak
dapat menyusun dan menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan
massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam
seperti gempa bumi dan banjir.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/20/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 30 Agustus 2018 </set_date>
<effective_date> 1 September 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '18/26/DSta|SE-BI/2016', '14/31/DPNP|SE-BI/2012', '17/1/DSta|SE-BI/2015' </replaced_reg>
<related_reg> '20/6/PBI/2018', '14/2/PBI/2012', '14/12/PBI/2012', '11/11/PBI/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/ 2 /PADG/2017
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR
19/1/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN LELANG SURAT BERHARGA
NEGARA DI PASAR PERDANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka penerbitan Surat Berharga Negara
oleh Pemerintah yang terdiri atas Surat Utang Negara dan
Surat Berharga Syariah Negara, Bank Indonesia
melaksanakan kegiatan sebagai agen lelang Surat
Berharga Negara di pasar perdana;
b. bahwa dalam upaya untuk lebih meningkatkan
kedalaman pasar Surat Berharga Negara dan likuiditas
pasar uang maka Peserta Lelang dapat melakukan
Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding)
dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-
competitive Bidding) atas Surat Berharga Syariah Negara;
dan
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan perubahan
atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/1/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Lelang Surat
Berharga Negara di Pasar Perdana.
2
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008
tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4888) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir
dengan
Peraturan
17/19/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008
tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5763); dan
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 19/1/PADG/2017 TENTANG
PELAKSANAAN LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI
PASAR PERDANA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 19/1/PADG/2017 tentang Pelaksanaan
Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Bank Indonesia Nomor
3
Pasal 7
(1) Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran
lelang SBSN dalam Rupiah untuk dan atas nama diri
sendiri dan/atau melalui Peserta Lelang lain maka
penawaran dapat dilakukan dengan cara Penawaran
Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau
Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive
Bidding).
(2) Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran
lelang SBSN dalam Rupiah untuk dan atas nama
pihak lain selain Bank Indonesia dan/atau LPS maka
penawaran dilakukan dengan persyaratan sebagai
berikut:
a.
pengajuan penawaran pada lelang SBSN
Jangka Pendek dilakukan dengan cara
Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive
Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian
Nonkompetitif (Non-competitive Bidding);
b.
pengajuan penawaran pada lelang SBSN
Jangka Panjang dilakukan dengan cara
Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive
Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian
Nonkompetitif (Non-competitive Bidding).
2. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SBN
dalam Rupiah yang telah ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk
dan atas nama Menteri kepada Peserta Transaksi dan
publik melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau
sarana lain yang digunakan oleh Bank Indonesia pada
akhir hari pelaksanaan Lelang SBN dalam Rupiah.
4
(2) Bank Indonesia menyampaikan pengumuman hasil
Lelang SBN dalam Rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengumuman kepada seluruh Peserta Transaksi
dan publik memuat:
1. jenis dan seri SBN;
2. mata uang;
3. kuantitas lelang secara keseluruhan;
4. tingkat bunga atau tingkat imbalan untuk
Obligasi Negara atau SBSN Jangka Panjang
dengan kupon;
5. rata-rata tertimbang tingkat imbalan
dan/atau diskonto, tingkat Imbal Hasil
(Yield), atau harga (price);
6. tanggal jatuh tempo; dan/atau
7. tanggal Setelmen/penerbitan.
b. Pengumuman kepada setiap pemenang Lelang
SBN dalam Rupiah melalui Sistem BI-ETP paling
sedikit memuat:
1. nama pemenang;
2. nilai nominal yang dimenangkan; dan
3. tingkat diskonto, tingkat Imbal Hasil (Yield),
atau harga (price).
(3) Dalam hal Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan
dan Risiko untuk dan atas nama Menteri menetapkan
tidak ada pemenang lelang, Bank Indonesia
mengumumkan penetapan tersebut melalui Sistem
BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang
digunakan Bank Indonesia.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
5
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Maret 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
ERWIN RIJANTO
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/2/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/1/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR PERDANA </reg_title>
<set_date> 16 Maret 2017 </set_date>
<effective_date> 16 Maret 2017 </effective_date>
<changed_reg> '19/1/PADG/2017' </changed_reg>
<related_reg> '17/18/PBI/2015', '10/13/PBI/2008', '17/19/PBI/2015' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/14/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk penguatan kerangka operasional kebijakan
moneter guna meningkatkan efektivitas transmisi
kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas
makroekonomi dan sistem keuangan, perlu dilakukan
penyesuaian pemenuhan giro wajib minimum;
b. bahwa penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dilakukan untuk menambah ketersediaan likuiditas
perbankan dalam pembiayaan ekonomi oleh perbankan
konvensional dan perbankan syariah;
c. bahwa guna menambah ketersediaan likuiditas perbankan
sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan
penyesuaian pemenuhan giro wajib minimum dalam
rupiah bagi bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah;
2
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional,
Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang
Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan
Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 43; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6193);
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional,
Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur Nomor 20/30/PADG/2018 tentang
Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum
dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha
Syariah;
3
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO
WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI
BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN
UNIT USAHA SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tanggal 31 Mei 2018
tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing
bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/30/PADG/2018 tanggal
30 November 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Anggota
Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro
Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank
Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha
Syariah diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2
GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 6% (enam
persen) dari DPK BUK dalam rupiah selama periode
laporan tertentu, yang wajib dipenuhi:
a. secara harian sebesar 3% (tiga persen); dan
b. secara rata-rata sebesar 3% (tiga persen).
4
2. Ketentuan ayat (4) Pasal 5 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Bank Indonesia dapat memberikan jasa giro setiap
hari terhadap bagian tertentu dari pemenuhan
kewajiban GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari
DPK dalam rupiah.
(3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan tingkat bunga sebesar 0% (nol
persen) per tahun.
(4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk setiap hari bagi BUK yang memenuhi
rasio GWM dalam rupiah lebih dari atau sama dengan
6% (enam persen).
(5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan
pemberian jasa giro dan/atau persentase jasa giro
dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian
dan arah kebijakan Bank Indonesia.
(6) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak berlaku
terhadap BUK yang menerima pinjaman likuiditas
jangka pendek sejak tanggal aktivasi pemberian
pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan
satu hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman
likuiditas jangka pendek.
3. Ketentuan ayat (2) Pasal 14 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 7 tidak berlaku bagi BUK yang
menerima pinjaman likuiditas jangka pendek.
5
(2) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara
harian sebesar 6% (enam persen) dari DPK BUK
dalam rupiah.
(3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek wajib memenuhi GWM dalam valuta asing
secara harian sebesar 8% (delapan persen) dari DPK
BUK dalam valuta asing.
(4) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) dilakukan sejak tanggal aktivasi
pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelunasan
pinjaman likuiditas jangka pendek.
4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 4,5%
(empat koma lima persen) dari DPK BUS dan UUS dalam
rupiah selama periode laporan tertentu, yang wajib
dipenuhi:
a. secara harian sebesar 1,5% (satu koma lima persen);
dan
b. secara rata-rata sebesar 3% (tiga persen).
5. Ketentuan ayat (2) Pasal 28 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 28
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 tidak berlaku bagi BUS
yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek
syariah.
6
(2) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka
pendek syariah wajib memenuhi GWM dalam rupiah
secara harian sebesar 4,5% (empat koma lima persen)
dari DPK BUS dalam rupiah.
(3) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelunasan
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah.
6. Lampiran I, Lampiran III, Lampiran V, Lampiran VI,
Lampiran VIII, Lampiran X, Lampiran XI, dan Lampiran XII
diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I, Lampiran III, Lampiran V, Lampiran VI,
Lampiran VIII, Lampiran X, Lampiran XI, dan Lampiran XII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Juli 2019.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
ini dengan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juni 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
MIRZA ADITYASWARA
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/14/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM
RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Guna penguatan kerangka operasional kebijakan moneter untuk
meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam menjaga
stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, Bank Indonesia senantiasa
berupaya melakukan penyempurnaan kebijakan pengaturan GWM.
Sebagai upaya untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem
keuangan tersebut, kebijakan pengaturan GWM diarahkan untuk
menambah ketersediaan likuiditas perbankan dalam pembiayaan ekonomi
oleh perbankan konvensional dan perbankan syariah. Kebijakan
pengaturan GWM tersebut dilakukan dengan menurunkan besaran GWM
dalam rupiah BUK yang semula sebesar 6,5% (enam koma lima persen)
menjadi 6% (enam persen). Sementara penurunan besaran GWM dalam
rupiah untuk BUS dan UUS yang semula 5% (lima persen) menjadi 4,5%
(empat koma lima persen).
Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Periode laporan tertentu DPK BUK dalam rupiah dihitung
dengan menggunakan hari kalender.
Huruf a
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah
secara harian dilakukan berdasarkan posisi saldo
Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada
akhir hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Huruf b
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah
secara rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata
posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank
Indonesia pada akhir hari, pada setiap akhir
periode laporan tertentu.
Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam
rupiah secara rata-rata dihitung dengan
menggunakan hari pada saat Bank Indonesia
menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โhariโ adalah hari pada saat
Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement.
3
Perhitungan jasa giro harian dalam 2 (dua) masa
laporan dilakukan dengan mengalikan persentase jasa
giro terhadap bagian tertentu dari rata-rata harian
jumlah DPK dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat)
masa laporan sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tingkat bunga merupakan tingkat bunga efektif
tahunan (effective annual rate) yang ditentukan
berdasarkan periode compounding harian selama 360
(tiga ratus enam puluh) hari.
Ayat (4)
Dalam hal BUK tidak memenuhi rasio GWM dalam
rupiah lebih dari atau sama dengan 6% (enam persen)
dan memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah,
BUK tidak diberikan jasa giro untuk hari tersebut.
BUK yang mendapat insentif kelonggaran pemenuhan
kewajiban GWM dalam rupiah dianggap telah
memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah
apabila BUK telah memenuhi kewajiban GWM dalam
rupiah paling sedikit 5% (lima persen) dari DPK dalam
rupiah yang terdiri atas 2% (dua persen) GWM dalam
rupiah yang wajib dipenuhi secara harian dan 3% (tiga
persen) GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara
rata-rata untuk masa laporan tertentu.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โBUK yang menerima pinjaman
likuiditas jangka pendekโ adalah BUK yang menerima
pinjaman likuiditas jangka pendek sebagaimana
4
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 16
Periode laporan tertentu DPK BUS dan UUS dalam rupiah
dihitung dengan menggunakan hari kalender.
Huruf a
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah
secara harian dilakukan berdasarkan posisi saldo
Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank
Indonesia pada akhir hari saat Bank Indonesia
menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement.
Huruf b
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah
secara rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata
posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di
Bank Indonesia pada akhir hari, pada setiap akhir
periode laporan tertentu.
Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam
rupiah secara rata-rata dihitung dengan
menggunakan hari pada saat Bank Indonesia
menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement.
5
Angka 5
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โBUS yang menerima
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariahโ adalah
BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka
pendek syariah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โdana pihak ketiga BUSโ adalah
kewajiban BUS kepada penduduk dan bukan penduduk
yang diperoleh dari laporan dana pihak ketiga BUS pada
LBBUS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/14/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 26 Juni 2019 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2019 </effective_date>
<changed_reg> '20/10/PADG/2018' </changed_reg>
<extension_of> '20/30/PADG/2018' </extension_of>
<related_reg> '20/3/PBI/2018', '20/30/PADG/2018', '20/10/PADG/2018' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/17/PADG/2019
TENTANG
PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pasar keuangan yang
berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien
Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan terkait
penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di pasar
uang dan pasar valuta asing;
b. bahwa salah satu dari penyelenggara sarana pelaksanaan
transaksi tersebut yaitu perusahaan pialang pasar uang
dan pasar valuta asing;
c. bahwa agar kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf
a dapat terlaksana dengan baik dan terstruktur maka
diperlukan ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman bagi
perusahaan pialang pasar uang dan pasar valuta asing
dan pelaku pasar di pasar keuangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perusahaan
Pialang Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing;
Mengingat
:
Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/5/PBI/2019 tentang
Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 72, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6336);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG DAN PASAR VALUTA
ASING.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing yang selanjutnya disebut
Penyelenggara Transaksi adalah badan usaha yang
menyediakan teknologi dan menyelenggarakan sarana
untuk melaksanakan transaksi di pasar uang dan pasar
valuta asing yang sudah memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
2. Pasar Uang adalah pasar uang sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pasar uang.
3. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari sistem keuangan
yang berkaitan dengan kegiatan penjualan dan/atau
pembelian valuta asing terhadap rupiah.
4. Pelaku Pasar adalah pelaku Pasar Uang dan pelaku Pasar
Valuta Asing.
5. Pelaku Pasar Uang adalah pelaku Pasar Uang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai pasar uang.
6. Pelaku Pasar Valuta Asing adalah pihak yang melakukan
kegiatan transaksi di Pasar Valuta Asing.
7. Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah
badan usaha yang didirikan khusus untuk menyediakan
sarana tertentu bagi kepentingan transaksi pengguna jasa
dan memperoleh imbalan atas jasanya.
8. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa yang
ditawarkan oleh Perusahaan Pialang.
9.
Instrumen Pasar Uang adalah instrumen Pasar Uang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai pasar uang.
10. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah, termasuk unit usaha
syariah.
11. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum,
perorangan, dan/atau kelompok usaha yang memiliki
saham Perusahaan Pialang sebesar 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan
Perusahaan Pialang dan mempunyai hak suara atau
memiliki saham Perusahan Pialang kurang dari 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan
Perusahaan Pialang dan mempunyai hak suara namun
dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian
Perusahaan Pialang baik secara langsung maupun tidak
langsung.
12. Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus
sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada Direksi.
13. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan
untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan
tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam
maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar.
14. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak
termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia.
15. Penggabungan adalah penggabungan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perseroan terbatas.
16. Peleburan adalah peleburan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perseroan terbatas.
17. Pengambilalihan adalah pengambilalihan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perseroan terbatas.
18. Pemisahan adalah pemisahan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perseroan terbatas.
BAB II
PENGGUNA JASA
Pasal 2
(1) Perusahaan Pialang mempertemukan Pengguna Jasa yang
melakukan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta
Asing.
(2) Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. Pelaku Pasar Uang; dan/atau
b. Pelaku Pasar Valuta Asing.
(3) Salah satu Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus berupa Bank.
BAB III
PERIZINAN
Pasal 3
(1) Pihak yang menyelenggarakan kegiatan sebagai
Perusahaan Pialang wajib memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
(2) Pemberian izin kepada Perusahaan Pialang dilakukan
dalam 2 (dua) tahap yaitu:
a. persetujuan prinsip; dan
b.
izin usaha.
Pasal 4
Calon Perusahaan Pialang yang mengajukan permohonan
persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki akta pendirian dan anggaran dasar atau
rancangan akta pendirian dan anggaran dasar bagi pihak
yang belum berbadan hukum perseroan terbatas;
b. memiliki rancangan kepemilikan saham dan calon
pengurus;
c. memiliki rancangan struktur organisasi dan sumber daya
manusia; dan
d. memiliki rancangan rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun
pertama yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan;
2. potensi ekonomi; dan
3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik.
Pasal 5
Calon Perusahaan Pialang yang mengajukan permohonan izin
usaha sebagai Perusahaan Pialang harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang
dari Bank Indonesia;
b. berbadan hukum perseroan terbatas dengan persyaratan
kepemilikan tertentu yaitu dimiliki oleh:
1. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia; atau
2. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan
hukum asing, dengan batasan kepemilikan warga
negara asing dan/atau badan hukum asing paling
tinggi sebesar 49% (empat puluh sembilan persen) dari
modal disetor;
c. memiliki modal disetor
paling
sedikit
sebesar
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah), yang tidak
berasal dari dan/atau tujuan pencucian uang (money
laundering);
d. memiliki infrastruktur yang andal dan aman;
e. memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau
aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali,
anggota Dewan Komisaris, dan anggota Direksi;
memiliki sumber daya manusia yang kompeten;
f.
g. memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang
memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan;
2. potensi ekonomi; dan
3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik;
h. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko yang
efektif; dan
i.
memiliki tata kelola yang baik.
Pasal 6
(1) Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e harus
memenuhi persyaratan integritas dan aspek keuangan.
(2) Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit
ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang
berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana sebagai berikut:
1. tindak pidana di sektor jasa keuangan, dalam
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir;
2. tindak pidana kejahatan yaitu tindak pidana
yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan/atau yang sejenis
KUHP di luar negeri dengan ancaman hukuman
pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, dalam
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir;
dan/atau
3. tindak pidana lainnya dengan ancaman
hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau
lebih, antara lain korupsi, pencucian uang,
narkotika/psikotropika,
penyelundupan,
kepabeanan, cukai, perdagangan orang,
perdagangan senjata gelap, terorisme,
pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di
bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup,
di bidang kelautan, dan perikanan, dalam jangka
waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir,
sebelum dicalonkan;
b. memiliki komitmen terhadap pengembangan
Perusahaan Pialang;
c. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan dan
mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam
pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
domestik;
d. tidak menjadi Pemegang Saham Pengendali pada
Perusahaan Pialang dan/atau Penyelenggara
Transaksi lainnya; dan
e.
tidak tercantum dalam daftar tidak lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan sebagai pemegang
saham, pemegang saham pengendali, anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pejabat
eksekutif, yang ditatausahakan otoritas berwenang.
(3) Persyaratan aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuktikan dengan tidak memiliki kredit macet
dan/atau pembiayaan macet sesuai data yang
ditatausahakan oleh otoritas yang berwenang.
Pasal 7
(1) Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi
Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf e harus memenuhi persyaratan integritas,
kompetensi, dan aspek keuangan.
(2) Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit
ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang
berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana sebagai berikut:
1. tindak pidana di sektor jasa keuangan, dalam
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir;
2. tindak pidana kejahatan yaitu tindak pidana
yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan/atau yang sejenis
KUHP di luar negeri dengan ancaman hukuman
pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, dalam
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir;
dan/atau
3. tindak pidana lainnya dengan ancaman
hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau
lebih, antara lain korupsi, pencucian uang,
narkotika/psikotropika,
penyelundupan,
kepabeanan, cukai, perdagangan orang,
perdagangan senjata gelap, terorisme,
pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di
bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup,
di bidang kelautan, dan perikanan, dalam jangka
waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir,
sebelum dicalonkan;
b. memiliki komitmen terhadap pengembangan
Perusahaan Pialang;
c. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan dan
mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam
pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
domestik; dan
d.
tidak tercantum dalam daftar tidak lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan sebagai pemegang
saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pejabat
eksekutif, yang ditatausahakan otoritas berwenang.
(3) Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. untuk anggota Dewan Komisaris:
1) memiliki pengetahuan di bidang pasar keuangan
yang memadai dan relevan dengan jabatannya;
dan
2) memiliki pengalaman paling sedikit 2 (dua)
tahun pada perusahaan yang bergerak di sektor
pasar keuangan.
b. untuk anggota Direksi:
1) memiliki pengetahuan di bidang pasar keuangan
yang memadai dan relevan dengan jabatannya;
2) berpendidikan paling rendah setingkat sarjana
strata 1; dan
3) memiliki pengalaman dan keahlian di bidang
pasar keuangan paling sedikit 2 (dua) tahun
pada jabatan manajerial di perusahaan yang
bergerak di sektor pasar keuangan.
(4) Persyaratan aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuktikan dengan tidak memiliki kredit dan/atau
pembiayaan macet sesuai data yang ditatausahakan oleh
otoritas yang berwenang.
BAB IV
PERSETUJUAN PRINSIP
Bagian Kesatu
Pengajuan Persetujuan Prinsip
Pasal 8
(1) Calon Perusahaan Pialang menyampaikan surat
permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagai Perusahaan Pialang kepada Bank Indonesia.
(2) Surat permohonan untuk mendapatkan persetujuan
prinsip sebagai Perusahaan Pialang diajukan paling
sedikit oleh:
a. satu anggota Direksi, dalam hal calon Perusahaan
Pialang sudah berbadan hukum perseroan terbatas;
atau
b. satu calon pemegang saham, dalam hal calon
Perusahaan Pialang belum berbadan hukum
perseroan terbatas.
(3) Contoh surat permohonan untuk mendapatkan
persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang
tercantum pada Lampiran I yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 9
Surat permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagai Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagai berikut:
a. akta pendirian dan anggaran dasar atau rancangan akta
pendirian dan anggaran dasar, sebagai berikut:
1.
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang, berikut perubahan
terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari
instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat
penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran
dasar dari instansi yang berwenang, dalam hal calon
Perusahaan Pialang sudah berbadan hukum
perseroan terbatas, atau
2. rancangan akta pendirian dan anggaran dasar, dalam
hal calon Perusahaan Pialang belum berbadan
hukum perseroan terbatas;
b. rancangan kepemilikan saham yang dilengkapi dengan
data pemegang saham sebagai berikut:
1. dalam hal pemegang saham merupakan badan
hukum:
a)
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang, berikut perubahan
terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan
dari instansi yang berwenang atau telah
diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari instansi yang
berwenang; dan
b) daftar susunan pemegang saham;
2. dalam hal pemegang saham merupakan
perseorangan:
a)
fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda
Penduduk atau paspor;
b) daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh
yang bersangkutan; dan
c) informasi daftar kredit macet dari otoritas yang
berwenang;
c. rancangan susunan anggota Dewan Komisaris dan
anggota Direksi, yang masing-masing dilengkapi dengan:
1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda
Penduduk atau paspor;
2. daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang
bersangkutan;
3. informasi daftar kredit macet dari otoritas yang
berwenang; dan
4. khusus untuk anggota Direksi, fotokopi ijazah paling
rendah setingkat sarjana strata 1.
d. rancangan struktur organisasi dan sumber daya manusia;
e. rancangan rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama
yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi:
a) proyeksi laporan keuangan dan analisis break-
even point; dan
b) model bisnis yang paling sedikit meliputi:
1) mekanisme transaksi;
2)
jenis instrumen dan/atau transaksi yang
akan diselenggarakan;
3) nominal transaksi (maksimal transaksi dan
minimal transaksi);
4) skema penetapan biaya bagi calon
Pengguna Jasa (subscription fee atau
brokerage fee); dan
5) calon Pengguna Jasa;
2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai
jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi
bisnis; dan
3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik yang mencakup tahapan
pengembangan instrumen dan/atau transaksi, serta
perluasan layanan dan Pengguna Jasa;
f.
surat pernyataan dari masing-masing Pemegang Saham
Pengendali atau calon Pemegang Saham Pengendali, yang
menyatakan bahwa:
1. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana dalam jangka waktu tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf
a;
2. berkomitmen untuk mengembangkan Perusahaan
Pialang;
3. berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan dan
mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam
pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
domestik;
4. tidak menjadi Pemegang Saham Pengendali pada
Perusahaan Pialang dan/atau Penyelenggara
Transaksi lainnya; dan
5. modal disetor tidak berasal dari dan/atau untuk
tujuan pencucian uang (money laundering),
sebagaimana contoh dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
g. surat pernyataan dari masing-masing anggota Dewan
Komisaris atau calon anggota Dewan Komisaris dan
anggota Direksi atau calon anggota Direksi yang
menyatakan bahwa:
1. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana dalam jangka waktu tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf
a;
2. berkomitmen untuk mengembangkan Perusahaan
Pialang; dan
3. berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan dan
mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam
pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
domestik,
sebagaimana contoh dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Bagian Kedua
Pemrosesan Persetujuan Prinsip
Pasal 10
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian terdapat dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang
dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank
Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada
calon Perusahaan Pialang untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen pendukung.
(2) Calon Perusahaan Pialang melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kepada Bank
Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis
disampaikan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan calon Perusahaan
Pialang belum menyampaikan dokumen yang telah
dilengkapi dan/atau diperbaiki, calon Perusahaan Pialang
dianggap telah membatalkan permohonan untuk
mendapatkan persetujuan prinsip sebagai Perusahaan
Pialang.
Pasal 11
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan persetujuan prinsip sebagai Perusahaan
Pialang melalui surat paling lama 60 (enam puluh) Hari Kerja
setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap.
Pasal 12
(1) Calon Perusahaan Pialang yang telah memperoleh
persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang dilarang
melakukan kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pialang
sebelum mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan
Pialang dari Bank Indonesia.
(2) Calon Perusahaan Pialang mengajukan permohonan
untuk mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan
Pialang paling lama 180 (seratus delapan puluh) Hari Kerja
sejak tanggal surat persetujuan prinsip sebagai
Perusahaan Pialang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) calon Perusahaan Pialang yang telah
mendapat persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang
belum mengajukan permohonan izin usaha sebagai
Perusahaan Pialang, persetujuan prinsip sebagai
Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 dinyatakan tidak berlaku.
BAB V
IZIN USAHA
Bagian Kesatu
Pengajuan Izin Usaha
Pasal 13
(1) Calon Perusahaan Pialang menyampaikan surat
permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagai
Perusahaan Pialang kepada Bank Indonesia.
(2) Surat permohonan untuk mendapatkan izin usaha
sebagai Perusahaan Pialang diajukan paling sedikit oleh
satu anggota Direksi.
(3) Contoh surat permohonan untuk mendapatkan izin usaha
sebagai Perusahaan Pialang tercantum pada Lampiran III
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 14
Surat permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagai
Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai
berikut:
a. surat persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang dari
Bank Indonesia;
b.
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi
yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang
telah memperoleh persetujuan dari instansi yang
berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan
pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi
yang berwenang;
c.
fotokopi bukti pemenuhan modal disetor menjadi paling
sedikit sebesar Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar
rupiah) ke rekening Perusahaan Pialang;
d. daftar kepemilikan saham;
e. susunan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi;
f.
struktur organisasi dan sumber daya manusia, yang
paling sedikit memuat nama dealer dan status
kepemilikan sertifikasi tresuri;
g.
jenis, spesifikasi, jumlah unit dan kapasitas sarana
pelaksanaan transaksi;
h. rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat
paling sedikit:
1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi:
a) proyeksi laporan keuangan dan analisis break-
even point; dan
b) model bisnis yang paling sedikit meliputi:
1) mekanisme transaksi;
2)
jenis instrumen dan/atau transaksi yang
akan diselenggarakan;
3) nominal transaksi (maksimal transaksi dan
minimal transaksi);
4) skema penetapan biaya bagi calon
Pengguna Jasa (subscription fee atau
brokerage fee); dan
5) calon Pengguna Jasa;
2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai
jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi
bisnis; dan
3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik yang mencakup tahapan
pengembangan instrumen dan/atau transaksi, serta
perluasan layanan dan Pengguna Jasa; dan
i.
prosedur operasional standar yang menunjukkan
manajemen risiko yang efektif.
Bagian Kedua
Pemrosesan Izin Usaha
Pasal 15
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian terdapat dokumen yang
dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank
Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada
calon Perusahaan Pialang untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen pendukung.
(2) Calon Perusahaan Pialang melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kepada Bank
Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis
disampaikan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan calon Perusahaan
Pialang belum menyampaikan dokumen yang telah
dilengkapi dan/atau diperbaiki, calon Perusahaan Pialang
dianggap telah membatalkan permohonan untuk
mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan Pialang.
Pasal 16
Bank Indonesia melakukan kunjungan ke lokasi calon
Perusahaan Pialang (on site visit) untuk memastikan kesiapan
operasional.
Pasal 17
(1) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan izin usaha sebagai
Perusahaan Pialang melalui surat paling lama 90
(sembilan puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung
dinyatakan lengkap.
(2) Bank Indonesia memublikasikan Perusahaan Pialang yang
telah memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Pialang
pada laman resmi Bank Indonesia.
Pasal 18
(1) Perusahaan Pialang harus mulai melakukan kegiatan
usaha paling lama 60 (enam puluh) Hari Kerja sejak
tanggal izin usaha sebagai Perusahaan Pialang diterbitkan
oleh Bank Indonesia.
(2) Perusahaan Pialang harus melaporkan pelaksanaan
kegiatan usaha selambat-lambatnya 10 (sepuluh) Hari
Kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan usaha.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Perusahaan Pialang belum melakukan
kegiatan usaha, Bank Indonesia melakukan evaluasi atas
izin usaha sebagai Perusahaan Pialang.
BAB VI
PERUBAHAN SARANA, INSTRUMEN, TRANSAKSI,
STRUKTUR KEPEMILIKAN, NAMA BADAN USAHA,
SUSUNAN DEWAN KOMISARIS, DAN SUSUNAN DIREKSI
Bagian Kesatu
Perubahan Sarana
Pasal 19
Perusahaan Pialang yang akan mengubah layanan dengan
mengganti atau menambah sarana pelaksanaan transaksi
dengan electronic trading platform (ETP) harus mengikuti proses
pemberian izin sebagai penyedia ETP sebagaimana diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang mengatur
mengenai penyedia ETP.
Bagian Kedua
Perubahan Jenis Instrumen dan Transaksi
Pasal 20
(1) Perusahaan Pialang yang akan melakukan perubahan atas
jenis instrumen dan/atau transaksi menyampaikan surat
permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau
transaksi kepada Bank Indonesia.
(2) Surat permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau
transaksi diajukan paling sedikit oleh satu anggota
Direksi.
(3) Contoh surat permohonan perubahan jenis instrumen
dan/atau transaksi tercantum pada Lampiran IV yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 21
Surat permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a.
b.
jenis, spesifikasi, jumlah unit, dan kapasitas sarana
pelaksanaan transaksi;
rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama sejak
perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi yang
memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi:
a) proyeksi laporan keuangan dan analisis break-
even point; dan
b) model bisnis yang paling sedikit meliputi:
1) mekanisme transaksi;
2)
jenis instrumen dan/atau transaksi yang
akan diselenggarakan;
3) nominal transaksi (maksimal transaksi dan
minimal transaksi);
4) skema penetapan biaya bagi calon
Pengguna Jasa (subscription fee atau
brokerage fee); dan
5) calon Pengguna Jasa; dan
2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai
jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi
bisnis;
c. prosedur operasional standar yang menunjukkan
manajemen risiko yang efektif; dan
d.
hasil uji coba implementasi perubahan sistem, dalam hal
terdapat pengembangan sistem.
Pasal 22
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian terdapat dokumen yang
dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank
Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada
Perusahaan Pialang untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen pendukung.
(2) Perusahaan Pialang melengkapi dan/atau memperbaiki
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak
tanggal pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank
Indonesia.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Perusahaan
Pialang belum menyampaikan dokumen yang telah
dilengkapi dan/atau diperbaiki, Perusahaan Pialang
dianggap telah membatalkan permohonan perubahan
jenis instrumen dan/atau transaksi.
Pasal 23
Bank Indonesia melakukan kunjungan ke lokasi Perusahaan
Pialang (on site visit) untuk memastikan kesiapan operasional.
Pasal 24
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau
transaksi melalui surat paling lama 60 (enam puluh) Hari Kerja
setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap.
Bagian Ketiga
Perubahan Struktur Kepemilikan, Nama Badan Usaha,
serta Susunan Anggota Dewan Komisaris
dan Susunan Anggota Direksi
Pasal 25
(1) Perusahaan Pialang menyampaikan surat permohonan
kepada Bank Indonesia dalam hal akan melakukan
perubahan atas:
a.
struktur kepemilikan badan usaha yang tidak
mengakibatkan perubahan pengendalian Perusahaan
Pialang;
b. nama badan usaha; dan/atau
c. susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau
susunan anggota Direksi.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan paling sedikit oleh satu anggota Direksi.
(3) Contoh surat permohonan perubahan struktur
kepemilikan, nama badan usaha, serta susunan anggota
Dewan Komisaris, dan susunan anggota Direksi
tercantum pada Lampiran V yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 26
Surat permohonan perubahan struktur kepemilikan badan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a
dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa:
a. rancangan kepemilikan saham; dan
b. dalam hal terdapat calon pemegang saham baru,
dilengkapi dengan data calon pemegang saham baru
sebagai berikut:
1. dalam hal calon pemegang saham baru merupakan
badan hukum:
a)
fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang, berikut perubahan
terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan
dari instansi yang berwenang atau telah
diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari instansi yang
berwenang; dan
b) daftar susunan pemegang saham; dan
2. dalam hal calon pemegang saham baru merupakan
perseorangan:
a)
fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda
Penduduk atau paspor;
b) daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh
yang bersangkutan; dan
c) informasi daftar kredit macet dari otoritas yang
berwenang.
Pasal 27
Surat permohonan perubahan nama badan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b
dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa fotokopi
risalah rapat umum pemegang saham mengenai keputusan
perubahan nama perusahaan.
Pasal 28
Surat permohonan perubahan susunan anggota Dewan
Komisaris dan/atau susunan anggota Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c dilengkapi dengan
dokumen pendukung berupa:
a. rancangan susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi;
b. data anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi
baru, yang masing-masing dilengkapi dengan:
1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda
Penduduk atau paspor;
2. daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang
bersangkutan;
3. informasi daftar kredit macet dari otoritas yang
berwenang; dan
4. khusus untuk anggota Direksi, fotokopi ijazah paling
rendah setingkat sarjana strata 1; dan
c. surat pernyataan dari masing-masing anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi baru yang
menyatakan bahwa:
1. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana dalam jangka waktu tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf
a;
2. berkomitmen untuk mengembangkan Perusahaan
Pialang; dan
3. berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan dan
mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam
pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
domestik,
sebagaimana contoh dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 29
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian terdapat dokumen yang
dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank
Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada
Perusahaan Pialang untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen pendukung.
(2) Perusahaan Pialang melengkapi dan/atau memperbaiki
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak
tanggal pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank
Indonesia.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Perusahaan
Pialang belum menyampaikan dokumen yang telah
dilengkapi dan/atau diperbaiki, Perusahaan Pialang
dianggap telah membatalkan permohonan perubahan.
Pasal 30
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1) melalui surat paling lama 60 (enam puluh)
Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap.
Pasal 31
Perusahaan Pialang harus melakukan perubahan sebagaimana
dimaksud Pasal 25 ayat (1) paling lambat 60 (enam puluh) Hari
Kerja sejak tanggal surat persetujuan diterbitkan oleh Bank
Indonesia.
BAB VII
AKSI KORPORASI
Pasal 32
(1) Perusahaan Pialang dapat melakukan aksi korporasi
sebagai berikut:
a. Penggabungan;
b. Peleburan;
c. Pengambilalihan; dan/atau
d. Pemisahan.
(2) Aksi korporasi Penggabungan, Peleburan, dan
Pengambilalihan hanya dapat dilakukan apabila
perusahaan hasil Penggabungan (surviving company),
perusahaan hasil Peleburan, dan perusahaan hasil
Pengambilalihan merupakan Perusahaan Pialang.
(3) Aksi korporasi Pemisahan hanya dapat dilakukan apabila
salah satu perusahaan hasil Pemisahan merupakan
Perusahaan Pialang.
(4) Aksi korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap
memperhatikan persyaratan kepemilikan tertentu bagi
perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b.
Pasal 33
(1) Perusahaan Pialang menyampaikan surat permohonan
persetujuan kepada Bank Indonesia dalam hal akan
melakukan aksi korporasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (1).
(2) Surat permohonan persetujuan aksi korporasi diajukan
paling sedikit oleh satu anggota Direksi.
(3) Surat permohonan persetujuan
aksi korporasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan
dokumen pendukung berupa:
a.
fotokopi risalah rapat umum pemegang saham
mengenai keputusan aksi korporasi;
b. target waktu aksi korporasi;
c. rancangan kepemilikan saham yang dilengkapi
dengan data pemegang saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, dalam hal terdapat
perubahan struktur kepemilikan saham akibat aksi
korporasi;
d. surat pernyataan dari masing-masing Pemegang
Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf f, dalam hal terdapat perubahan
Pemegang Saham Pengendali; dan
e. susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi yang dilengkapi dengan data sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf c dan surat
pernyataan dari masing-masing anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, dalam hal terdapat
perubahan susunan anggota Dewan Komisaris
dan/atau susunan anggota Direksi.
(4) Contoh surat permohonan persetujuan aksi korporasi
tercantum pada Lampiran VI yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 34
(1) Dalam hal Perusahaan Pialang melakukan aksi korporasi:
a. berupa Penggabungan dan Pengambilalihan,
Perusahaan Pialang hasil Penggabungan (surviving
company)
dan Perusahaan Pialang hasil
Pengambilalihan tetap dapat menjalankan kegiatan
Perusahaan Pialang tanpa mengajukan izin usaha
kembali;
b. berupa Peleburan, Perusahaan Pialang hasil
Peleburan wajib mendapat izin terlebih dahulu dari
Bank Indonesia untuk dapat melanjutkan kegiatan
sebagai Perusahaan Pialang; dan
c. berupa Pemisahan, sebagai berikut:
1. perusahaan yang melakukan Pemisahan tidak
murni tetap dapat menjalankan kegiatan
Perusahaan Pialang tanpa mengajukan izin
usaha kembali;
2. perusahaan hasil Pemisahan tidak murni wajib
mendapat izin terlebih dahulu dari Bank
Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan
sebagai Perusahaan Pialang; dan
3. perusahaan hasil Pemisahan murni wajib
mendapat izin terlebih dahulu dari Bank
Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan
sebagai Perusahaan Pialang.
Pasal 35
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan persetujuan aksi korporasi melalui surat
paling lama 30 (tiga puluh) Hari Kerja setelah dokumen
pendukung dinyatakan lengkap.
Pasal 36
Perusahaan Pialang harus mulai melakukan aksi korporasi
paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja sejak tanggal
persetujuan aksi korporasi diterbitkan oleh Bank Indonesia.
BAB VIII
TATA CARA PENCABUTAN IZIN
DI LUAR PENGENAAN SANKSI
Pasal 37
Bank Indonesia melakukan pencabutan izin Perusahaan
Pialang dalam hal:
a. Perusahaan Pialang dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan; atau
b. adanya permintaan pemegang saham Perusahaan Pialang.
Bagian Pertama
Perusahaan Pialang Dinyatakan Pailit
Pasal 38
Dalam hal Perusahaan Pialang dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan, Bank Indonesia mengeluarkan surat
pencabutan izin usaha Perusahaan Pialang.
Bagian Kedua
Permintaan Pemegang Saham Perusahaan Pialang
Pasal 39
(1) Perusahaan Pialang yang akan melakukan pencabutan
izin karena adanya permintaan pemegang saham
Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 huruf b menyampaikan surat permohonan pencabutan
izin usaha kepada Bank Indonesia.
(2) Surat permohonan pencabutan izin usaha diajukan paling
sedikit oleh satu anggota direksi.
(3) Surat permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen
pendukung sebagai berikut:
a.
fotokopi risalah rapat umum pemegang saham
mengenai keputusan penutupan Perusahaan Pialang;
b. laporan keuangan terakhir;
c. rencana penyelesaian seluruh kewajiban kepada
pihak lain antara lain penyelesaian kewajiban kepada
kreditur, pembayaran gaji terutang, pembayaran
biaya kantor, pajak terutang, dan biaya-biaya lain
yang relevan; dan
d. surat pernyataan bahwa akan mengikuti ketentuan
perundang-undangan yang berlaku termasuk
Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan
terbatas, Undang-Undang yang mengatur mengenai
perpajakan dan Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketenagakerjaan.
(4) Contoh surat permohonan pencabutan izin usaha atas
permintaan pemegang saham tercantum pada Lampiran
VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 40
Bank Indonesia menerbitkan surat pencabutan izin usaha
Perusahaan Pialang paling lama 60 (enam puluh) Hari Kerja
setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap.
BAB IX
JENIS INSTRUMEN DAN TRANSAKSI
Pasal 41
Jenis instrumen dan/atau transaksi yang dapat ditawarkan
oleh Perusahaan Pialang mencakup:
a. instrumen moneter baik konvensional dan/atau dengan
prinsip syariah;
b. transaksi di Pasar Uang baik dalam rupiah dan/atau
valuta asing termasuk dengan prinsip syariah;
c. transaksi di Pasar Valuta Asing yaitu transaksi spot, swap,
forward, dan option valuta asing terhadap rupiah;
d. instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau
Pasar Valuta Asing lainnya, sesuai dengan persetujuan
Bank Indonesia; dan/atau
e. instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya, sesuai
dengan persetujuan Bank Indonesia.
BAB X
KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Kewajiban Perusahaan Pialang
Pasal 42
(1) Perusahaan Pialang wajib menyampaikan informasi
kepada Bank Indonesia dalam hal:
a.
terdapat indikasi manipulasi pasar yang dilakukan
oleh Pengguna Jasa;
b.
terdapat kejadian yang berpotensi memengaruhi
kelancaran operasional;
c. melakukan penghentian sementara kegiatan sebagai
Perusahaan Pialang;
d.
terjadi perselisihan antara Perusahaan Pialang
dengan Pengguna Jasa;
e. dikenakan sanksi oleh otoritas terkait di dalam
dan/atau luar negeri;
f.
terdapat perjanjian pertukaran informasi yang telah
disepakati antara Perusahaan Pialang dengan pihak
lain atau kewajiban penyampaian informasi kepada
otoritas yang berwenang di dalam dan/atau luar
negeri; dan/atau
g. terdapat informasi lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf d disampaikan kepada Bank
Indonesia melalui laporan insidental paling lambat 1 (satu)
Hari Kerja setelah kejadian.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
sampai dengan huruf g disampaikan kepada Bank
Indonesia melalui laporan insidental paling lambat 10
(sepuluh) Hari Kerja setelah kejadian.
Pasal 43
(1) Dalam hal terdapat anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi yang terbukti tidak dapat menjalankan
fungsinya atau berhalangan tetap, Perusahaan Pialang
menyampaikan informasi
Indonesia.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan bersamaan dengan surat permohonan
persetujuan perubahan susunan anggota Dewan
Komisaris dan/atau susunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c.
Bagian Kedua
Pemeliharan Total Ekuitas
Pasal 44
(1) Perusahaan Pialang wajib memelihara total ekuitas paling
sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Total ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan total ekuitas yang tercantum dalam laporan
keuangan triwulanan dan/atau laporan keuangan
tahunan yang telah diaudit.
Pasal 45
(1) Perusahaan Pialang dengan total ekuitas di bawah
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) wajib memenuhi
kekurangan ekuitas tersebut dalam jangka waktu paling
lambat 2 (dua) tahun sejak bulan total ekuitas di bawah
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Perusahaan Pialang dengan total ekuitas di bawah
Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) wajib
menyampaikan rencana penambahan kekurangan total
ekuitas kepada Bank Indonesia yang paling sedikit
meliputi:
a. mekanisme dan tahapan pemenuhan ekuitas;
b. sumber dana untuk pemenuhan ekuitas; dan
tersebut kepada Bank
anggota Direksi
c. hal lain yang perlu diinformasikan kepada Bank
Indonesia.
(3) Rencana penambahan kekurangan total
ekuitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan sejak total
ekuitas di bawah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Bagian Ketiga
Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Risiko
Pasal 46
Perusahaan Pialang wajib menerapkan prinsip kehati-hatian
yang dituangkan dalam pedoman internal yang paling sedikit
memuat:
a. pedoman etika bisnis sebagai Perusahaan Pialang;
b. transparansi dan keterbukaan informasi;
c. mekanisme penyelesaian sengketa; dan
d. perlindungan konsumen.
Pasal 47
(1) Perusahaan Pialang wajib menerapkan manajemen risiko
yang efektif, yang dituangkan dalam pedoman internal yang
paling sedikit memuat:
a. perencanaan keberlangsungan bisnis;
b. rencana pemulihan bencana; dan
c. jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip
kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan.
(2) Perencanaan keberlangsungan bisnis dan rencana
pemulihan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b paling sedikit memenuhi hal-hal sebagai
berikut:
a. bersifat fleksibel untuk dapat merespons berbagai
skenario gangguan yang sifatnya tidak terduga dan
spesifk, yaitu gambaran kondisi-kondisi tertentu dan
tindakan yang dibutuhkan segera;
b. pengujian dan evaluasi rencana keberlangsungan bisnis
secara berkala; dan
c. kebijakan dan prosedur rencana keberlangsungan
bisnis harus didokumentasikan secara memadai dan
dikomunikasikan kepada seluruh pegawai.
(3) Jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip kerahasiaan,
integritas, dan ketersediaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, dibuktikan dengan adanya kebijakan,
standar, prosedur yang paling sedikit meliputi:
a. pengukuran kinerja dan perencanaan kapasitas
jaringan (performance and capacity planning);
b. pengamanan jaringan komunikasi (network access
control);
c. change management (setting, configuration and testing);
d. network management, network logging, network
monitoring;
e. penggunaan internet, intranet, surat elektronik dan
wireless termasuk mekanisme penggunaan jaringan
komunikasi;
f. prosedur penanganan masalah (problem handling); dan
g. fasilitas rekam cadang (back up) dan recovery.
Pasal 48
Dalam menawarkan jasanya kepada Pengguna Jasa,
Perusahaan Pialang wajib memiliki buku pedoman yang paling
sedikit memuat:
a. aturan mengenai transparansi dan keterbukaan informasi;
b. mekanisme penyelesaian sengketa;
c. tata cara pendaftaran Pengguna Jasa;
d. penghentian layanan kepada Pengguna Jasa; dan
e. struktur biaya yang dikenakan kepada Pengguna Jasa.
Bagian Keempat
Tata Cara Pelaporan
Pasal 49
(1) Perusahaan Pialang wajib menyampaikan laporan kepada
Bank Indonesia sebagai berikut:
a.
laporan berkala; dan
b.
laporan insidental.
(2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi:
a.
b.
c.
laporan transaksi bulanan;
laporan keuangan triwulanan; dan
laporan keuangan tahunan yang telah diaudit.
(3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas kewajiban penyampaian informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan Pasal
43 ayat (1).
Pasal 50
(1) Laporan transaksi bulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 ayat (2) huruf a memuat informasi mengenai nilai
dan volume transaksi yang dilakukan melalui Perusahaan
Pialang dan disampaikan setiap bulan paling lambat 14
(empat belas) Hari Kerja setelah berakhirnya bulan
laporan.
(2) Laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b memuat posisi keuangan
akhir triwulan dan disampaikan setiap triwulan paling
lambat 20 (dua) puluh Hari Kerja setelah berakhirnya
triwulan laporan.
(3) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf c
memuat posisi keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
kantor akuntan publik dan disampaikan paling lambat 4
(empat) bulan setelah berakhirnya tahun laporan.
(4) Format laporan transaksi bulanan tercantum dalam
Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 51
(1) Perusahaan Pialang menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) kepada Bank Indonesia
secara online atau offline.
(2) Penyampaian laporan secara online sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Perusahaan
Pialang dengan berpedoman pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyampaian laporan
secara online.
(3) Dalam hal laporan secara online sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) belum tersedia, laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) disampaikan secara
offline.
BAB XI
PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Tata Cara Pengawasan
Pasal 52
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Perusahaan Pialang meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(2) Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap Perusahaan
Pialang, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan
otoritas lain yang berwenang.
(3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b.
(4) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib:
a. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau
keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan;
dan
b. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia.
Pasal 53
Dalam pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a, Bank Indonesia melakukan
pemantauan terhadap kepatuhan atas pelaksanaan ketentuan
yang berlaku termasuk penyampaian pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49.
Pasal 54
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b
yang meliputi pemeriksaan umum dan/atau pemeriksaan
khusus (insidentil) dalam hal diperlukan.
(2) Dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), petugas pemeriksa yang ditugaskan oleh
Bank Indonesia dilengkapi dengan surat penugasan yang
memuat antara lain tujuan dan objek pemeriksaan.
(3) Objek pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. penelitian atas kebenaran dan keakuratan laporan
yang disampaikan ke Bank Indonesia;
b. kesesuaian implementasi rencana bisnis;
c. manajemen (termasuk aspek organisasi, keuangan,
dan pengawasan intern) serta sistem dan prosedur
kegiatan operasional; dan
d. kepatuhan terhadap
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Pencabutan Izin Berdasarkan Hasil Evaluasi
Pasal 55
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin yang
diberikan kepada Perusahaan Pialang berdasarkan hasil
pengawasan dan informasi dari otoritas lain.
(2) Bank Indonesia dapat melakukan pencabutan izin
Perusahaan Pialang berdasarkan hasil evaluasi Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB XII
KORESPONDENSI
Pasal 56
(1) Alamat surat-menyurat atau korespondensi terkait
perizinan dan pengaturan disampaikan kepada:
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan
Bank Indonesia
Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat
Surat elektronik: perizinan_pk@bi.go.id
(2) Alamat surat-menyurat atau korespondensi terkait
pelaporan disampaikan kepada:
Departemen Surveilans Sistem Keuangan
Bank Indonesia
Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat
BAB XIII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Umum
Pasal 57
(1) Dalam hal pihak, Pelaku Pasar, dan/atau Perusahaan
Pialang melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Bank
Indonesia tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan
Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dengan
sanksi administratif berupa teguran tertulis, Bank
Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada
pihak, Pelaku Pasar, dan/atau Perusahaan Pialang yang
melakukan pelanggaran.
(2) Dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran
atas ketentuan yang sama dari Peraturan Bank Indonesia
tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
kalender, Bank Indonesia mengenakan sanksi
penghentian sementara selama 6 (enam) bulan kepada
Perusahaan Pialang.
(3) Dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran
dengan sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebanyak 5 (lima) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
kalender, Bank Indonesia mengenakan sanksi
penghentian sementara selama 6 (enam) bulan kepada
Perusahaan Pialang.
(4) Dalam hal Perusahaan Pialang yang terkena sanksi
penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) tidak melakukan penghentian usaha paling
lambat 1 (satu) bulan setelah tanggal surat sanksi
penghentian sementara, Bank Indonesia mencabut izin
usaha Perusahaan Pialang tersebut.
Bagian Kedua
Sanksi Kewajiban Pemeliharaan Total Ekuitas
Pasal 58
(1) Dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan mengenai pemeliharaan total ekuitas,
Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis
kepada Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran.
(2) Dalam hal Perusahaan Pialang dengan total ekuitas di
bawah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) tidak
memenuhi ketentuan mengenai pemeliharaan total
ekuitas dalam waktu 2 (dua) tahun, Bank Indonesia
mencabut izin usaha Perusahaan Pialang tersebut.
Bagian Ketiga
Sanksi Pemegang Saham Pengendali
Pasal 59
(1) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Perusahaan
Pialang menjadi Pemegang Saham Pengendali pada
Penyelenggara Transaksi lainnya, Bank Indonesia
menyampaikan surat teguran tertulis kepada Pemegang
Saham Pengendali yang melakukan pelanggaran.
(2) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Perusahaan
Pialang yang terkena sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mengalihkan sahamnya dalam jangka waktu
1 (satu) tahun sejak tanggal surat teguran tertulis
disampaikan oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia
mengenakan sanksi penghentian sementara selama 6
(enam) bulan kepada Perusahaan Pialang dan
Penyelenggara Transaksi lainnya tersebut.
(3) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Perusahaan
Pialang tidak mengalihkan sahamnya dalam jangka waktu
6 (enam) bulan sejak tanggal surat penghentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh
Bank Indonesia, Bank Indonesia mencabut izin usaha
Perusahaan Pialang dan Penyelenggara Transaksi lainnya
tersebut.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/29/DPD tanggal
18 November 2003 perihal Perusahaan Pialang Pasar Uang
Rupiah dan Valuta Asing; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/20/DPM tanggal
2 Agustus 2010 perihal Perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 5/29/DPD tanggal 18 November
2003 perihal Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan
Valuta Asing,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 61
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 31 Juli 2019.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
DODY BUDI WALUYO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/17 /PADG/2019
TENTANG
PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING
I. UMUM
Kegiatan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di Indonesia telah
menunjukkan perkembangan yang pesat sebagai dampak positif dari
kebijakan Bank Indonesia. Era globalisasi juga menambah tuntutan bagi
Pelaku Pasar untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas di dalam
pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Peran
Perusahaan Pialang di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing semakin
penting untuk mencapai hal tersebut. Sebagai perantara dari transaksi
antar Pelaku Pasar, Perusahaan Pialang juga dituntut untuk bekerja
secara profesional dan berhati-hati sehingga dapat mewujudkan pasar
keuangan yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh transaksi Pengguna Jasa dengan Bank:
PT. AAA menempatkan order spot beli USD/IDR melalui
Perusahaan Pialang PT. XYZ. Selanjutnya, Perusahaan Pialang
PT. XYZ memublikasikan order tersebut kepada Pengguna Jasa
lainnya. Perusahaan Pialang harus memastikan bahwa lawan
transaksi dari PT. AAA adalah berupa Bank.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpersetujuan prinsipโ adalah
persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai
calon Perusahaan Pialang.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis
sebagai Perusahaan Pialang dalam 2 (dua) tahun pertama setelah
memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia.
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpersetujuan prinsipโ adalah
persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon
Perusahaan Pialang.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โinfrastruktur yang andal dan amanโ
antara lain Sistem Elektronik dan/atau perangkat komunikasi
dengan jumlah unit atau kapasitas yang cukup dan teknologi
yang tidak obsolet.
Huruf e
Pemenuhan persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek
keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan
Komisaris, dan anggota Direksi dilakukan antara lain melalui
penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia, serta
mempertimbangkan hasil penilaian otoritas lain dan rekam jejak.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โsumber daya manusia yang kompetenโ
antara lain telah memiliki sertifikasi tresuri untuk sumber daya
manusia yang bertindak sebagai dealer sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri.
Huruf g
Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana pengembangan
sistem dan aspek lainnya yang terkait transaksi di Pasar Uang
dan Pasar Valuta Asing.
Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis
sebagai Perusahaan Pialang dalam 2 (dua) tahun pertama setelah
memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana di sektor jasa
keuangan pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani
masa hukuman pada Mei 1999. Tuan A baru dapat
menjadi Pemegang Saham Pengendali Perusahaan
Pialang sejak bulan Juni 2019.
Angka 2
Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan
penipuan pada bulan Mei 2007 dan selesai menjalani
masa hukuman pada Mei 2009. Tuan A baru dapat
menjadi Pemegang Saham Pengendali Perusahaan
Pialang sejak bulan Juni 2019.
Angka 3
Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian
uang pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa
hukuman pada Mei 1999. Tuan A baru dapat menjadi
Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang sejak
bulan Juni 2019.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Ayat (3)
Data yang ditatausahakan oleh otoritas yang berwenang misalnya
data yang dihasilkan oleh sistem layanan informasi keuangan.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana di sektor jasa
keuangan pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani
masa hukuman pada Mei 1999. Tuan A baru dapat
menjadi Pemegang Saham Pengendali Perusahaan
Pialang sejak bulan Juni 2019.
Angka 2
Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan
penipuan pada bulan Mei 2007 dan selesai menjalani
masa hukuman pada Mei 2009. Tuan A baru dapat
menjadi Pemegang Saham Pengendali Perusahaan
Pialang sejak bulan Juni 2019.
Angka 3
Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum
karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian
uang pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa
hukuman pada Mei 1999. Tuan A baru dapat menjadi
Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang sejak
bulan Juni 2019.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Data yang ditatausahakan oleh otoritas yang berwenang misalnya
data yang dihasilkan oleh sistem layanan informasi keuangan.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โpersetujuan prinsipโ adalah
persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon
Perusahaan Pialang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis
sebagai Perusahaan Pialang dalam 2 (dua) tahun pertama setelah
memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis
sebagai Perusahaan Pialang dalam 2 (dua) tahun pertama setelah
memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Contoh melakukan perubahan layanan dengan mengganti atau
menambah sarana pelaksanaan transaksi:
Perusahaan Pialang yang menyediakan sarana pelaksanaan transaksi
berupa Telephone Trading Information System (TTIS) menambah sarana
pelaksanaan transaksi berupa ETP untuk transaksi spot.
Kombinasi sarana pelaksanaan transaksi berupa TTIS dan ETP
tersebut merupakan model bisnis hybrid.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana
bisnis sebagai Perusahaan Pialang dalam 2 (dua) tahun
pertama setelah perubahan jenis instrumen dan/atau
transaksi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Dalam hal Perusahaan Pialang akan melakukan aksi korporasi
dengan Perusahaan Pialang lainnya maka masing-masing
Perusahaan Pialang harus mengirimkan surat permohonan aksi
korporasi kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Huruf a
Yang dimaksud dengan โputusan pengadilanโ adalah putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan โputusan pengadilanโ adalah putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Huruf a
Instrumen moneter antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
termasuk SBI dengan prinsip syariah, Sertifikat Deposito Bank
Indonesia (SDBI), dan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI)
dalam valuta asing.
Huruf b
Transaksi di Pasar Uang antara lain transaksi di Pasar Uang Antar
Bank (PUAB), Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip
Syariah (PUAS), dan jenis transaksi lainnya yang telah
distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum volume
dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen.
Huruf c
Transaksi di Pasar Valuta Asing termasuk juga jenis transaksi
yang telah distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum
volume dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen.
Transaksi spot mencakup transaksi today dan tomorrow.
Huruf d
Instrumen Pasar Uang antara lain transaksi jual beli sertifikat
deposito (negotiable certificate of deposit) dan surat berharga
komersial (commercial paper) berbentuk scripless.
Transaksi di Pasar Valuta Asing antara lain derivatif valuta asing
terhadap rupiah yang merupakan transaksi yang didasari oleh
suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya
merupakan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah
serta suku bunga valuta asing dan rupiah atau gabungan
antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah.
Huruf e
Instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya antara lain
currency futures dan/atau interest rate futures serta transaksi
Surat Berharga Negara dengan mengacu pada ketentuan otoritas
terkait.
Pasal 42
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โmanipulasi pasarโ antara lain:
1.
layering and spoofing, yaitu memasukkan penawaran
secara berulang pada satu sisi (bid atau offer) untuk
selanjutnya melakukan eksekusi transaksi atas sisi yang
berlawanan;
2. manipulation of benchmarks, yaitu mengirimkan informasi
palsu atau menyesatkan, melakukan input yang salah
atau menyesatkan, atau aktivitas setara lainnya dengan
sengaja untuk memanipulasi perhitungan benchmark
harga, suku bunga, atau nilai tukar;
3. momentum ignition, yaitu memasukkan order atau order
berseri yang bertujuan memulai atau memperburuk tren
dan mendorong Pelaku Pasar mengakselerasi atau
memperpanjang tren sehingga menciptakan kesempatan
atau peluang bagi Pelaku Pasar tersebut untuk melakukan
unwind atau membuka posisi pada tingkat harga yang
diinginkan;
4. price flashing, yang merupakan salah satu bentuk strategi
manipulasi yang serupa dengan spoofing, antara lain
melakukan distribusi harga atau order ke dalam suatu
ETP dalam jangka waktu singkat pada frekuensi tertentu
dimana risiko eksekusi minimal atau tidak ada dan
memberikan kesan yang keliru terkait harga dan likuiditas
di pasar; atau
5. quote stuffing, yaitu Pelaku Pasar memasukkan sejumlah
besar pesanan dan/atau pembatalan atau pembaruan
pesanan sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi
Pelaku Pasar lainnya, memperlambat proses transaksi,
dan untuk menyamarkan strategi mereka sendiri.
Huruf b
Kejadian yang berpotensi memengaruhi kelancaran
operasional antara lain:
1. Perusahaan Pialang melakukan pemeliharaan sistem
dan/atau jaringan Sistem Elektronik; dan/atau
2. Perusahaan Pialang mengalami gangguan koneksi
dan/atau serangan virus,
sehingga mengganggu layanan kepada Pengguna Jasa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Contoh menyampaikan informasi dalam hal dikenakan
sanksi yaitu:
Perusahaan Pialang yang merupakan perusahaaan global
dan beroperasi di berbagai negara pada suatu waktu diberi
sanksi oleh otoritas negara lain maka Perusahaan Pialang
wajib melaporkan hal tersebut kepada Bank Indonesia.
Huruf f
Perjanjian pertukaran informasi dengan pihak lain atau
kewajiban penyampaian informasi kepada otoritas lain
meliputi data transaksi domestik.
Contoh penyampaian informasi kepada otoritas lain yaitu:
Perusahaan Pialang yang merupakan perusahaan global dan
beroperasi di berbagai negara melaporkan seluruh transaksi
yang terjadi dalam ETP termasuk transaksi di pasar
domestik kepada otoritas negara lain maka Perusahaan
Pialang wajib melaporkan hal tersebut kepada Bank
Indonesia.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Contoh tidak dapat menjalankan fungsi atau berhalangan tetap
antara lain meninggal dunia, mengalami cacat fisik, cacat mental,
dan/atau kondisi lain yang tidak memungkinkan yang
bersangkutan untuk melakukan tugasnya dengan baik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โtotal ekuitasโ antara lain modal disetor
ditambah dengan saldo laba (rugi) beserta komponen total ekuitas
lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Huruf a
Salah satu pedoman etika bisnis yang dapat diacu yaitu market
code of conduct yang diterbitkan oleh komite pasar antara lain
Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) dan/atau
Bank for International Settlement (BIS).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โperencanaan keberlangsungan
bisnisโ adalah kebijakan dan prosedur yang memuat
rangkaian kegiatan yang terencana dan terkoordinasi
mengenai langkah pengurangan risiko, penanganan dampak
gangguan atau bencana, dan proses pemulihan agar
kegiatan operasional Perusahaan Pialang dan pelayanan
kepada Pengguna Jasa tetap dapat berjalan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โrencana pemulihan bencanaโ
adalah dokumen yang berisikan rencana dan langkah untuk
menggantikan dan/atau memulihkan kembali akses data,
perangkat keras, dan perangkat lunak yang diperlukan, agar
Perusahaan Pialang dapat menjalankan kegiatan operasional
yang kritikal setelah adanya gangguan dan/atau bencana.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud โstruktur biayaโ adalah biaya-biaya yang
dikenakan tanpa adanya diskriminasi dan diperlakukan sama
kepada semua pengguna jasa.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pihak lain yang ditugaskan antara lain auditor independen yang
memiliki sertifikasi dan kompetensi di bidang keuangan dan/atau
teknologi informasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Contoh pengenaan sanksi terkait Pemegang Saham Pengendali
yang melakukan pelanggaran yaitu:
PT โABCโ menjadi Pemegang Saham Pengendali pada PT โPPUโ
(Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang).
Kemudian, PT โABCโ membeli saham PT โETPโ (Penyelenggara
Transaksi berupa Penyedia ETP) dan sekaligus menjadi Pemegang
Saham Pengendali PT โETPโ. Berdasarkan hal tersebut, Bank
Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
Ayat (2)
Contoh pengenaan sanksi terkait tidak melaksanakan pengalihan
saham yaitu:
PT โABCโ menjadi Pemegang Saham Pengendali pada PT โPPUโ
dan PT โETPโ dan tidak melakukan pengalihan saham dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak mendapatkan teguran tertulis
maka Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian
sementara kegiatan PT โPPUโ dan PT โETPโ selama 6 (enam)
bulan.
Ayat (3)
Contoh pencabutan izin usaha terkait tidak melakukan
pengalihan saham yaitu:
PT โABCโ menjadi Pemegang Saham Pengendali pada PT โPPUโ
dan PT โETPโ dan tidak melakukan pengalihan saham dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dikenakan sanksi penghentian
sementara maka Bank mencabut izin PT โPPUโ dan PT โETPโ
sebagai Penyelenggara Transaksi.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/17/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 31 Juli 2019 </set_date>
<effective_date> 31 Juli 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '5/29/DPD|SE-BI/2003', '12/20/DPM|SE-BI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '21/5/PBI/2019' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
1
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/19/PADG/2018
TENTANG
INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE
DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung stabilitas moneter dan sistem
keuangan dibutuhkan efisiensi transaksi di pasar uang;
b. bahwa efisiensi transaksi di pasar uang perlu ditunjang
oleh pasar uang yang likuid dan dalam;
c. bahwa pasar uang yang likuid dan dalam membutuhkan
suku bunga pasar uang sebagai acuan yang kredibel
untuk digunakan dalam berbagai transaksi keuangan;
d. bahwa salah satu upaya pembentukan suku bunga pasar
uang sebagai acuan yang kredibel untuk digunakan dalam
berbagai transaksi keuangan yaitu dengan mengacu pada
data transaksi;
e. bahwa untuk pembentukan suku bunga pasar uang
sebagai acuan yang kredibel untuk digunakan dalam
berbagai transaksi keuangan diperlukan peraturan
pelaksanaan terkait pembentukan suku bunga;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf e perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Indonesia
2
Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered
Rate;
Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/7/PBI/2018 tentang
Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank
Offered Rate (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6227);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE DAN JAKARTA
INTERBANK OFFERED RATE.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1.
Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya
disebut IndONIA adalah indeks suku bunga atas transaksi
pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang
dilakukan antarbank untuk jangka waktu overnight di
Indonesia.
2. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut
JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi
pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan dan
dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor
kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah
untuk jangka waktu tertentu di Indonesia.
3. Offer Rate adalah suku bunga indikasi pinjaman tanpa
agunan yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk
ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank
kontributor lain untuk meminjamkan rupiah untuk
jangka waktu tertentu di Indonesia.
3
4. Bid Rate adalah suku bunga indikasi pinjaman tanpa
agunan yang diminta dan dimaksudkan untuk
ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank
kontributor lain untuk meminjam rupiah untuk jangka
waktu tertentu di Indonesia.
5. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
6. Bank Kontributor adalah Bank yang menyampaikan suku
bunga indikasi kepada Bank Indonesia untuk digunakan
dalam penetapan JIBOR.
7. Asking Bank adalah Bank Kontributor yang meminta
quoting bank untuk melakukan transaksi pinjam-
meminjamkan rupiah tanpa agunan.
8. Quoting Bank adalah Bank Kontributor yang menerima
permintaan dari Asking Bank untuk melakukan transaksi
pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan.
9. Hari Kerja adalah hari Senin sampai dengan hari Jumat
dan Kantor Pusat Bank Indonesia menyelenggarakan
kegiatan kliring dan sistem Bank Indonesia โ Real Time
Gross Settlement.
BAB II
INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE
Pasal 2
(1) Bank Indonesia menetapkan IndONIA pada setiap Hari
Kerja.
(2) IndONIA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan data transaksi pinjam-meminjamkan rupiah
tanpa agunan yang dilakukan antar-Bank untuk jangka
waktu overnight di Indonesia, yang dilaporkan oleh Bank
melalui laporan harian bank umum.
(3) Data transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu
data transaksi sepanjang Hari Kerja yang dilaporkan
4
sesuai dengan batas waktu pelaporan transaksi pinjam-
meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan
antar-Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian
bank umum.
(4) Penetapan IndONIA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menghitung rata-rata tertimbang
berdasarkan nilai nominal transaksi (volume-weighted
average) atas seluruh data sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(5) Hasil perhitungan IndONIA sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dibulatkan dalam 5 (lima) digit di belakang koma.
Pasal 3
(1) IndONIA dipublikasikan pada situs web Bank Indonesia
setiap Hari Kerja pada pukul 19.30 WIB.
(2) Dalam hal terjadi perpanjangan batas waktu pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), IndONIA
dipublikasikan pada situs web Bank Indonesia 30 (tiga
puluh) menit setelah batas waktu pelaporan dimaksud
berakhir.
BAB III
JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE
Bagian Kesatu
Penetapan Bank Kontributor
Pasal 4
(1) Bank Indonesia menetapkan Bank yang menjadi Bank
Kontributor.
(2) Penetapan Bank sebagai Bank Kontributor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
a. keaktifan Bank dalam melakukan transaksi pinjam-
meminjamkan rupiah tanpa agunan di pasar uang
antar-Bank;
b. credit rating; dan
5
c.
kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Penetapan Bank Kontributor sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan melalui surat.
(4) Bank Indonesia memublikasikan Bank Kontributor yang
telah ditetapkan sebagaimana ayat (3) dalam daftar Bank
Kontributor pada situs web Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Bank Indonesia melakukan review atas Bank Kontributor
yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) paling sedikit 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun.
(2) Berdasarkan review sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat melakukan penambahan dan/atau
penghentian Bank Kontributor.
(3) Penambahan dan/atau Penghentian Bank Kontributor
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui
surat.
Bagian Kedua
Kewajiban bagi Bank Kontributor
terkait Penyampaian Suku Bunga Indikasi
Pasal 6
(1) Bank Kontributor wajib menyampaikan kuotasi suku
bunga indikasi kepada Bank Indonesia, berupa:
a. Offer Rate, dan
b. Bid Rate,
masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) minggu,
1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, dan 12 (dua
belas) bulan, dengan day count convention aktual/360 (tiga
ratus enam puluh) hari.
(2) Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan setiap Hari Kerja dengan batas waktu
penyampaian sebagai berikut:
a. mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 10.30
WIB; dan
b. waktu koreksi sampai dengan pukul 10.45 WIB.
6
(3) Tata cara penyampaian kuotasi suku bunga indikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan harian bank umum.
(4) Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan spread antara Offer Rate dan Bid Rate
paling lebar:
a. 10 (sepuluh) basis points untuk jangka waktu 1 (satu)
minggu; dan
b. 20 (dua puluh) basis points untuk jangka waktu
1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, dan
12 (dua belas) bulan.
Pasal 7
(1) Bank Kontributor menetapkan kuotasi suku bunga
indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
menggunakan data input dengan jenjang sebagai berikut:
a. data suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan
rupiah tanpa agunan yang dilakukan oleh Bank
Kontributor pada hari penyampaian suku bunga
indikasi sebelum batas waktu penyampaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
b. data kuotasi suku bunga transaksi pinjam-
meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dapat
dieksekusi pada hari penyampaian suku bunga
indikasi sebelum batas waktu penyampaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
c. data suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan
rupiah di pasar uang lain yang dilakukan oleh Bank
Kontributor dan/atau data kuotasi suku bunga
transaksi pinjam-meminjamkan rupiah di pasar uang
lain yang dapat dieksekusi, pada hari penyampaian
suku bunga indikasi sebelum batas waktu
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2); dan
d. penilaian profesional (expert judgement).
7
(2) Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian atas data
input sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal Bank Kontributor menggunakan data suku
bunga transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a:
1. Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian
data input dengan mempertimbangkan
counterparty guna memperhitungkan risiko
kredit sehingga data suku bunga transaksi yang
digunakan lebih sesuai dengan definisi JIBOR;
dan/atau
2. Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian
sehingga data suku bunga transaksi yang
digunakan lebih mencerminkan kondisi terkini
dalam hal terjadi volatilitas suku bunga intrahari
yang tinggi.
b. dalam hal Bank Kontributor menggunakan data
kuotasi suku bunga transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank Kontributor
dapat melakukan penyesuaian sehingga data kuotasi
suku bunga transaksi yang digunakan lebih
mencerminkan kondisi terkini dalam hal terjadi
volatilitas suku bunga intrahari yang tinggi.
c. dalam hal Bank Kontributor menggunakan data suku
bunga transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c:
1. Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian
data input dengan mempertimbangkan
counterparty dan suku bunga akibat perbedaan
risiko kredit dengan suku bunga pinjam-
meminjamkan rupiah tanpa agunan sehingga
data suku bunga yang digunakan lebih sesuai
dengan definisi JIBOR; dan/atau
2. Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian
sehingga data suku bunga transaksi yang
digunakan lebih mencerminkan kondisi terkini
8
dalam hal terjadi volatilitas suku bunga intrahari
yang tinggi.
(3) Penggunaan jenjang data input sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal terdapat data sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a maka penggunaan jenjang data input
harus menggunakan data sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a;
b. dalam hal tidak terdapat data sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a maka penggunaan jenjang data
input harus menggunakan data sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b;
c. dalam hal tidak terdapat data sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b maka penggunaan
jenjang data input harus menggunakan data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; dan
d. dalam hal tidak terdapat data sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c maka
penggunaan jenjang data input harus menggunakan
data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.
(4) Nilai yang didapat dari penerapan jenjang data input
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(3) menjadi nilai dalam penetapan kuotasi suku bunga
indikasi oleh Bank Kontributor dengan ketentuan:
a. menjadi batas atas Bid Rate; dan
b. menjadi batas bawah Offer Rate.
Bagian Ketiga
Penetapan Jakarta Interbank Offered Rate
Pasal 8
(1) Bank Indonesia menetapkan JIBOR berdasarkan data
kuotasi suku bunga indikasi yang disampaikan oleh Bank
Kontributor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Penetapan JIBOR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menghitung rata-rata sederhana (simple
average), setelah mengeluarkan 15% (lima belas persen)
9
data Offer Rate tertinggi dan 15% (lima belas persen) data
Offer Rate terendah atas seluruh data sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Hasil perhitungan JIBOR sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dibulatkan dalam 5 (lima) digit di belakang koma.
Pasal 9
(1) JIBOR dipublikasikan pada situs web Bank Indonesia
setiap Hari Kerja pada pukul 11.00 WIB.
(2) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
mencakup kuotasi suku bunga indikasi individual Bank
Kontributor yakni Offer Rate dan Bid Rate.
Bagian Keempat
Kewajiban Pemenuhan Permintaan Transaksi
Pasal 10
(1) Asking Bank dapat meminta Quoting Bank untuk:
a. meminjam rupiah dari Asking Bank; atau
b. meminjamkan rupiah kepada Asking Bank,
pada tingkat suku bunga sesuai dengan suku bunga
indikasi yang disampaikan oleh Quoting Bank.
(2) Quoting Bank wajib memenuhi permintaan transaksi (deal)
dari Asking Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sepanjang memenuhi batasan, yaitu:
a. permintaan transaksi oleh Asking Bank dilakukan
dalam batas waktu dari pukul 11.00 WIB sampai
dengan pukul 11.20 WIB;
b. jangka waktu meminjam atau meminjamkan rupiah
paling lama 6 (enam) bulan;
c. permintaan transaksi dari Asking Bank paling banyak
Rp21.000.000.000,00 (dua puluh satu miliar rupiah),
dengan ketentuan bahwa untuk permintaan
transaksi dengan jangka waktu 6 (enam) bulan,
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah);
d.
total permintaan transaksi dari seluruh Asking Bank
10
yang dipenuhi oleh Quoting Bank tidak melebihi
Rp21.000.000.000,00 (dua puluh satu miliar rupiah)
per hari, dengan ketentuan bahwa untuk permintaan
transaksi dengan jangka waktu 6 (enam) bulan, tidak
melebihi Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per
hari; dan
e. ketersediaan dana dan batasan credit limit dari
Quoting Bank kepada Asking Bank.
(3) Dalam hal Quoting Bank tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Asking Bank
menyampaikan informasi mengenai penolakan tersebut
secara tertulis dengan disertai bukti-bukti pendukung
kepada Bank Indonesia yang ditujukan kepada:
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan
Bank Indonesia
Gedung C Lantai 5
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(4) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan paling lama 5 (lima) Hari Kerja sejak tanggal
penolakan.
Bagian Kelima
Kewajiban terkait Penatausahaan, Pedoman Internal,
dan Administrasi Lainnya
Pasal 11
(1) Bank Kontributor wajib menatausahakan data, informasi,
dan hal yang berkaitan dengan proses penetapan kuotasi
suku bunga indikasi.
(2) Data, informasi, dan hal yang berkaitan dengan proses
penetapan kuotasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. data transaksi pasar uang; dan
b. kertas kerja, dalam hal digunakan oleh Bank
Kontributor,
11
yang digunakan dalam penetapan kuotasi suku bunga
indikasi.
(3) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dalam bentuk:
a. softcopy; dan/atau
b. hardcopy.
(4) Data, informasi, dan hal yang berkaitan dengan proses
penetapan kuotasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib ditatausahakan paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 12
(1) Bank Kontributor wajib memiliki pedoman internal
mengenai penetapan kuotasi suku bunga indikasi.
(2) Pedoman internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat kebijakan dan prosedur yang digunakan oleh
Bank Kontributor dalam penetapan kuotasi suku bunga
indikasi.
(3) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling sedikit memuat:
a. prosedur penetapan kuotasi suku bunga indikasi
yang mengacu pada jenjang data input dan
penyampaian kuotasi suku bunga indikasi;
b.
informasi terkait unit kerja dan/atau jabatan yang
bertugas dan bertanggung jawab serta peran dan
tanggung jawabnya dalam penetapan dan
penyampaian kuotasi suku bunga indikasi, termasuk
didalamnya terkait fungsi validasi dalam penetapan
kuotasi suku bunga indikasi; dan
c. penatausahaan data, informasi, dan hal yang
berkaitan dengan proses penetapan kuotasi suku
bunga indikasi.
(4) Pedoman internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disetujui dan ditandatangani oleh pejabat paling rendah
setingkat direktur.
(5) Pedoman internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus di-review secara berkala.
12
Pasal 13
(1) Bank Kontributor wajib menyampaikan surat pernyataan
bahwa Bank Kontributor akan menaati ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Indonesia overnight
index average dan Jakarta interbank offered rate kepada
Bank Indonesia.
(2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh pejabat paling rendah setingkat
direktur.
(3) Format surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 14
(1) Pedoman internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 harus disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
ditujukan kepada:
Departemen Surveilans Sistem Keuangan
Bank Indonesia
Gedung D Lantai 8
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(2) Pedoman internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat
pada tanggal 31 Maret di tahun mulai berlaku efektifnya
status Bank sebagai Bank Kontributor.
BAB IV
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 15
(1) Dalam hal Quoting Bank tidak memenuhi permintaan
transaksi (deal) dari Asking Bank sebagaimana dimaksud
13
dalam Pasal 10 ayat (2), Bank Indonesia mengenakan
sanksi teguran tertulis.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:
a. berdasarkan
informasi
mengenai penolakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), Bank
Indonesia meminta Quoting Bank untuk memberikan
alasan penolakan transaksi disertai dengan bukti
pendukung.
b. Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap
informasi mengenai penolakan yang diterima dari
Asking Bank dan alasan penolakan transaksi serta
bukti pendukung dari Quoting Bank.
c. Dalam melakukan penelitian sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bank Indonesia dapat melibatkan
asosiasi di pasar uang dan/atau perbankan.
d. Dalam hal menurut penelitian Bank Indonesia
Quoting Bank tidak mempunyai alasan yang kuat
untuk menolak permintaan transaksi (deal) dari
Asking Bank, Bank Indonesia memberikan sanksi
berupa teguran tertulis kepada Quoting Bank.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Bank yang telah menjadi Bank Kontributor sebelum Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini berlaku, tetap tunduk pada Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret
2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank sebagaimana
telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
18/14/DPPK tanggal 25 Mei 2016 perihal Perubahan atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31
Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank, sampai
dengan tanggal 1 Januari 2019.
14
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal
31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/14/DPPK tanggal
25 Mei 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal
Suku Bunga Penawaran Antarbank, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku pada tanggal 2 Januari 2019, kecuali ketentuan
terkait penetapan Bank Kontributor dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku pada tanggal 24 Juli 2018.
Pasal 18
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Agustus 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
DODY BUDI WALUYO
1
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/19/PADG/2018
TENTANG
INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE
DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE
I. UMUM
Benchmark rate pasar uang berperan penting dalam mendukung
stabilitas moneter dan sistem keuangan yaitu dengan meningkatkan
efisiensi transaksi di pasar uang. Adanya benchmark rate pasar uang yang
digunakan bersama dapat mengurangi kompleksitas kontrak keuangan
dengan mendorong standardisasi penggunaan suku bunga acuan pada
surat utang dan/atau pinjaman dengan suku bunga mengambang, derivatif
suku bunga rupiah, dan untuk valuasi instrumen keuangan.
Di Indonesia, benchmark rate pasar uang dituangkan dalam bentuk
IndONIA dan JIBOR. Penggunaan IndONIA dan JIBOR diharapkan dapat
mengurangi kompleksitas kontrak keuangan rupiah di Indonesia.
IndONIA ditetapkan berdasarkan data transaksi di pasar uang
antarbank sehingga memiliki kredibilitas yang tinggi. Guna memperkuat
kredibilitas JIBOR yang berbasis kuotasi, penguatan lebih lanjut dilakukan
melalui penerapan jenjang data input dalam penetapan kuotasi JIBOR,
yang diharapkan dapat menciptakan pembentukan JIBOR yang lebih
transparan dan sejalan dengan pergerakan suku bunga di pasar uang.
2
Pengaturan IndONIA dan JIBOR bertujuan untuk mendukung agar
proses penetapan IndONIA dan JIBOR dilakukan secara terpercaya dan
akurat guna menjaga integritas dan kredibilitas dari benchmark rate pasar
uang. Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/7/PBI/2018 tentang Indonesia
Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate.
Implementasi ketentuan tersebut dituangkan dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi Bank
Kontributor dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi sekaligus
menyediakan informasi yang transparan bagi publik pada umumnya dan
pelaku pasar pada khususnya terkait pembentukan IndONIA dan JIBOR
sebagai benchmark rate pasar uang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh penyebab perpanjangan batas waktu pelaporan laporan
harian bank umum yaitu gangguan teknis atau gangguan lainnya
pada sistem dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Review Bank Indonesia dapat dilakukan secara berkala atau
sewaktu-waktu.
3
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Data input menggunakan data suku bunga transaksi
pinjam-meminjamkan rupiah dengan jangka waktu yang
sama dengan jangka waktu JIBOR.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โkuotasi suku bunga transaksi
pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dapat
dieksekusiโ adalah kuotasi yang diberikan oleh suatu Bank,
baik secara langsung maupun melalui pialang pasar uang,
yang menjadi tingkat suku bunga transaksi pinjam-
meminjamkan rupiah jika terdapat permintaan transaksi
dari Bank lain.
Kuotasi dimaksud dapat berupa kuotasi yang didapat oleh
Bank Kontributor dari Bank lain, baik secara langsung
maupun melalui pialang pasar uang, dan/atau kuotasi yang
diberikan oleh Bank Kontributor kepada Bank lain, baik
secara langsung maupun melalui pialang pasar uang.
Data input menggunakan data kuotasi suku bunga transaksi
pinjam-meminjamkan rupiah dengan jangka waktu yang
sama dengan jangka waktu JIBOR.
Bank Kontributor dapat menetapkan aturan penggunaan
data kuotasi pada pedoman internal.
Contoh: Bank Kontributor menetapkan bahwa data kuotasi
suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan rupiah yang
dapat dieksekusi digunakan apabila terdapat data kuotasi
dari lebih dari 1 (satu) pialang pasar uang dan/atau Bank
lain.
4
Huruf c
Yang termasuk dalam transaksi pinjam-meminjamkan
rupiah di pasar uang lain antara lain:
1) transaksi pinjam-meminjamkan rupiah dengan agunan
(secured) seperti transaksi repurchase agreement (repo);
2) transaksi perdagangan instrumen pasar uang yaitu di
pasar primer dan/atau pasar sekunder; dan
3) transaksi foreign exchange swap (FX swap).
Yang dimaksud dengan โinstrumen pasar uangโ adalah
instrumen pasar uang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar
uang, tidak termasuk instrumen pasar uang yang
berdasarkan prinsip syariah.
Data input menggunakan data suku bunga transaksi
dan/atau kuotasi suku bunga transaksi pinjam-
meminjamkan rupiah di pasar uang lain dengan jangka
waktu yang sama dengan jangka waktu JIBOR.
Bank Kontributor dapat menetapkan aturan penggunaan
data pasar uang lain pada pedoman internal.
Contoh: Bank Kontributor menetapkan bahwa data di pasar
uang lain yang digunakan hanya terbatas pada data
transaksi repurchase agreement (repo) dan transaksi
instrumen operasi moneter.
Huruf d
Penilaian
profesional dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan:
1) data suku bunga transaksi atau kuotasi suku bunga
transaksi dengan jangka waktu yang berbeda dengan
jangka waktu JIBOR;
2) data suku bunga transaksi historis;
3) ekspektasi suku bunga ke depan; dan/atau
4) pertimbangan lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Contoh: pada hari penyampaian suku bunga indikasi
sebelum batas waktu penyampaian, Bank Kontributor
5
melakukan transaksi pinjam-meminjamkan rupiah
tanpa agunan sebagai berikut:
a) 3 (tiga) transaksi pinjam-meminjamkan rupiah
tanpa agunan dilakukan dengan Bank Kontributor
lain; dan
b) 2 (dua) transaksi pinjam-meminjamkan rupiah
tanpa agunan dilakukan dengan Bank selain Bank
Kontributor,
jika Bank Kontributor menilai bahwa pada saat itu
terdapat perbedaan risiko kredit yang signifikan antara
transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan
yang dilakukan dengan Bank Kontributor lain dan yang
dilakukan dengan Bank selain Bank Kontributor maka
Bank Kontributor dapat hanya menggunakan 3 (tiga)
data transaksi pinjam-meminjamkan rupiah dengan
Bank Kontributor lain.
Angka 2
Bank Kontributor dapat hanya menggunakan data
transaksi yang dilakukan dengan waktu terdekat
dengan batas waktu penyampaian kuotasi suku bunga
indikasi sebagai data input dalam penetapan kuotasi
suku bunga indikasi jika dinilai terjadi kondisi pasar
uang dengan volatilitas suku bunga intrahari yang
tinggi.
Contoh: pada hari penyampaian suku bunga indikasi
sebelum batas waktu penyampaian, Bank Kontributor
melakukan transaksi pinjam-meminjamkan rupiah
sebagai berikut:
a) transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa
agunan dengan suku bunga 5% pada pukul 08.30
WIB;
b) transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa
agunan dengan suku bunga 6% pada pukul 09.30
WIB; dan
c)
transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa
agunan dengan suku bunga 7% pada pukul 10.00
WIB,
6
jika Bank Kontributor menilai bahwa pada saat itu
terjadi kondisi pasar uang dengan volatilitas suku
bunga intrahari yang tinggi maka Bank Kontributor
dapat hanya menggunakan data transaksi yang
dilakukan pada pukul 10.00 WIB sebagai data input
dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi agar
mencerminkan kondisi terkini. Bank Kontributor juga
dapat memutuskan untuk tidak menggunakan seluruh
data transaksi tersebut dan menggunakan data input
pada jenjang berikutnya.
Huruf b
Bank Kontributor dapat hanya menggunakan data kuotasi
suku bunga transaksi yang dilakukan dengan waktu
terdekat dengan batas waktu penyampaian kuotasi suku
bunga indikasi sebagai data input dalam penetapan kuotasi
suku bunga indikasi jika dinilai terjadi kondisi pasar uang
dengan volatilitas suku bunga intrahari yang tinggi.
Contoh: pada hari penyampaian suku bunga indikasi
sebelum batas waktu penyampaian, Bank Kontributor
mendapat kuotasi suku bunga transaksi pinjam-
meminjamkan rupiah sebagai berikut:
a) kuotasi suku bunga transaksi dengan suku bunga 5%
pada pukul 08.30 WIB;
b) kuotasi suku bunga transaksi dengan suku bunga 6%
pada pukul 09.30 WIB; dan
c) kuotasi suku bunga transaksi dengan suku bunga 7%
pada pukul 10.00 WIB,
jika Bank Kontributor menilai bahwa pada saat itu terjadi
kondisi pasar uang dengan volatilitas suku bunga intrahari
yang tinggi maka Bank Kontributor dapat hanya
menggunakan data kuotasi suku bunga transaksi yang
didapat pada pukul 10.00 WIB sebagai data input dalam
penetapan kuotasi suku bunga indikasi agar mencerminkan
kondisi terkini. Bank Kontributor juga dapat memutuskan
untuk tidak menggunakan seluruh data kuotasi suku bunga
transaksi tersebut dan menggunakan data input pada
jenjang berikutnya.
7
Huruf c
Angka 1
Contoh:
a) pada hari penyampaian suku bunga indikasi
sebelum batas waktu penyampaian, Bank
Kontributor melakukan transaksi
sertifikat
deposito sebagai berikut:
1) 3 (tiga) transaksi sertifikat deposito yang
diterbitkan oleh Bank dengan credit rating
AAA; dan
2) 2 (dua) transaksi sertifikat deposito yang
diterbitkan oleh Bank dengan credit rating A,
jika Bank Kontributor menilai bahwa pada saat itu
terdapat perbedaan risiko kredit yang signifikan
antara sertifikat deposito yang diterbitkan oleh
Bank dengan credit rating AAA dan yang diterbitkan
oleh Bank dengan credit rating A maka Bank
Kontributor dapat hanya menggunakan 3 (tiga)
data transaksi sertifikat deposito yang diterbitkan
oleh Bank dengan credit rating AAA.
b)
jika Bank Kontributor menggunakan data suku
bunga transaksi repurchase agreement (repo)
sebagai data input, Bank Kontributor dapat
melakukan penyesuaian dengan menambahkan
credit spread sehingga tingkat suku bunga akan
mencerminkan risiko kredit transaksi pinjam-
meminjamkan rupiah tanpa agunan sebagaimana
definisi JIBOR. Credit spread ditetapkan Bank
Kontributor mempertimbangkan kondisi pasar
yang terjadi pada saat itu.
Angka 2
Bank Kontributor dapat hanya menggunakan data
transaksi yang dilakukan dengan waktu terdekat
dengan batas waktu penyampaian kuotasi suku bunga
indikasi sebagai data input dalam penetapan kuotasi
suku bunga indikasi jika dinilai terjadi kondisi pasar
8
uang dengan volatilitas suku bunga intrahari yang
tinggi.
Contoh: pada hari penyampaian suku bunga indikasi
sebelum batas waktu penyampaian, Bank Kontributor
melakukan transaksi repurchase agreement (repo)
sebagai berikut:
a) transaksi repurchase agreement (repo) dengan suku
bunga 5% pada pukul 08.30 WIB;
b) transaksi repurchase agreement (repo) dengan suku
bunga 6% pada pukul 09.30 WIB; dan
c)
transaksi repurchase agreement (repo) dengan suku
bunga 7% pada pukul 10.00 WIB,
jika Bank Kontributor menilai bahwa pada saat itu
terjadi kondisi pasar uang dengan volatilitas suku
bunga intrahari yang tinggi maka Bank Kontributor
dapat hanya menggunakan data transaksi yang
dilakukan pada pukul 10.00 WIB sebagai data input
dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi agar
mencerminkan kondisi terkini. Bank Kontributor juga
dapat memutuskan untuk tidak menggunakan seluruh
data transaksi tersebut dan menggunakan data input
pada jenjang berikutnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh: Bank Kontributor menetapkan kuotasi suku bunga
indikasi untuk jangka waktu 1 (satu) bulan dengan menggunakan
jenjang data input dan didapat angka 5,00% (lima persen).
Dengan demikian, kuotasi suku bunga indikasi untuk jangka
waktu 1 (satu) bulan yang disampaikan oleh Bank Kontributor
adalah:
a. Bid Rate paling tinggi sebesar 5,00% (lima persen); dan
b. Offer Rate paling rendah sebesar 5,00% (lima persen).
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (4), batasan spread antara Offer Rate
dan Bid Rate untuk tenor 1 (satu) bulan yaitu sebesar 20 (dua
puluh) basis points.
9
Dalam hal Bank Kontributor berada dalam posisi kekurangan
(short) likuiditas, Bank Kontributor akan cenderung untuk
meningkatkan Offer Rate untuk mengurangi kemungkinan
permintaan untuk meminjamkan rupiah dari Bank Kontributor
lain. Kuotasi suku bunga indikasi paling tinggi yang dapat
disampaikan oleh Bank Kontributor adalah Bid Rate sebesar
5,00% (lima persen) sesuai dengan Bid Rate tertinggi yang
diperkenankan dan Offer Rate paling tinggi sebesar 5,20% (lima
koma dua puluh persen) sesuai dengan batasan spread.
Dalam hal Bank Kontributor berada dalam posisi kelebihan (long)
likuiditas, Bank Kontributor akan cenderung untuk menurunkan
Bid Rate untuk mengurangi kemungkinan permintaan untuk
meminjam rupiah dari Bank Kontributor lain. Kuotasi suku
bunga indikasi paling rendah yang dapat disampaikan oleh Bank
Kontributor adalah Offer Rate sebesar 5,00% (lima persen) sesuai
dengan Offer Rate terendah yang diperkenankan dan Bid Rate
paling rendah sebesar 4,80% (empat koma delapan puluh persen)
sesuai dengan batasan spread.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
10
Ayat (3)
Huruf a
Penatausahaan dalam bentuk softcopy termasuk data yang
tersimpan dalam sistem tresuri atau sistem lainnya yang
dimiliki dan/atau digunakan oleh Bank Kontributor.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Mulai berlaku efektifnya status Bank sebagai Bank Kontributor
tercantum dalam surat Bank Indonesia mengenai penetapan
Bank sebagai Bank Kontributor.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/19/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE </reg_title>
<set_date> 27 Agustus 2018 </set_date>
<effective_date> 27 Agustus 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '18/14/DPPK|SE-BI/2016', '17/6/DPM|SE-BI/2015' </replaced_reg>
<related_reg> '20/7/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/ 24 /PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN
OPERASI PASAR TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, perlu
didukung oleh sistem lelang operasi moneter valuta asing
yang lebih efisien melalui penyempurnaan sistem otomasi
lelang operasi moneter valuta asing untuk transaksi
domestic non-deliverable forward;
b. bahwa dengan adanya penyempurnaan sistem otomasi
lelang operasi moneter valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, Bank Indonesia perlu mengatur
tata cara pelaksanaan lelang operasi pasar terbuka valuta
asing;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Keempat
atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar
Terbuka;
2
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 21/6/PBI/2019 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6341);
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/6/PADG/2018 Tentang Pelaksanaan Operasi Pasar
Terbuka sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
21/6/PADG/2019 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar
Terbuka;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG
PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 Tentang Pelaksanaan
Operasi Pasar Terbuka yang telah beberapa kali diubah dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur:
a. Nomor 20/29/PADG/2018 tentang Perubahan Atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar
Terbuka;
b. Nomor 20/35/PADG/2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
3
20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar
Terbuka;
c. Nomor 21/6/PADG/2019 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar
Terbuka,
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 128 diubah sehingga
Pasal 128 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128
(1) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan
metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. penawaran nilai nominal;
b. tingkat bunga sesuai dengan yang diumumkan
oleh Bank Indonesia; dan
c. nama Peserta OPT Konvensional, dalam hal
Lembaga Perantara mengajukan penawaran
untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing.
(2) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan
metode harga beragam (variable rate tender) meliputi
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. penawaran nilai nominal;
b. tingkat bunga; dan
c. nama Peserta OPT Konvensional, dalam hal
Lembaga Perantara mengajukan penawaran
untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing.
(3) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT
Konvensional
paling
sedikit
sebesar
4
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat)
dan selebihnya dengan kelipatan sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
(4) Dalam hal lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender),
pengajuan setiap penawaran tingkat bunga dilakukan
dengan kelipatan 1 (satu) bps (basis point) atau 0,01%
(nol koma nol satu persen).
2. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 154 diubah sehingga
Pasal 154 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 154
(1) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang
dengan metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. penawaran nilai nominal;
b. premi swap sesuai dengan yang diumumkan
oleh Bank Indonesia; dan
c. nama Peserta OPT Konvensional, dalam hal
Lembaga Perantara mengajukan penawaran
untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Swap
secara lelang.
(2) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang
dengan metode harga beragam (variable rate tender)
memuat informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. penawaran nilai nominal;
b. premi swap; dan
c. nama Peserta OPT Konvensional, dalam hal
Lembaga Perantara mengajukan penawaran
untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Swap
secara lelang.
(3) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT
Konvensional
paling
sedikit
sebesar
5
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat)
dan paling banyak sebesar USD50,000,000.00 (lima
puluh juta dolar Amerika Serikat), dengan kelipatan
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat).
(4) Dalam hal lelang Transaksi Swap dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender),
pengajuan setiap penawaran premi swap paling
sedikit sebesar Rp1,00 (satu rupiah) dan selebihnya
dengan kelipatan sebesar Rp1,00 (satu rupiah).
3. Ketentuan huruf d Pasal 184H dihapus dan huruf g Pasal
184H diubah sehingga Pasal 184H berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 184H
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran
untuk mengikuti Transaksi DNDF secara lelang kepada
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui
surat yang memuat informasi sebagai berikut:
a. nama Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga
Perantara;
b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional;
c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional dan/atau Lembaga Perantara;
d. dihapus
e. Standard Settlement Instruction Peserta OPT
Konvensional;
f.
tanggal efektif untuk mengikuti lelang Transaksi
DNDF; dan/atau
g. informasi lainnya apabila diperlukan.
4. Ketentuan Pasal 184I diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 184I
(1) Pengajuan penawaran Transaksi DNDF secara lelang
6
dengan metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. penawaran nilai nominal;
b. kurs DNDF sesuai dengan yang diumumkan oleh
Bank Indonesia; dan
c. nama Peserta OPT Konvensional, dalam hal
Lembaga Perantara mengajukan penawaran
untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi DNDF.
(2) Pengajuan penawaran Transaksi DNDF secara lelang
dengan metode harga beragam (variable rate tender)
meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. penawaran nilai nominal;
b. kurs DNDF; dan
c. nama Peserta OPT Konvensional, dalam hal
Lembaga Perantara mengajukan penawaran
untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi DNDF.
5. Ketentuan Pasal 184J diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 184J
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
dapat mengajukan koreksi untuk setiap penawaran
yang diajukan dalam window time Transaksi DNDF
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184I, kecuali:
a. bagi Peserta OPT Konvensional tidak dapat
melakukan koreksi terhadap jangka waktu; dan
b. bagi Lembaga Perantara tidak dapat melakukan
koreksi terhadap nama Peserta OPT
Konvensional dan jangka waktu.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan pengajuan penawaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184C ayat (2)
dan ayat (3).
7
6. Ketentuan Pasal 184N dihapus.
7. Ketentuan Pasal 184P diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 184P
Bank Indonesia mengumumkan hasil Transaksi DNDF
secara lelang setelah dilakukan proses penetapan
pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui
sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing
dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, yang memuat informasi berupa:
1. jangka waktu;
2. nominal lelang Transaksi DNDF yang
dimenangkan;
3. kurs DNDF yang dimenangkan;
4. tanggal setelmen (tanggal valuta);
5. tanggal tertentu yang ditetapkan di dalam
kontrak (fixing date); dan/atau
6. informasi lainnya apabila diperlukan;
b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT
Konvensional dan Lembaga Perantara melalui sistem
otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem
LHBU, dan/atau sarana lain, yang memuat informasi
berupa:
1.
nilai nominal Transaksi DNDF yang
dimenangkan;
2. Kurs DNDF per jangka waktu, apabila Transaksi
DNDF dilakukan dengan metode harga tetap
(fixed rate tender);
3. rata-rata tertimbang (weighted average) kurs
DNDF per jangka waktu, apabila Transaksi
DNDF dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender); dan
4. informasi lainnya apabila diperlukan.
8
8. Ketentuan Pasal 184S diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 184S
(1) Berdasarkan hasil penetapan pemenang Transaksi
DNDF secara lelang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 184M dan Transaksi DNDF secara nonlelang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184Q:
a. Bank Indonesia menyampaikan informasi
Transaksi DNDF kepada pemenang Transaksi
DNDF melalui SWIFT Message Type (MT) 300
dan/atau sarana informasi lain yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
b. pemenang Transaksi DNDF menyampaikan
informasi Transaksi DNDF melalui SWIFT
Message Type (MT) 300 dan/atau sarana
informasi lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Jasa Perbankan, Perizinan dan
Operasional Tresuri.
(2) Pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak
(fixing date) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
184R ayat (2):
a. Bank Indonesia menyampaikan informasi
kepada pemenang Transaksi DNDF melalui
SWIFT Message Type (MT) 300 dan/atau sarana
informasi lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
b. pemenang Transaksi DNDF menyampaikan
informasi melalui SWIFT Message Type (MT) 300
dan/atau sarana informasi lain yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Jasa Perbankan, Perizinan dan
Operasional Tresuri.
9
9. Ketentuan ayat (1) Pasal 255 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 255
(1) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing meliputi informasi paling
sedikit sebagai berikut:
a. penawaran nilai nominal; dan
b. nama Peserta OPT Syariah, dalam hal Lembaga
Perantara mengajukan penawaran untuk dan
atas nama Peserta OPT Syariah,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing.
(2) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT
Syariah paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima
juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan
kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat).
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
ini dengan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Desember 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/24/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR
NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR
TERBUKA
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur bahwa tujuan Bank
Indonesia adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan operasi moneter perlu
didukung oleh sistem lelang operasi moneter valuta asing yang lebih efisien
melalui penyempurnaan sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing
untuk Transaksi DNDF.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 128
Cukup jelas.
2
Angka 2
Pasal 154
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 184H
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 184I
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 184J
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 184N
Dihapus.
Angka 7
Pasal 184P
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 184S
Ayat (1)
Huruf a
Informasi Transaksi DNDF antara lain memuat
nominal, kurs DNDF, fixing date, dan tanggal
setelmen/tanggal valuta.
Huruf b
Informasi Transaksi DNDF antara lain memuat
nominal, kurs DNDF, fixing date, dan tanggal
setelmen/tanggal valuta.
3
Ayat (2)
Huruf a
Informasi yang disampaikan oleh Bank Indonesia
antara lain memuat nominal, kurs JISDOR, dan
tanggal setelmen/tanggal valuta.
Huruf b
Informasi yang disampaikan oleh pemenang
Transaksi DNDF antara lain memuat nominal, kurs
JISDOR, dan tanggal setelmen/tanggal valuta.
Angka 9
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/24/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 17 Desember 2019 </set_date>
<effective_date> 17 Desember 2019 </effective_date>
<changed_reg> '20/6/PADG/2018' </changed_reg>
<extension_of> '20/29/PADG/2018', '20/35/PADG/2018', '21/6/PADG/2019' </extension_of>
<related_reg> '21/6/PADG/2019', '20/5/PBI/2018', '21/6/PBI/2019', '20/6/PADG/2018' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/18/PADG/2017
TENTANG
LAPORAN HARIAN BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor
moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah yang lebih efektif diperlukan
dukungan informasi secara harian yang real time, tepat
waktu, aman, akurat, andal, objektif, lengkap, dan mudah
untuk diakses secara simultan;
b. bahwa untuk menyediakan informasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf a diperlukan pengembangan
sistem pelaporan harian bank guna memenuhi kebutuhan
informasi untuk penetapan dan pelaksanaan kebijakan
moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah;
c. bahwa untuk menyediakan informasi yang lengkap,
komprehensif, dan berkualitas diperlukan pedoman bagi
bank dalam menyusun dan menyampaikan laporan
melalui sistem pelaporan harian bank;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Laporan
Harian Bank Umum;
2ii
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang
Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4307)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/5/PBI/2015
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5700);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang
Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4467) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 16/7/PBI/2014 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5523);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang
Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5194);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/4/PBI/2015 tentang
Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5693);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/2/PBI/2016 tentang
Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5850);
6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/18/PBI/2016
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara
Bank dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 183, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5926);
3ii
7. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/19/PBI/2016
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara
Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 184, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5927);
8. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/11/PBI/2017
tentang Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral
Menggunakan Mata Uang Lokal (Local Currency
Settlement) Melalui Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 213, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6127);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
LAPORAN HARIAN BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
serta bank umum syariah dan unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
2. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor
pusat Bank yang berbadan hukum Indonesia, kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan
unit usaha syariah.
3. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat
LHBU adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh
Bank Pelapor secara harian kepada Bank Indonesia.
4ii
4. Pelanggan LHBU adalah pihak selain Bank Pelapor, yang
dapat memperoleh hasil olahan LHBU sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
5. Perjanjian Penggunaan LHBU adalah kesepakatan tertulis
antara Bank Indonesia dengan Pelanggan LHBU mengenai
penggunaan LHBU dengan syarat dan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
6. Penyampaian Laporan Secara Online yang selanjutnya
disebut Online adalah penyampaian laporan yang
dilakukan dengan mengirim rekaman data secara
langsung melalui jaringan komunikasi data kepada Bank
Indonesia.
7. Penyampaian Laporan Secara Offline, yang selanjutnya
disebut Offline adalah penyampaian laporan yang
dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam
bentuk media perekaman data elektronik kepada Bank
Indonesia.
8. Pasar Uang Antarbank yang selanjutnya disebut PUAB
adalah kegiatan pinjam-meminjam dalam rupiah
dan/atau valuta asing antarbank konvensional dengan
jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
9. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pasar uang antarbank berdasarkan prinsip
syariah.
10. Hari Kerja adalah hari kerja kantor pusat Bank Indonesia
menyelenggarakan kegiatan kliring dan sistem Bank
Indonesia - Real Time Gross Settlement.
5ii
BAB II
BANK PELAPOR DAN RUANG LINGKUP DATA LHBU
Bagian Kesatu
Bank Pelapor LHBU
Pasal 2
Bank Pelapor LHBU terdiri atas:
a. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional;
b. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara syariah;
c. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri; dan
d. unit usaha syariah.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup Data LHBU
Pasal 3
(1) Bank Pelapor wajib menyusun LHBU.
(2) LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi data
transaksional dan data nontransaksional.
(3) Data transaksional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi data:
a. PUAB;
b. PUAS;
c. perdagangan surat berharga di pasar sekunder; dan
d. transaksi valuta asing.
(4) Data PUAB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
meliputi data:
a. PUAB rupiah yang terdiri dari:
1. PUAB pagi rupiah; dan
2. PUAB sore rupiah,
b. PUAB valuta asing;
c. PUAB luar negeri; dan
d. deposit on call.
6ii
(5) Data transaksi valuta asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf d meliputi data:
a. transaksi tod, tom, dan spot;
b. transaksi derivatif berupa forward, swap, dan option;
c. transaksi derivatif berupa cross currency swap dan
interest rate swap; dan
d. transaksi derivatif lainnya.
(6) Data nontransaksional sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi data:
a. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing;
b. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing;
c. posisi rekapitulasi transaksi derivatif;
d. posisi devisa neto;
e. pos-pos tertentu neraca;
f. proyeksi arus kas;
g. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank
syariah;
h. suku bunga kredit;
i. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat
deposito, dan suku bunga tabungan;
j. suku bunga penawaran;
k. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek
Bank; dan
l. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing.
(7) Data posisi devisa neto sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) huruf d meliputi data:
a. posisi devisa neto gabungan yang mencakup kantor-
kantor Bank Pelapor di dalam negeri; dan
b. posisi devisa neto gabungan yang mencakup kantor-
kantor Bank Pelapor di dalam negeri dan di luar negeri.
(8) Data pos-pos tertentu neraca sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) huruf e meliputi data:
a. posisi pos-pos tertentu dari neraca gabungan kantor-
kantor Bank Pelapor di dalam negeri; dan
7ii
b. posisi pos-pos tertentu dari neraca gabungan kantor-
kantor Bank Pelapor di dalam negeri dan di luar negeri.
(9) Data proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) huruf f meliputi data:
a. proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan remaining
maturity; dan
b. proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan behavioral
dan rencana pendanaan-penggunaan.
Pasal 4
(1) Data PUAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf a disusun dalam form 101.
(2) Data PUAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf b disusun dalam form 102.
(3) Data perdagangan surat berharga di pasar sekunder
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c
disusun dalam form 301.
(4) Data transaksi valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) huruf d disusun dalam:
a. form 201 untuk data transaksi tod, tom, dan spot;
b. form 202 untuk data transaksi forward, swap, dan
option;
c. form 207 untuk data transaksi cross currency swap dan
interest rate swap; dan
d. form 203 untuk data transaksi derivatif lainnya.
Pasal 5
(1) Data posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a disusun dalam
form 204.
(2) Data posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf b disusun dalam
form 205.
8ii
(3) Data posisi rekapitulasi transaksi derivatif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf c disusun dalam
form 206.
(4) Data posisi devisa neto sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (6) huruf d disusun dalam:
a. form 401 untuk data posisi devisa neto gabungan
yang mencakup kantor Bank Pelapor di dalam negeri;
dan
b. form 402 untuk data posisi devisa neto gabungan
yang mencakup kantor Bank Pelapor di dalam negeri
dan di luar negeri.
(5) Data pos-pos tertentu neraca sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (6) huruf e disusun dalam:
a. form 403 untuk data posisi pos-pos tertentu dari
neraca gabungan kantor Bank Pelapor di dalam
negeri; dan
b. form 404 untuk data posisi pos-pos tertentu dari
neraca gabungan kantor Bank Pelapor di dalam
negeri dan di luar negeri;
(6) Data proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (6) huruf f disusun dalam:
a. form 405 untuk data proyeksi arus kas berdasarkan
pendekatan remaining maturity; dan
b. form 406 untuk data proyeksi arus kas berdasarkan
pendekatan behavioral dan rencana pendanaan-
penggunaan.
(7) Data tingkat imbalan deposito investasi mudharabah
Bank syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(6) huruf g disusun dalam form 604.
(8) Data suku bunga kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (6) huruf h disusun dalam form 602.
(9) Data suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat
deposito, dan suku bunga tabungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf i disusun dalam
form 603.
(10) Data suku bunga penawaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (6) huruf j disusun dalam form 501.
9ii
(11) Data posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka
pendek Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(6) huruf k disusun dalam form 407.
(12) Data posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf l
disusun dalam form 408.
BAB III
TATA CARA PENYAMPAIAN LHBU
Bagian Kesatu
Prosedur Teknis Penyampaian LHBU
Pasal 6
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU kepada Bank
Indonesia secara lengkap, akurat, benar, dan tepat waktu.
(2) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi LHBU apabila
terdapat kesalahan data pada LHBU yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU dan/atau
koreksi LHBU kepada Bank Indonesia secara Online.
(4) Sebelum menyampaikan LHBU sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau koreksi LHBU sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bank Pelapor harus melakukan
validasi teknis sesuai dengan pedoman penyusunan dan
petunjuk teknis LHBU yang tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(5) Setelah menyampaikan LHBU sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau koreksi LHBU sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bank Pelapor harus memastikan
bahwa status data transaksional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) telah matching dengan data Bank
Pelapor lain sebagai lawan transaksi, melalui laporan
absensi LHBU.
10ii
Pasal 7
(1) Kewajiban penyampaian LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1), tidak berlaku dalam hal Bank
Pelapor tidak beroperasi, dengan terlebih dahulu
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta
10350.
(2) Dalam hal Bank Pelapor melakukan merger atau
konsolidasi dengan Bank Pelapor lain, masing-masing
Bank Pelapor wajib menyampaikan data LHBU sampai
dengan Hari Kerja terakhir sebelum tanggal dilakukannya
merger atau konsolidasi secara operasional masing-
masing Bank Pelapor.
Bagian Kedua
Periode Penyampaian LHBU
Pasal 8
(1) Penyampaian data transaksional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) berikut form header dilakukan
segera setelah terjadinya transaksi secara real time setiap
Hari Kerja pada tanggal laporan.
(2) Penyampaian data nontransaksional berupa:
a.
b.
posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing, dan
posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a dan
huruf b berikut form header dilakukan setiap Hari Kerja
berdasarkan posisi akhir pada tanggal laporan.
(3) Penyampaian data nontransaksional berupa:
a. posisi rekapitulasi transaksi derivatif,
b. posisi devisa neto,
c. pos-pos tertentu neraca,
d.
posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka
pendek Bank, dan
11ii
e. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf c,
huruf d, huruf e, huruf k, dan huruf l berikut form header
dilakukan setiap Hari Kerja berdasarkan posisi 2 (dua)
Hari Kerja sebelum tanggal laporan.
(4) Penyampaian data nontransaksional berupa:
a. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank
syariah,
b. suku bunga kredit,
c. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat
deposito, dan suku bunga tabungan, dan
d. suku bunga penawaran,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf g,
huruf h, huruf i, dan huruf j berikut form header dilakukan
setiap Hari Kerja berdasarkan data riil pada tanggal
laporan.
(5) Penyampaian data proyeksi arus kas berdasarkan
pendekatan remaining maturity sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (9) huruf a berikut form header
dilakukan setiap Hari Kerja berdasarkan data:
a. posisi pos-pos pada tanggal laporan, kecuali untuk
posisi pos kas, dana pihak ketiga, dan kredit yang
dilaporkan adalah posisi pada 1 (satu) Hari Kerja
sebelum tanggal laporan;
b. proyeksi arus kas harian pos-pos setelah tanggal
laporan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kalender.
(6) Penyampaian data proyeksi arus kas berdasarkan
pendekatan behavioral dan rencana pendanaan-
penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(9) huruf b berikut form header setiap Hari Kerja
berdasarkan data:
a. proyeksi arus kas harian pos-pos setelah tanggal
laporan sampai dengan 14 (empat belas) hari
kalender;
b. proyeksi arus kas harian pos-pos kumulatif terhitung
sejak hari kalender ke-15 (lima belas) sampai dengan
hari kalender ke-21 (dua puluh satu); dan
12ii
c. proyeksi arus kas harian pos-pos kumulatif terhitung
sejak hari kalender ke-22 (dua puluh dua) sampai
dengan hari kalender ke-28 (dua puluh delapan).
Pasal 9
(1) Kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf a, yang berstatus devisa wajib
menyampaikan:
a. form 101;
b. form 102;
c. form 201;
d. form 202;
e. form 203;
f.
form 204;
g. form 205;
h. form 206;
i.
j.
form 207;
form 301;
k. form 401;
l.
form 402;
m. form 403;
n. form 404;
o. form 405;
p. form 406;
q. form 407;
r. form 602; dan
s. form 603.
(2) Kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf a, yang berstatus nondevisa wajib
menyampaikan:
a. form 101;
b. form 102;
c. form 301;
d. form 403;
e. form 405;
13ii
f.
form 406;
g. form 407;
h. form 602; dan
i.
form 603.
(3) Dalam hal kantor pusat dari Bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang berstatus devisa
namun tidak memiliki kantor cabang di luar negeri
menyampaikan form 402 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf l dan form 404 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n dalam bentuk form header.
Pasal 10
(1) Kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf b, yang berstatus devisa wajib menyampaikan:
a. form 102;
b. form 201;
c. form 202;
d. form 301;
e. form 401;
f.
form 402;
g. form 403;
h. form 404;
i.
j.
form 405;
form 406;
k. form 407; dan
l.
form 604.
(2) Kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf b, yang berstatus nondevisa wajib menyampaikan:
a. form 102;
b. form 301;
c. form 403;
d. form 405;
e. form 406;
f.
form 407; dan
14ii
g. form 604.
(3) Dalam hal kantor pusat dari Bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf b, yang berstatus devisa namun tidak
memiliki kantor cabang di luar negeri menyampaikan form
402 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan form
404 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dalam
bentuk form header.
Pasal 11
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c wajib
menyampaikan:
a. form 101;
b. form 102;
c. form 201;
d. form 202;
e. form 203;
f.
form 204;
g. form 205;
h. form 206;
i.
j.
form 207;
form 301;
k. form 401;
l.
form 402;
m. form 403;
n. form 404;
o. form 405;
p. form 406;
q. form 407;
r. form 408;
s. form 602; dan
t. form 603
(2) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c wajib
menyampaikan form 402 sebagaimana dimaksud pada
15ii
ayat (1) huruf l dan form 404 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n dalam bentuk form header:
Pasal 12
(1) Unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf d, yang berstatus devisa wajib menyampaikan:
a. form 102;
b. form 201;
c. form 202;
d. form 301; dan
e. form 604.
(2) Unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf d, yang berstatus nondevisa wajib menyampaikan:
a. form 102;
b. form 301; dan
c. form 604.
Pasal 13
Bank Pelapor yang ditunjuk oleh Bank Indonesia sebagai Bank
kontributor JIBOR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga
penawaran antarbank, wajib menyampaikan form 501 serta
form lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau Pasal 11.
Pasal 14
Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki data transaksional
dan/atau data nontransaksional, Bank Pelapor wajib
menyampaikan form header.
Bagian Ketiga
Batas Waktu Penyampaian dan Koreksi LHBU
Pasal 15
(1) Penyampaian data PUAB pagi rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a angka 1 dimulai
dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB.
16ii
(2) Penyampaian data PUAB sore rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a angka 2 dimulai
dari pukul 12.01 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB.
(3) Penyampaian data PUAB valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b dan deposit on
call sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d
dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00
WIB.
(4) Penyampaian data PUAB luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c dimulai pukul
dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB.
(5) Penyampaian data PUAS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) huruf b dan data perdagangan surat
berharga di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) huruf c dimulai dari pukul 07.00 WIB
sampai dengan pukul 18.00 WIB.
(6) Penyampaian data transaksi valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d dimulai pukul
dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB.
Pasal 16
(1) Penyampaian data nontransaksional berupa:
a.
b.
posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing,
posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing,
c. posisi rekapitulasi transaksi derivatif,
d. posisi devisa neto,
e. pos-pos tertentu neraca,
f. proyeksi arus kas,
g.
posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka
pendek Bank, dan
h. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a
sampai dengan huruf f, huruf k, dan huruf l dimulai dari
pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB.
17ii
(2) Penyampaian data nontransaksional berupa:
a. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank
syariah;
b. suku bunga kredit; dan
c. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat
deposito, dan suku bunga tabungan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf g,
huruf h, dan huruf i dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai
dengan pukul 18.00 WIB.
(3) Penyampaian data suku bunga penawaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf j dimulai dari pukul
07.00 WIB sampai dengan pukul 09.30 WIB.
Pasal 17
(1) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) untuk:
a. PUAB pagi rupiah,
b. PUAB sore rupiah,
c. PUAB valuta asing, dan
d. deposit on call,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a
angka 1, Pasal 3 ayat (4) huruf a angka 2, Pasal 3 ayat (4)
huruf b, dan Pasal 3 ayat (4) huruf d dilakukan segera
setelah diketahui adanya kesalahan dengan batas waktu
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3).
(2) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) untuk PUAB luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c
dilakukan paling lambat pukul 16.00 WIB pada Hari Kerja
berikutnya.
(3) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) untuk:
a. PUAS, dan
b. perdagangan surat berharga di pasar sekunder,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan
huruf c dilakukan segera setelah diketahui adanya
18ii
kesalahan dengan batas waktu penyampaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5).
(4) Penyampaikan koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) untuk transaksi valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d
dilakukan paling lambat pukul 16.00 WIB pada Hari Kerja
berikutnya.
Pasal 18
(1) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) untuk:
a. posisi devisa neto,
b. pos-pos tertentu neraca, dan
c. proyeksi arus kas,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf d,
huruf e, dan huruf f dilakukan segera setelah diketahui
adanya kesalahan dengan batas waktu penyampaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
(2) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) untuk:
a. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank
syariah,
b. suku bunga kredit, dan
c. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat
deposito, dan suku bunga tabungan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf g,
huruf h, dan huruf i dilakukan segera setelah diketahui
adanya kesalahan dengan batas waktu penyampaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2).
(3) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) untuk:
a.
posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing;
b.
c.
posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing;
posisi rekapitulasi transaksi derivatif;
19ii
d.
posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka
pendek Bank; dan
e. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf k, dan huruf l dilakukan paling
lambat pukul 16.00 WIB pada Hari Kerja berikutnya.
(4) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) untuk suku bunga penawaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf j
dilakukan paling lambat pukul 09.45 WIB pada Hari Kerja
yang sama.
Pasal 19
(1) Dalam hal terjadi kesalahan atas jenis dokumen yang
disampaikan untuk data transaksi valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d,
Bank Pelapor wajib meyampaikan koreksi terhadap jenis
dokumen dimaksud dengan batas waktu sebagai berikut:
a. transaksi tom, spot, forward, swap, option, cross
currency swap, interest rate swap, dan derivatif
lainnya paling lambat pukul 16.00 WIB pada tanggal
valuta transaksi valuta asing tersebut; dan
b. transaksi tod paling lambat pukul 16.00 WIB pada
Hari Kerja berikutnya.
(2) Koreksi jenis dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan melalui daftar pesan aplikasi LHBU.
20ii
Bagian Keempat
Gangguan Teknis
Pasal 20
(1) Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis
sehingga tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau
koreksi LHBU secara
Online, Bank Pelapor
memberitahukan secara lisan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan segera
setelah mengalami gangguan sebelum batas waktu
laporan dan wajib ditegaskan secara tertulis pada Hari
Kerja yang sama.
(2) Penegasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh pejabat Bank Pelapor yang
berwenang dan disampaikan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M.H.
Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350.
(3) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU
dan/atau koreksi LHBU secara Online karena gangguan
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau karena
gangguan lainnya pada sistem dan/atau jaringan
komunikasi di Bank Pelapor maupun di Bank Indonesia
wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU
secara Offline kepada:
a. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berada di
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia atau yang
memiliki kantor cabang di wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang
mewilayahi, bagi Bank Pelapor yang berada di luar
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
21ii
Pasal 21
(1) Penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Offline
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) untuk:
a. PUAB pagi rupiah, PUAB sore rupiah, PUAB valuta
asing, dan deposit on call sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a angka 1, huruf a angka
2, huruf b, dan huruf d;
b. PUAS dan perdagangan surat berharga di pasar
sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3) huruf b dan huruf c; dan
c.
tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank
syariah, suku bunga kredit, suku bunga deposito
berjangka, diskonto sertifikat deposito, serta suku
bunga tabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (6) huruf g, huruf h, dan huruf i,
dilakukan paling lambat 2 (dua) jam setelah batas waktu
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), serta Pasal 16 ayat (2)
pada Hari Kerja yang sama.
(2) Penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Offline
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) untuk:
a. PUAB luar negeri;
b. transaksi valuta asing;
c.
posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing;
d.
e.
f.
posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing;
posisi rekapitulasi transaksi derivatif;
posisi devisa neto;
g. pos-pos tertentu neraca;
h. proyeksi arus kas;
i.
posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka
pendek Bank; dan
j. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c,
Pasal 3 ayat (3) huruf d, Pasal 3 ayat (6) huruf a sampai
22ii
dengan huruf f, huruf k, dan huruf l dilakukan paling
lambat pukul 10.00 WIB pada Hari Kerja berikutnya.
(3) Penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Offline
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) untuk
suku bunga penawaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (6) huruf j, dilakukan paling lambat pukul
09.45 WIB pada Hari Kerja yang sama.
Pasal 22
Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan penegasan
secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2),
Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU dan/atau
koreksi LHBU baik secara Online maupun secara Offline.
Pasal 23
(1) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU
dan/atau koreksi LHBU secara Online apabila LHBU
dan/atau koreksi LHBU tidak diterima oleh sistem Bank
Indonesia dalam batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 19.
(2) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau
koreksi LHBU secara Offline apabila LHBU dan/atau
koreksi LHBU tidak diterima oleh Bank Indonesia dalam
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Pasal 24
(1) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan LHBU dan/atau
koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(1) tetap wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi
LHBU secara Online.
(2) Penyampaian secara Online sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk:
a. PUAB pagi rupiah;
b. PUAB sore rupiah;
c. PUAB valuta asing;
d. deposit on call; dan
e. PUAS,
23ii
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a
angka 1, huruf a angka 2, huruf b, dan huruf d serta Pasal
3 ayat (3) huruf b dilakukan paling lambat 1 (satu) jam
setelah batas waktu penyampaian koreksi secara Online
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat
(3) huruf a.
(3) Penyampaian secara Online sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk:
a. PUAB luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (4) huruf c;
b. transaksi valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) huruf d; dan
c.
posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing
bukan investasi dengan pihak asing, posisi akhir hari
transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi
dengan pihak asing, posisi rekapitulasi transaksi
derivatif, posisi devisa neto, pos-pos tertentu neraca,
proyeksi arus kas, posisi saldo harian pinjaman luar
negeri jangka pendek Bank, dan posisi harian dana
usaha kantor cabang bank asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a sampai
dengan huruf f serta huruf k dan huruf l,
dilakukan paling lambat pukul 16.00 WIB pada 5 (lima)
Hari Kerja setelah batas waktu penyampaian koreksi LHBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan ayat
(4) serta Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3).
(4) Dalam hal Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU
dan/atau koreksi LHBU secara Online dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (3)
karena gangguan teknis atau gangguan lainnya, Bank
Pelapor tetap wajib menyampaikan LHBU dan/atau
koreksi LHBU dimaksud secara Offline sesuai dengan tata
cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3).
Pasal 25
Bank Pelapor yang tidak menyampaikan LHBU dan/atau
koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
24ii
tetap wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU
secara Offline.
Bagian Kelima
Keadaan Memaksa (Force Majeure)
Pasal 26
(1) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU
dan/atau koreksi LHBU karena terjadi keadaan memaksa
(force majeure) harus segera memberitahukan secara
tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya
keadaan memaksa (force majeure) yang dibenarkan oleh
penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat beserta upaya yang dilakukan.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat Bank Pelapor
yang berwenang dan disampaikan kepada:
a. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berada di
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia atau yang
memiliki kantor cabang di wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang
mewilayahi, bagi Bank Pelapor yang berada di luar
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
(3) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force
majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan dari kewajiban untuk menyampaikan LHBU
dan/atau koreksi LHBU sampai dengan keadaan
memaksa (force majeure) dapat teratasi.
25ii
BAB IV
HASIL OLAHAN DAN PELANGGAN LHBU
Pasal 27
(1) Bank Indonesia menyediakan hasil olahan LHBU kepada
Bank Pelapor dan/atau Pelanggan LHBU.
(2) Hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. informasi yang disediakan oleh LHBU dalam bentuk
agregat; dan
b. data individual Bank Pelapor.
Pasal 28
(1) Bank Pelapor dapat memperoleh hasil olahan LHBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dalam
bentuk agregat, data individual Bank Pelapor yang
bersangkutan, dan data individual tertentu Bank Pelapor
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Guna memperoleh hasil olahan LHBU sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Pelapor mendapatkan hak
akses terhadap sistem LHBU di Bank Indonesia tanpa
dikenakan biaya paling banyak 2 (dua) fasilitas user id
untuk Bank devisa dan 1 (satu) fasilitas user id untuk
Bank nondevisa.
(3) Dalam hal Bank Pelapor bermaksud menambah user id
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Pelapor dapat
mengajukan permohonan secara tertulis yang ditujukan
kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Statistik, Jl. M.H.
Thamrin No.2, Jakarta 10350.
(4) Bank Indonesia mengenakan biaya kepada Bank Pelapor
atas setiap tambahan hak akses terhadap sistem LHBU
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 29
(1) Pelanggan LHBU dapat memperoleh hasil olahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dalam
26ii
bentuk agregat dan data individual tertentu Bank Pelapor
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Dalam hal calon Pelanggan LHBU bermaksud menjadi
Pelanggan LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1), calon Pelanggan LHBU dimaksud wajib
mengajukan permohonan menjadi Pelanggan LHBU secara
tertulis kepada Bank Indonesia dengan menyampaikan
Surat Permohonan sebagaimana contoh yang tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Permohonan menjadi Pelanggan LHBU sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank
Indonesia c.q. Departemen Statistik, Jl. M.H. Thamrin
No.2, Jakarta, 10350.
Pasal 30
(1) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada
calon Pelanggan LHBU mengenai disetujui atau tidak
disetujuinya permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (2) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari
Kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam hal permohonan disetujui oleh Bank Indonesia,
calon Pelanggan LHBU harus menandatangani Perjanjian
Penggunaan LHBU dengan Bank Indonesia sebagaimana
contoh yang tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 31
Guna memperoleh informasi hasil olahan LHBU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pelanggan LHBU dikenakan
biaya LHBU sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai biaya LHBU.
27ii
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 32
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan atas pelaporan
LHBU oleh Bank Pelapor.
(2) Guna pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Bank Indonesia dapat:
a. meminta keterangan dan/atau data yang terkait
kepada Bank Pelapor; dan/atau
b. melakukan pemeriksaan (on site supervision) terhadap
Bank Pelapor.
BAB VI
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 33
(1) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan data
transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3) huruf a, huruf b, dan huruf c secara Online dalam batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
sampai dengan ayat (5) atau tidak menyampaikan secara
Offline dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b serta Pasal 21 ayat
(2) huruf a, dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan
dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari untuk
keseluruhan data transaksional.
(2) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan data
transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3) huruf d secara Online dalam batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (6) atau tidak
menyampaikan secara Offline dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
28ii
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk
setiap data transaksional yang tidak disampaikan dengan
sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari untuk
keseluruhan data transaksional.
(3) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan data
nontransaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (6) secara Online dalam batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 atau secara Offline dalam batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf c, ayat (2) huruf c sampai dengan huruf j, serta ayat
(3), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk
setiap data nontransaksional yang tidak disampaikan.
(4) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan form header
secara Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dalam
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan
Pasal 16 atau secara Offline dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) untuk setiap form header.
(5) Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan
nontransaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c dan Pasal 3 ayat (6)
huruf d sampai dengan huruf l, Pasal 21 ayat (1), ayat (2)
huruf a dan huruf c sampai dengan huruf j, serta ayat (3)
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 secara tidak benar, dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
untuk setiap butir (item) kesalahan dengan sanksi
kewajiban membayar paling banyak
sebesar
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap form per
hari.
(6) Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan
nontransaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) huruf d dan Pasal 3 ayat (6) huruf a sampai dengan
huruf c, Pasal 21 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf e
29ii
dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 secara tidak benar, dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan
dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per hari.
(7) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan form header
dan terdapat transaksi yang wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia maka Bank Pelapor dikenakan sanksi
tidak menyampaikan form header sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan sanksi tidak menyampaikan data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan/atau
ayat (3).
Pasal 34
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank
Pelapor mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Bank
Pelapor dan besarnya sanksi kewajiban membayar yang
dikenakan.
Pasal 35
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan cara mendebit rekening giro rupiah Bank Pelapor pada
Bank Indonesia.
Pasal 36
Bank Pelapor yang melakukan pelanggaran atas kewajiban
penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 37
Tata cara pengenaan sanksi terhadap Pelanggan LHBU
sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penggunaan LHBU yang
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
30ii
BAB VII
PENYAMPAIAN PERTANYAAN DAN/ATAU KORESPONDENSI
Pasal 38
Dalam hal terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan sistem,
materi, dan/atau ketentuan LHBU, Bank Pelapor dapat
menyampaikan pertanyaan dimaksud kepada BICARA Bank
Indonesia, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, Telp 021-
131 atau melalui surat elektronik: bicara@bi.go.id.
Pasal 39
Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan/atau
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 20 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28 ayat (3), Pasal 29
ayat (3) dan/atau Pasal 38, Bank Indonesia akan
memberitahukan melalui surat atau media lainnya.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Dengan berlakunya Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
maka
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal
4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/39/DPM tanggal
28 Desember 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari
2011 perihal Laporan Harian Bank Umum;
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/48/DSta tanggal
2 Desember 2013 perihal Perubahan Kedua atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4
Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum;
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/52/DSta tanggal
30 Desember 2013 perihal Perubahan Ketiga atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4
Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum;
31ii
e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/17/DSta tanggal
22 Oktober 2014 perihal Perubahan Keempat atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4
Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum;
f. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/5/DSta tanggal
30 Maret 2015 perihal Perubahan Kelima atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4
Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum;
g. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/17/DSta tanggal
27 Juli 2016 perihal Perubahan Keenam atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4
Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 41
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 2 Januari 2018.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
ERWIN RIJANTO
i
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/18/PADG/2017
TENTANG
LAPORAN HARIAN BANK UMUM
I. UMUM
Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan sistem
Laporan Harian Bank Umum untuk menghasilkan informasi yang lebih
utuh, komprehensif, dan berkualitas, perlu dilakukan perluasan cakupan
kandungan informasi yang dilaporkan, penyempurnaan sistem dan tata
cara pelaporan Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Terkait dengan
perluasan cakupan kandungan informasi tersebut, perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap Pedoman Penyusunan dan Petunjuk Teknis
LHBU sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
2i
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โdata transaksionalโ adalah data yang
dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain sebagai
counterpart.
Yang dimaksud dengan โdata nontransaksionalโ adalah data yang
bukan dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain,
dan/atau merupakan data posisi atas transaksi Bank Pelapor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
3ii
Huruf l
Yang dimaksud dengan โkantor cabang bank asingโ adalah
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal ini Bank Indonesia memperoleh informasi Hari Kerja
terakhir sebelum tanggal dilakukannya merger atau konsolidasi
secara operasional berdasarkan informasi dari bank terkait.
Contoh:
Apabila pada tanggal 7 Februari 2018, Bank X melakukan merger
atau konsolidasi dengan Bank Y maka Bank X dan Bank Y
masing-masing wajib menyampaikan LHBU sampai dengan data
tanggal 6 Februari 2018.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
4ii
Ayat (2)
Data posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan
investasi dengan pihak asing yang disampaikan pada tanggal 9
Februari 2018 adalah data posisi akhir tanggal tersebut, yaitu 9
Februari 2018.
Ayat (3)
Contoh:
Data posisi devisa neto yang disampaikan pada tanggal 12 April
2018 adalah data posisi tanggal 10 April 2018.
Ayat (4)
Contoh:
Data suku bunga penawaran yang disampaikan pada tanggal 20
Maret 2018 adalah data riil pada tanggal tersebut, yaitu 20 Maret
2018.
Ayat (5)
Contoh:
Data proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan remaining
maturity yang disampaikan pada tanggal 1 Maret 2018, terdiri
atas:
a. posisi pos-pos pada tanggal 1 Maret 2018, kecuali untuk pos
kas, dana pihak ketiga, dan kredit yang dilaporkan adalah
posisi pada tanggal 28 Februari 2018; dan
b. proyeksi arus kas harian pos-pos sejak tanggal 2 Maret 2018
sampai dengan 31 Maret 2018.
Ayat (6)
Contoh:
Data proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan behavioral dan
rencana pendanaan-penggunaan yang disampaikan pada tanggal
1 Maret 2018, terdiri atas:
a. proyeksi tanggal 2 Maret 2018 sampai dengan 15 Maret
2018;
b. proyeksi tanggal 16 Maret 2018 sampai dengan 22 Maret
2018 secara kumulatif untuk minggu ketiga; dan
c. proyeksi tanggal 23 Maret 2018 sampai dengan 29 Maret
2018 secara kumulatif untuk minggu keempat.
5ii
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
JIBOR (Jakarta InterBank Offered Rate) merupakan suku bunga
indikasi penawaran dalam transaksi PUAB di Indonesia yang berasal
dari kontributor JIBOR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran
antarbank.
Penyampaian โform lainโ dilakukan sesuai dengan kelompok Bank
Pelapor.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Contoh:
Data PUAB pagi rupiah pada tanggal 9 April 2018 disampaikan
pada tanggal 9 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan
pukul 12.00 WIB.
Ayat (2)
Contoh:
Data PUAB sore rupiah pada tanggal 10 April 2018 disampaikan
pada tanggal 10 April 2018 mulai pukul 12.01 WIB sampai
dengan pukul 18.00 WIB.
6ii
Ayat (3)
Contoh:
Data PUAB valuta asing pada tanggal 11 April 2018 disampaikan
pada tanggal 11 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai
dengan pukul 18.00 WIB.
Ayat (4)
Contoh:
Data PUAB luar negeri pada tanggal 12 April 2018 disampaikan
pada tanggal 12 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai
dengan pukul 23.59 WIB.
Ayat (5)
Contoh:
Data PUAS pada tanggal 16 April 2018 disampaikan pada tanggal
16 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00
WIB.
Ayat (6)
Contoh:
Data transaksi valuta asing pada tanggal 17 April 2018
disampaikan pada tanggal 17 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB
sampai dengan pukul 23.59 WIB.
Pasal 16
Ayat (1)
Contoh:
Data posisi devisa neto pada tanggal 10 April 2018 disampaikan
pada tanggal 12 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai
dengan pukul 23.59 WIB.
Ayat (2)
Contoh:
Data tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank
syariah pada tanggal 10 April 2018 disampaikan pada tanggal
tersebut, yaitu 10 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai
dengan pukul 18.00 WIB.
7ii
Ayat (3)
Contoh:
Data suku bunga penawaran pada tanggal 11 April 2018
disampaikan pada tanggal tersebut, yaitu 11 April 2018 mulai
pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 09.30 WIB.
Pasal 17
Ayat (1)
Contoh:
Koreksi data PUAB pagi rupiah pada tanggal 9 April 2018
disampaikan pada tanggal 9 April 2018 segera setelah diketahui
adanya kesalahan dengan batas waktu penyampaian mulai pukul
07.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB.
Ayat (2)
Contoh:
Koreksi data PUAB luar negeri pada tanggal 9 April 2018
disampaikan paling lambat tanggal 10 April 2018 pukul 16.00
WIB.
Ayat (3)
Contoh:
Koreksi data PUAS pada tanggal 9 April 2018 disampaikan pada
tanggal 9 April 2018 segera setelah diketahui adanya kesalahan
dengan batas waktu penyampaian mulai pukul 07.00 WIB sampai
dengan pukul 18.00 WIB.
Ayat (4)
Contoh:
Koreksi data transaksi valuta asing pada tanggal 9 April 2018
disampaikan paling lambat tanggal 10 April 2018 pukul 16.00
WIB.
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh:
Koreksi data posisi devisa neto tanggal 9 April 2018 disampaikan
pada tanggal 11 April 2018 paling lambat pukul 23.59 WIB.
8ii
Ayat (2)
Contoh:
Koreksi data tingkat imbalan deposito investasi mudharabah
Bank syariah tanggal 9 April 2018 disampaikan pada tanggal 9
April 2018 paling lambat pukul 18.00 WIB.
Ayat (3)
Contoh :
Koreksi data posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta
asing bukan investasi dengan pihak asing posisi devisa neto
pada tanggal 9 April 2018 disampaikan paling lambat pada
tanggal 10 April 2018 pukul 16.00 WIB.
Koreksi data posisi rekapitulasi transaksi derivatif pada
tanggal 10 April 2018 disampaikan paling lambat tanggal
13 April 2018 pukul 16.00 WIB.
Ayat (4)
Contoh:
Koreksi data suku bunga penawaran tanggal 9 April 2018
disampaikan paling lambat tanggal 9 April 2018 pukul 09.45 WIB.
Pasal 19
Ayat (1)
Contoh:
Koreksi jenis dokumen untuk data transaksi valuta asing pada
tanggal 9 April 2018 dengan tanggal valuta 11 April 2018,
disampaikan paling lambat pada tanggal valuta yaitu 11 April
2018 pukul 16.00 WIB.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
9ii
Pasal 21
Ayat (1)
Contoh :
Penyampaian Offline data PUAB pagi rupiah pada tanggal 9 April
2018 disampaikan pada tanggal 9 April 2018 paling lambat pukul
14.00 WIB.
Ayat (2)
Contoh :
Penyampaian Offline posisi saldo harian pinjaman luar negeri
jangka pendek Bank tanggal 9 April 2018 disampaikan paling
lambat tanggal 13 April 2018 pukul 10.00 WIB
Ayat (3)
Contoh :
Penyampaian Offline data suku bunga penawaran tanggal 9 April
2018 disampaikan paling lambat tanggal 9 April 2018 pukul 09.45
WIB.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh :
Data PUAB pagi rupiah pada tanggal 9 April 2018 disampaikan
pada tanggal 9 April 2018 paling lambat pukul 13.00 WIB.
Ayat (3)
Contoh :
Data posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek
Bank tanggal 9 April 2018 disampaikan paling lambat tanggal 19
April 2018 pukul 16.00 WIB.
Ayat (4)
Cukup jelas.
10ii
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โkeadaan memaksa (force majeure)โ
adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank Pelapor
tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU,
antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan
oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โdata individual tertentu Bank Pelapor
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesiaโ antara lain Data
JIBOR, suku bunga deposito, suku bunga tabungan, dan tingkat
imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โdata individual tertentu Bank Pelapor
yang ditetapkan oleh Bank Indonesiaโ antara lain Data JIBOR,
11ii
suku bunga deposito, suku bunga tabungan, dan tingkat imbalan
deposito investasi mudharabah Bank syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Contoh :
Pada tanggal 7 Februari 2018, Bank A dan Bank B melakukan:
1. PUAB pagi rupiah (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali
transaksi;
2. PUAB sore rupiah (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali
transaksi;
3. PUAB valuta asing (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali
transaksi; dan
4. perdagangan surat berharga di pasar sekunder (form 301)
sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi.
Sampai dengan batas waktu penyampaian laporan untuk masing-
masing data transaksional tersebut, Bank B tidak menyampaikan
28 (dua puluh delapan) transaksi.
Atas kesalahan tidak menyampaikan 28 (dua puluh delapan)
transaksi tersebut, Bank B dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan bukan
sebesar 28 (dua puluh delapan) x Rp250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah) atau sebesar Rp7.000.000,00 (tujuh juta
rupiah).
12ii
Ayat (2)
Contoh:
Tanggal 8 Februari 2018, Bank A melakukan:
1.
2.
3.
transaksi tod, tom, dan spot (form 201) sebanyak 10 (sepuluh)
kali transaksi;
transaksi forward, swap, dan option (form 202) sebanyak 10
(sepuluh) kali transaksi; dan
transaksi derivatif Lainnya (form 203) sebanyak 10 (sepuluh)
kali transaksi.
Sampai dengan batas waktu penyampaian laporan untuk masing-
masing data transaksional tersebut, Bank A tidak menyampaikan
24 (dua puluh empat) transaksi.
Atas kesalahan tidak menyampaikan 24 (dua puluh empat)
transaksi tersebut, Bank A dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan bukan
sebesar 24 (dua puluh empat) x Rp250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah) atau sebesar Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah).
Ayat (3)
Contoh:
Pada tanggal 9 Februari 2018, Bank A tidak menyampaikan 6
(enam) data suku bunga kredit sampai dengan batas waktu
pelaporan. Berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank A pada
tanggal tersebut memiliki 6 (enam) data suku bunga kredit. Bank
A memiliki data suku bunga kredit secara lengkap namun tidak
disampaikan kepada Bank Indonesia. Oleh karena itu, Bank A
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 6 (enam) x
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) =
Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Ayat (4)
Contoh :
Pada tanggal 6 Februari 2018, Bank A tidak mempunyai data
transaksi perdagangan surat berharga di pasar sekunder (form
301), namun Bank A tidak menyampaikan form header dimaksud
sampai batas waktu penyampaian form, maka Bank A dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
13ii
Ayat (5)
Contoh :
Tanggal 5 Februari 2018, Bank A melakukan 30 (tiga puluh)
transaksi PUAB sebagai berikut:
1. PUAB pagi rupiah (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali
transaksi;
2. PUAB sore rupiah (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali
transaksi; dan
3. PUAB valuta asing (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali
transaksi.
Berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia, terdapat 42 (empat
puluh dua) item data tidak benar untuk form 101 yang
disampaikan oleh Bank A. Atas kesalahan data tersebut Bank A
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp2.000.000,00
(dua juta rupiah) dan bukan sebesar 42 (empat puluh dua) x
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau sebesar
Rp2.100.000,00 (dua juta seratus ribu rupiah).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
14ii
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/18/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN HARIAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 28 Desember 2017 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '15/52/DSta|SE-BI/2013', '15/48/DSta|SE-BI/2013', '17/5/DSta|SE-BI/2015', '13/3/DPM|SE-BI/2011', '16/17/DSta|SE-BI/2014', '14/39/DPM|SE-BI/2012', '18/17/DSta|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '18/18/PBI/2016', '16/7/PBI/2014', '19/11/PBI/2017', '7/1/PBI/2005', '18/19/PBI/2016', '18/2/PBI/2016', '17/5/PBI/2015', '13/8/PBI/2011', '17/4/PBI/2015', '5/13/PBI/2003' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
2
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/ 18 /PADG/2019
TENTANG
IMPLEMENTASI STANDAR NASIONAL QUICK RESPONSE CODE
UNTUK PEMBAYARAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung integrasi ekonomi dan
keuangan digital nasional, digitalisasi dalam layanan
sistem pembayaran perlu dikembangkan dengan tetap
menjaga keseimbangan antara inovasi dengan stabilitas
dan praktik bisnis yang sehat, serta menjamin
kepentingan nasional;
b. bahwa peran sistem pembayaran ritel domestik dalam
ekonomi dan keuangan digital telah meningkat pesat
seiring dengan perkembangan inovasi teknologi dan model
bisnis, yang didukung dengan adopsi masyarakat
terhadap layanan pembayaran ritel digital melalui
pemanfaatan berbagai teknologi seperti quick response
code;
c. bahwa untuk mengoptimalkan potensi quick response code
dalam ekosistem ekonomi dan keuangan digital, Bank
Indonesia perlu menetapkan standar nasional quick
response code untuk pembayaran guna memastikan
efisiensi dan meminimalkan fragmentasi;
2
d. bahwa penetapan standar nasional quick response code
untuk pembayaran telah sejalan dengan tatanan
kebijakan gerbang pembayaran nasional yang ditujukan
untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem pembayaran
yang lancar, aman, efisien, dan andal, dengan
mengutamakan perluasan akses dan memperhatikan
perlindungan konsumen, serta mampu memproses
seluruh transaksi pembayaran ritel domestik secara
interkoneksi dan interoperabilitas;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang
Implementasi Standar Nasional Quick Response Code
untuk Pembayaran;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016
tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi
Pembayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5945);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 tentang
Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment
Gateway) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6081);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang
Uang Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6203);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
IMPLEMENTASI STANDAR NASIONAL QUICK RESPONSE CODE
UNTUK PEMBAYARAN.
3
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment
Gateway) yang selanjutnya disingkat GPN (NPG) adalah
sistem yang terdiri atas standar, switching, dan services
yang dibangun melalui seperangkat aturan dan
mekanisme (arrangement) untuk mengintegrasikan
berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara
nasional.
2. Standar adalah spesifikasi teknis dan operasional yang
dibakukan.
3. Lembaga Standar adalah lembaga yang menyusun dan
mengelola Standar dalam GPN (NPG).
4. Quick Response Code untuk Pembayaran yang selanjutnya
disebut QR Code Pembayaran adalah kode dua dimensi
yang terdiri atas penanda tiga pola persegi pada sudut kiri
bawah, sudut kiri atas, dan sudut kanan atas, memiliki
modul hitam berupa persegi titik atau piksel, dan memiliki
kemampuan menyimpan data alfanumerik, karakter, dan
simbol, yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi
pembayaran nirsentuh melalui pemindaian.
5. Standar Nasional QR Code Pembayaran (Quick Response
Code Indonesian Standard) yang selanjutnya disebut QRIS
adalah Standar QR Code Pembayaran yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia untuk digunakan dalam
memfasilitasi transaksi pembayaran di Indonesia.
6. Transaksi QRIS adalah transaksi pembayaran yang
difasilitasi dengan QR Code Pembayaran berdasarkan
QRIS.
7. Lembaga
Switching
adalah lembaga yang
menyelenggarakan switching dalam GPN (NPG).
4
8. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah bank atau
lembaga selain bank yang menyelenggarakan kegiatan
jasa sistem pembayaran.
9. Penerbit adalah penerbit sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik.
10. Acquirer adalah acquirer sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik.
11. Merchant Aggregator adalah pihak selain Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran yang melakukan akuisisi
pedagang (merchant) dan meneruskan dana hasil
Transaksi QRIS kepada pedagang (merchant) melalui kerja
sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
12. National Merchant Repository yang selanjutnya disingkat
NMR adalah sistem yang memiliki kemampuan
menatausahakan data pedagang (merchant).
13. Pedagang (Merchant) QRIS adalah penyedia barang
dan/atau jasa yang tercatat dalam NMR untuk menerima
Transaksi QRIS.
14. Pengguna QRIS adalah pihak yang melakukan
pembayaran dalam Transaksi QRIS.
BAB II
RUANG LINGKUP PENGGUNAAN QR CODE PEMBAYARAN
Pasal 2
(1) QR Code Pembayaran memiliki fungsi utama untuk
menampilkan identitas salah satu pihak dalam
pemrosesan transaksi pembayaran.
(2) Dalam pemrosesan transaksi pembayaran, QR Code
Pembayaran ditampilkan oleh salah satu pihak yang
bertransaksi untuk kemudian dipindai oleh pihak lainnya.
5
Pasal 3
(1) QR Code Pembayaran terdiri atas QR Code Pembayaran
statis dan QR Code Pembayaran dinamis.
(2) Model penggunaan QR Code Pembayaran terdiri atas
merchant presented mode dan customer presented mode.
BAB III
STANDAR NASIONAL QR CODE PEMBAYARAN
(QUICK RESPONSE CODE INDONESIAN STANDARD)
Pasal 4
(1) QRIS sebagai standar nasional QR Code Pembayaran
ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai GPN (NPG).
(2) Pengelolaan QRIS dilakukan oleh Lembaga Standar yang
telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai Lembaga
Standar dalam GPN (NPG) untuk teknologi quick response
code.
(3) QRIS terdiri atas spesifikasi teknis dan operasional yang
dituangkan dalam dokumen QRIS.
(4) Spesifikasi teknis dan operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) terdiri atas spesifikasi:
a. quick response code untuk pembayaran;
b. interkoneksi; dan
c. teknis dan operasional lainnya.
Pasal 5
(1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dan pihak lain
yang bermaksud memperoleh salinan dokumen QRIS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) harus
mengajukan permohonan tertulis kepada Lembaga
Standar.
(2) Lembaga Standar harus menyusun dan menerapkan tata
cara dan prosedur pemberian salinan dokumen QRIS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tata cara dan prosedur pemberian salinan dokumen QRIS
yang disusun oleh Lembaga Standar sebagaimana
6
dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada Bank
Indonesia untuk memperoleh persetujuan.
Pasal 6
(1) QRIS wajib digunakan dalam setiap transaksi pembayaran
di Indonesia yang difasilitasi dengan QR Code
Pembayaran.
(2) Penerapan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan terhadap model penggunaan QR Code
Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) berdasarkan penetapan QRIS oleh Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Transaksi QRIS menggunakan sumber dana berupa
simpanan dan/atau instrumen pembayaran berupa kartu
debet, kartu kredit, dan/atau uang elektronik yang
menggunakan media penyimpanan server based.
(2) Penggunaan sumber dana dan/atau instrumen
pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan usulan dari Lembaga Standar.
(3) Usulan dari Lembaga Standar sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus disampaikan kepada Bank Indonesia
untuk memperoleh persetujuan.
Pasal 8
(1) Nominal Transaksi QRIS dibatasi paling banyak
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per transaksi.
(2) Penerbit dapat menetapkan batas nominal kumulatif
harian dan/atau bulanan atas Transaksi QRIS yang
dilakukan oleh masing-masing Pengguna QRIS.
(3) Batas nominal kumulatif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan dengan mempertimbangkan
manajemen risiko Penerbit.
Pasal 9
(1) Skema dan biaya pemrosesan Transaksi QRIS ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
7
(2) Dalam menetapkan skema dan biaya pemrosesan
Transaksi QRIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat mempertimbangkan rekomendasi
dari Lembaga Standar.
BAB IV
PEMROSESAN TRANSAKSI QRIS
Bagian Kesatu
Para Pihak dalam Pemrosesan Transaksi QRIS
Pasal 10
(1) Para pihak dalam pemrosesan Transaksi QRIS terdiri atas:
a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran;
b. Lembaga Switching;
c. Merchant Aggregator; dan
d. pengelola NMR.
(2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran yang termasuk dalam kelompok
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran front end.
Bagian Kedua
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
Pasal 11
(1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) yang melaksanakan
kegiatan pemrosesan Transaksi QRIS wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan aspek:
a. kesiapan operasional;
b. keamanan dan keandalan sistem;
c. penerapan manajemen risiko; dan
8
d. perlindungan konsumen.
(3) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran dengan penyampaian dokumen persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran, dengan disertai surat pernyataan
komitmen untuk menerapkan QRIS dan surat
rekomendasi dari Lembaga Standar.
(4) Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah
mengikuti uji coba pemrosesan Transaksi QRIS,
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan penyampaian:
a. hasil uji coba pemrosesan Transaksi QRIS; dan
b. action plan penerapan QRIS,
dengan disertai surat pernyataan komitmen untuk
menerapkan QRIS dan surat rekomendasi dari Lembaga
Standar.
(5) Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang belum
mengikuti uji coba pemrosesan Transaksi QRIS namun
telah memperoleh persetujuan untuk memproses
transaksi yang difasilitasi dengan QR Code Pembayaran,
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan penyampaian action plan
penerapan QRIS dengan disertai surat pernyataan
komitmen untuk menerapkan QRIS, surat rekomendasi
dari Lembaga Standar, dan analisis mitigasi risiko.
Pasal 12
Tata cara pengajuan dan pemrosesan permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
Pasal 13
(1) Pihak yang bermaksud untuk memperoleh izin sebagai
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana
9
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan akan melaksanakan
kegiatan pemrosesan Transaksi QRIS wajib:
a. mengajukan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran terlebih dahulu sesuai ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai:
1. penyelenggaraan pemrosesan
pembayaran;
transaksi
2.
alat pembayaran dengan menggunakan kartu;
dan/atau
3. uang elektronik; dan
b. mengajukan persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3).
(2) Pengajuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dapat disampaikan kepada Bank Indonesia
secara bersamaan dengan pengajuan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
Bagian Ketiga
Lembaga Switching
Pasal 14
(1) Lembaga Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1) huruf b yang melaksanakan kegiatan
pemrosesan Transaksi QRIS wajib terlebih dahulu
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada
Bank Indonesia dengan penyampaian:
a. hasil uji coba pemrosesan Transaksi QRIS; dan
b. surat pernyataan komitmen untuk melakukan
kegiatan penerusan data dan/atau informasi
transaksi pembayaran antar-Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran untuk Transaksi QRIS,
dengan disertai surat rekomendasi dari Lembaga Standar.
10
Bagian Keempat
Merchant Aggregator
Pasal 15
(1) Dalam pemrosesan Transaksi QRIS, Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran dapat melakukan kerja sama dengan
Merchant Aggregator sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1) huruf c.
(2) Kerja sama antara Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
dengan Merchant Aggregator sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan
dari Bank Indonesia.
(3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan kerja sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
(4) Dalam pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
wajib memastikan pelaksanaan penerapan QRIS oleh
Merchant Aggregator.
Bagian Kelima
National Merchant Repository
Pasal 16
(1) Fungsi sebagai pengelola NMR dilakukan oleh Bank
Indonesia.
(2) Dalam hal diperlukan, terhadap pelaksanaan fungsi
sebagai pengelola NMR sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk
melakukan sebagian atau seluruh tugas pengelolaan NMR.
11
Bagian Keenam
Kewajiban dalam Pemrosesan Transaksi QRIS
Pasal 17
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dan Lembaga
Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) wajib
memastikan:
a. seluruh pemrosesan Transaksi QRIS dilakukan sesuai
dengan spesifikasi teknis dan operasional QRIS; dan
b. pemenuhan skema dan biaya pemrosesan Transaksi QRIS
yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Bagian Ketujuh
Penggunaan QRIS untuk Transaksi Pembayaran
Menggunakan Sumber Dana yang Ditatausahakan dan/atau
Instrumen Pembayaran yang Diterbitkan di Luar Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 18
Kewajiban penggunaan QRIS dalam setiap transaksi
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku
juga bagi transaksi pembayaran di Indonesia yang difasilitasi
dengan QR Code Pembayaran dengan menggunakan sumber
dana yang ditatausahakan dan/atau instrumen pembayaran
yang diterbitkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 19
(1) Transaksi QRIS yang menggunakan sumber dana
dan/atau instrumen pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 hanya dapat dilakukan melalui kerja sama
antara Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran berupa
Penerbit dan/atau Acquirer dengan pihak yang
menatausahakan sumber dana dan/atau menerbitkan
instrumen pembayaran tersebut.
12
(2) Penerbit dan/atau Acquirer sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan bank yang termasuk dalam kategori
bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 4.
Pasal 20
(1) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia.
(2) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penerbit dan/atau Acquirer harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank
Indonesia dengan memenuhi persyaratan aspek:
a.
legalitas dan profil pihak yang akan diajak bekerja
sama, mencakup profil perusahaan;
b. kompetensi pihak yang akan diajak bekerja sama,
mencakup pengalaman dalam menyelenggarakan
kegiatan jasa sistem pembayaran;
c.
kinerja pihak yang akan diajak bekerja sama,
mencakup informasi dan/atau asesmen mengenai
kondisi keuangan dan rekam jejak pihak yang akan
diajak bekerja sama;
d. keamanan dan keandalan sistem dan infrastruktur,
mencakup informasi dan/atau asesmen terkait
keamanan sistem dan infrastruktur yang digunakan;
dan
e. hukum, mencakup perjanjian kerja sama yang
meliputi ruang lingkup kerja sama, hak dan
kewajiban masing-masing pihak, rencana
pelaksanaan, dan jangka waktu kerja sama.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf d dianggap telah dipenuhi dengan
penyampaian izin dan/atau persetujuan otoritas setempat
terhadap pihak yang menatausahakan sumber dana
dan/atau menerbitkan instrumen pembayaran yang
diterbitkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
13
(4) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dan pihak yang
melakukan kerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran wajib memastikan bahwa penyelesaian
kewajiban pembayaran dilakukan di Indonesia dengan
menggunakan rupiah.
(5) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf e juga harus memuat:
a. komitmen pihak yang menatausahakan sumber dana
dan/atau menerbitkan instrumen pembayaran yang
diterbitkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk memenuhi QRIS sebagai standar
nasional yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. mekanisme akuisisi dan penerusan pembayaran
kepada Pedagang (Merchant) QRIS;
c. mekanisme yang menjamin pemenuhan kewajiban
pembayaran dari pihak yang menatausahakan
sumber dana dan/atau menerbitkan instrumen
pembayaran yang diterbitkan di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia kepada Pedagang
(Merchant) QRIS; dan
d. penyelesaian kewajiban pembayaran dilakukan di
Indonesia dengan menggunakan rupiah.
BAB V
LAPORAN DAN PENGAWASAN
Pasal 21
(1) Bank Indonesia berwenang untuk meminta laporan terkait
pemrosesan Transaksi QRIS kepada Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1) huruf a dan Lembaga Switching sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b.
(2) Bank Indonesia juga berwenang untuk meminta laporan
terkait pemrosesan Transaksi QRIS kepada pihak yang
bekerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran.
14
(3) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
Pasal 22
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dan Lembaga
Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf b.
(2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
pengawasan terkait pemrosesan Transaksi QRIS terhadap
pihak yang bekerja sama dengan Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengawasan tidak langsung dan pengawasan langsung.
(4) Dalam pelaksanaan pengawasan tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia
dapat meminta:
a. laporan; dan/atau
b. dokumen, data, informasi, keterangan, dan/atau
penjelasan terkait pemrosesan Transaksi QRIS.
(5) Dalam pelaksanaan pengawasan langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan (on site visit) baik secara berkala maupun
setiap waktu apabila diperlukan.
BAB VI
KORESPONDENSI
Pasal 23
(1) Pengajuan permohonan berupa:
a. permohonan untuk mendapatkan persetujuan oleh
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2);
15
b. permohonan untuk mendapatkan persetujuan oleh
Lembaga Switching sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (2);
c. permohonan untuk mendapatkan persetujuan kerja
sama oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2);
d. permohonan untuk mendapatkan persetujuan kerja
sama oleh Penerbit dan/atau Acquirer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2); dan
e. permohonan untuk mendapatkan persetujuan kerja
sama antara Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
dengan pihak yang melakukan fungsi merchant
aggregator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2),
disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan
fungsi kebijakan sistem pembayaran dengan ditujukan ke
alamat:
Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran
Bank Indonesia
Gedung D Lantai 5
Jalan M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10350.
(2) Penyampaian laporan berupa:
a. laporan terkait pemrosesan Transaksi QRIS oleh
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dan Lembaga
Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1); dan
b. laporan terkait pemrosesan Transaksi QRIS oleh
pihak yang bekerja sama dengan Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2),
disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan
fungsi pengawasan sistem pembayaran dengan ditujukan
ke alamat:
16
Departemen Surveilans Sistem Keuangan
Bank Indonesia
Gedung D Lantai 9
Jalan M. H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10350.
(3) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank
Indonesia memberitahukan perubahan tersebut melalui
surat dan/atau sarana elektronik.
BAB VII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 24
Tata cara pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai:
a. GPN (NPG);
b. penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran; dan
c. uang elektronik.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
Permohonan persetujuan yang telah diajukan oleh
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) sebelum
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini berlaku, diproses
dengan tata cara tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
17
Pasal 26
Pihak yang telah menggunakan QR Code Pembayaran dengan
model penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) sebelum Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini berlaku
wajib menyesuaikan QR Code Pembayaran yang digunakannya
sesuai dengan QRIS paling lambat tanggal 31 Desember 2019.
Pasal 27
(1) Kerja sama antara Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dan ayat
(5) dengan pihak yang melakukan fungsi merchant
aggregator sebelum Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini berlaku, dimaknai sebagai kerja sama antara
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan Merchant
Aggregator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus
mengajukan permohonan persetujuan kerja sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank
Indonesia paling lambat tanggal 31 Desember 2019.
(3) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disertai dengan dokumen berupa:
a. profil pihak yang melakukan fungsi merchant
aggregator;
b. kinerja pihak yang melakukan fungsi merchant
aggregator; dan
c. perjanjian kerja sama antara Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran dengan pihak yang melakukan
fungsi merchant aggregator.
(4) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diproses dengan tata cara tertentu yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
18
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/ 18 /PADG/2019
TENTANG
IMPLEMENTASI STANDAR NASIONAL QUICK RESPONSE CODE
UNTUK PEMBAYARAN
I. UMUM
Dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi dan keuangan
digital, sistem pembayaran nasional ke depan harus mampu mengakomodir
perkembangan inovasi teknologi dengan tetap memperhatikan efektivitas
kebijakan dan stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, serta
kelancaran sistem pembayaran. Untuk itu, kebijakan Bank Indonesia
terkait sistem pembayaran diarahkan untuk:
1. mendukung integrasi ekonomi dan keuangan digital nasional sehingga
menjamin fungsi bank sentral dalam proses peredaran uang,
kebijakan moneter, dan stabilitas sistem keuangan, serta mendukung
inklusi keuangan;
2. mendukung digitalisasi perbankan sebagai lembaga utama dalam
ekonomi dan keuangan digital melalui open banking maupun
pemanfaatan teknologi digital dan data dalam bisnis keuangan;
3. menjamin interlink antara teknologi finansial dengan perbankan untuk
menghindari risiko shadow banking melalui pengaturan teknologi
digital, kerja sama bisnis, maupun kepemilikan perusahaan;
2
4. menjamin keseimbangan antara inovasi dengan perlindungan
konsumen, integritas, dan stabilitas serta persaingan usaha yang
sehat melalui penerapan Know Your Customer (KYC), anti pencucian
uang dan pencegahan pendanaan terorisme, kewajiban keterbukaan
untuk data dan informasi, penerapan regulatory technology dan
supervisory technology dalam kewajiban pelaporan, regulasi, dan
pengawasan; dan
5. menjamin kepentingan nasional dalam ekonomi dan keuangan digital
antarnegara melalui kewajiban pemrosesan semua transaksi domestik
di dalam negeri dan kerja sama penyelenggara asing dengan domestik,
dengan memperhatikan prinsip resiprokal.
Perkembangan inovasi teknologi informasi membawa peranan besar
dalam penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Pesatnya perkembangan
industri dan meningkatnya adopsi masyarakat terhadap smartphone di
Indonesia mendorong perusahaan teknologi dan keuangan memanfaatkan
teknologi sebagai media pembayaran. Hal ini membuat layanan mobile
payment di dalam smartphone menjadi media pembayaran baru bagi
masyarakat. Salah satu penggunaan teknologi dalam mobile payment yang
berkembang pesat saat ini adalah penggunaan quick response code atau
yang dikenal dengan QR code.
Pembayaran dengan QR code memiliki beberapa keunggulan, antara
lain kemampuan QR code menampung informasi pembayaran yang banyak
meski dalam ukuran yang kecil dan memiliki kemampuan koreksi
kesalahan, pembayaran menjadi lebih efisien karena tetap dapat
menggunakan infrastruktur dan media pembayaran yang sudah ada,
memperluas akses keuangan dan pembayaran, serta memberikan alternatif
media pembayaran kepada masyarakat. Namun demikian, dengan semakin
banyaknya Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran di Indonesia, terdapat
tendensi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran tersebut mempersiapkan
standar dan infrastuktur masing-masing. Hal ini dapat menyebabkan
inefisiensi dan fragmentasi dalam sistem pembayaran secara keseluruhan.
Untuk itu, Bank Indonesia telah menetapkan standar nasional QR
Code untuk pembayaran (QRIS) yang wajib digunakan dalam setiap
transaksi pembayaran yang difasilitasi dengan QR Code Pembayaran.
Mengingat pelaksanaan pemrosesan transaksi pembayaran menggunakan
QR Code Pembayaran melibatkan berbagai pihak, diperlukan pengaturan
lebih lanjut terkait implementasi QRIS yang telah ditetapkan oleh Bank
3
Indonesia. Hal ini untuk memastikan penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran yang difasilitasi dengan QR Code Pembayaran di Indonesia
dapat berjalan efektif dan efisien, serta memastikan kejelasan peran dan
tanggung jawab para pihak dalam pemrosesan transaksi pembayaran
dengan menggunakan QR Code Pembayaran. Adanya aturan yang tegas
juga diperlukan untuk memastikan terciptanya level of playing field antar-
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang sejalan dengan upaya
menjaga persaingan usaha yang sehat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Termasuk pihak dalam pemrosesan transaksi pembayaran yaitu
pengguna dan pedagang (merchant).
Ayat (2)
QR Code Pembayaran dapat ditampilkan antara lain dalam
bentuk kertas, stiker, atau virtual melalui layar gawai.
QR Code Pembayaran dapat dipindai antara lain melalui aplikasi
mobile (mobile application) yang terdapat pada gawai atau
perangkat point of sales.
Pasal 3
Ayat (1)
QR Code Pembayaran statis dan QR Code Pembayaran dinamis
dibedakan berdasarkan mekanisme penerbitannya.
Yang dimaksud dengan โQR Code Pembayaran statisโ adalah QR
Code Pembayaran yang diterbitkan sebelum terdapat transaksi
yang akan diinisiasi dan dapat dipindai berulang kali untuk
memfasilitasi berbagai transaksi pembayaran yang berbeda. QR
Code Pembayaran statis umumnya hanya memuat data informasi
identitas pedagang (merchant).
Yang dimaksud dengan โQR Code Pembayaran dinamisโ adalah
QR Code Pembayaran yang diterbitkan pada saat telah terdapat
4
transaksi yang akan diinisiasi dan dipindai untuk memfasilitasi
satu transaksi tertentu saja. QR Code Pembayaran dinamis
umumnya memuat data informasi mengenai identitas pedagang
(merchant) atau pengguna dan informasi mengenai transaksi yang
dilakukan seperti nominal transaksi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โmerchant presented modeโ adalah
metode penggunaan QR Code Pembayaran dengan cara pedagang
(merchant) menampilkan QR Code Pembayaran untuk kemudian
dipindai oleh pengguna.
Yang dimaksud dengan โcustomer presented modeโ adalah metode
penggunaan QR Code Pembayaran dengan cara pengguna
menampilkan QR Code Pembayaran untuk kemudian dipindai
oleh pedagang (merchant).
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Termasuk pihak lain yaitu pihak yang sedang mengajukan
permohonan izin sebagai Penerbit dan/atau Acquirer.
Ayat (2)
Pemberian salinan dokumen QRIS dilakukan dalam rangka
pengajuan perizinan sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran yang akan melaksanakan kegiatan pemrosesan
Transaksi QRIS atau pengajuan persetujuan bagi Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran yang akan melaksanakan kegiatan
pemrosesan Transaksi QRIS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Kewajiban penggunaan QRIS merupakan bagian dari kewajiban
mematuhi dan melaksanakan Standar sebagaimana dimaksud
5
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai GPN
(NPG).
Termasuk transaksi pembayaran yaitu transaksi yang salah satu
pihaknya merupakan pedagang (merchant).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Penggunaan sumber dana dan/atau instrumen pembayaran
dapat dilakukan melalui pemanfaatan teknologi dan/atau
layanan elektronik yang memungkinkan penyimpanan data
sumber dana dan/atau instrumen pembayaran seperti proprietary
channel dan dompet elektronik.
Ayat (2)
Usulan dari Lembaga Standar dapat berupa usulan penggunaan
sumber dana dan/atau instrumen pembayaran secara bertahap.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan batas nominal kumulatif tetap memperhatikan
batasan yang berlaku bagi sumber dana dan/atau instrumen
pembayaran, seperti batas paling banyak nilai transaksi uang
elektronik dalam 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang
elektronik.
Pasal 9
Ayat (1)
Contoh skema biaya yaitu merchant discount rate.
6
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Dalam pemrosesan Transaksi QRIS, Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran antara lain memiliki tugas:
1. menerima perintah inisiasi Transaksi QRIS dari
Pengguna QRIS atau Pedagang (Merchant) QRIS;
2. memastikan kecukupan dana Pengguna QRIS dan
menyampaikan notifikasi kepada Pengguna QRIS;
dan/atau
3. menyampaikan notifikasi dan dana hasil pembayaran
Transaksi QRIS kepada Pedagang (Merchant) QRIS.
Huruf b
Dalam pemrosesan Transaksi QRIS, Lembaga Switching
memiliki tugas melakukan kegiatan penerusan data
dan/atau informasi Transaksi QRIS antar-Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran. Dalam meneruskan data dan/atau
informasi Transaksi QRIS antar-Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran, Lembaga Switching dapat memanfaatkan
interkoneksi dengan Lembaga Switching lainnya.
Huruf c
Dalam pemrosesan Transaksi QRIS, Merchant Aggregator
memiliki tugas meneruskan dana hasil pembayaran
Transaksi QRIS dari Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
kepada Pedagang (Merchant) QRIS. Selain itu, Merchant
Aggregator juga dapat melakukan kegiatan akuisisi Pedagang
(Merchant) QRIS.
Cakupan tugas dan kegiatan tersebut berbeda dengan fungsi
merchant aggregator
yang diselenggarakan oleh
penyelenggara payment gateway sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, yang
meliputi penerusan data transaksi pembayaran dan
penyelesaian pembayaran.
7
Huruf d
Dalam pemrosesan Transaksi QRIS, pengelola NMR memiliki
tugas:
1. menatausahakan data identitas Pedagang (Merchant)
QRIS di seluruh Indonesia;
2. menghasilkan (generate) QRIS yang bersifat statis yang
digunakan di Pedagang (Merchant) QRIS; dan
3. menjaga kompetisi yang sehat antar-Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran termasuk mencegah
terjadinya eksklusivitas Pedagang (Merchant) QRIS.
Ayat (2)
Pengelompokan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran front end
mengacu pada pengelompokan Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. Contoh
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dalam kelompok
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran front end yaitu Penerbit
dan Acquirer.
Pasal 11
Ayat (1)
Persetujuan yang diajukan merupakan persetujuan untuk
pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Surat pernyataan komitmen untuk menerapkan QRIS paling
sedikit memuat pernyataan dan komitmen untuk menerapkan
QRIS dan mematuhi ketentuan Bank Indonesia terkait penerapan
QRIS.
Surat rekomendasi dari Lembaga Standar paling sedikit berisi
rekomendasi bahwa Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran telah
terbukti memiliki kemampuan untuk memproses Transaksi QRIS
sesuai dengan spesifikasi teknis dan operasional yang ditetapkan
8
dalam QRIS dan cakupan sumber dana dan/atau instrumen
pembayaran yang dapat digunakan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โuji coba pemrosesan Transaksi QRISโ
adalah uji coba kelaikan QRIS yang diselenggarakan oleh
Lembaga Standar dalam rangka penyusunan QRIS.
Huruf a
Hasil uji coba pemrosesan Transaksi QRIS paling sedikit
memuat:
1. ringkasan hasil uji coba;
2. deskripsi uji coba; dan
3. risiko dan mitigasi.
Huruf b
Action plan penerapan QRIS paling sedikit memuat target
waktu penyelesaian untuk:
1. migrasi dari QR Code Pembayaran proprietary ke QRIS
(jika ada);
2. penyusunan prosedur operasional standar terkait
implementasi QRIS;
3. penyesuaian aplikasi dan sistem; dan
4. sosialisasi kepada pengguna.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan โpersetujuan untuk memproses transaksi
yang difasilitasi dengan QR Code Pembayaranโ adalah
persetujuan yang diberikan oleh Bank Indonesia sebelum QRIS
ditetapkan.
Action plan penerapan QRIS paling sedikit memuat target waktu
penyelesaian untuk:
a. migrasi dari QR Code Pembayaran proprietary ke QRIS;
b. penyusunan prosedur operasional standar terkait
implementasi QRIS;
c. penyesuaian aplikasi dan sistem; dan
d. sosialisasi kepada pengguna.
Analisis mitigasi risiko paling sedikit memuat identifikasi risiko
yang mungkin timbul dan upaya mitigasi risiko dimaksud.
9
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โuji coba pemrosesan Transaksi QRISโ
adalah uji coba kelaikan QRIS yang diselenggarakan oleh
Lembaga Standar dalam rangka penyusunan QRIS.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Persetujuan yang diajukan merupakan persetujuan untuk
melakukan kerja sama dengan penyelenggara penunjang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pelaksanaan penerapan QRIS antara lain penerusan dana kepada
Pedagang (Merchant) QRIS.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk tugas pengelolaan NMR yaitu menatausahakan data
identitas Pedagang (Merchant) QRIS di seluruh Indonesia.
Pasal 17
Cukup jelas.
10
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โizin dan/atau persetujuan otoritas
setempatโ antara lain izin kegiatan usaha terkait jasa sistem
pembayaran
yang
diselenggarakan
atau
persetujuan/rekomendasi otoritas setempat atas rencana kerja
sama yang akan dilaksanakan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Mekanisme yang menjamin pemenuhan kewajiban
pembayaran dari pihak yang menatausahakan sumber dana
dan/atau menerbitkan instrumen pembayaran yang
diterbitkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia kepada Pedagang (Merchant) QRIS, antara lain
penempatan sejumlah prefund pada bank umum di
Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas.
11
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โpihak yang bekerja sama dengan
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaranโ antara lain Merchant
Aggregator dan pihak yang menatausahakan sumber dana
dan/atau menerbitkan instrumen pembayaran di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Pemrosesan dengan tata cara tertentu dilakukan antara lain dengan
penelitian dokumen.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan โpihak yang melakukan fungsi merchant
aggregatorโ adalah pihak selain Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran yang melakukan akuisisi pedagang (merchant) dan
meneruskan dana hasil transaksi yang difasilitasi dengan QR Code
Pembayaran kepada pedagang (merchant) melalui kerja sama dengan
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
12
Pasal 28
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/18/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> IMPLEMENTASI STANDAR NASIONAL QUICK RESPONSE CODE UNTUK PEMBAYARAN </reg_title>
<set_date> 16 Agustus 2019 </set_date>
<effective_date> 16 Agustus 2019 </effective_date>
<related_reg> '20/6/PBI/2018', '18/40/PBI/2016', '19/8/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/14/PADG/2017
TENTANG
RUANG UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX)
TEKNOLOGI FINANSIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendorong perkembangan inovasi pada
kegiatan yang menggunakan teknologi finansial perlu
diberikan ruang uji coba terbatas bagi penyelenggara
teknologi finansial beserta produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnisnya;
b. bahwa ruang uji coba terbatas sebagaimana dimaksud
dalam huruf a harus tetap menerapkan prinsip
perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan
kehati-hatian;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Ruang Uji Coba Terbatas
(Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang
Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5945);
2
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6142);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG RUANG
UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX) TEKNOLOGI
FINANSIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam
sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat
berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan
keandalan sistem pembayaran.
2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang
menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial.
3. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah
penyelenggara jasa sistem pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
4. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas
yang aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi
Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnisnya.
5. Inovasi adalah penggunaan teknologi baru dan/atau
penerapan ide baru dalam mekanisme, instrumen, hukum,
dan/atau infrastruktur dalam penyelenggaraan Teknologi
Finansial.
3
BAB II
RUANG LINGKUP PENYELENGGARAAN
TEKNOLOGI FINANSIAL
Pasal 2
Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikategorikan ke dalam:
a. sistem pembayaran;
b. pendukung pasar;
c. manajemen investasi dan manajemen risiko;
d. pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal; dan
e. jasa finansial lainnya.
BAB III
TATA CARA PENETAPAN
UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX
Pasal 3
(1) Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi
Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnisnya untuk diuji coba dalam Regulatory
Sandbox.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan pertimbangan:
a. Penyelenggara Teknologi Finansial telah terdaftar di
Bank Indonesia;
b. Teknologi
Finansial
yang diselenggarakan
mengandung unsur yang dapat dikategorikan ke
dalam sistem pembayaran;
c. Teknologi Finansial mengandung unsur Inovasi;
d. Teknologi Finansial bermanfaat atau dapat memberi
manfaat bagi konsumen dan/atau perekonomian;
e. Teknologi Finansial bersifat noneksklusif;
f. Teknologi Finansial dapat digunakan secara massal;
g. Teknologi Finansial
identifikasi dan mitigasi risiko; dan
h. hal lain yang dianggap penting oleh Bank Indonesia.
telah dilengkapi dengan
4
Pasal 4
(1) Untuk memperoleh informasi serta penjelasan yang lebih
lengkap dalam penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Penyelenggara Teknologi Finansial harus:
a. melakukan presentasi kepada Bank Indonesia paling
sedikit mengenai model bisnis dan manajemen risiko;
dan
b. menyampaikan dokumen secara lengkap kepada Bank
Indonesia.
(2) Bank Indonesia menginformasikan mengenai pelaksanaan
presentasi melalui surat elektronik dan penyampaian
dokumen melalui surat kepada Penyelenggara Teknologi
Finansial.
(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disampaikan secara daring (online) melalui laman Bank
Indonesia.
(4) Dalam hal sarana daring (online) sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) belum dapat digunakan, penyampaian
kelengkapan dokumen dilakukan melalui surat kepada
Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf b paling sedikit mengenai:
a. data dan informasi tentang profil Penyelenggara
Teknologi Finansial dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubenur ini;
b. data dan informasi
tentang produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis yang diuji coba,
paling sedikit memuat:
1. unsur Inovasi dalam produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis yang akan diuji coba;
2. manfaat bagi konsumen dan/atau perekonomian;
3. kerangka dan mekanisme kerja untuk penerapan
perlindungan konsumen;
5
4. penjelasan bahwa kegiatan usaha bersifat
noneksklusif;
5.
hasil identifikasi potensi risiko dan upaya mitigasi
risiko yang telah atau akan dilakukan;
6. hal spesifik yang dimintakan uji coba (jika ada);
dan
7. rencana yang akan dilakukan setelah uji coba
dalam Regulatory Sandbox; dan
c.
informasi pihak yang ditunjuk untuk mewakili
Penyelenggara Teknologi Finansial beserta alamat
surat elektronik yang akan digunakan untuk
berkorespondensi dengan Bank Indonesia.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b dibuktikan dengan dokumen sesuai
dengan jenis dan materi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini.
(3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
Penyelenggara Teknologi Finansial untuk menyampaikan
dokumen tambahan selain dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 6
(1) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan,
kesesuaian, dan kebenaran dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat dokumen
yang tidak lengkap, tidak sesuai, dan/atau tidak benar,
Bank Indonesia meminta Penyelenggara Teknologi
Finansial untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
dokumen dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak tanggal permintaan dari Bank Indonesia.
(3) Permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui surat elektronik.
6
Pasal 7
(1) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial telah
melakukan presentasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf a dan hasil penelitian dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dinyatakan
lengkap, sesuai, dan benar, Bank Indonesia memberi
penetapan Penyelenggara Teknologi Finansial beserta
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya
untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.
(2) Penyampaian penetapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui surat.
BAB IV
PROSES UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX
Pasal 8
(1) Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox menerapkan
prinsip:
a. criteria-based process;
b. transparansi;
c. proporsionalitas;
d. keadilan (fairness);
e.
f.
kesetaraan (equal treatment); dan
forward looking.
(2) Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox bukan
merupakan proses perizinan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 9
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah memperoleh
penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
harus menyampaikan usulan skenario uji coba produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis kepada Bank
Indonesia dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja sejak tanggal penetapan.
(2) Usulan skenario sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat:
7
a. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis
yang akan diuji coba;
b.
jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan uji
coba;
c. target yang akan dicapai;
d. batasan wilayah, batasan jumlah konsumen, dan
batasan lainnya; dan
e. mekanisme pelaporan pelaksanaan uji coba dalam
Regulatory Sandbox, yang memuat paling sedikit
laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Penyelenggara Teknologi Finansial harus tetap
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan dalam menyusun usulan skenario sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 10
(1) Bank Indonesia melakukan review atas usulan skenario
yang disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
(2) Dalam hal Bank Indonesia menilai usulan skenario yang
disampaikan masih memerlukan perbaikan, Penyelenggara
Teknologi Finansial harus menyampaikan usulan skenario
yang telah diperbaiki dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) hari kerja sejak tanggal permintaan perbaikan dari
Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia melakukan review atas usulan skenario
yang telah diperbaiki dan disampaikan Penyelenggara
Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Apabila Penyelenggara Teknologi Finansial
menyampaikan perbaikan usulan skenario sampai dengan
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka
Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang
akan diujicobakan dalam Regulatory Sandbox.
tidak
8
(5) Dalam hal Bank Indonesia menyetujui usulan skenario
yang diajukan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara
Teknologi Finansial harus menyatakan kesanggupan
menjalankan skenario uji coba yang telah disetujui dengan
menandatangani surat pernyataan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Bank Indonesia menetapkan skenario uji coba produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis dan
menyampaikan kepada Penyelenggara Teknologi Finasial
melalui surat setelah Penyelenggara Teknologi Finansial
menyatakan kesanggupan menjalankan skenario uji coba
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 11
(1) Jangka waktu uji coba dalam Regulatory Sandbox
ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
penetapan Bank Indonesia atas skenario uji coba produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6).
(2) Dalam hal diperlukan, jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali
untuk waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(3) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diajukan secara tertulis oleh Penyelenggara
Teknologi Finansial kepada Bank Indonesia paling lambat
1 (satu) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu
pelaksanaan uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam permohonan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Penyelenggara Teknologi Finansial
menginformasikan alasan dan jangka waktu perpanjangan
yang dibutuhkan.
(5) Bank Indonesia menyampaikan jawaban kepada
Penyelenggara Teknologi Finansial atas pengajuan
perpanjangan yang disampaikan sebelum berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
9
Pasal 12
Penyelenggara Teknologi Finansial hanya dapat
menyelenggarakan uji coba dalam Regulatory Sandbox sesuai
skenario sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6).
Pasal 13
Selama pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox,
Penyelenggara Teknologi Finansial memiliki kewajiban sebagai
berikut:
a. memastikan diterapkannya
prinsip
perlindungan
konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian yang
memadai;
b. menyampaikan laporan pelaksanaan uji coba, baik secara
reguler maupun insidentil sesuai dengan permintaan Bank
Indonesia; dan
c. tetap menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Penyelenggara Teknologi Finansial bertanggung jawab atas hal
sebagai berikut:
a. kebenaran dan keakuratan data, informasi, dan dokumen
yang disampaikan kepada Bank Indonesia untuk uji coba
dalam Regulatory Sandbox;
b. keamanan dan keandalan sistem yang digunakan untuk
menjalankan produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnis yang diuji coba dalam Regulatory Sandbox;
c.
perlindungan data dan informasi serta dana konsumen
dalam penyelenggaraan Teknologi Finansial; dan
d. penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Penyelenggara
Teknologi Finansial kepada konsumen dan/atau pihak lain
yang terkait, baik selama maupun setelah proses uji coba
dalam Regulatory Sandbox.
Pasal 15
Bank Indonesia melakukan pendampingan dan review selama
pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox sebagai dasar
10
untuk menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara
Teknologi Finansial.
BAB V
HASIL UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX
Pasal 16
(1) Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba dalam
Regulatory Sandbox berdasarkan hasil penilaian atas
seluruh rangkaian kegiatan selama pelaksanaan uji coba.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan:
a. kesiapan dan keandalan sistem dari Penyelenggara
Teknologi Finansial;
b. penerapan prinsip perlindungan konsumen serta
manajemen risiko dan kehati-hatian; dan
c. pemenuhan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba
dalam Regulatory Sandbox yaitu:
a.
berhasil;
b. tidak berhasil; atau
c. status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 17
(1) Bank Indonesia menyampaikan surat penetapan status
hasil uji coba dalam Regulatory Sandbox kepada
Penyelenggara Teknologi Finansial.
(2) Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a dan produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk
Teknologi Finansial kategori sistem pembayaran maka
Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang
diujicobakan sebelum terlebih dahulu mengajukan
permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai dengan
11
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan mengenai penetapan
status hasil uji coba berdasarkan penilaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 dan ketentuan mengenai
penyampaian surat penetapan status hasil uji coba
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara
Teknologi Finansial dapat menyampaikan permohonan izin
dan/atau persetujuan sesuai ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran kepada Bank Indonesia sebelum
Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba dalam
Regulatory Sandbox sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (3).
(4) Dalam hal permohonan izin dan/atau persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah diterima oleh
Bank Indonesia, Penyelenggara Teknologi Finansial dapat
memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnisnya sesuai dengan skenario uji coba sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, sampai dengan Bank Indonesia
memberikan keputusan atas permohonan izin dan/atau
persetujuan yang telah disampaikan.
(5) Dalam hal uji coba dinyatakan tidak berhasil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf b dan produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk
Teknologi Finansial kategori sistem pembayaran maka
Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan
produk dan/atau layanan serta menggunakan teknologi
dan/atau model bisnis yang diujicobakan.
(6) Dalam hal produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnisnya termasuk Teknologi Finansial selain kategori
sistem pembayaran, Bank Indonesia dapat menyampaikan
status hasil uji coba Penyelenggara Teknologi Finansial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) kepada
otoritas yang berwenang.
12
BAB VI
KEWAJIBAN IZIN SEBAGAI
PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN
Pasal 18
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori
sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus
memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
(2) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran lainnya, Penyelenggara Teknologi
Finansial tersebut harus:
a. berbentuk perseroan terbatas; dan
b. memenuhi aspek kelayakan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran V, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini.
(3) Tata cara memperoleh izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan
tertentu untuk penetapan:
a. Penyelenggara Teknologi Finansial;
b. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis;
dan/atau
c. skenario uji coba,
yang akan diujicobakan dalam Regulatory Sandbox.
13
(2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada pertimbangan:
a. perkembangan inovasi tertentu terkait dengan
penyelenggaraan Teknologi Finansial; dan
b. perkembangan ekosistem Teknologi Finansial untuk
mendukung perekonomian nasional.
Pasal 20
(1) Surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia
terkait pelaksanaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini disampaikan kepada Departemen Kebijakan Sistem
Pembayaran c.q. Bank Indonesia Financial Technology
Office dengan alamat di Komplek Perkantoran Bank
Indonesia, Gedung Thamrin Lantai 4, Jalan M.H. Thamrin
Nomor 2, Jakarta 10350.
(2) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan
komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia akan memberitahukan melalui surat dan/atau
media lainnya.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
14
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/14/PADG/2017
TENTANG
RUANG UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX)
TEKNOLOGI FINANSIAL
I. UMUM
Bahwa perkembangan dan inovasi pada industri teknologi keuangan
perlu dimitigasi secara tepat dan memadai agar memberikan manfaat bagi
masyarakat dan perekonomian. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank
Indonesia perlu menciptakan rezim pengaturan yang tepat agar mampu
mendorong laju inovasi yang dilakukan oleh Penyelenggara Teknologi
Finansial dengan tetap menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta
manajemen risiko dan kehati-hatian.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia yaitu dengan
menerbitkan ketentuan mengenai ruang uji coba terbatas (regulatory
sandbox) bagi Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnisnya dalam suatu Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Pasal 2
Huruf a
Sistem pembayaran mencakup otorisasi, kliring, penyelesaian
akhir, dan pelaksanaan pembayaran.
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori sistem
pembayaran antara lain penggunaan QR code, teknologi
blockchain, atau distributed ledger untuk penyelenggaraan transfer
dana, uang elektronik, dompet elektronik, dan mobile payments.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โpendukung pasarโ adalah Teknologi
Finansial yang menggunakan teknologi informasi dan/atau
teknologi elektronik untuk memfasilitasi pemberian informasi yang
lebih cepat dan lebih murah terkait dengan produk dan/atau
layanan jasa keuangan kepada masyarakat.
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori
pendukung pasar (market support) antara lain penyediaan data
perbandingan informasi produk atau layanan jasa keuangan.
Huruf c
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori
manajemen investasi dan manajemen risiko antara lain
penyediaan produk investasi online dan asuransi online.
Huruf d
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori
pinjaman (lending), pembiayaan (financing atau funding), dan
penyediaan modal (capital raising) antara lain layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending)
serta pembiayaan atau penggalangan dana berbasis teknologi
informasi (crowd-funding).
Huruf e
Yang dimaksud dengan โjasa finansial lainnyaโ adalah Teknologi
Finansial selain kategori sistem pembayaran, pendukung pasar,
manajemen investasi dan manajemen risiko, serta pinjaman,
pembiayaan, dan penyediaan modal.
3
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bermanfaat atau dapat memberi manfaat bagi konsumen
antara lain lebih murah, lebih mudah, dan/atau lebih cepat,
sedangkan bermanfaat atau dapat memberi manfaat bagi
perekonomian misalnya membuka lapangan kerja baru,
memperlancar transaksi ekonomi, dan/atau membawa
efisiensi dalam transaksi ekonomi.
Huruf e
Bersifat noneksklusif dimaksudkan agar Penyelenggara
Teknologi Finansial terbuka terhadap kebijakan Bank
Indonesia terkait interkoneksi dan interoperabilitas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Hal lain yang dianggap penting antara lain rekam jejak
Penyelenggara Teknologi Finansial dalam proses uji coba
Regulatory Sandbox yang pernah diikuti, kepentingan
nasional, standar dan praktik internasional, kondisi
ekosistem teknologi finansial, dan optimalisasi
interoperabilitas.
4
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Alamat surat elektronik Bank Indonesia Financial Technology
Office yaitu BIFintechOffice@bi.go.id.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โcriteria-based processโ adalah prinsip
yang diterapkan dalam proses uji coba dengan
memperhatikan pemenuhan kriteria yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Huruf b
Prinsip transparansi antara lain dilakukan melalui publikasi
hasil Regulatory Sandbox secara berkala.
5
Huruf c
Yang dimaksud dengan โproporsionalitasโ adalah Regulatory
Sandbox dilakukan dengan mempertimbangkan jenis, skala,
dan risiko dari produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnis yang diuji coba.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โforward lookingโ adalah Regulatory
Sandbox selalu mempertimbangkan potensi pengembangan
ke depan agar lebih memberikan manfaat kepada masyarakat
dan perekonomian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Target yang akan dicapai mencakup target akhir dan/atau
target antara selama jangka waktu uji coba.
Huruf d
Contoh batasan lainnya yaitu batasan penggunaan fitur
tertentu pada produk atau layanan selama dalam proses uji
coba.
Huruf e
Cukup jelas.
6
Ayat (3)
Ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
perseroan terbatas, perlindungan konsumen, dan kewajiban
penggunaan rupiah.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permintaan perbaikan dapat disampaikan melalui surat
elektronik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Penerapan prinsip perlindungan konsumen dituangkan antara lain
dalam perjanjian antara Penyelenggara Teknologi Finansial dengan
konsumen.
Huruf b
Informasi pelaksanaan uji coba antara lain berupa perkembangan
dan rencana tindak lanjut uji coba.
7
Huruf c
Khusus untuk ketentuan peraturan perundang-undangan Bank
Indonesia, kewajiban untuk menaatinya dapat disesuaikan
dengan kebijakan Bank Indonesia.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan โpendampingan dan reviewโ adalah Bank
Indonesia melakukan interaksi yang bersifat asistensi dan advisory
serta monitoring secara intensif dan reguler dengan Penyelenggara
Teknologi Finansial terkait produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnis yang diujicobakan agar sejalan dengan skenario uji coba yang
disepakati serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bank Indonesia juga melakukan review atas kesiapan dan keandalan
sistem dari Penyelenggara Teknologi Finansial, penerapan prinsip
perlindungan konsumen, manajemen risiko dan kehati-hatian, dan
pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam pelaksanaan pendampingan dan review, Bank Indonesia
melakukan monitoring dan assessment terhadap laporan pelaksanaan
uji coba yang disampaikan Penyelenggara Teknologi Finansial.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
8
Ayat (4)
Keputusan Bank Indonesia terhadap permohonan izin dan/atau
persetujuan dapat berupa persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin dan/atau persetujuan sebagaimana diatur
antara lain dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
Kegiatan pemasaran produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnis di luar skenario uji coba baru dapat dilakukan oleh
Penyelenggara Teknologi Finansial setelah Bank Indonesia
memberikan keputusan berupa persetujuan atas permohonan izin
dan/atau persetujuan yang diajukan. Apabila Bank Indonesia
memberikan keputusan berupa penolakan maka Penyelenggara
Teknologi Finansial menghentikan kegiatan pemasaran produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โmengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaranโ adalah penerapan tata cara untuk memperoleh izin
dilakukan dengan memperhatikan tingkat kesesuaian produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis Penyelenggara
Teknologi Finansial dengan jenis dan karakteristik jasa sistem
pembayaran.
Pasal 19
Cukup jelas.
9
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/14/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> RUANG UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX) TEKNOLOGI FINANSIAL </reg_title>
<set_date> 30 November 2017 </set_date>
<effective_date> 30 November 2017 </effective_date>
<related_reg> '18/40/PBI/2016', '19/12/PBI/2017' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/29/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG
PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, Bank
Indonesia menerbitkan transaksi domestic non-deliverable
forward sebagai salah satu instrumen operasi moneter;
b. bahwa dengan diterbitkannya transaksi domestic non-
deliverable forward sebagai instrumen operasi moneter,
diperlukan pengaturan mengenai mekanisme pelaksanaan
transaksi domestic non-deliverable forward tersebut;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
Nomor
20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar
Terbuka;
2
Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/12/PBI/2018 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 199, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6259)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG
PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan
Operasi Pasar Terbuka diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan dalam Pasal 1 ditambahkan 4 (empat) angka di
antara angka 46 dan angka 47, sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah.
2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya
disingkat BUK adalah bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan.
3
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter, yang dilakukan secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah.
6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya
disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter yang dilakukan secara konvensional.
7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat
OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh
Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat
OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang
dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain
untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.
9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang
selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah
kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar
valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan BUK dan/atau pihak lain.
10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya
disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di
pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau
pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain.
4
11. Peserta OPT adalah peserta OPT Konvensional dan
peserta OPT Syariah.
12. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta
OMK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan
operasi moneter.
13. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang
telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai
peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kepesertaan operasi moneter.
14. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah
dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai
dealer utama yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi
Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kepesertaan operasi moneter.
15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
16. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan
prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu
pendek.
17. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek
yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK.
18. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing
yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat
berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh
5
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka
waktu pendek.
19. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah surat utang negara dan surat berharga
syariah negara.
20. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara.
21. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
22. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga
untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi
penjualan surat berharga oleh Peserta OPT
Konvensional kepada Bank Indonesia, dengan
kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT
Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu
yang disepakati.
23. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga
untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi
penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah
kepada Bank Indonesia, dengan janji pembelian
kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati.
24. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT
Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi
pembelian surat berharga oleh Peserta OPT
Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban
penjualan kembali oleh Peserta OPT Konvensional
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati.
6
25. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT
Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse
Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat
berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank
Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh
Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
26. Penempatan Berjangka OPT Konvensional yang
selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional adalah penempatan dana secara
berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah dan/atau
valuta asing milik Peserta OPT Konvensional.
27. Penempatan Berjangka OPT Syariah yang selanjutnya
disebut Transaksi Term Deposit OPT Syariah adalah
penempatan dana secara berjangka di Bank
Indonesia dalam valuta asing milik Peserta OPT
Syariah.
28. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di
Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau
valuta asing.
29. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat
berharga milik Bank pada BI-SSSS dalam mata uang
rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di
Bank Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan
setelmen atas transaksi surat berharga, transaksi
dengan Bank Indonesia, dan/atau transaksi pasar
keuangan.
30. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank
Indonesia sebagai peserta BI-SSSS untuk melakukan
fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah.
31. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah
Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
7
32. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah
BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
33. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform
yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah
Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
34. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya
disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank
kepada Bank Indonesia secara harian, termasuk
penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman
dari Bank Indonesia.
35. Bank Koresponden adalah bank yang memelihara
rekening giro valuta asing dalam rangka pembayaran
dan/atau penerimaan dana valuta asing ke dan/atau
dari Bank.
36. Bank Pembayar adalah bank yang memiliki Rekening
Giro valuta asing di Bank Indonesia untuk
melakukan pembayaran dan/atau penerimaan dana
dalam rangka setelmen transaksi SBBI Valas.
37. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana
dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
38. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia adalah transaksi
beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia
dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja
setelah tanggal transaksi.
39. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia adalah transaksi
jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua)
hari kerja setelah tanggal transaksi.
8
40. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta
asing terhadap rupiah melalui pembelian atau
penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau
pembelian kembali secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang
sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
41. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia adalah transaksi
jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi
pembelian kembali valuta asing terhadap rupiah oleh
Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang
sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
42. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia adalah
transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi
penjualan kembali valuta asing terhadap rupiah oleh
Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang
sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
43. Standard Settlement Instruction adalah suatu
pedoman tertentu dalam melakukan transfer dana
melalui sarana telekomunikasi yang antara lain
memuat nama Bank Koresponden, nomor rekening,
kode kliring, dan kode Society for Worldwide Interbank
Financial Telecommunication (SWIFT).
44. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli
valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan
dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal transaksi.
45. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia adalah
transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih
dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
9
46. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah
transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih
dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
47. Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward yang
selanjutnya disebut Transaksi DNDF adalah
transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang
standar (plain vanilla) berupa transaksi forward
dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar
domestik.
48. Mekanisme Fixing adalah mekanisme penyelesaian
transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara
menghitung selisih antara kurs Transaksi Forward
dan kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah
ditetapkan di dalam kontrak (fixing date).
49. Transaksi DNDF Jual Bank Indonesia adalah
transaksi derivatif jual valuta asing terhadap rupiah
yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia
berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing
yang dilakukan di pasar domestik.
50. Transaksi DNDF Beli Bank Indonesia adalah
transaksi derivatif beli valuta asing terhadap rupiah
yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia
berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing
yang dilakukan di pasar domestik.
51. Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate
yang selanjutnya disebut JISDOR adalah representasi
harga spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah
dari transaksi antar Bank di pasar domestik,
termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri,
yang informasi data transaksinya dapat diakses
melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank
dengan pihak domestik.
10
52. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan
dan pengkreditan Rekening Surat Berharga untuk
penatausahaan.
53. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan Rekening Giro di Bank Indonesia
melalui Sistem BI-RTGS untuk penatausahaan.
54. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat
DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan
cara Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana
dilakukan secara bersamaan.
55. Pelunasan atau Pencairan Sebelum Jatuh Waktu
yang selanjutnya disebut Early Redemption adalah
pelunasan SBI, SDBI, SBBI Valas sebelum jatuh
waktu atau pencairan Term Deposit OPT Konvensional
atau Term Deposit OPT Syariah sebelum jatuh waktu.
56. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia,
termasuk hari kerja operasional terbatas Bank
Indonesia.
2. Ketentuan Bab II ditambahkan 1 (satu) bagian, yakni
Bagian Kedua Belas, yang terdiri dari 23 (dua puluh tiga)
Pasal, yakni Pasal 184A sampai dengan Pasal 184W
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kedua Belas
Transaksi DNDF
Paragraf 1
Pengumuman Lelang Transaksi DNDF
Pasal 184A
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana Transaksi
DNDF secara lelang dan perubahannya paling lambat
sebelum window time, melalui sistem otomasi lelang
operasi moneter valuta asing, Sistem LHBU,
dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
11
(2) Pengumuman rencana Transaksi DNDF secara lelang
meliputi:
a. jenis Transaksi DNDF;
b. sarana transaksi;
c. tanggal lelang;
d. nama lelang (auction name), apabila lelang
Transaksi DNDF dilakukan melalui sistem
otomasi lelang operasi moneter valuta asing;
e. tanggal spot;
f.
tanggal tertentu yang ditetapkan di dalam
kontrak (fixing date);
g. waktu penyerahan dana (tenor);
h. window time;
i.
metode lelang;
j.
tanggal setelmen (tanggal valuta);
k. kurs DNDF, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga tetap (fixed rate tender);
l.
kurs acuan yang digunakan pada saat fixing date
adalah kurs JISDOR;
m. target indikatif lelang, apabila lelang dilakukan
dengan metode harga beragam (variable rate
tender);
n. jenis valuta; dan/atau
o. informasi lainnya.
Paragraf 2
Pengajuan Penawaran Transaksi DNDF Secara Lelang
Pasal 184B
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
mengajukan penawaran Transaksi DNDF secara lelang
kepada Bank Indonesia melalui sistem otomasi lelang
operasi moneter valuta asing dan/atau sarana transaksi
lain dalam window time yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
12
Pasal 184C
(1) Pengajuan penawaran Transaksi DNDF secara lelang
meliputi informasi:
a. nama Peserta OPT Konvensional;
b. tanggal transaksi;
c. waktu penyerahan dana (tenor);
d. tanggal spot;
e. tanggal tertentu yang ditetapkan di dalam
kontrak (fixing date);
f.
g.
tanggal setelmen (tanggal valuta);
jenis valuta;
h. nilai nominal, apabila lelang dengan metode
harga tetap (fixed rate tender);
i.
nilai nominal dan kurs DNDF, apabila lelang
dengan metode harga beragam (variable rate
tender);
j. Standard Settlement Instruction; dan/atau
k. informasi lainnya.
(2) Pengajuan setiap penawaran nilai nominal dari
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
paling sedikit USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
(3) Dalam hal lelang Transaksi DNDF dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender),
pengajuan setiap penawaran kurs DNDF dari Peserta
OPT Konvensional dan Lembaga Perantara paling
sedikit dengan kelipatan Rp1,00 (satu rupiah).
Pasal 184D
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
harus memantau kebenaran data penawaran
Transaksi DNDF secara lelang yang disampaikan
kepada Bank Indonesia.
(2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi
kepada Peserta OPT Konvensional mengenai
Transaksi DNDF secara lelang yang diajukan untuk
13
kepentingan Peserta OPT Konvensional.
(3) Dalam hal Peserta OPT Konvensional dan Lembaga
Perantara mengajukan penawaran yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 184C dan tidak melakukan koreksi pengajuan
penawaran dalam window time Transaksi DNDF
secara lelang, penawaran tersebut dinyatakan batal.
Paragraf 3
Pendaftaran dan Pengkinian Informasi untuk Mengikuti
Transaksi DNDF Secara Lelang Melalui Sistem Otomasi
Lelang Operasi Moneter Valuta Asing
Pasal 184E
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
melakukan pendaftaran dan/atau pengkinian informasi
sebelum mengikuti Transaksi DNDF secara lelang.
Pasal 184F
(1) Peserta OPT Konvensional menyampaikan surat
permohonan pendaftaran untuk mengikuti Transaksi
DNDF secara lelang, yang dilengkapi dengan
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nama Peserta OPT Konvensional;
b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT
Konvensional;
c. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID)
dalam hal Peserta OPT Konvensional telah
memiliki Terminal Controller Identifier (TCID);
d. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan
dealer yang berwenang melakukan Transaksi
DNDF; dan
e. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan
dari pejabat yang membawahkan dealer yang
berwenang melakukan Transaksi DNDF
sebagaimana dimaksud dalam huruf d.
14
(2) Lembaga Perantara menyampaikan surat
permohonan pendaftaran untuk mengikuti Transaksi
DNDF secara lelang, yang dilengkapi dengan
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nama Lembaga Perantara;
b. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID)
Lembaga Perantara;
c. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan
broker yang berwenang melakukan Transaksi
DNDF; dan
d. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan
dari pejabat yang membawahkan broker yang
berwenang melakukan Transaksi DNDF
sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang mewakili Peserta OPT Konvensional
atau Lembaga Perantara.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan melalui surat kepada Bank Indonesia
pada saat pertama kali akan melakukan Transaksi
DNDF.
(5) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) menggunakan format
sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran
XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disampaikan ke alamat sebagai berikut:
Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
(7) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat-menyurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Bank Indonesia
memberitahukan melalui surat dan/atau media lain.
15
Pasal 184G
(1) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184F ayat (1)
dan ayat (2), Peserta OPT Konvensional dan Lembaga
Perantara menyampaikan pengkinian informasi
melalui surat dengan menggunakan format
sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran
XV.
(2) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184F ayat (6).
Pasal 184H
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran
untuk mengikuti Transaksi DNDF secara lelang kepada
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui
surat yang memuat informasi sebagai berikut:
a. nama Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga
Perantara;
b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional;
c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional dan/atau Lembaga Perantara;
d. kode individual page yang terdiri dari active page,
historical page, dan confirmation page pada sistem
otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing;
e. Standard Settlement Instruction Peserta OPT
Konvensional;
f.
tanggal efektif untuk mengikuti lelang Transaksi
DNDF; dan/atau
g. informasi lainnya.
16
Paragraf 4
Pengajuan Penawaran Transaksi DNDF Secara Lelang
Melalui Sistem Otomasi Lelang Operasi Moneter Valuta
Asing
Pasal 184I
(1) Pengajuan penawaran Transaksi DNDF secara lelang
dengan metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nama lelang (auction name);
b. penawaran nilai nominal; dan
c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara
mengajukan penawaran untuk dan atas nama
Peserta OPT Konvensional,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi DNDF.
(2) Pengajuan penawaran Transaksi DNDF secara lelang
dengan metode harga beragam (variable rate tender)
meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nama lelang (auction name);
b. penawaran nilai nominal;
c. kurs DNDF; dan
d. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara
mengajukan penawaran untuk dan atas nama
Peserta OPT Konvensional,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi DNDF.
Pasal 184J
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
dapat mengajukan koreksi untuk setiap penawaran
yang diajukan dalam window time Transaksi DNDF.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan
koreksi terhadap informasi penawaran, selain
informasi nama lelang (auction name); dan/atau
17
b. Lembaga Perantara yang
mengajukan
penawaran lelang Transaksi DNDF untuk dan
atas nama Peserta OPT Konvensional dapat
mengajukan koreksi terhadap informasi
penawaran selain informasi Terminal Controller
Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional dan
nama lelang (auction name).
(3) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
memenuhi persyaratan pengajuan penawaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184I.
Paragraf 5
Pengajuan Penawaran Transaksi DNDF Secara Lelang
Melalui Sarana Transaksi Lain Yang Ditetapkan Oleh
Bank Indonesia
Pasal 184K
Pengajuan penawaran Transaksi DNDF secara lelang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184C ayat (1) melalui
sarana transaksi lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, dilakukan paling banyak 2 (dua) kali untuk
masing-masing tenor yang ditawarkan.
Pasal 184L
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk
setiap penawaran yang diajukan dalam window time
Transaksi DNDF secara lelang.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan terhadap informasi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 184C ayat (1) kecuali
informasi nama Peserta OPT Konvensional dan tenor
Transaksi DNDF secara lelang.
(3) Dalam hal dilakukan koreksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) atas jumlah penawaran (nilai nominal),
jumlah penawaran (nilai nominal) tersebut harus
18
memenuhi persyaratan penawaran nilai nominal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184C ayat (2).
Paragraf 6
Penetapan Pemenang Transaksi DNDF Secara Lelang
Pasal 184M
(1) Dalam hal Transaksi DNDF secara lelang dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender),
penetapan pemenang dihitung dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta
OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya;
atau
b. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta
OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian
dengan perhitungan secara proporsional sesuai
dengan perhitungan Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Transaksi DNDF secara lelang dilakukan
dengan metode harga beragam (variable rate tender),
penetapan pemenang dihitung dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan batas kurs DNDF
yang diterima;
b. untuk Transaksi DNDF Jual, Bank Indonesia
menetapkan penawaran yang dimenangkan
dengan cara:
1. dalam hal kurs DNDF yang diajukan
Peserta OPT Konvensional lebih tinggi dari
batas penawaran kurs DNDF yang diterima
Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional
yang bersangkutan memenangkan seluruh
penawaran yang diajukan; atau
2. dalam hal kurs DNDF yang diajukan
Peserta OPT Konvensional sama dengan
batas penawaran kurs DNDF yang diterima
Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional
yang bersangkutan memenangkan seluruh
atau sebagian dari penawaran yang
19
diajukan secara proporsional sesuai dengan
perhitungan Bank Indonesia; dan
c. untuk Transaksi DNDF Beli, Bank Indonesia
menetapkan penawaran yang dimenangkan
dengan cara:
1. dalam hal kurs DNDF yang diajukan
Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari
batas penawaran kurs DNDF yang diterima
Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional
yang bersangkutan memenangkan seluruh
penawaran yang diajukan; atau
2. dalam hal kurs DNDF yang diajukan
Peserta OPT Konvensional sama dengan
batas penawaran kurs DNDF yang diterima
Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional
yang bersangkutan memenangkan seluruh
atau sebagian dari penawaran yang
diajukan secara proporsional sesuai dengan
perhitungan Bank Indonesia.
(3) Contoh perhitungan pemenang Transaksi DNDF
secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tercantum dalam Lampiran XV.
(4) Pembulatan nilai nominal yang dimenangkan oleh
pemenang Transaksi DNDF secara lelang dengan
perhitungan secara proporsional dilakukan dengan
pembulatan ke seratusribuan dolar Amerika Serikat
terdekat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk nominal kurang dari USD50,000.00 (lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat) dibulatkan
menjadi 0 (nol); dan
b. untuk nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu
dolar Amerika Serikat) atau lebih dibulatkan
menjadi USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat).
20
Pasal 184N
Peserta OPT Konvensional menyampaikan konfirmasi hasil
penetapan pemenang Transaksi DNDF melalui SWIFT
message format MT300 atau sarana lain kepada Bank
Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan
Pinjaman.
Pasal 184O
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang
Transaksi DNDF secara lelang.
Paragraf 7
Pengumuman Hasil Transaksi DNDF Secara Lelang
Pasal 184P
Bank Indonesia mengumumkan hasil Transaksi DNDF
secara lelang setelah dilakukan proses penetapan
pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang
kepada semua Peserta OPT Konvensional dan
Lembaga Perantara secara keseluruhan melalui
sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing,
Sistem LHBU dan/atau sarana lain, yang memuat
informasi berupa nilai nominal Transaksi DNDF yang
dimenangkan, rata-rata tertimbang (weighted
average) kurs DNDF per tenor, dan/atau informasi
lainnya;
b. melakukan konfirmasi kepada pemenang lelang
secara individual melalui sistem otomasi lelang
operasi moneter valuta asing, dan/atau sarana
transaksi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
berupa:
1. nominal lelang Transaksi DNDF yang
dimenangkan Peserta OPT Konvensional;
2. kurs DNDF yang dimenangkan;
3. jangka waktu transaksi;
21
4. tanggal valuta;
5. permintaan Standard Settlement Instruction
Peserta OPT Konvensional;
6. permintaan nomor Rekening Giro rupiah Peserta
OPT Konvensional; dan/atau
7. informasi lainnya; dan
c. dalam hal penawaran lelang diajukan melalui
Lembaga Perantara,
konfirmasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak
memiliki sistem otomasi lelang operasi moneter
valuta asing dan/atau sarana transaksi lain
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, konfirmasi
akan dilakukan melalui Lembaga Perantara;
atau
2. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki
sistem otomasi lelang operasi moneter valuta
asing dan/atau sarana transaksi lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, konfirmasi
akan dilakukan kepada Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan.
Paragraf 8
Transaksi DNDF Secara Nonlelang
Pasal 184Q
Transaksi DNDF secara nonlelang dilakukan secara
bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT
Konvensional dengan cara langsung atau melalui Lembaga
Perantara.
22
Paragraf 9
Setelmen Transaksi DNDF
Pasal 184R
(1) Penyelesaian Transaksi DNDF dilakukan dengan
Mekanisme Fixing.
(2) Mekanisme Fixing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan menggunakan kurs acuan
berupa kurs JISDOR untuk mata uang dolar Amerika
Serikat terhadap rupiah pada tanggal tertentu yang
ditetapkan dalam kontrak (fixing date).
(3) Penyelesaian Transaksi DNDF dilakukan dalam mata
uang rupiah.
(4) Transaksi DNDF tidak dapat dilakukan perpanjangan
(roll over), pengakhiran transaksi (unwind) dan
percepatan penyelesaian transaksi (early termination).
Pasal 184S
(1) Pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak
(fixing date) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
184R ayat (2), Bank Indonesia melakukan
perhitungan selisih antara kurs transaksi DNDF
dengan kurs JISDOR.
(2) Bank Indonesia menginformasikan selisih antara
kurs Transaksi DNDF dengan kurs JISDOR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Peserta
OPT Konvensional melalui sistem otomasi lelang
operasi moneter valuta asing, sarana transaksi lain
dan/atau sarana informasi lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(3) Peserta OPT Konvensional menyampaikan konfirmasi
atas perhitungan selisih antara kurs Transaksi DNDF
dengan kurs JISDOR sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) melalui SWIFT message format MT300 atau
sarana transaksi lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Operasional Tresuri dan Pinjaman.
23
Pasal 184T
(1) Untuk Transaksi DNDF Jual, dalam hal:
a. Kurs DNDF lebih tinggi dari kurs JISDOR, Bank
Indonesia menerima selisih antara kurs DNDF
dengan kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang
ditetapkan dalam kontrak (fixing date) dikalikan
dengan nilai nominal (notional amount); atau
b. Kurs DNDF lebih rendah dari kurs JISDOR,
Bank Indonesia membayar selisih antara kurs
DNDF dengan kurs JISDOR pada tanggal
tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing
date) dikalikan dengan nilai nominal (notional
amount);
(2) Pada tanggal setelmen Transaksi DNDF, Bank
Indonesia:
a. mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional di Bank Indonesia sebesar selisih
antara kurs DNDF dengan kurs JISDOR pada
tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak
(fixing date) dikalikan dengan nilai nominal
(notional amount) dalam hal kurs DNDF lebih
tinggi dari kurs JISDOR pada tanggal tertentu
yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date); atau
b. mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional di Bank Indonesia sebesar selisih
antara kurs DNDF dengan kurs JISDOR pada
tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak
(fixing date) dikalikan dengan nilai nominal
(notional amount) dalam hal kurs DNDF lebih
rendah dari kurs JISDOR pada tanggal tertentu
yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date).
Pasal 184U
(1) Untuk Transaksi DNDF Beli, dalam hal:
a. kurs DNDF lebih tinggi dari kurs JISDOR pada
tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak
(fixing date), Bank Indonesia membayar selisih
24
antara kurs DNDF dengan JISDOR pada tanggal
tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing
date) dikalikan dengan nilai nominal (notional
amount); atau
b. kurs DNDF lebih rendah dari kurs JISDOR pada
tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak
(fixing date), Bank Indonesia menerima selisih
antara kurs DNDF dengan JISDOR pada tanggal
tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing
date) dikalikan dengan nilai nominal (notional
amount).
(2) Pada tanggal setelmen Transaksi DNDF, Bank
Indonesia:
a. mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional di Bank Indonesia sebesar selisih
antara kurs DNDF dengan JISDOR pada tanggal
tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing
date) dikalikan dengan nilai nominal (notional
amount) dalam hal kurs DNDF lebih tinggi dari
kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang
ditetapkan dalam kontrak (fixing date); atau
b. mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional di Bank Indonesia sebesar selisih
antara kurs DNDF dengan JISDOR pada tanggal
tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing
date) dikalikan dengan nilai nominal (notional
amount) dalam hal kurs DNDF lebih rendah dari
kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang
ditetapkan dalam kontrak (fixing date).
Pasal 184V
(1) Dalam hal pada tanggal setelmen Transaksi DNDF
dengan Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional
tidak memiliki dana rupiah yang cukup untuk
memenuhi kewajiban setelmen, Peserta OPT
Konvensional wajib menyediakan dana rupiah yang
cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen pada
25
Hari Kerja berikutnya.
(2) Pembayaran kewajiban setelmen Transaksi DNDF
dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui pendebitan Rekening Giro
rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia.
Pasal 184W
(1) Dalam hal tanggal tertentu yang ditetapkan dalam
kontrak (fixing date) ditetapkan sebagai hari libur oleh
pemerintah maka kurs JISDOR pada tanggal tertentu
yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date)
dilakukan menggunakan kurs JISDOR pada Hari
Kerja sebelumnya.
(2) Dalam hal tanggal setelmen ditetapkan sebagai hari
libur oleh pemerintah maka tanggal pelaksanaan
setelmen dilakukan pada Hari Kerja berikutnya.
3. Ketentuan Pasal 306 ditambahkan ayat (1) huruf d dan
ayat 3 (tiga) sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 306
(1) Peserta OPT Konvensional dikenakan sanksi dalam
hal tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen
Transaksi OPT Konvensional dalam valuta asing,
meliputi:
a. Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 145 huruf c dan Pasal 146 huruf c;
b. Transaksi Swap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 162, Pasal 164 ayat (1), Pasal 166 ayat (1),
dan Pasal 168;
c. Transaksi Forward sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 181 ayat (1) dan Pasal 183; dan
d. Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 184V ayat (1).
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b dan huruf c berupa:
a. teguran tertulis dengan tembusan kepada
26
Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang
berlaku pada tanggal penyelesaian
transaksi ditambah margin sebesar 200
(dua ratus) basis point dikalikan nilai
transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga
ratus enam puluh), untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran dalam valuta asing
dolar Amerika Serikat;
2. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh
bank sentral atau otoritas moneter di
negara valuta yang bersangkutan (official
rate) yang berlaku pada tanggal
penyelesaian transaksi ditambah margin
sebesar 200 (dua ratus) basis point
dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360
(satu per tiga ratus enam puluh), untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam
valuta asing nondolar Amerika Serikat; atau
3. rata-rata Bank Indonesia 7-Day (Reverse)
Repo Rate yang berlaku ditambah margin
sebesar 350 (tiga ratus lima puluh) basis
point dikalikan nilai transaksi dikalikan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh),
untuk penyelesaian kewajiban pembayaran
dalam rupiah.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
berupa:
a. kewajiban membayar dalam rupiah yang
dihitung atas dasar rata-rata Bank Indonesia 7-
Day (Reverse) Repo Rate yang berlaku ditambah
margin sebesar 350 (tiga ratus lima puluh) basis
point dikalikan kewajiban setelmen dan
dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam
puluh), paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) per transaksi; dan
27
b. penghentian sementara untuk mengikuti
kegiatan Operasi Moneter sampai dengan akhir
hari saat Peserta OPT Konvensional memenuhi
kewajibannya.
4. Pasal 308 ditambahkan 3 (tiga) ayat sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 308
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) dilakukan dengan
mendebit Rekening Giro rupiah atau Rekening Giro
valuta asing Peserta OPT yang ada di Bank Indonesia
paling lama 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal
kewajiban setelmen.
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 306 ayat (3) huruf a dilakukan
dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional yang ada di Bank Indonesia paling lama
1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal kewajiban
setelmen.
(3) Sanksi penghentian sementara untuk mengikuti
kegiatan OM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306
ayat (3) huruf b diberlakukan mulai 1 (satu) Hari
Kerja setelah diperoleh informasi tidak dipenuhinya
kewajiban setelmen Transaksi DNDF.
(4) Sanksi penghentian sementara untuk mengikuti
kegiatan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dikenakan sampai dengan akhir hari
saat Peserta OPT Konvensional memenuhi kewajiban
setelmen Transaksi DNDF.
5. Pasal 312 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 312
Atas batalnya transaksi OMK, yang terdiri atas transaksi
OPT Konvensional dan/atau transaksi Standing Facilities
28
Konvensional, yang ketiga kali dalam kurun waktu 6
(enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) dan Pasal 309, Peserta
OPT juga dikenakan sanksi penghentian sementara
untuk mengikuti kegiatan OMK selama 5 (lima) Hari
Kerja berturut-turut.
6. Lampiran ditambahkan 1 (satu) lampiran, yakni Lampiran
XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 November 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/29/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR
TERBUKA
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa
tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui penerbitan
Transaksi DNDF sebagai salah satu instrumen Operasi Moneter. Oleh
karena itu perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar
Terbuka yang mengatur mengenai mekanisme Transaksi DNDF tersebut.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 184A
Cukup jelas.
Pasal 184B
Cukup jelas.
Pasal 184C
Cukup jelas.
Pasal 184D
Cukup jelas.
Pasal 184E
Cukup jelas.
Pasal 184F
Cukup jelas.
Pasal 184G
Cukup jelas.
Pasal 184H
Cukup jelas.
Pasal 184I
Cukup jelas.
Pasal 184J
Cukup jelas.
3
Pasal 184K
Cukup jelas.
Pasal 184L
Cukup jelas.
Pasal 184M
Cukup jelas.
Pasal 184N
Cukup jelas.
Pasal 184O
Cukup jelas.
Pasal 184P
Cukup jelas.
Pasal 184Q
Cukup jelas.
Pasal 184R
Cukup jelas.
Pasal 184S
Cukup jelas.
Pasal 184T
Cukup jelas.
Pasal 184U
Cukup jelas.
Pasal 184V
Cukup jelas.
4
Pasal 184W
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 306
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 308
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 312
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/29/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 7 November 2018 </set_date>
<effective_date> 7 November 2018 </effective_date>
<changed_reg> '20/6/PADG/2018' </changed_reg>
<related_reg> '20/12/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 1 Huruf a', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 1 Huruf b', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 1 Huruf c', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 1 Huruf d', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 2 Huruf a', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 2 Huruf b', 'Pasal I Angka 4 Pasal 308 Ayat 4', 'Pasal I Angka 4 Pasal 308 Ayat 3', 'Pasal I Angka 56 Pasal 312', 'Pasal I Angka 4 Pasal 308 Ayat 1', 'Pasal I Angka 4 Pasal 308 Ayat 2', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 3 Huruf a', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 3 Huruf b' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/33/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI
MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan Sukuk Bank
Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi moneter;
b. bahwa dengan penerbitan Sukuk Bank Indonesia tersebut,
Bank Indonesia perlu menambahkan cakupan surat
berharga yang dapat dipergunakan dalam pemenuhan
penyangga likuiditas makroprudensial dan penyangga
likuiditas makroprudensial syariah berupa Sukuk Bank
Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/11/PADG/2018
tentang
Rasio Intermediasi
Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang
Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6194);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO
INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA
LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM
KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA
SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio
Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/31/PADG/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Anggota
Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio
Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan angka 23 Pasal 1 diubah dan di antara angka
23 dan angka 24 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka
23A sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
3
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya
disingkat BUK adalah bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS.
5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
6. Dana Pihak Ketiga yang selanjutnya disingkat DPK
adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan
penduduk dalam rupiah dan/atau valuta asing.
7. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya
disebut Rekening Giro Rupiah adalah rekening giro
dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai rekening giro di Bank Indonesia.
8. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
4
9. Rasio Intermediasi Makroprudensial yang selanjutnya
disingkat RIM adalah rasio hasil perbandingan
antara:
a.
kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta
asing; dan
b. surat berharga korporasi dalam rupiah dan
valuta asing yang memenuhi persyaratan
tertentu, yang dimiliki BUK,
terhadap:
a. DPK BUK dalam bentuk giro, tabungan, dan
simpanan berjangka/deposito dalam rupiah dan
valuta asing, tidak termasuk dana antarbank;
dan
b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing
yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
diterbitkan oleh BUK untuk memperoleh sumber
pendanaan.
10. Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah yang
selanjutnya disebut RIM Syariah adalah rasio hasil
perbandingan antara:
a. Pembiayaan yang diberikan dalam rupiah dan
valuta asing; dan
b. surat berharga syariah korporasi dalam rupiah
dan valuta asing yang memenuhi persyaratan
tertentu, yang dimiliki BUS atau UUS,
terhadap:
a. DPK BUS atau DPK UUS dalam bentuk dana
simpanan wadiah dan dana investasi tidak
terikat dalam rupiah dan valuta asing, tidak
termasuk dana antarbank; dan
b. surat berharga syariah dalam rupiah dan valuta
asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
diterbitkan oleh BUS atau UUS untuk
memperoleh sumber pendanaan.
11. Giro atas pemenuhan RIM yang selanjutnya disebut
Giro RIM adalah saldo giro dalam Rekening Giro
5
Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh
BUK untuk pemenuhan RIM.
12. Giro atas pemenuhan RIM Syariah yang selanjutnya
disebut Giro RIM Syariah adalah saldo giro dalam
Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib
dipelihara oleh BUS atau UUS untuk pemenuhan RIM
Syariah.
13. Target RIM adalah kisaran RIM yang dibatasi oleh
batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM.
14. Target RIM Syariah adalah kisaran RIM Syariah yang
dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan
Giro RIM Syariah.
15. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang
selanjutnya disebut KPMM adalah rasio hasil
perbandingan antara modal terhadap aset tertimbang
menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum bank umum
konvensional dan bank umum syariah.
16. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia untuk perhitungan RIM atau RIM
Syariah.
17. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter
pengali yang digunakan dalam pemenuhan:
a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM kurang
dari batas bawah Target RIM; atau
b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang
memiliki RIM Syariah kurang dari batas bawah
Target RIM Syariah.
18. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali
yang digunakan dalam pemenuhan:
a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM lebih dari
batas atas Target RIM; atau
6
b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang
memiliki RIM Syariah lebih dari batas atas Target
RIM Syariah.
19. Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang
selanjutnya disingkat PLM adalah cadangan
likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib
dipelihara oleh BUK dalam bentuk surat berharga
yang memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase
tertentu dari DPK BUK dalam rupiah.
20. Penyangga Likuiditas Makroprudensial Syariah yang
selanjutnya disebut PLM Syariah adalah cadangan
likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib
dipelihara oleh BUS dalam bentuk surat berharga
syariah yang memenuhi persyaratan tertentu, yang
besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar
persentase tertentu dari DPK BUS dalam rupiah.
21. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya
disebut JIBOR adalah Jakarta Interbank Offered Rate
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga
penawaran antarbank.
22. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter.
23. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia
Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter.
23A. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut
SukBI adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter, dalam mata
uang rupiah.
7
24. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter.
25. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah surat berharga yang terdiri atas surat
utang negara dalam mata uang rupiah dan surat
berharga syariah negara dalam mata uang rupiah
yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
26. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara, dalam mata uang rupiah.
27. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara
atau sukuk negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat
berharga syariah negara, dalam mata uang rupiah.
28. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
yang selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah.
29. Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank yang
selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat investasi
mudarabah antarbank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
sertifikat investasi mudarabah antarbank.
30. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata
tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam
rupiah yang terjadi di PUAS pada pasar perdana.
31. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya
disingkat LBBU adalah laporan berkala bank umum
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
8
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala
bank umum.
32. Laporan Berkala Bank Umum bagi BUS dan UUS
yang selanjutnya disebut LBBUS adalah laporan
berkala bank umum bagi BUS dan UUS sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan berkala bank umum.
33. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya
disingkat LHBU adalah laporan harian bank umum
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian
bank umum.
34. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui BI-SSSS.
2. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
(1) Jenis surat berharga yang diperhitungkan dalam
pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (3) yaitu:
a. SBI untuk seluruh jangka waktu;
b. SBIS untuk seluruh jangka waktu;
c. SDBI untuk seluruh jangka waktu;
d. SukBI untuk seluruh jangka waktu; dan/atau
e. SBN yang terdiri atas:
1. SUN berupa obligasi negara dan/atau surat
perbendaharaan negara, untuk seluruh
jenis dan jangka waktu, tidak termasuk
SUN yang tidak dapat diperdagangkan (non-
tradable); dan/atau
9
2. SBSN berupa SBSN jangka panjang
dan/atau SBSN jangka pendek untuk
seluruh jenis dan jangka waktu, tidak
termasuk SBSN yang tidak dapat
diperdagangkan (non-tradable).
(2) SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dapat
diperhitungkan dalam pemenuhan PLM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu SBI, SBIS, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada
rekening surat berharga BUK di BI-SSSS, dalam:
a. depository account (Rekening DEPO) dengan
subrekening available for sale (AVAI), not
available for sale (NAVL), dan available waiting
for reselling (AWAS);
b.
intraday liquidity facility account (Rekening ILF)
dengan subrekening AVAI; dan
c. failure to settle account (Rekening FtS) dengan
subrekening AVAI,
namun tidak termasuk SBI, SBIS, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada
rekening surat berharga sub-registry.
(3) Penetapan jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau
SBN yang dimiliki BUK dilakukan berdasarkan data
yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di
BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada
posisi akhir hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS.
(4) Nilai SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang
digunakan dalam perhitungan PLM menggunakan
harga yang tercantum di BI-SSSS.
(5) Bagi BUK yang memiliki UUS, SBI, SBIS, SDBI,
SukBI, dan/atau SBN yang dapat diperhitungkan
dalam pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) termasuk SBIS, SukBI, dan/atau
SBSN milik UUS yang tercatat pada rekening surat
berharga UUS di BI-SSSS, namun tidak termasuk
SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki UUS yang
tercatat pada rekening surat berharga sub-registry.
10
3. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
(1) Pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 dihitung dengan membandingkan jumlah SBI,
SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK
yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di
BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(2) setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan
terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam
rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya.
(2) Bagi BUK yang memiliki UUS, pemenuhan PLM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
memperhitungkan:
a. SBIS, SukBI, dan/atau SBSN milik UUS yang
tercatat pada rekening surat berharga UUS di BI-
SSSS; dan
b. rata-rata harian jumlah DPK UUS dalam rupiah.
4. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1) Jenis surat berharga syariah yang diperhitungkan
dalam pemenuhan PLM Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) yaitu:
a. SBIS untuk seluruh jangka waktu;
b. SukBI untuk seluruh jangka waktu; dan/atau
c. SBSN yang terdiri atas:
1. SBSN jangka panjang; dan/atau
2. SBSN jangka pendek,
untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak
termasuk SBSN yang tidak dapat
diperdagangkan (non-tradable).
11
(2) SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dapat
diperhitungkan dalam pemenuhan PLM Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu SBIS,
SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang
tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-
SSSS yaitu dalam:
a. Rekening DEPO dengan subrekening AVAI,
NAVL, dan AWAS;
b. Rekening ILF dengan subrekening AVAI; dan
c. Rekening FtS dengan subrekening AVAI,
namun tidak termasuk SBIS, SukBI, dan/atau SBSN
yang dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat
berharga sub-registry.
(3) Penetapan jumlah SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang
dimiliki BUS dilakukan berdasarkan data yang
tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-
SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada
posisi akhir hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS.
(4) Nilai SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang digunakan
dalam perhitungan PLM Syariah menggunakan harga
yang tercantum di BI-SSSS.
5. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
Pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 dihitung dengan membandingkan jumlah SBIS,
SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang tercatat
pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) setiap
akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata-
rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama 2 (dua)
periode laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya.
12
6. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
Pemenuhan PLM bagi BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan
maka pemenuhan PLM dihitung untuk masing-
masing BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah
BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia,
pemenuhan PLM diatur sebagai berikut:
1. pemenuhan PLM hanya dihitung untuk BUK
hasil penggabungan atau peleburan dengan
menggunakan data gabungan BUK yang
melakukan penggabungan atau peleburan
sampai dengan data BUK hasil penggabungan
atau peleburan tersedia;
2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 terdiri atas:
a) bagi BUK, meliputi data:
1) saldo rekening SBI, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN
BUK hasil
penggabungan atau peleburan;
2) penggabungan data DPK BUK dalam
rupiah dari BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan; dan
3) saldo Rekening Giro Rupiah BUK hasil
penggabungan atau peleburan; dan
b) bagi BUK yang memiliki UUS, meliputi data:
1) saldo rekening SBI, SBIS, SDBI, SukBI,
dan/atau SBN BUK hasil
penggabungan atau peleburan;
13
2) penggabungan data DPK BUK dalam
rupiah dari BUK yang melakukan
penggabungan atau peleburan; dan
3) saldo Rekening Giro Rupiah BUK hasil
penggabungan atau peleburan; dan
3. pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 dihitung dengan membandingkan
jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN
milik BUK hasil penggabungan atau peleburan
yang tercatat pada rekening surat berharga BUK
di BI-SSSS terhadap rata-rata harian jumlah
DPK BUK dalam rupiah dari BUK yang
melakukan penggabungan atau peleburan; dan
c. pada saat data DPK dalam rupiah BUK hasil
penggabungan atau peleburan tersedia maka
pemenuhan PLM dihitung untuk BUK hasil
penggabungan atau peleburan dengan cara
pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
7. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
Pemenuhan PLM Syariah bagi BUS yang melakukan
penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut:
a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan
maka pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk
masing-masing BUS dengan cara pemenuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34;
b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah
BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia,
pemenuhan PLM Syariah diatur sebagai berikut:
1. pemenuhan PLM Syariah hanya dihitung untuk
BUS hasil penggabungan atau peleburan dengan
14
menggunakan data gabungan BUS yang
melakukan penggabungan atau peleburan
sampai dengan data BUS hasil penggabungan
atau peleburan tersedia;
2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 meliputi data:
a) saldo rekening SBIS, SukBI, dan/atau
SBSN BUS hasil penggabungan atau
peleburan;
b) penggabungan data DPK BUS dalam rupiah
dari BUS yang melakukan penggabungan
atau peleburan; dan
c) saldo Rekening Giro Rupiah BUS hasil
penggabungan atau peleburan; dan
3. pemenuhan PLM Syariah sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 dihitung dengan
membandingkan jumlah SBIS, SukBI, dan/atau
SBSN milik BUS hasil penggabungan atau
peleburan yang tercatat pada rekening surat
berharga BUS di BI-SSSS terhadap rata-rata
harian jumlah DPK BUS dalam rupiah dari BUS
yang melakukan penggabungan atau peleburan;
dan
c. pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil
penggabungan atau peleburan tersedia maka
pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil
penggabungan atau peleburan dengan cara
pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
8. Ketentuan Pasal 41 ayat (5) diubah sehingga Pasal 41
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
(1) BUK yang melakukan perubahan kegiatan usaha
menjadi BUS harus memenuhi Giro RIM dan PLM
sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal
efektif pelaksanaan kegiatan usaha BUS.
15
(2) BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK harus
memenuhi Giro RIM Syariah dan PLM Syariah sejak
tanggal efektif pelaksanaan kegiatan usaha BUS.
(3) Pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi
BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan
dengan menggunakan data saat bank belum
melaksanakan kegiatan usaha sebagai BUS sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah
BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK
tersedia.
(4) Pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. perhitungan RIM Syariah menggunakan:
1. data Pembiayaan yang diperoleh dari data
kredit BUK dalam pos kredit yang diberikan
kepada pihak ketiga bukan bank dalam
rupiah dan valuta asing dalam Formulir 2
Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir
Periode Data Laporan pada 4 (empat)
periode laporan sebelumnya dalam LBBU;
2. data DPK yang diperoleh dari data DPK BUK
dalam rupiah dan valuta asing dalam pos
giro, pos tabungan, dan pos simpanan
berjangka dalam Formulir 2 Neraca
Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data
Laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya dalam LBBU;
3. data surat berharga syariah korporasi yang
dimiliki yang diperoleh dari data surat
berharga korporasi yang dimiliki BUK
dalam rupiah dan valuta asing dalam saldo
total harga perolehan surat berharga
korporasi yang dimiliki BUK dalam laporan
surat berharga sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode
16
laporan sebelumnya yang disampaikan BUK
kepada Bank Indonesia secara bulanan;
dan
4. data surat berharga yang diterbitkan yang
diperoleh dari data surat berharga yang
diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan
valuta asing yang diperoleh dari saldo total
nilai nominal surat berharga yang
diterbitkan oleh BUK dalam laporan surat
berharga sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan
sebelumnya yang disampaikan BUK kepada
Bank Indonesia secara bulanan; dan
b. pemenuhan Giro RIM Syariah menggunakan:
1. data rata-rata harian jumlah DPK yang
diperoleh dari data rata-rata DPK BUK
dalam rupiah dalam Formulir 1 Laporan
Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing
dalam 2 (dua) periode laporan pada 4
(empat) periode laporan sebelumnya dalam
LBBU; dan
2. data KPMM yang diperoleh dari data KPMM
triwulanan BUK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7.
(5) Pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. data rata-rata harian jumlah DPK yang diperoleh
dari data rata-rata DPK BUK dalam rupiah
dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga
Rupiah dan Valuta Asing dalam 2 (dua) periode
laporan pada 4 (empat) periode laporan
sebelumnya dalam LBBU; dan
b. data SBIS, SukBI, dan/atau SBSN milik BUS
yang tercatat pada rekening surat berharga BUS
di BI-SSSS setiap akhir hari dalam 2 (dua)
periode laporan.
17
(6) Pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil
perubahan kegiatan usaha dari BUK tersedia,
pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi
BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. pemenuhan Giro RIM Syariah diatur sebagai
berikut:
1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung
untuk BUS hasil perubahan kegiatan usaha
dari BUK dengan cara pemenuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18;
2. khusus data:
a) surat berharga syariah korporasi yang
dimiliki; dan
b) surat berharga syariah yang
diterbitkan,
yang digunakan dalam perhitungan RIM
Syariah untuk pemenuhan Giro RIM
Syariah menggunakan data BUK sampai
dengan tersedianya data BUS hasil
perubahan kegiatan usaha dari BUK; dan
3. data KPMM yang digunakan yaitu data
KPMM triwulanan BUK sampai dengan
tersedianya data KPMM triwulanan BUS
hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK;
dan
b. pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS
hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK
dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
18
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Desember 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/33/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI
MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Untuk memperkuat kerangka operasi moneter dan sejalan dengan
kebutuhan likuiditas perbankan syariah, Bank Indonesia menerbitkan
SukBI sebagai salah satu instrumen operasi moneter. SukBI merupakan
instrumen yang likuid dan dapat diperdagangkan (tradable) sehingga
menjadi alternatif manajemen likuiditas bagi perbankan dan sebagai salah
satu surat berharga yang diperhitungkan dalam pemenuhan PLM dan PLM
Syariah.
Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi
Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank
Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
3
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Angka 1
Yang dimaksud dengan โobligasi negaraโ
adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari
12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau
dengan pembayaran bunga secara diskonto.
Yang dimaksud dengan โsurat
perbendaharaan negaraโ adalah SUN yang
berjangka waktu sampai dengan 12 (dua
belas) bulan dengan pembayaran bunga
secara diskonto.
Angka 2
Yang dimaksud dengan โSBSN jangka
panjangโ adalah surat berharga syariah
negara yang berjangka waktu lebih dari 12
(dua belas) bulan dengan pembayaran
imbalan berupa kupon dan/atau secara
diskonto.
Yang dimaksud dengan โSBSN jangka pendekโ
4
adalah surat berharga syariah negara yang
berjangka waktu sampai dengan 12 (dua
belas) bulan dengan pembayaran imbalan
berupa kupon dan/atau secara diskonto.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โDepository Account
(Rekening DEPO)โ adalah rekening untuk mencatat
kepemilikan surat berharga dan/atau instrumen
keuangan lainnya atas hasil setelmen transaksi.
Yang dimaksud dengan โsubrekening available for
sale (AVAI)โ adalah subrekening yang digunakan
untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga
dan instrumen lainnya.
Yang dimaksud dengan โsubrekening not available
for sale (NAVL)โ adalah subrekening yang
digunakan untuk mencatat surat berharga dengan
tujuan untuk dimiliki sampai dengan jatuh waktu
(hold to maturity).
Yang dimaksud dengan โsubrekening available
waiting for reselling (AWAS)โ adalah subrekening
yang digunakan untuk mencatat surat berharga
yang dimiliki dengan tujuan untuk dijual kembali
dalam waktu dekat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โintraday liquidity facility
account (Rekening ILF)โ adalah rekening untuk
mencatat surat berharga yang akan digunakan
peserta sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement untuk memperoleh fasilitas likuiditas
intrahari dalam sistem Bank Indonesia-Real Time
Gross Settlement.
Yang dimaksud dengan โsubrekening available for
sale (AVAI)โ adalah subrekening yang digunakan
untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga
dan instrumen lainnya.
5
Huruf c
Yang dimaksud dengan โfailure to settle account
(Rekening FtS)โ adalah rekening untuk mencatat
surat berharga yang digunakan peserta BI-SSSS
untuk prefund sistem kliring nasional Bank
Indonesia.
Yang dimaksud dengan โsubrekening available for
sale (AVAI)โ adalah subrekening yang digunakan
untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga
dan instrumen lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
PLM BUK X pada tanggal 1 Agustus 2019 yang dihitung
pada tanggal 2 Agustus 2019 menggunakan data dan
nilai surat berharga di BI-SSSS yaitu harga SBI, SDBI,
dan SukBI pada tanggal 1 Agustus 2019, nilai nominal
SBIS, serta harga SBN pada tanggal 31 Juli 2019.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 29
Ayat (1)
Rumus pemenuhan PLM sebagai berikut:
PLM =
Jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau
SBN yang dimiliki BUK setiap akhir hari
selama 2 (dua) periode laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam
rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada
4 (empat) periode laporan sebelumnya
x 100%
Perhitungan pemenuhan PLM didasarkan pada DPK
BUK dalam rupiah dengan periode laporan sebagai
berikut:
6
a. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal
8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-
rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama
periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan
sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir
bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK
BUK dalam rupiah selama periode laporan sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal
akhir bulan sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan โSBSN jangka
panjangโ adalah surat berharga syariah
negara yang berjangka waktu lebih dari 12
(dua belas) bulan dengan pembayaran
imbalan berupa kupon dan/atau secara
diskonto.
Angka 2
Yang dimaksud dengan โSBSN jangka pendekโ
adalah surat berharga syariah negara yang
berjangka waktu sampai dengan 12 (dua
7
belas) bulan dengan pembayaran imbalan
berupa kupon dan/atau secara diskonto.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โRekening DEPOโ adalah
rekening untuk mencatat kepemilikan surat
berharga dan/atau instrumen keuangan lainnya
atas hasil setelmen transaksi.
Yang dimaksud dengan โsubrekening AVAIโ adalah
subrekening yang digunakan untuk setelmen
seluruh transaksi surat berharga dan instrumen
lainnya.
Yang dimaksud dengan โsubrekening NAVLโ adalah
subrekening yang digunakan untuk mencatat
surat berharga dengan tujuan untuk dimiliki
sampai dengan jatuh waktu (hold to maturity).
Yang dimaksud dengan โsubrekening AWASโ
adalah subrekening yang digunakan untuk
mencatat surat berharga yang dimiliki dengan
tujuan untuk dijual kembali dalam waktu dekat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โRekening ILFโ adalah
rekening untuk mencatat surat berharga yang
akan digunakan peserta sistem Bank Indonesia-
Real Time Gross Settlement untuk memperoleh
fasilitas likuiditas intrahari dalam sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Yang dimaksud dengan โsubrekening AVAIโ adalah
subrekening yang digunakan untuk setelmen
seluruh transaksi surat berharga dan instrumen
lainnya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โRekening FtSโ adalah
rekening untuk mencatat surat berharga yang
digunakan peserta BI-SSSS untuk prefund sistem
kliring nasional Bank Indonesia.
8
Yang dimaksud dengan โsubrekening AVAIโ adalah
subrekening yang digunakan untuk setelmen
seluruh transaksi surat berharga dan instrumen
lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
PLM Syariah BUS Y pada tanggal 1 November 2019 yang
dihitung pada tanggal 4 November 2019 menggunakan
data dan nilai surat berharga di BI-SSSS yaitu harga
SukBI pada tanggal 1 November 2019, serta nilai
nominal SBIS dan harga SBSN pada tanggal 31 Oktober
2019.
Angka 5
Pasal 34
Rumus pemenuhan PLM Syariah sebagai berikut:
PLM Syariah =
Jumlah SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang
dimiliki BUS setiap akhir hari selama 2
(dua) periode laporan
Rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam
rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada
4 (empat) periode laporan sebelumnya
x 100%
Perhitungan pemenuhan PLM Syariah didasarkan pada DPK
BUS dalam rupiah dengan periode laporan sebagai berikut:
a. PLM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata-
rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama
periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal
7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan sebelumnya; dan
b. PLM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
9
menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam
rupiah selama periode laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya.
Angka 6
Pasal 38
Huruf a
Yang dimaksud dengan โtanggal efektifโ adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Huruf a)
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan
dalam hal terjadi pelanggaran
pemenuhan PLM.
Huruf b)
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan
dalam hal terjadi pelanggaran
pemenuhan PLM.
Angka 3
Bagi BUK yang memiliki UUS maka jumlah DPK
BUK dalam rupiah termasuk DPK UUS dalam
rupiah.
10
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 40
Huruf a
Yang dimaksud dengan โtanggal efektifโ adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau
peleburan.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam
hal terjadi pelanggaran pemenuhan PLM
Syariah.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 41
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โtanggal efektifโ adalah tanggal
pelaksanaan operasional BUK melakukan perubahan
kegiatan usaha menjadi BUS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
11
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/33/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 17 Desember 2018 </set_date>
<effective_date> 17 Desember 2018 </effective_date>
<changed_reg> '20/11/PADG/2018' </changed_reg>
<extension_of> '20/31/PADG/2018' </extension_of>
<related_reg> '20/4/PBI/2018' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/5/PADG/2017
TENTANG
PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka penguatan kredibilitas pasar
keuangan perlu dilakukan peningkatan kompetensi dan
integritas pelaku pasar dengan penerapan kewajiban
sertifikasi tresuri dan kode etik pasar;
b. bahwa penyelenggaraan sertifikasi tresuri dilakukan oleh
lembaga sertifikasi profesi yang diakui Bank Indonesia;
c. bahwa penerapan kode etik pasar oleh pelaku pasar
dilakukan berdasarkan pedoman yang diterbitkan oleh
asosiasi profesi, dan/atau asosiasi/komite industri jasa
keuangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pelaksanaan
Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/5/PBI/2017 tentang
Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6046);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016
tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
2
Tahun 2017 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5909);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN
KODE ETIK PASAR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang
bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam-
meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai
dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan
valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan
moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan
kelancaran sistem pembayaran.
2. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari sistem keuangan
yang berkaitan dengan kegiatan penjualan dan pembelian
valuta asing terhadap rupiah atau valuta asing terhadap
valuta asing lainnya.
3. Pelaku Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang
selanjutnya disebut Pelaku Pasar adalah pihak yang
bertransaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing
beserta derivatifnya.
4. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perbankan,
dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, dan unit usaha syariah.
5. Perusahaan Pialang adalah perusahaan pialang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
3
yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang
rupiah dan valuta asing.
6. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai pasar modal.
7. Aktivitas Tresuri adalah kegiatan transaksi keuangan
secara langsung yaitu terkait penjualan produk dan/atau
pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar
Valuta Asing beserta derivatifnya.
8. Tresuri adalah unit kerja pada struktur organisasi Pelaku
Pasar yang melaksanakan Aktivitas Tresuri, baik di
kantor pusat maupun kantor cabang.
9. Direksi adalah:
a. direksi sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas
bagi Pelaku Pasar yang berbentuk hukum perseroan
terbatas; dan
b. pimpinan kantor cabang bagi Pelaku Pasar yang
berbentuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri,
yang membawahkan Tresuri.
10. Pegawai adalah pejabat dan staf Pelaku Pasar yang
melakukan Aktivitas Tresuri di Tresuri.
11. Kode Etik Pasar adalah norma moral profesional tentang
perbuatan yang harus dilakukan dan yang harus
dihindari yang menjadi pedoman berperilaku di Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya.
12. Sertifikat Tresuri adalah sertifikat yang menunjukkan
kompetensi di bidang Tresuri.
13. Sertifikasi Tresuri adalah proses pemberian Sertifikat
Tresuri yang dilakukan secara sistematis dan objektif
melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar
kompetensi kerja nasional
Indonesia, standar
internasional, dan/atau standar khusus.
14. Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri adalah sertifikat
yang menunjukkan kompetensi di bidang Tresuri terkait
pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja di pasar
4
keuangan, ketentuan yang berlaku di Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya, dan Kode Etik
Pasar.
15. Sertifikat Kompetensi Peraturan dan Kode Etik Pasar
adalah sertifikat yang menunjukkan kompetensi terkait
ketentuan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta
derivatifnya dan Kode Etik Pasar.
16. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana
kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi dari
institusi yang berwenang untuk melakukan kegiatan
Sertifikasi Tresuri.
17. Skema Sertifikasi adalah paket kompetensi dan
persyaratan lain yang berkaitan dengan kategori jabatan
atau keterampilan tertentu dari seseorang.
18. Pemeliharaan Kompetensi adalah proses pengkinian
pengetahuan dan kompetensi pemilik Sertifikat Tresuri.
BAB II
KODE ETIK PASAR
Pasal 2
(1) Kode Etik Pasar yang menjadi pedoman Direksi dan
Pegawai Pelaku Pasar yang berdasarkan prinsip
konvensional mengacu pada kode etik yang diterbitkan
oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi/komite industri
jasa keuangan konvensional.
(2) Kode Etik Pasar yang menjadi pedoman Direksi dan
Pegawai Pelaku Pasar yang berdasarkan prinsip syariah
mengacu pada kode etik yang diterbitkan oleh asosiasi
profesi dan/atau asosiasi/komite industri jasa keuangan
syariah.
Pasal 3
(1) Kode Etik Pasar harus dipahami dan diterapkan oleh
Direksi dan Pegawai.
5
(2) Pelaku Pasar wajib memiliki prosedur internal untuk
memastikan Direksi dan Pegawai memahami dan
menerapkan Kode Etik Pasar.
Pasal 4
Prosedur internal Pelaku Pasar mengenai penerapan Kode Etik
Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) paling
sedikit memuat hal sebagai berikut:
a. kegiatan untuk memahami Kode Etik Pasar;
b. penerapan Kode Etik Pasar;
c. pengendalian penerapan Kode Etik Pasar; dan
d.
tata cara penyelesaian permasalahan penerapan Kode
Etik Pasar.
Pasal 5
Penyelesaian permasalahan dalam penerapan Kode Etik Pasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dilakukan
secara internal dan/atau eksternal.
BAB III
KEANGGOTAAN ASOSIASI
Pasal 6
(1) Pelaku Pasar berbentuk Bank berdasarkan prinsip
konvensional dan Perusahaan Pialang harus memastikan
Direksi dan Pegawai menjadi anggota asosiasi profesi
Tresuri konvensional.
(2) Pelaku Pasar berbentuk Bank berdasarkan prinsip
syariah harus memastikan Direksi dan Pegawai menjadi
anggota asosiasi profesi Tresuri syariah.
(3) Pelaku Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) harus memiliki prosedur internal untuk
memastikan Direksi dan Pegawai menjadi anggota
asosiasi profesi Tresuri.
6
BAB IV
SERTIFIKAT TRESURI DAN PEMELIHARAAN KOMPETENSI
Bagian Kesatu
Sertifikat Tresuri
Pasal 7
Sertifikat Tresuri berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun
dan dapat diperpanjang setiap 3 (tiga) tahun.
Pasal 8
(1) Sertifikat Tresuri dapat diperpanjang dengan syarat
pemilik Sertifikat Tresuri telah mengikuti Pemeliharaan
Kompetensi.
(2) Pemeliharaan Kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sebelum jangka waktu Sertifikat
Tresuri berakhir.
Pasal 9
Sertifikat Tresuri untuk Direksi dan Pegawai dari Pelaku Pasar
berbentuk Bank diatur sebagai berikut:
a. Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri tingkat lanjut
untuk:
1. direktur yang membawahkan Tresuri; dan
2. Pegawai 1 (satu) tingkat di bawah jabatan
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan
membawahkan lebih dari 1 (satu) jenjang jabatan;
b. Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri paling rendah
tingkat menengah untuk Pegawai yang membawahkan
paling sedikit 1 (satu) jenjang jabatan; dan
c. Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri paling rendah
tingkat dasar untuk Pegawai yang tidak membawahkan
jabatan lainnya.
7
Pasal 10
Sertifikat Tresuri untuk Direksi dan Pegawai dari Pelaku Pasar
berbentuk Perusahaan Pialang yaitu Sertifikat Kompetensi
Profesi Tresuri paling rendah tingkat dasar.
Pasal 11
Sertifikat Tresuri untuk Direksi dan Pegawai dari Pelaku Pasar
berbentuk Perusahaan Efek beserta perusahaan induknya
dan lembaga lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia diatur
sebagai berikut:
a. Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri paling rendah
tingkat dasar; atau
b. sertifikat lain yang diakui oleh otoritas pasar modal dan
dilengkapi dengan Sertifikat Kompetensi Peraturan dan
Kode Etik Pasar.
Bagian Kedua
Pemeliharaan Kompetensi
Pasal 12
(1) Lembaga Sertifikasi Profesi menetapkan dan
mempublikasikan persyaratan untuk menjadi
penyelenggara Pemeliharaan Kompetensi dan kriteria
masing-masing bentuk kegiatan yang diakui sebagai
Pemeliharaan Kompetensi.
(2) Lembaga Sertifikasi Profesi mempublikasikan nama
penyelenggara dan bentuk kegiatan yang telah diakui
sebagai Pemeliharaan Kompetensi.
(3) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan melalui situs Lembaga Sertifikasi Profesi
dan/atau media publikasi lain.
8
BAB V
LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI
Bagian Kesatu
Perangkat Organisasi
Pasal 13
Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui oleh Bank Indonesia
memiliki perangkat organisasi paling sedikit terdiri atas:
a. struktur organisasi;
b.
forum penetapan kelulusan pengujian kompetensi; dan
c. pedoman kerja internal.
Pasal 14
Struktur organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. dewan atau komite pengarah;
b. dewan atau komite kode etik;
c. dewan atau komite sertifikasi; dan
d. pengurus harian.
Pasal 15
Dewan atau komite pengarah paling sedikit memiliki 1 (satu)
orang anggota yang mewakili unsur pimpinan asosiasi profesi
dan/atau asosiasi industri jasa keuangan.
Pasal 16
Anggota dewan atau komite pengarah, anggota dewan atau
komite kode etik, dan anggota dewan atau komite sertifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 paling sedikit harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan kompetensi yang baik;
b. memiliki pengalaman di industri jasa keuangan paling
sedikit 10 (sepuluh) tahun;
c.
tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang
perbankan dan keuangan;
9
d.
e.
tidak sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka
dengan ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun; dan
tidak pernah dihukum atas tindak pidana di bidang
perbankan, keuangan, dan/atau pencucian uang
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap.
Pasal 17
(1) Pengurus harian Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf d paling sedikit memiliki
bidang tugas:
a. sertifikasi;
b. standardisasi;
c.
teknologi informasi; dan
d. pengembangan dan pengkajian.
(2) Keanggotaan pengurus harian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan paling sedikit
sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan kompetensi yang baik;
b. berpengalaman dan/atau memiliki keahlian yang
memadai di bidang tugas terkait;
c. berpengalaman di industri jasa keuangan paling
sedikit 5 (lima) tahun;
d.
tidak sedang menjalani proses hukum sebagai
tersangka dengan ancaman hukuman di atas
5 (lima) tahun; dan
e.
tidak pernah dihukum atas tindak pidana di bidang
perbankan, keuangan, dan/atau pencucian uang
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap;
f.
g.
tidak memiliki jabatan rangkap di Pelaku Pasar; dan
tidak menjabat sebagai pengurus dan/atau menjadi
pemegang saham pada penyelenggara Pemeliharaan
Kompetensi lain maupun penyelenggara pelatihan
untuk persiapan Sertifikasi Tresuri.
10
Pasal 18
Forum penetapan kelulusan pengujian kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b merupakan
perangkat organisasi yang menetapkan kelulusan akhir
peserta Sertifikasi Tresuri.
Pasal 19
Pedoman kerja internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf c paling sedikit memuat:
a. peraturan bahwa anggota yang mengambil keputusan
mengenai Sertifikasi Tresuri dan asesor kompetensi,
tidak berperan serta dalam pelatihan calon peserta;
tata cara penyusunan materi uji; dan
b.
c.
tata cara pemberian, pemeliharaan, perpanjangan,
penundaan, atau pencabutan Sertifikasi Tresuri,
termasuk penatausahaannya.
Bagian Kedua
Skema Sertifikasi
Pasal 20
(1) Lembaga Sertifikasi Profesi memiliki Skema Sertifikasi
yang paling sedikit memuat:
a. program Sertifikasi Tresuri;
b. program Pemeliharaan Kompetensi; dan
c. perpanjangan Sertifikasi Tresuri.
(2) Program Sertifikasi Tresuri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a paling sedikit memuat:
a. paket kompetensi yang akan diuji dalam bahasa
Indonesia;
b. persyaratan peserta sertifikasi,
termasuk
persyaratan khusus dalam hal peserta sertifikasi
tidak perlu mengikuti sertifikasi secara bertingkat;
c. kriteria tenaga penguji atau asesor;
d. besaran biaya sertifikasi; dan
e. proses sertifikasi.
11
Bagian Ketiga
Tata Cara Pengajuan
Lembaga Sertifikasi Profesi yang Diakui Bank Indonesia
Pasal 21
Lembaga Sertifikasi Profesi mengajukan permohonan kepada
Bank Indonesia untuk menjadi Lembaga Sertifikasi Profesi
yang diakui Bank Indonesia dengan menyertakan dokumen
persyaratan sebagai berikut:
a.
b.
fotokopi akta pendirian beserta perubahannya;
fotokopi lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi
(BNSP) yang telah dilegalisir;
c. surat rekomendasi dari asosiasi profesi dan/atau asosiasi
industri jasa keuangan;
d. bagan struktur organisasi;
e. dokumen pendukung dari masing-masing sumber daya
manusia dalam struktur organisasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf d, terdiri atas:
1)
riwayat hidup yang paling sedikit memuat riwayat
pendidikan dan pekerjaan; dan
2) surat pernyataan bermeterai cukup yang
menyatakan bahwa:
a) yang bersangkutan tidak pernah melakukan
tindakan tercela di bidang perbankan dan
keuangan;
b)
tidak sedang menjalani proses hukum sebagai
tersangka dengan ancaman hukuman di atas
5 (lima) tahun;
c)
tidak pernah dihukum atas tindak pidana di
bidang perbankan, keuangan, dan/atau
pencucian uang berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap; dan
d) khusus untuk pengurus harian, tidak menjabat
sebagai pengurus dan/atau menjadi pemegang
saham pada penyelenggara Pemeliharaan
12
Kompetensi
lain maupun penyelenggara
pelatihan untuk persiapan Sertifikasi Tresuri;
f. pedoman yang mengatur bahwa anggota forum
penetapan kelulusan pengujian kompetensi dan asesor
tidak berperan serta dalam pelatihan calon peserta;
g. pedoman tata cara pengakuan penyelenggaraan
Pemeliharaan Kompetensi; dan
h. Skema Sertifikasi.
Pasal 22
(1) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada
Lembaga Sertifikasi Profesi mengenai keputusan Bank
Indonesia atas permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 paling lambat 45 (empat puluh lima) hari
kerja sejak dokumen persyaratan diterima dan
dinyatakan lengkap oleh Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia mencantumkan Lembaga Sertifikasi
Profesi yang telah diakui dalam daftar Lembaga
Sertifikasi Profesi yang diakui Bank Indonesia.
(3) Daftar Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dipublikasikan pada situs Bank Indonesia dan/atau
media publikasi lainnya.
Bagian Keempat
Penatausahaan
Pasal 23
Lembaga Sertifikasi Profesi menatausahakan Sertifikat Tresuri
dan Pemeliharaan Kompetensi yang paling sedikit memuat:
a. nomor Sertifikat;
b.
c.
identitas pemilik Sertifikat Tresuri;
tanggal penerbitan dan masa berlaku Sertifikat Tresuri;
d. Pemeliharaan Kompetensi pemilik Sertifikat Tresuri; dan
e.
tingkatan Sertifikat Tresuri.
13
BAB VI
PENYAMPAIAN LAPORAN
Bagian Kesatu
Penyampaian Laporan oleh Pelaku Pasar
Pasal 24
(1) Pelaku Pasar menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia yang terdiri atas:
a. daftar Direksi dan Pegawai serta kepemilikan
Sertifikat Tresuri posisi akhir tahun;
b.
laporan tindak lanjut terhadap Direksi dan Pegawai
yang belum memenuhi ketentuan kewajiban
Sertifikasi Tresuri; dan
c.
laporan daftar Direksi dan Pegawai yang
diberhentikan karena melakukan pelanggaran Kode
Etik Pasar.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
disampaikan ke Bank Indonesia setiap tahun paling
lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya, dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disampaikan ke Bank Indonesia setiap tahun paling
lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya, dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat 1 (satu)
bulan sejak Direksi atau Pegawai yang bersangkutan
diberhentikan, dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
14
Bagian Kedua
Penyampaian Laporan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi
Pasal 25
(1) Lembaga Sertifikasi Profesi menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia yang terdiri atas:
a.
b.
laporan daftar pemilik Sertifikat Tresuri posisi akhir
tahun beserta tingkatan Sertifikat Tresuri;
laporan daftar pemilik Sertifikat Tresuri dalam
proses, yang meliputi penundaan penerbitan,
pembekuan dan/atau pencabutan Sertifikat Tresuri,
beserta alasannya;
c.
d.
laporan rencana perubahan Skema Sertifikasi; dan
laporan hasil perubahan Skema Sertifikasi.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
disampaikan ke Bank Indonesia setiap tahun paling
lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya, dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disampaikan paling lambat pada bulan berikutnya,
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga)
bulan sebelum dilakukan perubahan.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat 1 (satu)
bulan setelah dilakukan perubahan.
Pasal 26
Dalam hal terdapat perubahan atas dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Lembaga Sertifikasi Profesi harus
memberitahukan perubahan tersebut kepada Bank Indonesia,
disertai dengan dokumen pendukung.
15
BAB VII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Bagian Kesatu
Tata Cara Pengenaan Sanksi bagi Pelaku Pasar
Pasal 27
Dalam hal Pelaku Pasar dikenakan sanksi berupa teguran
tertulis atas pelanggaran Peraturan Bank Indonesia mengenai
sertifikasi tresuri dan penerapan kode etik pasar, Bank
Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis dengan
tembusan kepada otoritas yang berwenang.
Pasal 28
Dalam hal Pelaku Pasar dikenakan sanksi berupa kewajiban
membayar atas pelanggaran Peraturan Bank Indonesia
mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan kode etik pasar,
dilakukan langkah sebagai berikut:
a. Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan
pengenaan sanksi kepada Pelaku Pasar dengan tembusan
kepada otoritas yang berwenang;
b. untuk Pelaku Pasar berbentuk Bank, Bank Indonesia
melakukan pendebetan rekening giro Bank di Bank
Indonesia.
c. untuk Pelaku Pasar berbentuk selain Bank, Pelaku Pasar
melakukan kewajiban membayar kepada Bank Indonesia
melalui nomor rekening sebagaimana dicantumkan
dalam surat pemberitahuan pengenaan sanksi.
Bagian Kedua
Tata Cara Pengenaan Sanksi bagi Lembaga Sertifikasi Profesi
Pasal 29
Dalam hal Lembaga Sertifikasi Profesi dikenakan sanksi
berupa teguran tertulis atas pelanggaran Peraturan Bank
Indonesia mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan kode
16
etik pasar, Bank Indonesia menyampaikan surat teguran
tertulis kepada Lembaga Sertifikasi Profesi.
Pasal 30
Dalam hal
terdapat rekomendasi dari otoritas terkait
dan/atau rekomendasi asosiasi profesi Tresuri sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai
sertifikasi tresuri dan penerapan kode etik pasar, Bank
Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada
Lembaga Sertifikasi Profesi.
Pasal 31
Dalam hal Lembaga Sertifikasi Profesi menerima sanksi
teguran tertulis dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 dan Pasal 30 sebanyak 3 (tiga) kali dalam
waktu 6 (enam) bulan, Lembaga Sertifikasi Profesi dikenakan
sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Sertifikasi Profesi
yang diakui Bank Indonesia.
BAB VIII
KORESPONDENSI
Pasal 32
(1) Korespondensi terkait permohonan, pelaporan, dan
korespondensi lainnya kepada Bank Indonesia ditujukan
kepada:
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan
Bank Indonesia
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
memberitahukan perubahan dimaksud melalui surat
dan/atau media lainnya.
17
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Ketentuan mengenai penyampaian laporan daftar Direksi dan
Pegawai serta kepemilikan Sertifikat Tresuri posisi akhir
tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf
a, untuk pertama kali disampaikan ke Bank Indonesia paling
lambat 3 (tiga) bulan setelah berlakunya Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Pasal 34
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan
Anggota Dewan Gubenur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 April 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
PERRY WARJIYO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/5/PADG/2017
TENTANG
PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR
I. UMUM
Pengembangan pasar keuangan perlu diimbangi dengan
pembentukan pasar keuangan yang kredibel melalui upaya peningkatan
kompetensi dan integritas Pelaku Pasar. Dalam hal ini Pelaku Pasar
bertanggung jawab atas kompetensi dan integritas Direksi dan Pegawai
yang melakukan Aktivitas Tresuri.
Upaya peningkatan kompetensi dan integritas Pelaku Pasar tersebut
perlu didukung dengan adanya Lembaga Sertifikasi Profesi yang
terpercaya. Lembaga Sertifikasi Profesi yang terpercaya harus dikelola
dengan baik, yaitu sesuai standar profesi yang berlaku di Indonesia,
dikelola oleh sumber daya manusia berkualitas, berpengalaman dan
kredibel, serta memiliki perangkat organisasi yang memadai.
Dalam rangka mewujudkan kredibilitas pasar keuangan dimaksud,
terdapat kewajiban Pelaku Pasar untuk memastikan Direksi dan
Pegawainya memiliki Sertifikat Tresuri yang sesuai dengan bentuk Pelaku
Pasar dan jenjang jabatan serta memastikan penerapan Kode Etik Pasar.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Pasal 2
Ayat (1)
Asosiasi/komite industri jasa keuangan antara lain Indonesia
Foreign Exchange Market Committee (IFEMC).
Kode Etik Pasar yang diterbitkan oleh IFEMC pada saat ini
adalah Market Code of Conduct.
Ayat (2)
Asosiasi profesi syariah antara lain Indonesia Islamic Global
Market Association (IIGMA).
Kode Etik Pasar yang diterbitkan oleh IIGMA pada saat ini
adalah Islamic Financial Market Code of Conduct (iCoC).
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Kegiatan untuk memahami Kode Etik Pasar antara lain dengan
mengikuti pelatihan dan membuat surat pernyataan telah
memahami dan mengerti Kode Etik Pasar.
Huruf b
Penerapan Kode Etik Pasar dilakukan dalam pelaksanaan
Aktivitas Tresuri oleh Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar.
Huruf c
Pengendalian penerapan Kode Etik Pasar dilakukan oleh atasan
Pegawai dan unit kerja yang menjalankan fungsi pengendalian
internal dan/atau unit kerja yang melaksanakan fungsi audit
internal sesuai dengan ketentuan internal Pelaku Pasar.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 5
Penyelesaian permasalahan dalam penerapan Kode Etik Pasar secara
eksternal dapat dilakukan antara lain melalui Association Cambiste
Internationale โ The Financial Markets Association Indonesia (ACI
FMA Indonesia), IIGMA, atau IFEMC.
3
Pasal 6
Ayat (1)
Asosiasi profesi Tresuri konvensional antara lain ACI FMA
Indonesia.
Ayat (2)
Asosiasi profesi Tresuri syariah antara lain IIGMA.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Angka 1
Direktur mencakup pula wakil direktur.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sertifikat lain yang diakui oleh otoritas pasar modal antara lain
sertifikat Wakil Perantara Pedagang Efek (WPPE), sertifikat Wakil
Manajer Investasi (WMI), sertifikat Wakil Penjamin Emisi Efek
(WPEE), dan sertifikat Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana
4
(WAPERD) sebagaimana tercantum dalam peraturan otoritas
terkait.
Pasal 12
Ayat (1)
Persyaratan penyelenggara Pemeliharaan Kompetensi dan
kriteria masing-masing bentuk kegiatan yang diakui sebagai
Pemeliharaan Kompetensi merupakan pedoman bagi
penyelenggara Pemeliharaan Kompetensi untuk melaksanakan
kegiatan yang dapat diakui sebagai Pemeliharaan Kompetensi
oleh Lembaga Sertifikasi Profesi.
Bentuk kegiatan yang diakui Lembaga Sertifikasi Profesi sebagai
Pemeliharaan Kompetensi antara lain berupa ujian tertulis atau
lisan, in-house training, seminar, workshop, lokakarya, dan/atau
e-learning.
Ayat (2)
Publikasi Lembaga Sertifikasi Profesi mengenai nama
penyelenggara dan bentuk kegiatan yang telah diakui Lembaga
Sertifikasi Profesi sebagai Pemeliharaan Kompetensi merupakan
pedoman bagi pemilik Sertifikat Tresuri untuk mengikuti
Pemeliharaan Kompetensi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan โunsur pimpinanโ adalah ketua dan wakil
ketua asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri jasa keuangan.
Pasal 16
Huruf a
Cukup jelas.
5
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โtindakan tercelaโ antara lain
melakukan penggelapan atau manipulasi, transaksi fiktif, kolusi,
dan window dressing di bidang perbankan dan keuangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Pengurus harian dapat menangani lebih dari satu bidang tugas
sepanjang memiliki pengalaman dan/atau keahlian yang
memadai.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Paket kompetensi terdiri atas unit kompetensi dan
parameter.
Yang dimaksud dengan โunit kompetensiโ adalah silabus
materi yang akan diujikan.
Yang dimaksud dengan โparameterโ adalah alat ukur untuk
menilai kompetensi antara lain berupa pengetahuan yang
diperlukan untuk mendukung kompetensi, keterampilan
6
dan sikap kerja, pemahaman terhadap peraturan
perundang-undangan, kebijakan, prosedur, dan Kode Etik
Pasar.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Huruf a)
Yang dimaksud dengan โtindakan tercelaโ antara lain
melakukan penggelapan atau manipulasi, transaksi
fiktif, kolusi, dan window dressing di bidang
perbankan dan keuangan.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf d)
Cukup jelas.
7
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada
Lembaga Sertifikasi Profesi dalam hal terdapat dokumen
persyaratan yang tidak lengkap.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pemeliharaan Kompetensi yang ditatausahakan adalah
Pemeliharaan Kompetensi yang diakui oleh Lembaga Sertifikasi
Profesi, baik yang dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi
itu sendiri maupun oleh lembaga lain.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
8
Huruf b
Laporan dibuat untuk menyampaikan rencana kegiatan
sampai dengan batas waktu pemenuhan kepemilikan
sertifikat.
Huruf c
Laporan hanya disampaikan apabila terdapat
pemberhentian Direksi dan/atau Pegawai.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Laporan hanya disampaikan dalam hal terdapat pemilik
Sertifikat Tresuri yang ditunda penerbitannya, dibekukan,
dan/atau dicabut sertifikasinya.
Huruf c
Laporan hanya disampaikan apabila terdapat rencana
perubahan Skema Sertifikasi.
Huruf d
Laporan hanya disampaikan apabila terdapat perubahan
Skema Sertifikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
9
Pasal 26
Yang dimaksud dengan โperubahan atas dokumenโ adalah
perubahan yang terjadi setelah Lembaga Sertifikasi Profesi
dicantumkan dalam daftar Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui
Bank Indonesia.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
10
LAMPIRAN I
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/5/PADG/2017
TANGGAL 28 APRIL 2017
TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN
PENERAPAN KODE ETIK PASAR
LAPORAN DAFTAR DIREKSI DAN PEGAWAI
SERTA KEPEMILIKAN SERTIFIKAT TRESURI
Pelaku Pasar
Periode Laporan
No. Nama
:
...
: Tahun โฆ
Nomor Induk
Kependudukan
(NIK)
Tanggal
Lahir
Unit Kerja
Jabatan
Tanggal
Menjabat
No.
Sertifikat
Tingkatan
Sertifikat
Tanggal
Penerbitan
Sertifikat
Tanggal
Kadaluarsa
Sertifikat
Penerbit
Sertifikat
No. Anggota
Asosiasi
Bank/Pialang Pasar Uang/Perusahaan Efek/Lainnya *)
*) Coret yang tidak perlu
[Kota], [Tanggal, bulan, tahun]
[Tanda tangan dan stempel]
[Nama Pejabat yang berwenang]
[Jabatan]
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
PERRY WARJIYO
11
LAMPIRAN II
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/5/PADG/2017
TANGGAL 28 APRIL 2017
TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN
PENERAPAN KODE ETIK PASAR
LAPORAN TINDAK LANJUT TERHADAP DIREKSI DAN PEGAWAI
YANG BELUM MEMENUHI KEWAJIBAN SERTIFIKASI TRESURI
Pelaku Pasar
Periode Laporan
No.
Nama
:
...
: Tahun โฆ
Nomor Induk
Kependudukan
(NIK)
Tanggal
Lahir
Jabatan
Tingkatan Sertifikat
yang Dimiliki
Rencana Kegiatan
Jadwal Pelaksanaan
Bank/Pialang Pasar Uang/Perusahaan Efek/Lainnya *)
*) Coret yang tidak perlu
[Kota], [Tanggal, bulan, tahun]
[Tanda tangan dan stempel]
[Nama Pejabat yang berwenang]
[Jabatan]
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
PERRY WARJIYO
12
LAMPIRAN III
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/5/PADG/2017
TANGGAL 28 APRIL 2017
TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN
PENERAPAN KODE ETIK PASAR
LAPORAN DAFTAR DIREKSI DAN PEGAWAI YANG DIBERHENTIKAN
KARENA PELANGGARAN KODE ETIK PASAR
Pelaku Pasar
No.
Nama
:
...
Nomor Induk
Kependudukan (NIK)
Bank/Pialang Pasar Uang/Perusahaan Efek/Lainnya *)
Tanggal
Tanggal
Lahir
Jabatan
Pemberhentian
Penjelasan Pelanggaran Kode Etik
*) Coret yang tidak perlu
[Kota], [Tanggal, bulan, tahun]
[Tanda tangan dan stempel]
[Nama Pejabat yang berwenang]
[Jabatan]
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
PERRY WARJIYO
13
LAMPIRAN IV
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/5/PADG/2017
TANGGAL 28 APRIL 2017
TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN
PENERAPAN KODE ETIK PASAR
LAPORAN DAFTAR PEMILIK SERTIFIKAT TRESURI
Lembaga Sertifikasi Profesi
Periode Laporan
No.
Nama Pemilik
Sertifikat
:
...
: Tahun โฆ
Tanggal
Lahir
No. Induk
Kependudukan
(NIK)
Nomor
Sertifikat
Tanggal Terbit Berlaku s.d. Tanggal
Tingkatan
[Kota], [Tanggal, bulan, tahun]
[Tanda tangan dan stempel]
[Nama Pejabat yang berwenang]
[Jabatan]
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
PERRY WARJIYO
14
LAMPIRAN V
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/5/PADG/2017
TANGGAL 28 APRIL 2017
TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN
PENERAPAN KODE ETIK PASAR
LAPORAN DAFTAR PEMILIK SERTIFIKAT TRESURI DALAM PROSES
Lembaga Sertifikasi Profesi
Periode Laporan
No.
Nama Pemilik
Sertifikat
:
:
...
...
Tanggal
Lahir
No. Induk
Kependudukan (NIK)
Tingkatan
Sertifikat
Proses *)
Tanggal
Proses
Keterangan Alasan Proses
*) Penundaan/Pembekuan/Pencabutan (pilih salah satu)
[Kota], [Tanggal, bulan, tahun]
[Tanda tangan dan stempel]
[Nama Pejabat yang berwenang]
[Jabatan]
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
PERRY WARJIYO
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/5/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR </reg_title>
<set_date> 28 April 2017 </set_date>
<effective_date> 28 April 2017 </effective_date>
<related_reg> '19/5/PBI/2017', '18/11/PBI/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/31/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI
MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna memastikan tetap terjaganya stabilitas sistem
keuangan, Bank Indonesia memandang perlu untuk
memberikan peningkatan fleksibilitas dan distribusi
likuiditas dalam mendukung pengelolaan likuiditas
perbankan;
b. bahwa untuk meningkatkan fleksibilitas dan distribusi
likuiditas dalam mendukung pengelolaan likuiditas
perbankan tersebut,
perlu ditingkatkan besaran
persentase penggunaan surat berharga yang dapat
digunakan dalam transaksi repo dengan Bank Indonesia
pada instrumen penyangga likuiditas makroprudensial
dan penyangga likuiditas makroprudensial syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
2
20/11/PADG/2018 tentang Rasio
Intermediasi
Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang
Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6194);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO
INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA
LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM
KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA
SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio
Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 30 ayat (4) diubah sehingga Pasal 30
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dapat digunakan
dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam
operasi pasar terbuka.
3
(2) Bank Indonesia memperhitungkan surat berharga
yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. hanya terhadap transaksi repo yang dilakukan
setelah kewajiban pemenuhan PLM berlaku; dan
b. bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah surat
berharga yang digunakan dalam transaksi repo
termasuk surat berharga yang digunakan dalam
transaksi repo oleh UUS dalam operasi pasar
terbuka syariah.
(3) Perhitungan surat berharga yang digunakan dalam
transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia melalui sistem
aplikasi di Bank Indonesia.
(4) Penggunaan surat berharga BUK dalam transaksi
repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
paling banyak sebesar 4% (empat persen) dari DPK
BUK dalam rupiah.
(5) Bank Indonesia dapat mengubah besaran persentase
penggunaan surat berharga yang dapat digunakan
dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
2. Ketentuan Pasal 35 ayat (4) diubah sehingga Pasal 35
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dapat
digunakan dalam transaksi repo kepada Bank
Indonesia dalam operasi pasar terbuka syariah.
(2) Bank Indonesia hanya memperhitungkan surat
berharga syariah yang digunakan dalam transaksi
repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
transaksi repo yang dilakukan setelah kewajiban
pemenuhan PLM Syariah berlaku.
4
(3) Perhitungan surat berharga syariah yang digunakan
dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia melalui sistem
aplikasi di Bank Indonesia.
(4) Penggunaan surat berharga syariah dalam transaksi
repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
paling banyak sebesar 4% (empat persen) dari DPK
BUS dalam rupiah.
(5) Bank Indonesia dapat mengubah besaran persentase
penggunaan surat berharga syariah yang dapat
digunakan dalam transaksi repo sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2018............
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
ERWIN RIJANTO
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/31/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI
MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Guna memastikan tetap terjaganya stabilitas sistem keuangan, Bank
Indonesia memandang perlu untuk memberikan peningkatan fleksibilitas
dan distribusi likuiditas dalam mendukung pengelolaan likuiditas
perbankan, meskipun secara umum kondisi likuiditas perbankan saat ini
masih memadai. Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia
meningkatkan besaran persentase penggunaan surat berharga yang dapat
digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi
pasar terbuka pada instrumen Penyangga Likuiditas Makroprudensial dan
Penyangga Likuiditas Makroprudensial Syariah dari sebesar 2% (dua
persen) menjadi 4% (empat persen).
Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi
Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank
Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โtransaksi repo kepada Bank
Indonesiaโ adalah transaksi repurchase agreement
(repo) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter.
Yang dimaksud dengan โoperasi pasar terbukaโ adalah
operasi pasar terbuka sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
operasi moneter.
Ayat (2)
Huruf a
Surat berharga yang digunakan dalam transaksi
repo yang diperhitungkan Bank Indonesia dalam
pemenuhan PLM yaitu surat berharga yang
digunakan dalam transaksi repo pada operasi
moneter dalam bentuk operasi pasar terbuka yang
dilaksanakan Bank Indonesia sejak tanggal 16 Juli
2018.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โtransaksi repo kepada Bank
Indonesiaโ adalah transaksi repurchase agreement
3
(repo) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter.
Yang dimaksud dengan โoperasi pasar terbuka syariahโ
adalah operasi pasar terbuka syariah sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter.
Ayat (2)
Surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi
repo yang diperhitungkan Bank Indonesia dalam
pemenuhan PLM Syariah yaitu surat berharga syariah
yang digunakan dalam transaksi repo pada operasi
moneter syariah dalam bentuk operasi pasar terbuka
syariah yang dilaksanakan Bank Indonesia sejak
tanggal 1 Oktober 2018.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/31/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 30 November 2018 </set_date>
<effective_date> 30 November 2018 </effective_date>
<changed_reg> '20/11/PADG/2018' </changed_reg>
<related_reg> '20/4/PBI/2018' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/21/PADG/2018
TENTANG
LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN
MENGGUNAKAN KARTU DAN UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY)
OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang
sistem pembayaran yang lebih efektif diperlukan
dukungan informasi yang terkait dengan kegiatan alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang
elektronik secara bulanan dan triwulanan yang tersedia
secara tepat waktu, aman, akurat, handal, obyektif,
lengkap, dan mudah untuk diakses secara simultan;
b. bahwa untuk menyediakan informasi yang lebih lengkap,
diperlukan penyempurnaan laporan serta pedoman bagi
Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank dalam
menyusun dan menyampaikan laporan melalui sistem
Laporan Selain Bank Umum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang
Laporan
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik (Electronic
2ii
Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain
Bank;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/4/PBI/2007 tentang
Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat
dan Lembaga Selain Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 13, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4811);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5000) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5275);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang
Uang Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6203);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT
PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU DAN UANG
ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) OLEH BANK
PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK.
3ii
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disingkat BPR
adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan yang melakukan kegiatan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu dan/atau uang elektronik
(electronic money).
2. Lembaga Selain Bank, yang selanjutnya disingkat LSB
adalah badan usaha bukan bank yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan
alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan/atau
uang elektronik (electronic money).
3. Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang
selanjutnya disebut APMK adalah alat pembayaran yang
berupa kartu kredit, kartu automated teller machine (ATM),
dan/atau kartu debet.
4. Kartu Kredit adalah APMK yang dapat digunakan untuk
melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari
suatu kegiatan
ekonomi,
termasuk transaksi
pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan
tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu
dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan
pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan
pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan
pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan
pembayaran secara angsuran.
5. Kartu automated teller machine (ATM) yang selanjutnya
disebut Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan
untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan
dana dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi
seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan
pemegang kartu pada BPR atau LSB yang berwenang
4ii
untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
6. Kartu Debet adalah APMK yang dapat digunakan untuk
melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari
suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi
pembelanjaan, dimana kewajiban pemegang kartu
dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung
simpanan pemegang kartu pada BPR atau LSB yang
berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
7. Uang Elektronik adalah instrumen pembayaran yang
memenuhi unsur sebagai berikut:
a. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih
dahulu kepada penerbit;
b.
c.
nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu
media server atau chip; dan
nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit
bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan.
8. Pelapor adalah BPR dan LSB yang mempunyai kewajiban
menyampaikan laporan penyelenggaraan kegiatan APMK
dan Uang Elektronik kepada Bank Indonesia.
9. Penerbit adalah BPR atau LSB yang menerbitkan APMK
dan/atau Uang Elektronik.
10. Acquirer adalah BPR dan LSB yang:
a. melakukan kerja sama dengan penyedia barang
dan/atau jasa sehingga penyedia barang dan/atau
jasa mampu memproses transaksi dari APMK
dan/atau Uang Elektronik yang diterbitkan oleh
pihak selain Acquirer yang bersangkutan; dan
b. bertanggung jawab atas penyelesaian pembayaran
kepada penyedia barang dan/atau jasa.
11. Penyelenggara Kliring adalah BPR atau LSB yang
melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan
masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka
transaksi APMK dan/atau Uang Elektronik.
5ii
12. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah BPR atau LSB
yang melakukan dan bertanggung jawab terhadap
penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan
masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka
transaksi APMK dan/atau Uang Elektronik berdasarkan
hasil perhitungan dari Penyelenggara Kliring.
13. Laporan Penyelenggaraan Kegiatan APMK dan Uang
Elektronik yang selanjutnya disebut Laporan adalah
laporan yang disusun dan disampaikan oleh Pelapor
secara bulanan dan/atau triwulanan kepada Bank
Indonesia melalui sistem laporan selain bank umum.
14. Sistem Laporan Selain Bank Umum, yang selanjutnya
disebut Sistem LSBU adalah sistem penerimaan Laporan
berbasis web yang disampaikan Pelapor melalui jaringan
ekstranet.
15. Periode Pelaporan adalah masa penyampaian Laporan
yang dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 15
setelah akhir bulan Laporan untuk Laporan bulanan dan
dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 bulan
April, Juli, Oktober, dan Januari untuk Laporan
triwulanan.
16. Online adalah penyampaian Laporan yang dilakukan
secara langsung dengan mengirim dan/atau mengisi data
dalam bentuk tampilan form melalui jaringan komunikasi
data ke Bank Indonesia.
17. Offline adalah penyampaian Laporan yang dilakukan
dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk media
perekaman data elektronik kepada Bank Indonesia.
18. Layanan Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat LKD
adalah kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan
keuangan yang dilakukan melalui kerja sama dengan
pihak ketiga serta menggunakan sarana dan perangkat
teknologi berbasis mobile maupun berbasis web dalam
rangka keuangan inklusif
19. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang
mewilayahi Pelapor, tidak termasuk pada saat Bank
6ii
Indonesia menyelenggarakan kegiatan operasional
terbatas.
BAB II
PELAPOR DAN RUANG LINGKUP LAPORAN
Bagian Kesatu
Pelapor
Pasal 2
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan kepada Bank
Indonesia
(2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. kantor pusat dari BPR; dan
b. kantor pusat dari LSB,
yang melakukan kegiatan APMK dan/atau Uang
Elektronik.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup Laporan
Pasal 3
Laporan yang disampaikan oleh kantor pusat dari BPR yang
melakukan kegiatan APMK dan/atau Uang Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a terdiri
atas:
a. Laporan Penerbit Kartu ATM, meliputi:
1. Laporan penerbitan;
2. Laporan fraud; dan
3. Laporan penanganan dan penyelesaian pengaduan
nasabah; dan/atau
b. Laporan Penyelenggaraan Kliring dan/atau Penyelesaian
Akhir (settlement).
Pasal 4
Laporan yang disampaikan oleh kantor pusat dari LSB yang
melakukan kegiatan APMK dan/atau Uang Elektronik
7ii
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b terdiri
atas:
a. Laporan Penerbit Kartu Kredit meliputi:
1. Laporan penerbitan;
2. Laporan fraud;
3. Laporan kolektibilitas; dan
4. Laporan penanganan dan penyelesaian pengaduan
nasabah;
b. Laporan Penerbit Uang Elektronik meliputi:
1. Laporan penerbitan;
2. Laporan fraud; dan
3. Laporan penanganan dan penyelesaian pengaduan
nasabah;
c. Laporan Acquirer Kartu Kredit, Kartu ATM, Kartu Debet,
dan/atau Uang Elektronik meliputi:
1. Laporan kegiatan;
2. Laporan infrastruktur; dan
3. Laporan fraud;
d. Laporan Penyelenggaraan Kliring dan/atau Penyelesaian
Akhir (Settlement); dan/atau
e. Laporan Penyelenggara Kegiatan LKD meliputi:
1. Laporan perkembangan LKD;
2. Laporan transaksi LKD;
3. Laporan agen LKD; dan
4. Laporan permasalahan LKD.
Pasal 5
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 secara lengkap,
benar, dan akurat.
(2) Pelapor harus menunjuk dan memberitahukan person
in-charge (PIC) Laporan kepada Bank Indonesia.
(3) Penunjukkan PIC sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung
jawab direksi BPR atau pimpinan LSB.
8ii
(4) Dalam hal terjadi perubahan PIC sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pelapor harus menginikan dan melaporkan
perubahan tersebut kepada Bank Indonesia.
BAB III
FORMAT DAN JENIS LAPORAN
Bagian Kesatu
Laporan yang Disampaikan ke Bank Indonesia
Pasal 6
(1) Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 dan Pasal 4 mengacu kepada Pedoman Penyusunan
Laporan sebagaimana dimaksud pada Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disusun dengan menggunakan format sebagai berikut:
a. Laporan yang disusun secara bulanan terdiri atas:
1) form 301 โ Laporan Bulanan Penerbit Kartu
Kredit;
2) form 302 โ Laporan Bulanan Penerbit Selain
Kartu Kredit;
3) form 303 โ Laporan Bulanan Acquirer;
4) form 304 โ Laporan Bulanan Infrastruktur;
5) form 306 โ Laporan Bulanan Fraud APMK dan
Uang Elektronik;
6) form 307 โ Laporan Bulanan Penerbit
Kolektibilitas Kartu Kredit;
7) form 314 โ Laporan Bulanan Perkembangan
Layanan Keuangan Digital;
8) form 315 โ Laporan Bulanan Transaksi Layanan
Keuangan Digital;
9) form 316 โ Laporan Bulanan Agen Layanan
Keuangan Digital;
10) form 317 โ Laporan Bulanan Permasalahan
Layanan Keuangan Digital;
9ii
11) form 318 โ Laporan Bulanan Kartu Kredit per
Regional;
12) form 319 โ Laporan Bulanan Kartu Kredit per
Sektor Usaha;
13) form 320 โ Laporan Bulanan Kartu Kredit per
Kelompok Usia;
14) form 321 โ Laporan Bulanan Kartu Kredit per
Kelompok Penghasilan Pemegang Kartu Kredit;
15) form 322 โ Laporan Bulanan Kartu Kredit per
Limit Kartu Kredit;
16) form 323 โ Laporan Bulanan Kartu Kredit
Berdasarkan Jenis Transaksi; dan
17) form 324 โ Laporan Bulanan Nominal Revolving
Rate.
b. Laporan yang disusun secara triwulanan terdiri atas:
1) form 305 โ Laporan Triwulanan Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Akhir
(Settlement);
2) form 309 โ Laporan Triwulanan Penanganan dan
Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Jenis
Produk dan Permasalahan yang Diadukan);
3) form 310 โ Laporan Triwulanan Penanganan dan
Penyelesaian Pengaduan
Nasabah LSB
(Pengaduan yang Diselesaikan dalam Masa
Laporan);
4) form 311 โ Laporan Triwulanan Penanganan dan
Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB
(Penyebab Pengaduan);
5) form 312 Laporan Triwulanan Penanganan dan
Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB
(Publikasi Negatif); dan
6) form 313 โ Laporan Triwulanan Penanganan dan
Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB
(Penyelesaian Sengketa).
10ii
Bagian Kedua
Format Laporan yang Disampaikan oleh Pelapor
Pasal 7
Pelapor BPR yang telah memperoleh izin sebagai Penerbit Kartu
ATM dari Bank Indonesia wajib menyampaikan jenis Laporan
yang terdiri atas:
a. form 302;
b. form 306;
c. form 309;
d. form 310;
e. form 311;
f.
form 312; dan
g. form 313.
Pasal 8
(1) Pelapor LSB yang bertindak sebagai Penerbit Kartu Kredit
wajib menyampaikan jenis Laporan yang terdiri atas:
a. form 301;
b. form 306;
c. form 307;
d. form 309;
e. form 310;
f.
form 311;
g. form 312;
h. form 313;
i.
j.
form 318;
form 319;
k. form 320;
l.
form 321;
m. form 322;
n. form 323; dan
o. form 324.
(2) Pelapor LSB yang bertindak sebagai Penerbit Uang
Elektronik wajib menyampaikan jenis Laporan yang terdiri
atas:
a. form 302;
11ii
b. form 304;
c. form 306;
d. form 309;
e. form 310;
f.
form 311;
g. form 312; dan
h. form 313.
(3) Pelapor LSB yang bertindak sebagai Acquirer Kartu Kredit
wajib menyampaikan jenis Laporan yang terdiri dari:
a. form 303;
b. form 304;
c. form 306;
d. form 318;
e. form 319;
f.
form 320;
g. form 321;
h. form 322; dan
i.
form 323.
(4) Pelapor LSB yang bertindak sebagai Acquirer Kartu ATM,
Kartu Debet, dan/atau Uang Elektronik wajib
menyampaikan jenis Laporan yang terdiri dari:
a. form 303;
b. form 304; dan
c. form 306.
(5) Pelapor LSB yang telah memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia terhadap rencana penyelenggaraan kegiatan
LKD wajib menyampaikan jenis Laporan yang terdiri dari:
a. form 314;
b. form 315;
c. form 316; dan
d. form 317.
(6) Pelapor LSB yang bertindak sebagai Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk APMK
dan/atau Uang Elektronik wajib menyampaikan jenis
Laporan form 305.
12ii
Pasal 9
(1) Dalam hal Pelapor tidak memiliki data yang wajib
disampaikan selama periode Laporan, kewajiban
penyampaian Laporan tetap berlaku dengan mengirimkan
form header.
(2) Pelapor dapat menyampaikan koreksi atas Laporan yang
telah disampaikan sebelumnya.
BAB IV
PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Bagian Kesatu
Tata Cara Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau
Koreksi Laporan Secara Online
Pasal 10
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) huruf a setiap bulan, paling lambat tanggal
15 pada bulan Laporan berikutnya.
(2) Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) huruf b setiap triwulan, paling lambat
tanggal 15 pada bulan berikutnya setelah triwulan
Laporan.
(3) Dalam hal hari terakhir penyampaian Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada bukan Hari Kerja
maka Laporan, koreksi Laporan, dan/atau form header
disampaikan pada Hari Kerja berikutnya.
13ii
Bagian Kedua
Batas Waktu Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau
Koreksi Laporan Secara Online
Pasal 11
(1) Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan melalui Sistem LSBU secara
Online.
(2) Sistem LSBU secara Online sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan untuk penyampaian Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan 1 (satu)
bulan setelah bulan Laporan untuk Laporan bulanan atau
1 (satu) bulan setelah triwulan Laporan untuk Laporan
triwulanan.
(3) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia
yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LSBU.
(4) Dalam hal penyampaian Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan melewati batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penyampaian Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan secara
Offline.
Pasal 12
(1) Pelapor harus melakukan validasi teknis sesuai dengan
spesifikasi penyusunan Laporan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran .
(2) Pelapor wajib menyampaikan seluruh form sesuai dengan
jenis Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan
Pasal 8.
(3) Dalam hal Pelapor melakukan penggabungan atau
peleburan dengan Pelapor lain, masing-masing Pelapor
peserta peleburan atau penggabungan tetap wajib
menyampaikan Laporan yang disusun secara bulanan
untuk bulan Laporan sebelum dilakukan peleburan atau
penggabungan secara operasional masing-masing Pelapor.
14ii
(4) Dalam hal Pelapor melakukan peleburan atau
penggabungan dengan Pelapor lain sebelum berakhirnya
masa Laporan yang disusun secara triwulanan,
penyampaian Laporan untuk masa Laporan tersebut
dilakukan
oleh
penggabungan.
Pasal 13
(1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) apabila Pelapor
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan setelah tanggal 15 pada bulan Laporan
berikutnya.
(2) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) apabila Pelapor
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan setelah tanggal 15 pada bulan berikutnya setelah
triwulan Laporan.
(3) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan yang belum disampaikan.
Bagian Ketiga
Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi
Laporan Secara Offline
Pasal 14
(1) Dalam hal Pelapor mengalami gangguan teknis pada akhir
Periode Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dan ayat (2), Pelapor wajib menyampaikan
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan paling
lambat pada Hari Kerja berikutnya pukul 10.00 waktu
setempat secara Offline.
Pelapor
hasil
peleburan
atau
15ii
(2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
gangguan teknis yang dialami kepada Bank Indonesia
segera pada hari yang sama setelah terjadinya gangguan
teknis yang ditandatangani oleh pejabat Pelapor yang
berwenang.
(3) Dalam hal Bank Indonesia mengalami gangguan teknis
maka Bank Indonesia memberitahukan kepada Pelapor
terjadinya gangguan tersebut secara tertulis dan/atau
dengan menggunakan sarana lain.
(4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) terjadi pada batas akhir Periode Pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat
(2), Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan paling lambat pada Hari Kerja
berikutnya pukul 10.00 waktu setempat secara Offline.
(5) Dalam hal Pelapor tidak menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat
(4) maka Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan.
(6) Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan secara Offline sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (4), dan pemberitahuan secara tertulis
mengenai gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditujukan kepada:
a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10350, bagi Pelapor yang berkedudukan di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia terdekat, bagi
Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia.
16ii
Pasal 15
(1) Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan tidak berlaku bagi Pelapor yang mengalami
keadaan memaksa (force majeure).
(2) Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib segera memberitahukan secara
tertulisdisertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya
keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani
oleh pejabat Pelapor yang berwenang.
(3) Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) setelah keadaan memaksa (force majeure) dapat
diatasi.
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan kepada Departemen
Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Bank Indonesia, Jl.
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia terdekat bagi
Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia.
BAB V
HAK AKSES LAPORAN
Pasal 16
(1) Bank Indonesia menyediakan hak akses berupa user id
atas Sistem LSBU sebanyak 1 (satu) fasilitas user id
kepada setiap Pelapor tanpa dikenakan biaya.
(2) Pelapor bertanggung jawab atas hak akses terhadap
Sistem LSBU yang disediakan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
17ii
BAB VI
SANKSI
Pasal 17
(1) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan dan/atau form header sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 14 ayat (5)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form
per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar
Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk
setiap form.
(2) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 14 ayat (5) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh
ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja
keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp750.000,00
(tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form.
(3) Pelapor yang menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 secara tidak lengkap,
tidak benar, dan/atau tidak akurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
untuk setiap item data dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap form.
(4) Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan
dalam batas waktu periode penyampaian Online
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), Pelapor
hanya dikenakan sanksi terlambat menyampaikan koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tidak
dikenakan sanksi terhadap penyampaian Laporan yang
tidak lengkap, tidak benar, dan/atau tidak akurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pelapor yang telah dikenakan sanksi menyampaikan
Laporan secara tidak lengkap, tidak benar, dan/atau tidak
akurat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan
18ii
kesalahan Laporan ditemukan setelah melampaui periode
penyampaian secara Online, Pelapor tidak dikenakan
sanksi keterlambatan penyampaian koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Pelapor dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dalam
hal:
a. Pelapor belum menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan sampai periode
penyampaian Laporan berikutnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); dan/atau
b. Pelapor tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis
perihal gangguan teknis dan/atau perihal keadaan
memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2) dan/atau Pasal 15 ayat (2).
Pasal 18
(1) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada
Pelapor mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh
Pelapor dan besarnya sanksi kewajiban membayar yang
dikenakan.
(2) Pembayaran sanksi kewajiban membayar dilakukan
dengan cara transfer melalui bank umum untuk untung
rekening Bank Indonesia yang diberitahukan oleh Bank
Indonesia pada saat Pelapor dikenakan sanksi kewajiban
membayar
BAB VI
PENYAMPAIAN PERTANYAAN DAN/ATAU KORESPONDENSI
Pasal 19
Dalam hal terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan sistem,
materi, dan/atau ketentuan Laporan, Pelapor dapat
menyampaikan pertanyaan dimaksud kepada BICARA Bank
Indonesia, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, Telp 021-
131 dan/atau melalui surat elektronik dengan alamat
bicara@bi.go.id.
19ii
Pasal 20
Dalam hal terjadi perubahan alamat surat-menyurat dan/atau
alamat korespondensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (6), Pasal 15 ayat (4), dan/atau Pasal 18, Bank Indonesia
memberitahukan kepada Pelapor melalui surat dan/atau media
lain.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/13/DASP tanggal
12 April 2013 perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang
Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan
Rakyat dan Lembaga Selain Bank; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/27/DSta tanggal
22 November 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 15/13/DASP tanggal 12 April 2013
perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang
Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan
Rakyat dan Lembaga Selain Bank;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 22
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 September 2018.
20ii
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Agustus 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
MIRZA ADITYASWARA
i
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/21/PADG/2018
TENTANG
LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN
MENGGUNAKAN KARTU DAN UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY)
OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK
I. UMUM
Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2004, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam kaitan ini, Bank
Indonesia berwenang antara lain memberikan izin dan persetujuan atas
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran serta mewajibkan penyelenggara
jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan penyelenggaraan
kegiatan dimaksud kepada Bank Indonesia.
Kewajiban penyampaian laporan kegiatan penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran tersebut dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melakukan
pengawasan terhadap penyelenggara jasa sistem pembayaran agar tetap
memenuhi prinsip penyelenggaraan sistem pembayaran yang lancar, aman,
efisien, dan andal. Selain itu, informasi yang diperoleh dari penyelenggara
jasa sistem pembayaran juga diperlukan untuk mendukung pelaksanaan
tugas Bank Indonesia di sektor moneter serta makroprudensial.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas tersebut, Bank Indonesia
memerlukan ketersediaan data dan informasi yang berkualitas dari Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) dan Lembaga Selain Bank (LSB) sebagai
penyelenggara jasa sistem pembayaran. Data dan informasi dimaksud
berupa penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
2i
Kartu (APMK) dan Uang Elektronik, yang disampaikan melalui Sistem
LSBU.
Seiring dengan perkembangan kebutuhan data dan informasi terkait
sistem pembayaran guna mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia,
perlu dilakukan perluasan cakupan data dan informasi yang dilaporkan
oleh BPR dan LSB dalam Sistem LSBU. Sehubungan dengan perluasan
cakupan data dan informasi tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan
terhadap pengaturan tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik (Electronic
Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan PIC Laporan adalah petugas yang
ditunjuk oleh Pelapor untuk melakukan komunikasi dengan Bank
Indonesia terkait dengan Laporan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tidak mengurangi dan/atau
menghilangkan tanggung jawab adalah bahwa tanggung jawab
Laporan tetap melekat kepada direksi BPR atau pimpinan LSB.
3i
Ayat (4)
Pelapor dapat menginikan informasi PIC dengan cara
menyesuaikan informasi dimaksud melalui form Informasi Pokok
Pelapor di dalam Sistem LSBU.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โtidak memiliki dataโ adalah kondisi
dimana Pelapor yang berdasarkan statusnya memungkinkan
melakukan kegiatan yang wajib dilaporkan melalui Sistem LSBU,
namun sampai dengan akhir bulan Laporan tidak ada data yang
dapat dilaporkan.
Ayat (2)
Koreksi Laporan dapat diakibatkan oleh data tidak lengkap, tidak
benar, tidak akurat, dan/atau tidak terkini, baik yang diketahui
oleh Pelapor maupun Bank Indonesia.
Pasal 10
Ayat (1)
Contoh:
Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit (form 302) untuk
data bulan Januari 2019 wajib disampaikan oleh Pelapor kepada
Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 Februari 2019.
Ayat (2)
Contoh:
Laporan Triwulanan Penanganan dan Pengaduan Nasabah (Jenis
Produk dan Permasalahan yang Diadukan) (form 309) untuk data
4i
triwulan I tahun 2019 wajib disampaikan oleh Pelapor kepada
Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 April 2019.
Ayat (3)
Contoh:
Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit (form 302) untuk
data bulan Mei 2019 wajib disampaikan oleh Pelapor kepada
Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 Juni 2019. Mengingat
tanggal 15 Juni 2019 jatuh pada hari Sabtu maka Laporan
tersebut paling lambat disampaikan pada hari Senin tanggal 17
Juni 2019.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh 1:
Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
untuk data bulan Januari 2019 dilakukan secara Online sampai
dengan akhir bulan Februari 2019.
Contoh 2:
Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
untuk data triwulan I tahun 2019 dilakukan secara Online sampai
dengan akhir bulan April 2019.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โtanda terima dari Sistem LSBUโ adalah
tampilan atau hasil cetakan komputer sebagai bukti bahwa
Laporan yang disampaikan Pelapor telah diterima oleh Bank
Indonesia.
Ayat (4)
Contoh 1:
Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
untuk data bulan Januari 2019 dilakukan secara Offline setelah
akhir bulan Februari 2019.
Contoh 2:
Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan
untuk data triwulan I tahun 2019 dilakukan secara Offline setelah
akhir bulan April 2019.
5i
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Pada tanggal 1 Juli 2019, Pelapor A secara operasional telah
melakukan peleburan atau penggabungan dengan Pelapor B.
Masing-masing Pelapor wajib menyampaikan Laporan untuk data
bulan Juni 2019. Sementara itu, Laporan untuk data bulan Juli
2019 merupakan Laporan konsolidasi atau gabungan yang
dilaporkan oleh Pelapor hasil peleburan atau penggabungan.
Ayat (4)
Contoh:
Pada tanggal 1 Mei 2019, Pelapor C secara operasional telah
melakukan peleburan atau penggabungan dengan Pelapor D.
Laporan untuk data bulan triwulan II tahun 2019 merupakan
Laporan konsolidasi atau gabungan yang dilaporkan oleh Pelapor
hasil peleburan atau penggabungan.
Pasal 13
Ayat (1)
Contoh:
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Bulanan
Penerbit Selain Kartu Kredit (form 302) apabila Laporan dimaksud
untuk data bulan Maret 2019 diterima oleh Bank Indonesia
setelah tanggal 15 April 2019.
Ayat (2)
Contoh:
Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
Triwulanan Penanganan dan Pengaduan Nasabah (Jenis Produk
dan Permasalahan yang Diadukan) (form 309) apabila Laporan
dimaksud untuk data triwulan II tahun 2019 diterima oleh Bank
Indonesia setelah tanggal 15 Oktober 2019.
6i
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โgangguan teknis di Pelaporโ adalah
gangguan yang menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Online
kepada Bank Indonesia, antara lain karena gangguan pada sistem
di internal Pelapor.
Contoh:
Pada tanggal 15 Agustus 2019, Pelapor E mengalami gangguan
teknis sehingga tidak dapat menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan secara Online kepada Bank Indonesia.
Pelapor X harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan secara Offline paling lambat tanggal 16 Agustus
2019 pukul 10:00 waktu setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โgangguan teknis di Bank Indonesiaโ
adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat
menerima penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan secara Online dari Pelapor, antara lain karena gangguan
pada jaringan telekomunikasi dan/atau penyebab lainnya.
Yang dimaksud dengan โsarana lainโ antara lain e-mail, telepon,
atau faksimili.
Ayat (4)
Contoh:
Pada tanggal 15 Mei 2019, terjadi gangguan teknis di Bank
Indonesia sehingga Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan secara Online kepada
Bank Indonesia. Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan secara Offline paling lambat
tanggal 16 Mei 2019 pukul 10:00 waktu setempat.
7i
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โkeadaan memaksa (force majeure)โ
adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Pelapor tidak
dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang,
sabotase, serta
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โkeadaan memaksa (force majeure) dapat
diatasi" adalah keadaan pada saat Pelapor secara normal telah
dapat melaksanakan kegiatan operasional sehingga dapat
menyusun dan menyampaikan Laporan, form header, dan/atau
koreksi Laporan kepada Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud โhak aksesโ adalah hak yang diberikan oleh Bank
Indonesia kepada Pelapor untuk dapat mengirim Laporan, form
header, dan/atau koreksi Laporan melalui log-in ke dalam Sistem
LSBU di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
8i
Pasal 16
Ayat (1)
Contoh 1:
Pelapor F menyampaikan Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu
Kredit (form 302) untuk data bulan Maret 2019 dan diterima oleh
Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2019. Atas keterlambatan
penyampaian Laporan tersebut, Pelapor F dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 x 1 form x 2 Hari
Kerja = Rp1.000.000,00.
Contoh 2:
Pelapor G menyampaikan Laporan sebagai berikut:
1. Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian
Pengaduan Nasabah LSB (Jenis Produk dan Permasalahan
yang Diadukan) (form 309);
2. Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian
Pengaduan Nasabah LSB (Pengaduan yang Diselesaikan
dalam Masa Laporan) (form 310);
3. Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian
Pengaduan Nasabah LSB (Penyebab Pengaduan) (form 311);
4. Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian
Pengaduan Nasabah LSB (Publikasi Negatif) (form 312); dan
5. Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian
Pengaduan Nasabah LSB (Penyelesaian Sengketa) (form 313);
untuk data triwulan III tahun 2019 dan diterima oleh Bank
Indonesia pada tanggal 16 Oktober 2019. Atas keterlambatan
penyampaian Laporan tersebut, Pelapor G dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 x 5 form x 1 Hari
Kerja = Rp2.500.000,00.
Contoh 3:
Pelapor H menyampaikan Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit
(form 301) untuk data bulan Juni 2019 dan diterima oleh Bank
Indonesia pada tanggal 8 Agustus 2019. Atas keterlambatan
penyampaian Laporan tersebut, Pelapor H seharusnya dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 x 1 form x 18
Hari Kerja = Rp9.000.000,00. Namun, Pelapor dikenakan sanksi
kewajiban membayar maksimal sebesar Rp7.500.000,00.
9i
Ayat (2)
Contoh 1:
Pelapor I menyampaikan koreksi atas Laporan Bulanan Penerbit
Selain Kartu Kredit (form 302) untuk data bulan Maret 2019 dan
diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 19 April 2019. Atas
keterlambatan penyampaian koreksi Laporan tersebut, Pelapor I
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1
form x 4 Hari Kerja = Rp200.000,00.
Contoh 2:
Pelapor J menyampaikan koreksi atas Laporan Bulanan Penerbit
Kartu Kredit (form 301) untuk data bulan Juni 2019 dan diterima
oleh Bank Indonesia pada tanggal 8 Agustus 2019. Atas
keterlambatan penyampaian penyampaian koreksi Laporan
tersebut, Pelapor J seharusnya dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 18 Hari Kerja =
Rp900.000,00. Namun, Pelapor dikenakan sanksi kewajiban
membayar maksimal sebesar Rp750.000,00.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan item adalah field pada setiap record dalam
setiap form.
Contoh 1:
Pada Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit (form 302)
yang disampaikan oleh Pelapor K ditemukan kesalahan pada 10
(sepuluh) item. Atas kesalahan tersebut, Pelapor K dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 10
item = Rp500.000,00.
Contoh 2:
Pada Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit (form 301) yang
disampaikan oleh Pelapor L ditemukan kesalahan pada 100
(seratus) item. Atas kesalahan tersebut, Pelapor L seharusnya
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1
form x 100 item = Rp5.000.000,00. Namun, Pelapor dikenakan
sanksi kewajiban membayar maksimal sebesar Rp1.000.000,00.
Ayat (4)
Contoh:
Pelapor M menyampaikan koreksi atas Laporan Bulanan Penerbit
Selain Kartu Kredit (form 302) terhadap 20 (dua puluh) item untuk
10i
Data bulan Maret 2019, dan diterima oleh Bank Indonesia pada
tanggal 17 April 2019. Atas keterlambatan penyampaian koreksi
Laporan tersebut, Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja = Rp100.000,00. Atas
kesalahan penyampaian Laporan sebanyak 20 (dua puluh) item,
Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar.
Ayat (5)
Contoh:
Pada tanggal 1 Juni 2019, Bank Indonesia menemukan kesalahan
pada 10 (sepuluh) item di Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit
(form 301) untuk data bulan April 2019 yang disampaikan oleh
Pelapor N. Atas kesalahan tersebut, Pelapor N dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 10 item =
Rp500.000,00. Atas keterlambatan penyampaian koreksi
Laporan, Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Yang dimaksud dengan โmedia lainโ antara lain e-mail, faksimili, atau
pengumuman di Sistem LSBU.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/21/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU DAN UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK </reg_title>
<set_date> 30 Agustus 2018 </set_date>
<effective_date> 1 September 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '15/13/DASP|SE-BI/2013', '18/27/DSta|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '20/6/PBI/2018', '10/4/PBI/2007', '14/2/PBI/2012', '11/11/PBI/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/16/PADG/2017
TENTANG
KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH
YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa salah satu kewenangan Bank Indonesia adalah
menentukan keaslian uang rupiah yang diragukan
keasliannya;
b. bahwa masyarakat dapat meminta klarifikasi dari
Bank Indonesia atas uang rupiah yang diragukan
keasliannya;
c. bahwa Bank Indonesia perlu meningkatkan layanan
kepada masyarakat yang meminta klarifikasi atas uang
rupiah yang diragukan keasliannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang
Klarifikasi atas Uang Rupiah yang Diragukan
Keasliannya;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang
Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 138, Tambahan Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 5323);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN
KEASLIANNYA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai mata
uang.
2. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
3. Aplikasi Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center, yang
selanjutnya disebut Aplikasi BI-CAC adalah sistem
informasi yang digunakan untuk melakukan pencatatan,
pengklasifikasian, dan analisis Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya yang diterima dari hasil
permintaan klarifikasi oleh masyarakat.
4. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang
selanjutnya disingkat PJPUR adalah penyelenggara jasa
pengolahan uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah.
Pasal 2
Masyarakat dapat meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia
tentang Uang Rupiah yang diragukan keasliannya.
Pasal 3
(1) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
meliputi:
a. Bank;
b. PJPUR; dan
c. pihak selain Bank dan PJPUR.
(2) Pihak selain Bank dan PJPUR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. perseorangan;
b. badan hukum; dan
c. lembaga yang melakukan fungsi penyelidikan dan
penyidikan.
BAB II
CARA MEMPERLAKUKAN
UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA
Pasal 4
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a,
yang menerima atau menemukan Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya dari nasabah dalam kegiatan layanan
kas (front office) harus:
a. menahan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya;
b. mencatat identitas lengkap nasabah yang menyerahkan,
menyetorkan, dan/atau menukarkan Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya;
c. memberikan tanda terima atas Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya kepada nasabah;
d. menginformasikan kepada nasabah bahwa:
1. Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak
dikembalikan untuk keperluan permintaan
klarifikasi kepada Bank Indonesia;
2. apabila Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
dinyatakan asli oleh Bank Indonesia maka nasabah
akan memperoleh penggantian sebesar nilai
nominal; dan/atau
3. apabila Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
dinyatakan tidak asli oleh Bank Indonesia maka
Uang Rupiah tersebut tidak dikembalikan oleh Bank
Indonesia;
e. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya;
f. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
tidak diedarkan kembali; dan
g. meminta klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya kepada kantor Bank Indonesia terdekat.
Pasal 5
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a,
yang menerima atau menemukan Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya dari kegiatan pengolahan Uang Rupiah
atau dari PJPUR (back office) harus:
a. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya;
b. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
tidak diedarkan kembali;
c. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
tidak disetorkan kepada Bank Indonesia; dan
d. meminta klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya kepada kantor Bank Indonesia terdekat.
Pasal 6
PJPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b
yang menemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
harus:
a. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya;
b. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
tidak disetorkan kepada Bank Indonesia;
c. melaporkan kepada Bank atau pihak lain pemberi
pekerjaan mengenai penemuan Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya, dalam hal Uang Rupiah tersebut
milik Bank atau pihak lain; dan
d. dalam hal pemilik Uang Rupiah tersebut adalah Bank
atau pihak lain maka PJPUR harus menyerahkan fisik
Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada Bank
atau pihak lain, atau meminta klarifikasi kepada kantor
Bank Indonesia terdekat atas persetujuan Bank atau
pihak lain.
Pasal 7
Pihak selain Bank dan PJPUR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c yang menemukan Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya harus:
a. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya;
b. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
tidak diedarkan kembali; dan
c. meminta klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya kepada kantor Bank Indonesia terdekat.
BAB III
PERMINTAAN KLARIFIKASI OLEH BANK ATAU PJPUR
Bagian Kesatu
Aplikasi BI-CAC
Pasal 8
(1) Bank Indonesia menyediakan Aplikasi BI-CAC kepada
Bank dan PJPUR untuk permintaan klarifikasi atas Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya.
(2) Bank dan PJPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. seluruh jaringan kantor Bank, kecuali:
1. kantor kas; dan
2. jaringan kantor Bank yang tidak melakukan
fungsi operasional; dan
b. kantor pusat PJPUR dan kantor cabang PJPUR yang
melakukan kegiatan pengolahan Uang Rupiah.
(3) Bank dan/atau PJPUR menggunakan Aplikasi BI-CAC
dengan tata cara pengoperasian mengacu pada Pedoman
Permintaan Klarifikasi sebagaimana tercantum pada
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kedua
Permintaan Klarifikasi melalui Aplikasi BI-CAC
Pasal 9
(1) Bank atau PJPUR mengajukan permintaan klarifikasi
kepada Bank Indonesia dengan cara mengisi data Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya yang dimintakan
klarifikasi melalui Aplikasi BI-CAC sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
(2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat informasi nasabah atau pengguna jasa, macam
Uang Rupiah, pecahan Uang Rupiah, tahun emisi,
jumlah lembar atau keping, nomor seri, dan jumlah
nominal.
(3) Bank atau PJPUR mencetak surat dan formulir
permintaan klarifikasi dari Aplikasi BI-CAC sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 10
(1) Bank atau PJPUR harus menyerahkan Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya secara langsung ke kantor Bank
Indonesia terdekat paling lambat 5 (lima) hari kerja
setelah tanggal permintaan klarifikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
(2) Penyerahan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
surat dan formulir permintaan klarifikasi dari Aplikasi
BI-CAC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(3) Bank atau PJPUR harus menyusun Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya yang diserahkan kepada Bank
Indonesia sesuai dengan rincian dalam formulir
permintaan klarifikasi dari Aplikasi BI-CAC.
Pasal 11
(1) Bank Indonesia memberikan salinan tanda terima Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya kepada Bank atau
PJPUR, sebagaimana contoh tanda terima yang
tercantum pada Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya dengan rincian dalam bukti
permintaan klarifikasi dari Aplikasi BI-CAC maka Bank
Indonesia dapat melakukan penyesuaian rincian tersebut
sesuai dengan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
yang diterima dari Bank atau PJPUR.
(3) Dalam hal terdapat penyesuaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) maka Bank Indonesia memberikan salinan
tanda terima Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
sesuai rincian yang disesuaikan kepada Bank dan/atau
PJPUR.
Pasal 12
(1) Dalam hal Bank atau PJPUR menyerahkan Uang Rupiah
yang diragukan keasliannya melampaui jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) maka
dilakukan tata cara sebagai berikut:
a. Bank Indonesia tetap menerima Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya dimaksud dan memberikan
salinan tanda terima sementara kepada Bank atau
PJPUR, sebagaimana contoh tanda terima sementara
pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
b. Bank atau PJPUR harus mengajukan kembali
permintaan klarifikasi Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya melalui Aplikasi BI-CAC sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) sesuai rincian
sebagaimana tercantum dalam lampiran tanda
terima sementara pada Lampiran III.
(2) Pengajuan kembali permintaan klarifikasi melalui
Aplikasi BI-CAC sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah
tanggal tanda terima sementara.
(3) Tanda terima sementara dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki
kedudukan yang sama dengan tanda terima sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) sepanjang tanda
terima tersebut belum diterbitkan.
(4) Dalam hal Bank atau PJPUR akan mengajukan
permintaan klarifikasi lain selama jangka waktu
pengajuan kembali permintaan klarifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) maka pengajuan permintaan
klarifikasi tersebut dilakukan dengan tata cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
BAB IV
PERMINTAAN KLARIFIKASI
OLEH PIHAK SELAIN BANK DAN PJPUR
Pasal 13
(1) Pihak selain Bank dan PJPUR mengajukan permintaan
klarifikasi secara langsung atau tidak langsung kepada
Bank Indonesia.
(2) Dalam hal pihak selain Bank dan PJPUR mengajukan
permintaan klarifikasi secara langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) maka dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. pihak selain Bank dan PJPUR mengisi dan
menandatangani formulir permintaan klarifikasi
sebagaimana contoh yang tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
b. pihak selain Bank dan PJPUR menyerahkan formulir
permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam
huruf a beserta dengan fisik Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya kepada Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia memberikan salinan tanda terima Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya kepada pihak selain
Bank dan PJPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1).
(4) Dalam hal terdapat perbedaan antara Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya dengan rincian dalam formulir
permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) maka Bank Indonesia dapat melakukan
penyesuaian rincian tersebut sesuai dengan yang
diterima dari pihak selain Bank dan PJPUR.
(5) Dalam hal terdapat penyesuaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) maka Bank Indonesia memberikan salinan
tanda terima Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
sesuai rincian yang telah disesuaikan kepada pihak
selain Bank dan PJPUR.
Pasal 14
(1) Dalam hal pihak selain Bank dan PJPUR mengajukan
permintaan klarifikasi secara tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) maka
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pihak selain Bank dan PJPUR mengisi dan
menandatangani formulir permintaan klarifikasi
sesuai rincian Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2) huruf a;
b. pihak selain Bank dan PJPUR mengirimkan formulir
permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam
huruf a beserta fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya kepada Bank Indonesia dengan
menggunakan jasa pengiriman secara tercatat atau
penyedia jasa pengiriman barang;
c. pihak selain Bank dan PJPUR menyusun fisik Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya sesuai rincian
dalam formulir permintaan klarifikasi dan
memasukkannya ke dalam kemasan tertutup;
d. pengiriman fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya beserta formulir permintaan klarifikasi
ditujukan ke alamat kantor Bank Indonesia
terdekat.
(2) Bank Indonesia menerima formulir permintaan klarifikasi
dari pihak selain Bank dan PJPUR serta mencatat jumlah
fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sesuai
dengan jumlah yang diterima dari pihak selain Bank dan
PJPUR tersebut.
(3)
Segala risiko yang terjadi terhadap fisik Uang Rupiah
yang diragukan keasliannya selama dalam proses
pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
menjadi tanggung jawab pihak selain Bank dan PJPUR.
(4) Bank Indonesia menyampaikan salinan tanda terima
permintaan klarifikasi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II kepada pihak selain Bank dan PJPUR
bersamaan dengan penyampaian klarifikasi.
BAB V
PENELITIAN ATAS
UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA
Bagian Kesatu
Penelitian dan Klarifikasi
atas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya
Pasal 15
(1) Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap fisik
Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang
dimintakan klarifikasi oleh masyarakat.
(2) Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia memberikan klarifikasi dengan
menyatakan:
a. Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagai
Uang Rupiah asli; atau
b. Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagai
Uang Rupiah tidak asli.
Pasal 16
(1) Bank Indonesia menyampaikan klarifikasi kepada
masyarakat yang mengajukan permintaan klarifikasi
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak:
a. tanggal tanda terima sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1);
b. tanggal Bank atau PJPUR mengajukan kembali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
c. tanggal tanda terima sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (3); atau
d. tanggal diterimanya formulir permintaan klarifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
(2) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
memberitahukan kepada masyarakat yang mengajukan
permintaan klarifikasi.
(3) Penyampaian klarifikasi kepada masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pemberitahuan
perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui:
a. Aplikasi BI-CAC kepada Bank atau PJPUR; atau
b. surat dan/atau surat elektronik kepada pihak selain
Bank dan PJPUR.
Pasal 17
(1) Dalam hal Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
merupakan milik nasabah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Bank harus memberitahukan klarifikasi dari
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) kepada nasabah tersebut.
(2) Dalam hal Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
merupakan milik Bank atau pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, PJPUR harus memberitahukan
klarifikasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) kepada Bank atau pihak lain
tersebut.
Bagian Kedua
Uang Rupiah yang Dinyatakan Asli
Pasal 18
(1) Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang
Rupiah yang dinyatakan asli sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a sebesar nilai nominal
Uang Rupiah tersebut.
(2) Dalam hal Uang Rupiah yang dinyatakan asli dalam
kondisi lusuh, cacat, atau rusak maka penggantian
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penukaran uang rupiah.
(3) Bank Indonesia melakukan penggantian Uang Rupiah
yang dinyatakan asli sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dengan cara:
a. mengkredit ke rekening giro Bank yang berada di
Bank Indonesia, dalam hal pihak yang meminta
klarifikasi adalah Bank.
b. tunai atau mengkredit ke rekening Bank yang
ditunjuk, dalam hal pihak yang meminta klarifikasi
merupakan:
1. PJPUR; atau
2. pihak selain Bank dan PJPUR.
Pasal 19
(1) Bank menyampaikan penggantian atas Uang Rupiah
yang dinyatakan asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) dan ayat (2) kepada nasabah dengan cara:
a. tunai; atau
b. mengkredit rekening simpanan nasabah pada Bank
tersebut dengan terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dari nasabah.
(2) Dalam hal penggantian dilakukan dengan cara tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a maka Bank
memberikan Uang Rupiah yang masih layak edar kepada
nasabah.
(3) PJPUR menyampaikan penggantian atas Uang Rupiah
yang dinyatakan asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) dan ayat (2) kepada Bank atau pihak lain
dengan cara:
a.
tunai;
b. transfer ke rekening Bank, dalam hal pengguna jasa
PJPUR berupa Bank; atau
c.
transfer ke rekening Bank yang ditunjuk oleh pihak
lain, dalam hal pengguna jasa PJPUR berupa pihak
lain.
Pasal 20
Dalam hal PJPUR atau pihak selain Bank dan PJPUR tidak
dapat dihubungi oleh Bank Indonesia selama jangka waktu
3 (tiga) bulan sejak tanggal konfirmasi pertama atau PJPUR
atau pihak selain Bank dan PJPUR tidak diketahui
keberadaannya maka Bank Indonesia
mengalihkan
penyelesaian Uang Rupiah penggantian tersebut kepada pihak
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Uang Rupiah yang Dinyatakan Tidak Asli
Pasal 21
Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang
Rupiah yang dinyatakan tidak asli sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b.
Pasal 22
Terhadap Uang Rupiah yang dinyatakan tidak asli
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 maka Bank Indonesia
melakukan langkah sebagai berikut:
a. tidak mengembalikan Uang Rupiah tidak asli kepada
pihak yang mengajukan permintaan klarifikasi;
b. menatausahakan Uang Rupiah tidak asli;
c. melakukan klasifikasi terhadap Uang Rupiah tidak asli;
d. memberikan tanda terhadap Uang Rupiah tidak asli; dan
e. menyerahkan Uang Rupiah tidak asli yang telah
diberikan tanda sebagaimana dimaksud dalam huruf d
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 23
(1) Penyerahan Uang Rupiah tidak asli sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 huruf e dilakukan setiap bulan
paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya.
(2) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari libur
maka penyerahan Uang Rupiah tidak asli dilakukan pada
hari kerja berikutnya.
(3) Penyerahan Uang Rupiah tidak asli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berita acara
serah terima yang ditandatangani oleh pegawai Bank
Indonesia dan petugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Pasal 24
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a
dan huruf d serta Pasal 23 tidak berlaku apabila permintaan
klarifikasi Uang Rupiah yang diragukan keasliannya diajukan
oleh lembaga yang melakukan fungsi penyelidikan dan
penyidikan.
BAB VI
KETENTUAN LAIN - LAIN
Pasal 25
Ketentuan mengenai tata cara klarifikasi terhadap Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya, untuk pembawaan Uang
Rupiah masuk ke dalam wilayah pabean Republik Indonesia
tunduk pada Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 26
Ketentuan mengenai klarifikasi Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri tunduk pada Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 27
Dalam hal terjadi gangguan Aplikasi BI-CAC yang
menyebabkan Aplikasi BI-CAC tidak dapat digunakan maka:
a. permintaan klarifikasi yang disampaikan oleh Bank atau
PJPUR dilakukan secara langsung dengan tata cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2);
dan/atau
b. Bank Indonesia menyampaikan klarifikasi kepada Bank
atau PJPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui
surat dan/atau surat elektronik.
Pasal 28
(1) Pihak selain Bank dan PJPUR dapat mengajukan
permintaan klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya pada kegiatan kas keliling Bank Indonesia.
(2) Permintaan klarifikasi oleh pihak selain Bank dan PJPUR
dilakukan dengan tata cara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2).
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1) Bank atau PJPUR mengajukan permintaan klarifikasi
atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya melalui
Aplikasi BI-CAC mulai tanggal 15 Januari 2018.
(2) Bank atau PJPUR masih dapat mengajukan permintaan
klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
tanpa melalui Aplikasi BI-CAC sampai dengan tanggal
13 April 2018.
(3) Permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan secara langsung dengan tata cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2).
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
a. Bab III angka 3 sampai dengan angka 6 Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 6/22/DLN tanggal 10 Mei 2004
perihal Persyaratan dan Tata Cara Membawa Uang
Rupiah Keluar atau Masuk Wilayah Pabean Republik
Indonesia; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/28/DPU tanggal
24 November 2016 perihal Tata Cara Klarifikasi atas
Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 31
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 15 Desember 2017.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/16/PADG/2017
TENTANG
KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH
YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA
I. UMUM
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
mengamanatkan kepada Bank Indonesia sebagai lembaga yang berwenang
menentukan keaslian Uang Rupiah yang diragukan keasliannya.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut maka masyarakat yang terdiri
atas Bank, PJPUR, dan pihak selain Bank dan PJPUR dapat meminta
klarifikasi dari Bank Indonesia atas Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya.
Guna meningkatkan layanan klarifikasi atas Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya kepada Bank atau PJPUR maka Bank Indonesia
telah menyediakan Aplikasi BI-CAC. Dengan demikian, tata cara
klarifikasi mulai dari permintaan, penerimaan, pemrosesan, penelitian,
sampai dengan pemberitahuan klarifikasi dilakukan dengan Aplikasi
BI-CAC. Penggunaan Aplikasi BI-CAC merupakan upaya Bank Indonesia
dalam penguatan aspek governance, transparansi, kecepatan layanan, dan
keakuratan data terkait Uang Rupiah yang diragukan keasliannya.
Bank Indonesia juga meningkatkan layanan klarifikasi atas Uang
Rupiah yang diragukan keasliannya kepada masyarakat yang merupakan
pihak selain Bank dan PJPUR dengan cara mengajukan permintaan
klarifikasi secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini,
permintaan klarifikasi secara tidak langsung dilakukan dengan
mengirimkan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya melalui jasa
pengiriman kepada Bank Indonesia. Selain itu, masyarakat juga dapat
mengajukan permintaan klarifikasi secara langsung pada kegiatan kas
keliling Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk pengertian badan hukum yaitu:
a. lembaga yang memiliki fungsi dan tugas di bidang bea
dan cukai yang menyampaikan permintaan klarifikasi
atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
sehubungan dengan pembawaan Uang Rupiah masuk
ke dalam wilayah pabean Republik Indonesia;
b. bank perkreditan rakyat dan bank pembiayaan rakyat
syariah.
Huruf c
Lembaga yang melakukan fungsi penyelidikan dan
penyidikan antara lain Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
antara lain tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya tersebut seperti tidak merobek, memotong, dan
mencoret-coret.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
antara lain tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya tersebut seperti tidak merobek, memotong, dan
mencoret-coret.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
antara lain tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya tersebut seperti tidak merobek, memotong, dan
mencoret-coret.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โpihak lainโ adalah pengguna jasa
PJPUR selain Bank.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
antara lain tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya tersebut seperti tidak merobek, memotong, dan
mencoret-coret.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Jaringan kantor Bank yang tidak melakukan fungsi
operasional adalah kantor Bank yang tidak menerima
Uang Rupiah dari nasabah dan/atau melakukan
pengolahan Uang Rupiah.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Permintaan klarifikasi kepada Bank Indonesia dalam Aplikasi
BI-CAC termasuk mengisi data kantor Bank Indonesia terdekat
yang dituju.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bukti permintaan klarifikasi dari Aplikasi BI-CAC digunakan
sebagai dokumen penyerahan Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya.
Pasal 10
Ayat (1)
Contoh:
Kantor Bank atau PJPUR yang berdomisili di Karawang, Jawa
Barat mengajukan permintaan klarifikasi kepada Kantor Pusat
Bank Indonesia di Jakarta meskipun secara geografis berada di
wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa
Barat yang berkedudukan di Bandung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โmenyusun Uang Rupiah yang
diragukan keasliannyaโ antara lain menyusun sesuai dengan
urutan pecahan dari pecahan besar ke pecahan kecil dan nomor
urut data dalam bukti permintaan klarifikasi dari Aplikasi
BI-CAC.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โsecara langsungโ adalah pihak selain
Bank dan PJPUR datang langsung ke kantor Bank Indonesia
untuk mengajukan permintaan klarifikasi Uang Rupiah yang
diragukan keasliannya.
Termasuk dalam pihak selain Bank dan PJPUR yaitu kuasa atau
wakil dari pihak selain Bank dan PJPUR.
Yang dimaksud dengan โsecara tidak langsungโ adalah pihak
selain Bank dan PJPUR menggunakan jasa pengiriman secara
tercatat atau penyedia jasa pengiriman barang dalam
mengajukan permintaan klarifikasi Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โkemasan tertutupโ antara lain
amplop dan boks.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โalamat kantor Bank Indonesiaโ
adalah alamat sebagaimana tercantum dalam laman resmi
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โpenelitianโ adalah pemeriksaan secara
teliti terhadap fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โUang Rupiah yang masih layak edarโ
adalah Uang Rupiah sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Yang dimaksud dengan โpihak yang berwenangโ adalah pihak yang
memiliki fungsi dan tugas mengurus harta peninggalan.
Pasal 21
Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang Rupiah
yang dinyatakan tidak asli dengan pertimbangan bahwa benda
tersebut bukan merupakan Uang Rupiah.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyampaian klarifikasi kepada Bank atau PJPUR melalui surat
dan/atau surat elektronik sepanjang Aplikasi BI-CAC masih
mengalami gangguan.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/16/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA </reg_title>
<set_date> 30 November 2017 </set_date>
<effective_date> 15 Desember 2017 </effective_date>
<replaced_reg> '6/22/DLN|SE-BI/2004 | Bab III angka 3 sampai dengan angka 6', '18/28/DPU|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '14/7/PBI/2012' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/ 27 /PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektivitas transmisi
kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas
makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung
momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah
perekonomian global yang melambat, perlu dilakukan
penyesuaian pemenuhan giro wajib minimum dalam
rupiah bagi bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah;
b. bahwa penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dilakukan untuk menambah ketersediaan likuiditas
perbankan dalam meningkatkan pembiayaan dan
mendukung pertumbuhan ekonomi oleh perbankan
konvensional dan perbankan syariah;
2
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Ketiga
atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional,
Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang
Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan
Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 43; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6193);
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional,
Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
21/14/PADG/2019 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional,
Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
3
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO
WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI
BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN
UNIT USAHA SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tanggal 31 Mei 2018
tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing
bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah yang telah beberapa kali diubah dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur:
a. Nomor 20/30/PADG/2018 tanggal 30 November 2018
tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank
Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah;
b. Nomor 21/14/PADG/2019 tanggal 26 Juni 2019 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank
Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah,
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2
GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 5,5%
(lima koma lima persen) dari DPK BUK dalam rupiah
selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi:
4
a. secara harian sebesar 2,5% (dua koma lima persen);
dan
b. secara rata-rata sebesar 3% (tiga persen).
2. Ketentuan ayat (4) Pasal 5 diubah sehingga Pasal 5
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Bank Indonesia dapat memberikan jasa giro setiap
hari terhadap bagian tertentu dari pemenuhan
kewajiban GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari
DPK dalam rupiah.
(3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan tingkat bunga sebesar 0% (nol
persen) per tahun.
(4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk setiap hari bagi BUK yang memenuhi
rasio GWM dalam rupiah lebih dari atau sama dengan
5,5% (lima koma lima persen).
(5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan
pemberian jasa giro dan/atau persentase jasa giro
dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian
dan arah kebijakan Bank Indonesia.
(6) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak berlaku
terhadap BUK yang menerima pinjaman likuiditas
jangka pendek sejak tanggal aktivasi pemberian
pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan
satu hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman
likuiditas jangka pendek.
5
3. Ketentuan ayat (2) Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 7 tidak berlaku bagi BUK yang
menerima pinjaman likuiditas jangka pendek.
(2) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara
harian sebesar 5,5% (lima koma lima persen) dari
DPK BUK dalam rupiah.
(3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek wajib memenuhi GWM dalam valuta asing
secara harian sebesar 8% (delapan persen) dari DPK
BUK dalam valuta asing.
(4) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) dilakukan sejak tanggal aktivasi
pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelunasan
pinjaman likuiditas jangka pendek.
4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga Pasal 16 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 16
GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 4%
(empat persen) dari DPK BUS dan UUS dalam rupiah
selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi:
a. secara harian sebesar 1% (satu persen); dan
b. secara rata-rata sebesar 3% (tiga persen).
5. Ketentuan ayat (2) Pasal 28 diubah sehingga Pasal 28
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
(1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 tidak berlaku bagi BUS
6
yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek
syariah.
(2) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka
pendek syariah wajib memenuhi GWM dalam rupiah
secara harian sebesar 4% (empat persen) dari dana
pihak ketiga BUS dalam rupiah.
(3) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelunasan
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah.
6. Lampiran I, Lampiran III, Lampiran V, Lampiran VI,
Lampiran VIII, Lampiran X, Lampiran XI, dan Lampiran XII
diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I, Lampiran III, Lampiran V, Lampiran VI,
Lampiran VIII, Lampiran X, Lampiran XI, dan Lampiran XII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 2 Januari 2020.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
ini dengan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Desember 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
DODY BUDI WALUYO
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/ 27 /PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam
menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung
momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian
global yang melambat, Bank Indonesia senantiasa berupaya melakukan
penyempurnaan kebijakan pengaturan GWM.
Kebijakan pengaturan GWM diarahkan untuk menambah
ketersediaan likuiditas perbankan dalam pembiayaan ekonomi oleh
perbankan konvensional dan perbankan syariah. Kebijakan pengaturan
GWM tersebut dilakukan dengan menurunkan besaran GWM dalam rupiah
BUK yang semula sebesar 6% (enam persen) menjadi 5,5% (lima koma lima
persen). Sementara penurunan besaran GWM dalam rupiah untuk BUS dan
UUS yang semula 4,5% (empat koma lima persen) menjadi 4% (empat
persen).
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Periode laporan tertentu DPK BUK dalam rupiah dihitung
dengan menggunakan hari kalender.
Huruf a
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara
harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening
Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari
saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Huruf b
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara
rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo
Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada
akhir hari, pada setiap akhir periode laporan tertentu.
Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam
rupiah secara rata-rata dihitung dengan menggunakan
hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โhariโ adalah hari pada saat
Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Perhitungan jasa giro harian dalam 2 (dua) masa
laporan dilakukan dengan mengalikan persentase jasa
giro terhadap bagian tertentu dari rata-rata harian
3
jumlah DPK dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat)
masa laporan sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tingkat bunga merupakan tingkat bunga efektif
tahunan (effective annual rate) yang ditentukan
berdasarkan periode compounding harian selama 360
(tiga ratus enam puluh) hari.
Ayat (4)
Dalam hal BUK tidak memenuhi rasio GWM dalam
rupiah lebih dari atau sama dengan 5,5% (lima koma
lima persen) dan memenuhi seluruh kewajiban GWM
dalam rupiah, BUK tidak diberikan jasa giro untuk hari
tersebut.
BUK yang mendapat insentif kelonggaran pemenuhan
kewajiban GWM dalam rupiah dianggap telah
memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah
apabila BUK telah memenuhi kewajiban GWM dalam
rupiah paling sedikit 4,5% (empat koma lima persen)
dari DPK dalam rupiah yang terdiri atas 1,5% (satu
koma lima persen) GWM dalam rupiah yang wajib
dipenuhi secara harian dan 3% (tiga persen) GWM
dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata
untuk masa laporan tertentu.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โBUK yang menerima pinjaman
likuiditas jangka pendekโ adalah BUK yang menerima
pinjaman likuiditas jangka pendek sebagaimana
4
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 16
Periode laporan tertentu DPK BUS dan UUS dalam rupiah
dihitung dengan menggunakan hari kalender.
Huruf a
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara
harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening
Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir
hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Huruf b
Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara
rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo
Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia
pada akhir hari, pada setiap akhir periode laporan
tertentu.
Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam
rupiah secara rata-rata dihitung dengan menggunakan
hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Angka 5
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โBUS yang menerima
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariahโ adalah
5
BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka
pendek syariah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โdana pihak ketiga BUSโ adalah
kewajiban BUS kepada penduduk dan bukan penduduk
yang diperoleh dari laporan dana pihak ketiga BUS pada
LBBUS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/27/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 26 Desember 2019 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2020 </effective_date>
<changed_reg> '20/10/PADG/2018' </changed_reg>
<extension_of> '20/30/PADG/2018', '21/14/PADG/2018' </extension_of>
<related_reg> '20/3/PBI/2018', '21/14/PADG/2019', '20/10/PADG/2018' </related_reg>
|
2
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/15/PADG/2018
TENTANG
PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM
BANK INDONESIAโREAL TIME GROSS SETTLEMENT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem
pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal,
perlu menyempurnakan ketentuan mengenai kewajiban
penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman
instruksi setelmen dana, termasuk kebijakan mengenai
mekanisme antrean dan pengaturan fasilitas likuiditas
intrahari;
b. bahwa untuk mendukung kebijakan Bank Indonesia
dalam pelayanan perizinan terpadu dalam hubungan
operasional
bagi bank umum maka perlu
menyempurnakan ketentuan mengenai kepesertaan
dalam penyelenggaraan sistem Bank Indonesia-Real Time
Gross Settlement;
c. bahwa untuk memperkuat tata kelola dan harmonisasi
dengan ketentuan penyelenggaraan sistem lain di Bank
Indonesia, perlu menyempurnakan ketentuan mengenai
penyelenggaraan sistem Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement;
2
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang
Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem
Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga,
dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/14/PBI/2017 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015
tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 301, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6169);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI
SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik
yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara
individual.
3
2. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi
dan penatausahaan surat berharga yang dilakukan secara
elektronik.
3. Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS yang selanjutnya
disebut Transfer Dana adalah rangkaian kegiatan yang
dimulai dengan perintah dari peserta pengirim yang
bertujuan memindahkan sejumlah dana kepada peserta
penerima yang disebutkan dalam perintah transfer dana
sampai dengan diterimanya dana oleh penerima.
4. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir
transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan
rekening setelmen dana.
5. Penyelenggara Sistem BI-RTGS yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah Bank Indonesia dalam kedudukan
sebagai pihak yang menyelenggarakan Sistem BI-RTGS.
6. Peserta Sistem BI-RTGS yang selanjutnya disebut sebagai
Peserta adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan
dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara
sebagai peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS.
7. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta pada
Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta
asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk
pelaksanaan Setelmen Dana.
8. Rekening Giro adalah rekening giro sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia.
9.
Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat
FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank
Indonesia kepada bank Peserta baik secara konvensional
maupun berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi
kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional
Sistem BI-RTGS.
4
10. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
11. Pimpinan adalah pejabat yang berwenang mewakili dan
bertindak untuk dan atas nama Bank atau
lembaga/instansi.
12. RTGS Central Node yang selanjutnya disingkat RCN adalah
Sistem BI-RTGS di Penyelenggara yang menyediakan
fungsi penatausahaan Rekening Setelmen Dana, Setelmen
Dana, dan fungsi pendukung lain dalam penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS.
13. RTGS Participant Platform yang selanjutnya disingkat RPP
adalah Sistem BI-RTGS di Peserta yang terhubung dengan
RCN dan digunakan oleh Peserta untuk melakukan
kegiatan pengiriman instruksi Setelmen Dana, akses
informasi, dan/atau pengelolaan data Peserta.
14. Digital Certificate adalah suatu sertifikat dalam bentuk file
terproteksi yang memuat identitas pemilik sertifikat, kunci
enkripsi untuk melakukan verifikasi tanda tangan digital
pemilik, dan periode validitas sertifikat yang dihasilkan
oleh infrastruktur kunci publik Bank Indonesia.
15. United States Dollar Clearing House Automated Transfer
System yang selanjutnya disingkat USD CHATS adalah
suatu sistem transfer dana real time gross settlement
dalam mata uang dolar Amerika Serikat di Hong Kong.
16. Payment Versus Payment yang selanjutnya disingkat PvP
adalah mekanisme Setelmen Dana dalam mata uang
rupiah pada Sistem BI-RTGS atas transaksi jual beli mata
uang dalam valuta asing terhadap mata uang rupiah
antar-Peserta.
17. Layanan United States Dollar/Indonesian Rupiah Payment
versus Payment Link yang selanjutnya disebut Layanan
USD/IDR PvP Link adalah layanan setelmen untuk
transaksi jual beli mata uang dolar Amerika Serikat
5
terhadap mata uang rupiah antar-Peserta, dimana proses
setelmen kedua mata uang dilakukan secara bersamaan
(simultaneous settlements) pada Sistem BI-RTGS untuk
mata uang rupiah dan USD CHATS di Hong Kong untuk
mata uang dolar Amerika Serikat.
18. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang
terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada
perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi,
aplikasi maupun sarana pendukung Sistem BI-RTGS yang
memengaruhi kelancaran penyelenggaraan Sistem BI-RTGS.
19. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di
luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang
menyebabkan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS tidak
dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh kebakaran,
kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti
gempa bumi dan banjir, dan/atau sebab lain, yang
dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang
berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia.
20. Fasilitas Guest Bank adalah fasilitas Sistem BI-RTGS di
lokasi Penyelenggara dan Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Dalam Negeri yang disediakan oleh
Penyelenggara untuk Peserta sebagai cadangan dalam hal
terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat
yang menyebabkan Peserta tidak dapat menggunakan
Sistem BI-RTGS di lokasi Peserta.
BAB II
PENYELENGGARAAN SISTEM BI-RTGS
Pasal 2
(1) Ruang lingkup penyelenggaraan Sistem BI-RTGS meliputi:
a. kepesertaan;
b. operasional; dan
c. kepatuhan Peserta.
(2) Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
6
a. permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan
oleh Bank yang baru didirikan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu
terkait hubungan operasional bank umum dengan
Bank Indonesia, disampaikan kepada satuan kerja
yang melaksanakan fungsi
pengawasan
makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran;
b. permohonan untuk menjadi Peserta, perubahan
status kepesertaan menjadi ditutup, dan perubahan
data kepesertaan Sistem BI-RTGS, sebagai dampak
dari adanya langkah strategis dan mendasar, serta
penyampaian informasi yang memengaruhi data
Peserta di Bank Indonesia yang diajukan oleh Bank,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan
perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank
umum dengan Bank Indonesia, disampaikan kepada
satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan
makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran;
c. permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan
oleh Bank selain sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan huruf b serta pihak selain Bank, disampaikan
kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi
penyelenggaraan sistem pembayaran;
d. permohonan perubahan data kepesertaan Sistem BI-
RTGS selain yang terkait dengan langkah strategis
dan mendasar sebagaimana dimaksud dalam huruf b
yang diajukan oleh Bank disampaikan kepada satuan
kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan
sistem pembayaran; dan
e. permohonan perubahan status kepesertaan menjadi
ditutup dan perubahan data kepesertaan Sistem BI-
RTGS yang diajukan oleh pihak selain Bank,
disampaikan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem
pembayaran.
7
(3) Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan oleh satuan
kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem
pembayaran.
BAB III
PENYELENGGARA
Pasal 3
Dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS, Penyelenggara
memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. menetapkan ketentuan dan prosedur penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS;
b. menyediakan sarana dan prasarana penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS;
c. melaksanakan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS;
d. melakukan upaya untuk menjamin keandalan,
ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan Sistem BI-
RTGS;
e. melakukan pemantauan kepatuhan Peserta terhadap
ketentuan dan prosedur yang ditetapkan oleh
Penyelenggara;
f. menetapkan batas nilai nominal transaksi yang dapat
dilakukan melalui Sistem BI-RTGS;
g. menetapkan jenis dan besarnya biaya dalam
penyelenggaraan Sistem BI-RTGS, termasuk batas biaya
paling banyak yang dikenakan Peserta kepada
nasabahnya; dan
h. mengenakan sanksi administratif.
Pasal 4
Sarana dan prasarana penyelenggaraan Sistem BI-RTGS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b paling sedikit
mencakup:
a. perangkat keras di Penyelenggara dan aplikasi RCN;
8
b. satu jaringan komunikasi data yang menghubungkan RPP
utama di Peserta dengan RCN di Penyelenggara;
c.
d.
aplikasi RPP dan perubahannya serta pedoman
pengoperasian Sistem BI-RTGS;
Fasilitas Guest Bank; dan
e. sarana dan prasarana pendukung lainnya, termasuk
untuk pelaksanaan mekanisme Setelmen Dana Layanan
USD/IDR PvP Link pada Sistem BI-RTGS.
Pasal 5
(1) Penyelenggara menjamin keandalan, ketersediaan, dan
keamanan penyelenggaraan Sistem BI-RTGS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf d dengan kegiatan paling
sedikit:
a. melakukan pengelolaan dan pengoperasian RCN;
b. menyediakan layanan help desk;
c. memberikan layanan yang berkaitan dengan
kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS;
d. menetapkan waktu operasional penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS;
e. menerapkan standar layanan minimum dalam
penyelenggaraan Sistem BI-RTGS;
f. menetapkan dan memberlakukan ketentuan dan
prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal
dan/atau Keadaan Darurat;
g. memberikan pelatihan kepada calon Peserta dan
pelatihan secara berkala kepada Peserta; dan
h. menetapkan status kepesertaan.
(2) Layanan help desk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b ditujukan untuk menangani permasalahan yang
dihadapi Peserta terkait dengan:
a. operasional Sistem BI-RTGS; dan/atau
b.
jaringan komunikasi data Sistem BI-RTGS.
9
BAB IV
KEPESERTAAN
Bagian Kesatu
Prinsip Umum Kepesertaan
Pasal 6
(1) Pihak yang akan menjadi peserta dalam Sistem BI-RTGS
harus memperoleh persetujuan dari Penyelenggara.
(2) Pihak yang dapat menjadi Peserta yaitu:
a. Bank Indonesia;
b. Bank;
c. penyelenggara kliring dan/atau setelmen yang telah
mendapat persetujuan Bank Indonesia; dan
lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara.
d.
(3) Lembaga lain yang dapat disetujui sebagai Peserta oleh
Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
d merupakan lembaga yang mendukung:
a. penyelesaian transaksi pembayaran, transaksi surat
berharga, dan transaksi pasar keuangan; dan/atau
b. efektivitas kebijakan moneter oleh Bank Indonesia.
(4) Setiap Peserta harus memiliki Rekening Setelmen Dana.
Bagian Kedua
Persyaratan Menjadi Peserta
Pasal 7
(1) Calon Peserta harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memiliki surat izin usaha yang masih berlaku dari
lembaga yang berwenang;
b. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan;
c. Pimpinan calon Peserta telah memperoleh:
1. penunjukan dari lembaga terkait; atau
2. persetujuan atau dinyatakan lulus dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan dari
lembaga pengawas yang berwenang;
10
d. memiliki laporan hasil security audit atas sistem
internal calon Peserta dalam 1 (satu) tahun terakhir,
dalam hal calon Peserta akan menghubungkan sistem
internal calon Peserta ke Sistem BI-RTGS;
e.
bagi penyelenggara kliring dan/atau setelmen serta
lembaga lain yang merupakan badan hukum
Indonesia, harus memenuhi persyaratan tambahan
sebagai berikut:
1. memiliki rekomendasi dari lembaga pengawas
yang berwenang;
2. Pimpinan calon Peserta tidak tercantum dalam
daftar kredit macet dan daftar hitam nasional
yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang;
dan
3. Pimpinan calon Peserta tidak pernah dihukum
atas tindak pidana di bidang perbankan,
keuangan, dan/atau pencucian uang
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap; dan
f. menggunakan infrastruktur Sistem BI-RTGS sesuai
dengan spesifikasi
yang telah ditetapkan
Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Infrastruktur Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f dapat dikelola sendiri atau dikelola
oleh pihak lain.
Pasal 8
(1) Calon Peserta yang menggunakan infrastruktur yang
dikelola oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2), harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memiliki perjanjian kerja sama penggunaan
infrastruktur dengan pihak lain yang mengelola
infrastruktur Sistem BI-RTGS; dan
11
b. memiliki surat pernyataan dari pihak lain atas
penggunaan infrastrukturnya oleh calon Peserta yang
bersangkutan.
(2) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a paling sedikit memuat:
a. hak dan kewajiban antara calon Peserta dengan pihak
lain;
b. tanggung jawab atas kerahasiaan dan/atau
penyalahgunaan data dan informasi;
c. mekanisme pelaksanaan transaksi baik dalam
keadaan normal maupun pada saat terjadi Keadaan
Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di calon
Peserta atau pihak lain;
d. penyelesaian perselisihan antara calon Peserta
dengan pihak lain;
e. biaya penggunaan infrastruktur yang dikenakan
kepada calon Peserta;
f. pemberian akses kepada Penyelenggara untuk
melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap:
1. sarana fisik yang terkait dengan calon Peserta;
2. aplikasi pendukung pihak lain yang terkait
Sistem BI-RTGS dalam hal memiliki aplikasi
pendukung; dan
3. kegiatan operasional pihak lain yang terkait
dengan calon Peserta; dan
g. pernyataan bahwa perjanjian tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan Bank Indonesia.
(3) Dalam hal calon Peserta merupakan unit usaha syariah
dan menggunakan infrastruktur milik Bank pemilik unit
usaha syariah yang menjadi Peserta maka substansi
perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dituangkan dalam bentuk kebijakan dan prosedur tertulis
internal Bank pemilik unit usaha syariah.
12
Pasal 9
Dalam hal calon Peserta merupakan Bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional sekaligus melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk unit
usaha syariah maka kepesertaan dalam penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS untuk kegiatan usaha secara konvensional
harus terpisah dari kepesertaan untuk kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
Bagian Ketiga
Prosedur Menjadi Peserta
Pasal 10
Penyelenggara memberikan persetujuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada calon Peserta dengan
2 (dua) tahapan, yaitu:
a. persetujuan prinsip; dan
b. persetujuan operasional.
Pasal 11
(1) Calon Peserta mengajukan permohonan tertulis untuk
menjadi Peserta kepada Penyelenggara.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.A yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
b. ditandatangani oleh Pimpinan calon Peserta;
c. ditembuskan kepada kantor perwakilan Bank
Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal
kantor pusat calon Peserta berkedudukan di wilayah
kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam
negeri; dan
d. dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan
oleh Penyelenggara.
13
(3) Dalam hal calon Peserta merupakan unit usaha syariah
maka dalam permohonan tertulis untuk menjadi Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijelaskan bahwa
permohonan tersebut diajukan oleh Bank pemilik unit
usaha syariah untuk unit usaha syariah dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.A.
Pasal 12
(1) Persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) huruf d terdiri atas:
a. data kepesertaan dari calon Peserta dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
b. fotokopi persetujuan, izin usaha, atau izin kegiatan
usaha yang masih berlaku dari lembaga yang
berwenang yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang
berwenang atau dinyatakan sesuai aslinya oleh
Pimpinan calon Peserta;
c.
fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahan
terakhir apabila ada, yang mencantumkan mengenai
nama dan struktur pengurus dari calon Peserta;
d. surat pernyataan dari Pimpinan calon Peserta yang
menyatakan bahwa calon Peserta tidak sedang dalam
proses likuidasi atau dalam kondisi pailit
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.C yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
e.
fotokopi surat dari lembaga pengawas yang
berwenang mengenai:
1. keputusan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan Pimpinan calon Peserta, untuk calon
Peserta berupa Bank; atau
2. susunan Pimpinan calon Peserta yang tercatat
pada tata usaha lembaga yang berwenang,
untuk calon Peserta selain Bank;
14
f.
surat pernyataan dari Pimpinan calon Peserta
mengenai kesiapan infrastruktur dan informasi
spesifikasi infrastruktur dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.D
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
g. surat permohonan dari Pimpinan calon Peserta untuk
mendapatkan administrator user, connected user, dan
Digital Certificate dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.E yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
h. laporan hasil security audit atas sistem internal calon
Peserta yang dilakukan oleh auditor internal atau
auditor independen, dalam hal sistem internal calon
Peserta akan terhubung dengan Sistem BI-RTGS.
(2) Dalam hal diperlukan, calon Peserta harus
memperlihatkan dokumen asli atas dokumen yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Penyelenggara.
Pasal 13
(1) Dokumen yang harus dilengkapi calon Peserta yang
menggunakan infrastruktur yang pengelolaannya berada
dalam kewenangan pihak lain:
a. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1);
b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf d; dan
c. dokumen tambahan lainnya.
(2) Dokumen tambahan lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c berupa:
a. surat pernyataan dari pihak lain yang mengelola
infrastruktur untuk calon Peserta sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.F yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini; dan
15
b. surat pernyataan dari Pimpinan calon Peserta yang
menyatakan bahwa calon Peserta telah memiliki
perjanjian kerja sama penggunaan infrastruktur
Sistem BI-RTGS yang dikelola oleh pihak lain
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.G yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 14
Calon Peserta yang merupakan penyelenggara kliring dan/atau
setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf
c, selain melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1), juga harus melengkapi dokumen sebagai
berikut:
a.
fotokopi dokumen yang membuktikan bahwa calon
Peserta tidak masuk dalam daftar kredit macet yang
diterbitkan oleh lembaga pengawas yang berwenang;
b. surat pernyataan dari Pimpinan calon Peserta yang
menyatakan bahwa Pimpinan calon Peserta:
1. tidak tercantum dalam daftar kredit macet dan daftar
hitam nasional yang diterbitkan oleh lembaga yang
berwenang; dan
2. tidak pernah dihukum atas tindak pidana di bidang
perbankan, keuangan, dan/atau pencucian uang
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap; dan
c. surat rekomendasi dari lembaga pengawas yang
berwenang.
Pasal 15
(1) Penyelenggara melakukan penelitian administratif
mengenai pemenuhan persyaratan yang disampaikan oleh
calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13, dan/atau Pasal 14.
16
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditemukan bahwa
dokumen yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak
sesuai, Penyelenggara meminta calon Peserta untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan dari Penyelenggara.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) calon Peserta belum
menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi, calon
Peserta dianggap membatalkan permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(4) Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan ke lokasi
calon Peserta untuk memastikan kesiapan operasional
Sistem BI-RTGS dari calon Peserta.
Pasal 16
(1) Penyelenggara memberikan persetujuan prinsip atau
penolakan atas permohonan calon Peserta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(2) Persetujuan prinsip atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis paling
lama 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak surat
permohonan dan dokumen pendukung diterima secara
lengkap oleh Penyelenggara.
Pasal 17
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
memuat paling sedikit hal sebagai berikut:
a. persetujuan menjadi Peserta;
b. nama dan kode Peserta (participant code);
c. kegiatan yang harus dilakukan oleh calon Peserta paling
sedikit berupa:
1. pembukaan Rekening Giro di Bank Indonesia;
2. pelatihan;
3.
instalasi; dan
4. penandatanganan perjanjian penggunaan Sistem BI-
RTGS; dan
17
d. kelengkapan dokumen administrasi yang harus dipenuhi
oleh calon Peserta untuk pelaksanaan kegiatan
operasional.
Pasal 18
(1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1), calon Peserta menyampaikan
kelengkapan dokumen administrasi untuk pelaksanaan
kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 huruf d kepada Penyelenggara.
(2) Kelengkapan dokumen administrasi untuk pelaksanaan
kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. surat pemberitahuan mengenai nama dan nomor
Rekening Giro;
b. surat pemberitahuan mengenai nama dan jabatan
Pimpinan yang akan melakukan penandatanganan
perjanjian penggunaan Sistem BI-RTGS dengan
menggunakan format sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran II.H yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
c. surat kuasa dari
Pimpinan dalam hal
penandatanganan perjanjian akan dilakukan oleh
pejabat selain Pimpinan, dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
d. surat pemberitahuan kewenangan Pimpinan terkait
dengan kepesertaan dan operasional Sistem BI-RTGS,
dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran II.J yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
e. surat kuasa terkait dengan kepesertaan dan
operasional Sistem BI-RTGS; dan
18
f.
surat permohonan dari Pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dari Pimpinan untuk membuat
spesimen tanda tangan bagi:
1. Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa
dari Pimpinan untuk melakukan kegiatan terkait
dengan kepesertaan dan operasional Sistem BI-
RTGS; dan/atau
2. petugas yang menerima kuasa dari Pimpinan
atau pejabat yang menerima kuasa dengan hak
substitusi untuk melakukan pengambilan fisik
uang, khusus bagi calon Peserta yang berada di
wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri,
dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.K yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Pasal 19
Surat kuasa terkait dengan kepesertaan dan operasional
Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2) huruf e diatur sebagai berikut:
a. Pimpinan dapat memberi kuasa kepada pejabat penerima
kuasa tanpa hak substitusi atau dengan 1 (satu) kali hak
substitusi dengan menggunakan format surat kuasa
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.L yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
b. surat kuasa berlaku untuk 1 (satu) kantor Bank
Indonesia;
c. surat kuasa dibuat untuk melakukan kegiatan sebagai
berikut:
1. penandatanganan surat menyurat, laporan,
dan/atau dokumen lain, baik dokumen tertulis
maupun dokumen elektronik, yang terkait dengan
Rekening Setelmen Dana di Bank Indonesia serta
kepesertaan dan operasional dalam Sistem BI-RTGS;
19
2. pengelolaan administrator user, connected user, digital
certificate hard token, dan/atau digital certificate soft
token;
3. penarikan dana secara tunai melalui cek yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia dan bilyet giro yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia untuk pemindahan
dana;
4. pengambilan fisik uang, yang instruksi Setelmen
Dananya dilakukan langsung oleh Peserta melalui
Sistem BI-RTGS maupun dengan menggunakan cek
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan
menandatangani surat menyurat dan/atau dokumen
yang berkaitan dengan pengambilan fisik uang;
5. penyerahan dan/atau pengambilan administrator
user, connected user, digital certificate hard token,
dan/atau digital certificate soft token;
6. penyerahan dan/atau pengambilan buku cek yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia dan bilyet giro yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia; dan/atau
7. penyerahan dan/atau pengambilan surat, laporan,
dan dokumen lain;
d. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dapat
dituangkan dalam 1 (satu) atau lebih surat kuasa sesuai
dengan kebutuhan calon Peserta;
e. surat kuasa harus disertai dengan fotokopi identitas diri
yang masih berlaku dari penerima kuasa;
f.
jumlah pejabat yang menerima kuasa untuk melakukan
kegiatan penarikan dana dan melakukan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam huruf c diatur sebagai berikut:
1.
di kantor pusat Bank Indonesia paling banyak 10
(sepuluh) orang; atau
2.
g.
di masing-masing kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri, paling banyak 5 (lima) orang; dan
jumlah petugas yang menerima kuasa dari Pimpinan atau
pejabat yang menerima kuasa dengan hak substitusi
untuk melakukan pengambilan fisik uang sebagaimana
dimaksud dalam huruf c angka 4 diatur sebagai berikut:
20
1.
di kantor pusat Bank Indonesia, sesuai ketentuan
mengenai sistem antrean penarikan uang tunai di
satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan
uang; atau
2.
di kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri
yang mewilayahi, paling banyak 10 (sepuluh) orang.
Pasal 20
(1) Pengambilan fisik uang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 huruf c angka 4 dituangkan dalam 1 (satu) atau
lebih surat kuasa dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.M yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Pengambilan dan penyerahan cek yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia dan bilyet giro yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c
angka 6 dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 huruf c angka 7 dapat dituangkan dalam 1 (satu)
satu atau lebih surat kuasa dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.N yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Petugas penerima kuasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling banyak berjumlah 10 (sepuluh) orang untuk
setiap kantor Bank Indonesia.
(4) Petugas penerima kuasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak perlu membuat spesimen tanda tangan.
Pasal 21
(1) Berdasarkan dokumen administrasi yang disampaikan
calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1), Penyelenggara menyampaikan surat yang
menginformasikan mengenai:
a. penandatanganan perjanjian penggunaan Sistem
BI-RTGS;
21
b. pembuatan spesimen tanda tangan Pimpinan dan
pejabat atau petugas yang menerima kuasa dari
Pimpinan;
c. pengambilan administrator user dan Digital
Certificate;
d. waktu pelatihan penggunaan Sistem BI-RTGS; dan
e. waktu pemasangan jaringan komunikasi data.
(2) Berdasarkan pemberitahuan dari Penyelenggara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon Peserta harus
melakukan hal sebagai berikut:
a. menandatangani perjanjian penggunaan Sistem BI-
RTGS dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
b. mengambil dokumen administrator user, connected
user, digital certificate hard token, dan/atau digital
certificate soft token;
c. mengikutsertakan petugas yang akan menangani
teknis operasional RPP calon Peserta dalam pelatihan
teknis dan operasional penggunaan Sistem BI-RTGS;
dan
d. melakukan uji koneksi dengan Penyelenggara atas
RPP yang telah diinstalasi oleh Penyelenggara.
Pasal 22
(1) Calon Peserta dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja sejak tanggal surat persetujuan prinsip
dari Penyelenggara harus melakukan:
a. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
huruf c;
b. penyampaian dokumen administrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1); dan
c. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(2).
(2) Dalam hal calon Peserta tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka:
22
a. persetujuan prinsip yang telah diterbitkan oleh
Penyelenggara menjadi tidak berlaku dan calon
Peserta dinyatakan telah membatalkan permohonan;
dan
b. calon Peserta wajib mengembalikan aplikasi RPP,
buku pedoman pengoperasian Sistem BI-RTGS,
administrator user, connected user, dan Digital
Certificate kepada Penyelenggara paling lama 7 (tujuh)
hari kerja sejak persetujuan tidak berlaku.
Pasal 23
(1) Penyelenggara memberitahukan secara tertulis mengenai
persetujuan operasional keikutsertaan sebagai Peserta
dan tanggal efektif operasional, paling lama 14 (empat
belas) hari kerja setelah calon Peserta melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1).
(2) Persetujuan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan kepada:
a. calon Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan
b. seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya.
Bagian Keempat
Prosedur dan Persyaratan Menjadi Pengguna Layanan
USD/IDR PvP Link
Pasal 24
(1) Penyelenggara menyediakan Layanan USD/IDR PvP Link
yang dapat digunakan oleh Peserta Sistem BI-RTGS.
(2) Peserta yang dapat menggunakan Layanan USD/IDR PvP
Link harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki izin untuk melakukan kegiatan devisa dari
lembaga pengawas yang berwenang, bagi Peserta
berupa Bank;
b. memperoleh persetujuan dari lembaga pengawas
kegiatan Peserta untuk menggunakan Layanan
USD/IDR PvP Link, bagi lembaga selain Bank; dan
23
c. merupakan peserta USD CHATS, baik sebagai direct
participant maupun indirect CHATS user,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai USD CHATS.
Pasal 25
(1) Peserta yang akan menggunakan Layanan USD/IDR PvP
Link mengajukan permohonan secara tertulis melalui
surat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dari Pimpinan dan telah memiliki
spesimen tanda tangan di Bank Indonesia; dan
b. disampaikan ke Penyelenggara dengan tembusan
kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam
negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat
Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
(2) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disertai dengan dokumen pendukung sebagai
berikut:
a.
fotokopi izin untuk melakukan kegiatan devisa dari
lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli
oleh Pimpinan Peserta;
b. fotokopi surat persetujuan dari lembaga pengawas
yang berwenang yang telah dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh
Pimpinan Peserta;
c. surat dan/atau dokumen pendukung yang
membuktikan bahwa Peserta merupakan peserta
USD CHATS, baik sebagai direct participant maupun
indirect CHATS user; dan
d. surat yang memuat informasi mengenai:
1. Society for Worldwide Interbank Financial
Telecommunication (SWIFT) Bank Identifier Code
(BIC) dari Peserta; dan
24
2. Society for Worldwide Interbank Financial
Telecommunication (SWIFT) Bank Identifier Code
(BIC) dari:
a) settlement institution untuk Peserta yang
merupakan direct participant; atau
b) bank koresponden untuk Peserta yang
merupakan indirect CHATS user.
Pasal 26
(1) Berdasarkan permohonan tertulis dan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
Penyelenggara
menyampaikan
penolakan kepada Peserta paling lama 14 (empat belas)
hari kerja.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1) disetujui, Penyelenggara menyampaikan
surat persetujuan untuk menggunakan Layanan
USD/IDR PvP Link disertai dengan pemberitahuan
mengenai tanggal efektif Peserta sebagai pengguna
Layanan USD/IDR PvP Link kepada Peserta.
(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Penyelenggara kepada seluruh Peserta
melalui administrative message atau sarana lain yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
Bagian Kelima
Perubahan Data Kepesertaan
Paragraf 1
Prinsip Umum
Pasal 27
(1) Peserta harus menyampaikan permohonan persetujuan
secara tertulis kepada Penyelenggara mengenai perubahan
data kepesertaan, yang meliputi perubahan:
a. participant code;
b. nama Peserta;
persetujuan atau
25
c. kegiatan usaha;
d. lokasi RPP dan/atau pemindahan jaringan
komunikasi data;
e. spesimen tanda tangan Pimpinan;
f.
kuasa; dan/atau
g. penggunaan infrastruktur.
(2) Peserta harus menyampaikan informasi secara tertulis
kepada Penyelenggara mengenai perubahan data
kepesertaan yang meliputi perubahan:
a. data Pimpinan; dan/atau
b. alamat kantor.
(3) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan penyampaian informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dari Pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan
b. disampaikan kepada
Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
Paragraf 2
Perubahan Participant Code
Pasal 28
Perubahan participant code dilakukan oleh Penyelenggara
karena alasan sebagai berikut:
a. Peserta yang bukan merupakan anggota Society for
Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)
berubah menjadi anggota Society for Worldwide Interbank
Financial Telecommunication (SWIFT); atau
b. adanya perubahan Society for Worldwide Interbank
Financial Telecommunication (SWIFT) Bank Identifier Code
(BIC) Peserta.
26
Pasal 29
(1) Perubahan participant code sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan
participant code, yang dilengkapi dengan dokumen
berupa:
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B; dan
2. dokumen pendukung yang menunjukkan
Peserta sebagai anggota Society for Worldwide
Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)
atau adanya perubahan Society for Worldwide
Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)
Bank Identifier Code (BIC) Peserta; dan
b. pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3).
(2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan participant code melalui surat yang
penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile
kepada Peserta yang bersangkutan, paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diterima secara lengkap
oleh Penyelenggara.
Pasal 30
(1) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (2) memuat paling sedikit:
a. nama Peserta;
b. nomor Rekening Setelmen Dana;
c. participant code yang baru; dan
d. permintaan agar Peserta mengajukan surat
permohonan connected user dan Digital Certificate
untuk participant code yang baru.
27
(2) Peserta menyampaikan surat permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d dengan memuat informasi
sebagai berikut:
a. nama Peserta;
b. participant code yang baru; dan
c. certificate signing request (CSR) yang dihasilkan dan
disimpan di media compact disc (CD) yang bersifat
read-only, dalam hal Peserta menggunakan aplikasi
BI-RTGS straight-through processing gateway
(RSTPG).
(3) Berdasarkan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara menyampaikan:
a. tanggal efektif perubahan participant code, nama
connected user, dan Digital Certificate baru kepada
Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan
b. tanggal efektif perubahan participant code kepada
seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lain.
(4) Peserta harus mengembalikan digital certificate hard token
yang digunakan pada participant code lama, paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak Peserta menerima surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Paragraf 3
Perubahan Nama Peserta
Pasal 31
(1) Perubahan nama Peserta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan nama
Peserta yang dilengkapi dokumen pendukung sebagai
berikut:
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B dengan menggunakan nama yang
tercantum dalam perubahan anggaran dasar yang
telah disetujui oleh lembaga yang berwenang;
28
2. fotokopi dokumen yang terdiri atas:
a) akta perubahan anggaran dasar untuk
badan hukum Indonesia;
b) surat persetujuan perubahan anggaran
dasar dari lembaga yang berwenang; dan
c) surat keputusan dari lembaga yang
berwenang tentang perubahan nama, dalam
hal Peserta berupa Bank,
yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang
berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh
Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda
tangan di Penyelenggara;
b. dalam hal Peserta merupakan kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri, dokumen
pendukung yang disampaikan meliputi data
kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
angka 1 dan surat keputusan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a angka 2 huruf c); dan
c. pengajuan permohonan perubahan nama Peserta
dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3).
(2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan nama melalui surat yang dapat
didahului dengan faksimile kepada Peserta yang
bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
(3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan nama Peserta,
Penyelenggara
memberitahukan:
a. tanggal efektif perubahan nama Peserta kepada
Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan
b. tanggal efektif perubahan nama Peserta kepada
seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lain.
29
Paragraf 4
Perubahan Kegiatan Usaha
Pasal 32
(1) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c meliputi
perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional
menjadi bank umum syariah.
(2) Dalam hal Peserta melakukan perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta harus
melakukan perubahan data Peserta, berupa:
a. kegiatan usaha Peserta; dan
b. nama Peserta.
Pasal 33
(1) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan
kegiatan usaha Peserta yang dilengkapi dengan
fotokopi dokumen pendukung yang telah dilegalisasi
oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan
sesuai asli oleh Pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara;
b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terdiri atas:
1. akta perubahan anggaran dasar;
2. surat persetujuan perubahan anggaran dasar
dari lembaga yang berwenang; dan
3. surat keputusan dari lembaga yang berwenang
mengenai izin perubahan kegiatan usaha Peserta
dari bank umum konvensional menjadi bank
umum syariah; dan
c. pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
30
1. menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.O yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
(2) Penyelenggara
2. dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3).
menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan kegiatan usaha Peserta melalui
surat, yang dapat didahului dengan faksimile kepada
Peserta yang bersangkutan paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak surat permohonan dan dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
oleh Penyelenggara secara lengkap.
(3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan kegiatan usaha Peserta, Penyelenggara
memberitahukan:
a. tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta
kepada Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan
b. tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta
kepada seluruh Peserta melalui administrative
message atau sarana lain.
Paragraf 5
Perubahan Lokasi RPP dan Jaringan Komunikasi Data
Pasal 34
(1) Perubahan lokasi RPP dan/atau pemindahan jaringan
komunikasi data Peserta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (1) huruf d dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Peserta
mengajukan permohonan kepada
Penyelenggara mengenai perubahan lokasi RPP
utama, RPP cadangan, dan/atau pemindahan
jaringan komunikasi data yang dilengkapi dengan
formulir data kepesertaan dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; dan
31
(2) Penyelenggara
b. penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3).
menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan lokasi RPP utama, RPP cadangan,
dan/atau pemindahan jaringan komunikasi data melalui
surat, yang dapat didahului dengan faksimile kepada
Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat
permohonan dan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterima secara lengkap oleh Penyelenggara.
(3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memuat hal sebagai berikut:
a. perubahan lokasi RPP utama dan/atau RPP cadangan
Peserta telah dicatat dalam tata usaha Penyelenggara;
pelaksanaan pemindahan
b. waktu
komunikasi data; dan
c. kegiatan yang harus dilakukan oleh Peserta terkait
dengan perubahan lokasi RPP utama, RPP cadangan,
dan/atau jaringan komunikasi data.
Paragraf 6
Perubahan Spesimen Tanda Tangan Pimpinan
Pasal 35
(1) Perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf e dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. terdapat perubahan nama, kewenangan, dan/atau
jabatan Pimpinan yang berdampak pada spesimen
tanda tangan Pimpinan;
b. Peserta menyampaikan permohonan perubahan
spesimen tanda tangan Pimpinan yang dilengkapi
dengan dokumen pendukung yang telah dilegalisasi
oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan
sesuai asli oleh Pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara;
jaringan
32
c. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.K; dan
2. dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3);
3. dalam hal seluruh Pimpinan dan pejabat yang
menerima kuasa dari Pimpinan yang memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara
mengalami perubahan dan/atau penggantian
maka permohonan tertulis mengenai perubahan
spesimen tanda tangan diajukan oleh Pimpinan
yang baru;
d. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
huruf b terdiri atas:
1. fotokopi perubahan anggaran dasar mengenai
pengangkatan Pimpinan, bagi Peserta yang
berbadan hukum Indonesia;
2. fotokopi bukti identitas diri Pimpinan, berupa:
a) Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat
Izin Mengemudi (SIM) atau paspor, bagi
warga negara Indonesia (WNI); atau
b) paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara
(KITAS), dan surat izin kerja dari otoritas
berwenang, bagi warga negara asing (WNA),
yang masih berlaku; dan
e. pembuatan spesimen tanda tangan dilakukan setelah
permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
huruf b dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam huruf d telah diterima secara
lengkap oleh Penyelenggara.
(2) Dalam hal perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh
penggantian dan/atau penambahan Pimpinan baru, selain
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d, Peserta juga harus melengkapi dokumen
tambahan berupa:
33
a.
fotokopi surat dari lembaga yang berwenang
mengenai:
1. susunan Pimpinan Peserta yang tercatat pada
tata usaha lembaga yang berwenang; atau
2. persetujuan
penilaian kemampuan dan
kepatutan dari lembaga pengawas yang
berwenang;
b. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari
pimpinan kantor pusat Bank yang berkedudukan di
luar negeri kepada Pimpinan kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri berikut
terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang dibuat
oleh penerjemah tersumpah, bagi kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri; dan
c.
fotokopi struktur organisasi yang masih berlaku, bagi
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri.
(3) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) harus membuat spesimen tanda tangan di hadapan
pejabat Penyelenggara atau pejabat kantor perwakilan
Bank Indonesia dalam negeri.
(4) Dalam hal Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah memiliki spesimen tanda tangan di BI-SSSS, Sistem
Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI-ETP),
dan/atau Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI),
Peserta dapat meminta penambahan kewenangan
Pimpinan pemilik spesimen tanda tangan di BI-SSSS,
Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI-
ETP), dan/atau Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
(SKNBI) dengan kewenangan dalam operasional Sistem BI-
RTGS dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.J.
(5) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), maka:
a. Peserta tidak perlu melakukan pembuatan spesimen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan
34
b. Peserta menyampaikan surat pernyataan tetap
memberlakukan spesimen tanda tangan Pimpinan,
dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.P yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Pasal 36
(1) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan perubahan
spesimen tanda tangan Pimpinan kepada Peserta paling
lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diterima
secara lengkap oleh Penyelenggara.
(2) Pemberitahuan perubahan spesimen tanda tangan
Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
informasi sebagai berikut:
a. waktu pembuatan spesimen tanda tangan bagi
Pimpinan baru; dan
b. tanggal efektif pencabutan kewenangan Pimpinan
dalam hal terdapat perubahan kewenangan
Pimpinan.
(3) Spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berlaku efektif:
a. sejak pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai
tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan;
atau
b. paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal
pembuatan spesimen tanda tangan dalam hal tidak
terdapat pemberitahuan dari Penyelenggara.
(4) Dalam hal Peserta tidak mengajukan permohonan
perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan kepada
Penyelenggara, spesimen tanda tangan Pimpinan yang
telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih
berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh
Pimpinan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab
Peserta.
35
(5) Dalam hal
pencabutan kewenangan Pimpinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b belum
berlaku efektif, spesimen tanda tangan Pimpinan yang
telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih
berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh
Pimpinan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta.
Paragraf 7
Perubahan Kuasa
Pasal 37
(1) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) huruf f dilakukan untuk penambahan, pergantian,
dan/atau pencabutan kuasa dari pejabat dan/atau
petugas yang menerima kuasa.
(2) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan pemberian
kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
(3) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan kuasa
secara tertulis dengan ketentuan sebagai berikut:
1. dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3);
dan
2. kuasa pengambilan fisik uang di wilayah kantor
pusat Bank Indonesia disampaikan kepada
satuan kerja yang melaksanakan fungsi
pengelolaan uang;
b. selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, permohonan tertulis juga harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. dalam hal terdapat penambahan dan/atau
pergantian kuasa pejabat dan/atau petugas
yang menerima kuasa, maka:
36
a) permohonan diajukan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran
II.Q yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
b) penambahan kuasa berlaku efektif paling
lambat 5 (lima) hari kerja sejak dokumen
sebagaimana dimaksud dalam huruf a) dan
spesimen tanda tangan telah diterima
secara lengkap oleh Penyelenggara;
2. dalam hal terdapat pencabutan seluruh atau
sebagian kuasa kepada pejabat dan/atau
petugas yang menerima kuasa maka:
a) permohonan juga dilampiri dengan surat
pernyataan pencabutan kuasa dengan
menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.R yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
b) pencabutan seluruh atau sebagian kuasa
tersebut berlaku efektif terhitung sejak
tanggal surat pernyataan pencabutan
kuasa diterima secara lengkap oleh
Penyelenggara; dan
c) spesimen tanda tangan pejabat dan/atau
petugas yang menerima kuasa yang dicabut
sebagaimana huruf b) dinyatakan tidak
berlaku; dan
3. dalam hal terdapat perubahan kewenangan
dalam surat kuasa yang diberikan kepada
pejabat dan/atau petugas yang menerima
kuasa, Peserta harus menyampaikan surat
permohonan yang dilampiri dengan surat kuasa
yang baru dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.L.
37
(4) Penyelenggara
menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan kuasa melalui surat, kepada Peserta
paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah
permohonan dan dokumen diterima oleh Penyelenggara
secara lengkap.
(5) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan kuasa, Penyelenggara menyampaikan surat
persetujuan kepada Peserta yang memuat informasi
tanggal efektif perubahan kuasa pejabat dan/atau petugas
yang menerima kuasa.
(6) Dalam hal terdapat perubahan kuasa pejabat dan/atau
petugas yang menerima kuasa yang tidak disampaikan
kepada Penyelenggara maka data yang telah
ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku
dan segala tindakan hukum yang dilakukan pejabat
dan/atau petugas yang menerima kuasa tersebut
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta.
Paragraf 8
Perubahan Penggunaan Infrastruktur
Pasal 38
Perubahan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1) huruf g meliputi:
a. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola sendiri
menjadi penggunaan infrastruktur yang dikelola pihak
lain;
b. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh
pihak lain menjadi penggunaan infrastruktur yang
dikelola sendiri; atau
c. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh
pihak lain yang berbeda.
Pasal 39
(1) Permohonan perubahan penggunaan infrastruktur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
38
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan
penggunaan infrastruktur yang dilengkapi dengan
dokumen pendukung berupa:
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B;
2. surat pernyataan
dari Pimpinan yang
menyatakan kesiapan infrastruktur dan memuat
informasi spesifikasi infrastruktur yang telah
ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f; dan
3. persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, dalam hal Peserta menggunakan
infrastruktur yang dikelola pihak lain; dan
b. pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3).
(2) Dalam hal diperlukan, Penyelenggara dapat melakukan
pemeriksaan ke lokasi infrastruktur yang akan digunakan
Peserta.
(3) Penyelenggara
menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan penggunaan infrastruktur melalui
surat, yang dapat didahului dengan faksimile, kepada
Peserta paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah
surat permohonan dan dokumen pendukung diterima oleh
Penyelenggara secara lengkap.
(4) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan penggunaan infrastruktur, Penyelenggara
menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang
memuat informasi tanggal efektif perubahan penggunaan
infrastruktur Peserta.
Paragraf 9
Perubahan Data Pimpinan
Pasal 40
Perubahan data Pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
39
a. Peserta menyampaikan informasi kepada Penyelenggara
mengenai perubahan nama, kewenangan, dan/atau
jabatan Pimpinan yang dilengkapi dengan dokumen
pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang
berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh
Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di
Penyelenggara;
b. penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam
huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.S yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini; dan
2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3);
c. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf
a terdiri atas:
1. fotokopi perubahan anggaran dasar mengenai
pengangkatan Pimpinan, bagi Peserta yang berbadan
hukum Indonesia;
2. fotokopi surat dari lembaga pengawas yang
berwenang mengenai:
a) keputusan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan Pimpinan Peserta, bagi Peserta
berupa Bank; atau
b) susunan Pimpinan Peserta yang tercatat pada
tata usaha lembaga yang berwenang, bagi
Peserta selain Bank; dan
3. fotokopi bukti identitas diri Pimpinan, berupa:
a) Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat Izin
Mengemudi (SIM) atau paspor, bagi warga negara
Indonesia (WNI); atau
b) paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara
(KITAS), dan surat izin kerja dari otoritas
berwenang, bagi warga negara asing (WNA),
yang masih berlaku;
40
4. untuk Peserta berupa kantor cabang dari Bank yang
berkedudukan di luar negeri, selain dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada angka 1,
angka 2, dan angka 3, Peserta juga harus melengkapi
dokumen tambahan berupa:
a)
fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari
kantor pusat Bank yang berkedudukan di luar
negeri kepada Pimpinan kantor cabang berikut
terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang
dibuat oleh penerjemah tersumpah; dan
b) fotokopi struktur organisasi yang masih berlaku;
dan
d. dalam hal perubahan data Pimpinan mengakibatkan
perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan, dokumen
sebagaimana dimaksud dalam huruf c disampaikan pada
saat pengajuan permohonan perubahan spesimen tanda
tangan Pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
Pasal 41
(1) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan perubahan
data Pimpinan kepada Peserta paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak informasi tertulis dan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 diterima secara
lengkap oleh Penyelenggara.
(2) Pemberitahuan perubahan data Pimpinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat informasi sebagai berikut:
a. pembuatan spesimen tanda tangan bagi Pimpinan
baru; dan/atau
b. tanggal efektif pencabutan kewenangan Pimpinan
dalam hal terdapat perubahan kewenangan
Pimpinan.
(3) Spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berlaku efektif:
a. sejak pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai
tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan;
atau
41
b. paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal
pembuatan spesimen tanda tangan dalam hal tidak
terdapat pemberitahuan dari Penyelenggara.
(4) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan informasi
perubahan data Pimpinan kepada Penyelenggara, data
Pimpinan yang telah ditatausahakan di Penyelenggara
dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang
dilakukan oleh Pimpinan tersebut sepenuhnya menjadi
tanggung jawab Peserta.
(5) Dalam hal
pencabutan kewenangan Pimpinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b belum
berlaku efektif, data Pimpinan yang telah ditatausahakan
di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala
tindakan hukum yang dilakukan oleh Pimpinan
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta.
Paragraf 10
Perubahan Alamat Kantor Peserta
Pasal 42
(1) Perubahan alamat kantor Peserta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan informasi perubahan alamat
kantor pusat Peserta dan alamat kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri yang
dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai
berikut:
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B; dan
2. fotokopi surat persetujuan atau penerimaan
pemberitahuan perubahan alamat kantor dari
lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi
oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan
sesuai asli oleh Pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan
42
b. penyampaian informasi
tertulis sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (3).
(2) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan perubahan
alamat kantor kepada Peserta melalui surat, yang dapat
didahului dengan faksimile, paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak informasi tertulis dan dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diterima secara lengkap oleh Penyelenggara.
(3) Pemberitahuan perubahan alamat kantor sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memuat informasi mengenai
tanggal efektif perubahan alamat kantor Peserta.
Paragraf 11
Perubahan Nomor Rekening Setelmen Dana
Pasal 43
(1) Dalam hal terdapat perubahan nomor Rekening Setelmen
Dana Peserta yang disebabkan adanya:
a. kebijakan dari Bank Indonesia;
b. perubahan data Peserta yang dapat menyebabkan
perubahan nomor Rekening Setelmen Dana Peserta di
Penyelenggara; atau
c. perubahan nomor Rekening Giro,
Penyelenggara menginformasikan perubahan nomor
Rekening Setelmen Dana dan tanggal efektif perubahan
nomor Rekening Setelmen Dana.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Penyelenggara kepada:
a. Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan
b. seluruh Peserta mengenai perubahan nomor
Rekening Setelmen Dana Peserta melalui
administrative message atau sarana lain.
43
Paragraf 12
Penyampaian Dokumen Perubahan Data Kepesertaan
Pasal 44
Dalam hal Peserta merupakan peserta pada sistem yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan dokumen pendukung
yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagai
penyelenggara sama dengan dokumen pendukung di Sistem BI-
RTGS maka dokumen untuk perubahan data kepesertaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal
42 yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia tidak perlu
disampaikan kembali kepada Penyelenggara sepanjang tidak
terdapat perubahan.
Paragraf 13
Perbedaan Tanda Tangan
Pasal 45
Dalam hal terdapat perbedaan tanda tangan antara yang
tercantum pada identitas diri dengan yang tercantum pada
spesimen tanda tangan pejabat dan/atau petugas yang
menerima kuasa yang ditatausahakan di Penyelenggara maka
Peserta harus menyampaikan surat pernyataan perbedaan
tanda tangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.T
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Keenam
Status Kepesertaan dan Perubahannya
Paragraf 1
Status Kepesertaan
Pasal 46
Status kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS dibedakan menjadi:
a.
aktif;
b. ditangguhkan;
c. dibekukan; atau
d. ditutup.
44
Paragraf 2
Perubahan Status Kepesertaan
Pasal 47
(1) Perubahan status kepesertaan dapat dilakukan dari:
a. status aktif menjadi ditangguhkan atau sebaliknya;
b. status aktif menjadi dibekukan;
c. status aktif menjadi ditutup;
d. status ditangguhkan menjadi dibekukan; atau
e. status dibekukan menjadi ditutup.
(2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut:
a. pengenaan sanksi administratif oleh Penyelenggara;
b. permintaan tertulis dari lembaga pengawas yang
berwenang terhadap kegiatan Peserta; atau
c. permintaan tertulis dari Peserta untuk mengubah
status dari status aktif menjadi ditutup.
(3) Permintaan tertulis dari Peserta sebagaimana dimaksud
ayat (2) huruf c didasarkan pada alasan self-liquidation,
penggabungan, peleburan, pemisahan, pengunduran diri,
atau alasan lain yang telah memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara atau lembaga pengawas yang berwenang.
(4) Dalam hal terjadi perubahan status Peserta,
Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada:
a. Peserta yang bersangkutan melalui surat yang
penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile;
b. seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya yang ditetapkan oleh Penyelenggara;
dan/atau
c. lembaga pengawas yang berwenang dalam
melakukan pengawasan terhadap kegiatan Peserta
melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului
dengan faksimile.
45
Pasal 48
(1) Perubahan status kepesertaan menjadi ditutup diatur
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta harus menyelesaikan seluruh transaksi yang
dilakukan melalui BI-SSSS, Sistem Bank Indonesia
Electronic Trading Platform (BI-ETP), Sistem BI-RTGS,
dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI),
yang pelaksanaan Setelmen Dana atas transaksi
tersebut dilakukan melalui Sistem BI-RTGS;
b. Peserta harus menyelesaikan seluruh kewajiban
terhadap Bank Indonesia;
c. Peserta melakukan pemindahan saldo Rekening
Setelmen Dana ke rekening yang ditetapkan oleh
Peserta untuk penihilan saldo;
d. Penyelenggara dapat memindahkan saldo Rekening
Setelmen Dana atas nama Peserta ke rekening yang
ditetapkan oleh Penyelenggara apabila Peserta tidak
melakukan pemindahan saldo sebagaimana
dimaksud dalam huruf c;
e. Penyelenggara mengubah status kepesertaan menjadi
ditutup setelah Rekening Setelmen Dana bersaldo
nihil; dan
f.
Peserta harus mengembalikan digital certificate hard
token, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
efektif perubahan status kepesertaan menjadi
ditutup.
(2) Penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a yang disebabkan oleh penggabungan,
peleburan, atau pemisahan, dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. hak dan kewajiban Peserta yang akan ditutup beralih
kepada Peserta hasil penggabungan, peleburan, atau
pemisahan; dan
b. peralihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dilengkapi dengan surat pernyataan pengambilalihan
hak dan kewajiban dari Peserta hasil penggabungan,
peleburan, atau pemisahan.
46
(3) Penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a yang disebabkan oleh adanya pengalihan aset
dan kewajiban yang bukan merupakan penggabungan,
peleburan, atau pemisahan, dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. hak dan kewajiban Peserta yang ditutup beralih
kepada Peserta yang menerima pengalihan aset dan
kewajiban; dan
b. peralihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dilakukan berdasarkan surat pernyataan
pengambilalihan hak dan kewajiban dari Peserta yang
menerima pengalihan aset dan kewajiban.
Pasal 49
(1) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis dari
lembaga pengawas yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b, dilakukan oleh lembaga
pengawas yang berwenang dengan mengajukan permohonan
perubahan status kepesertaan kepada Gubernur Bank
Indonesia dengan tembusan kepada Penyelenggara.
(2) Permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat informasi
sebagai berikut:
a. nama Peserta dan perubahan status kepesertaan
yang diminta;
b. nama dan nomor Rekening Setelmen Dana;
c. alasan perubahan status kepesertaan; dan
d. tanggal efektif perubahan status kepesertaan.
(3) Permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disertai dengan dokumen
pendukung sebagai berikut:
a.
fotokopi surat dari lembaga yang berwenang yang
mendasari alasan perubahan status kepesertaan;
dan/atau
b. fotokopi surat keputusan pencabutan izin kegiatan
usaha dari lembaga yang berwenang, putusan
kepailitan, dan/atau likuidasi.
47
(4) Dalam hal perubahan status kepesertaan yang diminta
merupakan perubahan status menjadi ditangguhkan,
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat pula batasan penangguhan yang mencakup
penangguhan terhadap kegiatan tertentu di Sistem BI-
RTGS.
(5) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status
kepesertaan apabila:
a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; dan
b. Peserta telah memenuhi ketentuan dan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1),
dalam hal status kepesertaan berubah menjadi
ditutup.
(6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (4).
Pasal 50
(1) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis
dari Peserta yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 ayat (2) huruf c, dilakukan oleh Peserta
dengan mengajukan permohonan penutupan kepesertaan
kepada Penyelenggara dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.U yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a.
fotokopi keputusan pencabutan izin usaha, dalam hal
Peserta melakukan self-liquidation; atau
b. dokumen terkait lainnya untuk alasan lain yang telah
memperoleh persetujuan dari Penyelenggara atau
lembaga pengawas yang berwenang.
(3) Surat permohonan perubahan status kepesertaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
48
a. ditandatangani oleh Pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan
b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
(4) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status
kepesertaan apabila:
a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; dan
b. Peserta telah memenuhi ketentuan dan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1).
(5) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (4).
Paragraf 3
Perubahan Status Kepesertaan Karena Penggabungan
Pasal 51
(1) Setiap Peserta yang menggabungkan diri harus
mengajukan permohonan penutupan kepesertaan dan
penutupan Rekening Setelmen Dana secara tertulis
kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.U.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan fotokopi surat keputusan dari lembaga
yang berwenang yang menyetujui penggabungan yang
telah dilegalisasi oleh pejabat berwenang atau telah
dinyatakan sesuai asli oleh Pimpinan.
(3) Peserta yang menerima penggabungan menyampaikan
pemberitahuan penggabungan secara tertulis yang paling
sedikit memuat:
a. persetujuan penggabungan dari lembaga yang
berwenang;
49
b. informasi mengenai Peserta yang menerima
penggabungan dan Peserta yang menggabungkan
diri;
c. waktu pelaksanaan:
1. peralihan operasional dalam penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS dari Peserta yang
menggabungkan diri kepada Peserta yang
menerima penggabungan;
2. pemindahan saldo Rekening Setelmen Dana
Peserta yang menggabungkan diri ke Rekening
Setelmen Dana Peserta yang menerima
penggabungan;
3. penutupan Rekening Setelmen Dana Peserta
yang menggabungkan diri; dan
4. penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS
dari Peserta yang menggabungkan diri;
d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang
menggabungkan diri oleh Peserta yang menerima
penggabungan terhitung sejak tanggal penggabungan
secara hukum; dan
e. informasi pengumuman penggabungan yang dimuat
dalam surat kabar harian berskala nasional,
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a. surat pernyataan dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.W yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
b.
fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh
Pimpinan berupa:
50
1. akta penggabungan;
2. akta perubahan anggaran dasar Peserta yang
menerima penggabungan;
3.
izin penggabungan dari lembaga pengawas yang
berwenang memberikan persetujuan tentang
penggabungan untuk Peserta berupa Bank; dan
4. surat persetujuan perubahan anggaran dasar
dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia atau dokumen pendaftaran akta
penggabungan dan akta perubahan anggaran
dasar dalam daftar perusahaan; dan
5. pengumuman penggabungan yang dimuat dalam
surat kabar harian berskala nasional.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus:
a. ditandatangani oleh Pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan
b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
Pasal 52
(1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis
kepada Peserta yang menerima penggabungan, setelah
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 diterima
secara lengkap.
(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat hal sebagai berikut:
a. waktu pelaksanaan penggabungan secara
operasional dalam Sistem BI-RTGS; dan
b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta.
(3) Saldo Rekening Setelmen Dana dari Peserta yang
menggabungkan diri dipindahkan seluruhnya melalui RPP
ke Rekening Setelmen Dana Peserta yang menerima
penggabungan.
51
(4) Pelaksanaan pemindahan saldo Rekening Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh
Peserta sesuai dengan kewenangan dan jadwal
pelaksanaan penggabungan secara operasional dalam
Sistem BI-RTGS yang disetujui oleh Penyelenggara.
(5) Status kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS dari Peserta yang
menggabungkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada
tanggal pelaksanaan penggabungan secara operasional
dalam Sistem BI-RTGS dan setelah Rekening Setelmen Dana
Peserta yang menggabungkan diri bersaldo nihil.
(6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (4).
Paragraf 4
Perubahan Status Kepesertaan Karena Peleburan
Pasal 53
(1) Calon Peserta yang merupakan hasil peleburan harus
mengajukan permohonan menjadi Peserta Sistem BI-
RTGS dengan memenuhi persyaratan menjadi Peserta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan mengikuti
prosedur menjadi Peserta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dalam hal calon Peserta akan menjadi Peserta
Sistem BI-RTGS.
(2) Calon Peserta hasil peleburan menyampaikan
pemberitahuan peleburan secara tertulis kepada
Penyelenggara dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.V.
(3) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagai berikut:
a. surat pernyataan dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.W; dan
b. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli
oleh Pimpinan calon Peserta, berupa:
52
1. akta peleburan;
2. akta pendirian calon Peserta yang merupakan
hasil peleburan;
3.
izin peleburan dari lembaga pengawas yang
berwenang memberikan persetujuan tentang
peleburan untuk calon Peserta berupa Bank;
dan
4. surat pengesahan badan hukum perseroan dari
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
atas akta pendirian calon Peserta yang
merupakan hasil peleburan.
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh Pimpinan calon Peserta; dan
b. disampaikan
kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat calon Peserta berkedudukan di wilayah kerja
kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
Pasal 54
(1) Setiap Peserta yang meleburkan diri harus mengajukan
permohonan penutupan kepesertaan secara tertulis
kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.U.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen yang telah dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli
oleh Pimpinan Peserta, sebagai berikut:
a.
b. fotokopi anggaran dasar terakhir Peserta yang
meleburkan diri.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
fotokopi surat keputusan dari lembaga yang
berwenang menyetujui peleburan; dan
53
a. ditandatangani oleh Pimpinan Peserta; dan
b. disampaikan
kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
Pasal 55
(1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis
kepada Peserta hasil peleburan setelah dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat
(3) serta Pasal 54 ayat (2) diterima secara lengkap.
(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat:
a. waktu pelaksanaan peleburan secara operasional
dalam Sistem BI-RTGS; dan
b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta.
(3) Saldo Rekening Setelmen Dana dari Peserta yang
meleburkan diri dipindahkan seluruhnya melalui RPP ke
Rekening Setelmen Dana Peserta yang merupakan hasil
peleburan.
(4) Pelaksanaan pemindahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan oleh Peserta sesuai kewenangan dan
jadwal pelaksanaan peleburan secara operasional dalam
Sistem BI-RTGS yang disetujui oleh Penyelenggara.
(5) Status kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS dari Peserta
yang meleburkan diri efektif berubah menjadi ditutup
pada tanggal pelaksanaan peleburan secara operasional
dalam Sistem BI-RTGS dan setelah Rekening Setelmen
Dana Peserta bersaldo nihil.
(6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (4).
54
Paragraf 5
Perubahan Status Kepesertaan Karena Pemisahan
Pasal 56
Perubahan status kepesertaan karena pemisahan dilakukan
dalam hal terdapat Peserta berupa unit usaha syariah yang
memisahkan diri dari Peserta berupa bank konvensional
sebagai Bank pemilik unit usaha syariah yang dilakukan
dengan cara:
a. mendirikan bank umum syariah baru; atau
b. mengalihkan hak dan kewajiban Peserta unit usaha
syariah kepada Peserta berupa bank umum syariah.
Pasal 57
(1) Dalam hal bank umum syariah baru hasil pemisahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a akan
menjadi Peserta maka bank umum syariah baru harus
terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk menjadi
Peserta dari Penyelenggara.
(2) Bank umum syariah baru yang akan menjadi Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan menjadi Peserta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dan mengikuti prosedur menjadi Peserta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(3) Peserta berupa unit usaha syariah yang akan memisahkan
diri melakukan penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-
RTGS dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta berupa unit usaha syariah mengajukan
permohonan penutupan kepesertaan dalam Sistem
BI-RTGS secara tertulis kepada Penyelenggara
dengan menggunakan
tercantum dalam Lampiran II.U;
b. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. ditandatangani oleh Pimpinan yang telah
memiliki
spesimen tanda tangan di
Penyelenggara; dan
format sebagaimana
55
2. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank
Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat Peserta berkedudukan di
wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri; dan
c. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagai berikut:
1. fotokopi surat keputusan dari lembaga pengawas
yang berwenang; dan
2. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang
yang mendasari pemisahan; dan
d. Peserta berupa unit usaha syariah harus
menyelesaikan seluruh kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1).
(4) Peserta berupa unit usaha syariah yang akan melakukan
pemisahan memindahkan seluruh saldo Rekening
Setelmen Dana melalui RPP ke Rekening Setelmen Dana
Peserta berupa bank umum syariah yang akan menerima
pemisahan.
(5) Pemindahan seluruh saldo Rekening Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh
Peserta sesuai kewenangan dan jadwal pelaksanaan
pemisahan secara operasional dalam Sistem BI-RTGS
yang disetujui oleh Penyelenggara.
(6) Penyelenggara mengubah status kepesertaan Peserta yang
memisahkan diri menjadi ditutup setelah Rekening
Setelmen Dana Peserta bersaldo nihil.
(7) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (4).
56
Pasal 58
(1) Pemisahan dengan cara mengalihkan hak dan kewajiban
Peserta berupa unit usaha syariah kepada Peserta berupa
bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 huruf b dilakukan melalui penutupan kepesertaan
Peserta berupa unit usaha syariah yang akan memisahkan
diri.
(2) Peserta berupa unit usaha syariah yang akan memisahkan
diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta berupa unit usaha syariah mengajukan
permohonan penutupan kepesertaan dalam Sistem
BI-RTGS secara tertulis kepada Penyelenggara
dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.U;
b. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. ditandatangani oleh Pimpinan yang telah
memiliki
spesimen
Penyelenggara; dan
2. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank
Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat Peserta berkedudukan di
wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri;
c. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagai berikut:
1. fotokopi surat keputusan dari lembaga pengawas
yang berwenang; dan
2. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang
yang mendasari pemisahan; dan
d. Peserta berupa unit usaha syariah harus
menyelesaikan seluruh kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1).
tanda tangan di
57
(3) Peserta berupa unit usaha syariah yang akan melakukan
pemisahan memindahkan seluruh saldo Rekening
Setelmen Dana melalui RPP ke Rekening Setelmen Dana
Peserta berupa bank umum syariah yang akan menerima
pemisahan.
(4) Pemindahan seluruh saldo Rekening Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh
Peserta sesuai kewenangan dan jadwal pelaksanaan
pemisahan secara operasional dalam Sistem BI-RTGS
yang disetujui oleh Penyelenggara.
(5) Penyelenggara mengubah status kepesertaan Peserta unit
usaha syariah yang memisahkan diri menjadi ditutup
setelah Rekening Setelmen Dana Peserta bersaldo nihil.
(6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (4).
Paragraf 6
Penyampaian Dokumen Bagi Peserta Sistem Yang
Diselenggarakan oleh Bank Indonesia
Pasal 59
Dalam hal Peserta merupakan peserta sistem yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan dokumen pendukung
yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagai
penyelenggara sama dengan dokumen pendukung di Sistem BI-
RTGS maka dokumen pendukung untuk perubahan status
kepesertaan karena penggabungan, peleburan, atau
pemisahan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 53,
Pasal 57, dan Pasal 58 termasuk apabila terjadi pengalihan aset
dan kewajiban berdasarkan persetujuan dari lembaga yang
berwenang, yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia
tidak perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara
sepanjang tidak terdapat perubahan.
58
Bagian Ketujuh
Kewajiban Peserta
Paragraf 1
Kewajiban Umum Peserta
Pasal 60
Dalam penggunaan Sistem BI-RTGS, Peserta wajib:
a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan
Sistem BI-RTGS;
b. bertanggung jawab atas kebenaran instruksi Setelmen
Dana dan seluruh informasi yang dikirim Peserta kepada
Penyelenggara melalui Sistem BI-RTGS;
c. melaksanakan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS
sesuai dengan perjanjian penggunaan sistem antara
Penyelenggara dan Peserta serta ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS, serta
ketentuan terkait lainnya;
d. menginformasikan biaya Transfer Dana melalui Sistem BI-
RTGS secara transparan;
e. memberikan data, dokumen, dan/atau informasi kepada
Penyelenggara termasuk dokumen asli dan/atau salinan
dokumen yang berupa warkat, dan/atau data elektronik
terkait dengan pelaksanaan operasional Sistem BI-RTGS;
dan
f. mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi
sistem pembayaran terkait Sistem BI-RTGS.
Paragraf 2
Kewajiban Menjaga Kelancaran dan Keamanan dalam
Penggunaan Sistem BI-RTGS
Pasal 61
Kewajiban Peserta untuk menjaga kelancaran dan keamanan
dalam penggunaan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 huruf a, meliputi kegiatan sebagai berikut:
59
a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis yang
mendukung sistem kontrol internal yang baik dalam
pelaksanaan operasional Sistem BI-RTGS;
b. melakukan pemeriksaan internal untuk menjamin
keamanan operasional Sistem BI-RTGS;
c. melakukan security audit;
d. menyusun kebijakan teknologi informasi terkait dengan
Sistem BI-RTGS yang di-review dan di-update secara reguler;
e. memiliki pedoman disaster recovery plan (DRP) dan
business continuity plan (BCP);
f. menggunakan aplikasi RPP sesuai dengan buku pedoman
pengoperasian Sistem BI-RTGS;
g. melakukan pengkinian data atau informasi kepesertaan;
h. melakukan pemeliharaan data;
i. menjamin RPP utama dan RPP cadangan berfungsi dengan
baik untuk melakukan berbagai aktivitas Sistem BI-RTGS
sepanjang jam operasional Sistem BI-RTGS; dan
j. mengikuti uji coba sistem yang diselenggarakan oleh
Penyelenggara apabila diminta oleh Penyelenggara.
Pasal 62
Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 huruf a dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. kebijakan dan prosedur tertulis wajib dibuat dalam waktu
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal efektif
kepesertaan di Sistem BI-RTGS;
b. kebijakan dan prosedur tertulis wajib dibuat dalam
Bahasa Indonesia;
c. kebijakan dan prosedur tertulis wajib dibuat dengan
mengacu pada ketentuan terkait dengan Sistem BI-RTGS
yang ditetapkan oleh Penyelenggara dan ketentuan yang
dikeluarkan oleh asosiasi sistem pembayaran terkait
Sistem BI-RTGS;
d. kebijakan dan prosedur tertulis wajib memuat materi
paling sedikit sebagai berikut:
1. pendahuluan;
60
2. organisasi pengoperasian Sistem BI-RTGS;
3. ketentuan dan prosedur operasional Sistem BI-RTGS;
4. pengawasan operasional Sistem BI-RTGS;
5. penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat; dan
6. perlindungan konsumen;
e. penyusunan rincian cakupan minimum materi kebijakan
dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf d
dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
f. dalam hal terdapat perubahan terhadap materi kebijakan
dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf
d dan/atau perubahan ketentuan yang dikeluarkan oleh
Penyelenggara dan/atau asosiasi sistem pembayaran,
yang berdampak pada substansi kebijakan dan prosedur
tertulis, Peserta harus melakukan pengkinian terhadap
kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud; dan
g. pengkinian terhadap kebijakan dan prosedur tertulis
sebagaimana dimaksud dalam huruf f wajib dilakukan
dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak terjadinya
perubahan materi dan ketentuan tersebut.
Pasal 63
Pemeriksaan internal untuk menjamin keamanan operasional
Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b
dilakukan oleh satuan kerja pengawas internal Peserta dengan
ruang lingkup pemeriksaan paling sedikit mencakup materi
penilaian kepatuhan yang disampaikan oleh Penyelenggara.
Pasal 64
(1) Security audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
huruf c bertujuan untuk memastikan keamanan dan
keandalan teknologi informasi internal Peserta,
keterhubungan (interface) antara RPP dengan sistem
internal Peserta, serta kondisi lingkungan tempat Peserta
melakukan kegiatan operasional.
61
(2) Security audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dilakukan paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun sekali
terhitung sejak menjadi Peserta atau dalam hal
terjadi perubahan sistem teknologi informasi internal
Peserta yang terkait dengan Sistem BI-RTGS, security
audit dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sejak
terjadi perubahan;
b. dilakukan oleh auditor internal Peserta dan/atau
auditor eksternal; dan
c. cakupan security audit paling sedikit mencakup
ruang lingkup sebagaimana tercantum dalam
Lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini.
Pasal 65
Pedoman disaster recovery plan (DRP) dan business continuity
plan (BCP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf e
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pedoman disaster recovery plan (DRP) dan business
continuity plan (BCP) memuat prosedur yang dilakukan
oleh Peserta dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal
dan/atau Keadaan Darurat untuk memastikan bahwa
operasional Sistem BI-RTGS di Peserta tetap dapat
dilakukan atau upaya lainnya yang perlu dilakukan dalam
hal sistem cadangan tidak dapat digunakan;
b. pedoman disaster recovery plan (DRP) sebagaimana
dimaksud dalam huruf a paling sedikit memuat hal
sebagai berikut:
1. unit kerja sebagai penanggung jawab;
2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab
terdiri atas beberapa unit;
3. prosedur terkait penyiapan infrastruktur cadangan
untuk menjamin kegiatan operasional Sistem BI-
RTGS tetap berjalan;
4. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan
62
5. petugas operasional, termasuk data nomor telepon yang
dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara; dan
c. pedoman business continuity plan (BCP) sebagaimana
dimaksud dalam huruf a paling sedikit memuat hal
sebagai berikut:
1. unit kerja sebagai penanggung jawab;
2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab
terdiri atas beberapa unit;
3. langkah bisnis yang dilakukan untuk menjamin
kegiatan operasional Sistem BI-RTGS tetap berjalan;
4. mekanisme pengujian prosedur business continuity
plan (BCP);
5. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan
6. petugas operasional, termasuk data nomor telepon
yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara.
Pasal 66
Pemeliharaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
huruf h dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pemeliharaan data dilakukan terhadap data yang
tersimpan dalam media elektronik dan/atau dalam bentuk
hasil olahan komputer Sistem BI-RTGS;
b. data sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus mendapat
pengamanan yang memadai serta terjaga kerahasiaannya;
c. melakukan pencadangan atas data sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dengan penyimpanan dalam
media elektronik yang terpisah dengan media elektronik
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. memastikan data sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c
tidak rusak; dan
e. menyimpan seluruh data sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam
huruf c, sesuai dengan ketentuan pengarsipan yang
berlaku di internal Peserta dan masa retensi sesuai
ketentuan
mengatur mengenai dokumen perusahaan.
peraturan perundang-undangan yang
63
Pasal 67
Untuk menjamin RPP utama dan RPP cadangan berfungsi
dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf i,
Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. memastikan petugas yang menangani Sistem BI-RTGS
memahami sistem dan prosedur operasional Sistem BI-
RTGS yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara dan
internal Peserta;
b. menetapkan dan mengelola user dan kewenangan user
yang melakukan operasional Sistem BI-RTGS;
c. menyediakan dan mengelola sistem cadangan untuk
Sistem BI-RTGS di Peserta;
d. menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik;
e. menjamin keamanan dan keandalan jaringan komunikasi
data yang digunakan untuk menghubungkan RPP utama
dan/atau RPP cadangan dengan perangkat komputer
Peserta yang digunakan untuk operasional Sistem BI-RTGS;
f. melaporkan pengembangan aplikasi internal Peserta yang
terkait Sistem BI-RTGS kepada Penyelenggara paling lama
1 (satu) bulan setelah implementasi;
g. melakukan langkah preventif yang diperlukan agar
perangkat keras berfungsi dengan baik dan perangkat
lunak yang digunakan dalam Sistem BI-RTGS dan/atau
yang terkait dengan Sistem BI-RTGS bebas dari segala
jenis virus;
h. menjamin integritas database Sistem BI-RTGS yang ada
pada RPP utama dan RPP cadangan, serta integritas data
cadangan (backup);
i. melakukan instalasi setiap terjadi perubahan aplikasi RPP
utama dan/atau RPP cadangan sesuai dengan buku
pedoman pengoperasian Sistem BI-RTGS;
j. menyimpan dengan baik aplikasi RPP, termasuk setiap
perubahan aplikasi RPP yang telah diberikan oleh
Penyelenggara; dan
k. melakukan perpanjangan masa aktif Digital Certificate
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh
Penyelenggara.
64
Pasal 68
Penetapan dan pengelolaan user sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 67 huruf b dilakukan dengan memperhatikan paling
sedikit hal sebagai berikut:
a. pengaturan kewenangan user memperhatikan rentang
kendali (span of control) untuk meminimalisasi kesalahan
manusia (human error) dan penyelewengan (fraud);
b. pengiriman transaksi dilakukan secara berjenjang sesuai
dengan tingkat kewenangan petugas;
c. pengaturan petugas pengganti untuk user sesuai dengan
perannya masing-masing;
d. penetapan dan penatausahaan user penanggung jawab
digital certificate hard token dan digital certificate soft
token, termasuk serial number token;
e. memastikan keamanan penggunaan digital certificate hard
token oleh user yang telah ditetapkan; dan
f. menyimpan dokumen keamanan yang terkait dengan
connected user, digital certificate hard token, dan digital
certificate soft token.
Pasal 69
Penyediaan dan pengelolaan sistem cadangan untuk Sistem BI-
RTGS di Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf
c, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta menyediakan server cadangan dan jaringan
komunikasi data cadangan dari lokasi RPP cadangan
Peserta ke Penyelenggara sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh Penyelenggara;
b. biaya penyediaan dan penggunaan infrastruktur
sebagaimana dimaksud dalam huruf a menjadi beban
Peserta; dan
c. pemilihan jenis dan lokasi RPP cadangan serta jaringan
komunikasi data cadangan Peserta diserahkan kepada
setiap Peserta.
65
Pasal 70
Untuk menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf d, Peserta:
a. mengikuti kegiatan uji coba sistem cadangan sesuai
dengan pemberitahuan dari Penyelenggara;
b. melakukan uji coba koneksi sistem cadangan secara
berkala; dan
c. mengoperasikan sistem cadangan untuk kegiatan
operasional dalam kondisi normal secara berkala.
Pasal 71
(1) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf b dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
uji coba koneksi dilakukan terhadap RPP cadangan,
jaringan komunikasi data cadangan, dan data
cadangan (back-up), paling sedikit 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun;
b.
uji coba koneksi sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dapat dilakukan dengan menggunakan:
1. environment testing Penyelenggara selama jam
operasional Sistem BI-RTGS; atau
2. environment production Penyelenggara yang
dapat dilakukan setiap bulan pada hari Jumat
minggu pertama atau minggu ketiga setelah
proses akhir hari Sistem BI-RTGS di
Penyelenggara berakhir; dan
c. penggunaan environment production Penyelenggara
dilakukan paling lama 1 (satu) jam.
(2) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan permohonan uji coba koneksi
sistem cadangan melalui administrative message kepada
Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum
pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan;
66
b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan uji coba
koneksi sistem cadangan kepada Peserta melalui
administrative message; dan
c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil
pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan
kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari
kerja setelah pelaksanaan uji coba selesai dilakukan.
Pasal 72
(1) Pengoperasian sistem cadangan untuk kegiatan
operasional dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70 huruf c dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. penggunaan sistem cadangan dilakukan secara
berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun; dan
b. pengoperasian sistem cadangan dapat mencakup
pengoperasian RPP cadangan dan/atau jaringan
komunikasi data cadangan.
(2) Pengoperasian sistem cadangan untuk kegiatan
operasional dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan permohonan melalui
administrative message kepada Penyelenggara paling
lambat 1 (satu) hari kerja sebelum menggunakan
sistem cadangan;
b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan
penggunaan RPP cadangan dan/atau jaringan
komunikasi data cadangan kepada Peserta melalui
administrative message; dan
c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil
pengoperasian
sistem cadangan kepada
Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja
setelah pelaksanaan pengoperasian sistem cadangan
selesai dilakukan.
67
Pasal 73
(1) Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan jaringan
komunikasi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
huruf e dilakukan terhadap jaringan komunikasi data
yang menghubungkan RPP utama dan RPP cadangan
dengan perangkat komputer Peserta yang digunakan
untuk operasional Sistem BI-RTGS.
(2) Dalam hal Peserta menghubungkan RPP utama dan/atau
RPP cadangan dengan sistem internal Peserta, kegiatan
menjamin keamanan dan keandalan jaringan komunikasi
data dilakukan pula terhadap jaringan komunikasi data
yang menghubungkan RPP utama dan/atau RPP
cadangan dengan sistem internal Peserta.
Paragraf 3
Tanggung Jawab atas Kebenaran Instruksi Setelmen Dana
dan Seluruh Informasi yang Dikirim Peserta Kepada
Penyelenggara melalui Sistem BI-RTGS
Pasal 74
Tanggung jawab Peserta atas kebenaran instruksi Setelmen
Dana dan seluruh informasi yang dikirim kepada
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. membuat instruksi Setelmen Dana sesuai dengan buku
pedoman pengoperasian
standardisasi pengisian message Transfer Dana melalui
Sistem BI-RTGS sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
b. mengirimkan instruksi Setelmen Dana sesuai jadwal yang
ditetapkan Penyelenggara; dan
c. menggunakan kode transaksi sesuai dengan yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
Sistem BI-RTGS dan
68
BAB V
OPERASIONAL PENYELENGGARAAN SISTEM BI-RTGS
Bagian Kesatu
Waktu Operasional Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS
Pasal 75
(1) Penyelenggara menetapkan operasional penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS yang mencakup hari operasional, jam
operasional, dan periode waktu kegiatan.
(2) Hari operasional, jam operasional, dan periode waktu
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diubah sewaktu-waktu oleh Penyelenggara.
(3) Perubahan hari operasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan:
a. kebijakan pemerintah; dan/atau
b. kebijakan Bank Indonesia.
(4) Perubahan jam operasional dan/atau periode waktu
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh Penyelenggara berdasarkan:
a. kebijakan Penyelenggara; dan/atau
b. permintaan Peserta
Penyelenggara.
yang
disetujui
oleh
(5) Dalam hal terdapat perubahan hari operasional, jam
operasional, dan/atau periode waktu kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara
memberitahukan hal tersebut kepada seluruh Peserta
melalui administrative messages dan/atau sarana lainnya.
Pasal 76
(1) Hari operasional Sistem BI-RTGS dilaksanakan setiap hari
kerja sesuai yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Peserta wajib melakukan kegiatan operasional Sistem BI-
RTGS sesuai dengan hari kerja yang ditetapkan oleh
Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
69
(3) Dalam kondisi tertentu, Keadaan Tidak Normal, dan/atau
Keadaan Darurat, Peserta dapat tidak melakukan kegiatan
operasional Sistem BI-RTGS pada hari operasional
berdasarkan persetujuan Penyelenggara.
Pasal 77
(1) Jam operasional penyelenggaraan Setelmen Dana melalui
Sistem BI-RTGS mulai pukul 06.30 waktu Indonesia barat
(WIB) sampai dengan pukul 19.00 waktu Indonesia barat
(WIB).
(2) Penyelenggara menetapkan periode waktu kegiatan untuk
melakukan kegiatan Setelmen Dana atas transaksi melalui
Sistem BI-RTGS dalam jangka waktu jam operasional.
(3) Penetapan kegiatan dalam periode waktu kegiatan dan jam
operasional sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 78
(1) Peserta dapat mengajukan permohonan untuk tidak
melakukan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS dalam
kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
ayat (3) yang disebabkan hal sebagai berikut:
a. kantor pusat Peserta berada pada kantor Bank
Indonesia di wilayah tertentu dan/atau daerah
tertentu ditetapkan libur fakultatif; atau
b. kondisi tertentu lainnya yang disetujui oleh
Penyelenggara.
(2) Prosedur untuk tidak melakukan kegiatan operasional
Sistem BI-RTGS dalam kondisi tertentu diatur sebagai
berikut:
a. Peserta mengajukan surat permohonan tidak
melakukan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS
dalam kondisi tertentu kepada Penyelenggara yang
penyampaiannya dapat didahului dengan:
1. administrative message;
2.
faksimile; dan/atau
3. sarana lain;
70
b. surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat
yang menerima kuasa yang memiliki spesimen tanda
tangan di Penyelenggara;
c. Penyelenggara memberitahukan persetujuan atau
penolakan atas permohonan Peserta sebagaimana
dimaksud dalam huruf a melalui surat, administrative
message, dan/atau sarana lainnya;
d. dalam hal permohonan disetujui, Penyelenggara
mengumumkan kepada seluruh Peserta melalui
administrative message untuk menginformasikan
Peserta yang tidak melakukan kegiatan operasional
Sistem BI-RTGS; dan
e. Peserta yang tidak melakukan kegiatan operasional
wajib menyelesaikan hasil Setelmen Dana untuk
kepentingan nasabah dengan mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan
nasabah dalam pelaksanaan transfer dana melalui
Sistem BI-RTGS.
Pasal 79
(1) Perubahan jam operasional dan/atau periode waktu kegiatan
berdasarkan kebijakan Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (4) huruf a dapat dilakukan
berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
a. adanya Keadaan Tidak Normal pada Sistem BI-RTGS
dan/atau Keadaan Darurat yang mengakibatkan
adanya kebutuhan perubahan jam operasional
dan/atau perpanjangan periode waktu kegiatan untuk
melaksanakan Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS;
b. adanya kepentingan Bank Indonesia untuk
pelaksanaan kebijakan moneter, menjaga kelancaran
sistem pembayaran, dan/atau
kepentingan
penyelesaian transaksi pemerintah; dan/atau
c. adanya permintaan perpanjangan periode waktu
kegiatan dari Peserta yang berdampak pada perubahan
periode waktu kegiatan dan/atau jam operasional.
71
(2) Dalam hal terjadi perpanjangan jam operasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (4) maka
tidak harus diikuti dengan perubahan periode waktu
kegiatan untuk transaksi penarikan tunai, pelimpahan
pajak, dan Layanan USD/IDR PvP Link.
(3) Dalam hal terdapat perubahan waktu operasional
penyelenggaraan Setelmen Dana
berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyelenggara memberitahukan perubahan tersebut
kepada seluruh Peserta melalui administrative message
dan/atau sarana lainnya.
(4) Dalam hal terdapat perubahan hari operasional pada
tahun berjalan maka terhadap transaksi yang telah
dikirim oleh Peserta kepada Penyelenggara pada hari kerja
sebelumnya dengan menggunakan tanggal valuta hari
operasional yang ditetapkan libur, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. seluruh transaksi yang telah dikirim dengan
menggunakan tanggal valuta hari operasional yang
ditetapkan libur menjadi batal; dan
b. dalam hal Peserta akan menyelesaikan transaksi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a melalui Sistem
BI-RTGS pada hari kerja berikutnya, Peserta harus
mengirimkan instruksi Setelmen Dana baru.
Pasal 80
Perubahan periode waktu kegiatan berdasarkan permintaan
Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (4) huruf
b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta dapat mengajukan permohonan perpanjangan
periode waktu kegiatan dalam hal Peserta mengalami
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat yang
mengakibatkan adanya kebutuhan perpanjangan periode
waktu kegiatan Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS;
b. dalam hal permohonan perpanjangan periode waktu
kegiatan disetujui oleh Penyelenggara maka:
72
1. perpanjangan periode waktu kegiatan dilakukan
sesuai dengan permintaan Peserta; dan
2. dalam hal permohonan perpanjangan periode waktu
kegiatan melebihi pukul 17.00 waktu Indonesia barat
(WIB), perpanjangan periode waktu kegiatan berlaku
juga untuk periode waktu kegiatan berikutnya sesuai
perpanjangan yang diberikan sebagaimana dimaksud
dalam angka 1;
c. perpanjangan periode waktu kegiatan yang dapat
diberikan yaitu selama 30 (tiga puluh) menit atau paling
lama 60 (enam puluh) menit, kecuali dalam kondisi
tertentu yang disetujui oleh Penyelenggara;
d. perpanjangan periode waktu kegiatan sebagaimana
dimaksud pada huruf b menyebabkan perubahan periode
waktu kegiatan berikutnya dan/atau jam operasional;
e. permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan yang
telah disetujui oleh Penyelenggara bersifat final dan tidak
dapat dibatalkan oleh Peserta;
f. perpanjangan periode waktu kegiatan atas permintaan
Peserta dikenakan biaya; dan
g. perpanjangan periode waktu kegiatan tidak dapat
diajukan oleh Peserta untuk transaksi penarikan tunai,
pelimpahan pajak, dan Layanan USD/IDR PvP Link.
Pasal 81
Prosedur pengajuan perpanjangan periode waktu kegiatan oleh
Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf a
ditetapkan sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perpanjangan periode
waktu kegiatan secara tertulis yang disertai alasan kepada
Penyelenggara melalui surat yang dapat didahului dengan
administrative message, faksimile, dan/atau sarana lain;
b. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf
a ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dari Pimpinan dan telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara;
73
c. permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan harus
diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum
berakhirnya periode waktu kegiatan yang dimintakan
perpanjangan;
d. Penyelenggara memberitahukan persetujuan atau
penolakan atas permohonan perpanjangan periode waktu
kegiatan kepada Peserta melalui administrative message
dan/atau sarana lainnya;
e. dalam hal telah terdapat Peserta yang mengajukan
perpanjangan periode waktu kegiatan selama 60 (enam
puluh) menit dan telah disetujui oleh Penyelenggara maka
Peserta yang lain tidak dapat mengajukan perpanjangan
periode waktu kegiatan, kecuali dalam kondisi tertentu
yang disetujui oleh Penyelenggara; dan
f. dalam hal permohonan perpanjangan periode waktu
kegiatan disetujui, Penyelenggara menyampaikan
informasi perpanjangan periode waktu kegiatan kepada
seluruh Peserta melalui administrative message dan/atau
sarana lainnya.
Bagian Kedua
Pengelolaan Pengguna (User)
Pasal 82
(1) Pengguna (user) RPP terdiri atas:
a. connected user; dan
b. unconnected user.
(2) Connected user sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri atas:
a. connected user untuk Sistem BI-RTGS payment
gateway (RPG); dan
b. connected user untuk Sistem BI-RTGS straight-
through processing gateway (RSTPG).
(3) Unconnected user sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas:
a. administrator user; dan
b. operational user.
74
(4) Penyelenggara memberikan 1 (satu) administrator user
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a yang
dilengkapi password kepada setiap Peserta.
Pasal 83
(1) Penyelenggara melakukan pengelolaan connected user
paling sedikit berupa kegiatan pendaftaran, penyesuaian,
reset password, penghentian, pengaktifan kembali, dan
penetapan security level.
(2) Peserta melakukan pengelolaan user sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), yang meliputi:
a. akses connected user;
b. pendaftaran dan akses unconnected user; dan
c. pengelolaan database dan konfigurasi parameter.
(3) Pengelolaan user oleh Peserta sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) menggunakan administrator user.
(4) Pengelolaan dan penggunaan connected user yang telah
diserahkan oleh Penyelenggara kepada Peserta dilakukan
berdasarkan ketentuan internal Peserta dan menjadi
tanggung jawab sepenuhnya Peserta yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Connected User dan Digital Certificate
Paragraf 1
Prinsip Umum
Pasal 84
(1) Penyelenggara memberikan connected user kepada Peserta
yang dilengkapi dengan:
a. password dan digital certificate hard token untuk
setiap Peserta yang menggunakan Sistem BI-RTGS
payment gateway (RPG); dan
b. password dan digital certificate soft token untuk
setiap Peserta yang menggunakan Sistem BI-RTGS
straight-through processing gateway (RSTPG).
75
(2) Penyelenggara menyediakan connected user sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a paling banyak 10 (sepuluh)
connected user.
(3) Penyelenggara menyediakan 1 (satu) connected user
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4) Masa aktif digital certificate hard token dan digital
certificate soft token sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal efektif yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(5) Pengambilan dokumen connected user, password,
dan/atau Digital Certificate dilakukan oleh Pimpinan atau
pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara.
Paragraf 2
Penambahan Connected User serta Penggantian dan/atau
Perpanjangan Masa Aktif Digital Certificate
Pasal 85
(1) Peserta dapat mengajukan permohonan penambahan
connected user yang dilengkapi dengan password dan
digital certificate hard token sepanjang tidak melebihi
jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2).
(2) Penambahan connected user melebihi jumlah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) dapat diberikan kepada
Peserta berdasarkan persetujuan Penyelenggara.
(3) Peserta dapat mengajukan permohonan penggantian
digital certificate hard token dan/atau digital certificate soft
token yang hilang, rusak, atau tidak dapat digunakan
karena sebab apapun.
(4) Penambahan connected user sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan penggantian digital certificate hard token
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan biaya.
(5) Penyelenggara membebankan biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ke Rekening Setelmen Dana dalam
rupiah Peserta yang ditatausahakan di Bank Indonesia.
76
(6) Peserta harus mengajukan permohonan perpanjangan
masa aktif Digital Certificate sebelum masa aktif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (4) berakhir.
Pasal 86
Permohonan penambahan connected user, serta penggantian
dan/atau perpanjangan masa aktif Digital Certificate
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan penambahan connected
user serta penggantian dan/atau perpanjangan masa aktif
Digital Certificate secara tertulis kepada Penyelenggara;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dan memiliki spesimen tanda tangan di
Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.X yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
c. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
memuat informasi paling sedikit:
1. untuk penambahan connected user yang dilengkapi
dengan password dan digital certificate hard token:
a) nama dan participant code Peserta;
b) jumlah penambahan connected user; dan
c) alasan permintaan tambahan connected user,
dalam hal permintaan melebihi jumlah yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Pasal 84 ayat (2);
2. untuk penggantian digital certificate hard token:
a) nama dan participant code Peserta;
b) nama connected user untuk digital certificate
hard token yang akan diganti;
c) nomor seri digital certificate hard token; dan
d) alasan permintaan penggantian digital certificate
hard token;
77
3. untuk penggantian digital certificate soft token:
a) nama dan participant code Peserta;
b) nama connected user dari server yang digital
certificate soft token-nya akan diganti; dan
c) alasan permintaan penggantian digital certificate
soft token;
4. untuk perpanjangan masa aktif digital certificate hard
token:
a) nama dan participant code Peserta;
b) nama connected user untuk digital certificate
hard token-nya akan diperpanjang masa
aktifnya; dan
c) nomor seri digital certificate hard token; atau
5. untuk perpanjangan masa aktif digital certificate soft
token:
a) nama dan participant code Peserta; dan
b) nama connected user dari server yang digital
certificate soft token-nya akan diperpanjang masa
aktifnya;
d. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
disertai dokumen pendukung sebagai berikut:
1. file certificate signing request (CSR) dalam media
compact disc (CD) dari server yang digital certificate
soft token-nya akan diganti atau diperpanjang masa
aktifnya, dalam hal Peserta mengajukan penggantian
atau perpanjangan masa aktif digital certificate soft
token;
2. digital certificate hard token, dalam hal Peserta
mengajukan perpanjangan masa aktif atau
penggantian digital certificate hard token; dan/atau
3. surat keterangan kehilangan digital certificate hard
token dari pihak kepolisian, dalam hal Peserta
mengajukan penggantian digital certificate hard token
yang hilang; dan
78
e. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. ditembuskan kepada kantor perwakilan Bank
Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal
kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja
kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri; dan
2. disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja
sebelum masa aktif Digital Certificate berakhir bagi
Peserta yang mengajukan permohonan perpanjangan
masa aktif.
Pasal 87
(1) Penyelenggara memberitahukan secara tertulis kepada
Peserta melalui administrative message atau sarana lain
untuk pengambilan dokumen connected user, password,
dan/atau Digital Certificate.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Penyelenggara paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak permohonan yang disertai dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf
d diterima secara lengkap oleh Penyelenggara.
(3) Peserta melakukan pengambilan dokumen connected user,
password, dan/atau Digital Certificate dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. bagi Peserta yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia pengambilan dokumen
dilakukan di lokasi kantor Penyelenggara;
b. bagi Peserta yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri
pengambilan dokumen dilakukan di lokasi kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri; dan
c. pengambilan dokumen dilakukan oleh Pimpinan atau
pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara.
79
(4) Dalam hal terdapat perpanjangan masa aktif digital
certificate soft token, Peserta harus menginformasikan
tanggal efektif penggunaan digital certificate soft token
yang baru kepada Penyelenggara melalui administrative
message atau surat yang dapat didahului dengan
faksimile.
(5) Dalam hal Peserta tidak menginformasikan tanggal efektif
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka segala risiko
dan akibat yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung
jawab Peserta.
(6) Dalam hal penambahan connected user yang dilengkapi
dengan password dan digital certificate hard token melebihi
jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2),
Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan tersebut kepada Peserta
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan
diterima lengkap oleh Penyelenggara.
Paragraf 3
Penghapusan Connected User RPG dan/atau RSTPG
Pasal 88
(1) Penghapusan connected user Sistem BI-RTGS payment
gateway (RPG) dan/atau Sistem BI-RTGS straight-through
processing gateway (RSTPG) dapat dilakukan atas dasar
inisiatif Penyelenggara atau permintaan Peserta.
(2) Penghapusan connected user Sistem BI-RTGS payment
gateway (RPG) dan/atau Sistem BI-RTGS straight-through
processing gateway (RSTPG) atas dasar inisiatif
Penyelenggara dilakukan dalam hal Peserta telah
dihentikan kepesertaannya dalam penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS atau berdasarkan pertimbangan lain.
(3) Penghapusan connected user Sistem BI-RTGS payment
gateway (RPG) dan/atau Sistem BI-RTGS straight-through
processing gateway (RSTPG) atas dasar permintaan
Peserta dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
80
a. Peserta mengajukan permohonan penghapusan
connected user Sistem BI-RTGS payment gateway
(RPG) dan/atau Sistem BI-RTGS straight-through
processing gateway (RSTPG) secara tertulis kepada
Penyelenggara yang dapat didahului dengan
faksimile, sesuai format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.Y yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
untuk Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG)
disertai dengan digital certificate hard token dari
connected user yang dimohonkan untuk dihapus; dan
c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, Penyelenggara menyampaikan surat
pemberitahuan kepada Peserta mengenai
penghapusan connected user Sistem BI-RTGS
payment gateway (RPG) dan/atau Sistem BI-RTGS
straight-through processing gateway (RSTPG).
Paragraf 4
Reset Password Connected User untuk Sistem BI-RTGS
payment gateway (RPG), Unlock Connected User untuk Sistem
BI-RTGS payment gateway (RPG), dan/atau Reset Password
Digital Certificate Hard Token
Pasal 89
Peserta dapat mengajukan permohonan reset password
connected user untuk Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG),
unlock connected user untuk Sistem BI-RTGS payment gateway
(RPG), dan/atau reset password digital certificate hard token
kepada Penyelenggara.
Pasal 90
Permohonan reset password connected user untuk Sistem BI-
RTGS payment gateway (RPG) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
81
a. permohonan diajukan secara tertulis melalui surat oleh
Peserta yang dapat didahului dengan faksimile kepada
Penyelenggara;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda
tangan di Penyelenggara yang paling sedikit memuat
informasi:
1. nama dan participant code Peserta;
2. nama connected user untuk password yang
dimohonkan untuk dilakukan reset; dan
3. nama dan nomor telepon pihak di Peserta yang dapat
dihubungi;
c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, Penyelenggara menyampaikan password
connected user kepada Peserta melalui surat; dan
d. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf c diambil oleh
Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah
memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara.
Pasal 91
Permohonan unlock connected user untuk Sistem BI-RTGS
payment gateway (RPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. permohonan secara tertulis mengenai unlock connected
user untuk Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG)
kepada Penyelenggara dapat disampaikan melalui
administrative message atau surat yang ditandatangani
oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan
telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
yang dapat didahului dengan faksimile;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling
sedikit memuat informasi:
1. nama dan participant code Peserta;
2. nama connected user yang dimohonkan untuk di-
unlock; dan
82
3. nama dan nomor telepon pihak di Peserta
bersangkutan yang dapat dihubungi; dan
c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, Penyelenggara memberitahukan penyelesaian
proses unlock connected user untuk Sistem BI-RTGS
payment gateway (RPG) kepada Peserta yang
bersangkutan melalui administrative message atau sarana
lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
Pasal 92
Permohonan reset password digital certificate hard token
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. permohonan diajukan secara tertulis melalui surat oleh
Peserta yang dapat didahului dengan faksimile kepada
Penyelenggara;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda
tangan di Penyelenggara yang paling sedikit memuat
informasi:
1. nama dan participant code Peserta;
2. nama connected user yang digital certificate hard
token-nya dimohonkan untuk di-reset;
3. nomor seri digital certificate hard token; dan
4. nama dan nomor telepon pihak di Peserta yang dapat
dihubungi; dan
c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, Penyelenggara memberitahukan melalui telepon
kepada pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam huruf b angka 4 untuk melakukan tahapan proses
reset password digital certificate hard token di RPP.
83
Bagian Keempat
Layanan Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS
Paragraf 1
Prinsip Umum
Pasal 93
(1) Jenis layanan Transfer Dana yang dapat dilakukan
melalui Sistem BI-RTGS terdiri atas:
a. Peserta kepada Peserta lainnya, yang meliputi:
1. Transfer Dana dari Bank atau pihak selain Bank
kepada Bank atau pihak selain Bank dan
sebaliknya;
2. Transfer Dana dari Peserta atau pihak selain
Bank kepada Bank Indonesia dan sebaliknya;
3. Transfer Dana dari Bank kepada Bank lain
untuk setelmen Layanan USD/IDR PvP Link; dan
4. Transfer Dana dari Bank kepada Bank lain untuk
Setelmen Dana surat berharga negara (SBN)
dalam valuta asing (transaksi multicurrency);
b. Peserta kepada nasabah Peserta lainnya atau
sebaliknya, yang meliputi:
1. Transfer Dana dari Bank kepada Bank Indonesia
atau sebaliknya untuk kepentingan instansi
pemerintah, lembaga keuangan internasional,
lembaga lain, atau internal Bank Indonesia; dan
2. Transfer Dana dari Bank kepada Bank lain
untuk kepentingan nasabah Peserta, dengan
nilai nominal sesuai dengan ketentuan yang
mengatur mengenai batas nilai nominal transfer
dana melalui Sistem BI-RTGS dan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI); dan
c. nasabah Peserta kepada nasabah Peserta lain.
(2) Jenis layanan Transfer Dana yang harus dilakukan
melalui Sistem BI-RTGS paling sedikit berupa Transfer
Dana dari Peserta kepada Peserta lainnya untuk
kepentingan:
84
a. Peserta; dan
b. nasabah Peserta, dengan nilai nominal sesuai dengan
ketentuan yang mengatur mengenai batas nilai
nominal transfer dana melalui Sistem BI-RTGS dan
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).
(3) Jenis layanan Transfer Dana yang dapat dilakukan oleh
Peserta diatur sesuai dengan perjanjian antara
Penyelenggara dengan Peserta.
(4) Pembatasan nilai nominal Transfer Dana yang dapat
dilakukan melalui Sistem BI-RTGS diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas
nilai nominal transfer dana antar-Bank untuk
kepentingan nasabah melalui Sistem BI-RTGS.
Paragraf 2
Transaksi Penarikan Tunai Melalui Sistem BI-RTGS
Pasal 94
Transaksi penarikan tunai yang dilakukan melalui Sistem BI-
RTGS diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
transaksi penarikan tunai dilakukan untuk pengambilan
fisik uang oleh Peserta di kantor Bank Indonesia;
b. Peserta mengirimkan instruksi Setelmen Dana kepada
Bank Indonesia dengan mencantumkan nomor dan nama
rekening yang ditentukan oleh Bank Indonesia;
c.
instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam
huruf b menggunakan kode transaksi dan dikirim sesuai
dengan periode waktu kegiatan transaksi penyetoran dan
penarikan tunai sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
d. Penyelenggara memberitahukan kepada Peserta melalui
sarana administrative message atau sarana lain yang
ditetapkan oleh Penyelenggara, dalam hal terdapat
penambahan dan/atau perubahan nomor dan/atau nama
rekening sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
85
e. pengambilan fisik uang oleh Peserta sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan menyerahkan
surat penunjukan pengambilan fisik uang yang
ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima
kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di
Penyelenggara atau oleh petugas penerima kuasa yang
telah memiliki kewenangan untuk melakukan pengambilan
fisik uang, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. untuk pengambilan fisik uang di wilayah kantor
pusat Bank Indonesia dilakukan dengan prosedur
sebagai berikut:
a) pengambilan fisik uang dilakukan oleh
Pimpinan, pejabat yang menerima kuasa dan
petugas yang memiliki surat kuasa untuk
melakukan pengambilan fisik uang di kantor
pusat Bank Indonesia;
b) petugas sebagaimana dimaksud dalam huruf a)
sudah terdaftar pada tata usaha di kantor pusat
Bank Indonesia; dan
c) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
mengatur mengenai penyetoran dan penarikan
tunai; dan
2. untuk pengambilan fisik uang di wilayah kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri dilakukan
oleh Pimpinan, pejabat yang menerima kuasa, atau
petugas penerima kuasa yang telah memiliki surat
kuasa untuk melakukan pengambilan fisik uang di
kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri
sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai
penyetoran dan penarikan tunai;
f. pengambilan fisik uang oleh Peserta sebagaimana
dimaksud dalam huruf a harus memperhatikan jam
layanan loket kas masing-masing kantor Bank Indonesia;
g. dalam hal sampai dengan jam layanan loket kas berakhir
Peserta belum melakukan pengambilan fisik uang maka
Bank Indonesia mengembalikan dana tersebut ke
Rekening Setelmen Dana Peserta yang bersangkutan; dan
86
h. dalam kondisi tertentu, transaksi penarikan tunai dapat
dilakukan di luar batas waktu kegiatan transaksi
penyetoran dan penarikan tunai berdasarkan persetujuan
Bank Indonesia dengan mempertimbangkan kepentingan
umum.
Pasal 95
Transaksi penarikan tunai yang dilakukan di luar batas waktu
kegiatan transaksi penyetoran dan penarikan tunai melalui
Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf
h dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan penarikan tunai secara
tertulis yang disertai dengan alasan penarikan;
b. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda
tangan di Penyelenggara; dan
2. disampaikan ke Bank Indonesia c.q. Departemen
Pengelolaan Uang atau kepada kantor perwakilan
Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi;
c. sarana yang digunakan untuk melakukan penarikan yaitu
cek yang diterbitkan Bank Indonesia yang tata cara
pengisian dan penggunaannya sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang mengatur mengenai rekening giro di Bank
Indonesia, serta dibubuhi stempel contingency plan pada
lembar cek yang diterbitkan Bank Indonesia;
d. penarikan tunai dapat dilakukan setelah memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c, serta Peserta telah memperoleh
persetujuan dari:
1. satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan
uang, untuk penarikan tunai di kantor pusat Bank
Indonesia; atau
2. kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang
mewilayahi, untuk penarikan tunai di kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
87
Paragraf 3
Transaksi untuk Pelaksanaan Treasury Single Account (TSA)
Pasal 96
Transaksi untuk pelaksanaan treasury single account (TSA)
yang dilakukan melalui Sistem BI-RTGS diatur dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta yang menjadi pelaksana treasury single account
(TSA) yaitu Peserta yang ditetapkan oleh Kementerian
Keuangan Republik Indonesia c.q. Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik
Indonesia;
b. dalam pelaksanaan transaksi treasury single account
(TSA), Penyelenggara menetapkan:
1.
jenis transaksi untuk pelaksanaan treasury single
account (TSA);
2. kode transaksi treasury single account (TSA); dan
3. tata cara pengisian transaksi treasury single account
(TSA),
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
c. Peserta pelaksana treasury single account
(TSA)
sebagaimana dimaksud dalam huruf a mengirimkan
instruksi Setelmen Dana untuk pelaksanaan treasury
single account (TSA) dengan menggunakan kode transaksi
yang ditetapkan oleh Penyelenggara dan mengisi informasi
sesuai tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran
IX;
d. Peserta yang melakukan pengiriman instruksi Setelmen
Dana untuk pelaksanaan treasury single account (TSA)
dikenakan biaya transaksi single credit antar-Peserta bagi
nasabah untuk pelaksanaan treasury single account (TSA)
sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
88
e. dalam hal Peserta melakukan pengiriman instruksi
Setelmen Dana untuk pelaksanaan treasury single account
(TSA) menggunakan kode transaksi selain sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IX maka Peserta tersebut
dikenakan biaya transaksi single credit antar-Peserta
untuk nasabah;
f. dalam hal Peserta mengirimkan instruksi Setelmen Dana
atas transaksi untuk treasury single account (TSA) namun
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
huruf b, Peserta dikenakan biaya transaksi single credit
antar-Peserta untuk nasabah dan sanksi administratif
berupa kewajiban membayar atas penggunaan kode
transaksi yang tidak benar; dan
g. batas waktu Setelmen Dana atas transaksi untuk
pelaksanaan treasury single account (TSA) mengacu pada
periode waktu kegiatan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VIII.
Paragraf 4
Transaksi Multicurrency
Pasal 97
(1) Transaksi multicurrency dalam Sistem BI-RTGS digunakan
untuk Setelmen Dana atas transaksi antarrekening
Peserta di Bank Indonesia dalam valuta asing yang sama.
(2) Peserta yang dapat melakukan transaksi multicurrency
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Peserta
yang telah memiliki Rekening Setelmen Dana dalam valuta
asing di Bank Indonesia.
(3) Dalam hal terdapat penambahan Peserta yang memiliki
Rekening Setelmen Dana dalam valuta asing di Bank
Indonesia, Penyelenggara memberitahukan kepada
seluruh Peserta melalui administrative message dan/atau
sarana lainnya.
(4) Transaksi multicurrency sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang dapat dilakukan dalam Sistem BI-RTGS terdiri
atas:
89
a. transaksi untuk setelmen SBN dalam valuta asing;
dan
b. transaksi dalam valuta asing lainnya, yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
Paragraf 5
Transaksi PvP
Pasal 98
(1) Transaksi PvP dalam Sistem BI-RTGS digunakan untuk
penyelesaian transaksi jual beli mata uang dolar Amerika
Serikat terhadap mata uang rupiah antar-Peserta.
(2) Transaksi PvP hanya dapat dilakukan oleh Peserta yang
telah terdaftar sebagai pengguna Layanan USD/IDR PvP
Link.
(3) Transaksi PvP hanya dapat dilakukan oleh Peserta
sepanjang Sistem BI-RTGS dan USD CHATS beroperasi.
(4) Peserta pengguna Layanan USD/IDR PvP Link yang
bertindak sebagai pembeli mata uang dolar Amerika
Serikat, mengirimkan instruksi Setelmen Dana dalam
mata uang rupiah melalui Sistem BI-RTGS dengan
menggunakan kode transaksi sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VIII dan tata cara pengisian instruksi
Setelmen Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VI.
(5) Peserta pengguna Layanan USD/IDR PvP Link yang
bertindak sebagai penjual mata uang dolar Amerika
Serikat mengirimkan instruksi setelmen dana dalam mata
uang dolar Amerika Serikat melalui USD CHATS.
Pasal 99
Pelaksanaan Setelmen Dana atas transaksi PvP, dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut:
a. Sistem BI-RTGS dan USD CHATS melakukan proses
matching antara instruksi Setelmen Dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (4) dan instruksi setelmen
dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (5);
90
b. dalam hal instruksi Setelmen Dana dalam Sistem BI-RTGS
sama dengan instruksi setelmen dana dalam USD CHATS,
maka:
1. saldo pada Rekening Setelmen Dana Peserta yang
melakukan pembelian akan di-hold sebesar nominal
transaksi PvP; dan
2. dilakukan kegiatan sebagai berikut:
a) setelmen dana atas transaksi PvP, dalam hal
holding fund untuk mata uang Dolar Amerika
USD CHATS berhasil; atau
b) pembatalan transaksi PvP, dalam hal saldo pada
Rekening Setelmen Dana tidak mencukupi.
c. dalam hal tidak ditemukan data yang sama antara
instruksi Setelmen Dana dalam Sistem BI-RTGS dengan
instruksi setelmen dana dalam USD CHATS, status
transaksi PvP menjadi pending; dan
d.
instruksi Setelmen Dana atas transaksi PvP yang
berstatus pending sebagaimana dimaksud dalam huruf c
akan dibatalkan secara otomatis oleh sistem pada saat
periode waktu setelmen transaksi PvP berakhir.
Bagian Kelima
Setelmen Dana
Paragraf 1
Rekening Setelmen Dana
Pasal 100
(1) Rekening Setelmen Dana terdiri atas:
a. Rekening Giro; dan/atau
b. rekening lainnya,
dalam rupiah dan valuta asing.
(2) Rekening Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat memiliki subrekening yang merupakan
bagian dari Rekening Setelmen Dana yang jenis dan
tujuan penggunaannya ditetapkan oleh Penyelenggara.
91
(3) Penyelenggara dapat menetapkan penggunaan
subrekening untuk keperluan Setelmen Dana atau
keperluan lainnya.
(4) Dalam hal terdapat penambahan dan/atau perubahan
jenis dan tujuan penggunaan subrekening sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara menyampaikan
penambahan dan/atau perubahan tersebut kepada
Peserta melalui sarana administrative message atau
sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
Paragraf 2
Prinsip Setelmen Dana
Pasal 101
(1) Setelmen Dana pada Sistem BI-RTGS dilakukan pada
tanggal valuta Setelmen Dana.
(2) Setelmen Dana pada Sistem BI-RTGS bersifat final dan
tidak dapat dibatalkan.
(3) Setelmen Dana pada Sistem BI-RTGS menggunakan dana
pada Rekening Setelmen Dana.
(4) Setelmen Dana dilakukan dengan mempertimbangkan
faktor sebagai berikut:
a. kecukupan saldo di Rekening Setelmen Dana Peserta;
b. ketersediaan dan kecukupan FLI, dalam hal saldo
pada Rekening Setelmen Dana milik Peserta tidak
mencukupi;
c. urutan transaksi yang dikirimkan;
d. transaksi lawan yang dapat di-offsetting-kan;
e. bilateral limit dan multilateral limit;
f.
setting waktu eksekusi transaksi; dan/atau
g. status Peserta pengirim dan Peserta penerima.
(5) Saldo rekening yang digunakan oleh Peserta untuk
Setelmen Dana yaitu total saldo pada Rekening Setelmen
Dana setelah dikurangi saldo subrekening.
92
Paragraf 3
Pembuatan dan Pengiriman Instruksi Setelmen Dana
Pasal 102
(1) Instruksi Setelmen Dana yang dapat dilakukan melalui
Sistem BI-RTGS terdiri atas:
a. single credit;
b. multiple credit; dan
c. single debit.
(2) Peserta selain Bank Indonesia hanya dapat mengirimkan
instruksi Setelmen Dana berupa single credit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan multiple credit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(3) Pembuatan instruksi Setelmen Dana melalui Sistem BI-
RTGS dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. instruksi Setelmen Dana harus berdasarkan
dokumen, warkat, atau data elektronik sesuai dengan
format yang ditetapkan oleh masing-masing Peserta;
b. instruksi Setelmen Dana harus memenuhi tata cara
pengisian instruksi Setelmen Dana sesuai dengan
standardisasi pengisian message instruksi Setelmen
Dana melalui Sistem BI-RTGS sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran VI; dan
c.
instruksi Setelmen Dana wajib menggunakan kode
transaksi dengan benar sesuai dengan yang
ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran VIII.
Pasal 103
Waktu pengiriman instruksi Setelmen Dana dan waktu
pelaksanaan Setelmen Dana diatur dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Peserta dapat melakukan pengiriman instruksi Setelmen
Dana dengan tanggal valuta Setelmen Dana yang sama
dengan tanggal pengiriman instruksi Setelmen Dana
sesuai dengan periode waktu kode kegiatan Setelmen
Dana;
93
b. Peserta dapat melakukan pengiriman instruksi Setelmen
Dana titipan (future date) paling lama untuk tanggal valuta
Setelmen Dana selama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
pengiriman instruksi Setelmen Dana ke RCN; dan
c. pelaksanaan Setelmen Dana atas instruksi Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan pada
tanggal valuta Setelmen Dana sesuai dengan periode
waktu kegiatan Setelmen Dana atas jenis transaksi future
date.
Pasal 104
Untuk pelaksanaan Setelmen Dana, Peserta harus
menyediakan dana yang cukup di Rekening Setelmen Dana
pada saat pengiriman instruksi Setelmen Dana.
Paragraf 4
Mekanisme Setelmen Dana
Pasal 105
(1) Setelmen Dana atas instruksi Setelmen Dana pada Sistem
BI-RTGS dilakukan seketika per transaksi secara
individual.
(2) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Setelmen Dana dilakukan berdasarkan kecukupan
dana di Rekening Setelmen Dana yang telah
memperhitungkan pula FLI yang dimiliki oleh
Peserta; dan
b. dalam hal Rekening Setelmen Dana sebagaimana
dimaksud dalam huruf a tidak mencukupi maka
instruksi Setelmen Dana akan dibatalkan atau
masuk dalam mekanisme antrean.
(3) Instruksi Setelmen Dana yang masuk dalam mekanisme
antrean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
yaitu transaksi yang dilakukan untuk kepentingan Bank
Indonesia.
94
(4) Jenis instruksi Setelmen Dana yang akan dibatalkan atau
masuk dalam mekanisme antrean sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b tercantum dalam Lampiran VIII.
Paragraf 5
Grup Prioritas
Pasal 106
Penyelenggara menetapkan grup prioritas transaksi dalam
Sistem BI-RTGS untuk mengelompokkan angka prioritas
transaksi yang terdiri atas:
a. grup high priority;
b. grup priority;
c. grup normal; dan
d. grup settle or reject.
Pasal 107
(1) Instruksi Setelmen Dana yang menggunakan grup high
priority sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a dan
grup priority sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf
b akan masuk dalam mekanisme antrean apabila dana pada
Rekening Setelmen Dana Peserta dan FLI tidak mencukupi.
(2) Instruksi Setelmen Dana yang menggunakan grup normal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf c akan
langsung ditolak oleh sistem tanpa melalui mekanisme
antrean apabila dana pada Rekening Setelmen Dana
Peserta dan FLI tidak mencukupi.
(3) Instruksi Setelmen Dana yang menggunakan grup settle or
reject sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf d
akan langsung ditolak oleh sistem tanpa melalui
mekanisme antrean apabila dana pada Rekening Setelmen
Dana Peserta tidak mencukupi.
Pasal 108
Instruksi Setelmen Dana dikelompokkan ke dalam grup
prioritas transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106
tercantum dalam Lampiran VIII.
95
Paragraf 6
Mekanisme Antrean
Pasal 109
Penyelesaian instruksi Setelmen Dana yang masuk dalam
mekanisme antrean dilakukan berdasarkan urutan angka
prioritas transaksi.
Pasal 110
Penyelenggara menetapkan instruksi Setelmen Dana yang
masuk dalam mekanisme antrean dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. penyelesaian instruksi Setelmen Dana yang masuk ke
dalam mekanisme antrean diatur sebagai berikut:
1. penyelesaian instruksi Setelmen Dana dalam antrean
grup high priority dan priority dilakukan dengan
prinsip first in first out (FIFO) untuk masing-masing
grup; dan
2. instruksi Setelmen Dana yang berada dalam
mekanisme antrean akan dibatalkan secara otomatis
oleh sistem pada saat periode waktu kegiatan
berdasarkan kode transaksi berakhir dan/atau pada
saat cut-off warning Sistem BI-RTGS;
b. penyelesaian instruksi Setelmen Dana yang berada dalam
mekanisme antrean dilakukan dengan memperhitungkan
kecukupan dana di Rekening Setelmen Dana dan FLI
Peserta serta memperhitungkan instruksi Setelmen Dana
Peserta dan lawannya yang masih dalam mekanisme
antrean secara offsetting; dan
c. penyelesaian instruksi Setelmen Dana secara offsetting
sebagaimana dimaksud dalam huruf b dapat dilakukan
dalam hal memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. memiliki lawan transaksi dalam mekanisme antrean;
dan
2. dana pada Rekening Setelmen Dana dan/atau FLI
mencukupi untuk Setelmen Dana hasil offsetting.
96
Pasal 111
(1) Penyelenggara berwenang melakukan pengelolaan
terhadap instruksi Setelmen Dana yang berada dalam
mekanisme antrean dengan melakukan hal sebagai
berikut:
a. pengurutan ulang (reordering); dan
b. pembatalan (cancellation).
(2) Pengurutan ulang (reordering) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan dengan mengubah angka prioritas
transaksi dalam grup high priority dan grup priority.
(3) Pembatalan (cancellation) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. pembatalan
(cancellation)
dilakukan dengan
membatalkan transaksi dalam antrean; dan
b. pembatalan (cancellation) dapat dilakukan untuk
transaksi dengan grup high priority dan grup priority.
Paragraf 7
Kewajiban Penerusan Perintah Transfer Dana dan Hasil
Setelmen Dana
Pasal 112
Peserta pengirim wajib melaksanakan perintah Transfer Dana
atas permintaan nasabah pengirim dan Peserta penerima wajib
meneruskan dana hasil Setelmen Dana kepada nasabah
penerima sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai perlindungan nasabah dalam
pelaksanaan transfer dana melalui Sistem BI-RTGS.
Paragraf 8
Mekanisme Pengembalian Dana (Retur)
Pasal 113
(1) Pengembalian dana atas transaksi antar-Peserta untuk
kepentingan nasabah yang telah dilakukan Setelmen Dana
di Sistem BI-RTGS dapat dilakukan berdasarkan:
97
a. inisiatif Peserta penerima; atau
b. permintaan Peserta pengirim.
(2) Pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam hal Peserta pengirim melakukan:
a. kesalahan penulisan jumlah dana dan/atau
penerima dana; dan/atau
b. duplikasi,
dalam pengiriman instruksi Setelmen Dana.
Pasal 114
(1) Pengembalian dana atas inisiatif Peserta penerima
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a
diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta penerima harus segera mengembalikan dana
atas Setelmen Dana kepada Peserta pengirim apabila
data penerima dana yang tercantum pada konfirmasi
Setelmen Dana tidak cocok dengan data yang
tercantum dalam tata usaha rekening atau
administrasi di Peserta atau identitas penerima dana;
b. pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dilakukan dengan mekanisme pengembalian
dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan
c. Peserta yang melakukan transaksi penarikan tunai
namun tidak mengambil fisik uang sampai dengan
batas waktu yang ditetapkan maka pengembalian
dana Peserta dilakukan oleh Bank Indonesia ke
Rekening Setelmen Dana Peserta tanpa menunggu
permintaan dari Peserta pengirim.
(2) Pelaksanaan pengembalian dana atas inisiatif Peserta
penerima sebagaimana dimaksud ayat (1) juga mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
perlindungan nasabah dalam pelaksanaan Transfer Dana
melalui Sistem BI-RTGS.
98
Pasal 115
Pengembalian dana atas permintaan Peserta pengirim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b diatur
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta pengirim dapat mengajukan permintaan
pengembalian dana atas instruksi Setelmen Dana yang
telah dilakukan Setelmen Dana dengan menyertakan
pernyataan pembebasan tanggung jawab (indemnity);
b. pengajuan permintaan pengembalian dana sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan mekanisme
pengembalian dana sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XI;
c. pengembalian dana atas permintaan Peserta pengirim juga
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai perlindungan nasabah dalam pelaksanaan
Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS; dan
d. dalam hal Peserta pengirim melakukan kesalahan
penulisan jumlah dana, penerima dana, dan/atau
duplikasi transaksi dalam pengiriman instruksi Setelmen
Dana ke rekening pemerintah di Bank Indonesia terkait
dengan transaksi pelimpahan penerimaan negara atau
transaksi treasury single account (TSA) lainnya maka
untuk penyelesaian transaksi tersebut dilakukan secara
bilateral antara Peserta pengirim dengan pemilik rekening
Sub Rekening Kas Umum Negara Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (RKUN KPPN) atau pemilik
rekening instansi pemerintah lainnya.
Paragraf 9
Mekanisme Koreksi Instruksi Setelmen Dana
Pasal 116
(1) Peserta pengirim dapat mengajukan koreksi atas instruksi
Setelmen Dana untuk nasabah Peserta yang telah
dilakukan Setelmen Dana di Sistem BI-RTGS dengan
ketentuan sebagai berikut:
99
a. data instruksi Setelmen Dana yang dapat dikoreksi
hanya terbatas pada data identitas nasabah penerima
dana meliputi:
1. nama;
2. alamat; dan/atau
3. keterangan transaksi;
b. Peserta pengirim dapat mengajukan permintaan
koreksi instruksi Setelmen Dana dengan
menyertakan pernyataan pembebasan tanggung
jawab (indemnity) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XI; dan
c. permintaan koreksi instruksi Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud dalam huruf b disampaikan
oleh Peserta pengirim melalui sarana administrative
message.
(2) Peserta penerima yang menerima permintaan koreksi
transaksi harus segera memberikan tanggapan
persetujuan atau penolakan melalui administrative
message dan/atau sarana tertulis lainnya.
Paragraf 10
Bukti dan Laporan Setelmen Dana
Pasal 117
(1) Peserta menatausahakan bukti dan laporan Setelmen
Dana yang terdiri atas:
a. bukti Setelmen Dana, berupa:
1. dokumen, warkat, atau data elektronik yang
digunakan sebagai dasar pelaksanaan Setelmen
Dana; dan
2. dokumen elektronik atau hasil olahan komputer
dari Sistem BI-RTGS; dan
b.
laporan rekening koran yang memuat informasi saldo
dan mutasi Setelmen Dana.
(2) Peserta menatausahakan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan jadwal retensi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
100
Bagian Keenam
Pengelolaan Risiko
Paragraf 1
FLI
Pasal 118
(1) Penyelenggara menyediakan FLI untuk Peserta yang dapat
digunakan dalam hal Rekening Setelmen Dana tidak
mencukupi untuk melakukan Setelmen Dana.
(2) Dalam hal Peserta menggunakan FLI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penyelenggara melakukan pengkreditan ke
Rekening Setelmen Dana Peserta atas pencairan dana untuk
penggunaan FLI sebesar kebutuhan dana Peserta.
(3) Prosedur dan ketentuan mengenai penggunaan dan
pelunasan FLI mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai tata cara penggunaan FLI.
Paragraf 2
Throughput Guideline
Pasal 119
Peserta dapat mengirimkan instruksi Setelmen Dana dengan
mengacu pada throughput guideline sebagai berikut:
a. paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total nilai
instruksi Setelmen Dana yang dikirimkan (outgoing
payments) diselesaikan sebelum pukul 10.00 waktu
Indonesia barat (WIB);
b. paling sedikit 30% (tiga puluh persen) berikutnya dari total
nilai instruksi Setelmen Dana yang dikirimkan (outgoing
payments) diselesaikan pukul 10.00 waktu Indonesia
barat (WIB) sampai dengan sebelum pukul 14.00 waktu
Indonesia barat (WIB); dan
c. sejumlah 40% (empat puluh persen) dari total nilai
instruksi Setelmen Dana yang dikirimkan (outgoing
payments) diselesaikan pukul 14.00 waktu Indonesia
barat (WIB) sampai dengan sebelum pukul 18.00 waktu
Indonesia barat (WIB).
101
Paragraf 3
Fasilitas Pengelolaan Likuiditas
Pasal 120
Sistem BI-RTGS menyediakan fasilitas pengelolaan likuiditas
(liquidity management) yang dapat digunakan oleh Peserta
untuk meningkatkan efisiensi penggunaan likuiditas, yang
terdiri atas:
a. batas nilai transaksi untuk lawan transaksi (counterparty
limit);
b. pencadangan dana pada subrekening tertentu untuk
kepentingan setelmen transaksi PvP (sub-account); dan
c. pengaturan waktu Setelmen Dana (settlement execution
time).
Pasal 121
(1) Batas nilai transaksi untuk lawan transaksi (counterparty
limit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf a
terdiri atas:
a. bilateral limit; dan
b. multilateral limit.
(2) Instruksi Setelmen Dana yang pelaksanaan Setelmen
Dananya dapat dibatasi dengan fasilitas counterparty limit
hanya berlaku untuk transaksi dengan grup normal.
(3) Counterparty limit tidak berlaku bagi Bank Indonesia.
Pasal 122
Sub-account sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf b
merupakan fasilitas pengelolaan likuiditas (liquidity
management) yang digunakan untuk pencadangan dana bagi
Peserta yang mengirimkan instruksi Setelmen Dana atas
transaksi PvP.
Pasal 123
(1) Peserta dapat mengatur waktu Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf c atas
instruksi Setelmen Dana yang dikirimkan.
102
(2) Pengaturan waktu Setelmen Dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tersebut terdiri atas:
a. batas waktu paling awal (earliest time);
b. batas waktu paling akhir (latest time); dan/atau
c. batas waktu pembatalan (reject time).
(3) Peserta dapat mengubah pengaturan waktu Setelmen
Dana sepanjang instruksi Setelmen Dana belum
dilakukan setelmen atau sebelum pengaturan waktu
Setelmen Dana yang ditetapkan terlewati.
Paragraf 4
Gridlock Resolution
Pasal 124
(1) Penyelenggara menetapkan kondisi gridlock berdasarkan
kriteria sebagai berikut:
a. jumlah instruksi Setelmen Dana dalam mekanisme
antrean;
b.
nilai instruksi Setelmen Dana dalam mekanisme
antrean; dan/atau
c. jumlah instruksi Setelmen Dana dalam mekanisme
antrean sejak Setelmen Dana terakhir.
(2) Gridlock resolution dilakukan oleh Penyelenggara dengan
metode first available first out (FAFO) apabila salah satu
kriteria yang ditetapkan Penyelenggara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah terpenuhi.
BAB VI
BIAYA
Bagian Kesatu
Biaya dalam Penyelenggaraan Setelmen Dana melalui Sistem
BI-RTGS
Pasal 125
(1) Penyelenggara menetapkan biaya kepada Peserta dalam
penyelenggaraan Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS.
103
(2) Peserta dapat mengenakan biaya atas instruksi Setelmen
Dana melalui Sistem BI-RTGS kepada nasabah.
(3) Penyelenggara dapat menetapkan batas maksimal biaya
yang dikenakan Peserta kepada nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 126
Jenis biaya dalam penyelenggaraan Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1) terdiri atas:
a. biaya instruksi Setelmen Dana;
b. biaya pengiriman administrative message;
c. biaya instruksi Setelmen Dana dengan menggunakan cek
yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang
diterbitkan Bank Indonesia;
d. biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank;
e. biaya perpanjangan periode waktu kegiatan operasional;
f.
g. biaya lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
Pasal 127
(1) Penetapan biaya instruksi Setelmen Dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dikenakan untuk
setiap pengiriman instruksi Setelmen Dana melalui Sistem
BI-RTGS yang terdiri atas:
a. single credit termasuk single credit antar-Peserta
untuk nasabah atas transaksi treasury single account
(TSA); dan
b. multiple credit.
(2) Penetapan biaya pengiriman administrative message
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf b dikenakan
untuk setiap pengiriman administrative message.
(3) Penetapan biaya instruksi Setelmen Dana dengan
menggunakan cek yang diterbitkan Bank Indonesia
dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c
dikenakan untuk setiap instruksi Setelmen Dana.
biaya penggantian atau penambahan digital certificate
hard token; dan
104
(4) Penetapan biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf d, diatur
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya biaya ditetapkan oleh Penyelenggara
berdasarkan durasi waktu penggunaan setiap 1 (satu)
jam;
b. besarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam huruf
a berlaku untuk penggunaan sebagian atau seluruh
Fasilitas Guest Bank Sistem Bank Indonesia-
Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP), BI-SSSS,
dan/atau Sistem BI-RTGS; dan
c. durasi waktu penggunaan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dihitung berdasarkan waktu kehadiran
Peserta yang dibuktikan dalam daftar hadir Peserta.
(5) Penetapan besaran biaya perpanjangan periode waktu
kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
126 huruf e dikenakan berdasarkan durasi perpanjangan
periode waktu kegiatan setiap 30 (tiga puluh) menit.
(6) Biaya penggantian atau penambahan digital certificate
hard token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf
f dikenakan untuk setiap digital certificate hard token yang
diganti atau ditambahkan.
(7) Besarnya biaya dan contoh perhitungan biaya dalam
penggunaan Sistem BI-RTGS tercantum dalam Lampiran X.
(8) Besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak
termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).
Bagian Kedua
Pembebasan Biaya
Pasal 128
(1) Penyelenggara dapat membebaskan biaya tertentu dalam
penyelenggaraan Sistem BI-RTGS apabila terjadi Keadaan
Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.
(2) Pembebasan biaya tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).
105
Bagian Ketiga
Perhitungan dan Pembebanan Biaya
Pasal 129
Penyelenggara melakukan perhitungan biaya dalam
penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. biaya, untuk:
1. pengiriman instruksi Setelmen Dana atas transaksi
single credit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127
ayat (1) huruf a berikut pajak pertambahan nilai
(PPN); dan
2. administrative message sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 127 ayat (2) berikut pajak pertambahan
nilai (PPN),
dihitung setiap akhir hari yang sama dengan tanggal
pengiriman instruksi Setelmen Dana dan/atau pengiriman
administrative message;
b. biaya Setelmen Dana berikut pajak pertambahan nilai
(PPN) atas instruksi Setelmen Dana single credit
sebagaimana dimaksud pada Pasal 127 ayat (1) huruf a
yang menggunakan kode transaksi treasury single account
(TSA) namun tidak sesuai dengan yang ditetapkan
Penyelenggara, dihitung setiap akhir bulan yang sama
dengan bulan pengiriman instruksi Setelmen Dana;
c. biaya pengiriman instruksi Setelmen Dana atas transaksi
multiple credit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127
ayat (1) huruf b berikut pajak pertambahan nilai (PPN)
dihitung setiap akhir bulan untuk masing-masing Peserta;
d. biaya penggunaan cek yang diterbitkan Bank Indonesia
dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (3) berikut
pajak pertambahan nilai (PPN) dihitung setiap akhir hari
yang sama dengan tanggal penggunaan cek yang
diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang
diterbitkan Bank Indonesia;
106
e. biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 127 ayat (4) berikut pajak
pertambahan nilai (PPN) dihitung setiap akhir hari yang
sama dengan tanggal penggunaan Fasilitas Guest Bank;
f. biaya perpanjangan periode waktu kegiatan Setelmen
Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (5)
berikut pajak pertambahan nilai (PPN) dihitung setiap
akhir hari yang sama dengan tanggal perpanjangan waktu
periode kegiatan yang diajukan oleh Peserta; dan
g. biaya penggantian atau penambahan digital certificate
hard token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat
(6) berikut pajak pertambahan nilai (PPN) dihitung setiap
akhir hari yang sama dengan tanggal penggantian atau
penambahan digital certificate hard token.
Pasal 130
Pembebanan biaya dilakukan oleh Penyelenggara dengan
mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. biaya pengiriman instruksi Setelmen Dana atas transaksi
single credit dan administrative message sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 129 huruf a dibebankan pada 1
(satu) hari kerja berikutnya setelah tanggal perhitungan;
b. biaya atas instruksi Setelmen Dana yang menggunakan
kode transaksi treasury single account (TSA) tidak sesuai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf b dan
biaya pengiriman instruksi instruksi Setelmen Dana atas
transaksi multiple credit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 129 huruf c dibebankan paling lama pada awal
bulan berikutnya;
c. biaya penggunaan cek yang diterbitkan Bank Indonesia
dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf d
dibebankan paling lama 1 (satu) hari kerja berikutnya
setelah tanggal pelaksanaan Setelmen Dana menggunakan
cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro
yang diterbitkan Bank Indonesia;
107
d. biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 129 huruf e dibebankan paling
lama 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah tanggal
penggunaan Fasilitas Guest Bank;
e. biaya perpanjangan periode waktu kegiatan Setelmen
Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf f
dibebankan paling lama 1 (satu) hari kerja berikutnya
setelah tanggal pelaksanaan perpanjangan waktu kegiatan
Setelmen Dana; dan
f.
biaya penggantian atau penambahan digital certificate
hard token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf
g, dibebankan paling lama 1 (satu) hari kerja berikutnya
setelah tanggal pelaksanaan penyerahan atas penggantian
dan/atau penambahan digital certificate hard token
kepada Peserta.
Bagian Keempat
Biaya Transfer Dana Melalui Sistem BI-RTGS yang Dikenakan
Peserta Kepada Nasabah Peserta
Pasal 131
(1) Peserta dapat menetapkan dan mengenakan biaya
Transfer Dana kepada nasabah paling banyak
Rp35.000,00 (tiga puluh lima ribu rupiah).
(2) Peserta wajib mengumumkan:
a. besarnya biaya Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS
yang ditetapkan Penyelenggara kepada Peserta; dan
b. besarnya biaya Transfer Dana melalui Sistem BI-
RTGS yang ditetapkan dan dikenakan oleh Peserta
kepada nasabah.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan nasabah
dalam pelaksanaan transfer dana melalui Sistem BI-RTGS.
108
BAB VII
PENANGANAN KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU
KEADAAN DARURAT
Bagian Kesatu
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di
Penyelenggara
Paragraf 1
Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara
Pasal 132
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara
yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan Setelmen
Dana seketika
melalui Sistem BI-RTGS atau
mengakibatkan operasional Sistem BI-RTGS tidak dapat
diselenggarakan maka berlaku prosedur penanganan
Keadaan Tidak Normal.
(2) Prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh
Peserta mengenai terjadinya Keadaan Tidak Normal
dan tahapan yang perlu dilakukan melalui
administrative message dan/atau sarana lain yang
ditetapkan oleh Penyelenggara;
b. dalam hal Keadaan Tidak Normal mengakibatkan
operasional
Sistem BI-RTGS tidak dapat
diselenggarakan, Peserta harus menghentikan
sementara kegiatan pengiriman instruksi Setelmen
Dana dan kegiatan lain melalui Sistem BI-RTGS; dan
c. dalam hal Sistem BI-RTGS dapat beroperasi kembali,
Peserta melakukan hal sebagai berikut:
1. melakukan koneksi ulang ke Sistem BI-RTGS;
2. melakukan rekonsiliasi antara data transaksi di
sistem Peserta dengan data transaksi Sistem BI-
RTGS di Penyelenggara dan mengecek posisi
saldo Rekening Setelmen Dana melalui RPP; dan
109
3. menginformasikan kepada help desk Sistem BI-
RTGS apabila dari hasil rekonsiliasi
sebagaimana dimaksud pada angka 2 terdapat
perbedaan data Setelmen Dana dan/atau saldo
Rekening Setelmen Dana.
(3) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c dilakukan oleh Peserta berdasarkan
pemberitahuan dari Penyelenggara melalui administrative
message dan/atau sarana lainnya.
(4) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal yang
mengakibatkan Sistem BI-RTGS tidak dapat beroperasi
sampai dengan batas waktu yang ditentukan oleh
Penyelenggara maka Penyelenggara menetapkan
kebijakan penanganan Keadaan Tidak Normal dan
memberitahukannya kepada Peserta.
(5) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal Sistem BI-RTGS
yang mengakibatkan Setelmen Dana Layanan USD/IDR
PvP Link tidak dapat dilaksanakan maka Penyelenggara
menginformasikan kepada Peserta melalui sarana
administrative message untuk menyelesaikan transaksi
PvP menggunakan sistem selain yang disediakan oleh
Penyelenggara.
Paragraf 2
Keadaan Darurat di Penyelenggara
Pasal 133
Dalam hal terjadi Keadaan Darurat di Penyelenggara yang
memengaruhi kelancaran penyelenggaraan Sistem BI-RTGS
atau mengakibatkan operasional Sistem BI-RTGS tidak dapat
diselenggarakan sampai dengan batas waktu yang ditetapkan
oleh Penyelenggara maka berlaku prosedur sebagai berikut:
a. Penyelenggara menetapkan kebijakan dan prosedur
penanggulangan Keadaan Darurat; dan
110
b. Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh Peserta
mengenai terjadinya Keadaan Darurat serta hal yang
harus dilakukan oleh Peserta dalam penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS.
Bagian Kedua
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta
Pasal 134
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat di Peserta yang menyebabkan
terganggunya kelancaran penyelesaian Setelmen Dana
melalui Sistem BI-RTGS maka Peserta harus
memberitahukan keadaan tersebut kepada Penyelenggara.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Penyelenggara dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. pemberitahuan disampaikan kepada help desk
Sistem BI-RTGS melalui sarana telepon paling lama
30 (tiga puluh) menit sejak terjadinya Keadaan Tidak
Normal dan/atau Keadaan Darurat
yang
ditindaklanjuti dengan penyampaian pemberitahuan
tertulis kepada Penyelenggara mengenai hal tersebut
dan penyebabnya; dan/atau
b. pemberitahuan disampaikan kepada Penyelenggara
melalui surat yang didahului dengan administrative
message, faksimile, dan/atau sarana lain dalam hal
Peserta memerlukan tindak lanjut perpanjangan
periode waktu kegiatan sesuai dengan prosedur
perpanjangan periode waktu kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80.
Pasal 135
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat di Peserta yang mengakibatkan Peserta
tidak dapat melakukan kegiatan operasional Sistem BI-
RTGS dengan menggunakan RPP utama maka Peserta
menggunakan RPP cadangan.
111
(2) Dalam hal Peserta tidak dapat menggunakan RPP
cadangan atau tidak dapat melakukan pengiriman
instruksi Setelmen Dana dari lokasi kantor Peserta,
Peserta dapat menggunakan:
a.
Fasilitas Guest Bank; atau
b. cek yang diterbitkan Bank Indonesia untuk penarikan
tunai dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank
Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen Dana dalam hal
penggunaan Fasilitas Guest Bank tidak dimungkinkan.
(3) Dalam hal Peserta memutuskan untuk tidak melakukan
kegiatan operasional maka Peserta harus segera
memberitahukan kepada Penyelenggara melalui surat
yang dapat didahului dengan faksimile atau sarana lain
yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
Pasal 136
Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan
Darurat di Peserta, Penyelenggara dapat menetapkan
kebijakan, prosedur, dan hal lain yang diperlukan untuk
pelaksanaan Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS.
Bagian Ketiga
Penggunaan Fasilitas Guest Bank
Paragraf 1
Prinsip Umum
Pasal 137
(1) Fasilitas Guest Bank dapat digunakan oleh Peserta selama
jam operasional penyelenggaraan Setelmen Dana untuk
melakukan pengiriman instruksi Setelmen Dana sesuai
dengan periode waktu kegiatan yang masih berlaku.
(2) Penyelenggara dapat menetapkan batas waktu maksimal
penggunaan Fasilitas Guest Bank dalam hal jumlah
Peserta yang mengajukan permohonan penggunaan
Fasilitas Guest Bank melebihi kapasitas yang tersedia.
112
(3) Peserta membebaskan Penyelenggara dari segala kerugian
yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami
Peserta sehubungan dengan pelaksanaan Setelmen Dana
melalui Fasilitas Guest Bank.
(4) Penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta di
Penyelenggara dapat dilakukan dengan menggunakan 4
(empat) metode yaitu:
a. shared Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG);
b. standalone Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG);
c. standalone
processing gateway (RSTPG); atau
d. own RPP.
(5) Penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta di kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri hanya dapat
dilakukan dengan menggunakan metode shared Sistem
BI-RTGS payment gateway (RPG).
Paragraf 2
Prosedur Penggunaan Fasilitas Guest Bank
Pasal 138
(1) Peserta yang akan menggunakan Fasilitas Guest Bank
harus mengajukan permohonan penggunaan Fasilitas
Guest Bank secara tertulis kepada Penyelenggara, yang
dapat didahului dengan menyampaikan informasi melalui
sarana telepon, faksimile, dan/atau sarana lainnya.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda
tangan di Penyelenggara, dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.AA yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Sistem BI-RTGS straight-through
113
(3) Untuk Peserta yang berada di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri, permohonan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang
menyediakan Fasilitas Guest Bank.
(4) Dalam hal Peserta menggunakan Fasilitas Guest Bank
untuk Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform
(Sistem BI-ETP), BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS,
permohonan tertulis penggunaan Fasilitas Guest Bank
cukup diajukan kepada salah satu penyelenggara,
sepanjang surat permohonan ditandatangani pejabat yang
memiliki kewenangan dalam operasional Sistem Bank
Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP), BI-
SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS.
(5) Penyelenggara
menyampaikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan penggunaan Fasilitas Guest
Bank kepada peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya.
Pasal 139
Dalam penggunaan Fasilitas Guest Bank di lokasi
Penyelenggara atau kantor perwakilan Bank Indonesia dalam
negeri berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta menyiapkan data transaksi dan hal lain yang
diperlukan untuk operasional di Penyelenggara sesuai
dengan pedoman penggunaan Fasilitas Guest Bank
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
b. dalam hal jumlah Peserta yang mengajukan permohonan
melebihi kapasitas Fasilitas Guest Bank yang disediakan,
Penyelenggara dapat menetapkan urutan penggunaan
Fasilitas Guest Bank.
114
Bagian Keempat
Penggunaan Cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau
Bilyet Giro yang diterbitkan Bank Indonesia Dalam Keadaan
Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat
Paragraf 1
Prinsip Umum
Pasal 140
(1) Peserta dapat menggunakan cek yang diterbitkan Bank
Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank
Indonesia dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal
dan/atau Keadaan Darurat dan penggunaan Fasilitas
Guest Bank tidak dimungkinkan.
(2) Cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro
yang diterbitkan Bank Indonesia dapat digunakan oleh
Peserta selama jam operasional Sistem BI-RTGS untuk
melakukan pengiriman instruksi Setelmen Dana atas
transaksi penarikan tunai dengan cek yang diterbitkan
Bank Indonesia dan/atau pemindahan dana dengan bilyet
giro yang diterbitkan Bank Indonesia sesuai dengan
periode waktu Setelmen Dana untuk transaksi yang masih
berlaku.
(3) Instruksi Setelmen Dana yang menggunakan bilyet giro
yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terbatas pada transaksi single credit antar-
Peserta yang tidak untuk kepentingan nasabah.
(4) Instruksi Setelmen Dana yang menggunakan bilyet giro
yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat digunakan atas transaksi single credit
yang ditujukan untuk kepentingan nasabah yang memiliki
rekening di Bank Indonesia.
115
Paragraf 2
Prosedur Penggunaan Cek yang diterbitkan Bank Indonesia
dan/atau Bilyet Giro yang diterbitkan Bank Indonesia
Pasal 141
(1) Prosedur penggunaan cek yang diterbitkan Bank
Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 diatur
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan secara tertulis
untuk melakukan pengiriman instruksi Setelmen
Dana atas transaksi penarikan tunai dengan cek yang
diterbitkan Bank Indonesia dan/atau pemindahan
dana dengan bilyet giro yang diterbitkan Bank
Indonesia, yang paling sedikit memuat:
1. alasan menggunakan cek yang diterbitkan Bank
Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan
Bank Indonesia; dan
2. lokasi penggunaan cek yang diterbitkan Bank
Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan
Bank Indonesia;
b. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada
huruf a ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat
yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara,
dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.AA; dan
c. permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a
dapat disampaikan terlebih dahulu melalui faksimile
kepada Penyelenggara.
(2) Penyelenggara
menyampaikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) melalui sarana telepon, faksimile, dan/atau
sarana lain yang ditetapkan Penyelenggara.
116
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disetujui, Peserta menyampaikan cek yang diterbitkan
Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan
Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk pelaksanaan di kantor pusat Bank Indonesia:
1. cek yang diterbitkan Bank Indonesia disampaikan
kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi
pengelolaan uang; dan/atau
2. bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia
disampaikan kepada Penyelenggara;
b. untuk pelaksanaan di kantor perwakilan Bank
Indonesia dalam negeri, cek yang diterbitkan Bank
Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank
Indonesia disampaikan kepada kantor perwakilan Bank
Indonesia dalam negeri yang mewilayahi kantor Peserta;
c. cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet
giro yang diterbitkan Bank Indonesia diisi dan
ditandatangani sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di
Bank Indonesia, serta dibubuhi stempel contingency
plan pada masing-masing lembar cek yang
diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang
diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini; dan
d. cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet
giro yang diterbitkan Bank Indonesia disampaikan
paling lambat sampai dengan periode waktu
pengiriman instruksi Setelmen Dana berdasarkan
kode transaksi yang bersangkutan berakhir.
(4) Penyelenggara melakukan proses pengiriman instruksi
Setelmen Dana, dalam hal cek yang diterbitkan Bank
Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank
Indonesia yang disampaikan telah memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
117
(5) Bukti Setelmen Dana atas pengiriman instruksi Setelmen
Dana dengan menggunakan cek yang diterbitkan Bank
Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank
Indonesia akan terkirim ke RPP Peserta apabila Sistem BI-
RTGS di Peserta telah berjalan normal.
BAB VIII
PEMBEBASAN TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA
Pasal 142
(1) Penyelenggara dibebaskan dari segala tuntutan atas
kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang
dialami Peserta atau pihak ketiga akibat:
a. terlambat atau tidak terlaksananya Setelmen Dana;
dan/atau
b. sebab lain.
(2) Keterlambatan atau tidak terlaksananya Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disebabkan
oleh:
a. pengiriman instruksi Setelmen Dana yang dilakukan
oleh pejabat yang tidak berwenang;
b. kesalahan data dan/atau instruksi Setelmen Dana
yang dikirimkan oleh Peserta;
c. gangguan jaringan komunikasi data dan/atau sistem
pada Peserta yang mengakibatkan keterlambatan
Setelmen Dana;
d. ketidakmampuan atau keterlambatan Peserta
menyediakan dana pada Rekening Setelmen Dana
Peserta;
e.
tidak diteruskannya instruksi Setelmen Dana
berdasarkan keputusan lembaga pengawas yang
berwenang, keputusan lembaga arbitrase, dan/atau
keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum yang tetap;
f.
kelalaian Peserta; dan/atau
g. Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat
yang dialami oleh Penyelenggara maupun Peserta.
118
BAB IX
PEMANTAUAN KEPATUHAN PESERTA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 143
(1) Penyelenggara melakukan pemantauan kepatuhan
Peserta terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
(2) Pelaksanaan
tata kelola;
pemantauan kepatuhan Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek:
a.
b. operasional;
c.
infrastruktur;
d. business continuity plan (BCP); dan
e. perlindungan konsumen.
(3) Pemantauan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara tidak langsung dan/atau
langsung.
Bagian Kedua
Pemantauan Tidak Langsung
Pasal 144
(1) Pemantauan secara tidak langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3) dilakukan melalui
penelitian, analisis, dan evaluasi terhadap:
a. laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-waktu
yang disampaikan oleh Peserta kepada
Penyelenggara; dan
b. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh
Penyelenggara.
(2) Peserta wajib menyampaikan laporan berkala dan/atau
laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a kepada Penyelenggara.
119
(3) Peserta wajib menyampaikan informasi, data, dan/atau
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dalam hal diminta oleh Penyelenggara.
(4) Berdasarkan hasil pemantauan tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara
dapat melakukan klarifikasi dan/atau konfirmasi kepada
Peserta atas laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-
waktu, informasi, data, dan/atau dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Paragraf 1
Laporan Berkala
Pasal 145
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144
ayat (1) huruf a berupa laporan hasil penilaian kepatuhan
(LHPK).
(2) Penyampaian laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur sebagai
berikut:
a.
laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK) merupakan
laporan tahunan yang memuat hasil penilaian
pemeriksaan internal Peserta untuk periode 1
Januari sampai dengan 31 Desember;
b.
laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK)
disampaikan secara tertulis kepada Penyelenggara
melalui surat dan/atau sarana lain yang ditetapkan
oleh Penyelenggara;
c.
laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK)
disampaikan dengan batas waktu paling lambat
tanggal 31 Maret tahun berikutnya;
d. dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
huruf c jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur
maka batas waktu penyampaian laporan hasil
penilaian kepatuhan (LHPK) jatuh pada hari kerja
berikutnya;
120
e. dalam hal Peserta terlambat menyampaikan laporan
hasil penilaian kepatuhan (LHPK), Peserta tetap wajib
menyampaikan laporan berkala paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak batas waktu penyampaian
laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam huruf
c; dan
f.
Peserta dinyatakan tidak menyampaikan laporan
berkala apabila Peserta tidak menyampaikan laporan
berkala sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam huruf e.
Paragraf 2
Laporan Sewaktu-waktu
Pasal 146
Laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
144 ayat (2) terdiri atas:
a. laporan yang disampaikan oleh Peserta kepada
Penyelenggara atas permintaan Penyelenggara; dan/atau
b. laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas
inisiatif dari Peserta.
Bagian Ketiga
Pemantauan Langsung
Pasal 147
(1) Pemantauan secara langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 143 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan
langsung.
(2) Pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu
apabila diperlukan.
(3) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas
nama Penyelenggara melakukan pemeriksaan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
121
(4) Petugas yang melakukan pemeriksaan langsung
dilengkapi dengan surat tugas dari Penyelenggara.
Pasal 148
(1) Dalam pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 147 ayat (4) Peserta wajib memberikan:
a. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperlukan
sesuai dengan permintaan petugas Penyelenggara;
dan/atau
b. akses untuk melakukan pemeriksaan langsung
terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukung yang
terkait operasional Sistem BI-RTGS di Peserta.
(2) Pada akhir pemeriksaan langsung, dilakukan exit meeting
untuk menyampaikan dan/atau membahas pokok hasil
pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu
ditindaklanjuti oleh Peserta.
(3) Hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu
ditindaklanjuti oleh Peserta sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada Peserta.
(4) Peserta wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan
langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
BAB X
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 149
(1) Penyelenggara mengenakan sanksi administratif kepada
Peserta berupa kewajiban membayar, teguran tertulis,
dan/atau penurunan status kepesertaan.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil pemantauan
kepatuhan Peserta terhadap pemenuhan:
a. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
huruf a;
122
b. kewajiban menginformasikan biaya Transfer Dana
melalui Sistem BI-RTGS kepada nasabah secara
transparan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
huruf d;
c. kewajiban pengisian kode transaksi dalam instruksi
Setelmen Dana sesuai dengan yang ditetapkan oleh
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
96 huruf c dan Pasal 102 ayat (3) huruf c;
d. kewajiban penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2)
huruf c;
e. kewajiban penyampaian informasi, data, dan/atau
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148
ayat (1) huruf a;
f.
kewajiban pemberian akses kepada Penyelenggara
untuk melakukan pemeriksaan secara langsung,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1)
huruf b; dan
g. kewajiban menindaklanjuti hasil pemeriksaan
langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (4).
(3) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, tidak menginformasikan
biaya Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS kepada
nasabah secara transparan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, tidak menyampaikan laporan berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf e sampai dengan huruf g, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(4) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Peserta yang tidak menindaklanjuti sanksi
administratif berupa teguran tertulis atas tidak
terpenuhinya:
a. kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak teguran
tertulis diterima;
berkala
123
b. kewajiban penyampaian
laporan berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak teguran tertulis
diterima; dan
c. kewajiban pemberian akses kepada Penyelenggara
untuk melakukan pemeriksaan secara langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f paling
lama 7 (tujuh) hari sejak teguran tertulis diterima,
dapat dikenakan sanksi administratif berupa penurunan
status kepesertaan.
(5) Peserta yang:
a. melakukan pengisian kode transaksi dalam instruksi
Setelmen Dana tidak sesuai dengan yang ditetapkan
oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c; dan
b. terlambat dan/atau tidak menyampaikan laporan
berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d,
dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar.
Pasal 150
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 149 ayat (5) huruf a dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dikenakan kepada Peserta pengirim yang tidak
melakukan pengisian kode transaksi sesuai dengan
yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 96 huruf c dan Pasal 102 ayat
(3) huruf c; dan
b. Peserta pengirim yang tidak melakukan pengisian
kode transaksi sesuai dengan yang ditetapkan oleh
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) per instruksi Setelmen Dana, dengan batas
nominal paling banyak sebesar Rp10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah).
124
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 149 ayat (5) huruf b dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat
(1) apabila Peserta tidak menyampaikan laporan
berkala sesuai batas waktu yang ditetapkan
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
145 ayat (2) huruf c; dan
b. Peserta yang dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu
rupiah) per hari kerja keterlambatan dengan batas
nominal paling banyak sebesar Rp15.000.000,- (lima
belas juta rupiah).
(3) Pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar dilakukan oleh Penyelenggara dengan mendebit
Rekening Setelmen Dana Peserta.
(4) Penyelenggara menginformasikan pembebanan pengenaan
sanksi administratif berupa kewajiban membayar melalui
surat setelah pelaksanaan pembebanan sanksi.
BAB XI
KORESPONDENSI
Pasal 151
(1) Kegiatan korespondensi terkait kepesertaan dan
operasional penyelenggaraan Sistem BI-RTGS yang
disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan
fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran ditujukan ke
alamat:
Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
c.q. Divisi Penyelenggaraan Setelmen Dana dan
Penatausahaan Surat Berharga
Gedung D Lantai 3
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
125
(2) Kegiatan korespondensi terkait pemantauan kepatuhan
Peserta yang disampaikan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem
pembayaran ditujukan ke alamat:
Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
c.q. Divisi Kepatuhan dan Informasi Sistem Pembayaran
Gedung D Lantai 3
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(3) Kegiatan korespondensi yang disampaikan kepada satuan
kerja yang melaksanakan fungsi
pengawasan
makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran
ditujukan ke alamat:
Bank Indonesia
c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan
Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(4) Layanan help desk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2), dapat dihubungi melalui nomor:
Telepon : 021-29818888
Faksimile : 021-2311476.
(5) Dalam hal terjadi perubahan alamat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta
perubahan nomor telepon dan/atau faksimile
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Penyelenggara
memberitahukan perubahan tersebut melalui surat
dan/atau sarana lain.
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 152
Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan atau ketentuan yang
berbeda mengenai penyelenggaraan Setelmen Dana seketika
melalui Sistem BI-RTGS bagi Bank Indonesia, Kementerian
Keuangan, dan lembaga lain yang disetujui Penyelenggara menjadi
Peserta berdasarkan kebutuhan dan karakteristik tertentu.
126
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 153
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP tanggal
13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Setelmen
Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time
Gross Settlement;
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/8/DPSP tanggal
2 Mei 2016 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 17/30/DPSP Tanggal 13 November 2015
Perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui
Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement;
3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/37/DPSP tanggal 16
Desember 2016 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP tanggal 13 November
2015 perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika
melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali:
a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi
Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b;
b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3;
c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean,
dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana
dimaksud dalam butir V.C.4; dan
d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity
saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d,
dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31
Desember 2018.
Pasal 154
Ketentuan mengenai:
a. Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101
ayat (4), Pasal 102 ayat (3) huruf c, Pasal 104, dan Pasal 105;
b. grup prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107
dan Pasal 108;
127
c. mekanisme antrean sebagaimana dimaksud dalam Pasal
110 dan Pasal 111; dan
d.
fasilitas pengelolaan likuiditas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 121,
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019.
Pasal 155
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
dengan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/15 /PADG/2018
TENTANG
PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM
BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT
I. UMUM
Untuk mewujudkan penyelenggaraan Setelmen Dana seketika yang
lebih lancar, aman, efisien, dan andal maka perlu menyempurnakan
ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat
pengiriman instruksi Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS.
Penyempurnaan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang
cukup tersebut termasuk di dalamnya ketentuan mengenai mekanisme
antrean dan penggunaan fasilitas likuiditas intrahari.
Selain itu, sebagai upaya mendukung kebijakan Bank Indonesia untuk
memberikan pelayanan perizinan secara terpadu dalam hubungan
operasional bagi bank umum maka pengaturan mengenai kepesertaan
dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS juga turut dilakukan perubahan.
Ketentuan tersebut antara lain mengenai tata cara permohonan dan
perubahan kepesertaan yang bersifat strategis dan mendasar dalam
penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dilakukan secara tersentralisasi.
Terakhir, ketentuan mengenai penyelenggaraan Sistem BI-RTGS
secara keseluruhan juga dilakukan penyempurnaan untuk memperkuat
tata kelola penyelenggaraan serta harmonisasi dengan ketentuan
penyelenggaraan sistem lain di Bank Indonesia seperti BI-SSSS, Sistem BI-
Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP), dan Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia (SKNBI).
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โperubahan data kepesertaanโ
adalah perubahan nama dan kegiatan usaha Peserta.
Yang dimaksud dengan โpenyampaian informasi yang
memengaruhi data Peserta di Bank Indonesiaโ adalah
perubahan data Pimpinan dan alamat kantor Peserta.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โperubahan data kepesertaan Sistem
BI-RTGS selain yang terkait dengan langkah strategis dan
mendasarโ antara lain perubahan participant code dan
perubahan spesimen tanda tangan.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kegiatan operasional Sistem BI-RTGS oleh Penyelenggara antara
lain:
3
1. melakukan kegiatan Setelmen Dana seketika atas Transfer
Dana; dan
2. menyediakan data/informasi hasil Setelmen Dana seketika
atas Transfer Dana.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pedoman pengoperasian Sistem BI-RTGS berupa buku atau
bentuk lainnya yang disampaikan oleh Penyelenggara melalui
surat dan/atau sarana lain.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
4
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penyelenggara kliring dan/atau setelmen antara lain
penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian
akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
transfer dana dan kliring berjadwal dan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
5
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Security audit yang dilakukan oleh auditor internal
dilengkapi dengan surat pernyataan Pimpinan calon Peserta
yang menyatakan bahwa pelaksanaan security audit
dilakukan secara independen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
6
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemeriksaan dilakukan melalui kunjungan ke lokasi calon
Peserta untuk memastikan kesiapan operasional Sistem BI-RTGS
calon Peserta antara lain dengan melihat kesesuaian informasi
dalam dokumen yang disampaikan dengan kondisi di lapangan
dan kesiapan infrastruktur.
Pasal 16
Ayat (1)
Penolakan permohonan akan diberitahukan oleh Penyelenggara
melalui surat yang disertai alasan penolakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Tata cara dan persyaratan pembukaan Rekening Giro di
Bank Indonesia mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
7
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Petugas yang menerima kuasa dari Pimpinan atau
pejabat yang menerima kuasa dengan hak substitusi
untuk melakukan pengambilan fisik uang termasuk
petugas dari pihak ketiga yang ditunjuk untuk
melakukan pengambilan fisik uang.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
8
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Dokumen lain dapat berupa dokumen tertulis maupun
dokumen elektronik, yang terkait dengan Rekening Giro,
kepesertaan, dan operasional dalam penyelenggaraan Sistem
BI-RTGS.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan โidentitas diriโ adalah:
1. Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM),
atau paspor bagi warga negara Indonesia (WNI); atau
2. Paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara (KITAS), dan
surat izin kerja dari instansi berwenang bagi warga negara
asing (WNA).
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Petugas yang melakukan pengambilan fisik uang termasuk
petugas dari pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan
pengambilan fisik uang.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
9
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud โuji koneksi dengan Penyelenggaraโ adalah
uji coba antara RPP yang berada di lokasi calon Peserta
dengan RCN.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Penolakan permohonan disampaikan melalui surat yang disertai
dengan alasan penolakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
10
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penolakan permohonan perubahan participant code disertai
dengan alasan penolakan.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penolakan permohonan perubahan nama disertai dengan alasan
penolakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penolakan permohonan perubahan kegiatan usaha disertai
dengan alasan penolakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
11
Ayat (2)
Penolakan permohonan perubahan lokasi RPP utama, RPP
cadangan, dan/atau pemindahan jaringan komunikasi data (JKD)
Peserta disertai dengan alasan penolakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Penolakan permohonan perubahan spesimen tanda tangan
Pimpinan disertai dengan alasan penolakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penolakan permohonan perubahan kuasa disertai dengan alasan
penolakan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
12
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penolakan permohonan perubahan penggunaan infrastruktur
disertai dengan alasan penolakan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Yang dimaksud dengan โsistem yang diselenggarakan oleh Bank
Indonesiaโ adalah BI-SSSS, Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading
Platform (BI-ETP), dan/atau Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
(SKNBI).
13
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Huruf a
Peserta dengan status aktif dapat melakukan seluruh fungsi pada
RPP sesuai dengan jenis kepesertaan dan hak akses Peserta yang
bersangkutan.
Huruf b
Peserta dengan status ditangguhkan:
1. dapat melakukan fungsi mengakses data dan/atau informasi
pada RCN melalui aplikasi RPP;
2. tidak dapat melakukan kegiatan tertentu di Sistem BI-RTGS
sesuai dengan pembatasan yang ditentukan oleh
Penyelenggara; dan
3. dapat mengirim atau menerima instruksi Setelmen Dana
namun instruksi tersebut ditangguhkan proses Setelmen
Dananya sesuai dengan pembatasan sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 dan akan diproses kembali oleh Sistem BI-
RTGS sesuai dengan prosedur setelah status Peserta kembali
aktif.
Huruf c
Peserta dengan status dibekukan:
1. dapat melakukan fungsi mengakses data dan/atau informasi
pada RCN melalui aplikasi RPP; dan
2. tidak dapat mengirim dan menerima instruksi Setelmen
Dana melalui Sistem BI-RTGS.
Huruf d
Peserta dengan status ditutup merupakan Peserta yang telah
dihentikan kepesertaannya dalam Sistem BI-RTGS dan tidak
dapat diaktifkan kembali sebagai Peserta.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
14
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Lembaga pengawas yang berwenang antara lain Bank
Indonesia sebagai otoritas pengawas makroprudensial dan
sistem pembayaran serta Otoritas Jasa Keuangan sebagai
otoritas pengawas mikroprudensial.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk dalam alasan lain yaitu pengalihan aset dan kewajiban
yang terjadi berdasarkan persetujuan dari lembaga pengawas
yang berwenang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban terhadap Bank Indonesia antara lain biaya
penggunaan Sistem BI-RTGS, kewajiban atas penggunaan
FLI, dan biaya lainnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
15
Ayat (3)
Pengalihan aset dan kewajiban yang bukan merupakan
penggabungan, peleburan, atau pemisahan yaitu pengalihan aset
dan kewajiban yang dilakukan berdasarkan persetujuan dari
lembaga pengawas yang berwenang.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
16
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Transparansi biaya Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS
dilakukan oleh Peserta dengan cara mengumumkan secara
tertulis biaya transaksi Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS
pada tempat yang mudah terlihat oleh nasabah.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Untuk mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi
sistem pembayaran terkait Sistem BI-RTGS, Pimpinan dan/atau
pejabat yang berwenang melaksanakan tugas operasional dan
pemantauan kepatuhan ketentuan dan prosedur di Peserta
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan kepatuhan Peserta terhadap ketentuan asosiasi
sistem pembayaran dan ketentuan lainnya yang terkait dengan
Sistem BI-RTGS.
Pasal 61
Huruf a
Yang dimaksud dengan โkebijakan dan prosedur tertulisโ adalah
ketentuan yang berlaku sebagai pedoman operasional Sistem BI-
RTGS di Peserta yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di internal Peserta.
Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis mencakup juga
prosedur pengamanan penggunaan Sistem BI-RTGS di
lingkungan internal Peserta.
17
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 62
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal kebijakan dan prosedur tertulis dibuat dalam bahasa
asing, kebijakan dan prosedur tertulis harus diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
18
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal security audit dilakukan oleh auditor internal
maka dilengkapi dengan surat pernyataan Pimpinan Peserta
yang menyatakan bahwa pelaksanaan security audit
dilakukan secara independen.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Huruf a
Data yang dipelihara antara lain:
1. data transaksi;
2. data dalam aplikasi yang diberikan oleh Penyelenggara; dan
3. ketentuan dan prosedur yang diberikan oleh Penyelenggara.
Huruf b
Pengamanan data antara lain berupa perlindungan dari akses
pihak yang tidak berwenang.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kegiatan memastikan data dalam media elektronik tidak rusak
antara lain dengan cara melakukan pemeliharaan secara berkala.
Huruf e
Cukup jelas.
19
Pasal 67
Huruf a
Kegiatan memastikan petugas memahami sistem dan operasional
Sistem BI-RTGS dilakukan antara lain melalui pelatihan secara
berkala.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โaplikasi internalโ adalah aplikasi internal
yang terhubung langsung dengan RPP.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Data cadangan (backup) tersimpan dalam bentuk compact disc
(CD), tape, cartridge, flash disk, dan/atau media penyimpanan
elektronik lainnya.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Penyimpanan dilakukan di tempat yang aman dan bebas dari
berbagai sumber yang dapat merusak aplikasi RPP.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Huruf a
Cukup jelas.
20
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemilihan jenis dan lokasi RPP cadangan serta jaringan
komunikasi data cadangan Peserta dilakukan berdasarkan
pertimbangan antara lain:
1. volume transaksi Peserta dan tingkat urgensi Sistem BI-
RTGS bagi Peserta; dan
2. pengendalian internal guna memitigasi risiko operasional di
Peserta.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Laporan tertulis antara lain berupa surat, e-mail, faksimile,
dan/atau sarana tertulis lainnya.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
21
Huruf c
Laporan tertulis antara lain berupa surat, e-mail, faksimile,
dan/atau sarana tertulis lainnya.
Pasal 73
Ayat (1)
Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan jaringan
komunikasi data dilakukan agar Sistem BI-RTGS bebas dari segala
sumber yang dapat merusak Sistem BI-RTGS termasuk
kemungkinan penyalahgunaan (fraud), pembobolan data elektronis
(hacking), serta perusakan sistem dengan cara membanjiri sistem
dengan data dan/atau instruksi Setelmen Dananya serta data
lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โhari operasionalโ adalah hari yang
ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai hari diselenggarakannya
operasional Sistem BI-RTGS.
Yang dimaksud dengan โjam operasionalโ adalah jam yang
ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai waktu diselenggarakannya
operasional Sistem BI-RTGS pada setiap hari operasional.
Yang dimaksud dengan โperiode waktu kegiatanโ adalah jangka
waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara berdasarkan kode
transaksi untuk melakukan kegiatan Setelmen Dana atas
Transfer Dana yang dilakukan melalui Sistem BI-RTGS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
22
Ayat (4)
Huruf a
Contoh perubahan jam operasional berdasarkan kebijakan
Penyelenggara antara lain dalam hal terdapat perubahan jam
operasional Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
maka jam operasional Sistem BI-RTGS mengikuti perubahan
jam operasional Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
(SKNBI).
Contoh perubahan periode waktu kegiatan berdasarkan
kebijakan Penyelenggara antara lain dalam hal terdapat
perubahan periode waktu kegiatan cut-off warning serta
periode waktu kegiatan pre cut-off pada BI-SSSS maka
periode waktu kegiatan cut-off warning dan periode waktu
kegiatan pre cut-off pada Sistem BI-RTGS mengikuti periode
waktu kegiatan cut-off warning serta pre cut-off pada BI-
SSSS.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
23
Huruf b
Kepentingan Bank Indonesia terkait pelaksanaan kebijakan
moneter dan/atau kelancaran sistem pembayaran antara
lain perubahan jam operasional pada Sistem BI-RTGS yang
disebabkan adanya perubahan jam operasional pada BI-
SSSS, Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI-
ETP), dan/atau Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
(SKNBI).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โconnected userโ adalah user yang
ditatausahakan dan diberikan oleh Penyelenggara kepada
Peserta untuk melakukan akses ke RCN melalui RPP serta
memiliki Digital Certificate untuk mekanisme pengamanan
pengiriman dan penerimaan message dari dan ke RCN.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โunconnected userโ adalah user yang
didaftarkan oleh Peserta pada RPP dan dapat membuat
instruksi serta melakukan kegiatan yang bersifat lokal, namun
tidak dapat mengirimkan instruksi ke RCN.
24
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Administrator user merupakan user yang melakukan
pendaftaran operational user dan melakukan pengelolaan user
melalui RPP.
Huruf b
Operational user merupakan user lokal yang melakukan
kegiatan operasional dalam pembuatan instruksi Setelmen
Dana di RPP dan melakukan kegiatan operasional lainnya yang
bersifat lokal, namun tidak dapat mengirimkan instruksi ke
RCN.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penggelolaan akses connected user antara lain:
1. penetapan hak akses bagi connected user terhadap menu
di RPP; dan
2. penetapan role dan limit bagi connected user.
Huruf b
Pengelolaan pendaftaran dan akses unconnected user antara
lain:
1. pendaftaran dan penyesuaian unconnected user;
2. penetapan security level bagi unconnected user;
3. penetapan hak akses bagi unconnected user terhadap
menu di RPP; dan
4. penetapan role dan limit bagi unconnected user.
Huruf c
Cukup jelas.
25
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Huruf a
Digital certificate hard token disimpan di dalam media flash
drive.
Huruf b
Digital certificate soft token disimpan di dalam media compact
disc (CD) atau media lain yang akan diinstalasi pada server
RPP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas.
26
Ayat (2)
Contoh pertimbangan lain penghapusan connected user Sistem
BI-RTGS payment gateway (RPG) dan/atau Sistem BI-RTGS
straight-through processing gateway (RSTPG) yaitu penghapusan
yang dikarenakan connected user mengalami kerusakan atau
terdapat potensi penyalahgunaan (fraud).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Huruf a
Yang dimaksud dengan penetapan pelaksana treasury single
account (TSA) adalah penetapan Bank sebagai bank operasional
untuk pengeluaran dan/atau bank persepsi untuk penerimaan,
sebagai mitra Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk pelaksanaan
treasury single account (TSA).
27
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh informasi yang diisi antara lain pada field 70 (Remittance
Information) dan field 72 (Sender to Receiver Information).
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Transaksi untuk setelmen SBN dalam valuta asing antara
lain:
1.
transaksi antara Peserta dengan Bank Indonesia untuk
kepentingan pemerintah atas hasil lelang, pembayaran
bunga/kupon atau imbalan, dan/atau pelunasan pokok
atau nilai nominal SBN dalam valuta asing; dan
2.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
transaksi SBN antar-Peserta di pasar sekunder dalam
valuta asing melalui BI-SSSS.
28
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penggunaan subrekening untuk keperluan lainnya antara lain
pencadangan dana untuk Setelmen Dana.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โoffsettingโ adalah bilateral offsetting
dan multilateral offsetting.
Bilateral offsetting digunakan untuk melakukan Setelmen
Dana melalui mekanisme offsetting secara bilateral dengan
transaksi lawan yang berada dalam mekanisme antrean.
Adapun jenis transaksi yang Setelmen Dananya dapat
dilakukan dengan mekanisme bilateral offsetting yaitu
transaksi dengan grup normal.
29
Multilateral offsetting digunakan untuk melakukan Setelmen
Dana atas transaksi yang berada dalam mekanisme antrean
melalui mekanisme offsetting secara multilateral.
Jenis transaksi yang Setelmen Dananya dapat dilakukan
dengan mekanisme multilateral offsetting adalah transaksi
dengan grup high priority, grup priority, dan grup normal.
Transaksi dalam mekanisme antrean yang sedang diproses
dengan mekanisme multilateral offsetting tidak dapat dilakukan
perubahan prioritas (reprioritization), perubahan urutan
(reordering), dan pembatalan (cancellation) oleh Peserta.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh perhitungan total saldo pada Rekening Setelmen Dana:
a. saldo Rekening Giro dalam rupiah Peserta adalah sebesar
Rp100.000,00.
b. saldo dana pada subrekening untuk transaksi PvP sebesar
Rp20.000,00.
Total saldo yang tertulis adalah Rp100.000,00, namun saldo yang
efektif dapat digunakan untuk transaksi adalah Rp100.000,00 -
Rp20.000,00 = Rp80.000,00.
Pasal 102
Ayat (1)
Huruf a
Instruksi Setelmen Dana single credit adalah Transfer Dana
yang hanya berisi 1 (satu) instruksi Setelmen Dana untuk
diteruskan ke Rekening Setelmen Dana Peserta penerima,
baik untuk kepentingan Peserta penerima maupun untuk
kepentingan penerima dana yang disebutkan dalam
instruksi Setelmen Dana.
30
Huruf b
Instruksi Setelmen Dana multiple credit adalah Transfer
Dana yang berisi lebih dari 1 (satu) dan paling banyak 10
(sepuluh) instruksi Setelmen Dana untuk diteruskan ke
beberapa rekening nasabah penerima pada 1 (satu) Peserta
penerima.
Huruf c
Instruksi Setelmen Dana single debit adalah Transfer Dana
yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang berisi 1 (satu)
instruksi Setelmen Dana untuk mendebit Rekening Setelmen
Dana Peserta baik untuk kepentingan Bank Indonesia
maupun untuk kepentingan penerima dana yang disebutkan
dalam instruksi Setelmen Dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Yang dimaksud dengan โdana yang cukupโ termasuk
memperhitungkan kecukupan FLI.
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Transaksi yang dilakukan untuk kepentingan Bank Indonesia
antara lain transaksi untuk operasi moneter, operasi moneter
syariah, pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP), dan transaksi
surat berharga negara untuk dan atas nama pemerintah.
31
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 106
Huruf a
Transaksi yang termasuk dalam grup high priority antara lain
transaksi dari Peserta kepada instansi pemerintah atau
sebaliknya, transaksi dari Bank Indonesia kepada Peserta, dan
transaksi penyelesaian akhir hasil Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI).
Grup high priority terdiri atas angka prioritas 1-10. Peserta
menentukan sendiri angka prioritas untuk masing-masing
transaksi dan dalam hal tidak ditentukan oleh Peserta maka
angka prioritas standar (default) adalah 5.
Huruf b
Transaksi yang termasuk dalam grup priority antara lain
transaksi untuk penyelesaian akhir Setelmen Dana atas transaksi
surat berharga yang ditatausahakan di BI-SSSS.
Grup priority terdiri dari angka prioritas 11-50. Peserta
menentukan sendiri angka prioritas untuk masing-masing
transaksi dan dalam hal tidak ditentukan oleh Peserta maka
angka prioritas standar (default) adalah 30.
Huruf c
Transaksi yang termasuk dalam grup normal antara lain
transaksi antarnasabah Peserta dan transaksi antar-Peserta.
Grup normal terdiri dari angka prioritas 51-98. Peserta
menentukan sendiri angka prioritas untuk masing-masing
transaksi dan dalam hal tidak ditentukan oleh Peserta maka
angka prioritas standar (default) adalah 70.
Huruf d
Transaksi yang termasuk dalam grup settle or reject akan
langsung ditolak oleh sistem tanpa melalui mekanisme antrean
apabila dana pada Rekening Setelmen Dana Peserta tidak
mencukupi.
Grup settle or reject menggunakan angka prioritas 99.
32
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
33
Angka 2
Dokumen elektronik atau hasil olahan komputer dari
Sistem BI-RTGS antara lain berupa:
a)
instruksi Setelmen Dana yang terdiri atas
dokumen asli message type (MT) 102, message type
(MT)103, dan message type (MT) 202 untuk Peserta
pengirim dan salinan message type (MT) 102,
message type (MT) 103, dan message type (MT) 202
untuk Peserta penerima; dan/atau
b) konfirmasi Setelmen Dana yang terdiri atas debit
confirmation message type (MT) 900 untuk Peserta
yang rekeningnya didebit dan credit confirmation
message type (MT) 910 untuk Peserta yang
rekeningnya dikredit.
Huruf b
Laporan rekening koran yang memuat informasi saldo dan
mutasi Setelmen Dana yaitu berupa message type (MT) 940
dan message type (MT) 950.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Yang dimaksud dengan โthroughput guidelineโ adalah pedoman
mengenai target penyelesaian bertahap yang berupa persentase
tahapan dari total nominal atas transaksi Setelmen Dana dalam 1
(satu) hari operasional.
Pasal 120
Cukup jelas.
34
Pasal 121
Ayat (1)
Huruf a
Bilateral limit merupakan batas likuiditas yang dapat
digunakan untuk Setelmen Dana atas transaksi dengan 1
(satu) Peserta tertentu.
Huruf b
Multilateral limit merupakan batas likuiditas yang dapat
digunakan untuk Setelmen Dana atas transaksi dengan
beberapa Peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Batas waktu paling awal (earliest time) digunakan dalam hal
Peserta akan menetapkan batas waktu awal transaksi akan
mulai dilakukan proses Setelmen Dana.
Huruf b
Batas waktu paling akhir (latest time) digunakan dalam hal
Peserta akan menetapkan batas waktu notifikasi atas
transaksi dalam mekanisme antrean.
Huruf c
Batas waktu pembatalan (reject time) digunakan dalam hal
Peserta akan menetapkan batas waktu pembatalan transaksi
dalam mekanisme antrean oleh sistem.
Ayat (3)
Cukup jelas.
35
Pasal 124
Yang dimaksud dengan โgridlockโ adalah suatu kondisi dimana terjadi
kemacetan Setelmen Dana secara menyeluruh (systemic) karena
transaksi Peserta yang berada dalam mekanisme antrean tidak dapat
diselesaikan sampai dengan kondisi tertentu sesuai dengan kriteria
yang ditetapkan Penyelenggara.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Huruf a
Angka 1
Biaya pengiriman instruksi Setelmen Dana atas transaksi
single credit mencakup instruksi yang lolos validasi atau
berhasil dilakukan setelmen maupun yang tidak lolos
validasi.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Biaya pengiriman instruksi Setelmen Dana atas transaksi multiple
credit mencakup instruksi yang lolos validasi atau berhasil
dilakukan setelmen maupun yang tidak lolos validasi.
Huruf d
Cukup jelas.
36
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penggunaan Fasilitas Guest Bank tidak dimungkinkan
antara lain karena waktu untuk menyiapkan Fasilitas Guest
Bank tidak mencukupi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
37
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โshared Sistem BI-RTGS payment
gateway (RPG)โ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank
yang disediakan Penyelenggara kepada Peserta dengan
menggunakan 1 (satu) aplikasi Sistem BI-RTGS payment
gateway (RPG) yang di-install pada 1 (satu) infrastruktur dan
dikonfigurasi untuk dapat digunakan secara bersama-sama
oleh lebih dari 1 (satu) Peserta.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โstandalone Sistem BI-RTGS payment
gateway (RPG)โ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank
yang disediakan Penyelenggara dengan 1 (satu) aplikasi Sistem
BI-RTGS payment gateway (RPG) yang di-install pada 1 (satu)
infrastruktur untuk digunakan oleh 1 (satu) Peserta.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โstandalone Sistem BI-RTGS straight-
through processing gateway (RSTPG)โ adalah metode layanan
Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara dengan 1
(satu) aplikasi Sistem BI-RTGS straight-through processing
gateway (RSTPG) yang di-install pada 1 (satu) infrastruktur
untuk digunakan oleh 1 (satu) Peserta.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โown RPPโ adalah metode layanan
Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara dalam
bentuk akses ke sistem di Penyelenggara dengan
menggunakan aplikasi RPP yang di-install pada infrastruktur
milik Peserta yang dibawa ke lokasi Fasilitas Guest Bank.
38
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Termasuk keterlambatan atau tidak terlaksananya Setelmen
Dana antara lain disebabkan oleh:
1. penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta; atau
2. penggunaan cek yang diterbitkan Bank Indonesia
dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia
oleh Peserta.
39
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh
Penyelenggara dapat diperoleh dari:
a. Peserta yang bersangkutan;
b. kegiatan operasional Peserta di Penyelenggara;
dan/atau
c. pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas inisiatif
dari Peserta antara lain laporan gangguan Sistem BI-RTGS yang
dialami Peserta.
Pasal 147
Ayat (1)
Cukup jelas.
40
Ayat (2)
Pemeriksaan langsung secara sewaktu-waktu antara lain
dilakukan berdasarkan hasil klarifikasi dan/atau konfirmasi yang
dilakukan dalam pemantauan tidak langsung.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 148
Ayat (1)
Huruf a
Informasi, data, dan/atau dokumen yang diperlukan antara
lain:
1) dokumen asli dan/atau salinan dokumen yang berupa
warkat;
2) data elektronik yang terkait dengan pelaksanaan Sistem
BI-RTGS; dan/atau
3) penjelasan atau keterangan yang terkait dengan
pelaksanaan Sistem BI-RTGS.
Huruf b
Pemeriksaan langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi
pendukung termasuk permintaan pengujian terhadap
infrastruktur Peserta yang digunakan dalam operasional
Sistem BI-RTGS.
Akses untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap
sarana fisik dan aplikasi pendukung yang terkait dengan
operasional Sistem BI-RTGS di Peserta antara lain RPP serta
interface dari dan ke sistem internal Peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
41
Pasal 149
Ayat (1)
Sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan
dikenakan antara lain dengan pertimbangan keikutsertaan
Peserta dapat mengakibatkan terganggunya keamanan Sistem BI-
RTGS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/15/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM BANK INDONESIAโREAL TIME GROSS SETTLEMENT </reg_title>
<set_date> 30 Juli 2018 </set_date>
<effective_date> 30 Juli 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '18/8/DPSP|SE-BI/2016 | kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018', '17/30/DPSP|SE-BI/2015 | kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018', '18/37/DPSP|SE-BI/2016 | kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018' </replaced_reg>
<related_reg> '17/18/PBI/2015', '19/14/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X', 'BAB V Bagian Keempat Paragraf 3 Pasal 96 Huruf f' </penalty_list>
|
1
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/8/PADG/2017
TENTANG
PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH
BAGI BANK UMUM SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas yang
dapat dialami oleh perbankan, Bank Indonesia
menyediakan pembiayaan likuiditas jangka pendek
kepada bank, termasuk pembiayaan dengan prinsip
syariah;
b. bahwa dalam rangka penyediaan pembiayaan likuiditas
jangka pendek kepada bank berdasarkan prinsip syariah
perlu diatur mekanisme dan hal-hal teknis pelaksanaan
penyediaan pembiayaan likuiditas jangka pendek
berdasarkan prinsip syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pembiayaan
Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum
Syariah.
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang
Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank
Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2
2017 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6045);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI
BANK UMUM SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Bank Indonesia.
2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut Bank
adalah bank umum syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM
adalah giro wajib minimum primer dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai giro wajib minimum bank
umum syariah.
5. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan yang
dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana
masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana
keluar dalam rupiah yang dapat membuat Bank tidak
dapat memenuhi kewajiban GWM.
3 3
6. Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah yang
selanjutnya disingkat PLJPS adalah pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada
Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek yang dialami oleh Bank.
7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai operasi moneter syariah.
8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk Negara
adalah surat berharga negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian
penyertaan terhadap aset SBSN, dalam mata uang
rupiah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
9. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk
pembiayaan dalam valuta asing.
10. Sukuk Korporasi adalah surat utang yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah oleh korporasi selain Bank
yang mengajukan permohonan PLJPS, dalam mata uang
rupiah, dan ditatausahakan di KSEI, termasuk sukuk
yang diterbitkan oleh pemerintah daerah.
11. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI-
RTGS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS.
12. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan
penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS.
4 4
BAB II
PERSYARATAN PLJPS
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek dapat mengajukan permohonan PLJPS kepada
Bank Indonesia.
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memperoleh PLJPS apabila memenuhi persyaratan:
a.
tergolong sebagai Bank solven yang tercermin dari
rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM)
bulan terkini yang memadai, dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. paling rendah sama dengan rasio KPMM
berdasarkan profil risiko terakhir sesuai
penilaian OJK sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum; dan
2. dalam hal terdapat peristiwa setelah periode
pelaporan (subsequent events) yang dapat
mempengaruhi rasio KPMM Bank maka KPMM
bulan terkini merupakan KPMM bulanan terkini
sesuai penilaian OJK yang dilengkapi dengan
informasi kondisi terakhir Bank berupa
subsequent events dimaksud;
b. memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
paling rendah 2 (dua) sesuai penilaian OJK
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan
bank umum syariah;
c. memiliki agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan
PLJPS yang memenuhi ketentuan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini; dan
d. diperkirakan mampu untuk mengembalikan PLJPS.
5 5
Pasal 3
(1) Bank mengajukan plafon PLJPS berdasarkan perkiraan
jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank
memenuhi GWM.
(2) Perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada proyeksi arus
kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak
tanggal permohonan PLJPS.
BAB III
AGUNAN PLJPS
Bagian Kesatu
Persyaratan Agunan
Pasal 4
(1) PLJPS harus dijamin dengan agunan berkualitas tinggi
berupa:
a. SBIS;
b. SBSN;
c. Sukuk Korporasi; dan/atau
d. Aset Pembiayaan.
(2) Sukuk Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c hanya dapat dijadikan agunan PLJPS dalam hal
pada saat permohonan:
a. Bank tidak memiliki SBIS dan/atau SBSN; atau
b. Bank memiliki SBIS dan/atau SBSN namun nilainya
tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS.
(3) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d hanya dapat dijadikan agunan PLJPS dalam hal
pada saat permohonan:
a. Bank tidak memiliki SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk
Korporasi; atau
b. Bank memiliki SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk
Korporasi, namun nilainya tidak mencukupi untuk
menjadi agunan PLJPS.
6 6
(4) Agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus berada dalam kondisi:
a. bebas dari segala perikatan, sengketa, dan sitaan;
dan
b.
tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau
Bank Indonesia.
(5) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau
menjaminkan kembali agunan PLJPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang masih dalam status sebagai
agunan PLJPS.
Pasal 5
Agunan PLJPS berupa SBIS dan/atau SBSN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 110 (seratus
sepuluh) hari kalender sejak tanggal penandatanganan
akta perjanjian pemberian PLJPS; dan
b. khusus untuk agunan berupa SBSN dipersyaratkan
dapat diperdagangkan.
Pasal 6
(1) Agunan PLJPS berupa Sukuk Korporasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat paling rendah 3 (tiga) peringkat
(notch) teratas pada 1 (satu) tahun terakhir
berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat
yang diakui oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai lembaga
pemeringkat;
b. aktif diperdagangkan yaitu pernah diperdagangkan
dalam 30 (tiga puluh) hari kalender terakhir; dan
c. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 180
(seratus delapan puluh) hari kalender sejak tanggal
penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS.
7 7
(2) Contoh peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui
oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 7
Agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. merupakan pembiayaan dengan akad mudharabah,
akad musyarakah, dan/atau akad ijarah nonjasa;
b.
c.
d.
kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas)
bulan terakhir berturut-turut;
bukan merupakan pembiayaan konsumsi kecuali
pembiayaan pemilikan rumah;
dijamin dengan agunan tanah dan bangunan dan/atau
tanah dengan nilai paling rendah 110% (seratus
sepuluh persen) dari plafon pembiayaan;
e.
f.
g.
bukan merupakan pembiayaan kepada pihak terkait
Bank;
tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga)
tahun terakhir;
sisa jangka waktu jatuh waktu pembiayaan paling
singkat 9 (sembilan) bulan sejak tanggal
penandatanganan perjanjian pemberian PLJPS;
h.
saldo pokok pembiayaan tidak melebihi batas
maksimum penyaluran dana pada saat diberikan dan
tidak melebihi plafon pembiayaan;
i.
j.
memiliki akad pembiayaan serta pengikatan agunan
yang mempunyai kekuatan hukum;
telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau
audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling
lama 1 (satu) tahun terakhir;
k.
dalam akad pembiayaan antara Bank dan nasabah
tercantum klausul bahwa pembiayaan dapat dialihkan
kepada pihak lain; dan
8 8
l.
telah tercantum dalam laporan daftar Aset Pembiayaan
terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank
Indonesia.
Pasal 8
(1) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
agunan lain setelah agunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) mencukupi.
(2) Agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. saham Bank yang menerima PLJPS milik pemegang
saham pengendali;
b. personal guarantee dan/atau corporate guarantee
dari pemegang saham pengendali;
c. aset tetap milik Bank yang menerima PLJPS;
dan/atau
d. agunan lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 9
Pengikatan agunan PLJPS dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. pengikatan agunan berupa surat berharga syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf c dilakukan dengan akta gadai; dan
b. pengikatan agunan berupa Aset Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
dilakukan dengan akta fidusia.
Bagian Kedua
Perhitungan Nilai Agunan PLJPS
Pasal 10
(1) Nilai agunan PLJPS berupa SBIS dan SBSN ditetapkan
sebagai berikut:
a. nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar 100%
(seratus persen) dari plafon PLJPS yang dihitung
berdasarkan nilai nominal SBIS;
9 9
b. nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling rendah
sebesar 106,5% (seratus enam koma lima persen)
dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai
pasar SBSN.
(2) Nilai agunan PLJPS berupa Sukuk Korporasi ditetapkan
sebagai berikut:
a. 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon PLJPS
yang dijamin dengan Sukuk Korporasi yang
diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dan/atau dijamin oleh pemerintah pusat, dengan
peringkat teratas berdasarkan penilaian lembaga
pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung
berdasarkan nilai pasar dari Sukuk Korporasi;
b. 135% (seratus tiga puluh lima persen) dari plafon
PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi yang
diterbitkan oleh selain BUMN dan/atau dijamin
selain oleh pemerintah pusat, dengan peringkat
teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat
yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan
nilai pasar dari Sukuk Korporasi;
c. 140% (seratus empat puluh persen) dari plafon
PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi,
dengan peringkat ke-2 teratas berdasarkan penilaian
lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang
dihitung berdasarkan nilai pasar dari Sukuk
Korporasi; dan
d. 145% (seratus empat puluh lima persen) dari plafon
PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi,
dengan peringkat ke-3 teratas berdasarkan penilaian
lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang
dihitung berdasarkan nilai pasar dari Sukuk
Korporasi.
(3) Nilai agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan ditetapkan
paling rendah sebesar 200% (dua ratus persen) dari
plafon PLJPS yang dijamin dengan Aset Pembiayaan dan
dihitung berdasarkan saldo pokok Aset Pembiayaan.
10 10
Pasal 11
(1) Cara perhitungan nilai agunan PLJPS berupa surat
berharga syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:
a. pada saat permohonan PLJPS, nilai surat berharga
syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2
(dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan PLJPS;
b. pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan
yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJPS;
c. pada saat permohonan penambahan plafon PLJPS,
nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu
nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
permohonan penambahan plafon PLJPS;
d. pada saat permohonan penurunan plafon PLJPS,
nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu
nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
permohonan penurunan plafon PLJPS;
e. pada saat penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan
PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan
yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian
PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS; dan
f. pada saat penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJPS, nilai surat berharga
syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2
(dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan
akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan
akta perubahan pengikatan agunan PLJPS.
(2) Nilai surat berharga syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan data
sebagai berikut:
11 11
a. untuk surat berharga syariah berupa SBIS
menggunakan data nilai nominal yang tercantum
dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
operasi moneter syariah;
b. untuk surat berharga syariah berupa SBSN
menggunakan data nilai pasar yang tercantum
dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
operasi moneter syariah; dan
c. untuk surat berharga syariah berupa Sukuk
Korporasi menggunakan nilai pasar yang tercantum
dalam harga publikasi terakhir yang tersedia pada
lembaga yang melakukan penilaian harga efek yang
diakui oleh OJK.
(3) Cara perhitungan nilai agunan PLJPS berupa Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(3) ditetapkan sebagai berikut:
a. pada saat permohonan PLJPS, nilai saldo pokok Aset
Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi
2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan
PLJPS;
b. pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJPS, nilai saldo pokok Aset Pembiayaan yang
digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja
sebelum tanggal permohonan perpanjangan jangka
waktu PLJPS;
c. pada saat penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan
PLJPS, nilai saldo pokok Aset Pembiayaan yang
digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja
sebelum tanggal penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan
PLJPS; dan
d. pada saat penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJPS, nilai saldo pokok Aset
12 12
Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi
2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan
akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan
akta perubahan pengikatan agunan PLJPS.
(4) Nilai saldo pokok Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan menggunakan
data yang tercantum dalam catatan pembukuan Bank.
Pasal 12
Contoh untuk perhitungan nilai agunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Ketiga
Pelaporan Berkala Daftar Aset Pembiayaan
Pasal 13
(1) Bank harus memelihara dan menatausahakan daftar
Aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan agunan
PLJPS dan dialokasikan untuk menjadi agunan PLJPS.
(2) Pemeliharaan dan penatausahaan daftar Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan PLJPS
dengan agunan berupa Aset Pembiayaan.
(3) Bank menyampaikan laporan daftar Aset Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala
kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali untuk posisi
akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember, paling
lambat tanggal 15 setelah posisi akhir bulan
bersangkutan termasuk koreksi laporan.
(5) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sampai dengan batas waktu
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak
dapat mengajukan PLJPS dengan agunan Aset
13 13
Pembiayaan sampai dengan periode pelaporan
berikutnya.
(6) Bank dapat memperbarui
laporan daftar Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. posisi akhir bulan Juni diperbarui dengan posisi
akhir bulan September pada tahun yang
bersangkutan dan disampaikan kepada Bank
Indonesia dengan tembusan kepada OJK paling
lambat tanggal 15 Oktober; dan
b. posisi akhir bulan Desember diperbarui dengan
posisi akhir bulan Maret pada tahun berikutnya dan
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
tembusan kepada OJK paling lambat tanggal 15
April.
Pasal 14
(1) Penyampaian laporan daftar Aset Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan
melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank harus memastikan keamanan penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal Bank tidak berhasil melakukan pengiriman
laporan daftar Aset Pembiayaan melalui sarana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus
menyampaikan laporan tersebut melalui surat dengan
melampirkan soft copy daftar Aset Pembiayaan kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10350 paling lambat pukul 16.00 waktu Indonesia barat
(WIB), dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen
Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor
OJK yang terkait.
(4) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul
14 14
16.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat.
(5) Laporan daftar Aset Pembiayaan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Tata cara penyampaian laporan daftar Aset Pembiayaan
adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 15
(1) Bank harus mendaftarkan petugas Bank yang diberikan
kewenangan untuk menyusun dan menyampaikan
laporan daftar Aset Pembiayaan untuk mendapatkan
akses pelaporan,
termasuk apabila terdapat
perubahannya kepada Bank Indonesia.
(2) Pendaftaran petugas Bank termasuk perubahannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350.
Pasal 16
Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan
dokumen pendukung dari Aset Pembiayaan yang dilaporkan
dalam laporan daftar Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
15 15
BAB IV
PERMOHONAN PLJPS
Bagian Kesatu
Permohonan PLJPS
Pasal 17
(1) Permohonan PLJPS diajukan oleh Bank melalui surat
dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran
V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Surat permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh direksi Bank dan diketahui
oleh dewan komisaris Bank yang berwenang.
(3) Permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank
Indonesia.
(4) Permohonan PLJPS diajukan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada
OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor
Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait.
(5) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(6) Bank dapat mengajukan permohonan PLJPS pada setiap
hari kerja dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal surat Bank diterima Bank Indonesia sampai
dengan pukul 12.00 WIB, Bank Indonesia akan
memproses PLJPS pada hari yang bersangkutan; dan
b. dalam hal surat Bank diterima Bank Indonesia setelah
pukul 12.00 WIB, Bank Indonesia akan memproses
PLJPS pada hari kerja berikutnya,
setelah dokumen permohonan PLJPS diterima secara
lengkap.
16 16
Pasal 18
Dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (3) terdiri atas:
a. surat pernyataan yang ditandatangani oleh direksi Bank
yang berwenang, yang memuat hal sebagai berikut:
1. pernyataan mengenai Bank mengalami Kesulitan
Likuiditas Jangka Pendek yang disertai dengan:
a) penjelasan mengenai penyebab Kesulitan
Likuiditas Jangka Pendek; dan
b) upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi
Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek;
2. pernyataan mengenai seluruh aset yang menjadi
agunan PLJPS:
a) berada dalam kondisi bebas dari segala
perikatan, sengketa, dan sitaan;
b)
tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau
Bank Indonesia;
c) memenuhi seluruh persyaratan sebagai agunan
PLJPS sesuai dengan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
d)
tidak akan diperjualbelikan dan/atau
dijaminkan kembali kepada pihak lain selama
masih dalam status sebagai agunan PLJPS;
3. pernyataan mengenai kesanggupan Bank untuk
membayar kewajiban PLJPS; dan
4. pernyataan mengenai kebenaran data dan/atau
dokumen yang disampaikan dan kesanggupan Bank
untuk menyampaikan data dan/atau dokumen lain
yang diminta oleh Bank Indonesia,
dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling
sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga
puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJPS
dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran
17 17
VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
c. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS berupa:
1. SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan
2. Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini;
d. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah menjadi
objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor
akuntan publik yang dikeluarkan dan/atau
ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang
melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat
agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan;
e. surat persetujuan dari pihak yang berwenang sesuai
dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga
Bank dan ketentuan peraturan perundang-undangan,
mengenai permohonan PLJPS dan/atau penggunaan aset
Bank sebagai agunan PLJPS;
f. dokumen anggaran dasar atau anggaran rumah tangga
Bank termasuk perubahannya;
g. daftar seluruh surat berharga syariah yang dimiliki
dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan
h. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Bank Indonesia memberikan PLJPS untuk jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kalender untuk setiap
periode pemberian PLJPS.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku efektif sejak tanggal aktivasi pemberian PLJPS
oleh Bank Indonesia.
18 18
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diperpanjang secara berturut-turut untuk jangka
waktu PLJPS keseluruhan paling lama 90 (sembilan
puluh) hari kalender.
Bagian Kedua
Koordinasi dengan OJK
Pasal 20
(1) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka
menindaklanjuti permohonan PLJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 melalui:
a. permintaan informasi dari OJK mengenai kondisi
Bank yang mengajukan PLJPS, yang meliputi
pemenuhan persyaratan:
1. solvabilitas; dan
2.
tingkat kesehatan Bank; dan
b. pelaksanaan penilaian bersama mengenai
pemenuhan persyaratan agunan dan perkiraan
kemampuan Bank untuk mengembalikan PLJPS.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dilaksanakan
dalam rangka menindaklanjuti
permohonan Bank terkait perpanjangan jangka waktu
PLJPS, penambahan plafon PLJPS, dan/atau penurunan
plafon PLJPS.
Bagian Ketiga
Tindak Lanjut Persetujuan atas Permohonan PLJPS
Pasal 21
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan PLJPS melalui surat kepada Bank
dengan tembusan kepada OJK.
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut:
19 19
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;
b. kelengkapan dokumen permohonan PLJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; dan
c. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan
likuiditas Bank.
(3) Dalam hal permohonan PLJPS disetujui, maka
berdasarkan surat persetujuan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus
melakukan hal sebagai berikut:
a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan PLJPS;
b. menunjuk notaris;
c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
perjanjian pemberian PLJPS melalui notaris dengan
contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran X
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
d. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
pengikatan agunan PLJPS melalui notaris dengan
contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI
untuk agunan berupa surat berharga syariah dan
Lampiran XII untuk agunan berupa Aset
Pembiayaan, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
e. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dalam hal diperlukan.
(4) Dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a untuk
agunan berupa surat berharga syariah meliputi:
a. daftar surat berharga syariah yang diagunkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c
angka 1; dan
b. hasil pemeringkatan Sukuk Korporasi yang
diterbitkan oleh paling sedikit 1 (satu) lembaga
20 20
pemeringkat yang diakui oleh OJK apabila terdapat
agunan berupa Sukuk Korporasi dan hasil
pemeringkatan tersebut belum melebihi 1 (satu)
tahun sampai dengan tanggal permohonan PLJPS.
(5) Dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a untuk
agunan berupa Aset Pembiayaan meliputi:
a. daftar Aset Pembiayaan yang diagunkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c
angka 2;
b. dokumen asli akad pembiayaan antara Bank dan
nasabah beserta seluruh perubahannya;
c. dokumen asli pengikatan agunan atas akad
pembiayaan yang mempunyai kekuatan hukum
antara Bank dan nasabah beserta seluruh
perubahannya;
d. dokumen asli bukti kepemilikan agunan yang
menjadi jaminan pembiayaan Bank;
e. dokumen asli hasil penilaian agunan Aset
Pembiayaan oleh penilai independen;
f. dokumen asli polis asuransi agunan Aset
Pembiayaan yang dijamin dengan tanah dan
bangunan; dan
g. dokumen lain yang terkait dengan agunan PLJPS
berupa Aset Pembiayaan yang diminta oleh Bank
Indonesia.
(6) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,
huruf c, dan huruf d disampaikan kepada Bank
Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan
paling lambat pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank.
(7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d
disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor
21 21
Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 1 (satu) hari
kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
Bank.
(8) Dokumen yang terkait dengan agunan lain dalam hal
diminta oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf e meliputi:
a. bukti kepemilikan saham dari pemegang saham
pengendali yang akan diikat dengan akta gadai
dalam hal agunan lain berupa saham Bank milik
pemegang saham pengendali dari Bank yang
menerima PLJPS;
b.
rancangan akta notariil
personal guarantee
dan/atau corporate guarantee yang disertai daftar
aset milik pemegang saham pengendali dalam hal
agunan lain berupa personal guarantee dan/atau
corporate guarantee dari pemegang saham
pengendali dari Bank yang menerima PLJPS; dan
c. dokumen asli bukti kepemilikan aset tetap dalam hal
agunan lain berupa aset tetap milik Bank yang
menerima PLJPS yang akan diikat dengan hak
tanggungan.
(9) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e
disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00
WIB pada 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan
akta perjanjian pemberian PLJPS.
(10) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf e disampaikan kepada
Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling
lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat pada 2 (dua) hari kerja sebelum
penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS.
22
Pasal 22
Mekanisme pengagunan agunan PLJPS berupa surat berharga
syariah dilakukan sebagai berikut:
a. untuk surat berharga syariah berupa SBIS dan/atau
SBSN:
1. Bank sebagai pemberi agunan dan Bank Indonesia
sebagai penerima agunan melakukan pengagunan
surat berharga syariah pada BI-SSSS paling lambat
1 (satu) hari kerja setelah surat persetujuan PLJPS
diterima oleh Bank dengan mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System;
2. pengagunan surat berharga syariah sebagaimana
dimaksud pada angka 1, dilakukan untuk jangka
waktu pengagunan paling singkat 30 (tiga puluh)
hari kalender;
3. pengagunan surat berharga syariah sebagaimana
dimaksud pada angka 2 dapat diperpanjang sesuai
dengan kebutuhan sampai dengan tanggal
penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS;
4. pengagunan surat berharga syariah setelah
penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS
dilakukan untuk jangka waktu pengagunan paling
singkat 110 (seratus sepuluh) hari kalender;
5. untuk penambahan dan/atau penggantian agunan
yang dilakukan pada saat periode pemberian PLJPS
atau perpanjangan jangka waktu PLJPS, jangka
waktu pengagunan sebagaimana dimaksud pada
angka 4 dikurangi dengan jumlah hari kalender
PLJPS berjalan; dan
6.
jangka waktu pengagunan sebagaimana dimaksud
pada angka 4 dan angka 5 dapat diperpanjang
apabila diperlukan;
b. untuk surat berharga syariah berupa Sukuk Korporasi,
Bank melakukan pemindahbukuan Sukuk Korporasi ke
22
23
rekening efek Bank Indonesia di KSEI segera setelah
Bank menyampaikan daftar surat berharga syariah
sesuai dengan tata cara yang ditetapkan KSEI; dan
c. dalam hal terjadi pelunasan PLJPS maka agunan PLJPS
berupa:
1. SBIS dan SBSN pada BI-SSSS dilepas (release)
paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJPS
dilunasi; dan
2. Sukuk Korporasi pada rekening efek Bank Indonesia
di KSEI dipindahbukukan ke rekening efek Bank di
KSEI paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJPS
dilunasi.
Pasal 23
(1) Penilaian terhadap agunan PLJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dilakukan
melalui kegiatan:
a. verifikasi dokumen yang terkait agunan PLJPS;
dan/atau
b. penilaian pemenuhan persyaratan agunan PLJPS.
(2) Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga
untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terhadap agunan PLJPS berupa Aset
Pembiayaan.
(3) Dalam hal Bank Indonesia akan menggunakan jasa pihak
ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank
menunjuk pihak ketiga.
(4) Biaya yang timbul dari penggunaan jasa pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
menjadi beban Bank.
(5) Untuk mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Bank Indonesia dapat meminta dokumen
dan/atau informasi tambahan terkait agunan PLJPS
yang harus dipenuhi oleh Bank.
23
24
Pasal 24
Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian
melalui penelitian terhadap:
a. dokumen rancangan akta perjanjian pemberian PLJPS;
b. dokumen rancangan akta pengikatan agunan PLJPS; dan
c. dokumen yang terkait dengan agunan lain.
Pasal 25
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan
PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
terdapat agunan yang tidak memenuhi persyaratan
dan/atau dokumen yang terkait agunan diketahui tidak
lengkap maka agunan dimaksud tidak diperhitungkan
sebagai agunan PLJPS.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan
PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
nilai agunan PLJPS tidak mencukupi plafon PLJPS yang
telah disetujui maka Bank Indonesia menyampaikan
surat permintaan penambahan agunan kepada Bank
dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen
Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor
OJK yang terkait.
(3) Bank harus menyampaikan penambahan agunan yang
memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJPS kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 3 (tiga)
hari kerja berikutnya setelah surat permintaan
penambahan agunan dari Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diterima Bank.
(4) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, penambahan agunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat
paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan
Bank Indonesia setempat pada 3 (tiga) hari kerja
berikutnya setelah surat permintaan penambahan
24
25
agunan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diterima Bank.
(5) Dalam hal Bank tidak dapat menyampaikan tambahan
agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau
menyampaikan tambahan agunan namun nilainya tidak
mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui Bank
Indonesia, Bank Indonesia menyampaikan surat
permintaan penyediaan sumber dana lain untuk
menutup kekurangan likuditas yang tidak dapat
diperoleh dari PLJPS kepada Bank dengan tembusan
kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor
Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait.
(6) Bank harus menyediakan sumber dana lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) di rekening giro Bank di Bank
Indonesia paling lambat sampai dengan awal periode pre-
cut off Sistem BI-RTGS pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya
setelah surat permintaan penyediaan sumber dana lain
dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diterima Bank.
(7) Penyediaan sumber dana lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) disertai dengan dokumen dan/atau data
pendukung yang disampaikan paling lambat 1 (satu) hari
kerja berikutnya setelah dana tersedia di rekening giro
Bank di Bank Indonesia.
(8) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercatat di
pembukuan Bank paling singkat sampai dengan Bank
Indonesia melaksanakan aktivasi pemberian PLJPS.
(9) Dalam hal Bank dapat menyediakan sumber dana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Bank Indonesia
menurunkan plafon PLJPS sesuai dengan nilai agunan
yang tersedia.
Pasal 26
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) diketahui
bahwa:
25
26
a. agunan telah memenuhi ketentuan dan nilai agunan
mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui Bank
Indonesia; atau
b. nilai agunan yang telah memenuhi ketentuan tidak
mencukupi plafon yang telah disetujui Bank
Indonesia dan Bank dapat menyediakan sumber
dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas
yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS,
maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta
perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan
PLJPS.
(2) Penandatanganan terhadap akta perjanjian pemberian
PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia
bersama Bank yang diwakili oleh pihak Bank yang
berwenang melakukan penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS.
(3) Dalam hal terdapat agunan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 maka pengikatan agunan lain dapat
dilakukan selama periode pemberian PLJPS.
(4) Pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan agunan lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan.
Pasal 27
(1) Dalam hal setelah penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1),
diketahui dokumen Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) tidak lengkap, Bank
Indonesia tidak lagi memperhitungkan Aset Pembiayaan
dimaksud sebagai agunan PLJPS.
(2) Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyebabkan nilai agunan secara keseluruhan tidak
mencukupi plafon yang telah disetujui, Bank Indonesia
26
27
akan melakukan pembatasan pencairan sejak tanggal
aktivasi pemberian PLJPS atau selama periode PLJPS.
(3) Dalam hal Bank telah melengkapi kekurangan dokumen
Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Aset Pembiayaan tersebut akan diperhitungkan kembali
sebagai agunan PLJPS dan pencairan PLJPS dilakukan
sesuai dengan kecukupan nilai agunan.
Pasal 28
Persetujuan atas permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia
apabila:
a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (3);
b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank
Indonesia nilai agunan tidak mencukupi plafon, Bank
tidak dapat menambah agunan PLJPS dan Bank tidak
menyediakan sumber dana lain untuk menutup
kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari
PLJPS; dan/atau
c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
BAB V
PENCAIRAN PLJPS
Bagian Kesatu
Mekanisme Pencairan
Pasal 29
(1) Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan
aktivasi pemberian PLJPS kepada Bank paling lambat 1
(satu) hari kerja sebelum tanggal aktivasi yang memuat
tanggal aktivasi pemberian PLJPS dan jumlah PLJPS
yang dapat dicairkan, serta informasi lain yang terkait
dengan pencairan PLJPS.
27
28
(2) Bank dapat mengajukan permohonan pencairan PLJPS
sejak tanggal aktivasi pemberian PLJPS.
(3) Bank dapat mengajukan permohonan pencairan PLJPS
sebesar perkiraan kebutuhan Bank untuk mengatasi
Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek.
(4) Bank Indonesia dapat melakukan pencairan PLJPS 1
(satu) kali dalam 1 (satu) hari sebesar perkiraan
kebutuhan Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas
Jangka Pendek.
(5) Permohonan pencairan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan melalui surat kepada Bank Indonesia
c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada
OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor
Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait pada setiap
hari kerja paling lambat pukul 12.00 WIB selama periode
PLJPS untuk pencairan pada hari kerja berikutnya.
(6) Khusus pada tanggal aktivasi pemberian PLJPS, PLJPS
dapat dicairkan pada hari kerja yang sama, sepanjang
Bank mengajukan permohonan pencairan PLJPS paling
lambat pukul 10.00 WIB pada hari kerja yang sama.
(7) Permohonan pencairan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilampiri dokumen sebagai berikut:
a. surat sanggup bayar (promissory note) sebesar
pengajuan pencairan yang ditandatangani oleh
direksi Bank yang berwenang dengan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
b. proyeksi arus kas berupa rincian perkiraan
kebutuhan likuiditas Bank yang mencerminkan
kebutuhan pencairan di hari yang bersangkutan
sampai dengan Bank memenuhi GWM, dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIV
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
28
29
Pasal 30
(1) Atas permohonan pencairan PLJPS oleh Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), Bank
Indonesia melakukan pencairan PLJPS pada pagi hari
setelah Sistem BI-RTGS dibuka sepanjang Bank
memenuhi persyaratan pencairan.
(2) Khusus permohonan pencairan pada tanggal aktivasi
pemberian PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (6), Bank Indonesia melakukan pencairan PLJPS
paling lambat sebelum periode transaksi untuk nasabah
pada sistem BI-RTGS berakhir sepanjang Bank
memenuhi persyaratan pencairan.
(3) Persyaratan pencairan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) meliputi:
a. ketersediaan plafon atau sisa plafon PLJPS;
b.
terdapat kecukupan agunan;
c. Bank masih memenuhi persyaratan sebagai Bank
solven dan persyaratan tingkat kesehatan Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
a dan huruf b; dan
d.
terdapat surat permohonan pencairan dan surat
sanggup bayar
(promissory note) yang
ditandatangani oleh direksi Bank yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (7)
huruf a.
(4) Pencairan PLJPS oleh Bank Indonesia dilakukan dengan
cara mengkredit rekening giro Bank dalam rupiah di
Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Bagi Hasil PLJPS
Pasal 31
(1) Bank Indonesia memperoleh bagi hasil secara harian dari
Bank atas saldo pokok PLJPS.
(2) Dalam perhitungan bagi hasil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan nisbah bagi hasil untuk Bank
29
30
Indonesia sebesar 80% (delapan puluh persen).
(3) Bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
dengan menggunakan nisbah bagi hasil untuk Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikalikan
dengan tingkat realisasi imbalan deposito investasi
mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang
menerima PLJPS.
(4) Rumus perhitungan bagi hasil PLJPS yaitu sebagai
berikut:
X = P x R x k x t/360
Keterangan:
X : besarnya bagi hasil yang diterima Bank Indonesia
P : saldo pokok PLJPS
R : tingkat realisasi imbalan deposito investasi
mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang
menerima PLJPS
k : nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia
t
: jumlah hari kalender perhitungan bagi hasil.
(5) Contoh perhitungan bagi hasil sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) untuk 1 (satu) periode PLJPS adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB VI
PEMANTAUAN PLJPS
Bagian Kesatu
Pemantauan Agunan
Pasal 32
(1) Selama periode PLJPS, Bank harus memantau aset yang
menjadi agunan PLJPS untuk mengidentifikasi agunan
PLJPS yang mengalami kondisi sebagai berikut:
a. agunan PLJPS tidak memenuhi kondisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5);
30
31
b. Sukuk Korporasi tidak lagi memenuhi persyaratan
peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a;
c.
terdapat pelunasan atas Aset Pembiayaan oleh
nasabah Bank; dan/atau
d. Aset Pembiayaan yang diagunkan tidak lagi
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b.
(2) Pemantauan aset yang menjadi agunan PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
memastikan pemenuhan persyaratan agunan PLJPS dan
nilai agunan mencukupi plafon selama periode PLJPS.
Bagian Kedua
Penggantian Agunan PLJPS
Pasal 33
(1) Bank harus mengganti agunan PLJPS dalam periode
PLJPS apabila terdapat kondisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) sehingga nilai agunan PLJPS
mengalami penurunan dan secara keseluruhan tidak lagi
memenuhi plafon PLJPS.
(2) Penggantian agunan PLJPS diprioritaskan dengan
menggunakan agunan berupa surat berharga syariah
yang dimiliki oleh Bank yang memenuhi persyaratan
agunan PLJPS.
(3) Dalam hal surat berharga syariah yang dimiliki oleh Bank
tidak mencukupi untuk penggantian agunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penggantian
agunan dapat dilakukan dengan menggunakan surat
berharga syariah yang dimiliki oleh Bank ditambah
dengan agunan berupa Aset Pembiayaan yang memenuhi
persyaratan agunan PLJPS.
(4) Dalam hal Bank tidak memiliki surat berharga syariah
maka penggantian agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan menggunakan agunan berupa
31
32
Aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan agunan
PLJPS.
Pasal 34
(1) Dalam hal Bank melakukan penggantian agunan PLJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), Bank
menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (4) dan/atau ayat (5) yang terkait dengan
agunan pengganti kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350.
(2) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat.
Pasal 35
Selama Bank Indonesia memproses penggantian agunan
PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, pada periode
pemberian PLJPS, Bank tetap dapat mengajukan pencairan
PLJPS sepanjang terdapat plafon atau sisa plafon dan agunan
PLJPS yang mencukupi.
Pasal 36
(1) Dalam hal penggantian agunan disetujui oleh Bank
Indonesia, Bank meminta notaris untuk mempersiapkan
akta perubahan pengikatan agunan PLJPS.
(2) Penandatanganan terhadap akta perubahan pengikatan
agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Bank yang
diwakili oleh pihak Bank yang berwenang melakukan
penandatanganan akta perubahan pengikatan agunan
PLJPS.
32
33
Bagian Ketiga
Pembatasan Pencairan dan Penghentian Pencairan PLJPS
Sebelum Jatuh Waktu
Pasal 37
(1) Bank Indonesia melakukan pembatasan pencairan PLJPS
dalam hal:
a. nilai agunan PLJPS mengalami penurunan akibat
kondisi agunan PLJPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 dan Pasal 32 sehingga secara
keseluruhan nilai agunan tidak mencukupi plafon
PLJPS; dan
b. Bank tidak melakukan penggantian agunan atau
melakukan penggantian agunan namun nilai
agunan pengganti tidak mencukupi plafon PLJPS.
(2) Bank dapat mengajukan penggantian agunan setelah
Bank Indonesia melakukan pembatasan pencairan
dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 36.
Pasal 38
(1) Bank Indonesia berwenang menghentikan pencairan
PLJPS sebelum jatuh waktu dalam hal Bank:
a.
33
tidak memenuhi persyaratan solvabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
a; dan/atau
b.
tidak memenuhi persyaratan tingkat kesehatan
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b.
(2) Dalam hal Bank Indonesia melakukan penghentian
pencairan PLJPS sebelum jatuh waktu PLJPS maka Bank
Indonesia tidak melakukan pencairan PLJPS sampai
dengan jatuh waktu PLJPS meskipun terdapat
ketersediaan plafon atau sisa plafon serta agunan PLJPS
mencukupi.
34
(3) Pelunasan pokok dan bagi hasil PLJPS bagi Bank yang
dikenakan penghentian pencairan PLJPS sebelum jatuh
waktu PLJPS dilakukan pada tanggal jatuh waktu PLJPS.
BAB VII
PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PLJPS
Bagian Kesatu
Permohonan Perpanjangan Jangka Waktu PLJPS
Pasal 39
(1) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJPS kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Surat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh
direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank
yang berwenang.
(4) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan
dokumen yang dipersyaratkan Bank Indonesia.
(5) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS diajukan
kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans
Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen
Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor
OJK yang terkait.
(6) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(7) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJPS pada setiap hari kerja sampai
34
35
35
dengan pukul 12.00 WIB, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. permohonan diajukan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJPS berjalan
apabila tidak terdapat penggantian dan/atau
penambahan agunan atau terdapat penggantian
dan/atau penambahan agunan hanya berupa surat
berharga syariah;
b. permohonan diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJPS berjalan
apabila terdapat penggantian dan/atau penambahan
agunan berupa Aset Pembiayaan.
(8) Bank Indonesia
akan memproses permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJPS setelah dokumen
permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS diterima
secara lengkap.
(9) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas
paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak
tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJPS dengan format sebagaimana
tercantum
dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS
berupa:
1. SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
dan
2. Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan
36
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
c. dalam hal terdapat penggantian dan/atau
penambahan agunan berupa Aset Pembiayaan maka
harus dilengkapi dengan daftar rekapitulasi Aset
Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel
pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik
yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor
akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau
audit;
d. daftar seluruh surat berharga syariah yang dimiliki
dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya;
dan
e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
Pasal 40
(1) Untuk keperluan perpanjangan jangka waktu PLJPS,
Bank tetap dapat menggunakan agunan PLJPS pada
periode PLJPS sebelumnya sepanjang masih memenuhi
persyaratan dan kecukupan jumlah agunan PLJPS.
(2) Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan jangka waktu
PLJPS, Bank harus memastikan agunan PLJPS
mencukupi plafon PLJPS dengan memperhatikan
persyaratan dan nilai agunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7, Pasal 10, dan
Pasal 11.
(3) Persyaratan sisa jangka waktu bagi agunan yang baru
ditambahkan paling singkat memiliki jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan Pasal
6 ayat (1) huruf c dikurangi dengan jangka waktu mulai
dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS
sampai dengan jatuh waktu PLJPS berjalan.
(4) Bank harus menambah jumlah agunan yang diserahkan
untuk menjamin perpanjangan jangka waktu PLJPS
dalam hal diketahui bahwa:
36
37
a.
terdapat aset yang lebih prioritas untuk menjadi
agunan PLJPS dengan memperhatikan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan
ayat (4); dan/atau
b. nilai agunan yang telah dijaminkan tidak lagi
mencukupi plafon PLJPS.
(5) Dalam hal terjadi perpanjangan jangka waktu PLJPS dan
terdapat agunan PLJPS berupa SBIS dan/atau SBSN
yang diagunkan kembali, maka jangka waktu
pengagunan surat berharga syariah pada BI-SSSS dapat
diperpanjang apabila diperlukan.
Pasal 41
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada
OJK.
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai
berikut:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;
b.
jangka waktu PLJPS secara keseluruhan belum
melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender
berturut-turut;
c. kelengkapan dokumen permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (9); dan
d. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan
likuiditas Bank.
(3) Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJPS disetujui, maka berdasarkan surat persetujuan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank harus melakukan hal sebagai berikut:
a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
penambahan dan/atau penggantian agunan PLJPS;
37
38
b. menunjuk notaris;
c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan
rancangan akta perubahan pengikatan agunan
PLJPS melalui notaris dengan contoh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran XVII, Lampiran XVIII,
dan Lampiran XIX yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
d. melunasi bagi hasil atas PLJPS pada saat jatuh
waktu PLJPS; dan
e. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dalam hal diperlukan.
(4) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa surat
berharga syariah, Bank menyampaikan dokumen yang
terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4).
(5) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa Aset
Pembiayaan, Bank menyampaikan dokumen yang terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5).
(6) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
dan huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat
pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja berikutnya
setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima Bank.
(7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c disampaikan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat
paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan
Bank Indonesia setempat pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank.
(8) Dalam hal Bank Indonesia meminta agunan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e, Bank
38
39
menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (8).
(9) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e
disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Surveilans Sistem Keuangan paling lambat sebelum
penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian
PLJPS.
(10) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf e disampaikan kepada
Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling
lambat sebelum penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJPS.
Pasal 42
Dalam hal terdapat agunan berupa surat berharga syariah
yang baru,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
Pasal 43
(1) Penilaian terhadap tambahan agunan yang digunakan
untuk perpanjangan jangka waktu PLJPS menggunakan
mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
(2) Penilaian terhadap agunan PLJPS yang digunakan
kembali sebagai agunan untuk perpanjangan jangka
waktu PLJPS diutamakan pada penilaian kecukupan
terhadap nilai agunan.
Pasal 44
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 diketahui:
a. agunan telah memenuhi ketentuan dan nilai agunan
mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui Bank
Indonesia; atau
b. nilai agunan yang telah memenuhi ketentuan tidak
mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui Bank
Indonesia dan Bank dapat menyediakan sumber
pengagunan menggunakan mekanisme
39
40
dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas
yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS,
maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta
perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJPS.
(2) Penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian
pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan
agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Bank yang
diwakili oleh pihak Bank yang berwenang melakukan
penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian
PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS.
(3) Dalam hal terdapat agunan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 maka pengikatan agunan lain dapat
dilakukan selama periode pemberian PLJPS.
(4) Pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan agunan lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 45
(1) Dalam hal setelah penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (1), diketahui dokumen Aset Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) tidak
lengkap, Bank Indonesia tidak memperhitungkan Aset
Pembiayaan dimaksud sebagai agunan PLJPS.
(2) Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyebabkan nilai agunan secara keseluruhan tidak
mencukupi plafon yang telah disetujui, Bank Indonesia
akan melakukan pembatasan pencairan sejak periode
perpanjangan jangka waktu PLJPS dimulai atau selama
periode PLJPS.
(3) Dalam hal Bank telah melengkapi kekurangan dokumen
Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Aset Pembiayaan dimaksud akan diperhitungkan kembali
40
41
sebagai agunan PLJPS dan pencairan PLJPS dilakukan
sesuai dengan kecukupan nilai agunan.
Pasal 46
(1) Persetujuan atas permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dibatalkan oleh
Bank Indonesia apabila:
a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (3);
b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia
nilai agunan tidak mencukupi plafon dan Bank tidak
dapat menambah agunan PLJPS dan/atau Bank tidak
menyediakan sumber dana lain untuk menutup
kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari
PLJPS; dan/atau
c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
dibatalkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) maka Bank harus melunasi PLJPS pada saat jatuh
waktu.
BAB VIII
PENAMBAHAN DAN PENURUNAN PLAFON PLJPS
Bagian Kesatu
Permohonan Penambahan Plafon PLJPS
Pasal 47
(1) Bank dapat mengajukan permohonan penambahan
plafon PLJPS kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan penambahan plafon PLJPS hanya dapat
disampaikan bersamaan dengan permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (7).
(3) Permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat
41
42
dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran
XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Surat permohonan penambahan plafon PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh
direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank
yang berwenang.
(5) Permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang
dipersyaratkan Bank Indonesia.
(6) Permohonan penambahan plafon PLJPS diajukan kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350
dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen
Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor
OJK yang terkait.
(7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditembuskan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(8) Bank Indonesia akan memproses permohonan
penambahan plafon PLJPS setelah dokumen permohonan
penambahan plafon PLJPS diterima secara lengkap.
(9) Dalam rangka penambahan plafon PLJPS:
a. Bank dapat menggunakan kelebihan nilai agunan
PLJPS yang telah dijaminkan bagi PLJPS berjalan
untuk menjamin penambahan plafon PLJPS dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dan Pasal 11;
b. Bank dapat menambah agunan PLJPS dengan aset
yang memenuhi persyaratan dan nilai agunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai
dengan Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 11; dan
c. persyaratan sisa jangka waktu bagi agunan yang
baru ditambahkan paling singkat memiliki jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a
dan Pasal 6 ayat (1) huruf c dikurangi dengan jangka
42
43
waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJPS sampai dengan penandatanganan
perubahan akta perjanjian PLJPS.
Pasal 48
Dokumen permohonan penambahan plafon PLJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5) meliputi:
a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling
sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga
puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan
penambahan plafon PLJPS dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS berupa:
1. SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan
2. Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini;
c. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah menjadi
objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor
akuntan publik yang dikeluarkan atau ditandatangani
oleh
43
kantor akuntan publik yang melakukan
pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat penggantian
dan/atau penambahan agunan berupa Aset Pembiayaan;
d. daftar seluruh surat berharga syariah yang dimiliki
dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan
e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
44
Pasal 49
Dalam mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJPS yang disertai dengan penambahan plafon PLJPS,
pengaturan terkait agunan mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
Bagian Kedua
Tindak Lanjut Persetujuan atas Permohonan
Penambahan Plafon PLJPS
Pasal 50
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan penambahan plafon PLJPS melalui
surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK.
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai
berikut:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;
b.
jangka waktu PLJPS secara keseluruhan belum
melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender
berturut-turut;
c. kelengkapan dokumen permohonan penambahan
plafon PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48; dan
d. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan
likuiditas Bank.
(3) Dalam hal permohonan penambahan plafon PLJPS
disetujui, maka berdasarkan surat persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus
melakukan hal sebagai berikut:
a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
penambahan dan/atau penggantian agunan PLJPS;
b. menunjuk notaris;
c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta
44
45
perubahan pengikatan agunan PLJPS melalui
notaris dengan contoh sebagaimana
tercantum
dalam Lampiran XVII, Lampiran XVIII, dan Lampiran
XIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan
d. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dalam hal diperlukan.
(4) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa surat
berharga syariah, Bank menyampaikan dokumen yang
terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4).
(5) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa Aset
Pembiayaan, Bank menyampaikan dokumen yang terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5).
(6) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
dan huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat
pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja berikutnya
setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima Bank.
(7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c disampaikan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat
paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan
Bank Indonesia setempat pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank.
(8) Dalam hal Bank Indonesia meminta agunan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, Bank
menyampaikan dokumen terkait agunan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (8).
(9) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d
disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00
WIB pada 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan
akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS.
45
46
(10) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf d disampaikan kepada
Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling
lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat pada 2 (dua) hari kerja sebelum
penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian
PLJPS.
Pasal 51
Dalam hal terdapat agunan berupa surat berharga syariah
yang baru,
pengagunan menggunakan mekanisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
Pasal 52
(1) Penilaian terhadap tambahan agunan yang digunakan
untuk penambahan plafon PLJPS mengacu pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
(2) Penilaian terhadap agunan PLJPS yang digunakan
kembali sebagai agunan untuk penambahan plafon
PLJPS diutamakan pada penilaian kecukupan terhadap
nilai agunan.
Pasal 53
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diketahui:
a. agunan telah memenuhi ketentuan dan nilai agunan
mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui Bank
Indonesia; atau
b. nilai agunan yang telah memenuhi ketentuan tidak
mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui Bank
Indonesia dan Bank dapat menyediakan sumber
dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas
yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS,
maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta
perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJPS.
46
47
(2) Dalam hal Bank Indonesia masih dalam proses
melakukan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal
jatuh waktu PLJPS maka penandatanganan terhadap
akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJPS hanya dilakukan
untuk perpanjangan jangka waktu PLJPS.
(3) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), penandatanganan terhadap akta perubahan
perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJPS untuk penambahan plafon
PLJPS dapat dilakukan setelah Bank Indonesia selesai
melakukan proses penilaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52.
(4) Tambahan plafon PLJPS yang disetujui akan
diakumulasikan dengan plafon PLJPS sebelumnya.
(5) Penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian
pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan
agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Bank yang
diwakili oleh pihak Bank yang berwenang melakukan
penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian
PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS.
(6) Pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 54
(1) Dalam hal setelah penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (1), diketahui dokumen Aset Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) tidak
lengkap, Bank Indonesia tidak memperhitungkan Aset
Pembiayaan dimaksud sebagai agunan PLJPS.
(2) Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyebabkan nilai agunan secara keseluruhan tidak
47
48
mencukupi plafon yang telah disetujui, Bank Indonesia
akan melakukan pembatasan pencairan sejak tanggal
aktivasi penambahan plafon PLJPS atau selama periode
PLJPS.
(3) Dalam hal Bank telah melengkapi kekurangan dokumen
Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Aset Pembiayaan dimaksud akan diperhitungkan kembali
sebagai agunan PLJPS dan pencairan PLJPS dilakukan
sesuai dengan kecukupan nilai agunan.
Pasal 55
Persetujuan atas permohonan penambahan plafon PLJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dibatalkan
oleh Bank Indonesia apabila:
a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3);
b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank
Indonesia nilai tambahan agunan tidak mencukupi
penambahan plafon PLJPS dan Bank tidak menyediakan
sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas
yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS; dan/atau
c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 56
(1) Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan
aktivasi penambahan plafon PLJPS kepada Bank paling
lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal aktivasi yang
memuat tanggal aktivasi penambahan plafon PLJPS dan
jumlah PLJPS yang dapat dicairkan, serta informasi lain
yang terkait dengan pencairan PLJPS.
(2) Bank dapat mengajukan permohonan pencairan
tambahan plafon PLJPS sejak tanggal aktivasi
penambahan plafon PLJPS.
48
49
(3) Pencairan tambahan plafon PLJPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menggunakan mekanisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30.
Pasal 57
Dalam hal permohonan Bank untuk penambahan plafon
PLJPS telah disetujui namun belum dilakukan aktivasi, Bank
dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJPS untuk periode berikutnya dengan plafon PLJPS
sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan Bank
Indonesia sesuai dengan ketentuan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Bagian Ketiga
Permohonan Penurunan Plafon PLJPS
Pasal 58
(1) Bank dapat mengajukan permohonan penurunan plafon
PLJPS kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan penurunan plafon PLJPS hanya dapat
disampaikan bersamaan dengan permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (7).
(3) Permohonan penurunan plafon PLJPS didasarkan pada
kebutuhan likuiditas Bank sampai dengan Bank
memenuhi GWM sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum,
yang didukung dengan proyeksi arus kas.
(4) Permohonan penurunan plafon PLJPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat
dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran
XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(5) Surat permohonan penurunan plafon PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh
49
50
direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank
yang berwenang.
(6) Permohonan penurunan plafon PLJPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang
dipersyaratkan Bank Indonesia.
(7) Permohonan penurunan plafon PLJPS diajukan kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350
dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen
Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor
OJK yang terkait.
(8) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditembuskan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(9) Bank Indonesia akan memproses permohonan
penurunan plafon PLJPS setelah dokumen permohonan
penurunan plafon PLJPS diterima secara lengkap.
Pasal 59
(1) Proses penurunan plafon PLJPS dilakukan sesuai dengan
proses perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 46.
(2) Dalam proses penurunan plafon PLJPS Bank dapat
melakukan penarikan agunan sepanjang memenuhi
ketentuan mengenai agunan dan kecukupan nilai
agunan.
50
51
BAB IX
PELUNASAN PLJPS
Bagian Kesatu
Pelunasan Sebagian atau Keseluruhan Saldo Pokok PLJPS
Selama Periode PLJPS
Pasal 60
(1) Bank Indonesia melakukan pendebitan rekening giro
Bank dalam rupiah di Bank Indonesia apabila saldo
rekening giro Bank tersebut pada periode PLJPS
jumlahnya melebihi kewajiban GWM ditambah 10%
(sepuluh persen) dari kewajiban GWM sebagai pelunasan
sebagian atau keseluruhan saldo pokok PLJPS.
(2) Pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling tinggi sebesar nilai terendah antara
saldo pokok PLJPS dan kelebihan saldo rekening giro
Bank dalam rupiah dari kewajiban GWM ditambah 10%
(sepuluh persen) dari kewajiban GWM.
(3) Pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat Sistem BI-RTGS dibuka pada hari
berikutnya.
Bagian Kedua
Pelunasan Sebelum PLJPS Jatuh Waktu
Pasal 61
(1) Bank dapat mengajukan permohonan pelunasan PLJPS
sebelum PLJPS jatuh waktu.
(2) Pelunasan sebelum PLJPS jatuh waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendebit
rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia
sebesar kewajiban PLJPS.
(3) Permohonan pelunasan sebelum PLJPS jatuh waktu
diajukan oleh Bank paling lambat 2 (dua) hari kerja
sebelum rencana pelunasan.
51
52
(4) Permohonan pelunasan sebelum PLJPS jatuh waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XXI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(5) Permohonan pelunasan sebelum PLJPS jatuh waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350
dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen
Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor
OJK yang terkait.
(6) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan pelunasan
sebelum PLJPS jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat.
(7) Bank Indonesia menginformasikan kepada Bank jumlah
kewajiban PLJPS yang meliputi saldo pokok (outstanding),
bagi hasil PLJPS, dan biaya terkait dengan pemberian
PLJPS paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal
pelunasan.
(8) Bank Indonesia akan mendebit rekening giro Bank dalam
rupiah di Bank Indonesia pada saat Sistem BI-RTGS
dibuka pada tanggal pelunasan yang ditetapkan dengan
urutan pendebitan bagi hasil, kemudian saldo pokok
(outstanding) PLJPS, dan terakhir biaya terkait dengan
pemberian PLJPS.
(9) Dalam hal pada tanggal pelunasan yang direncanakan
saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia
tidak mencukupi untuk pembayaran kewajiban PLJPS
maka pelunasan PLJPS dilakukan pada saat jatuh
waktu.
52
53
Bagian Ketiga
Pelunasan PLJPS Pada Saat Jatuh Waktu
Pasal 62
(1) Bank wajib melunasi seluruh kewajiban PLJPS pada
tanggal jatuh waktu PLJPS.
(2) Bank Indonesia akan menginformasikan kepada Bank
pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu
PLJPS mengenai jumlah kewajiban PLJPS yang meliputi
pokok dan bagi hasil termasuk dalam hal terdapat biaya
terkait dengan pemberian PLJPS yang harus dibayar
Bank.
(3) Bank Indonesia mendebit rekening giro Bank dalam
rupiah di Bank Indonesia untuk pembayaran kewajiban
PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada tanggal
jatuh waktu PLJPS.
(4) Bank Indonesia dapat mendebit rekening giro Bank
dalam rupiah di Bank Indonesia dalam hal terdapat biaya
lain terkait dengan pemberian PLJPS yang timbul atau
ditagihkan oleh pihak lain setelah Bank melunasi PLJPS.
(5) Dalam hal jatuh waktu PLJPS bertepatan pada hari
Sabtu, hari Minggu, hari libur, atau pada hari kerja yang
kemudian ditetapkan sebagai hari libur maka pendebitan
saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia
dilakukan pada hari kerja berikutnya
memperhitungkan bagi hasil PLJPS pada hari tersebut.
(6) Dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas
pada hari libur atau cuti bersama, dimana Bank
Indonesia mengoperasikan Sistem BI-RTGS dan Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) maka hari
tersebut termasuk sebagai hari kerja.
(7) Bank Indonesia melakukan pendebitan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) pada saat buka Sistem BI-RTGS.
Pasal 63
Dalam hal pelunasan kewajiban PLJPS pada tanggal jatuh
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 telah
53
tanpa
54
54
dilakukan, Bank Indonesia menyampaikan surat kepada Bank
yang menginformasikan bahwa kewajiban PLJPS telah
dilunasi Bank dengan tembusan kepada OJK c.q.
Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau
Kantor OJK yang terkait.
Pasal 64
(1) Bank Indonesia mengembalikan agunan PLJPS kepada
Bank setelah kewajiban PLJPS dilunasi.
(2) Mekanisme pengembalian agunan PLJPS kepada Bank
diatur sebagai berikut:
a. untuk agunan berupa SBIS dan SBSN dilakukan
dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 huruf c angka 1;
b. untuk agunan berupa Sukuk Korporasi dilakukan
dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 huruf c angka 2; dan
c. untuk agunan berupa Aset Pembiayaan dilakukan
dengan mekanisme sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan,
setelah tanggal surat pemberitahuan lunas dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
Bagian Keempat
Kewajiban Membayar (Gharamah Maliyah)
Setelah Tanggal Jatuh Waktu
Pasal 65
(1) Dalam hal Bank belum melunasi saldo pokok PLJPS
pada saat jatuh waktu, Bank dikenakan kewajiban
membayar (gharamah maliyah).
(2) Pengenaan kewajiban membayar (gharamah maliyah)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai
dengan Bank melunasi saldo pokok PLJPS yang belum
dilunasi.
55
55
(3) Kewajiban membayar (gharamah maliyah) dihitung
secara harian dari saldo pokok PLJPS yang belum
dilunasi.
(4) Dalam perhitungan kewajiban membayar (gharamah
maliyah) ditetapkan nisbah bagi hasil untuk Bank
Indonesia sebesar 80% (delapan puluh persen).
(5) Kewajiban membayar (gharamah maliyah) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan
nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dikalikan dengan tingkat
realisasi imbalan deposito investasi mudharabah
sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPS.
(6) Rumus perhitungan kewajiban membayar (gharamah
maliyah) PLJPS yaitu sebagai berikut:
G = P x R x k x t/360
Keterangan:
G : besarnya kewajiban membayar (gharamah maliyah)
yang diterima Bank Indonesia
P : saldo pokok PLJPS
R : tingkat realisasi imbalan deposito investasi
mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang
menerima PLJPS
k : nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia
t
: jumlah hari kalender perhitungan kewajiban
membayar (gharamah maliyah).
(7) Contoh perhitungan kewajiban membayar (gharamah
maliyah) tercantum dalam Lampiran XXII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 66
(1) Dalam hal saldo rekening giro Bank dalam rupiah di
Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar pokok
dan bagi hasil PLJPS pada saat jatuh waktu, Bank
Indonesia melakukan tindakan sebagai berikut:
56
a. pada tanggal jatuh waktu:
1. pendebitan rekening giro Bank dalam rupiah di
Bank Indonesia yang dilakukan pada saat Sistem
BI-RTGS dibuka sebesar kewajiban PLJPS yang
belum lunas termasuk dalam hal terdapat biaya
terkait dengan pemberian PLJPS;
2. pembatasan transaksi outgoing rekening giro
Bank dalam valuta asing sejak Sistem BI-RTGS
dibuka pada tanggal jatuh waktu PLJPS; dan
3. penihilan rekening giro Bank di Bank Indonesia
baik rupiah maupun valuta asing yang dilakukan
pada periode pre cut-off Sistem BI-RTGS;
b. setelah tanggal jatuh waktu:
1. pendebitan rekening giro rupiah dan valuta asing
Bank di Bank Indonesia yang dilakukan pada
saat Sistem BI-RTGS dibuka sebesar kewajiban
PLJPS yang belum lunas termasuk dalam hal
terdapat biaya terkait dengan pemberian PLJPS;
dan
2. penihilan rekening giro Bank di Bank Indonesia
baik rupiah maupun valuta asing dari Bank yang
dilakukan pada periode pre cut-off Sistem BI-
RTGS.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan Bank Indonesia sampai dengan kewajiban
PLJPS dapat dilunasi Bank.
(3) Kurs yang digunakan dalam pendebitan rekening giro
Bank dalam valuta asing adalah kurs beli dari kurs
transaksi Bank Indonesia.
(4) Bank yang belum melakukan pelunasan PLJPS pada saat
jatuh waktu tidak dapat menggunakan surat berharga
syariah sebagai pemenuhan prefund debit sejak tanggal
jatuh waktu sampai dengan kewajiban PLJPS lunas.
56
57
Bagian Kelima
Pelaksanaan Eksekusi Agunan PLJPS
Pasal 67
(1) Dalam hal kewajiban PLJPS tidak dapat dilunasi setelah
dilakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 ayat (1) huruf a, Bank Indonesia akan melakukan
eksekusi agunan PLJPS dalam rangka pelunasan
kewajiban PLJPS Bank.
(2) Dalam rangka pelaksanaan eksekusi agunan, Bank
Indonesia menyampaikan surat kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan
Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK terkait
yang menginformasikan:
a. Bank tidak dapat melunasi kewajiban PLJPS pada
saat jatuh waktu;
b.
jumlah kewajiban PLJPS yang belum dilunasi; dan
c. Bank Indonesia akan melakukan tindak lanjut
berupa eksekusi agunan,
paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah tanggal jatuh
waktu PLJPS.
Pasal 68
(1) Bank Indonesia akan melakukan proses eksekusi agunan
berupa surat berharga syariah mulai hari kerja ke-1
setelah tanggal jatuh waktu PLJPS.
(2) Eksekusi agunan berupa SBIS dilakukan dengan cara
mencairkan SBIS sebelum jatuh waktu (early redemption)
menggunakan nilai surat berharga syariah pada posisi
tanggal jatuh waktu PLJPS.
(3) Eksekusi agunan berupa SBSN dan Sukuk Korporasi
dilakukan melalui penjualan agunan oleh pialang,
dengan pengaturan sebagai berikut:
a. calon pembeli agunan dapat merupakan bank
dan/atau pihak lain;
57
58
b. window time penjualan SBSN dan Sukuk Korporasi
dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai
dengan pukul 16.00 WIB;
c. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan
Moneter akan mengumumkan rencana penjualan
SBSN dan/atau Sukuk Korporasi kepada pialang;
d.
transaksi dilakukan melalui sarana Reuters
Monitoring Dealing System (RMDS) atau sarana
lainnya;
e. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan
Moneter akan mengumumkan pemenang kepada
pialang dan melakukan konfirmasi kepada pialang
yang penawarannya dimenangkan;
yang penawarannya
f. pialang
dimenangkan
menginformasikan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Pengelolaan Moneter antara lain hal-hal
sebagai berikut:
1. sub-registry bagi calon pembeli agunan selain
bank yang penawarannya diterima untuk
pelaksanaan setelmen SBSN;
2.
lembaga kustodian untuk calon pembeli agunan
yang penawarannya diterima untuk
pelaksanaan setelmen Sukuk Korporasi; dan
3. bank pembayar bagi calon pembeli agunan
selain bank yang penawarannya diterima untuk
pelaksanaan setelmen dana;
g. calon pembeli yang penawarannya diterima yang
merupakan bank dan bank pembayar yang ditunjuk
wajib menyediakan dana di rekening giro Bank di
Bank Indonesia;
h. Bank Indonesia melakukan setelmen paling lambat
pada 5 (lima) hari kerja (T+5) setelah pengumuman
dengan mendebit rekening giro bank atau bank
pembayar yang ditunjuk bagi calon pembeli agunan
selain bank;
i. Bank Indonesia melakukan setelmen surat berharga
syariah setelah pendebitan saldo rekening giro bank
58
59
atau bank pembayar yang ditunjuk bagi calon
pembeli agunan selain bank sebagaimana dimaksud
pada huruf h berhasil dilaksanakan;
j. dalam hal surat berharga syariah berupa Sukuk
Korporasi,
Bank Indonesia melakukan
pemindahbukuan surat berharga syariah tersebut ke
rekening Efek yang ditunjuk oleh pembeli surat
berharga syariah di KSEI;
k. dalam hal agunan berupa SBSN tidak terjual dan
saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank
Indonesia tidak mencukupi kewajiban PLJPS sampai
dengan berakhirnya jangka waktu pengikatan
agunan SBSN, Bank Indonesia memperpanjang
jangka waktu pengikatan pengagunan SBSN sampai
dengan Bank dapat melunasi pokok PLJPS ditambah
bagi hasil PLJPS, kewajiban membayar (gharamah
maliyah) dan biaya terkait dengan pemberian PLJPS;
dan
l. dalam hal terdapat pembayaran kupon dari Sukuk
Korporasi, Bank Indonesia meneruskan pembayaran
tersebut ke rekening giro Bank yang ada di Bank
Indonesia.
Pasal 69
(1) Bank Indonesia akan melakukan proses eksekusi agunan
berupa Aset Pembiayaan mulai hari kerja ke-15 setelah
tanggal jatuh waktu PLJPS.
(2) Bank dapat meminta kepada Bank Indonesia agar proses
eksekusi agunan berupa Aset Pembiayaan dipercepat
sebelum hari kerja ke-15 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan Bank melalui surat kepada Bank Indonesia
c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan dengan
tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan
Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang
terkait pada hari kerja dengan contoh sebagaimana
59
60
tercantum dalam Lampiran XXIII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(4) Bank Indonesia akan menyampaikan
surat
pemberitahuan dan/atau peringatan sebelum proses
eksekusi agunan berupa Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 70
(1) Eksekusi agunan berupa Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dilakukan dengan
cara:
a. menjual hak tagih atas dasar Sertifikat Jaminan
Fidusia melalui fiat eksekusi pengadilan;
b. menjual hak tagih atas kekuasaan penerima fidusia
sendiri melalui pelelangan umum; atau
c. menjual di bawah tangan yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima
fidusia.
(2) Dalam rangka eksekusi agunan PLJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 Bank Indonesia dapat
menugaskan pihak lain untuk melakukan penilaian
dan/atau penjualan terhadap agunan berupa Aset
Pembiayaan.
(3) Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan
mengenai pelaksanaan eksekusi agunan PLJPS berupa
Aset Pembiayaan kepada Bank, dengan tembusan
kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor
Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait.
(4) Dalam rangka pelaksanaan eksekusi agunan berupa Aset
Pembiayaan Bank harus menginformasikan pengalihan
pembiayaan kepada masing-masing nasabah.
(5) Dalam hal eksekusi agunan PLJPS berupa Aset
Pembiayaan dilakukan melalui penjualan di bawah
tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan oleh Bank, maka Bank harus menyampaikan
60
61
61
rencana pelaksanaan eksekusi agunan PLJPS berupa
hak tagih atas Aset Pembiayaan tersebut serta
melaporkan realisasi eksekusi agunan dimaksud melalui
surat kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans
Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10350.
(6) Rencana pelaksanaan eksekusi agunan PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus mendapat
persetujuan Bank Indonesia.
(7) Hasil eksekusi agunan PLJPS disetorkan ke rekening
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 71
(1) Hasil eksekusi agunan diperhitungkan sebagai pelunasan
terhadap kewajiban PLJPS yang meliputi saldo pokok
PLJPS ditambah dengan akumulasi bagi hasil PLJPS,
akumulasi kewajiban membayar (gharamah maliyah),
biaya eksekusi agunan, dan biaya lain yang timbul dalam
pemberian PLJPS.
(2) Dalam hal hasil eksekusi agunan lebih besar dari
kewajiban PLJPS maka Bank Indonesia mengkredit
rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia
sebesar kelebihan hasil eksekusi agunan dari kewajiban
PLJPS.
(3) Dalam hal hasil eksekusi agunan lebih kecil daripada
kewajiban PLJPS maka Bank wajib menyetor tambahan
dana untuk membayar kekurangan pelunasan kewajiban
PLJPS kepada Bank Indonesia termasuk dari agunan lain
apabila tersedia.
Pasal 72
Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan OJK maupun
pihak lainnya untuk pelaksanaan dan/atau pemantauan
eksekusi agunan.
62
Bagian Keenam
Biaya PLJPS
Pasal 73
Biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian PLJPS
menjadi beban Bank yang menerima PLJPS yang meliputi:
a. biaya penggunaan kantor akuntan publik dalam
kegiatan verifikasi dan/atau penilaian Aset Pembiayaan;
b. biaya notaris untuk pembuatan akta perjanjian
pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS,
termasuk perubahannya;
c. biaya dalam rangka eksekusi agunan;
d. biaya transaksi, biaya kustodian, dan biaya lainnya yang
timbul atas pengagunan Sukuk Korporasi;
e. biaya penyimpanan dokumen Aset Pembiayaan dengan
menggunakan pihak ketiga; dan/atau
f. biaya lain terkait PLJPS.
BAB X
PELAPORAN
Pasal 74
Selama periode PLJPS Bank wajib menyampaikan laporan
sebagai berikut:
a.
laporan harian yang terdiri atas:
1.
laporan penggunaan PLJPS dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXIV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
2.
laporan kondisi likuiditas Bank dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
b.
laporan terkait agunan yang disampaikan dalam hal
terdapat:
1. Sukuk Korporasi yang tidak memenuhi persyaratan
peringkat yang ditetapkan Bank Indonesia
62
63
63
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
a;
2. pelunasan pembiayaan yang menjadi agunan PLJPS
oleh nasabah Bank; dan/atau
3. Aset Pembiayaan yang tidak memenuhi persyaratan
kolektibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b,
c.
d.
yang memuat daftar agunan yang memenuhi kondisi
sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan/atau
angka 3 dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XXVI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
laporan perhitungan rasio KPMM;
laporan rencana tindak perbaikan (remedial action plan)
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek;
dan
e.
laporan lainnya yang diminta oleh Bank Indonesia.
Pasal 75
(1) Laporan harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
huruf a disampaikan setiap hari kerja paling lambat
pukul 12.00 WIB untuk posisi 1 (satu) hari kerja
sebelumnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf c
disampaikan dalam hal terdapat peristiwa yang
mengakibatkan penurunan rasio KPMM Bank.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf d
disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
pencairan PLJPS yang pertama kali.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q.
Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK,
atau Kantor OJK yang terkait.
64
BAB XI
PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 76
(1) Pengawasan terhadap Bank yang menerima PLJPS
dilakukan oleh OJK berkoordinasi dengan Bank
Indonesia.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk memantau dan memastikan
penggunaan dana PLJPS sesuai dengan peruntukannya
dan pelaksanaan rencana pembayaran kembali PLJPS
sesuai dengan perjanjian pemberian PLJPS.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dimaksudkan untuk memantau dan memastikan
pemenuhan persyaratan PLJPS selama periode PLJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 77
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap
Bank yang menerima PLJPS.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah berkoordinasi dengan OJK.
BAB XII
LARANGAN DAN PEMBATASAN KEGIATAN BAGI BANK YANG
MENERIMA PLJPS
Pasal 78
(1) Selama periode pemberian PLJPS atau selama Bank
belum melunasi kewajiban PLJPS, Bank dilarang:
a. melakukan penempatan dana;
b. menyalurkan pembiayaan baru kepada pihak terkait
Bank, kecuali untuk pemenuhan komitmen yang
telah diperjanjikan sebelumnya;
c. merealisasikan penarikan dana oleh pihak terkait
Bank; dan
d. melakukan pembagian dividen.
64
65
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
meniadakan larangan lain yang telah dikeluarkan oleh
OJK.
Pasal 79
Selama periode pemberian PLJPS Bank hanya dapat
mengikuti operasi moneter syariah Bank Indonesia yang
bersifat ekspansi.
BAB XIII
PENATAUSAHAAN DOKUMEN PLJPS
Pasal 80
(1) Bank Indonesia menatausahakan dokumen terkait PLJPS
berupa akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta
pengikatan agunan PLJPS, termasuk perubahannya serta
dokumen yang terkait dengan agunan.
(2) Dalam rangka penatausahaan dokumen yang terkait
dengan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan penyimpanan dokumen.
(3) Dalam hal dokumen disimpan oleh pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia maka pihak lain tersebut
harus memelihara kelengkapan dan keamanan dokumen.
BAB XIV
SANKSI
Pasal 81
(1) Bank yang melanggar ketentuan mengenai kebenaran
data dan dokumen yang disampaikan kepada Bank
Indonesia, larangan kegiatan selama periode PLJPS,
dan/atau kewajiban penyampaian laporan selama
periode PLJPS dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis;
b. PLJPS tidak dapat diperpanjang; dan/atau
65
66
c.
tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dalam
jangka waktu tertentu.
(2) Bank yang tidak dapat melakukan pelunasan PLJPS
pada tanggal jatuh waktu PLJPS dikenakan sanksi
berupa:
a.
b.
teguran tertulis;
tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dalam
jangka waktu tertentu; dan
c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi
moneter syariah.
(3) Bank yang tidak melakukan pelunasan PLJPS setelah
eksekusi agunan dilakukan, dikenakan sanksi berupa:
a.
b.
teguran tertulis;
tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dalam
jangka waktu tertentu;
c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi
moneter syariah;
d. penurunan status kepesertaan SKNBI;
e. penurunan status kepesertaan Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement (BI-RTGS); dan/atau
f. penurunan status kepesertaan BI-SSSS.
Pasal 82
Bank Indonesia menginformasikan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 kepada Bank
dengan tembusan kepada OJK.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 83
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/44/DPbS
tanggal 22 Oktober 2013 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
66
67
Pasal 84
(1) Ketentuan mengenai persyaratan pencantuman Aset
Pembiayaan dalam laporan daftar Aset Pembiayaan
terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf l,
mulai berlaku untuk permohonan PLJPS yang diajukan
setelah tanggal 15 Juli 2017.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan bahwa agunan berupa
Aset Pembiayaan harus telah menjadi objek atau sampel
pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik
terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf j, mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2018.
Pasal 85
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
67
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
PERRY WARJIYO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/8/PADG/2017
TENTANG
PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH
BAGI BANK UMUM SYARIAH
I. UMUM
Untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang dapat
dialami oleh perbankan syariah, Bank Indonesia menyediakan PLJPS
kepada Bank. Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah
menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang
Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah
pada tanggal 13 April 2017.
Sehubungan dengan hal di atas, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek
Syariah Bagi Bank Umum Syariah yang mengatur mengenai mekanisme
dan hal teknis pelaksanaan penyediaan PLJPS.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
2
Ayat (2)
Huruf a
Contoh dari pemenuhan persyaratan Bank tergolong
sebagai Bank solven:
Bank mengajukan permohonan PLJPS pada tanggal 6 Juni
2017.
Dalam hal rasio KPMM bulan terkini yang memadai yang
tersedia sesuai penilaian OJK yaitu posisi April 2017 maka
rasio KPMM menggunakan posisi April 2017.
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Peristiwa setelah periode pelaporan (subsequent
events) yang dapat mempengaruhi rasio KPMM
Bank yaitu subsequent events yang didukung
dengan bukti objektif, contoh:
a. hasil pemeriksaan kantor akuntan publik
atau otoritas yang menyesuaikan
pengakuan biaya atau pendapatan tertentu;
dan
b. terdapat putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap untuk membayar
sejumlah tertentu oleh Bank kepada pihak
lain.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โmampu untuk mengembalikan
PLJPSโ adalah Bank memiliki sumber dana untuk
mengembalikan PLJPS yang tercermin antara lain dari:
1. proyeksi arus kas Bank mencerminkan adanya dana
masuk yang mencukupi untuk digunakan sebagai
pelunasan PLJPS; dan
2. dokumen pendukung lainnya yang mencerminkan
adanya sumber dana untuk melunasi PLJPS.
3
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โ1 (satu) tahun terakhirโ adalah 1
(satu) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan
PLJPS.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โ30 (tiga puluh) hari kalender
terakhirโ adalah 30 (tiga puluh) hari kalender sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pengajuan
permohonan PLJPS.
Contoh:
Dalam hal Bank mengajukan PLJPS pada tanggal 25 Juli
2017, perhitungan 30 (tiga puluh) hari kalender terakhir
Sukuk Korporasi aktif diperdagangkan yaitu sejak tanggal
25 Juni 2017 sampai dengan 24 Juli 2017.
Yang dimaksud dengan โdiperdagangkanโ
adalah
diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau di luar bursa
(over the counter).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Dalam hal terdapat perbedaaan informasi mengenai hal yang menjadi
persyaratan Aset Pembiayaan yang disampaikan oleh Bank dengan
4
informasi yang dimiliki Bank Indonesia, maka yang digunakan
adalah informasi yang dimiliki Bank Indonesia.
Huruf a
Yang dimaksud dengan โakad mudharabahโ adalah akad
kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik,
shahibul mal, atau Bank) yang menyediakan seluruh modal
dan pihak kedua (โamil, mudharib, atau nasabah) yang
bertindak selaku pengelola dana dengan membagi
keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung
sepenuhnya oleh Bank kecuali jika pihak kedua
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi
perjanjian.
Yang dimaksud dengan โakad musyarakahโ adalah akad
kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan
porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan
dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.
Yang dimaksud dengan โakad ijarah nonjasaโ adalah akad
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna
atau manfaat dari suatu barang berdasarkan transaksi
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri atau dengan opsi pemindahan
kepemilikan barang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โkolektibilitas tergolong lancarโ
adalah kualitas tergolong lancar sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian
kualitas aset bank umum syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Nilai agunan yang digunakan yaitu nilai pasar berdasarkan
hasil penilai independen paling lama 2 (dua) tahun terakhir
sebelum tanggal permohonan PLJPS.
5
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai batas maksimum penyaluran dana yang berlaku
bagi bank umum syariah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โrestrukturisasiโ adalah
restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank
umum syariah.
Jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir dihitung sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal permohonan PLJPS.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum
penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan โkantor akuntan publikโ adalah
kantor akuntan publik yang telah tercantum dalam daftar
kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
6
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Untuk saat ini, lembaga yang melakukan penilaian harga
efek yang diakui OJK yaitu Penilai Harga Efek Indonesia
(Indonesia Bond Pricing Agency).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyampaian tembusan laporan daftar Aset Pembiayaan kepada
OJK dilakukan sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan Bank
Indonesia dan OJK.
Ayat (4)
Apabila tanggal batas waktu penerimaan laporan daftar Aset
Pembiayaan jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur
maka batas waktu penyampaian yaitu hari kerja berikutnya.
Koreksi laporan dilakukan dengan menyampaikan laporan daftar
Aset Pembiayaan yang telah dikoreksi secara keseluruhan.
7
Ayat (5)
Contoh:
Bank tidak menyampaikan laporan berkala daftar Aset
Pembiayaan posisi Juni 2017 sampai melewati batas waktu
pelaporan tanggal 15 Juli 2017.
Dalam hal ini, Bank tidak dapat mengajukan permohonan
PLJPS dengan agunan berupa Aset Pembiayaan sampai dengan
tanggal 15 Januari 2018. Namun demikian, Bank tetap dapat
mengajukan PLJPS dengan agunan berupa surat berharga
syariah yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Ayat (6)
Apabila tanggal batas waktu penerimaan laporan daftar Aset
Pembiayaan jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur
maka batas waktu penyampaian yaitu hari kerja berikutnya.
Bank yang tidak menyampaikan laporan berkala daftar Aset
Pembiayaan maka tidak dapat melakukan pembaruan laporan
untuk posisi laporan yang tidak disampaikan dimaksud.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk keamanan penyampaian laporan, Bank memastikan
antara lain bahwa laporan dilakukan oleh petugas Bank yang
berwenang dan data yang disampaikan bebas dari virus.
Ayat (3)
Lampiran dalam bentuk soft copy dapat disampaikan melalui
media perekam data elektronik antara lain compact disk atau
flash disk.
Surat yang disampaikan Bank antara lain memuat penjelasan
mengenai alasan Bank tidak berhasil melakukan pengiriman
laporan daftar Aset Pembiayaan melalui sarana yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
8
Ayat (5)
Format laporan daftar Aset Pembiayaan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III diunduh dari situs web Bank Indonesia.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan โdokumen pendukungโ antara lain akad
pembiayaan antara Bank dengan nasabah, bukti pengikatan agunan,
bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan pembiayaan Bank,
laporan keuangan nasabah Bank, dan dokumen pendukung lainnya.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โyang berwenangโ adalah direksi dan
dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
9
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan paling kurang memuat:
1. nama debitur;
2. Nomor Induk Kependudukan (NIK);
3. tempat lahir;
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
5. Nomor Debitur Identification Number (DIN);
6. alamat dan nomor telepon;
7. nomor akad pembiayaan;
8. nomor rekening;
9. skim/akad;
10. jenis pembiayaan;
11. nomor asuransi pembiayaan dan nilai tertanggung (apabila
ada);
12. jangka waktu (yyyy/mm/dd);
13. plafon pembiayaan (Rpjuta); dan
14. saldo pokok pembiayaan.
Huruf e
Surat persetujuan disampaikan apabila diatur dalam anggaran
dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat
berharga syariah pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau the
central depository and book entry settlement system (C-BEST) di
KSEI.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
10
Ayat (2)
Tanggal aktivasi pemberian PLJPS akan disampaikan oleh Bank
Indonesia melalui surat yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari perjanjian pemberian PLJPS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK dilakukan dalam
rangka melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan
krisis sistem keuangan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam melaksanakan penilaian bersama mengenai
pemenuhan persyaratan agunan, Bank Indonesia dan
OJK dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank
antara lain terhadap sistem informasi terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS yang
disampaikan Bank hanya untuk agunan PLJPS sebagaimana
tercantum dalam surat persetujuan Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
11
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 22
Huruf a
Pengagunan surat berharga syariah milik Bank yang sedang
ditransaksikan dengan pihak lain dilakukan segera setelah
transaksi dengan pihak lain tersebut jatuh waktu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
12
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โpihak ketigaโ antara lain kantor
akuntan publik yang tercantum dalam daftar kantor akuntan
publik yang diakui oleh OJK.
Perjanjian atau kontrak penunjukan pihak ketiga yang
ditandatangani oleh Bank dan pihak ketiga memuat klausul
bahwa pekerjaan pihak ketiga dilakukan untuk kepentingan
Bank Indonesia dan hasil pekerjaan diserahkan kepada Bank
Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyampaian tambahan agunan memperhatikan prioritas
agunan PLJPS berupa surat berharga syariah yang memenuhi
syarat untuk diagunkan terlebih dahulu sebelum Aset
Pembiayaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Dokumen pendukung lainnya dapat berupa perjanjian pinjam
meminjam jika dana berstatus dana pembiayaan.
13
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan
komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank
sesuai anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (3)
Dalam hal pengikatan agunan lain dilakukan tidak bersamaan
dengan pengikatan agunan PLJPS maka Bank menyampaikan
surat pernyataan atau surat kuasa untuk melakukan
pengikatan agunan lain dari pemilik agunan lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara
lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau
penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap
agunan PLJPS.
14
Pasal 29
Ayat (1)
Tanggal aktivasi pemberian PLJPS menunjukkan tanggal
dimulainya periode PLJPS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โsurat sanggup bayar (promissory
note)โ adalah surat yang memuat kesanggupan dari Bank
untuk membayar kepada Bank Indonesia atas pencairan
dana PLJPS. Surat sanggup bayar tersebut tidak dapat
diperdagangkan di pasar uang.
Huruf b
Informasi dalam dokumen proyeksi arus kas termasuk
rencana penggunaan PLJPS.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โtingkat realisasi imbalan deposito
investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang
menerima PLJPSโ adalah tingkat realisasi imbalan sebelum
15
distribusi atas deposito mudharabah 3 (tiga) bulan atau deposito
mudharabah 1 (satu) bulan dari Bank yang menerima PLJPS
dalam hal deposito mudharabah 3 (tiga) bulan tidak tersedia.
Tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah
sebelum distribusi didasarkan pada data yang tercantum dalam
laporan harian bank umum syariah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Penggantian agunan PLJPS dimaksudkan agar nilai aset agunan
PLJPS secara keseluruhan dapat mencukupi plafon PLJPS
dengan memperhatikan ketentuan perhitungan nilai agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Contoh permohonan pencairan pada saat Bank Indonesia memproses
penggantian agunan PLJPS:
Plafon awal PLJPS sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah).
Pada periode PLJPS terdapat sejumlah agunan berupa Aset
Pembiayaan yang mengalami penurunan kolektibilitas sehingga tidak
memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJPS yang mengakibatkan
16
nilai agunan secara keseluruhan turun sehingga nilai agunan hanya
mencukupi untuk plafon PLJPS sebesar Rp450.000.000.000,00
(empat ratus lima puluh miliar rupiah).
Mengingat nilai agunan tidak lagi mencukupi plafon, Bank
mengajukan penggantian agunan kepada Bank Indonesia agar
agunan dapat kembali mencukupi plafon.
Posisi saldo pokok PLJPS saat ini sebesar Rp250.000.000.000,00
(dua ratus lima puluh miliar rupiah).
Dengan saldo pokok tersebut maka masih terdapat sisa plafon
sebesar Rp450.000.000.000,00 โ Rp250.000.000.000,00 =
Rp200.000.000.000,00.
Oleh karena itu, selama Bank Indonesia memproses permintaan
penggantian agunan, Bank tetap dapat mengajukan pencairan PLJPS
paling banyak sampai dengan saldo pokok PLJPS mencapai
Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah).
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan
komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank
sesuai anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โpembatasan pencairanโ adalah Bank
hanya dapat mencairkan PLJPS paling banyak sebesar
kelonggaran tarik yang didukung dengan kecukupan agunan.
Contoh pembatasan pencairan:
Contoh 1:
Plafon awal PLJPS sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus
miliar rupiah).
Nilai agunan secara keseluruhan turun sehingga nilai agunan
hanya mencukupi untuk plafon PLJPS sebesar
Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah).
17
Posisi saldo pokok PLJPS saat ini sebesar Rp250.000.000.000,00
(dua ratus lima puluh miliar rupiah).
Dengan saldo pokok tersebut maka masih terdapat kelonggaran
tarik sebesar Rp450.000.000.000,00 โ Rp250.000.000.000,00 =
Rp200.000.000.000,00.
Berdasarkan kondisi
tersebut maka nilai agunan masih
mencukupi saldo pokok PLJPS dan masih memiliki kelonggaran
tarik. Oleh karena itu, Bank Indonesia melakukan pembatasan
pencairan
PLJPS
paling banyak sampai dengan
Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah).
Contoh 2:
Plafon awal PLJPS sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus
miliar rupiah).
Nilai agunan secara keseluruhan turun sehingga nilai agunan
hanya mencukupi untuk plafon PLJPS sebesar
Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah).
Posisi saldo pokok PLJPS saat ini sebesar Rp475.000.000.000,00
(empat ratus tujuh puluh lima miliar rupiah).
Berdasarkan kondisi tersebut maka nilai agunan saat ini sudah
tidak lagi mencukupi saldo pokok PLJPS sehingga Bank tidak
lagi memiliki kelonggaran tarik. Oleh karena itu, Bank Indonesia
tidak dapat lagi melakukan pencairan PLJPS.
Ayat (2)
Penggantian agunan PLJPS dimaksudkan agar nilai aset agunan
PLJPS secara keseluruhan dapat mencukupi plafon PLJPS
dengan memperhatikan ketentuan perhitungan nilai agunan.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
18
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โyang berwenangโ adalah direksi dan
dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening
surat berharga syariah pada BI-SSSS di Bank Indonesia
dan/atau C-BEST di KSEI.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Bank A menandatangani perjanjian PLJPS pada tanggal 3 Juli
2017 dengan periode PLJPS 14 (empat belas) hari kalender.
19
Aktivasi PLJPS dilakukan pada tanggal 10 Juli 2017 dan jatuh
waktu pada tanggal 24 Juli 2017.
Bank A mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJPS selama 14 (empat belas) hari dari tanggal 24 Juli 2017
sampai dengan jatuh waktu tanggal 7 Agustus 2017. Akta
perubahan perjanjian pemberian PLJPS ditandatangani pada
tanggal 24 Juli 2017.
Sehubungan terdapat agunan PLJPS periode sebelumnya yang
tidak lagi memenuhi persyaratan, maka Bank mengajukan
tambahan agunan surat berharga syariah berupa SBIS, SBSN,
dan Sukuk Korporasi dengan rincian sebagai berikut:
Jenis
No
Agunan
1 SBIS
2 SBSN
3 Sukuk
Korporasi
Sisa Jangka
Waktu
(hari
kalender)
120 hari
100 hari
150 hari
Persyaratan Sisa
Jangka Waktu
Paling Singkat
(hari kalender)
Status
110-22 = 88 hari Diterima
110-22 = 88 hari Diterima
180-22 = 158
hari
Tidak
diterima
Keterangan:
Jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJPS sampai dengan jatuh waktu PLJPS berjalan =
22 hari (dari 3 Juli 2017 sampai dengan 24 Juli 2017).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
20
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pelunasan bagi hasil dilakukan mulai awal pembukaan
Sistem BI-RTGS sampai dengan awal periode pre-cut off
Sistem BI-RTGS.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
21
Ayat (2)
Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan
komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank
sesuai anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (3)
Dalam hal pengikatan agunan lain dilakukan tidak bersamaan
dengan pengikatan agunan PLJPS maka Bank menyampaikan
surat pernyataan atau surat kuasa untuk melakukan
pengikatan agunan lain dari pemilik agunan lain
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan
antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi
dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK
terhadap agunan PLJPS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
22
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โyang berwenangโ adalah direksi dan
dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh:
Bank A menandatangani perjanjian PLJPS pada tanggal 3
Juli 2017 dengan periode PLJPS 14 (empat belas) hari
kalender. Aktivasi PLJPS dilakukan pada tanggal 10 Juli
2017 dan jatuh waktu pada tanggal 24 Juli 2017.
Kemudian Bank A mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJPS selama 14 (empat belas) hari dari
tanggal 24 Juli 2017 sampai dengan jatuh waktu tanggal 7
Agustus 2017 bersamaan dengan penambahan plafon
PLJPS. Akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS
ditandatangani pada tanggal 24 Juli 2017.
Sehubungan dengan adanya penambahan plafon PLJPS
yang mengakibatkan adanya kebutuhan penambahan
agunan, maka Bank mengajukan tambahan agunan surat
berharga syariah berupa SBIS, SBSN, dan Sukuk Korporasi
dengan rincian sebagai berikut:
23
Jenis
No
Agunan
1 SBIS
2 SBSN
3 Sukuk
Korporasi
Sisa Jangka
Waktu (hari
kalender)
120 hari
100 hari
150 hari
Persyaratan Sisa
Jangka Waktu
Paling Singkat
(hari kalender)
Status
110-22 = 88 hari Diterima
110-22 = 88 hari Diterima
180-22 = 158
hari
Tidak
diterima
Keterangan:
Jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJPS sampai dengan jatuh waktu PLJPS berjalan =
22 hari (dari 3 Juli 2017 sampai dengan 24 Juli 2017).
Pasal 48
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat
berharga syariah pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau C-
BEST di KSEI.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
24
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan
komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank
sesuai anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara
lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau
penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap
agunan PLJPS.
Pasal 56
Cukup jelas.
25
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan โyang berwenangโ adalah direksi dan
dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh 1:
Saldo giro Bank di akhir hari: Rp1.200.000.000,00 (satu miliar
dua ratus juta rupiah).
Kewajiban GWM: Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
26
Kewajiban GWM + 10% dari kewajiban GWM:
Rp1.100.000.000,00.
Posisi saldo pokok PLJPS: Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Kelebihan saldo di atas kewajiban GWM + 10% dari kewajiban
GWM: Rp1.200.000.000,00
โ Rp1.100.000.000,00 =
Rp100.000.000,00.
Mengingat jumlah kelebihan saldo giro nilainya lebih rendah dari
posisi saldo pokok PLJPS maka Bank Indonesia mendebit
rekening giro Bank paling tinggi sebesar posisi kelebihan saldo
rekening giro Bank yaitu Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Dengan pendebitan rekening giro tersebut maka posisi saldo
pokok PLJPS terkini: Rp500.000.000,00 โ Rp100.000.000,00 =
Rp400.000.000,00.
Contoh 2:
Saldo giro Bank di akhir hari: Rp1.800.000.000,00 (satu miliar
delapan ratus juta rupiah).
Kewajiban GWM: Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kewajiban GWM + 10% dari
kewajiban GWM:
Rp1.100.000.000,00.
Posisi saldo pokok PLJPS: Rp500.000.000,00
Kelebihan saldo di atas kewajiban GWM + 10% dari kewajiban
GWM: Rp1.800.000.000,00
โ Rp1.100.000.000,00 =
Rp700.000.000,00.
Mengingat posisi saldo pokok PLJPS nilainya lebih rendah dari
jumlah kelebihan saldo giro, maka Bank Indonesia mendebit
rekening giro Bank paling tinggi sebesar saldo pokok PLJPS
yaitu Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dengan pendebitan rekening giro Bank tersebut maka posisi
saldo pokok
PLJPS terkini: Rp500.000.000,00
Rp500.000.000,00 = Rp0,00.
Ayat (3)
Cukup jelas.
โ
27
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Termasuk dalam biaya lain yaitu perkiraan atas biaya yang
belum timbul atau belum ditagihkan oleh pihak lain kepada
Bank Indonesia.
Contoh: biaya terkait dengan penatausahaan Sukuk Korporasi di
KSEI sebagai agunan PLJPS.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pendebitan rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia
dilakukan dengan mendahulukan pelunasan bagi hasil PLJPS,
kemudian pembayaran pokok PLJPS, dan selanjutnya biaya
yang harus dibayar Bank apabila ada.
Biaya yang harus dibayar Bank yaitu biaya yang timbul
sehubungan dengan proses PLJPS yang belum dibayar atau
dilunasi oleh Bank.
28
Pelunasan kewajiban PLJPS merupakan transaksi high priority
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika
melalui Sistem BI-RTGS, dan penyelesaiannya dilakukan
mendahului penyelesaian transaksi lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan โtingkat realisasi imbalan deposito
investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang
menerima PLJPSโ adalah tingkat realisasi imbalan sebelum
distribusi atas deposito mudharabah 3 (tiga) bulan atau deposito
mudharabah 1 (satu) bulan dari Bank yang menerima PLJPS
dalam hal deposito mudharabah 3 (tiga) bulan tidak tersedia.
29
Tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah
sebelum distribusi didasarkan pada data yang tercantum dalam
laporan harian bank umum syariah.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Pelunasan kewajiban PLJPS merupakan transaksi high priority
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika
melalui Sistem BI-RTGS, dan penyelesaiannya dilakukan
mendahului penyelesaian transaksi lainnya.
Huruf a
Yang dimaksud dengan โkewajiban PLJPSโ adalah
saldo pokok PLJPS dan/atau bagi hasil PLJPS yang
belum dibayar.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โkewajiban PLJPSโ adalah
saldo pokok PLJPS, bagi hasil PLJPS yang belum
dibayar, dan/atau kewajiban membayar (gharamah
maliyah).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โkurs transaksi Bank Indonesiaโ adalah
kurs transaksi yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia.
Kurs yang digunakan yaitu kurs yang tersedia pada saat
transaksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
30
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pengumuman kepada pialang dilakukan melalui sarana
dealing system atau sarana lainnya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
31
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โpihak lainโ antara lain konsultan
keuangan dan/atau kantor jasa penilai publik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Persetujuan Bank Indonesia disertai dengan informasi rekening
yang ditetapkan untuk menerima hasil eksekusi agunan PLJPS
di Bank Indonesia.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank Indonesia menginformasikan kelebihan hasil eksekusi
agunan yang telah dikreditkan ke rekening giro Bank dalam
rupiah di Bank Indonesia kepada Bank .
Ayat (3)
Bank Indonesia menginformasikan kekurangan pelunasan
kewajiban PLJPS kepada Bank.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
32
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Pengawasan dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan
yang dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โkewajiban PLJPSโ adalah saldo pokok
PLJPS, bagi hasil PLJPS, kewajiban membayar (gharamah
maliyah), dan biaya lainnya terkait PLJPS.
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpenempatan danaโ antara lain
penempatan dana pada pasar uang antar bank
berdasarkan prinsip syariah (PUAS) dan pembelian
surat berharga syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
33
Pasal 79
Operasi moneter syariah Bank Indonesia yang bersifat ekspansi
antara lain transaksi repurchase agreement (repo) dalam rangka
operasi pasar terbuka dan transaksi financing facility dalam rangka
standing facilities.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/8/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH </reg_title>
<set_date> 22 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<replaced_reg> '15/44/DPbS|SE-BI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '19/4/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
|
2ii
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/23/PADG/2019
TENTANG
LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Peraturan Bank Indonesia mengenai laporan bank
umum terintegrasi, perlu didukung dengan peraturan
pelaksanaan yang mengatur mengenai mekanisme
pelaksanaan dan hal teknis terkait laporan bank umum
terintegrasi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Laporan Bank Umum
Terintegrasi;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/9/PBI/2019 tentang
Laporan Bank Umum Terintegrasi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6377);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI.
2ii
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri, serta bank umum syariah dan unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
2. Pelapor adalah Bank yang menyampaikan laporan melalui
sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia.
3. Laporan Bank Umum Terintegrasi yang selanjutnya
disebut Laporan adalah informasi yang disusun dan
disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia secara
terintegrasi dalam format dan definisi yang seragam sesuai
dengan metadata yang ditetapkan oleh otoritas.
4. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak
termasuk hari yang ditetapkan Bank Indonesia untuk
melakukan kegiatan operasional terbatas.
BAB II
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PELAPOR
Pasal 2
(1) Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan
kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disusun dan disampaikan secara lengkap, akurat, kini,
utuh, dan tepat waktu.
Pasal 3
(1) Pelapor wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab
Laporan.
3ii
(2) Proses pendaftaran petugas dan penanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahannya
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. menyampaikan surat permohonan akses disertai
dengan formulir pendaftaran dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
b. surat permohonan akses sebagaimana dimaksud
pada huruf a disampaikan kepada:
Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin
Prawiranegara, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta
10350; dan
c. menyertakan user ID yang telah didaftarkan pada
portal yang ditetapkan oleh otoritas.
(3) Penunjukan petugas dan penanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi dan/atau
menghilangkan tanggung jawab direksi Bank atau
pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
BAB III
PENYUSUNAN LAPORAN DAN
PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN
Bagian Kesatu
Penyusunan Laporan
Pasal 4
(1) Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 mengacu pada metadata yang ditetapkan oleh otoritas.
(2) Metadata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat
dalam:
a. pedoman penyusunan laporan bank umum
terintegrasi; dan
4ii
b. metadata teknis berupa tools yang dipublikasikan
pada portal yang ditetapkan oleh otoritas.
(3) Untuk pertama kali, pedoman penyusunan laporan bank
umum terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a ditetapkan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Dalam hal terdapat perubahan metadata sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia akan
mencantumkan perubahan metadata tersebut dalam
sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia.
(5) Pemberitahuan perubahan metadata sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Bank Indonesia
kepada Pelapor melalui surat dan/atau media lain.
Pasal 5
(1) Pelapor harus memiliki sandi Pelapor untuk penyampaian
Laporan.
(2) Sandi Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. sandi bank; dan
b. sandi kantor cabang.
(3) Untuk memperoleh sandi bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, Bank menyampaikan surat
permohonan disertai salinan surat izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan kepada:
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan, Gedung D, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2,
Jakarta 10350.
(4) Untuk memperoleh sandi kantor cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pelapor menyampaikan
surat permohonan disertai salinan surat persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan terkait pembukaan kantor cabang
atau peningkatan status menjadi kantor cabang kepada:
Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara,
Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
5ii
Pasal 6
(1) Pelapor harus mengajukan permohonan penutupan sandi
Pelapor dalam hal terdapat:
a. penutupan kantor cabang atau penurunan status
dari kantor cabang; dan
b. langkah strategis dan mendasar yang mengakibatkan
Pelapor tidak lagi melakukan kegiatan usaha.
(2) Penutupan sandi Pelapor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan dengan menyampaikan surat
permohonan disertai salinan surat persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan terkait penutupan kantor cabang atau
penurunan status kantor cabang kepada:
Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara,
Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
(3) Penutupan sandi Pelapor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan dengan menyampaikan surat
permohonan disertai salinan surat persetujuan dari
Otoritas Jasa Keuangan kepada:
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan, Gedung D, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2,
Jakarta 10350.
Pasal 7
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
terdiri atas 4 (empat) kelompok informasi yaitu:
a. kelompok informasi keuangan;
b. kelompok informasi risiko;
c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan
jasa keuangan; dan
d. kelompok informasi data pokok.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf d dilaporkan secara:
a. individual per kantor cabang Pelapor;
b. gabungan seluruh kantor Pelapor; dan/atau
c. konsolidasi bank dan perusahaan anak.
6ii
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
huruf c dilaporkan secara gabungan seluruh kantor
Pelapor.
Pasal 8
(1) Kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a meliputi informasi:
a. laporan posisi keuangan;
b.
c.
rekening administratif;
laba rugi;
d. kas dalam valuta asing;
e. penempatan pada Bank Indonesia;
f. penempatan pada bank lain;
g. transaksi spot dan derivatif yang masih berjalan;
h. surat berharga yang dimiliki;
i.
surat berharga repo dan liabilitas repo;
j.
tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji
dijual kembali (reverse repo);
k. akseptasi;
l.
kredit/pembiayaan;
m. penyertaan modal;
n. aset keuangan lainnya;
o. aset tetap dan inventaris;
p. salam;
q. aset istishnaโ dalam penyelesaian;
r.
s.
persediaan;
properti terbengkalai;
t. agunan yang diambil alih;
u. rekening tunda;
v. aset tidak berwujud;
w. aset antar kantor;
x. aset lainnya;
y.
giro;
z. tabungan;
aa. deposito;
bb. liabilitas kepada Bank Indonesia;
cc. liabilitas kepada bank lain;
7ii
dd. surat berharga yang diterbitkan;
ee. pinjaman/pembiayaan yang diterima;
ff. setoran jaminan;
gg. liabilitas antar kantor;
hh. liabilitas lainnya;
ii. rincian modal;
jj. penghasilan/beban komprehensif lain;
kk. irrevocable L/C;
ll. garansi;
mm. penerusan dana (channeling);
nn. aset keuangan yang dihapus buku;
oo. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit
on call;
pp. transaksi spot dan derivatif; dan
qq. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di
pasar sekunder.
(2) Kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf b meliputi informasi:
a. posisi devisa neto;
b. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam
valas jangka pendek;
c. dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan
giro wajib minimum;
d. dana usaha kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri;
e. proyeksi arus kas;
f.
fraud alat pembayaran dengan menggunakan kartu
dan uang elektronik;
g. permasalahan layanan keuangan digital;
h. pengaduan nasabah;
i.
publikasi negatif; dan
j. penyelesaian sengketa.
(3) Kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan
jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf c meliputi informasi:
a. kartu kredit;
8ii
b. kartu ATM dan/atau kartu ATM debet;
c. uang elektronik;
d.
e. agen layanan keuangan digital;
f.
proprietary channel;
g. suku bunga penawaran;
h. suku bunga kredit;
i. suku bunga simpanan;
j.
k. remitansi.
(4) Kelompok informasi data pokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d meliputi informasi:
a. data pokok pelapor;
b. data pihak lawan; dan
c. agunan/jaminan.
Bagian Kedua
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
Pasal 9
(1) Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada Pasal
2 ayat (1) dilakukan secara terpusat oleh Pelapor yang
meliputi:
a. kantor pusat bank atau kantor koordinator yang
ditunjuk;
b. unit usaha syariah; dan
c. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri.
(2) Pelaporan secara terpusat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk kelompok informasi keuangan dan
kelompok informasi data pokok yang dilaporkan secara
individual per kantor cabang Pelapor harus bisa
diidentifikasi untuk masing-masing kantor cabang
Pelapor.
(3) Dalam hal Laporan belum dapat disampaikan secara
terpusat oleh Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat
infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan
kartu dan uang elektronik;
tingkat imbalan deposito investasi mudharabah; dan
9ii
(1), Laporan disampaikan oleh masing-masing kantor
cabang Pelapor.
(4) Dalam hal Laporan disampaikan oleh masing-masing
kantor cabang Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis disertai dengan rencana tindak yang telah
disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada:
Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara,
Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
(5) Rencana tindak yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling
sedikit memuat:
a.
target dimulainya pelaksanaan pengiriman Laporan
secara terpusat;
b. rincian kegiatan dan pembagian waktu pelaksanaan
untuk mencapai target sebagaimana dimaksud pada
huruf a; dan
c. penanggung jawab pelaksanaan pelaporan secara
terpusat.
(6) Pemberitahuan secara tertulis dan rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh
direksi Bank.
(7) Penyampaian pemberitahuan secara tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) wajib dilakukan paling lambat
pada tanggal 30 Juni 2020.
Pasal 10
(1) Dalam hal terdapat kesalahan pada Laporan yang telah
disampaikan, Pelapor wajib menyampaikan koreksi
Laporan.
(2) Koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan atas dasar:
a.
b.
inisiatif Pelapor;
hasil audit oleh akuntan publik; atau
c. temuan Bank Indonesia dan/atau otoritas lainnya.
10ii
(3) Penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada ketentuan
penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2).
BAB IV
PERIODISASI LAPORAN
Pasal 11
Periode penyampaian untuk Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) terdiri atas:
a. harian;
b. mingguan;
c. bulanan; dan
d. triwulanan.
Bagian Kesatu
Kewajiban Penyampaian dan Periodisasi Laporan Bagi Bank
Umum Konvensional
Paragraf 1
Penyampaian Laporan Secara Harian
Pasal 12
(1) Pelapor berupa bank umum konvensional yang melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing dan bank umum
konvensional yang memenuhi kriteria untuk melakukan
transaksi derivatif suku bunga rupiah wajib
menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf oo, huruf
pp, dan huruf qq secara harian yaitu:
a. laporan posisi keuangan;
b. rekening administratif;
c. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit
on call;
11ii
d. transaksi spot dan derivatif; dan
e. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di
pasar sekunder.
(2) Pelapor berupa bank umum konvensional yang tidak
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dan tidak
memenuhi kriteria untuk melakukan transaksi derivatif
suku bunga rupiah wajib menyampaikan Laporan berupa
informasi dalam kelompok informasi keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf oo, dan huruf qq secara harian yaitu:
a. laporan posisi keuangan;
b. rekening administratif;
c. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit
on call; dan
d. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di
pasar sekunder.
Pasal 13
(1) Pelapor berupa bank umum konvensional yang melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf
a, huruf b, dan huruf e secara harian yaitu:
a. posisi devisa neto;
b. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam
valas jangka pendek; dan
c. proyeksi arus kas.
(2) Pelapor berupa bank umum konvensional yang tidak
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing wajib
menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) huruf b dan huruf e secara harian yaitu:
a. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam
valas jangka pendek; dan
b. proyeksi arus kas.
12ii
(3) Pelapor berupa bank umum konvensional yang
merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri wajib menyampaikan Laporan berupa
informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf
d, dan huruf e secara harian yaitu:
a. posisi devisa neto;
b. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam
valas jangka pendek; dan
c. dana usaha kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri; dan
d. proyeksi arus kas.
Pasal 14
(1) Pelapor berupa bank umum konvensional wajib
menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf h dan huruf i secara harian yaitu:
a. suku bunga kredit; dan
b. suku bunga simpanan.
(2) Pelapor berupa bank umum konvensional yang ditunjuk
sebagai bank kontributor sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai Indonesia Overnight
Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate wajib
menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf g, huruf h, dan huruf i secara harian yaitu:
a. suku bunga penawaran;
b. suku bunga kredit; dan
c. suku bunga simpanan.
13ii
Paragraf 2
Penyampaian Laporan Secara Mingguan
Pasal 15
Pelapor berupa bank umum konvensional wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c secara
mingguan yaitu dana pihak ketiga untuk perhitungan
pemenuhan giro wajib minimum.
Paragraf 3
Penyampaian Laporan Secara Bulanan
Pasal 16
Pelapor berupa bank umum konvensional wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf o, huruf s sampai dengan huruf ll, dan huruf nn
secara bulanan yaitu:
a. laporan posisi keuangan;
b. rekening administratif;
c. laba rugi;
d. kas dalam valuta asing;
e. penempatan pada Bank Indonesia;
f. penempatan pada bank lain;
g. transaksi spot dan derivatif yang masih berjalan;
h. surat berharga yang dimiliki;
i.
surat berharga repo dan liabilitas repo;
j.
tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual
kembali (reverse repo);
k. akseptasi;
l.
kredit/pembiayaan;
m. penyertaan modal;
n. aset keuangan lainnya;
o. aset tetap dan inventaris;
p. properti terbengkalai;
q. agunan yang diambil alih;
14ii
r.
rekening tunda;
s. aset tidak berwujud;
t.
aset antar kantor;
u. aset lainnya;
v.
giro;
w. tabungan;
x. deposito;
y. liabilitas kepada Bank Indonesia;
z. liabilitas kepada bank lain;
aa. surat berharga yang diterbitkan;
bb. pinjaman/pembiayaan yang diterima;
cc. setoran jaminan;
dd. liabilitas antar kantor;
ee. liabilitas lainnya;
ff. rincian modal;
gg. penghasilan/beban komprehensif lain;
hh. irrevocable L/C;
ii. garansi; dan
jj. aset keuangan yang dihapus buku.
Pasal 17
(1) Pelapor berupa bank umum konvensional yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit
kartu kredit, penerbit kartu automated teller machine
(ATM), penerbit kartu debet, dan/atau penerbit uang
elektronik wajib menyampaikan Laporan berupa informasi
dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f secara bulanan yaitu fraud
alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang
elektronik.
(2) Pelapor berupa bank umum konvensional yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit
uang elektronik dan persetujuan dari Bank Indonesia
untuk menyelenggarakan kegiatan layanan keuangan
digital wajib menyampaikan Laporan berupa informasi
dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud
15ii
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f dan huruf g secara bulanan
yaitu:
a. fraud alat pembayaran dengan menggunakan kartu
dan uang elektronik; dan
b. permasalahan layanan keuangan digital.
Pasal 18
(1) Pelapor berupa bank umum konvensional yang melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi
kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf k
secara bulanan yaitu remitansi.
(2) Pelapor berupa bank umum konvensional yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit
kartu kredit wajib menyampaikan Laporan berupa
informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem
pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan huruf d secara bulanan
yaitu:
a. kartu kredit; dan
b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan
kartu dan uang elektronik.
(3) Pelapor berupa bank umum konvensional yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit
kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu
debet wajib menyampaikan Laporan berupa informasi
dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran
dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3) huruf b dan huruf d secara bulanan yaitu:
a. kartu ATM dan/atau kartu ATM debet; dan
b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan
kartu dan uang elektronik.
(4) Pelapor berupa bank umum konvensional yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit
uang elektronik wajib menyampaikan Laporan berupa
informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem
16ii
pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c dan huruf d secara bulanan
yaitu:
a. uang elektronik; dan
b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan
kartu dan uang elektronik.
(5) Pelapor berupa bank umum konvensional yang telah
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagai
penyelenggara layanan keuangan digital
wajib
menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf e secara bulanan yaitu agen layanan keuangan
digital.
(6) Pelapor berupa bank umum konvensional yang
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk
menyelenggarakan kegiatan proprietary channel wajib
menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf f secara bulanan yaitu proprietary channel.
Pasal 19
Pelapor berupa bank umum konvensional wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi data
pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf c
secara bulanan yaitu agunan/jaminan.
Paragraf 4
Penyampaian Laporan Secara Triwulanan
Pasal 20
Pelapor berupa bank umum konvensional dan memiliki
perusahaan anak wajib menyampaikan Laporan berupa
informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana
17ii
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c
secara triwulanan yaitu:
a. laporan posisi keuangan;
b. rekening administratif; dan
c. laba rugi.
Pasal 21
Pelapor berupa bank umum konvensional wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf h, huruf i,
dan huruf j secara triwulanan yaitu:
a. pengaduan nasabah;
b. publikasi negatif; dan
c. penyelesaian sengketa.
Bagian Kedua
Kewajiban Penyampaian dan Periodisasi Laporan Bagi Bank
Umum Syariah
Paragraf 1
Penyampaian Laporan Secara Harian
Pasal 22
(1) Pelapor berupa bank umum syariah yang melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf oo, huruf pp, dan huruf qq secara
harian yaitu:
a. laporan posisi keuangan;
b. rekening administratif;
c. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit
on call;
d. transaksi spot dan derivatif; dan
e. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di
pasar sekunder.
18ii
(2) Pelapor berupa bank umum syariah yang tidak melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf oo, dan huruf qq secara harian
yaitu:
a. laporan posisi keuangan;
b. rekening administratif;
c. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit
on call; dan
d. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di
pasar sekunder.
Pasal 23
(1) Pelapor berupa bank umum syariah yang melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf
a, huruf b, dan huruf e secara harian yaitu:
a. posisi devisa neto;
b. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam
valas jangka pendek; dan
c. proyeksi arus kas.
(2) Pelapor berupa bank umum syariah yang tidak melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf
b dan huruf e secara harian yaitu:
a. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam
valas jangka pendek; dan
b. proyeksi arus kas.
Pasal 24
Pelapor berupa bank umum syariah wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan
sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud
19ii
dalam Pasal 8 ayat (3) huruf j secara harian yaitu tingkat
imbalan deposito investasi mudharabah.
Paragraf 2
Penyampaian Laporan Secara Mingguan
Pasal 25
Pelapor berupa bank umum syariah wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c secara
mingguan yaitu dana pihak ketiga untuk perhitungan
pemenuhan giro wajib minimum.
Paragraf 3
Penyampaian Laporan Secara Bulanan
Pasal 26
Pelapor berupa bank umum syariah wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf h dan huruf j sampai dengan huruf nn secara
bulanan yaitu:
a. laporan posisi keuangan;
b. rekening administratif;
c. laba rugi;
d. kas dalam valuta asing;
e. penempatan pada Bank Indonesia;
f. penempatan pada bank lain;
g. transaksi spot dan derivatif yang masih berjalan;
h. surat berharga yang dimiliki;
i.
tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual
kembali (reverse repo);
j. akseptasi;
k. kredit/pembiayaan;
l. penyertaan modal;
m. aset keuangan lainnya;
n. aset tetap dan inventaris;
20ii
o. salam;
p. aset istishnaโ dalam penyelesaian;
q. persediaan;
r. properti terbengkalai;
s. agunan yang diambil alih;
t.
rekening tunda;
u. aset tidak berwujud;
v. aset antar kantor;
w. aset lainnya;
x.
giro;
y. tabungan;
z.
deposito;
aa. liabilitas kepada Bank Indonesia;
bb. liabilitas kepada bank lain;
cc. surat berharga yang diterbitkan;
dd. pinjaman/pembiayaan yang diterima;
ee. setoran jaminan;
ff. liabilitas antar kantor;
gg. liabilitas lainnya;
hh. rincian modal;
ii. penghasilan/beban komprehensif lain;
jj.
irrevocable L/C;
kk. garansi;
ll. penerusan dana (channeling); dan
mm. aset keuangan yang dihapus buku.
Pasal 27
(1) Pelapor berupa bank umum syariah yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit
kartu kredit, penerbit kartu automated teller machine
(ATM), penerbit kartu debet, dan/atau penerbit uang
elektronik wajib menyampaikan Laporan berupa informasi
dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f secara bulanan yaitu fraud
alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang
elektronik.
21ii
(2) Pelapor berupa bank umum syariah yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit
uang elektronik dan persetujuan dari Bank Indonesia
untuk menyelenggarakan kegiatan layanan keuangan
digital wajib menyampaikan Laporan berupa informasi
dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f dan huruf g secara bulanan
yaitu:
a. fraud alat pembayaran dengan menggunakan kartu
dan uang elektronik; dan
b. permasalahan layanan keuangan digital.
Pasal 28
(1) Pelapor berupa bank umum syariah yang melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi
kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf k
secara bulanan yaitu remitansi.
(2) Pelapor berupa bank umum syariah yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit
kartu kredit wajib menyampaikan Laporan berupa
informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem
pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan huruf d secara bulanan
yaitu:
a. kartu kredit; dan
b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan
kartu dan uang elektronik.
(3) Pelapor berupa bank umum syariah yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit
kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu
debet wajib menyampaikan Laporan berupa informasi
dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran
22ii
dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3) huruf b dan huruf d secara bulanan yaitu:
a. kartu ATM dan/atau kartu ATM debet; dan
b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan
kartu dan uang elektronik.
(4) Pelapor berupa bank umum syariah yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit
uang elektronik wajib menyampaikan Laporan berupa
informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem
pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c dan huruf d secara bulanan
yaitu:
a. uang elektronik; dan
b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan
kartu dan uang elektronik.
(5) Pelapor berupa bank umum syariah yang telah
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagai
penyelenggara layanan keuangan digital
wajib
menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf e secara bulanan yaitu agen layanan keuangan
digital.
(6) Pelapor berupa bank umum syariah yang memperoleh
persetujuan
dari Bank Indonesia untuk
menyelenggarakan kegiatan proprietary channel wajib
menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf f secara bulanan yaitu proprietary channel.
Pasal 29
Pelapor berupa bank umum syariah wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi data
pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf c
secara bulanan yaitu agunan/jaminan.
23ii
Paragraf 4
Penyampaian Laporan Secara Triwulanan
Pasal 30
Pelapor berupa bank umum syariah dan memiliki perusahaan
anak wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c secara triwulanan
yaitu:
a. laporan posisi keuangan;
b. rekening administratif; dan
c. laba rugi.
Pasal 31
Pelapor berupa bank umum syariah wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf h, huruf i,
dan huruf j secara triwulanan yaitu:
a. pengaduan nasabah;
b. publikasi negatif; dan
c. penyelesaian sengketa.
Bagian Ketiga
Kewajiban Penyampaian dan Periodisasi Laporan Bagi Unit
Usaha Syariah
Paragraf 1
Penyampaian Laporan Secara Harian
Pasal 32
(1) Pelapor berupa unit usaha syariah pada bank umum
konvensional yang melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing wajib menyampaikan Laporan berupa
informasi dalam kelompok informasi keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a,
24ii
huruf b, huruf oo, huruf pp, dan huruf qq secara harian
yaitu:
a. laporan posisi keuangan;
b. rekening administratif;
c. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit
on call;
d. transaksi spot dan derivatif; dan
e. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di
pasar sekunder.
(2) Pelapor berupa unit usaha syariah pada bank umum
konvensional yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing wajib menyampaikan Laporan berupa
informasi dalam kelompok informasi keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf oo, dan huruf qq secara harian yaitu:
a. laporan posisi keuangan;
b. rekening administratif;
c. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit
on call; dan
d. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di
pasar sekunder.
Pasal 33
Pelapor berupa unit usaha syariah wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan
sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) huruf j secara harian yaitu tingkat
imbalan deposito investasi mudharabah.
Paragraf 2
Penyampaian Laporan Secara Mingguan
Pasal 34
Pelapor berupa unit usaha syariah wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko
25ii
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c secara
mingguan yaitu dana pihak ketiga untuk perhitungan
pemenuhan giro wajib minimum.
Paragraf 3
Penyampaian Laporan Secara Bulanan
Pasal 35
Pelapor berupa unit usaha syariah wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf h dan huruf j sampai dengan huruf nn secara
bulanan yaitu:
a. laporan posisi keuangan;
b. rekening administratif;
c. laba rugi;
d. kas dalam valuta asing;
e. penempatan pada Bank Indonesia;
f. penempatan pada bank lain;
g. transaksi spot dan derivatif yang masih berjalan;
h. surat berharga yang dimiliki;
i.
tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual
kembali (reverse repo);
j. akseptasi;
k. kredit/pembiayaan;
l. penyertaan modal;
m. aset keuangan lainnya;
n. aset tetap dan inventaris;
o. salam;
p. aset istishnaโ dalam penyelesaian;
q. persediaan;
r. properti terbengkalai;
s. agunan yang diambil alih;
t.
rekening tunda;
u. aset tidak berwujud;
v. aset antar kantor;
w. aset lainnya;
26ii
x.
giro;
y. tabungan;
z.
deposito;
aa. liabilitas kepada Bank Indonesia;
bb. liabilitas kepada bank lain;
cc. surat berharga yang diterbitkan;
dd. pinjaman/pembiayaan yang diterima;
ee. setoran jaminan;
ff. liabilitas antar kantor;
gg. liabilitas lainnya;
hh. rincian modal;
ii. penghasilan/beban komprehensif lain;
jj.
irrevocable L/C;
kk. garansi;
ll. penerusan dana (channeling); dan
mm. aset keuangan yang dihapus buku.
Pasal 36
(1) Pelapor berupa unit usaha syariah yang telah memperoleh
izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit kartu kredit,
penerbit kartu automated teller machine (ATM), penerbit
kartu debet, dan/atau penerbit uang elektronik wajib
menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) huruf f secara bulanan yaitu fraud alat
pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang
elektronik.
(2) Pelapor berupa unit usaha syariah yang telah memperoleh
izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit uang elektronik
dan persetujuan dari Bank Indonesia untuk
menyelenggarakan kegiatan layanan keuangan digital
wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) huruf f dan huruf g secara bulanan yaitu:
a. fraud alat pembayaran dengan menggunakan kartu
dan uang elektronik; dan
b. permasalahan layanan keuangan digital.
27ii
Pasal 37
(1) Pelapor berupa unit usaha syariah yang telah memperoleh
izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit kartu kredit
wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf a dan d secara bulanan yaitu:
a. kartu kredit; dan
b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan
kartu dan uang elektronik.
(2) Pelapor berupa unit usaha syariah yang telah memperoleh
izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit kartu automated
teller machine (ATM) dan/atau kartu debet wajib
menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf b dan huruf d secara bulanan yaitu:
a. kartu ATM dan/atau kartu ATM debet; dan
b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan
kartu dan uang elektronik.
(3) Pelapor berupa unit usaha syariah yang telah memperoleh
izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit uang elektronik
wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf c dan huruf d secara bulanan yaitu:
a. uang elektronik; dan
b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan
kartu dan uang elektronik.
(4) Pelapor berupa unit usaha syariah yang telah memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia sebagai penyelenggara
layanan keuangan digital wajib menyampaikan Laporan
berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan
sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e secara bulanan
yaitu agen layanan keuangan digital.
28ii
Pasal 38
Pelapor berupa unit usaha syariah wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi data
pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf c
secara bulanan yaitu agunan/jaminan.
Bagian Keempat
Penyampaian Informasi Pokok Pelapor dan
Informasi Pihak Lawan
Pasal 39
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan berupa informasi
dalam kelompok informasi data pokok dan perubahannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a
yaitu data pokok pelapor.
(2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui surat kepada Bank Indonesia
disertai dengan:
a. data pokok pelapor sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini; dan
b. salinan surat terkait data pokok pelapor dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(3) Pelapor melakukan sinkronisasi terhadap informasi data
pokok pelapor melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank
Indonesia.
(4) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada:
Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara,
Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
Pasal 40
Pelapor wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam
kelompok informasi data pokok dan perubahannya
29ii
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b yaitu
data pihak lawan.
Bagian Kelima
Cakupan Penyampaian Laporan
Pasal 41
(1) Informasi yang dilaporkan secara individual per kantor
cabang Pelapor dilakukan untuk informasi dalam:
a. kelompok informasi keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 26, dan Pasal 35;
dan
b. kelompok informasi data pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 29, Pasal 38, Pasal
39, dan Pasal 40.
(2) Informasi yang dilaporkan secara gabungan seluruh
kantor Pelapor dilakukan untuk informasi dalam:
a. kelompok informasi keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 22, dan Pasal 32.
b. kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 21, Pasal
23, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 34, dan Pasal
36.
c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan
jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14, Pasal 18, Pasal 24, Pasal 28, Pasal 33, dan Pasal
37.
d. kelompok informasi data pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40.
(3) Informasi yang dilaporkan secara konsolidasi bank dan
perusahaan anak dilakukan untuk informasi dalam
kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 dan Pasal 30.
30ii
BAB V
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN
DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN
Pasal 42
Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan terdiri atas:
a. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk
data akhir bulan Desember 2019 sampai dengan data
akhir bulan Agustus 2020; dan
b. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sejak
data bulan September 2020.
Bagian Kesatu
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
untuk Data Akhir Bulan Desember 2019 sampai dengan Data
Akhir Bulan Agustus 2020
Paragraf 1
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
Secara Harian
Pasal 43
Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai
dengan data akhir bulan Agustus 2020 secara harian dengan
batas waktu pukul 23.59 WIB, pada setiap hari kerja termasuk
hari yang ditetapkan Bank Indonesia untuk melakukan
kegiatan operasional terbatas, untuk informasi dalam:
a. kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, Pasal 22, dan Pasal 32, yang mencakup:
1. laporan posisi keuangan, untuk data 2 (dua) Hari
Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan;
2. rekening administratif, untuk data 2 (dua) Hari Kerja
sebelum tanggal penyampaian laporan;
3. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit
on call, untuk data tanggal penyampaian laporan;
31ii
4. transaksi spot dan derivatif, untuk data tanggal
penyampaian laporan; dan
5. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di
pasar sekunder, untuk data tanggal penyampaian
laporan;
b. kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dan Pasal 23, yang mencakup:
1.
posisi devisa neto, untuk data 2 (dua) Hari Kerja
sebelum tanggal penyampaian laporan;
2. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam
valas jangka pendek, untuk data 2 (dua) Hari Kerja
sebelum tanggal penyampaian laporan;
3. dana usaha kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, untuk data 2 (dua) Hari
Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan; dan
4. proyeksi arus kas, untuk data tanggal penyampaian
laporan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari; dan
c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal
24, dan Pasal 33, yang mencakup:
1. suku bunga penawaran;
2. suku bunga kredit;
3. suku bunga simpanan; dan
4. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah,
untuk data tanggal penyampaian laporan.
Paragraf 2
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
Secara Mingguan
Pasal 44
Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai
dengan data akhir bulan Agustus 2020 secara mingguan
dengan batas waktu:
a. tanggal 9, untuk data tanggal 24 sampai dengan
akhir bulan sebelumnya;
32ii
b. tanggal 16, untuk data tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7;
c. tanggal 24, untuk data tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15; dan
d. tanggal 2 pada bulan berikutnya, untuk data tanggal 16
sampai dengan tanggal 23,
untuk informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 25, dan Pasal 34, yaitu dana
pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib
minimum.
Paragraf 3
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
Secara Bulanan
Pasal 45
Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai
dengan data akhir bulan Agustus 2020 secara bulanan dengan
batas waktu tanggal 20 bulan berikutnya untuk informasi
dalam:
a. kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16, Pasal 26, dan Pasal 35;
b. kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 36;
c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal
28, dan Pasal 37; dan
d. kelompok informasi data pokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, Pasal 29, dan Pasal 38.
33ii
Paragraf 4
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
Secara Triwulanan
Pasal 46
Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai
dengan data akhir bulan Agustus 2020 secara triwulanan
dengan batas waktu tanggal 28 bulan berikutnya untuk
informasi dalam:
a. kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 dan Pasal 30; dan
b. kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dan Pasal 31.
Paragraf 5
Periode Keterlambatan dan Tidak Menyampaikan Laporan
Pasal 47
Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data
akhir bulan Juni 2020 sampai dengan data akhir bulan
Agustus 2020 berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan untuk 1 (satu) periode
penyampaian mingguan, bulanan, dan triwulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, huruf c,
dan huruf d dalam hal Laporan dan/atau koreksi Laporan
diterima oleh Bank Indonesia dalam periode
keterlambatan yaitu sampai dengan 2 (dua) hari setelah
batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46;
b. dalam hal batas akhir periode keterlambatan
penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a jatuh pada hari
Sabtu, hari Minggu, atau hari libur nasional maka batas
akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan
34ii
dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari Kerja berikutnya,
kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia;
c. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dalam
hal Bank Indonesia belum menerima Laporan dengan
periode mingguan, bulanan, dan triwulanan sampai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan Laporan dengan periode harian sampai dengan
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43;
d. Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a diberikan pemberitahuan
tertulis; dan
e. Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam
huruf c diberikan pemberitahuan tertulis.
Bagian Kedua
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
sejak Data Bulan September 2020
Paragraf 1
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
Secara Harian
Pasal 48
Pelapor wajib menyampaikan Laporan sejak data bulan
September 2020 secara harian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal
32, dan Pasal 33 dalam batas waktu yang ditetapkan Bank
Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pukul 10.30 WIB, untuk informasi dalam kelompok
informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan
yaitu suku bunga penawaran untuk data tanggal
penyampaian laporan;
b. pukul 12.00 WIB, untuk informasi dalam kelompok
informasi keuangan yaitu transaksi pasar uang
antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip
35ii
syariah, dan deposit on call untuk transaksi pasar uang
antarbank pagi rupiah untuk data tanggal penyampaian
laporan;
c. pukul 18.00 WIB, untuk informasi dalam:
1. kelompok informasi keuangan, yaitu:
a) transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan
deposit on call untuk:
1) transaksi pasar uang antarbank sore
rupiah;
2) transaksi pasar uang antarbank valuta
asing;
3) transaksi
pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah; dan
4) transaksi deposit on call; dan
b) transaksi surat berharga dan sertifikat deposito
di pasar sekunder,
untuk data tanggal penyampaian laporan; dan
2. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan
jasa keuangan, yaitu:
a) suku bunga kredit;
b) suku bunga simpanan; dan
c)
tingkat imbalan deposito investasi mudharabah,
untuk data tanggal penyampaian laporan; dan
d. pukul 23.59 WIB, untuk informasi dalam:
1. kelompok informasi keuangan, yaitu:
a) laporan posisi keuangan, untuk data 2 (dua) Hari
Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan;
b) rekening administratif, untuk data 2 (dua) Hari
Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan;
c)
transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan
deposit on call, untuk transaksi pasar uang
antarbank yang dilakukan oleh Pelapor dengan
bank di luar negeri untuk data tanggal
penyampaian laporan; dan
36ii
d) transaksi spot dan derivatif, untuk data tanggal
penyampaian laporan; dan
2. kelompok informasi risiko, yaitu:
a) posisi devisa neto, untuk data 2 (dua) Hari Kerja
sebelum tanggal penyampaian laporan;
b) utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya
dalam valas jangka pendek, untuk data 2 (dua)
Hari Kerja sebelum tanggal penyampaian
laporan;
c) dana usaha kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, untuk data 2 (dua)
Hari Kerja sebelum tanggal penyampaian
laporan; dan
d) proyeksi arus kas, untuk data tanggal
penyampaian laporan sampai dengan 30 (tiga
puluh) hari,
pada setiap hari kerja termasuk hari yang ditetapkan Bank
Indonesia untuk melakukan kegiatan operasional terbatas.
Pasal 49
Pelapor wajib menyampaikan koreksi Laporan sejak data bulan
September 2020 secara harian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal
32, dan Pasal 33 dalam batas waktu yang ditetapkan Bank
Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pukul 10.45 WIB pada hari yang sama, untuk Laporan
yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf a;
b. pukul 12.00 WIB pada hari yang sama, untuk Laporan
yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf b;
c. pukul 18.00 WIB pada hari yang sama, untuk Laporan
yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf c;
d. pukul 23.59 WIB pada hari yang sama, untuk Laporan
yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
37ii
huruf d angka 1 huruf a) dan huruf b) serta angka 2 huruf
a) dan huruf d);
e. pukul 16.00 WIB pada hari berikutnya yang merupakan
hari kerja termasuk hari yang ditetapkan Bank Indonesia
untuk melakukan kegiatan operasional terbatas, untuk
Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 huruf d angka 1 huruf c) dan huruf d) serta angka
2 huruf b) dan huruf c); dan
f. pukul 16.00 WIB pada tanggal valuta transaksi spot dan
derivatif, untuk Laporan yang disampaikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 huruf d angka 1 huruf d),
apabila terdapat kesalahan atas jenis dokumen underlying
untuk kontrak selain tod.
Paragraf 2
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
Secara Mingguan
Pasal 50
Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan sejak data bulan September 2020 secara mingguan
dalam batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. tanggal 6, untuk data tanggal 24 sampai dengan
akhir bulan sebelumnya;
b. tanggal 13, untuk data tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7;
c. tanggal 21, untuk data tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15; dan
d. tanggal 29, untuk data tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23,
untuk informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 25, dan Pasal 34, yaitu dana
pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib
minimum.
38ii
Paragraf 3
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
Secara Bulanan
Pasal 51
Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan sejak data bulan September 2020 secara bulanan
dalam batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. tanggal 5 bulan berikutnya setelah berakhirnya
bulan Laporan yang bersangkutan, untuk informasi
dalam:
1. kelompok
informasi
keuangan
dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 26, dan Pasal 35;
dan
2. kelompok informasi data pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 29, dan Pasal 38;
dan
b. tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya
bulan Laporan yang bersangkutan, untuk informasi
dalam:
1. kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 36; dan
2. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan
jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18, Pasal 28, dan Pasal 37.
Paragraf 4
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
Secara Triwulanan
Pasal 52
Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan sejak data bulan September 2020 secara triwulanan
sebagaimana
39ii
dalam batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. tanggal 10 bulan April, bulan Juli, bulan Oktober,
dan bulan Januari, untuk informasi dalam kelompok
informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dan Pasal 31; dan
b. tanggal 23 bulan April, bulan Juli, bulan Oktober,
dan bulan Januari, untuk informasi dalam kelompok
informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 dan Pasal 30.
Paragraf 5
Periode Keterlambatan dan Tidak Menyampaikan Laporan
Pasal 53
(1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan untuk 1 (satu) periode
penyampaian mingguan, bulanan, dan triwulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, huruf c,
dan huruf d dalam hal Laporan dan/atau koreksi Laporan
diterima oleh Bank Indonesia dalam periode
keterlambatan yaitu sampai dengan 2 (dua) hari setelah
batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52.
(2) Dalam hal batas akhir periode keterlambatan
penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
Sabtu, hari Minggu, atau hari libur nasional maka batas
akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari Kerja berikutnya,
kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia.
Pasal 54
Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dalam hal
Bank Indonesia belum menerima Laporan dengan periode
harian sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 dan Laporan dengan periode mingguan,
40ii
bulanan, dan triwulanan sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.
Bagian Ketiga
Batas Waktu Penyampaian Laporan dan/atau
Koreksi Laporan pada Hari Libur
Pasal 55
Dalam hal batas waktu penyampaian Laporan dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal
45, Pasal 46, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52 jatuh pada hari
Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, dan/atau hari cuti
bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sehubungan
dengan perayaan hari raya keagamaan maka batas waktu
penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari
Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia.
Pasal 56
(1) Ketentuan penyampaian Laporan secara harian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 32, dan Pasal 33
yaitu:
a. untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai
dengan data akhir bulan Agustus 2020 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43; dan
b. sejak data bulan September 2020 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48,
tidak berlaku dalam hal Pelapor tidak beroperasi, dengan
terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. tanggal Pelapor tidak beroperasi; dan
b. alasan Pelapor tidak beroperasi.
41ii
(3) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada:
Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara,
Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
(4) Pelapor tetap menyampaikan Laporan berupa informasi
dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan kelompok
informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d pada Hari Kerja
pertama Pelapor beroperasi kembali yaitu:
a. laporan posisi keuangan;
b. rekening administratif;
c. posisi devisa neto;
d. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam
valas jangka pendek; dan
e. dana usaha kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
BAB VI
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN
DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN
Pasal 57
(1) Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara online melalui sistem pelaporan
terintegrasi Bank Indonesia.
(2) Penyampaian Laporan secara online sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
keamanan lingkungan perangkat yang digunakan untuk
mengakses sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia.
Pasal 58
(1) Dalam hal Pelapor:
a. mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan
Laporan dan/atau koreksi Laporan; dan/atau
42ii
b. tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau
koreksi Laporan yang disebabkan gangguan teknis
dan/atau gangguan lainnya pada sistem atau
jaringan telekomunikasi di Bank Indonesia,
yang terjadi pada batas waktu penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 sampai dengan Pasal 52 maka Laporan dan/atau
koreksi Laporan disampaikan secara offline.
(2) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara
offline sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
dengan periode penyampaian Laporan secara harian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a
disampaikan paling lambat:
1. pukul 10.45 WIB, untuk Laporan yang
disampaikan dengan batas waktu pukul 10.30
WIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf a;
2. pukul 14.00 WIB, untuk Laporan yang
disampaikan dengan batas waktu pukul 12.00
WIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf b;
3. pukul 20.00 WIB, untuk Laporan yang
disampaikan dengan batas waktu pukul 18.00
WIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf c; dan
4. pukul 10.00 WIB Hari Kerja berikutnya, untuk
Laporan yang disampaikan dengan batas waktu
pukul 23.59 WIB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 huruf d; dan
b. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
dengan periode penyampaian Laporan secara
mingguan, bulanan, dan triwulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, huruf c, dan huruf
d disampaikan pada Hari Kerja berikutnya setelah
batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi
43ii
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50,
Pasal 51, dan Pasal 52.
(3) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara
offline sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan surat pemberitahuan kepada Bank Indonesia yang
mewilayahi Pelapor sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Surat pemberitahuan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh
pejabat Bank.
(5) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara
offline oleh Pelapor yang mengalami gangguan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
disertai dengan bukti dan penjelasan mengenai gangguan
teknis tersebut.
(6) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis atau
melalui sarana lain kepada Pelapor mengenai terjadinya
gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
Pasal 59
(1) Penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 huruf f disertai dengan surat penyampaian
koreksi jenis dokumen underlying kepada Bank Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Koreksi Laporan yang disampaikan setelah batas waktu
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan
periode keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 disertai dengan surat penyampaian koreksi
Laporan di luar batas waktu penyampaian atau periode
keterlambatan kepada Bank Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
44ii
(3) Surat penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) disampaikan secara online melalui
sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia.
(4) Penyampaian koreksi Laporan setelah batas waktu
penyampaian dan periode keterlambatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan atas dasar hasil
audit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2) huruf b disertai dengan surat opini dari
kantor akuntan publik dan laporan keuangan utama yang
telah diaudit.
Pasal 60
(1) Pelapor yang memiliki kewajiban penyampaian Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan
Pasal 38 namun tidak memiliki data atau transaksi terkait
pada periode Laporan, tetap wajib menyampaikan Laporan
dengan isian nihil.
(2) Laporan dengan isian nihil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yaitu file kosong dengan penamaan file mengikuti
aturan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.
Pasal 61
(1) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan pada tanggal diterimanya
Laporan dan/atau koreksi Laporan oleh Bank Indonesia.
(2) Penerimaan Laporan dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan
tanda terima penyampaian Laporan yang diperoleh dari
sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia.
(3) Tanda terima penyampaian Laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam hal Laporan
dan/atau koreksi Laporan dinyatakan lolos validasi sistem
pelaporan terintegrasi Bank Indonesia.
45ii
(4) Tanda terima penyampaian koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a.
informasi yang dikoreksi;
b. waktu koreksi Laporan diterima; dan
c. jumlah baris yang dikoreksi.
Pasal 62
Setelah menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan yang
disampaikan secara harian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, Pasal 22, dan Pasal 32 yaitu:
a. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call;
b. transaksi spot dan derivatif; dan
c. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar
sekunder,
Pelapor harus memastikan bahwa status transaksi telah
matching dengan data Pelapor lain sebagai lawan transaksi.
Pasal 63
(1) Pelapor yang mengalami keadaan kahar sehingga
menyebabkan tidak tersedianya informasi, dikecualikan
dari kewajiban menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Pelapor yang mengalami keadaan kahar sehingga
menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan, dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan dalam
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
sampai dengan Pasal 38.
(3) Pelapor yang mengalami keadaan kahar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus segera
menyampaikan permohonan pengecualian secara tertulis
kepada Bank Indonesia dengan memberikan penjelasan
mengenai keadaan kahar yang dialami.
46ii
(4) Permohonan pengecualian secara tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh direksi atau
pimpinan Bank.
(5) Permohonan pengecualian secara tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada:
Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan
Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara,
Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
(6) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) berlaku dalam hal permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) telah disetujui oleh Bank
Indonesia.
(7) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
setelah Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional
secara normal.
BAB VII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 64
(1) Pelapor yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan bank umum
terintegrasi dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. kewajiban membayar.
(2) Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban
membayar kepada Pelapor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, Bank Indonesia mendebit rekening giro
rupiah Pelapor pada Bank Indonesia.
(3) Contoh pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
47ii
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 65
(1) Pelapor yang melakukan penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan tetap wajib menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24,
Pasal 32, dan Pasal 33 untuk data sampai dengan
Hari Kerja terakhir sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan dan peleburan;
b. secara mingguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15, Pasal 25, dan Pasal 34 untuk data sampai dengan
minggu Hari Kerja terakhir sebelum tanggal efektif
pelaksanaan penggabungan dan peleburan;
c. secara bulanan untuk:
1. kelompok informasi keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 26, dan Pasal
35; dan
2. kelompok informasi data pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 29, dan Pasal
38,
untuk data sampai dengan bulan sebelum tanggal
efektif pelaksanaan penggabungan dan peleburan;
d. secara bulanan untuk:
1. kelompok informasi risiko
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal
36; dan
2. kelompok informasi sistem pembayaran dan jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18, Pasal 28, atau Pasal 37,
untuk data sampai dengan bulan pada Hari Kerja
terakhir sebelum tanggal efektif pelaksanaan
penggabungan dan peleburan;
48ii
e. secara triwulanan untuk kelompok informasi
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
atau Pasal 30 sampai dengan triwulan sebelum
tanggal efektif pelaksanaan penggabungan dan
peleburan; dan
f.
secara triwulanan untuk kelompok informasi risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 atau Pasal 31
sampai dengan triwulan pada Hari Kerja terakhir
sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan
dan peleburan.
(2) Pelapor yang melakukan
konversi bank
umum konvensional menjadi bank umum syariah tetap
wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. sebelum konversi, bank umum konvensional
menyampaikan:
1. secara harian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 pada Hari Kerja
terakhir sebelum tanggal efektif konversi bank
umum konvensional menjadi bank umum
syariah;
2. secara mingguan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 pada minggu sebelum tanggal efektif
konversi bank umum konvensional menjadi
bank umum syariah;
3. secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 pada
bulan sebelum tanggal efektif konversi bank
umum konvensional menjadi bank umum
syariah; dan
4. secara triwulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 dan Pasal 21 pada triwulan sebelum
tanggal efektif
konversi bank umum
b. sesudah konversi,
konvensional menjadi bank umum syariah; dan
bank umum syariah
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
dengan mengacu kepada ketentuan sebagaimana
49ii
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
sejak tanggal efektif konversi bank umum
konvensional menjadi bank umum syariah.
(3) Pelapor yang merupakan hasil pemisahan tetap wajib
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
dengan mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini sejak
tanggal efektif pemisahan.
Pasal 66
(1) Bank Indonesia dapat menyediakan hasil olahan Laporan
kepada pihak lain dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian, dan/atau
nota kesepahaman dengan Bank Indonesia.
(2) Penyediaan hasil olahan Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. kelompok informasi keuangan, yaitu:
1. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan
deposit on call;
2.
transaksi spot dan derivatif;
3. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito
di pasar sekunder; dan/atau
4. informasi lainnya; dan/atau
b. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan
jasa keuangan:
1. suku bunga penawaran
2. suku bunga kredit;
3. suku bunga simpanan;
4. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah;
dan/atau
5. informasi lainnya.
(3) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengajukan permohonan menjadi pelanggan hasil olahan
secara tertulis kepada Bank Indonesia sebagaimana
contoh yang tercantum dalam Lampiran VIII yang
50ii
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Permohonan menjadi pelanggan hasil olahan secara
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
kepada:
Bank Indonesia c.q. Departemen Statistik, Menara
Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta
10350.
Pasal 67
(1) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada
calon pelanggan hasil olahan mengenai persetujuan atau
penolakan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari Kerja
setelah permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam hal permohonan disetujui oleh Bank Indonesia,
calon pelanggan hasil olahan harus menandatangani
perjanjian penggunaan hasil olahan Laporan dengan Bank
Indonesia sebagaimana contoh yang tercantum dalam
Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 68
Pelapor yang telah memiliki sandi Pelapor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) pada saat ketentuan ini mulai
berlaku tidak perlu mengajukan surat permohonan
pembukaan sandi Pelapor.
51ii
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 69
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal
12 Juli 2006 perihal Laporan Berkala Bank Umum
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/2/DSta tanggal
27 Januari 2015 perihal Perubahan Keempat atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP perihal
Laporan Berkala Bank Umum;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/16/DPbS tanggal
20 Juli 2006 perihal Laporan Berkala Bank Umum;
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal
22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/16/DSta tanggal
27 Juli 2016 perihal Perubahan Keempat atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM perihal Laporan
Bulanan Bank Umum;
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/4/DPM tanggal 4
Februari 2011 perihal Biaya Laporan Harian Bank Umum;
e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/37/DSta tanggal
5 September 2013 perihal Laporan Stabilitas Moneter dan
Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
16/7/DSta tanggal 22 April 2014 perihal Perubahan
Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
15/37/DSta perihal Laporan Stabilitas Moneter dan
Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah;
f.
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/18/PADG/2017 tanggal 28 Desember 2017 tentang
Laporan Harian Bank Umum sebagaimana telah diubah
52ii
beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/39/PADG/2018 tanggal 27
Desember 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/18/PADG/2017
tentang Laporan Harian Bank Umum; dan
g. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/20/PADG/2018 tanggal 30 Agustus 2018 tentang
Laporan Kantor Pusat Bank Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan
September 2020.
Pasal 70
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Desember 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
DESTRY DAMAYANTI
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/23/PADG/2019
TENTANG
LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI
I. UMUM
Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin
Simpanan telah mengembangkan sistem pelaporan yang terintegrasi dan
berbasis metadata dengan prinsip kolaboratif, efisiensi, dan konsistensi.
Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Bank Umum Terintegrasi yang
antara lain mengatur cakupan Laporan, periodisasi, dan batas waktu
penyampaian Laporan melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank
Indonesia.
Sejalan dengan implementasi pelaporan terintegrasi oleh Bank
Indonesia, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur tentang Laporan Bank Umum Terintegrasi sebagai pedoman dan
tata cara bagi Bank dalam menyusun dan menyampaikan Laporan melalui
sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
2
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โpetugas dan penanggung jawabโ adalah
petugas dan penanggung jawab di Bank yang diberi wewenang
dan tanggung jawab untuk menyusun, melakukan verifikasi, dan
menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โportal yang ditetapkan oleh otoritasโ
adalah sistem pelaporan dengan mekanisme satu pintu yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โmetadataโ adalah penjelasan mengenai
informasi yang dilaporkan Pelapor antara lain definisi, aturan
validasi, format, dan ketentuan acuan.
Yang dimaksud dengan โotoritasโ adalah Bank Indonesia, Otoritas
Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan โmedia lainโ antara lain melalui
pengumuman pada sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia.
3
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Surat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan mencakup antara
lain surat izin usaha bank atau surat izin spin-off.
Permohonan sandi bank dalam hal ini merupakan dampak dari
pendirian bank atau pelaksanaan langkah strategis dan
mendasar yang berdampak pada hubungan operasional Bank
dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan
terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank
Indonesia.
Ayat (4)
Kantor cabang dalam hal ini termasuk kantor cabang pembantu
bagi Pelapor dengan status kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โlangkah strategis dan mendasarโ
adalah langkah strategis dan mendasar sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan
operasional bank umum dengan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โsurat persetujuanโ adalah surat
persetujuan untuk melakukan langkah strategis dan mendasar.
4
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โindividual per kantor cabang
Pelaporโ adalah Laporan dari setiap kantor cabang Pelapor
termasuk kantor pusat yang melakukan kegiatan operasional,
unit usaha syariah, dan kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Target dimulainya pelaksanaan pengiriman Laporan secara
terpusat disampaikan secara rinci yang meliputi bulan dan
tahun.
5
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Hasil audit oleh akuntan publik mencakup audit atas
informasi keuangan historis atau penelaahan terbatas, baik
untuk periode tahunan maupun interim.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โotoritas lainnyaโ adalah Otoritas
Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing atau
bank devisa merupakan bank yang memperoleh persetujuan dari
Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing.
Yang dimaksud dengan โtransaksi derivatif suku bunga rupiahโ
adalah transaksi derivatif suku bunga rupiah sebagaimana
6
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai transaksi derivatif suku bunga rupiah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โbank kontributorโ adalah bank yang
menyampaikan suku bunga indikasi kepada Bank Indonesia
untuk digunakan dalam penetapan Jakarta InterBank Offered
Rate (JIBOR).
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Penerbit kartu kredit, penerbit kartu automated teller machine
(ATM), dan penerbit kartu debet mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan
alat pembayaran dengan menggunakan kartu.
Penerbit uang elektronik mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik.
Ayat (2)
Kegiatan layanan keuangan digital mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
layanan keuangan digital.
7
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Proprietary channel mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
Informasi proprietary channel meliputi profil proprietary channel
yang dimiliki Pelapor dan data transaksi melalui proprietary
channel yang antara lain menggunakan teknologi berbasis short
message service, mobile, dan/atau web.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
8
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Proprietary channel mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
Informasi proprietary channel meliputi profil proprietary channel
yang dimiliki Pelapor dan data transaksi melalui proprietary
channel yang antara lain menggunakan teknologi berbasis short
message service, mobile, dan/atau web.
Pasal 29
Cukup jelas.
9
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sinkronisasi terhadap informasi data pokok pelapor antara lain
mencakup sandi Pelapor, status kantor Pelapor, dan jenis
kegiatan usaha Pelapor.
10
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Huruf a
Angka 1
Contoh:
Informasi laporan posisi keuangan untuk data tanggal 31
Desember 2019 disampaikan pada tanggal 3 Januari 2020
dengan batas waktu pukul 23.59 WIB.
Angka 2
Contoh:
Informasi rekening administratif untuk data tanggal 31
Desember 2019 disampaikan pada tanggal 3 Januari 2020
dengan batas waktu pukul 23.59 WIB.
Angka 3
Contoh:
Informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call
untuk data tanggal 31 Desember 2019 disampaikan pada
tanggal 31 Desember 2019 dengan batas waktu pukul 23.59
WIB.
Angka 4
Contoh:
Informasi transaksi spot dan derivatif untuk data tanggal 31
Desember 2019 disampaikan tanggal 31 Desember 2019 WIB
dengan batas waktu pukul 23.59 WIB.
11
Angka 5
Contoh:
Informasi transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di
pasar sekunder untuk data tanggal 31 Desember 2019
disampaikan tanggal 31 Desember 2019 WIB dengan batas
waktu pukul 23.59 WIB.
Huruf b
Angka 1
Contoh:
Informasi posisi devisa neto untuk data tanggal 31 Desember
2019 disampaikan pada tanggal 3 Januari 2020 dengan batas
waktu pukul 23.59 WIB.
Angka 2
Contoh:
Informasi utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya
dalam valas jangka pendek untuk data tanggal 14 Januari
2020 disampaikan pada tanggal 16 Januari 2020 dengan
batas waktu pukul 23.59 WIB.
Angka 3
Contoh:
Informasi dana usaha kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri untuk data tanggal 13 Januari
2020 disampaikan pada tanggal 15 Januari 2020 dengan
batas waktu pukul 23.59 WIB.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Contoh:
Informasi suku bunga penawaran untuk data tanggal 20
Januari 2020 disampaikan pada tanggal 20 Januari 2020
dengan batas waktu pukul 23.59 WIB.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
12
Angka 4
Cukup jelas.
Pasal 44
Contoh:
Informasi dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib
minimum untuk data tanggal 24 Desember 2019 sampai dengan
tanggal 31 Desember 2019 disampaikan dengan batas waktu tanggal
9 Januari 2020.
Pasal 45
Contoh:
Informasi laporan posisi keuangan untuk data posisi bulan Desember
2019 disampaikan dengan batas waktu tanggal 20 Januari 2020.
Pasal 46
Contoh:
1. Informasi laporan posisi keuangan konsolidasi bank dan
perusahaan anak untuk data posisi triwulan keempat 2019
disampaikan dengan batas waktu tanggal 28 Januari 2020.
2. Informasi pengaduan nasabah untuk data triwulan keempat 2019
disampaikan dengan batas waktu tanggal 28 Januari 2020.
Pasal 47
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Contoh 1:
Bank C menyampaikan Laporan berupa informasi dana pihak
ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib minimum dalam
kelompok informasi risiko untuk data tanggal 1 Juli 2020 sampai
dengan tanggal 7 Juli 2020 pada hari Jumat tanggal 17 Juli 2020.
13
Batas waktu penyampaian Laporan tersebut adalah tanggal 16
Juli 2020.
Bank C dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok
informasi risiko untuk data tanggal 1 Juli 2020 sampai dengan
tanggal 7 Juli 2020 selama 1 (satu) Hari Kerja, sehingga Bank C
diberikan pemberitahuan tertulis.
Contoh 2:
Bank D menyampaikan Laporan berupa informasi laporan posisi
keuangan dalam kelompok informasi keuangan untuk data posisi
bulan Juli 2020 pada hari Jumat tanggal 21 Agustus 2020.
Batas waktu penyampaian Laporan tersebut adalah tanggal 20
Agustus 2020.
Bank D dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok
informasi keuangan untuk data bulan Juli 2020 selama 1 (satu)
Hari Kerja, sehingga Bank D diberikan pemberitahuan tertulis.
Contoh 3:
Bank E menyampaikan Laporan berupa informasi pengaduan
nasabah dalam kelompok informasi risiko untuk data triwulan
kedua 2020 pada hari Rabu tanggal 29 Juli 2020.
Batas waktu penyampaian Laporan tersebut adalah tanggal 28
Juli 2020.
Bank E dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok
informasi risiko untuk data triwulan kedua 2020 selama 1 (satu)
Hari Kerja, sehingga Bank E diberikan pemberitahuan tertulis.
Huruf e
Contoh:
Batas waktu penyampaian Laporan berupa informasi laporan
posisi keuangan dalam kelompok informasi keuangan untuk data
posisi bulan Juli 2020 adalah hari Kamis tanggal 20 Agustus
2020.
Batas akhir periode keterlambatan jatuh pada hari Sabtu tanggal
22 Agustus 2020 maka batas akhir periode keterlambatan adalah
Hari Kerja berikutnya yaitu hari Senin tanggal 24 Agustus 2020.
Dalam hal Laporan tersebut belum diterima oleh Bank Indonesia
sampai dengan tanggal 24 Agustus 2020 maka Pelapor
14
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan kelompok informasi
keuangan dan diberikan pemberitahuan tertulis.
Pasal 48
Huruf a
Contoh:
Informasi suku bunga penawaran untuk data tanggal 1
September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020
dengan batas waktu pukul 10.30 WIB.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โtransaksi pasar uang antarbank pagi
rupiahโ adalah transaksi pasar uang antarbank dalam negeri
dengan menggunakan valuta rupiah yang dilakukan oleh Pelapor
sebelum pukul 12.00 WIB.
Contoh:
Informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call untuk transaksi
pasar uang antarbank pagi rupiah untuk data tanggal 1
September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020
dengan batas waktu pukul 12.00 WIB.
Huruf c
Angka 1
Huruf a)
Yang dimaksud dengan โtransaksi pasar uang
antarbank sore rupiahโ adalah transaksi pasar uang
antarbank dalam negeri dengan menggunakan valuta
rupiah yang dilakukan oleh Pelapor sebelum pukul
18.00 WIB.
Contoh:
Informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on
call untuk transaksi pasar uang antarbank sore rupiah
untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan
pada tanggal 1 September 2020 dengan batas waktu
pukul 18.00 WIB.
15
Huruf b)
Contoh:
Informasi transaksi surat berharga dan sertifikat
deposito di pasar sekunder untuk data tanggal 1
September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September
2020 WIB dengan batas waktu pukul 18.00 WIB.
Angka 2
Huruf a)
Informasi suku bunga kredit untuk data tanggal 1
September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September
2020 dengan batas waktu pukul 18.00 WIB.
Huruf b)
Informasi suku bunga simpanan untuk data tanggal 1
September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September
2020 dengan batas waktu pukul 18.00 WIB.
Huruf c)
Informasi
tingkat imbalan deposito investasi
mudharabah untuk data tanggal 1 September
disampaikan pada tanggal 1 September 2020 dengan
batas waktu pukul 18.00 WIB.
Huruf d
Angka 1
Huruf a)
Contoh:
Informasi laporan posisi keuangan untuk data tanggal 1
September 2020 disampaikan pada tanggal 3 September
2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB.
Huruf b)
Contoh:
Informasi rekening administratif untuk data tanggal 1
September 2020 disampaikan pada tanggal 3 September
2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB.
Huruf c)
Yang dimaksud dengan โtransaksi pasar uang
antarbank yang dilakukan oleh Pelapor dengan bank di
luar negeriโ adalah transaksi pasar uang antarbank
16
yang dilakukan oleh Pelapor yang beroperasi di
Indonesia dengan bank yang beroperasi di luar negeri
baik yang berkantor pusat di Indonesia maupun di luar
negeri dengan menggunakan valuta rupiah dan valas.
Contoh:
Informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on
call untuk transaksi pasar uang antarbank yang
dilakukan oleh Pelapor dengan bank di luar negeri
untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan
pada tanggal 1 September 2020 WIB dengan batas
waktu pukul 23.59 WIB.
Huruf d)
Contoh:
Informasi transaksi spot dan derivatif untuk data
tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1
September 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB.
Angka 2
Huruf a)
Contoh:
Informasi posisi devisa neto untuk data tanggal 1
September 2020 disampaikan pada tanggal 3 September
2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB.
Huruf b)
Contoh:
Informasi utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya
dalam valas jangka pendek untuk data tanggal 1
September 2020 disampaikan pada tanggal 3 September
2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB.
Huruf c)
Contoh:
Informasi dana usaha kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri untuk data tanggal 1
September 2020 disampaikan pada tanggal 3 September
2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB.
17
Huruf d)
Cukup jelas.
Pasal 49
Huruf a
Contoh:
Koreksi informasi suku bunga penawaran untuk data tanggal 1
September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020
dengan batas waktu pukul 10.45 WIB.
Huruf b
Contoh:
Koreksi informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call untuk
transaksi pasar uang antarbank pagi rupiah untuk data tanggal
1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020
dengan batas waktu pukul 12.00 WIB.
Huruf c
Contoh:
Koreksi informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang
antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call untuk
transaksi pasar uang antarbank sore rupiah untuk data tanggal
1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020
WIB dengan batas waktu pukul 18.00 WIB.
Huruf d
Contoh:
Koreksi informasi laporan posisi keuangan untuk data tanggal 1
September 2020 disampaikan pada tanggal 3 September 2020
dengan batas waktu pukul 23.59 WIB.
Huruf e
Koreksi informasi transaksi spot dan derivatif yang disampaikan
dengan batas waktu pukul 16.00 WIB pada hari berikutnya tidak
termasuk jenis dokumen underlying untuk kontrak selain tod.
Contoh 1:
Koreksi informasi transaksi spot dan derivatif untuk kontrak tod
yang dilakukan oleh Pelapor untuk data transaksi tanggal 1
18
September 2020 disampaikan pada tanggal 2 September 2020
WIB dengan batas waktu pukul 16.00 WIB.
Contoh 2:
Koreksi informasi transaksi spot dan derivatif atas kesalahan
selain jenis dokumen underlying untuk kontrak spot yang
dilakukan oleh Pelapor untuk data transaksi tanggal 1 September
2020 disampaikan pada tanggal 2 September 2020 WIB dengan
batas waktu pukul 16.00 WIB.
Huruf f
Contoh:
Koreksi informasi transaksi spot dan derivatif atas kesalahan
jenis dokumen underlying untuk kontrak spot tanggal 7
September 2020 dengan tanggal valuta 9 September 2020
disampaikan pada tanggal 9 September 2020 dengan batas waktu
pukul 16.00 WIB.
Pasal 50
Contoh:
Informasi dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib
minimum untuk data tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 September
2020 disampaikan pada tanggal 21 September 2020.
Pasal 51
Huruf a
Contoh:
Informasi laba rugi untuk data posisi September 2020
disampaikan dengan batas waktu tanggal 5 Oktober 2020.
Huruf b
Contoh:
Informasi permasalahan layanan keuangan digital untuk posisi
September 2020 disampaikan paling lambat tanggal 15 Oktober
2020.
19
Pasal 52
Huruf a
Contoh:
Informasi pengaduan nasabah untuk data triwulan ketiga 2020
disampaikan dengan batas waktu pada hari Sabtu tanggal 10
Oktober 2020 maka batas waktu penyampaian adalah Hari Kerja
berikutnya yaitu hari Senin tanggal 12 Oktober 2020.
Huruf b
Contoh:
Informasi laba rugi konsolidasi bank dan perusahaan anak untuk
data posisi triwulan ketiga 2020 disampaikan pada tanggal 23
Oktober 2020.
Pasal 53
Ayat (1)
Contoh:
Bank C menyampaikan Laporan berupa informasi dana pihak
ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib minimum dalam
kelompok informasi risiko untuk data tanggal 1 Oktober 2020
sampai dengan tanggal 7 Oktober 2020 pada hari Kamis tanggal
15 Oktober 2020.
Batas waktu penyampaian Laporan tersebut adalah tanggal 13
Oktober 2020.
Bank C dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok
informasi risiko untuk data tanggal 1 Oktober 2020 sampai
dengan tanggal 7 Oktober 2020 selama 2 (dua) Hari Kerja.
Ayat (2)
Contoh:
Batas waktu penyampaian Laporan berupa informasi laba rugi
dalam kelompok informasi keuangan untuk data bulan Oktober
2020 adalah hari Kamis tanggal 5 November 2020.
Batas akhir periode keterlambatan jatuh pada hari Sabtu tanggal
7 November 2020 maka batas akhir periode keterlambatan adalah
Hari Kerja berikutnya yaitu hari Senin tanggal 9 November 2020.
20
Pasal 54
Contoh:
Batas waktu penyampaian Laporan berupa informasi pengaduan
nasabah dalam kelompok informasi risiko untuk data triwulan
keempat 2021 adalah tanggal 10 Januari 2022.
Batas akhir periode keterlambatan Laporan tersebut adalah tanggal 12
Januari 2022.
Dalam hal Laporan tersebut belum diterima oleh Bank Indonesia
sampai dengan tanggal 12 Januari 2022 maka Pelapor dinyatakan
tidak menyampaikan Laporan kelompok informasi risiko.
Pasal 55
Contoh:
Informasi dalam kelompok informasi keuangan yaitu laba rugi untuk
posisi November 2020 disampaikan paling lambat tanggal 5 Desember
2020. Mengingat tanggal 5 Desember 2020 jatuh pada hari Sabtu
maka batas waktu penyampaian Laporan menjadi Hari Kerja
berikutnya, yaitu hari Senin tanggal 7 Desember 2020.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โPelapor tidak beroperasiโ antara lain
apabila Pelapor menjalankan hari libur di luar hari libur nasional
yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 57
Yang dimaksud dengan โonlineโ adalah penyampaian Laporan melalui
sistem pelaporan portal, managed file transfer (MFT), dan application
programming interface (API).
21
Pasal 58
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โofflineโ adalah penyampaian Laporan ke
Bank Indonesia dengan menggunakan media antara lain compact
disk (CD) atau flash disk yang disampaikan pada jam kerja Bank
Indonesia yang mewilayahi Pelapor.
Huruf a
Yang dimaksud dengan โgangguan teknisโ adalah
gangguan yang terjadi di Pelapor antara lain gangguan
jaringan data atau komunikasi dengan Bank Indonesia
namun tidak termasuk gangguan pada sistem
penyusunan Laporan di Pelapor.
Tidak termasuk dalam gangguan teknis antara lain
gangguan yang terjadi pada core banking system atau
pada sistem penyusunan pernyataan standar akuntansi
keuangan (PSAK) saat penyusunan laporan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โgangguan teknis dan/atau
gangguan lainnya pada sistem atau jaringan
telekomunikasi di Bank Indonesiaโ adalah gangguan
yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat
menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan yang
disampaikan secara online dari Pelapor antara lain
karena gangguan pada jaringan telekomunikasi
dan/atau penyebab lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Contoh:
Bank E mengalami gangguan teknis pada jaringan
komunikasi pada tanggal 2 Oktober 2020 sampai
dengan pukul 10.30 WIB sehingga tidak dapat
menyampaikan Laporan informasi suku bunga
penawaran pada kelompok informasi kegiatan sistem
pembayaran dan jasa keuangan untuk data tanggal 2
Oktober 2020.
22
Oleh karena itu Bank E menyampaikan Laporan
dimaksud secara offline sampai dengan pukul 10.45
WIB.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh:
Bank F mengalami gangguan teknis pada jaringan
komunikasi sampai dengan batas waktu penyampaian
Laporan berupa informasi rekening administratif dalam
kelompok informasi keuangan untuk data posisi Desember
2020 yaitu tanggal 5 Januari 2021, sehingga tidak dapat
menyampaikan Laporan dimaksud.
Oleh karena itu Bank F menyampaikan Laporan dimaksud
secara offline pada tanggal 6 Januari 2021.
Dalam hal Laporan tersebut diterima oleh Bank Indonesia
pada tanggal 6 Januari 2021 secara online maka Bank F
dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok
informasi keuangan selama 1 (satu) Hari Kerja.
Dalam hal Laporan tersebut diterima oleh Bank Indonesia
pada tanggal 7 Januari 2021 maka Bank F dinyatakan
terlambat menyampaikan Laporan kelompok informasi
keuangan selama 2 (dua) Hari Kerja.
Dalam hal Laporan tersebut belum diterima oleh Bank
Indonesia sampai dengan tanggal 7 Januari 2021 maka Bank
F dinyatakan tidak menyampaikan Laporan kelompok
informasi keuangan.
Ayat (3)
Jika Bank menyampaikan laporan secara terpusat maka Bank
dapat menyampaikan surat pemberitahuan penyampaian secara
offline ke kantor Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat
atau kantor koordinator yang ditunjuk.
23
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud โLaporan dengan isian nihilโ adalah format
Laporan yang memuat paling sedikit informasi tentang sandi
Bank, tanggal Laporan, dan nama informasi.
Ayat (2)
Contoh 1:
Bank T tidak memiliki transaksi spot dan derivatif pada tanggal
13 Februari 2020 namun Bank T tetap wajib menyampaikan
Laporan berupa informasi transaksi spot dan derivatif dalam
kelompok informasi keuangan dengan isian nihil.
Contoh 2:
Bank T tidak memiliki transaksi pasar uang antarbank, pasar
uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call
untuk:
a. transaksi pasar uang antarbank pagi rupiah;
b. transaksi pasar uang antarbank sore rupiah; dan
c. transaksi pasar uang antarbank valuta asing,
namun bank T tetap wajib menyampaikan Laporan berupa
informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call dalam kelompok
informasi keuangan dengan isian nihil dengan batas waktu pukul
23.59 WIB.
24
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tanda terima penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
yang disampaikan oleh Pelapor secara online atau offline dapat
diakses oleh Pelapor melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank
Indonesia.
Ayat (3)
Dalam hal terdapat gangguan teknis sehingga sistem tidak dapat
mengeluarkan tanda terima maka Bank Indonesia akan
mengeluarkan tanda terima melalui sarana lain sampai dengan
sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia beroperasi secara
normal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โkeadaan kaharโ adalah keadaan yang
secara nyata berdampak tidak berfungsinya kegiatan operasional
Pelapor dan menyebabkan Pelapor tidak dapat menyusun dan
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, antara lain
kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, serta
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan
oleh pejabat instansi yang berwenang dari daerah setempat atau
pernyataan dari instansi yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
25
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โtanggal efektif pelaksanaanโ adalah
tanggal pelaksanaan operasional hasil penggabungan, peleburan
dan pengambilalihan.
Contoh:
Bank H dan Bank I melakukan penggabungan menjadi Bank I
dengan tanggal efektif pelaksanaan yaitu hari Selasa, 6 Oktober
2020 maka Bank H terakhir menyampaikan Laporan dengan
rincian sebagai berikut:
a. untuk Laporan periode harian yaitu data hari Senin, 5
Oktober 2020;
b. untuk Laporan periode mingguan yaitu data tanggal 1
sampai dengan 5 Oktober 2020 yang disampaikan paling
lambat tanggal 13 Oktober 2020;
c. untuk Laporan periode bulanan yaitu:
1. kelompok informasi keuangan dan kelompok informasi
data pokok untuk data bulan September 2020 yang
disampaikan paling lambat tanggal 5 Oktober 2020; dan
2. kelompok informasi risiko dan kelompok informasi
sistem pembayaran dan jasa keuangan untuk data
bulan Oktober 2020 yang disampaikan paling lambat
tanggal 15 November 2020. Mengingat tanggal 15
November 2020 jatuh pada hari Minggu maka Laporan
tersebut dapat disampaikan pada Hari Kerja berikutnya
yaitu Senin tanggal 16 November 2020; dan
26
d. untuk laporan periode triwulanan yaitu:
1. kelompok informasi keuangan untuk data triwulan
ketiga 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 10
Oktober 2020; dan
2. kelompok informasi risiko untuk data triwulan keempat
2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 23
Januari 2021.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โtanggal efektif konversiโ adalah tanggal
pelaksanaan operasional bank umum syariah hasil perubahan
kegiatan bank umum konvensional.
Contoh:
Bank J melakukan konversi dari bank umum konvensional
menjadi bank umum syariah dengan tanggal efektif konversi yaitu
hari Selasa, 6 Oktober 2020. Oleh karena itu, Bank J
menyampaikan Laporan sebagai bank umum konvensional
dengan rincian sebagai berikut:
a. untuk Laporan periode harian yaitu data hari Senin, 5
Oktober 2020;
b. untuk Laporan periode mingguan yaitu data tanggal 24
sampai dengan 30 September 2020 yang disampaikan paling
lambat tanggal 6 Oktober 2020;
c. untuk Laporan periode bulanan yaitu:
1. kelompok informasi keuangan dan kelompok informasi
data pokok untuk data bulan September 2020 yang
disampaikan paling lambat tanggal 5 Oktober 2020; dan
2. kelompok informasi risiko dan kelompok informasi
sistem pembayaran dan jasa keuangan untuk data
bulan September 2020 yang disampaikan paling lambat
tanggal 15 Oktober 2020; dan
d. untuk laporan periode triwulanan yaitu:
1. kelompok informasi keuangan untuk data triwulan
ketiga 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 10
Oktober 2020; dan
27
2. kelompok informasi risiko untuk data triwulan ketiga
2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 23
Oktober 2020.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โhasil olahanโ adalah hasil yang diperoleh
dari hasil pengolahan agregat atas informasi yang dilaporkan oleh
Pelapor.
Yang dimaksud dengan โpihak lainโ adalah pihak selain Pelapor,
yang dapat memperoleh hasil olahan Laporan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โperjanjian penggunaan hasil olahan
Laporanโ adalah kesepakatan tertulis antara Bank Indonesia
dengan pihak lain mengenai penggunaan hasil olahan Laporan
dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 68
Cukup jelas.
28
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/23/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI </reg_title>
<set_date> 6 Desember 2019 </set_date>
<effective_date> 6 Desember 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '20/20/PADG/2018', '17/2/DSta|SE-BI/2015', '8/15/DPNP|SE-BI/2006', '15/37/DSta|SE-BI/2013', '19/18/PADG/2017', '8/16/DPbS|SE-BI/2006', '20/39/PADG/2018', '16/7/DSta|SE-BI/2014', '13/4/DPM|SE-BI/2011', '18/16/DSta|SE-BI/2016', '11/2/DSM|SE-BI/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '21/9/PBI/2019' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/13/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor
moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah yang lebih efektif diperlukan
dukungan informasi secara harian yang real time, tepat
waktu, aman, akurat, andal, objektif, lengkap, dan mudah
untuk diakses secara simultan;
b. bahwa sehubungan dengan adanya penerbitan ketentuan
Bank Indonesia yang terkait dengan penambahan
instrumen pasar uang dan pasar valuta asing, diperlukan
penyesuaian terhadap pelaporan harian bank guna
memenuhi kebutuhan informasi untuk penetapan dan
pelaksanaan kebijakan moneter, makroprudensial, serta
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor
19/18/PADG/2017 tentang Laporan Harian Bank Umum;
3
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang
Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5194);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/18/PBI/2016
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara
Bank dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 183, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5926);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/19/PBI/2016
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara
Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 184, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5927);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6198);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN
HARIAN BANK UMUM.
Pasal I
Bab III dan Bab IV Lampiran I diubah sehingga menjadi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 2 Juli 2018.
3
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juni 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
MIRZA ADITYASWARA
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/13/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM
I. UMUM
Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan sistem
Laporan Harian Bank Umum untuk menghasilkan informasi yang lebih
utuh, komprehensif, dan berkualitas, perlu dilakukan perluasan cakupan
kandungan informasi yang dilaporkan, penyempurnaan sistem dan tata
cara pelaporan Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Terkait dengan
perluasan cakupan kandungan informasi tersebut, perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap Pedoman Penyusunan dan Petunjuk Teknis
LHBU sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/13/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 26 Juni 2018 </set_date>
<effective_date> 2 Juli 2018 </effective_date>
<changed_reg> '19/18/PADG/2017' </changed_reg>
<related_reg> '18/19/PBI/2016', '13/8/PBI/2011', '20/5/PBI/2018', '18/18/PBI/2016' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/39/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor
moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah yang lebih efektif diperlukan
dukungan informasi secara harian yang real time, tepat
waktu, aman, akurat, andal, objektif, lengkap, dan mudah
untuk diakses secara simultan;
b. bahwa sehubungan dengan adanya penerbitan ketentuan
Bank Indonesia yang terkait dengan Indonesia Overnight
Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate,
diperlukan penyesuaian terhadap pelaporan harian bank
guna memenuhi kebutuhan informasi untuk penetapan
dan pelaksanaan kebijakan moneter, makroprudensial,
serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor
19/18/PADG/2017 tentang Laporan Harian Bank Umum;
6
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang
Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5194);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/7/PBI/2018 tentang
Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank
Offered Rate (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6227);
3. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/18/PADG/2017 tentang Laporan Harian Bank Umum
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur Nomor 20/13/PADG/2018 tentang
Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor 19/18/PADG/2017 tentang Laporan Harian Bank
Umum;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN
HARIAN BANK UMUM.
6
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 19/18/PADG/2017 tanggal 28 Desember
2017 tentang Laporan Harian Bank Umum sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/13/PADG/2018 tanggal 26 Juni 2018 tentang Perubahan
atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/18/PADG/2017 tentang Laporan Harian Bank Umum
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (3) Pasal 16 diubah sehingga Pasal 16
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Penyampaian data nontransaksional berupa:
a.
b.
posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta
asing bukan investasi dengan pihak asing;
posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta
asing bukan investasi dengan pihak asing;
c. posisi rekapitulasi transaksi derivatif;
d. posisi devisa neto;
e. pos-pos tertentu neraca;
f. proyeksi arus kas;
g.
posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka
pendek Bank; dan
h. posisi harian dana usaha kantor cabang bank
asing,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a
sampai dengan huruf f, huruf k, dan huruf l dimulai
dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59
WIB.
(2) Penyampaian data nontransaksional berupa:
a. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah
Bank syariah;
b. suku bunga kredit; dan
c. suku bunga deposito berjangka, diskonto
sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan,
6
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf g,
huruf h, dan huruf i dimulai dari pukul 07.00 WIB
sampai dengan pukul 18.00 WIB.
(3) Penyampaian data suku bunga penawaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf j
dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul
10.30 WIB.
2. Ketentuan ayat (4) Pasal 18 diubah sehingga Pasal 18
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) untuk:
a. posisi devisa neto;
b. pos-pos tertentu neraca; dan
c. proyeksi arus kas,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf d,
huruf e, dan huruf f dilakukan segera setelah diketahui
adanya kesalahan dengan batas waktu penyampaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
(2) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) untuk:
a. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah
Bank syariah;
b. suku bunga kredit; dan
c. suku bunga deposito berjangka, diskonto
sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf g,
huruf h, dan huruf i dilakukan segera setelah
diketahui adanya kesalahan dengan batas waktu
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (2).
(3) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) untuk:
a.
posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta
asing bukan investasi dengan pihak asing;
6
b.
c.
d.
e.
posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta
asing bukan investasi dengan pihak asing;
posisi rekapitulasi transaksi derivatif;
posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka
pendek Bank; dan
posisi harian dana usaha kantor cabang bank
asing,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf k, dan huruf l dilakukan paling
lambat pukul 16.00 WIB pada Hari Kerja berikutnya.
(4) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) untuk suku bunga penawaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf j
dilakukan paling lambat pukul 10.45 WIB pada Hari
Kerja yang sama.
3. Subbab I.6 mengenai waktu penyampaian laporan dalam
Bab I dan subbab III.17 mengenai form 501: suku bunga
penawaran dalam Bab III Lampiran I diubah sehingga
menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 2 Januari 2019.
6
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
MIRZA ADITYASWARA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/39/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM
I. UMUM
Guna meningkatkan efisiensi transaksi di pasar uang, diperlukan
adanya benchmark rate pasar uang yang kredibel dan transparan. Oleh
karena itu, Bank Indonesia menerbitkan ketentuan mengenai Indonesia
Overnight Index Average (IndONIA) dan Jakarta Interbank Offered Rate
(JIBOR). Penggunaan IndONIA dan JIBOR diharapkan dapat mengurangi
kompleksitas kontrak keuangan rupiah di Indonesia.
Sehubungan dengan penerbitan ketentuan tersebut, diperlukan
penyesuaian sistem dan tata cara pelaporan LHBU, khususnya terkait
pelaporan kuotasi suku bunga indikasi yang akan diproses menjadi JIBOR.
Implementasi penyesuaian tersebut dituangkan dalam perubahan
kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/18/PADG/2017
tentang Laporan Harian Bank Umum yang mengatur mengenai tata cara
pelaporan LHBU.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 16
Ayat (1)
Contoh:
Data posisi devisa neto pada tanggal 10 April 2018
disampaikan pada tanggal 12 April 2018 mulai pukul
07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB.
Ayat (2)
Contoh:
Data tingkat imbalan deposito investasi mudharabah
Bank syariah pada tanggal 10 April 2018 disampaikan
pada tanggal tersebut, yaitu 10 April 2018 mulai pukul
07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB.
Ayat (3)
Contoh:
Data suku bunga penawaran pada tanggal 10 April 2019
disampaikan pada tanggal tersebut, yaitu 10 April 2019
mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 10.30
WIB.
Angka 2
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh:
Koreksi data posisi devisa neto tanggal 9 April 2018
disampaikan pada tanggal 11 April 2018 paling lambat
pukul 23.59 WIB.
Ayat (2)
Contoh:
Koreksi data tingkat imbalan deposito investasi
mudharabah Bank syariah tanggal 9 April 2018
disampaikan pada tanggal 9 April 2018 paling lambat
pukul 18.00 WIB.
3
Ayat (3)
Contoh:
Koreksi data posisi akhir hari transaksi derivatif jual
valuta asing bukan investasi dengan pihak asing posisi
devisa neto pada tanggal 9 April 2018 disampaikan
paling lambat pada tanggal 10 April 2018 pukul 16.00
WIB.
Koreksi data posisi rekapitulasi transaksi derivatif pada
tanggal 10 April 2018 disampaikan paling lambat
tanggal 13 April 2018 pukul 16.00 WIB.
Ayat (4)
Contoh:
Koreksi data suku bunga penawaran tanggal 10 April
2019 disampaikan paling lambat tanggal 10 April 2019
pukul 10.45 WIB.
Angka 3
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/39/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 27 Desember 2018 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2019 </effective_date>
<changed_reg> '19/18/PADG/2017' </changed_reg>
<extension_of> '20/13/PADG/2018' </extension_of>
<related_reg> '13/8/PBI/2011', '20/13/PADG/2018', '19/18/PADG/2017', '20/7/PBI/2018' </related_reg>
|
2
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/21/PADG/2017
TENTANG
PENYEDIAAN PREFUND DALAM PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN
KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk menjaga keamanan dan kelancaran
penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh
Bank Indonesia diperlukan penyediaan dana prefund oleh
masing-masing peserta;
b. bahwa untuk mewujudkan penyediaan dana prefund oleh
peserta yang semakin lancar dan efisien diperlukan
penyesuaian terhadap jenis dan formula perhitungan
prefund;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Penyediaan Prefund
dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring
Berjadwal oleh Bank Indonesia;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah beberapa kali
2
diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/15/PBI/2017 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6170);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PENYEDIAAN PREFUND DALAM PENYELENGGARAAN
TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK
INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal
adalah kegiatan untuk memproses perhitungan hak dan
kewajiban antarpeserta sistem kliring nasional Bank
Indonesia yang setelmennya dilakukan pada waktu
tertentu.
2. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh
Bank Indonesia dalam Penyelenggaraan Transfer Dana
dan Kliring Berjadwal untuk memproses data keuangan
elektronik pada layanan transfer dana, layanan kliring
warkat debit, layanan pembayaran reguler, dan layanan
penagihan reguler.
3. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat
DKE adalah data keuangan dalam format elektronik yang
digunakan sebagai dasar perhitungan dalam
penyelenggaraan SKNBI.
4. DKE Transfer Dana adalah DKE yang dibuat berdasarkan
perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam layanan transfer dana.
3
5. DKE Warkat Debit adalah DKE yang dibuat berdasarkan
perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam layanan kliring warkat debit.
6. DKE Pembayaran adalah DKE yang dibuat berdasarkan
perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam layanan pembayaran reguler.
7. DKE Penagihan adalah DKE yang dibuat berdasarkan
perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam layanan penagihan reguler.
8. Penyelenggara SKNBI yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah Bank Indonesia.
9. Peserta SKNBI yang selanjutnya disebut Peserta adalah
pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah
memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai
Peserta.
10. Peserta Langsung Utama yang selanjutnya disingkat PLU
adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara
secara langsung dengan menggunakan infrastruktur
SKNBI dan setelmen dana dilakukan ke rekening setelmen
dana Peserta yang bersangkutan.
11. Peserta Langsung Afiliasi yang selanjutnya disingkat PLA
adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara
secara langsung dengan menggunakan infrastruktur
SKNBI Peserta yang bersangkutan dan setelmen dana
dilakukan ke rekening setelmen dana bank pembayar.
12. Peserta Tidak Langsung yang selanjutnya disingkat PTL
adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara
secara tidak langsung melalui bank penerus dan setelmen
dana dilakukan ke rekening setelmen dana bank penerus.
13. Layanan Transfer Dana adalah layanan dalam SKNBI yang
memproses pemindahan sejumlah dana antar-Peserta dari
1 (satu) pengirim kepada 1 (satu) penerima.
14. Layanan Kliring Warkat Debit adalah layanan dalam
SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana yang
dilakukan antar-Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan
kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai dengan fisik
warkat debit.
4
15. Layanan Pembayaran Reguler adalah layanan dalam
SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana
antar-Peserta dari 1 (satu) atau beberapa pengirim kepada
1 (satu) atau beberapa penerima.
16. Layanan Penagihan Reguler adalah layanan dalam SKNBI
yang memproses penagihan sejumlah dana antar-Peserta
dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada beberapa penerima
tagihan.
17. Prefund adalah dana yang disediakan oleh Peserta untuk
memenuhi kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI.
18. Prefund Debit adalah Prefund yang disediakan untuk
Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan
Reguler.
19. Prefund Kredit adalah Prefund yang disediakan untuk
Layanan Transfer Dana dan Layanan Pembayaran Reguler.
20. Bank Pembayar adalah PLU yang ditunjuk oleh PLA untuk
melaksanakan setelmen dana, penyediaan Prefund,
dan/atau pembayaran kewajiban lainnya dalam
penyelenggaraan SKNBI.
21. Bank Penerus adalah PLU yang memenuhi persyaratan
dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara
untuk melaksanakan pengiriman DKE, penyediaan
Prefund, setelmen dana, dan/atau pembayaran kewajiban
lainnya untuk kepentingan PTL.
22. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan rekening setelmen dana melalui Sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement yang dilakukan
berdasarkan perhitungan hak dan kewajiban masing-
masing Peserta yang timbul dalam penyelenggaraan
SKNBI.
23. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta dalam
mata uang Rupiah yang ditatausahakan di Bank
Indonesia.
24. Sistem Sentral Kliring yang selanjutnya disingkat SSK
adalah komponen SKNBI di Penyelenggara yang
digunakan dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan
Kliring Berjadwal.
5
25. Sistem Peserta Kliring yang selanjutnya disingkat SPK
adalah komponen SKNBI di Peserta yang terhubung
dengan SSK.
26. Periode Waktu Kegiatan adalah jangka waktu yang
ditetapkan oleh Penyelenggara dalam satu hari kliring
untuk melaksanakan kegiatan operasional setiap layanan
dalam SKNBI.
BAB II
JENIS DAN PENGGUNAAN PREFUND
Pasal 2
(1) Untuk memenuhi kewajiban dalam Penyelenggaraan
Transfer Dana dan Kliring Berjadwal, Peserta wajib
menyediakan Prefund sesuai dengan Periode Waktu
Kegiatan yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Prefund sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Prefund Debit; dan
b. Prefund Kredit.
(3) Penyediaan Prefund sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam bentuk dana tunai (cash Prefund).
(4) Periode Waktu Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengacu pada Lampiran I yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 3
(1) PLU wajib menyediakan Prefund Debit dan Prefund Kredit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) PLA wajib menyediakan Prefund Kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 4
(1) Prefund sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
ditatausahakan pada sistem Bank Indonesia-Real Time
Gross Settlement dalam rekening milik Penyelenggara yang
6
digunakan khusus untuk menampung dana tunai (cash
Prefund).
(2) Penatausahaan dana tunai (cash Prefund) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) untuk masing-masing
Peserta dilakukan di SSK.
BAB III
TATA CARA PENYEDIAAN PREFUND DEBIT
Pasal 5
(1) Peserta wajib menyediakan Prefund Debit paling sedikit
sebesar jumlah dari hasil netting Layanan Kliring Warkat
Debit yang bersaldo debit (negatif) dan hasil netting
Layanan Penagihan Reguler yang bersaldo debit (negatif).
(2) Penyediaan Prefund Debit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang wajib dipenuhi oleh Peserta terdiri atas:
a. minimum Prefund Debit yang disediakan Peserta; dan
b. penambahan Prefund Debit dalam hal minimum
Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam huruf a
belum memenuhi jumlah kewajiban penyediaan
Prefund sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 6
(1) Perhitungan minimum Prefund Debit dilakukan oleh
Penyelenggara berdasarkan jumlah netting hasil kliring
harian Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan
Penagihan Reguler yang bersaldo debit (negatif) terbesar
selama 12 (dua belas) bulan terakhir.
(2) Contoh perhitungan minimum Prefund Debit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Lampiran II yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Data netting hasil kliring harian Layanan Kliring Warkat
Debit dan Layanan Penagihan Reguler yang bersaldo debit
(negatif) bulan kedua belas yang diperhitungkan yaitu data
transaksi sampai dengan tanggal 25 bulan yang
bersangkutan.
7
(4) Dalam hal tanggal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
jatuh pada hari libur maka data netting hasil kliring harian
Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan
Reguler yang bersaldo debit (negatif) yang diperhitungkan
yaitu data sampai dengan hari kerja terakhir sebelum
tanggal 25 bulan tersebut.
(5) Informasi minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diakses oleh Peserta melalui SPK setiap
tanggal 26.
(6) Dalam hal tanggal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
jatuh pada hari libur maka besarnya minimum Prefund
Debit dapat diakses oleh Peserta melalui SPK pada hari
kerja berikutnya.
Pasal 7
Penyediaan Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) dilakukan oleh Peserta melalui Sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement dengan cara melakukan
transfer dana dari Rekening Setelmen Dana Peserta ke rekening
milik Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem
Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Pasal 8
Perhitungan minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) bagi Peserta baru, diatur dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. pada hari pertama keikutsertaan Peserta, nilai minimum
Prefund Debit yang harus disediakan yaitu sebesar Rp0,00
(nol rupiah);
b. pada hari kerja berikutnya di bulan yang sama dengan
tanggal keikutsertaan Peserta, nilai minimum Prefund
Debit yang harus disediakan oleh Peserta ditetapkan
berdasarkan netting hasil kliring harian Layanan Kliring
Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler yang
bersaldo debit (negatif) terbesar Peserta pada hari kerja
sebelumnya sejak tanggal efektif kepesertaan; dan
8
c.
nilai minimum Prefund Debit untuk bulan berikutnya
ditetapkan sesuai dengan data historis yang dimiliki
Peserta sebagai berikut:
1. dalam hal hari pertama keikutsertaan Peserta yaitu
sebelum tanggal 26 maka nilai minimum Prefund
Debit dihitung berdasarkan netting hasil kliring
harian Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan
Penagihan Reguler yang bersaldo debit (negatif)
terbesar Peserta pada bulan sebelumnya sejak
tanggal efektif kepesertaan; atau
2. dalam hal hari pertama keikutsertaan Peserta yaitu
setelah tanggal 26 maka nilai minimum Prefund Debit
dihitung berdasarkan netting hasil kliring harian
Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan
Reguler yang bersaldo debit (negatif) terbesar Peserta
pada hari kerja sebelumnya sejak tanggal efektif
kepesertaan.
Pasal 9
Perhitungan minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) bagi Peserta yang melakukan
penggabungan atau peleburan usaha, diatur dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. sejak tanggal efektif penggabungan atau peleburan usaha
sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan, nilai
minimum Prefund Debit yang harus disediakan yaitu
sebesar total nilai minimum Prefund Debit dari Peserta
yang melakukan penggabungan atau peleburan usaha,
yang telah ditetapkan pada awal bulan ketika Peserta
tersebut belum melakukan penggabungan atau peleburan
usaha; dan
b.
nilai minimum Prefund Debit untuk bulan berikutnya
ditetapkan berdasarkan jumlah netting hasil kliring harian
Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan
Reguler yang bersaldo debit (negatif) terbesar, dalam bulan
sebelumnya terhitung sejak tanggal efektif penggabungan
atau peleburan usaha.
9
Pasal 10
Perhitungan minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) yang wajib disediakan oleh Peserta yang
melakukan perubahan kegiatan usaha dari konvensional
menjadi berdasarkan prinsip syariah dilakukan dengan
berdasarkan data historis nilai minimum Prefund Debit
sebelum perubahan kegiatan usaha dilakukan.
Pasal 11
(1) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan
minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf a, pada hari yang sama harus
melakukan hal sebagai berikut:
a. menyampaikan surat pernyataan kepada
Penyelenggara mengenai tidak dipenuhinya
kewajiban penyediaan minimum Prefund Debit; dan
b. sebelum surat pernyataan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a disampaikan, Peserta terlebih dahulu
menyampaikan informasi segera kepada
Penyelenggara mengenai tidak dipenuhinya
kewajiban penyediaan minimum Prefund Debit
beserta alasannya, melalui faksimile dan/atau
sarana lainnya.
(2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a harus ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat
yang berwenang dan memiliki spesimen tanda tangan di
Penyelenggara.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a mengacu pada format sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
10
BAB IV
TATA CARA PENYEDIAAN PREFUND KREDIT
Pasal 12
(1) Peserta wajib menyediakan Prefund Kredit paling sedikit
sebesar jumlah dari hasil netting Layanan Transfer Dana
yang bersaldo debit (negatif) dan hasil netting Layanan
Pembayaran Reguler yang bersaldo debit (negatif).
(2) Dalam hal Prefund Kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) belum memenuhi jumlah kewajiban
penyediaan Prefund sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peserta wajib melakukan penambahan Prefund Kredit.
Pasal 13
(1) Mekanisme penyediaan Prefund Kredit untuk masing-
masing Peserta diatur sebagai berikut:
a. penyediaan Prefund Kredit dilakukan oleh Peserta
yang bersangkutan, untuk PLU; dan
b. penyediaan Prefund Kredit dilakukan oleh PLU yang
menjadi Bank Pembayar dari PLA yang bersangkutan,
untuk PLA.
(2) Penyediaan Prefund Kredit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui Sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement dengan cara melakukan transfer
dana dari Rekening Setelmen Dana PLU atau Rekening
Setelmen Dana Bank Pembayar ke rekening milik
Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
BAB V
PENGEMBALIAN PREFUND
Pasal 14
(1) Penyelenggara mengembalikan saldo Prefund yang tidak
digunakan dalam perhitungan Layanan Transfer Dana,
11
Layanan Kliring Warkat Debit, Layanan Pembayaran
Reguler, dan/atau Layanan Penagihan Reguler.
(2) Saldo Prefund Debit dikembalikan oleh Penyelenggara ke
Rekening Setelmen Dana PLU.
(3) Saldo Prefund Kredit dikembalikan oleh Penyelenggara ke
Rekening Setelmen Dana PLU atau Rekening Setelmen
Dana Bank Pembayar.
(4) Periode pengembalian saldo Prefund Kredit dan Prefund
Debit mengacu pada Periode Waktu Kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I.
BAB VI
SANKSI
Pasal 15
(1) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan
minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf a, dikenakan sanksi administratif
berupa kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Penyelenggara dengan mendebit
Rekening Setelmen Dana Peserta paling lama pada 1 (satu)
hari kerja berikutnya.
(3) Peserta yang dikenakan sanksi administratif berupa
kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetap dapat ikut serta dalam Layanan Kliring Warkat Debit
dan Layanan Penagihan Reguler.
(4) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta
tidak memenuhi kewajiban penyediaan minimum Prefund
Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf
a sebanyak 6 (enam) kali, Peserta dapat dikenakan sanksi
berupa penurunan status kepesertaan dari aktif menjadi
ditangguhkan.
12
(5) Penyelenggara dapat mengubah kembali status Peserta
dari ditangguhkan menjadi aktif berdasarkan kebijakan
Penyelenggara.
(6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
kepada:
a. Peserta yang bersangkutan melalui surat;
b. seluruh Peserta melalui fasilitas administrative
message dan/atau sarana lainnya; dan
c.
koordinator pertukaran warkat debit yang di wilayah
kerjanya terdapat perwakilan Peserta melalui surat
atau sarana lainnya.
Pasal 16
(1) Dalam hal Peserta tidak mampu memenuhi kewajiban
penyediaan minimum Prefund Debit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, Peserta
dikenakan sanksi administratif berupa penurunan status
kepesertaan dari aktif menjadi ditangguhkan.
(2) Penyelenggara dapat mengubah kembali status Peserta
dari ditangguhkan menjadi aktif apabila Peserta dapat
memenuhi kembali kewajiban penyediaan minimum
Prefund Debit.
(3) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
kepada:
a. Peserta yang bersangkutan melalui surat;
b. seluruh Peserta melalui fasilitas administrative
message dan/atau sarana lainnya; dan
c. koordinator pertukaran warkat debit yang di wilayah
kerjanya terdapat perwakilan Peserta melalui surat
atau sarana lainnya.
Pasal 17
(1) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Debit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b
yang menyebabkan:
13
a. DKE Warkat Debit tidak diperhitungkan dalam
Layanan Kliring Warkat Debit; atau
b. DKE Penagihan tidak diperhitungkan dalam Layanan
Penagihan Reguler,
dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per
1 (satu) hari kerja.
(2) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Kredit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang
menyebabkan:
a. DKE Transfer Dana tidak diperhitungkan dalam
Layanan Transfer Dana; atau
b. DKE Pembayaran tidak diperhitungkan dalam
Layanan Pembayaran Reguler,
dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per
1 (satu) hari kerja.
(3) Pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan dengan mendebit Rekening Setelmen Dana
Peserta atau Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar,
paling lama pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Bab V dan Bab XVII huruf B Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 18/7/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 18/40/DPSP tanggal 30
Desember 2016, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
14
Pasal 19
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 2019.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
SUGENG
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/21/PADG/2017
TENTANG
PENYEDIAAN PREFUND DALAM PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN
KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA
I. UMUM
Untuk menjaga keamanan dan kelancaran Penyelenggaraan Transfer
Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia serta mendukung
pelaksanaan prinsip no money no game, diperlukan adanya penyediaan
dana Prefund oleh masing-masing Peserta.
Oleh karena penyediaan Prefund oleh Peserta memiliki dampak
terhadap likuiditas Peserta maka pengaturan mengenai kewajiban
penyediaan Prefund oleh Peserta selain dilakukan dengan memperhatikan
aspek keamanan juga perlu mempertimbangkan aspek efisiensi penyediaan
dana.
Penetapan jenis Prefund yang disediakan oleh Peserta dan formula
perhitungan penyediaan minimum Prefund debit akan mendukung
terselenggaranya penyelenggaraan SKNBI yang semakin lancar, aman, dan
efisien.
Penyediaan Prefund Debit dalam bentuk dana tunai (cash Prefund)
dimaksudkan untuk meningkatkan kelancaran, keamanan, dan efisiensi
dalam pengelolaan dana oleh Peserta. Dengan demikian tidak dikenal lagi
penyediaan Prefund Debit dalam bentuk surat berharga (collateral Prefund).
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Kewajiban Prefund Kredit oleh PLU termasuk untuk memenuhi
kewajiban Prefund Kredit bagi PTL apabila PLU yang
bersangkutan bertindak sebagai Bank Penerus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โnetting Layanan Kliring Warkat Debitโ
adalah selisih antara jumlah total nominal DKE Warkat Debit
keluar yang tidak diretur oleh Peserta lain dan didukung oleh
dana yang cukup (confirmed outgoing) dengan jumlah total
nominal DKE Warkat Debit masuk (incoming) yang tidak diretur.
Yang dimaksud dengan โnetting Layanan Penagihan Regulerโ
adalah selisih antara jumlah total nominal DKE Penagihan keluar
yang tidak diretur oleh Peserta lain dan didukung oleh dana yang
cukup (confirmed outgoing) dengan jumlah total nominal DKE
Penagihan masuk (incoming) yang tidak diretur.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
3
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan โPeserta yang melakukan penggabunganโ
adalah Peserta yang menggabungkan diri dan Peserta yang menerima
penggabungan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โnetting Layanan Transfer Danaโ adalah
selisih antara jumlah total nominal DKE Transfer Dana masuk
yang didukung oleh dana yang cukup (confirmed incoming) dengan
jumlah total nominal DKE Transfer Dana keluar (outgoing).
Yang dimaksud dengan โnetting Layanan Pembayaran Regulerโ
adalah selisih antara jumlah total nominal DKE Pembayaran
masuk yang didukung oleh dana yang cukup (confirmed incoming)
dengan jumlah total nominal DKE Pembayaran keluar (outgoing).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Penyediaan Prefund Kredit oleh PLU dimaksudkan untuk
memenuhi kewajiban PLU yang bersangkutan dan PTL dalam
hal PLU tersebut menjadi Bank Penerus PTL yang
bersangkutan.
4
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Peserta yang dikenakan sanksi kewajiban membayar adalah
Peserta yang tidak menyediakan Prefund Debit karena kelalaian
Peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/21/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> PENYEDIAAN PREFUND DALAM PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 29 Desember 2017 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '18/7/DPSP|SE-BI/2016 | Bab V dan Bab XVII huruf B', '18/40/DPSP|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '17/9/PBI/2015', '19/15/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/12/PADG/2018
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING
KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan
pembawaan uang kertas asing ke dalam dan ke luar
daerah pabean Indonesia untuk melakukan pengendalian
moneter;
b. bahwa agar kebijakan Bank Indonesia yang telah
dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai
pembawaan uang kertas asing ke dalam dan ke luar
daerah pabean Indonesia dapat terlaksana dengan optimal
maka diperlukan ketentuan pelaksanaan sebagai
pedoman pelaksanaan pembawaan uang kertas asing;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Pedoman Pelaksanaan
Pembawaan Uang Kertas Asing ke Dalam dan ke Luar
Daerah Pabean Indonesia;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/7/PBI/2017 tentang
Pembawaan Uang Kertas Asing ke Dalam dan ke Luar Daerah
Pabean Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6050) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/2/PBI/2018 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang Kertas Asing ke
Dalam dan ke Luar Daerah Pabean Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 25, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6185);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBAWAAN UANG KERTAS
ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN
INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Uang Kertas Asing yang selanjutnya disingkat UKA adalah
uang kertas dalam valuta asing yang resmi diterbitkan
oleh suatu negara di luar Indonesia dan diakui sebagai alat
pembayaran yang sah di negara yang bersangkutan.
2. Pembawaan UKA adalah kegiatan memasukkan dan/atau
mengeluarkan UKA ke dalam dan/atau ke luar daerah
pabean yang dilakukan dengan cara membawa sendiri
atau menggunakan jasa pihak lain, untuk kepentingan
sendiri atau pihak lain baik melalui kargo dan/atau
barang bawaan penumpang.
3.
Izin Pembawaan UKA adalah izin yang diberikan Bank
Indonesia untuk melakukan Pembawaan UKA.
3
4. Badan Berizin adalah korporasi yang memperoleh Izin
Pembawaan UKA.
5. Persetujuan Pembawaan UKA adalah persetujuan yang
diberikan oleh Bank Indonesia kepada Badan Berizin
untuk Pembawaan UKA.
6. Daerah Pabean adalah daerah pabean sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai kepabeanan.
7. Bank adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat,
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang
mengatur mengenai perbankan serta bank syariah dan
bank pembiayaan rakyat syariah sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
8. Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing
Bukan Bank yang selanjutnya disebut Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank adalah penyelenggara kegiatan usaha
penukaran valuta asing bukan bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kegiatan usaha penukaran valuta
asing bukan bank.
9. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang
selanjutnya disingkat PJPUR adalah penyelenggara jasa
pengolahan uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah.
10. PJPUR Terdaftar adalah PJPUR yang telah melakukan
pendaftaran ke Bank Indonesia untuk melakukan
Pembawaan UKA.
11. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
12. Indonesia National Single Window yang selanjutnya
disebut dengan Sistem INSW adalah Indonesia National
Single Window sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
penggunaan sistem elektronik dalam kerangka Indonesia
National Single Window.
4
13. Sistem Aplikasi Pembawaan UKA adalah sistem berbasis
web milik Bank Indonesia yang digunakan dalam proses
administrasi kegiatan Pembawaan UKA.
BAB II
TATA CARA MEMPEROLEH IZIN SEBAGAI BADAN BERIZIN
Bagian Kesatu
Pihak yang Dapat Menjadi Badan Berizin
Pasal 2
(1) Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling
sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) hanya dapat dilakukan oleh Badan Berizin.
(2) Pihak yang dapat menjadi Badan Berizin terdiri atas:
a. Bank; dan
b. Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Bagian Kedua
Persyaratan Badan Berizin
Pasal 3
Bank yang mengajukan permohonan sebagai Badan Berizin
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki izin usaha sebagai Bank dari otoritas yang
berwenang; dan
b. memiliki izin sebagai bank devisa atau memperoleh
persetujuan untuk melakukan kegiatan penukaran valuta
asing dari otoritas yang berwenang.
Pasal 4
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang mengajukan
permohonan sebagai Badan Berizin harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
dari Bank Indonesia;
5
b. memiliki modal disetor paling sedikit sebesar
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); dan
c. memenuhi persyaratan operasional sebagai berikut:
1. memiliki pegawai yang menjalankan fungsi terkait
Pembawaan UKA;
2. memiliki sarana teknologi informasi yang paling
sedikit dapat terhubung dengan jaringan internet
untuk mendukung Pembawaan UKA;
3. memiliki sistem manajemen risiko yang paling sedikit
memiliki kebijakan dan prosedur tertulis terkait
kegiatan Pembawaan UKA; dan
4. memenuhi persyaratan operasional lainnya sesuai
dengan yang ditetapkan Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pengajuan Permohonan sebagai Badan Berizin
Pasal 5
(1) Permohonan sebagai Badan Berizin diajukan dengan surat
dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh salah
satu anggota direksi dari pihak Bank dan Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank dengan mengacu pada contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. nama korporasi;
b.
jenis korporasi;
c. alamat kantor pusat;
d. daftar dokumen yang dilampirkan; dan
e. informasi pegawai yang ditugaskan untuk
pengurusan permohonan sebagai Badan Berizin.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen paling sedikit sebagai berikut:
a. bagi Bank:
6
1. fotokopi izin usaha sebagai Bank dari otoritas
yang berwenang;
2.
fotokopi izin sebagai bank devisa atau
persetujuan untuk melakukan kegiatan
penukaran valuta asing dari otoritas yang
berwenang;
3. surat pernyataan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini, yang telah diisi lengkap dan
ditandatangani oleh anggota direksi dengan
dibubuhi meterai yang cukup;
4. daftar nama dan spesimen tanda tangan pejabat
dan/atau staf yang ditunjuk oleh Bank sebagai
pihak yang berwenang untuk melakukan
penandatanganan dokumen/korespondensi
dalam berhubungan dengan Bank Indonesia
terkait Pembawaan UKA; dan
5. fotokopi dokumen kebijakan dan prosedur
tertulis terkait manajemen risiko kegiatan
Pembawaan UKA.
b. bagi Penyelenggara KUPVA Bukan Bank:
1.
fotokopi surat keputusan pemberian izin usaha
(KPmIU) sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank dari Bank Indonesia;
2.
fotokopi laporan keuangan perusahaan paling
sedikit 1 (satu) tahun terakhir;
3. surat pernyataan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II, yang telah diisi lengkap dan
ditandatangani oleh anggota direksi dengan
dibubuhi meterai yang cukup;
4. daftar nama dan spesimen tanda tangan pejabat
dan/atau staf yang ditunjuk oleh Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank sebagai pihak yang
berwenang untuk melakukan penandatanganan
7
dokumen/korespondensi dalam berhubungan
dengan Bank Indonesia terkait Pembawaan UKA;
5. fotokopi dokumen kebijakan dan prosedur
tertulis terkait manajemen risiko kegiatan
Pembawaan UKA; dan
6.
fotokopi anggaran dasar yang menunjukkan
modal disetor paling sedikit Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
Pasal 6
(1) Surat permohonan dan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus disampaikan
dengan cara diunggah melalui Sistem Aplikasi Pembawaan
UKA.
(2) Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau mengalami
gangguan maka surat permohonan dan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 hanya
dapat disampaikan secara langsung.
(3) Penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atau ayat (2) ditujukan kepada Bank Indonesia
yang mewilayahi kantor pusat Bank atau Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank pemohon.
(4) Dalam hal terjadi perubahan pembagian wilayah kerja
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Bank Indonesia menginformasikan perubahan tersebut
secara tertulis dan/atau melalui media lainnya.
Pasal 7
(1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan atas surat
permohonan dan kelengkapan dokumen yang
disampaikan Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia menyampaikan notifikasi
kepada Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank:
8
a. melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA; atau
b. secara langsung dan tertulis, dalam hal Sistem
Aplikasi Pembawaan UKA belum tersedia atau
mengalami gangguan.
(3) Dalam hal hasil pemeriksaan surat dan dokumen
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan lengkap, Bank dan Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank harus menyampaikan fisik surat
permohonan dan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 secara langsung kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
tanggal notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal hasil pemeriksaan surat dan dokumen
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan tidak lengkap, maka penyampaian notifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan
bersamaan dengan pengembalian surat beserta seluruh
dokumen permohonan kepada Bank dan Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank.
Bagian Keempat
Pemrosesan Permohonan sebagai Badan Berizin
Pasal 8
(1) Untuk surat dan dokumen yang telah dinyatakan lengkap
dan fisiknya telah diterima Bank Indonesia sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3),
Bank Indonesia melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai kebenaran dan kesesuaiannya dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 setelah
dokumen diterima secara lengkap.
(2) Bank Indonesia dapat meminta Bank dan Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank untuk menunjukkan asli dokumen,
apabila diperlukan untuk memastikan keabsahan
dokumen.
9
(3) Dalam hal dokumen yang disampaikan tidak sesuai
dengan yang dipersyaratkan maka Bank Indonesia
memberitahukan secara tertulis kepada Bank atau
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank untuk menyesuaikan
dokumen tersebut.
(4) Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus
menyampaikan kembali dokumen yang telah disesuaikan
kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan dari
Bank Indonesia.
(5) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia tidak menerima
dokumen yang telah disesuaikan dari Bank atau
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank maka Bank atau
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dinyatakan telah
membatalkan permohonan sebagai Badan Berizin.
Pasal 9
(1) Dalam hal hasil penelitian surat dan dokumen
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dinyatakan telah benar dan sesuai dengan persyaratan,
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan
pemenuhan persyaratan operasional secara langsung ke
tempat kedudukan Bank atau Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan secara
langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dinilai belum
memenuhi seluruh persyaratan operasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, Bank Indonesia
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank atau
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(3) Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus
melaksanakan tindakan yang diperlukan guna memenuhi
seluruh persyaratan operasional paling lama 20 (dua
10
puluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 10
Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas terkait
untuk memproses permohonan Bank atau Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank sebagai Badan Berizin.
Pasal 11
(1) Berdasarkan proses permohonan sebagai Badan Berizin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal
10, Bank Indonesia:
a. menyetujui permohonan sebagai Badan Berizin; atau
b. menolak permohonan sebagai Badan Berizin.
(2) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau
penolakan sebagai Badan Berizin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Bank atau Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja
setelah dokumen diterima secara lengkap dan sesuai.
(3) Persetujuan atau penolakan sebagai Badan Berizin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan juga
dengan notifikasi melalui Sistem Aplikasi Pembawaan
UKA.
Pasal 12
(1) Bank Indonesia memberikan surat izin sebagai Badan
Berizin untuk melakukan kegiatan pembawaan UKA
kepada Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
yang permohonannya disetujui sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11.
(2) Surat izin sebagai Badan Berizin untuk melakukan
kegiatan pembawaan UKA diberikan untuk jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun.
(3) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
informasi paling sedikit:
a. penetapan sebagai Badan Berizin;
11
b. tanggal efektif dan masa berlakunya Izin Pembawaan
UKA; dan
c. informasi bahwa Badan Berizin dapat melakukan
permohonan Persetujuan Pembawaan UKA.
(4) Bank Indonesia memberikan surat penolakan kepada
Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang
permohonannya ditolak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11.
Pasal 13
Bank Indonesia mengumumkan daftar Badan Berizin pada
laman resmi Bank Indonesia dengan alamat www.bi.go.id.
Bagian Kelima
Perpanjangan Izin sebagai Badan Berizin
Pasal 14
(1) Permohonan perpanjangan izin sebagai Badan Berizin
disampaikan kepada Bank Indonesia sebagai berikut:
a. paling cepat 6 (enam) bulan sebelum izin sebagai
Badan Berizin berakhir; dan
b. paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum izin sebagai
Badan Berizin berakhir.
(2) Permohonan perpanjangan izin sebagai Badan Berizin
disampaikan kepada Bank Indonesia yang mewilayahi
kantor pusat Badan Berizin.
(3) Dalam hal 3 (tiga) bulan sebelum izin sebagai Badan
Berizin berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b jatuh pada hari libur maka batas akhir pengajuan
permohonan perpanjangan izin yaitu pada hari kerja
pertama setelah hari libur tersebut.
(4) Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagai Badan
Berizin disampaikan tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Badan Berizin
dianggap tidak mengajukan perpanjangan izin.
12
Pasal 15
Tata cara permohonan perpanjangan izin sebagai Badan
Berizin dilakukan sebagai berikut:
a. Badan Berizin mengajukan permohonan perpanjangan
izin melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA disertai
dengan kelengkapan dokumen; dan
b. kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terdiri atas:
1.
fotokopi dokumen perubahan data atas dokumen
yang telah disampaikan oleh Badan Berizin pada saat
mengajukan Izin Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), apabila ada; dan
2. daftar realisasi Pembawaan UKA 1 (satu) tahun
terakhir yang disahkan oleh pejabat Badan Berizin.
Pasal 16
(1) Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA belum
tersedia atau mengalami gangguan maka Badan Berizin
dapat mengajukan permohonan perpanjangan izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 melalui surat
kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat
Badan Berizin.
(2) Tata cara pemrosesan perpanjangan izin sebagai Badan
Berizin dilakukan dengan mengacu pada tata cara
pemrosesan permohonan sebagai Badan Berizin.
BAB III
PERSETUJUAN PEMBAWAAN UKA
Bagian Kesatu
Bentuk Persetujuan Pembawaan UKA
Pasal 17
(1) Bank Indonesia memberikan Persetujuan Pembawaan
UKA kepada Badan Berizin berupa:
13
a. persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu)
periode Pembawaan UKA; dan
b. persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA.
(2) Periode Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a yaitu:
a. Januari sampai dengan Maret;
b. April sampai dengan Juni;
c. Juli sampai dengan September; dan
d. Oktober sampai dengan Desember.
(3) Pemberian persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
dengan memperhatikan jumlah kuota yang telah diberikan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a.
(4) Persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode
Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diberikan untuk periode berjalan dan dapat
diberikan untuk maksimal 1 (satu) periode setelahnya.
Bagian Kedua
Persetujuan Kuota
Paragraf 1
Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kuota
Pasal 18
(1) Permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1
(satu) periode Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a diajukan oleh Badan
Berizin kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor
pusat Badan Berizin melalui Sistem Aplikasi Pembawaan
UKA.
(2) Permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1
(satu) periode Pembawaan UKA paling sedikit memuat
informasi sebagai berikut:
14
a. proyeksi kebutuhan UKA per mata uang untuk
periode yang diajukan dengan dibedakan antara
keperluan Pembawaan UKA ke dalam dan/atau ke
luar Daerah Pabean;
b.
detail rencana Pembawaan UKA untuk periode
Pembawaan UKA yang bersangkutan;
c. alasan Pembawaan UKA; dan
d. pihak counterparty.
(3) Bank Indonesia dapat meminta dokumen pendukung
untuk permohonan persetujuan kuota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Bank Indonesia dapat meminta data historis Pembawaan
UKA kepada Badan Berizin yang baru pertama kali
mengajukan permohonan persetujuan kuota per mata
uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tanggal
pelaksanaan Pembawaan UKA.
(6) Permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1
(satu) periode Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan dengan mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4).
(7) Dalam hal 1 (satu) bulan sebelum tanggal pelaksanaan
Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
jatuh pada hari libur maka batas akhir pengajuan
permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1
(satu) periode Pembawaan UKA yaitu pada hari kerja
pertama setelah hari libur dimaksud.
Pasal 19
Bank Indonesia memberikan notifikasi kepada Badan Berizin
melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA dalam hal
persyaratan permohonan persetujuan kuota per mata uang
untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA telah atau belum
diterima secara lengkap.
15
Pasal 20
Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) belum tersedia atau
mengalami gangguan maka permohonan persetujuan kuota per
mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA dilakukan
sebagai berikut:
a. Badan Berizin mengajukan permohonan melalui surat
yang ditandatangani oleh anggota direksi Badan Berizin
dengan dilengkapi dokumen pendukung yang memuat
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);
dan
b. contoh surat sebagaimana dimaksud dalam huruf a
mengacu pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Paragraf 2
Persetujuan Kuota oleh Bank Indonesia
Pasal 21
(1) Dalam hal persyaratan permohonan persetujuan kuota per
mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 telah diterima
secara lengkap, Bank Indonesia memberikan:
a. persetujuan terhadap seluruh jumlah kuota yang
diajukan oleh Badan Berizin;
b. persetujuan terhadap sebagian jumlah kuota yang
diajukan oleh Badan Berizin; atau
c. penolakan terhadap permohonan.
(2) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Badan
Berizin melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah persyaratan
permohonan persetujuan diterima secara lengkap.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b memuat informasi sebagai berikut:
16
a.
jumlah kuota Pembawaan UKA ke dalam dan/atau ke
luar Daerah Pabean untuk masing-masing mata
uang; dan
b. masa berlaku persetujuan.
(4) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan berdasarkan pertimbangan:
a. peruntukan Pembawaan UKA;
b. aspek historis Pembawaan UKA;
c. kondisi makroekonomi; dan/atau
d. pertimbangan lainnya.
Pasal 22
Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA belum tersedia
atau mengalami gangguan maka Bank Indonesia
menginformasikan penolakan atau persetujuan permohonan
kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA
melalui surat.
Pasal 23
Bagi Badan Berizin yang ditolak permohonan persetujuan
kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c maka
Badan Berizin yang bersangkutan dapat mengajukan
permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu)
periode Pembawaan UKA untuk periode berikutnya.
Paragraf 3
Tata Cara Penambahan Kuota
Pasal 24
(1) Badan Berizin dapat mengajukan permohonan
penambahan kuota paling banyak 1 (satu) kali dalam
periode persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu)
periode Pembawaan UKA yang telah diberikan oleh Bank
Indonesia.
17
(2) Permohonan penambahan kuota diajukan melalui Sistem
Aplikasi Pembawaan UKA paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sebelum tanggal Pembawaan UKA.
(3) Permohonan penambahan kuota disampaikan kepada
Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat Badan
Berizin.
(4) Permohonan penambahan kuota dilengkapi dengan
informasi mengenai:
a. kebutuhan tambahan kuota per mata uang;
b.
tujuan penambahan kuota; dan
c. pihak counterparty.
(5) Bank Indonesia dapat meminta dokumen pendukung
untuk permohonan penambahan kuota sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
(6) Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA belum
tersedia atau mengalami gangguan maka permohonan
penambahan kuota disampaikan oleh Badan Berizin
kepada Bank Indonesia melalui surel yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Pasal 25
(1) Dalam hal permohonan penambahan kuota telah diterima
Bank Indonesia secara lengkap dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), Bank
Indonesia memproses permohonan tersebut berdasarkan
pertimbangan:
a. peruntukan penambahan kuota;
b. aspek historis Pembawaan UKA;
c. kondisi makroekonomi; dan/atau
d. pertimbangan lainnya.
(2) Berdasarkan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia memberikan:
a. persetujuan terhadap seluruh jumlah penambahan
kuota;
b. persetujuan terhadap sebagian jumlah penambahan
kuota; atau
18
c. penolakan terhadap permohonan penambahan
kuota.
(3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA
diberikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah
persyaratan permohonan penambahan kuota diterima
secara lengkap oleh Bank Indonesia.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan huruf b memuat informasi mengenai jumlah kuota per
mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA ke
dalam dan/atau ke luar Daerah Pabean yang disetujui
oleh Bank Indonesia untuk masing-masing mata uang.
(5) Dalam hal permohonan penambahan kuota yang
disampaikan oleh Badan Berizin kepada Bank Indonesia
melalui surel disampaikan tidak secara lengkap maka
Bank Indonesia tidak memproses permohonan
penambahan kuota Badan Berizin.
(6) Badan Berizin yang:
a. permohonannya tidak diproses sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) maka Badan Berizin dapat
mengajukan kembali permohonan penambahan kuota
dalam periode Pembawaan UKA berjalan dengan tetap
memenuhi ketentuan sebagaimana dalam Pasal 24;
atau
b. permohonan penambahan kuota ditolak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c maka Badan Berizin
yang bersangkutan dapat mengajukan kembali
permohonan penambahan kuota paling cepat pada
periode Pembawaan UKA berikutnya.
(7) Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) belum tersedia atau mengalami
gangguan maka Bank Indonesia menginformasikan
persetujuan atau penolakan penambahan kuota melalui
surel yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
19
Bagian Ketiga
Persetujuan untuk Setiap Pembawaan UKA
Pasal 26
(1) Badan Berizin mengajukan permohonan persetujuan
untuk setiap Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b melalui:
a. Sistem Aplikasi Pembawaan UKA bagi Pembawaan
UKA yang melalui barang bawaan penumpang; atau
b. sistem aplikasi ekspor dan impor yang dimiliki oleh
otoritas kepabeanan yang melalui jalur kargo.
(2) Persetujuan atas setiap Pembawaan UKA mengurangi
kuota Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b.
(3) Pengurangan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan untuk setiap Pembawaan UKA dengan nilai
paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(4) Persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA diperoleh
Badan Berizin melalui sistem sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam bentuk:
a.
formulir persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA
yang melalui barang bawaan penumpang; atau
b. dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) atau
pemberitahuan impor barang (PIB) bagi Pembawaan
UKA yang melalui jalur kargo.
(5) Bank Indonesia dapat menolak permohonan Persetujuan
setiap Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berdasarkan pertimbangan:
a. peruntukan Pembawaan UKA;
b. aspek historis Pembawaan UKA;
c. kondisi makroekonomi; dan/atau
d. pertimbangan lainnya.
(6) Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a belum tersedia atau
mengalami gangguan maka permohonan persetujuan
20
untuk setiap Pembawaan UKA diajukan melalui surel yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Paragraf 1
Tata Cara Pengajuan Persetujuan untuk Setiap
Pembawaan UKA Melalui Barang Bawaan Penumpang
Pasal 27
(1) Permohonan persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a
dilakukan dengan mengisi formulir persetujuan yang
berisi informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. rencana tanggal Pembawaan UKA;
b. kategori Pembawaan UKA ke dalam dan/atau ke luar
Daerah Pabean;
c. negara asal atau negara tujuan Pembawaan UKA;
d. pintu masuk atau pintu keluar pabean;
e. alasan Pembawaan UKA; dan
f.
jumlah untuk masing-masing mata uang.
(2) Formulir persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dicetak oleh Badan Berizin melalui Sistem Aplikasi
Pembawaan UKA.
(3) Formulir persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat digunakan untuk Pembawaan UKA dalam jangka
waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak rencana tanggal
Pembawaan UKA.
(4) Contoh formulir persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 28
Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA telah terintegrasi
dengan sistem aplikasi ekspor dan impor yang dimiliki oleh
otoritas kepabeanan maka formulir persetujuan sebagaimana
21
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat tidak dicetak oleh
Badan Berizin.
Paragraf 2
Tata Cara Pengajuan Persetujuan untuk Setiap Pembawaan
UKA Melalui Jalur Kargo
Pasal 29
(1) Permohonan persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b
dilakukan dengan mengisi informasi sebagai berikut:
a. kode pengajuan untuk persetujuan setiap
Pembawaan UKA yang dihasilkan dari sistem aplikasi
ekspor dan impor yang dimiliki oleh otoritas
kepabeanan; dan
b. alasan Pembawaan UKA.
(2) Selain mengisi informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Badan Berizin juga mengunggah dokumen PEB
atau PIB melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA.
(3) Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) belum tersedia atau mengalami
gangguan maka Badan Berizin menyampaikan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen PEB
atau PIB melalui surel yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
BAB IV
PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBAWAAN UKA OLEH
BADAN BERIZIN
Bagian Kesatu
Pembawaan UKA oleh Badan Berizin
Pasal 30
(1) Pembawaan UKA oleh Badan Berizin dapat dilakukan:
a. secara sendiri oleh Badan Berizin; dan/atau
22
b. menggunakan jasa PJPUR Terdaftar.
(2) Pembawaan UKA secara sendiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan oleh pegawai
Badan Berizin.
(3) Pembawaan UKA dengan menggunakan jasa PJPUR
Terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan berdasarkan surat permintaan dari Badan
Berizin.
Bagian Kedua
Pembawaan UKA melalui Barang Bawaan Penumpang
Pasal 31
(1) Dalam hal Pembawaan UKA dilakukan secara sendiri oleh
Badan Berizin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) huruf a, pegawai Badan Berizin menyampaikan
dokumen kepada petugas otoritas kepabeanan berupa
dokumen kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan
peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai kepabeanan.
(2) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pegawai Badan Berizin juga menunjukkan
kepada petugas otoritas kepabeanan berupa:
a.
b.
c.
formulir persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (4) huruf a;
asli surat tugas yang ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang dari Badan Berizin; dan
identitas pegawai Badan Berizin yang membawa UKA.
(3) Dalam hal Pembawaan UKA dilakukan dengan
menggunakan jasa PJPUR Terdaftar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b, pegawai PJPUR
Terdaftar menyampaikan dokumen
kepabeanan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai
kepabeanan kepada petugas otoritas kepabeanan.
23
(4) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), pegawai PJPUR Terdaftar juga menunjukkan
kepada petugas otoritas kepabeanan berupa:
a.
formulir persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (4) huruf a;
b. surat permintaan dari Badan Berizin untuk
melakukan Pembawaan UKA;
c.
d.
asli surat tugas yang ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang dari PJPUR Terdaftar; dan
identitas pegawai PJPUR Terdaftar yang membawa
UKA.
(5) Badan Berizin harus mengunggah formulir persetujuan
yang telah dilengkapi, ditandatangani, dan divalidasi oleh
petugas otoritas kepabeanan melalui Sistem Aplikasi
Pembawaan UKA dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja
terhitung sejak rencana tanggal pembawaan UKA.
(6) Dalam hal Badan Berizin batal melakukan Pembawaan
UKA, formulir persetujuan harus dilengkapi dan
ditandatangani oleh Badan Berizin serta diunggah melalui
Sistem Aplikasi Pembawaan UKA dalam jangka waktu 6
(enam) hari kerja terhitung sejak rencana tanggal
Pembawaan UKA.
Pasal 32
Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA belum tersedia
atau mengalami gangguan pada saat Badan Berizin
mengunggah formulir persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (5) maka Badan Berizin mengunggah
formulir persetujuan setelah Sistem Aplikasi Pembawaan UKA
dapat digunakan disertai dengan keterangan bahwa terdapat
gangguan dalam Sistem Aplikasi Pembawaan UKA.
Pasal 33
Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA telah terintegrasi
dengan sistem aplikasi ekspor dan impor yang dimiliki oleh
otoritas kepabeanan maka validasi terhadap formulir
24
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (5)
dilakukan secara elektronik melalui sistem aplikasi
kepabeanan.
Bagian Ketiga
Pembawaan UKA melalui Jalur Kargo
Pasal 34
Tata cara Pembawaan UKA melalui jalur kargo mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai kepabeanan.
BAB V
TATA CARA PENYAMPAIAN PERUBAHAN DATA DAN/ATAU
INFORMASI BAGI BANK
Pasal 35
(1) Badan Berizin wajib menyampaikan kepada Bank
Indonesia melalui surat apabila terdapat perubahan data
dan/atau informasi pada dokumen yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia pada saat pengajuan
permohonan sebagai Badan Berizin.
(2) Perubahan data dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk Badan Berizin terdiri atas:
a. perubahan status;
b. perubahan modal;
c. perubahan nama; dan/atau
d. perubahan alamat.
(3) Perubahan data dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) oleh Badan Berizin berupa Bank
dilakukan setelah perubahan tersebut disetujui oleh
otoritas yang berwenang.
(4) Badan Berizin berupa Bank menyampaikan perubahan
data dan/atau informasi secara tertulis disertai dengan
fotokopi dokumen pendukung kepada Bank Indonesia
yang mewilayahi kantor pusat Badan Berizin.
25
(5) Badan Berizin berupa Bank harus menyampaikan
perubahan data dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah perubahan
tersebut disetujui oleh otoritas yang berwenang.
(6) Tata cara penyampaian perubahan data dan/atau
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
huruf c, dan huruf d bagi Badan Berizin berupa bank
umum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan
terpadu bank umum.
BAB VI
TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN
Pasal 36
(1) Badan Berizin wajib menyampaikan laporan mengenai
realisasi Pembawaan UKA untuk setiap periode
Pembawaan UKA.
(2) Laporan mengenai realisasi Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa laporan berkala.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal terakhir periode
Pembawaan UKA.
(4) Laporan realisasi Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi
mengenai:
a.
jumlah realisasi Pembawaan UKA untuk masing-
masing mata uang dalam 1 (satu) periode Pembawaan
UKA, termasuk Pembawaan UKA dengan jumlah di
bawah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
b. alasan Pembawaan UKA; dan
c. pihak counterparty.
26
Pasal 37
(1) Badan Berizin menyampaikan laporan realisasi
Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1) melalui sistem aplikasi pelaporan Bank Indonesia.
(2) Dalam hal sistem aplikasi pelaporan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau
mengalami gangguan maka Badan Berizin menyampaikan
laporan melalui surat kepada Bank Indonesia yang
mewilayahi kantor pusat Badan Berizin.
(3) Laporan realisasi Pembawaan UKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengacu pada contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
BAB VII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 38
Dalam mengenakan sanksi administratif, Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a.
b.
tingkat kepatuhan Badan Berizin terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan/atau
faktor lainnya.
Pasal 39
(1) Tata cara pengenaan sanksi administratif oleh Bank
Indonesia dilakukan sebagai berikut:
a. pengenaan sanksi administratif disampaikan oleh
Bank Indonesia kepada Badan Berizin melalui surat;
dan
b. pengenaan sanksi administratif dapat disertai dengan
kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu terkait pelaksanaan Pembawaan UKA.
(2) Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi
administratif berupa penghentian sementara Pembawaan
27
UKA, Bank Indonesia menetapkan jangka waktu
pengenaan sanksi administratif berupa penghentian
sementara Pembawaan UKA.
(3) Bank Indonesia menyampaikan informasi kepada instansi
terkait mengenai pengenaan sanksi administratif berupa
penghentian sementara Pembawaan UKA dan pencabutan
Izin Pembawaan UKA.
Pasal 40
Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis atas
pelanggaran kewajiban pelaporan perubahan data dan/atau
informasi serta penyampaian laporan berkala, tidak
meniadakan kewajiban bagi Badan Berizin untuk memenuhi
kewajiban tersebut.
BAB VIII
KORESPONDENSI
Pasal 41
(1) Kegiatan korespondensi terkait permohonan sebagai
Badan Berizin bagi Bank dan Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank yang berkantor pusat di wilayah Provinsi DKI
Jakarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten
Karawang, Kotamadya Bekasi, Kotamadya Bogor, dan
Kotamadya Depok disampaikan kepada:
Bank Indonesia
c.q. Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran
Gedung D Lantai 5
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(2) Kegiatan korespondensi terkait persetujuan kuota per
mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA dan
persetujuan untuk setiap kali pelaksanaan Pembawaan
UKA bagi Badan Berizin yang berkantor pusat di wilayah
Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten
Bogor, Kabupaten Karawang, Kotamadya Bekasi,
28
Kotamadya Bogor, dan Kotamadya Depok, serta
perubahan data dan informasi bagi Badan Berizin berupa
bank umum disampaikan kepada:
Bank Indonesia
c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan
Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(3) Kegiatan korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) bagi Badan Berizin yang berkantor pusat
di luar wilayah Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bekasi,
Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang, Kotamadya
Bekasi, Kotamadya Bogor, dan Kotamadya Depok, serta
perubahan data dan informasi bagi Badan Berizin berupa
bank perkreditan rakyat disampaikan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat
Badan Berizin yang bersangkutan.
(4) Dalam hal alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) terjadi perubahan, Bank Indonesia
menginformasikan perubahan tersebut secara tertulis
dan/atau melalui media lainnya.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
(1) Pengajuan permohonan sebagai Badan Berizin,
Persetujuan Pembawaan UKA, tata cara Pembawaan UKA,
penyampaian perubahan data dan/atau informasi serta
laporan berkala mulai berlaku pada tanggal 4 Juni 2018.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 mulai berlaku
pada tanggal 3 September 2018.
Pasal 43
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
29
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
SUGENG
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/12/PADG/2018
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM
DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA
I. UMUM
Bank Indonesia perlu melakukan penguatan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang Kertas Asing
Ke Dalam dan Ke Luar Daerah Pabean Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/2/PBI/2018 dalam rangka
pengendalian moneter.
Untuk memperjelas dan melakukan penguatan pengaturan
kewenangan perizinan dan pengawasan oleh Bank Indonesia, perlu diatur
lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan Pembawaan UKA khususnya
terkait persyaratan, tata cara, pemrosesan, dan perpanjangan izin bagi
Badan Berizin, tata cara persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu)
periode Pembawaan UKA, persyaratan dan tata cara persetujuan
Pembawaan UKA, dan tata cara pengenaan sanksi dalam suatu Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
2
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โmodal disetorโ adalah modal disetor
untuk pendirian Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana
tercantum dalam anggaran dasar Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank tersebut.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Contoh persyaratan operasional lainnya antara lain
ketersediaan infrastruktur.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1
Dalam hal Bank yang mengajukan permohonan sebagai
Badan Berizin tidak dapat menyampaikan fotokopi
dokumen yang menunjukan izin usaha sebagai bank
diakibatkan antara lain karena hilangnya dokumen
maka Bank yang bersangkutan dapat menyampaikan
dokumen relevan lainnya yang dikeluarkan oleh otoritas
yang berwenang.
3
Angka 2
Dalam hal Bank yang mengajukan Izin Pembawaan UKA
tidak dapat menyampaikan fotokopi dokumen yang
menunjukan izin sebagai bank devisa atau persetujuan
untuk melakukan kegiatan penukaran valuta asing dari
otoritas yang berwenang diakibatkan antara lain karena
hilangnya dokumen maka Bank yang bersangkutan
dapat menyampaikan dokumen relevan lainnya yang
dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.
Angka 3
Yang dimaksud dengan โanggota direksiโ adalah paling
sedikit salah satu anggota direksi yang bertanggung
jawab terhadap kegiatan Pembawaan UKA.
Angka 4
Yang dimaksud dengan โanggota direksiโ adalah paling
sedikit salah satu anggota direksi yang bertanggung
jawab terhadap kegiatan Pembawaan UKA.
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan โanggota direksiโ adalah paling
sedikit salah satu anggota direksi yang bertanggung
jawab terhadap kegiatan Pembawaan UKA
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
4
Angka 6
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Penyampaian surat permohonan dan kelengkapan dokumen
dengan cara mengunggah melalui Sistem Aplikasi Pembawaan
UKA dimaksudkan agar Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank tidak langsung mengirimkan fisik surat permohonan dan
kelengkapan dokumen tersebut sebelum menerima notifikasi dari
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โSistem Aplikasi Pembawaan UKA
mengalami gangguanโ adalah apabila terdapat pemberitahuan
adanya gangguan pada Sistem Aplikasi Pembawaan UKA dari
Bank Indonesia atau apabila Bank dan Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank tidak dapat mengakses Sistem Aplikasi Pembawaan
UKA dengan alasan yang dapat diterima oleh Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Keharusan penyampaian fisik surat permohonan dan
kelengkapan dokumen secara langsung kepada Bank Indonesia
ditujukan kepada Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
yang telah menyampaikan permohonannya melalui Sistem
Aplikasi Pembawaan UKA.
Ayat (4)
Cukup jelas.
5
Pasal 8
Ayat (1)
Penelitian terhadap kesesuaian dokumen antara lain dapat
dilakukan melalui klarifikasi dokumen kepada Bank dan
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โsecara tertulisโ adalah melalui surat
elektronik yang terkoneksi dengan Sistem Aplikasi Pembawaan
UKA atau melalui surat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Pemeriksaan secara langsung kepada Bank dan/atau
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank antara lain mengenai
kesiapan sarana dan prasarana serta mekanisme dan prosedur
terkait Pembawaan UKA.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โsesuaiโ adalah termasuk pemenuhan
persyaratan dalam hal dilakukan pemeriksaan secara langsung
atas kesiapan operasional.
6
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Contoh:
Apabila Izin Pembawaan UKA Badan Berizin berakhir pada
tanggal 15 Mei 2023 maka Badan Berizin yang bersangkutan
dapat mengajukan permohonan perpanjangan Izin Pembawaan
UKA paling cepat tanggal 15 November 2022 dan paling lambat
tanggal 15 Februari 2023.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Bagi Badan Berizin berupa Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank, pengajuan permohonan perpanjangan Izin
Pembawaan UKA dapat disampaikan bersamaan dengan
pengajuan permohonan perpanjangan izin sebagai
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
7
Angka 2
Daftar realisasi Pembawaan UKA selama 1 (satu) tahun
terakhir termasuk Pembawaan UKA dengan jumlah di bawah
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โkuota per mata uang untuk 1 (satu)
periode pembawaan UKAโ adalah kuota Pembawaan UKA ke
dalam dan/atau ke luar Daerah Pabean.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โpihak counterpartyโ adalah pihak yang
menjual dan/atau membeli UKA di luar Daerah Pabean.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โdokumen pendukungโ antara lain
dokumen underlying penjualan dan/atau pembelian UKA.
Ayat (4)
Periode data historis yang disampaikan yaitu data historis paling
lama 1 (satu) tahun terakhir.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
8
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Yang dimaksud dengan โanggota direksiโ adalah paling sedikit salah
satu anggota direksi yang bertanggung jawab terhadap kegiatan
Pembawaan UKA.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โpersetujuan terhadap sebagian
jumlah kuotaโ adalah termasuk kuota per mata uang untuk
1 (satu) periode Pembawaan UKA.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Persetujuan atau penolakan oleh Bank Indonesia dapat diakses
oleh Badan Berizin melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA yang
telah terintegrasi dengan Sistem INSW.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โpertimbangan lainnyaโ antara lain aspek
kepatuhan Badan Berizin terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 22
Cukup jelas.
9
Pasal 23
Contoh:
Apabila permohonan Persetujuan Pembawaan UKA dari Badan Berizin
untuk periode Juli-September 2018 tidak disetujui oleh Bank
Indonesia maka Badan Berizin tersebut dapat mengajukan
permohonan Persetujuan Pembawaan UKA untuk periode Oktober-
Desember 2018.
Pasal 24
Ayat (1)
Penambahan kuota yang diajukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan pada periode Pembawaan UKA berjalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โpihak counterpartyโ adalah pihak yang
menjual dan/atau membeli UKA di luar Daerah Pabean.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โpertimbangan lainnyaโ antara lain aspek
kepatuhan Badan Berizin terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
10
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Sistem aplikasi ekspor dan impor yang dimiliki oleh otoritas
kepabeanan antara lain aplikasi Pemberitahuan Ekspor Barang
(PEB) dan Pemberitahuan Impor Barang (PIB), bagi Pembawaan
UKA yang melalui jalur kargo.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Formulir persetujuan antara lain memuat kode persetujuan
kuota berupa kode yang dihasilkan melalui Sistem Aplikasi
Pembawaan UKA.
Kode persetujuan untuk setiap pembawaan UKA digunakan
oleh otoritas kepabeanan untuk memastikan keaslian
formulir persetujuan pada saat pelaksanaan Pembawaan
UKA.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan โpertimbangan lainnyaโ antara lain aspek
kepatuhan Badan Berizin terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan dan terdapat kebijakan pembatasan
pembawaan UKA dari otoritas yang berwenang atas UKA tersebut.
Ayat (6)
Cukup jelas.
11
Pasal 27
Ayat (1)
Formulir persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA merupakan
dokumen pelengkap kepabeanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Apabila Badan Berizin mencantumkan tanggal Pembawaan UKA
adalah 20 Agustus 2018 maka Badan Berizin yang bersangkutan
dapat menggunakan dokumen tersebut untuk Pembawaan UKA
terhitung sejak tanggal 20 Agustus 2018 sampai dengan tanggal
22 Agustus 2018.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Integrasi Sistem Aplikasi Pembawaan UKA dengan sistem aplikasi
ekspor dan impor yang dimiliki oleh otoritas kepabeanan berdampak
pada pemrosesan dokumen kepabeanan secara elektronik.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โpegawai Badan Berizinโ adalah personil
Badan Berizin yang terdapat dalam struktur organisasi Badan
Berizin termasuk anggota direksi, anggota komisaris, dan pegawai
Badan Berizin yang memperoleh surat tugas yang ditandatangani
oleh pejabat yang berwenang dari Badan Berizin.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โsurat permintaan dari Badan Berizinโ
antara lain surat keterangan dari Badan Berizin yang diterbitkan
12
atas dasar perjanjian antara Badan Berizin dengan PJPUR
Terdaftar.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โpegawai Badan Berizinโ adalah
personil Badan Berizin yang terdapat dalam struktur
organisasi Badan Berizin termasuk anggota direksi, anggota
komisaris, dan pegawai Badan Berizin yang memperoleh
surat tugas yang ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang dari Badan Berizin.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โpegawai PJPUR Terdaftarโ adalah
personil PJPUR Terdaftar yang terdapat dalam struktur organisasi
PJPUR Terdaftar termasuk anggota direksi, anggota komisaris,
dan pegawai PJPUR Terdaftar yang memperoleh surat tugas yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari PJPUR
Terdaftar.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โsurat permintaan dari Badan
Berizinโ antara lain surat keterangan dari Badan Berizin
yang diterbitkan atas dasar perjanjian antara Badan Berizin
dengan PJPUR Terdaftar.
Huruf c
Cukup jelas.
13
Huruf d
Yang dimaksud dengan โpegawai PJPUR Terdaftarโ adalah
personil PJPUR Terdaftar yang terdapat dalam struktur
organisasi PJPUR Terdaftar termasuk anggota direksi,
anggota komisaris, dan pegawai PJPUR Terdaftar yang
memperoleh surat tugas yang ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang dari PJPUR Terdaftar.
Ayat (5)
Formulir persetujuan yang telah divalidasi oleh petugas otoritas
kepabeanan melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA tidak dapat
digunakan kembali oleh Badan Berizin untuk Pembawaan UKA.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Huruf a
Cukup jelas.
14
Huruf b
Contoh faktor lainnya antara lain aspek perlindungan konsumen.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/12/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA </reg_title>
<set_date> 4 Juni 2018 </set_date>
<effective_date> 4 Juni 2018 </effective_date>
<related_reg> '20/2/PBI/2018', '19/7/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/12/PADG/2017
TENTANG
PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA
DAN MALAYSIA MENGGUNAKAN RUPIAH DAN RINGGIT MELALUI BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah diperlukan upaya untuk memitigasi risiko
terjadinya fluktuasi rupiah melalui suatu kerja sama
antara Bank Indonesia dengan bank sentral atau otoritas
moneter negara lain terkait dengan penyelesaian
transaksi perdagangan bilateral;
b. bahwa Bank Indonesia dan Bank Negara Malaysia telah
menyepakati pembentukan kerangka kerja sama untuk
mendorong penyelesaian transaksi perdagangan bilateral
dalam rupiah dan ringgit melalui kegiatan dan transaksi
keuangan yang dapat dilakukan oleh bank;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang
Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral antara
Indonesia dan Malaysia Menggunakan Rupiah dan
Ringgit Melalui Bank;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/11/PBI/2017 tentang
Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Menggunakan
Mata Uang Lokal (Local Currency Settlement) Melalui Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6127);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL
ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA MENGGUNAKAN
RUPIAH DAN RINGGIT MELALUI BANK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
serta bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
2. Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Dengan
Menggunakan Rupiah dan Ringgit (Local Currency
Settlement) yang selanjutnya disebut LCS Rupiah dan
Ringgit adalah penyelesaian transaksi perdagangan
bilateral yang dilakukan oleh pelaku usaha di Indonesia
dan di Malaysia dengan menggunakan rupiah dan ringgit.
3. Bank yang Ditunjuk Untuk Melaksanakan Transaksi
Mata Uang (Appointed Cross Currency Dealer Bank) yang
selanjutnya disebut Bank ACCD adalah bank yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia bersama Bank Negara
Malaysia guna melakukan kegiatan dan transaksi
3
keuangan tertentu untuk kepentingan pelaksanaan LCS
Rupiah dan Ringgit.
4. Bank ACCD Indonesia adalah Bank ACCD di Indonesia.
5. Bank ACCD Malaysia adalah Bank ACCD di Malaysia.
6. Rekening Special Purpose Non-Resident Account Rupiah
yang selanjutnya disebut SNA Rupiah adalah rekening
khusus milik Bank ACCD Malaysia dalam rupiah yang
dibuka pada Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan
pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit.
7. Rekening Sub-Special Purpose Non-Resident Account
Rupiah yang selanjutnya disebut Sub-SNA Rupiah adalah
rekening khusus milik importir/eksportir Malaysia dalam
rupiah yang dibuka pada Bank ACCD Malaysia untuk
kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit.
8. Rekening Special Purpose Non-Resident Account Ringgit
yang selanjutnya disebut SNA Ringgit adalah rekening
khusus milik Bank ACCD Indonesia dalam ringgit yang
dibuka pada Bank ACCD Malaysia untuk kepentingan
pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit.
9. Rekening Sub-Special Purpose Non-Resident Account
Ringgit yang selanjutnya disebut Sub-SNA Ringgit adalah
rekening khusus milik importir/eksportir Indonesia
dalam ringgit yang dibuka pada Bank ACCD Indonesia
untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit.
10. Underlying Transaksi adalah seluruh kegiatan
perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan
Malaysia, termasuk kegiatan pembiayaan perdagangan
untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit.
11. Pembiayaan Perdagangan adalah pembiayaan yang
diberikan Bank ACCD kepada importir/eksportir di
Indonesia dan Malaysia untuk kepentingan pelaksanaan
perdagangan bilateral.
12. Eksportir adalah eksportir sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan.
13. Importir adalah importir sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan.
14. Hari adalah hari kerja.
4
BAB II
PENUNJUKAN BANK ACCD
Pasal 2
(1) Bank Indonesia bersama Bank Negara Malaysia
menunjuk bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank
ACCD Malaysia.
(2) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan penetapan Bank ACCD Indonesia dan Bank
ACCD Malaysia secara efektif dapat mulai melakukan
kegiatan operasional dan transaksi keuangan tertentu
untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit.
(3) Penunjukan sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank
ACCD Malaysia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria:
a. kondisi kesehatan bank;
b. kemampuan bank dalam memfasilitasi perdagangan
antara Indonesia dan Malaysia;
c. kemampuan bank dalam menjalin hubungan bisnis
dengan perbankan di Indonesia dan di Malaysia;
d. akses jaringan kantor bank di negara asal (home
country) yaitu Indonesia atau Malaysia; dan/atau
e.
kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
bersama Bank Negara Malaysia.
(4) Bank Indonesia bersama Bank Negara Malaysia
melakukan evaluasi dengan mempertimbangkan
perkembangan bisnis Bank ACCD Indonesia dan Bank
ACCD Malaysia untuk kepentingan pelaksanaan LCS
Rupiah dan Ringgit serta kepatuhan Bank ACCD
Indonesia dan Bank ACCD Malaysia terkait ketentuan
yang mengatur mengenai LCS Rupiah dan Ringgit.
(5) Bank Indonesia bersama Bank Negara Malaysia dapat
mengakhiri penunjukan bank sebagai Bank ACCD
Indonesia dan Bank ACCD Malaysia.
5
Pasal 3
(1) Untuk kepentingan penunjukan bank sebagai Bank
ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Bank Indonesia
bersama Bank Negara Malaysia melakukan persiapan
penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan
Bank ACCD Malaysia:
a. meminta calon Bank ACCD Indonesia untuk
mengajukan surat permohonan kepada Bank
Indonesia dan Bank Negara Malaysia;
b. menerima permohonan dari calon Bank ACCD
Indonesia dan calon Bank ACCD Malaysia;
c. melakukan pemrosesan permohonan dari calon
Bank ACCD Indonesia dan calon Bank ACCD
Malaysia melalui koordinasi dengan Bank Negara
Malaysia;
d. persetujuan penunjukan Bank sebagai Bank ACCD
Indonesia dan bank sebagai Bank ACCD Malaysia;
dan/atau
e. kegiatan persiapan lainnya terkait penunjukan bank
sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD
Malaysia.
(2) Penyampaian surat permohonan dari calon Bank ACCD
Indonesia kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut:
a. memuat pernyataan minat dan kesiapan untuk
menjadi Bank ACCD Indonesia serta usulan calon
mitra Bank ACCD Indonesia di Malaysia; dan
b. melampirkan surat permohonan dari calon mitra
Bank ACCD Indonesia di Malaysia kepada Bank
Indonesia,
sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Surat permohonan dari calon Bank ACCD Indonesia
kepada Bank Negara Malaysia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada Bank Negara
6
Malaysia melalui calon mitra Bank ACCD Indonesia di
Malaysia sebagaimana contoh yang tercantum dalam
Lampiran I.
(4) Surat permohonan dari calon Bank ACCD Malaysia
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b yaitu sebagaimana contoh yang
tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 4
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi terhadap Bank
ACCD Indonesia berkoordinasi dengan Bank Negara
Malaysia.
(2) Evaluasi terhadap Bank ACCD Malaysia dilakukan oleh
Bank Negara Malaysia berkoordinasi dengan Bank
Indonesia.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan perkembangan bisnis Bank
ACCD Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS
Rupiah dan Ringgit serta kepatuhan Bank ACCD
Indonesia terkait ketentuan yang mengatur mengenai
LCS Rupiah dan Ringgit.
BAB III
KEGIATAN DAN TRANSAKSI KEUANGAN BANK ACCD
Bagian Kesatu
Pembukaan SNA Rupiah dan SNA Ringgit
Pasal 5
(1) Bank ACCD Indonesia dapat menerima pembukaan SNA
Rupiah dari Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra
dari Bank ACCD Indonesia.
(2) Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat menerima permintaan pembukaan 1
(satu) SNA Rupiah dari setiap Bank ACCD Malaysia yang
merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia.
7
(3) Bank ACCD Indonesia memberikan bunga pada SNA
Rupiah milik Bank ACCD Malaysia.
(4) Pemberian bunga pada SNA Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan
kebijakan masing-masing Bank ACCD Indonesia.
Pasal 6
(1) Bank ACCD Indonesia membuka SNA Ringgit pada Bank
ACCD Malaysia yang merupakan mitra dari Bank ACCD
Indonesia.
(2) Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat membuka 1 (satu) SNA Ringgit pada
setiap Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra dari
Bank ACCD Indonesia.
(3) Bank ACCD Indonesia menerima bunga atas SNA Ringgit
pada Bank ACCD Malaysia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Pemberian bunga pada SNA Ringgit sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan
kebijakan masing-masing Bank ACCD Malaysia.
Pasal 7
(1) Saldo setiap SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia
pada Bank ACCD Indonesia dibatasi paling banyak
sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar
rupiah) pada akhir Hari.
(2) Bank ACCD Indonesia wajib memastikan saldo SNA
Rupiah tidak melebihi jumlah nominal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pada akhir Hari.
(3) Saldo SNA Rupiah dapat melebihi jumlah nominal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada akhir Hari
sepanjang Bank ACCD Indonesia menerima dokumen
dari Bank ACCD Malaysia yang membuktikan bahwa
kelebihan saldo SNA Rupiah tersebut akan digunakan
untuk membayar kewajiban perdagangan bilateral antara
Indonesia dan Malaysia atau investasi pada aset
keuangan dalam rupiah pada Hari berikutnya.
8
Pasal 8
(1) Bank ACCD Indonesia wajib memelihara saldo setiap SNA
Ringgit pada Bank ACCD Malaysia paling banyak sebesar
MYR100,000,000.00 (seratus juta ringgit Malaysia) pada
akhir Hari.
(2) Dalam hal saldo SNA Ringgit pada akhir Hari melebihi
jumlah nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
maka kelebihan saldo SNA Ringgit harus dijual kepada
Bank Negara Malaysia dengan nilai tukar khusus yang
ditetapkan oleh Bank Negara Malaysia.
(3) Saldo SNA Ringgit dapat melebihi jumlah nominal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada akhir Hari
apabila memperoleh persetujuan dari Bank Negara
Malaysia.
(4) Untuk memperoleh persetujuan dari Bank Negara
Malaysia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank
ACCD Indonesia harus menyampaikan permohonan
beserta dokumen pendukung kepada Bank Negara
Malaysia melalui Bank ACCD Malaysia yang merupakan
mitra dari Bank ACCD Indonesia.
(5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) menjelaskan bahwa kelebihan saldo SNA Ringgit akan
digunakan untuk membayar kewajiban perdagangan
bilateral antara Indonesia dan Malaysia atau melakukan
investasi pada aset keuangan dalam ringgit pada Hari
berikutnya.
(6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diterima oleh Bank Negara Malaysia paling lambat pada
pukul 17.30 waktu Kuala Lumpur, Malaysia pada Hari
terjadinya kelebihan saldo SNA Ringgit.
9
Bagian Kedua
Pembukaan Sub-SNA Ringgit dan Sub-SNA Rupiah
Paragraf 1
Pembukaan Rekening Sub-SNA Ringgit
Pasal 9
Bank ACCD Indonesia menerima pembukaan rekening Sub-
SNA Ringgit bagi Importir/Eksportir Indonesia untuk
kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit.
Pasal 10
(1) Bank ACCD Indonesia memberikan bunga untuk Sub-
SNA Ringgit.
(2) Pemberian bunga pada Sub-SNA Ringgit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
kebijakan masing-masing Bank ACCD Indonesia.
Paragraf 2
Penambahan dan Pengurangan Saldo Rekening Sub-SNA
Ringgit
Pasal 11
(1) Penambahan saldo rekening Sub-SNA Ringgit milik
Importir/Eksportir Indonesia hanya bersumber dari:
a. penerimaan devisa hasil ekspor dalam ringgit dari
importir di Malaysia;
b. pembelian ringgit terhadap rupiah atau valuta asing
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap untuk penyelesaian Underlying Transaksi;
c. penerimaan bunga atas saldo rekening Sub-SNA
Ringgit; dan/atau
d. penerimaan atas pencairan dana dari Pembiayaan
Perdagangan
dalam ringgit yang diterima
Importir/Eksportir Indonesia dari Bank ACCD
Indonesia.
10
(2) Pengurangan saldo rekening Sub-SNA Ringgit milik
Importir/Eksportir Indonesia hanya dilakukan untuk:
a. pembayaran impor barang dan jasa dalam ringgit
kepada eksportir di Malaysia;
b. penjualan ringgit terhadap rupiah atau valuta asing
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap dari devisa hasil ekspor dalam ringgit;
c. pelunasan Pembiayaan Perdagangan dalam ringgit
yang diterima Importir/Eksportir Indonesia dari
Bank ACCD Indonesia; dan/atau
d.
transfer ringgit untuk kepentingan investasi
Eksportir Indonesia pada aset keuangan dalam
ringgit di Malaysia.
Paragraf 3
Pembukaan Rekening Sub-SNA Rupiah
Pasal 12
Bank ACCD Malaysia menerima pembukaan rekening Sub-
SNA Rupiah bagi
kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit.
Pasal 13
(1) Bank ACCD Malaysia memberikan bunga untuk Sub-SNA
Rupiah.
(2) Pemberian bunga pada Sub-SNA Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
kebijakan masing-masing Bank ACCD Malaysia.
Paragraf 4
Penambahan dan Pengurangan Saldo Rekening Sub-SNA
Rupiah
Pasal 14
(1) Penambahan saldo rekening Sub-SNA Rupiah milik
importir/eksportir Malaysia hanya bersumber dari:
importir/eksportir Malaysia untuk
11
a. penerimaan devisa hasil ekspor dalam rupiah dari
Importir di Indonesia;
b. pembelian rupiah terhadap ringgit atau valuta asing
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap untuk penyelesaian Underlying Transaksi;
c. penerimaan bunga atas saldo rekening Sub-SNA
Rupiah; dan/atau
d. penerimaan atas pencairan dana dari Pembiayaan
Perdagangan dalam rupiah yang diterima
importir/eksportir Malaysia dari Bank ACCD
Malaysia.
(2) Pengurangan saldo rekening Sub-SNA Rupiah milik
importir/eksportir Malaysia hanya dilakukan untuk:
a. pembayaran impor barang dan jasa dalam rupiah
kepada Eksportir di Indonesia;
b. penjualan rupiah terhadap ringgit atau valuta asing
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap dari devisa hasil ekspor dalam rupiah;
c. pelunasan Pembiayaan Perdagangan dalam rupiah
yang diterima importir/eksportir Malaysia dari Bank
ACCD Malaysia; dan/atau
d. transfer rupiah untuk kepentingan investasi
eksportir Malaysia pada aset keuangan dalam rupiah
di Indonesia.
Bagian Ketiga
Transaksi Rupiah dan Valuta Asing Terhadap Ringgit
Paragraf 1
Transaksi Ringgit Antar Bank ACCD
Pasal 15
(1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap ringgit untuk transaksi tod,
tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD
Indonesia dan/atau Bank ACCD Malaysia untuk
pengelolaan likuiditas tanpa Underlying Transaksi.
12
(2) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi
ringgit atau valuta asing terhadap rupiah untuk
transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan
Bank ACCD Malaysia untuk keperluan pengelolaan
likuiditas Bank ACCD Malaysia tanpa Underlying
Transaksi.
Paragraf 2
Transaksi Ringgit Bank ACCD Indonesia dengan
Importir/Eksportir Indonesia
Pasal 16
(1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap
ringgit dengan
Importir/Eksportir Indonesia yang didukung oleh
Underlying Transaksi.
(2) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap ringgit dengan non-Bank
ACCD Indonesia yang bertindak untuk kepentingan
Importir/Eksportir
Underlying Transaksi.
Indonesia
dengan
didukung
(3) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
dilakukan melalui transaksi:
a.
b.
tod;
tom;
c. spot;
d. forward; dan/atau
e. swap.
(4) Nominal dan jangka waktu transaksi rupiah atau valuta
asing terhadap ringgit sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi dan
dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi.
(5) Importir/Eksportir Indonesia dapat melakukan transaksi
rupiah atau valuta asing terhadap ringgit sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dengan menggunakan Underlying
Transaksi dalam denominasi mata uang selain ringgit.
13
Paragraf 3
Squaring Position
Pasal 17
(1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap ringgit berupa transaksi tod,
tom, spot, forward, dan/atau swap untuk pelaksanaan
squaring position dengan Bank ACCD Indonesia, Bank
ACCD Malaysia, atau non-Bank ACCD Malaysia.
(2) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan squaring position
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas transaksi
rupiah atau valuta asing terhadap ringgit yang dilakukan
dengan Importir/Eksportir Indonesia dan/atau non-Bank
ACCD Indonesia dengan cara:
a. secara neto (net basis) atau secara gross (gross basis)
dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD
Malaysia tanpa Underlying Transaksi; atau
b. secara gross (gross basis) dengan non-Bank ACCD
Malaysia dengan didukung oleh
Transaksi.
Pasal 18
(1) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi
ringgit atau valuta asing terhadap rupiah berupa
transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap untuk
pelaksanaan squaring position dari Bank ACCD Malaysia.
(2) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi
untuk pelaksanaan squaring position dari Bank ACCD
Malaysia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas
transaksi ringgit atau valuta asing terhadap rupiah yang
dilakukan dengan importir/eksportir Malaysia dan/atau
non-Bank ACCD Malaysia secara neto (net basis) atau
secara gross (gross basis) tanpa Underlying Transaksi.
Underlying
14
Bagian Keempat
Penyelesaian Transaksi
Pasal 19
(1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
ringgit yang dilakukan Bank ACCD Indonesia dengan
Importir/Eksportir Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) dan non-Bank ACCD Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dapat
dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh
atau secara netting.
(2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
ringgit secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya berlaku untuk:
a. perpanjangan transaksi (rollover);
b. percepatan penyelesaian transaksi (early
termination); dan/atau
c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up).
(3) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan/atau
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh
Importir/Eksportir Indonesia dan non-Bank ACCD
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
dilakukan dengan Bank ACCD Indonesia yang sama
sesuai dengan kontrak transaksi awal dan wajib disertai
dengan dokumen pendukung.
(4) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 20
(1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
ringgit yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia
dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD
Malaysia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1),
15
dapat dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara
penuh atau secara netting.
(2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
ringgit secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya berlaku untuk:
a. perpanjangan transaksi (rollover);
b. percepatan penyelesaian transaksi (early
termination); dan/atau
c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up).
(3) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination) dan
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan tanpa
Underlying Transaksi.
(4) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination) dan
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Bank ACCD
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
dilakukan dengan Bank ACCD yang sama sesuai dengan
kontrak transaksi awal.
(5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 21
(1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
ringgit yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia
dengan:
a. Bank ACCD Indonesia;
b. Bank ACCD Malaysia; atau
c. non-Bank ACCD Malaysia,
untuk pelaksanaan squaring position sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dapat dilakukan
dengan pemindahan dana pokok secara penuh atau
secara netting.
16
(2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap
ringgit secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya berlaku untuk:
a. perpanjangan transaksi (rollover);
b. percepatan penyelesaian transaksi (early
termination); dan/atau
c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up).
(3) Perpanjangan transaksi (rollover),
percepatan
penyelesaian transaksi (early termination) dan
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Bank ACCD
Indonesia dengan:
a. Bank ACCD Indonesia atau Bank ACCD Malaysia,
dilakukan tanpa dokumen pendukung; atau
b. non-Bank ACCD Malaysia, dilakukan dengan
dokumen pendukung.
(4) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination) dan
pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Bank ACCD
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
dilakukan dengan Bank ACCD atau non-Bank ACCD
Malaysia yang sama sesuai kontrak transaksi awal.
(5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kelima
Pembiayaan Perdagangan
Pasal 22
(1) Bank ACCD Indonesia dapat memberikan fasilitas
Pembiayaan Perdagangan dalam ringgit kepada
Importir/Eksportir Indonesia
perdagangan dengan Malaysia.
yang melakukan
17
(2) Pembiayaan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diberikan dalam berbagai jenis Pembiayaan
Perdagangan yang lazim dilakukan.
(3) Penyediaan dana dalam ringgit untuk Pembiayaan
Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap dengan Bank ACCD Indonesia lainnya
dan/atau Bank ACCD Malaysia; dan/atau
b. pinjaman langsung (direct borrowing) dalam ringgit
dari Bank ACCD Indonesia lainnya dan/atau Bank
ACCD Malaysia.
Pasal 23
(1) Pembiayaan Perdagangan yang diberikan dalam ringgit
dapat menggunakan dokumen Underlying Transaksi
dalam denominasi mata uang selain ringgit.
(2) Nominal dokumen Underlying Transaksi selain dalam
ringgit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dinyatakan dalam ekuivalen ringgit.
Pasal 24
(1) Jumlah nominal pinjaman langsung (direct borrowing)
dalam ringgit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (3) huruf b, dilarang melebihi jumlah nominal
Underlying Transaksi.
(2) Jangka waktu pinjaman langsung (direct borrowing)
dalam ringgit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (3) huruf b, dilarang melebihi jangka waktu 1 (satu)
tahun dan dilarang melebihi jangka waktu Underlying
Transaksi berupa Pembiayaan Perdagangan.
Pasal 25
(1) Untuk kepentingan pemberian fasilitas Pembiayaan
Perdagangan dalam rupiah oleh Bank ACCD Malaysia
18
kepada importir/eksportir di Malaysia, Bank ACCD
Indonesia dapat melaksanakan:
a.
transaksi ringgit atau valuta asing terhadap rupiah
melalui transaksi tod, tom, spot, forward dan/atau
swap dengan Bank ACCD Malaysia; dan/atau
b. penempatan dalam rupiah pada Bank ACCD
Malaysia.
(2) Jumlah nominal penempatan dalam rupiah oleh Bank
ACCD Indonesia kepada Bank ACCD Malaysia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilarang
melebihi jumlah nominal Underlying Transaksi berupa
Pembiayaan Perdagangan.
(3) Jangka waktu penempatan dalam rupiah yang dilakukan
oleh Bank ACCD Indonesia kepada Bank ACCD Malaysia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilarang
melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun dan dilarang
melebihi jangka waktu Underlying Transaksi berupa
Pembiayaan Perdagangan.
Bagian Keenam
Pengelolaan SNA Ringgit dan SNA Rupiah
Pasal 26
(1) Untuk kepentingan pemenuhan saldo SNA Ringgit, Bank
ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau
valuta asing terhadap ringgit melalui transaksi tod, tom,
spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD
Indonesia lainnya atau Bank ACCD Malaysia.
(2) Dalam hal Bank ACCD Malaysia melakukan pemenuhan
saldo SNA Rupiah, Bank ACCD Indonesia dapat
melaksanakan transaksi ringgit atau valuta asing
terhadap rupiah melalui transaksi tod, tom, spot, forward,
dan/atau swap dengan Bank ACCD Malaysia.
19
Pasal 27
(1) Untuk kepentingan pengelolaan saldo SNA Ringgit, Bank
ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi yang
meliputi:
a.
investasi pada aset keuangan dalam ringgit di
Malaysia;
b.
transaksi swap ringgit terhadap rupiah atau valuta
asing dengan Bank ACCD Indonesia lainnya atau
dengan Bank ACCD Malaysia; dan/atau
c. konversi dari ringgit ke rupiah atau valuta asing
lainnya melalui transaksi tod, tom, spot, dan/atau
forward.
(2) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilarang dalam bentuk penempatan pada bank di
Malaysia berupa deposito dan tabungan.
(3) Dalam hal Bank ACCD Indonesia melakukan investasi
pada aset keuangan dalam ringgit di Malaysia, pokok dan
hasil dari investasi tersebut dapat ditransfer kembali ke
SNA Ringgit.
(4) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
disertai dengan dokumen pendukung.
Bagian Ketujuh
Pengelolaan Sub-SNA Ringgit dan Sub-SNA Rupiah
Paragraf 1
Pengelolaan Sub-SNA Ringgit
Pasal 28
(1) Untuk kepentingan pengelolaan saldo Sub-SNA Ringgit,
Eksportir Indonesia dapat melakukan investasi pada aset
keuangan dalam ringgit di Malaysia.
(2) Pokok dan hasil investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dapat ditransfer kembali ke Sub-SNA
Ringgit milik Eksportir Indonesia.
(3) Importir Indonesia tidak dapat melakukan investasi atas
saldo Sub-SNA Ringgit.
20
(4) Bank ACCD Indonesia dilarang melaksanakan perintah
investasi atas saldo Sub-SNA Ringgit milik Importir
Indonesia.
(5) Bank ACCD Indonesia wajib memastikan pelaksanaan
investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung
oleh dokumen pendukung.
(6) Investasi
yang dilakukan Eksportir Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dalam
bentuk penempatan pada bank di Malaysia berupa
deposito dan tabungan.
Paragraf 2
Pengelolaan Sub-SNA Rupiah
Pasal 29
(1) Untuk kepentingan pengelolaan saldo Sub-SNA Rupiah,
eksportir Malaysia dapat melakukan investasi pada aset
keuangan dalam rupiah di Indonesia.
(2) Pokok dan hasil investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dapat ditransfer kembali ke Sub-SNA
Rupiah milik eksportir Malaysia.
(3) Importir Malaysia tidak dapat melakukan investasi atas
saldo Sub-SNA Rupiah.
(4) Bank ACCD Malaysia tidak dapat melaksanakan perintah
investasi atas saldo Sub-SNA Rupiah milik importir
Malaysia.
(5) Investasi yang dilakukan eksportir Malaysia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dalam bentuk
penempatan pada Bank di Indonesia berupa deposito dan
tabungan.
Pasal 30
(1) Posisi gross transaksi swap ringgit terhadap rupiah atau
valuta asing yang dilakukan antara Bank ACCD
Indonesia dengan Bank ACCD Indonesia lainnya atau
Bank ACCD Malaysia
dilarang
melebihi
21
MYR100,000,000.00 (seratus juta ringgit Malaysia) untuk
setiap SNA Ringgit.
(2) Posisi gross transaksi swap rupiah terhadap ringgit atau
valuta asing yang dilakukan antara Bank ACCD Malaysia
dengan Bank ACCD Malaysia lainnya atau Bank ACCD
Indonesia tidak dapat melebihi Rp400.000.000.000,00
(empat ratus miliar rupiah) untuk setiap SNA Rupiah.
Bagian Kedelapan
Larangan Penarikan dan Penyetoran Sub-SNA Ringgit dan
Sub-SNA Rupiah Secara Tunai
Pasal 31
(1) Importir/Eksportir di Indonesia tidak dapat melakukan
penyetoran dan penarikan dalam ringgit secara tunai
pada Sub-SNA Ringgit.
(2) Bank ACCD Indonesia dilarang melaksanakan perintah
penyetoran dan penarikan dalam ringgit secara tunai
pada Sub-SNA Ringgit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal 32
(1) Importir/eksportir di Malaysia tidak dapat melakukan
penyetoran dan penarikan dalam rupiah secara tunai
pada Sub-SNA Rupiah.
(2) Bank ACCD Malaysia tidak dapat melaksanakan perintah
penyetoran dan penarikan dalam rupiah secara tunai
pada Sub-SNA Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
22
Bagian Kesembilan
Transfer Dana
Pasal 33
Transfer ringgit dapat dilakukan sebagai berikut:
a. antara Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD
Indonesia lainnya atau Bank ACCD Malaysia yang
berasal dari:
1. transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap; dan
2. pinjaman langsung (direct borrowing) untuk
kepentingan Pembiayaan Perdagangan;
b. antara SNA Ringgit milik Bank ACCD Indonesia dengan
rekening non-SNA Ringgit milik Bank ACCD Indonesia
atau antara SNA Ringgit milik Bank ACCD Indonesia
dengan rekening non-SNA Ringgit milik non-Bank ACCD
Indonesia, untuk penyelesaian Underlying Transaksi;
c. antara SNA Ringgit milik Bank ACCD Indonesia dengan
rekening ringgit milik Bank ACCD Malaysia dan rekening
ringgit
milik non-Bank ACCD Malaysia, untuk
penyelesaian Underlying Transaksi;
d. antara SNA Ringgit milik Bank ACCD Indonesia dengan
rekening ringgit milik importir/eksportir Malaysia, untuk
penyelesaian Underlying Transaksi; dan
e. antara SNA Ringgit milik Bank ACCD Indonesia dengan
rekening ringgit milik bank di Malaysia atau perusahaan
di Malaysia, untuk penyelesaian investasi pada aset
keuangan dalam ringgit di Malaysia.
Pasal 34
Transfer rupiah dapat dilakukan sebagai berikut:
a. antara Bank ACCD Malaysia dengan Bank ACCD
Malaysia lainnya atau Bank ACCD Indonesia yang
berasal dari:
23
1. transaksi ringgit atau valuta asing terhadap rupiah
melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau
swap; dan
2. pinjaman langsung (direct borrowing) untuk
kepentingan Pembiayaan Perdagangan;
b. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia dengan
rekening non-SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia
atau antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia
dengan rekening non-SNA Rupiah milik non-Bank ACCD
Malaysia, untuk penyelesaian Underlying Transaksi;
c. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia dengan
rekening rupiah milik Bank ACCD Indonesia dan non-
Bank ACCD Indonesia, untuk penyelesaian Underlying
Transaksi;
d. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia dengan
rekening rupiah milik Importir/Eksportir Indonesia,
untuk penyelesaian Underlying Transaksi; dan/atau
e. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia dengan
rekening non-SNA Rupiah milik non-Bank ACCD
Indonesia
atau perusahaan
Indonesia, untuk
penyelesaian investasi pada aset keuangan dalam rupiah
di Indonesia.
Pasal 35
Untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit,
Bank ACCD Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia yang
menerima dana rupiah dari bank ACCD Malaysia atau dari
Bank ACCD Indonesia yang ditujukan kepada rekening rupiah
milik non-Bank ACCD Malaysia dapat menggunakan
Underlying Transaksi berupa perdagangan barang dan jasa
antara Indonesia dan Malaysia.
24
Bagian Kesepuluh
Kuotasi Harga
Pasal 36
(1) Bank ACCD Indonesia wajib menerbitkan dan
menampilkan kuotasi harga ringgit terhadap rupiah pada
sarana penyedia informasi.
(2) Dalam melakukan transaksi ringgit terhadap rupiah,
Bank ACCD Indonesia wajib menggunakan kuotasi harga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penetapan kuotasi harga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus merefleksikan harga wajar yang terjadi di
pasar valuta asing.
Bagian Kesebelas
Posisi Terbuka Transaksi Ringgit
Pasal 37
(1) Bank ACCD Indonesia dapat memiliki posisi terbuka
transaksi ringgit terhadap rupiah dan/atau valuta asing
paling banyak sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh
juta ringgit Malaysia) pada akhir Hari untuk setiap SNA
Ringgit.
(2) Posisi terbuka transaksi ringgit terhadap rupiah
dan/atau valuta asing merupakan selisih bersih antara
pembelian dan penjualan ringgit terhadap rupiah
dan/atau valuta asing secara outright dari transaksi tod,
tom, spot, dan/atau forward.
(3) Contoh perhitungan posisi terbuka ringgit terhadap
rupiah dan/atau valuta asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran V
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
25
Bagian Kedua Belas
Larangan Melakukan Transaksi Non-Deliverable Forward
Pasal 38
(1) Bank ACCD Indonesia tidak dapat melakukan dan/atau
memfasilitasi transaksi non-deliverable forward (NDF)
rupiah atau valuta asing terhadap ringgit.
(2) Bank ACCD Malaysia tidak dapat melakukan dan/atau
memfasilitasi transaksi non-deliverable forward (NDF)
ringgit atau valuta asing terhadap rupiah.
BAB IV
DOKUMEN UNDERLYING TRANSAKSI
Pasal 39
(1) Dokumen Underlying Transaksi dapat berupa:
a. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final
(firm commitment); atau
b. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat
perkiraan (anticipatory basis).
(2) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm
commitment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a merupakan dokumen yang menunjukkan bukti
perdagangan barang dan jasa antara Importir/Eksportir
Indonesia dan importir/eksportir Malaysia.
(3) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan
(anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b merupakan dokumen perkiraan yang terkait
dengan rencana penerimaan atau kebutuhan
pembayaran perdagangan barang dan jasa antara
Importir/Eksportir Indonesia dengan importir/eksportir
Malaysia.
(4) Perhitungan Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan
(anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan rencana kebutuhan penerimaan atau
26
pembayaran perdagangan barang dan jasa paling lama 6
(enam) bulan.
(5) Jangka waktu transaksi dengan menggunakan
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tidak dapat melebihi 6 (enam) bulan sejak tanggal
transaksi dan tidak dapat melebihi nominal perkiraan
kebutuhan penerimaan atau pembayaran perdagangan
barang dan jasa.
(6) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan
(anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dihitung secara gross (gross basis).
(7) Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 40
(1) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit
melalui transaksi tod, tom, dan/atau spot yang dilakukan
antara Bank ACCD Indonesia dan non-Bank ACCD
Indonesia yang bertindak untuk kepentingan
Importir/Eksportir Indonesia, wajib didukung oleh
dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm
commitment).
(2) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit
melalui transaksi forward dan swap yang dilakukan
antara Bank ACCD Indonesia dan non-Bank ACCD
Indonesia yang bertindak untuk kepentingan
Importir/Eksportir Indonesia, wajib didukung oleh
dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm
commitment) atau dokumen Underlying Transaksi yang
bersifat perkiraan (anticipatory basis).
Pasal 41
(1) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit
melalui transaksi tod, tom, dan/atau spot yang dilakukan
antara Bank ACCD Indonesia dan Importir/Eksportir
27
Indonesia, wajib didukung oleh dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat final (firm commitment).
(2) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit
melalui transaksi forward dan/atau swap yang
dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dan
Importir/Eksportir Indonesia, wajib didukung dengan
dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm
commitment) atau dokumen Underlying Transaksi yang
bersifat perkiraan (anticipatory basis).
Pasal 42
(1) Perpanjangan transaksi (rollover) atas transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap ringgit yang dilakukan Bank
ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir dan non-
Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2) huruf a, wajib disertai dengan dokumen
pendukung yang menjelaskan perubahan jangka waktu
penyelesaian transaksi.
(2) Percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas
transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit yang
dilakukan Bank ACCD Indonesia dengan
Importir/Eksportir Indonesia dan non-Bank ACCD
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2)
huruf b, wajib disertai dengan dokumen pendukung yang
menjelaskan bahwa perusahaan di Malaysia atau di
Indonesia melakukan percepatan penyelesaian transaksi.
(3) Pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) atas transaksi
rupiah atau valuta asing terhadap ringgit yang dilakukan
Bank ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir
Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, wajib disertai
dengan dokumen pendukung yang menjelaskan bahwa
perusahaan di Malaysia atau di Indonesia telah
membatalkan ekspor dan/atau impor atau telah terjadi
perubahan nominal Underlying Transaksi.
28
Pasal 43
(1) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen
Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment)
dan/atau yang bersifat perkiraan (anticipatory basis)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) pada
tanggal transaksi.
(2) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen
pendukung perpanjangan transaksi (rollover)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) pada
tanggal perpanjangan transaksi (rollover) dilakukan.
(3) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen
pendukung percepatan penyelesaian transaksi (early
termination) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(2) pada tanggal percepatan penyelesaian transaksi (early
termination) dilakukan.
(4) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen
pendukung pengakhiran transaksi (unwind/cancel up)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) pada
tanggal pengakhiran transaksi (unwind/cancel up)
dilakukan.
Pasal 44
(1) Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank
ACCD Indonesia wajib didukung oleh dokumen
Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment)
dari Importir/Eksportir Indonesia.
(2) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen
Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada saat
pengajuan Pembiayaan Perdagangan.
Pasal 45
Untuk kepentingan kegiatan investasi pada aset keuangan
dalam ringgit, Bank ACCD Indonesia wajib memastikan
Eksportir Indonesia menyampaikan dokumen pendukung
pada saat penyelesaian investasi dilakukan.
29
BAB V
PENGAKHIRAN PENUNJUKAN BANK ACCD INDONESIA
Pasal 46
(1) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia
berkoordinasi dengan Bank Negara Malaysia dapat
mengakhiri penunjukan bank sebagai Bank ACCD
Indonesia dan/atau Bank ACCD Malaysia.
(2) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis
pengakhiran penunjukan bank sebagai Bank ACCD
Indonesia dan/atau Bank ACCD Malaysia.
(3) Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia yang
telah menerima surat pemberitahuan pengakhiran
penunjukan sebagai Bank ACCD, tidak dapat melakukan
kegiatan dan transaksi keuangan untuk kepentingan
pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit.
(4) Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia yang
telah menerima surat pemberitahuan pengakhiran
penunjukan sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank
ACCD Malaysia, harus segera memberitahukan kepada
nasabahnya mengenai:
a. penghentian kegiatan bank sebagai Bank ACCD; dan
b. mekanisme penyelesaian hak dan kewajiban
nasabah terkait:
1. penutupan SNA Rupiah, SNA Ringgit, Sub-SNA
Rupiah, dan/atau Sub-SNA Ringgit;
2. pelunasan Pembiayaan Perdagangan; dan
3. hal lain terkait transaksi bank dengan nasabah
untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah
dan Ringgit.
(5) Bank ACCD harus memiliki mekanisme untuk
penyelesaian hak dan kewajiban kepada nasabah terkait
dengan transaksi yang dilakukan untuk kepentingan
pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b.
30
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 47
(1) Bank ACCD Indonesia wajib menyusun dan
menyampaikan laporan untuk kepentingan LCS Rupiah
dan Ringgit kepada Bank Indonesia secara benar,
lengkap, dan tepat waktu.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
formulir:
a. transaksi valuta asing;
b. posisi terbuka transaksi mata uang negara mitra;
c. posisi saldo SNA mitra;
d. transfer dana;
e. posisi saldo dan mutasi sub-SNA mitra; dan
f.
posisi Pembiayaan Perdagangan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan data selama 1 (satu) periode laporan yaitu
dari tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang
bersangkutan.
(4) Penyusunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengacu pada Lampiran VII yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 48
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2)
disusun dan digabungkan dalam 1 (satu) berkas
sebagaimana format pada Lampiran VII.
(2) Dalam hal tidak terdapat transaksi dan/atau posisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) dalam 1
(satu) periode laporan maka laporan tersebut tetap
disampaikan berupa header.
31
Pasal 49
(1) Dalam hal terdapat kesalahan laporan yang telah
disampaikan oleh Bank ACCD Indonesia kepada Bank
Indonesia, Bank ACCD Indonesia wajib menyampaikan
koreksi atas kesalahan laporan dimaksud.
(2) Koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan dalam 1 (satu) berkas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1).
Pasal 50
(1) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 dan/atau koreksi laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 dilakukan secara offline
kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media
surat elektronik kepada laporan_accd@bi.go.id.
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat surat elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
akan menginformasikan perubahan alamat tersebut
melalui surat dan/atau media lainnya.
Pasal 51
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 disampaikan kepada Bank Indonesia paling
lambat tanggal 14 pada bulan berikutnya.
(2) Dalam hal tanggal 14 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur
nasional yang ditetapkan oleh pemerintah maka laporan
dan/atau koreksi laporan disampaikan pada Hari kerja
berikutnya.
(3) Penyampaian laporan dan/atau koreksi laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling
lambat pada pukul 16.00 WIB.
(4) Dalam hal terdapat kesalahan pada laporan Bank ACCD
Indonesia setelah batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), Bank ACCD Indonesia tetap
harus menyampaikan koreksi laporan.
32
(5) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami gangguan
teknis dalam menyampaikan laporan dan/atau koreksi
laporan pada tanggal berakhirnya penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka
laporan dan/atau koreksi laporan disampaikan pada Hari
kerja berikutnya setelah gangguan teknis dapat diatasi.
(6) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami gangguan
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank ACCD
Indonesia harus segera menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai dengan
bukti pendukung.
(7) Bank ACCD Indonesia dinyatakan telah menyampaikan
laporan dan/atau koreksi laporan pada tanggal
diterimanya laporan dan/atau koreksi laporan setelah
memperoleh notifikasi dari Bank Indonesia melalui surat
elektronik.
Pasal 52
(1) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami keadaan
memaksa (force majeure) sehingga mengakibatkan tidak
tersedianya data selama 1 (satu) periode laporan,
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan/atau koreksi
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 untuk
periode laporan tersebut.
(2) Bank ACCD Indonesia yang mengalami keadaan
memaksa (force majeure) sehingga menyebabkan
terhambatnya penyampaian laporan dan/atau koreksi
laporan untuk 1 (satu) periode laporan, dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan laporan dan/atau koreksi
laporan untuk periode laporan tersebut dalam batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1).
(3) Bank ACCD Indonesia yang mengalami keadaan
memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan
setelah Bank ACCD Indonesia kembali melakukan
kegiatan operasional secara normal.
33
(4) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami keadaan
memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), Bank ACCD Indonesia harus segera
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Bank Indonesia disertai dengan bukti pendukung.
Pasal 53
(1) Bank ACCD Indonesia dianggap menyampaikan laporan
dan/atau koreksi laporan secara tidak lengkap apabila
Bank ACCD Indonesia tidak menyampaikan seluruh
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan/atau
koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51.
(2) Bank ACCD Indonesia dianggap tidak menyampaikan
laporan dan/atau koreksi laporan apabila Bank
Indonesia belum menerima laporan dan/atau koreksi
laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51.
BAB VII
KORESPONDENSI
Pasal 54
(1) Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan
Bank Indonesia terkait pelaksanaan LCS Rupiah dan
Ringgit disampaikan oleh Bank ACCD Indonesia kepada
Bank Indonesia dan dialamatkan kepada Departemen
Pengembangan Pasar Keuangan, Gedung C, Lantai 5,
Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350.
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
akan menginformasikan perubahan alamat tersebut
melalui surat dan/atau media lainnya.
34
BAB VIII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 55
(1) Bank Indonesia mengenakan sanksi berupa teguran
tertulis kepada Bank ACCD Indonesia yang melanggar
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai
penyelesaian transaksi perdagangan bilateral
menggunakan mata uang lokal (local currency settlement)
melalui bank.
(2) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan melalui surat dengan tembusan kepada
otoritas terkait.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 2 Januari 2018.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 November 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
PERRY WARJIYO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/12/PADG/2017
TENTANG
PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA
DAN MALAYSIA MENGGUNAKAN RUPIAH DAN RINGGIT MELALUI BANK
I. UMUM
Bank Indonesia dan Bank Negara Malaysia telah memiliki
kesepakatan guna mendorong penggunaan mata uang lokal untuk
penyelesaian transaksi perdagangan bilateral antara Indonesia dan
Malaysia. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi
ketergantungan pada mata uang tertentu yang diharapkan dapat
mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas
nilai tukar.
Guna mendukung pelaksanaan kesepakatan tersebut, Bank
Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/11/PBI/2017 tentang Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral
Menggunakan Mata Uang Lokal (Local Currency Settlement) Melalui Bank.
Sebagai pedoman pelaksanaan ketentuan tersebut diperlukan
peraturan yang mengatur pelaksanaan kegiatan dan transaksi keuangan
melalui skema LCS Rupiah dan Ringgit antara lain mencakup pembukaan
rekening khusus dalam rupiah dan ringgit, pelaksanaan transaksi rupiah
atau valuta asing terhadap ringgit, dan pemberian fasilitas Pembiayaan
Perdagangan dalam rupiah dan ringgit.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Persetujuan penunjukan bank sebagai Bank ACCD
Indonesia dan Bank ACCD Malaysia antara lain terkait
dengan:
1. mitra Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia
atau mitra pengganti; dan/atau
2. penyampaian informasi penunjukan bank sebagai
Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat permohonan kepada Bank Negara Malaysia disampaikan
dalam bahasa Inggris.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
3
Pasal 4
Ayat (1)
Dalam melakukan evaluasi terhadap Bank ACCD Indonesia,
Bank Indonesia dapat meminta masukan dan informasi dari
Bank Negara Malaysia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pertimbangan mengenai perkembangan bisnis Bank ACCD
Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan
Ringgit serta kepatuhan Bank ACCD Indonesia terkait ketentuan
yang mengatur mengenai LCS Rupiah dan Ringgit antara lain
diperoleh berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dan/atau hasil koordinasi antara Bank
Indonesia dengan otoritas terkait lainnya.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Bank A dan Bank B adalah Bank ACCD Indonesia. Bank A
bermitra dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia
dan Bank B bermitra dengan Bank Y yang merupakan Bank
ACCD Malaysia. Bank A hanya dapat menerima permintaan
pembukaan 1 (satu) SNA Rupiah dari Bank ACCD Malaysia yang
merupakan mitra Bank A (dalam contoh ini Bank X). Bank B
hanya dapat menerima permintaan pembukaan 1 (satu) SNA
Rupiah dari Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra Bank
B (dalam contoh ini Bank Y).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
4
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh
Bank A dan Bank B adalah Bank ACCD Indonesia. Bank A
bermitra dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia
dan Bank B bermitra dengan Bank Y yang merupakan Bank
ACCD Malaysia. Bank A hanya dapat membuka 1 (satu) SNA
Ringgit pada Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra Bank
A (dalam contoh ini Bank X). Bank B hanya dapat membuka 1
(satu) SNA Ringgit pada Bank ACCD Malaysia yang merupakan
mitra Bank B (dalam contoh ini Bank Y).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia memiliki SNA
Rupiah pada Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia.
Pada tanggal 1 Februari 2018, SNA Rupiah milik Bank X
tersebut
menerima
transfer
rupiah
sebesar
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) untuk
eksportir Malaysia atas penjualan barang kepada Importir
Indonesia. Jumlah saldo SNA Rupiah Bank X tersebut
berpotensi melebihi Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar
rupiah) pada akhir Hari. Oleh karena itu, Bank A harus
menginformasikan kepada Bank X untuk mengurangi saldo SNA
Rupiah hingga jumlahnya paling banyak sebesar
Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) pada akhir
Hari.
5
Ayat (3)
Contoh:
Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia memiliki SNA
Rupiah pada Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia.
Pada tanggal 1 Februari 2018, Bank X memiliki saldo SNA
Rupiah sebesar Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar
rupiah) pada akhir Hari. Bank X harus memberikan dokumen
kepada Bank A yang menjelaskan bahwa kelebihan saldo SNA
Rupiah sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah)
tersebut akan digunakan untuk membayar kewajiban impor
kepada Eksportir di Indonesia atau investasi pada aset
keuangan dalam rupiah pada Hari berikutnya.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Permohonan beserta dokumen pendukung disampaikan melalui
Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra dari Bank ACCD
Indonesia
dimana saldo SNA Ringgit melebihi
MYR100,000,000.00 (seratus juta ringgit Malaysia) pada akhir
Hari.
Contoh:
Pada tanggal 1 Maret 2018, Bank A yang merupakan Bank
ACCD Indonesia memiliki saldo SNA Ringgit pada Bank X yang
merupakan Bank ACCD Malaysia sebesar MYR120,000,000.00
(seratus dua puluh juta ringgit Malaysia) pada akhir Hari. Oleh
karena itu, Bank A harus mengajukan permohonan beserta
dokumen pendukung kepada Bank Negara Malaysia melalui
Bank X yang menjelaskan bahwa kelebihan saldo SNA Ringgit
tersebut sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit
Malaysia) akan digunakan untuk membayar kewajiban impor
6
kepada eksportir di Malaysia atau melakukan investasi pada
aset keuangan dalam ringgit pada Hari berikutnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Rekening Sub-SNA Ringgit milik PT X yang merupakan
Eksportir Indonesia bertambah sebesar MYR10,000,000.00
(sepuluh juta ringgit Malaysia) karena menerima hasil
penjualan barang kepada importir Malaysia.
Huruf b
Contoh:
Importir Indonesia melakukan transaksi spot beli MYR/IDR
sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia)
dengan Bank ACCD Indonesia untuk pembayaran impor
kepada eksportir Malaysia. Berdasarkan transaksi tersebut,
Sub-SNA Ringgit milik Importir Indonesia bertambah
sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia).
Huruf c
Contoh:
Rekening Sub-SNA Ringgit milik PT X yang merupakan
Eksportir Indonesia bertambah sebesar MYR10,000.00
(sepuluh ribu ringgit Malaysia) karena memperoleh bunga
dari rata-rata saldo Sub-SNA Ringgit.
7
Huruf d
Contoh:
Rekening Sub-SNA Ringgit milik PT Y yang merupakan
Eksportir Indonesia bertambah sebesar MYR1,000,000.00
(satu juta ringgit Malaysia) karena menerima pencairan
dana dari fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang diberikan
oleh Bank ACCD Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Rekening Sub-SNA Ringgit milik PT A yang merupakan
Importir Indonesia berkurang sebesar MYR10,000,000.00
(sepuluh juta ringgit Malaysia) karena digunakan untuk
membayar pembelian barang kepada eksportir Malaysia.
Huruf b
Contoh:
Eksportir Indonesia melakukan transaksi spot jual
MYR/IDR sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit
Malaysia) dengan Bank ACCD Indonesia untuk
mengkonversi devisa hasil ekspor dalam ringgit.
Berdasarkan transaksi tersebut, Sub-SNA Ringgit milik
Eksportir Indonesia berkurang sebesar MYR10,000,000.00
(sepuluh juta ringgit Malaysia).
Huruf c
Contoh:
Rekening Sub-SNA Ringgit milik PT Y yang merupakan
Importir Indonesia berkurang sebesar MYR1,000,000.00
(satu juta ringgit Malaysia) karena digunakan untuk
melunasi fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang diberikan
oleh Bank ACCD Indonesia.
Huruf d
Contoh:
PT D yang merupakan Eksportir Indonesia melakukan
pembelian surat berharga atau obligasi pemerintah
Malaysia sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit
Malaysia). Berdasarkan transaksi tersebut, rekening Sub-
8
SNA Ringgit milik PT D berkurang
MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia).
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Berhad yang
merupakan eksportir Malaysia bertambah sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena menerima
hasil penjualan barang kepada Importir Indonesia.
Huruf b
Contoh:
Importir Malaysia melakukan transaksi spot beli IDR/MYR
sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dengan
Bank ACCD Malaysia untuk pembayaran impor kepada
Eksportir Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut, Sub-
SNA Rupiah milik importir Malaysia bertambah sebesar
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Huruf c
Contoh:
Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Berhad yang
merupakan eksportir Malaysia bertambah sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) karena memperoleh
bunga dari rata-rata saldo Sub-SNA Rupiah.
Huruf d
Contoh:
Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan Y Berhad yang
merupakan eksportir Malaysia bertambah sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena menerima
sebesar
9
pencairan dana dari fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang
diberikan oleh Bank ACCD Malaysia.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Berhad yang
merupakan importir
Malaysia berkurang
sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena digunakan
untuk membayar pembelian barang kepada Eksportir
Indonesia.
Huruf b
Contoh:
Eksportir Malaysia melakukan transaksi spot jual IDR/MYR
sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dengan
Bank ACCD Malaysia untuk mengkonversi devisa hasil
ekspor dalam rupiah. Berdasarkan transaksi tersebut, Sub-
SNA Rupiah milik eksportir Malaysia berkurang sebesar
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Huruf c
Contoh:
Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan Y Berhad yang
merupakan importir
Malaysia berkurang
sebesar
Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah) karena digunakan
untuk melunasi fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang
diberikan oleh Bank ACCD Malaysia.
Huruf d
Contoh:
Perusahaan X Berhad yang merupakan eksportir Malaysia
melakukan pembelian surat berharga atau obligasi
pemerintah Indonesia sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). Berdasarkan transaksi tersebut, rekening
Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Berhad berkurang
sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 15
Cukup jelas.
10
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โnon-Bank ACCD Indonesiaโ adalah
Bank di Indonesia yang bukan merupakan Bank ACCD.
Contoh:
Bank B yang merupakan non-Bank ACCD Indonesia melakukan
pembelian MYR/IDR melalui transaksi spot sebesar
MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) kepada Bank
C yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan
Importir A di Indonesia yang akan melakukan pembayaran
pembelian barang kepada eksportir di Malaysia. Pembelian
MYR/IDR oleh Bank B tersebut didukung oleh Underlying
Transaksi dari Importir A.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
Importir B di Indonesia sesuai kontrak penjualan (sales contract)
memiliki kewajiban kepada eksportir di Malaysia yang akan
jatuh waktu 1 (satu) bulan sebesar MYR1,000,000.00 (satu juta
ringgit Malaysia). Berdasarkan Underlying Transaksi tersebut,
Importir B melakukan transaksi pembelian MYR/IDR melalui
transaksi forward paling banyak sebesar MYR1,000,000.00 (satu
juta ringgit Malaysia) dengan jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan.
Ayat (5)
Contoh:
Importir C di Indonesia bermaksud untuk melunasi tagihan dari
eksportir X di Malaysia sebesar USD100,000.00 (seratus ribu
dolar Amerika Serikat) atau ekuivalen sebesar MYR422,000.00
(empat ratus dua puluh dua ribu ringgit Malaysia) dengan kurs
USD/MYR sebesar 4.22. Berdasarkan tagihan tersebut, Importir
C dapat melakukan pembelian MYR/IDR melalui transaksi spot
sebesar MYR422,000.00 (empat ratus dua puluh dua ribu ringgit
Malaysia).
11
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โsquaring positionโ adalah transaksi yang
dilakukan Bank ACCD Indonesia untuk menihilkan posisi
terbuka yang timbul dari transaksi sebelumnya.
Yang dimaksud dengan โnon-Bank ACCD Malaysiaโ adalah bank
di Malaysia yang bukan merupakan Bank ACCD.
Contoh:
Importir A di Indonesia melakukan transaksi forward beli
MYR/IDR sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit
Malaysia) kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD
Indonesia. Berdasarkan transaksi dengan Importir A tersebut,
Bank B dapat melakukan squaring position dengan Bank X yang
merupakan Bank ACCD Malaysia berupa transaksi forward beli
MYR/IDR sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit
Malaysia) tanpa Underlying Transaksi.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Importir A di Indonesia melakukan pembelian MYR/IDR
kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia
melalui transaksi spot sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh
juta ringgit Malaysia). Kemudian, Eksportir B di Indonesia
melakukan penjualan MYR/IDR melalui transaksi spot
sebesar MYR7,000,000.00 (tujuh juta ringgit Malaysia)
kepada Bank B. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank B
dapat melakukan squaring position secara net basis dengan
melakukan pembelian MYR/IDR kepada Bank ACCD
Malaysia lainnya sebesar MYR3,000,000.00 (tiga juta ringgit
Malaysia) yang merupakan selisih dari MYR10,000,000.00 โ
MYR7,000,000.00.
Huruf b
Contoh:
Importir C di Indonesia melakukan transaksi spot beli
MYR/IDR kepada Bank Y yang merupakan Bank ACCD
Indonesia melalui
transaksi
MYR10,000,000.00 (sepuluh juta
spot
sebesar
ringgit Malaysia).
12
Eksportir B juga melakukan penjualan MYR/IDR melalui
transaksi spot sebesar MYR7,000,000.00 (tujuh juta ringgit
Malaysia) kepada Bank Y. Berdasarkan transaksi tersebut,
Bank Y dapat melakukan squaring position secara gross
basis dengan melakukan transaksi spot beli MYR/IDR
sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia)
dan transaksi spot jual MYR/IDR sebesar MYR7,000,000.00
(tujuh juta ringgit Malaysia) dengan non-Bank ACCD
Malaysia disertai dengan Underlying Transaksi.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Importir A di Malaysia melakukan pembelian IDR/MYR kepada
Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia melalui transaksi
spot sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kemudian, Eksportir B di Malaysia melakukan penjualan
IDR/MYR melalui transaksi spot sebesar Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah) kepada Bank X. Berdasarkan transaksi
tersebut, Bank X dapat melakukan squaring position secara net
basis dengan melakukan pembelian IDR/MYR kepada Bank
ACCD Indonesia dengan melakukan transaksi spot sebesar
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang merupakan
selisih dari Rp1.000.000.000,00 โ Rp600.000.000,00.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โnettingโ adalah penyelesaian transaksi
yang dilakukan tanpa pemindahan dana pokok secara penuh
sehingga yang bergerak hanya sejumlah dana yang merupakan
hasil perhitungan nominal transaksi (notional) dengan selisih
kurs.
Ayat (2)
Cukup jelas.
13
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โdokumen pendukungโ adalah dokumen
di luar Underlying Transaksi yang membuktikan terjadinya
perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian
transaksi (early termination), dan/atau pengakhiran transaksi
(unwind/cancel up).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โnettingโ adalah penyelesaian transaksi
yang dilakukan tanpa pemindahan dana pokok secara penuh
sehingga yang bergerak hanya sejumlah dana yang merupakan
hasil perhitungan nominal transaksi (notional) dengan selisih
kurs.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โBank ACCD yang sama sesuai dengan
kontrak transaksi awalโ adalah Bank ACCD Indonesia dan/atau
Bank ACCD Malaysia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
14
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โBank ACCD yang sama sesuai dengan
kontrak transaksi awalโ adalah Bank ACCD Indonesia dan/atau
Bank ACCD Malaysia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โjenis Pembiayaan Perdagangan yang
lazim dilakukanโ antara lain letter of credit (L/C), standby L/C,
trust receipt, atau letter of guarantee.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Contoh:
Importir C di Indonesia melakukan pembelian barang sebesar
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dari
eksportir X di Malaysia. Importir C membuka letter of credit di
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk melunasi
tagihan dari eksportir X di Malaysia sebesar USD100,000.00
(seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalen sebesar
MYR422,000.00 (empat ratus dua puluh dua ribu ringgit
Malaysia) dengan kurs USD/MYR sebesar 4.22. Berdasarkan
tagihan tersebut, Importir C dapat melakukan pembelian
MYR/IDR melalui transaksi spot sebesar MYR422,000.00 (empat
ratus dua puluh dua ribu ringgit Malaysia).
Ayat (2)
Cukup jelas.
15
Pasal 24
Ayat (1)
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia bermaksud
untuk memberikan fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada
Importir B di Indonesia sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta
ringgit Malaysia). Bank A dapat melakukan pinjaman langsung
kepada Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia paling
banyak sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit
Malaysia). Dalam hal ini, Underlying Transaksi berupa fasilitas
Pembiayaan Perdagangan.
Ayat (2)
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia memberikan
fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada Importir D di
Indonesia sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit
Malaysia) dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan yang sumber
dananya didanai oleh pinjaman langsung (direct borrowing) dari
Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia. Pinjaman
langsung yang dilakukan antara Bank A kepada Bank X paling
lama sama dengan jangka waktu Pembiayaan Perdagangan yaitu
3 (tiga) bulan.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia bermaksud
memberikan fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada importir
Y di Malaysia sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah). Berdasarkan Underlying Transaksi tersebut, Bank X
melakukan pinjaman langsung dalam rupiah kepada Bank B
yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Dalam hal ini,
Bank B melakukan penempatan dalam rupiah kepada Bank X
16
paling banyak sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
Rupiah).
Ayat (3)
Contoh:
Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia melakukan
fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada importir Y di Malaysia
sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dengan
jangka waktu 5 (lima) bulan. Berdasarkan Underlying Transaksi
tersebut, Bank X melakukan pinjaman langsung dalam rupiah
kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dengan tenor 5
(lima) bulan. Dengan demikian, penempatan dalam rupiah yang
dilakukan oleh Bank B kepada Bank X paling lama sama dengan
jangka waktu Pembiayaan Perdagangan yaitu 5 (lima) bulan.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia membeli
obligasi pemerintah/surat berharga negara Malaysia
sebesar MYR1,000,000.00 (satu juta ringgit Malaysia)
sehingga dapat mengurangi saldo SNA Ringgit pada akhir
Hari.
Huruf b
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan
transaksi swap MYR/IDR atau MYR/USD sebesar
MYR1,000,000.00 (satu juta ringgit Malaysia) dengan Bank
B yang merupakan Bank ACCD Indonesia atau dengan
Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia sehingga
mengurangi saldo SNA Ringgit.
17
Huruf c
Contoh:
Bank C yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan
konversi ringgit ke rupiah sebesar MYR1,000,000.00 (satu
juta ringgit Malaysia) melalui transaksi spot sehingga
mengurangi jumlah saldo SNA Ringgit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan
investasi pada surat berharga negara Malaysia sebesar
MYR30,000,000.00 (tiga puluh juta ringgit Malaysia) dengan
kupon 3% (tiga persen) per tahun. Berdasarkan investasi
tersebut, pada saat jatuh waktu pembayaran kupon Bank A
menerima kupon sebesar MYR225,000.00 (dua ratus dua puluh
lima ribu ringgit Malaysia). Penerimaan kupon tersebut dapat
ditransfer ke rekening SNA Ringgit milik Bank A.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โdokumen pendukungโ antara lain bukti
investasi atau kepemilikan aset keuangan dalam ringgit di
Malaysia.
Pasal 28
Ayat (1)
Contoh:
Eksportir A di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Ringgit sebesar
MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) yang dananya
berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo SNA Ringgit
tersebut, Eksportir A dapat melakukan pembelian saham di
Malaysia sebesar MYR5,000,000.00 (lima juta ringgit Malaysia).
Ayat (2)
Contoh:
Eksportir B di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Ringgit sebesar
MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) yang dananya
berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo Sub-SNA
Ringgit tersebut, Eksportir B dapat melakukan pembelian saham
18
di Malaysia sebesar MYR5,000,000.00 (lima juta ringgit
Malaysia). 6 (enam) bulan kemudian, Eksportir B bermaksud
untuk menjual saham. Dana hasil penjualan saham tidak dapat
ditransfer kembali ke Sub-SNA Ringgit pada Bank ACCD
Indonesia.
Ayat (3)
Contoh:
Importir C di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Ringgit sebesar
MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) yang dananya
berasal dari pembelian MYR/IDR melalui transaksi spot untuk
pembayaran kewajiban kepada eksportir di Malaysia.
Berdasarkan saldo Sub-SNA Ringgit tersebut, Importir C tidak
dapat menggunakan dana tersebut untuk melakukan investasi
di Malaysia mengingat dana tersebut ditujukan untuk
membayar kewajiban kepada eksportir di Malaysia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Eksportir A di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Ringgit pada
Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar
MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) yang dananya
berasal dari devisa hasil ekspor. Eksportir A melakukan
pembelian saham di Malaysia sebesar MYR5,000,000.00 (lima
juta ringgit Malaysia). Berdasarkan kegiatan investasi tersebut,
Bank B wajib memastikan Eksportir A menyampaikan dokumen
pendukung antara lain berupa bukti konfirmasi pembelian
saham.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Contoh:
Eksportir X di Malaysia memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dananya berasal
dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo Sub-SNA Rupiah
19
tersebut, Eksportir X dapat melakukan pembelian saham di
Indonesia sebesar Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (2)
Contoh:
Eksportir X di Malaysia memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dananya berasal
dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo Sub-SNA Rupiah
tersebut, eksportir X dapat melakukan pembelian saham di
Indonesia sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 6
(enam) bulan kemudian, eksportir X bermaksud untuk menjual
saham. Dana hasil penjualan saham tersebut tidak dapat
ditransfer kembali ke Sub-SNA Rupiah eksportir X pada Bank
ACCD Malaysia.
Ayat (3)
Contoh:
Importir X di Malaysia memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dananya berasal
dari pembelian IDR/MYR melalui transaksi spot untuk
pembayaran kewajiban kepada Eksportir di Indonesia.
Berdasarkan saldo Sub-SNA Rupiah tersebut, importir X tidak
dapat menggunakan dana tersebut untuk melakukan investasi
di Indonesia mengingat dana tersebut ditujukan untuk
membayar kewajiban kepada Eksportir di Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan
transaksi swap beli MYR/IDR sebesar MYR10,000,000.00
(sepuluh juta ringgit Malaysia) dengan Bank B yang merupakan
Bank ACCD Indonesia. Bank A kemudian melakukan transaksi
swap jual MYR/IDR sebesar MYR5,000,000.00 (lima juta ringgit
Malaysia) dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD
20
Malaysia. Dengan demikian, Bank A memiliki posisi gross
transaksi swap sebesar MYR15,000,000.00 (lima belas juta
ringgit Malaysia).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan โnon-SNA Ringgitโ adalah rekening ringgit
pada bank di Malaysia.
Huruf a
Contoh:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan
transaksi spot beli MYR/IDR sebesar MYR10,000,000.00
(sepuluh juta ringgit Malaysia) dengan Bank B yang
merupakan Bank ACCD Indonesia. Berdasarkan transaksi
tersebut, Bank B dapat melakukan transfer ringgit kepada
Bank A paling banyak sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh
juta ringgit Malaysia).
Huruf b
Contoh 1:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan
transfer ringgit sebesar MYR1,000,000.00 (satu juta ringgit
Malaysia) dari rekening SNA Ringgit milik Bank A ke
rekening ringgit lainnya (non-SNA Ringgit) milik Bank B
yang merupakan Bank ACCD Indonesia.
Contoh 2:
Bank C yang merupakan non-Bank ACCD Indonesia
melakukan transaksi spot
beli MYR/IDR sebesar
MYR500,000.00 (lima ratus ribu ringgit Malaysia) dengan
Bank D yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk
kepentingan nasabahnya yang merupakan Importir
21
Indonesia dengan Underlying Transaksi berupa invoice
pembelian barang dari Malaysia. Berdasarkan transaksi
tersebut Bank D dapat melakukan transfer dari rekening
SNA Ringgit milik Bank D ke rekening ringgit milik Bank C
pada bank di Malaysia (non-SNA ringgit) sebesar
MYR500,000.00 (lima ratus ribu ringgit Malaysia).
Huruf c
Contoh:
Importir A di Indonesia yang memiliki Sub-SNA Ringgit
pada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia akan
melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang
dari eksportir X di Malaysia yang memiliki rekening ringgit
pada Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia
sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia).
Berdasarkan transaksi Importir A tersebut, Bank B akan
melakukan:
1. pendebitan Sub-SNA Ringgit Importir A pada Bank B
sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit
Malaysia); dan
2. meminta Bank Y untuk mendebit SNA Ringgit milik
Bank B pada Bank Y sebesar MYR10,000,000.00
(sepuluh juta ringgit Malaysia) untuk selanjutnya
ditransfer kepada rekening ringgit milik eksportir X
pada non-Bank ACCD di Malaysia.
Huruf d
Contoh:
Importir C di Indonesia yang memiliki Sub-SNA Ringgit
pada Bank D yang merupakan Bank ACCD Indonesia akan
melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang
dari eksportir Y di Malaysia sebesar MYR20,000,000.00
(dua puluh juta ringgit Malaysia). Berdasarkan transaksi
Importir C, Bank D akan melakukan:
1. pendebitan Sub-SNA Ringgit milik Importir C pada
Bank D sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta
ringgit Malaysia); dan
2. mentransfer ringgit dari SNA Ringgit milik Bank Y pada
Bank ACCD Malaysia sebesar MYR20,000,000.00 (dua
22
puluh juta ringgit Malaysia) kepada rekening ringgit
milik eksportir Y pada Bank ACCD di Malaysia.
Huruf e
Contoh:
Eksportir E di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Ringgit
sebesar MYR40,000,000.00 (empat puluh juta ringgit
Malaysia) yang diperoleh dari devisa hasil ekspor pada Bank
F yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Eksportir E
melalui perusahaan sekuritas di Malaysia bermaksud
melakukan investasi atas sebagian dana tersebut dalam
bentuk obligasi di Malaysia sebesar MYR20,000,000.00 (dua
puluh juta ringgit Malaysia). Berdasarkan perintah
Eksportir E, Bank F akan melakukan:
1. pendebitan Sub-SNA Ringgit milik Eksportir E pada
Bank F sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta
ringgit Malaysia); dan
2. transfer ringgit dari SNA Ringgit milik Bank F pada
Bank ACCD Malaysia kepada rekening ringgit milik
perusahaan sekuritas pada bank di Malaysia untuk
penyelesaian pembelian obligasi oleh Eksportir E
sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit
Malaysia).
Pasal 34
Yang dimaksud dengan โnon-SNA Rupiahโ adalah rekening rupiah
pada Bank di Indonesia.
Huruf a
Contoh:
Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia melakukan
transaksi spot beli IDR/MYR sebesar Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah) dengan Bank A yang merupakan
Bank ACCD Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut,
Bank A dapat melakukan transfer rupiah kepada Bank X
sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
23
Huruf b
Contoh 1:
Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia melakukan
transfer rupiah sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah) dari rekening SNA Rupiah milik Bank X ke
rekening rupiah lainnya (non-SNA Rupiah) milik Bank Y
yang merupakan Bank ACCD Malaysia.
Contoh 2:
Bank X yang merupakan non-Bank ACCD Malaysia
melakukan transaksi spot
beli IDR/MYR sebesar
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dengan Bank Y
yang merupakan Bank ACCD Malaysia untuk kepentingan
nasabahnya yang merupakan importir Malaysia dengan
Underlying Transaksi berupa invoice pembelian barang dari
Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank Y dapat
melakukan transfer dari rekening SNA Rupiah milik Bank Y
ke rekening rupiah (non-SNA Rupiah) milik Bank X pada
Bank di Indonesia sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah).
Huruf c
Contoh:
Importir X di Malaysia yang memiliki Sub-SNA Rupiah pada
Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia akan
melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang
dari Eksportir A di Indonesia yang memiliki rekening rupiah
pada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia
sebesar Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah). Bank Y
memiliki rekening SNA Rupiah pada Bank B. Berdasarkan
transaksi importir X tersebut, Bank Y akan melakukan:
1. pendebitan Sub-SNA Rupiah importir X pada Bank Y
sebesar Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah); dan
2. meminta Bank B untuk mendebit SNA Rupiah milik
Bank Y pada Bank B sebesar Rp1.000.000.000.00
(satu miliar rupiah) untuk selanjutnya
dipindahbukukan kepada rekening rupiah milik
Eksportir A pada Bank B.
24
Huruf d
Contoh:
Importir X di Malaysia yang memiliki Sub-SNA Rupiah pada
Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia akan
melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang
dari Eksportir A di Indonesia sebesar Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). Berdasarkan transaksi importir X,
Bank Y akan melakukan:
1. pendebitan Sub-SNA Rupiah milik importir X pada
Bank Y sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah); dan
2. mentransfer rupiah dari SNA Rupiah milik Bank Y
pada Bank ACCD Indonesia sebesar Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) ke rekening rupiah milik
Eksportir A pada Bank ACCD di Indonesia.
Huruf e
Contoh:
Eksportir X di Malaysia memiliki saldo Sub-SNA Rupiah
sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) pada
Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia yang
diperoleh dari devisa hasil ekspor. Eksportir X melalui
perusahaan sekuritas di Indonesia bermaksud melakukan
investasi atas sebagian dana tersebut dalam bentuk obligasi
di Indonesia sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah). Berdasarkan perintah eksportir X, Bank Y akan
melakukan:
1. pendebitan Sub-SNA Rupiah milik eksportir X pada
Bank Y sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah); dan
2. transfer rupiah dari SNA Rupiah milik Bank Y pada
Bank ACCD Indonesia ke rekening rupiah milik
perusahaan sekuritas pada Bank di Indonesia untuk
penyelesaian pembelian obligasi oleh eksportir X
sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
25
Pasal 35
Contoh 1:
Importir D di Indonesia melakukan transaksi spot beli MYR/IDR
kepada Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar
MYR100,000.00 (seratus ribu ringgit Malaysia) untuk pembayaran
impor barang kepada eksportir Malaysia dengan Underlying
Transaksi berupa invoice. Atas posisi tersebut Bank A melakukan
squaring position dengan Bank Z yang merupakan non-Bank ACCD
Malaysia berupa transaksi spot
beli MYR/IDR sebesar
MYR100,000.00 (seratus ribu ringgit Malaysia) dengan kurs
MYR/IDR sebesar 3,200. Pada saat jatuh waktu Bank A akan
mentrasfer dana rupiah sebesar Rp320.000.000,00 (tiga ratus dua
puluh juta rupiah) kepada rekening rupiah milik Bank Z pada Bank
di Indonesia dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa
invoice pembelian barang oleh Importir D.
Contoh 2:
Bank Z yang merupakan non-Bank ACCD Malaysia melakukan
transaksi spot beli IDR/MYR sebesar Rp320.000.000,00 (tiga ratus
dua puluh juta rupiah) dengan Bank Y yang merupakan Bank ACCD
Malaysia untuk kepentingan importir X di Malaysia dalam rangka
pembayaran impor barang kepada Eksportir Indonesia dengan
Underlying Transaksi berupa invoice. Pada saat jatuh waktu, Bank Y
akan melakukan transfer dana rupiah sebesar Rp320.000.000,00
(tiga ratus dua puluh juta rupiah) ke rekening rupiah milik Bank Z
pada Bank di Indonesia dengan menggunakan Underlying Transaksi
berupa invoice pembelian barang oleh importir X.
Pasal 36
Ayat (1)
yang dimaksud dengan โโsarana penyedia informasiโ antara lain
Reuters.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
26
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan transaksi โnon-deliverable forwardโ adalah
transaksi derivatif forward yang penyelesaian transaksinya dilakukan
tanpa pemindahan dana pokok secara penuh melainkan hanya
pemindahan sejumlah dana yang merupakan hasil perhitungan
nominal transaksi dengan selisih kurs.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Contoh:
Pada tanggal 1 Agustus 2018, perusahaan A di Indonesia yang
memiliki aktivitas impor dan ekspor melakukan transaksi
forward beli MYR/IDR dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan
sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia)
untuk membayar impor pembelian barang dari Malaysia. Pada
tanggal 1 Agustus 2018, perusahaan A juga melakukan
transaksi forward jual MYR/IDR dengan jangka waktu 3 (tiga)
bulan sebesar MYR2,000,000.00 (dua juta ringgit Malaysia)
untuk menjual devisa hasil ekspor ke Malaysia. Berdasarkan
masing-masing transaksi tersebut, perusahaan A harus
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi sebagai berikut:
1. dokumen perkiraan pembayaran impor sebesar
MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia); dan
27
2. dokumen perkiraan penerimaan ekspor sebesar
MYR2,000,000.00 (dua juta ringgit Malaysia).
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Contoh:
Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi spot MYR/IDR
dengan non-Bank ACCD Indonesia. Transaksi ini dilakukan
untuk memenuhi kepentingan Importir di Indonesia. Non-Bank
ACCD Indonesia wajib menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi antara lain letter of credit atau invoice yang
menunjukkan transaksi perdagangan barang dan jasa antara
Indonesia dan Malaysia.
Ayat (2)
Contoh:
Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi forward MYR/IDR
dengan non-Bank ACCD Indonesia. Transaksi ini dilakukan
untuk memenuhi kepentingan Importir di Indonesia. Dalam hal
ini, non-Bank ACCD Indonesia wajib menyampaikan dokumen
Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) atas
transaksi yang dilakukan non-Bank ACCD Indonesia dengan
Importir Indonesia antara lain letter of credit atau invoice yang
menunjukkan transaksi perdagangan barang dan jasa antara
Indonesia dan Malaysia, atau dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) dari Importir
Indonesia antara lain berupa perkiraan pembayaran impor
paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 41
Ayat (1)
Contoh:
Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi spot MYR/IDR
dengan Importir Indonesia. Bank ACCD Indonesia wajib
meminta kepada Importir Indonesia untuk menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm
28
commitment) atas impor barang yang dilakukan Importir antara
lain letter of credit atau invoice yang menunjukkan transaksi
perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Malaysia.
Ayat (2)
Contoh:
Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi forward MYR/IDR
dengan Importir Indonesia. Bank ACCD Indonesia wajib
meminta kepada Importir Indonesia untuk menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm
commitment) atas impor barang antara lain letter of credit atau
invoice yang menunjukkan transaksi perdagangan barang dan
jasa antara Indonesia dan Malaysia atau dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) antara lain
perkiraan pembayaran impor paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 42
Ayat (1)
Contoh:
Importir A di Indonesia melakukan transaksi forward beli
MYR/IDR dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD
Indonesia dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. Pada 2 (dua) hari
sebelum transaksi forward jatuh waktu, Importir A melakukan
rollover transaksi forward tersebut. Bank B wajib meminta
dokumen pendukung kepada Importir A yang menjelaskan
penundaan waktu pembayaran kepada eksportir di Malaysia.
Ayat (2)
Contoh:
Importir C di Indonesia melakukan transaksi forward beli
MYR/IDR dengan Bank D yang merupakan Bank ACCD
Indonesia dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan. Pada 2 (dua)
bulan sebelum transaksi forward jatuh waktu, Importir C
melakukan early termination transaksi forward tersebut. Bank D
wajib meminta dokumen pendukung kepada Importir C yang
menjelaskan percepatan penyelesaian transaksi kepada
eksportir di Malaysia.
29
Ayat (3)
Contoh:
Importir A di Indonesia melakukan transaksi spot beli MYR/IDR
dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk
pembayaran kewajiban kepada eksportir di Malaysia. Pada saat
jatuh waktu, Importir A memberitahukan Bank B bahwa terjadi
pembatalan pembelian barang sehingga Importir A melakukan
pengakhiran transaksi spot. Berdasarkan pengakhiran transaksi
tersebut, Bank B wajib meminta dokumen pendukung kepada
Importir yang menunjukan pembatalan pembelian barang
kepada eksportir Malaysia.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Yang dimaksud dengan โdokumen pendukungโ antara lain bukti
konfirmasi pembelian aset keuangan dalam ringgit di Malaysia.
Contoh:
Eksportir A di Indonesia melakukan investasi pada obligasi korporasi
di Malaysia sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit
Malaysia) dengan sumber dana berasal dari devisa hasil ekspor.
Berdasarkan kegiatan investasi tersebut, Eksportir A wajib
menyerahkan dokumen Underlying Transaksi kepada Bank ACCD
Indonesia antara lain berupa bukti konfirmasi pembelian obligasi
korporasi.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
30
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โtransaksi valuta asingโ adalah data
transaksi rupiah dan valuta asing terhadap ringgit yang
dilakukan oleh Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD
lainnya, non-Bank ACCD, dan/atau Importir/Eksportir
Indonesia, untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan
Ringgit.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โposisi terbuka mata uang negara
mitraโ adalah data posisi terbuka transaksi ringgit terhadap
rupiah dan valuta asing pada akhir Hari.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โposisi saldo SNA mitraโ adalah
data saldo akhir Hari dan total mutasi harian dari SNA
mitra.
Yang dimaksud dengan โSNA mitraโ adalah rekening
khusus milik Bank ACCD Indonesia dalam ringgit yang
dibuka pada Bank ACCD Malaysia untuk kepentingan
pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โtransfer danaโ adalah data
transaksi transfer dana dari dan/atau ke SNA mitra.
Huruf e
Yang dimaksud dengan โposisi saldo dan mutasi sub-SNA
mitraโ adalah saldo akhir Hari dan rincian mutasi harian
dari sub-SNA mitra.
Yang dimaksud dengan โsub-SNA mitraโ adalah rekening
khusus milik Importir/Eksportir Indonesia dalam ringgit
yang dibuka pada Bank ACCD Indonesia untuk
kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โposisi Pembiayaan Perdaganganโ
adalah data posisi (outstanding amount) harian Pembiayaan
Perdagangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
31
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Bank ACCD Indonesia telah menyampaikan laporan untuk
bulan November 2018, namun terdapat kesalahan pengisian
pada salah satu baris formulir posisi Pembiayaan Perdagangan.
Berdasarkan hal tersebut, Bank ACCD Indonesia harus
menyampaikan kembali seluruh informasi dalam formulir posisi
Pembiayaan Perdagangan yang mencakup baris yang telah
dikoreksi dan baris lainnya yang tidak dikoreksi.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan โgangguan teknisโ adalah gangguan
yang menyebabkan Bank ACCD Indonesia tidak dapat
menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan kepada Bank
Indonesia antara lain karena gangguan pada sistem di intern
Bank ACCD Indonesia dan gangguan jaringan telekomunikasi.
32
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โkeadaan memaksa (force majeure)โ
adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank ACCD
Indonesia tidak dapat menyusun dan menyampaikan laporan
dan/atau koreksi laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan
massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam
seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh pejabat
dari instansi terkait di daerah setempat.
Contoh 1:
Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia mengalami
bencana alam sehingga menyebabkan force majeure sepanjang
bulan September 2018 sehingga Bank A tidak dapat melaporkan
transaksi yang dilakukan selama bulan September 2018. Bank A
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan untuk
periode pelaporan bulan Oktober 2018.
Contoh 2:
Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia mengalami
kerusakan sistem pada tanggal 10 sampai dengan tanggal 14
September 2018 sehingga menyebabkan force majeure. Sistem
Bank B kembali normal pada tanggal 21 September 2018.
Berdasarkan kondisi tersebut, Bank B tidak dapat melaporkan
transaksi pada periode force majeure selama 5 (lima) Hari. Bank
B tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan untuk periode
pelaporan bulan Oktober 2018 tanpa data transaksi pada
periode force majeure yaitu tanggal 10 sampai dengan 14
September 2018.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
33
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/12/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA MENGGUNAKAN RUPIAH DAN RINGGIT MELALUI BANK </reg_title>
<set_date> 20 November 2017 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2018 </effective_date>
<related_reg> '19/11/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/6/PADG/2017
TENTANG
PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas
jangka pendek yang dapat dialami oleh perbankan, Bank
Indonesia menyediakan pinjaman likuiditas jangka
pendek kepada bank;
b. bahwa dalam rangka penyediaan pinjaman likuiditas
jangka pendek kepada bank, perlu diatur mengenai
mekanisme dan hal-hal teknis pelaksanaan penyediaan
pinjaman likuiditas jangka pendek;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang pinjaman likuiditas
jangka pendek bagi bank umum konvensional;
Mengingat
:
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang
Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Bagi Bank Umum
Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6044);
2
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM
KONVENSIONAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Bank Indonesia.
2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
3. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut Bank
adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
tidak termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah, tidak termasuk unit usaha syariah dari kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
5. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM
adalah giro wajib minimum primer dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai giro wajib minimum bank
umum.
3
6. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan yang
dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana
masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana
keluar dalam rupiah yang dapat membuat Bank tidak
dapat memenuhi kewajiban GWM.
7. Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek yang selanjutnya
disingkat PLJP adalah pinjaman dari Bank Indonesia
kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas
Jangka Pendek yang dialami oleh Bank.
8. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter.
9. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai operasi moneter syariah.
10. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai operasi moneter.
11. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang dalam mata uang rupiah yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat
utang negara.
12. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk Negara adalah
surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan
prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan
terhadap aset SBSN, dalam mata uang rupiah,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
13. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah SUN dan SBSN.
4
14. Aset Kredit adalah aset Bank berupa kredit sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan, tidak termasuk kredit dalam valuta
asing.
15. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk
pembiayaan dalam valuta asing.
16. Obligasi Korporasi adalah surat utang yang diterbitkan
oleh korporasi selain Bank yang mengajukan permohonan
PLJP, dalam mata uang rupiah, dan ditatausahakan di
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), termasuk
obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah.
17. Sukuk Korporasi adalah surat utang yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah oleh korporasi selain Bank
yang mengajukan permohonan PLJP, dalam mata uang
rupiah, dan ditatausahakan di KSEI, termasuk sukuk
yang diterbitkan oleh pemerintah daerah.
18. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI-
RTGS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS.
19. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur
mengenai penyelenggaraan
penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS.
BAB II
PERSYARATAN PLJP
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek
dapat mengajukan permohonan PLJP kepada Bank
Indonesia.
5
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memperoleh PLJP apabila Bank memenuhi persyaratan:
a.
tergolong sebagai Bank solven yang tercermin dari
rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM)
bulan terkini yang memadai, dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. paling rendah sama dengan rasio KPMM
berdasarkan profil risiko terakhir sesuai
penilaian OJK sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum; dan
2. dalam hal terdapat peristiwa setelah periode
pelaporan (subsequent events) yang dapat
mempengaruhi rasio KPMM Bank maka KPMM
bulan terkini merupakan KPMM bulanan terkini
sesuai penilaian OJK yang dilengkapi dengan
informasi kondisi terakhir Bank berupa
subsequent events dimaksud;
b. memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
paling rendah 2 (dua) sesuai penilaian OJK
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank
umum;
c. memiliki agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan
PLJP yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan
d. diperkirakan mampu untuk mengembalikan PLJP.
Pasal 3
(1) Bank mengajukan plafon PLJP berdasarkan perkiraan
jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank
memenuhi GWM.
(2) Perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada proyeksi arus kas
paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
permohonan PLJP.
6
BAB III
AGUNAN PLJP
Bagian Kesatu
Persyaratan Agunan
Pasal 4
(1) PLJP harus dijamin dengan agunan berkualitas tinggi
berupa:
a. SBI;
b. SBIS yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank;
c. SDBI;
d. SBN, termasuk SBSN yang dicatat dalam pembukuan
UUS dari Bank;
e. Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi,
termasuk Sukuk Korporasi yang dicatat dalam
pembukuan UUS dari Bank;
f. Aset Kredit; dan/atau
g. Aset Pembiayaan dengan akad mudharabah, akad
musyarakah, dan/atau akad ijarah nonjasa yang
dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank.
(2) Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e hanya dapat
dijadikan agunan PLJP dalam hal pada saat permohonan:
a. Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN;
atau
b. Bank memiliki SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN
namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi
agunan PLJP.
(3) Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g hanya dapat
dijadikan agunan PLJP dalam hal pada saat permohonan:
a. Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SDBI, SBN, Obligasi
Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; atau
b. Bank memiliki SBI, SBIS, SDBI, SBN, Obligasi
Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, namun
7
nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan
PLJP.
(4) Agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berada dalam kondisi:
a. bebas dari segala perikatan, sengketa, dan sitaan;
dan
b.
tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank
Indonesia.
(5) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau
menjaminkan kembali agunan PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang masih dalam status sebagai
agunan PLJP.
Pasal 5
Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang
dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank dapat digunakan
sebagai agunan PLJP dengan ketentuan sebagai berikut:
a. SBIS dan SBSN yang dicatat dalam pembukuan UUS dari
Bank hanya dapat diajukan sebagai agunan setelah
seluruh SBI, SDBI, dan SBN Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan sebagai
agunan;
b. Sukuk Korporasi yang dicatat dalam pembukuan UUS dari
Bank hanya dapat diajukan sebagai agunan dalam hal:
1. seluruh SBIS dan SBSN yang dicatat dalam
pembukuan UUS dari Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan
sebagai agunan; dan
2. seluruh Obligasi Korporasi dan Sukuk Korporasi
Bank yang memenuhi persyaratan sebagai agunan
PLJP telah diajukan sebagai agunan;
c. Aset Pembiayaan yang dicatat dalam pembukuan UUS dari
Bank hanya dapat diajukan sebagai agunan dalam hal:
1. seluruh Sukuk Korporasi yang dicatat dalam
pembukuan UUS dari Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan
sebagai agunan; dan
8
2. seluruh Aset Kredit Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan
sebagai agunan.
Pasal 6
Agunan PLJP berupa SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf d harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 110 (seratus
sepuluh) hari kalender sejak tanggal penandatanganan
akta perjanjian pemberian PLJP; dan
b. khusus untuk agunan berupa SBN dipersyaratkan dapat
diperdagangkan.
Pasal 7
(1) Agunan PLJP berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk
Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf e harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat paling rendah 3 (tiga) peringkat
(notch) teratas pada 1 (satu) tahun terakhir
berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat
yang diakui oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai lembaga
pemeringkat;
b. aktif diperdagangkan yaitu pernah diperdagangkan
dalam 30 (tiga puluh) hari kalender terakhir; dan
c. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 180
(seratus delapan puluh) hari kalender sejak tanggal
penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP.
(2) Contoh peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui
oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
9
Pasal 8
Agunan PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dan
huruf g harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan
terakhir berturut-turut;
b. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan konsumsi
kecuali kredit pemilikan rumah dan/atau pembiayaan
pemilikan rumah;
c. dijamin dengan agunan tanah dan bangunan dan/atau
tanah dengan nilai paling rendah 110% (seratus sepuluh
persen) dari plafon kredit dan/atau plafon pembiayaan;
d. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan kepada
pihak terkait Bank;
e.
f.
tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga) tahun
terakhir;
sisa jangka waktu jatuh waktu kredit dan/atau
pembiayaan paling singkat 9 (sembilan) bulan sejak
tanggal penandatanganan perjanjian pemberian PLJP;
g. baki debet kredit atau saldo pokok pembiayaan tidak
melebihi batas maksimum pemberian kredit atau
penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak melebihi
plafon kredit atau pembiayaan;
h. memiliki perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan
serta pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan
hukum;
i.
telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit
oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1
(satu) tahun terakhir;
j. dalam perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan antara
Bank dan debitur atau nasabah tercantum klausul bahwa
kredit dan/atau pembiayaan dapat dialihkan kepada
pihak lain; dan
k.
telah tercantum dalam laporan daftar Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan
secara berkala kepada Bank Indonesia.
10
Pasal 9
(1) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
agunan lain setelah agunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) mencukupi.
(2) Agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. saham Bank yang menerima PLJP milik pemegang
saham pengendali;
b. personal guarantee dan/atau corporate guarantee dari
pemegang saham pengendali;
c. aset tetap milik Bank yang menerima PLJP; dan/atau
d. agunan lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 10
Pengikatan agunan PLJP dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. pengikatan agunan berupa surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan
huruf e dilakukan dengan akta gadai; dan
b. pengikatan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf f dan huruf g dilakukan dengan akta fidusia.
Bagian Kedua
Perhitungan Nilai Agunan PLJP
Pasal 11
(1) Nilai agunan PLJP berupa SBI, SBIS, SDBI, dan SBN
ditetapkan sebagai berikut:
a. nilai agunan berupa SBI ditetapkan sebesar 100%
(seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung
berdasarkan nilai jual SBI;
b. nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar 100%
(seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung
berdasarkan nilai nominal SBIS;
11
c. nilai agunan berupa SDBI ditetapkan sebesar 100%
(seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung
berdasarkan nilai jual SDBI;
d. nilai agunan berupa SBN ditetapkan sebagai berikut:
1. nilai agunan berupa SUN ditetapkan paling
rendah sebesar 105% (seratus lima persen) dari
plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai
pasar SUN; dan
2. nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling
rendah sebesar 106,5% (seratus enam koma lima
persen) dari plafon PLJP yang dihitung
berdasarkan nilai pasar SBSN.
(2) Nilai agunan PLJP berupa Obligasi Korporasi dan/atau
Sukuk Korporasi ditetapkan sebagai berikut:
a. 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon PLJP
yang dijamin dengan Obligasi Korporasi dan/atau
Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dan/atau dijamin oleh
pemerintah pusat, dengan peringkat teratas
berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang
diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai
pasar dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk
Korporasi;
b. 135% (seratus tiga puluh lima persen) dari plafon
PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh
selain BUMN dan/atau dijamin oleh pemerintah
pusat, dengan peringkat
teratas berdasarkan
penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK,
yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Obligasi
Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi;
c. 140% (seratus empat puluh persen) dari plafon PLJP
yang dijamin dengan Obligasi Korporasi dan/atau
Sukuk Korporasi, dengan peringkat ke-2 teratas
berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang
diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai
12
pasar dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk
Korporasi; dan
d. 145% (seratus empat puluh lima persen) dari plafon
PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi, dengan peringkat ke-3
teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat
yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan
nilai pasar dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk
Korporasi.
(3) Nilai agunan PLJP berupa Aset Kredit atau Aset
Pembiayaan ditetapkan paling rendah sebesar 200% (dua
ratus persen) dari plafon PLJP yang dijamin dengan Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dan dihitung
berdasarkan baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset
Pembiayaan.
Pasal 12
(1) Cara perhitungan nilai agunan PLJP berupa surat
berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:
a. pada saat permohonan PLJP, nilai surat berharga
yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari
kerja sebelum tanggal permohonan PLJP;
b. pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai
pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP;
c. pada saat permohonan penambahan plafon PLJP,
nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada
posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan
penambahan plafon PLJP;
d. pada saat permohonan penurunan plafon PLJP, nilai
surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi
2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan
penurunan plafon PLJP;
e. pada saat penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP,
13
nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada
posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP
dan akta pengikatan agunan PLJP; dan
f. pada saat penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJP, nilai surat berharga yang
digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja
sebelum tanggal penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJP.
(2) Nilai surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung dengan menggunakan data sebagai berikut:
a. untuk surat berharga berupa SBI dan SDBI
menggunakan data nilai jual yang tercantum dalam
BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter atau operasi moneter syariah;
b. untuk surat berharga berupa SBIS menggunakan
data nilai nominal yang tercantum dalam BI-SSSS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter
atau operasi moneter syariah;
c. untuk surat berharga berupa SBN menggunakan
data nilai pasar yang tercantum dalam BI-SSSS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter
atau operasi moneter syariah; dan
d. untuk surat berharga berupa Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi menggunakan nilai pasar
yang tercantum dalam harga publikasi terakhir yang
tersedia pada lembaga yang melakukan penilaian
harga efek yang diakui oleh OJK.
(3) Cara perhitungan nilai agunan PLJP berupa Aset Kredit
atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:
14
a. pada saat permohonan PLJP, nilai baki debet Aset
Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan yang
digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja
sebelum tanggal permohonan PLJP;
b. pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJP, nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok
Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada
posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJP;
c. pada saat penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP,
nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset
Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2
(dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan
akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan
agunan PLJP; dan
d. pada saat penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJP, nilai baki debet Aset Kredit
atau saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan
yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal penandatanganan akta perubahan perjanjian
pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan
agunan PLJP.
(4) Nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung
dengan menggunakan data yang tercantum dalam catatan
pembukuan Bank.
Pasal 13
Contoh untuk perhitungan nilai agunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
15
Bagian Ketiga
Pelaporan Berkala Daftar Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan
Pasal 14
(1) Bank harus memelihara dan menatausahakan daftar Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang memenuhi
persyaratan agunan PLJP dan dialokasikan untuk menjadi
agunan PLJP.
(2) Pemeliharaan dan penatausahaan daftar Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan PLJP
dengan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan.
(3) Bank menyampaikan laporan daftar Aset Kredit dan/atau
Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara berkala kepada Bank Indonesia dengan tembusan
kepada OJK.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali untuk posisi
akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember, paling lambat
tanggal 15 setelah posisi akhir bulan bersangkutan
termasuk koreksi laporan.
(5) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sampai dengan batas waktu
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak
dapat mengajukan PLJP dengan agunan Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan sampai dengan periode
pelaporan berikutnya.
(6) Bank dapat memperbarui laporan daftar Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. posisi akhir bulan Juni diperbarui dengan posisi
akhir bulan September pada tahun yang
bersangkutan dan disampaikan kepada Bank
Indonesia dengan tembusan kepada OJK paling
lambat tanggal 15 Oktober; dan
16
b. posisi akhir bulan Desember diperbarui dengan posisi
akhir bulan Maret pada tahun berikutnya dan
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
tembusan kepada OJK paling lambat tanggal 15 April.
Pasal 15
(1) Penyampaian laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dilakukan melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Bank harus memastikan keamanan penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal Bank tidak berhasil melakukan pengiriman
laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
melalui sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank harus menyampaikan laporan tersebut melalui surat
dengan melampirkan soft copy daftar Aset Kredit dan/atau
Aset Pembiayaan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jalan M.H. Thamrin
No. 2 Jakarta 10350 paling lambat pukul 16.00 waktu
Indonesia barat (WIB), dengan tembusan kepada OJK c.q.
Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK,
atau Kantor OJK yang terkait.
(4) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul
16.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(5) Laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Tata cara penyampaian laporan daftar Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan adalah sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
17
Pasal 16
(1) Bank harus menyampaikan nama petugas Bank yang
diberikan kewenangan untuk menyusun dan
menyampaikan laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan, termasuk apabila terdapat perubahannya
kepada Bank Indonesia.
(2) Nama petugas Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jalan
M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350.
Pasal 17
Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan
dokumen pendukung dari Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan yang dilaporkan dalam laporan daftar Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 14 ayat (3).
BAB IV
PERMOHONAN PLJP
Bagian Kesatu
Permohonan PLJP
Pasal 18
(1) Permohonan PLJP diajukan oleh Bank melalui surat
dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Surat permohonan PLJP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh direksi Bank dan diketahui
oleh dewan komisaris Bank yang berwenang.
(3) Permohonan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank
Indonesia.
(4) Permohonan PLJP diajukan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
18
Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada
OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional
OJK, atau Kantor OJK yang terkait.
(5) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(6) Bank dapat mengajukan permohonan PLJP pada setiap
hari kerja dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal surat Bank diterima Bank Indonesia
sampai dengan pukul 12.00 WIB, Bank Indonesia
akan memproses PLJP pada hari yang bersangkutan;
dan
b. dalam hal surat Bank diterima Bank Indonesia
setelah pukul 12.00 WIB, Bank Indonesia akan
memproses PLJP pada hari kerja berikutnya,
setelah dokumen permohonan PLJP diterima secara
lengkap.
Pasal 19
Dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (3) terdiri atas:
a. surat pernyataan yang ditandatangani oleh direksi Bank
yang berwenang, yang memuat hal sebagai berikut:
1. pernyataan mengenai Bank mengalami Kesulitan
Likuiditas Jangka Pendek yang disertai dengan:
a) penjelasan mengenai penyebab Kesulitan
Likuiditas Jangka Pendek; dan
b) upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi
Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek;
2. pernyataan mengenai seluruh aset yang menjadi
agunan PLJP:
a) berada dalam kondisi bebas dari segala
perikatan, sengketa, dan sitaan;
b)
tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau
Bank Indonesia;
19
c) memenuhi seluruh persyaratan sebagai agunan
PLJP sesuai dengan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
d)
tidak akan diperjualbelikan dan/atau
dijaminkan kembali kepada pihak lain selama
masih dalam status sebagai agunan PLJP;
3. pernyataan mengenai kesanggupan Bank untuk
membayar kewajiban PLJP; dan
4. pernyataan mengenai kebenaran data dan/atau
dokumen yang disampaikan dan kesanggupan Bank
untuk menyampaikan data dan/atau dokumen lain
yang diminta oleh Bank Indonesia,
dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling
sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga
puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJP
dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
c. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP berupa:
1. SBI, SBIS, SDBI, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau
Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini; dan
2. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
d. daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau
audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan
dan/atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik
yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal
20
terdapat agunan PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan;
e. surat persetujuan dari pihak yang berwenang sesuai
dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga
Bank dan ketentuan peraturan perundang-undangan,
mengenai permohonan PLJP dan/atau penggunaan aset
Bank sebagai agunan PLJP;
f. dokumen anggaran dasar atau anggaran rumah tangga
Bank termasuk perubahannya;
g. daftar seluruh surat berharga yang dimiliki dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai
bukti kepemilikannya; dan
h. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
Pasal 20
(1) Bank Indonesia memberikan PLJP untuk jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kalender untuk setiap
periode pemberian PLJP.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku efektif sejak tanggal aktivasi pemberian PLJP oleh
Bank Indonesia.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang secara berturut-turut untuk jangka waktu
PLJP keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari
kalender.
Bagian Kedua
Koordinasi dengan OJK
Pasal 21
(1) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka
menindaklanjuti permohonan PLJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 melalui:
a. permintaan informasi dari OJK mengenai kondisi
Bank yang mengajukan PLJP, yang meliputi
pemenuhan persyaratan:
1. solvabilitas; dan
21
2.
tingkat kesehatan Bank; dan
b. pelaksanaan penilaian bersama mengenai
pemenuhan persyaratan agunan dan perkiraan
kemampuan Bank untuk mengembalikan PLJP.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dilaksanakan dalam rangka menindaklanjuti permohonan
Bank terkait perpanjangan jangka waktu PLJP,
penambahan plafon PLJP, dan/atau penurunan plafon
PLJP.
Bagian Ketiga
Tindak Lanjut Persetujuan atas Permohonan PLJP
Pasal 22
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan PLJP melalui surat kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK.
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;
b. kelengkapan dokumen permohonan PLJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; dan
c. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan
likuiditas Bank.
(3) Dalam hal permohonan PLJP disetujui, maka berdasarkan
surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank harus melakukan hal sebagai berikut:
a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan
PLJP;
b. menunjuk notaris;
c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
perjanjian pemberian PLJP melalui notaris dengan
contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran X
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
22
d. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
pengikatan agunan PLJP melalui notaris dengan
contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI
untuk agunan berupa surat berharga dan Lampiran
XII untuk agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini; dan
e. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dalam hal
diperlukan.
(4) Dokumen yang terkait dengan agunan PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a untuk agunan berupa
surat berharga meliputi:
a. daftar surat berharga yang diagunkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf c angka 1; dan
b. hasil pemeringkatan Obligasi Korporasi dan/atau
Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh paling sedikit
1 (satu) lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK
apabila terdapat agunan berupa Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi dan hasil pemeringkatan
tersebut belum melebihi 1 (satu) tahun sampai
dengan tanggal permohonan PLJP.
(5) Dokumen yang terkait dengan agunan PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a untuk agunan berupa Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan meliputi:
a. daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang
diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf c angka 2;
b. dokumen asli perjanjian kredit dan/atau akad
pembiayaan antara Bank dan debitur atau nasabah
beserta seluruh perubahannya;
c. dokumen asli pengikatan agunan atas perjanjian
kredit dan/atau akad pembiayaan yang mempunyai
kekuatan hukum antara Bank dan debitur atau
nasabah beserta seluruh perubahannya;
23
d. dokumen asli bukti kepemilikan agunan yang
menjadi jaminan kredit dan/atau pembiayaan Bank;
e. dokumen asli hasil penilaian agunan Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan oleh penilai independen;
f. dokumen asli polis asuransi agunan Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan yang dijamin dengan
tanah dan bangunan; dan
g. dokumen lain yang terkait dengan agunan PLJP
berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang
diminta oleh Bank Indonesia.
(6) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,
huruf c, dan huruf d disampaikan kepada Bank Indonesia
c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling
lambat pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank.
(7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d
disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 1 (satu) hari
kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
Bank.
(8) Dokumen yang terkait dengan agunan lain dalam hal
diminta oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf e meliputi:
a. bukti kepemilikan saham dari pemegang saham
pengendali yang akan diikat dengan akta gadai dalam
hal agunan lain berupa saham Bank milik pemegang
saham pengendali dari Bank yang menerima PLJP;
b.
rancangan akta notariil personal guarantee dan/atau
corporate guarantee yang disertai daftar aset milik
pemegang saham pengendali dalam hal agunan lain
berupa personal guarantee dan/atau corporate
24
guarantee dari pemegang saham pengendali dari
Bank yang menerima PLJP; dan
c. dokumen asli bukti kepemilikan aset tetap dalam hal
agunan lain berupa aset tetap milik Bank yang
menerima PLJP yang akan diikat dengan hak
tanggungan.
(9) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e
disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00
WIB pada 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan
akta perjanjian pemberian PLJP.
(10) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf e disampaikan kepada
Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat
pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat pada 2 (dua) hari kerja sebelum
penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP.
Pasal 23
Mekanisme pengagunan agunan PLJP berupa surat berharga
dilakukan sebagai berikut:
a. untuk surat berharga berupa SBI, SBIS, SDBI, dan/atau
SBN:
1. Bank melakukan pengagunan surat berharga pada
BI-SSSS paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
surat persetujuan PLJP diterima oleh Bank, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a) Bank sebagai pemberi agunan dan Bank
Indonesia sebagai penerima agunan melakukan
pengagunan surat berharga pada BI-SSSS
dengan mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System;
25
b) dalam hal Bank menggunakan surat berharga
yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank
maka pengagunan dilakukan oleh UUS dengan
Bank Indonesia sebagai penerima agunan;
2. pengagunan surat berharga sebagaimana dimaksud
pada angka 1, dilakukan untuk jangka waktu
pengagunan paling singkat 30 (tiga puluh) hari
kalender;
3. pengagunan surat berharga sebagaimana dimaksud
pada angka 2 dapat diperpanjang sesuai dengan
kebutuhan sampai dengan tanggal penandatanganan
akta perjanjian pemberian PLJP;
4. pengagunan surat
berharga
setelah
penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP
dilakukan untuk jangka waktu pengagunan paling
singkat 110 (seratus sepuluh) hari kalender;
5. untuk penambahan dan/atau penggantian agunan
yang dilakukan pada saat periode pemberian PLJP
atau perpanjangan jangka waktu PLJP, jangka waktu
pengagunan sebagaimana dimaksud pada angka 4
dikurangi dengan jumlah hari kalender PLJP
berjalan; dan
6.
jangka waktu pengagunan sebagaimana dimaksud
pada angka 4 dan angka 5 dapat diperpanjang apabila
diperlukan;
b. untuk surat berharga berupa Obligasi Korporasi dan/atau
Sukuk Korporasi:
1. Bank melakukan pemindahbukuan Obligasi
Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi ke rekening
efek Bank Indonesia di KSEI segera setelah Bank
menyampaikan daftar surat berharga sesuai dengan
tata cara yang ditetapkan KSEI;
2. dalam hal Bank menggunakan surat berharga yang
dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank maka
pemindahbukuan Sukuk Korporasi ke rekening efek
Bank Indonesia di KSEI dilakukan oleh UUS dengan
Bank Indonesia sebagai penerima agunan; dan
26
c. dalam hal terjadi pelunasan PLJP maka agunan PLJP
berupa:
1. SBI, SBIS, SDBI, dan SBN pada BI-SSSS dilepas
(release) paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJP
dilunasi; dan
2. Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi pada
rekening efek Bank Indonesia di KSEI
dipindahbukukan ke rekening efek Bank di KSEI
paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJP dilunasi.
Pasal 24
(1) Penilaian terhadap agunan PLJP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dilakukan melalui
kegiatan:
a. verifikasi dokumen yang terkait agunan PLJP;
dan/atau
b. penilaian pemenuhan persyaratan agunan PLJP.
(2) Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga
untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terhadap agunan PLJP berupa Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan.
(3) Dalam hal Bank Indonesia akan menggunakan jasa pihak
ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank
menunjuk pihak ketiga.
(4) Biaya yang timbul dari penggunaan jasa pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menjadi
beban Bank.
(5) Untuk mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Bank Indonesia dapat meminta dokumen
dan/atau informasi tambahan terkait agunan PLJP yang
harus dipenuhi oleh Bank.
Pasal 25
Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian
melalui penelitian terhadap:
a. dokumen rancangan akta perjanjian pemberian PLJP;
b. dokumen rancangan akta pengikatan agunan PLJP; dan
27
c. dokumen yang terkait dengan agunan lain.
Pasal 26
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan
PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
terdapat agunan yang tidak memenuhi persyaratan
dan/atau dokumen yang terkait agunan diketahui tidak
lengkap maka agunan dimaksud tidak diperhitungkan
sebagai agunan PLJP.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan
PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) nilai
agunan PLJP tidak mencukupi plafon PLJP yang telah
disetujui maka Bank Indonesia menyampaikan surat
permintaan penambahan agunan kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan
Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang
terkait.
(3) Bank harus menyampaikan penambahan agunan yang
memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP kepada Bank
Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan
paling lambat pukul 12.00 WIB pada 3 (tiga) hari kerja
berikutnya setelah surat permintaan penambahan agunan
dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diterima Bank.
(4) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, penambahan agunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat
pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah surat
permintaan penambahan agunan dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima Bank.
(5) Dalam hal Bank tidak dapat menyampaikan tambahan
agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau
menyampaikan tambahan agunan namun nilainya tidak
mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui Bank
Indonesia, Bank Indonesia menyampaikan surat
28
permintaan penyediaan sumber dana lain untuk menutup
kekurangan likuditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP
kepada Bank dengan tembusan kepada OJK c.q.
Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK,
atau Kantor OJK yang terkait.
(6) Bank harus menyediakan sumber dana lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) di rekening giro Bank di Bank
Indonesia paling lambat sampai dengan awal periode pre-
cut off Sistem BI-RTGS pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya
setelah surat permintaan penyediaan sumber dana lain
dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diterima Bank.
(7) Penyediaan sumber dana lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) disertai dengan dokumen dan/atau data
pendukung yang disampaikan paling lambat 1 (satu) hari
kerja berikutnya setelah dana tersedia di rekening giro
Bank di Bank Indonesia.
(8) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercatat di
pembukuan Bank paling singkat sampai dengan Bank
Indonesia melaksanakan aktivasi pemberian PLJP.
(9) Dalam hal Bank dapat menyediakan sumber dana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Bank Indonesia
menurunkan plafon PLJP sesuai dengan nilai agunan yang
tersedia.
Pasal 27
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) diketahui
bahwa:
a. agunan telah memenuhi ketentuan dan nilai agunan
mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui Bank
Indonesia; atau
b. nilai agunan yang telah memenuhi ketentuan tidak
mencukupi plafon yang telah disetujui Bank
Indonesia dan Bank dapat menyediakan sumber dana
lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak
dapat diperoleh dari PLJP,
29
maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta
perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan
PLJP.
(2) Penandatanganan terhadap akta perjanjian pemberian
PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) oleh Bank Indonesia bersama
Bank diwakili oleh pihak Bank yang berwenang
melakukan penandatanganan akta perjanjian pemberian
PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP.
(3) Dalam hal terdapat agunan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 maka pengikatan agunan lain dapat
dilakukan selama periode pemberian PLJP.
(4) Pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan.
Pasal 28
(1) Dalam hal setelah penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), diketahui
dokumen Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) tidak
lengkap, Bank Indonesia tidak memperhitungkan Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dimaksud sebagai
agunan PLJP.
(2) Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyebabkan nilai agunan secara keseluruhan tidak
mencukupi plafon yang telah disetujui, Bank Indonesia
akan melakukan pembatasan pencairan sejak tanggal
aktivasi pemberian PLJP atau selama periode PLJP.
(3) Dalam hal Bank telah melengkapi kekurangan dokumen
Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan tersebut akan diperhitungkan kembali
sebagai agunan PLJP dan pencairan PLJP dilakukan
sesuai dengan kecukupan nilai agunan.
30
Pasal 29
Persetujuan atas permohonan PLJP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila:
a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (3);
b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia
nilai agunan tidak mencukupi plafon, Bank tidak dapat
menambah agunan PLJP dan Bank tidak menyediakan
sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas
yang tidak dapat diperoleh dari PLJP; dan/atau
c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
BAB V
PENCAIRAN PLJP
Bagian Kesatu
Mekanisme Pencairan
Pasal 30
(1) Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan
aktivasi pemberian PLJP kepada Bank paling lambat 1
(satu) hari kerja sebelum tanggal aktivasi yang memuat
tanggal aktivasi pemberian PLJP dan jumlah PLJP yang
dapat dicairkan, serta informasi lain yang terkait dengan
pencairan PLJP.
(2) Bank dapat mengajukan permohonan pencairan PLJP
sejak tanggal aktivasi pemberian PLJP.
(3) Bank dapat mengajukan permohonan pencairan PLJP
sebesar perkiraan kebutuhan Bank untuk mengatasi
Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek.
(4) Bank Indonesia dapat melakukan pencairan PLJP 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) hari sebesar perkiraan kebutuhan
Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek.
(5) Permohonan pencairan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan melalui surat kepada Bank Indonesia c.q.
31
Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada
OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional
OJK, atau Kantor OJK yang terkait pada setiap hari kerja
paling lambat pukul 12.00 WIB selama periode PLJP untuk
pencairan pada hari kerja berikutnya.
(6) Khusus pada tanggal aktivasi pemberian PLJP, PLJP dapat
dicairkan pada hari kerja yang sama, sepanjang Bank
mengajukan permohonan pencairan PLJP paling lambat
pukul 10.00 WIB pada hari kerja yang sama.
(7) Permohonan pencairan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilampiri dokumen sebagai berikut:
a. surat sanggup bayar (promissory note) sebesar
pengajuan pencairan yang ditandatangani oleh
direksi Bank yang berwenang dengan contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
b. proyeksi arus kas berupa rincian perkiraan
kebutuhan likuiditas Bank yang mencerminkan
kebutuhan pencairan di hari yang bersangkutan
sampai dengan Bank memenuhi GWM, dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 31
(1) Atas permohonan pencairan PLJP oleh Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), Bank Indonesia
melakukan pencairan PLJP pada pagi hari setelah Sistem
BI-RTGS dibuka sepanjang Bank memenuhi persyaratan
pencairan.
(2) Khusus permohonan pencairan pada tanggal aktivasi
pemberian PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (6), Bank Indonesia melakukan pencairan PLJP paling
lambat sebelum periode transaksi untuk nasabah pada
32
Sistem BI-RTGS berakhir sepanjang Bank memenuhi
persyaratan pencairan.
(3) Persyaratan pencairan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) meliputi:
a. ketersediaan plafon atau sisa plafon PLJP;
b.
terdapat kecukupan agunan;
c. Bank masih memenuhi persyaratan sebagai Bank
solven dan persyaratan tingkat kesehatan Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
a dan huruf b; dan
d.
terdapat surat permohonan pencairan dan surat
sanggup bayar (promissory note) yang ditandatangani
oleh direksi Bank yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (7) huruf a.
(4) Pencairan PLJP oleh Bank Indonesia dilakukan dengan
cara mengkredit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank
Indonesia.
Bagian Kedua
Bunga PLJP
Pasal 32
(1) Bank Indonesia mengenakan bunga secara harian kepada
Bank atas baki debet PLJP.
(2) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
dengan menggunakan tingkat suku bunga repurchase
agreement rate untuk lending facility yang berlaku pada
tanggal aktivasi pemberian PLJP ditambah margin sebesar
400 (empat ratus) basis poin.
(3) Rumus perhitungan besarnya bunga PLJP yaitu sebagai
berikut:
X = P x R x t/360
Keterangan:
X : besarnya bunga yang diterima Bank Indonesia.
P : baki debet PLJP.
R : lending facility + 400 (empat ratus) basis poin.
t : jumlah hari kalender perhitungan bunga.
33
(4) Contoh perhitungan bunga sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) untuk 1 (satu) periode PLJP adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
BAB VI
PEMANTAUAN PLJP
Bagian Kesatu
Pemantauan Agunan
Pasal 33
(1) Selama periode PLJP, Bank harus memantau aset yang
menjadi agunan PLJP untuk mengidentifikasi agunan
PLJP yang mengalami kondisi sebagai berikut:
a. agunan PLJP tidak memenuhi kondisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5);
b. Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi tidak
lagi memenuhi persyaratan peringkat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a;
c.
terdapat pelunasan atas Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan oleh debitur atau nasabah Bank;
dan/atau
d. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang
diagunkan tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a;
(2) Pemantauan aset yang menjadi agunan PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan
pemenuhan persyaratan agunan PLJP dan nilai agunan
mencukupi plafon selama periode PLJP.
34
Bagian Kedua
Penggantian Agunan PLJP
Pasal 34
(1) Bank harus mengganti agunan PLJP dalam periode PLJP
apabila terdapat kondisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (1) sehingga nilai agunan PLJP mengalami
penurunan dan secara keseluruhan tidak lagi memenuhi
plafon PLJP.
(2) Penggantian agunan PLJP diprioritaskan dengan
menggunakan agunan berupa surat berharga yang
dimiliki oleh Bank yang memenuhi persyaratan agunan
PLJP.
(3) Dalam hal surat berharga yang dimiliki oleh Bank tidak
mencukupi untuk penggantian agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) maka penggantian agunan dapat
dilakukan dengan menggunakan surat berharga yang
dimiliki oleh Bank ditambah dengan agunan berupa Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang memenuhi
persyaratan agunan PLJP.
(4) Dalam hal Bank tidak memiliki surat berharga maka
penggantian agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menggunakan agunan berupa Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang memenuhi
persyaratan agunan PLJP.
Pasal 35
(1) Dalam hal Bank melakukan penggantian agunan PLJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), Bank
menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (4) dan/atau ayat (5) yang terkait dengan
agunan pengganti kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350.
(2) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
35
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat.
Pasal 36
Selama Bank Indonesia memproses penggantian agunan PLJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, pada periode
pemberian PLJP Bank tetap dapat mengajukan pencairan PLJP
sepanjang terdapat plafon atau sisa plafon dan agunan PLJP
yang mencukupi.
Pasal 37
(1) Dalam hal penggantian agunan disetujui oleh Bank
Indonesia, Bank meminta notaris untuk mempersiapkan
akta perubahan pengikatan agunan PLJP.
(2) Penandatanganan terhadap akta perubahan pengikatan
agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh
Bank Indonesia bersama Bank diwakili oleh pihak Bank
yang berwenang melakukan penandatanganan akta
perubahan pengikatan agunan PLJP.
Bagian Ketiga
Pembatasan Pencairan dan Penghentian Pencairan PLJP
Sebelum Jatuh Waktu
Pasal 38
(1) Bank Indonesia melakukan pembatasan pencairan PLJP
dalam hal:
a. nilai agunan PLJP mengalami penurunan akibat
kondisi agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 dan Pasal 33 sehingga secara keseluruhan
nilai agunan tidak mencukupi plafon PLJP; dan
b. Bank tidak melakukan penggantian agunan atau
melakukan penggantian agunan namun nilai agunan
pengganti tidak mencukupi plafon PLJP.
(2) Bank dapat mengajukan penggantian agunan setelah
Bank Indonesia melakukan pembatasan pencairan dengan
36
mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 37.
Pasal 39
(1) Bank Indonesia berwenang menghentikan pencairan PLJP
sebelum jatuh waktu dalam hal Bank:
a.
tidak memenuhi persyaratan solvabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
a; dan/atau
b.
tidak memenuhi persyaratan tingkat kesehatan Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
b.
(2) Dalam hal Bank Indonesia melakukan penghentian
pencairan PLJP sebelum jatuh waktu PLJP maka Bank
Indonesia tidak melakukan pencairan PLJP sampai
dengan jatuh waktu PLJP meskipun terdapat ketersediaan
plafon atau sisa plafon serta agunan PLJP mencukupi.
(3) Pelunasan pokok dan bunga PLJP bagi Bank yang
dikenakan penghentian pencairan PLJP sebelum jatuh
waktu PLJP dilakukan pada tanggal jatuh waktu PLJP.
BAB VII
PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PLJP
Bagian Kesatu
Permohonan Perpanjangan Jangka Waktu PLJP
Pasal 40
(1) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJP kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui
surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Surat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh
37
direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank
yang berwenang.
(4) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan
dokumen yang dipersyaratkan Bank Indonesia.
(5) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP diajukan
kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans
Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen
Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK
yang terkait.
(6) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(7) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJP pada setiap hari kerja sampai dengan
pukul 12.00 WIB, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. permohonan diajukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sebelum tanggal jatuh waktu PLJP berjalan apabila
tidak terdapat penggantian dan/atau penambahan
agunan atau terdapat penggantian dan/atau
penambahan agunan hanya berupa surat berharga;
b. permohonan diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJP berjalan
apabila terdapat penggantian dan/atau penambahan
agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan.
(8) Bank Indonesia
akan memproses permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJP setelah dokumen
permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP diterima
secara lengkap.
(9) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling
38
sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30
(tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJP dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP
berupa:
1. SBI, SBIS, SDBI, SBN, Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan
2. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran
IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
c. dalam hal terdapat penggantian dan/atau
penambahan agunan berupa Aset Kredit dan/atau
Aset Pembiayaan maka harus dilengkapi dengan
daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel
pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik
yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor
akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau
audit;
d. daftar seluruh surat berharga yang dimiliki dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII
dan disertai bukti kepemilikannya; dan
e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
Pasal 41
(1) Untuk keperluan perpanjangan jangka waktu PLJP, Bank
tetap dapat menggunakan agunan PLJP pada periode PLJP
sebelumnya sepanjang masih memenuhi persyaratan dan
kecukupan jumlah agunan PLJP.
39
(2) Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan jangka waktu
PLJP, Bank harus memastikan agunan PLJP mencukupi
plafon PLJP dengan memperhatikan persyaratan dan nilai
agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai
dengan Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 12.
(3) Persyaratan sisa jangka waktu bagi agunan yang baru
ditambahkan paling singkat memiliki
jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan Pasal 7
ayat (1) huruf c dikurangi dengan jangka waktu mulai dari
penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP sampai
dengan jatuh waktu PLJP berjalan.
(4) Bank harus menambah jumlah agunan yang diserahkan
untuk menjamin perpanjangan jangka waktu PLJP dalam
hal diketahui bahwa:
a.
terdapat aset yang lebih prioritas untuk menjadi
agunan PLJP dengan memperhatikan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan
ayat (4); dan/atau
b. nilai agunan yang telah dijaminkan tidak lagi
mencukupi plafon PLJP.
(5) Dalam hal terjadi perpanjangan jangka waktu PLJP dan
terdapat agunan PLJP berupa SBI, SBIS, SDBI, dan/atau
SBN yang diagunkan kembali, maka jangka waktu
pengagunan surat berharga pada BI-SSSS dapat
diperpanjang apabila diperlukan.
Bagian Kedua
Tindak Lanjut Persetujuan atas Permohonan
Perpanjangan Jangka Waktu PLJP
Pasal 42
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK.
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
40
Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai
berikut:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;
b.
jangka waktu PLJP secara keseluruhan belum
melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender
berturut-turut;
c. kelengkapan dokumen permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (9); dan
d. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan
likuiditas Bank.
(3) Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
disetujui, maka berdasarkan surat persetujuan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
harus melakukan hal sebagai berikut:
a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
penambahan dan/atau penggantian agunan PLJP;
b. menunjuk notaris;
c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
perubahan perjanjian pemberian PLJP dan
rancangan akta perubahan pengikatan agunan PLJP
melalui notaris dengan contoh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran XVII, Lampiran XVIII, dan
Lampiran XIX yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
d. melunasi bunga atas PLJP pada saat jatuh waktu
PLJP; dan
e. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dalam hal
diperlukan.
(4) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa surat
berharga, Bank menyampaikan dokumen yang terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4).
(5) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan, Bank menyampaikan
41
dokumen yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (5).
(6) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
dan huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat
pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja berikutnya
setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima Bank.
(7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c disampaikan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling
lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya
setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima Bank.
(8) Dalam hal Bank Indonesia meminta agunan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e, Bank
menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (8).
(9) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e
disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Surveilans Sistem Keuangan paling lambat sebelum
penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian
PLJP.
(10) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf e disampaikan kepada
Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat
sebelum penandatanganan akta perubahan perjanjian
pemberian PLJP.
Pasal 43
Dalam hal terdapat agunan berupa surat berharga yang baru,
pengagunan menggunakan mekanisme sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23.
42
Pasal 44
(1) Penilaian terhadap tambahan agunan yang digunakan
untuk perpanjangan jangka waktu PLJP menggunakan
mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Penilaian terhadap agunan PLJP yang digunakan kembali
sebagai agunan untuk perpanjangan jangka waktu PLJP
diutamakan pada penilaian kecukupan terhadap nilai
agunan.
Pasal 45
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diketahui:
a. agunan telah memenuhi ketentuan dan nilai agunan
mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui Bank
Indonesia; atau
b. nilai agunan yang telah memenuhi ketentuan tidak
mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui Bank
Indonesia dan Bank dapat menyediakan sumber dana
lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak
dapat diperoleh dari PLJP,
maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta
perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJP.
(2) Penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian
pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan
PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Bank
Indonesia bersama Bank diwakili oleh pihak Bank yang
berwenang melakukan penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJP.
(3) Dalam hal terdapat agunan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 maka pengikatan agunan lain dapat
dilakukan selama periode pemberian PLJP.
(4) Pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
43
Pasal 46
(1) Dalam hal setelah penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (1), diketahui terdapat dokumen Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (5) tidak lengkap, Bank Indonesia tidak
memperhitungkan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
dimaksud sebagai agunan PLJP.
(2) Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyebabkan nilai agunan secara keseluruhan tidak
mencukupi plafon yang telah disetujui, Bank Indonesia
akan melakukan pembatasan pencairan sejak periode
perpanjangan jangka waktu PLJP dimulai atau selama
periode PLJP.
(3) Dalam hal Bank telah melengkapi kekurangan dokumen
Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan dimaksud akan diperhitungkan kembali
sebagai agunan PLJP dan pencairan PLJP dilakukan
sesuai dengan kecukupan nilai agunan.
Pasal 47
(1) Persetujuan atas permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dibatalkan
oleh Bank Indonesia apabila:
a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3);
b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank
Indonesia nilai agunan tidak mencukupi plafon dan
Bank tidak dapat menambah agunan PLJP dan/atau
Bank tidak menyediakan sumber dana lain untuk
menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat
diperoleh dari PLJP; dan/atau
c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2).
44
(2) Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
dibatalkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) maka Bank harus melunasi PLJP pada saat
jatuh waktu.
BAB VIII
PENAMBAHAN DAN PENURUNAN PLAFON PLJP
Bagian Kesatu
Permohonan Penambahan Plafon PLJP
Pasal 48
(1) Bank dapat mengajukan permohonan penambahan plafon
PLJP kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan penambahan plafon PLJP hanya dapat
disampaikan bersamaan dengan permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (7).
(3) Permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan
contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XX yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Surat permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh direksi Bank
dan diketahui oleh dewan komisaris Bank yang
berwenang.
(5) Permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang
dipersyaratkan Bank Indonesia.
(6) Permohonan penambahan plafon PLJP diajukan kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350
dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen
Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK
yang terkait.
45
(7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditembuskan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(8) Bank Indonesia akan memproses permohonan
penambahan plafon PLJP setelah dokumen permohonan
penambahan plafon PLJP diterima secara lengkap.
(9) Dalam rangka penambahan plafon PLJP:
a. Bank dapat menggunakan kelebihan nilai agunan
PLJP yang telah dijaminkan bagi PLJP berjalan untuk
menjamin penambahan plafon PLJP dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 12;
b. Bank dapat menambah agunan PLJP dengan aset
yang memenuhi persyaratan dan nilai agunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan
Pasal 8, Pasal 11 dan Pasal 12; dan
c. persyaratan sisa jangka waktu bagi agunan yang baru
ditambahkan paling singkat memiliki jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan
Pasal 7 ayat (1) huruf c dikurangi dengan jangka
waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJP sampai dengan penandatanganan
perubahan akta perjanjian PLJP.
Pasal 49
Dokumen permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (5) meliputi:
a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling
sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga
puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan
penambahan plafon PLJP dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
46
b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP berupa:
1. SBI, SBIS, SDBI, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau
Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini; dan
2. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
c. dalam hal terdapat penggantian dan/atau penambahan
agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
maka harus dilengkapi dengan daftar rekapitulasi Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang telah menjadi
objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor
akuntan publik
yang dikeluarkan
dan/atau
ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang
melakukan pemeriksaan atau audit;
d. daftar seluruh surat berharga yang dimiliki dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai
bukti kepemilikannya; dan
e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
Pasal 50
Dalam mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJP yang disertai dengan penambahan plafon PLJP,
pengaturan terkait agunan mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
Bagian Kedua
Tindak Lanjut Persetujuan atas Permohonan
Penambahan Plafon PLJP
Pasal 51
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan penambahan plafon PLJP melalui surat
kepada Bank dengan tembusan kepada OJK.
47
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai
berikut:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;
b.
jangka waktu PLJP secara keseluruhan belum
melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender
berturut-turut;
c. kelengkapan dokumen permohonan penambahan
plafon PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49;
dan
d. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan
likuiditas Bank.
(3) Dalam hal permohonan penambahan plafon PLJP
disetujui, maka berdasarkan surat persetujuan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
harus melakukan hal sebagai berikut:
a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
penambahan dan/atau penggantian agunan PLJP;
b. menunjuk notaris;
c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJP melalui notaris
dengan contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XVII, Lampiran XVIII, dan Lampiran XIX
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan
d. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dalam hal
diperlukan.
(4) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa surat
berharga, Bank menyampaikan dokumen yang terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4).
(5) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan, Bank menyampaikan
48
dokumen yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (5).
(6) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
dan huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat
pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja berikutnya
setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima Bank.
(7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c disampaikan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling
lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya
setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima Bank.
(8) Dalam hal Bank Indonesia meminta agunan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, Bank
menyampaikan dokumen terkait agunan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (8).
(9) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d
disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00
WIB pada 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan
akta perubahan perjanjian pemberian PLJP.
(10) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf d disampaikan kepada
Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat
pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat pada 2 (dua) hari kerja sebelum
penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian
PLJP.
49
Pasal 52
Dalam hal terdapat agunan berupa surat berharga yang baru,
pengagunan menggunakan mekanisme sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23.
Pasal 53
(1) Penilaian terhadap tambahan agunan yang digunakan
untuk penambahan plafon PLJP mengacu pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Penilaian terhadap agunan PLJP yang digunakan kembali
sebagai agunan untuk penambahan plafon PLJP
diutamakan pada penilaian kecukupan terhadap nilai
agunan.
Pasal 54
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 diketahui:
a. agunan telah memenuhi ketentuan dan nilai agunan
mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui Bank
Indonesia; atau
b. nilai agunan yang telah memenuhi ketentuan tidak
mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui Bank
Indonesia dan Bank dapat menyediakan sumber dana
lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak
dapat diperoleh dari PLJP,
maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta
perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJP.
(2) Dalam hal Bank Indonesia masih dalam proses melakukan
penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 sampai
dengan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu
PLJP maka penandatanganan terhadap akta perubahan
perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJP hanya dilakukan untuk
perpanjangan jangka waktu PLJP.
(3) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), penandatanganan terhadap akta perubahan
50
perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJP untuk penambahan plafon PLJP
dilakukan setelah Bank Indonesia selesai melakukan
proses penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.
(4) Tambahan plafon PLJP yang disetujui akan
diakumulasikan dengan plafon PLJP sebelumnya.
(5) Penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian
pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan
PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Bank
Indonesia bersama Bank diwakili oleh pihak Bank yang
berwenang melakukan penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJP.
(6) Pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 55
(1) Dalam hal setelah penandatanganan akta perubahan
perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan
pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 ayat (1), diketahui dokumen Aset Kredit dan/atau
Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (5) tidak lengkap, Bank Indonesia tidak
memperhitungkan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
dimaksud sebagai agunan PLJP.
(2) Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyebabkan nilai agunan secara keseluruhan tidak
mencukupi plafon yang telah disetujui, Bank Indonesia
akan melakukan pembatasan pencairan sejak tanggal
aktivasi penambahan plafon PLJP atau selama periode
PLJP.
(3) Dalam hal Bank telah melengkapi kekurangan dokumen
Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan dimaksud akan diperhitungkan kembali
51
sebagai agunan PLJP dan pencairan PLJP dilakukan
sesuai dengan kecukupan nilai agunan.
Pasal 56
Persetujuan atas permohonan penambahan plafon PLJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dibatalkan oleh
Bank Indonesia apabila:
a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (3);
b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia
nilai tambahan agunan tidak mencukupi penambahan
plafon PLJP dan Bank tidak menyediakan sumber dana
lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak
dapat diperoleh dari PLJP; dan/atau
c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 57
(1) Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan
aktivasi penambahan plafon PLJP kepada Bank paling
lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal aktivasi yang
memuat tanggal aktivasi penambahan plafon PLJP dan
jumlah PLJP yang dapat dicairkan, serta informasi lain
yang terkait dengan pencairan PLJP.
(2) Bank dapat mengajukan permohonan pencairan
tambahan plafon PLJP sejak tanggal aktivasi penambahan
plafon PLJP.
(3) Pencairan tambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) menggunakan mekanisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31.
Pasal 58
Dalam hal permohonan Bank untuk penambahan plafon PLJP
telah disetujui namun belum dilakukan aktivasi, Bank dapat
mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP
untuk periode berikutnya dengan plafon PLJP sebagaimana
tercantum dalam surat persetujuan Bank Indonesia sesuai
52
dengan ketentuan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank
Indonesia ini.
Bagian Ketiga
Permohonan Penurunan Plafon PLJP
Pasal 59
(1) Bank dapat mengajukan permohonan penurunan plafon
PLJP kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan penurunan plafon PLJP hanya dapat
disampaikan bersamaan dengan permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (7).
(3) Permohonan penurunan plafon PLJP didasarkan pada
kebutuhan likuiditas Bank sampai dengan Bank
memenuhi GWM sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai giro wajib minimum, yang
didukung dengan proyeksi arus kas.
(4) Permohonan penurunan plafon PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan
contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XX yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(5) Surat permohonan penurunan plafon PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh direksi Bank
dan diketahui oleh dewan komisaris Bank yang
berwenang.
(6) Permohonan penurunan plafon PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang
dipersyaratkan Bank Indonesia.
(7) Permohonan penurunan plafon PLJP diajukan kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350
dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen
Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK
yang terkait.
53
(8) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditembuskan kepada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia setempat.
(9) Bank Indonesia akan memproses permohonan penurunan
plafon PLJP setelah dokumen permohonan penurunan
plafon PLJP diterima secara lengkap.
Pasal 60
(1) Proses penurunan plafon PLJP dilakukan sesuai dengan
proses perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47.
(2) Dalam proses penurunan plafon PLJP Bank dapat
melakukan penarikan agunan sepanjang memenuhi
ketentuan mengenai agunan dan kecukupan nilai agunan.
BAB IX
PELUNASAN PLJP
Bagian Kesatu
Pelunasan Sebagian atau Keseluruhan Baki Debet PLJP
Selama Periode PLJP
Pasal 61
(1) Bank Indonesia melakukan pendebitan rekening giro Bank
dalam rupiah di Bank Indonesia apabila saldo rekening
giro Bank tersebut pada periode PLJP jumlahnya melebihi
kewajiban GWM ditambah 10% (sepuluh persen) dari
kewajiban GWM sebagai pelunasan sebagian atau
keseluruhan baki debet PLJP.
(2) Pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling tinggi sebesar nilai terendah antara baki
debet PLJP dan kelebihan saldo rekening giro Bank dalam
rupiah dari kewajiban GWM ditambah 10% (sepuluh
persen) dari kewajiban GWM.
54
(3) Pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat Sistem BI-RTGS dibuka pada hari
berikutnya.
Bagian Kedua
Pelunasan Sebelum PLJP Jatuh Waktu
Pasal 62
(1) Bank dapat mengajukan permohonan pelunasan PLJP
sebelum PLJP jatuh waktu.
(2) Pelunasan sebelum PLJP jatuh waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendebit
rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia
sebesar kewajiban PLJP.
(3) Permohonan pelunasan sebelum PLJP jatuh waktu
diajukan oleh Bank paling lambat 2 (dua) hari kerja
sebelum rencana pelunasan.
(4) Permohonan pelunasan sebelum PLJP jatuh waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui
surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XXI yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(5) Permohonan pelunasan sebelum PLJP jatuh waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350
dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen
Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK
yang terkait.
(6) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan pelunasan
sebelum PLJP jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat.
(7) Bank Indonesia menginformasikan kepada Bank jumlah
kewajiban PLJP yang meliputi baki debet (outstanding),
bunga PLJP, dan biaya terkait dengan pemberian PLJP
55
paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal
pelunasan.
(8) Bank Indonesia akan mendebit rekening giro Bank dalam
rupiah di Bank Indonesia pada saat Sistem BI-RTGS
dibuka pada tanggal pelunasan yang ditetapkan dengan
urutan pendebitan bunga, kemudian baki debet
(outstanding) PLJP, dan terakhir biaya terkait dengan
pemberian PLJP.
(9) Dalam hal pada tanggal pelunasan yang direncanakan
saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia
tidak mencukupi untuk pembayaran kewajiban PLJP
maka pelunasan PLJP dilakukan pada saat jatuh waktu.
Bagian Ketiga
Pelunasan PLJP Pada Saat Jatuh Waktu
Pasal 63
(1) Bank wajib melunasi seluruh kewajiban PLJP pada tanggal
jatuh waktu PLJP.
(2) Bank Indonesia akan menginformasikan kepada Bank
pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJP
mengenai jumlah kewajiban PLJP yang meliputi pokok dan
bunga termasuk dalam hal terdapat biaya terkait dengan
pemberian PLJP yang harus dibayar Bank.
(3) Bank Indonesia mendebit rekening giro Bank dalam
rupiah di Bank Indonesia untuk pembayaran kewajiban
PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada tanggal
jatuh waktu PLJP.
(4) Bank Indonesia dapat mendebit rekening giro Bank dalam
rupiah di Bank Indonesia dalam hal terdapat biaya lain
terkait dengan pemberian PLJP yang timbul atau
ditagihkan oleh pihak lain setelah Bank melunasi PLJP.
(5) Dalam hal jatuh waktu PLJP bertepatan pada hari Sabtu,
hari Minggu, hari libur, atau pada hari kerja yang
kemudian ditetapkan sebagai hari libur maka pendebitan
saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia
56
dilakukan pada hari kerja berikutnya
memperhitungkan bunga PLJP pada hari tersebut.
tanpa
(6) Dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas pada
hari libur atau cuti bersama, dimana Bank Indonesia
mengoperasikan Sistem BI-RTGS dan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI) maka hari tersebut
termasuk sebagai hari kerja.
(7) Bank Indonesia melakukan pendebitan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) pada saat buka Sistem BI-RTGS.
Pasal 64
Dalam hal pelunasan kewajiban PLJP pada tanggal jatuh waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 telah dilakukan, Bank
Indonesia menyampaikan surat kepada Bank yang
menginformasikan bahwa kewajiban PLJP telah dilunasi Bank
dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan
Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait.
Pasal 65
(1) Bank Indonesia mengembalikan agunan PLJP kepada
Bank setelah kewajiban PLJP dilunasi.
(2) Mekanisme pengembalian agunan PLJP kepada Bank
diatur sebagai berikut:
a. untuk agunan berupa SBI, SBIS, SDBI, dan SBN
dilakukan dengan mekanisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 huruf c angka 1;
b. untuk agunan berupa Obligasi Korporasi dan/atau
Sukuk Korporasi dilakukan dengan mekanisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c angka
2; dan
c. untuk agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan dilakukan dengan mekanisme sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan,
setelah tanggal surat pemberitahuan lunas dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.
57
Bagian Keempat
Pelunasan PLJP Setelah Tanggal Jatuh Waktu
Pasal 66
(1) Dalam hal saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank
Indonesia tidak mencukupi untuk membayar pokok dan
bunga PLJP pada saat jatuh waktu, Bank Indonesia
melakukan tindakan sebagai berikut:
a. pada tanggal jatuh waktu:
1. pendebitan rekening giro Bank dalam rupiah di
Bank Indonesia yang dilakukan pada saat
Sistem BI-RTGS dibuka sebesar kewajiban PLJP
yang belum lunas termasuk dalam hal terdapat
biaya terkait dengan pemberian PLJP;
2. pembatasan transaksi outgoing rekening giro
Bank dalam valuta asing serta rekening giro UUS
dalam rupiah dan valuta asing, sejak Sistem BI-
RTGS dibuka pada tanggal jatuh waktu PLJP;
dan
3. penihilan rekening giro Bank di Bank Indonesia
baik rupiah maupun valuta asing termasuk
saldo rekening giro dalam rupiah dan valuta
asing milik UUS dari Bank yang dilakukan pada
periode pre cut-off Sistem BI-RTGS;
b. setelah tanggal jatuh waktu:
1. pendebitan rekening giro rupiah dan valuta asing
Bank serta rekening giro rupiah dan valuta asing
milik UUS, di Bank Indonesia, yang dilakukan
pada saat Sistem BI-RTGS dibuka sebesar
kewajiban PLJP yang belum lunas termasuk
dalam hal terdapat biaya terkait dengan
pemberian PLJP; dan
2. penihilan rekening giro Bank di Bank Indonesia
baik rupiah maupun valuta asing termasuk
saldo giro UUS dari Bank yang dilakukan pada
periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.
58
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan Bank Indonesia sampai dengan kewajiban PLJP
dapat dilunasi Bank.
(3) Kurs yang digunakan dalam pendebitan rekening giro
Bank dalam valuta asing adalah kurs beli dari kurs
transaksi Bank Indonesia.
(4) Bank Indonesia tetap menghitung bunga PLJP sampai
dengan pokok PLJP dilunasi.
(5) Bank yang belum melakukan pelunasan PLJP pada saat
jatuh waktu tidak dapat menggunakan surat berharga
sebagai pemenuhan prefund debit sejak tanggal jatuh
waktu sampai dengan kewajiban PLJP lunas.
Bagian Kelima
Pelaksanaan Eksekusi Agunan PLJP
Pasal 67
(1) Dalam hal kewajiban PLJP tidak dapat dilunasi setelah
dilakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 ayat (1) huruf a, Bank Indonesia akan melakukan
eksekusi agunan PLJP dalam rangka pelunasan kewajiban
PLJP Bank.
(2) Dalam rangka pelaksanaan eksekusi agunan, Bank
Indonesia menyampaikan surat kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan
Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK terkait yang
menginformasikan:
a. Bank tidak dapat melunasi kewajiban PLJP pada saat
jatuh waktu;
b.
jumlah kewajiban PLJP yang belum dilunasi; dan
c. Bank Indonesia akan melakukan tindak lanjut
berupa eksekusi agunan,
paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah tanggal jatuh
waktu PLJP.
59
Pasal 68
(1) Bank Indonesia akan melakukan proses eksekusi agunan
berupa surat berharga mulai hari kerja ke-1 setelah
tanggal jatuh waktu PLJP.
(2) Eksekusi agunan berupa SBI, SBIS, dan/atau SDBI
dilakukan dengan cara mencairkan SBI, SBIS, dan/atau
SDBI
menggunakan nilai surat berharga pada posisi tanggal
jatuh waktu PLJP.
(3) Eksekusi agunan berupa SBN, Obligasi Korporasi,
dan/atau Sukuk Korporasi dilakukan melalui penjualan
agunan oleh pialang, dengan pengaturan sebagai berikut:
a. calon pembeli agunan dapat merupakan bank
dan/atau pihak lain;
b. window time penjualan SBN, Obligasi Korporasi,
dan/atau Sukuk Korporasi dapat dilakukan antara
pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB;
c. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter
akan mengumumkan rencana penjualan SBN,
Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi kepada
pialang;
d.
transaksi dilakukan melalui sarana Reuters
Monitoring Dealing System (RMDS) atau sarana
lainnya;
e. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter
akan mengumumkan pemenang kepada Pialang dan
melakukan konfirmasi kepada Pialang yang
penawarannya dimenangkan;
f. pialang yang penawarannya
dimenangkan
menginformasikan kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Pengelolaan Moneter antara lain hal-hal
sebagai berikut:
1. sub-registry bagi calon pembeli agunan selain
bank yang penawarannya diterima untuk
pelaksanaan setelmen SBN;
2.
lembaga kustodian untuk calon pembeli agunan
yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan
sebelum jatuh waktu (early redemption)
60
setelmen Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk
Korporasi; dan
3. bank pembayar bagi calon pembeli agunan selain
bank yang penawarannya diterima untuk
pelaksanaan setelmen dana.
g. calon pembeli yang penawarannya diterima yang
merupakan bank dan bank pembayar yang ditunjuk
wajib menyediakan dana di rekening giro Bank di
Bank Indonesia;
h. Bank Indonesia melakukan setelmen paling lambat
pada 5 (lima) hari kerja (T+5) setelah pengumuman
dengan mendebit rekening giro bank atau bank
pembayar yang ditunjuk bagi calon pembeli agunan
selain bank;
i. Bank Indonesia melakukan setelmen surat berharga
setelah pendebitan saldo rekening giro bank atau
bank pembayar yang ditunjuk bagi calon pembeli
agunan selain bank sebagaimana dimaksud pada
huruf h berhasil dilaksanakan;
j. dalam hal surat berharga berupa Obligasi Korporasi
dan/atau Sukuk Korporasi, Bank Indonesia
melakukan pemindahbukuan surat berharga
tersebut ke rekening efek yang ditunjuk oleh pembeli
surat berharga di KSEI;
k. dalam hal agunan berupa SBN tidak terjual dan saldo
rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia
tidak mencukupi kewajiban PLJP sampai dengan
berakhirnya jangka waktu pengikatan agunan SBN,
Bank Indonesia memperpanjang jangka waktu
pengikatan pengagunan SBN sampai dengan Bank
dapat melunasi pokok PLJP ditambah bunga PLJP
dan biaya terkait dengan pemberian PLJP;
l. dalam hal terdapat pembayaran kupon dari Obligasi
Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, Bank
Indonesia meneruskan pembayaran tersebut ke
rekening giro Bank yang ada di Bank Indonesia.
61
Pasal 69
(1) Bank Indonesia akan melakukan proses eksekusi agunan
berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan mulai hari
kerja ke-15 setelah tanggal jatuh waktu PLJP.
(2) Bank dapat meminta kepada Bank Indonesia agar proses
eksekusi agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan dipercepat sebelum hari kerja ke-15
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan Bank melalui surat kepada Bank Indonesia
c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan dengan
tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan
Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK terkait pada
hari kerja dengan contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XXII yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Bank Indonesia akan menyampaikan surat
pemberitahuan dan/atau peringatan sebelum proses
eksekusi agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 70
(1) Eksekusi agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(1) dilakukan dengan cara:
a. menjual hak tagih atas dasar Sertifikat Jaminan
Fidusia melalui fiat eksekusi pengadilan;
b. menjual hak tagih atas kekuasaan penerima fidusia
sendiri melalui pelelangan umum; atau
c. menjual di bawah tangan yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima
fidusia.
(2) Dalam rangka eksekusi agunan PLJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 Bank Indonesia dapat
menugaskan pihak lain untuk melakukan penilaian
dan/atau penjualan terhadap agunan berupa Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan.
62
(3) Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem
Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan mengenai
pelaksanaan eksekusi agunan PLJP berupa Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan kepada Bank, dengan
tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan
Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait.
(4) Dalam rangka pelaksanaan eksekusi agunan berupa Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan Bank harus
menginformasikan pengalihan tagihan kredit dan/atau
pembiayaan kepada masing-masing debitur atau nasabah.
(5) Dalam hal eksekusi agunan PLJP berupa Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan dilakukan melalui penjualan
di bawah tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilakukan oleh Bank maka Bank harus
menyampaikan rencana pelaksanaan eksekusi agunan
PLJP berupa hak tagih atas Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan tersebut serta melaporkan realisasi eksekusi
agunan dimaksud melalui surat kepada Bank Indonesia
c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H.
Thamrin No.2 Jakarta 10350.
(6) Rencana pelaksanaan eksekusi agunan PLJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) harus mendapat persetujuan
Bank Indonesia.
(7) Hasil eksekusi agunan PLJP disetorkan ke rekening yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 71
(1) Hasil eksekusi agunan diperhitungkan sebagai pelunasan
terhadap kewajiban PLJP yang meliputi nilai pokok PLJP
ditambah dengan akumulasi bunga PLJP, biaya eksekusi
agunan, dan biaya lainnya terkait dengan pemberian
PLJP.
(2) Dalam hal hasil eksekusi agunan lebih besar dari
kewajiban PLJP maka Bank Indonesia mengkredit
rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia
sebesar kelebihan hasil eksekusi agunan dari kewajiban
PLJP.
63
(3) Dalam hal hasil eksekusi agunan lebih kecil daripada
kewajiban PLJP maka Bank wajib menyetor tambahan
dana untuk membayar kekurangan pelunasan kewajiban
PLJP kepada Bank Indonesia termasuk dari agunan lain
apabila tersedia.
Pasal 72
Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan OJK maupun
pihak lainnya untuk pelaksanaan dan/atau pemantauan
eksekusi agunan.
Bagian Keenam
Biaya PLJP
Pasal 73
Biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian PLJP
menjadi beban Bank yang menerima PLJP yang meliputi:
a. biaya penggunaan kantor akuntan publik dalam kegiatan
verifikasi dan/atau penilaian Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan;
b. biaya notaris untuk pembuatan akta perjanjian pemberian
PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP, termasuk
perubahannya;
c. biaya dalam rangka eksekusi agunan;
d. biaya transaksi, biaya kustodian, dan biaya lainnya yang
timbul atas pengagunan Obligasi Korporasi dan/atau
Sukuk Korporasi;
e. biaya penyimpanan dokumen Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan dengan menggunakan pihak ketiga; dan
f. biaya lain terkait PLJP.
BAB X
PELAPORAN
Pasal 74
Selama periode PLJP Bank wajib menyampaikan laporan
sebagai berikut:
64
a.
laporan harian yang terdiri atas:
1.
laporan penggunaan PLJP dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
2.
laporan kondisi likuiditas Bank dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXIV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
b.
laporan terkait agunan yang disampaikan dalam hal
terdapat:
1. Obligasi Korporasi atau Sukuk Korporasi yang tidak
memenuhi persyaratan peringkat yang ditetapkan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) huruf a;
2. pelunasan kredit atau pembiayaan yang menjadi
agunan PLJP oleh debitur atau nasabah Bank;
dan/atau
3. Aset Kredit atau Aset Pembiayaan yang tidak
memenuhi persyaratan kolektibilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a,
c.
d.
e.
yang memuat daftar agunan yang memenuhi kondisi
sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan/atau
angka 3 dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XXV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
laporan perhitungan rasio KPMM;
laporan rencana tindak perbaikan (remedial action plan)
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; dan
laporan lainnya yang diminta oleh Bank Indonesia.
Pasal 75
(1) Laporan harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
huruf a disampaikan setiap hari kerja paling lambat pukul
12.00 WIB untuk posisi 1 (satu) hari kerja sebelumnya.
65
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf c
disampaikan dalam hal terdapat peristiwa yang
mengakibatkan penurunan rasio KPMM Bank.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf d
disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
pencairan PLJP yang pertama kali.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen
Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q.
Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK,
atau Kantor OJK yang terkait.
BAB XI
PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 76
(1) Pengawasan terhadap Bank yang menerima PLJP
dilakukan oleh OJK berkoordinasi dengan Bank
Indonesia.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk memantau dan memastikan penggunaan
dana PLJP sesuai dengan peruntukannya dan
pelaksanaan rencana pembayaran kembali PLJP sesuai
dengan perjanjian pemberian PLJP.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dimaksudkan untuk memantau dan memastikan
pemenuhan persyaratan PLJP selama periode PLJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 77
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap
Bank yang menerima PLJP.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah berkoordinasi dengan OJK.
66
BAB XII
LARANGAN DAN PEMBATASAN KEGIATAN BAGI BANK YANG
MENERIMA PLJP
Pasal 78
(1) Selama periode pemberian PLJP atau selama Bank belum
melunasi kewajiban PLJP, Bank dilarang:
a. melakukan penempatan dana;
b. menyalurkan kredit dan/atau pembiayaan baru
kepada pihak terkait Bank, kecuali untuk
pemenuhan komitmen yang telah diperjanjikan
sebelumnya;
c. merealisasikan penarikan dana oleh pihak terkait
Bank; dan
d. melakukan pembagian dividen.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
meniadakan larangan lain yang telah dikeluarkan oleh
OJK.
Pasal 79
Selama periode pemberian PLJP Bank hanya dapat mengikuti
operasi moneter Bank Indonesia yang bersifat ekspansi.
BAB XIII
PENATAUSAHAAN DOKUMEN PLJP
Pasal 80
(1) Bank Indonesia menatausahakan dokumen terkait PLJP
berupa akta perjanjian pemberian PLJP dan akta
pengikatan agunan PLJP, termasuk perubahannya serta
dokumen yang terkait dengan agunan.
(2) Dalam rangka penatausahaan dokumen yang terkait
dengan agunan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat
menugaskan pihak lain untuk melakukan penyimpanan
dokumen.
67
(3) Dalam hal dokumen disimpan oleh pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia, maka pihak lain tersebut
harus memelihara kelengkapan dan keamanan dokumen.
BAB XIV
SANKSI
Pasal 81
(1) Bank yang melanggar ketentuan mengenai kebenaran data
dan dokumen yang disampaikan kepada Bank Indonesia,
larangan kegiatan selama periode PLJP, dan/atau
kewajiban penyampaian laporan selama periode PLJP
dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis;
b. PLJP tidak dapat diperpanjang; dan/atau
c.
tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dalam
jangka waktu tertentu.
(2) Bank yang tidak dapat melakukan pelunasan PLJP pada
tanggal jatuh waktu PLJP dikenakan sanksi berupa:
a.
b.
teguran tertulis;
tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dalam
jangka waktu tertentu; dan
c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi
moneter, termasuk penghentian sementara dari
kepesertaan operasi moneter syariah bagi UUS.
(3) Bank yang tidak melakukan pelunasan PLJP setelah
eksekusi agunan dilakukan, dikenakan sanksi berupa:
a.
b.
teguran tertulis;
tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dalam
jangka waktu tertentu;
c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi
moneter, termasuk penghentian sementara dari
kepesertaan operasi moneter syariah bagi UUS;
d. penurunan status kepesertaan SKNBI, termasuk
penurunan status kepesertaan SKNBI bagi UUS;
68
e. penurunan status kepesertaan BI-RTGS, termasuk
penurunan status kepesertaan BI-RTGS bagi UUS;
dan/atau
f. penurunan status kepesertaan BI-SSSS, termasuk
penurunan status kepesertaan BI-SSSS bagi UUS.
Pasal 82
Bank Indonesia menginformasikan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 83
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia
ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
15/11/DPNP tanggal 8 April 2013 perihal Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 84
(1) Ketentuan mengenai persyaratan pencantuman Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dalam laporan daftar
Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan terkini yang
disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf k mulai
berlaku untuk permohonan PLJP yang diajukan setelah
tanggal 15 Juli 2017.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan bahwa agunan berupa
Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan harus telah
menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh
kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1 (satu)
tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf i mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2018.
69
Pasal 85
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
ERWIN RIJANTO
- 1
-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/6/PADG/2017
TENTANG
PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
I. UMUM
Untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang dapat
dialami oleh perbankan, Bank Indonesia menyediakan PLJP kepada Bank.
Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman Likuiditas
Jangka Pendek Bagi Bank Umum Konvensional pada tanggal 13 April 2017.
Sehubungan dengan hal di atas, perlu menetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Bagi Bank
Umum Konvensional yang mengatur mengenai mekanisme dan hal teknis
pelaksanaan penyediaan PLJP.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh dari pemenuhan persyaratan Bank tergolong sebagai
Bank solven:
2
Bank mengajukan permohonan PLJP pada tanggal 6 Juni
2017.
Dalam hal rasio KPMM bulan terkini yang memadai yang
tersedia sesuai penilaian OJK yaitu posisi April 2017 maka
rasio KPMM menggunakan posisi April 2017.
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Peristiwa setelah periode pelaporan (subsequent
events) yang dapat mempengaruhi rasio KPMM
Bank yaitu subsequent events yang didukung
dengan bukti objektif, contohnya:
a. hasil pemeriksaan kantor akuntan publik atau
otoritas yang menyesuaikan pengakuan biaya
atau pendapatan tertentu; dan
b.
terdapat putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap untuk membayar
sejumlah tertentu oleh Bank kepada pihak
lain.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โmampu untuk mengembalikan
PLJPโ adalah Bank memiliki sumber dana untuk
mengembalikan PLJP yang tercermin antara lain dari:
1. proyeksi arus kas Bank yang mencerminkan adanya
dana masuk yang mencukupi untuk digunakan sebagai
pelunasan PLJP;
2. dokumen pendukung lainnya yang mencerminkan
adanya sumber dana untuk melunasi PLJP.
Pasal 3
Cukup jelas.
3
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan โakad mudharabahโ adalah akad
kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik,
shahibul mal, atau Bank) yang menyediakan seluruh modal
dan pihak kedua (โamil, mudharib, atau nasabah) yang
bertindak selaku pengelola dana dengan membagi
keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung
sepenuhnya oleh Bank kecuali jika pihak kedua melakukan
kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
Yang dimaksud dengan โakad musyarakahโ adalah akad
kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi
dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi
sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan porsi dana masing-masing.
Yang dimaksud dengan โakad ijarah nonjasaโ adalah akad
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna
atau manfaat dari suatu barang berdasarkan transaksi sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu
sendiri atau dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
4
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โ1 (satu) tahun terakhirโ adalah 1
(satu) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan PLJP.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โ30 (tiga puluh) hari kalender
terakhirโ adalah 30 (tiga puluh) hari kalender sampai dengan
1 (satu) hari sebelum tanggal pengajuan permohonan PLJP.
Contoh:
Dalam hal Bank mengajukan PLJP pada tanggal 25 Juli
2017, perhitungan 30 (tiga puluh) hari kalender terakhir
Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi aktif
diperdagangkan yaitu sejak tanggal 25 Juni 2017 sampai
dengan 24 Juli 2017.
Yang dimaksud dengan โdiperdagangkanโ
adalah
diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau di luar bursa
(over the counter).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
5
Pasal 8
Dalam hal terdapat perbedaaan informasi mengenai hal yang menjadi
persyaratan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang disampaikan
oleh Bank dengan informasi yang dimiliki Bank Indonesia, maka yang
digunakan adalah informasi yang dimiliki Bank Indonesia.
Huruf a
Yang dimaksud dengan โkolektibilitas tergolong lancarโ
adalah kualitas tergolong lancar sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas
aset bank umum atau ketentuan yang mengatur mengenai
penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha
syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Nilai agunan yang digunakan yaitu nilai pasar berdasarkan
hasil penilai independen paling lama 2 (dua) tahun terakhir
sebelum tanggal permohonan PLJP.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum
atau batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi
bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Huruf e
Yang dimaksud dengan โrestrukturisasiโ adalah
restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum
atau ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas
aset bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir dihitung sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal permohonan PLJP.
Huruf f
Cukup jelas.
6
Huruf g
Batas maksimum pemberian kredit atau penyaluran dana
mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai batas
maksimum pemberian kredit.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan โkantor akuntan publikโ adalah
kantor akuntan publik yang telah tercantum dalam daftar
kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
7
Huruf d
Untuk saat ini, lembaga yang melakukan penilaian harga
efek yang diakui OJK yaitu Penilai Harga Efek Indonesia
(Indonesia Bond Pricing Agency).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyampaian tembusan laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset
Pembiayaan kepada OJK dilakukan sesuai dengan mekanisme
yang ditetapkan Bank Indonesia dan OJK.
Ayat (4)
Apabila tanggal batas waktu penerimaan laporan daftar Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, atau hari libur maka batas waktu penyampaian yaitu
hari kerja berikutnya.
Koreksi laporan dilakukan dengan menyampaikan laporan daftar
Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang telah dikoreksi
secara keseluruhan.
Ayat (5)
Contoh:
Bank tidak menyampaikan laporan berkala daftar Aset Kredit
dan/atau Aset Pembiayaan posisi Juni 2017 sampai melewati
batas waktu pelaporan tanggal 15 Juli 2017.
Dalam hal ini, Bank tidak dapat mengajukan permohonan PLJP
dengan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
sampai dengan tanggal 15 Januari 2018. Namun demikian, Bank
8
tetap dapat mengajukan PLJP dengan agunan berupa surat
berharga yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Ayat (6)
Apabila tanggal batas waktu penerimaan laporan daftar Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, atau hari libur maka batas waktu penyampaian yaitu
hari kerja berikutnya.
Bank yang tidak menyampaikan laporan berkala daftar Aset
Kredit dan/atau Aset Pembiayaan maka tidak dapat melakukan
pembaruan laporan untuk posisi laporan yang tidak disampaikan
dimaksud.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk keamanan penyampaian laporan, Bank memastikan
antara lain bahwa laporan dilakukan oleh petugas Bank yang
berwenang dan data yang disampaikan bebas dari virus.
Ayat (3)
Lampiran dalam bentuk softcopy dapat disampaikan melalui
media perekam data elektronik antara lain compact disk atau
flash disk.
Surat yang disampaikan Bank antara lain memuat penjelasan
mengenai alasan Bank tidak berhasil melakukan pengiriman
laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan melalui
sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Format laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III diunduh dari situs
web Bank Indonesia.
Ayat (6)
Cukup jelas.
9
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan โdokumen pendukungโ antara lain perjanjian
kredit dan/atau akad pembiayaan antara Bank dengan debitur atau
nasabah, bukti pengikatan agunan, bukti kepemilikan atas aset yang
menjadi agunan kredit dan/atau pembiayaan Bank, laporan keuangan
debitur atau nasabah Bank, dan dokumen pendukung lainnya.
Pasal 18
Ayat (1)
Dalam hal terdapat aset berupa SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk
Korporasi yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank yang
akan digunakan sebagai agunan PLJP maka Bank menambahkan
keterangan dalam surat permohonan PLJP mengenai penggunaan
aset tersebut untuk kepentingan PLJP dari Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โyang berwenangโ adalah direksi dan
dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
10
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Surat persetujuan disampaikan apabila diatur dalam anggaran
dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat
berharga di BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau the central
depository and book entry settlement system (C-BEST) di KSEI.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tanggal aktivasi pemberian PLJP akan disampaikan oleh Bank
Indonesia melalui surat yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari perjanjian pemberian PLJP.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK dilakukan dalam
rangka melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan
krisis sistem keuangan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam melaksanakan penilaian bersama mengenai
pemenuhan persyaratan agunan, Bank Indonesia dan
11
OJK dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank
antara lain terhadap sistem informasi terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Dokumen yang terkait dengan agunan PLJP yang
disampaikan Bank hanya untuk agunan PLJP sebagaimana
tercantum dalam surat persetujuan Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
12
Pasal 23
Huruf a
Pengagunan surat berharga milik Bank yang sedang
ditransaksikan dengan pihak lain dilakukan segera setelah
transaksi dengan pihak lain tersebut jatuh waktu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โpihak ketigaโ antara lain kantor akuntan
publik yang tercantum dalam daftar kantor akuntan publik yang
diakui oleh OJK.
Perjanjian atau kontrak penunjukan pihak ketiga yang
ditandatangani oleh Bank dan pihak ketiga memuat klausul
bahwa pekerjaan pihak ketiga dilakukan untuk kepentingan
Bank Indonesia dan hasil pekerjaan diserahkan kepada Bank
Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
13
Ayat (3)
Penyampaian tambahan agunan memperhatikan prioritas
agunan PLJP berupa surat berharga yang memenuhi syarat
untuk diagunkan terlebih dahulu sebelum Aset Kredit dan/atau
Aset Pembiayaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Dokumen pendukung lainnya dapat berupa perjanjian pinjam
meminjam jika dana berstatus dana pinjaman.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan
komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank sesuai
anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (3)
Dalam hal pengikatan agunan lain dilakukan tidak bersamaan
dengan pengikatan agunan PLJP maka Bank menyampaikan
surat pernyataan atau surat kuasa untuk melakukan pengikatan
agunan lain dari pemilik agunan lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
14
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara
lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau
penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap
agunan PLJP.
Pasal 30
Ayat (1)
Tanggal aktivasi pemberian PLJP menunjukkan tanggal
dimulainya periode PLJP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โsurat sanggup bayar (promissory
note)โ adalah surat yang memuat kesanggupan dari Bank
untuk membayar kepada Bank Indonesia atas pencairan
dana PLJP. Surat sanggup bayar tersebut tidak dapat
diperdagangkan di pasar uang.
Huruf b
Informasi dalam dokumen proyeksi arus kas termasuk
rencana penggunaan PLJP.
15
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "repurchase agreement rate" atau repo rate
adalah tingkat suku bunga lending facility sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
operasi moneter.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Penggantian agunan PLJP dimaksudkan agar nilai aset agunan
PLJP secara keseluruhan dapat mencukupi plafon PLJP dengan
memperhatikan ketentuan perhitungan nilai agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Contoh permohonan pencairan pada saat Bank Indonesia memproses
penggantian agunan PLJP:
16
Plafon awal PLJP sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah).
Pada periode PLJP terdapat sejumlah agunan berupa Aset Kredit yang
mengalami penurunan kolektibilitas sehingga tidak memenuhi
persyaratan sebagai agunan PLJP yang mengakibatkan nilai agunan
secara keseluruhan turun sehingga nilai agunan hanya mencukupi
untuk plafon PLJP sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima
puluh miliar rupiah).
Mengingat nilai agunan tidak lagi mencukupi plafon, Bank
mengajukan penggantian agunan kepada Bank Indonesia agar agunan
dapat kembali mencukupi plafon.
Posisi baki debet PLJP saat ini sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua
ratus lima puluh miliar rupiah).
Dengan baki debet tersebut maka masih terdapat sisa plafon sebesar
Rp450.000.000.000,00
โ
Rp250.000.000.000,00
=
Rp200.000.000.000,00.
Oleh karena itu, selama Bank Indonesia memproses permintaan
penggantian agunan, Bank tetap dapat mengajukan pencairan PLJP
paling banyak sampai dengan baki debet PLJP mencapai
Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah).
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โpembatasan pencairanโ adalah Bank
hanya dapat mencairkan PLJP paling banyak sebesar kelonggaran
tarik yang didukung dengan kecukupan agunan.
Contoh pembatasan pencairan:
Contoh 1
Plafon awal PLJP sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus
miliar rupiah).
Nilai agunan secara keseluruhan turun sehingga nilai agunan
hanya mencukupi untuk plafon PLJP sebesar
Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah).
17
Posisi baki debet PLJP saat ini sebesar Rp250.000.000.000,00
(dua ratus lima puluh miliar rupiah).
Dengan baki debet tersebut maka masih terdapat kelonggaran
tarik sebesar Rp450.000.000.000,00 โ Rp250.000.000.000,00 =
Rp200.000.000.000,00.
Berdasarkan kondisi
tersebut maka nilai agunan masih
mencukupi baki debet PLJP dan masih memiliki kelonggaran
tarik. Oleh karena itu, Bank Indonesia melakukan pembatasan
pencairan PLJP
paling banyak sampai dengan
Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah).
Contoh 2:
Plafon awal PLJP sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus
miliar rupiah).
Nilai agunan secara keseluruhan turun sehingga nilai agunan
hanya mencukupi untuk plafon PLJP sebesar
Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah).
Posisi baki debet PLJP saat ini sebesar Rp475.000.000.000,00.
Berdasarkan kondisi tersebut maka nilai agunan saat ini sudah
tidak lagi mencukupi baki debet PLJP sehingga Bank tidak lagi
memiliki kelonggaran tarik. Oleh karena itu, Bank Indonesia tidak
dapat lagi melakukan pencairan PLJP.
Ayat (2)
Penggantian agunan PLJP dimaksudkan agar nilai aset agunan
PLJP secara keseluruhan dapat mencukupi plafon PLJP dengan
memperhatikan ketentuan perhitungan nilai agunan.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
18
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โyang berwenangโ adalah direksi dan
dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat
berharga di BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau C-BEST di
KSEI.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Bank A menandatangani perjanjian PLJP pada tanggal 3 Juli 2017
dengan periode PLJP 14 (empat belas) hari kalender. Aktivasi PLJP
19
dilakukan pada tanggal 10 Juli 2017 dan jatuh waktu pada
tanggal 24 Juli 2017.
Bank A mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu
PLJP selama 14 (empat belas) hari dari tanggal 24 Juli 2017
sampai dengan jatuh waktu tanggal 7 Agustus 2017. Akta
perubahan perjanjian pemberian PLJP ditandatangani pada
tanggal 24 Juli 2017.
Sehubungan terdapat agunan PLJP periode sebelumnya yang
tidak lagi memenuhi persyaratan, maka Bank mengajukan
tambahan agunan surat berharga berupa SBI, SUN, dan Obligasi
Korporasi dengan rincian sebagai berikut:
No Jenis Agunan
1 SBI,
SDBI
2 SUN
3 Obligasi
Korporasi
atau Sukuk
Korporasi
Sisa Jangka
Waktu
(hari
kalender)
SBIS, 120 hari
100 hari
150 hari
Persyaratan Sisa
Jangka Waktu
Paling Singkat
(hari kalender)
Status
110-22 = 88 hari Diterima
110-22 = 88 hari Diterima
180-22 = 158 hari Tidak
diterima
Keterangan:
Jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian
pemberian PLJP sampai dengan jatuh waktu PLJP berjalan = 22 hari
(dari 3 Juli 2017 sampai dengan 24 Juli 2017).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
20
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pelunasan bunga dilakukan mulai awal pembukaan Sistem
BI-RTGS sampai dengan awal periode pre-cut off Sistem BI-
RTGS.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
21
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan
komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank sesuai
anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (3)
Dalam hal pengikatan agunan lain dilakukan tidak bersamaan
dengan pengikatan agunan PLJP maka Bank menyampaikan
surat pernyataan atau surat kuasa untuk melakukan pengikatan
agunan lain dari pemilik agunan lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan
antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi
dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK
terhadap agunan PLJP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
22
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โyang berwenangโ adalah direksi dan
dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh:
Bank A menandatangani perjanjian PLJP pada tanggal 3 Juli
2017 dengan periode PLJP 14 (empat belas) hari kalender.
Aktivasi PLJP dilakukan pada tanggal 10 Juli 2017 dan jatuh
waktu pada tanggal 24 Juli 2017.
Kemudian Bank A mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJP selama 14 (empat belas) hari dari tanggal
24 Juli 2017 sampai dengan jatuh waktu tanggal 7 Agustus
2017. Akta perubahan perjanjian pemberian PLJP
ditandatangani pada tanggal 24 Juli 2017.
Sehubungan terdapat agunan PLJP periode sebelumnya
yang tidak lagi memenuhi persyaratan, maka Bank
mengajukan tambahan agunan surat berharga berupa SBI,
SUN, dan Obligasi Korporasi dengan rincian sebagai berikut:
23
Jenis
No
Agunan
1 SBI, SBIS,
SDBI
2 SUN
3 Obligasi
Korporasi
atau Sukuk
Korporasi
Sisa Jangka
Waktu (hari
kalender)
120 hari
100 hari
150 hari
Persyaratan Sisa
Jangka Waktu
Paling Singkat
(hari kalender)
Status
110-22 = 88 hari Diterima
110-22 = 88 hari Diterima
180-22 = 158
hari
Tidak
diterima
Keterangan:
Jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian
PLJP sampai dengan jatuh waktu PLJP berjalan = 22 hari (dari 3 Juli
2017 sampai dengan 24 Juli 2017).
Pasal 49
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat
berharga pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau C-BEST di
KSEI.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
24
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan
komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank sesuai
anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara
lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau
penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap
agunan PLJP.
25
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan โyang berwenangโ adalah direksi dan
dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar
atau anggaran rumah tangga Bank.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
26
Ayat (2)
Contoh 1
Saldo giro Bank di akhir hari: Rp1.200.000.000,00 (satu miliar
dua ratus juta rupiah).
Kewajiban GWM: Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kewajiban GWM + 10% dari kewajiban GWM:
Rp1.100.000.000,00.
Posisi baki debet PLJP: Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Kelebihan saldo di atas kewajiban GWM + 10% dari kewajiban
GWM: Rp1.200.000.000,00
โ Rp1.100.000.000,00 =
Rp100.000.000,00.
Mengingat jumlah kelebihan saldo giro nilainya lebih rendah dari
posisi baki debet PLJP maka Bank Indonesia mendebit rekening
giro Bank paling tinggi sebesar posisi kelebihan saldo rekening
giro Bank yaitu Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Dengan pendebitan rekening giro tersebut maka posisi baki debet
PLJP terkini: Rp500.000.000,00 โ Rp100.000.000,00 =
Rp400.000.000,00.
Contoh 2
Saldo giro Bank di akhir hari: Rp1.800.000.000,00 (satu miliar
delapan ratus juta rupiah).
Kewajiban GWM: Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kewajiban GWM + 10% dari kewajiban GWM:
Rp1.100.000.000,00.
Posisi baki debet PLJP: Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Kelebihan saldo di atas kewajiban GWM + 10% dari kewajiban
GWM: Rp1.800.000.000,00
โ Rp1.100.000.000,00 =
Rp700.000.000,00.
Mengingat posisi baki debet PLJP nilainya lebih rendah dari
jumlah kelebihan saldo giro, maka Bank Indonesia mendebit
rekening giro Bank paling tinggi sebesar baki debet PLJP yaitu
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dengan pendebitan rekening giro Bank tersebut maka posisi baki
debet PLJP terkini: Rp500.000.000,00 โ Rp500.000.000,00 =
Rp0,00.
27
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Termasuk dalam biaya lain yaitu perkiraan atas biaya yang belum
timbul atau belum ditagihkan oleh pihak lain kepada Bank
Indonesia.
Contoh: biaya terkait dengan penatausahaan Obligasi Korporasi
dan Sukuk Korporasi di KSEI sebagai agunan PLJP.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pendebitan rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia
dilakukan dengan mendahulukan pelunasan bunga PLJP,
kemudian pembayaran pokok PLJP, dan selanjutnya biaya yang
harus dibayar Bank apabila ada.
28
Biaya yang harus dibayar Bank yaitu biaya yang timbul
sehubungan dengan proses PLJP yang belum dibayar atau
dilunasi oleh Bank.
Pelunasan kewajiban PLJP merupakan transaksi high priority
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika
melalui Sistem BI-RTGS, dan penyelesaiannya dilakukan
mendahului penyelesaian transaksi lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Pelunasan kewajiban PLJP merupakan transaksi high priority
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika
melalui Sistem BI-RTGS, dan penyelesaiannya dilakukan
mendahului penyelesaian transaksi lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โkurs transaksi Bank Indonesiaโ adalah
kurs transaksi yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia.
Kurs yang digunakan yaitu kurs yang tersedia pada saat
transaksi.
29
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pengumuman kepada pialang dilakukan melalui sarana
dealing system atau sarana lainnya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
30
Huruf l
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โpihak lainโ antara lain konsultan
keuangan dan kantor jasa penilai publik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Persetujuan Bank Indonesia disertai dengan informasi rekening
yang ditetapkan untuk menerima hasil eksekusi agunan PLJP di
Bank Indonesia.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank Indonesia menginformasikan kelebihan hasil eksekusi
agunan yang telah dikreditkan ke rekening giro Bank dalam
rupiah di Bank Indonesia kepada Bank.
Ayat (3)
Bank Indonesia menginformasikan kekurangan pelunasan
kewajiban PLJP kepada Bank.
31
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Pengawasan dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan
yang dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โkewajiban PLJPโ adalah pokok atau baki
debet (outstanding) PLJP, bunga PLJP, dan biaya lainnya terkait
PLJP.
Larangan bagi Bank berlaku juga bagi UUS dari Bank penerima
PLJP.
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpenempatan danaโ antara lain
penempatan dana pada pasar uang antar bank (PUAB),
pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah
(PUAS), dan pembelian surat berharga.
32
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 79
Operasi moneter Bank Indonesia yang bersifat ekspansi antara lain
transaksi repurchase agreement (repo) dalam rangka operasi pasar
terbuka dan transaksi lending facility dalam rangka standing facilities.
Pembatasan keikutsertaan bagi Bank hanya dalam operasi moneter
Bank Indonesia yang bersifat ekspansi berlaku juga bagi UUS dari
Bank dalam operasi moneter syariah.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/6/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 31 Mei 2017 </set_date>
<effective_date> 31 Mei 2017 </effective_date>
<replaced_reg> '15/11/DPNP|SE-BI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '19/3/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
|
2
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/25/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR
20/15/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA
SEKETIKA MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS
SETTLEMENT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk
segera memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar,
aman, efisien, dan andal diperlukan percepatan
implementasi ketentuan mengenai kewajiban penyediaan
dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi setelmen
dana dan ketentuan mengenai fasilitas likuiditas intrahari;
b. bahwa untuk mendukung percepatan implementasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu penyesuaian
waktu pemberlakuan ketentuan mengenai kewajiban
penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman
instruksi setelmen dana dan ketentuan mengenai fasilitas
likuiditas intrahari;
2
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor
20/15/PADG/2018 tentang Penyelenggaraan Setelmen
Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time
Gross Settlement;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga,
dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 20/11/PBI/2018 tentang Perubahan Ketiga
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015
tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 186, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6256);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/15/PADG/2018 TENTANG
PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI
SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/15/PADG/2018 tentang Penyelenggaraan
Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
3
Pasal 153
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP
tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan
Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement;
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
18/8/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Perubahan
atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
17/30/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal
Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui
Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement;
3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/37/DPSP
tanggal 16 Desember 2016 perihal Perubahan Kedua
atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
17/30/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal
Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika melalui
Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali:
a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman
instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud
dalam butir V.B.2.b;
b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3;
c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem
antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean
sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan
d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas
(liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir
V.C.5.d,
dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31
Oktober 2018.
2. Ketentuan Pasal 154 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
4
Pasal 154
Ketentuan mengenai:
a. Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
101 ayat (4), Pasal 102 ayat (3) huruf c, Pasal 104,
dan Pasal 105;
b. grup prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
107 dan Pasal 108;
c. mekanisme antrean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 110 dan Pasal 111; dan
d.
fasilitas pengelolaan likuiditas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 121,
mulai berlaku pada tanggal 1 November 2018.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/25/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/15/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN SETELMEN
DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS
SETTLEMENT
I. UMUM
Bahwa Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan Sistem BI-
RTGS dan BI-SSSS untuk mendukung perubahan kebijakan larangan queue
bersamaan dengan kegiatan penggantian infrastruktur yang digunakan
untuk Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan Sistem BI-ETP.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk segera mewujudkan
penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan
andal maka diperlukan percepatan pemberlakuan ketentuan mengenai
kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi
Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS, termasuk di dalamnya ketentuan
mengenai mekanisme antrean dan penggunaan FLI.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 153
Cukup jelas.
2
Angka 2
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/25/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/15/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT </reg_title>
<set_date> 31 Oktober 2018 </set_date>
<effective_date> 31 Oktober 2018 </effective_date>
<changed_reg> '20/15/PADG/2018' </changed_reg>
<replaced_reg> '18/8/DPSP|SE-BI/2016 | kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018', '18/37/DPSP|SE-BI/2016 | kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018', '17/30/DPSP|SE-BI/2015 | kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018' </replaced_reg>
<related_reg> '17/18/PBI/2015', '20/11/PBI/2018' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/17/PADG/2017
TENTANG
KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA, PESERTA, DAN LEMBAGA
PERANTARA DALAM OPERASI MONETER SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk
mencapai tujuan Bank Indonesia, Bank Indonesia
melakukan pengendalian moneter yang salah satunya
melalui pelaksanaan operasi moneter berdasarkan prinsip
syariah;
b. bahwa dalam melaksanakan operasi moneter berdasarkan
prinsip syariah, Bank Indonesia perlu mengatur kriteria
dan persyaratan surat berharga, peserta, dan lembaga
perantara dalam pelaksanaan
berdasarkan prinsip syariah;
operasi moneter
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Kriteria Dan
Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga
Perantara Dalam Operasi Moneter Syariah;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tentang
Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 178, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5567);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA, PESERTA,
DAN LEMBAGA PERANTARA DALAM OPERASI MONETER
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
3. Bank adalah BUS dan UUS.
4. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS
adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui
kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing
facilities berdasarkan prinsip syariah.
5. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut
OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang
berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka OMS.
6. Standing Facilities Syariah adalah fasilitas yang disediakan
oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam rangka OMS.
3
7. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia, SBSN, dan surat berharga lain yang
digunakan dalam transaksi OMS.
8.
Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Surat Berharga berdasarkan
prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang
rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
9. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat
berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap
aset SBSN dalam mata uang rupiah.
10. SBSN Ritel atau dapat disebut Sukuk Negara Ritel adalah
SBSN yang dijual kepada individu atau orang
perseorangan warga negara Indonesia melalui agen
penjual.
11. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran
imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
12. SBSN Jangka Pendek atau Surat Perbendaharaan Negara
Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai
dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan
berupa kupon dan/atau secara diskonto.
13. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya
disebut Transaksi Repo SBIS adalah transaksi pemberian
pinjaman oleh Bank Indonesia kepada peserta Standing
Facilities Syariah dengan agunan SBIS.
14. Transaksi Repurchase Agreement SBSN yang selanjutnya
disebut Transaksi Repo SBSN adalah transaksi penjualan
SBSN oleh peserta OMS kepada Bank Indonesia dengan
janji pembelian kembali oleh peserta OMS sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati.
15. Transaksi Reverse Repo adalah transaksi pembelian Surat
Berharga oleh peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia,
dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta OPT
Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati.
4
16. Transaksi Outright adalah transaksi pembelian dan
penjualan Surat Berharga oleh peserta OMS kepada Bank
Indonesia secara putus tanpa kewajiban penjualan dan
pembelian kembali oleh peserta OMS.
17. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik
yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara
individual sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen
dana seketika.
18. Bank Indonesia โ Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi
dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan,
serta penatausahaan surat berharga, yang dilakukan
secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
19. Sistem Bank Indonesia โ Electronic Trading Platform yang
selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank
Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan
secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
20. Rekening Surat Berharga adalah rekening Bank pada BI-
SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang
ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka
pencatatan kepemilikan dan setelmen atas transaksi surat
berharga, transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau
transaksi pasar keuangan.
21. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank
Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing.
5
22. Financing to Deposit Ratio yang selanjutnya disingkat FDR
adalah rasio pembiayaan yang diberikan kepada pihak
ketiga dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk
pembiayaan kepada bank lain, terhadap dana pihak ketiga
yang mencakup giro, tabungan, deposito dalam rupiah
dan valuta asing, tidak termasuk antar bank.
23. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk
hari kerja terbatas Bank Indonesia.
BAB II
SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER SYARIAH
Pasal 2
(1) Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam OMS
yaitu sebagai berikut:
a. diterbitkan dengan memenuhi prinsip syariah;
b. diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara
Republik Indonesia;
c.
diterbitkan dalam mata uang rupiah;
d. tercatat di BI-SSSS; dan
e. tidak sedang diagunkan.
(2) Jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. SBIS;
b. SBSN, yang meliputi:
1) SBSN Jangka Pendek; dan
2) SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel.
Pasal 3
Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
harus memenuhi persyaratan sisa jangka waktu sebagai
berikut:
a. untuk SBIS, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2
(dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo SBIS
untuk Standing Facilities Syariah; dan
b. untuk SBSN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3
(tiga) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo SBSN
6
untuk OPT Syariah dan Transaksi Repo SBSN untuk
Standing Facilities Syariah.
Pasal 4
(1) SBSN yang diperoleh peserta OMS dari Bank Indonesia
dalam Transaksi Reverse Repo SBSN dapat digunakan
kembali dalam transaksi di pasar sekunder.
(2) Dalam hal peserta OMS melakukan transaksi di pasar
sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), transaksi
dimaksud dilakukan dengan tetap memperhatikan
ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.
BAB III
HARGA DAN HAIRCUT SURAT BERHARGA DALAM OPERASI
MONETER SYARIAH
Pasal 5
Bank Indonesia menetapkan harga dan haircut Surat Berharga
yang digunakan dalam OMS.
Pasal 6
Penetapan harga Surat Berharga oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diatur sebagai berikut:
a. harga SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen)
sejak tanggal penerbitan sampai dengan tanggal jatuh
waktu; dan
b. harga SBSN ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain harga pasar masing-
masing jenis dan seri SBSN.
Pasal 7
(1) Haircut merupakan faktor pengurang terhadap harga
Surat Berharga.
(2) Haircut terhadap Surat Berharga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk SBIS sebesar 0% (nol persen); dan
7
b. untuk SBSN sebesar 6,5% (enam koma lima persen).
Pasal 8
Bank Indonesia dapat melakukan perubahan haircut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
Pasal 9
Harga dan haircut Surat Berharga yang digunakan dalam OMS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan perubahan haircut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, diumumkan oleh Bank
Indonesia di Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lain.
Pasal 10
(1) Dalam hal terjadi transaksi penjualan Surat Berharga
secara outright oleh peserta OMS karena kegagalan
setelmen second leg Transaksi Repo SBSN dalam OPT
Syariah atau karena kegagalan setelmen second leg
Transaksi Repo SBSN dalam Standing Facilities Syariah,
harga Surat Berharga yang digunakan dalam perhitungan
nilai setelmen outright yaitu harga Surat Berharga pada
tanggal transaksi first leg.
(2) Dalam hal terjadi transaksi pembelian Surat Berharga
secara outright oleh peserta OMS karena kegagalan
setelmen second leg Transaksi Reverse Repo SBSN, harga
Surat Berharga yang digunakan dalam perhitungan nilai
setelmen outright yaitu harga Surat Berharga pada tanggal
transaksi first leg.
8
BAB IV
PERHITUNGAN NILAI SETELMEN TRANSAKSI OPERASI
MONETER SYARIAH
Bagian Kesatu
Perhitungan Nilai Setelmen Transaksi Repo SBIS, Transaksi
Repo SBSN, dan Transaksi Reverse Repo SBSN
Pasal 11
(1) Nilai setelmen Surat Berharga adalah sebesar nilai
nominal Surat Berharga yang di-repo-kan atau di-reverse
repo-kan.
(2) Nilai setelmen dana untuk setelmen first leg dihitung
sebagai berikut:
a. SBIS
nilai setelmen first leg yaitu sebesar nilai nominal
SBIS yang diagunkan;
b. SBSN Jangka Pendek
Nilai
setelmen
๐๐๐๐ ๐ก ๐๐๐
=
Nominal Surat Berharga
yang di-๐๐๐๐-kan atau
๐๐ โ ๐๐๐ฃ๐๐๐ ๐ ๐๐๐๐ โ ๐๐๐
c. SBSN Jangka Panjang
Nilai
setelmen
first leg
=[
x (
Harga
Surat Berharga
โHaircut)
Nominal Surat Berharga
yang di-repo-kan atau
di-reverse repo-kan
Keterangan:
harga
Surat
Berharga
x(
Harga
Surat Berharga
- Haircut)] +Accrued
imbalan
: harga SBSN sebagaimana
diumumkan pada Sistem BI-ETP, BI-
SSSS, dan/atau sarana lain pada
tanggal Transaksi Repo SBSN atau
Transaksi Reverse Repo SBSN
haircut
: haircut sebagaimana diumumkan
dalam Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan/atau sarana lain pada tanggal
9
Transaksi Repo SBSN atau Transaksi
Reverse Repo SBSN
accrued
imbalan
: - hak atas imbalan Surat Berharga
yang dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal pembayaran
imbalan terakhir sampai dengan
tanggal setelmen first leg
- perhitungan hak atas imbalan
SBSN didasarkan pada jumlah
hari yang sebenarnya (actual per
actual); dan
d. SBSN Jangka Panjang, dalam hal terdapat
pembayaran imbalan Surat Berharga pada 1 (satu)
Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg
Nilai
setelmen
๐๐๐๐ ๐ก ๐๐๐
= [
Nominal Surat Berharga
yang di-repo-kan atau
di-reverse repo-kan
Keterangan:
harga
Surat
Berharga
x(
Harga
Surat Berharga
โ Haircut)] โ Accrued
imbalan
: harga
SBSN
sebagaimana
diumumkan pada Sistem BI-ETP, BI-
SSSS, dan/atau sarana lain pada
tanggal Transaksi Repo SBSN atau
Transaksi Reverse Repo SBSN
haircut
: haircut sebagaimana diumumkan
pada Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan/atau sarana lain pada tanggal
Transaksi
Repo SBSN atau
Transaksi Reverse Repo SBSN
accrued
imbalan
: hak atas imbalan Surat Berharga
yang dihitung sejak tanggal setelmen
first leg sampai dengan tanggal
pembayaran imbalan Surat
Berharga pada 1 (satu) Hari Kerja
sesudah tanggal setelmen first leg.
(3) Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung
sebagai berikut:
10
a. SBIS
Nilai setelmen
second leg
Biaya Transaksi
Repo SBIS
Nilai
=
setelmen
first leg
Nilai
=
setelmen
๐๐๐๐ ๐ก ๐๐๐
x
+ Biaya Transaksi Repo SBIS
Tingkat Biaya
Repo SBIS
ร
Jangka waktu
360
Keterangan:
biaya Transaksi
Repo SBIS
: kewajiban
membayar
(gharamah) yang ditetapkan
Bank Indonesia
pada
Transaksi Repo SBIS karena
peserta OMS tidak menepati
jangka waktu kesepakatan
pembelian SBIS; dan
b. SBSN
Nilai setelmen
second leg
Nilai marjin
Transaksi Repo/
Reverse Repo
=
Nilai
=
setelmen
first leg
Nilai
setelmen
first leg
Keterangan:
nilai marjin
Transaksi Repo/
Transaksi
Reverse Repo
jangka waktu
ร
+
Nilai marjin Transaksi
Repo/Reverse Repo
Marjin Transaksi Repo/
Transaksi
Reverse Repo
ร
Jangka Waktu
360
: penerimaan Bank Indonesia
atau Peserta OMS sesuai jangka
waktu Transaksi Repo SBSN
atau Transaksi Reverse Repo
SBSN
:
jangka waktu Transaksi Repo
SBSN atau Transaksi Reverse
Repo SBSN.
11
Bagian Kedua
Perhitungan Nilai Setelmen Transaksi Outright
Pasal 12
(1) Nilai setelmen Surat Berharga yaitu sebesar nilai nominal
Surat Berharga yang ditransaksikan secara outright.
(2) Nilai setelmen dana untuk transaksi pembelian atau
penjualan Surat Berharga secara outright sebagai berikut:
a. SBSN Jangka Pendek
Nilai
setelmen
๐๐ข๐ก๐๐๐โ๐ก
Nilai setelmen
๐๐ข๐ก๐๐๐โ๐ก
Keterangan:
harga Surat
Berharga
= [
=
b. SBSN Jangka Panjang
Nominal
Surat
Berharga
ร
Harga
Surat
Berharga
] + ๐ด๐๐๐๐ข๐๐
imbalan
Nominal
Surat
Berharga
ร
Harga
Surat
Berharga
: harga Surat Berharga sebagaimana
ditetapkan Bank Indonesia dalam
hal Transaksi Outright dilakukan
dengan mekanisme lelang, dan/atau
harga Surat Berharga berdasarkan
kesepakatan para pihak dalam hal
Transaksi Outright dilakukan dengan
mekanisme nonlelang
accrued
imbalan
: hak atas imbalan Surat Berharga
yang dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal pembayaran
imbalan terakhir sampai dengan
tanggal setelmen Transaksi Outright;
dan
c. SBSN Jangka Panjang, dalam hal terdapat
pembayaran imbalan Surat Berharga pada 1 (satu)
Hari Kerja sesudah tanggal setelmen Transaksi
Outright
12
Nilai setelmen
๐๐ข๐ก๐๐๐โ๐ก
Keterangan:
harga Surat
Berharga
= [
Nominal
Surat
Berharga
ร
Harga
Surat
Berharga
] โ ๐ด๐๐๐๐ข๐๐
imbalan
: harga Surat Berharga sebagaimana
ditetapkan Bank Indonesia dalam
hal Transaksi Outright dilakukan
dengan mekanisme lelang,
dan/atau harga Surat Berharga
berdasarkan kesepakatan para
pihak dalam hal Transaksi Outright
dilakukan dengan mekanisme
nonlelang
accrued
imbalan
: hak atas imbalan Surat Berharga
yang dihitung sejak tanggal
setelmen Transaksi Outright sampai
dengan tanggal pembayaran
imbalan Surat Berharga pada 1
(satu) Hari Kerja sesudah tanggal
Transaksi Outright.
Bagian Ketiga
Perhitungan Accrued Imbalan
Pasal 13
Accrued imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan
Pasal 12 dihitung dengan rumus perhitungan accrued imbalan
per unit sebagai berikut:
AI = Nร
Keterangan:
AI
N
C
n
ร
a
E
: accrued imbalan per unit
: nominal Surat Berharga per unit yaitu Rp 1.000.000
13
(satu juta Rupiah)
C
n
a
E
: nilai imbalan
: frekuensi pembayaran imbalan dalam setahun
: jumlah hari sebenarnya (actual days)
: jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung
sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode
imbalan sampai dengan tanggal pembayaran imbalan
berikutnya.
Bagian Keempat
Pelunasan SBIS Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption)
Pasal 14
Dalam hal terjadi kegagalan setelmen Transaksi Repo SBIS
dalam rangka Standing Facilities Syariah jatuh waktu, nilai
setelmen early redemption sebesar nilai nominal Surat
Berharga yang di early redeem.
BAB V
KRITERIA DAN PERSYARATAN PESERTA DAN LEMBAGA
PERANTARA DALAM OPERASI MONETER SYARIAH
Bagian Kesatu
Peserta Operasi Moneter Syariah
Pasal 15
(1) Bank Indonesia menetapkan kriteria peserta OMS dengan
mempertimbangkan aspek kapasitas, kapabilitas, dan
reputasi.
(2) Peserta OMS terdiri atas peserta OPT Syariah dan peserta
Standing Facilities Syariah.
(3) Peserta OPT Syariah dan peserta Standing Facilities
Syariah adalah Bank.
(4) Peserta OMS melakukan transaksi OMS untuk
kepentingan diri sendiri.
14
Pasal 16
(1) Peserta OMS dalam rupiah adalah Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. berstatus aktif sebagai peserta di Sistem BI-ETP, BI-
SSSS, dan Sistem BI-RTGS;
b. memiliki Rekening Giro rupiah di Bank Indonesia;
c. memiliki Rekening Surat Berharga di BI-SSSS; dan
d. tidak sedang dikenakan sanksi penghentian
sementara untuk mengikuti kegiatan OMS.
(2) Peserta OMS dalam valuta asing adalah Bank yang
melakukan kegiatan dalam valuta asing, yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki Rekening Giro valuta asing di Bank
Indonesia; dan
b. tidak sedang dikenakan sanksi penghentian
sementara untuk mengikuti kegiatan OMS.
Pasal 17
Selain persyaratan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16, peserta OMS yang mengikuti kegiatan OPT Syariah
dalam rupiah yang bersifat absorpsi harus memiliki FDR
paling sedikit 80% (delapan puluh persen) berdasarkan
perhitungan otoritas yang berwenang yang diterima oleh Bank
Indonesia.
Pasal 18
(1) Dalam hal peserta OMS berasal dari perubahan kegiatan
usaha bank konvensional dan data FDR belum tersedia,
perhitungan FDR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
menggunakan data loan to deposit ratio dari bank umum
konvensional sebelum diubah kegiatan usahanya menjadi
BUS.
(2) Data loan to deposit ratio sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berdasarkan perhitungan otoritas yang berwenang
yang diterima oleh Bank Indonesia.
15
Pasal 19
Peserta OMS wajib:
a. menyediakan:
1) dana rupiah di Rekening Giro di Bank Indonesia;
dan/atau
2) Surat Berharga di Rekening Surat Berharga di BI-
SSSS,
yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen
transaksi OMS; dan/atau
b. mentransfer dana valuta asing ke rekening Bank Indonesia
di bank koresponden yang mencukupi untuk memenuhi
kewajiban setelmen transaksi OMS.
Bagian Kedua
Lembaga Perantara
Pasal 20
(1) Lembaga perantara melakukan transaksi OPT Syariah
untuk kepentingan peserta OMS.
(2) Lembaga perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. pialang pasar uang rupiah dan valuta asing; dan
b. perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama.
(3) Perusahaan efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya dapat menjadi lembaga perantara pada:
a. Transaksi Repo SBSN;
b. Transaksi Reverse Repo SBSN; dan
c.
dalam OPT Syariah.
Pasal 21
Persyaratan lembaga perantara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (2) yaitu sebagai berikut:
a. berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-ETP; dan
transaksi pembelian atau penjualan SBSN secara
outright di pasar sekunder,
16
b. tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh
otoritas pengawas yang berwenang.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai kriteria dan persyaratan Surat
Berharga, peserta, dan lembaga perantara dalam OMS dalam
semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia
Nomor 16/12/PBI/2014 tentang Operasi Moneter Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 178,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5567),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 23
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/17/PADG/2017
TENTANG
KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA, PESERTA, DAN
LEMBAGA PERANTARA DALAM OPERASI MONETER SYARIAH
I. UMUM
Dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai tujuan
Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter yang
salah satunya melalui pelaksanaan operasi moneter berdasarkan prinsip
syariah. Dalam melaksanakan operasi moneter berdasarkan prinsip syariah
tersebut, Bank Indonesia menetapkan kriteria dan persyaratan surat
berharga yang dapat digunakan, peserta, dan lembaga perantara dalam
transaksi operasi moneter berdasarkan prinsip syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Pemenuhan prinsip syariah dinyatakan dalam bentuk
pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas yang
berwenang mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah.
2
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
3
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Kegiatan OPT Syariah dalam rupiah yang bersifat absorpsi meliputi
antara lain transaksi penerbitan SBIS dan Transaksi Reverse Repo
SBSN.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โloan to deposit ratioโ adalah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan otoritas yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
4
Pasal 22
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/12/PBI/2014 tentang Operasi Moneter Syariah, antara lain:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/40/DPM tanggal 16
November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement
Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam
rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/41/DPM tanggal 16
November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Reverse Repurchase
Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia
dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah;
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/42/DPM tanggal 16
November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement
Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam
rangka Standing Facilities Syariah;
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/43/DPM tanggal 16
November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan
Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah;
e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/44/DPM tanggal 16
November 2015 perihal Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank
Indonesia Syariah Melalui Lelang dalam rangka Operasi Pasar
Terbuka Syariah;
f. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/45/DPM tanggal 16
November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement
Sertifikat Bank Indonesia Syariah dengan Bank Indonesia dalam
rangka Standing Facilities Syariah;
g. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/46/DPM tanggal 16
November 2015 perihal Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat
Berharga Syariah Negara Secara Outright Dari Bank Indonesia di
Pasar Sekunder dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah; dan
h. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/31/DPM tanggal 29
November 2016 perihal Tata Cara Penempatan Berjangka (Term
Deposit) Syariah dalam Valuta Asing.
Pasal 23
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/17/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA, PESERTA, DAN LEMBAGA PERANTARA DALAM OPERASI MONETER SYARIAH </reg_title>
<set_date> 28 Desember 2017 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2017 </effective_date>
<replaced_reg> '16/12/PBI/2014' </replaced_reg>
<related_reg> '16/12/PBI/2014' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/20/PADG/2019
TENTANG
SYSTEMATIC INTERNALISERS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pasar keuangan yang
berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien
Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan terkait
penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di pasar
uang dan pasar valuta asing;
b. bahwa salah satu penyelenggara sarana pelaksanaan
transaksi yaitu systematic internalisers;
c. bahwa agar kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf
a dapat terlaksana dengan baik dan terstruktur maka
diperlukan ketentuan pelaksanaan bagi systematic
internalisers dan pelaku pasar di pasar keuangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Systematic
Internalisers;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/5/PBI/2019 tentang
Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang
dan Pasar Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6336);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
SYSTEMATIC INTERNALISERS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing yang selanjutnya disebut
Penyelenggara Transaksi adalah badan usaha yang
menyediakan teknologi dan menyelenggarakan sarana
untuk melaksanakan transaksi di pasar uang dan pasar
valuta asing yang sudah memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
2. Pasar Uang adalah pasar uang sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pasar uang.
3. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari sistem keuangan
yang berkaitan dengan kegiatan penjualan dan/atau
pembelian valuta asing terhadap rupiah.
4. Pelaku Pasar adalah pelaku Pasar Uang dan pelaku Pasar
Valuta Asing.
5. Pelaku Pasar Uang adalah pelaku Pasar Uang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai pasar uang.
6. Pelaku Pasar Valuta Asing adalah pihak yang melakukan
kegiatan transaksi di Pasar Valuta Asing.
7. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik berbasis teknologi komputasi dan
telekomunikasi.
8. Systematic Internalisers adalah bank yang menyediakan
sarana tertentu yang digunakan dalam melakukan transaksi
di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing atas akun milik
sendiri dengan Pengguna Jasa.
9. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa yang
ditawarkan oleh Systematic Internalisers.
10. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah, termasuk unit usaha
syariah.
11. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak
termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia.
BAB II
PERIZINAN
Pasal 2
(1) Systematic Internalisers wajib memperoleh izin operasional
dari Bank Indonesia.
(2) Systematic Internalisers yang mengajukan permohonan
izin operasional kepada Bank Indonesia harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki infrastruktur yang andal dan aman;
b. memiliki sumber daya manusia yang kompeten;
c. memiliki kondisi finansial yang sehat sesuai dengan
ketentuan otoritas yang berwenang;
d. memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama
yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan;
2. potensi ekonomi; dan
3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik;
e. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko yang
efektif sesuai dengan ketentuan otoritas yang
berwenang;
f.
memiliki tata kelola yang baik sesuai dengan
ketentuan otoritas yang berwenang;
g. memperoleh keterangan pendaftaran atau
persetujuan atas penambahan instrumen dan/atau
transaksi dari otoritas yang berwenang; dan
h. memenuhi persyaratan administratif lainnya.
Pasal 3
(1) Systematic Internalisers sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 menyampaikan surat permohonan untuk
mendapatkan izin operasional kepada Bank Indonesia.
(2) Surat permohonan untuk mendapatkan izin operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling
sedikit oleh 1 (satu) anggota direksi.
(3) Contoh surat permohonan untuk mendapatkan izin
operasional sebagai Systematic Internalisers tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 4
Surat permohonan untuk mendapatkan izin operasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilengkapi
dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a. dokumen yang menunjukkan keandalan dan keamanan
infrastruktur, berupa:
1. keterangan mengenai jenis, spesifikasi, jumlah unit,
dan kapasitas sarana pelaksana transaksi; dan
2. hasil audit teknologi informasi terkini sesuai dengan
ketentuan otoritas yang berwenang;
b. struktur organisasi yang menunjukkan bahwa Systematic
Internalisers memiliki sumber daya manusia yang
kompeten di bidang tresuri dan/atau teknologi informasi;
c. dokumen yang menunjukkan kondisi finansial yang sehat
sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang;
d. rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat
paling sedikit:
1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi:
a) manfaat dan biaya bagi Bank; dan
b) model bisnis yang paling sedikit meliputi:
1) mekanisme transaksi;
2)
jenis instrumen dan/atau transaksi yang
akan diselenggarakan;
3) nominal transaksi, yang mencakup
maksimal nominal transaksi dan minimal
nominal transaksi;
4) calon Pengguna Jasa; dan
5) manfaat dan risiko bagi Pengguna Jasa;
2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai
jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi
bisnis; dan
3. surat pernyataan yang berisi komitmen untuk
mengembangkan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
domestik;
e. dokumen keterangan pendaftaran atau persetujuan atas
penambahan instrumen dan/atau transaksi dari otoritas
yang berwenang;
f.
prosedur operasional standar yang menunjukkan
manajemen risiko yang efektif dan tata kelola yang baik
khususnya terkait teknologi informasi sesuai dengan
ketentuan otoritas yang berwenang; dan
g. dokumen administratif lainnya dalam hal diperlukan.
Pasal 5
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia
terhadap dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, terdapat dokumen yang dinilai tidak
lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Systematic
Internalisers untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
dokumen pendukung.
(2) Systematic Internalisers harus melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kembali
kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan
disampaikan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Systematic
Internalisers belum menyampaikan dokumen yang telah
dilengkapi dan/atau diperbaiki, Systematic Internalisers
dianggap telah membatalkan permohonan untuk
mendapatkan izin operasional.
Pasal 6
Bank Indonesia melakukan kunjungan ke lokasi Systematic
Internalisers (on site visit) untuk memastikan kesiapan
operasional.
Pasal 7
(1) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan izin operasional sebagai
Systematic Internalisers melalui surat paling lambat 30
(tiga puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung
dinyatakan lengkap.
(2) Bank Indonesia memublikasikan Systematic Internalisers
yang telah memperoleh izin operasional pada laman resmi
Bank Indonesia.
Pasal 8
Systematic Internalisers harus melaporkan pelaksanaan
kegiatan usaha paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah
tanggal pelaksanaan kegiatan usaha.
BAB III
JENIS INSTRUMEN DAN/ATAU TRANSAKSI
Pasal 9
Jenis instrumen dan/atau transaksi yang dapat ditawarkan
oleh Systematic Internalisers mencakup:
a. instrumen moneter baik konvensional dan/atau dengan
prinsip syariah;
b. transaksi di Pasar Uang baik dalam rupiah dan/atau
valuta asing termasuk dengan prinsip syariah;
c. transaksi di Pasar Valuta Asing yaitu transaksi spot, swap,
forward, dan option valuta asing terhadap rupiah;
d. instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau
Pasar Valuta Asing lainnya, sesuai dengan persetujuan
Bank Indonesia; dan/atau
e. instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya, sesuai
dengan persetujuan Bank Indonesia.
BAB IV
PERUBAHAN JENIS INSTRUMEN DAN/ATAU TRANSAKSI
DAN SISTEM ELEKTRONIK
Pasal 10
Systematic Internalisers wajib memperoleh persetujuan Bank
Indonesia dalam hal akan melakukan perubahan:
a. jenis instrumen dan/atau transaksi; dan
b. Sistem Elektronik secara signifikan, yang menimbulkan
risiko terganggunya transaksi Pengguna Jasa.
Bagian Kesatu
Perubahan Jenis Instrumen dan/atau Transaksi
Pasal 11
Systematic Internalisers yang mengajukan permohonan
perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf a harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki infrastruktur yang andal dan aman untuk
mendukung perubahan jenis instrumen dan/atau
transaksi;
b. memperbarui rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama
sejak rencana perubahan jenis instrumen dan/atau
transaksi yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan; dan
2. potensi ekonomi;
c. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko yang
efektif;
d. menyampaikan hasil uji coba implementasi perubahan
sistem, dalam hal terdapat pengembangan sistem; dan
e. memenuhi persyaratan administratif lainnya.
Pasal 12
(1) Surat permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a
dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a. dokumen yang menunjukkan keandalan dan
keamanan infrastruktur untuk mendukung
perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi,
berupa:
1. keterangan mengenai jenis, spesifikasi, jumlah
unit, dan kapasitas sarana pelaksanaan
transaksi; dan
2.
hasil audit teknologi informasi terkini sesuai
dengan ketentuan otoritas yang berwenang;
b. rencana bisnis yang telah diperbarui untuk 2 (dua)
tahun pertama sejak perubahan yang memuat paling
sedikit:
1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi:
a) manfaat dan biaya bagi Bank; dan
b) model bisnis yang paling sedikit meliputi:
1) mekanisme transaksi;
2)
jenis instrumen dan/atau transaksi
yang akan diselenggarakan;
3) nominal transaksi, yang mencakup
maksimal nominal transaksi dan
minimal nominal transaksi;
4) calon Pengguna Jasa; dan
5) manfaat dan risiko bagi Pengguna
Jasa; dan
2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan
mengenai jangkauan atau cakupan wilayah
bisnis dan strategi bisnis;
c. prosedur operasional standar yang menunjukkan
manajemen risiko yang efektif khususnya terkait
teknologi informasi sesuai dengan ketentuan otoritas
yang berwenang;
d.
hasil uji coba implementasi perubahan sistem, dalam
hal terdapat pengembangan sistem; dan
e. dokumen administratif lainnya dalam hal diperlukan.
(2) Surat permohonan atas perubahan jenis instrumen
dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) anggota direksi.
(3) Contoh surat permohonan atas perubahan jenis
instrumen dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I.
Bagian Kedua
Perubahan Sistem Elektronik
Pasal 13
(1) Systematic Internalisers yang mengajukan permohonan
perubahan Sistem Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b harus
menyampaikan rencana perubahan paling lambat 1 (satu)
tahun sebelum implementasi perubahan kepada Bank
Indonesia.
(2) Systematic Internalisers wajib menyampaikan surat
permohonan perubahan Sistem Elektronik secara
signifikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 huruf b
secara signifikan
kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan
sebelum implementasi perubahan.
(3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a. alasan dan deskripsi perubahan Sistem Elektronik
secara signifikan;
b.
analisis dan mitigasi risiko perubahan Sistem
Elektronik secara signifikan; dan
c. persyaratan administratif lainnya.
(4) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) anggota direksi.
(5) Contoh surat permohonan atas perubahan Sistem
Elektronik secara signifikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 14
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia
terhadap dokumen pendukung:
a. perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); dan
b. perubahan Sistem Elektronik secara signifikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3),
terdapat dokumen yang dinilai tidak lengkap dan/atau
tidak sesuai, Bank Indonesia
menyampaikan
pemberitahuan kepada Systematic Internalisers untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung.
(2) Systematic Internalisers harus melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kepada Bank
Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis
disampaikan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Systematic
Internalisers belum menyampaikan dokumen yang telah
dilengkapi dan/atau diperbaiki, Systematic Internalisers
dianggap telah membatalkan permohonan perubahan.
Pasal 15
Bank Indonesia dapat melakukan kunjungan ke lokasi
Systematic Internalisers (on site visit) untuk memastikan
kesiapan operasional atas perubahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10.
Pasal 16
(1) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan perubahan jenis instrumen
dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 dan permohonan perubahan Sistem Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) melalui
surat paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja setelah
dokumen pendukung dinyatakan lengkap.
(2) Systematic Internalisers harus melaporkan realisasi atas
perubahan Sistem Elektronik kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah dilakukan
impelementasi perubahan.
BAB V
KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Penyampaian Informasi
Pasal 17
(1) Systematic Internalisers wajib menyampaikan informasi
kepada Bank Indonesia dalam hal:
a.
terdapat indikasi manipulasi pasar yang dilakukan
oleh Pengguna Jasa;
b.
terdapat kejadian yang berpotensi memengaruhi
kelancaran operasional;
c. melakukan penghentian sementara kegiatan sebagai
Systematic Internalisers;
d.
terjadi perselisihan antara Systematic Internalisers
dengan Pengguna Jasa;
e. dikenakan sanksi oleh otoritas terkait di dalam negeri
dan/atau di luar negeri terkait penyelenggaraan
sarana pelaksanaan transaksi di pasar keuangan;
f.
terdapat perjanjian pertukaran informasi yang telah
disepakati antara Systematic Internalisers dengan
pihak lain atau kewajiban penyampaian informasi
kepada otoritas yang berwenang di dalam negeri
dan/atau di luar negeri; dan/atau
g. terdapat informasi lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf d disampaikan kepada Bank
Indonesia melalui laporan insidental paling lambat 1 (satu)
Hari Kerja setelah kejadian.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
sampai dengan huruf g disampaikan kepada Bank
Indonesia melalui laporan insidental paling lambat 10
(sepuluh) Hari Kerja setelah kejadian.
Bagian Kedua
Konektivitas dengan Sistem Bank Indonesia
Pasal 18
Sistem Elektronik Systematic Internalisers wajib terkoneksi
dengan sistem Bank Indonesia dan/atau infrastruktur lain
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Risiko
Pasal 19
Systematic Internalisers wajib menerapkan prinsip kehati-
hatian yang dituangkan dalam pedoman internal yang paling
sedikit memuat:
a. pedoman etika bisnis sebagai Systematic Internalisers;
b. transparansi dan keterbukaan informasi;
c. mekanisme penyelesaian sengketa; dan
d. perlindungan konsumen.
Pasal 20
Dalam menerapkan manajemen risiko yang efektif khususnya
terkait teknologi informasi, Systematic Internalisers wajib
memiliki:
a. perencanaan keberlangsungan bisnis;
b. rencana pemulihan bencana; dan
c. jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip kerahasiaan,
integritas, dan ketersediaan.
Pasal 21
Dalam menawarkan jasanya kepada Pengguna Jasa,
Systematic Internalisers wajib memiliki buku pedoman (rule
book) yang paling sedikit memuat:
a. aturan mengenai transparansi dan keterbukaan informasi;
b. mekanisme penyelesaian sengketa;
c.
tata cara pendaftaran Pengguna Jasa;
d. penghentian layanan kepada Pengguna Jasa; dan
e. struktur biaya yang dikenakan kepada Pengguna Jasa.
Bagian Keempat
Tata Cara Pelaporan
Pasal 22
(1) Systematic Internalisers wajib menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia sebagai berikut:
a.
b.
laporan berkala; dan
laporan insidental.
(2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi:
a. laporan transaksi bulanan; dan
b. laporan audit sistem.
(3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas kewajiban penyampaian informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
Pasal 23
(1) Laporan transaksi bulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (2) huruf a memuat informasi mengenai
volume instrumen dan/atau transaksi yang dilakukan
melalui Systematic Internalisers dan disampaikan setiap
bulan paling lambat 14 (empat belas) Hari Kerja setelah
berakhirnya bulan laporan.
(2) Laporan audit sistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (2) huruf b memuat laporan hasil audit sistem dari
auditor independen eksternal atau internal paling sedikit
1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun dan disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lambat 20 (dua puluh) Hari Kerja
sejak hasil audit sistem diterbitkan.
(3) Format laporan transaksi bulanan tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 24
(1) Systematic Internalisers
menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) kepada
Bank Indonesia secara online atau offline.
(2) Penyampaian laporan secara online sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Systematic
Internalisers dengan berpedoman pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyampaian laporan
secara online.
(3) Dalam hal laporan secara online sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) belum tersedia, laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) disampaikan secara
offline.
BAB VI
PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Tata Cara Pengawasan
Pasal 25
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Systematic Internalisers yang meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(2) Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap Systematic
Internalisers, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan
otoritas lain yang berwenang.
(3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b.
(4) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menjaga
kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang
diperoleh dari hasil pemeriksaan.
(5) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan terhadap penyedia teknologi yang melakukan
kerja sama dengan Systematic Internalisers.
Pasal 26
Dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b, petugas pemeriksa yang
ditugaskan oleh Bank Indonesia dilengkapi dengan surat
penugasan yang memuat tujuan pemeriksaan, objek
pemeriksaan, atau informasi lainnya.
Bagian Kedua
Pencabutan Izin Operasional Berdasarkan Hasil Evaluasi
Pasal 27
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin operasional
yang diberikan kepada Systematic Internalisers
berdasarkan hasil pengawasan dan informasi dari otoritas
lain.
(2) Bank Indonesia dapat melakukan pencabutan izin
operasional sebagai Systematic Internalisers berdasarkan
hasil evaluasi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
BAB VII
TATA CARA PENCABUTAN IZIN
DI LUAR PENGENAAN SANKSI
Bagian Kesatu
Pencabutan Izin Usaha Bank oleh Otoritas yang Berwenang
Pasal 28
Dalam hal Systematic Internalisers dicabut izin usahanya
sebagai Bank oleh otoritas yang berwenang, Bank Indonesia
mengeluarkan surat pencabutan izin operasional Systematic
Internalisers.
Bagian Kedua
Pencabutan Izin Operasional atas Permintaan Sendiri
Pasal 29
(1) Systematic Internalisers
yang akan melakukan
pencabutan izin operasional atas permintaan sendiri
menyampaikan surat permohonan pencabutan izin
operasional kepada Bank Indonesia.
(2) Surat permohonan pencabutan izin
operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling
sedikit oleh 1 (satu) anggota direksi.
(3) Surat permohonan pencabutan izin
operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan
informasi sebagai berikut:
a. alasan penghentian kegiatan sebagai Systematic
Internalisers;
b. tanggal efektif penghentian kegiatan sebagai
Systematic Internalisers; dan
c. mekanisme pemberitahuan atau publikasi kepada
Pengguna Jasa mengenai rencana penghentian
kegiatan sebagai Systematic Internalisers.
(4) Contoh surat permohonan pencabutan izin operasional
atas permintaan sendiri sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I.
BAB VIII
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 30
(1) Dalam hal pihak dan/atau Systematic Internalisers
melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Bank
Indonesia tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan
Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, Bank
Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada
Systematic Internalisers yang melakukan pelanggaran.
(2) Dalam hal Systematic Internalisers melakukan
pelanggaran atas ketentuan yang sama dari Peraturan
Bank Indonesia tentang Penyelenggara Sarana
Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta
Asing sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun kalender, Bank Indonesia
mengenakan sanksi penghentian sementara selama 6
(enam) bulan kepada Systematic Internalisers.
(3) Dalam hal Systematic
Internalisers melakukan
pelanggaran dengan sanksi administratif berupa teguran
tertulis sebanyak 5 (lima) kali dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun kalender, Bank Indonesia mengenakan sanksi
penghentian sementara selama 6 (enam) bulan kepada
Systematic Internalisers.
(4) Dalam hal Systematic Internalisers yang terkena sanksi
penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) tidak melakukan penghentian kegiatan
operasional paling lambat 1 (satu) bulan setelah tanggal
surat sanksi penghentian sementara, Bank Indonesia
mencabut izin operasional Systematic Internalisers
tersebut.
BAB IX
KORESPONDENSI
Pasal 31
(1) Alamat surat-menyurat atau korespondensi terkait
perizinan dan pengaturan disampaikan kepada:
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan
Komplek Perkantoran Bank Indonesia
Jalan MH. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat
Surat elektronik: perizinan_pk@bi.go.id.
(2) Alamat surat-menyurat atau korespondensi terkait
pelaporan disampaikan kepada:
Departemen Surveilans Sistem Keuangan
Komplek Perkantoran Bank Indonesia
Jalan MH. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
(1) Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan sebagai
Systematic Internalisers dan telah beroperasi sebelum
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini berlaku, tetap
dapat melakukan kegiatan sebagai Systematic
Internalisers.
(2) Systematic Internalisers sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tetap wajib memenuhi persyaratan izin operasional
paling lambat tanggal 28 April 2020.
(3) Systematic Internalisers yang tidak dapat memenuhi
persyaratan perizinan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilarang melakukan kegiatan
penyelenggaraan sarana pelaksanaan transaksi di Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 31 Oktober 2019.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
DESTRY DAMAYANTI
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/ 20/PADG/2019
TENTANG
SYSTEMATIC INTERNALISERS
I. UMUM
Kegiatan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di Indonesia telah
menunjukkan perkembangan yang pesat sebagai dampak positif dari
kebijakan Bank Indonesia. Era globalisasi juga menambah tuntutan bagi
Pelaku Pasar untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas di dalam
pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Sarana
pelaksanaan transaksi juga ikut berkembang seiring dengan kemajuan
teknologi. Hal ini berdampak pada munculnya berbagai alternatif penyedia
sarana pelaksanaan transaksi bagi pelaku pasar salah satunya Systematic
Internalisers. Sebagai penyedia sarana penyelenggaraan transaksi berbasis
sistem elektronik, Systematic Internalisers dituntut untuk memiliki tata
kelola dan manajemen risiko yang baik dalam rangka mendorong
terciptanya Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang berintegritas, adil,
teratur, transparan, likuid, dan efisien.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โinfrastruktur yang andal dan amanโ
antara lain Sistem Elektronik dan/atau perangkat
komunikasi dengan jumlah unit atau kapasitas yang cukup
dan teknologi yang tidak obsolet.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โsumber daya manusia yang
kompetenโ antara lain:
1. memiliki sertifikasi tresuri untuk sumber daya manusia
yang bertindak sebagai dealer sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikasi
tresuri; dan/atau
2. memiliki pengalaman di bidang teknologi informasi
untuk sumber daya manusia yang terkait teknologi
informasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana
pengembangan jenis produk yang terdiri atas instrumen
dan/atau transaksi, rencana pengembangan sistem, dan
aspek lain yang terkait transaksi di Pasar Uang dan Pasar
Valuta Asing untuk 2 (dua) tahun pertama setelah
memperoleh izin operasional dari Bank Indonesia.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kompetensi di bidang tresuri antara lain dibuktikan dengan
kepemilikan sertifikat tresuri.
Kompetensi di bidang teknologi informasi antara lain dibuktikan
dengan pengalaman di bidang teknologi informasi.
Huruf c
Yang dimaksud โdokumen yang menunjukkan kondisi finansial
yang sehatโ antara lain dapat berupa hasil penilaian sendiri (self
assesment) atas tingkat kesehatan Bank yang terkini terkait
kondisi finansial.
Huruf d
Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana pengembangan
jenis produk yang terdiri atas instrumen dan/atau transaksi,
rencana pengembangan sistem, dan aspek lainnya yang terkait
transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing untuk 2 (dua)
tahun pertama setelah memperoleh izin operasional dari Bank
Indonesia.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Instrumen moneter antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
termasuk SBI dengan prinsip syariah, Sertifikat Deposito Bank
Indonesia (SDBI), dan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI)
dalam valuta asing.
Huruf b
Transaksi di Pasar Uang antara lain transaksi di Pasar Uang Antar
Bank (PUAB), Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip
Syariah (PUAS), dan jenis transaksi lainnya yang telah
distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum volume
dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen.
Huruf c
Transaksi di Pasar Valuta Asing termasuk juga jenis transaksi
yang telah distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum
volume dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen.
Transaksi spot mencakup transaksi today dan tomorrow.
Huruf d
Instrumen Pasar Uang antara lain transaksi jual beli sertifikat
deposito (negotiable certificate of deposit) dan surat berharga
komersial (commercial paper) berbentuk scripless.
Transaksi di Pasar Valuta Asing antara lain derivatif valuta asing
terhadap rupiah yang merupakan transaksi yang didasari oleh
suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya
merupakan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah
serta suku bunga valuta asing dan rupiah atau gabungan
antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah.
Huruf e
Instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya antara lain
currency futures dan/atau interest rate futures serta transaksi
Surat Berharga Negara dengan mengacu pada ketentuan otoritas
terkait.
Pasal 10
Huruf a
Contoh melakukan perubahan atas jenis instrumen dan/atau
transaksi yaitu:
Systematic Internalisers yang menyelenggarakan transaksi spot
ingin menambah layanannya untuk transaksi swap.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โperubahan Sistem Elektronik secara
signifikanโ yaitu perubahan Sistem Elektronik yang bersifat
mendasar, struktural, dan berbiaya tinggi sehingga berpotensi
mengganggu kelancaran transaksi Pengguna Jasa, misalnya
Systematic Internalisers melakukan perubahan operating system.
Pasal 11
Huruf a
Yang dimaksud dengan โinfrastruktur yang andal dan amanโ
antara lain Sistem Elektronik dan/atau perangkat komunikasi
dengan jumlah unit atau kapasitas yang cukup dan teknologi
yang tidak obsolet.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โmanipulasi pasarโ antara lain:
1.
layering and spoofing, yaitu memasukkan penawaran
secara berulang pada satu sisi (bid atau offer) untuk
selanjutnya melakukan eksekusi transaksi atas sisi
yang berlawanan;
2. manipulation of benchmarks, yaitu mengirimkan
informasi palsu atau menyesatkan, melakukan input
yang salah atau menyesatkan, atau aktivitas setara
lainnya dengan sengaja untuk memanipulasi
perhitungan benchmark harga, suku bunga, atau nilai
tukar;
3. momentum ignition, yaitu memasukkan order atau order
berseri yang bertujuan memulai atau memperburuk
tren dan mendorong Pelaku Pasar mengakselerasi atau
memperpanjang tren sehingga menciptakan
kesempatan atau peluang bagi Pelaku Pasar tersebut
untuk melakukan unwind atau membuka posisi pada
tingkat harga yang diinginkan;
4. price flashing, yang merupakan salah satu bentuk
strategi manipulasi yang serupa dengan spoofing,
antara lain melakukan distribusi harga atau order ke
dalam suatu ETP dalam jangka waktu singkat pada
frekuensi tertentu dimana risiko eksekusi minimal atau
tidak ada dan memberikan kesan yang keliru terkait
harga dan likuiditas di pasar; atau
5. quote stuffing, yaitu Pelaku Pasar memasukkan
sejumlah besar pesanan dan/atau pembatalan atau
pembaruan pesanan sehingga menimbulkan
ketidakpastian bagi Pelaku Pasar lainnya,
memperlambat proses transaksi, dan untuk
menyamarkan strategi mereka sendiri.
Huruf b
Kejadian yang berpotensi memengaruhi kelancaran
operasional antara lain:
1. Systematic Internalisers melakukan pemeliharaan
sistem dan/atau jaringan Sistem Elektronik; dan/atau
2. Systematic Internalisers mengalami gangguan koneksi
dan/atau serangan virus,
sehingga mengganggu layanan kepada Pengguna Jasa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Perjanjian pertukaran informasi dengan pihak lain atau
kewajiban penyampaian informasi kepada otoritas lain
meliputi data transaksi domestik.
Contoh penyampaian informasi kepada otoritas lain yaitu:
Systematic Internalisers yang merupakan perusahaan global
dan beroperasi di berbagai negara melaporkan seluruh
transaksi yang terjadi dalam ETP termasuk transaksi di
pasar domestik kepada otoritas negara lain maka Systematic
Internalisers wajib melaporkan hal tersebut kepada Bank
Indonesia.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Salah satu pedoman etika bisnis yang dapat diacu yaitu market
code of conduct yang diterbitkan oleh komite pasar antara lain
Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) dan/atau
Bank for International Settlement (BIS).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud โstruktur biayaโ adalah biaya-biaya yang
dikenakan tanpa adanya diskriminasi dan diperlakukan sama
kepada semua Pengguna Jasa.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Contoh:
Laporan transaksi bulanan untuk bulan Januari 2020
disampaikan paling lambat tanggal 20 Februari 2020.
Ayat (2)
Contoh:
Laporan hasil audit sistem informasi diterbitkan oleh auditor
pada tanggal 31 Maret 2020. Systematic Internalisers
menyampaikan laporan hasil audit sistem paling lambat pada
tanggal 29 April 2020.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pihak lain yang ditugaskan antara lain auditor independen yang
memiliki sertifikasi dan kompetensi di bidang keuangan dan/atau
teknologi informasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/20/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> SYSTEMATIC INTERNALISERS </reg_title>
<set_date> 31 Oktober 2019 </set_date>
<effective_date> 31 Oktober 2019 </effective_date>
<related_reg> '21/5/PBI/2019' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/15/PADG/2017
TENTANG
TATA CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN INFORMASI, DAN PEMANTAUAN
PENYELENGGARA TEKNOLOGI FINANSIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan
mengenai penyelenggaraan teknologi finansial untuk
mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang
moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem
pembayaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia mengenai penyelenggaraan teknologi finansial;
b. bahwa agar kebijakan Bank Indonesia yang telah
dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai
penyelenggaraan teknologi finansial dapat dilaksanakan
dengan baik untuk mencapai tujuan yang diharapkan
maka diperlukan ketentuan pelaksanaan sebagai
pedoman bagi para pihak yang menjadi penyelenggara
teknologi finansial;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Tata Cara Pendaftaran,
Penyampaian Informasi, dan Pemantauan Penyelenggara
Teknologi Finansial.
2
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang
Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5945);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6142);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG TATA
CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN INFORMASI, DAN
PEMANTAUAN PENYELENGGARA TEKNOLOGI FINANSIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam
sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat
berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan
keandalan sistem pembayaran.
2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang
menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial.
3. Inovasi adalah penggunaan teknologi baru dan/atau
penerapan ide baru dalam mekanisme, instrumen,
hukum, dan/atau infrastruktur dalam penyelenggaraan
Teknologi Finansial.
3
4. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah
penyelenggara jasa sistem pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
5. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas
yang aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi
Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnisnya.
6. Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial di Bank
Indonesia yang selanjutnya disebut Daftar Penyelenggara
Teknologi Finansial adalah daftar Penyelenggara Teknologi
Finansial yang dinyatakan telah terdaftar di Bank
Indonesia.
BAB II
PENDAFTARAN
Bagian Kesatu
Pendaftaran dan Penyampaian Informasi
Pasal 2
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang:
a. akan atau telah melakukan kegiatan yang memenuhi
kriteria Teknologi Finansial berupa:
1)
bersifat inovatif;
2) dapat berdampak pada produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis finansial yang
telah eksis;
3) dapat memberikan manfaat bagi masyarakat;
4) dapat digunakan secara luas; dan
5)
kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia; atau
b. berada di bawah kewenangan otoritas lain yang
menyelenggarakan Teknologi Finansial di bidang
sistem pembayaran,
wajib mendaftar pada Bank Indonesia.
4
(2) Kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dikecualikan bagi:
a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia; dan/atau
b. Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di
bawah kewenangan otoritas lain.
Pasal 3
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a yang akan atau telah melakukan
kegiatan yang memenuhi kriteria Teknologi Finansial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a harus
menyampaikan informasi mengenai produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis baru kepada Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Kelembagaan Penyelenggara Teknologi Finansial
Pasal 4
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 harus merupakan badan usaha.
(2) Untuk Penyelenggara Teknologi Finansial berupa lembaga
selain bank yang memenuhi kategori sebagai
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, Penyelenggara
Teknologi Finansial tersebut harus merupakan badan
usaha yang berbadan hukum Indonesia.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pendaftaran
bagi Penyelenggara Teknologi Finansial
Pasal 5
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) menyampaikan permohonan
pendaftaran kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan secara tertulis dalam bahasa
5
Indonesia dan ditandatangani oleh pihak yang berwenang
mewakili Penyelenggara Teknologi Finansial.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga
disertai dengan pengisian dan pengiriman formulir
pendaftaran.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan secara daring (online), melalui tautan di
laman resmi Bank Indonesia.
(5) Format permohonan dan formulir pendaftaran
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Dalam hal sarana pendaftaran secara daring (online)
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia,
Penyelenggara Teknologi Finansial mengajukan
permohonan pendaftaran melalui surat.
Bagian Keempat
Dokumen Pendaftaran
Pasal 6
(1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi
Finansial disertai dokumen sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Penyelenggara Teknologi Finansial harus memastikan
kebenaran atas seluruh dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang dituangkan dalam surat pernyataan
bermeterai cukup sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditandatangani oleh pihak yang berwenang mewakili
Penyelenggara Teknologi Finansial.
6
Bagian Kelima
Pemrosesan Pendaftaran
Pasal 7
(1) Dalam memproses permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1), Bank Indonesia melakukan
penelitian atas kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1),
serta memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan
bahwa dokumen yang disampaikan tidak lengkap, Bank
Indonesia memberitahukan kepada Penyelenggara
Teknologi Finansial untuk melengkapi kekurangan
dokumen melalui surat elektronik.
(3) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus diterima Bank Indonesia paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
kekurangan dokumen dari Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial tidak
melengkapi kekurangan dokumen dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Penyelenggara
Teknologi Finansial dinyatakan membatalkan
permohonan pendaftaran.
(5) Dalam hal dokumen yang disampaikan Penyelenggara
Teknologi Finansial telah lengkap maka Bank Indonesia
melakukan penelitian kebenaran dan kesesuaian
dokumen.
(6) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan
kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
dokumen yang disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi
Finansial tidak benar dan/atau tidak sesuai termasuk jika
permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, Bank Indonesia menolak
permohonan pendaftaran.
7
(7) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan
kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dokumen
telah dinyatakan benar dan sesuai, Bank Indonesia
mencantumkan Penyelenggara Teknologi Finansial dalam
Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial.
(8) Bank Indonesia menyampaikan hasil penelitian kebenaran
dan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan
ayat (7) kepada Penyelenggara Teknologi Finansial.
Bagian Keenam
Publikasi dan Penghapusan
Penyelenggara Teknologi Finansial Terdaftar
Pasal 8
(1) Bank Indonesia memublikasikan Daftar Penyelenggara
Teknologi Finansial pada laman resmi Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia melakukan pengkinian terhadap Daftar
Penyelenggara Teknologi Finansial dalam laman resmi
Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Bank Indonesia dapat menghapus Penyelenggara Teknologi
Finansial dari Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial.
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam hal:
a. berdasarkan hasil pemantauan Bank Indonesia,
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis
sudah tidak digunakan oleh Penyelenggara Teknologi
Finansial;
b. Penyelenggara Teknologi Finansial telah memperoleh
izin dari Bank Indonesia atau otoritas yang berwenang;
c. Penyelenggara Teknologi Finansial dikenakan sanksi
oleh Bank Indonesia dan/atau otoritas yang
berwenang;
8
d. Penyelenggara
Teknologi Finansial
terbukti
melakukan tindak pidana atau dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap;
e.
f.
terdapat rekomendasi dan/atau permintaan tertulis
dari otoritas berwenang;
permintaan tertulis dari Penyelenggara Teknologi
Finansial; dan/atau
g. Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan
data dan/atau informasi yang tidak sesuai dengan
kondisi sebenarnya.
Bagian Ketujuh
Tata Cara Penyampaian Informasi bagi Penyelenggara Teknologi
Finansial Berupa Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
Pasal 10
(1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 menyampaikan informasi
mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnis baru kepada Bank Indonesia.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan
ditandatangani oleh pihak yang berwenang mewakili
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
(3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) juga disertai dengan pengisian dan pengiriman
formulir penyampaian informasi.
(4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan secara daring (online), melalui tautan di
laman resmi Bank Indonesia.
(5) Format penyampaian informasi dan formulir penyampaian
informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
9
(6) Dalam hal sarana pendaftaran secara daring (online)
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia,
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran menyampaikan
informasi melalui surat.
Pasal 11
(1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
disampaikan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
disertai dokumen sebagaimana tercantum dalam
Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan,
kebenaran, dan kesesuaian dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), serta memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan
bahwa dokumen yang disampaikan tidak lengkap, Bank
Indonesia memberitahukan kepada Penyelenggara Jasa
Sistem Pembayaran untuk melengkapi kekurangan
dokumen melalui surat elektronik.
(4) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) harus diterima Bank Indonesia paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
kekurangan dokumen dari Bank Indonesia.
(5) Dalam hal Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran tidak
melengkapi kekurangan dokumen sesuai pemberitahuan
Bank Indonesia dalam batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) maka Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran dapat dikenakan tindakan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran.
(6) Dalam hal dokumen yang disampaikan Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran telah lengkap maka Bank
Indonesia melakukan penelitian kebenaran dan
kesesuaian dokumen.
10
(7) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan
kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dokumen
telah dinyatakan benar dan sesuai, Bank Indonesia
mencatat produk, layanan teknologi, dan/atau model bisnis
baru tersebut.
BAB III
PRINSIP MANAJEMEN RISIKO DAN KEHATI-HATIAN
Pasal 12
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di
Bank Indonesia wajib menerapkan prinsip manajemen
risiko dan kehati-hatian dalam menyelenggarakan
Teknologi Finansial.
(2) Prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian yang paling sedikit
dilakukan terhadap kepengurusan, kebijakan dan
prosedur, serta pengendalian intern.
(3) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
mencakup risiko keamanan informasi, risiko operasional,
risiko kepatuhan, dan risiko lainnya yang terkait dengan
penyelenggaraan Teknologi Finansial.
(4) Penerapan manajemen risiko dan kehati-hatian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan
kompleksitas produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnis dari Penyelenggara Teknologi Finansial.
BAB IV
PEMANTAUAN
Pasal 13
Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Penyelenggara
Teknologi Finansial yang telah tercantum dalam Daftar
Penyelenggara Teknologi Finansial.
11
Pasal 14
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 wajib menyampaikan data dan/atau
informasi yang diminta oleh Bank Indonesia.
(2) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa data dan/atau informasi:
a. transaksi terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial,
yang disampaikan secara berkala;
b. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis;
c.
kondisi keuangan;
d. kepengurusan dan kepemilikan; dan
e. data dan/atau informasi lain.
(3) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a disampaikan secara bulanan yaitu pada minggu
pertama bulan berikutnya.
(4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b, huruf c, dan huruf d disampaikan secara
tahunan yaitu pada bulan pertama tahun berikutnya.
(5) Dalam hal terjadi perubahan data dan/atau informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan
huruf d, Penyelenggara Teknologi Finansial harus
menyampaikan informasi perubahan data dan/atau
informasi paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
perubahan.
(6) Penyampaian data dan/atau informasi dilakukan secara
daring (online) sesuai dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(7) Dalam hal sarana penyampaian data dan/atau informasi
secara daring (online) sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
belum tersedia, Penyelenggara Teknologi Finansial
menyampaikan data dan/atau informasi melalui surat atau
surat elektronik.
12
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 15
(1) Surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia
terkait pelaksanaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
disampaikan kepada Departemen Kebijakan Sistem
Pembayaran c.q. Bank Indonesia Financial Technology
Office dengan alamat di Komplek Perkantoran Bank
Indonesia, Gedung Thamrin Lantai 4, Jalan M.H. Thamrin
Nomor 2, Jakarta 10350.
(2) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan
komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia akan memberitahukan melalui surat dan/atau
media lainnya.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2017
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/15/PADG/2017
TENTANG
TATA CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN INFORMASI, DAN PEMANTAUAN
PENYELENGGARA TEKNOLOGI FINANSIAL
I. UMUM
Kebijakan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
Teknologi Finansial bertujuan untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank
Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang
moneter, menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang stabilitas
sistem keuangan termasuk makroprudensial, serta menetapkan dan
melaksanakan kebijakan di bidang sistem pembayaran.
Kebijakan yang terdiri dari pengaturan dan pemantauan terhadap
penyelenggaraan Teknologi Finansial ini penting agar Bank Indonesia dapat
melakukan monitoring dan mitigasi risiko dari potensi berkembangnya
transaksi perekonomian yang tidak terawasi (shadow economy) serta untuk
terus mendorong pengembangan ekosistem Teknologi Finansial agar
semakin dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dengan menerapkan
prinsip perlindungan konsumen, manajemen risiko, dan kehati-hatian.
Sehubungan dengan itu, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai
tata cara pendaftaran, penyampaian informasi, dan pemantauan
Penyelenggara Teknologi Finansial agar terdapat pedoman yang jelas dalam
rangka pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia terkait penyelenggaraan
Teknologi Finansial tersebut.
2
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak yang berwenang mewakili penyelenggara Teknologi Finansial
antara lain:
a. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum
perseroan terbatas yaitu direksi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perseroan terbatas; dan
b. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum
koperasi yaitu pengurus sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perkoperasian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Surat tertulis diajukan kepada Departemen Kebijakan Sistem
Pembayaran c.q. Bank Indonesia Financial Technology Office.
3
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bagi permohonan yang dinyatakan batal, maka seluruh dokumen
milik Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah disampaikan
tidak dikembalikan kepada Penyelenggara Teknologi Finansial.
Ayat (5)
Dalam melakukan penelitian kebenaran dan kesesuaian dokumen,
Bank Indonesia antara lain melakukan penelitian atas dokumen
yang disampaikan, meminta konfirmasi, dan/atau meminta
informasi lebih lanjut kepada Penyelenggara Teknologi Finansial.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
4
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk dalam putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap antara lain putusan untuk menghentikan
kegiatan usaha.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam melakukan penelitian kebenaran dan kesesuaian dokumen,
Bank Indonesia antara lain melakukan penelitian atas dokumen
yang disampaikan, meminta konfirmasi, dan/atau meminta
informasi lebih lanjut kepada Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran.
Ayat (7)
Cukup jelas.
5
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Risiko lainnya termasuk namun tidak terbatas pada:
a. risiko keuangan;
b.
risiko likuiditas;
c. risiko hukum;
d.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Dalam pelaksanaan pemantauan, Bank Indonesia dapat melakukan
kegiatan seperti peninjauan lapangan, diskusi, dan/atau klarifikasi.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Transaksi mencakup nilai, volume, dan/atau pengguna.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk kondisi keuangan adalah mengenai permodalan.
Huruf d
Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data
dan/atau informasi mengenai rencana perubahan modal
dan/atau kepemilikan serta realisasi perubahan modal
dan/atau kepemilikan dimaksud.
Huruf e
Cukup jelas.
risiko reputasi.
6
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Alamat surat elektronik Bank Indonesia Financial Technology
Office yaitu BIFintechOffice@bi.go.id.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 19/15/PADG/2017 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN INFORMASI, DAN PEMANTAUAN PENYELENGGARA TEKNOLOGI FINANSIAL </reg_title>
<set_date> 30 November 2017 </set_date>
<effective_date> 30 November 2017 </effective_date>
<related_reg> '18/40/PBI/2016', '19/12/PBI/2017' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/9/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/9/PADG/2018
TENTANG
STANDING FACILITIES
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa operasi moneter, baik secara konvensional maupun
berdasarkan prinsip syariah dilaksanakan melalui operasi
pasar terbuka dan standing facilities;
b. bahwa pelaksanaan operasi moneter berdasarkan prinsip
syariah secara terus menerus diperkuat salah satunya
dengan penyempurnaan akad transaksi deposit facility
yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk
Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
2
Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 21/6/PBI/2019 tentang Perubahan
Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6341);
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/9/PADG/2018 tentang
Standing Facilities
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur Nomor 20/37/PADG/2018 tentang
Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor 20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING
FACILITIES.
Pasal I
Ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur
Nomor 20/37/PADG/2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang
Standing Facilities diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 42 ayat (4) diubah sehingga Pasal 42 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 42
(1) Transaksi Deposit Facility sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf b dilakukan dengan cara penempatan dana
rupiah oleh Peserta Standing Facilities secara berjangka di
Bank Indonesia.
3
(2) Transaksi Deposit Facility sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. tanpa disertai dengan penerbitan surat berharga; dan
b. tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan,
dan tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.
(3) Transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan
prinsip syariah dilaksanakan dalam bentuk Fasilitas
Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS).
(4) Transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan
prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menggunakan akad juโalah.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Mei 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/9/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/9/PADG/2018
TENTANG
STANDING FACILITIES
I. UMUM
Operasi Moneter dapat dilakukan baik secara konvensional maupun
berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk operasi pasar terbuka dan
standing facilities.
Pelaksanaan Operasi Moneter berdasarkan prinsip syariah secara
terus menerus diperkuat salah satunya dengan penyempurnaan akad
transaksi deposit facility yang dilakukan dalam bentuk Fasilitas Simpanan
Bank Indonesia Syariah (FASBIS) yang semula menggunakan akad wadiโah
menjadi akad juโalah sesuai dengan opini dari Dewan Syariah Nasional โ
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan perubahan kedua atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang
Standing Facilities.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
2
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โakad juโalahโ adalah janji atau
komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu
(โiwadh/juโl) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan
dari suatu pekerjaan.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/9/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES </reg_title>
<set_date> 2 Mei 2019 </set_date>
<effective_date> 2 Mei 2019 </effective_date>
<changed_reg> '20/9/PADG/2018' </changed_reg>
<extension_of> '20/37/PADG/2018' </extension_of>
<related_reg> '21/6/PBI/2019', '20/9/PADG/2018', '20/37/PADG/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
|
2
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/23/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/2/PADG/2018 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS
LIKUIDITAS INTRAHARI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk
segera memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar,
aman, efisien, dan andal diperlukan percepatan
implementasi ketentuan mengenai tata cara penggunaan
fasilitas likuiditas intrahari;
b. bahwa untuk mendukung percepatan implementasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu penyesuaian
waktu pemberlakuan ketentuan mengenai tata cara
penggunaan fasilitas likuiditas intrahari;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
20/2/PADG/2018 tentang Tata Cara Penggunaan
Fasilitas Likuiditas Intrahari;
Nomor
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga,
dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 20/11/PBI/2018 tentang Perubahan Ketiga
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015
tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 186, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6256);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/2/PADG/2018 TENTANG TATA CARA
PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/2/PADG/2018 tentang Tata Cara
Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1. Penyelenggara adalah Bank Indonesia yang
menyelenggarakan sistem dalam kegiatan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
3
2. Surat Berharga adalah surat berharga yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia, pemerintah,
dan/atau lembaga lain yang ditatausahakan pada
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System.
3. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer
dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika
per transaksi secara individual.
4. Transaksi dengan Bank Indonesia adalah transaksi
yang dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia
untuk kegiatan operasi moneter, transaksi surat
berharga negara untuk dan atas nama pemerintah,
dan transaksi lainnya yang dilakukan dengan Bank
Indonesia.
5. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi Surat
Berharga dan transaksi pinjam meminjam
antarpeserta yang dilakukan secara konvensional
atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah
dalam transaksi pasar uang dan/atau transaksi
Surat Berharga di pasar sekunder.
6. Transaksi adalah Transaksi dengan Bank Indonesia
dan Transaksi Pasar Keuangan.
7. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana
penatausahaan Transaksi dan penatausahaan Surat
Berharga yang dilakukan secara elektronik.
8.
Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya
disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang
diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank peserta
Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun
berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi
kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam
operasional Sistem BI-RTGS.
4
9. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah
termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
10. Bank Peserta Sistem BI-RTGS adalah Bank yang telah
memenuhi persyaratan dan memperoleh persetujuan
dari Penyelenggara sebagai peserta Sistem BI-RTGS.
11. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Bank
Peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah
dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank
Indonesia untuk pelaksanaan setelmen dana.
12. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir
transaksi keuangan melalui pendebitan dan
pengkreditan Rekening Setelmen Dana.
2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
Penetapan harga, haircut, dan perhitungan nilai Surat
Berharga yang tersedia di rekening FLI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kriteria dan persyaratan surat berharga, peserta, dan
lembaga perantara dalam operasi moneter.
3. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku
pada tanggal 1 November 2018.
5
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/23/PADG/2018
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/2/PADG/2018 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS
LIKUIDITAS INTRAHARI
I. UMUM
Bahwa Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan Sistem BI-
RTGS dan BI-SSSS untuk mendukung perubahan kebijakan larangan queue
bersamaan dengan kegiatan penggantian infrastruktur yang digunakan
untuk Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan Sistem Bank Indonesia-Electronic
Trading Platform.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk segera mewujudkan
penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan
andal maka diperlukan percepatan pemberlakuan ketentuan mengenai tata
cara penggunaan fasilitas likuiditas intrahari.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4
Cukup jelas.
2
Angka 3
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/23/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/2/PADG/2018 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI </reg_title>
<set_date> 31 Oktober 2018 </set_date>
<effective_date> 31 Oktober 2018 </effective_date>
<changed_reg> '20/2/PADG/2018' </changed_reg>
<related_reg> '17/18/PBI/2015', '20/11/PBI/2018' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/3/PADG/2019
TENTANG
UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM
VALUTA ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa utang luar negeri bank dan kewajiban bank lainnya
dalam valuta asing merupakan salah satu sumber
pembiayaan bagi perekonomian nasional serta merupakan
bagian dari pengelolaan aliran modal untuk mendukung
kestabilan ekonomi makro;
b. bahwa pengelolaan utang luar negeri bank dan kewajiban
bank lainnya dalam valuta asing perlu memperhatikan
prinsip kehati-hatian sehingga mengurangi kerentanan
eksternal dan risiko sistemik untuk mendukung stabilitas
sistem keuangan;
c. bahwa pengaturan kegiatan utang luar negeri bank dan
kewajiban bank lainnya dalam valuta asing
didukung ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman bagi
bank;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Utang Luar
Negeri Bank dan Kewajiban Bank Lainnya dalam Valuta
Asing;
perlu
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/1/PBI/2019 tentang
Utang Luar Negeri Bank dan Kewajiban Bank Lainnya Dalam
Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6297);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA
DALAM VALUTA ASING.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan
bank umum syariah serta unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri, serta kantor
bank umum dan bank umum syariah berbadan hukum
Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
2. Utang Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut ULN
Bank adalah utang Bank kepada bukan penduduk dalam
valuta asing dan/atau rupiah, termasuk di dalamnya
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
3. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu
lintas devisa dan sistem nilai tukar.
4. Kewajiban Jangka Pendek adalah kewajiban Bank berupa
ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta
asing, yang berjangka waktu asal (original maturity)
sampai dengan 1 (satu) tahun.
3
5. Kewajiban Jangka Panjang adalah kewajiban Bank berupa
ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta
asing, yang berjangka waktu asal (original maturity) lebih
dari 1 (satu) tahun.
6. Surat Utang Valuta Asing Domestik yang selanjutnya
disebut Surat Utang Valas Domestik adalah surat utang
dalam valuta asing yang diterbitkan Bank di bursa dalam
negeri maupun dijual secara private placement kepada
Penduduk.
7. Transaksi Partisipasi Risiko yang selanjutnya disingkat
TPR adalah transaksi pengalihan risiko atas individual
kredit dan/atau fasilitas lainnya berdasarkan perjanjian
induk transaksi partisipasi risiko (master risk participation
agreement).
8. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
9. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia.
10. Operasi Moneter adalah operasi moneter sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter.
11. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang
negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai surat berharga syariah negara.
Pasal 2
(1) Bank dapat memiliki ULN Bank dan kewajiban Bank
lainnya dalam valuta asing.
(2) Kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Surat Utang Valas Domestik; dan
b. TPR.
4
(3) ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan jangka
waktunya terbagi atas:
a. Kewajiban Jangka Pendek; dan
b. Kewajiban Jangka Panjang
(4) Bank yang memiliki ULN Bank dan kewajiban Bank
lainnya dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus menerapkan prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
(1) TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
b berdasarkan jangka waktunya terbagi atas:
a. TPR jangka pendek; dan
b. TPR jangka panjang
(2) TPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. dilakukan oleh Bank sebagai grantor dengan pihak
lain bukan Penduduk sebagai participant;
b.
disertai dengan aliran dana dari pihak lain bukan
Penduduk sebagai participant kepada Bank sebagai
grantor saat transaksi mulai berlaku (funded); dan
c. tanpa pengalihan hak tagih dari Bank sebagai grantor
kepada pihak lain bukan Penduduk sebagai
participant.
(3) TPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang kemudian
dialihkan hak tagihnya kepada pihak lain bukan
Penduduk sebagai participant diperlakukan sebagai utang
luar negeri milik debitur Bank kepada participant.
(4) Bank wajib melaporkan pengalihan hak tagih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan format laporan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
5
BAB II
PRINSIP KEHATI-HATIAN TERHADAP
KEWAJIBAN JANGKA PENDEK
Pasal 4
(1) Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap
Kewajiban Jangka Pendek dengan membatasi posisi saldo
harian Kewajiban Jangka Pendek paling tinggi 30% (tiga
puluh persen) dari modal Bank.
(2) Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. ULN Bank jangka pendek;
b. Surat Utang Valas Domestik jangka pendek; dan
c. TPR jangka pendek.
Pasal 5
(1) Bank Indonesia dapat memberikan pengecualian terhadap
kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian
Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dalam hal Bank sangat memerlukan
Kewajiban Jangka Pendek untuk mengatasi permasalahan
Bank yang mendesak dan/atau untuk memenuhi
ketentuan otoritas berdasarkan informasi dan/atau
rekomendasi otoritas terkait.
(2) Bank yang bermaksud memperoleh pengecualian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menyampaikan
surat permohonan pengecualian kepada Bank Indonesia
dengan menggunakan format surat permohonan
pengecualian pembatasan saldo harian Kewajiban Jangka
Pendek sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Pengajuan surat permohonan pengecualian kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai
dengan surat atau bukti lainnya dari otoritas terkait yang
berisi:
6
a.
informasi bahwa Bank sangat memerlukan Kewajiban
Jangka Pendek untuk mengatasi permasalahan Bank
yang mendesak dan/atau untuk memenuhi
ketentuan otoritas terkait; dan/atau
b. pemberian rekomendasi kepada Bank untuk
melakukan Kewajiban Jangka Pendek guna
mengatasi permasalahan yang mendesak dan/atau
untuk memenuhi ketentuan otoritas terkait.
(4) Bank Indonesia memberikan jawaban atas surat
permohonan pengecualian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling lambat 15 (lima belas) Hari Kerja sejak
dokumen diterima dengan lengkap.
Pasal 6
(1) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian
Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), dikecualikan terhadap:
a. ULN Bank jangka pendek dari pemegang saham
pengendali untuk mengatasi kesulitan likuiditas Bank;
b. ULN Bank jangka pendek dari pemegang saham
pengendali untuk penyaluran kredit ke sektor riil;
c. dana usaha kantor cabang dari Bank yang
berkedudukan di luar negeri sampai dengan 100%
(seratus persen) dari dana usaha yang dinyatakan
(declared dana usaha);
d. kewajiban Bank kepada bukan Penduduk yang timbul
dari transaksi lindung nilai;
e. giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara
asing dan lembaga internasional, termasuk anggota
staf perwakilan negara asing dan lembaga
internasional;
f.
giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk
kegiatan investasi di Indonesia yang meliputi
penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian
obligasi korporasi Indonesia, pembelian SBN,
dan/atau pembelian surat berharga yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia;
7
g. giro milik bukan Penduduk yang menampung dana
hasil penjualan kembali atau divestasi atas penyertaan
langsung, pembelian saham, pembelian obligasi
korporasi Indonesia, pembelian SBN, dan/atau
pembelian surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia;
h. giro milik bukan Penduduk nonpemegang saham
pengendali yang digunakan untuk penyaluran kredit ke
proyek infrastruktur;
i.
giro milik bukan Penduduk yang menampung dana
hasil penerbitan obligasi berdenominasi rupiah oleh
lembaga supranasional untuk pembiayaan proyek
infrastruktur; dan/atau
j.
giro atau deposito milik bukan Penduduk yang
diperuntukkan sebagai penyimpanan sementara
dana setoran modal Bank sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan OJK.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didukung dengan bukti yang memadai, yaitu:
a. untuk ULN Bank jangka pendek dari pemegang
saham pengendali guna mengatasi kesulitan
likuiditas Bank paling sedikit berupa laporan
proyeksi arus kas dan laporan posisi likuiditas;
b. untuk ULN Bank jangka pendek dari pemegang
saham pengendali guna penyaluran kredit ke sektor
riil paling sedikit berupa analisis pemberian kredit
Bank, bukti mutasi penerimaan dana, dan realisasi
kredit;.
c. untuk penempatan dana usaha dari kantor pusat
bank yang berkedudukan di luar negeri pada kantor
cabangnya di Indonesia paling sedikit berupa bukti
penempatan atau transfer dan laporan keuangan
Bank;
d. untuk kewajiban Bank kepada bukan Penduduk yang
timbul dari transaksi lindung nilai Bank paling
sedikit berupa deal ticket dan jurnal pembukuan
mark-to-market;
8
e. untuk giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan
negara asing serta lembaga internasional termasuk
anggota stafnya paling sedikit berupa fotokopi
identitas pemilik rekening;
f. untuk giro milik bukan Penduduk yang digunakan
untuk kegiatan investasi di Indonesia melalui
penyertaan langsung paling sedikit berupa bukti
penyertaan termasuk nominal, identitas penyetor,
dan identitas penerima penyertaan;
g. untuk giro milik bukan Penduduk yang digunakan
untuk pembelian surat berharga paling sedikit
berupa bukti pembelian saham, obligasi, atau reksa
dana yang tercatat di lembaga kustodian atau bursa
efek;
h. untuk giro milik bukan Penduduk yang digunakan
untuk pembelian SBN atau surat berharga yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia, paling sedikit telah
tercatat pada Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System (BI-SSSS);
i. untuk giro milik bukan Penduduk yang digunakan
untuk penjualan kembali atau divestasi atas
penyertaan langsung atau penjualan kembali surat
berharga, paling sedikit berupa bukti perubahan
kepemilikan saham atau surat berharga;
j. untuk giro milik bukan Penduduk yang digunakan
untuk penjualan kembali SBN atau surat berharga
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, paling sedikit
telah tercatat pada Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System (BI-SSSS);
k. untuk giro milik bukan Penduduk yang menampung
dana yang diterima Bank dari kreditur nonpemegang
saham pengendali untuk penyaluran kredit ke proyek
infrastruktur paling sedikit berupa salinan perjanjian
kredit antara pemilik giro dengan debitur proyek
infrastruktur;
l. untuk giro milik bukan Penduduk yang menampung
dana hasil penerbitan obligasi berdenominasi rupiah
9
oleh lembaga supranasional untuk pembiayaan
proyek infrastruktur,
paling
sedikit berupa
prospektus obligasi dan bukti penerbitan obligasi;
dan/atau
m. untuk giro atau deposito milik bukan Penduduk yang
diperuntukkan sebagai penyimpanan sementara
dana setoran modal Bank, paling sedikit berupa bukti
masuk dana setoran modal ke Bank dan bukti
pelaksaaan due dilligence oleh pihak yang ditunjuk
calon investor.
Pasal 7
(1) Kewajiban Jangka Pendek yang jangka waktunya
diperpanjang kurang dari 1 (satu) tahun tetap merupakan
Kewajiban Jangka Pendek.
(2) Kewajiban Jangka Panjang yang jangka waktunya
diperpendek sehingga memiliki jangka waktu asal (original
maturity) menjadi sampai dengan 1 (satu) tahun
diperlakukan sebagai Kewajiban Jangka Pendek.
(3) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian
Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) juga berlaku bagi Kewajiban Jangka
Panjang yang jangka waktunya diperpendek sehingga
jangka waktu asal (original maturity) kewajiban tersebut
menjadi sampai dengan 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 8
Perhitungan posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tercantum dalam
contoh sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
10
BAB III
PRINSIP KEHATI-HATIAN TERHADAP KEWAJIBAN JANGKA
PANJANG
Bagian Kesatu
Rencana Masuk Pasar
Pasal 9
(1) Bank yang akan masuk pasar untuk memperoleh
Kewajiban Jangka Panjang wajib terlebih dahulu
memperoleh persetujuan rencana masuk pasar dari Bank
Indonesia.
(2) Kewajiban Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. ULN Bank jangka panjang;
b. Surat Utang Valas Domestik jangka panjang; dan
c. TPR jangka panjang.
(3) Permohonan persetujuan rencana masuk pasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK.
Pasal 10
(1) Permohonan persetujuan rencana masuk pasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) harus
dilengkapi dengan dokumen pendukung, berupa:
a. surat permohonan persetujuan rencana masuk pasar
yang dilengkapi dengan informasi dan dokumen yang
dipersyaratkan sebagaimana
tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini; dan
b. surat pernyataan bahwa rencana masuk pasar telah
tercantum dalam rencana bisnis Bank yang
ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang
anggota direksi Bank, sebagaimana format yang
tercantum dalam Lampiran V yang merupakan
11
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
(2) Dalam hal Bank akan melakukan Kewajiban Jangka
Panjang
dalam bentuk
pinjaman
subordinasi
(subordinated loan) yang dilakukan atas dasar
rekomendasi OJK, surat pernyataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b digantikan oleh surat atau
bukti lainnya dari OJK yang menyatakan bahwa OJK
memberikan rekomendasi kepada Bank untuk melakukan
Kewajiban Jangka Panjang dalam bentuk pinjaman
subordinasi (subordinated loan).
(3) Dalam hal Bank akan melakukan Kewajiban Jangka
Panjang atas dasar informasi dan/atau rekomendasi
otoritas terkait untuk mengatasi permasalahan yang
mendesak dan/atau memenuhi ketentuan otoritas terkait,
surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b digantikan oleh surat atau bukti lainnya dari
otoritas terkait yang berisi:
a. informasi bahwa Bank sangat memerlukan Kewajiban
Jangka Panjang untuk mengatasi permasalahan
Bank yang mendesak dan/atau untuk memenuhi
ketentuan otoritas terkait; dan/atau
b. pemberian rekomendasi melakukan Kewajiban
Jangka Panjang kepada Bank untuk mengatasi
permasalahan yang mendesak dan/atau memenuhi
ketentuan otoritas terkait.
(4) Informasi dan dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit berupa:
a.
b.
informasi rencana tanggal masuk pasar;
informasi terms and conditions kewajiban, yaitu:
1. mata uang, jumlah, dan bentuk kewajiban;
2. pemberi kewajiban (untuk penerbitan surat
utang atau pinjaman sindikasi dengan
memperhatikan region/negara potensial
pembeli/target pembeli serta underwriter atau
lead manager);
3. hubungan dengan peminjam;
12
4.
jangka waktu, termasuk masa tenggang (grace
period);
5. maturity profile (pokok dan bunga);
6. suku bunga atau kupon indikatif;
7. biaya terkait;
8. debt covenant;
9.
lain-lain (dalam terdapat hal lain yang perlu
disampaikan);
c. alasan dan tujuan melakukan kewajiban;
d. analisis forecast cashflow yang dibuat bank, sesuai
dengan tenor kewajiban dengan memperhatikan
current exposure Bank dan komposisi utang lainnya
termasuk dalam rupiah, sebagaimana format
proyeksi arus kas yang tercantum dalam Lampiran VI
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
e. analisis kesiapan risk management/asssessment
Bank terhadap risiko; dan
f.
rancangan perjanjian pinjaman, dalam hal ada.
(5) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
Bank untuk menyampaikan informasi, klarifikasi
dan/atau dokumen tambahan selain informasi dan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 11
(1) Kewajiban Jangka Pendek yang jangka waktunya
diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun diperlakukan
sebagai Kewajiban Jangka Panjang baru.
(2) Kewajiban memperoleh persetujuan rencana masuk pasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) juga
berlaku bagi Kewajiban Jangka Pendek yang jangka
waktunya diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
(1) Bank Indonesia dapat menyetujui atau menolak
permohonan persetujuan rencana masuk pasar yang
13
diajukan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1).
(2) Bank Indonesia menyampaikan secara tertulis
persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja setelah
dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(3) Dokumen diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) apabila Bank Indonesia telah menerima:
a. seluruh dokumen pendukung
dimaksud dalam Pasal 10 secara lengkap;
sebagaimana
b.
informasi, klarifikasi, dan/atau dokumen tambahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5); dan
c. data dan informasi mengenai kondisi Bank dari OJK,
termasuk rekomendasi OJK.
(4) Setelah menerima dokumen secara lengkap sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menyetujui atau
menolak permohonan persetujuan masuk pasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
mempertimbangkan hal sebagai berikut:
a. syarat dan ketentuan (terms and condition) Kewajiban
Jangka Panjang;
b. kondisi ekonomi makro dan pasar keuangan;
c. kondisi sistem keuangan;
d. kondisi keuangan Bank; dan
e. hal lainnya yang dianggap penting oleh Bank
Indonesia.
(5) Dalam hal permohonan persetujuan masuk pasar Bank
ditolak, Bank dapat mengajukan kembali permohonan
persetujuan masuk pasar kepada Bank Indonesia tanpa
periode tunggu.
Pasal 13
(1) Persetujuan masuk pasar yang diberikan oleh Bank
Indonesia kepada Bank berlaku untuk jangka waktu
selama 3 (tiga) bulan sejak tanggal persetujuan masuk
pasar.
14
(2) Bank dapat masuk pasar secara sekaligus atau bertahap
sepanjang tidak melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 14
(1) Persetujuan masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) yang belum direalisasikan oleh Bank
dapat menjadi tidak berlaku dalam hal Bank melakukan
aksi korporasi.
(2) Keberlakuan persetujuan masuk pasar bagi Bank yang
melakukan aksi korporasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. dalam hal Bank melakukan penggabungan (merger),
persetujuan masuk pasar yang tetap berlaku yaitu
persetujuan yang telah diperoleh oleh Bank yang
menerima penggabungan (surviving bank);
b. dalam hal Bank melakukan peleburan (konsolidasi),
persetujuan masuk pasar yang telah diperoleh Bank
yang meleburkan diri menjadi tidak berlaku;
c. dalam hal Bank melakukan pemisahan, baik
pemisahan murni maupun pemisahan tidak murni
(spin off), persetujuan masuk pasar yang telah
diperoleh Bank yang melakukan pemisahan menjadi
tidak berlaku; dan
d. dalam hal Bank mengalami pengambilalihan
(akuisisi), persetujuan masuk pasar yang telah
diperoleh Bank tetap berlaku.
Bagian Kedua
Laporan Realisasi Masuk Pasar
Pasal 15
(1) Bank yang telah masuk pasar wajib menyampaikan
laporan realisasi masuk pasar paling lambat:
a. untuk ULN Bank dalam bentuk perjanjian pinjaman,
ULN Bank dalam bentuk surat utang yang
diterbitkan melalui private placement, Surat Utang
15
Valas Domestik yang diterbitkan melalui private
placement, dan TPR, yaitu 7 (tujuh) Hari Kerja
setelah tanggal masuk pasar; dan
b. untuk ULN Bank dalam bentuk surat utang dan
Surat Utang Valas Domestik yang diterbitkan
melalui bursa, yaitu 7 (tujuh) Hari Kerja setelah
tanggal penyelesaian transaksi.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan syarat dan ketentuan
Kewajiban Jangka Panjang pada saat sebelum dan
sesudah masuk pasar, Bank wajib menjelaskan kepada
Bank Indonesia penyebab perbedaan tersebut dalam
laporan realisasi masuk pasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) secara memadai.
(3) Dalam hal Bank tidak merealisasikan rencana masuk
pasar dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1), Bank harus melaporkan alasannya
kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) Hari Kerja
setelah berakhirnya jangka waktu persetujuan masuk
pasar.
(4) Dalam hal Bank melakukan perubahan jangka waktu
Kewajiban Jangka Panjang menjadi kurang dari 1 (satu)
tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2),
Bank harus melaporkan perubahan jangka waktu tersebut
kepada Bank Indonesia.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4) disampaikan kepada Bank Indonesia
dengan menggunakan formulir laporan realisasi masuk
pasar sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
16
BAB IV
TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Pasal 16
(1) Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Bank yang akan dikenai sanksi
administratif dengan menyebutkan:
a. jenis pelanggaran;
b. tanggal pelanggaran;
c. besarnya nominal sanksi,untuk sanksi administratif
berupa kewajiban membayar;
d. perhitungan
nominal
sanksi, untuk sanksi
administratif berupa kewajiban membayar;
e. periode pengenaan sanksi, untuk sanksi larangan
mengajukan permohonan persetujuan rencana masuk
pasar dan sanksi pembatasan keikutsertaan dalam
Operasi Moneter; dan/atau
f. jenis pembatasan keikutsertaan dalam Operasi
Moneter, untuk sanksi pembatasan keikutsertaan
dalam Operasi Moneter.
(2) Surat pemberitahuan secara tertulis kepada Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada
OJK.
(3) Bank diberikan kesempatan untuk memberikan
tanggapan tertulis atas pengenaan sanksi administratif
berupa kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja
terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank
Indonesia.
(4) Dalam hal sampai dengan berakhirnya batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Bank tidak
menyampaikan tanggapan tertulis atau tanggapan tertulis
yang disampaikan Bank tidak dapat diterima oleh Bank
Indonesia maka Bank Indonesia menyampaikan surat
penetapan pengenaan sanksi kepada Bank.
17
(5) Pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar dilakukan dengan mendebit saldo rekening
giro rupiah Bank yang ada di Bank Indonesia.
BAB V
KORESPONDENSI
Pasal 17
(1) Seluruh korespondensi terkait ketentuan Utang Luar Negeri
Bank dan Kewajiban Bank Lainnya Dalam Valuta Asing
disampaikan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Surveilans Sistem Keuangan
Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
memberitahukan perubahan dimaksud melalui surat
dan/atau media lainnya.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 18
Selain penyampaian laporan realisasi masuk pasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank juga
wajib menyampaikan laporan terkait ULN Bank dan kewajiban
Bank lainnya dalam valuta asing kepada Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pelaporan Bank Indonesia.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
18
a. Surat Edaran Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007
perihal Pinjaman Luar Negeri Bank;
b. Surat Edaran Nomor 10/32/DInt tanggal 14 Oktober 2008
perihal Perubahan atas Surat Edaran Nomor 9/1/DInt
tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri
Bank;
c. Surat Edaran Nomor 14/30/DInt tanggal 22 Oktober 2012
perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Nomor
9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar
Negeri Bank;
d. Surat Edaran Nomor 15/36/DKEM tanggal 30 Agustus
2013 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Nomor
9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar
Negeri Bank; dan
e. Surat Edaran Nomor 16/4/DKEM tanggal 7 April 2014
perihal Perubahan Keempat atas Surat Edaran Nomor
9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar
Negeri Bank,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Maret 2019.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Februari 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
MIRZA ADITYASWARA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/3/PADG/2019
TENTANG
UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM
VALUTA ASING
I. UMUM
Dalam menjalankan tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan
di sektor moneter, khususnya menjaga stabilitas nilai rupiah melalui
kebijakan pengelolaan lalu lintas modal, Bank Indonesia telah melakukan
pengaturan ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing.
Pengaturan tersebut dilakukan melalui penerbitan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 21/1/PBI/2019 tentang Utang Luar Negeri Bank dan
Kewajiban Bank Lainnya Dalam Valuta Asing. Untuk mendukung
pelaksanaan pengaturan tersebut, diperlukan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur yang mengatur hal teknis mengenai tata cara penerapan prinsip
kehati-hatian terhadap kewajiban Bank, baik yang berjangka panjang
maupun pendek, sebagai pedoman bagi Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
2
Ayat (2)
Huruf a
Surat Utang Valas Domestik dapat berupa obligasi, floating
rate notes, medium term notes, promissory notes, dan bentuk
surat utang lainnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โprinsip kehati-hatianโ adalah kegiatan
pengelolaan risiko yang mencakup risiko pasar, risiko kredit,
risiko likuiditas, risiko operasional, risiko kepatuhan, dan risiko
lainnya.
Pasal 3
Ayat (1)
Pengkategorian TPR berdasarkan jangka waktu ditentukan
berdasarkan jangka waktu perjanjian pengalihan risiko atas
individual kredit dan/atau fasilitas lainnya.
Contoh 1:
Bank A menyalurkan kredit sebesar USD100 juta kepada PT. XYZ
dengan jangka waktu kredit 4 (empat) tahun yang ditandatangani
pada bulan Juni 2018 dan akan jatuh tempo pada bulan Juni
2022. Bank A dan Bank B (bukan Penduduk) memiliki perjanjian
induk TPR (master risk participation agreement) yang
ditandatangani pada tanggal 1 Juni 2018 dan berlaku sampai
dengan 1 Juni 2023.
Pada bulan September 2021, Bank A melakukan TPR atas kredit
tersebut dengan Bank B di Singapura (bukan Penduduk) sebagai
participant dengan jangka waktu TPR sampai dengan jatuh waktu
kredit (Juni 2022).
TPR yang dilakukan Bank A tersebut memiliki jangka waktu 9
(sembilan) bulan sehingga dikategorikan sebagai TPR jangka
pendek.
3
Contoh 2:
Bank C menyalurkan kredit sebesar USD300 juta kepada PT. PQR
dengan jangka waktu kredit 5 (lima) tahun yang ditandatangani
pada bulan Maret 2019 dan akan jatuh tempo pada bulan Maret
2024.
Bank C dan Bank D di Australia (bukan Penduduk) memiliki
perjanjian induk TPR (master risk participation agreement) yang
ditandatangani pada tanggal 1 Juni 2018 dan berlaku sampai
dengan 1 Juni 2028.
Pada bulan September 2019, Bank C sebagai grantor melakukan
TPR atas kredit tersebut dengan Bank D di Australia (bukan
Penduduk) sebagai participant, dengan jangka waktu sampai
dengan jatuh tempo kredit (Maret 2024).
TPR yang dilakukan Bank C tersebut dikategorikan sebagai TPR
jangka panjang.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โgrantorโ adalah pihak yang menjual
risiko.
Yang dimaksud dengan โparticipantโ adalah pihak yang membeli
atau menerima risiko.
Ayat (3)
Dalam hal debitur Bank merupakan korporasi nonbank maka
utang luar negeri debitur Bank tersebut selanjutnya tunduk pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai utang luar
negeri korporasi nonbank.
Dalam hal debitur Bank merupakan badan usaha milik negara
atau kredit dan/atau fasilitas lainnya yang menjadi dasar TPR
merupakan kredit dan/atau fasilitas yang terkait dengan proyek
Pemerintah maka utang luar negeri tersebut tunduk pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pinjaman komersial luar negeri.
Contoh:
Bank E menyalurkan kredit sebesar USD200 juta kepada PT. ABC
dengan jangka waktu kredit 3 (tiga) tahun yang ditandatangani
pada bulan Januari 2017 dan jatuh tempo pada bulan Januari
2020. Pada bulan Juni 2017, Bank E melakukan TPR funded
dengan Bank F di Australia (bukan Penduduk) dengan nominal
4
partisipasi sebesar USD90 juta dan jangka waktu sampai dengan
jatuh tempo kredit (Januari 2020). Pada bulan September 2017
Bank E mengalihkan hak tagih atas kredit tersebut kepada Bank
F sebagai participant. Pengalihan hak tagih dari Bank E kepada
Bank F menyebabkan PT. ABC memiliki utang luar negeri sebesar
USD90 juta kepada Bank F.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Pengecualian terhadap kewajiban Bank untuk membatasi posisi
saldo harian Kewajiban Jangka Pendek untuk mengatasi
permasalahan Bank yang mendesak antara lain untuk
penyehatan Bank.
Yang termasuk otoritas terkait yaitu LPS atau OJK. LPS dapat
memberikan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal Bank
dalam resolusi dan LPS sebagai pemegang saham.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dapat memberikan
informasi kepada Bank Indonesia dalam hal Bank dalam resolusi
dan LPS sebagai pemegang saham.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan โdokumen diterima secara lengkapโ
adalah termasuk diterimanya informasi dan/atau rekomendasi
dari otoritas terkait.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpemegang saham pengendaliโ
adalah pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud
5
dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai pemegang
saham pengendali.
Yang dimaksud dengan โkesulitan likuiditasโ adalah
kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendek yang
disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil
dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) baik
valuta asing maupun rupiah, tidak termasuk untuk kegiatan
ekspansi usaha.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โpenyaluran kredit ke sektor riilโ
adalah penyaluran kredit secara langsung dari Bank kepada
sektor riil.
Yang dimaksud dengan โsektor riilโ adalah kegiatan usaha
suatu entitas di Indonesia yang menghasilkan barang dan
jasa, tidak termasuk di dalamnya kegiatan usaha di sektor
keuangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โdana usahaโ adalah dana usaha
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai dana usaha.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โkewajiban Bank kepada bukan
Penduduk yang timbul dari transaksi lindung nilaiโ adalah
kewajiban Bank yang muncul akibat kegiatan mark-to-
market transaksi derivatif Bank dan tercatat di on balance
sheet.
Transaksi derivatif merupakan transaksi yang didasari oleh
suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya
merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasarinya
seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks,
baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan
dana atau instrumen, tidak termasuk transaksi derivatif
kredit.
Transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah tunduk
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan
pihak asing.
6
Yang dimaksud dengan โlindung nilaiโ adalah cara atau
teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang
diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi harga di
pasar keuangan.
Transaksi lindung nilai yang dilakukan Bank mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi lindung nilai Bank.
Huruf e
Yang dimaksud dengan โgiro, tabungan, dan deposito milik
perwakilan negara asing dan lembaga internasionalโ adalah
giro, tabungan, dan deposito yang digunakan untuk kegiatan
operasional.
Giro, tabungan, dan deposito anggota staf perwakilan negara
asing dan lembaga internasional merupakan giro, tabungan,
dan deposito milik pribadi anggota staf perwakilan negara
asing dan lembaga internasional.
Perwakilan negara asing mencakup juga perwakilan
pemerintah daerah negara asing yang mewakili secara resmi
pemerintah daerah negara asing tersebut dalam melakukan
tugasnya.
Yang dimaksud dengan โlembaga internasionalโ adalah
lembaga dengan keanggotaan, cakupan pekerjaan, dan/atau
keberadaan yang bersifat internasional yang kegiatan
utamanya bersifat nirlaba, seperti International Monetary
Fund (IMF) dan Islamic Development Bank (IDB).
Huruf f
Kegiatan investasi di Indonesia termasuk di dalamnya reksa
dana saham, reksa dana, obligasi, dan kombinasi keduanya.
Deposito, tabungan, dan lainnya yang sejenis di luar giro
milik bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan
investasi tidak termasuk yang dikecualikan.
Yang dimaksud dengan โsurat berharga yang diterbitkan
Bank Indonesiaโ adalah surat berharga yang diterbitkan
Bank Indonesia, yang dapat dimiliki oleh bukan Penduduk
antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan/atau
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).
7
Huruf g
Hasil penjualan kembali atau divestasi meliputi pokok dan
imbal hasil.
Deposito, tabungan, dan lainnya yang sejenis di luar giro
milik bukan Penduduk yang digunakan untuk menampung
dana hasil penjualan kembali atau divestasi tidak termasuk
yang dikecualikan.
Yang dimaksud dengan โsurat berharga yang diterbitkan
Bank Indonesiaโ adalah surat berharga yang diterbitkan
Bank Indonesia, yang dapat dimiliki oleh bukan Penduduk
antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan/atau
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).
Huruf h
Penggunaan giro milik bukan Penduduk nonpemegang
saham pengendali Bank dalam penyaluran kredit ke proyek
infrastruktur meliputi:
1. untuk menampung sementara dana sebelum disalurkan
oleh pemilik rekening giro tersebut kepada debitur di
proyek infrastruktur; dan
2. untuk menerima pembayaran dari debitur di proyek
infrastruktur,
tidak termasuk kredit yang diberikan secara two step loan.
Cakupan proyek infrastruktur mengacu pada ketentuan
otoritas terkait yang mengatur mengenai tata cara
pelaksanaan kerja sama pemerintah dengan badan usaha
dalam penyediaan infrastruktur.
Huruf i
Yang dimaksud dengan โlembaga supranasionalโ adalah
lembaga keuangan multilateral yang dibentuk oleh 2 (dua)
atau lebih negara dan dalam kegiatannya menyediakan
pembiayaan, hibah, dan/atau bantuan teknis untuk
mendorong pembangunan ekonomi negara anggotanya.
Contoh lembaga supranasional antara lain Asian
Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB),
dan World Bank Group yang terdiri atas International Bank
for Reconstruction and Development (IBRD) dan
International Finance Corporation (IFC).
8
Cakupan proyek infrastruktur mengacu pada ketentuan
otoritas terkait yang mengatur mengenai tata cara
pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan badan usaha
dalam penyediaan infrastruktur.
Huruf j
Yang dimaksud dengan โketentuan OJKโ adalah ketentuan
OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum bank umum.
Giro atau deposito dapat berada di Bank yang akan
menerima setoran modal atau Bank lain yang ditunjuk oleh
OJK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Contoh 1:
Bank A memiliki ULN Bank dalam bentuk perjanjian kredit (loan
agreement) dengan jangka waktu 8 (delapan) bulan. Pada saat
ULN tersebut jatuh waktu, Bank A melakukan roll over dengan
jangka waktu 7 (tujuh) bulan. ULN Bank A setelah roll over tetap
merupakan Kewajiban Jangka Pendek.
Contoh 2:
Bank B memiliki Surat Utang Valas Domestik dengan jangka
waktu 9 (sembilan) bulan. Satu bulan sebelum Surat Utang Valas
Domestik tersebut jatuh waktu, Bank B melakukan reschedule
dengan jangka waktu baru 5 (lima) bulan. Dalam kasus ini, Surat
Utang Valas Domestik Bank B setelah reschedule tetap
merupakan Kewajiban Jangka Pendek.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โjangka waktu asal (original maturity)โ
adalah jangka waktu dari sejak timbulnya kewajiban Bank
sampai dengan jatuh waktu.
Contoh:
Bank D memiliki ULN Bank dalam bentuk perjanjian kredit (loan
agreement) dengan jangka waktu 13 (tiga belas) bulan yang
ditandatangani pada bulan Januari 2020 dan jatuh waktu pada
9
bulan Februari 2021. Pada tanggal 21 November 2020, Bank D
melakukan perubahan jangka waktu sehingga jatuh waktu ULN
Bank tersebut menjadi bulan Desember 2020.
Dalam kasus ini, ULN Bank D setelah diperpendek jangka
waktunya diperlakukan sebagai Kewajiban Jangka Pendek,
sehingga harus diperhitungkan dalam kewajiban pembatasan
saldo harian Kewajiban Jangka Pendek mulai 21 November 2020.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โmasuk pasarโ adalah:
a. untuk ULN Bank dalam bentuk perjanjian pinjaman yaitu pada
saat perjanjian pinjaman ditandatangani oleh kedua belah
pihak.
b. untuk surat utang yang diterbitkan di bursa yaitu pada saat
dimulainya penawaran resmi di pasar (public expose).
c. untuk surat utang yang diterbitkan melalui private
placement yaitu pada saat tanggal penerbitan surat utang.
d. untuk TPR yaitu pada saat tanggal efektif perjanjian TPR
antara participant dan grantor atas pengalihan risiko suatu
kredit tertentu dan/atau fasilitas lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
10
Huruf b
Yang dimaksud dengan โdireksiโ adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai
rencana bisnis bank.
Bank Indonesia dapat meminta informasi kepada OJK untuk
memastikan pencantuman rencana Pinjaman Luar Negeri
yang diajukan Bank kepada Bank Indonesia dalam rencana
bisnis Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Contoh:
Bank C memiliki ULN Bank dalam bentuk perjanjian kredit (loan
agreement) dengan jangka waktu 10 (sepuluh) bulan. Dua bulan
sebelum ULN Bank tersebut jatuh waktu, Bank C melakukan
reschedule dengan jangka waktu baru 13 (tiga belas) bulan.
Dalam kasus ini, ULN Bank C setelah reschedule merupakan
Kewajiban Jangka Panjang sehingga harus memperoleh
persetujuan rencana masuk pasar dari Bank Indonesia dan
menyampaikan laporan realisasi masuk pasar kepada Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
11
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โlengkapโ antara lain jenis dokumen
dan kualitas informasi yang disampaikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Rekomendasi OJK antara lain terkait profil risiko, analisis
proyeksi arus kas, dan kondisi keuangan Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โaksi korporasiโ adalah penggabungan,
peleburan, pemisahan, atau pengambilalihan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perseroan terbatas.
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โtanggal penyelesaian transaksiโ
adalah tanggal pada saat transfer dana dan surat utang telah
diselesaikan oleh para pihak yang melakukan transaksi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โperbedaan syarat dan ketentuanโ
antara lain perbedaan pada bentuk kewajiban, mata uang,
12
jumlah kewajiban, suku bunga atau kupon, maturity profile
pada pokok dan bunga, biaya terkait, dan debt covenants.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Contoh jenis pelanggaran yang disebutkan dalam surat
pemberitahuan sanksi antara lain berupa pelanggaran atas
penerimaan Kewajiban Jangka Panjang melebihi dari
nominal yang diizinkan atau pelanggaran atas penerimaan
Kewajiban Jangka Panjang tanpa izin Bank Indonesia.
Huruf b
Tanggal pelanggaran untuk pelanggaran berupa penerimaan
Kewajiban Jangka Panjang melebihi dari nominal yang
diizinkan atau pelanggaran atas penerimaan Kewajiban
Jangka Panjang tanpa izin Bank Indonesia yaitu tanggal
tercatatnya Kewajiban Jangka Panjang dalam neraca Bank,
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Masa 1 (satu) tahun yang digunakan untuk menentukan
pelanggaran kedua kali dihitung sejak tanggal pelanggaran
yang pertama.
Masa sanksi larangan mengajukan permohonan persetujuan
rencana masuk pasar selama 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal pengenaan sanksi yang tertera pada surat
pemberitahuan pengenaan sanksi.
13
Huruf f
Jenis pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter
yaitu:
1. Bank hanya diperbolehkan mengikuti Operasi Moneter
pada instrumen lelang repo SBN 1 minggu dan lending
facility/financing facility; atau
2. hanya diperbolehkan mengikuti Operasi Moneter pada
instrumen lending facility/financing facility.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โlaporan terkait ULN Bank dan kewajiban
Bank lainnya dalam valuta asingโ antara lain:
1. laporan lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah.
2. laporan harian bank umum sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
harian bank umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
14
Pasal 20
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/3/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 15 Februari 2019 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '15/36/DKEM|SE-BI/2013', '10/32/DInt|SE-BI/2008', '16/4/DKEM|SE-BI/2014', '14/30/DInt|SE-BI/2012', '9/1/DInt|SE-BI/2007' </replaced_reg>
<related_reg> '21/1/PBI/2019' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/6/PADG/2018
TENTANG
PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk
mencapai tujuan Bank Indonesia, Bank Indonesia
melakukan pengendalian moneter yang salah satunya
melalui pelaksanaan operasi moneter, baik secara
konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa dalam melaksanakan operasi
moneter
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bank Indonesia
perlu mengatur tata cara pelaksanaan operasi pasar
terbuka, baik secara konvensional maupun berdasarkan
prinsip syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Pelaksanaan Operasi
Pasar Terbuka;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6198);
2
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah.
2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter
oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat
OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan
secara konvensional.
7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS
adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
3
Indonesia untuk pengendalian moneter, yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah.
8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT
adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar
valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya
disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di
pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan
oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain.
10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut
OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang
berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing
yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS,
dan/atau pihak lain.
11. Peserta OPT adalah peserta OPT Konvensional dan peserta
OPT Syariah.
12. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMK
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter.
13. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter.
14. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah dan
valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer
utama yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia
sebagai lembaga perantara dalam Operasi Moneter
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter.
15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang
4
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek.
16. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip
syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek.
17. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang
rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat
diperdagangkan hanya antar-BUK.
18. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang
selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga
dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
19. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat utang negara dan surat berharga syariah
negara.
20. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang
negara.
21. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai surat berharga syariah negara.
22. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk
OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi
Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat
berharga oleh Peserta OPT Konvensional kepada Bank
Indonesia, dengan kewajiban pembelian kembali oleh
Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
23. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk
OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT
Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh
Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia dengan janji
5
pembelian kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
24. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT
Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse
Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat
berharga oleh Peserta OPT Konvensional dari Bank
Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh
Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
25. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT
Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo
OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat berharga
oleh Peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan
janji penjualan kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
26. Penempatan Berjangka OPT Konvensional yang
selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional adalah penempatan dana secara berjangka
di Bank Indonesia dalam rupiah dan/atau valuta asing
milik Peserta OPT Konvensional.
27. Penempatan Berjangka OPT Syariah yang selanjutnya
disebut Transaksi Term Deposit OPT Syariah adalah
penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia
dalam valuta asing milik Peserta OPT Syariah.
28. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank
Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing.
29. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat berharga
milik Bank pada BI-SSSS dalam mata uang rupiah
dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank
Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan setelmen
atas transaksi surat berharga, transaksi dengan Bank
Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan.
30. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia
sebagai peserta BI-SSSS untuk melakukan fungsi
penatausahaan bagi kepentingan nasabah.
6
31. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI-
RTGS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen
dana seketika.
32. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
33. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang
selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem BI-ETP
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
34. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya
disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank
kepada Bank Indonesia secara harian, termasuk
penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari
Bank Indonesia.
35. Bank Koresponden adalah bank yang memelihara
rekening giro valuta asing dalam rangka pembayaran
dan/atau penerimaan dana valuta asing ke dan/atau dari
Bank.
36. Bank Pembayar adalah bank yang memiliki Rekening Giro
valuta asing di Bank Indonesia untuk melakukan
pembayaran dan/atau penerimaan dana dalam rangka
setelmen transaksi SBBI Valas.
37. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta asing
terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2
(dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
38. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli
valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan
7
penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal transaksi.
39. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual
valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan
penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal transaksi.
40. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta asing
terhadap rupiah melalui pembelian atau penjualan tunai
(spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara
berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan
dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga
yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi
dilakukan.
41. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia adalah transaksi jual
valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara
tunai (spot) dengan diikuti transaksi pembelian kembali
valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara
berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan
dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga
yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi
dilakukan.
42. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia adalah transaksi beli
valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara
tunai (spot) dengan diikuti transaksi penjualan kembali
valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara
berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan
dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga
yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi
dilakukan.
43. Standard Settlement Instruction adalah suatu pedoman
tertentu dalam melakukan transfer dana melalui sarana
telekomunikasi yang antara lain memuat nama Bank
Koresponden, nomor rekening, kode kliring, dan kode
Society for Worldwide Interbank Financial
Telecommunication (SWIFT).
8
44. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan
lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
45. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia adalah transaksi
jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia
dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari
kerja setelah tanggal transaksi.
46. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah transaksi
beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia
dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari
kerja setelah tanggal transaksi.
47. Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang
selanjutnya disebut JISDOR adalah representasi harga
spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah dari transaksi
antar Bank di pasar domestik, termasuk transaksi Bank
dengan bank di luar negeri, yang informasi data
transaksinya dapat diakses melalui Sistem Monitoring
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara
bank dengan pihak domestik.
48. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan Rekening Surat Berharga
penatausahaan.
untuk
49. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan Rekening Giro di Bank Indonesia melalui
Sistem BI-RTGS untuk penatausahaan.
50. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP
adalah mekanisme setelmen transaksi dengan cara
Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana dilakukan
secara bersamaan.
51. Pelunasan atau Pencairan Sebelum Jatuh Waktu yang
selanjutnya disebut Early Redemption adalah pelunasan
SBI, SDBI, SBBI Valas sebelum jatuh waktu atau
pencairan Term Deposit OPT Konvensional atau Term
Deposit OPT Syariah sebelum jatuh waktu.
9
52. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk
hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia.
BAB II
TRANSAKSI OPT KONVENSIONAL
Pasal 2
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara bertanggung
jawab atas kebenaran data penawaran OPT Konvensional yang
diajukan kepada Bank Indonesia.
Pasal 3
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dilarang
membatalkan penawaran OPT Konvensional yang diajukan
kepada Bank Indonesia.
Bagian Kesatu
Penerbitan SBI
Paragraf 1
Pengumuman Lelang SBI
Pasal 4
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SBI dan
perubahannya paling lambat sebelum window time
melalui Sistem BI-ETP, Sistem-LHBU, dan/atau sarana
lain.
(2) Pengumuman rencana lelang SBI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat informasi:
a. sarana transaksi;
b. hari dan tanggal lelang;
c. window time;
d. jangka waktu;
e. tanggal jatuh waktu;
f.
metode lelang;
g.
target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender);
10
h. tingkat diskonto SBI, apabila lelang dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender);
tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
informasi lainnya.
i.
j.
Paragraf 2
Pengajuan Penawaran Lelang SBI
Pasal 5
Peserta OPT Konvensional secara langsung dan/atau melalui
Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang SBI kepada
Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang
ditetapkan.
Pasal 6
(1) Pengajuan penawaran lelang SBI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 meliputi informasi:
a.
b.
nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga
tetap (fixed rate tender); atau
nilai nominal dan tingkat diskonto, untuk lelang
dengan metode harga beragam (variable rate tender),
untuk masing-masing jangka waktu SBI yang akan
diterbitkan.
(2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran
dengan nilai
nominal
paling sedikit
sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya
dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(3) Dalam hal lelang SBI dilakukan dengan metode harga
beragam (variable rate tender), pengajuan setiap
penawaran tingkat diskonto dilakukan dengan kelipatan
sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen).
11
Paragraf 3
Penetapan Pemenang Lelang SBI
Pasal 7
(1) Dalam hal lelang SBI dilakukan dengan metode harga
tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang
dihitung dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Konvensional dapat
dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai
dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan
pembulatan nominal terkecil SBI
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
sebesar
(2) Dalam hal lelang SBI dilakukan dengan metode harga
beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang
dihitung dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan tingkat diskonto
tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate
(SOR); dan
b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang
dimenangkan dengan cara:
1. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan
Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari Stop
Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan memenangkan
seluruh penawaran SBI yang diajukan; atau
2. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan
Peserta OPT Konvensional sama dengan Stop Out
Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan memenangkan
seluruh atau sebagian penawaran SBI yang
diajukan secara proporsional sesuai dengan
perhitungan Bank Indonesia, dengan
pembulatan nominal terkecil SBI sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
12
Pasal 8
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
SBI.
Paragraf 4
Pengumuman Hasil Lelang SBI
Pasal 9
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SBI setelah
dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank
Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem
BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal,
tingkat diskonto, nilai tunai SBI yang dimenangkan,
dan/atau informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem-LHBU,
dan/atau sarana lain, berupa rata-rata tertimbang tingkat
diskonto SBI, Stop Out Rate (SOR), nilai nominal seluruh
penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran
yang dimenangkan, dan/atau informasi lainnya.
Paragraf 5
Setelmen SBI
Pasal 10
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang SBI
paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman
hasil lelang SBI.
(2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki dana di
Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen
hasil lelang SBI.
Pasal 11
(1) Bank Indonesia melakukan Setelmen Dana hasil lelang
SBI dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional sebesar nilai tunai SBI dan Setelmen Surat
13
Berharga dengan mengkredit Rekening Surat Berharga
Peserta OPT Konvensional sebesar nilai nominal SBI.
(2) Nilai tunai SBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan diskonto murni (true discount)
dengan rumus:
Nilai Diskonto = Nilai Nominal - Nilai Tunai
Nilai Tunai
SBI
Keterangan:
Nilai Nominal
Tingkat
Diskonto
Nilai Nominal x 360
=
360+(Tingkat Diskonto x Jangka Waktu)
= nilai nominal SBI yang dimenangkan
= tingkat diskonto yang dimenangkan
Jangka Waktu = jumlah hari yang dihitung 1 (satu)
hari kalender sesudah tanggal
setelmen lelang SBI sampai dengan
tanggal jatuh waktu
(3) Contoh perhitungan nilai tunai dan nilai diskonto SBI
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Setelmen Dana dan Setelmen Surat Berharga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to
gross) dan DVP.
Pasal 12
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional tidak mencukupi untuk memenuhi
kewajiban setelmen sampai dengan sebelum periode cut-
off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan
kegagalan setelmen lelang SBI, BI-SSSS secara otomatis
membatalkan transaksi lelang SBI yang dimenangkan
Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan.
(2) Dalam hal pada lelang SBI yang sama terdapat lebih dari
1 (satu) kali pembatalan transaksi SBI sebagaimana
14
dimaksud pada ayat (1), untuk perhitungan pengenaan
sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK,
pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu)
kali.
Pasal 13
(1) Setelmen pelunasan SBI dilakukan pada tanggal jatuh
waktu SBI.
(2) BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen pelunasan
sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum
periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
(3) Bank Indonesia melunasi SBI jatuh waktu berdasarkan
pencatatan kepemilikan SBI yang tercatat di BI-SSSS pada
1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal jatuh waktu SBI.
(4) Dalam hal setelah terjadinya transaksi, tanggal jatuh
waktu SBI ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah,
pelaksanaan setelmen pelunasan SBI dilakukan pada Hari
Kerja berikutnya, tanpa memperhitungkan tambahan
diskonto untuk hari libur dimaksud.
(5) Bank Indonesia melakukan pelunasan SBI pada tanggal
jatuh waktu dengan:
a. mengkredit Rekening Giro rupiah pemilik SBI sebesar
nilai nominal SBI jatuh waktu; dan
b. mendebit Rekening Surat Berharga pemilik SBI
sebesar nilai nominal SBI jatuh waktu.
Paragraf 6
Pembatasan Transaksi SBI (Minimum Holding Period)
Pasal 14
Dalam jangka waktu 1 (satu) minggu, yaitu 7 (tujuh) hari
kalender sejak tanggal setelmen pembelian, pemilik SBI
dilarang mentransaksikan SBI yang dimilikinya dengan pihak
lain.
15
Pasal 15
Larangan mentransaksikan SBI yang dimiliki dengan pihak lain
dalam jangka waktu 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) hari
kalender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku
untuk transaksi SBI oleh Peserta OPT Konvensional dengan
Bank Indonesia.
Pasal 16
Sub-Registry wajib menatausahakan SBI milik nasabahnya
dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 dan Pasal 15.
Pasal 17
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan tidak langsung
dan/atau pemeriksaan atas pelaksanaan pembatasan
transaksi SBI selama 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) hari
kalender sejak kepemilikan SBI oleh Peserta OPT
Konvensional dan Sub-Registry.
(2) Dalam hal terdapat indikasi pelanggaran pelaksanaan atas
pembatasan transaksi SBI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia menyampaikan surat permintaan
konfirmasi kepada Peserta OPT Konvensional dan/atau
Sub-Registry.
(3) Peserta OPT Konvensional dan/atau Sub-Registry yang
menerima surat permintaan konfirmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menyampaikan tanggapan secara
tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) hari
kerja setelah tanggal surat permintaan konfirmasi dari
Bank Indonesia.
(4) Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) Peserta OPT Konvensional
dan/atau Sub-Registry tidak menyampaikan tanggapan
tertulis maka Peserta OPT Konvensional dan/atau Sub-
Registry dianggap mengkonfirmasi indikasi pelanggaran
tersebut.
16
Bagian Kedua
Penerbitan SDBI
Paragraf 1
Pengumuman Lelang SDBI
Pasal 18
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SDBI dan
perubahannya paling lambat sebelum window time
melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana
lain.
(2) Pengumuman rencana lelang SDBI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat informasi:
a. sarana transaksi;
b. hari dan tanggal lelang;
c. window time;
d. jangka waktu;
e. tanggal jatuh waktu;
f.
metode lelang;
g.
target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender);
h. tingkat diskonto SDBI, apabila lelang dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender);
tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
informasi lainnya.
i.
j.
Paragraf 2
Pengajuan Penawaran Lelang SDBI
Pasal 19
Peserta OPT Konvensional secara langsung dan/atau melalui
Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang SDBI
kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window
time yang ditetapkan.
17
Pasal 20
(1) Pengajuan penawaran lelang SDBI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 meliputi informasi:
a.
b.
nilai nominal dan tingkat diskonto, untuk lelang
dengan metode harga beragam (variable rate tender),
untuk masing-masing jangka waktu SDBI yang akan
diterbitkan.
(2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan nilai nominal
paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal lelang SDBI dilakukan dengan metode harga
beragam (variable rate tender), pengajuan setiap
penawaran tingkat diskonto dilakukan dengan kelipatan
sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen).
Paragraf 3
Penetapan Pemenang Lelang SDBI
Pasal 21
(1) Dalam hal lelang SDBI dilakukan dengan metode harga
tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang
dihitung dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan
Peserta OPT Konvensional
dapat
dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai
dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan
pembulatan nominal terkecil SDBI sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Dalam hal lelang SDBI dilakukan dengan metode harga
beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang
dihitung dengan cara:
nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga
tetap (fixed rate tender); atau
18
a. Bank Indonesia menetapkan tingkat diskonto
tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate
(SOR); dan
b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang
dimenangkan dengan cara:
1. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan
Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari Stop
Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan memenangkan
seluruh penawaran SDBI yang diajukan; atau
2. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan
Peserta OPT Konvensional sama dengan Stop Out
Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan memenangkan
seluruh atau sebagian penawaran SDBI yang
diajukan secara proporsional sesuai dengan
perhitungan Bank Indonesia, dengan
pembulatan nominal terkecil SDBI sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 22
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
SDBI.
Paragraf 4
Pengumuman Hasil Lelang SDBI
Pasal 23
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SDBI setelah
dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank
Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem
BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal,
tingkat diskonto, nilai tunai SDBI yang dimenangkan
dan/atau informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU,
dan/atau sarana lain, berupa rata-rata tertimbang tingkat
19
diskonto SDBI, Stop Out Rate (SOR), nilai nominal seluruh
penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran
yang dimenangkan, dan/atau informasi lainnya.
Paragraf 5
Setelmen SDBI
Pasal 24
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang SDBI
paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman
hasil lelang SDBI.
(2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki dana di
Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen
hasil lelang SDBI.
Pasal 25
(1) Bank Indonesia melakukan Setelmen Dana hasil lelang
SDBI dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional sebesar nilai tunai SDBI dan Setelmen Surat
Berharga dengan mengkredit Rekening Surat Berharga
Peserta OPT Konvensional sebesar nilai nominal SDBI.
(2) Nilai tunai SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan diskonto murni (true discount)
dengan rumus:
Nilai Diskonto = Nilai Nominal โ Nilai Tunai
Nilai Tunai
SDBI
Keterangan:
Nilai Nominal
Tingkat
Diskonto
Nilai Nominal x 360
=
360+(Tingkat Diskonto x Jangka Waktu)
= nilai nominal SDBI yang
dimenangkan
= tingkat diskonto yang dimenangkan
Jangka Waktu = jumlah hari yang dihitung 1 (satu)
hari kalender sesudah tanggal
20
setelmen lelang SDBI sampai
dengan tanggal jatuh waktu
(3) Contoh perhitungan nilai tunai dan nilai diskonto SDBI
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Setelmen Dana dan Setelmen Surat Berharga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to
gross) dan DVP.
Pasal 26
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional tidak mencukupi untuk memenuhi
kewajiban setelmen sampai dengan sebelum periode cut-
off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan
kegagalan setelmen lelang SDBI, BI-SSSS secara otomatis
membatalkan transaksi lelang SDBI yang dimenangkan
Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan.
(2) Dalam hal pada lelang SDBI yang sama terdapat lebih dari
1 (satu) kali pembatalan transaksi SDBI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), untuk perhitungan pengenaan
sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK,
pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu)
kali.
Pasal 27
(1) Setelmen pelunasan SDBI dilakukan pada tanggal jatuh
waktu SDBI.
(2) BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen pelunasan
sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum
periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
(3) Bank Indonesia melunasi SDBI jatuh waktu berdasarkan
pencatatan kepemilikan SDBI yang tercatat di BI-SSSS
pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal jatuh waktu
SDBI.
21
(4) Dalam hal setelah terjadinya transaksi, tanggal jatuh
waktu SDBI ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah,
pelaksanaan setelmen pelunasan SDBI dilakukan pada
Hari Kerja berikutnya, tanpa memperhitungkan tambahan
diskonto untuk hari libur dimaksud.
(5) Bank Indonesia melakukan pelunasan SDBI pada tanggal
jatuh waktu dengan:
a. mengkredit Rekening Giro rupiah pemilik SDBI
sebesar nilai nominal SDBI jatuh waktu; dan
b. mendebit Rekening Surat Berharga pemilik SDBI
sebesar nilai nominal SDBI jatuh waktu.
Paragraf 6
Pembatasan Transaksi SDBI di Pasar Sekunder
Pasal 28
BUK dilarang memindahtangankan atau mentransaksikan
SDBI yang dimilikinya dengan pihak selain BUK.
Pasal 29
BUK dapat mentransaksikan SDBI dengan Bank Indonesia.
Pasal 30
Sub-Registry wajib menatausahakan SDBI milik nasabahnya
dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28.
Pasal 31
Bank Indonesia melakukan pengawasan tidak langsung
dan/atau pemeriksaan atas pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 oleh BUK dan Sub-
Registry.
Pasal 32
(1) Atas pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28, Bank Indonesia melakukan
22
Early Redemption atas SDBI yang dimiliki oleh pihak selain
BUK tanpa persetujuan pemilik.
(2) Perhitungan Early Redemption sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal
setelmen pemindahtanganan SDBI ke pihak selain BUK.
(3) Perhitungan Early Redemption atas SDBI mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi
moneter.
Bagian Ketiga
Penerbitan SBBI Valas
Paragraf 1
Pendaftaran dan Pengkinian Informasi untuk Mengikuti
Lelang SBBI Valas
Pasal 33
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melakukan
pendaftaran dan/atau pengkinian informasi sebelum
mengikuti pelaksanaan lelang SBBI Valas.
Pasal 34
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
menyampaikan surat permohonan pendaftaran untuk
mengikuti lelang SBBI Valas yang dilengkapi dengan
informasi paling sedikit 2 (dua) nama pegawai yang
ditunjuk untuk melakukan transaksi lelang SBBI Valas.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh pejabat yang berwenang
mewakili Peserta OPT Konvensional atau Lembaga
Perantara.
(3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menggunakan format sebagaimana contoh dalam
Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
23
(4) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
alamat sebagai berikut:
Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
Nomor Faksimile 021-2310347
(5) Penyampaian surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat didahului dengan faksimile.
(6) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia
memberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya.
Pasal 35
Pengajuan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) dapat disampaikan bersamaan dengan
pengajuan izin kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kepesertaan operasi moneter.
Pasal 36
(1) Dalam hal terjadi perubahan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), Peserta OPT
Konvensional dan Lembaga Perantara menyampaikan
pengkinian
informasi
melalui surat, dengan
menggunakan format sebagaimana contoh dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4).
24
Paragraf 2
Pengumuman Lelang SBBI Valas
Pasal 37
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SBBI
Valas dan perubahannya paling lambat sebelum window
time melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia, Sistem-LHBU, website Bank Indonesia,
dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan Bank
Indonesia.
(2) Pengumuman rencana lelang SBBI Valas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi:
a. sarana transaksi;
b. hari dan tanggal lelang;
c.
seri;
d. window time;
e. jangka waktu;
f.
tanggal jatuh waktu;
g. metode lelang;
h. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender);
i.
j.
tingkat diskonto SBBI Valas, apabila lelang dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender);
tanggal setelmen; dan/atau
k. informasi lainnya.
Paragraf 3
Pengajuan Penawaran Lelang SBBI Valas
Pasal 38
(1) Pengajuan penawaran transaksi SBBI Valas untuk lelang
dengan metode harga tetap (fixed rate tender) memuat
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nama lelang (auction name);
b. penawaran nilai nominal;
c.
tingkat diskonto sesuai dengan yang diumumkan
oleh Bank Indonesia;
25
d. participant code BI-SSSS yang mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui BI-SSSS yaitu sebagai berikut:
1. dalam hal
Peserta OPT Konvensional
mengajukan atas nama diri sendiri, participant
code yang digunakan adalah participant code
Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan;
2. dalam hal Peserta OPT Konvensional dan/atau
Lembaga Perantara mengajukan atas nama
Peserta OPT Konvensional lain, participant code
yang digunakan adalah participant code Peserta
OPT Konvensional lain tersebut; atau
3. dalam hal
Peserta OPT Konvensional
mengajukan atas nama pembeli SBBI Valas yang
tidak memiliki Rekening Surat Berharga,
participant code yang digunakan adalah
participant code Sub-Registry.
(2) Pengajuan penawaran transaksi SBBI Valas untuk lelang
dengan metode harga beragam (variable rate tender)
memuat informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nama lelang (auction name);
b. penawaran nilai nominal;
c.
tingkat diskonto;
d. participant code BI-SSSS yang mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui BI-SSSS yaitu sebagai berikut:
1. dalam hal
Peserta OPT Konvensional
mengajukan atas nama diri sendiri, participant
code yang digunakan adalah participant code
Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan;
2. dalam hal Peserta OPT Konvensional dan/atau
Lembaga Perantara mengajukan atas nama
Peserta OPT Konvensional lain, participant code
yang digunakan adalah participant code Peserta
OPT Konvensional lain tersebut; atau
26
3. dalam hal
Peserta OPT Konvensional
mengajukan atas nama pembeli SBBI Valas yang
tidak memiliki Rekening Surat Berharga,
participant code yang digunakan adalah
participant code Sub-Registry.
Pasal 39
(1) Pengajuan penawaran nilai nominal dari masing-masing
Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara
paling sedikit sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan
USD1,000.00 (seribu dolar Amerika Serikat).
(2) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat
mengajukan penawaran paling banyak sebesar USD
100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat) per
pengajuan penawaran.
(3) Dalam hal lelang transaksi SBBI Valas dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan
penawaran diskonto diajukan dengan kelipatan 0,1 bps
(nol koma satu basis point) atau 0,001% (nol koma nol nol
satu persen).
Pasal 40
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara yang
mengikuti lelang penerbitan SBBI Valas harus
menyampaikan penawaran lelang SBBI Valas dengan
informasi yang lengkap dan benar berdasarkan dokumen
instruksi transaksi.
(2) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
mengajukan penawaran lelang transaksi SBBI Valas
kepada Bank Indonesia melalui sarana dealing system dan
dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran lelang
SBBI Valas.
27
(4) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara yang
telah mengajukan penawaran lelang SBBI Valas tidak
dapat membatalkan penawarannya.
(5) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi
kepada Peserta OPT Konvensional mengenai penawaran
lelang SBBI Valas yang telah diajukan untuk kepentingan
Peserta OPT Konvensional.
(6) Dalam hal Peserta OPT Konvensional atau Lembaga
Perantara mengajukan penawaran lelang SBBI Valas atas
nama pihak yang diwakilinya maka Peserta OPT
Konvensional atau Lembaga Perantara bertanggung jawab
atas aturan pemenuhan batas paling tinggi nominal
penawaran (broker bidding limit) yang telah disepakati
antara Peserta OPT Konvensional atau Lembaga Perantara
dengan pihak yang diwakilinya.
Pasal 41
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat
melakukan koreksi atas informasi pengajuan penawaran
lelang SBBI Valas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
selama window time lelang SBBI Valas.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan terhadap informasi pengajuan penawaran
selain nama lelang (auction name).
Paragraf 4
Penetapan Pemenang Lelang SBBI Valas
Pasal 42
(1) Dalam hal lelang SBBI Valas dilakukan dengan metode
harga tetap (fixed rate tender), penetapan SBBI Valas yang
dimenangkan dihitung dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan oleh Peserta
OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan oleh Peserta OPT Konvensional dapat
dimenangkan sebagian dengan perhitungan secara
28
proporsional dengan pembulatan nominal terkecil
SBBI Valas sebesar USD1,000.00 (seribu dolar
Amerika Serikat).
(2) Dalam hal lelang SBBI Valas dilakukan dengan metode
harga beragam (variable rate tender), penetapan SBBI
Valas yang dimenangkan dihitung dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan tingkat diskonto
tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate
(SOR);
b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang
dimenangkan dengan cara:
1. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan
Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari SOR
yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan
memenangkan seluruh
penawaran SBBI Valas yang diajukan; dan
2. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan
Peserta OPT Konvensional sama dengan SOR
yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan memenangkan seluruh atau
sebagian penawaran SBBI Valas yang diajukan
sebesar hasil perhitungan secara proporsional
dengan pembulatan nominal terkecil SBBI Valas
sebesar USD1.000,00 (seribu dolar Amerika
Serikat).
c. Contoh penetapan perhitungan nilai nominal
pemenang lelang SBBI Valas berdasarkan metode
harga tetap (fixed rate tender) dan harga beragam
(variable rate tender) sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b tercantum dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 43
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
SBBI Valas.
29
Paragraf 5
Pengumuman Hasil Lelang SBBI Valas
Pasal 44
Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SBBI Valas
setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh
Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui sarana
dealing system dan/atau sarana lain berupa pemenang
lelang SBBI Valas, nilai nominal yang dimenangkan, nilai
tunai yang dimenangkan, tingkat diskonto, dan/atau
informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan melalui sistem LHBU dan/atau sarana
lain, berupa seri, mata uang, nilai nominal seluruh
penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran
yang dimenangkan, rata-rata tertimbang tingkat diskonto,
tanggal jatuh waktu, dan/atau informasi lainnya.
Paragraf 6
Setelmen SBBI Valas
Pasal 45
Setelmen hasil lelang SBBI Valas dilakukan paling lama 3 (tiga)
Hari Kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang SBBI Valas.
Pasal 46
(1) Pelaksanaan setelmen atas transaksi SBBI Valas,
dilakukan dengan mendebit atau mengkredit:
a. Rekening Giro valuta asing dalam denominasi dolar
Amerika Serikat (USD); dan/atau
b. Rekening Surat Berharga.
(2) Kecukupan dana pada Rekening Giro valuta asing untuk
pelaksanaan setelmen memperhitungkan:
a. saldo efektif Rekening Giro valuta asing posisi akhir
hari pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal
setelmen SBBI Valas; dan
30
b.
hasil pelaksanaan setelmen transaksi surat berharga
dalam valuta asing melalui BI-SSSS pada tanggal
setelmen.
(3) Dalam hal penyediaan dana pada Rekening Giro valuta
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan
melalui rekening giro Bank Indonesia di bank koresponden
maka penyetoran dana dalam valuta asing harus telah
efektif pada rekening giro Bank Indonesia di Federal
Reserve Bank of New York paling lambat 1 (satu) Hari Kerja
sebelum tanggal setelmen SBBI Valas.
(4) Pelaksanaan penatausahaan SBBI Valas dilakukan
dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan
surat berharga melalui BI-SSSS.
Pasal 47
(1) Peserta OPT Konvensional wajib menyediakan dana yang
cukup di Rekening Giro valuta asing untuk penyelesaian
kewajiban pada waktu penyelesaian transaksi.
(2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dana
yang harus disediakan oleh Bank Pembayar.
Pasal 48
Pembeli SBBI Valas yang tidak memiliki Rekening Surat
Berharga harus menunjuk Sub-Registry untuk pelaksanaan
setelmen hasil lelang SBBI Valas.
Pasal 49
(1) Pembeli SBBI Valas yang tidak memiliki Rekening Giro
valuta asing harus menunjuk Bank Pembayar untuk
pelaksanaan setelmen hasil lelang SBBI Valas.
(2) Prosedur penunjukan Bank Pembayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS.
31
Pasal 50
(1) Pada tanggal pelaksanaan setelmen hasil Lelang SBBI
Valas, dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Setelmen Dana dilakukan dengan mendebit:
1) Rekening Giro valuta asing Peserta OPT
Konvensional, dalam hal pembeli SBBI Valas
adalah Peserta OPT Konvensional; atau
2) Rekening Giro valuta asing Bank Pembayar,
dalam hal pembeli SBBI Valas tidak memiliki
Rekening Giro valuta asing,
sebesar nilai tunai SBBI Valas.
b. Setelmen Surat Berharga dilakukan dengan
mengkredit:
1) Rekening Surat Berharga Peserta OPT
Konvensional, dalam hal pembeli SBBI Valas
adalah Peserta OPT Konvensional; atau
2) Rekening Surat Berharga Sub-Registry, dalam
hal pembeli SBBI Valas tidak memiliki Rekening
Surat Berharga,
sebesar nilai nominal SBBI Valas yang dimenangkan.
(2) Nilai tunai SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dihitung berdasarkan diskonto murni (true discount)
dengan rumus sebagai berikut:
Nilai Diskonto = Nilai Nominal โ Nilai Tunai
Nilai Nominal x 360
Nilai Tunai =
Keterangan:
Nilai Nominal
Tingkat
Diskonto
360 + (Tingkat Diskonto x Jangka Waktu)
= nilai nominal SBBI Valas yang
dimenangkan
= tingkat diskonto yang dimenangkan
Jangka Waktu = jumlah hari yang dihitung 1 (satu)
hari kalender sesudah tanggal
setelmen lelang SBBI Valas sampai
dengan tanggal jatuh waktu
32
Pasal 51
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro valuta asing Peserta OPT
Konvensional atau Bank Pembayar tidak mencukupi
untuk setelmen lelang SBBI Valas
mengakibatkan kegagalan setelmen lelang SBBI Valas
maka Bank Indonesia membatalkan transaksi lelang SBBI
Valas yang dimenangkan Peserta OPT Konvensional atau
pihak lain yang diwakili oleh Peserta OPT Konvensional
yang bersangkutan.
(2) Dalam hal pada lelang SBBI Valas yang sama terdapat
lebih dari 1 (satu) kali pembatalan transaksi SBBI Valas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk perhitungan
pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti
kegiatan OMK, pembatalan transaksi tersebut dihitung
sebanyak 1 (satu) kali.
Pasal 52
(1) Setelmen pelunasan SBBI Valas dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Indonesia melakukan pelunasan SBBI Valas
pada tanggal jatuh waktu SBBI Valas atau sebelum
tanggal jatuh waktu pelunasan SBBI Valas.
b. Pelunasan SBBI Valas sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, berdasarkan posisi pencatatan kepemilikan
SBBI Valas di BI-SSSS pada 3 (tiga) Hari Kerja
sebelum tanggal jatuh waktu pelunasan pokok SBBI
Valas.
c. Bank Indonesia melakukan setelmen pelunasan SBBI
Valas sebagaimana dimaksud dalam huruf a sebagai
berikut:
1. Setelmen Dana dilakukan dengan mengkredit
sebesar nilai nominal SBBI Valas pada:
a) Rekening Giro valuta asing Peserta OPT
Konvensional untuk kepemilikan SBBI
Valas atas nama Peserta OPT Konvensional
tersebut; atau
sehingga
33
b) Rekening Giro valuta asing Bank Pembayar
yang ditunjuk oleh Sub-Registry untuk
kepemilikan SBBI Valas atas nama
nasabah.
2. Setelmen Surat Berharga dilakukan dengan
mendebit sebesar nilai nominal SBBI Valas yang
dilunasi pada:
a) Rekening Surat Berharga Peserta OPT
Konvensional untuk kepemilikan SBBI
Valas atas nama Peserta OPT Konvensional
tersebut; dan/atau
b) Rekening Surat Berharga Sub-Registry
untuk kepemilikan SBBI Valas atas nama
nasabah.
(2) Dalam hal setelah terjadinya transaksi penerbitan SBBI
Valas, tanggal setelmen hasil lelang, atau tanggal jatuh
waktu SBBI Valas ditetapkan sebagai hari libur oleh
pemerintah, pelaksanaan setelmen transaksi dimaksud
dilakukan pada Hari Kerja berikutnya tanpa
memperhitungkan pengurangan atau penambahan nilai
diskonto untuk hari libur dimaksud.
Bagian Keempat
Transaksi Repo OPT Konvensional
Paragraf 1
Pengumuman Lelang Transaksi Repo OPT Konvensional
Pasal 53
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi
Repo OPT Konvensional dan perubahannya paling lambat
sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem
LHBU, dan/atau sarana lain.
(2) Pengumuman rencana lelang Transaksi Repo OPT
Konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat informasi:
a. sarana transaksi;
34
b. hari dan tanggal lelang;
c. window time;
d. jangka waktu;
e. tanggal jatuh waktu;
f. metode lelang;
g.
target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender);
h. suku bunga repo (repo rate), apabila lelang dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender);
jenis surat berharga yang dapat di-repo-kan;
i.
j. haircut;
k. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
l.
informasi lainnya.
(3) Dalam hal Transaksi Repo OPT Konvensional
menggunakan surat berharga dalam valuta asing maka
pengumuman rencana lelang, selain mengumumkan hal-
hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
juga
mengumumkan acuan harga untuk surat berharga dalam
valuta asing dan acuan kurs transaksi.
Paragraf 2
Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Repo OPT
Konvensional
Pasal 54
Peserta OPT Konvensional secara langsung dan/atau melalui
Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang Transaksi
Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam rupiah
atau dalam valuta asing kepada Bank Indonesia melalui Sistem
BI-ETP atau sarana dealing system dalam window time yang
ditetapkan.
Pasal 55
(1) Pengajuan penawaran lelang Transaksi Repo OPT
Konvensional dengan surat berharga dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 meliputi informasi:
35
a. nilai nominal, jenis dan seri surat berharga yang di-
repo-kan, untuk lelang dengan metode harga tetap
(fixed rate tender); atau
b. nilai nominal, jenis dan seri surat berharga yang di-
repo-kan, dan repo rate, untuk lelang dengan metode
harga beragam (variable rate tender),
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Repo OPT
Konvensional yang akan dilakukan.
(2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran
dengan
nilai nominal
paling sedikit
sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya
dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender), pengajuan setiap penawaran repo
rate dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma
nol satu persen).
Pasal 56
(1) Pengajuan penawaran lelang Transaksi Repo OPT
Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing
sebagaimana dalam Pasal 54 diatur dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Kurs yang digunakan dalam Transaksi Repo OPT
Konvensional dengan surat berharga dalam valuta
asing adalah kurs tengah dari kurs transaksi Bank
Indonesia pada tanggal transaksi.
b. Pengajuan penawaran meliputi informasi:
1. dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga
tetap (fixed rate tender):
a) nama Peserta OPT Konvensional;
b) tanggal transaksi;
c) jangka waktu repo;
d) Standard Settlement Instruction;
e)
jenis dan seri surat berharga yang di-repo-
kan;
f)
penawaran nilai nominal; dan/atau
36
g) informasi lainnya.
2. dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga
beragam (variable rate tender):
a) nama Peserta OPT Konvensional;
b) tanggal transaksi;
c) jangka waktu repo;
d) Standard Settlement Instruction;
e)
jenis dan seri surat berharga yang di-repo-
kan;
f)
penawaran nilai nominal;
g) tingkat bunga (repo rate) dan/atau
h) informasi lainnya.
(2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran
dengan nilai
nominal
paling sedikit
sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya
dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender), pengajuan setiap penawaran repo
rate dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma
nol satu persen).
(4) Penawaran lelang dapat diajukan paling banyak 2 (dua)
kali untuk masing-masing jangka waktu yang ditawarkan.
Pasal 57
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat
mengajukan koreksi atas pengajuan penawaran lelang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1).
(2) Dalam hal terjadi koreksi penawaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Peserta OPT Konvensional dan
Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali
koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam
window time lelang Transaksi Repo OPT Konvensional.
(3) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan terhadap informasi penawaran selain informasi
nama Peserta OPT Konvensional dan jangka waktu
Transaksi Repo OPT Konvensional.
37
(4) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan
pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56.
Pasal 58
(1) Peserta OPT Konvensional yang melakukan pengajuan
penawaran lelang Transaksi Repo OPT Konvensional
dengan surat berharga dalam valuta asing harus
mengirimkan dokumen ke Bank Indonesia sebagai
berikut:
a. surat pernyataan yang menyatakan bahwa:
1) surat berharga dalam valuta asing yang di-repo-
kan merupakan aset milik Peserta OPT
Konvensional; dan
2) Peserta OPT Konvensional tidak lagi memiliki
SBI, SDBI, dan SBN;
b. data terkait surat berharga dalam valuta asing yang
paling sedikit meliputi jadwal pembayaran kupon
terakhir (last coupon date), jadwal pembayaran kupon
selanjutnya (next coupon date), tingkat kupon (coupon
rate), dan nominal kupon;
c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dilampiri dengan statement of holding atas
kepemilikan surat berharga dalam valuta asing di
lembaga kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia
dan Hasil Olahan Komputer (HOK) posisi kepemilikan
surat berharga dalam Rupiah Peserta OPT
Konvensional pada posisi penutupan 1 (satu) hari
kerja sebelum tanggal transaksi.
(2) Contoh surat pernyataan dan data terkait surat berharga
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan format sebagaimana contoh dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
38
Pasal 59
(1) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 kepada Bank Indonesia dilakukan sebelum
penutupan window time transaksi yang dapat didahului
dengan penyampaian melalui faksimile atau sarana
lainnya.
(2) Penyampaian dokumen ditujukan kepada:
Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter c.q.
Grup Operasi Moneter
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta Pusat 10350
Faksimile: (021) 2310347
Telepon: (021) 29818350
Pasal 60
Penawaran lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan
surat berharga dalam valuta asing dinyatakan batal dalam hal
Peserta OPT Konvensional:
a. mengajukan penawaran tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 56;
b. tidak melakukan koreksi sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57;
c.
tidak menyampaikan dokumen sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan/atau
d. berdasarkan pemeriksaan oleh Bank Indonesia, surat
pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
terbukti tidak benar.
Paragraf 3
Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Repo OPT
Konvensional
Pasal 61
(1) Dalam hal lelang Transaksi Repo OPT Konvensional
dengan surat berharga dalam rupiah dilakukan dengan
metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan
pemenang lelang dihitung dengan cara:
39
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Konvensional
dapat
dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai
dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan
pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
(2) Dalam hal lelang Transaksi Repo OPT Konvensional
dengan surat berharga dalam rupiah dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender), penetapan
pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan repo rate terendah yang
dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan
b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang
dimenangkan dengan cara:
1. dalam hal repo rate yang diajukan Peserta OPT
Konvensional lebih tinggi dari Stop Out Rate
(SOR)
yang
ditetapkan, Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan memenangkan
seluruh penawaran Transaksi Repo OPT
Konvensional yang diajukan; atau
2. dalam hal repo rate yang diajukan Peserta OPT
Konvensional sama dengan Stop Out Rate (SOR)
yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan memenangkan seluruh atau
sebagian penawaran Transaksi Repo OPT
Konvensional yang diajukan secara proporsional
sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia,
dengan pembulatan nominal terkecil sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 62
(1) Dalam hal lelang Transaksi Repo OPT Kovensional dengan
surat berharga dalam valuta asing dilakukan dengan
metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan
pemenang lelang dihitung dengan cara:
40
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Konvensional
dapat
dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai
dengan perhitungan Bank Indonesia dengan
pembulatan ke atas dalam jutaan rupiah terdekat.
(2) Dalam hal lelang Transaksi Repo OPT Konvensional
dengan surat berharga dalam valuta asing dilakukan
dengan metode harga beragam (variable rate tender),
penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan repo rate terendah yang
dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan
b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang
dimenangkan dengan cara:
1. dalam hal suku bunga repo (repo rate) yang
diajukan Peserta OPT Konvensional lebih tinggi
dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan,
Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan
memenangkan seluruh penawaran Transaksi
Repo OPT Konvensional yang diajukan; atau
2. dalam hal suku bunga repo (repo rate) yang
diajukan Peserta OPT Konvensional sama
dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan,
Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan
memenangkan seluruh atau sebagian
penawaran Transaksi Repo OPT Konvensional
yang diajukan secara proporsional sesuai
dengan perhitungan Bank Indonesia dengan
pembulatan ke atas dalam jutaan rupiah
terdekat.
(3) Contoh penetapan dan perhitungan nilai nominal
pemenang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat
berharga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
41
Pasal 63
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
Transaksi Repo OPT Konvensional.
Paragraf 4
Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Repo OPT Konvensional
Pasal 64
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Repo
OPT Konvensional dengan surat berharga dalam rupiah setelah
dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank
Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem
BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal, nilai
transaksi, repo rate yang dimenangkan, dan/atau
informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU,
dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh
penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran
yang dimenangkan, Stop Out Rate (SOR), rata-rata
tertimbang repo rate, dan/atau informasi lainnya.
Pasal 65
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Repo
OPT Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing
setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh
Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengumuman hasil penetapan pemenang lelang secara
keseluruhan dilakukan melalui Sistem LHBU dan/atau
sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa
nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, Stop
Out Rate (SOR), rata-rata tertimbang repo rate, dan/atau
informasi lainnya.
b. Konfirmasi secara individual disampaikan kepada
pemenang lelang melalui sarana dealing system yang
ditetapkan Bank Indonesia berupa:
42
1.
nilai nominal yang dimenangkan, nominal surat
berharga dalam valuta asing yang harus dipindahkan
ke rekening Bank Indonesia pada lembaga kustodian
yang ditunjuk Bank Indonesia, dan repo rate yang
dimenangkan;
2. tanggal setelmen (tanggal valuta);
3. permintaan Standard Settlement Instruction Peserta
OPT Konvensional; dan/atau
4. informasi lainnya.
c. Dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga
Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam
huruf b dilakukan sebagai berikut:
1. dalam hal Peserta OPT Konvensional yang
memenangkan lelang memiliki sarana dealing system
yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi
dilakukan kepada Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan; atau
2. dalam hal Peserta OPT Konvensional yang
memenangkan lelang tidak memiliki sarana dealing
system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi
dilakukan melalui Lembaga Perantara.
Paragraf 5
Setelmen Transaksi Repo OPT Konvensional dengan Surat
Berharga dalam Rupiah
Pasal 66
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling
lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil
lelang Transaksi Repo OPT Konvensional.
(2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki Surat Berharga
di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk
setelmen first leg.
(3) Setelmen first leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan
BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per
transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut:
43
a. Setelmen Surat Berharga, dengan mendebit Rekening
Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga
yang di-repo-kan; dan
b. Setelmen Dana, dengan mengkredit Rekening Giro
rupiah sebesar nilai setelmen first leg.
Pasal 67
Perhitungan nilai setelmen first leg mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
Pasal 68
(1) Dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki jenis
dan seri surat berharga di Rekening Surat Berharga yang
mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen sampai
dengan waktu yang ditetapkan sehingga mengakibatkan
kegagalan setelmen first leg, BI-SSSS secara otomatis
membatalkan Transaksi Repo OPT Konvensional Peserta
OPT Konvensional yang bersangkutan.
(2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1
(satu) kali pembatalan Transaksi Repo OPT Konvensional
(first leg), untuk perhitungan pengenaan sanksi
penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK,
pembatalan Transaksi Repo OPT Konvensional dihitung
sebanyak 1 (satu) kali.
Pasal 69
(1) Pada tanggal Transaksi Repo OPT Konvensional jatuh
waktu (second leg), BI-SSSS secara otomatis melakukan
setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai
dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
(2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki dana di
Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen
second leg.
(3) Setelmen second leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS
dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi
per transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut:
44
a. Setelmen Dana, dengan mendebit Rekening Giro
rupiah sebesar nilai setelmen second leg; dan
b. Setelmen Surat Berharga, dengan mengkredit
Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat
berharga Transaksi Repo OPT Konvensional jatuh
waktu.
Pasal 70
Perhitungan nilai setelmen second leg mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
Pasal 71
Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Repo OPT Konvensional
dengan surat berharga dalam rupiah, tanggal Transaksi Repo
OPT Konvensional jatuh waktu (second leg) ditetapkan sebagai
hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan
pada Hari Kerja berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan
bunga repo untuk hari libur dimaksud.
Pasal 72
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah tidak mencukupi
untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai
dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS
sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen second leg,
BI-SSSS secara otomatis membatalkan Transaksi Repo
OPT Konvensional jatuh waktu (second leg).
(2) Dalam hal Peserta OPT Konvensional gagal melakukan
setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
maka Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam hal surat berharga berupa SBI dan SDBI, Bank
Indonesia melakukan Early Redemption atas SBI dan
SDBI dan mengenakan biaya Transaksi Repo OPT
Konvensional.
b. Dalam hal surat berharga berupa SBN, transaksi
yang bersangkutan diperlakukan sebagai transaksi
45
penjualan secara putus (outright) oleh Peserta OPT
Konvensional.
(3) Atas kegagalan setelmen second leg, Peserta OPT
Konvensional tetap membayar biaya Transaksi Repo OPT
Konvensional kepada Bank Indonesia.
(4) Perhitungan setelmen dan penggunaan harga surat
berharga transaksi penjualan secara putus (outright) oleh
Peserta OPT Konvensional mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
Pasal 73
Dalam hal terjadi transaksi penjualan secara putus (outright)
oleh Peserta OPT Konvensional, dilakukan hal-hal sebagai
berikut:
a. Rekening Giro rupiah akan didebit atau dikredit dengan
perhitungan harga surat berharga sebagai berikut:
1. dalam hal harga pada transaksi penjualan secara
putus (outright) lebih rendah daripada harga pada
transaksi first leg setelah dikurangi haircut maka
Rekening Giro rupiah didebit sebesar selisih
dimaksud setelah dikalikan dengan nilai nominal
surat berharga yang di-repo-kan; atau
2. dalam hal harga pada transaksi penjualan secara
putus (outright) lebih tinggi dari harga pada transaksi
first leg dikurangi haircut maka Rekening Giro rupiah
dikredit sebesar selisih dimaksud setelah dikalikan
dengan nilai nominal SBN yang di-repo-kan dan
paling banyak sebesar nilai dari haircut yang
ditetapkan pada saat first leg.
b. Rekening Giro rupiah akan didebit atau dikredit untuk
memperhitungkan nilai accrued interest atau imbalan
sebagai berikut:
1. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan
yang diterima Bank Indonesia setelah transaksi
penjualan secara putus (outright) maka Rekening Giro
rupiah dikredit sebesar accrued interest atau imbalan
46
sejak tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal
transaksi penjualan secara putus (outright);
2. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan
yang diterima Peserta OPT Konvensional pada 1 (satu)
Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg maka
Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued
interest atau imbalan sejak tanggal setelmen first leg
sampai dengan tanggal transaksi penjualan secara
putus (outright);
3. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan
yang diterima Peserta OPT Konvensional pada 1 (satu)
Hari Kerja setelah tanggal transaksi penjualan secara
putus (outright)maka Rekening Giro rupiah akan
didebit sebesar accrued interest atau imbalan yang
dibayarkan Bank Indonesia pada saat first leg
ditambah dengan accrued interest atau imbalan sejak
tanggal transaksi penjualan secara putus (outright)
sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau
imbalan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal
transaksi penjualan secara putus (outright);
4. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan
pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first
leg dan terdapat pembayaran kupon atau imbalan
berikutnya pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal
transaksi penjualan secara putus (outright) yang
diterima oleh Peserta OPT Konvensional maka
Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued
interest atau imbalan dari tanggal setelmen first leg
sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau
imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal
setelmen first leg dan didebit sebesar accrued interest
atau imbalan dari tanggal transaksi penjualan secara
putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran
kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah
transaksi penjualan secara putus (outright);
5. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan
yang diterima Peserta OPT Konvensional pada tanggal
47
transaksi penjualan secara putus (outright) maka
Rekening Giro rupiah didebit sebesar accrued interest
atau imbalan yang dibayarkan kepada Peserta OPT
Konvensional pada saat first leg;
6. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan
yang diterima Peserta OPT Konvensional pada periode
Transaksi Repo OPT Konvensional dan terdapat
pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari
Kerja setelah tanggal transaksi penjualan secara
putus (outright) maka Rekening Giro rupiah didebit
sebesar accrued interest atau imbalan yang
dibayarkan kepada Peserta OPT Konvensional pada
saat first leg ditambah dengan accrued interest atau
imbalan dari tanggal transaksi penjualan secara
putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran
kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah
tanggal transaksi penjualan secara putus (outright);
atau
7. dalam hal terdapat 2 (dua) kali pembayaran kupon
atau imbalan pada periode Transaksi Repo OPT
Konvensional maka Rekening Giro rupiah didebit
sebesar accrued interest atau imbalan yang
dibayarkan kepada Peserta OPT Konvensional pada
saat setelmen first leg dan dikredit sebesar accrued
interest atau imbalan sejak pembayaran kupon
terakhir pada periode Transaksi Repo OPT
Konvensional sampai dengan tanggal transaksi
penjualan secara putus (outright).
c. Rekening Giro rupiah akan didebit sebesar bunga repo
yang harus dibayarkan oleh Peserta OPT Konvensional
kepada Bank Indonesia.
Pasal 74
Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan setelmen
second leg Transaksi Repo OPT Konvensional pada hari yang
sama, untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian
48
sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan transaksi
tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali.
Paragraf 6
Setelmen Transaksi Repo OPT Konvensional Dengan Surat
Berharga Dalam Valuta Asing
Pasal 75
Kurs yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen first leg
yaitu kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada
tanggal transaksi.
Pasal 76
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling
lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil
lelang Transaksi Repo OPT Konvensional.
(2) Setelmen first leg dilaksanakan sebagai berikut:
a. Setelmen Surat Berharga dilakukan Peserta OPT
Konvensional dengan memindahkan surat berharga
dengan jenis dan seri surat berharga sebesar nilai
nominal yang di-repo-kan dari rekening Peserta OPT
Konvensional ke rekening surat berharga Bank
Indonesia pada lembaga kustodian yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia, pada tanggal setelmen (tanggal
valuta).
b. Perhitungan nilai nominal surat berharga yang akan
dipindahkan mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
c. Setelmen Dana dilakukan Bank Indonesia dengan
mengkredit Rekening Giro rupiah sebesar nilai
penawaran nominal yang dimenangkan.
d. Bank Indonesia melakukan Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud dalam huruf c setelah
menerima konfirmasi dari bank kustodian bahwa
surat berharga dalam valuta asing yang di-repo-kan
Peserta OPT Konvensional telah diterima.
49
Pasal 77
Dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak dapat memenuhi
kewajiban Transaksi Repo OPT Konvensional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf a, Bank Indonesia
membatalkan Transaksi Repo OPT Konvensional yang tidak
didukung dengan pemindahan surat berharga yang
mencukupi.
Pasal 78
(1) Pada tanggal Transaksi Repo OPT Konvensional jatuh
waktu (second leg), Peserta OPT Konvensional wajib
menyediakan dana yang mencukupi di Rekening Giro
rupiah untuk setelmen second leg.
(2) Setelmen second leg dilaksanakan sebagai berikut:
a. Setelmen Dana dilakukan Bank Indonesia dengan
mendebit Rekening Giro rupiah sebesar nilai setelmen
second leg;
b. Bank Indonesia melakukan Setelmen Surat Berharga
dengan memindahkan surat berharga dalam valuta
asing dari rekening Bank Indonesia ke rekening
Peserta OPT Konvensional di bank kustodian yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia setelah dilakukan
Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam huruf
a.
Pasal 79
Perhitungan nilai setelmen second leg mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
Pasal 80
(1) Dalam hal Bank Indonesia menerima pembayaran kupon
pada periode Transaksi Repo OPT Konvensional, nilai
kupon dimaksud dalam ekuivalen rupiah mengurangi
kewajiban Peserta OPT Konvensional pada Transaksi Repo
OPT Konvensional jatuh waktu (second leg) dengan
perhitungan sebagai berikut:
50
Nilai
Setelmen
Second Leg
=
Nilai
Setelmen
First Leg
+
Bunga
Repo
-
Nilai Kupon
yang Diterima
Bank Indonesia
(2) Perhitungan nilai kupon sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menggunakan kurs beli dari kurs transaksi Bank
Indonesia pada tanggal valuta penerimaan kupon.
(3) Dalam hal Bank Indonesia menerima pembayaran kupon
maka perhitungan bunga repo sejak tanggal pembayaran
kupon didasarkan pada nilai setelmen first leg dikurangi
dengan ekuivalen penerimaan kupon dimaksud dalam
rupiah.
Pasal 81
Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Repo OPT Konvensional
dengan surat berharga dalam valuta asing, tanggal Transaksi
Repo jatuh waktu (second leg) ditetapkan sebagai hari libur oleh
pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada hari kerja
berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan bunga repo atas
hari libur dimaksud.
Pasal 82
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah tidak mencukupi
untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai
dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS
sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen second leg,
Bank Indonesia membatalkan Transaksi Repo OPT
Konvensional second leg Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal Peserta OPT Konvensional gagal melakukan
setelmen second leg, Bank Indonesia melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a. Bank Indonesia menjual surat berharga dalam valuta
asing kepada counterparty Bank Indonesia setelah
terjadi kegagalan setelmen second leg.
51
b. Kurs yang digunakan pada saat Bank Indonesia
melakukan penjualan surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam huruf a yaitu kurs beli dari kurs
transaksi Bank Indonesia.
c. Selama surat berharga dalam valuta asing belum
terjual, Bank Indonesia akan mengenakan biaya repo
kepada Peserta OPT Konvensional sampai dengan
tanggal setelmen (tanggal valuta) penjualan surat
berharga.
d. Dalam hal nilai penjualan surat berharga dalam
valuta asing lebih rendah daripada nilai setelmen first
leg, Bank Indonesia membebankan kekurangan dana
hasil penjualan surat berharga dalam valuta asing
dengan mendebit Rekening Giro rupiah sebesar
selisih dimaksud.
e. Dalam hal nilai penjualan surat berharga dalam
valuta asing lebih tinggi daripada nilai setelmen first
leg, Bank Indonesia mengembalikan kelebihan dana
hasil penjualan surat berharga dalam valuta asing
dengan mengkredit Rekening Giro rupiah sebesar
selisih dimaksud.
f.
Rekening Giro rupiah didebit sebesar bunga repo.
Paragraf 7
Kupon Surat Berharga
Pasal 83
(1) Perlakuan terhadap kupon atau imbalan surat berharga
dalam hal terdapat kegagalan setelmen second leg
Transaksi Repo OPT Konvensional, diatur sebagai berikut:
a. Dalam hal setelah tanggal transaksi penjualan secara
putus (outright), Bank Indonesia menerima
pembayaran kupon atau imbalan atas surat berharga
yang di-repo-kan oleh Peserta OPT Konvensional,
kupon atau imbalan yang diterima menjadi milik
Bank Indonesia.
52
b. Dalam hal pada tanggal transaksi penjualan secara
putus (outright), Peserta OPT Konvensional menerima
pembayaran kupon atau imbalan atas surat berharga
yang di-repo-kan oleh Peserta OPT Konvensional,
Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah
sebesar kupon atau imbalan yang diterima oleh
Peserta OPT Konvensional.
c. Dalam hal setelah tanggal transaksi penjualan secara
putus (outright), Peserta OPT Konvensional menerima
pembayaran kupon atau imbalan atas surat berharga
yang di-repo-kan oleh Peserta OPT Konvensional,
maka pada tanggal pembayaran kupon atau imbalan
Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah
sebesar kupon atau imbalan yang diterima oleh
Peserta OPT Konvensional.
(2) Kurs yang digunakan dalam perhitungan nilai kupon pada
Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga
dalam valuta asing yaitu kurs beli dari kurs transaksi
Bank Indonesia pada tanggal penerimaan kupon.
Bagian Kelima
Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional
Paragraf 1
Pengumuman Lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional
Pasal 84
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional dan perubahannya paling
lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP,
Sistem LHBU, dan/atau sarana lain.
(2) Pengumuman rencana lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat informasi:
a. sarana transaksi;
b. hari dan tanggal lelang;
53
c. window time;
d. jangka waktu;
e. tanggal jatuh waktu;
f.
metode lelang;
g.
target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender);
h. suku bunga reverse repo (RR-Rate), apabila lelang
dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate
tender);
i.
jenis dan seri surat berharga yang di-reverse-repo-
kan;
j. haircut;
k. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
l.
informasi lainnya.
Paragraf 2
Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional
Pasal 85
Peserta OPT Konvensional secara langsung dan/atau melalui
Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional kepada Bank Indonesia
melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan.
Pasal 86
(1) Pengajuan penawaran lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85
meliputi informasi:
a. nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga
tetap (fixed rate tender); atau
b. nilai nominal dan suku bunga reverse repo (RR-Rate),
untuk lelang dengan metode harga beragam (variable
rate tender),
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Reverse
Repo OPT Konvensional yang akan dilakukan.
54
(2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran
dengan nilai
nominal
paling sedikit
sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya
dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender), pengajuan setiap penawaran suku
bunga reverse repo (RR-Rate) dilakukan dengan kelipatan
sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen).
Paragraf 3
Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional
Pasal 87
(1) Dalam hal lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional dilakukan dengan metode harga tetap (fixed
rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan
cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Konvensional
dapat
dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai
dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan
pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
(2) Dalam hal lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung
dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan suku bunga reverse repo
(RR-Rate) tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out
Rate (SOR); dan
b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang
dimenangkan dengan cara:
55
1. dalam hal suku bunga reverse repo (RR-Rate)
yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih
rendah dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan,
Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan
memenangkan seluruh penawaran Transaksi
Reverse Repo surat berharga yang diajukan; atau
2. dalam hal suku bunga reverse repo (RR-Rate)
yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama
dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan,
Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan
memenangkan seluruh atau sebagian
penawaran Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional yang diajukan secara proporsional
sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia,
dengan pembulatan nominal terkecil sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(3) Dalam hal Bank Indonesia menawarkan lebih dari 1 (satu)
seri surat berharga dalam lelang Transaksi Reverse Repo
OPT Konvensional, Bank Indonesia menentukan alokasi
seri dan nominal surat berharga yang dimenangkan
Peserta OPT Konvensional.
Pasal 88
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional.
Paragraf 4
Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional
Pasal 89
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Reverse
Repo OPT Konvensional setelah dilakukan proses penetapan
pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem
BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal, nilai
56
transaksi, suku bunga reverse repo (RR-Rate), jenis dan
seri surat berharga yang dimenangkan,
informasi lainnya; dan
dan/atau
b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU,
dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh
penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran
yang dimenangkan, Stop Out Rate (SOR), rata-rata
tertimbang suku bunga reverse repo (RR-Rate), dan/atau
informasi lainnya.
Paragraf 5
Setelmen Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional
Pasal 90
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling
lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil
lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional.
(2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki dana di
Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen
first leg.
(3) Setelmen first leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan
BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per
transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut:
a. Setelmen Dana, dengan mendebit Rekening Giro
rupiah sebesar nilai setelmen first leg; dan
b. Setelmen Surat Berharga, dengan mengkredit
Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat
berharga yang dimenangkan.
Pasal 91
Perhitungan nilai setelmen first leg mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
Pasal 92
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional tidak mencukupi untuk memenuhi
57
kewajiban setelmen sampai dengan sebelum periode cut-
off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan
kegagalan setelmen first leg, BI-SSSS secara otomatis
membatalkan Transaksi Reverse Repo Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan.
(2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1
(satu) kali pembatalan Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional (first leg), untuk perhitungan pengenaan
sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK,
pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu)
kali.
Pasal 93
(1) Pada tanggal Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional
jatuh waktu (second leg), BI-SSSS secara otomatis
melakukan setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS
dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning
Sistem BI-RTGS.
(2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki jenis dan seri
surat berharga di Rekening Surat Berharga yang
mencukupi untuk setelmen second leg.
(3) Setelmen second leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS
dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi
per transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut:
a. Setelmen Surat Berharga, dengan mendebit Rekening
Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga
Transaksi Reverse Repo jatuh waktu (second leg); dan
b. Setelmen Dana, dengan mengkredit Rekening Giro
rupiah sebesar nilai setelmen second leg.
Pasal 94
Perhitungan nilai setelmen second leg mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
58
Pasal 95
Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional, tanggal Transaksi Reverse Repo jatuh waktu
(second leg) ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah,
pelaksanaan setelmen dilakukan pada Hari Kerja berikutnya
tanpa memperhitungkan tambahan bunga reverse repo untuk
hari libur dimaksud.
Pasal 96
(1) Dalam hal jenis dan seri surat berharga di Rekening Surat
Berharga tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban
setelmen second leg sampai dengan sebelum periode cut-
off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan
kegagalan setelmen second leg, BI-SSSS secara otomatis
membatalkan Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional
jatuh waktu (second leg) Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal Peserta OPT Konvensional gagal melakukan
setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional diperlakukan
sebagai transaksi pembelian surat berharga secara putus
(outright) oleh Peserta OPT Konvensional.
(3) Perhitungan setelmen dan penggunaan harga surat
berharga transaksi pembelian secara putus (outright)
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam
operasi moneter.
Pasal 97
Dalam hal terjadi transaksi pembelian secara putus (outright),
dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Rekening Giro rupiah didebit dengan perhitungan harga
surat berharga sebagai berikut:
1. dalam hal harga pada transaksi pembelian secara
putus (outright) sama dengan harga pada transaksi
first leg dikurangi haircut, Rekening Giro rupiah
59
didebit sebesar haircut, setelah dikalikan dengan nilai
nominal surat berharga yang di-reverse-repo-kan;
2. dalam hal harga pada transaksi pembelian secara
putus (outright) lebih tinggi daripada harga pada
transaksi first leg dikurangi haircut maka Rekening
Giro rupiah Peserta OPT Konvensional didebit sebesar
selisih dimaksud dan paling sedikit sebesar nilai dari
haircut yang ditetapkan pada first leg, setelah
dikalikan dengan nilai nominal surat berharga yang
di-reverse-repo-kan; atau
3. dalam hal harga pada transaksi pembelian secara
putus (outright) lebih rendah daripada harga pada
transaksi first leg dikurangi haircut maka Rekening
Giro rupiah Peserta OPT Konvensional didebit sebesar
nilai dari haircut yang ditetapkan pada first leg,
setelah dikalikan dengan nilai nominal surat
berharga yang di-reverse-repo-kan.
b. Rekening Giro rupiah didebit atau dikredit untuk
memperhitungkan nilai accrued interest atau imbalan
sebagai berikut:
1. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan
yang diterima Peserta OPT Konvensional setelah
transaksi pembelian secara putus (outright) maka
Rekening Giro rupiah didebit sebesar accrued interest
atau imbalan sejak tanggal setelmen first leg sampai
dengan tanggal transaksi pembelian secara putus
(outright);
2. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan
yang diterima Bank Indonesia pada 1 (satu) Hari Kerja
setelah tanggal setelmen first leg maka Rekening Giro
rupiah akan didebit sebesar accrued interest atau
imbalan sejak tanggal setelmen first leg sampai
dengan tanggal transaksi pembelian secara putus
(outright);
3. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan
yang diterima Bank Indonesia pada 1 (satu) Hari Kerja
setelah tanggal transaksi pembelian secara putus
60
(outright) maka Rekening Giro rupiah dikredit sebesar
accrued interest atau imbalan yang dibayarkan
Peserta OPT Konvensional pada saat first leg
ditambah dengan accrued interest atau imbalan sejak
tanggal transaksi pembelian secara putus (outright)
sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau
imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal
transaksi pembelian secara putus (outright);
4. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan
pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first
leg dan terdapat pembayaran kupon atau imbalan
berikutnya pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal
transaksi pembelian secara putus (outright) yang
diterima oleh Bank Indonesia, Rekening Giro
rupiahdidebit sebesar accrued interest atau imbalan
dari tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal
pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari
Kerja setelah tanggal setelmen first leg dan dikredit
sebesar accrued interest atau imbalan dari tanggal
transaksi pembelian secara putus (outright) sampai
dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan
pada 1 (satu) Hari Kerja setelah transaksi pembelian
secara putus (outright);
5. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan
yang diterima Bank Indonesia pada tanggal transaksi
pembelian secara putus (outright) maka Rekening
Giro rupiah dikredit sebesar accrued interest atau
imbalan yang dibayarkan kepada Bank Indonesia
pada saat first leg;
6. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan
yang diterima Bank Indonesia pada periode Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional dan terdapat
pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari
Kerja setelah tanggal transaksi pembelian secara
putus (outright), Rekening Giro rupiah dikredit
sebesar accrued interest atau imbalan yang
dibayarkan kepada Bank Indonesia pada saat first leg
61
ditambah dengan accrued interest atau imbalan dari
tanggal transaksi pembelian secara putus (outright)
sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau
imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal
transaksi pembelian secara putus (outright); atau
7. dalam hal terdapat 2 (dua) kali pembayaran kupon
atau imbalan pada periode Transaksi Reverse Repo
OPT Konvensional yang diterima oleh Bank Indonesia,
Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued
interest atau imbalan yang dibayarkan kepada Bank
Indonesia pada saat setelmen first leg dan didebit
sebesar accrued interest atau imbalan sejak
pembayaran kupon terakhir pada periode Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional sampai dengan
tanggal transaksi pembelian secara putus (outright).
c. Atas kegagalan setelmen second leg, Peserta OPT
Konvensional tidak menerima bunga reverse repo.
Pasal 98
Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan setelmen
second leg Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional pada hari
yang sama, untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian
sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan transaksi
tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali.
Paragraf 6
Kupon Surat Berharga
Pasal 99
Perlakuan terhadap kupon atau imbalan surat berharga dalam
hal terdapat kegagalan setelmen second leg Transaksi Reverse
Repo OPT Konvensional, diatur sebagai berikut:
a. Dalam hal setelah tanggal transaksi pembelian surat
berharga secara putus (outright), Peserta OPT
Konvensional menerima pembayaran kupon atau imbalan
atas surat berharga yang di-reverse repo-kan oleh Bank
62
Indonesia, kupon atau imbalan yang diterima menjadi
milik Peserta OPT Konvensional.
b. Dalam hal pada tanggal transaksi pembelian surat
berharga secara putus (outright), Bank Indonesia
menerima pembayaran kupon atau imbalan atas surat
berharga yang di-reverse repo-kan oleh Bank Indonesia,
Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta
OPT Konvensional sebesar kupon atau imbalan yang
diterima oleh Bank Indonesia.
c. Dalam hal setelah tanggal Transaksi pembelian surat
berharga secara putus (outright), Bank Indonesia
menerima pembayaran kupon atau imbalan atas surat
berharga yang di-reverse repo-kan oleh Bank Indonesia,
pada tanggal pembayaran kupon atau imbalan Bank
Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional sebesar kupon atau imbalan yang diterima
oleh Bank Indonesia.
Bagian Keenam
Transaksi Pembelian dan Penjualan SBN Secara Putus
(Outright) di Pasar Sekunder
Paragraf 1
Pengumuman Lelang Transaksi Pembelian dan Penjualan SBN
Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder
Pasal 100
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang dan
perubahannya paling lambat sebelum window time
melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana
lain.
(2) Pengumuman rencana lelang transaksi pembelian dan
penjualan SBN secara putus (outright) di pasar pekunder
memuat informasi:
a. sarana transaksi;
b. hari dan tanggal lelang;
c. window time;
63
d. jenis dan seri SBN yang akan ditransaksikan;
e.
f.
target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender);
yield atau harga SBN, apabila lelang dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender);
g. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
h. informasi lainnya.
Paragraf 2
Pengajuan Penawaran Lelang Tansaksi Pembelian dan
Penjualan SBN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder
Pasal 101
Peserta OPT Konvensional secara langsung dan/atau melalui
Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang transaksi
pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar
sekunder kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam
window time yang ditetapkan.
Pasal 102
(1) Pengajuan penawaran lelang transaksi pembelian dan
penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder
meliputi informasi:
a.
b.
nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga
tetap (fixed rate tender); atau
nilai nominal dan yield atau harga SBN, untuk lelang
dengan metode harga beragam (variable rate tender).
(2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran
dengan nilai nominal
paling sedikit
sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya
dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender), pengajuan setiap penawaran yield
dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen).
64
Paragraf 3
Penetapan Pemenang Lelang Tansaksi Pembelian dan
Penjualan SBN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder
Pasal 103
(1) Dalam hal lelang transaksi pembelian dan penjualan SBN
secara putus (outright) di pasar sekunder dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan
pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Konvensional
dapat
dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai
dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan
pembulatan nominal terkecil SBN sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Dalam hal lelang transaksi pembelian dan penjualan SBN
secara putus (outright) di pasar sekunder dilakukan
dengan metode harga beragam (variable rate tender), Bank
Indonesia menetapkan tingkat yield yang dapat diterima
atau Stop Out Rate (SOR), atau harga yang dapat diterima,
dan penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. Lelang transaksi pembelian SBN secara putus
(outright) di pasar sekunder:
1. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT
Konvensional lebih tinggi dari Stop Out Rate
(SOR) yang ditetapkan atau harga yang diajukan
oleh Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari
harga yang dapat diterima, Peserta OPT
Konvensional memenangkan seluruh penawaran
yang diajukan; atau
2. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT
Konvensional sama dengan Stop Out Rate (SOR)
yang ditetapkan atau harga yang diajukan oleh
Peserta OPT Konvensional sama dengan harga
yang dapat diterima, Peserta OPT Konvensional
65
memenangkan seluruh atau
sebagian
penawaran yang diajukan secara proporsional
sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia,
dengan pembulatan nominal berdasarkan unit
terkecil SBN sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
b. Lelang transaksi penjualan SBN secara putus (outright)
di pasar sekunder:
1. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT
Konvensional lebih rendah dari Stop Out Rate
(SOR) yang ditetapkan atau harga yang diajukan
oleh Peserta OPT Konvensional lebih tinggi dari
harga yang dapat diterima, Peserta OPT
Konvensional memenangkan seluruh penawaran
SBN yang diajukan; atau
2. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT
Konvensional sama dengan Stop Out Rate (SOR)
yang ditetapkan atau harga yang diajukan oleh
Peserta OPT Konvensional sama dengan harga
yang dapat diterima, Peserta OPT Konvensional
memenangkan
seluruh atau sebagian
penawaran yang diajukan secara proporsional
sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia,
dengan pembulatan nominal berdasarkan unit
terkecil SBN sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
Pasal 104
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright)
di pasar sekunder.
66
Paragraf 4
Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Pembelian dan
Penjualan SBN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder
Pasal 105
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang transaksi
penjualan dan pembelian SBN secara putus (outright) di pasar
sekunder setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang
oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem
BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal yang
dimenangkan, nilai transaksi, yield atau harga yang
dimenangkan, jenis dan seri SBN yang dimenangkan
dan/atau informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU
dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh
penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran
yang dimenangkan, Stop Out Rate (SOR), rata-rata
tertimbang tingkat yield, dan/atau informasi lainnya.
Paragraf 5
Transaksi Pembelian dan Penjualan SBN secara Putus
(Outright) di Pasar Sekunder dengan Mekanisme Nonlelang
Pasal 106
Transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus
(outright) di pasar sekunder dengan mekanisme nonlelang
dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan
Peserta OPT Konvensional secara langsung atau melalui
Lembaga Perantara.
67
Paragraf 6
Setelmen Transaksi Pembelian dan Penjualan SBN secara
Putus (Outright) di Pasar Sekunder dengan Mekanisme Lelang
dan Nonlelang
Pasal 107
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen pembelian dan
penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder
paling lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal transaksi.
(2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki jenis dan seri
SBN di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk
setelmen pembelian SBN secara putus (outright) di pasar
sekunder oleh Bank Indonesia.
(3) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki dana di
Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen
penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder
oleh Bank Indonesia.
(4) Setelmen pembelian dan penjualan SBN secara putus
(outright) di pasar sekunder oleh Bank Indonesia
dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan
mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to
gross) dan DVP.
(5) Contoh perhitungan nilai setelmen penjualan dan
pembelian SBN tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 108
(1) Dalam hal Peserta OPT Konvensional pada transaksi
pembelian SBN secara putus (outright) di pasar sekunder
oleh Bank Indonesia tidak memiliki jenis dan seri SBN di
Rekening Surat Berharga atau pada transaksi penjualan
SBN tidak memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang
mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen
pembelian dan penjualan SBN sampai dengan sebelum
periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga
mengakibatkan kegagalan setelmen, BI-SSSS secara
68
otomatis membatalkan transaksi pembelian dan
penjualan SBN dimaksud.
(2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1
(satu) kali pembatalan transaksi pembelian dan penjualan
SBN secara putus (outright) di pasar sekunder dengan
mekanisme lelang, untuk perhitungan pengenaan sanksi
penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK,
pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu)
kali.
(3) Dalam hal terdapat pembatalan transaksi pembelian dan
penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder
dengan mekanisme nonlelang, untuk
perhitungan
pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti
kegiatan OMK, pembatalan transaksi tersebut dihitung
untuk setiap transaksi yang batal.
Bagian Ketujuh
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional Dalam Rupiah
Paragraf 1
Pengumuman Lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam Rupiah
Pasal 109
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah dan
perubahannya paling lambat sebelum window time
melalui Sistem BI-ETP, Sistem-LHBU, dan/atau sarana
lain.
(2) Pengumuman rencana lelang transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memuat informasi:
a. sarana transaksi;
b. hari dan tanggal lelang;
c. window time;
d. jangka waktu;
e. metode lelang;
69
f.
target indikatif, apabila lelang transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam rupiah dilaksanakan
dengan metode harga beragam (variable rate tender);
g.
tingkat diskonto, apabila lelang transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam rupiah
dilaksanakan dengan metode harga tetap (fixed rate
tender);
h. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
i.
informasi lainnya.
Paragraf 2
Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam Rupiah
Pasal 110
Peserta OPT Konvensional secara langsung dan/atau melalui
Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah kepada Bank
Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang
ditetapkan.
Pasal 111
(1) Pengajuan penawaran lelang transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 110 meliputi informasi:
a.
nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga
tetap (fixed rate tender); atau
b.
nilai nominal dan tingkat diskonto, untuk lelang
dengan metode harga beragam (variable rate tender),
untuk masing-masing jangka waktu transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam rupiah yang akan
dilakukan.
(2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan nilai nominal
paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
70
(3) Dalam hal lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam rupiah dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender), pengajuan setiap penawaran tingkat
diskonto dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol
koma nol satu persen).
Paragraf 3
Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam Rupiah
Pasal 112
(1) Dalam hal lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam rupiah dilakukan dengan metode harga tetap (fixed
rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan
cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Konvensional dapat
dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai
dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan
pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
(2) Dalam hal lelang transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam rupiah dilakukan dengan metode
harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang
lelang dihitung dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan tingkat diskonto
tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate
(SOR); dan
b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang
dimenangkan dengan cara:
1. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan
Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari Stop
Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan memenangkan
seluruh penawaran yang diajukan; atau
71
2. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan
Peserta OPT Konvensional sama dengan Stop Out
Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan memenangkan
seluruh atau sebagian penawaran yang diajukan
secara proporsional sesuai dengan perhitungan
Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal
terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
Pasal 113
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah.
Paragraf 4
Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam rupiah
Pasal 114
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam rupiah setelah dilakukan
proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia,
sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui sarana
Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai
nominal, tingkat diskonto, nilai tunai yang dimenangkan,
dan/atau informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU,
dan/atau sarana lain, berupa rata-rata tertimbang tingkat
diskonto Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah,
Stop Out Rate (SOR), nilai nominal seluruh penawaran
yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang
dimenangkan, dan/atau informasi lainnya.
72
Paragraf 5
Setelmen Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
Rupiah
Pasal 115
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah
paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman
hasil lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam rupiah.
(2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki dana di
Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk memenuhi
setelmen transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
rupiah.
Pasal 116
(1) Bank Indonesia melakukan Setelmen Dana hasil lelang
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah
dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional sebesar total nilai tunai Term Deposit OPT
Konvensional dalam rupiah.
(2) Nilai tunai transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan diskonto murni (true discount)
dengan rumus:
Nilai
Diskonto
Nilai
=
Tunai
Keterangan:
Nilai
Nominal
360+(Tingkat Diskonto x Jangka Waktu)
= Nilai Nominal - Nilai Tunai
Nilai Nominal x 360
= nilai nominal Term Deposit OPT
Konvensional dalam rupiah yang
dimenangkan
73
Tingkat
Diskonto
Jangka
waktu
= tingkat diskonto yang dimenangkan
= jumlah hari yang dihitung 1 (satu) hari
kalender sesudah tanggal setelmen
lelang sampai dengan tanggal transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam
rupiah jatuh waktu.
(3) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mekanisme penyelesaian transaksi per
transaksi (gross to gross).
Pasal 117
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional tidak mencukupi untuk memenuhi
kewajiban setelmen transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam rupiah sampai dengan waktu yang
ditetapkan untuk setelmen sehingga mengakibatkan
kegagalan setelmen, BI-SSSS secara otomatis
membatalkan transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam rupiah Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1
(satu) kali pembatalan Term Deposit OPT Konvensional
dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian
sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan
transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali.
Pasal 118
(1) Setelmen pelunasan transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam rupiah dilakukan pada tanggal jatuh
waktu.
(2) BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen pelunasan
sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum
periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
(3) Dalam hal setelah terjadinya transaksi Term Deposit
Rupiah, tanggal jatuh waktu transaksi Term Deposit OPT
74
Konvensional dalam rupiah ditetapkan sebagai hari libur
oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen jatuh waktu
dilakukan pada Hari Kerja berikutnya tanpa
memperhitungkan tambahan diskonto untuk hari libur
dimaksud.
(4) Bank Indonesia melakukan setelmen pada tanggal jatuh
waktu dengan mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta
OPT Konvensional sebesar nilai nominal Term Deposit OPT
Konvensional rupiah.
Paragraf 6
Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam Rupiah
Pasal 119
(1) Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan Early
Redemption transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam rupiah dari pukul 15.00 WIB sampai dengan pukul
17.00 WIB.
(2) Nilai nominal setiap pengajuan Early Redemption paling
sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan selebihnya dengan kelipatan sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Pengajuan Early Redemption dilakukan dengan
mengirimkan surat permohonan kepada Bank Indonesia
dan melalui sarana BI-SSSS.
(4) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat disampaikan terlebih dahulu kepada Bank
Indonesia melalui faksimile.
(5) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
dengan alamat sebagai berikut:
Bank Indonesia โ Departemen Pengelolaan Moneter c.q.
Grup Operasi Moneter-Divisi Operasi Moneter Rupiah
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta Pusat 10350
Faksimile: (021) 2310347
cc.: Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman
75
(6) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank Indonesia
memberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya.
(7) Contoh surat pengajuan Early Redemption transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran VI
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 120
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen pada tanggal
pengajuan Early Redemption (same day settlement) pada
awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.
(2) Setelmen early redemption sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Nilai Nominal
Nilai Tunai
Early Redemption=
Term Deposit Rupiah
yang di-Early Redeem
360 + (Term Deposit Rupiah x
RRT Diskonto
pada saat Diterbitkan
Biaya= Term Deposit Rupiah x (
Nilai Nominal
yang Di-Early Redeem
Repo Rate
Lending
Facility
x 360
Sisa
Jangka
Waktu
RRT Diskonto
-
Term Deposit Rupiah
Pada Saat Diterbitkan
) x
)
Sisa
Jangka
Waktu
360
Nilai Setelmen
=
Early Redemption
Keterangan:
RRT
Repo
Lending
Facility
Rate
Early Redemption
Nilai Tunai
- Biaya
= Rata-rata Tertimbang
= Tingkat bunga repo yang dikenakan
atas transaksi Lending Facility (BI 7-
Day (Reverse) Repo Rate ditambah
margin tertentu)
76
Bagian Kedelapan
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing
Paragraf 1
Pendaftaran dan Pengkinian Informasi untuk Mengikuti
Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
Valuta Asing
Pasal 121
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melakukan
pendaftaran dan/atau pengkinian informasi sebelum
mengikuti pelaksanaan lelang transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing.
Pasal 122
(1) Peserta OPT Konvensional menyampaikan surat
permohonan pendaftaran untuk mengikuti lelang
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing, yang dilengkapi dengan informasi paling sedikit
sebagai berikut:
a. nama Peserta OPT Konvensional;
b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional;
c. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) dalam hal
Peserta OPT Konvensional telah memiliki Terminal
Controller Identifier (TCID);
d. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki
rekening di Bank Koresponden, Peserta OPT
Konvensional menyampaikan:
1. nama Bank Koresponden;
2. 1 (satu) nomor rekening Peserta OPT
Konvensional di Bank Koresponden; dan
3. Bank Identifier Code (BIC) Bank Koresponden.
e. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki
rekening di Bank Koresponden, Peserta OPT
Konvensional menyampaikan:
1. nama bank perantara (intermediary bank) yang
ditunjuk untuk keperluan setelmen;
77
2. 1 (satu) nomor rekening Peserta OPT
Konvensional di bank perantara (intermediary
bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen;
3. Bank Identifier Code (BIC) bank perantara
(intermediary bank) yang ditunjuk untuk
keperluan setelmen;
4. nama Bank Koresponden;
5. 1 (satu) nomor rekening bank perantara
(intermediary bank) yang ditunjuk untuk
keperluan setelmen di Bank Koresponden; dan
6. Bank Identifier Code (BIC) Bank Koresponden.
f. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan
dealer yang berwenang melakukan transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; dan
g. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dari
pejabat yang membawahkan dealer yang berwenang
melakukan transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
huruf f.
(2) Lembaga Perantara menyampaikan surat permohonan
pendaftaran untuk mengikuti lelang transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, yang
dilengkapi dengan informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nama Lembaga Perantara;
b. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) Lembaga
Perantara;
c. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan
broker yang berwenang melakukan transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; dan
d. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dari
pejabat yang membawahkan broker yang berwenang
melakukan transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
huruf c.
(3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh pejabat yang
78
berwenang mewakili Peserta OPT Konvensional atau
Lembaga Perantara.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan melalui surat kepada Bank Indonesia pada
saat pertama kali akan melakukan transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing.
(5) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) menggunakan format sebagaimana contoh
dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan
ke alamat sebagai berikut:
Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
(7) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat-menyurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Bank Indonesia
memberitahukan melalui surat dan/atau media lain.
Pasal 123
Pengajuan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 122 dapat disampaikan bersamaan dengan
pengajuan izin kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kepesertaan operasi moneter.
Pasal 124
(1) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) dan ayat (2), Peserta
OPT Konvensional dan Lembaga Perantara menyampaikan
pengkinian informasi melalui surat dengan menggunakan
format sebagaimana contoh dalam Lampiran VII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 122 ayat (6).
79
Pasal 125
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran
untuk mengikuti lelang transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing kepada Peserta OPT
Konvensional dan Lembaga Perantara melalui surat yang
memuat informasi sebagai berikut:
a. nama Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga
Perantara;
b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional;
c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional dan/atau Lembaga Perantara;
d. kode individual page yang terdiri dari active page, historical
page, dan confirmation page pada sistem otomasi lelang
Operasi Moneter valuta asing;
e. Standard Settlement Instruction Peserta OPT Konvensional;
f.
g. informasi lainnya.
Paragraf 2
Pengumuman Lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam Valuta Asing
Pasal 126
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dan
perubahannya paling lambat sebelum window time
melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta
asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain.
(2) Pengumuman rencana lelang transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing memuat informasi :
a. sarana transaksi;
b. tanggal lelang;
c. nama lelang (auction name);
d. jangka waktu;
e. window time;
tanggal efektif untuk mengikuti lelang transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; dan/atau
80
f.
g.
metode lelang;
target indikatif, apabila lelang transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing dilaksanakan
dengan metode harga beragam (variable rate tender);
h. tingkat bunga, apabila lelang transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing dilaksanakan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender);
tanggal setelmen (tanggal valuta);
tanggal jatuh waktu; dan/atau
i.
j.
k. informasi lainnya.
Paragraf 3
Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam Valuta Asing
Pasal 127
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan
penawaran lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing kepada Bank Indonesia melalui sarana
dealing system dan dalam window time yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia sesuai dengan waktu yang tercatat pada sistem
di Bank Indonesia.
Pasal 128
(1) Pengajuan penawaran transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan
metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi informasi
paling sedikit sebagai berikut:
a. nama lelang (auction name);
b. penawaran nilai nominal;
c.
tingkat bunga sesuai dengan yang diumumkan oleh
Bank Indonesia; dan
d. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara
mengajukan penawaran untuk dan atas nama
Peserta OPT Konvensional,
81
untuk masing-masing jangka waktu transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing.
(2) Pengajuan penawaran transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan
metode harga beragam (variable rate tender) meliputi
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nama lelang (auction name);
b. penawaran nilai nominal;
c. tingkat bunga; dan
d. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara
mengajukan penawaran untuk dan atas nama
Peserta OPT Konvensional,
untuk masing-masing jangka waktu transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing.
(3) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT
Konvensional paling sedikit sebesar USD5,000,000.00
(lima juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan
kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat).
(4) Dalam hal lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga
beragam (variable rate tender), pengajuan setiap
penawaran tingkat bunga dilakukan dengan kelipatan 1
(satu) bps (basis point) atau 0,01% (nol koma nol satu
persen);
Pasal 129
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat
mengajukan koreksi untuk setiap penawaran yang
diajukan dalam window time transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan koreksi
terhadap informasi penawaran selain informasi nama
lelang (auction name); dan/atau
82
b. Lembaga Perantara yang mengajukan penawaran
lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing untuk dan atas nama Peserta OPT
Konvensional dapat mengajukan koreksi terhadap
informasi penawaran selain informasi Terminal
Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional
dan nama lelang (auction name).
(3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan
pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 128 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 130
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus
memantau kebenaran data penawaran transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang
disampaikan kepada Bank Indonesia.
(2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi
kepada Peserta OPT Konvensional mengenai transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang
diajukan untuk kepentingan Peserta OPT Konvensional.
Paragraf 4
Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam Valuta Asing
Pasal 131
(1) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga tetap
(fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung
dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Konvensional dapat
dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai
perhitungan Bank Indonesia dengan pembulatan ke
seratus ribuan dolar Amerika Serikat terdekat dengan
ketentuan:
83
1. untuk nominal kurang dari USD50,000.00 (lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat) dibulatkan
menjadi 0 (nol); dan
2. untuk nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu
dolar Amerika Serikat) atau lebih dibulatkan
menjadi USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat).
(2) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung
dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan tingkat bunga transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing
tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate
(SOR); dan
b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang
dimenangkan dengan cara:
1. dalam hal tingkat bunga yang diajukan Peserta
OPT Konvensional lebih rendah dari Stop Out
Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan memenangkan
seluruh penawaran yang diajukan; atau
2. dalam hal tingkat bunga yang diajukan Peserta
OPT Konvensional sama dengan Stop Out Rate
(SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan memenangkan
seluruh atau sebagian penawaran yang diajukan
secara proporsional sesuai dengan perhitungan
Bank Indonesia dengan pembulatan ke seratus
ribuan dolar Amerika Serikat terdekat dengan
ketentuan:
a) untuk nominal kurang dari USD50,000.00
(lima puluh ribu dolar Amerika Serikat)
dibulatkan menjadi 0 (nol); dan
b) untuk nominal USD50,000.00 (lima puluh
ribu dolar Amerika Serikat) atau lebih
dibulatkan menjadi USD100,000.00
(seratus ribu dolar Amerika Serikat).
84
(3) Contoh perhitungan nilai nominal dan penetapan
pemenang lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran VII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 132
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing.
Paragraf 5
Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam Valuta Asing
Pasal 133
(1) Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing setelah
dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank
Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui
sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing
dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, yang memuat informasi berupa:
1. jangka waktu;
2. nilai nominal yang dimenangkan;
3. tingkat bunga yang dimenangkan;
4. nominal bunga Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing; dan/atau
5. informasi lainnya;
b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT
Konvensional dan Lembaga Perantara melalui sistem
otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem
LHBU, dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia, yang memuat informasi berupa:
1. nilai nominal penawaran yang dimenangkan;
85
2. tingkat bunga Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing, apabila transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing
dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate
tender); dan/atau
3. rata-rata tertimbang tingkat bunga Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing, apabila
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
valuta asing dilakukan dengan metode harga
beragam (variable rate tender); dan/atau
4. informasi lainnya.
(2) Peserta OPT Konvensional dapat mengakses pengumuman
hasil lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dalam confirmation page pada sistem otomasi
lelang Operasi Moneter valuta asing.
Paragraf 6
Setelmen Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
Valuta Asing
Pasal 134
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen hasil transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
(2) Peserta OPT Konvensional menyediakan dana di rekening
giro pada Bank Koresponden atau bank perantara
(intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan
setelmen, yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban
setelmen transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
valuta asing.
(3) Pada tanggal setelmen, Peserta OPT Konvensional wajib
mentransfer dana atas kewajiban setelmen transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing untuk setiap
penawaran atau sesuai dengan jumlah nominal yang
dimenangkan ke rekening Bank Indonesia di Bank
Koresponden.
86
(4) Peserta OPT Konvensional menyampaikan konfirmasi
setelmen transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui
SWIFT message format MT320 atau sarana lain kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan
Pinjaman.
Pasal 135
(1) Dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memenuhi
kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
134 ayat (3), transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing dinyatakan batal.
(2) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan
setelmen Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada
hari yang sama, untuk perhitungan pengenaan sanksi
penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK,
pembatalan tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali.
Pasal 136
(1) Pada tanggal jatuh waktu transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing, Bank Indonesia
melakukan pelunasan Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing jatuh waktu dengan
melakukan transfer ke rekening giro Peserta OPT
Konvensional pada Bank Koresponden sebesar nilai tunai.
(2) Nilai tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
Nilai Tunai = N x (1 + r
k
360
)
Keterangan:
N = nilai nominal Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing
= tingkat bunga yang dimenangkan
r
k = jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing
87
(3) Dalam hal setelah terjadinya transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing tanggal jatuh waktu
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah,
pelaksanaan setelmen jatuh waktu tersebut dilakukan
pada hari kerja berikutnya tanpa memperhitungkan
tambahan bunga untuk hari libur dimaksud.
Paragraf 7
Pencairan Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption) Term
Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing
Pasal 137
(1) Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan Early
Redemption Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing paling cepat 3 (tiga) hari setelah setelmen hasil lelang
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing yang akan dilakukan Early Redemption.
(2) Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan Early
Redemption pada setiap Hari Kerja, kecuali pada hari
pelaksanaan lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing dengan jangka waktu
melebihi overnight.
(3) Pengajuan Early Redemption sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dari pukul 08.00 WIB sampai dengan
pukul 11.00 WIB.
(4) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing dilakukan melalui
sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(5) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing dilakukan paling sedikit
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat) dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat).
88
(6) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing yang ditransaksikan melalui sistem otomasi
lelang Operasi Moneter valuta asing harus disertai
informasi reference number dan informasi nama
lelang (auction name) pada saat pengajuan lelang
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
valuta asing; atau
b. untuk Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing yang ditransaksikan secara manual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ayat (1)
huruf c harus disertai informasi tanggal lelang dan
informasi waktu transaksi lelang yang akan
dilakukan Early Redemption (waktu Greenwich Mean
Time/GMT).
(7) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing, baik keseluruhan atau
sebagian, dilakukan untuk nilai nominal penuh yang
tercantum dalam setiap deal ticket.
Pasal 138
(1) Peserta OPT Konvensional yang melakukan Early
Redemption Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing memperoleh bunga secara proporsional dengan
perhitungan sebagai berikut:
Bunga=
Nominal
Early
Redemption
x
Tingkat
Bunga
k
x
360 Hari
Keterangan:
k = jangka waktu sampai dengan setelmen Early
Redemption Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing di Bank Indonesia
(2) Peserta OPT Konvensional dikenakan biaya Early
Redemption Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
89
asing sebesar 10% (sepuluh persen) dari bunga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 139
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen Early Redemption
pada 2 (dua) hari kerja setelah tanggal pengajuan Early
Redemption.
(2) Nilai tunai Early Redemption sebesar nilai nominal Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang
dilakukan Early Redemption ditambah bunga dikurangi
biaya Early Redemption, dengan rumus sebagai berikut:
Nilai Nominal
Nilai
Tunai
=
Early Redemption
Term Deposit Valas
yang di-early redeem
+ Bunga -
Biaya
Early
Redemption
Paragraf 8
Pengalihan Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
Valuta Asing Menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia
Pasal 140
(1) Dalam hal Peserta OPT Konvensional membutuhkan
likuiditas rupiah, Peserta OPT Konvensional dapat
mengajukan pengalihan transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap
Jual Bank Indonesia.
(2) Pengajuan pengalihan transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap
Jual Bank Indonesia dilakukan melalui sarana dealing
system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada setiap
Hari Kerja, kecuali pada hari pelaksanaan lelang transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dengan
jangka waktu melebihi overnight.
(3) Pengajuan pengalihan transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap
Jual Bank Indonesia dilakukan untuk nilai nominal penuh
yang tercantum dalam setiap deal ticket.
90
(4) Pengajuan pengalihan transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap
Jual Bank Indonesia sekaligus merupakan pengajuan
Early Redemption atas transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing yang akan dialihkan.
(5) Early Redemption transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 137 dan Pasal 138.
Pasal 141
(1) Transaksi Swap Jual Bank Indonesia yang berasal dari
pengalihan transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing dilakukan dengan jangka waktu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, paling singkat 7 (tujuh)
hari kalender.
(2) Premi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia yang berasal
dari pengalihan Term Deposit OPT Konvensional dalam
valuta asing ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan pengalihan
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia dari
pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 10.00 WIB.
(4) Bank Indonesia menyampaikan informasi premi Transaksi
Swap Jual Bank Indonesia kepada Peserta OPT
Konvensional pada pukul 14.00 WIB dan sekaligus
meminta Peserta OPT Konvensional untuk memberikan
konfirmasi.
(5) Dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak menyepakati
premi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, proses Transaksi Swap
Jual Bank Indonesia tidak dilanjutkan dan Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing yang bersangkutan
tetap diteruskan (tidak dilakukan Early Redemption).
(6) Dalam hal Peserta OPT Konvensional menyepakati premi
Transaksi Swap Jual Bank Indonesia yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional memberikan
91
konfirmasi (deal confirmation) transaksi Early Redemption
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dan
transaksi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia melalui
sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(7) Atas transaksi pengalihan Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap Jual Bank
Indonesia, Bank Indonesia memberikan bunga dan
mengenakan biaya kepada Peserta OPT Konvensional
sesuai ketentuan Early Redemption sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 138.
Paragraf 9
Setelmen Pengalihan Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam Valuta Asing menjadi Transaksi Swap
Jual Bank Indonesia
Pasal 142
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen Early Redemption
untuk pengalihan transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap
Jual Bank Indonesia dengan cara mentransfer bunga ke
rekening giro Peserta OPT Konvensional pada Bank
Koresponden setelah dikurangi biaya Early Redemption,
pada 2 (dua) hari kerja setelah tanggal pengajuan
pengalihan.
(2) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg Transaksi
Swap Jual Bank Indonesia dalam rangka pengalihan
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia pada
2 (dua) hari kerja setelah tanggal pengajuan pengalihan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Indonesia melakukan pencatatan pengalihan
valuta asing dari Early Redemption transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing menjadi
sumber dana untuk setelmen valuta asing Transaksi
Swap Jual Bank Indonesia.
92
b. Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah
sebesar ekuivalen dalam rupiah dari nilai nominal
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
valuta asing yang dialihkan, dikalikan kurs spot yang
ditetapkan pada tanggal Transaksi Swap Jual Bank
Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai instrumen
operasi pasar terbuka.
(3) Pada tanggal setelmen second leg Transaksi Swap Jual
Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan setelmen
transaksi dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah
Peserta OPT Konvensional sebesar nilai nominal
valuta asing Transaksi Swap Jual Bank Indonesia
dikalikan kurs forward (forward rate) yang ditetapkan
pada tanggal Transaksi Swap Jual Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai instrumen operasi pasar
terbuka.
b. Bank Indonesia melakukan transfer valuta asing ke
rekening giro Peserta OPT Konvensional di Bank
Koresponden sebesar nilai nominal valuta asing
Transaksi Swap Jual Bank Indonesia.
c. Dalam hal pada tanggal setelmen second leg Peserta
OPT Konvensional tidak memiliki dana rupiah yang
cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen, Peserta
OPT Konvensional yang bersangkutan wajib
menyediakan dana yang mencukupi pada hari kerja
berikutnya.
d. Penyelesaian kewajiban setelmen Transaksi Swap
Jual Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
huruf c dilakukan melalui pendebitan Rekening Giro
rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia.
93
Bagian Kesembilan
Transaksi Spot
Pasal 143
(1) Transaksi Spot dilakukan secara bilateral antara Bank
Indonesia dengan Peserta OPT Konvensional secara
langsung atau melalui Lembaga Perantara.
(2) Transaksi Spot sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui sarana dealing system yang digunakan
Bank Indonesia.
Pasal 144
Bank Indonesia melakukan setelmen Transaksi Spot pada 2
(dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
Pasal 145
Setelmen Transaksi Spot Jual Bank Indonesia dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Pada tanggal setelmen, Bank Indonesia melakukan
transfer dana dolar Amerika Serikat ke rekening giro
Peserta OPT Konvensional di Bank Koresponden sebesar
nilai nominal dolar Amerika Serikat Transaksi Spot yang
disepakati.
b. Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah Peserta
OPT Konvensional sebesar nilai nominal dolar Amerika
Serikat yang disepakati dikalikan kurs Transaksi Spot
yang disepakati.
c. Dalam hal pada tanggal setelmen Transaksi Spot Peserta
OPT Konvensional tidak memiliki dana rupiah yang cukup
untuk memenuhi kewajiban setelmen, Peserta OPT
Konvensional wajib menyediakan dana rupiah yang cukup
untuk memenuhi kewajiban setelmen pada hari kerja
berikutnya.
d. Pembayaran nominal Transaksi Spot sebagaimana
dimaksud dalam huruf c dilakukan melalui pendebitan
Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank
Indonesia.
94
Pasal 146
Setelmen Transaksi Spot Beli Bank Indonesia dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Peserta OPT Konvensional wajib memenuhi kewajiban
setelmen berupa penyelesaian transfer dana dolar Amerika
Serikat sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat
Transaksi Spot yang disepakati ke rekening Bank
Indonesia di Bank Koresponden paling lambat pada
tanggal setelmen.
b. Pada tanggal setelmen Transaksi Spot, Bank Indonesia
mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat
dikalikan kurs yang disepakati pada saat Transaksi Spot.
c. Dalam hal pada tanggal setelmen Peserta OPT
Konvensional tidak memenuhi kewajiban setelmen
sebagaimana dimaksud pada huruf a, Peserta OPT
Konvensional wajib menyelesaikan transfer dana dolar
Amerika Serikat pada hari kerja berikutnya.
Bagian Kesepuluh
Transaksi Swap
Paragraf 1
Pendaftaran dan Pengkinian Informasi untuk Mengikuti
Transaksi Swap Secara Lelang
Pasal 147
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melakukan
pendaftaran dan/atau pengkinian informasi sebelum
mengikuti pelaksanaan Transaksi Swap secara lelang.
Pasal 148
(1) Peserta OPT Konvensional menyampaikan surat
permohonan pendaftaran untuk mengikuti Transaksi
Swap secara lelang, yang dilengkapi dengan informasi
paling sedikit sebagai berikut:
95
a. nama Peserta OPT Konvensional;
b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional;
c. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) dalam hal
Peserta OPT Konvensional telah memiliki Terminal
Controller Identifier (TCID);
d. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki
rekening di Bank Koresponden, Peserta OPT
Konvensional menyampaikan:
1. nama Bank Koresponden;
2. 1 (satu) nomor rekening Peserta OPT
Konvensional di Bank Koresponden; dan
3. Bank Identifier Code (BIC) Bank Koresponden;
e. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki
rekening di Bank Koresponden, Peserta OPT
Konvensional menyampaikan:
1. nama bank perantara (intermediary bank) yang
ditunjuk untuk keperluan setelmen;
2. 1 (satu) nomor rekening Peserta OPT
Konvensional di bank perantara (intermediary
bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen;
3. Bank Identifier Code (BIC) bank perantara
(intermediary bank) yang ditunjuk untuk
keperluan setelmen;
4. nama Bank Koresponden;
5. 1 (satu) nomor rekening bank perantara
(intermediary bank) yang ditunjuk untuk
keperluan setelmen di Bank Koresponden; dan
6. Bank Identifier Code (BIC) Bank Koresponden.
f. nomor Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional;
g. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan
dealer yang berwenang melakukan Transaksi Swap
secara lelang; dan
h. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dari
pejabat yang membawahkan dealer yang berwenang
melakukan Transaksi Swap secara lelang
sebagaimana dimaksud dalam huruf g.
96
(2) Lembaga Perantara menyampaikan surat permohonan
pendaftaran untuk mengikuti Transaksi Swap secara
lelang, yang dilengkapi dengan informasi paling sedikit
sebagai berikut:
a. nama Lembaga Perantara;
b. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) Lembaga
Perantara;
c. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan
broker yang berwenang melakukan Transaksi Swap
secara lelang; dan
d. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dari
pejabat yang membawahkan broker yang berwenang
melakukan Transaksi Swap secara lelang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(3) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang mewakili Peserta OPT Konvensional atau
Lembaga Perantara dan hanya disampaikan pada saat
pertama kali akan melakukan Transaksi Swap secara
lelang melalui surat kepada Bank Indonesia.
(4) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) menggunakan format sebagaimana contoh
dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(5) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut:
Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
(6) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank Indonesia
memberitahukan perubahan melalui surat dan/atau
media lain.
Pasal 149
Pengajuan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 148 dapat disampaikan bersamaan dengan
97
pengajuan izin kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kepesertaan operasi moneter.
Pasal 150
(1) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2), Peserta
OPT Konvensional dan Lembaga Perantara menyampaikan
pengkinian informasi melalui surat dengan menggunakan
format sebagaimana contoh dalam Lampiran VIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 148 ayat (5).
Pasal 151
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran
untuk mengikuti Transaksi Swap secara lelang kepada Peserta
OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui surat, yang
memuat informasi sebagai berikut:
a. nama Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga
Perantara;
b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional;
c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional dan/atau Lembaga Perantara;
d. kode individual page yang terdiri dari active page, historical
page, dan confirmation page pada sistem otomasi lelang
Operasi Moneter valuta asing;
e. Standard Settlement Instruction Peserta OPT Konvensional;
f.
g. informasi lainnya.
tanggal efektif untuk mengikuti Transaksi Swap secara
lelang; dan/atau
98
Paragraf 2
Pengumuman Lelang Transaksi Swap
Pasal 152
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi
Swap dan perubahannya paling lambat sebelum window
time, melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta
asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain.
(2) Pengumuman rencana Transaksi Swap secara lelang
meliputi:
a. jenis Transaksi Swap;
b. sarana transaksi;
c.
tanggal lelang;
d. nama lelang (auction name);
e. jangka waktu;
f. window time;
g. metode lelang;
h. premi swap, apabila Transaksi Swap dilaksanakan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender);
i.
target indikatif, apabila Transaksi Swap
dilaksanakan dengan metode harga beragam (variable
rate tender);
j. mata uang;
k. kurs spot;
l.
tanggal setelmen (tanggal valuta);
m. tanggal jatuh waktu; dan/atau
n. informasi lainnya.
Paragraf 3
Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Swap
Pasal 153
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan
penawaran Transaksi Swap secara lelang kepada Bank
Indonesia melalui sarana dealing system dan dalam window
99
time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan waktu
yang tercatat pada sistem di Bank Indonesia.
Pasal 154
(1) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang
dengan metode harga tetap (fixed rate tender) memuat
informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nama lelang (auction name);
b. penawaran nilai nominal; dan
c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara
mengajukan penawaran untuk dan atas nama
Peserta OPT Konvensional,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Swap
secara lelang.
(2) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang
dengan metode harga beragam (variable rate tender)
memuat informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nama lelang (auction name);
b. penawaran nilai nominal;
c. premi swap; dan
d. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara
mengajukan penawaran untuk dan atas nama
Peserta OPT Konvensional,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Swap
secara lelang.
(3) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT
Konvensional paling sedikit sebesar USD5,000,000.00
(lima juta dolar Amerika Serikat) dan paling banyak
sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika
Serikat), dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat).
(4) Dalam hal lelang Transaksi Swap dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan
setiap penawaran premi swap paling sedikit sebesar
100
Rp1,00 (satu rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan
sebesar Rp1,00 (satu rupiah).
Pasal 155
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat
mengajukan koreksi untuk setiap penawaran yang
diajukan dalam window time Transaksi Swap secara
lelang.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan koreksi
terhadap informasi penawaran selain informasi nama
lelang (auction name); dan/atau
b. Lembaga Perantara yang mengajukan penawaran
Transaksi Swap secara lelang untuk dan atas nama
Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan koreksi
terhadap informasi penawaran selain informasi
Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Konvensional dan nama lelang (auction name);
(3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan
pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 154.
Pasal 156
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus
memantau kebenaran data penawaran Transaksi Swap
secara lelang yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
(2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi
kepada Peserta OPT Konvensional mengenai Transaksi
Swap secara lelang yang diajukan untuk kepentingan
Peserta OPT Konvensional.
101
Paragraf 4
Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Swap
Pasal 157
(1) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga tetap
(fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung
dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Konvensional
dapat
dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai
dengan perhitungan Bank Indonesia.
(2) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung
dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan batas premi swap yang
diterima;
b. untuk Transaksi Swap Jual, Bank Indonesia
menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan
cara:
1. dalam hal premi swap yang diajukan Peserta
OPT Konvensional lebih tinggi dari batas
penawaran premi swap yang diterima Bank
Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan memenangkan seluruh
penawaran yang diajukan; atau
2. dalam hal premi swap yang diajukan Peserta
OPT Konvensional sama dengan batas
penawaran premi swap yang diterima Bank
Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan memenangkan seluruh atau
sebagian dari penawaran yang diajukan secara
proporsional sesuai dengan perhitungan Bank
Indonesia;
102
c. untuk Transaksi Swap Beli, Bank Indonesia
menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan
cara:
1. dalam hal premi swap yang diajukan Peserta
OPT Konvensional lebih rendah dari batas
penawaran premi swap yang diterima Bank
Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan memenangkan seluruh
penawaran yang diajukan; atau
2. dalam hal premi swap yang diajukan Peserta
OPT Konvensional sama dengan batas
penawaran premi swap yang diterima Bank
Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan memenangkan seluruh atau
sebagian dari penawaran yang diajukan secara
proporsional sesuai dengan perhitungan Bank
Indonesia.
(3) Contoh perhitungan pemenang Transaksi Swap Jual Bank
Indonesia dan Transaksi Swap Beli Bank Indonesia secara
lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
huruf c tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(4) Pembulatan nominal yang dimenangkan oleh pemenang
Transaksi Swap secara lelang dengan proporsional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
pembulatan ke seratus ribuan dolar Amerika Serikat
terdekat dengan ketentuan:
a. untuk nominal kurang dari USD50,000.00 (lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat) dibulatkan menjadi
0 (nol); dan
b. untuk nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar
Amerika Serikat) atau lebih dibulatkan menjadi
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat).
103
Pasal 158
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
Transaksi Swap.
Paragraf 5
Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Swap
Pasal 159
Bank Indonesia mengumumkan hasil Transaksi Swap secara
lelang setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang
oleh Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada masing-masing pemenang lelang
melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta
asing dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, berupa:
1. jangka waktu;
2. nilai nominal yang dimenangkan;
3. kurs spot;
4. kurs forward;
5. premi swap yang dimenangkan; dan/atau
6. informasi lainnya.
b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT
Konvensional dan Lembaga Perantara melalui sistem
otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem
LHBU, dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, berupa:
1. nilai nominal Transaksi Swap yang dimenangkan;
2. premi swap per jangka waktu, apabila Transaksi
Swap dilakukan dengan metode harga tetap (fixed
rate tender);
3. rata-rata tertimbang (weighted average) premi swap
per jangka waktu, apabila Transaksi Swap dilakukan
dengan metode harga beragam (variable rate tender);
dan/atau
4. informasi lainnya.
c. Peserta OPT Konvensional dapat mengakses pengumuman
hasil lelang Transaksi Swap sebagaimana dimaksud pada
104
huruf a dalam confirmation page pada sistem otomasi
lelang Operasi Moneter valuta asing.
d. Peserta OPT Konvensional yang telah memenangkan
penawaran dilarang melakukan pengakhiran Transaksi
Swap secara lelang sebelum jatuh waktu (early
termination).
Paragraf 6
Transaksi Swap Secara Nonlelang
Pasal 160
Transaksi Swap secara nonlelang dilakukan secara bilateral
antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT Konvensional
secara langsung atau melalui Lembaga Perantara.
Paragraf 7
Setelmen Transaksi Swap
Pasal 161
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg Transaksi
Swap Jual Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal Transaksi Swap.
(2) Setelmen first leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah
Peserta OPT Konvensional sebesar nilai setelmen first
leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia;
b. Peserta OPT Konvensional mentransfer dana dolar
Amerika Serikat untuk setiap penawaran yang
dimenangkan dalam Transaksi Swap secara lelang atau
sebesar nilai yang disepakati dalam Transaksi Swap
Jual Bank Indonesia secara nonlelang ke rekening
Bank Indonesia di Bank Koresponden.
(3) Nilai setelmen first leg sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dihitung sebesar nilai nominal dolar Amerika
Serikat yang dimenangkan dalam Transaksi Swap Jual
Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang
105
disepakati dalam Transaksi Swap Jual Bank Indonesia
secara nonlelang dikalikan dengan kurs spot.
(4) Peserta OPT Konvensional menyampaikan konfirmasi
setelmen first leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b melalui
SWIFT message format MT300 atau sarana lain kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan
Pinjaman.
Pasal 162
Dalam hal pada tanggal setelmen first leg Transaksi Swap Jual
Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional tidak memenuhi
kewajiban setelmen berupa transfer dana dolar Amerika Serikat
sebesar nilai yang dimenangkan dalam Transaksi Swap Jual
Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang disepakati
dalam Transaksi Swap Jual Bank Indonesia secara nonlelang
ke rekening Bank Indonesia di Bank Koresponden, Peserta OPT
Konvensional wajib menyelesaikan transfer dana Dolar Amerika
Serikat pada hari kerja berikutnya.
Pasal 163
(1) Peserta OPT Konvensional menyediakan dana rupiah yang
mencukupi di Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional untuk memenuhi kewajiban setelmen
second leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia.
(2) Setelmen second leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah
Peserta OPT Konvensional sebesar nilai setelmen
second leg;
b. Bank Indonesia mentransfer dana dolar Amerika
Serikat ke rekening Peserta OPT Konvensional di
Bank Koresponden sebesar nilai nominal dolar
Amerika Serikat pada setelmen second leg.
(3) Nilai setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dihitung sebesar nilai nominal dolar
106
Amerika Serikat pada setelmen first leg dikalikan kurs
forward.
(4) Peserta OPT Konvensional menyampaikan konfirmasi
setelmen second leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a melalui
SWIFT message format MT300 atau sarana lain kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan
Pinjaman.
Pasal 164
(1) Dalam hal pada tanggal setelmen second leg Transaksi
Swap Jual Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional
tidak memiliki dana rupiah yang cukup untuk memenuhi
kewajiban setelmen, Peserta OPT Konvensional wajib
menyediakan dana rupiah yang cukup untuk memenuhi
kewajiban setelmen pada hari kerja berikutnya.
(2) Pemenuhan kewajiban setelmen second leg Transaksi
Swap Jual Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui pendebitan Rekening Giro
rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia.
Pasal 165
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg Transaksi
Swap Beli Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal Transaksi Swap Beli Bank Indonesia.
(2) Setelmen first leg Transaksi Swap Beli Bank Indonesia
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah
Peserta OPT Konvensional sebesar nilai setelmen first
leg Transaksi Swap Beli Bank Indonesia;
b. Bank Indonesia melakukan transfer dana dolar
Amerika Serikat untuk setiap penawaran yang
dimenangkan dalam Transaksi Swap Beli Bank
Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang
disepakati dalam Transaksi Swap Beli Bank
Indonesia secara nonlelang ke rekening Peserta OPT
Konvensional di Bank Koresponden.
107
(3) Nilai setelmen first leg sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dihitung sebesar nilai nominal dolar Amerika
Serikat yang dimenangkan dalam Transaksi Swap Beli
Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang
disepakati dalam Transaksi Swap Beli Bank Indonesia
secara nonlelang dikalikan dengan kurs spot.
(4) Peserta OPT Konvensional menyampaikan konfirmasi
setelmen first leg Transaksi Swap Beli Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b melalui
SWIFT message format MT300 atau sarana lain kepada
Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan
Pinjaman.
Pasal 166
(1) Dalam hal pada tanggal setelmen first leg Transaksi Swap
Beli Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional tidak
memiliki dana rupiah yang cukup untuk memenuhi
kewajiban setelmen, Peserta OPT Konvensional wajib
menyediakan dana rupiah yang cukup untuk memenuhi
kewajiban setelmen pada hari kerja berikutnya.
(2) Pemenuhan kewajiban setelmen first leg Transaksi Swap
Beli Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui pendebitan Rekening Giro Rupiah
Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia.
Pasal 167
(1) Setelmen second leg Transaksi Swap Beli Bank Indonesia
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah
Peserta OPT Konvensional sebesar nilai setelmen
second leg.
b. Peserta OPT Konvensional mentransfer dana dolar
Amerika Serikat untuk setiap penawaran yang
dimenangkan dalam Transaksi Swap Beli Bank
Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang
disepakati dalam Transaksi Swap Beli Bank
108
Indonesia secara nonlelang
Indonesia di Bank Koresponden.
ke rekening Bank
(2) Nilai setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dihitung sebesar nilai nominal dolar
Amerika Serikat yang dimenangkan dalam Transaksi
Swap Beli Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai
yang disepakati dalam Transaksi Swap Beli Bank
Indonesia secara nonlelang dikalikan kurs forward.
Pasal 168
Dalam hal pada tanggal setelmen second leg Transaksi Swap
Beli Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional tidak
memenuhi kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 167 ayat (1) huruf b, Peserta OPT Konvensional wajib
menyelesaikan kewajiban setelmen melalui transfer dana dolar
Amerika Serikat pada hari kerja berikutnya.
Pasal 169
Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Swap Jual Bank
Indonesia dan Transaksi Swap Beli Bank Indonesia, tanggal
setelmen first leg atau tanggal setelmen second leg ditetapkan
sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen
dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa memperhitungkan
penambahan atau pengurangan premi swap untuk hari libur
dimaksud.
Bagian Kesebelas
Transaksi Forward
Paragraf 1
Pengumuman Lelang Transaksi Forward
Pasal 170
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana Transaksi
Forward secara lelang dan perubahannya paling lambat
sebelum window time, melalui Sistem LHBU dan/atau
sarana lain.
109
(2) Pengumuman rencana Transaksi Forward secara lelang
meliputi:
a. jenis Transaksi Forward;
b. sarana transaksi;
c.
tanggal lelang;
d. waktu penyerahan dana (tenor);
e. window time;
f.
metode lelang;
g. tanggal setelmen (tanggal valuta);
h. forward point, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga tetap (fixed rate tender);
i.
j.
target indikatif lelang, apabila lelang dilakukan
dengan metode harga beragam (variable rate tender);
jenis valuta;
k. kurs spot; dan/atau
l.
informasi lainnya.
Paragraf 2
Pengajuan Penawaran Transaksi Forward Secara Lelang
Pasal 171
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan
penawaran Transaksi Forward secara lelang kepada Bank
Indonesia melalui sarana dealing system dan dalam window
time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 172
(1) Pengajuan penawaran Transaksi Forward secara lelang
meliputi informasi:
a. nama Peserta OPT Konvensional;
b. tanggal transaksi;
c.
tenor;
d. tanggal setelmen (tanggal valuta);
e.
jenis valuta;
f.
nilai nominal apabila lelang dengan metode harga
tetap (fixed rate tender);
110
g.
nilai nominal dan forward point apabila lelang dengan
metode harga beragam (variable rate tender);
h. Standard Settlement Instruction; dan/atau
i.
informasi lainnya.
(2) Pengajuan penawaran Transaksi Forward secara lelang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
banyak 2 (dua) kali untuk masing-masing tenor yang
ditawarkan.
(3) Pengajuan setiap penawaran nilai nominal dari Peserta
OPT Konvensional dan Lembaga Perantara paling sedikit
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
(4) Pengajuan setiap penawaran forward point dari Peserta
OPT Konvensional dan Lembaga Perantara paling sedikit
sebesar Rp1,00 (satu rupiah) dan selebihnya dengan
kelipatan sebesar Rp1,00 (satu rupiah).
Pasal 173
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara hanya
dapat mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap
penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi
Forward secara lelang.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan terhadap informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 172 ayat (1) kecuali informasi nama Peserta
OPT Konvensional dan tenor Transaksi Forward secara
lelang.
(3) Dalam hal dilakukan koreksi atas jumlah penawaran (nilai
nominal) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah
penawaran (nilai nominal) dimaksud harus memenuhi
persyaratan penawaran nilai nominal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 172 ayat (3).
111
Pasal 174
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus
memantau kebenaran data penawaran Transaksi Forward
secara lelang yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
(2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi
kepada Peserta OPT Konvensional mengenai Transaksi
Forward secara lelang yang diajukan untuk kepentingan
Peserta OPT Konvensional.
(3) Dalam hal Peserta OPT Konvensional dan Lembaga
Perantara mengajukan penawaran yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172, dan
tidak melakukan koreksi pengajuan penawaran dalam
window time Transaksi Forward secara lelang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173, penawaran
dimaksud dinyatakan batal.
Pasal 175
Bank Indonesia dapat menolak penawaran Transaksi Forward
secara lelang yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional
apabila Peserta OPT Konvensional tidak memiliki counterparty
limit yang cukup.
Paragraf 3
Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Forward
Pasal 176
(1) Dalam hal Transaksi Forward secara lelang dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan
pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Konvensional
dapat
dimenangkan sebagian dengan perhitungan secara
proporsional sesuai dengan perhitungan Bank
Indonesia.
112
(2) Dalam hal Transaksi Forward secara lelang dilakukan
dengan metode harga beragam (variable rate tender),
penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan batas forward point yang
diterima;
b. untuk Transaksi Forward Jual, Bank Indonesia
menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan
cara:
1. dalam hal forward point yang diajukan Peserta
OPT Konvensional lebih tinggi dari batas
penawaran forward point yang diterima Bank
Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan memenangkan seluruh
penawaran yang diajukan; atau
2. dalam hal forward point yang diajukan Peserta
OPT Konvensional sama dengan batas
penawaran forward point yang diterima Bank
Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan memenangkan seluruh atau
sebagian dari penawaran yang diajukan secara
proporsional sesuai dengan perhitungan Bank
Indonesia;
c. untuk Transaksi Forward Beli, Bank Indonesia
menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan
cara:
1. dalam hal forward point yang diajukan Peserta
OPT Konvensional lebih rendah dari batas
penawaran forward point yang diterima Bank
Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan memenangkan seluruh
penawaran yang diajukan; atau
2. dalam hal forward point yang diajukan Peserta
OPT Konvensional sama dengan batas
penawaran forward point yang diterima Bank
Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang
bersangkutan memenangkan seluruh atau
sebagian dari penawaran yang diajukan secara
113
proporsional sesuai dengan perhitungan Bank
Indonesia.
(3) Contoh perhitungan pemenang Transaksi Forward secara
lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum
dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Pembulatan nilai nominal yang dimenangkan oleh
pemenang Transaksi Forward secara lelang dengan
perhitungan secara proporsional dilakukan dengan
pembulatan ke seratus ribuan dolar Amerika Serikat
terdekat dengan ketentuan:
a. untuk nominal kurang dari USD50,000.00 (lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat) dibulatkan menjadi
0 (nol); dan
b. untuk nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar
Amerika Serikat) atau lebih dibulatkan menjadi
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat).
Pasal 177
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang
Transaksi Forward secara lelang.
Paragraf 4
Pengumuman Hasil Transaksi Forward Secara Lelang
Pasal 178
Bank Indonesia mengumumkan hasil Transaksi Forward
secara lelang setelah dilakukan proses penetapan pemenang
lelang oleh Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang kepada
semua Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
secara keseluruhan melalui Sistem LHBU dan/atau
sarana lain, yang memuat informasi berupa nilai nominal
Transaksi Forward yang dimenangkan, rata-rata
tertimbang (weighted average) forward point per tenor,
dan/atau informasi lainnya;
114
b. melakukan konfirmasi kepada pemenang lelang secara
individual melalui sarana dealing system yang ditetapkan
Bank Indonesia berupa:
1. nominal lelang Transaksi Forward yang dimenangkan
Peserta OPT Konvensional;
2. forward point yang dimenangkan;
3. jangka waktu transaksi;
4. tanggal valuta;
5. permintaan Standard Settlement Instruction Peserta
OPT Konvensional; dan/atau
6. permintaan nomor Rekening Giro rupiah Peserta OPT;
Konvensional dan/atau
7. informasi lainnya;
c. dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga
Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam
huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki
sarana dealing system yang ditetapkan Bank
Indonesia, konfirmasi akan dilakukan melalui
Lembaga Perantara; atau
2. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki sarana
dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia,
konfirmasi akan dilakukan kepada Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan.
Paragraf 5
Transaksi Forward Secara Nonlelang
Pasal 179
Transaksi Forward secara nonlelang dilakukan secara bilateral
antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT Konvensional
secara langsung atau melalui Lembaga Perantara.
115
Paragraf 6
Setelmen Transaksi Forward
Pasal 180
(1) Pada tanggal valuta Transaksi Forward Jual Bank
Indonesia, Bank Indonesia melakukan transfer dana dolar
Amerika Serikat ke rekening Peserta OPT Konvensional di
Bank Koresponden sebesar nilai nominal dolar Amerika
Serikat yang dimenangkan dalam Transaksi Forward Jual
Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang
disepakati dalam Transaksi Forward Jual Bank Indonesia
secara nonlelang.
(2) Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah Peserta
OPT Konvensional sebesar nilai nominal dolar Amerika
Serikat yang dimenangkan dalam Transaksi Forward Jual
Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang
disepakati dalam Transaksi Forward Jual Bank Indonesia
secara nonlelang dikalikan dengan kurs setelmen.
(3) Kurs setelmen Transaksi Forward Jual Bank Indonesia
yaitu kurs JISDOR saat tanggal transaksi ditambah
forward point yang dimenangkan Peserta OPT
Konvensional untuk Transaksi Forward Jual Bank
Indonesia secara lelang atau kurs yang disepakati untuk
Transaksi Forward Jual Bank Indonesia secara nonlelang.
Pasal 181
(1) Dalam hal pada tanggal setelmen Transaksi Forward Jual
Bank Indonesia Peserta OPT Konvensional tidak memiliki
dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban
setelmen, Peserta OPT Konvensional wajib menyediakan
dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban
setelmen pada hari kerja berikutnya.
(2) Pembayaran nominal Transaksi Forward Jual Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui pendebitan Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Konvensional di Bank Indonesia.
116
Pasal 182
(1) Pada tanggal valuta Transaksi Forward Beli Bank
Indonesia, Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro
rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai nominal
dolar Amerika Serikat yang dimenangkan dalam Transaksi
Forward Beli Bank Indonesia secara lelang atau sebesar
nilai yang disepakati dalam Transaksi Forward Beli Bank
Indonesia secara nonlelang dikalikan kurs setelmen.
(2) Paling lambat pada tanggal setelmen, Peserta OPT
Konvensional wajib mentransfer dana dolar Amerika
Serikat sebesar nilai yang dimenangkan dalam Transaksi
Forward Beli Bank Indonesia secara lelang atau sebesar
nilai yang disepakati dalam Transaksi Forward Beli Bank
Indonesia secara nonlelang ke rekening Bank Indonesia di
Bank Koresponden.
(3) Kurs setelmen Transaksi Forward Beli Bank Indonesia
adalah JISDOR pada tanggal transaksi ditambah forward
point yang dimenangkan Peserta OPT Konvensional untuk
Transaksi Forward Beli Bank Indonesia secara lelang atau
kurs yang disepakati untuk Transaksi Forward Beli Bank
Indonesia secara nonlelang.
Pasal 183
Dalam hal pada tanggal setelmen Transaksi Forward Beli Bank
Indonesia Peserta OPT Konvensional tidak memenuhi
kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182
ayat (2), Peserta OPT Konvensional wajib menyelesaikan
kewajiban setelmen melalui transfer dana dolar Amerika
Serikat pada hari kerja berikutnya.
Pasal 184
Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Forward Jual Bank
Indonesia dan Transaksi Forward Beli Bank Indonesia, tanggal
setelmen ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah,
pelaksanaan setelmen dilakukan pada hari kerja berikutnya.
117
BAB III
TRANSAKSI OPT SYARIAH
Pasal 185
Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara bertanggung
jawab atas kebenaran data penawaran OPT Syariah yang
diajukan kepada Bank Indonesia.
Pasal 186
Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara dilarang
membatalkan penawaran OPT Syariah yang diajukan kepada
Bank Indonesia.
Bagian Kesatu
Penerbitan SBIS
Paragraf 1
Pengumuman Lelang SBIS
Pasal 187
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SBIS dan
perubahannya paling lambat sebelum window time,
melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana
lain.
(2) Pengumuman rencana lelang SBIS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat informasi:
a. sarana transaksi;
b. window time;
c. jangka waktu;
d.
target indikatif;
e. acuan tingkat imbalan;
f.
tanggal lelang;
g. tanggal jatuh waktu;
h. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
i.
informasi lainnya.
118
Paragraf 2
Pengajuan Penawaran Lelang SBIS
Pasal 188
Peserta OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui
Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang SBIS
kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window
time yang ditetapkan.
Pasal 189
(1) Pengajuan penawaran lelang SBIS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 188 yaitu penawaran nilai nominal menurut
jangka waktu SBIS yang diterbitkan.
(2) Peserta OPT Syariah mengajukan setiap penawaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan nilai nominal
paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Paragraf 3
Penetapan Pemenang Lelang SBIS
Pasal 190
Bank Indonesia menetapkan pemenang lelang SBIS dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Syariah dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Syariah dapat dimenangkan
sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan
Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil
SBIS sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 191
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
SBIS.
119
Paragraf 4
Pengumuman Hasil Lelang SBIS
Pasal 192
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SBIS setelah
dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank
Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem
BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal,
tingkat imbalan, nilai transaksi SBIS yang dimenangkan
dan/atau informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU,
dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh
penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran
yang dimenangkan, tingkat imbalan, dan/atau informasi
lainnya.
Paragraf 5
Setelmen SBIS
Pasal 193
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang SBIS
paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman
hasil lelang SBIS.
(2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki dana di Rekening Giro
rupiah yang mencukupi untuk setelmen hasil lelang SBIS.
Pasal 194
(1) Bank Indonesia melakukan Setelmen Dana hasil lelang
SBIS dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Syariah dan Setelmen Surat Berharga dengan mengkredit
Rekening Surat Berharga Peserta OPT Syariah sebesar
nilai nominal SBIS.
(2) Setelmen Dana dan Setelmen Surat Berharga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to
gross) dan DVP.
120
Pasal 195
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Syariah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban
setelmen sampai dengan sebelum periode cut-off warning
Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan
setelmen lelang SBIS, BI-SSSS secara otomatis
membatalkan transaksi lelang SBIS yang dimenangkan
Peserta OPT Syariah yang bersangkutan.
(2) Dalam hal pada lelang SBIS yang sama terdapat lebih dari
1 (satu) kali pembatalan transaksi SBIS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), untuk perhitungan pengenaan
sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS,
pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu)
kali.
Pasal 196
(1) Setelmen pelunasan SBIS dilakukan pada tanggal jatuh
waktu.
(2) BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen pelunasan
sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum
periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
(3) Bank Indonesia melunasi SBIS jatuh waktu berdasarkan
pencatatan kepemilikan SBIS yang tercatat di BI-SSSS
pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal jatuh waktu
SBIS.
(4) Dalam hal setelah terjadinya transaksi, tanggal jatuh
waktu SBIS ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah,
pelaksanaan setelmen pelunasan SBIS dilakukan pada
Hari Kerja berikutnya, tanpa memperhitungkan tambahan
imbalan untuk hari libur dimaksud.
(5) Pada tanggal jatuh waktu SBIS, Bank Indonesia
melakukan pelunasan SBIS dengan cara:
1. mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Syariah sebesar nilai nominal SBIS jatuh waktu dan
imbalan; dan
121
2. mendebit Rekening Surat Berharga Peserta OPT
Syariah sebesar nilai nominal SBIS jatuh waktu.
(6) Contoh perhitungan imbalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) tercantum pada Lampiran X yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Bagian Kedua
Transaksi Repo OPT Syariah
Paragraf 1
Persiapan Transaksi Repo OPT Syariah
Pasal 197
(1) Peserta OPT Syariah mengajukan Transaksi Repo OPT
Syariah setelah menandatangani dokumen janji (waโd)
untuk membeli kembali surat berharga dalam Transaksi
Repo OPT Syariah dengan Bank Indonesia.
(2) Penandatanganan dokumen janji (waโd) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a.
Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya
berkedudukan di Indonesia:
1. Dokumen janji (waโd) ditandatangani oleh
anggota direksi yang berwenang;
2. Dalam hal tidak ditandatangani oleh anggota
direksi yang berwenang maka harus dilengkapi
dengan surat kuasa dari anggota direksi yang
berwenang kepada pejabat penandatangan
dokumen janji (waโd);
b. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya
berkedudukan di luar negeri:
1. Dokumen janji (waโd) ditandatangani oleh Chief
Executive Officer (CEO);
2. Dalam hal tidak ditandatangani oleh Chief
Executive Officer (CEO) maka harus dilengkapi
dengan surat kuasa dari Chief Executive Officer
122
(CEO) kepada pejabat penandatangan dokumen
janji (waโd); atau
c.
Peserta OPT Syariah yang berupa UUS, dokumen janji
(waโd) ditandatangani oleh pejabat UUS yang
diberikan kuasa oleh anggota direksi BUK.
(3) Dokumen janji (waโd) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibubuhi meterai cukup dan dilampirkan dokumen
pendukung sesuai persyaratan Bank Indonesia.
(4) Contoh dokumen janji (waโd) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum pada Lampiran XI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 198
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197
ayat (3) meliputi:
a. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan
di Indonesia, menyampaikan:
1.
fotokopi anggaran dasar Peserta OPT Syariah atau
perubahan terakhir yang dilegalisir oleh Peserta OPT
Syariah, yang memuat kewenangan direksi untuk
mewakili Peserta OPT Syariah dan susunan pengurus
terkini; atau
2.
fotokopi peraturan daerah yang memuat kewenangan
direksi untuk mewakili Peserta OPT Syariah dan
susunan pengurus Peserta OPT Syariah terkini,
dalam hal Peserta OPT Syariah merupakan badan
hukum perusahaan daerah; dan
3.
fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa
Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor dari
anggota direksi yang berwenang atau pejabat yang
diberikan kuasa untuk menandatangani dokumen
janji (waโd).
b. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan
di luar negeri, menyampaikan:
1.
fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor
pusat Peserta OPT Syariah yang memuat kewenangan
123
Chief Executive Officer (CEO) untuk mewakili Peserta
OPT Syariah, dalam hal penandatanganan dokumen
janji (waโd) dilakukan oleh Chief Executive Officer
(CEO);
2.
fotokopi surat kuasa (power of attorney) sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dan surat kuasa dari Chief
Executive Officer (CEO) kepada pejabat yang diberikan
wewenang untuk menandatangani dokumen janji
(waโd), dalam hal penandatanganan dokumen janji
(waโd) tidak dilakukan oleh Chief Executive Officer
(CEO); dan
3.
fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa
paspor atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari Chief
Executive Officer (CEO) atau pejabat Peserta OPT
Syariah yang berwenang untuk menandatangani
dokumen janji (waโd).
Pasal 199
(1) Penandatanganan dokumen janji (waโd) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) dilakukan sebelum
Peserta OPT Syariah mengajukan Transaksi Repo OPT
Syariah dengan Bank Indonesia untuk pertama kali.
(2) Peserta OPT Syariah harus menyampaikan perubahan
dokumen janji (waโd) dalam hal terdapat perubahan atas:
a. dokumen janji (waโd);
b. anggaran dasar Peserta OPT Syariah atau peraturan
daerah mengenai kewenangan direksi untuk mewakili
Peserta OPT Syariah; dan/atau
c. ketentuan internal Peserta OPT Syariah yang
mengatur mengenai pendelegasian wewenang.
Pasal 200
(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 dan
Pasal 198 disampaikan dengan surat pengantar yang
ditujukan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai
berikut:
124
Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat surat-menyurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
memberitahukan melalui surat dan/atau media lain.
Pasal 201
Bank Indonesia memberitahukan kepada Peserta OPT Syariah
mengenai persetujuan untuk mengikuti Transaksi Repo OPT
Syariah melalui surat atau Sistem BI-ETP.
Paragraf 2
Pengumuman Lelang Transaksi Repo OPT Syariah
Pasal 202
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi
Repo OPT Syariah dan perubahannya paling lambat
sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem
LHBU, dan/atau sarana lain.
(2) Pengumuman rencana lelang Transaksi Repo OPT Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi:
a. sarana transaksi;
b. hari dan tanggal lelang;
c. window time;
d. jangka waktu;
e. tanggal jatuh waktu;
f.
metode lelang;
g.
target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender);
h. margin repo, apabila lelang dilakukan dengan metode
harga tetap (fixed rate tender);
i.
jenis dan seri surat berharga yang dapat di-repo-kan;
j. haircut;
k. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
l.
informasi lainnya.
125
Paragraf 3
Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Repo OPT Syariah
Pasal 203
Peserta OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui
Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang Transaksi
Repo OPT Syariah kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-
ETP dalam window time yang ditetapkan.
Pasal 204
(1) Pengajuan penawaran lelang Transaksi Repo OPT Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 meliputi
informasi:
a.
nilai nominal, jenis dan seri surat berharga yang di-
repo-kan untuk lelang dengan metode harga tetap
(fixed rate tender); atau
b.
nilai nominal, jenis dan seri surat berharga yang di-
repo-kan dan margin repo untuk lelang dengan
metode harga beragam (variable rate tender),
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Repo OPT
Syariah yang akan dilakukan.
(2) Peserta OPT Syariah mengajukan setiap penawaran
dengan nilai nominal
paling sedikit
sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya
dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender), pengajuan setiap penawaran margin
repo dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma
nol satu persen).
126
Paragraf 4
Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Repo OPT Syariah
Pasal 205
(1) Dalam hal lelang Transaksi Repo OPT Syariah dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan
pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan oleh Peserta
OPT Syariah dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Syariah dapat dimenangkan
sebagian secara proporsional sesuai dengan
perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan
nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
(2) Dalam hal lelang Transaksi Repo OPT Syariah dilakukan
dengan metode harga beragam (variable rate tender),
penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan margin repo terendah
yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan
b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang
dimenangkan dengan cara:
1. dalam hal margin repo yang diajukan Peserta OPT
Syariah lebih tinggi dari Stop Out Rate (SOR) yang
ditetapkan, Peserta OPT Syariah yang
bersangkutan memenangkan seluruh penawaran
Transaksi Repo OPT Syariah yang diajukan; atau
2. dalam hal margin repo yang diajukan Peserta OPT
Syariah sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang
ditetapkan, Peserta OPT Syariah yang
bersangkutan memenangkan seluruh atau
sebagian penawaran Transaksi Repo OPT Syariah
yang diajukan secara proporsional sesuai dengan
perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan
nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah).
127
Pasal 206
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
Transaksi Repo OPT Syariah.
Paragraf 5
Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Repo OPT Syariah
Pasal 207
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Repo
OPT Syariah setelah dilakukan proses penetapan pemenang
lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem
BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal, nilai
transaksi, margin repo yang dimenangkan, dan/atau
informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU,
dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh
penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran
yang dimenangkan, Stop Out Rate (SOR), rata-rata
tertimbang margin repo, dan/atau informasi lainnya.
Paragraf 6
Setelmen Transaksi Repo OPT Syariah
Pasal 208
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling
lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil
lelang Transaksi Repo OPT Syariah.
(2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki surat berharga di
Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk setelmen
first leg.
(3) Setelmen first leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan
BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per
transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut:
a. Setelmen Surat Berharga, dengan mendebit Rekening
Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga
yang di-repo-kan; dan
128
b. Setelmen Dana, dengan mengkredit Rekening Giro
rupiah sebesar nilai setelmen first leg.
Pasal 209
Perhitungan nilai setelmen first leg mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
Pasal 210
(1) Dalam hal Peserta OPT Syariah tidak memiliki jenis dan
seri surat berharga di Rekening Surat Berharga yang
mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen sampai
dengan waktu yang ditetapkan sehingga mengakibatkan
kegagalan setelmen first leg, BI-SSSS secara otomatis
membatalkan Transaksi Repo OPT Syariah Peserta OPT
Syariah yang bersangkutan.
(2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1
(satu) kali pembatalan Transaksi Repo OPT Syariah (first
leg), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian
sementara mengikuti kegiatan OMS, pembatalan transaksi
tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali.
Pasal 211
(1) Pada tanggal Transaksi Repo OPT Syariah jatuh waktu
(second leg), BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen
second leg sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan
sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
(2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki dana di Rekening Giro
rupiah yang mencukupi untuk setelmen second leg.
(3) Setelmen second leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS
dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi
per transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut:
a. Setelmen Dana, dengan mendebit Rekening Giro
rupiah sebesar nilai setelmen second leg; dan
b. Setelmen Surat Berharga, dengan mengkredit
Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat
berharga Transaksi Repo OPT Syariah jatuh waktu.
129
Pasal 212
Perhitungan nilai setelmen second leg mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
Pasal 213
Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Repo OPT Syariah,
tanggal Transaksi Repo OPT Syariah jatuh waktu (second leg)
ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan
setelmen dilakukan pada Hari Kerja berikutnya tanpa
memperhitungkan tambahan margin repo untuk hari libur
dimaksud.
Pasal 214
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah tidak mencukupi
untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai
dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS
sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen second leg,
BI-SSSS secara otomatis membatalkan Transaksi Repo
OPT Syariah jatuh waktu (second leg).
(2) Dalam hal Peserta OPT Syariah gagal melakukan setelmen
second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka
Transaksi Repo OPT Syariah diperlakukan sebagai
transaksi penjualan surat berharga secara putus (outright)
oleh Peserta OPT Syariah.
Pasal 215
Dalam hal terjadi transaksi penjualan secara putus (outright)
oleh Peserta OPT Syariah, dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Rekening Giro rupiah akan didebit atau dikredit dengan
memperhitungkan nilai accrued imbalan sebagai berikut:
1. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima
Bank Indonesia setelah transaksi penjualan secara
putus (outright) maka Rekening Giro rupiah dikredit
sebesar accrued imbalan sejak tanggal setelmen first leg
130
sampai dengan tanggal transaksi penjualan secara
putus (outright);
2. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima
Peserta OPT Syariah pada 1 (satu) Hari Kerja setelah
tanggal setelmen first leg maka Rekening Giro rupiah
dikredit sebesar accrued imbalan sejak tanggal
setelmen first leg sampai dengan tanggal transaksi
penjualan secara putus (outright);
3. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima
Peserta OPT Syariah pada 1 (satu) Hari Kerja setelah
tanggal transaksi penjualan secara putus (outright)
maka Rekening Giro rupiah didebit sebesar accrued
imbalan yang dibayarkan Bank Indonesia pada saat
first leg ditambah dengan accrued imbalan sejak
tanggal transaksi penjualan secara putus (outright)
sampai dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1
(satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi penjualan
secara putus (outright);
4. dalam hal terdapat pembayaran imbalan pada 1 (satu)
Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg dan
terdapat pembayaran imbalan berikutnya pada 1 (satu)
Hari Kerja setelah tanggal transaksi outright yang
diterima oleh Peserta OPT Syariah, Rekening Giro
rupiah dikredit sebesar accrued imbalan dari tanggal
setelmen first leg sampai dengan tanggal pembayaran
imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal
setelmen first leg dan didebit sebesar accrued imbalan
dari tanggal transaksi penjualan secara putus (outright)
sampai dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1
(satu) Hari Kerja setelah transaksi penjualan secara
putus (outright);
5. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima
Peserta OPT Syariah pada tanggal transaksi penjualan
secara putus (outright), Rekening Giro rupiah akan
didebit sebesar accrued imbalan yang dibayarkan
kepada Peserta OPT Syariah pada saat first leg;
131
6. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima
Peserta OPT Syariah pada periode Transaksi Repo OPT
Syariah dan terdapat pembayaran imbalan pada 1
(satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi penjualan
secara putus (outright), Rekening Giro rupiah akan
didebit sebesar accrued imbalan yang dibayarkan
kepada Peserta OPT Syariah pada saat first leg
ditambah dengan accrued imbalan dari tanggal
transaksi penjualan secara putus (outright) sampai
dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari
Kerja setelah tanggal transaksi penjualan secara putus
(outright); atau
7. dalam hal terdapat 2 (dua) kali pembayaran imbalan
pada periode Transaksi Repo OPT Syariah yang
diterima oleh Peserta OPT Syariah, Rekening Giro
rupiah akan didebit sebesar accrued imbalan yang
dibayarkan kepada Peserta OPT Syariah pada saat
setelmen first leg dan dikredit sebesar accrued imbalan
sejak pembayaran imbalan terakhir pada periode
Transaksi Repo OPT Syariah sampai dengan tanggal
transaksi penjualan secara putus (outright).
b. Rekening Giro rupiah dikredit untuk memperhitungkan
haircut yang masih menjadi hak Peserta OPT Syariah; dan
c. Rekening Giro rupiah didebit sebesar margin repo surat
berharga yang harus dibayarkan oleh Peserta OPT Syariah
kepada Bank Indonesia.
Pasal 216
Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan setelmen
second leg Transaksi Repo OPT Syariah pada hari yang sama,
untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara
mengikuti kegiatan OMS, pembatalan transaksi tersebut
dihitung sebanyak 1 (satu) kali.
132
Paragraf 7
Imbalan Surat Berharga
Pasal 217
Perlakuan terhadap imbalan surat berharga dalam hal terdapat
kegagalan setelmen second leg Transaksi Repo OPT Syariah,
diatur sebagai berikut:
a. Dalam hal setelah tanggal transaksi penjualan secara
putus (outright), Bank Indonesia menerima pembayaran
imbalan atas surat berharga yang di-repo-kan oleh Peserta
OPT Syariah, imbalan yang diterima menjadi milik Bank
Indonesia.
b. Dalam hal pada tanggal transaksi penjualan secara putus
(outright), Peserta OPT Syariah menerima pembayaran
imbalan atas surat berharga yang di-repo-kan oleh Peserta
OPT Syariah, Bank Indonesia mendebit Rekening Giro
rupiah sebesar imbalan yang diterima oleh Peserta OPT
Syariah.
c. Dalam hal setelah tanggal transaksi penjualan secara
putus (outright), Peserta OPT Syariah menerima
pembayaran imbalan atas surat berharga yang di-repo-kan
oleh Peserta OPT Syariah, pada tanggal pembayaran
imbalan Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah
sebesar kupon atau imbalan yang diterima oleh Peserta
OPT Syariah.
Bagian Ketiga
Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
Paragraf 1
Persiapan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
Pasal 218
(1) Peserta OPT Syariah mengajukan Transaksi Reverse Repo
OPT Syariah setelah menandatangani dokumen janji
(waโd) untuk menjual kembali surat berharga dalam
133
Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dengan Bank
Indonesia.
(2) Penandatanganan dokumen janji (waโd) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya
berkedudukan di Indonesia:
1. Dokumen janji (waโd) ditandatangani oleh
anggota direksi yang berwenang;
2. Dalam hal tidak ditandatangani oleh anggota
direksi yang berwenang maka harus dilengkapi
dengan surat kuasa dari anggota direksi yang
berwenang kepada pejabat penandatangan
dokumen janji (waโd);
b. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya
berkedudukan di luar negeri:
1. Dokumen janji (waโd) ditandatangani oleh Chief
Executive Officer (CEO);
2. Dalam hal tidak ditandatangani oleh Chief
Executive Officer (CEO) maka harus dilengkapi
dengan surat kuasa dari Chief Executive Officer
(CEO) kepada pejabat penandatangan dokumen
janji (waโd); atau
c. Peserta OPT Syariah yang berupa UUS, dokumen janji
(waโd) ditandatangani oleh pejabat UUS yang
diberikan kuasa oleh anggota direksi BUK
(3) Dokumen janji (waโd) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibubuhi meterai cukup dan dilampirkan dokumen
pendukung sesuai persyaratan Bank Indonesia.
(4) Contoh dokumen janji (waโd) adalah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran XII yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 219
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218
ayat (3) meliputi:
134
a. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya
berkedudukandi Indonesia menyampaikan:
1. fotokopi anggaran dasar Peserta OPT Syariah atau
perubahan terakhir yang dilegalisir oleh Peserta OPT
Syariah, yang memuat kewenangan direksi untuk
mewakili Peserta OPT Syariah dan susunan pengurus
terkini; atau
2. fotokopi peraturan daerah yang memuat kewenangan
direksi untuk mewakili Peserta OPT Syariah dan
susunan pengurus Peserta OPT Syariah terkini dalam
hal Peserta OPT Syariah merupakan badan hukum
perusahaan daerah; dan
3. fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa
Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor dari
anggota direksi yang berwenang atau pejabat yang
diberikan kuasa untuk menandatangani dokumen
janji (waโd).
b. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan
di luar negeri menyampaikan:
1. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor
pusat Peserta OPT Syariah yang memuat kewenangan
Chief Executive Officer (CEO) untuk mewakili Peserta
OPT Syariah dalam hal penandatanganan dokumen
janji (waโd) dilakukan oleh Chief Executive Officer
(CEO);
2. fotokopi surat kuasa (power of attorney) sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dan surat kuasa dari Chief
Executive Officer (CEO) kepada pejabat yang diberikan
wewenang untuk menandatangani dokumen janji
(waโd) dalam hal penandatanganan dokumen janji
(waโd) tidak dilakukan oleh Chief Executive Officer
(CEO); dan
3. fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa
paspor atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari Chief
Executive Officer (CEO) atau pejabat Peserta OPT
Syariah yang berwenang untuk menandatangani
dokumen janji (waโd).
135
Pasal 220
(1) Penandatanganan dokumen janji (waโd) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 218 ayat (1) dilakukan sebelum
Peserta OPT Syariah mengajukan Transaksi Reverse Repo
OPT Syariah dengan Bank Indonesia untuk pertama kali.
(2) Peserta OPT Syariah harus menyampaikan perubahan
dokumen janji (waโd) dalam hal terdapat perubahan atas:
a. dokumen janji (waโd);
b. perubahan anggaran dasar Peserta OPT Syariah atau
peraturan daerah mengenai kewenangan direksi
untuk mewakili Peserta OPT Syariah; dan/atau
c. ketentuan internal Peserta OPT Syariah yang
mengatur mengenai pendelegasian wewenang.
Pasal 221
(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan
Pasal 219 disampaikan dengan surat pengantar yang
ditujukan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai
berikut:
Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
(2) Dalam hal terdapat perubahan alamat surat-menyurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
memberitahukan melalui surat dan/atau media lain.
Pasal 222
Bank Indonesia memberitahukan kepada Peserta OPT Syariah
mengenai persetujuan pengajuan Transaksi Repo OPT Syariah
melalui surat atau Sistem BI-ETP.
136
Paragraf 2
Pengumuman Lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
Pasal 223
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi
Reverse Repo OPT Syariah dan perubahannya paling
lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP,
Sistem LHBU, dan/atau sarana lain.
(2) Pengumuman rencana lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
informasi:
a. sarana transaksi;
b. hari dan tanggal lelang;
c. window time;
d. jangka waktu;
e. tanggal jatuh waktu;
f.
metode lelang;
g.
target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender);
h. margin Reverse Repo, apabila lelang dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender);
i.
jenis dan seri surat berharga yang dapat di-reverse
repo-kan;
j. haircut;
k. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
l.
informasi lainnya.
Paragraf 3
Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Syariah
Pasal 224
Peserta OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui
Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang Transaksi
Reverse Repo OPT Syariah kepada Bank Indonesia melalui
Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan.
137
Pasal 225
(1) Pengajuan penawaran lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 meliputi
informasi:
a.
nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga
tetap (fixed rate tender); atau
b.
nilai nominal dan margin reverse repo untuk lelang
dengan metode harga beragam (variable rate tender),
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Reverse
Repo OPT Syariah yang akan dilakukan.
(2) Peserta OPT Syariah mengajukan setiap penawaran
dengan nilai
nominal
paling sedikit
sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya
dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender), pengajuan penawaran margin
reverse repo dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01%
(nol koma nol satu persen).
Paragraf 4
Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Syariah
Pasal 226
(1) Dalam hal lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender),
penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan oleh Peserta
OPT Syariah dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan oleh Peserta OPT Syariah dapat
dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai
dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan
pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
138
(2) Dalam hal lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate
tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. Bank Indonesia menetapkan margin reverse repo
tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate
(SOR); dan
b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang
dimenangkan dengan cara:
1. dalam hal margin reverse repo yang diajukan
Peserta OPT Syariah lebih rendah dari Stop Out
Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Syariah
yang bersangkutan memenangkan seluruh
penawaran Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
yang diajukan; atau
2. dalam hal margin reverse repo yang diajukan
Peserta OPT Syariah sama dengan Stop Out Rate
(SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Syariah yang
bersangkutan memenangkan seluruh atau
sebagian penawaran Transaksi Reverse Repo
OPT Syariah yang diajukan secara proporsional
sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia,
dengan pembulatan nominal terkecil sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(3) Dalam hal Bank Indonesia menawarkan lebih dari 1 (satu)
seri surat berharga dalam lelang Transaksi Reverse Repo
OPT Syariah, Bank Indonesia menentukan alokasi seri dan
nominal surat berharga yang dimenangkan Peserta OPT
Syariah.
Pasal 227
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
Transaksi Reverse Repo OPT Syariah.
139
Paragraf 5
Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Reverse Repo OPT
Syariah
Pasal 228
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Reverse
Repo OPT Syariah setelah dilakukan proses penetapan
pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem
BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal,
margin reverse repo, jenis dan seri surat berharga yang
dimenangkan, nilai transaksi, dan/atau informasi lainnya;
dan
b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU
dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh
penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran
yang dimenangkan, kisaran penawaran margin reverse
repo (bid rate), Stop Out Rate (SOR), rata-rata tertimbang
margin reverse repo, dan/atau informasi lainnya.
Paragraf 6
Setelmen Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
Pasal 229
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling
lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil
lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah.
(2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki dana di Rekening Giro
rupiah yang mencukupi untuk setelmen first leg.
(3) Setelmen first leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan
BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per
transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut:
a. Setelmen Dana, dengan mendebit Rekening Giro
rupiah sebesar nilai setelmen first leg; dan
140
b. Setelmen Surat Berharga, dengan mengkredit
Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat
berharga yang dimenangkan.
Pasal 230
Perhitungan nilai setelmen first leg mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
Pasal 231
(1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah tidak mencukupi
untuk memenuhi kewajiban setelmen sampai dengan
sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga
mengakibatkan kegagalan setelmen first leg, BI-SSSS
secara otomatis membatalkan Transaksi Reverse Repo
OPT Syariah Peserta OPT Syariah yang bersangkutan.
(2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1
(satu) kali pembatalan Transaksi Reverse Repo OPT
Syariah (first leg), untuk perhitungan pengenaan sanksi
penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS,
pembatalan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dihitung
sebanyak 1 (satu) kali.
Pasal 232
(1) Pada tanggal Transaksi Reverse Repo OPT Syariah jatuh
waktu (second leg), BI-SSSS secara otomatis melakukan
setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai
dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
(2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki jenis dan seri surat
berharga yang mencukupi dalam Rekening Surat Berharga
untuk setelmen second leg.
(3) Setelmen second leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS
dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi
per transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut:
a. Setelmen Surat Berharga, dengan mendebit Rekening
Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga
Transaksi Reverse Repo jatuh waktu (second leg).
141
b. Setelmen Dana, dengan mengkredit Rekening Giro
rupiah sebesar nilai setelmen second leg.
Pasal 233
Perhitungan nilai setelmen second leg mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga dalam operasi moneter.
Pasal 234
Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Reverse Repo OPT
Syariah, tanggal Transaksi Reverse Repo OPT Syariah jatuh
waktu (second leg) ditetapkan sebagai hari libur oleh
pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada Hari Kerja
berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan margin reverse
repo untuk hari libur dimaksud.
Pasal 235
(1) Dalam hal jenis dan seri surat berharga di Rekening Surat
Berharga tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban
setelmen second leg sampai dengan sebelum periode cut-
off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan
kegagalan setelmen second leg, BI-SSSS secara otomatis
membatalkan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah jatuh
waktu (second leg) Peserta OPT Syariah yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal Peserta OPT Syariah gagal melakukan setelmen
second leg, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
diperlakukan sebagai transaksi pembelian secara putus
(outright) oleh Peserta OPT Syariah.
(3) Perhitungan setelmen transaksi pembelian secara putus
(outright) dan penggunaan harga surat berharga transaksi
pembelian secara putus (outright) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi
moneter.
142
Pasal 236
Dalam hal terjadi transaksi pembelian secara putus (outright)
oleh Peserta OPT Syariah, dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Rekening Giro rupiah akan didebit atau dikredit dengan
memperhitungkan nilai accrued imbalan sebagai berikut:
1. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang
diterima Peserta OPT Syariah setelah transaksi
pembelian secara putus (outright) maka Rekening Giro
rupiah didebit sebesar accrued imbalan sejak tanggal
setelmen first leg sampai dengan tanggal transaksi
pembelian secara putus (outright);
2. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang
diterima Bank Indonesia pada 1 (satu) Hari Kerja
setelah tanggal setelmen first leg maka Rekening Giro
rupiah akan didebit sebesar accrued imbalan sejak
tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal
transaksi pembelian secara putus (outright);
3. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang
diterima Bank Indonesia pada 1 (satu) Hari Kerja
setelah tanggal transaksi pembelian secara putus
(outright) maka Rekening Giro rupiah akan dikredit
sebesar accrued imbalan yang dibayarkan Peserta
OPT Syariah pada saat first leg ditambah dengan
accrued imbalan sejak tanggal transaksi pembelian
secara putus (outright) sampai dengan tanggal
pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah
tanggal transaksi pembelian secara putus (outright);
4. dalam hal terdapat pembayaran imbalan pada 1
(satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg dan
terdapat pembayaran imbalan berikutnya pada 1
(satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi pembelian
secara putus (outright) yang diterima oleh Bank
Indonesia, Rekening Giro rupiah akan didebit sebesar
accrued imbalan dari tanggal setelmen first leg sampai
dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1 (satu)
Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg dan
dikredit sebesar accrued imbalan dari tanggal
143
transaksi pembelian secara putus (outright) sampai
dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1 (satu)
Hari Kerja setelah transaksi pembelian secara putus
(outright);
5. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang
diterima Bank Indonesia pada tanggal transaksi
pembelian secara putus (outright) maka Rekening Giro
rupiah akan dikredit sebesar accrued imbalan yang
dibayarkan kepada Bank Indonesia pada saat first leg;
6. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang
diterima Bank Indonesia pada periode Transaksi
Reverse Repo OPT Syariah dan terdapat pembayaran
imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal
transaksi pembelian secara putus (outright), Rekening
Giro rupiah akan dikredit sebesar accrued imbalan
yang dibayarkan kepada Bank Indonesia pada saat
first leg ditambah dengan accrued imbalan dari
tanggal transaksi pembelian secara putus (outright)
sampai dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1
(satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi pembelian
secara putus (outright); atau
7. dalam hal terdapat 2 (dua) kali pembayaran imbalan
pada periode Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
yang diterima oleh Bank Indonesia, Rekening Giro
rupiah akan dikredit sebesar accrued imbalan yang
dibayarkan kepada Bank Indonesia pada saat
setelmen first leg dan didebit sebesar accrued imbalan
sejak pembayaran imbalan terakhir pada periode
Transaksi Reverse Repo OPT Syariah sampai dengan
tanggal transaksi pembelian secara putus (outright).
b. Atas kegagalan setelmen second leg, Bank Indonesia tidak
membayarkan margin reverse repo kepada Peserta OPT
Syariah.
Pasal 237
Dalam hal pada hari yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali
pembatalan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah jatuh waktu
144
(second leg), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian
sementara mengikuti kegiatan OMS, pembatalan transaksi
tersebut hanya dihitung sebanyak 1 (satu) kali.
Paragraf 7
Imbalan Surat Berharga
Pasal 238
Perlakuan terhadap imbalan surat berharga dalam hal terdapat
kegagalan setelmen second leg Transaksi Reverse Repo OPT
Syariah, diatur sebagai berikut:
a. Dalam hal setelah tanggal transaksi pembelian secara
putus (outright), Peserta OPT Syariah menerima
pembayaran imbalan atas surat berharga yang di-reverse
repo-kan oleh Bank Indonesia, imbalan yang diterima
menjadi milik Peserta OPT Syariah.
b. Dalam hal pada tanggal transaksi pembelian secara putus
(outright), Bank Indonesia menerima pembayaran imbalan
atas surat berharga yang di-reverse repo-kan oleh Bank
Indonesia, Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro
rupiah Peserta OPT Syariah sebesar imbalan yang diterima
oleh Bank Indonesia.
c. Dalam hal setelah tanggal transaksi pembelian secara
putus (outright), Bank Indonesia menerima pembayaran
imbalan atas surat berharga yang di-reverse repo-kan oleh
Bank Indonesia, pada tanggal pembayaran imbalan Bank
Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT
Syariah sebesar imbalan yang diterima oleh Bank
Indonesia.
145
Bagian Keempat
Transaksi Pembelian dan Penjualan SBSN Secara Putus
(Outright) di Pasar Sekunder
Paragraf 1
Pengumuman Lelang Transaksi Pembelian dan Penjualan
SBSN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder
Pasal 239
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang dan
perubahannya paling lambat sebelum window time
melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana
lain.
(2) Pengumuman rencana lelang transaksi pembelian dan
penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder
memuat informasi:
a. sarana transaksi;
b. hari dan tanggal lelang;
c. window time;
d. jenis dan seri SBSN yang akan ditransaksikan;
e.
f.
yield atau harga SBSN, apabila lelang dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender);
g. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau
h. informasi lainnya.
Paragraf 2
Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Pembelian dan
Penjualan SBSN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder
Pasal 240
Peserta OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui
Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang transaksi
pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar
sekunder kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam
window time yang ditetapkan.
target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender);
146
Pasal 241
(1) Pengajuan penawaran lelang transaksi pembelian dan
penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder
meliputi informasi:
a.
b.
nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga
tetap (fixed rate tender); atau
nilai nominal dan yield atau harga SBSN, untuk
lelang dengan metode harga beragam (variable rate
tender).
(2) Peserta OPT Syariah mengajukan setiap penawaran nilai
nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender), pengajuan setiap penawaran yield
dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen).
Paragraf 3
Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Pembelian dan
Penjualan SBSN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder
Pasal 242
(1) Dalam hal lelang transaksi pembelian dan penjualan SBSN
secara putus (outright) di pasar sekunder dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan
pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Syariah dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Syariah dapat dimenangkan
sebagian secara proporsional sesuai dengan
perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan
nominal terkecil SBSN sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah).
147
(2) Dalam hal lelang transaksi pembelian dan penjualan
SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder dilakukan
dengan metode harga beragam (variable rate tender), Bank
Indonesia menetapkan tingkat yield yang dapat diterima
atau Stop Out Rate (SOR), atau harga yang dapat diterima,
dan penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara:
a. Lelang transaksi pembelian SBSN secara putus
(outright) di pasar sekunder:
1. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT
Syariah lebih tinggi dari Stop Out Rate (SOR)
yang ditetapkan atau harga yang diajukan oleh
Peserta OPT Syariah lebih rendah dari harga
yang dapat diterima, Peserta OPT Syariah
memenangkan seluruh penawaran yang
diajukan; atau
2. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT
Syariah sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang
ditetapkan atau harga yang diajukan oleh
Peserta OPT Syariah sama dengan harga yang
dapat diterima,
Peserta OPT Syariah
memenangkan seluruh atau sebagian
penawaran yang diajukan secara proporsional
sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia,
dengan pembulatan nominal berdasarkan unit
terkecil SBSN sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
b. Lelang transaksi penjualan SBSN secara putus
(outright) di pasar sekunder:
1. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT
Syariah lebih rendah dari Stop Out Rate (SOR)
yang ditetapkan atau harga yang diajukan oleh
Peserta OPT Syariah lebih tinggi dari harga yang
dapat diterima,
Peserta OPT Syariah
memenangkan seluruh penawaran SBSN yang
diajukan; atau
2. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT
Syariah sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang
148
ditetapkan atau harga yang diajukan oleh
Peserta OPT Syariah sama dengan harga yang
dapat diterima,
Peserta OPT Syariah
memenangkan seluruh atau sebagian
penawaran yang diajukan secara proporsional
sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia,
dengan pembulatan nominal berdasarkan unit
terkecil SBSN sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
Pasal 243
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar
sekunder.
Paragraf 4
Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Pembelian dan
Penjualan SBSN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder
Pasal 244
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang penjualan dan
pembelian SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder
setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh
Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem
BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal yang
dimenangkan, nilai transaksi, yield atau harga yang
dimenangkan, jenis dan seri SBSN yang dimenangkan,
dan/atau informasi lainnya; dan
b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU,
dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh
penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran
yang dimenangkan, Stop Out Rate (SOR), rata-rata
tertimbang tingkat yield, dan/atau informasi lainnya.
149
Paragraf 5
Transaksi Pembelian dan Penjualan SBSN Secara Putus
(Outright) di Pasar Sekunder dengan Mekanisme Nonlelang
Pasal 245
Transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus
(outright) di pasar sekunder dengan mekanisme nonlelang
dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan
Peserta OPT Syariah secara langsung atau melalui Lembaga
Perantara.
Paragraf 6
Setelmen Pembelian dan Penjualan SBSN Secara Putus
(Outright) di Pasar Sekunder dengan Mekanisme Lelang dan
Nonlelang
Pasal 246
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen pembelian dan
penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder
paling lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal transaksi.
(2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki jenis dan seri SBSN di
Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk setelmen
pembelian SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder
oleh Bank Indonesia.
(3) Peserta OPT Syariah wajib memiliki dana di Rekening Giro
rupiah yang mencukupi untuk setelmen penjualan SBSN
secara putus (outright) di pasar sekunder oleh Bank
Indonesia.
(4) Setelmen pembelian dan penjualan SBSN secara putus
(outright) di pasar sekunder oleh Bank Indonesia
dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan
mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to
gross) dan DVP.
(5) Contoh perhitungan nilai setelmen penjualan dan
pembelian SBSN tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
150
Pasal 247
(1) Dalam hal Peserta OPT Syariah pada transaksi pembelian
SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder oleh Bank
Indonesia tidak memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening
Surat Berharga atau pada transaksi penjualan SBSN tidak
memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi
untuk memenuhi kewajiban setelmen pembelian dan
penjualan SBSN sampai dengan sebelum periode cut-off
warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan
kegagalan setelmen, BI-SSSS secara otomatis
membatalkan transaksi pembelian dan penjualan SBSN
dimaksud.
(2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1
(satu) kali pembatalan transaksi pembelian dan penjualan
SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder dengan
mekanisme lelang, untuk perhitungan pengenaan sanksi
penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS,
pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu)
kali.
(3) Dalam hal terdapat pembatalan transaksi pembelian dan
penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder
dengan mekanisme nonlelang, dalam rangka perhitungan
pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti
kegiatan OMS, pembatalan transaksi tersebut dihitung
untuk setiap transaksi yang batal.
Bagian Kelima
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing
Paragraf 1
Pendaftaran dan Pengkinian Informasi untuk Mengikuti
Lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta
Asing
Pasal 248
Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara melakukan
pendaftaran dan/atau pengkinian informasi sebelum
151
mengikuti pelaksanaan lelang Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing.
Pasal 249
(1) Peserta OPT Syariah menyampaikan surat pemohonan
pendaftaran untuk mengikuti lelang Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing, yang dilengkapi
dengan informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nama Peserta OPT Syariah;
b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Syariah;
c. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID), dalam
hal Peserta OPT Syariah telah memiliki Terminal
Controller Identifier (TCID);
d. dalam hal Peserta OPT Syariah berupa UUS belum
memiliki Terminal Controller Identifier (TCID),
menyampaikan 1 (satu) Terminal Controller Identifier
(TCID) BUK dari UUS yang bersangkutan;
e. dalam hal Peserta OPT Syariah memiliki rekening di
Bank Koresponden,
Peserta OPT Syariah
menyampaikan:
1. nama Bank Koresponden;
2. 1 (satu) nomor rekening Peserta OPT Syariah di
Bank Koresponden; dan
3. Bank Identifier Code (BIC) Bank Koresponden.
f. dalam hal Peserta OPT Syariah tidak memiliki
rekening di Bank Koresponden, Peserta OPT Syariah
menyampaikan:
1. nama bank perantara (intermediary bank) yang
ditunjuk untuk keperluan setelmen;
2. 1 (satu) nomor rekening Peserta OPT Syariah di
bank perantara (intermediary bank) yang
ditunjuk untuk keperluan setelmen;
3. Bank Identifier Code (BIC) bank perantara
(intermediary bank) yang ditunjuk untuk
keperluan setelmen;
4. nama Bank Koresponden;
152
5. 1 (satu) nomor rekening bank perantara
(intermediary bank) yang ditunjuk untuk
keperluan setelmen di Bank Koresponden; dan
6. Bank Identifier Code (BIC) Bank Koresponden.
g. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan
dealer yang berwenang melakukan Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan
h. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan
pejabat yang membawahkan dealer yang berwenang
melakukan Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
huruf g.
(2) Lembaga Perantara menyampaikan surat permohonan
pendaftaran untuk mengikuti lelang Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing, yang dilengkapi
dengan informasi paling sedikit sebagai berikut:
a. nama Lembaga Perantara;
b. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) Lembaga
Perantara;
c. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan
broker yang berwenang melakukan Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan
d. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dari
pejabat yang membawahkan broker yang berwenang
melakukan Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
huruf c.
(3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang mewakili Peserta OPT Syariah atau Lembaga
Perantara.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan melalui surat kepada Bank Indonesia pada
saat pertama kali akan melakukan Transaksi Term Deposit
OPT Syariah dalam valuta asing.
(5) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) menggunakan format sebagaimana contoh
153
dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan
ke alamat sebagai berikut:
Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
(7) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat-menyurat akan
diberitahukan melalui surat dan/atau media lain.
Pasal 250
Pengajuan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 249 dapat disampaikan bersamaan dengan
pengajuan izin kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kepesertaan operasi moneter.
Pasal 251
(1) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (2), Peserta
OPT Syariah dan Lembaga Perantara menyampaikan
pengkinian informasi melalui surat dengan menggunakan
format sebagaimana contoh dalam Lampiran XIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 249 ayat (6).
Pasal 252
Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran
untuk mengikuti lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing kepada Peserta OPT Syariah dan Lembaga
Perantara melalui surat yang memuat informasi sebagai
berikut:
a. nama Peserta OPT Syariah dan/atau Lembaga Perantara;
b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Syariah;
154
c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Syariah
dan/atau Lembaga Perantara;
d. kode individual page yang terdiri dari active page, historical
page, dan confirmation page pada sistem otomasi lelang
Operasi Moneter valuta asing;
e. Standard Settlement Instruction Peserta OPT Syariah;
f.
g. informasi lainnya.
Paragraf 2
Pengumuman Lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam Valuta Asing
Pasal 253
(1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi
Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dan
perubahannya paling lambat sebelum window time
melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta
asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain.
(2) Pengumuman rencana lelang Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing memuat informasi:
a. sarana transaksi;
b. tanggal lelang;
c. nama lelang (auction name);
d. jangka waktu;
e. window time;
f.
tingkat imbalan
g. metode lelang;
h. target indikatif;
i.
j.
tanggal efektif untuk mengikuti lelang Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan/atau
persentase besaran sanksi;
tanggal setelmen (tanggal valuta);
k. tanggal jatuh waktu; dan/atau
l.
informasi lainnya.
155
Paragraf 3
Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam Valuta Asing
Pasal 254
Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara mengajukan
penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam
valuta asing kepada Bank Indonesia melalui sarana dealing
system dan dalam window time yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia sesuai dengan waktu yang tercatat pada sistem di
Bank Indonesia.
Pasal 255
(1) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing memuat informasi paling
sedikit sebagai berikut:
a. nama lelang (auction name);
b. penawaran nilai nominal; dan
c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT
Syariah, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan
penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT
Syariah,
untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing.
(2) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT
Syariah paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima juta
dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan
sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat).
Pasal 256
(1) Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara dapat
mengajukan koreksi untuk setiap penawaran yang
diajukan dalam window time Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
156
a. Peserta OPT Syariah dapat mengajukan koreksi
terhadap informasi penawaran selain informasi nama
lelang (auction name); dan/atau
b. Lembaga Perantara yang mengajukan penawaran
lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam
valuta asing untuk dan atas nama Peserta OPT
Syariah dapat mengajukan koreksi terhadap
informasi penawaran selain informasi Terminal
Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Syariah dan
nama lelang (auction name).
(3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan
pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 255.
Pasal 257
(1) Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara harus
memantau kebenaran data penawaran Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia.
(2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi
kepada Peserta OPT Syariah mengenai Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang diajukan
untuk kepentingan Peserta OPT Syariah.
Paragraf 4
Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam Valuta Asing
Pasal 258
(1) Bank Indonesia menetapkan nilai nominal Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang
dimenangkan dengan cara:
a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT
Syariah dimenangkan seluruhnya; atau
b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang
diajukan Peserta OPT Syariah dapat dimenangkan
sebagian secara proporsional sesuai perhitungan
157
Bank Indonesia dengan pembulatan ke seratus
ribuan dolar Amerika Serikat terdekat dengan
ketentuan:
1. untuk nominal kurang dari USD50,000.00 (lima
puluh ribu dolar Amerika Serikat) dibulatkan
menjadi 0 (nol); dan
2. untuk nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu
dolar Amerika Serikat) atau lebih dibulatkan
menjadi USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat).
(2) Contoh perhitungan nilai nominal dan penetapan
pemenang lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 259
Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing.
Paragraf 5
Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam Valuta Asing
Pasal 260
(1) Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi
Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing setelah
dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank
Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara individual kepada pemenang lelang melalui
sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing
dan/atau sarana lain, yang memuat informasi
berupa:
1. jangka waktu;
2. nilai nominal yang dimenangkan;
3. tingkat imbalan;
158
4. nominal imbalan Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing; dan/atau
5. informasi lainnya;
b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT
Syariah dan Lembaga Perantara melalui sistem
otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem
LHBU, dan/atau sarana lain, yang memuat informasi
berupa:
1. nilai nominal penawaran yang dimenangkan;
2. tingkat imbalan Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing; dan/atau
3. informasi lainnya.
(2) Peserta OPT Syariah dapat mengakses pengumuman hasil
lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
confirmation page pada sistem otomasi lelang Operasi
Moneter valuta asing.
Paragraf 6
Setelmen Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta
Asing
Pasal 261
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing paling lambat 2
(dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
(2) Peserta OPT Syariah menyediakan dana di rekening giro
pada Bank Koresponden atau bank perantara
(intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan
setelmen, yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban
setelmen Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam
valuta asing.
(3) Pada tanggal setelmen, Peserta OPT Syariah wajib
mentransfer dana atas kewajiban setelmen Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing untuk setiap
penawaran atau sesuai dengan jumlah nominal yang
159
dimenangkan ke rekening Bank Indonesia di Bank
Koresponden.
(4) Peserta OPT Syariah menyampaikan konfirmasi setelmen
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui SWIFT
message format MT320 atau sarana lain kepada Bank
Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan
Pinjaman.
Pasal 262
(1) Dalam hal Peserta OPT Syariah tidak memenuhi kewajiban
setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (3),
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing
dinyatakan batal.
(2) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan
setelmen Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam
valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada
hari yang sama, untuk perhitungan pengenaan sanksi
penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS,
pembatalan tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali.
Pasal 263
(1) Pada tanggal jatuh waktu Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing, Bank Indonesia melakukan
pelunasan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam
valuta asing jatuh waktu dengan melakukan transfer ke
rekening giro Peserta OPT Syariah pada Bank
Koresponden sebesar nilai tunai.
(2) Nilai tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
Nilai Tunai = N ร (1 + r
k
360 hari
)
Keterangan:
N = nilai nominal Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing
r = tingkat imbalan
160
k = jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing
(3) Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing, tanggal jatuh waktu Transaksi
Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing ditetapkan
sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen
transaksi tersebut dilakukan pada hari kerja berikutnya
tanpa memperhitungkan tambahan imbalan untuk hari
libur dimaksud.
Paragraf 7
Pencairan Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption) Term
Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing
Pasal 264
(1) Peserta OPT Syariah dapat mengajukan Early Redemption
Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing paling cepat
3 (tiga) hari setelah setelmen hasil lelang Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang akan
dilakukan Early Redemption.
(2) Peserta OPT Syariah dapat mengajukan Early Redemption
pada setiap hari kerja, kecuali pada hari pelaksanaan
lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta
asing dengan jangka waktu melebihi overnight.
(3) Pengajuan Early Redemption sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dari pukul 08.00 WIB sampai dengan
pukul 11.00 WIB.
(4) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing dilakukan melalui sarana dealing
system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(5) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing dilakukan paling sedikit sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat)
dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta
dolar Amerika Serikat).
161
(6) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. untuk Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing
yang ditransaksikan melalui sistem otomasi lelang
Operasi Moneter valuta asing harus disertai dengan
informasi reference number dan informasi nama
lelang (auction name) pada saat pengajuan lelang
transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta
asing; atau
b. untuk Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing
yang ditransaksikan secara manual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 277 ayat (1) huruf c harus
disertai informasi tanggal lelang dan informasi waktu
transaksi lelang yang akan dilakukan Early
Redemption (waktu Greenwich Mean Time/GMT).
(7) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing, baik keseluruhan atau sebagian,
dilakukan untuk nilai nominal penuh yang tercantum
dalam setiap deal ticket.
Pasal 265
(1) Peserta OPT Syariah yang melakukan Early Redemption
Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing memperoleh
imbalan secara proporsional dengan perhitungan sebagai
berikut:
Imbalan =
Nominal
Early Redemption
ร
Tingkat
imbalan
k
ร
360
Keterangan:
k = jangka waktu sampai dengan setelmen Early
Redemption Term Deposit OPT Syariah dalam
valuta asing
(2) Peserta OPT Syariah dikenakan biaya Early Redemption
Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebesar 10%
162
(sepuluh persen) dari imbalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 266
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen Early Redemption
pada 2 (dua) hari kerja setelah tanggal pengajuan Early
Redemption.
(2) Nilai tunai Early Redemption sebesar nilai nominal Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang dilakukan
Early Redemption ditambah imbalan dikurangi biaya Early
Redemption, dengan rumus sebagai berikut:
Nilai
Tunai
=
Early Redemption
Nilai Nominal
Term Deposit Valas
yang di-early redeem
+ Imbalan -
Biaya
Early Redemption
BAB IV
PELAKSANAAN OPT DALAM KEADAAN TIDAK NORMAL
Bagian Kesatu
Pelaksanaan OPT dalam Rupiah dalam Keadaan Tidak Normal
Pasal 267
Pelaksanaan transaksi OPT dalam rupiah dalam keadaan tidak
normal mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem BI-ETP,
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-
SSSS, dan/atau penyelenggaraan setelmen dana seketika
melalui Sistem BI-RTGS.
163
Bagian Kedua
Pelaksanaan Transaksi OPT dalam Valuta Asing dalam
Keadaan Tidak Normal
Paragraf 1
Penerbitan SBBI Valas
Pasal 268
(1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sarana
dealing system yang mempengaruhi kelancaran
pelaksanaan lelang SBBI Valas, Bank Indonesia dapat
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. menyesuaikan window time lelang SBBI Valas;
b. membatalkan proses lelang SBBI Valas yang
dilakukan melalui sarana dealing system; dan/atau
c. melakukan lelang SBBI Valas dengan cara manual.
(2) Dalam hal dilakukan penyesuaian window time
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau
pembatalan proses lelang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, Bank Indonesia menginformasikan
kepada Peserta OPT Konvensional melalui sarana dealing
system, Sistem LHBU dan/atau sarana lain.
(3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
proses lelang SBBI Valas dengan cara manual
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c melalui
sarana dealing system dan/atau sarana lain yang
ditetapkan Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Bank Indonesia menetapkan lebih dari 1 (satu)
sarana transaksi yang dapat digunakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Peserta OPT Konvensional
dan/atau Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan
penawaran lelang SBBI Valas melalui 1 (satu) sarana
transaksi yang ditetapkan Bank Indonesia.
164
Pasal 269
Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SBBI Valas
dengan cara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268
ayat (3) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengumuman dilakukan paling lambat sebelum window
time lelang SBBI Valas yang dilakukan secara manual
melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain.
b. Window time lelang SBBI Valas dapat dilakukan antara
pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB, atau
waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
c. Pengumuman rencana lelang SBBI Valas memuat
informasi:
1. sarana transaksi;
2. hari dan tanggal lelang;
3.
seri;
4. window time;
5. jangka waktu;
6. tanggal jatuh waktu;
7. metode lelang;
8.
target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan
metode harga beragam (variable rate tender);
9. tingkat diskonto SBBI Valas, apabila lelang dilakukan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender);
10. tanggal setelmen (tanggal valuta); dan/atau
11. informasi lainnya.
Pasal 270
Pengajuan penawaran lelang SBBI Valas dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
mengajukan penawaran lelang SBBI Valas kepada Bank
Indonesia melalui sarana dealing system dan/atau sarana
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam window
time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan
waktu yang tercatat pada sistem di Bank Indonesia.
165
b. Pengajuan penawaran lelang SBBI Valas dengan metode
harga tetap (fixed rate tender) memuat informasi paling
sedikit sebagai berikut:
1. nama Peserta OPT Konvensional;
2. penawaran nilai nominal;
3. tingkat diskonto sesuai dengan yang diumumkan
oleh Bank Indonesia;
4. participant code BI-SSSS yang mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui BI-SSSS yaitu sebagai berikut:
a) dalam hal Peserta OPT Konvensional
mengajukan atas nama diri sendiri, participant
code yang digunakan adalah participant code
Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan;
b) dalam hal Peserta OPT Konvensional dan/atau
Lembaga Perantara mengajukan atas nama
Peserta OPT Konvensional lain, participant code
yang digunakan adalah participant code Peserta
OPT Konvensional lain tersebut; atau
c) dalam hal Peserta OPT Konvensional
mengajukan atas nama pembeli SBBI Valas yang
tidak memiliki Rekening Surat Berharga,
participant code yang digunakan adalah
participant code Sub-Registry.
c. Pengajuan penawaran lelang SBBI Valas dengan metode
harga beragam (variable rate tender) memuat informasi
paling sedikit sebagai berikut:
1. nama Peserta OPT Konvensional;
2. penawaran nilai nominal;
3. tingkat diskonto;
4. participant code BI-SSSS yang mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga
melalui BI-SSSS yaitu sebagai berikut:
a) dalam hal Peserta OPT Konvensional
mengajukan atas nama diri sendiri, participant
166
code yang digunakan adalah participant code
Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan;
b) dalam hal Peserta OPT Konvensional dan/atau
Lembaga Perantara mengajukan atas nama
Peserta OPT Konvensional lain, participant code
yang digunakan adalah participant code Peserta
OPT Konvensional lain tersebut; atau
c) dalam hal Peserta OPT Konvensional
mengajukan atas nama pembeli SBBI Valas yang
tidak memiliki Rekening Surat Berharga,
participant code yang digunakan adalah
participant code Sub-Registry.
d. Penawaran dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali
untuk masing-masing jangka waktu yang ditawarkan.
e. Pengajuan setiap penawaran nilai nominal dari Peserta
OPT paling sedikit sebesar USD100,000.00 (seratus ribu
dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan
sebesar USD1,000.00 (seribu dolar Amerika Serikat).
f.
Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat
mengajukan penawaran paling banyak sebesar USD
100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat) per
pengajuan penawaran.
g. Dalam hal lelang SBBI Valas dilakukan dengan metode
harga beragam (variable rate tender), pengajuan
penawaran diskonto diajukan dengan kelipatan 0,1 bps
(nol koma satu basis point) atau 0,001% (nol koma nol nol
satu persen).
Pasal 271
(1) Peserta OPT dan Lembaga Perantara hanya dapat
mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap penawaran
yang diajukan dalam window time lelang SBBI Valas.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan terhadap informasi penawaran selain informasi
nama Peserta OPT Konvensional dan jangka waktu SBBI
Valas.
167
(3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan
pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 270.
Pasal 272
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus
memantau kebenaran informasi penawaran lelang SBBI
Valas yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
(2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi
kepada Peserta OPT Konvensional mengenai lelang SBBI
Valas yang diajukan untuk kepentingan Peserta OPT
Konvensional.
(3) Dalam hal penawaran dan/atau koreksi yang diajukan
oleh Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 270 dan Pasal 271 maka penawaran tersebut
dinyatakan batal.
(4) Pengajuan penawaran lelang SBBI Valas oleh Peserta OPT
Konvensional atau Lembaga Perantara dilakukan oleh
pihak yang berwenang melakukan transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1).
Pasal 273
(1) Penetapan pemenang lelang SBBI Valas mengacu pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
(2) Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SBBI Valas
setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh
Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang
kepada semua Peserta OPT Konvensional dan
Lembaga Perantara secara keseluruhan melalui
Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia, yang memuat informasi berupa:
1.
seri;
2. mata uang;
3. nilai nominal seluruh penawaran yang masuk;
168
4.
nilai nominal seluruh penawaran yang
dimenangkan;
5. rata-rata tertimbang tingkat diskonto;
6. tanggal jatuh waktu; dan/atau
7. informasi lainnya.
b. melakukan konfirmasi kepada Peserta OPT
Konvensional yang memenangkan lelang secara
individual melalui sarana dealing system dan/atau
sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia yang
memuat informasi berupa:
1. pemenang lelang SBBI Valas;
2. nilai nominal yang dimenangkan;
3. tingkat diskonto; dan/atau
4. informasi lainnya.
Pasal 274
Dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga
Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273
ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki sarana
dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia,
konfirmasi akan dilakukan melalui Lembaga Perantara;
atau
b. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki sarana
dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia,
konfirmasi akan dilakukan kepada Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan.
Pasal 275
Setelmen lelang SBBI Valas dalam hal terjadi kondisi tidak
normal pada sarana dealing system dilakukan dengan mengacu
pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai
dengan Pasal 52.
169
Paragraf 2
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing
Pasal 276
(1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sistem
otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing yang
mempengaruhi kelancaran pelaksanaan lelang Transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, Bank
Indonesia dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. menyesuaikan window time Transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing;
b. membatalkan proses lelang Transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing yang dilakukan
melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta
asing; dan/atau
c. melakukan Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing secara manual.
(2) Dalam hal dilakukan penyesuaian window time
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau
pembatalan proses lelang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, Bank Indonesia menginformasikan
kepada Peserta OPT Konvensional melalui sistem otomasi
lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU,
dan/atau sarana lain.
(3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
proses lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing secara manual sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c melalui sarana dealing system
dan/atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Bank Indonesia menetapkan lebih dari 1 (satu)
sarana transaksi yang dapat digunakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Peserta OPT Konvensional
dan/atau Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan
penawaran Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing melalui 1 (satu) sarana transaksi yang
ditetapkan Bank Indonesia.
170
Pasal 277
Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing secara manual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (3) dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Pengumuman dilakukan paling lambat sebelum window
time Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
valuta asing yang dilakukan secara manual melalui Sistem
LHBU dan/atau sarana lain.
b. Window time Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing dapat dilakukan antara pukul 08.00
WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB, atau waktu lain
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
c. Pengumuman rencana lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing memuat informasi:
1. sarana transaksi;
2. tanggal lelang;
3. jangka waktu;
4. window time;
5. metode lelang;
6. tingkat bunga, apabila lelang transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing dilaksanakan
dengan metode harga tetap (fixed rate tender);
7.
target indikatif, apabila lelang transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing dilaksanakan
dengan metode harga beragam (variable rate tender);
8. tanggal setelmen (tanggal valuta);
9. tanggal jatuh waktu; dan/atau
10. informasi lainnya.
Pasal 278
Pengajuan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
mengajukan penawaran lelang Transaksi Term Deposit
OPT Konvensional dalam valuta asing kepada Bank
171
Indonesia melalui sarana dealing system dan/atau sarana
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam window
time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan
waktu yang tercatat pada sistem di Bank Indonesia.
b. Pengajuan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan
metode harga tetap (fixed rate tender) memuat informasi:
1. nama Peserta OPT Konvensional;
2. tanggal transaksi;
3. jangka waktu;
4. tanggal jatuh waktu;
5. Standard Settlement Instruction;
6. penawaran nilai nominal;
7.
8.
tingkat bunga sesuai dengan yang diumumkan oleh
Bank Indonesia; dan/atau
informasi lainnya.
c. Pengajuan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan
metode harga beragam (variable rate tender) memuat
informasi:
1. nama Peserta OPT Konvensional;
2. tanggal transaksi;
3. jangka waktu;
4. tanggal jatuh waktu;
5. Standard Settlement Instruction;
6. penawaran nilai nominal;
7. tingkat bunga; dan/atau
8. informasi lain yang ditentukan Bank Indonesia.
d. Penawaran dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali
untuk masing-masing jangka waktu yang ditawarkan.
e. Pengajuan setiap penawaran nilai nominal dari Peserta
OPT Konvensional
paling sedikit
sebesar
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan
selebihnya dengan kelipatan USD1,000,000.00 (satu juta
dolar Amerika Serikat).
f. dalam hal lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional
dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga
172
beragam (variable rate tender), pengajuan setiap
penawaran tingkat bunga dilakukan dengan kelipatan 1
(satu) bps (basis point) atau 0,01% (nol koma nol satu
persen).
Pasal 279
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara hanya
dapat mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap
penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan terhadap informasi penawaran selain informasi
nama Peserta OPT Konvensional dan jangka waktu
Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing.
(3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan
pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 278.
Pasal 280
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus
memantau kebenaran data penawaran Transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang
disampaikan kepada Bank Indonesia.
(2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi
kepada Peserta OPT Konvensional mengenai Transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang
diajukan untuk kepentingan Peserta OPT Konvensional.
(3) Dalam hal penawaran dan/atau koreksi yang diajukan
oleh Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 278 dan Pasal 279 maka penawaran tersebut
dinyatakan batal.
173
Pasal 281
Penetapan pemenang lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing sebagaimana diatur dalam
Pasal 131.
Pasal 282
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing setelah
dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank
Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang secara
keseluruhan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa:
1.
nilai nominal yang dimenangkan;
2. tingkat bunga Term Deposit OPT Konvensional dalam
valuta asing, apabila Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan
metode harga tetap (fixed rate tender);
3. rata-rata tertimbang tingkat bunga Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing, apabila Transaksi
Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing
dilakukan dengan metode harga beragam (variable
rate tender); dan/atau
4. informasi lainnya.
b. melakukan konfirmasi kepada Peserta OPT konvensional
yang memenangkan lelang secara individual melalui
sarana dealing system dan/atau sarana lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa informasi:
1. nominal valuta asing dan tingkat bunga yang
dimenangkan Peserta OPT;
2. jangka waktu;
3. tanggal setelmen (tanggal valuta);
4. tanggal jatuh waktu;
5. permintaan Standard Settlement Instruction Peserta
OPT Konvensional; dan/atau
6. informasi lainnya.
174
Pasal 283
Dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga
Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282
huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki sarana
dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia,
konfirmasi dilakukan melalui Lembaga Perantara; atau
b. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki sarana
dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia,
konfirmasi dilakukan kepada Peserta OPT Konvensional
yang bersangkutan.
Pasal 284
(1) Transfer dana atas kewajiban setelmen Transaksi Term
Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan
sesuai dengan nilai nominal yang tercantum pada setiap
deal ticket konfirmasi lelang Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam valuta asing.
(2) Setelmen Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
valuta asing dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada
sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing
dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134, Pasal 135 dan Pasal 136.
Paragraf 3
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing
Pasal 285
(1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sistem
otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing yang
mempengaruhi kelancaran pelaksanaan lelang Transaksi
Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing, Bank
Indonesia dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. menyesuaikan window time Transaksi Term Deposit
OPT Syariah dalam valuta asing;
b. membatalkan proses lelang Transaksi Term Deposit
OPT Syariah dalam valuta asing yang dilakukan
175
melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta
asing; dan/atau
c. melakukan Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing secara manual.
(2) Dalam hal dilakukan penyesuaian window time
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau
pembatalan proses lelang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, Bank Indonesia menginformasikan
kepada Peserta OPT Syariah melalui sistem otomasi lelang
Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau
sarana lain.
(3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
proses lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam
valuta asing secara manual sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c melalui sarana dealing system dan/atau
sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Bank Indonesia menetapkan lebih dari 1 (satu)
sarana transaksi yang dapat digunakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Peserta OPT Syariah dan/atau
Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan penawaran
Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing
melalui 1 (satu) sarana transaksi yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Pasal 286
Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing secara manual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (3) dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Pengumuman dilakukan paling lambat sebelum window
time Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta
asing yang dilakukan secara manual melalui Sistem LHBU
dan/atau sarana lain.
b. Window time Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam
valuta asing dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB
sampai dengan pukul 16.00 WIB, atau waktu lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
176
c. Pengumuman rencana lelang Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing memuat informasi:
1. sarana transaksi;
2. tanggal lelang;
3. jangka waktu;
4. window time;
5. metode lelang;
6.
target indikatif;
7. persentase besaran sanksi;
8. tanggal setelmen (tanggal valuta);
9. tanggal jatuh waktu; dan/atau
10. informasi lainnya.
Pasal 287
Pengajuan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara mengajukan
penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah
dalam valuta asing kepada Bank Indonesia melalui sarana
dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia dalam window time yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia sesuai dengan waktu yang tercatat pada
sistem di Bank Indonesia.
b. Pengajuan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada
huruf a memuat informasi:
1. nama Peserta OPT Syariah;
2.
tanggal transaksi;
3. jangka waktu;
4. tanggal jatuh waktu;
5. Standard Settlement Instruction;
6. penawaran nilai nominal;
7. tingkat imbalan sesuai dengan yang diumumkan oleh
Bank Indonesia; dan/atau
8. informasi lainnya.
177
c. Penawaran dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali
untuk masing-masing jangka waktu yang ditawarkan.
d. Pengajuan setiap penawaran nilai nominal dari Peserta
OPT Syariah paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima
juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan
kelipatan USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika
Serikat).
Pasal 288
(1) Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara hanya dapat
mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap penawaran
yang diajukan dalam window time Transaksi Term Deposit
OPT Syariah dalam valuta asing.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan terhadap informasi penawaran selain informasi
nama Peserta OPT Syariah dan jangka waktu Transaksi
Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing.
(3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan
pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 287.
Pasal 289
(1) Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara harus
memantau kebenaran data penawaran Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang disampaikan
kepada Bank Indonesia.
(2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi
kepada Peserta OPT Syariah mengenai Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang diajukan
untuk kepentingan Peserta OPT Syariah.
(3) Dalam hal penawaran dan/atau koreksi yang diajukan
oleh Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
287 dan Pasal 288 maka penawaran tersebut dinyatakan
batal.
178
Pasal 290
Penetapan pemenang lelang Transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing sebagaimana diatur dalam Pasal
258.
Pasal 291
Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing setelah dilakukan
proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang secara
keseluruhan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa:
1.
nilai nominal yang dimenangkan;
2. tingkat imbalan Term Deposit OPT Syariah dalam
valuta asing; dan/atau
3. informasi lainnya.
b. melakukan konfirmasi kepada Peserta OPT Syariah yang
memenangkan lelang secara individual melalui sarana
dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia, berupa informasi:
1. nilai nominal dan tingkat imbalan;
2. jangka waktu;
3. tanggal setelmen (tanggal valuta);
4. tanggal jatuh waktu;
5. permintaan Standard Settlement Instruction Peserta
OPT Syariah; dan/atau
6. informasi lainnya.
Pasal 292
Dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga
Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291
huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal Peserta OPT Syariah tidak memiliki sarana
dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia,
konfirmasi dilakukan melalui Lembaga Perantara; atau
179
b. dalam hal Peserta OPT syariah memiliki sarana dealing
system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi
dilakukan kepada Peserta OPT Syariah yang
bersangkutan.
Pasal 293
(1) Transfer dana atas kewajiban setelmen Transaksi Term
Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan sesuai
dengan nilai nominal yang tercantum pada setiap deal
ticket konfirmasi lelang transaksi Term Deposit OPT
Syariah dalam valuta asing.
(2) Setelmen transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam
valuta asing dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada
sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing
dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 261, Pasal 262 dan Pasal 263.
Paragraf 4
Pelaksanaan Transaksi Swap Secara Lelang
Pasal 294
(1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sistem
otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing yang
mempengaruhi kelancaran pelaksanaan Transaksi Swap
secara lelang, Bank Indonesia dapat melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a. menyesuaikan window time Transaksi Swap secara
lelang;
b. membatalkan proses Transaksi Swap secara lelang
yang dilakukan melalui sistem otomasi lelang Operasi
Moneter valuta asing; dan/atau
c. melakukan Transaksi Swap secara lelang dengan
cara manual.
(2) Dalam hal dilakukan penyesuaian window time
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau
pembatalan proses lelang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, Bank Indonesia menginformasikan
180
kepada Peserta OPT Konvensional melalui sistem otomasi
lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU
dan/atau sarana lain.
(3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
proses Transaksi Swap secara lelang dengan cara manual
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c melalui
sarana dealing system dan/atau sarana lain yang
ditetapkan Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Bank Indonesia menetapkan lebih dari 1 (satu)
sarana transaksi yang dapat digunakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Peserta OPT Konvensional
dan/atau Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan
penawaran Transaksi Swap secara lelang melalui 1 (satu)
sarana transaksi yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 295
Bank Indonesia mengumumkan rencana Transaksi Swap
secara lelang dengan cara manual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 294 ayat (3) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengumuman dilakukan paling lambat sebelum window
time Transaksi Swap secara lelang yang dilakukan secara
manual melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain.
b. Window time Transaksi Swap secara lelang dapat
dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul
16.00 WIB, atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
c. Dalam hal window time sebagaimana dimaksud pada
huruf b dibuka sebelum penerbitan JISDOR, kurs spot
yang digunakan adalah JISDOR hari kerja sebelumnya.
d. Dalam hal window time sebagaimana dimaksud pada
huruf b dibuka setelah penerbitan JISDOR, kurs spot yang
digunakan adalah JISDOR pada tanggal transaksi.
e. Pengumuman rencana lelang Transaksi Swap memuat
informasi:
1. jenis Transaksi Swap;
2. sarana transaksi;
3. tanggal lelang;
181
4. jangka waktu;
5. window time;
6. metode lelang;
7. premi swap, apabila lelang Transaksi Swap
dilaksanakan dengan metode harga tetap (fixed rate
tender);
8.
target indikatif, apabila lelang Transaksi Swap
dilaksanakan dengan metode harga beragam (variable
rate tender);
9. mata uang;
10. kurs spot;
11. tanggal setelmen (tanggal valuta);
12. tanggal jatuh waktu; dan/atau
13. informasi lainnya.
Pasal 296
Pengajuan penawaran lelang transaksi Swap dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
mengajukan penawaran lelang Transaksi Swap kepada
Bank Indonesia melalui sarana dealing system dan/atau
sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam
window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai
dengan waktu yang tercatat pada sistem di Bank
Indonesia.
b. Pengajuan penawaran lelang Transaksi Swap dengan
metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi informasi:
1. nama Peserta OPT Konvensional;
2. tanggal transaksi;
3. jangka waktu;
4. tanggal jatuh waktu;
5. penawaran nilai nominal;
6. mata uang;
7. Standard Settlement Instruction; dan/atau
8.
informasi lainnya.
182
c. Pengajuan penawaran lelang Transaksi Swap dengan
metode harga beragam (variable rate tender) meliputi
informasi:
1. nama Peserta OPT Konvensional;
2. tanggal transaksi;
3. jangka waktu;
4. tanggal jatuh waktu;
5. penawaran nilai nominal;
6. mata uang;
7. premi swap;
8. Standard Settlement Instruction; dan/atau
9. informasi lainnya
d. Penawaran dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali
untuk masing-masing jangka waktu yang ditawarkan.
e. Pengajuan setiap penawaran nilai nominal dari Peserta
OPT
Konvensional
paling sedikit
USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan
selebihnya dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00
(satu juta dolar Amerika Serikat).
f. Dalam hal Transaksi Swap secara lelang dilakukan
dengan metode harga beragam (variable rate tender),
pengajuan setiap penawaran premi swap dari Peserta OPT
Konvensional dan Lembaga Perantara paling sedikit
sebesar Rp1,00 (satu rupiah) dan selebihnya dengan
kelipatan sebesar Rp1,00 (satu rupiah).
Pasal 297
(1) Peserta OPT dan Lembaga Perantara hanya dapat
mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap penawaran
yang diajukan dalam window time Transaksi Swap secara
lelang.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan terhadap informasi penawaran selain informasi
nama Peserta OPT Konvensional dan jangka waktu
Transaksi Swap.
sebesar
183
(3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan
pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 296.
Pasal 298
(1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus
memantau kebenaran informasi penawaran Transaksi
Swap secara lelang yang disampaikan kepada Bank
Indonesia.
(2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi
kepada Peserta OPT Konvensional mengenai Transaksi
Swap secara lelang yang diajukan untuk kepentingan
Peserta OPT Konvensional.
(3) Dalam hal penawaran dan/atau koreksi yang diajukan
oleh Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 296 dan Pasal 297 maka penawaran tersebut
dinyatakan batal.
(4) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang oleh
Peserta OPT Konvensional atau Lembaga Perantara
dilakukan oleh pihak yang berwenang melakukan
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1)
huruf g atau Pasal 148 ayat (2) huruf c.
Pasal 299
(1) Penetapan pemenang lelang Transaksi Swap mengacu
pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157.
(2) Bank Indonesia mengumumkan hasil Transaksi Swap
secara lelang setelah dilakukan proses penetapan
pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang
kepada semua Peserta OPT Konvensional dan
Lembaga Perantara secara keseluruhan melalui
Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia, yang memuat informasi berupa:
184
1.
nilai nominal Transaksi Swap
dimenangkan;
yang
2. premi swap per jangka waktu, apabila Transaksi
Swap dilakukan dengan metode harga tetap
(fixed rate tender);
3. rata-rata tertimbang (weighted average) premi
swap per jangka waktu, apabila Transaksi Swap
dilakukan dengan metode harga beragam
(variable rate tender); dan/atau
4. informasi lainnya;
b. melakukan konfirmasi kepada Peserta OPT
Konvensional yang memenangkan lelang secara
individual melalui sarana dealing system dan/atau
sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia yang
memuat informasi berupa:
1. nominal lelang Transaksi Swap yang
dimenangkan;
2. premi swap yang dimenangkan;
3. kurs spot;
4. jangka waktu transaksi;
5. tanggal setelmen (tanggal valuta);
6. tanggal jatuh waktu;
7. permintaan Standard Settlement Instruction
Peserta OPT;
8. permintaan nomor Rekening Giro rupiah Peserta
OPT; dan/atau
9. informasi lainnya.
Pasal 300
Dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga
Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299
ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki sarana
dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia,
konfirmasi akan dilakukan melalui Lembaga Perantara;
atau
185
b. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki sarana
dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia,
konfirmasi akan dilakukan kepada Peserta OPT
Konvensional yang bersangkutan.
Pasal 301
Peserta OPT yang telah memenangkan penawaran dilarang
melakukan pengakhiran Transaksi Swap secara lelang sebelum
jatuh waktu (early termination).
Pasal 302
Setelmen Transaksi Swap secara lelang dalam hal terjadi
kondisi tidak normal pada sistem otomasi lelang Operasi
Moneter valuta asing dilakukan dengan mengacu pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 sampai
dengan Pasal 169.
BAB V
TATA CARA PENGENAAN SANKSI OPT
Bagian Kesatu
Sanksi OPT Konvensional
Paragraf 1
Sanksi Transaksi OPT Konvensional dalam Rupiah
Pasal 303
(1) Peserta OPT Konvensional dikenakan sanksi dalam hal
tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT
Konvensional dalam rupiah, meliputi:
a. transaksi penerbitan SBI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1).
b. transaksi penerbitan SDBI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1).
c. Transaksi Repo OPT Konvensional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), Pasal 72 ayat (1),
Pasal 77, dan Pasal 82 ayat (1).
186
d. Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dan
Pasal 96 ayat (1).
e. Transaksi pembelian dan penjualan SBN secara
putus (outright) di pasar sekunder oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
ayat (1).
f. Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam
rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat
(1).
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas
Jasa Keuangan; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen) dari nilai transaksi OPT Konvensional
dalam rupiah yang dinyatakan batal, paling sedikit
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Pasal 304
Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 303 ayat (2) dilakukan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah
terjadinya pembatalan transaksi.
Pasal 305
(1) Dalam hal transaksi memiliki second leg, nilai transaksi
yang batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat
(2) yaitu nilai transaksi pada saat first leg.
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) dilakukan dengan
mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT pada 1 (satu)
Hari Kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi.
187
Paragraf 2
Sanksi Transaksi OPT Konvensional dalam Valuta Asing
Selain SBBI Valas dan Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional dalam Valuta Asing
Pasal 306
(1) Peserta OPT Konvensional dikenakan sanksi dalam hal
tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen Transaksi OPT
Konvensional dalam valuta asing, meliputi:
a. Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal
145 huruf c dan Pasal 146 huruf c.
b. Transaksi Swap sebagaimana dimaksud dalam Pasal
162, Pasal 164 ayat (1), Pasal 166 ayat (1), dan Pasal
168.
c. Transaksi Forward sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 181 ayat (1) dan 183.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas
Jasa Keuangan; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang
berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi
ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis
point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360
(satu per tiga ratus enam puluh), untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta
asing dolar Amerika Serikat.
2. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh bank
sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang
bersangkutan (official rate) yang berlaku pada
tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin
sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai
transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus
enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran dalam valuta asing non-dolar
Amerika Serikat; atau
188
3. rata-rata Bank Indonesia 7-Day (Reverse) Repo
Rate yang berlaku ditambah margin sebesar 350
(tiga ratus lima puluh) basis point dikalikan nilai
transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus
enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran dalam rupiah.
Pasal 307
Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 306 ayat (2) dilakukan paling lama 2 (dua) Hari Kerja
setelah tanggal setelmen.
Pasal 308
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) dilakukan dengan mendebit
Rekening Giro rupiah atau Rekening Giro valuta asing Peserta
OPT yang ada di Bank Indonesia paling lama 2 (dua) Hari Kerja
setelah tanggal kewajiban setelmen.
Paragraf 3
Sanksi Transaksi SBBI Valas dan Term Deposit OPT
Konvensional dalam Valuta Asing
Pasal 309
(1) Peserta OPT dikenakan sanksi dalam hal tidak dapat
memenuhi kewajiban setelmen transaksi SBBI Valas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan
transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1),
Peserta OPT dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas
Jasa Keuangan; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar suku
bunga efektif Fed Fund yang berlaku pada tanggal
penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200
(dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi
dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh).
189
(2) Dalam hal Peserta OPT tidak dapat memenuhi kewajiban
pada tanggal setelmen second leg Transaksi Swap Jual
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142
ayat (3) huruf c maka Peserta OPT dikenakan sanksi
berupa:
a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas
Jasa Keuangan; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar rata-
rata Bank Indonesia 7-Day (Reverse) Repo Rate yang
berlaku ditambah margin sebesar 350 (tiga ratus lima
puluh) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh).
Pasal 310
Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 309 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan paling lambat 2 (dua)
Hari Kerja setelah pembatalan transaksi SBBI Valas dan/atau
Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing, atau tidak
terpenuhinya kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
142 ayat (3) huruf c.
Pasal 311
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) dilakukan dengan
mendebit Rekening Giro valuta asing Peserta OPT di Bank
Indonesia paling lama 2 (dua) Hari Kerja setelah terjadinya
pembatalan transaksi.
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 309 ayat (2) dilakukan dengan
mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT di Bank
Indonesia paling lama 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal
kewajiban pelaksanaan setelmen.
190
Paragraf 4
Sanksi Penghentian Sementara Mengikuti OMK
Pasal 312
Atas batalnya transaksi OMK, yang terdiri atas transaksi OPT
Konvensional dan/atau transaksi Standing Facilities
Konvensional, yang ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam)
bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 303 ayat (2), Pasal 306 ayat (2), dan Pasal 309, Peserta
OPT juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk
mengikuti kegiatan OMK selama 5 (lima) Hari Kerja berturut-
turut.
Pasal 313
Sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 diberlakukan mulai 1
(satu) Hari Kerja setelah diperoleh informasi adanya
pembatalan transaksi OMK yang ketiga kalinya.
Pasal 314
(1) Dalam hal terdapat lebih dari 3 (tiga) kali pembatalan
transaksi OMK dalam 1 (satu) hari, pengenaan sanksi
penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 312 hanya memperhitungkan 3 (tiga) kali
pembatalan.
(2) Contoh pengenaan sanksi karena pembatalan transaksi
OMK tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 315
Sanksi pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan dalam
OMK juga dapat dikenakan bagi Peserta OPT Konvensional
yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pengaturan dan pengawasan moneter dan/atau ketentuan
191
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan
pengawasan makroprudensial.
Paragraf 5
Sanksi Pelanggaran Kewajiban Minimum Holding Period SBI
Pasal 316
Bank dan/atau Sub-Registry yang tidak memenuhi ketentuan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenakan
sanksi sebagai berikut:
a.
teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa
Keuangan; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu
persen) dari nilai transaksi SBI yang tidak memenuhi
ketentuan dimaksud, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari.
Pasal 317
Penyampaian surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 316 dilakukan setelah terlampauinya batas waktu
penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (3).
Pasal 318
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 316 dilakukan dengan mendebit
Rekening Giro rupiah dan/atau rekening giro bank pembayar
yang ditunjuk Sub-Registry.
Paragraf 6
Sanksi Pelanggaran Transaksi SDBI antara Bank dengan
Pihak Selain Bank di Pasar Sekunder
Pasal 319
BUK yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 dan Sub-Registry yang tidak memenuhi
192
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dikenakan
sanksi sebagai berikut:
a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa
Keuangan; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu
persen) dari nilai transaksi SDBI yang tidak memenuhi
ketentuan dimaksud paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari.
Pasal 320
Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 319 dilakukan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah
diketahuinya pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 dan Pasal 30.
Pasal 321
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 319 dilakukan dengan mendebit
Rekening Giro rupiah dan/atau rekening giro bank pembayar
yang ditunjuk Sub-Registry.
Bagian Kedua
Sanksi OPT Syariah
Paragraf 1
Sanksi Transaksi OPT Syariah dalam Rupiah
Pasal 322
(1) Peserta OPT Syariah dikenakan sanksi dalam hal tidak
dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT
Syariah dalam rupiah, meliputi:
a. transaksi penerbitan SBIS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 195 ayat (1);
b. Transaksi Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 210 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1);
193
c. Transaksi Reverse Repo OPT Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) dan Pasal 235
ayat (1);
d. Transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara
putus (outright) di pasar sekunder sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1).
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas
Jasa Keuangan; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen) dari nilai transaksi OPT Syariah dalam
rupiah yang dibatalkan, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) untuk setiap pembatalan.
(3) Dalam hal terjadi pembatalan Transaksi Repo OPT Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayat (1) dan
dalam hal harga surat berharga pada saat second leg lebih
rendah dari harga surat berharga pada transaksi first leg,
selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Peserta OPT Syariah dikenakan sanksi tambahan
berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga
pada transaksi first leg dan harga pada transaksi second
leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang
di-repo-kan.
(4) Dalam hal terjadi pembatalan Transaksi Reverse Repo OPT
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (1)
dan dalam hal harga surat berharga pada saat second leg
lebih tinggi dari harga surat berharga pada transaksi first
leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Peserta OPT Syariah dikenakan sanksi tambahan
berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga
pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first
leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang
di-reverse repo-kan.
194
Pasal 323
Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 322 ayat (2) dilakukan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah
terjadinya pembatalan transaksi.
Pasal 324
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 322 ayat (2) dilakukan dengan
mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Syariah yang
dikenakan sanksi pada 1 (satu) Hari Kerja setelah
terjadinya pembatalan transaksi.
(2) Contoh pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum pada Lampiran XIV yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Paragraf 2
Sanksi Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta
Asing
Pasal 325
Dalam hal Peserta OPT Syariah tidak dapat memenuhi
kewajiban setelmen yang menyebabkan batalnya Transaksi
Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 262 ayat (1), Peserta OPT Syariah
dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa
Keuangan; dan
b. kewajiban membayar sebesar persentase tertentu dari nilai
transaksi yang batal, yang diumumkan Bank Indonesia
pada saat pengumuman rencana transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 253 ayat (2) dengan rumus sebagai
berikut:
Kewajiban
Membayar
=
Persentase
besaran
sanksi
ร Nominal
transaksi
195
Pasal 326
Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 325 dilakukan paling lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah
pembatalan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262
ayat (1).
Pasal 327
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 325 dilakukan dengan mendebit
Rekening Giro valuta asing Peserta OPT Syariah di Bank
Indonesia paling lama 2 (dua) Hari Kerja setelah terjadinya
pembatalan transaksi.
Paragraf 3
Sanksi Penghentian Sementara Mengikuti OMS
Pasal 328
Atas batalnya transaksi OMS, yang terdiri atas transaksi OPT
Syariah dan/atau transaksi Standing Facilities Syariah, yang
ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, selain
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 322 ayat
(2) dan Pasal 325, Peserta OPT Syariah juga dikenakan sanksi
penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS
selama 5 (lima) Hari Kerja berturut-turut.
Pasal 329
Sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328 diberlakukan mulai 1
(satu) Hari Kerja setelah diperoleh informasi adanya
pembatalan transaksi OMS yang ketiga kalinya.
Pasal 330
(1) Dalam hal terdapat lebih dari 3 (tiga) kali pembatalan
transaksi OMS dalam 1 (satu) hari, pengenaan sanksi
penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 329 hanya memperhitungkan 3 (tiga) kali
pembatalan.
196
(2) Contoh pengenaan sanksi karena pembatalan transaksi
OMS tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 331
Sanksi pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan dalam
OMS juga dapat dikenakan bagi Peserta OPT Syariah yang tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan
pengawasan moneter dan/atau ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan
makroprudensial.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 332
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/40/DPM perihal
Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat
Berharga Syariah Negara Dengan Bank Indonesia Dalam
Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah;
b. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/41/DPM perihal
Tata Cara Transaksi Reverse Repurchase Agreement Surat
Berharga Syariah Negara Dengan Bank Indonesia Dalam
Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah;
c. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/44/DPM perihal
Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah
Melalui Lelang dalam rangka Operasi Pasar Terbuka
Syariah;
d. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/46/DPM perihal
Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga
Syariah Negara Secara Outright Dari Bank Indonesia di
Pasar Sekunder Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka
Syariah;
197
e. Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/24/DPM perihal
Operasi Pasar Terbuka;
f.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/31/DPM perihal
Tata Cara Penempatan Berjangka (Term Deposit) Syariah
dalam Valuta Asing; dan
g. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/48/DPD perihal
Penerbitan, Tata Cara Lelang, dan Penatausahaan Surat
Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 333
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
ERWIN RIJANTO
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/6/PADG/2018
TENTANG
PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur bahwa tujuan Bank
Indonesia adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud dan menghadapi
tantangan kondisi makroekonomi, Bank Indonesia melaksanakan
pengendalian moneter melalui pelaksanaan operasi moneter baik secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Operasi moneter salah
satunya dilakukan melalui pelaksanaan operasi pasar terbuka.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
2
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Transaksi SBI mencakup antara lain transaksi repurchase agreement
(repo), transaksi jual atau beli secara putus (outright), pinjam-
3
meminjam, memberi atau menerima hibah, memberikan atau
menerima agunan.
Transaksi repurchase agreement (repo) SBI dengan prinsip sell and buy
back tidak dapat dilakukan dengan jangka waktu kurang dari 1 (satu)
minggu atau 7 (tujuh) hari kalender.
Dalam hal transaksi SBI memiliki second leg dan tidak terjadi
perpindahan kepemilikan antara lain repurchase agreement (repo)
dengan prinsip collateralized borrowing, pengagunan (pledge), dan
securities lending and borrowing, pemilik SBI dapat langsung
mentransaksikan kembali SBI dimaksud setelah jatuh waktu (second
leg).
Dalam hal transaksi SBI memiliki second leg dan terjadi perpindahan
kepemilikan, antara lain repo sell and buyback SBI, pemilik SBI dapat
mentransaksikan kembali SBI dimaksud dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. dalam hal second leg transaksi repo berhasil dilakukan, SBI
dimaksud dapat ditransaksikan kembali oleh penjual repo 1 (satu)
minggu atau 7 (tujuh) hari kalender sejak tanggal setelmen second
leg transaksi SBI dimaksud; atau
b. dalam hal second leg transaksi repo tidak berhasil dilakukan, SBI
dimaksud dapat ditransaksikan kembali oleh pembeli repo 1
(satu) minggu atau 7 (tujuh) hari kalender sejak tanggal setelmen
first leg transaksi SBI dimaksud.
Dalam hal transfer SBI antar Sub-Registry tanpa perpindahan
kepemilikan atau transfer SBI karena
pengambilalihan, akuisisi, dan peleburan, SBI dapat ditransaksikan
kembali 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) hari kalender sejak SBI dicatat
di Sub-Registry awal atau di Rekening Surat Berharga awal.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
penggabungan,
4
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โhari kerjaโ adalah hari kerja yang dimulai
dari hari Senin sampai dengan hari Jumat, kecuali hari libur
nasional dan/atau hari libur khusus yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
5
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
6
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
7
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
8
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
9
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
10
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
11
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
12
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
13
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
14
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
15
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
16
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
17
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
18
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
19
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Dalam hal penandatanganan dokumen janji (waโd) tidak
dilakukan oleh Chief Executive Officer (CEO) maka surat
kuasa (power of attorney) dari kantor pusat Peserta OPT
Syariah memuat hak Chief Executive Officer (CEO)
untuk mengalihkan kewenangannya atau hak
substitusi.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 198
Cukup jelas.
20
Pasal 199
Ayat (1)
Dokumen janji (waโd) untuk pengajuan repo SBSN oleh Peserta
OPT Syariah kepada Bank Indonesia berlaku untuk transaksi repo
SBSN OPT Syariah dan transaksi repo SBSN untuk financing
facility syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai standing facilities.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Cukup jelas.
Pasal 204
Cukup jelas.
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206
Cukup jelas.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Cukup jelas.
21
Pasal 209
Cukup jelas.
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 211
Cukup jelas.
Pasal 212
Cukup jelas.
Pasal 213
Cukup jelas.
Pasal 214
Cukup jelas.
Pasal 215
Cukup jelas.
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal 217
Cukup jelas.
Pasal 218
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
22
Angka 2
Dalam hal penandatanganan dokumen janji (waโd) tidak
dilakukan oleh Chief Executive Officer (CEO) maka surat
kuasa (power of attorney) dari kantor pusat Peserta OPT
Syariah memuat hak Chief Executive Officer (CEO)
untuk mengalihkan kewenangannya atau hak
substitusi.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 219
Cukup jelas.
Pasal 220
Cukup jelas.
Pasal 221
Cukup jelas.
Pasal 222
Cukup jelas.
Pasal 223
Cukup jelas.
Pasal 224
Cukup jelas.
Pasal 225
Cukup jelas.
Pasal 226
Cukup jelas.
23
Pasal 227
Cukup jelas.
Pasal 228
Cukup jelas.
Pasal 229
Cukup jelas.
Pasal 230
Cukup jelas.
Pasal 231
Cukup jelas.
Pasal 232
Cukup jelas.
Pasal 233
Cukup jelas.
Pasal 234
Cukup jelas.
Pasal 235
Cukup jelas.
Pasal 236
Cukup jelas.
Pasal 237
Cukup jelas.
Pasal 238
Cukup jelas.
24
Pasal 239
Cukup jelas.
Pasal 240
Cukup jelas.
Pasal 241
Cukup jelas.
Pasal 242
Cukup jelas.
Pasal 243
Cukup jelas.
Pasal 244
Cukup jelas.
Pasal 245
Cukup jelas.
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Cukup jelas.
Pasal 248
Cukup jelas.
Pasal 249
Cukup jelas.
Pasal 250
Cukup jelas.
25
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Cukup jelas.
Pasal 253
Cukup jelas.
Pasal 254
Cukup jelas.
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal 256
Cukup jelas.
Pasal 257
Cukup jelas.
Pasal 258
Cukup jelas.
Pasal 259
Cukup jelas.
Pasal 260
Cukup jelas.
Pasal 261
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
26
Pasal 263
Cukup jelas.
Pasal 264
Cukup jelas.
Pasal 265
Cukup jelas.
Pasal 266
Cukup jelas.
Pasal 267
Yang dimaksud dengan โkeadaan tidak normalโ adalah situasi atau
kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan
pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi
maupun sarana pendukung yang mempengaruhi kelancaran
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS.
Transaksi OPT dalam rupiah paling kurang meliputi penerbitan SBI,
penerbitan SDBI, Transaksi Repo OPT Konvensional, Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional, Term Deposit OPT Konvensional
dalam rupiah, penerbitan SBIS, Transaksi Repo OPT Syariah, dan
Transaksi Reverse Repo OPT Syariah.
Pasal 268
Cukup jelas.
Pasal 269
Cukup jelas.
Pasal 270
Cukup jelas.
Pasal 271
Cukup jelas.
27
Pasal 272
Cukup jelas.
Pasal 273
Cukup jelas.
Pasal 274
Cukup jelas.
Pasal 275
Cukup jelas.
Pasal 276
Cukup jelas.
Pasal 277
Cukup jelas.
Pasal 278
Cukup jelas.
Pasal 279
Cukup jelas.
Pasal 280
Cukup jelas.
Pasal 281
Cukup jelas.
Pasal 282
Cukup jelas.
Pasal 283
Cukup jelas.
28
Pasal 284
Cukup jelas.
Pasal 285
Cukup jelas.
Pasal 286
Cukup jelas.
Pasal 287
Cukup jelas.
Pasal 288
Cukup jelas.
Pasal 289
Cukup jelas.
Pasal 290
Cukup jelas.
Pasal 291
Cukup jelas.
Pasal 292
Cukup jelas.
Pasal 293
Cukup jelas.
Pasal 294
Cukup jelas.
Pasal 295
Cukup jelas.
29
Pasal 296
Cukup jelas.
Pasal 297
Cukup jelas.
Pasal 298
Cukup jelas.
Pasal 299
Cukup jelas.
Pasal 300
Cukup jelas.
Pasal 301
Cukup jelas.
Pasal 302
Cukup jelas.
Pasal 303
Cukup jelas.
Pasal 304
Cukup jelas.
Pasal 305
Cukup jelas.
Pasal 306
Cukup jelas.
Pasal 307
Cukup jelas.
30
Pasal 308
Cukup jelas.
Pasal 309
Cukup jelas.
Pasal 310
Cukup jelas.
Pasal 311
Cukup jelas.
Pasal 312
Cukup jelas.
Pasal 313
Cukup jelas.
Pasal 314
Cukup jelas.
Pasal 315
Cukup jelas.
Pasal 316
Cukup jelas.
Pasal 317
Cukup jelas.
Pasal 318
Cukup jelas.
Pasal 319
Cukup jelas.
31
Pasal 320
Cukup jelas.
Pasal 321
Cukup jelas.
Pasal 322
Cukup jelas.
Pasal 323
Cukup jelas.
Pasal 324
Cukup jelas.
Pasal 325
Cukup jelas.
Pasal 326
Cukup jelas.
Pasal 327
Cukup jelas.
Pasal 328
Cukup jelas.
Pasal 329
Cukup jelas.
Pasal 330
Cukup jelas.
Pasal 331
Cukup jelas.
32
Pasal 332
Cukup jelas.
Pasal 333
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/6/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 20 April 2018 </set_date>
<effective_date> 20 April 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '17/40/DPM|SE-BI', '17/41/DPM|SE-BI', '17/44/DPM|SE-BI', '17/46/DPM|SE-BI', '18/24/DPM|SE-BI', '18/31/DPM|SE-BI', '17/48/DPD|SE-BI' </replaced_reg>
<related_reg> '20/5/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
1
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 22/ 3 /PADG/2020
TENTANG
PELAKSANAAN STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM
PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Peraturan Bank Indonesia mengenai standardisasi
kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah, perlu didukung dengan peraturan
pelaksanaan yang mengatur mengenai mekanisme
pelaksanaan dan hal teknis terkait standardisasi
kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Pelaksanaan Standardisasi
Kompetensi di Bidang Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/16/PBI/2019 tentang
Standardisasi Kompetensi di Bidang Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 260, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6448);
2
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PELAKSANAAN STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG
SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Standardisasi Kompetensi Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut
Standardisasi Kompetensi SPPUR adalah penerapan
standar kompetensi kerja nasional Indonesia bidang
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah dan
jenjang kualifikasi nasional Indonesia bidang sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
2. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang
selanjutnya disebut SKKNI Bidang SPPUR adalah
rumusan kemampuan kerja di bidang sistem pembayaran
dan pengelolaan uang rupiah yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian, serta
sikap kerja.
3. Jenjang Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Sistem
Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang
selanjutnya disebut Jenjang Kualifikasi SPPUR adalah
jenjang pencapaian pembelajaran di bidang sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang
kedudukannya disetarakan dengan jenjang tertentu dalam
kerangka kualifikasi nasional Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai kerangka kualifikasi nasional
Indonesia.
3
4. Pelatihan Berbasis Kompetensi Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut PBK
SPPUR adalah pelatihan kerja yang menitikberatkan pada
penguasaan kemampuan kerja sesuai dengan SKKNI
Bidang SPPUR dan persyaratan di tempat kerja.
5.
Sertifikasi Kompetensi Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut
Sertifikasi Kompetensi SPPUR adalah proses pemberian
sertifikat kompetensi sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah yang dilakukan secara sistematis dan objektif
melalui uji kompetensi sesuai dengan SKKNI Bidang
SPPUR.
6.
Sertifikat Pelatihan Berbasis Kompetensi Sistem
Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang
selanjutnya disebut Sertifikat PBK SPPUR adalah bukti
tertulis yang diterbitkan oleh lembaga pelatihan kerja
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang
menyatakan bahwa seseorang telah kompeten sesuai
dengan PBK SPPUR yang diikuti.
7.
Sertifikat Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan
Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikat
Kompetensi SPPUR adalah bukti tertulis yang diterbitkan
oleh lembaga sertifikasi profesi sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah yang menerangkan bahwa
seseorang telah menguasai kompetensi kerja tertentu di
bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
8.
Sertifikat Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang
Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikat SPPUR adalah
Sertifikat PBK SPPUR dan Sertifikat Kompetensi SPPUR.
9. Pelaku Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
yang selanjutnya disebut Pelaku SPPUR adalah bank dan
lembaga selain bank yang menyelenggarakan jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
10. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai perbankan termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri serta
bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana
4
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan
syariah.
11. Lembaga Selain Bank yang selanjutnya disingkat LSB
adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan hukum
dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
12. Kegiatan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang
Rupiah yang selanjutnya disebut Kegiatan SPPUR adalah
kegiatan operasional di bidang sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah.
13. Satuan Kerja Operasional adalah unit kerja atau fungsi
operasional pada struktur organisasi Pelaku SPPUR yang
melaksanakan Kegiatan SPPUR.
14. Pejabat Eksekutif adalah anggota direksi, dewan
komisaris, dan kelompok jenjang jabatan pada Pelaku
SPPUR yang berada paling banyak 2 (dua) level di bawah
direksi yang bertanggung jawab atas Kegiatan SPPUR.
15. Penyelia adalah kelompok jenjang jabatan pada Satuan
Kerja Operasional yang berada di bawah Pejabat Eksekutif
yang melakukan supervisi atas Kegiatan SPPUR yang
dilakukan oleh Pelaksana.
16. Pelaksana adalah kelompok jenjang jabatan pada Satuan
Kerja Operasional yang berada di bawah Penyelia yang
melaksanakan Kegiatan SPPUR.
17. Pegawai Pelaku SPPUR yang selanjutnya disebut Pegawai
adalah orang dalam kelompok jenjang jabatan tertentu
pada Satuan Kerja Operasional yang melaksanakan
Kegiatan SPPUR.
18. Lembaga Pelatihan Kerja Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut LPK
SPPUR adalah lembaga pelatihan kerja yang telah
memperoleh izin atau tanda daftar dari lembaga yang
berwenang untuk menyelenggarakan PBK SPPUR.
19. Lembaga Sertifikasi Profesi Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut LSP
SPPUR adalah lembaga sertifikasi profesi yang
memperoleh lisensi dari lembaga yang berwenang untuk
menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
5
20. Penyelenggara Standardisasi Kompetensi SPPUR yang
selanjutnya disebut Penyelenggara adalah LPK SPPUR
yang diakui oleh Bank Indonesia dan LSP SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesia.
21. Program Pelatihan Berbasis Kompetensi Sistem
Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang
selanjutnya disebut Program PBK SPPUR adalah program
pelatihan Kegiatan SPPUR bagi Pegawai yang disusun
secara sistematis yang digunakan sebagai acuan dalam
melaksanakan PBK SPPUR.
22. Skema Sertifikasi Kompetensi Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Skema
Sertifikasi Kompetensi SPPUR adalah paket kompetensi
dan persyaratan spesifik sesuai dengan jenjang jabatan
tertentu dalam Kegiatan SPPUR yang digunakan sebagai
acuan dalam melaksanakan Sertifikasi Kompetensi
SPPUR.
23. Pemeliharaan Kompetensi Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut
Pemeliharaan Kompetensi SPPUR adalah proses
pengkinian kompetensi Pegawai pemilik Sertifikat SPPUR.
Pasal 2
Kegiatan SPPUR terdiri atas:
a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai meliputi:
1. kegiatan layanan kas; dan
2. kegiatan usaha penukaran valuta asing dan
pembawaan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke
luar daerah pabean Indonesia;
b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai
meliputi:
1. kegiatan pengelolaan transfer dana; dan
2. kegiatan pemrosesan transaksi pembayaran;
c. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri dan
pembiayaan perdagangan meliputi:
1. kegiatan setelmen transaksi tresuri; dan
6
2. kegiatan setelmen pembayaran transaksi pembiayaan
perdagangan; dan
d. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat
berharga mencakup kegiatan penatausahaan surat
berharga milik nasabah.
BAB II
STANDARDISASI KOMPETENSI SPPUR
Bagian Kesatu
SKKNI Bidang SPPUR dan Jenjang Kualifikasi SPPUR
Pasal 3
(1) Standardisasi Kompetensi SPPUR terdiri atas penerapan:
a. SKKNI Bidang SPPUR; dan
b. Jenjang Kualifikasi SPPUR,
yang mencakup Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2.
(2) Jenjang Kualifikasi SPPUR untuk Kegiatan SPPUR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas:
a.
Jenjang Kualifikasi SPPUR 4 bagi Pelaksana;
b. Jenjang Kualifikasi SPPUR 5 bagi Penyelia; dan
c.
Jenjang Kualifikasi SPPUR 6 bagi Pejabat Eksekutif.
(3) Uraian Jenjang Kualifikasi SPPUR sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Bagian Kedua
Sertifikat SPPUR
Pasal 4
(1) Sertifikat SPPUR berupa Sertifikat PBK SPPUR terdiri atas:
a. Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 4;
b.
c. Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 6.
Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 5;
dan
7
(2) Sertifikat SPPUR berupa Sertifikat Kompetensi SPPUR
terdiri atas:
a.
Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi
SPPUR 4;
b.
c.
Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi
SPPUR 5; dan
Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi
SPPUR 6.
(3) Sertifikat PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan Sertifikat Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diterbitkan berdasarkan setiap kegiatan
operasional pada Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2.
Pasal 5
Pelaku SPPUR wajib memastikan Pegawai yang melaksanakan
Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memiliki
Sertifikat SPPUR.
Pasal 6
(1) Kepemilikan Sertifikat SPPUR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 bagi Pegawai Pelaku SPPUR berupa Bank
diatur sebagai berikut:
a. Pelaksana yang melakukan Kegiatan SPPUR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus
memiliki:
1.
Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR
4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a; atau
2.
Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi
SPPUR 4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf a,
sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR
yang dilaksanakan.
b. Penyelia yang melakukan Kegiatan SPPUR berupa
kegiatan operasional sistem pembayaran tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a,
8
kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dan
kegiatan operasional sistem penatausahaan surat
berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf
d harus memiliki:
1.
Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR
5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf b; atau
2.
Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi
SPPUR 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf b,
sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR
yang dilaksanakan.
c.
Penyelia yang melakukan Kegiatan SPPUR berupa
kegiatan operasional sistem setelmen transaksi
tresuri dan pembiayaan perdagangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c harus memiliki
Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi
SPPUR 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) huruf b sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan
SPPUR yang dilaksanakan; dan
d. Pejabat Eksekutif yang melakukan Kegiatan SPPUR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memiliki
Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi
SPPUR 6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) huruf c sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan
SPPUR yang dilaksanakan.
(2) Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d yaitu kelompok jenjang jabatan yang berada paling
banyak 2 (dua) level di bawah direksi yang bertanggung
jawab atas Kegiatan SPPUR.
(3) Kepemilikan Sertifikat SPPUR bagi Pegawai Pelaku SPPUR
berupa Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
9
Pasal 7
(1) Kepemilikan Sertifikat SPPUR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 bagi Pegawai Pelaku SPPUR berupa LSB
diatur sebagai berikut:
a. Pelaksana yang melakukan Kegiatan SPPUR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus
memiliki:
1.
Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR
4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a; atau
2.
Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi
SPPUR 4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf a,
sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR
yang dilaksanakan.
b. Penyelia yang melakukan Kegiatan SPPUR berupa
kegiatan operasional sistem pembayaran tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a,
kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dan
kegiatan operasional sistem penatausahaan surat
berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf
d harus memiliki:
1.
Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR
5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf b; atau
2.
Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi
SPPUR 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf b,
sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR
yang dilaksanakan.
c. Penyelia yang melakukan Kegiatan SPPUR berupa
kegiatan operasional sistem setelmen transaksi
tresuri dan pembiayaan perdagangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c harus memiliki
Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi
SPPUR 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
10
(2) huruf b sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan
SPPUR yang dilaksanakan.
d. Pejabat Eksekutif yang melakukan Kegiatan SPPUR
berupa:
1. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai
yaitu kegiatan usaha penukaran valuta asing
dan pembawaan uang kertas asing ke dalam
dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
angka 2; dan
2. kegiatan
operasional sistem pembayaran
nontunai yaitu kegiatan pengelolaan transfer
dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b angka 1,
dengan rata-rata nilai transaksi lebih kecil sama
dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) per bulan harus memiliki:
1.
Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR
6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf c; atau
2.
Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi
SPPUR 6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf c,
sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR
yang dilaksanakan.
e. Pejabat Eksekutif yang melakukan Kegiatan SPPUR
berupa:
1. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai
yaitu kegiatan layanan kas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a angka 1;
2. kegiatan operasional untuk:
a) sistem pembayaran tunai yaitu kegiatan
usaha penukaran valuta asing dan
pembawaan uang kertas asing ke dalam
dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a angka 2; atau
11
b) sistem pembayaran nontunai yaitu kegiatan
pengelolaan transfer dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b angka 1,
dengan rata-rata nilai transaksi lebih besar dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
per bulan;
3. kegiatan
operasional sistem pembayaran
nontunai yaitu kegiatan pemrosesan transaksi
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf b angka 2;
4. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi
tresuri dan pembiayaan perdagangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c;
dan
5. kegiatan operasional sistem penatausahaan
surat berharga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf d,
harus memiliki Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang
Kualifikasi SPPUR 6 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) huruf c sesuai kegiatan operasional
pada Kegiatan SPPUR yang dilaksanakan.
(2) Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d dan huruf e, diatur sebagai berikut:
a. anggota direksi dan dewan komisaris untuk LSB yang
menyelenggarakan kegiatan usaha penukaran valuta
asing; dan
b. kelompok jenjang jabatan yang berada paling banyak
2 (dua) level di bawah direksi yang bertanggung jawab
atas Kegiatan SPPUR untuk LSB selain LSB yang
menyelenggarakan kegiatan usaha penukaran valuta
asing.
(3) Kepemilikan Sertifikat SPPUR bagi Pegawai Pelaku SPPUR
berupa LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
12
Pasal 8
(1) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 dikenai
sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan pemberian
persetujuan atas
pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan
lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah; dan/atau
c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
(2) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a.
tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran;
b. akibat yang ditimbulkan; dan
c. aspek lainnya.
Pasal 9
Sertifikat Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan
dapat diperpanjang.
Pasal 10
(1) Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi
di luar negeri dapat diakui oleh LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Untuk memperoleh persetujuan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LSP SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesia mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Bank Indonesia.
13
Bagian Ketiga
Penatausahaan Data Pegawai
Pasal 11
(1) Pelaku SPPUR wajib menatausahakan data Pegawai pemilik
Sertifikat SPPUR.
(2) Data Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat informasi sebagai berikut:
a. nama;
b. Nomor Induk Kependudukan (NIK);
c.
tanggal lahir;
d. jabatan;
e. tanggal menjabat;
f.
informasi terkait Sertifikat SPPUR; dan
g. informasi terkait Pemeliharaan Kompetensi SPPUR.
Pasal 12
(1) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dikenai sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan pemberian persetujuan atas
pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan
lainnya di bidang sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah; dan/atau
c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
(2) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a.
tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran;
b. akibat yang ditimbulkan; dan
c. aspek lainnya.
14
BAB III
PENYELENGGARA
Bagian Kesatu
LPK SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia
Paragraf 1
Tata Cara Menjadi LPK SPPUR yang Diakui oleh
Bank Indonesia
Pasal 13
Pihak yang akan menjadi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia harus memenuhi tahapan sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan rekomendasi kepada Bank
Indonesia;
b. mengajukan permohonan izin atau permohonan
pendaftaran sebagai LPK SPPUR, atau permohonan
penambahan Program PBK SPPUR kepada lembaga yang
berwenang; dan
c. mengajukan permohonan menjadi LPK SPPUR yang diakui
oleh Bank Indonesia kepada Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf a disampaikan secara tertulis dengan
dilengkapi dokumen persyaratan sebagai berikut:
a. dokumen rekomendasi dari asosiasi profesi dan/atau
asosiasi industri, bagi calon LPK SPPUR yang
dibentuk oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi
industri dan pihak lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
b. dokumen perangkat organisasi;
c. Program PBK SPPUR yang akan diselenggarakan;
d. daftar instruktur PBK SPPUR;
e.
surat kesanggupan penyediaan mentor PBK SPPUR;
dan
15
f.
fotokopi akta pendirian dan anggaran dasar beserta
perubahannya, bagi calon LPK SPPUR yang dibentuk
oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri dan
pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Dokumen perangkat organisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi bagan struktur organisasi
dan uraian tugas.
(3) Program PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c disusun dengan mengacu pada pedoman
penyelenggaraan PBK SPPUR yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(4) Daftar instruktur PBK SPPUR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 15
(1) Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan rekomendasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf a.
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, Bank
Indonesia:
a. melakukan penelitian administratif terhadap
pemenuhan persyaratan yang disampaikan oleh
calon LPK SPPUR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1); dan
b. dapat melakukan pemeriksaan lokasi kepada calon
LPK SPPUR dalam hal diperlukan.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat dokumen
tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia
meminta calon LPK SPPUR untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 14
16
(empat belas) hari kerja sejak tanggal surat permintaan
Bank Indonesia untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
dokumen.
(4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) calon LPK SPPUR belum
melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen maka calon
LPK SPPUR dianggap membatalkan permohonan
rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1).
(5) Persetujuan atau penolakan pemberian rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak surat permohonan dan dokumen persyaratan
diterima secara lengkap dan sesuai oleh Bank Indonesia.
Pasal 16
(1) Pihak yang telah memperoleh rekomendasi dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, harus
mengajukan permohonan izin atau permohonan
pendaftaran sebagai LPK SPPUR, atau permohonan
penambahan Program PBK SPPUR kepada lembaga yang
berwenang.
(2) Tata cara pengajuan permohonan izin atau permohonan
pendaftaran sebagai LPK SPPUR, atau permohonan
penambahan Program PBK SPPUR kepada lembaga yang
berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai tata cara perizinan dan
pendaftaran lembaga pelatihan kerja.
Pasal 17
(1) Pihak yang telah memperoleh izin atau tanda daftar
sebagai LPK SPPUR, atau izin penambahan Program PBK
SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 harus
mengajukan permohonan menjadi LPK SPPUR yang diakui
oleh Bank Indonesia.
17
(2) Permohonan menjadi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi:
a. data profil LPK SPPUR dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
b. fotokopi izin atau fotokopi tanda daftar dari lembaga
yang berwenang yang telah dilegalisasi.
Pasal 18
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan menjadi LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1).
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, Bank
Indonesia melakukan penelitian administratif terhadap
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2).
(3) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada
LPK SPPUR mengenai keputusan Bank Indonesia atas
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak dokumen
persyaratan diterima dan dinyatakan lengkap dan sesuai
oleh Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Bank Indonesia memberikan persetujuan atas
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1), Bank Indonesia mencantumkan LPK SPPUR dalam
daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
dipublikasikan pada laman resmi Bank Indonesia
dan/atau media publikasi lainnya.
Pasal 19
Dalam hal data profil LPK SPPUR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a mengalami perubahan, LPK
SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia harus menyampaikan
perubahan data profil LPK SPPUR tersebut kepada Bank
18
Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak terjadinya
perubahan.
Paragraf 2
Akreditasi LPK SPPUR
Pasal 20
(1) LPK SPPUR yang telah diakui oleh Bank Indonesia wajib
terakreditasi oleh lembaga yang berwenang paling lambat
1 (satu) tahun sejak LPK SPPUR diakui oleh Bank
Indonesia.
(2) Tata cara pengajuan permohonan akreditasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
akreditasi lembaga pelatihan kerja.
Pasal 21
(1) LPK SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
(2) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran;
b. akibat yang ditimbulkan; dan
c. aspek lainnya.
19
Paragraf 3
Penyusunan Bahan Pelatihan dan Modul PBK SPPUR
Pasal 22
(1) Dalam menyelenggarakan PBK SPPUR, LPK SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesia harus menyusun bahan
pelatihan dengan mengacu pada modul PBK SPPUR.
(2) Modul PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. buku informasi;
b. buku kerja; dan
c. buku penilaian.
Pasal 23
(1) Modul PBK SPPUR berupa buku informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a harus
mendapatkan persetujuan Bank Indonesia dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. buku informasi disusun dengan mengacu pada
SKKNI Bidang SPPUR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a dan ketentuan mengenai
pedoman penyusunan modul pelatihan berbasis
kompetensi;
b. buku informasi disusun berdasarkan kesepakatan
LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia;
c. buku informasi yang telah disusun dan disepakati
disampaikan secara tertulis oleh perwakilan LPK
SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia untuk
memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan
d. buku informasi yang telah disetujui oleh Bank
Indonesia dipublikasikan oleh LPK SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesia melalui laman resmi LPK
SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia dan/atau
melalui media publikasi lainnya.
(2) Modul PBK SPPUR berupa buku informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a harus dievaluasi
dan dilaporkan secara berkala kepada Bank Indonesia.
20
Paragraf 4
Penatausahaan Sertifikat PBK SPPUR
Pasal 24
LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia menatausahakan
data Sertifikat PBK SPPUR yang diterbitkan oleh LPK SPPUR
yang diakui oleh Bank Indonesia paling sedikit memuat
informasi:
a. nomor Sertifikat PBK SPPUR;
b. identitas pemilik Sertifikat PBK SPPUR;
c. tanggal penerbitan Sertifikat PBK SPPUR; dan
d. Jenjang Kualifikasi SPPUR pemilik Sertifikat PBK SPPUR.
Paragraf 5
Perubahan Program PBK SPPUR
Pasal 25
(1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang akan
melakukan perubahan Program PBK SPPUR wajib
memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(2) Permohonan persetujuan perubahan Program PBK SPPUR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh LPK
SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia secara tertulis
dengan melengkapi dokumen sebagai berikut:
a.
daftar perubahan Program PBK SPPUR sebagaimana
tercantum pada Lampiran VI yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
b. Program PBK SPPUR hasil perubahan.
Pasal 26
(1) Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan perubahan Program PBK
SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).
21
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, Bank
Indonesia melakukan penelitian terhadap kelengkapan
dan kesesuaian dokumen yang disampaikan oleh LPK
SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat dokumen
tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia
meminta LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia
untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan Bank Indonesia untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen.
(4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia belum melengkapi dan/atau memperbaiki
dokumen maka LPK SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia dianggap membatalkan permohonan perubahan
Program PBK SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25.
(5) Persetujuan atau penolakan perubahan Program PBK
SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
secara tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak surat permohonan dan dokumen
persyaratan diterima secara lengkap dan sesuai oleh Bank
Indonesia.
Pasal 27
(1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
22
(2) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran;
b. akibat yang ditimbulkan; dan
c. aspek lainnya.
Paragraf 6
Kerja Sama Bank Indonesia dengan LPK SPPUR yang Diakui
oleh Bank Indonesia
Pasal 28
(1) Bank Indonesia melakukan kerja sama dengan LPK SPPUR
yang diakui oleh Bank Indonesia untuk melaksanakan
kegiatan PBK SPPUR bagi Pegawai dari Pelaku SPPUR yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. LSB sebagai penyelenggara kegiatan usaha
penukaran valuta asing yang memiliki rata-rata
transaksi
lebih
kecil sama dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per
bulan;
b. LSB sebagai penyelenggara transfer dana yang
memiliki rata-rata transaksi lebih kecil sama dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per
bulan;
c. LSB sebagai penyelenggara jasa pengolahan uang
rupiah dengan kategori satu; dan
d. Pelaku SPPUR lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Bank Indonesia
dapat membantu pembiayaan
penyelenggaraan PBK SPPUR kepada Pelaku SPPUR yang
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
23
Bagian Kedua
LSP SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia
Paragraf 1
Perangkat Organisasi
Pasal 29
LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia memiliki
perangkat organisasi paling sedikit terdiri atas:
a. struktur organisasi;
b. forum penetapan kelulusan pengujian kompetensi; dan
c. pedoman kerja internal.
Pasal 30
Struktur organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. unsur pengarah; dan
b. unsur pelaksana.
Pasal 31
(1) Unsur pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
huruf a terdiri atas:
a. ketua merangkap anggota; dan
b. anggota.
(2) Unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memiliki 1 (satu) orang anggota yang
merupakan pimpinan asosiasi profesi dan/atau asosiasi
industri.
Pasal 32
Unsur pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf
a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki pengalaman di industri jasa keuangan paling
sedikit 10 (sepuluh) tahun;
b. tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang jasa
keuangan; dan
24
c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di
bidang jasa keuangan dan/atau pencucian uang
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap.
Pasal 33
(1) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
huruf b paling sedikit memiliki fungsi yang menangani:
a. sertifikasi kompetensi;
b. teknologi informasi;
c. manajemen mutu; dan
d. administrasi.
(2) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman dan/atau memiliki keahlian yang
memadai dalam melaksanakan fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
b.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana di bidang jasa keuangan dan/atau pencucian
uang berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap;
c.
d.
tidak memiliki jabatan rangkap di Pelaku SPPUR; dan
tidak menjabat sebagai pengurus dan/atau menjadi
pemegang saham pada penyelenggara Pemeliharaan
Kompetensi SPPUR lainnya maupun penyelenggara
pelatihan untuk persiapan Sertifikasi Kompetensi
SPPUR.
Pasal 34
Forum penetapan kelulusan pengujian kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b merupakan
perangkat organisasi yang menetapkan kelulusan akhir peserta
Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
25
Pasal 35
Pedoman kerja internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
huruf c paling sedikit memuat:
a. ketentuan bahwa:
1. anggota forum penetapan kelulusan pengujian
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
huruf b; dan
2. asesor Sertifikasi Kompetensi SPPUR,
tidak memiliki peran dalam pelatihan calon peserta
Sertifikasi Kompetensi SPPUR;
b. tata cara penyusunan materi uji kompetensi; dan
c. tata cara pemberian, pemeliharaan, perpanjangan,
penundaan, pencabutan, dan penatausahaan Sertifikat
Kompetensi SPPUR.
Paragraf 2
Tata Cara Menjadi LSP SPPUR yang Diakui oleh Bank
Indonesia
Pasal 36
Pihak yang akan menjadi LSP SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia harus memenuhi tahapan sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan rekomendasi kepada Bank
Indonesia;
b. mengajukan permohonan pembentukan LSP SPPUR atau
lisensi sebagai LSP SPPUR kepada lembaga yang
berwenang; dan
c. mengajukan permohonan menjadi LSP SPPUR yang diakui
oleh Bank Indonesia.
Pasal 37
(1) Permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 huruf a diajukan secara tertulis dengan
melengkapi dokumen persyaratan sebagai berikut:
a. dokumen rekomendasi dari asosiasi profesi dan/atau
asosiasi industri;
b. dokumen perangkat organisasi;
26
c. pedoman kerja internal;
d. Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR;
e. daftar asesor Sertifikasi Kompetensi SPPUR; dan
f.
fotokopi akta pendirian dan anggaran dasar beserta
perubahannya.
(2) Dokumen perangkat organisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. bagan struktur organisasi;
b. dokumen pendukung dari masing-masing sumber
daya manusia dalam bagan struktur organisasi
sebagaimana dimaksud pada angka 1 meliputi:
1. riwayat hidup yang paling sedikit memuat
riwayat pendidikan dan pekerjaan;
2. surat pernyataan bermaterai cukup yang
menyatakan bahwa:
a) yang bersangkutan tidak pernah
melakukan tindakan tercela di bidang jasa
keuangan, khusus untuk unsur pengarah;
b) tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di bidang jasa keuangan
dan/atau pencucian uang berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap; dan
c)
tidak menjabat sebagai pengurus dan/atau
menjadi pemegang saham pada
penyelenggara Pemeliharaan Kompetensi
SPPUR lain maupun penyelenggara
pelatihan untuk persiapan Sertifikasi
Kompetensi SPPUR, khusus untuk unsur
pelaksana.
(3) Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan mengacu
pada skema sertifikasi kerangka kualifikasi nasional
Indonesia di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah yang ditetapkan oleh komite skema sertifikasi
kompetensi.
27
(4) Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. program Sertifikasi Kompetensi SPPUR; dan
b. program Pemeliharaan Kompetensi SPPUR.
(5) Program Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a paling sedikit memuat:
a. paket kompetensi yang akan diuji dalam bahasa
Indonesia;
b. persyaratan peserta Sertifikasi Kompetensi SPPUR;
c.
kriteria asesor Sertifikasi Kompetensi SPPUR;
d. besaran biaya Sertifikasi Kompetensi SPPUR; dan
e. proses Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
(6) Daftar asesor Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e menggunakan format yang
tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal 38
(1) Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan rekomendasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, Bank
Indonesia:
a. melakukan penelitian administratif terhadap
pemenuhan persyaratan yang disampaikan oleh
calon LSP SPPUR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1); dan
b. dapat melakukan pemeriksaan lokasi kepada calon
LSP SPPUR dalam hal diperlukan.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat dokumen
tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia
meminta calon LSP SPPUR untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja sejak tanggal surat permintaan
28
Bank Indonesia untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
dokumen.
(4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) calon LSP SPPUR belum
melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen maka calon
LSP SPPUR dianggap membatalkan permohonan
rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1).
(5) Persetujuan atau penolakan pemberian rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak surat permohonan dan dokumen persyaratan
diterima secara lengkap dan sesuai oleh Bank Indonesia.
Pasal 39
(1) Pihak yang telah memperoleh rekomendasi dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 harus
mengajukan permohonan:
a. pembentukan LSP SPPUR; dan/atau
b.
lisensi sebagai LSP SPPUR,
kepada lembaga yang berwenang.
(2) Tata cara pengajuan permohonan pembentukan LSP
SPPUR dan lisensi sebagai LSP SPPUR kepada lembaga
yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai pedoman ketentuan
umum lisensi lembaga sertifikasi profesi.
Pasal 40
(1) Pihak yang telah memperoleh lisensi sebagai LSP SPPUR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, harus
mengajukan permohonan menjadi LSP SPPUR yang diakui
oleh Bank Indonesia.
(2) Permohonan menjadi LSP SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi:
a. data profil LSP SPPUR dengan menggunakan format
29
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
b. fotokopi lisensi dari lembaga yang berwenang yang
telah dilegalisasi.
Pasal 41
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan menjadi LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (1).
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, Bank
Indonesia melakukan penelitian administratif terhadap
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (2).
(3) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada
LSP SPPUR mengenai keputusan Bank Indonesia atas
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(1) paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak dokumen
persyaratan diterima dan dinyatakan lengkap dan sesuai
oleh Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Bank Indonesia memberikan persetujuan atas
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(1), Bank Indonesia mencantumkan LSP SPPUR dalam
daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
dipublikasikan pada laman resmi Bank Indonesia
dan/atau media publikasi lainnya.
Paragraf 3
Penyusunan Materi Uji Kompetensi
Pasal 42
Dalam menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi SPPUR, LSP
SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia harus menyusun
materi uji kompetensi dengan mengacu pada buku informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a.
30
Paragraf 4
Penatausahaan Sertifikat Kompetensi SPPUR
Pasal 43
LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia menatausahakan
data Sertifikat Kompetensi SPPUR yang telah diterbitkan dan
data Pemeliharaan Kompetensi SPPUR pemilik Sertifikat
Kompetensi SPPUR yang paling sedikit memuat informasi:
a. nomor Sertifikat Kompetensi SPPUR;
b. identitas pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR;
c. tanggal penerbitan dan daluwarsa Sertifikat Kompetensi
SPPUR;
d. Jenjang Kualifikasi SPPUR pemilik Sertifikat Kompetensi
SPPUR; dan
e. Pemeliharaan Kompetensi pemilik Sertifikat Kompetensi
SPPUR.
Paragraf 5
Perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR
Pasal 44
(1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang akan
melakukan perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi
SPPUR wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(2) Permohonan persetujuan perubahan Skema Sertifikasi
Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia
secara tertulis dengan melengkapi dokumen sebagai
berikut:
a.
daftar perubahan substansi dalam Skema Sertifikasi
Kompetensi SPPUR dengan menggunakan format
yang tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini; dan
b. Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR hasil
perubahan.
31
Pasal 45
(1) Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan perubahan Skema Sertifikasi
Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (1).
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, Bank
Indonesia melakukan penelitian terhadap kelengkapan
dan kesesuaian dokumen yang disampaikan oleh LSP
SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat dokumen
tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia
meminta LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia
untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan Bank Indonesia untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen.
(4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia belum melengkapi dan/atau memperbaiki
dokumen maka LSP SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia dianggap membatalkan permohonan perubahan
Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).
(5) Persetujuan atau penolakan perubahan Skema Sertifikasi
Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis paling lama 14 (empat belas)
hari kerja terhitung sejak surat permohonan dan dokumen
pendukung diterima secara lengkap dan sesuai oleh Bank
Indonesia.
32
Pasal 46
(1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
(2) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran;
b. akibat yang ditimbulkan; dan
c. aspek lainnya.
Pasal 47
Dalam hal data profil LSP SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2)
huruf a mengalami perubahan, LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia harus menyampaikan perubahan data profil
LSP SPPUR tersebut kepada Bank Indonesia paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak terjadinya perubahan.
BAB IV
PEMELIHARAAN KOMPETENSI SPPUR
Pasal 48
(1) Pelaku SPPUR wajib memastikan Pegawai yang memiliki
Sertifikat SPPUR melakukan Pemeliharaan Kompetensi
SPPUR secara berkala.
(2) Pemeliharaan Kompetensi SPPUR secara berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi:
a. Pegawai pemilik Sertifikat PBK SPPUR, paling sedikit
dilakukan 1 (satu) kali dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun; dan
33
b. Pegawai pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR, paling
sedikit dilakukan 1 (satu) kali sebelum masa berlaku
Sertifikat Kompetensi SPPUR berakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
(3) Dalam memastikan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku SPPUR wajib
mengacu pada:
a. pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, bagi Pegawai pemilik
Sertifikat PBK SPPUR; dan
b. Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR, bagi Pegawai
pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR.
Pasal 49
(1) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan ayat (3) dikenai
sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan pemberian persetujuan atas
pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan
lainnya di bidang sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah; dan/atau
c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
(2) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran;
b. akibat yang ditimbulkan; dan
c. aspek lainnya.
34
BAB V
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pelaporan bagi Pelaku SPPUR
Paragraf 1
Jenis Laporan
Pasal 50
(1) Pelaku SPPUR wajib menyampaikan laporan berkala dan
laporan insidental kepada Bank Indonesia secara benar
dan lengkap.
(2) Laporan berkala yang disampaikan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. laporan
rencana pemenuhan pelaksanaan
Standardisasi Kompetensi SPPUR;
b. laporan kepemilikan Sertifikat SPPUR;
c. laporan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR; dan
d. laporan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan atas:
a.
inisiatif Pelaku SPPUR sendiri; dan
b. permintaan Bank Indonesia.
(4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a meliputi laporan daftar Pegawai yang penerbitan
Sertifikat Kompetensi SPPUR ditunda, dicabut, atau
dibatalkan oleh LSP SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia.
(5) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b merupakan laporan terkait Standardisasi
Kompetensi SPPUR yang diminta guna pelaksanaan tugas
Bank Indonesia.
35
Paragraf 2
Tata Cara Penyampaian Laporan dan Koreksi atas Laporan
Pasal 51
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia
setiap tahun, paling lambat tanggal 31 Januari tahun
berikutnya.
(2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) huruf b dan huruf c disampaikan kepada Bank
Indonesia setiap semester, paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja pada bulan berikutnya.
(3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama
10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak:
a. tanggal terjadinya penundaan, pencabutan, dan
pembatalan penerbitan Sertifikat Kompetensi SPPUR
oleh LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia
untuk laporan insidental sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a; atau
b. tanggal permintaan laporan oleh Bank Indonesia
untuk laporan insidental sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b.
(4) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) jatuh pada
hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, dan/atau hari
cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maka
batas waktu penyampaian laporan yaitu hari kerja
berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia.
Pasal 52
Penyampaian laporan dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) huruf a disampaikan secara online
melalui sistem yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
36
b. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3)
huruf b disampaikan secara tertulis dalam bentuk
dokumen cetak dan/atau dokumen digital melalui media
elektronik kepada Bank Indonesia.
Pasal 53
(1) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat
dilaksanakan secara online, penyampaian laporan
dilakukan secara tertulis dalam bentuk dokumen cetak
dan/atau dokumen digital melalui media elektronik
kepada Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. laporan menggunakan format
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran X yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini, selama tahapan implementasi;
dan
b. laporan
menggunakan
format
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini, setelah tahapan implementasi
berakhir.
(2) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a tidak dapat dilaksanakan
secara online, penyampaian laporan dilakukan secara
tertulis dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen
digital melalui media elektronik kepada Bank Indonesia
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 54
(1) Pelaku SPPUR wajib menyampaikan koreksi laporan
terhadap:
a. laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 ayat (2); dan/atau
37
b.
laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (3),
dalam hal laporan yang disampaikan tidak benar
dan/atau tidak lengkap.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
atas dasar:
a.
inisiatif Pelaku SPPUR; dan/atau
b. temuan Bank Indonesia.
(3) Batas waktu penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas
waktu penyampaian laporan berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) berakhir.
(4) Batas waktu penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas
waktu penyampaian laporan insidental sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) berakhir.
(5) Ketentuan mengenai penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap penyampaian koreksi laporan.
Pasal 55
(1) Pelaku SPPUR yang melanggar kewajiban penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 sesuai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan pemberian
persetujuan atas
pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan
lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah; dan/atau
c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
(2) Pelaku SPPUR yang melanggar kewajiban penyampaian
koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
ayat (1) sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud
38
dalam Pasal 54 ayat (3) dan ayat (4), dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan pemberian
persetujuan atas
pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan
lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah; dan/atau
c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
(3) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a.
tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran;
b. akibat yang ditimbulkan; dan
c. aspek lainnya.
(4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan
huruf b tidak menghilangkan kewajiban Pelaku SPPUR
untuk tetap menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 dan koreksi laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1).
Bagian Kedua
Pelaporan bagi LPK SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia
Paragraf 1
Jenis Laporan
Pasal 56
(1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib
menyampaikan laporan berkala dan laporan insidental
kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap.
(2) Laporan berkala yang disampaikan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. laporan penyelenggaraan PBK SPPUR; dan
b. laporan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
39
(3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan atas:
a.
inisiatif LPK SPPUR sendiri; dan
b. permintaan Bank Indonesia.
(4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a meliputi laporan adanya gangguan atau terjadinya
keadaan kahar dalam penyelenggaraan PBK SPPUR.
(5) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b merupakan laporan terkait penyelenggaraan PBK
SPPUR yang diminta guna pelaksanaan tugas Bank
Indonesia.
Paragraf 2
Tata Cara Penyampaian Laporan dan Koreksi atas Laporan
Pasal 57
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
ayat (2) huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia
setiap semester, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja pada
bulan berikutnya.
(2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama
10 (sepuluh) hari kerja sejak:
a. tanggal adanya gangguan atau terjadinya keadaan
kahar untuk laporan insidental sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf a; atau
b. tanggal permintaan laporan oleh Bank Indonesia
untuk laporan insidental sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat (3) huruf b.
(3) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh
pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional,
dan/atau hari cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia maka batas waktu penyampaian laporan yaitu
hari kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank
Indonesia.
40
Pasal 58
Penyampaian laporan dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1)
disampaikan secara online melalui sistem yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia; dan
b. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2)
disampaikan secara tertulis dalam bentuk dokumen cetak
dan/atau dokumen digital melalui media elektronik
kepada Bank Indonesia.
Pasal 59
Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 ayat (1) tidak dapat dilaksanakan secara online,
penyampaian laporan dilakukan secara tertulis dalam bentuk
dokumen cetak dan/atau dokumen digital melalui media
elektronik kepada Bank Indonesia dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Pasal 60
(1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib
menyampaikan koreksi laporan terhadap:
a. laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 ayat (2); dan/atau
b. laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (3),
dalam hal laporan yang disampaikan tidak benar
dan/atau tidak lengkap.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
atas dasar:
a.
inisiatif LPK SPPUR; dan/atau
b. temuan Bank Indonesia.
(3) Batas waktu penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas
41
waktu penyampaian laporan berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) berakhir.
(4) Batas waktu penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas
waktu penyampaian laporan insidental sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) berakhir.
(5) Ketentuan mengenai penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 dan Pasal 59 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap penyampaian koreksi laporan.
Pasal 61
(1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
melanggar kewajiban penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 sesuai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
(2) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
melanggar kewajiban penyampaian koreksi laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sesuai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 ayat (3) dan ayat (4), dikenai sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
(3) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a.
tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran;
42
b. akibat yang ditimbulkan; dan
c. aspek lainnya.
(4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan
huruf b tidak menghilangkan kewajiban LPK SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesia untuk tetap menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan
koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (1).
Bagian Ketiga
Pelaporan oleh LSP SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia
Paragraf 1
Jenis Laporan
Pasal 62
(1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib
menyampaikan laporan berkala dan laporan insidental
kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap.
(2) Laporan berkala yang disampaikan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. laporan penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi
SPPUR;
b. laporan penyelenggaraan Pemeliharaan Kompetensi
SPPUR; dan
c. laporan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan atas:
a.
inisiatif LSP SPPUR sendiri; dan
b. permintaan Bank Indonesia.
(4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a meliputi:
a. laporan daftar Sertifikat Kompetensi SPPUR yang
ditunda, dicabut, atau dibatalkan penerbitannya; dan
43
b. laporan adanya gangguan atau terjadinya keadaan
kahar dalam penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi
SPPUR.
(5) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b merupakan laporan terkait penyelenggaraan
Sertifikasi Kompetensi SPPUR yang diminta guna
pelaksanaan tugas Bank Indonesia.
Paragraf 2
Tata Cara Penyampaian Laporan dan Koreksi atas laporan
Pasal 63
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
ayat (2) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Bank
Indonesia setiap semester, paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja pada bulan berikutnya.
(2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama
10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak:
a. tanggal terjadinya penundaan, pencabutan, dan
pembatalan penerbitan Sertifikat Kompetensi SPPUR
untuk laporan insidental sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62 ayat (3) huruf a;
b. tanggal adanya gangguan atau terjadinya keadaan
kahar dalam penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi
SPPUR untuk laporan insidental sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) huruf a; atau
c. tanggal permintaan laporan oleh Bank Indonesia
untuk laporan insidental sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62 ayat (3) huruf b.
(3) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari Sabtu,
hari Minggu, hari libur nasional, dan/atau hari cuti
bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maka batas
waktu penyampaian laporan berkala yaitu hari kerja
berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia.
44
Pasal 64
Penyampaian laporan dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
dan ayat (2) huruf a disampaikan secara online melalui
sistem yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
b. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)
huruf b dan huruf c disampaikan secara tertulis dalam
bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital melalui
media elektronik kepada Bank Indonesia.
Pasal 65
(1) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (1) tidak dapat dilaksanakan secara
online, penyampaian laporan dilakukan secara tertulis
dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital
melalui media elektronik kepada Bank Indonesia dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini.
(2) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (2) huruf a tidak dapat dilaksanakan
secara online, penyampaian laporan dilakukan secara
tertulis dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen
digital melalui media elektronik kepada Bank Indonesia
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 66
(1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib
menyampaikan koreksi laporan terhadap:
a. laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62 ayat (2); dan/atau
b. laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 ayat (3),
45
dalam hal laporan yang disampaikan tidak benar
dan/atau tidak lengkap.
(2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
atas dasar:
a.
inisiatif LSP SPPUR; dan
b. temuan Bank Indonesia.
(3) Batas waktu penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas
waktu penyampaian laporan berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) berakhir.
(4) Batas waktu penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas
waktu penyampaian laporan insidental sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) berakhir.
(5) Ketentuan mengenai penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap penyampaian koreksi laporan.
Pasal 67
(1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
melanggar kewajiban penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 sesuai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, dikenai sanksi
administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
46
(2) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
melanggar kewajiban penyampaian koreksi laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) sesuai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 ayat (3) dan ayat (4), dikenai sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
(3) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a.
tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran;
b. akibat yang ditimbulkan; dan
c. aspek lainnya.
(4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a
dan huruf b tidak menghilangkan kewajiban LSP SPPUR
yang diakui oleh Bank Indonesia untuk tetap
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 dan koreksi laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 ayat (1).
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 68
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada:
a. Pelaku SPPUR; dan
b. Penyelenggara.
47
(2) Pengawasan terhadap Pelaku SPPUR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap
pemenuhan ketentuan Bank Indonesia mengenai
standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran
dan pengelolaan uang rupiah terkait pemenuhan
kewajiban Pelaku SPPUR dalam penerapan Standardisasi
Kompetensi SPPUR.
(3) Pengawasan terhadap Penyelenggara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap
pemenuhan ketentuan Bank Indonesia mengenai
standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran
dan pengelolaan uang rupiah terkait penyelenggaraan PBK
SPPUR dan Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
Pasal 69
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat
(1) meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan
b. pengawasan langsung.
(2) Dalam pelaksanaan pengawasan tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Bank
Indonesia melakukan penelitian, analisis, dan evaluasi,
yang didasarkan atas laporan berkala, laporan insidentil,
data dan/atau informasi lainnya yang diperoleh Bank
Indonesia dari pihak lain, dan diskusi dengan Pelaku
SPPUR dan Penyelenggara.
(3) Dalam pelaksanaan pengawasan langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank Indonesia
melakukan pemeriksaan terhadap Pelaku SPPUR dan
Penyelenggara.
(4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk dan
atas nama Bank Indonesia dalam melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
48
(5) Pihak lain yang ditunjuk melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menjaga
kerahasiaan dokumen, data, informasi, laporan,
keterangan, dan/atau penjelasan yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan.
Pasal 70
(1) Pelaku SPPUR dan Penyelenggara wajib memberikan
keterangan, penjelasan, rekaman, dan/atau dokumen yang
dibutuhkan dalam pemeriksaan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) maupun
oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(4).
(2) Pelaku SPPUR dan Penyelenggara wajib menindaklanjuti
hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
(3) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan pemberian persetujuan
atas
pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan
lainnya di bidang sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah; dan/atau
c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
(4) Penyelenggara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar Penyelenggara yang diakui
oleh Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar Penyelenggara yang diakui
oleh Bank Indonesia.
49
(5) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a.
tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran;
b. akibat yang ditimbulkan; dan
c. aspek lainnya.
BAB VII
KOORDINASI
Pasal 71
(1) Bank Indonesia dapat melakukan koordinasi dengan:
a. otoritas terkait;
b. Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia;
c. Badan Nasional Sertifikasi Profesi; dan
d. asosiasi profesi dan asosiasi industri.
(2) Ruang lingkup koordinasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. pengembangan dan penerapan SKKNI Bidang SPPUR
dan Jenjang Kualifikasi SPPUR;
b. pendirian Penyelenggara;
c. pengakuan sertifikat profesi yang diterbitkan oleh
lembaga sertifikasi di luar negeri; dan
d. tindak lanjut hasil pengawasan terhadap Pelaku
SPPUR dan Penyelenggara.
BAB VIII
PELAKSANAAN TAHAPAN IMPLEMENTASI
Pasal 72
Implementasi ketentuan mengenai kewajiban Pelaku SPPUR
untuk memastikan kepemilikan Sertifikat SPPUR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan dalam 3 (tiga) tahap:
a. tahap 1;
b. tahap 2; dan
c. tahap 3.
50
Pasal 73
(1) Implementasi tahap 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
72 huruf a diberlakukan bagi Pelaku SPPUR berupa:
a. Bank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 4
dan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 3; dan
b. LSB.
(2) Bank dan LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas Bank dan LSB yang melaksanakan:
a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai;
b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai
sebagai penyelenggara transfer dana;
c. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi
tresuri dan pembiayaan perdagangan; dan
d. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat
berharga.
(3) Kegiatan operasional sistem pembayaran tunai oleh LSB
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa:
a. kegiatan usaha penukaran valuta asing; dan
b. kegiatan pembawaan uang kertas asing ke dalam
dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia,
dengan rata-rata nilai transaksi lebih besar dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan
dan memiliki risiko menengah sampai dengan tinggi.
(4) Kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai
sebagai penyelenggara transfer dana oleh LSB
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa
kegiatan dengan rata-rata transaksi lebih besar dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan
dan risiko menengah sampai dengan tinggi.
Pasal 74
(1) Implementasi tahap 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
72 huruf b diberlakukan bagi Pelaku SPPUR berupa:
a. Bank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 2
dan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 1; dan
b. LSB.
51
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
atas Bank yang melaksanakan:
a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai;
b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai
sebagai penyelenggara transfer dana;
c. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi
tresuri dan pembiayaan perdagangan; dan
d. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat
berharga.
(3) LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri
atas LSB yang melaksanakan:
a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai; dan
b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai
sebagai penyelenggara transfer dana.
(4) Kegiatan operasional sistem pembayaran tunai oleh LSB
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa
kegiatan usaha penukaran valuta asing dan kegiatan
pembawaan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke luar
daerah pabean Indonesia, dengan rata-rata nilai
transaksi:
a.
lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko rendah;
dan
b. lebih kecil sama dengan Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko
rendah sampai dengan tinggi.
(5) Kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai
sebagai penyelenggara transfer dana oleh LSB
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berupa
kegiatan dengan rata-rata nilai transaksi:
a.
lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko rendah;
dan
b. lebih kecil sama dengan Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko
rendah sampai dengan tinggi.
52
Pasal 75
(1) Implementasi tahap 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
72 huruf c diberlakukan bagi Pelaku SPPUR berupa:
a. Bank; dan
b. LSB.
(2) Pelaku SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Pelaku SPPUR yang melaksanakan kegiatan
operasional sistem pembayaran nontunai sebagai:
a.
prinsipal;
b. penyelenggara switching;
c.
penerbit;
d. acquirer;
e. penyelenggara payment gateway;
f.
penyelenggara kliring;
g. penyelenggara penyelesaian akhir; dan
h. penyelenggara dompet elektronik.
(3) LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan LSB yang melaksanakan kegiatan operasional
sistem pembayaran tunai berupa kegiatan layanan kas.
Pasal 76
(1) Penentuan risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 74 ayat (4) dan ayat (5)
ditentukan berdasarkan national risk assessment dan
sectoral risk assessment.
(2) Tingkat risiko berdasarkan national risk assessment dan
sectoral risk assessment sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. risiko rendah;
b. risiko menengah; dan
c.
risiko tinggi
(3) Penentuan tingkat risiko berdasarkan national risk
assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengacu pada:
a.
hasil penilaian risiko Indonesia terhadap tindak
pidana pencucian uang; dan
53
b.
hasil penilaian risiko Indonesia terhadap tindak
pidana pendanaan terorisme,
yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.
(4) Penentuan tingkat risiko berdasarkan sectoral risk
assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengacu pada hasil penilaian risiko Indonesia terhadap
sektor penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank
dan kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 77
(1) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil penilaian
risiko dalam national risk assessment dan sectoral risk
assessment sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat
(1) maka hasil penilaian risiko yang digunakan yaitu hasil
penilaian risiko dalam sectoral risk assessment.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil penilaian
risiko Indonesia terhadap tindak pidana pencucian uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) huruf a
dan hasil penilaian risiko Indonesia terhadap tindak
pidana pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76 ayat (3) huruf b maka hasil penilaian risiko
Indonesia yang digunakan yaitu hasil penilaian risiko
tertinggi.
BAB IX
KORESPONDENSI
Bagian Kesatu
Korespondensi terkait Standardisasi Kompetensi SPPUR
Pasal 78
Pengajuan permohonan berupa:
a. pengakuan sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga
sertifikasi di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2);
54
b. rekomendasi bagi pihak yang akan menjadi LPK SPPUR
yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf a;
c. pengakuan menjadi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c;
d. persetujuan buku informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c;
e. perubahan Program PBK SPPUR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1);
f.
rekomendasi bagi pihak yang akan menjadi LSP SPPUR
yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 huruf a;
g. pengakuan menjadi LSP SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c;
dan
h. perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1),
disampaikan kepada:
Bank Indonesia cq. Departemen Penyelenggaraan Sistem
Pembayaran
Gedung D Lantai 4
Jl. M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
Pasal 79
Penyampaian perubahan data profil atas:
a. LPK SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; dan
b. LSP SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,
disampaikan kepada:
Bank Indonesia cq. Departemen Penyelenggaraan Sistem
Pembayaran
Gedung D Lantai 4
Jl. M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
55
Bagian Kedua
Korespondensi terkait Pelaporan
Pasal 80
Penyampaian laporan oleh:
a. LPK SPPUR sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (1); dan
b. LSP SPPUR sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (1),
ditujukan kepada:
Bank Indonesia cq. Departemen Penyelenggaraan Sistem
Pembayaran
Gedung D Lantai 4
Jl. M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
Pasal 81
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (1) oleh Pelaku SPPUR berupa LSB sebagai:
a. penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing
bukan bank; dan
b. penyelenggara transfer dana bukan bank,
ditujukan kepada Bank Indonesia sesuai dengan wilayah kerja
sebagaimana tercantum dalam daftar wilayah kerja Bank
Indonesia pada Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 82
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (1) oleh Pelaku SPPUR berupa:
a. Bank; dan
b. LSB selain LSB sebagaimana dimaksud dalam 81,
ditujukan kepada:
Bank Indonesia cq. Departemen Surveilans Sistem Keuangan
Gedung D Lantai 9
Jl. M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
56
Bagian Ketiga
Perubahan Korespondensi
Pasal 83
Dalam hal terdapat perubahan alamat surat-menyurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80,
Pasal 81, dan Pasal 82, Bank Indonesia memberitahukan
perubahan dimaksud melalui surat dan/atau media lainnya.
BAB X
PENUTUP
Pasal 84
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 MARET 2020
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 22/ 3 /PADG/2020
TENTANG
PELAKSANAAN STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM
PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH
I. UMUM
Sebagai salah satu upaya untuk memperkuat sumber daya manusia
agar memiliki kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia
mengenai standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah.
Sejalan dengan Standardisasi Kompetensi SPPUR oleh Bank
Indonesia, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur tentang Pelaksanaan Standardisasi Kompetensi di Bidang Sistem
Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah sebagai pedoman dan tata cara
bagi Pelaku SPPUR dan Penyelenggara dalam melaksanakan ketentuan
mengenai standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Pasal 2
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan โkegiatan layanan kasโ adalah
kegiatan pengelolaan uang tunai (cash handling) yang
meliputi:
1. distribusi uang rupiah;
2. penyimpanan uang rupiah di khazanah;
3. pemrosesan uang rupiah; dan
4. pengisian, pengambilan, dan/atau pemantauan
kecukupan uang rupiah pada automated teller machine,
cash deposit machine, dan/atau cash recycling machine.
Angka 2
Yang dimaksud dengan โkegiatan usaha penukaran valuta
asingโ adalah kegiatan jual dan beli uang kertas asing dan
pembelian cek pelawat.
Yang dimaksud dengan โpembawaan uang kertas asing ke
dalam dan/atau ke luar daerah pabean Indonesiaโ adalah
kegiatan memasukkan dan/atau mengeluarkan uang kertas
asing ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean yang
dilakukan dengan cara membawa sendiri atau dengan
menggunakan jasa pihak lain untuk kepentingan sendiri
atau pihak lain baik melalui kargo dan/atau barang bawaan
penumpang.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan โkegiatan pengelolaan transfer danaโ
adalah kegiatan penyelesaian transaksi atas pemindahan
sejumlah dana baik dalam denominasi rupiah dan/atau
valuta asing kepada penerima, serta penatausahaan cek dan
bilyet giro.
Angka 2
Yang dimaksud dengan โkegiatan pemrosesan transaksi
pembayaranโ adalah kegiatan jasa sistem pembayaran yang
dilakukan oleh Pelaku SPPUR sebagai prinsipal,
penyelenggara switching, penerbit, acquirer, penyelenggara
3
payment gateway, penyelenggara kliring, penyelenggara
penyelesaian akhir, dan penyelenggara dompet elektronik.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan โkegiatan setelmen transaksi tresuriโ
adalah kegiatan setelmen atas transaksi tresuri antara lain
transaksi money market, transaksi fixed income, transaksi
foreign exchange, dan transaksi derivatif.
Angka 2
Yang dimaksud dengan โkegiatan setelmen pembayaran
transaksi pembiayaan perdaganganโ adalah kegiatan
setelmen pembayaran atas transaksi pembelian dan
penjualan barang dan jasa dalam perdagangan internasional
maupun dalam negeri (trade finance) antara lain
documentary credit dan documentary collection seperti letter
of credit, surat kredit berdokumen dalam negeri, open
account, bank garansi, standby letter of credit, demand
guarantee, dan bank payment obligation.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โkegiatan operasional sistem
penatausahaan surat berhargaโ adalah kegiatan penatausahaan
surat berharga milik nasabah yang dilakukan oleh Pelaku SPPUR
sebagai sub-registry yang dilakukan melalui Bank Indonesia
Scripless Securities Settlement System, meliputi kegiatan
pencatatan kepemilikan, penyelesaian transaksi, dan aksi
korporasi.
Pasal 3
Ayat (1)
SKKNI Bidang SPPUR mengacu pada SKKNI Bidang SPPUR yang
tercantum dalam pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR paling kurang memuat:
a. ruang lingkup dan tata cara penyusunan Program PBK
SPPUR;
b. pelaksanaan PBK SPPUR;
4
c. pelaksanaan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR bagi pemilik
Sertifikat PBK SPPUR; dan
d. acuan dalam menetapkan biaya PBK SPPUR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek
kelancaran dan keamanan Kegiatan SPPUR, aspek
perlindungan konsumen, dan aspek pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
5
Pasal 10
Ayat (1)
Persetujuan Bank Indonesia mencakup persetujuan atas
sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi di luar
negeri dan penyetaraan Jenjang Kualifikasi SPPUR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Data informasi terkait Sertifikat SPPUR antara lain nomor,
tingkatan, tanggal penerbitan, tanggal kadaluarsa, dan
Penyelenggara.
Huruf g
Data informasi terkait Pemeliharaan Kompetensi SPPUR
antara lain tanggal pelaksanaan, bentuk, dan nama
Penyelenggara.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
6
Huruf b
Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek
kelancaran dan keamanan Kegiatan SPPUR, aspek
perlindungan konsumen, dan aspek pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan โpihak yang akan menjadi LPK SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesiaโ adalah calon LPK SPPUR dan LPK SPPUR
yang akan melakukan penambahan program pelatihan kerja untuk
Kegiatan SPPUR yang diselenggarakan.
Huruf a
Rekomendasi dari Bank Indonesia dapat berupa:
a. rekomendasi untuk menjadi LPK SPPUR; atau
b. rekomendasi untuk penambahan Program PBK SPPUR.
Huruf b
Pengajuan permohonan izin dilakukan oleh calon LPK SPPUR
yang dibentuk oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi
industri dan pihak lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pengajuan permohonan pendaftaran dilakukan oleh calon
LPK SPPUR yang dibentuk oleh Pelaku SPPUR.
Pengajuan permohonan penambahan Program PBK SPPUR
dilakukan oleh LPK SPPUR yang akan melakukan
penambahan program pelatihan kerja untuk Kegiatan
SPPUR yang diselenggarakan.
Yang dimaksud dengan โlembaga yang berwenangโ adalah
lembaga yang berwenang memberikan izin dan tanda daftar
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai tata cara perizinan dan
pendaftaran lembaga pelatihan kerja.
Huruf c
Cukup jelas.
7
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Yang termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di
bidang jasa keuangan yang terkait dengan Kegiatan SPPUR
yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia.
Yang termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank
Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi
Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah
Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia,
Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of
Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market
Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan
Bank-Bank Internasional Indonesia.
Yang dimaksud dengan โpihak lainโ adalah calon LPK SPPUR
yang dibentuk oleh selain Pelaku SPPUR dan asosiasi profesi
dan/atau asosiasi industri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Uraian tugas memuat penjelasan mengenai tugas pejabat yang
bertanggung jawab secara langsung terhadap penyelenggaraan
Program PBK SPPUR.
Ayat (3)
Ruang lingkup Program PBK SPPUR paling sedikit memuat:
a. nama Program PBK SPPUR;
b. tujuan Program PBK SPPUR;
8
c. cakupan kegiatan operasional Program PBK SPPUR yang
akan diselenggarakan;
d. perkiraan waktu Program PBK SPPUR;
e. persyaratan peserta Program PBK SPPUR;
f.
persyaratan instruktur Program PBK SPPUR;
g. kurikulum dan silabus Program PBK SPPUR; dan
h. daftar bahan ajar dan peralatan pendukung.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โlembaga yang berwenangโ adalah
lembaga yang berwenang memberikan izin dan tanda daftar
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga
pelatihan kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โlembaga yang berwenangโ adalah
lembaga yang berwenang memberikan izin dan tanda daftar
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga
pelatihan kerja.
Pasal 18
Cukup jelas.
9
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โakreditasiโ adalah proses pemberian
pengakuan formal yang menyatakan bahwa suatu lembaga telah
memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan pelatihan
kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai akreditasi lembaga pelatihan
kerja.
Yang dimaksud dengan โlembaga yang berwenangโ adalah
lembaga yang melakukan akreditasi lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai akreditasi lembaga pelatihan kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek
kelancaran penyelenggaraan PBK SPPUR.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
10
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โketentuan mengenai pedoman
penyusunan modul pelatihan berbasis kompetensiโ adalah
ketentuan yang dikeluarkan oleh kementerian yang
membidangi urusan ketenagakerjaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Perubahan Program PBK SPPUR dilakukan dalam rangka
pengkinian Program PBK SPPUR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
11
Huruf b
Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek
kelancaran penyelenggaraan PBK SPPUR.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penentuan kategori penyelenggara jasa pengolahan uang
rupiah mengacu pada Peraturan Bank Indonesia mengenai
pengelolaan uang rupiah.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โforum penetapan kelulusan pengujian
kompetensiโ adalah forum yang dibentuk dalam rangka
menetapkan kelulusan akhir peserta Sertifikasi Kompetensi
SPPUR.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 30
Huruf a
Unsur pengarah mengacu pada ketentuan badan nasional
sertifikasi profesi yang mengatur mengenai pedoman
pembentukan lembaga sertifikasi profesi.
12
Huruf b
Unsur pelaksana mengacu pada ketentuan badan nasional
sertifikasi profesi yang mengatur mengenai pedoman
pembentukan lembaga sertifikasi profesi.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di
bidang jasa keuangan yang terkait dengan Kegiatan SPPUR yang
telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia.
Yang termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank
Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi
Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia,
Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik
Negara, International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia
Foreign Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank
Nasional, dan Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia.
Pasal 32
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โtindakan tercelaโ antara lain melakukan
penggelapan atau manipulasi, transaksi fiktif, kolusi, dan window
dressing di bidang perbankan dan keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Unsur pelaksana dapat menangani lebih dari satu bidang tugas
sepanjang memiliki pengalaman dan/atau keahlian yang
memadai.
13
Huruf a
Sertifikasi kompetensi mengacu pada ketentuan badan
nasional sertifikasi profesi yang mengatur mengenai
pedoman pembentukan lembaga sertifikasi profesi.
Huruf b
Teknologi informasi mengacu pada ketentuan badan
nasional sertifikasi profesi yang mengatur mengenai
pedoman pembentukan lembaga sertifikasi profesi
Huruf c
Manajemen mutu mengacu pada ketentuan badan
nasional sertifikasi profesi yang mengatur mengenai
pedoman pembentukan lembaga sertifikasi profesi.
Huruf d
Administrasi mengacu pada ketentuan badan nasional
sertifikasi profesi yang mengatur mengenai pedoman
pembentukan lembaga sertifikasi profesi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Yang dimaksud dengan โpihak yang akan menjadi LSP SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesiaโ adalah calon LSP SPPUR dan LSP SPPUR
yang akan melakukan penambahan ruang lingkup lisensi untuk
Kegiatan SPPUR yang diselenggarakan.
Huruf a
Rekomendasi dari Bank Indonesia dapat berupa:
a. rekomendasi untuk menjadi LSP SPPUR; atau
b. rekomendasi untuk penambahan ruang lingkup lisensi
Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
14
Huruf b
Pengajuan permohonan pembentukan LSP SPPUR dilakukan
oleh calon LSP SPPUR yang baru didirikan.
Pengajuan permohonan lisensi sebagai LSP SPPUR
dilakukan oleh LSP SPPUR yang akan melakukan
penambahan ruang lingkup lisensi untuk Kegiatan SPPUR
yang akan diselenggarakan.
Yang dimaksud dengan โlembaga yang berwenangโ adalah
lembaga yang berwenang melaksanakan sertifikasi
kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai badan nasional
sertifikasi profesi.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Yang termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di
bidang jasa keuangan yang terkait dengan Kegiatan SPPUR
yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia.
Yang termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank
Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi
Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah
Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia,
Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of
Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market
Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan
Bank-Bank Internasional Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
15
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โtindakan tercelaโ antara lain melakukan
penggelapan atau manipulasi, transaksi fiktif, kolusi, dan window
dressing di bidang perbankan dan keuangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โkomite skema sertifikasi kompetensiโ
adalah komite sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai pedoman
pengembangan dan pemeliharaan skema sertifikasi profesi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Paket kompetensi terdiri atas unit kompetensi dan
parameter.
Yang dimaksud dengan โunit kompetensiโ adalah silabus
materi yang akan diujikan.
Yang dimaksud dengan โparameterโ adalah alat ukur untuk
menilai kompetensi antara lain berupa pengetahuan yang
diperlukan untuk mendukung kompetensi, keterampilan,
dan sikap kerja, pemahaman terhadap peraturan
perundang-undangan, kebijakan, dan prosedur.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Proses Sertifikasi Kompetensi SPPUR antara lain mencakup
pendaftaran, proses asesmen, uji kompetensi, serta
perpanjangan, pembekuan, dan pencabutan sertifikat.
16
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Pengajuan permohonan pembentukan LSP SPPUR dilakukan
oleh calon LSP SPPUR yang baru didirikan.
Huruf b
Pengajuan permohonan lisensi sebagai LSP SPPUR
dilakukan oleh LSP SPPUR yang akan melakukan
penambahan ruang lingkup lisensi untuk Kegiatan SPPUR
yang akan diselenggarakan.
Yang dimaksud dengan โlembaga yang berwenangโ adalah
lembaga yang berwenang melaksanakan sertifikasi kompetensi
kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai badan nasional sertifikasi
profesi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
17
Pasal 44
Ayat (1)
Perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR dilakukan
dalam rangka pengkinian Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek
kelancaran penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek
kelancaran dan keamanan Kegiatan SPPUR, aspek
18
perlindungan konsumen, dan aspek pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Media elektronik antara lain berupa compact disc (CD) dan flash
disk.
Pasal 53
Ayat (1)
Penyampaian laporan secara tertulis dalam bentuk dokumen
cetak dan/atau dokumen digital melalui media elektronik kepada
Bank Indonesia dilakukan dalam hal sistem pelaporan online
belum tersedia atau adanya gangguan sistem dan/atau jaringan
komunikasi di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
19
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek
kelancaran dan keamanan Kegiatan SPPUR, aspek
perlindungan konsumen, dan aspek pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Media elektronik antara lain berupa compact disc (CD) dan flash
disk.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
20
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek
kelancaran penyelenggaraan PBK SPPUR.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Media elektronik antara lain berupa compact disc (CD) dan flash
disk.
Pasal 65
Ayat (1)
Media elektronik antara lain berupa compact disc (CD) dan flash
disk.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
21
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek
kelancaran penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek
kelancaran dan keamanan Kegiatan SPPUR, aspek
perlindungan konsumen, aspek pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme, serta kelancaran
penyelenggaraan PBK SPPUR dan Sertifikasi Kompetensi
SPPUR.
22
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 71
Otoritas terkait antara lain Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โBank dengan kategori Bank Umum
Kegiatan Usaha 4 dan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha
3โ adalah Bank kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 4 dan
Bank Umum Kegiatan Usaha 3 sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti
bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Risiko menengah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan
national risk assessment dan sectoral risk assessment
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem
pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha
penukaran valuta asing bukan bank.
Ayat (4)
Risiko menengah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan
national risk assessment dan sectoral risk assessment
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem
23
pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha
penukaran valuta asing bukan bank.
Pasal 74
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โBank dengan kategori Bank Umum
Kegiatan Usaha 2 dan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha
1โ adalah Bank kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 2 dan
Bank Umum Kegiatan Usaha 1 sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti
bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Risiko rendah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan
national risk assessment dan sectoral risk assessment
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem
pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha
penukaran valuta asing bukan bank.
Ayat (5)
Risiko rendah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan
national risk assessment dan sectoral risk assessment
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem
pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha
penukaran valuta asing bukan bank.
24
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โprinsipalโ adalah prinsipal
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia
mengenai uang elektronik.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โpenyelenggara switchingโ adalah
penyelenggara switching sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โpenerbitโ adalah penerbit
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia
mengenai uang elektronik.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โacquirerโ adalah acquirer
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia
mengenai uang elektronik.
Huruf e
Yang dimaksud dengan โpenyelenggara payment gatewayโ
adalah penyelenggara payment gateway sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โpenyelenggara kliringโ adalah
penyelenggara kliring sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan
25
kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan
ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik.
Huruf g
Yang dimaksud dengan โpenyelenggara penyelesaian akhirโ
adalah penyelenggara penyelesaian akhir sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan
menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia
mengenai uang elektronik.
Huruf h
Yang dimaksud dengan โpenyelenggara dompet elektronikโ
adalah penyelenggara dompet elektronik sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hasil penilaian risiko Indonesia terhadap tindak pidana
pencucian uang dan hasil penilaian risiko Indonesia terhadap
tindak pidana pendanaan terorisme dapat diperoleh pada laman
resmi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Yang dimaksud dengan โlembaga yang berwenangโ yaitu Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Ayat (4)
Hasil penilaian risiko Indonesia terhadap sektor penyelenggara
jasa sistem pembayaran selain bank dan kegiatan usaha
penukaran valuta asing bukan bank dapat diperoleh pada laman
resmi Bank Indonesia.
Pasal 77
Cukup jelas.
26
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 22/3/PADG/2020 </reg_id>
<reg_title> PELAKSANAAN STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH </reg_title>
<set_date> 30 Maret 2020 </set_date>
<effective_date> 30 Maret 2020 </effective_date>
<related_reg> '21/16/PBI/2019' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB II Bagian Kedua Pasal 8', 'BAB II Bagian Ketiga Pasal 12', 'BAB III Bagian Kesatu Paragraf 2 Pasal 21', 'Bab III Bagian Kesatu Paragraf 5 Pasal 27', 'BAB III Bagian Kedua Paragraf 5 Pasal 46', 'Bab IV Pasal 49', 'BAB V Bagian Kesatu Paragraf 2 Pasal 55', 'BAB V Bagian Kedua Paragraf 2 Pasal 61', 'BAB V Bagian Kedua Paragraf 2 Pasal 67', 'BAB VI Pasal 70' </penalty_list>
|
1
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/4/PADG/2018
TENTANG
PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI BANK
INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem
pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal, perlu
menyempurnakan ketentuan mengenai penatausahaan
surat berharga untuk fasilitas likuiditas intrahari;
b. bahwa untuk meningkatkan aspek pelayanan, tata kelola,
dan efektivitas kepesertaan maka perlu menyempurnakan
ketentuan mengenai pihak yang dapat menjadi peserta
dan sub-registry dalam penyelenggaraan Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System;
c. bahwa untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank
Indonesia dalam pelayanan perizinan terpadu dalam
hubungan operasional bagi bank umum maka perlu
menyempurnakan ketentuan mengenai kepesertaan dalam
penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang
Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga Melalui
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga,
dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/14/PBI/2017 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 301, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6169);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA
MELALUI BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES
SETTLEMENT SYSTEM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi
dan penatausahaan surat berharga yang dilakukan secara
elektronik.
2. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang
selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transaksi yang dilakukan
secara elektronik.
3. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik
yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara
individual.
3
4. Sistem Informasi BI-SSSS yang selanjutnya disingkat SI
BI-SSSS adalah sistem yang disediakan oleh Bank
Indonesia bagi sub-registry sebagai sarana pelaporan dan
rekonsiliasi data BI-SSSS terkait penatausahaan
individual nasabah.
5. Penatausahaan adalah kegiatan yang mencakup
pencatatan kepemilikan, kliring, dan setelmen, serta
pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan
pokok/nominal atas hasil transaksi surat berharga dan
hasil transaksi tanpa surat berharga.
6. Transaksi adalah transaksi dengan Bank Indonesia dan
transaksi pasar keuangan.
7. Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang
dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia untuk
kegiatan operasi moneter, operasi moneter syariah,
dan/atau transaksi surat berharga negara untuk dan atas
nama Pemerintah, serta transaksi lainnya yang dilakukan
dengan Bank Indonesia.
8. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi surat
berharga dan transaksi pinjam meminjam antarpeserta
secara konvensional atau yang dipersamakan berdasarkan
prinsip syariah dalam transaksi pasar uang dan/atau
transaksi surat berharga di pasar sekunder.
9. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter
oleh Bank Indonesia dalam rangka pengelolaan moneter
melalui operasi pasar terbuka dan koridor suku bunga
(standing facilities).
10. Operasi Moneter Syariah adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian
moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan
penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah.
11. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat
FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank
Indonesia kepada bank peserta Sistem BI-RTGS baik
secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah
untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama
jam operasional Sistem BI-RTGS.
4
12. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia, Pemerintah, dan/atau lembaga lain,
yang ditatausahakan pada BI-SSSS.
13. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat utang negara dan surat berharga syariah
negara.
14. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang
negara.
15. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai surat berharga syariah negara.
16. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah Surat Berharga dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek.
17. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah Surat Berharga dalam mata uang
rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat
diperdagangkan hanya antarbank.
18. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Surat Berharga berdasarkan
prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang
rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
19. Penyelenggara BI-SSSS yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah Bank Indonesia dalam kedudukan
sebagai pihak yang menyelenggarakan BI-SSSS.
20. Peserta BI-SSSS yang selanjutnya disebut Peserta adalah
pihak yang memenuhi persyaratan dan telah memperoleh
persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta dalam
penyelenggaraan BI-SSSS.
21. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan
fungsi Penatausahaan bagi kepentingan Peserta.
5
22. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Penyelenggara
sebagai Peserta BI-SSSS, untuk melakukan fungsi
Penatausahaan bagi kepentingan nasabah.
23. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
24. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan
efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa
lainnya, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak
lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili
pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
25. Dealer Utama adalah Bank dan/atau perusahaan efek yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai dealer utama.
26. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi
keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening
setelmen dana, rekening surat berharga, dan/atau
rekening lainnya di Bank Indonesia.
27. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan rekening surat berharga dalam rangka
Penatausahaan.
28. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir
transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan
rekening Setelmen Dana.
29. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta dalam
mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang
ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka
pencatatan kepemilikan dan Setelmen atas transaksi
Surat Berharga, Transaksi Dengan Bank Indonesia,
dan/atau Transaksi Pasar Keuangan.
30. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta pada
Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta
asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk
pelaksanaan Setelmen Dana.
6
31. Bank Pembayar adalah peserta Sistem BI-RTGS yang
ditunjuk sebagai pihak untuk melakukan pembayaran
dan penerimaan dana oleh Peserta lain.
32. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang
terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan
pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan
komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung BI-SSSS
yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan BI-
SSSS.
33. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di
luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang
menyebabkan kegiatan operasional BI-SSSS tidak dapat
diselenggarakan yang diakibatkan oleh kebakaran,
kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti
gempa bumi dan banjir, dan/atau sebab lain, yang
dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang
berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia.
34. Fasilitas Guest Bank adalah fasilitas BI-SSSS di lokasi
Penyelenggara dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Dalam Negeri (KPwDN) yang disediakan oleh
Penyelenggara untuk Peserta sebagai cadangan dalam hal
terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat
yang menyebabkan Peserta tidak dapat menggunakan BI-
SSSS di lokasi Peserta.
35. BI-SSSS Central Node yang selanjutnya disebut SCN
adalah sistem di Penyelenggara yang menyediakan fungsi
untuk pelaksanaan kegiatan Penatausahaan dan fungsi
pendukung lain dalam rangka penyelenggaraan BI-SSSS.
36. BI-SSSS Participant Platform yang selanjutnya disebut SPP
adalah BI-SSSS di Peserta yang terhubung dengan SCN,
yang digunakan Peserta untuk melakukan kegiatan terkait
Penatausahaan dan fungsi pendukung lainnya.
37. Digital Certificate adalah suatu sertifikat dalam bentuk file
terproteksi yang memuat identitas pemilik sertifikat, kunci
enkripsi untuk melakukan verifikasi tanda tangan digital
pemilik, dan periode validitas sertifikat, yang dihasilkan
oleh infrastruktur kunci publik Bank Indonesia.
7
BAB II
PENYELENGGARA
Pasal 2
(1) Ruang lingkup penyelenggaraan BI-SSSS meliputi:
a. kepesertaan;
b. operasional; dan
c. kepatuhan Peserta.
(2) Penyelenggaraan BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan
oleh Bank yang baru didirikan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu
terkait hubungan operasional bank umum dengan
Bank Indonesia, disampaikan kepada satuan kerja
yang melaksanakan fungsi
pengawasan
makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran;
b. permohonan untuk menjadi Peserta, perubahan
status kepesertaan menjadi ditutup, dan perubahan
data kepesertaan BI-SSSS, sebagai dampak dari
adanya langkah strategis dan mendasar, serta
penyampaian informasi yang memengaruhi data
Peserta di Bank Indonesia yang diajukan oleh Bank,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan
perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank
umum dengan Bank Indonesia, disampaikan kepada
satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan
makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran;
c. permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan
oleh Bank selain sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan huruf b serta pihak selain Bank, disampaikan
kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi
penyelenggaraan sistem pembayaran;
d. permohonan perubahan data kepesertaan BI-SSSS
selain yang terkait dengan langkah strategis dan
mendasar sebagaimana dimaksud dalam huruf b
8
yang diajukan oleh Bank disampaikan kepada satuan
kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan
sistem pembayaran; dan
e. permohonan perubahan status kepesertaan menjadi
ditutup dan perubahan data kepesertaan BI-SSSS
yang diajukan oleh pihak selain Bank, disampaikan
kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi
penyelenggaraan sistem pembayaran.
(3) Penyelenggaraan BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dan huruf c dilakukan oleh satuan kerja yang
melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran.
Pasal 3
Dalam penyelenggaraan BI-SSSS, Penyelenggara memiliki
tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. menetapkan ketentuan dan prosedur penyelenggaraan BI-
SSSS;
b. menyediakan sarana dan prasarana penyelenggaraan BI-
SSSS;
c. melaksanakan kegiatan operasional BI-SSSS;
d. melakukan upaya untuk menjamin keandalan,
ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan BI-SSSS;
e. melakukan pemantauan kepatuhan Peserta terhadap
ketentuan dan prosedur yang ditetapkan oleh
Penyelenggara; dan
f. melakukan kegiatan Penatausahaan sebagai Central Registry.
Pasal 4
Sarana dan prasarana penyelenggaraan BI-SSSS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b paling sedikit mencakup:
a. perangkat keras (hardware) di Penyelenggara dan aplikasi
SCN (software);
b. satu jaringan komunikasi data (JKD) yang menghubungkan
SPP utama di Peserta dengan SCN di Penyelenggara;
c.
d.
aplikasi SPP dan perubahannya serta pedoman
pengoperasian BI-SSSS;
Fasilitas Guest Bank; dan
e. sarana dan prasarana pendukung lainnya, termasuk SI
BI-SSSS.
9
Pasal 5
(1) Untuk menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan
penyelenggaraan BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf d, Penyelenggara melakukan kegiatan paling
sedikit:
a. melakukan pengelolaan dan pengoperasian SCN;
b. melakukan pengelolaan dan pengoperasian SI BI-
SSSS;
c. menyediakan layanan help desk;
d. memberikan layanan yang berkaitan dengan
kepesertaan dalam BI-SSSS;
e. menetapkan waktu operasional penyelenggaraan BI-
SSSS;
f. menerapkan standar layanan minimum dalam
penyelenggaraan BI-SSSS;
g. menetapkan dan memberlakukan ketentuan dan
prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal
dan/atau Keadaan Darurat;
h. memberikan pelatihan kepada calon Peserta dan
pelatihan secara berkala kepada Peserta; dan
menetapkan status kepesertaan.
i.
(2) Layanan help desk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c ditujukan untuk menangani permasalahan:
a. operasional BI-SSSS; dan/atau
b. JKD BI-SSSS,
yang dihadapi Peserta.
Pasal 6
(1) Kegiatan Penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf f mencakup:
a. melakukan pencatatan penerbitan dan kepemilikan
Surat Berharga atas hasil Setelmen;
b. menyediakan data dan informasi terkait pencatatan
penerbitan dan kepemilikan Surat Berharga;
c. melakukan Setelmen atas transaksi Surat Berharga,
Transaksi Dengan Bank Indonesia, dan Transaksi Pasar
Keuangan di pasar perdana maupun di pasar sekunder;
10
d. melakukan Setelmen atas pengenaan sanksi
administratif berupa kewajiban membayar kepada
peserta Operasi Moneter dan Operasi Moneter Syariah;
e. melakukan pembatalan Setelmen second leg atas
transaksi antar-Peserta di pasar sekunder yang
belum jatuh waktu;
f. melakukan pembatalan Setelmen second leg atas
perpanjangan (roll over) otomatis oleh sistem;
g. melakukan pemblokiran Surat Berharga atas
permintaan lembaga pengawas;
h. melakukan pembayaran kupon/bunga atau imbalan
dan pelunasan pokok/nominal atas Surat Berharga
dan instrumen yang ditatausahakan di BI-SSSS
kepada Peserta pemilik Surat Berharga dan Sub-
Registry; dan
i.
mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta yang
memiliki fungsi sebagai penerbit dalam rangka
melakukan pembayaran kupon/bunga atau imbalan
dan pelunasan pokok/nominal sebagaimana
dimaksud dalam huruf h.
(2) Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dilakukan dengan cara:
a. mendebit atau mengkredit Rekening Setelmen Dana
Peserta atau Bank Pembayar; dan/atau
b. mendebit atau mengkredit Rekening Surat Berharga
Peserta.
(3) Pembatalan Setelmen second leg sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e dilakukan berdasarkan:
a. permintaan salah satu Peserta yang bertransaksi atas
dasar kuasa pembatalan dari Peserta lawan
transaksi;
b. keputusan lembaga pengawas yang berwenang yang
mengakibatkan Setelmen second leg harus
dibatalkan; dan/atau
c. keputusan lembaga arbitrase dan/atau pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yang
mengakibatkan Setelmen second leg harus dibatalkan.
11
(4) Pembatalan Setelmen second leg sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f dilakukan dalam hal:
a. Surat Berharga yang ditransaksikan memasuki batas
waktu Surat Berharga dapat ditransaksikan; dan
b. Peserta tidak melakukan pembatalan Setelmen
second leg.
BAB III
KEPESERTAAN
Bagian Kesatu
Ketentuan Umum Kepesertaan
Pasal 7
(1) Pihak yang dapat menjadi Peserta yaitu:
a. Bank Indonesia;
b. Kementerian Keuangan;
c. Bank;
d.
e. perusahaan efek; dan
f.
lembaga penyimpanan dan penyelesaian;
lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara.
(2) Berdasarkan fungsi Peserta di BI-SSSS, pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibedakan
menjadi:
a. penerbit Surat Berharga;
b. pemilik Surat Berharga di Central Registry;
c. Penatausahaan bagi kepentingan nasabah; dan/atau
d. fungsi lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(3) Berdasarkan penggunaan rekening untuk Setelmen Dana,
pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dibedakan menjadi:
a. Peserta yang memiliki Rekening Setelmen Dana
dalam mata uang rupiah, yang digunakan untuk
pelaksanaan Setelmen Dana dan/atau pembayaran
kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan
Penatausahaan dalam mata uang rupiah;
12
b. Peserta yang memiliki Rekening Setelmen Dana
dalam valuta asing, yang digunakan untuk
pelaksanaan Setelmen Dana dan/atau pembayaran
kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan
Penatausahaan dalam valuta asing; dan/atau
c. Peserta yang tidak memiliki Rekening Setelmen Dana
dalam mata uang rupiah dan/atau dalam valuta
asing, yang pelaksanaan Setelmen Dana dan/atau
pembayaran kewajiban lainnya melalui Bank
Pembayar.
Bagian Kedua
Persyaratan Menjadi Peserta
Pasal 8
(1) Calon Peserta harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari lembaga
yang berwenang;
b. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan;
c. memenuhi persyaratan permodalan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d. telah menjadi peserta dalam Sistem BI-RTGS, untuk
calon Peserta berupa Bank;
e.
direksi calon Peserta telah memperoleh persetujuan
atau dinyatakan lulus dalam penilaian kemampuan
dan kepatutan dari lembaga pengawas yang
berwenang;
f.
memiliki laporan hasil security audit atas sistem
internal calon Peserta dalam 1 (satu) tahun terakhir,
dalam hal calon Peserta akan menghubungkan sistem
internal calon Peserta ke BI-SSSS;
g. menunjuk 1 (satu) Bank Pembayar untuk kebutuhan
pendebitan dan/atau pengkreditan dana dalam mata
uang rupiah, untuk calon Peserta yang bukan peserta
Sistem BI-RTGS;
13
h. menunjuk 1 (satu) Bank Pembayar untuk kebutuhan
pendebitan dan/atau pengkreditan dana dalam
valuta asing, untuk calon Peserta yang akan
melakukan transaksi Surat Berharga dalam valuta
asing; dan
i. menggunakan infrastruktur BI-SSSS sesuai dengan
spesifikasi yang telah ditetapkan Penyelenggara
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Penunjukan Bank Pembayar untuk kebutuhan pendebitan
dan/atau pengkreditan dana dalam mata uang rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, ditujukan
untuk:
a. pembebanan biaya BI-SSSS;
b. pembebanan sanksi administratif kewajiban
membayar atas pelanggaran ketentuan Bank
Indonesia;
c. Setelmen Dana atas transaksi Surat Berharga,
Transaksi Dengan Bank Indonesia, dan Transaksi
Pasar Keuangan; dan
d. penerimaan pembayaran kupon/bunga atau imbalan
dan pelunasan pokok/nominal Surat Berharga pada
saat jatuh waktu.
(3) Penunjukan Bank Pembayar untuk kebutuhan pendebitan
dan/atau pengkreditan dana dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, ditujukan
untuk:
a. pembebanan sanksi administratif kewajiban
membayar atas pelanggaran ketentuan Bank
Indonesia;
b. Setelmen Dana atas transaksi Surat Berharga dalam
valuta asing; dan
c. penerimaan pembayaran kupon/bunga atau imbalan
dan pelunasan pokok/nominal Surat Berharga dalam
valuta asing pada saat jatuh waktu.
14
Pasal 9
(1) Calon Peserta yang menggunakan infrastruktur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf i yang
berada dalam kewenangan pengelolaan pihak lain, harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki perjanjian kerja sama penggunaan
infrastruktur dengan pihak lain yang mengelola
infrastruktur BI-SSSS; dan
b. memiliki surat pernyataan dari pihak lain atas
penggunaan infrastrukturnya oleh calon Peserta yang
bersangkutan.
(2) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a paling sedikit memuat:
a. pengaturan hak dan kewajiban Peserta dan pihak
lain;
b.
tanggung jawab atas kerahasiaan dan/atau
penyalahgunaan data dan informasi;
c. mekanisme pelaksanaan pengiriman instruksi baik
dalam keadaan normal maupun pada saat terjadi
Keadaan Tidak Normal atau Keadaan Darurat di
Peserta atau pihak lain;
d. pengaturan penyelesaian perselisihan antara Peserta
dengan pihak lain;
e. biaya penggunaan infrastruktur yang dikenakan
kepada calon Peserta;
f. pemberian akses kepada Penyelenggara untuk
melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap:
1. sarana fisik;
2. aplikasi pendukung pihak lain yang terkait BI-
SSSS; dan/atau
3. kegiatan operasional pihak lain yang terkait
dengan calon Peserta; dan
g. pernyataan bahwa perjanjian tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan Bank Indonesia.
15
(3) Dalam hal calon Peserta merupakan unit usaha syariah
(UUS) dan/atau unit atau divisi pada Bank yang
melaksanakan fungsi Kustodian dan menggunakan
infrastruktur milik Bank induknya yang menjadi Peserta
maka muatan perjanjian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dituangkan dalam bentuk kebijakan dan prosedur
tertulis internal Bank.
Pasal 10
Calon Peserta yang mengajukan permohonan sebagai Sub-
Registry, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) juga harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. memiliki persetujuan atau izin melakukan kegiatan
Kustodian yang masih berlaku dari lembaga pengawas
yang berwenang;
b. berkedudukan di wilayah hukum Indonesia;
c. memiliki pengalaman dalam kegiatan penatausahaan
Surat Berharga dan/atau dalam kegiatan penyimpanan
Surat Berharga, paling singkat 3 (tiga) tahun sejak
memperoleh izin dari lembaga pengawas yang berwenang;
d. memiliki pengelola dengan pengalaman paling singkat 1
(satu) tahun dalam kegiatan penatausahaan Surat Berharga
dan/atau dalam kegiatan penyimpanan Surat Berharga;
e. memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga yang
terintegrasi dengan dan antarkantor cabang yang dimiliki
di dalam negeri;
f.
memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga tanpa
warkat (scripless) secara book-entry yang aman, akurat,
dan terpercaya;
g. memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga yang
paling sedikit dapat menatausahakan transaksi outright,
repo, dan pengagunan;
h. memiliki pengurus yang tidak termasuk dalam daftar
kredit macet dan daftar hitam nasional pada saat
mengajukan permohonan, bagi pengurus calon Sub-
Registry selain Bank;
16
i.
j.
memiliki unit kerja terpisah yang khusus menangani
kegiatan Kustodian;
mencatat dan/atau menyimpan Surat Berharga dengan
nilai nominal rata-rata bulanan paling sedikit telah
mencapai Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah)
dalam 6 (enam) bulan terakhir; dan
k. memiliki fasilitas jaringan usaha pencatatan dan/atau
penyimpanan Surat Berharga yang terintegrasi dengan
dan antarkantor cabang yang dimiliki di dalam negeri.
Pasal 11
(1) Calon Peserta yang mengajukan permohonan sebagai Sub-
Registry dan akan menerima pengalihan aset dan
kewajiban dari Peserta lain yang telah mendapatkan
persetujuan sebagai Sub-Registry, selain memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki persetujuan atau izin melakukan kegiatan
Kustodian yang masih berlaku dari lembaga
pengawas yang berwenang;
b. berkedudukan di wilayah hukum Indonesia;
c. memiliki pengelola dengan pengalaman paling singkat
1 (satu) tahun dalam kegiatan penatausahaan Surat
Berharga dan/atau dalam kegiatan penyimpanan
Surat Berharga;
d. memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga yang
terintegrasi dengan dan antarkantor cabang yang
dimiliki di dalam negeri;
e. memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga
tanpa warkat (scripless) secara book-entry yang aman,
akurat, dan terpercaya;
f.
memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga yang
paling sedikit dapat menatausahakan transaksi
outright, repo, dan pengagunan (pledge);
g. memiliki pengurus yang tidak termasuk dalam daftar
kredit macet dan daftar hitam nasional pada saat
mengajukan permohonan, bagi pengurus calon Sub-
Registry selain Bank;
17
h. memiliki unit kerja terpisah yang khusus menangani
kegiatan Kustodian;
i. menerima pengalihan pencatatan
dan/atau
penyimpanan Surat Berharga yang ditatausahakan di
BI-SSSS dari Peserta lain yang telah mendapatkan
persetujuan sebagai Sub-Registry, paling sedikit
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah); dan
j. memiliki fasilitas jaringan usaha pencatatan
dan/atau penyimpanan Surat Berharga yang
terintegrasi dengan dan antarkantor cabang yang
dimiliki di dalam negeri.
(2) Dalam hal terjadi pengalihan aset dan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka status
kepesertaan Sub-Registry dari Peserta yang mengalihkan
aset dan kewajiban menjadi ditutup.
Pasal 12
(1) Kepesertaan sebagai Sub-Registry harus terpisah dari
kepesertaan dengan fungsi yang lain.
(2) Dalam hal calon Peserta merupakan Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
sekaligus melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah dalam bentuk UUS maka kepesertaan
dalam penyelenggaraan BI-SSSS untuk kegiatan usaha
secara konvensional harus terpisah dari kepesertaan
untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Bagian Ketiga
Prosedur Menjadi Peserta
Pasal 13
(1) Penyelenggara memberikan persetujuan kepesertaan
dalam penyelenggaraan BI-SSSS.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui 2 (dua) tahapan sebagai berikut:
a. persetujuan prinsip; dan
b. persetujuan operasional.
18
Pasal 14
(1) Calon Peserta mengajukan permohonan tertulis untuk
menjadi Peserta kepada Penyelenggara.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.A yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
b. ditandatangani oleh pimpinan calon Peserta atau
pihak yang berwenang bertindak mewakili untuk dan
atas nama Bank atau lembaga/instansi calon Peserta
tersebut;
c.
ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat calon Peserta berkedudukan di
wilayah kerja KPwDN; dan
d. dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan
oleh Penyelenggara.
(3) Dalam hal calon Peserta merupakan UUS dan/atau unit
atau divisi pada Bank yang melaksanakan fungsi
Kustodian maka dalam surat permohonan dijelaskan
bahwa permohonan tersebut diajukan oleh Bank dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.A.
(4) Dalam hal calon Peserta merupakan peserta Sistem BI-
RTGS, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d yang telah disampaikan kepada penyelenggara
Sistem BI-RTGS, tidak perlu disampaikan kembali kepada
Penyelenggara sepanjang tidak terdapat perubahan.
(5) Dalam hal diperlukan, calon Peserta harus
memperlihatkan dokumen asli atas dokumen yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d kepada Penyelenggara.
Pasal 15
Persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) huruf d terdiri atas:
19
a. data kepesertaan dari calon Peserta dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
b. fotokopi persetujuan, izin usaha, atau izin kegiatan usaha
yang masih berlaku dari lembaga berwenang yang telah
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah
dinyatakan sesuai aslinya oleh pimpinan calon Peserta;
c.
fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahan
terakhir apabila ada, yang mencantumkan mengenai
nama dan struktur pengurus dari calon Peserta;
d. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta yang
menyatakan bahwa calon Peserta tidak sedang dalam
proses likuidasi atau kepailitan;
e.
fotokopi surat dari lembaga pengawas yang berwenang
mengenai:
1. keputusan hasil
penilaian kemampuan dan
kepatutan pimpinan calon Peserta, untuk calon
Peserta berupa Bank; atau
2. susunan pimpinan calon Peserta yang tercatat pada
tata usaha lembaga yang berwenang, untuk calon
Peserta selain Bank;
f.
surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta bahwa calon
Peserta telah memenuhi permodalan sesuai dengan
ketentuan yang mengatur mengenai pemenuhan
permodalan;
g. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta yang
memuat mengenai kesiapan infrastruktur dan informasi
spesifikasi infrastruktur dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.C yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
h. surat permohonan dari pimpinan calon Peserta untuk
mendapatkan connected user dan Digital Certificate dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.D yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan
20
i.
laporan hasil security audit atas sistem internal calon
Peserta yang dilakukan oleh auditor internal atau auditor
independen, dalam hal sistem internal calon Peserta akan
terhubung dengan BI-SSSS.
Pasal 16
Apabila dalam penyelenggaraan BI-SSSS calon Peserta
menggunakan infrastruktur yang pengelolaannya berada
dalam kewenangan pihak lain maka selain dilengkapi dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf
d, permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) harus dilengkapi dokumen tambahan berupa:
a. surat pernyataan dari pihak lain yang mengelola
infrastruktur untuk calon Peserta sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.E yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
dan
b. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta bahwa calon
Peserta telah memiliki perjanjian kerja sama penggunaan
infrastruktur BI-SSSS yang dikelola oleh pihak lain
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.F yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 17
(1) Calon Peserta yang mengajukan permohonan sebagai Sub-
Registry sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, selain
melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15, juga harus melengkapi dokumen sebagai berikut:
a.
fotokopi surat persetujuan atau izin usaha sebagai
Kustodian yang masih berlaku dari lembaga yang
berwenang;
b. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub-
Registry yang menyatakan bahwa pengelola calon
Peserta Sub-Registry memiliki pengalaman paling
singkat 1 (satu) tahun dalam kegiatan penatausahaan
Surat Berharga dan/atau dalam kegiatan
penyimpanan Surat Berharga;
21
c. surat keterangan dari pimpinan calon Peserta Sub-
Registry mengenai sistem penatausahaan Surat
Berharga dan fasilitas jaringan usaha pencatatan
dan/atau penyimpanan Surat Berharga yang
terintegrasi antarkantor yang dimiliki di dalam negeri;
d. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub-
Registry yang menyatakan bahwa calon Peserta Sub-
Registry memiliki sistem penatausahaan Surat
Berharga tanpa warkat (scripless) yang aman dan
akurat;
e. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub-
Registry yang menyatakan bahwa calon Peserta Sub-
Registry memiliki sistem penatausahaan Surat
Berharga yang paling sedikit dapat menatausahakan
transaksi outright, repo, dan pengagunan (pledge);
f.
surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub-
Registry bahwa calon pengurus Sub-Registry tidak
termasuk dalam daftar kredit macet dan tidak
tercantum dalam daftar hitam nasional; dan
g. data mengenai jumlah dan nilai nominal pencatatan
dan/atau penyimpanan Surat Berharga dalam 6
(enam) bulan terakhir.
(2) Calon Peserta yang mengajukan permohonan sebagai Sub-
Registry yang menerima pengalihan aset dan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), selain
melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15, juga harus melengkapi dokumen sebagai berikut:
a.
fotokopi surat persetujuan atau izin melakukan
kegiatan Kustodian yang masih berlaku dari lembaga
yang berwenang;
b. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub-
Registry yang menyatakan bahwa pengelola calon
Peserta Sub-Registry memiliki pengalaman paling
singkat 1 (satu) tahun dalam kegiatan penatausahaan
Surat Berharga dan/atau dalam kegiatan
penyimpanan Surat Berharga;
22
c. surat keterangan dari pimpinan calon Peserta Sub-
Registry mengenai sistem penatausahaan Surat
Berharga yang terintegrasi dengan dan antarkantor
cabang yang dimiliki di dalam negeri;
d. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub-
Registry yang menyatakan bahwa calon Peserta Sub-
Registry memiliki sistem penatausahaan Surat
Berharga tanpa warkat (scripless) yang aman dan
akurat;
e. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub-
Registry yang menyatakan bahwa calon Peserta Sub-
Registry memiliki sistem penatausahaan Surat
Berharga yang paling sedikit dapat menatausahakan
transaksi outright, repo, dan pengagunan (pledge);
f.
surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub-
Registry bahwa calon pengurus Sub-Registry tidak
termasuk dalam daftar kredit macet dan tidak
tercantum dalam daftar hitam nasional;
g. surat pernyataan mengenai jumlah dan nilai nominal
pencatatan dan/atau penyimpanan Surat Berharga
dari
mendapatkan persetujuan sebagai Sub-Registry, yang
dilengkapi dengan bukti pencatatan posisi terakhir di
BI-SSSS; dan
h. surat keterangan mengenai fasilitas jaringan usaha
pencatatan dan/atau penyimpanan Surat Berharga
yang terintegrasi dengan dan antarkantor cabang
yang dimiliki di dalam negeri.
Pasal 18
(1) Penyelenggara melakukan penelitian
administratif
mengenai pemenuhan persyaratan yang disampaikan oleh
calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2), Pasal 16, dan Pasal 17.
Peserta lain yang sebelumnya telah
23
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditemukan bahwa
dokumen yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak
sesuai, Penyelenggara meminta calon Peserta untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan dari Penyelenggara.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) calon Peserta belum
menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi, calon
Peserta dianggap membatalkan permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(4) Penyelenggara berwenang melakukan pemeriksaan ke
lokasi calon Peserta untuk memastikan kesiapan
operasional BI-SSSS dari calon Peserta.
Pasal 19
(1) Penyelenggara memberikan persetujuan prinsip atau
penolakan atas permohonan tertulis yang diajukan oleh
calon Peserta sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat
(1).
(2) Persetujuan prinsip atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 21 (dua
puluh satu) hari kerja terhitung sejak permohonan dan
dokumen pendukung diterima secara lengkap oleh
Penyelenggara.
Pasal 20
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1) memuat paling sedikit hal sebagai berikut:
a. persetujuan menjadi Peserta;
b. nama dan participant code;
c. kegiatan yang harus dilakukan oleh calon Peserta
paling sedikit berupa:
1. pelatihan;
2.
instalasi; dan
24
3. penandatanganan perjanjian penggunaan BI-
SSSS; dan
d. kelengkapan dokumen administrasi oleh calon
Peserta untuk pelaksanaan kegiatan operasional.
(2) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi calon Peserta Sub-Registry juga memuat informasi
mengenai pengambilan administrator user dan password
SI BI-SSSS serta pelatihan penggunaan SI BI-SSSS.
Pasal 21
(1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1), calon Peserta menyampaikan
kelengkapan dokumen administrasi untuk pelaksanaan
kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (1) huruf d kepada Penyelenggara.
(2) Kelengkapan dokumen administrasi untuk pelaksanaan
kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. surat pemberitahuan mengenai nama dan jabatan
pimpinan yang akan melakukan penandatanganan
perjanjian penggunaan BI-SSSS dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.G yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
b. surat kuasa dari pimpinan dalam hal
penandatanganan perjanjian akan dilakukan oleh
pejabat selain pimpinan, dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum pada dalam Lampiran
II.H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
c. surat pemberitahuan kewenangan pimpinan terkait
dengan kepesertaan dan operasional BI-SSSS,
dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini;
25
d. surat kuasa terkait dengan kepesertaan dan
operasional BI-SSSS;
e. surat permohonan dari pimpinan atau pejabat
penerima kuasa untuk membuat spesimen tanda
tangan bagi:
1. pimpinan atau pejabat yang berwenang; atau
2. pejabat yang diberi kuasa untuk melakukan
kegiatan terkait kepesertaan dan operasional BI-
SSSS,
dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.J yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini;
f.
surat mengenai penambahan kewenangan pemilik
spesimen tanda tangan di Sistem BI-RTGS dengan
kewenangan dalam operasional BI-SSSS kepada
Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.K yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini, dalam hal kewenangan operasional BI-SSSS juga
akan diberikan kepada pemilik spesimen tanda
tangan di sistem BI-RTGS;
g. surat penunjukan Bank Pembayar yang ditandatangani
oleh pimpinan atau pejabat yang berwenang dari calon
Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di
Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam Lampiran
II.L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dilengkapi
dengan surat konfirmasi dari Bank Pembayar
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.M yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
h. surat permintaan akses ke SI BI-SSSS yang
ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang
berwenang dari calon Peserta yang memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara, dalam hal calon
Peserta merupakan Sub-Registry.
26
Pasal 22
Surat kuasa terkait dengan kepesertaan dan operasional BI-
SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d
diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pimpinan dapat memberi surat kuasa tanpa hak
substitusi atau dengan 1 (satu) kali hak substitusi dengan
menggunakan format surat kuasa sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.N yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
b. surat kuasa berlaku untuk 1 (satu) kantor Bank Indonesia;
c. surat kuasa dibuat untuk melakukan kegiatan sebagai
berikut:
1. penandatanganan surat menyurat, laporan,
dan/atau dokumen lain, baik dokumen tertulis
maupun dokumen elektronik, yang terkait dengan
kepesertaan dan operasional dalam BI-SSSS;
2. pengelolaan connected user, digital certificate hard
token, dan/atau digital certificate soft token;
3. penyerahan dan/atau pengambilan surat, laporan,
dan dokumen lain, baik dokumen tertulis maupun
dokumen elektronik, yang terkait dengan kepesertaan
dan operasional dalam BI-SSSS; dan/atau
4. penyerahan dan/atau pengambilan connected user,
digital certificate hard token, dan/atau digital
certificate soft token;
d. pimpinan atau pejabat penerima kuasa dengan 1 (satu)
kali hak substitusi dapat memberikan kuasa tanpa hak
substitusi kepada petugas di kantor pusat atau kantor
cabang calon Peserta hanya untuk melakukan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3;
e.
jumlah pejabat penerima kuasa untuk melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf d paling
banyak 10 (sepuluh) orang;
f.
kegiatan yang dikuasakan dalam surat kuasa
sebagaimana dimaksud dalam huruf c dapat dituangkan
dalam 1 (satu) atau lebih surat kuasa sesuai dengan
kebutuhan calon Peserta; dan
27
g. surat kuasa harus disertai dengan fotokopi identitas diri
yang masih berlaku dari penerima kuasa.
Pasal 23
(1) Berdasarkan dokumen administrasi yang disampaikan
calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(1) huruf d, Penyelenggara menyampaikan surat yang
menginformasikan mengenai hal terkait dengan:
a. penandatanganan perjanjian penggunaan BI-SSSS;
b. pembuatan spesimen tanda tangan pimpinan dan
pejabat atau petugas penerima kuasa dari pimpinan;
c. pengambilan Digital Certificate;
d. waktu pelatihan penggunaan BI-SSSS; dan
e. waktu pemasangan JKD.
(2) Berdasarkan pemberitahuan dari Penyelenggara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon Peserta harus
melakukan hal sebagai berikut:
a. menandatangani perjanjian penggunaan BI-SSSS
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
b. mengambil dokumen connected user, digital certificate
hard token, dan/atau digital certificate soft token yang
pelaksanaannya dilakukan oleh pimpinan atau
pejabat berwenang mewakili calon Peserta yang
memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara;
c. mengikutsertakan petugas yang akan menangani
teknis operasional pada calon Peserta dalam pelatihan
teknis dan operasional penggunaan BI-SSSS; dan
d. melakukan uji koneksi BI-SSSS calon Peserta
bersama dengan Penyelenggara atas SPP yang telah
diinstalasi oleh Penyelenggara.
(3) Pemenuhan kelengkapan dokumen administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d
dan pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan calon Peserta paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja sejak tanggal surat persetujuan prinsip
dari Penyelenggara.
28
(4) Dalam hal calon Peserta tidak memenuhi kelengkapan
dokumen administrasi atau tidak melaksanakan kegiatan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
maka:
a. persetujuan prinsip yang telah diterbitkan menjadi
tidak berlaku dan calon Peserta dinyatakan telah
membatalkan permohonan; dan
b. calon Peserta wajib mengembalikan aplikasi SPP,
buku pedoman pengoperasian BI-SSSS, administrator
user, connected user, dan Digital Certificate kepada
Penyelenggara paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
persetujuan tidak berlaku.
Pasal 24
(1) Penyelenggara memberitahukan secara tertulis mengenai
persetujuan operasional keikutsertaan sebagai Peserta
dan tanggal efektif operasional, paling lama 14 (empat
belas) hari kerja setelah calon Peserta melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2).
(2) Persetujuan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan kepada:
a. calon Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan
b. seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya.
Bagian Keempat
Perubahan Data Kepesertaan
Paragraf 1
Prinsip Umum
Pasal 25
(1) Peserta harus menyampaikan permohonan secara tertulis
kepada Penyelenggara terkait dengan perubahan data
kepesertaan meliputi perubahan:
a. participant code;
b. nama peserta;
29
c. kegiatan usaha;
d. lokasi SPP dan/atau pemindahan JKD;
e. Bank Pembayar;
f. perubahan spesimen tanda tangan pimpinan;
g. perubahan kuasa; dan/atau
h. penggunaan infrastruktur.
(2) Peserta harus menyampaikan informasi secara tertulis
kepada Penyelenggara terkait dengan perubahan data
kepesertaan meliputi perubahan:
a. data pimpinan; dan/atau
b. alamat kantor.
(3) Permohonan secara tertulis mengenai perubahan data
kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penyampaian informasi secara tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang
telah memiliki spesimen tanda tangan di
Penyelenggara; dan
b. disampaikan ke Penyelenggara dengan tembusan
kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN.
Paragraf 2
Perubahan Participant Code
Pasal 26
Perubahan participant code dapat disebabkan oleh:
a. Peserta yang bukan merupakan anggota Society for
Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)
berubah menjadi anggota SWIFT; atau
b. adanya perubahan SWIFT Bank Identifier Code (BIC) dari
Peserta.
Pasal 27
(1) Perubahan participant code sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan dan
prosedur sebagai berikut:
30
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan
participant code secara tertulis, yang dilengkapi
dengan dokumen berupa:
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B; dan
2. dokumen yang menunjukkan sebagai anggota
SWIFT atau adanya perubahan SWIFT BIC dari
Peserta; dan
b. pengajuan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3).
(2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan participant code melalui surat yang
penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile
kepada Peserta yang bersangkutan, paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak permohonan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Penyelenggara
secara lengkap.
Pasal 28
(1) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2) memuat paling sedikit:
a. nama Peserta;
b. participant code yang baru; dan
c. permintaan agar Peserta memenuhi kelengkapan
dokumen untuk permintaan connected user dan
Digital Certificate untuk participant code baru.
(2) Peserta harus memenuhi kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dengan
menyampaikan surat kepada Penyelenggara yang memuat
informasi:
a. nama Peserta;
b. participant code baru; dan
c.
certificate signing request (CSR) yang dihasilkan dan
disimpan di media compact disc (CD) yang bersifat
read-only, dalam hal Peserta menggunakan aplikasi
BI-SSSS straight-through processing gateway (SSTPG).
31
(3) Berdasarkan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara memberitahukan:
a. tanggal efektif perubahan participant code, nama
connected user, dan Digital Certificate baru kepada
Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan
b. tanggal efektif perubahan participant code kepada
seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lain.
(4) Peserta harus mengembalikan digital certificate hard token
lama, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak Peserta
menerima surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Paragraf 3
Perubahan Nama Peserta
Pasal 29
(1) Perubahan nama Peserta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan dan
prosedur sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan nama
Peserta dalam BI-SSSS secara tertulis yang
dilengkapi dokumen pendukung sebagai berikut:
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B dengan menggunakan nama yang
tercantum dalam perubahan anggaran dasar
yang telah disetujui oleh lembaga yang
berwenang;
2. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan
sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara;
3. fotokopi dokumen sebagaimana dimaksud pada
angka 2 terdiri atas:
a) akta perubahan anggaran dasar untuk
badan hukum Indonesia;
b) surat persetujuan perubahan anggaran
dasar dari lembaga yang berwenang; dan
32
c) surat keputusan dari lembaga yang
berwenang tentang perubahan nama, dalam
hal Peserta adalah Bank; dan
4. dalam hal Peserta merupakan Bank yang
berkantor pusat berkedudukan di luar negeri,
menyampaikan fotokopi dokumen sebagaimana
dimaksud pada angka 3 huruf c); dan
b. pengajuan permohonan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (3).
(2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan nama melalui surat yang dapat
didahului dengan faksimile, kepada Peserta yang
bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
(3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan nama Peserta dalam BI-SSSS, Penyelenggara
memberitahukan kepada:
a. Peserta yang bersangkutan mengenai persetujuan
dan tanggal efektif perubahan nama Peserta; dan
b. seluruh Peserta mengenai perubahan nama Peserta
melalui administrative message atau sarana lain.
Paragraf 4
Perubahan Kegiatan Usaha
Pasal 30
(1) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c meliputi
perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional
menjadi bank umum syariah (BUS).
(2) Dalam hal Peserta melakukan perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta harus
melakukan perubahan data kepesertaan, berupa:
a. kegiatan usaha Peserta;
33
b. nama Peserta; dan/atau
c. participant code.
Pasal 31
(1) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan dengan ketentuan
dan prosedur sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan
kegiatan usaha Peserta dalam BI-SSSS secara tertulis
yang dilengkapi dengan fotokopi dokumen
pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang
berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh
pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan
di Penyelenggara;
b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
huruf a berupa:
1. akta perubahan anggaran dasar;
2. surat persetujuan perubahan anggaran dasar
dari lembaga yang berwenang; dan
3. surat keputusan dari lembaga yang berwenang
mengenai izin perubahan kegiatan usaha Peserta
dari bank umum konvensional menjadi bank
umum syariah; dan
c. pengajuan permohonan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam huruf a harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1. menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.O yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
2. dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3).
(2) Dalam hal perubahan kegiatan usaha berdampak pada
perubahan participant code maka Peserta harus
mengajukan permohonan perubahan participant code
dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28.
34
(3) Penyelenggara
menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan kegiatan usaha Peserta dalam BI-
SSSS melalui surat, yang dapat didahului dengan
faksimile, kepada Peserta yang bersangkutan paling lama
14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan dan
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
(4) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan kegiatan usaha Peserta dalam BI-SSSS,
Penyelenggara memberitahukan kepada:
a. Peserta yang bersangkutan mengenai persetujuan
dan tanggal efektif perubahan kegiatan usaha
Peserta; dan
b. seluruh Peserta mengenai perubahan kegiatan usaha
Peserta melalui administrative message atau sarana
lain.
Paragraf 5
Perubahan Lokasi SPP dan/atau JKD Peserta
Pasal 32
(1) Perubahan lokasi SPP dan/atau pemindahan JKD Peserta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf d
dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai
berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Penyelenggara mengenai perubahan lokasi
SPP utama, SPP cadangan, dan/atau pemindahan
JKD yang dilengkapi dengan formulir data
kepesertaan dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.B; dan
b. penyampaian permohonan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (3).
35
(2) Penyelenggara
menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan,
dan/atau pemindahan JKD melalui surat, yang dapat
didahului dengan faksimile, kepada Peserta yang
bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
surat permohonan dan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
(3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memuat hal sebagai berikut:
a. perubahan lokasi SPP utama dan/atau SPP cadangan
Peserta telah dicatat dalam tata usaha Penyelenggara;
b. pelaksanaan pemindahan JKD; dan
c. kegiatan yang harus dilakukan oleh Peserta terkait
dengan perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan,
dan/atau JKD.
Paragraf 6
Perubahan Bank Pembayar
Pasal 33
(1) Perubahan Bank Pembayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1) huruf e dilakukan dengan ketentuan dan
prosedur sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan Bank
Pembayar secara tertulis yang dilengkapi dengan
dokumen pendukung sebagai berikut:
1. surat penunjukan Bank Pembayar sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.L; dan
2. surat konfirmasi Bank Pembayar sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.M; dan
b. pengajuan permohonan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (3).
36
(2) Penyelenggara
menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan Bank Pembayar melalui surat, yang
dapat didahului dengan faksimile, kepada Peserta paling
lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan
dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
(3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan
Bank Pembayar,
Penyelenggara
menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang
memuat informasi tanggal efektif perubahan Bank
Pembayar.
Paragraf 7
Perubahan Spesimen Tanda Tangan Pimpinan
Pasal 34
(1) Perubahan spesimen tanda tangan pimpinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf f dilakukan
dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan permohonan kepada
Penyelenggara secara tertulis mengenai perubahan
spesimen tanda tangan pimpinan sehubungan
dengan adanya perubahan nama, kewenangan,
dan/atau jabatan pimpinan yang dilengkapi dengan
dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai
asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.P yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3); dan
37
3. dalam hal seluruh pimpinan dan pejabat yang
berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara mengalami
perubahan dan/atau penggantian maka
permohonan tertulis mengenai perubahan
spesimen tanda tangan diajukan oleh pimpinan
yang baru;
c. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terdiri atas:
1. fotokopi perubahan anggaran dasar mengenai
pengangkatan pimpinan, bagi Peserta yang
berbadan hukum Indonesia;
2. fotokopi bukti identitas diri pimpinan, berupa:
a) Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat
Izin Mengemudi (SIM) atau paspor, bagi
Warga Negara Indonesia (WNI); atau
b) paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara
(KITAS), dan surat izin kerja dari lembaga
berwenang, bagi Warga Negara Asing (WNA),
yang masih berlaku; dan
d. pembuatan spesimen tanda tangan dilakukan setelah
permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam huruf c telah diterima secara
lengkap oleh Penyelenggara.
(2) Dalam hal perubahan spesimen tanda tangan pimpinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh
penggantian dan/atau penambahan pimpinan baru, selain
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, Peserta juga harus melengkapi dokumen
tambahan berupa:
a.
fotokopi surat dari lembaga yang berwenang
mengenai:
1. susunan pimpinan Peserta yang tercatat pada
tata usaha lembaga yang berwenang; atau
2. persetujuan penilaian kemampuan dan kepatutan
dari lembaga pengawas yang berwenang;
38
b. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor
pusat Bank yang berkedudukan di luar negeri kepada
pimpinan kantor cabang berikut terjemahannya
dalam bahasa Indonesia yang dibuat oleh penerjemah
tersumpah, bagi kantor cabang Bank yang kantor
pusatnya berkedudukan di luar negeri; dan
c.
fotokopi struktur organisasi yang masih berlaku, bagi
kantor cabang Bank yang kantor pusatnya
berkedudukan di luar negeri.
(3) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) harus membuat spesimen tanda tangan di hadapan
pejabat Penyelenggara atau pejabat KPwDN.
(4) Dalam hal pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah memiliki spesimen tanda tangan di Sistem BI-RTGS,
Peserta dapat meminta penambahan kewenangan
pimpinan pemilik spesimen tanda tangan di Sistem BI-
RTGS dengan kewenangan dalam operasional BI-SSSS
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.K.
(5) Dalam hal perubahan spesimen tanda tangan pimpinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh
perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan
pimpinan dari pimpinan yang telah memiliki spesimen
tanda tangan, selain dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Peserta juga dapat menyampaikan
surat pernyataan tetap diberlakukannya spesimen tanda
tangan pimpinan, dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.R yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 35
(1) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai perubahan spesimen tanda tangan pimpinan
kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
permohonan tertulis dan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 diterima secara lengkap oleh Penyelenggara.
39
(2) Pemberitahuan perubahan spesimen tanda tangan
pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
informasi sebagai berikut:
a. pembuatan spesimen tanda tangan bagi pimpinan
baru; dan
b. tanggal efektif pencabutan kewenangan pimpinan
dalam hal terdapat perubahan kewenangan
pimpinan.
(3) Spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berlaku efektif sejak pemberitahuan dari Penyelenggara
mengenai tanggal efektif berlakunya spesimen tanda
tangan atau paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal
pembuatan spesimen tanda tangan.
(4) Dalam hal Peserta tidak mengajukan permohonan
perubahan spesimen tanda tangan pimpinan kepada
Penyelenggara, spesimen tanda tangan pimpinan yang
telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih
berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh
pimpinan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab
Peserta.
(5) Dalam hal
pencabutan kewenangan pimpinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b belum
berlaku efektif, spesimen tanda tangan pimpinan yang
telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih
berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh
pimpinan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta.
Paragraf 8
Perubahan Kuasa
Pasal 36
(1) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (1) huruf g dilakukan untuk penambahan,
pergantian, dan/atau pencabutan kuasa pejabat
dan/atau petugas.
40
(2) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan pemberian
kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(3) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan kuasa
secara tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3);
b. selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, permohonan tertulis juga harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. dalam hal terdapat penambahan dan/atau
pergantian kuasa pejabat dan/atau petugas
serta permintaan pembuatan spesimen tanda
tangan, permohonan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.S
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
2. dalam hal terdapat pencabutan seluruh atau
sebagian kuasa kepada pejabat penerima kuasa
dan/atau petugas penerima kuasa, permohonan
juga dilampiri dengan surat pernyataan
pencabutan kuasa dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.T
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan
(4) Penyelenggara
3. dalam hal terdapat perubahan kewenangan
dalam surat kuasa yang diberikan kepada
pejabat penerima kuasa dan/atau petugas
penerima kuasa, Peserta harus menyampaikan
surat permohonan yang dilampiri dengan surat
kuasa yang baru dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.N.
menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan kuasa melalui surat, kepada Peserta
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan
dan dokumen diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
41
(5) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan kuasa, Penyelenggara menyampaikan surat
persetujuan kepada Peserta yang memuat informasi
tanggal efektif perubahan kuasa pejabat dan/atau
petugas.
(6) Peserta yang tidak mengajukan permohonan perubahan
kuasa pejabat dan/atau petugas kepada Penyelenggara
maka data yang telah ditatausahakan di Penyelenggara
dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang
dilakukan Pejabat penerima kuasa dan/atau petugas
penerima kuasa tersebut sepenuhnya menjadi tanggung
jawab Peserta.
Paragraf 9
Perubahan Penggunaan Infrastruktur
Pasal 37
Perubahaan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) huruf h meliputi:
a. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola sendiri
menjadi penggunaan infrastruktur yang dikelola pihak
lain;
b. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh
pihak lain menjadi penggunaan infrastruktur yang
dikelola sendiri; atau
c. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh
pihak lain yang berbeda.
Pasal 38
(1) Perubahan penggunaan infrastruktur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 dilakukan dengan ketentuan
dan prosedur sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan
penggunaan infrastruktur secara tertulis yang
dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai
berikut:
42
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B;
2. surat pernyataan
dari pimpinan yang
menyatakan kesiapan infrastruktur dan memuat
informasi spesifikasi infrastruktur sesuai
dengan
yang telah ditetapkan oleh
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 huruf g; dan
3. dalam hal Peserta menggunakan infrastruktur
yang dikelola pihak lain maka selain
melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud
pada angka 1 dan angka 2, Peserta juga harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16; dan
b. pengajuan permohonan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (3).
(2) Dalam hal diperlukan, Penyelenggara dapat melakukan
pemeriksaan ke lokasi infrastruktur yang akan digunakan
Peserta.
(3) Penyelenggara
menyampaikan persetujuan atau
penolakan perubahan penggunaan infrastruktur melalui
surat, yang dapat didahului dengan faksimile, kepada
Peserta paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
surat permohonan dan dokumen pendukung diterima oleh
Penyelenggara secara lengkap.
(4) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan penggunaan infrastruktur, Penyelenggara
menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang
memuat informasi tanggal efektif perubahan penggunaan
infrastruktur Peserta.
43
Paragraf 10
Perubahan Data Pimpinan
Pasal 39
Perubahan data pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (2) huruf a dilakukan dengan ketentuan dan prosedur
sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan informasi kepada Penyelenggara
secara tertulis mengenai perubahan nama, kewenangan,
dan/atau jabatan pimpinan yang dilengkapi dengan
dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh
pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di
Penyelenggara;
b. penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam
huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.Q yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini; dan
2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3);
c. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf
a terdiri atas:
1. fotokopi perubahan anggaran dasar mengenai
pengangkatan pimpinan, bagi Peserta yang berbadan
hukum Indonesia;
2.
fotokopi bukti identitas diri pimpinan, berupa:
a) Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat Izin
Mengemudi (SIM) atau paspor, bagi Warga
Negara Indonesia (WNI); atau
b) paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara
(KITAS), dan surat izin kerja dari lembaga yang
berwenang, bagi Warga Negara Asing (WNA),
yang masih berlaku;
44
d. dalam hal perubahan data pimpinan disebabkan oleh
penggantian dan/atau penambahan pimpinan baru, selain
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada huruf c,
Peserta juga harus melengkapi dokumen tambahan berupa:
1.
fotokopi surat dari lembaga yang berwenang mengenai:
a) susunan pimpinan Peserta yang tercatat pada
tata usaha lembaga yang berwenang; atau
b) persetujuan penilaian kemampuan dan kepatutan
dari lembaga pengawas yang berwenang;
2.
fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor
pusat Bank yang berkedudukan di luar negeri kepada
pimpinan kantor cabang berikut terjemahannya
dalam bahasa Indonesia yang dibuat oleh penerjemah
tersumpah, bagi kantor cabang Bank yang kantor
pusatnya berkedudukan di luar negeri; dan
3.
fotokopi struktur organisasi yang masih berlaku, bagi
kantor cabang Bank yang kantor pusatnya
berkedudukan di luar negeri; dan
e. dalam hal perubahan data pimpinan mengakibatkan
perubahan spesimen tanda tangan pimpinan, dokumen
sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d
disampaikan pada saat pengajuan permohonan
perubahan spesimen tanda tangan pimpinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34.
Paragraf 11
Perubahan Alamat Kantor Peserta
Pasal 40
(1) Perubahan alamat kantor Peserta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b dilakukan dengan
ketentuan dan prosedur sebagai berikut:
a. Peserta
menyampaikan informasi
kepada
Penyelenggara secara tertulis mengenai perubahan
alamat kantor pusat Peserta dan alamat kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
yang dilengkapi dengan dokumen pendukung;
45
b. penyampaian informasi sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3);
c. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terdiri atas:
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B; dan
2. fotokopi surat persetujuan atau penerimaan
pemberitahuan perubahan alamat kantor dari
lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi
oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara.
(2) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan perubahan
alamat kantor kepada Peserta melalui surat, yang dapat
didahului dengan faksimile, kepada Peserta paling lama 14
(empat belas) hari kerja sejak informasi tertulis dan
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a diterima secara lengkap oleh Penyelenggara.
(3) Pemberitahuan perubahan alamat kantor sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memuat informasi mengenai
tanggal efektif perubahan alamat kantor Peserta.
Paragraf 12
Penyampaian Dokumen Perubahan Data Kepesertaan
Pasal 41
Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS
dan/atau peserta Sistem BI-ETP serta dokumen pendukung
yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS
dan/atau penyelenggara Sistem BI-ETP sama dengan dokumen
pendukung di BI-SSSS, dokumen untuk perubahan data
kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 40 yang telah disampaikan kepada penyelenggara
Sistem BI-RTGS dan/atau penyelenggara Sistem BI-ETP, tidak
perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara sepanjang
tidak terdapat perubahan.
46
Paragraf 13
Perbedaan Tanda Tangan
Pasal 42
Dalam hal terdapat perbedaan tanda tangan antara yang
tercantum pada identitas diri dengan yang tercantum pada
spesimen tanda tangan pejabat atau petugas penerima kuasa
yang ditatausahakan di Penyelenggara maka Peserta harus
menyampaikan surat pernyataan perbedaan tanda tangan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.U yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Bagian Kelima
Status Kepesertaan dan Perubahannya
Paragraf 1
Status Kepesertaan
Pasal 43
(1) Status kepesertaan dalam BI-SSSS dibedakan menjadi:
a. aktif;
b. ditangguhkan;
c. dibekukan; atau
d. ditutup.
(2) Status ditangguhkan dan dibekukan tidak berlaku bagi
Peserta dengan fungsi sebagai penerbit Surat Berharga
dan Sub-Registry.
(3) Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS,
perubahan status kepesertaan di Sistem BI-RTGS menjadi
ditangguhkan, dibekukan, atau ditutup berdampak pada
perubahan status kepesertaan yang sama di BI-SSSS.
47
Paragraf 2
Perubahan Status Kepesertaan
Pasal 44
(1) Perubahan status kepesertaan dapat dilakukan dari:
a. status aktif menjadi ditangguhkan atau sebaliknya;
b. status aktif menjadi dibekukan;
c. status aktif menjadi ditutup;
d. status ditangguhkan menjadi dibekukan; atau
e. status dibekukan menjadi ditutup.
(2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan
hal sebagai berikut:
a. pengenaan sanksi administratif oleh Penyelenggara;
b. permintaan tertulis dari lembaga yang berwenang
melakukan pengawasan terhadap kegiatan Peserta;
atau
c. permintaan tertulis dari Peserta untuk mengubah
status dari status aktif menjadi ditutup.
(3) Permintaan tertulis dari Peserta sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c didasarkan pada alasan self-
liquidation, penggabungan, peleburan, pemisahan,
pengunduran diri, atau alasan lain dan telah memperoleh
persetujuan dari Penyelenggara atau lembaga pengawas
yang berwenang.
(4) Dalam hal terjadi perubahan status Peserta,
Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada:
a. Peserta yang bersangkutan melalui surat yang
penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile;
b. seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya yang ditetapkan oleh Penyelenggara;
dan/atau
c. lembaga yang berwenang dalam melakukan
pengawasan terhadap kegiatan Peserta melalui surat
yang penyampaiannya dapat didahului dengan
faksimile.
48
Pasal 45
(1) Dalam hal akan dilakukan perubahan status kepesertaan
menjadi ditutup, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta harus menyelesaikan seluruh kewajiban
dalam penyelenggaraan BI-SSSS;
b. Peserta melakukan pemindahan saldo Rekening
Surat Berharga ke rekening yang ditetapkan oleh
Peserta untuk penihilan saldo;
c. Penyelenggara dapat memindahkan saldo Rekening
Surat Berharga atas nama Peserta ke rekening yang
ditetapkan oleh Penyelenggara berdasarkan surat
kuasa, apabila Peserta tidak melakukan pemindahan
saldo Rekening Surat Berharga sebagaimana
dimaksud dalam huruf b;
d. Penyelenggara mengubah status kepesertaan menjadi
ditutup setelah Rekening Surat Berharga bersaldo
nihil; dan
e. Peserta harus mengembalikan digital certificate hard
token, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
efektif perubahan status kepesertaan menjadi
ditutup.
(2) Penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a yang disebabkan oleh penggabungan,
peleburan, atau pemisahan, dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. hak dan kewajiban Peserta yang akan ditutup beralih
kepada Peserta hasil penggabungan, peleburan, atau
pemisahan; dan
b. peralihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dilengkapi dengan surat pernyataan pengambilalihan
hak dan kewajiban dari Peserta hasil penggabungan,
peleburan, atau pemisahan.
(3) Penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a yang disebabkan oleh adanya pengalihan aset
dan kewajiban yang bukan merupakan penggabungan,
peleburan, atau pemisahan, dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
49
a. hak dan kewajiban Peserta yang ditutup beralih
kepada Peserta yang menerima pengalihan aset dan
kewajiban; dan
b. peralihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dilakukan berdasarkan pada surat pernyataan
pengambilalihan hak dan kewajiban dari Peserta yang
menerima pengalihan.
(4) Pemindahan saldo Rekening Surat Berharga ke rekening
yang ditetapkan untuk penihilan saldo sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk Peserta dengan
fungsi Sub-Registry, dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Sub-Registry harus memindahkan kepemilikan Surat
Berharga individual nasabahnya kepada Sub-Registry
lain yang ditunjuk oleh nasabah; dan
b. pemindahan kepemilikan Surat Berharga
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan
paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum tanggal
penutupan kepesertaan Sub-Registry.
Pasal 46
(1) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis
dari lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (2) huruf b, dilakukan dengan
mengajukan permohonan perubahan status kepesertaan
kepada Gubernur Bank Indonesia dengan tembusan
kepada Penyelenggara.
(2) Permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat informasi
sebagai berikut:
a. nama Peserta dan perubahan status kepesertaan
yang diminta;
b. alasan perubahan status kepesertaan; dan
c. tanggal efektif perubahan status kepesertaan.
(3) Permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disertai dengan dokumen
pendukung sebagai berikut:
50
a.
fotokopi surat dari lembaga yang berwenang yang
mendasari alasan perubahan status kepesertaan;
atau
b. fotokopi surat keputusan pencabutan izin kegiatan
usaha dari lembaga yang berwenang, putusan
kepailitan, dan/atau likuidasi.
(4) Dalam hal perubahan status kepesertaan yang diminta
merupakan perubahan status menjadi ditangguhkan,
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat pula batasan penangguhan yang mencakup
penangguhan terhadap kegiatan tertentu di BI-SSSS.
(5) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status
kepesertaan apabila:
a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
diterima Penyelenggara dengan lengkap; dan
b. Peserta telah memenuhi ketentuan dan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) atau
Pasal 45 ayat (4), dalam hal status kepesertaan
berubah menjadi ditutup.
(6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (4).
Pasal 47
(1) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis
dari Peserta yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (2) huruf c, dilakukan oleh Peserta
dengan mengajukan permohonan penutupan kepesertaan
kepada Penyelenggara dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a.
fotokopi keputusan pencabutan izin usaha, dalam hal
Peserta melakukan self-liquidation; atau
51
b. dokumen terkait lainnya untuk alasan perubahan
status kepesertaan yang dilakukan berdasarkan
alasan lain yang telah memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara atau lembaga pengawas yang
berwenang.
(3) Surat permohonan perubahan status kepesertaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang
telah memiliki spesimen tanda tangan di
Penyelenggara; dan
b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah
kerja KPwDN.
(4) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status
kepesertaan apabila:
a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
diterima Penyelenggara dengan lengkap; dan
b. Peserta telah memenuhi ketentuan dan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) atau
Pasal 45 ayat (4).
(5) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (4).
Paragraf 3
Perubahan Status Kepesertaan Karena Penggabungan
Pasal 48
(1) Setiap Peserta yang menggabungkan diri harus
mengajukan permohonan penutupan kepesertaan secara
tertulis kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.V.
(2) Dalam hal calon Peserta yang menerima penggabungan
akan menerima pengalihan aset dan kewajiban dari Peserta
Sub-Registry yang akan menggabungkan diri maka:
52
a. calon Peserta harus memenuhi ketentuan umum
kepesertaan BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada
Pasal 8; dan
b. calon Peserta harus memenuhi persyaratan menjadi
Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan fotokopi surat keputusan dari lembaga
yang berwenang menyetujui penggabungan yang telah
dilegalisasi oleh pejabat berwenang atau telah dinyatakan
sesuai asli oleh pimpinan.
(4) Peserta yang menerima penggabungan menyampaikan
pemberitahuan penggabungan yang paling sedikit memuat:
a. persetujuan penggabungan dari lembaga yang
berwenang;
b. informasi mengenai Peserta yang menerima
penggabungan dan Peserta yang menggabungkan diri;
c. waktu pelaksanaan:
1. peralihan operasional dalam BI-SSSS dari
Peserta yang menggabungkan diri kepada
Peserta yang menerima penggabungan;
2. pemindahan saldo Rekening Surat Berharga
Peserta yang menggabungkan diri ke Rekening
Surat Berharga Peserta yang menerima
penggabungan; dan
3. penutupan kepesertaan dalam BI-SSSS dari
Peserta yang menggabungkan diri;
d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang
menggabungkan diri oleh Peserta yang menerima
penggabungan terhitung sejak tanggal penggabungan
secara hukum; dan
e. informasi pengumuman penggabungan yang dimuat
dalam surat kabar harian berskala nasional,
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.W yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
53
(5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a. surat pernyataan dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.X yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
b.
fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh
pimpinan berupa:
1. akta penggabungan;
2. akta perubahan anggaran dasar Peserta yang
menerima penggabungan;
3.
izin penggabungan dari lembaga yang berwenang
memberikan
persetujuan
penggabungan;
4. surat persetujuan perubahan anggaran dasar
dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia atau dokumen pendaftaran akta
penggabungan dan akta perubahan anggaran
dasar dalam daftar perusahaan; dan
5. pengumuman penggabungan yang dimuat dalam
surat kabar harian berskala nasional.
(6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
harus:
a. ditandatangani oleh pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan
b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah
kerja KPwDN.
Pasal 49
(1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis
kepada Peserta yang menerima penggabungan, setelah
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3)
dan ayat (5) diterima secara lengkap.
tentang
54
(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat hal sebagai berikut:
a. waktu pelaksanaan
penggabungan secara
operasional dalam BI-SSSS; dan
b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta yang
bersangkutan.
(3) Saldo Rekening Surat Berharga dari Peserta yang
menggabungkan diri dipindahkan melalui SPP yang
bersangkutan ke Rekening Surat Berharga Peserta yang
menerima penggabungan.
(4) Pelaksanaan pemindahan saldo Rekening Surat Berharga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai
dengan
kewenangan dan
jadwal pelaksanaan
penggabungan secara operasional dalam BI-SSSS yang
disetujui oleh Penyelenggara.
(5) Status kepesertaan dalam BI-SSSS dari Peserta yang
menggabungkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada
tanggal pelaksanaan penggabungan secara operasional
dalam BI-SSSS, setelah Rekening Surat Berharga Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersaldo nihil.
(6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (4).
Paragraf 4
Perubahan Status Kepesertaan Karena Peleburan
Pasal 50
(1) Calon Peserta yang merupakan hasil peleburan harus
mengajukan permohonan menjadi Peserta BI-SSSS
dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dan Pasal 14.
(2) Dalam hal calon Peserta hasil peleburan akan menerima
pengalihan aset dan kewajiban dari Peserta Sub-Registry
yang akan meleburkan diri maka:
55
a. Calon Peserta harus memenuhi persyaratan umum
kepesertaan BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8; dan
b. Calon Peserta harus memenuhi persyaratan menjadi
Peserta Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11.
(3) Calon Peserta yang merupakan hasil peleburan
menyampaikan pemberitahuan peleburan secara tertulis
kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.W.
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagai berikut:
a. surat pernyataan dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.X; dan
b. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli
oleh pimpinan calon Peserta, berupa:
1. akta peleburan;
2. akta pendirian Peserta yang merupakan hasil
peleburan;
3.
izin peleburan dari lembaga yang berwenang
memberikan persetujuan tentang peleburan; dan
4. surat pengesahan badan hukum perseroan dari
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
atas akta pendirian Peserta yang merupakan
hasil peleburan.
Pasal 51
(1) Setiap Peserta yang meleburkan diri harus mengajukan
permohonan penutupan kepesertaan secara tertulis
kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.V.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen yang telah dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli
oleh pimpinan calon Peserta, sebagai berikut:
56
a.
fotokopi surat keputusan dari lembaga yang
berwenang menyetujui peleburan; dan
b. fotokopi anggaran dasar terakhir Peserta yang
meleburkan diri.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (3), pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 ayat (4) huruf a, dan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh pimpinan calon Peserta; dan
b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat calon Peserta berkedudukan di
wilayah kerja KPwDN.
Pasal 52
(1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis
kepada Peserta yang merupakan hasil peleburan setelah
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3)
dan ayat (4) serta Pasal 51 ayat (2) diterima secara lengkap.
(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat persetujuan waktu pelaksanaan peleburan secara
operasional dalam BI-SSSS beserta hal yang harus
dilakukan oleh Peserta yang bersangkutan.
(3) Saldo Rekening Surat Berharga dari Peserta yang
meleburkan diri dipindahkan melalui SPP yang
bersangkutan ke Rekening Surat Berharga Peserta yang
merupakan hasil peleburan.
(4) Pelaksanaan pemindahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan sesuai kewenangan dan jadwal
pelaksanaan peleburan secara operasional dalam BI-SSSS
yang disetujui oleh Penyelenggara.
(5) Status kepesertaan dalam BI-SSSS dari Peserta yang
meleburkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada
tanggal pelaksanaan peleburan secara operasional dalam
BI-SSSS, setelah Rekening Surat Berharga Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersaldo nihil.
57
(6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (4).
Paragraf 5
Perubahan Status Kepesertaan Karena Pemisahan
Pasal 53
(1) Perubahan status kepesertaan karena pemisahan
dilakukan dalam hal terdapat Peserta berupa UUS yang
melakukan pemisahan dari Peserta berupa bank
konvensional sebagai induknya yang dilakukan dengan
cara mendirikan BUS baru atau mengalihkan hak dan
kewajiban UUS kepada BUS yang telah ada.
(2) Dalam hal calon Peserta akan menerima pengalihan aset
dan kewajiban dari Peserta Sub-Registry yang melakukan
pemisahan maka:
a. calon Peserta harus memenuhi persyaratan umum
kepesertaan BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8; dan
b. calon Peserta harus memenuhi persyaratan menjadi
Peserta Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11.
(3) Prosedur perubahan kepesertaan karena pemisahan
dengan cara mendirikan BUS baru, mengikuti prosedur
perubahan status kepesertaan karena peleburan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 sampai dengan
Pasal 52.
(4) Prosedur perubahan kepesertaan karena pemisahan
dengan cara mengalihkan hak dan kewajiban UUS
kepada BUS yang telah ada dilakukan dengan tata cara
penggabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
dan Pasal 49.
58
Paragraf 6
Perubahan Status Kepesertaan Karena Pengalihan Aset dan
Kewajiban yang Bukan Merupakan Penggabungan,
Peleburan, atau Pemisahan
Pasal 54
Prosedur perubahan status kepesertaan karena adanya
pengalihan aset dan kewajiban berdasarkan persetujuan
lembaga yang berwenang mengikuti prosedur perubahan
status kepesertaan yang berlaku dalam penggabungan,
peleburan, atau pemisahan.
Paragraf 7
Penyampaian Dokumen Bagi Peserta Sistem BI-RTGS
dan/atau Sistem BI-ETP
Pasal 55
Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS
dan/atau Sistem BI-ETP serta dokumen pendukung yang
telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS
dan/atau penyelenggara Sistem BI-ETP sama dengan
dokumen pendukung di BI-SSSS, dokumen pendukung
untuk perubahan status kepesertaan karena penggabungan,
peleburan, pemisahan, atau pengalihan aset dan kewajiban
yang terjadi berdasarkan persetujuan dari lembaga yang
berwenang sebagaimana dimaksud pada Pasal 48, Pasal 50,
Pasal 51, Pasal 53, dan Pasal 54 yang telah disampaikan
kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS dan/atau
penyelenggara Sistem BI-ETP, tidak perlu disampaikan
kembali kepada Penyelenggara sepanjang tidak terdapat
perubahan.
59
Bagian Keenam
Kewajiban Peserta
Paragraf 1
Kewajiban Umum Peserta
Pasal 56
Dalam penggunaan BI-SSSS, Peserta wajib:
a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan
BI-SSSS;
b. bertanggung jawab atas kebenaran instruksi Setelmen,
serta seluruh informasi yang dikirim Peserta kepada
Penyelenggara melalui BI-SSSS;
c. melaksanakan kegiatan operasional BI-SSSS sesuai
dengan perjanjian penggunaan sistem antara
Penyelenggara dan Peserta dan ketentuan yang mengatur
mengenai penyelenggaraan BI-SSSS, serta ketentuan
terkait lainnya;
d. memberikan data, dokumen, dan/atau informasi kepada
Penyelenggara termasuk dokumen asli dan/atau salinan
dokumen yang berupa warkat dan/atau data elektronik
terkait dengan pelaksanaan operasional BI-SSSS; dan
e. mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi
sistem pembayaran terkait penyelenggaraan BI-SSSS.
Pasal 57
Kewajiban Peserta untuk menjaga kelancaran dan keamanan
dalam penggunaan BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 huruf a, meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis (KPT) yang
mendukung sistem kontrol internal yang baik dalam
pelaksanaan operasional BI-SSSS;
b. melakukan pemeriksaan internal untuk menjamin
keamanan operasional BI-SSSS;
c. melakukan security audit;
d. menyusun kebijakan teknologi informasi terkait dengan
BI-SSSS yang di-review dan di-update secara reguler;
60
e. memiliki pedoman disaster recovery plan (DRP) dan
business continuity plan (BCP);
f. melakukan pengelolaan batas Setelmen Dana (settlement
limit) dan mengatur pelaksanaannya dalam prosedur
internal Peserta, dalam hal Peserta juga ditunjuk sebagai
Bank Pembayar;
g. menggunakan aplikasi SPP sesuai dengan buku pedoman
pengoperasian BI-SSSS;
h. melakukan pengkinian data atau informasi kepesertaan;
i. melakukan pemeliharaan data; dan
j. menjamin SPP utama dan SPP cadangan berfungsi dengan
baik untuk melakukan berbagai aktivitas BI-SSSS
sepanjang jam operasional BI-SSSS.
Pasal 58
Penyusunan KPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf
a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. KPT wajib dibuat dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak tanggal efektif kepesertaan di BI-SSSS;
b. KPT wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia;
c. KPT wajib dibuat dengan mengacu pada ketentuan terkait
dengan BI-SSSS yang ditetapkan oleh Penyelenggara dan
ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi sistem
pembayaran terkait penyelenggaraan BI-SSSS;
d. KPT wajib memuat materi paling sedikit sebagai berikut:
1. pendahuluan;
2. organisasi pengoperasian BI-SSSS;
3. ketentuan dan prosedur operasional BI-SSSS;
4. pengawasan operasional BI-SSSS; dan
5. penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat;
e. penyusunan rincian cakupan minimum materi KPT
sebagaimana dimaksud dalam huruf d dilakukan sesuai
dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran
IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
61
f. dalam hal terdapat perubahan terhadap materi KPT
sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan/atau
perubahan ketentuan yang dikeluarkan oleh
Penyelenggara dan/atau asosiasi sistem pembayaran,
yang berdampak pada materi KPT, Peserta harus
melakukan pengkinian terhadap KPT dimaksud; dan
g. pengkinian terhadap KPT sebagaimana dimaksud dalam
huruf f wajib dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam)
bulan sejak terjadinya perubahan materi dan ketentuan
tersebut.
Pasal 59
Pemeriksaan internal untuk menjamin keamanan operasional
BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf b
dilakukan oleh Peserta dengan ruang lingkup pemeriksaan
paling sedikit mencakup materi penilaian kepatuhan yang
disampaikan oleh Penyelenggara.
Pasal 60
(1) Security audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
huruf c bertujuan untuk memastikan keamanan dan
keandalan teknologi informasi internal Peserta,
keterhubungan (interface) antara SPP dengan sistem
internal Peserta, serta kondisi lingkungan tempat Peserta
melakukan kegiatan operasional.
(2) Security audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dilakukan paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun sekali
terhitung sejak menjadi Peserta atau dalam hal
terjadi perubahan dalam sistem teknologi informasi
internal Peserta yang terkait dengan BI-SSSS,
security audit dilakukan paling lama 6 (enam) bulan
sejak terjadi perubahan;
b. dilakukan oleh auditor internal Peserta dan/atau
auditor eksternal; dan
c. cakupan security audit paling sedikit mencakup ruang
lingkup sebagaimana tercantum dalam Lampiran V
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
62
Pasal 61
Pedoman DRP dan BCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
huruf e harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memuat prosedur yang dilakukan oleh Peserta dalam hal
terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat
untuk memastikan bahwa operasional BI-SSSS di Peserta
tetap dapat dilakukan atau upaya lainnya yang perlu
dilakukan dalam hal sistem cadangan tidak dapat
digunakan;
b. pedoman DRP paling sedikit memuat hal sebagai berikut:
1. unit kerja sebagai penanggung jawab;
2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab
terdiri atas beberapa unit;
3. prosedur terkait penyiapan infrastruktur cadangan
untuk menjamin kegiatan operasional BI-SSSS tetap
berjalan;
4. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan
5. petugas operasional, termasuk data nomor telepon
yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara;
dan
c. pedoman BCP paling sedikit memuat hal sebagai berikut:
1. unit kerja sebagai penanggung jawab;
2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab
terdiri atas beberapa unit;
3. langkah bisnis yang dilakukan untuk menjamin
kegiatan operasional BI-SSSS tetap berjalan;
4. mekanisme pengujian prosedur BCP;
5. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan
6. petugas operasional, termasuk data nomor telepon
yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara.
Pasal 62
Pemeliharaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
huruf i dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pemeliharaan data dilakukan terhadap data yang
tersimpan dalam media elektronik dan/atau dalam bentuk
hasil olahan komputer BI-SSSS;
63
b. data sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus
mendapat pengamanan yang memadai serta terjaga
kerahasiaannya;
c. melakukan pencadangan atas data sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dengan penyimpanan dalam
media elektronik yang berbeda dengan media elektronik
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. memastikan data sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c
tidak rusak; dan
e. menyimpan seluruh data sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam
huruf c, sesuai dengan ketentuan pengarsipan yang
berlaku di internal Peserta dan masa retensi sesuai
ketentuan
mengatur mengenai dokumen perusahaan.
Pasal 63
Untuk menjamin SPP utama dan SPP cadangan berfungsi
dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf j,
Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. memastikan petugas yang menangani BI-SSSS memahami
sistem dan prosedur operasional BI-SSSS yang telah
ditetapkan oleh Penyelenggara dan internal Peserta;
b. mengatur dan menetapkan user dan kewenangan user
yang melakukan operasional BI-SSSS;
c. menyediakan dan mengelola sistem cadangan untuk BI-
SSSS di Peserta;
d. menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik;
e. menjamin keamanan dan keandalan JKD yang digunakan
untuk menghubungkan SPP utama dan/atau SPP
cadangan ke SCN;
f. melaporkan pengembangan aplikasi internal Peserta yang
terkait BI-SSSS kepada Penyelenggara paling lama 1 (satu)
bulan setelah implementasi;
peraturan perundang-undangan yang
64
g. melakukan langkah preventif yang diperlukan agar
perangkat keras (hardware) berfungsi dengan baik dan
perangkat lunak (software) yang digunakan dalam BI-
SSSS dan/atau yang terkait dengan BI-SSSS bebas dari
segala jenis malicious software (malware);
h. menjamin integritas database BI-SSSS yang ada pada SPP
utama dan SPP cadangan serta data cadangan (back-up);
i. melakukan instalasi setiap terjadi perubahan aplikasi SPP
utama dan/atau SPP cadangan sesuai dengan buku
pedoman pengoperasian BI-SSSS;
j. menyimpan dengan baik aplikasi SPP, termasuk setiap
terdapat perubahan aplikasi SPP yang telah diberikan oleh
Penyelenggara; dan
k. melakukan perpanjangan masa aktif Digital Certificate
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh
Penyelenggara.
Pasal 64
Pengaturan dan penetapan user sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 huruf b dilakukan dengan memperhatikan paling
sedikit hal sebagai berikut:
a. pengaturan kewenangan user memperhatikan rentang
kendali (span of control) untuk meminimalisasi kesalahan
manusia (human error) dan penyalahgunaan (fraud);
b. pengiriman transaksi dilakukan secara berjenjang sesuai
dengan tingkat kewenangan petugas;
c. pengaturan petugas pengganti untuk user sesuai dengan
perannya masing-masing;
d. penetapan dan penatausahaan user penanggung jawab
digital certificate hard token dan digital certificate soft
token, termasuk serial number token;
e. memastikan keamanan penggunaan digital certificate hard
token oleh user yang telah ditetapkan; dan
f. menyimpan dokumen keamanan yang terkait dengan
connected user, digital certificate hard token, dan digital
certificate soft token.
65
Pasal 65
Penyediaan dan pengelolaan sistem cadangan untuk BI-SSSS
di Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf c,
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta menyediakan SPP cadangan dan JKD cadangan
dari lokasi SPP cadangan Peserta ke Penyelenggara sesuai
dengan standar yang ditetapkan oleh Penyelenggara;
b. biaya penyediaan dan penggunaan infrastruktur
sebagaimana dimaksud dalam huruf a menjadi beban
Peserta; dan
c. pemilihan jenis dan lokasi SPP cadangan serta JKD
cadangan Peserta diserahkan kepada setiap Peserta.
Pasal 66
Untuk menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf d, Peserta:
a. mengikuti kegiatan uji coba sistem cadangan sesuai
dengan pemberitahuan dari Penyelenggara;
b. melakukan uji coba koneksi sistem cadangan secara
berkala; dan
c. mengoperasikan sistem cadangan secara berkala untuk
kegiatan operasional dalam kondisi normal.
Pasal 67
(1) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf b dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a.
uji coba dilakukan terhadap SPP cadangan, JKD
cadangan, dan data cadangan, paling sedikit 1 (satu)
kali dalam setahun;
b.
uji coba dapat dilakukan dengan menggunakan:
1. environment testing Penyelenggara selama jam
operasional BI-SSSS; atau
2. environment production Penyelenggara yang
dapat dilakukan setiap bulan pada hari Jumat
minggu pertama atau minggu ketiga setelah
proses akhir hari BI-SSSS di Penyelenggara
berakhir; dan
66
c. penggunaan environment production Penyelenggara
dilakukan paling lama 1 (satu) jam.
(2) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf b dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan permohonan uji coba koneksi
sistem cadangan melalui administrative message
kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari
kerja sebelum pelaksanaan uji coba koneksi sistem
cadangan;
b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan uji coba
koneksi sistem cadangan kepada Peserta melalui
administrative message; dan
c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil
pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan
kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari
kerja setelah pelaksanaan uji coba selesai dilakukan.
Pasal 68
(1) Pengoperasian sistem cadangan untuk kegiatan
operasional dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 huruf c dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. penggunaan sistem cadangan dilakukan secara
berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun;
dan
b. pengoperasian sistem cadangan dapat mencakup
pengoperasian SPP cadangan dan/atau JKD
cadangan.
(2) Pengoperasian sistem cadangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 huruf c dilakukan dengan prosedur
sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan permohonan melalui
administrative message kepada Penyelenggara paling
lambat 1 (satu) hari kerja sebelum menggunakan
sistem cadangan;
67
b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan
penggunaan SPP cadangan dan/atau JKD cadangan
kepada Peserta melalui administrative message; dan
c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil
pengoperasian
Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja
setelah pelaksanaan pengoperasian sistem cadangan
selesai dilakukan.
Pasal 69
(1) Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan JKD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf e dilakukan
terhadap JKD yang menghubungkan SPP utama dan/atau
SPP cadangan dengan perangkat komputer Peserta yang
digunakan untuk operasional BI-SSSS.
(2) Dalam hal Peserta menghubungkan SPP utama dan/atau
SPP cadangan dengan sistem internal Peserta, kegiatan
menjamin keamanan dan keandalan JKD dilakukan
terhadap JKD yang menghubungkan SPP utama dan/atau
SPP cadangan dengan sistem internal Peserta.
Paragraf 2
Kewajiban Sub-Registry
Pasal 70
Dalam penggunaan BI-SSSS untuk melakukan fungsi
Penatausahaan bagi kepentingan nasabah, Peserta Sub-
Registry wajib:
a. meneruskan hasil Setelmen atas transaksi Surat Berharga
kepada nasabah pada tanggal yang sama dengan tanggal
pelaksanaan Setelmen;
b. meneruskan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan
pelunasan pokok/nominal Surat Berharga kepada
nasabah pemilik Surat Berharga pada tanggal yang sama
dengan tanggal Sub-Registry menerima pembayaran
kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/
nominal Surat Berharga dari penerbit Surat Berharga;
sistem cadangan kepada
68
c. menjamin kebenaran penatausahaan dan laporan
kepemilikan Surat Berharga atas nama seluruh nasabah;
d. menyelesaikan masalah perbedaan pencatatan kepemilikan
Surat Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah, dalam
hal terdapat perbedaan pencatatan kepemilikan Surat
Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah;
e. memenuhi jumlah minimum pencatatan kepemilikan
Surat Berharga rata-rata bulanan paling sedikit sebesar
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dalam 12
(dua belas) bulan terakhir, bagi Sub-Registry yang telah
melakukan kegiatan pencatatan kepemilikan Surat
Berharga di BI-SSSS lebih dari 12 (dua belas) bulan;
f. menjaga agar posisi kewajiban pemenuhan modal
minimum (KPMM) bagi Bank Kustodian atau modal disetor
bagi lembaga Kustodian bukan Bank tidak kurang dari
posisi KPMM atau modal disetor sesuai ketentuan yang
berlaku;
g. mengelola dan melaporkan data nasabah secara lengkap
dan benar melalui SI BI-SSSS, dengan informasi dan tata
cara pengisian sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
h. menjaga keamanan SI BI-SSSS dan kerahasiaan data
termasuk administrator user lokal yang disampaikan oleh
Penyelenggara;
i. menyediakan KPT yang paling
sedikit berupa
penatausahaan Surat Berharga dan penggunaan SI BI-
SSSS di internal Sub-Registry;
j. menyampaikan laporan kepada Penyelenggara dengan
benar dan tepat waktu melalui SI BI-SSSS dan/atau
sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara;
k. melakukan rekonsiliasi secara harian antara data
Setelmen pada SI BI-SSSS dengan data Setelmen atas
transaksi yang terjadi di Sub-Registry;
69
l. melakukan koreksi data pelaporan melalui SI BI-SSSS,
dalam hal terdapat kesalahan dan menginformasikan
kepada Penyelenggara melalui surat;
m. menginformasikan biaya yang akan dibebankan Peserta
kepada nasabah terkait Setelmen melalui BI-SSSS secara
transparan dan pada tempat yang mudah terlihat oleh
nasabah; dan
n. melengkapi data nasabah sebagaimana dimaksud dalam
huruf g dengan nomor tunggal identitas investor, sesuai
single investor identification yang digunakan di pasar
modal, dan menginformasikan nomor tunggal identitas
investor tersebut kepada nasabah yang bersangkutan.
BAB IV
OPERASIONAL PENYELENGGARAAN BI-SSSS
Bagian Kesatu
Waktu Operasional Penyelenggaraan BI-SSSS
Pasal 71
(1) Penyelenggara menetapkan
waktu
operasional
penyelenggaraan BI-SSSS yang mencakup hari
operasional, jam operasional, dan periode waktu kegiatan.
(2) Hari operasional, jam operasional, dan periode waktu
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diubah sewaktu-waktu oleh Penyelenggara.
(3) Perubahan jam operasional dan/atau periode waktu
kegiatan dapat dilakukan oleh Penyelenggara
berdasarkan:
a. kebijakan Penyelenggara; dan/atau
b. permintaan Peserta
Penyelenggara.
yang disetujui oleh
(4) Dalam hal terdapat perubahan hari operasional, jam
operasional, dan/atau periode waktu kegiatan,
Penyelenggara memberitahukan hal tersebut kepada
seluruh Peserta melalui administrative message dan/atau
sarana lainnya.
70
Pasal 72
(1) Hari operasional BI-SSSS dilaksanakan setiap hari kerja
sesuai yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Peserta wajib melakukan kegiatan operasional BI-SSSS
sesuai dengan hari kerja yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
(3) Dalam kondisi tertentu, Keadaan Tidak Normal, dan/atau
Keadaan Darurat, Peserta dapat tidak melakukan kegiatan
operasional BI-SSSS pada hari operasional berdasarkan
persetujuan Penyelenggara.
(4) Pada hari Penyelenggara tidak melakukan kegiatan
operasional, instruksi Setelmen dengan tanggal Setelmen
(tanggal valuta) yang jatuh pada hari dimaksud tidak
dapat dijalankan dan akan di-roll over ke hari kerja
berikutnya.
Pasal 73
(1) Jam operasional penyelenggaraan Penatausahaan Surat
Berharga melalui BI-SSSS mulai pukul 06.30 waktu
Indonesia barat (WIB) sampai dengan pukul 18.30 WIB.
(2) Penyelenggara menetapkan periode waktu kegiatan untuk
melakukan kegiatan Setelmen atas transaksi Surat
Berharga yang dilakukan melalui BI-SSSS.
(3) Dalam hal terdapat perubahan periode waktu kegiatan cut-
off warning dan periode waktu kegiatan pre cut-off pada
Sistem BI-RTGS, periode waktu kegiatan cut-off warning
dan periode waktu kegiatan pre cut-off pada BI-SSSS
mengikuti cut-off warning dan pre cut-off pada Sistem BI-
RTGS.
(4) Penetapan jam operasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan periode waktu kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran VII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
71
Pasal 74
(1) Peserta dapat mengajukan permohonan untuk tidak
melakukan kegiatan operasional BI-SSSS dalam kondisi
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3)
yang disebabkan hal sebagai berikut:
a. kantor Bank Indonesia di wilayah tertentu dan/atau
daerah tertentu ditetapkan libur fakultatif;
b. kantor pusat Peserta berada pada kantor wilayah
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf
a; dan/atau
c. kondisi tertentu yang disetujui oleh Penyelenggara.
(2) Prosedur untuk tidak melakukan kegiatan operasional BI-
SSSS dalam kondisi tertentu diatur sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan surat permohonan tidak
melakukan kegiatan operasional BI-SSSS dalam
kondisi tertentu yang penyampaiannya dapat
didahului dengan administrative message, faksimile,
dan/atau sarana lain.
b. surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a harus ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara;
c. Penyelenggara memberitahukan persetujuan atau
penolakan atas permohonan Peserta sebagaimana
dimaksud dalam huruf a melalui surat yang dapat
didahului dengan administrative message, faksimile,
atau sarana lainnya; dan
d. dalam hal permohonan disetujui, Penyelenggara
mengumumkan kepada seluruh Peserta melalui
administrative message untuk menginformasikan
Peserta yang tidak melakukan kegiatan operasional
BI-SSSS.
Pasal 75
Perubahan jam operasional dan/atau periode waktu kegiatan
berdasarkan kebijakan Penyelenggara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (3) huruf a dapat dilakukan berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut:
72
a. adanya Keadaan Tidak Normal pada BI-SSSS dan/atau
Keadaan Darurat yang mengakibatkan adanya kebutuhan
perubahan jam operasional dan/atau perpanjangan
periode waktu kegiatan untuk melaksanakan Setelmen
melalui BI-SSSS;
b. adanya perubahan jam operasional pada Sistem BI-RTGS
dan/atau Sistem BI-ETP;
c. adanya kepentingan Bank Indonesia dalam rangka
pelaksanaan kebijakan moneter, menjaga kelancaran
sistem pembayaran, dan/atau kepentingan penyelesaian
transaksi pemerintah; dan/atau
d. adanya permintaan perpanjangan periode waktu kegiatan
dari Peserta yang berdampak pada perubahan periode
waktu kegiatan dan jam operasional.
Pasal 76
Perubahan periode waktu kegiatan berdasarkan permintaan
Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) huruf
b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta dapat mengajukan permohonan perpanjangan
periode waktu kegiatan dalam hal Peserta mengalami
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat yang
mengakibatkan adanya kebutuhan perpanjangan periode
waktu kegiatan untuk melaksanakan Setelmen melalui BI-
SSSS;
b. dalam hal permohonan perpanjangan periode waktu
kegiatan disetujui oleh Penyelenggara maka:
1. perpanjangan periode waktu kegiatan dilakukan
sesuai dengan permintaan Peserta untuk periode
waktu kegiatan yang masih terbuka pada saat
permohonan perpanjangan diterima oleh
Penyelenggara; dan
2. perpanjangan periode waktu kegiatan dilakukan
secara proporsional, dalam hal permohonan
perpanjangan periode waktu kegiatan melebihi pukul
17.00 WIB;
73
c. perpanjangan periode waktu kegiatan yang dapat diberikan
yaitu selama 30 (tiga puluh) menit atau paling lama 60 (enam
puluh) menit, kecuali dalam kondisi tertentu;
d. perpanjangan periode waktu kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b menyebabkan perubahan periode
waktu kegiatan berikutnya dan/atau jam operasional;
e. permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan yang
telah disetujui oleh Penyelenggara melalui administrative
message, bersifat final dan tidak dapat dibatalkan oleh
Peserta; dan
f. perpanjangan periode waktu kegiatan atas permintaan
Peserta dikenakan biaya.
Pasal 77
Prosedur pengajuan perpanjangan periode waktu kegiatan oleh
Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf a
ditetapkan sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perpanjangan periode
waktu kegiatan secara tertulis yang disertai alasan kepada
Penyelenggara melalui surat yang dapat didahului dengan
administrative message, faksimile, dan/atau sarana lain;
b. Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf
a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Peserta
yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara;
c. permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan harus
diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum
berakhirnya periode waktu kegiatan yang dimintakan
perpanjangan;
d. Penyelenggara memberitahukan persetujuan atau
penolakan atas permohonan perpanjangan periode waktu
kegiatan kepada Peserta melalui administrative message
dan/atau sarana lainnya;
e. dalam hal telah terdapat Peserta yang mengajukan
perpanjangan periode waktu kegiatan selama 60 (enam
puluh) menit dan telah disetujui oleh Penyelenggara maka
Peserta yang lain tidak dapat mengajukan perpanjangan
periode waktu kegiatan; dan
74
f. dalam hal permohonan perpanjangan periode waktu
kegiatan disetujui, Penyelenggara menyampaikan
informasi perpanjangan periode waktu kegiatan kepada
seluruh Peserta melalui administrative message dan/atau
sarana lainnya.
Bagian Kedua
Pengelolaan Pengguna (User)
Pasal 78
(1) Pengguna (user) BI-SSSS terdiri atas:
a. connected user; dan
b. unconnected user.
(2) Connected user sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri atas:
a. administrator user; dan
b. regular user.
(3) Berdasarkan penggunaannya,
connected user
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. connected user untuk BI-SSSS depository gateway
(SDG); dan
b. connected user untuk BI-SSSS straight through
processing gateway (SSTPG).
Pasal 79
(1) Penyelenggara melakukan pengelolaan connected user
paling sedikit berupa kegiatan pendaftaran, penyesuaian,
reset password, penghentian, reaktivasi, dan penetapan
security level.
(2) Peserta melakukan pengelolaan user dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. pengelolaan mencakup connected user dan
unconnected user;
b. pengelolaan dilakukan dengan menggunakan
administrator user yang meliputi:
1. akses connected user; dan
2. pendaftaran dan akses unconnected user.
75
(3) Pengelolaan dan penggunaan connected user yang telah
diserahkan oleh Penyelenggara kepada Peserta,
dilakukan berdasarkan ketentuan internal Peserta dan
menjadi tanggung jawab sepenuhnya Peserta yang
bersangkutan.
Bagian Ketiga
Connected User dan Digital Certificate
Pasal 80
(1) Penyelenggara memberikan connected user kepada
Peserta yang dilengkapi dengan:
a. password dan digital certificate hard token untuk
setiap Peserta yang menggunakan aplikasi SDG; dan
b. password dan digital certificate soft token untuk
setiap Peserta yang menggunakan aplikasi SSTPG.
(2) Penyelenggara menyediakan connected user sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a paling banyak 10
(sepuluh) connected user yang terdiri atas:
a. dua administrator user; dan
b. paling banyak 8 (delapan) regular user.
(3) Penyelenggara menyediakan connected user sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b paling banyak 1 (satu)
connected user.
(4) Masa aktif digital certificate hard token dan digital
certificate soft token sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal efektif.
(5) Pengambilan dokumen connected user, password,
dan/atau Digital Certificate dilakukan oleh pejabat yang
berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen tanda
tangan di Penyelenggara.
76
Paragraf 1
Penambahan Connected User serta Penggantian dan/atau
Perpanjangan Masa Aktif Digital Certificate
Pasal 81
(1) Peserta dapat mengajukan permohonan penambahan
connected user yang dilengkapi dengan password dan Digital
Certificate sepanjang tidak melebihi jumlah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) dan ayat (3).
(2) Penambahan connected user yang melebihi jumlah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) dapat
diberikan kepada Peserta berdasarkan persetujuan
Penyelenggara.
(3) Peserta dapat mengajukan permohonan penggantian
digital certificate hard token dan digital certificate soft token
yang hilang/rusak atau tidak dapat digunakan karena
sebab apapun.
(4) Penambahan connected user sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan/atau penggantian digital certificate hard token
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan biaya.
(5) Penyelenggara membebankan biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ke Rekening Setelmen Dana
rupiah Peserta atau Bank Pembayar.
(6) Peserta harus mengajukan permohonan perpanjangan
masa aktif digital certificate hard token dan digital
certificate soft token yang akan berakhir masa aktifnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4).
Pasal 82
Permohonan penambahan connected user serta penggantian
dan/atau perpanjangan masa aktif Digital Certificate
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dilakukan dengan
ketentuan dan prosedur sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan penambahan connected
user serta penggantian dan/atau perpanjangan masa aktif
Digital Certificate secara tertulis kepada Penyelenggara;
77
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Peserta
yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.D;
c. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
memuat informasi paling sedikit:
1. untuk penambahan connected user yang dilengkapi
dengan password dan Digital Certificate:
a) nama dan participant code Peserta;
b) jumlah penambahan connected user; dan
c) alasan permintaan tambahan connected user,
dalam hal permintaan melebihi jumlah yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
80 ayat (2);
2. untuk penggantian digital certificate hard token:
a) nama dan participant code Peserta;
b) nama connected user untuk digital certificate
hard token yang akan diganti;
c) nomor seri digital certificate hard token; dan
d) alasan permintaan penggantian digital certificate
hard token;
3. untuk perpanjangan masa aktif digital certificate hard
token:
a) nama dan participant code Peserta;
b) nama connected user untuk digital certificate
hard token yang akan diperpanjang masa
aktifnya; dan
c) nomor seri digital certificate hard token; atau
4. untuk perpanjangan masa aktif digital certificate soft
token:
a) nama dan participant code Peserta; dan
b) nama connected user dari server yang digital
certificate soft token yang akan diperpanjang
masa aktifnya;
d. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
disertai dokumen pendukung sebagai berikut:
78
1. file CSR dalam media CD dari server yang digital
certificate soft token yang akan diperpanjang masa
aktifnya, dalam hal Peserta mengajukan
perpanjangan masa aktif digital certificate soft token;
2. digital certificate hard token, dalam hal Peserta
mengajukan perpanjangan masa aktif atau
penggantian digital certificate hard token; atau
3. surat keterangan kehilangan digital certificate hard
token dari pihak kepolisian, dalam hal Peserta
mengajukan penggantian digital certificate hard token
yang hilang; dan
e. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam
hal kantor pusat calon Peserta berkedudukan di
wilayah kerja KPwDN; dan
2. bagi Peserta yang mengajukan permohonan
perpanjangan masa aktif karena masa aktif Digital
Certificate akan berakhir, permohonan disampaikan
paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum masa
aktif Digital Certificate berakhir.
Pasal 83
(1) Penyelenggara memberitahukan secara tertulis kepada
Peserta melalui administrative message atau sarana lain
untuk pengambilan dokumen connected user, password,
dan/atau Digital Certificate paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak permohonan yang disertai dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 huruf
d diterima secara lengkap oleh Penyelenggara.
(2) Peserta melakukan pengambilan dokumen connected user,
password, dan/atau Digital Certificate dengan prosedur
sebagai berikut:
a. bagi Peserta yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI) pengambilan
dokumen dilakukan di lokasi kantor Penyelenggara;
79
b. bagi Peserta yang berkantor pusat di wilayah kerja
KPwDN pengambilan dokumen dilakukan di lokasi
kantor KPwDN; dan
c. pengambilan dokumen dilakukan oleh pejabat yang
berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara.
(3) Dalam hal terdapat perpanjangan masa aktif digital
certificate soft token, Peserta harus menginformasikan
tanggal efektif penggunaan digital certificate soft token
yang baru kepada Penyelenggara melalui administrative
message atau surat yang dapat didahului dengan
pengiriman melalui faksimile.
(4) Dalam hal Peserta tidak menginformasikan tanggal efektif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka segala risiko
dan akibat yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung
jawab Peserta.
(5) Dalam hal penambahan connected user melebihi jumlah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2),
Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan penambahan connected user
kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak permohonan diterima lengkap oleh Penyelenggara.
Paragraf 2
Penghapusan Connected User SDG dan/atau SSTPG
Pasal 84
(1) Penghapusan connected user SDG dan/atau SSTPG dapat
dilakukan atas dasar inisiatif Penyelenggara atau
permintaan Peserta.
(2) Penghapusan connected user SDG dan/atau SSTPG oleh
Penyelenggara dilakukan dalam hal Peserta telah
dihentikan kepesertaannya dalam penyelenggaraan BI-
SSSS atau berdasarkan pertimbangan lain.
(3) Penghapusan connected user SDG dan/atau SSTPG atas
permintaan Peserta dilakukan dengan ketentuan dan
prosedur sebagai berikut:
80
a. Peserta mengajukan permohonan penghapusan
connected user SDG dan/atau SSTPG secara tertulis
kepada Penyelenggara yang dapat disampaikan
terlebih dahulu melalui faksimile
dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.D;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
disertai dengan digital certificate hard token yang
connected user yang dimohonkan untuk dihapus; dan
c. Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan
kepada Peserta mengenai penghapusan connected
user SDG dan/atau SSTPG.
Paragraf 3
Reset Password Connected User untuk SDG, Unlock Connected
User untuk SDG, dan/atau Reset Password Digital Certificate
Hard Token
Pasal 85
Peserta dapat mengajukan permohonan reset password
connected user untuk SDG, unlock connected user untuk SDG,
dan/atau reset password digital certificate hard token kepada
Penyelenggara.
Pasal 86
Permohonan reset password connected user untuk SDG
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilakukan dengan
ketentuan dan prosedur sebagai berikut:
a. permohonan secara tertulis mengenai reset password
connected user untuk SDG dapat disampaikan terlebih
dahulu melalui faksimile kepada Penyelenggara;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
ditandatangani oleh pejabat berwenang yang memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara dan paling
sedikit memuat informasi:
1. nama dan participant code Peserta;
81
2. nama connected user untuk password yang
dimohonkan untuk dilakukan reset; dan
3. nama dan nomor telepon pihak yang berwenang di
Peserta bersangkutan yang dapat dihubungi;
c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, Penyelenggara menyampaikan password
connected user kepada Peserta melalui surat; dan
d. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf c diambil oleh
pejabat yang berwenang dari Peserta yang memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara.
Pasal 87
Permohonan unlock connected user untuk SDG sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 85 dilakukan dengan ketentuan dan
prosedur sebagai berikut:
a. permohonan secara tertulis mengenai unlock connected
user untuk SDG kepada Penyelenggara dapat disampaikan
melalui administrative message atau surat yang
ditandatangani oleh pejabat berwenang yang memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara yang dapat
didahului dengan faksimile;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling
sedikit memuat informasi:
1. nama dan participant code Peserta;
2. nama connected user yang dimohonkan untuk di-
unlock; dan
3. nama dan nomor telepon pihak yang berwenang di
Peserta bersangkutan yang dapat dihubungi; dan
c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, Penyelenggara memberitahukan penyelesaian
proses unlock connected user untuk SDG kepada Peserta
yang bersangkutan melalui administrative message atau
sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
Pasal 88
Permohonan reset password digital certificate hard token
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilakukan dengan
ketentuan dan prosedur sebagai berikut:
82
a. permohonan secara tertulis mengenai reset password
digital certificate hard token dapat disampaikan terlebih
dahulu melalui faksimile kepada Penyelenggara;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
ditandatangani oleh pejabat berwenang yang memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara dan paling
sedikit memuat informasi:
1. nama dan participant code Peserta;
2. nama connected user untuk digital certificate hard
token yang dimohonkan untuk di-reset;
3. nomor seri digital certificate hard token; dan
4. nama dan nomor telepon pihak yang berwenang di
Peserta bersangkutan yang dapat dihubungi; dan
c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, Penyelenggara memberitahukan melalui telepon
kepada pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam huruf b angka 4 untuk melakukan tahapan proses
reset password digital certificate hard token di SPP.
Bagian Keempat
Penatausahaan Rekening Surat Berharga di BI-SSSS
Paragraf 1
Prinsip Penatausahaan
Pasal 89
(1) Penyelenggara menggunakan BI-SSSS untuk melakukan
kegiatan Penatausahaan yang meliputi Penatausahaan
Surat Berharga dan Penatausahaan hasil Transaksi.
(2) Surat Berharga yang ditatausahakan pada BI-SSSS yakni
Surat Berharga dalam mata uang rupiah dan/atau valuta
asing.
(3) Penyelenggara melakukan Penatausahaan Transaksi di
pasar perdana dan di pasar sekunder.
(4) Central Registry menatausahakan Rekening Surat
Berharga di BI-SSSS untuk kepentingan Peserta dan pihak
yang disetujui oleh Penyelenggara untuk memiliki
Rekening Surat Berharga.
83
(5) Sub-Registry menatausahakan Rekening Surat Berharga
untuk kepentingan nasabah.
(6) Peserta dan nasabah di Sub-Registry dibedakan atas
status:
a. residen; dan
b. nonresiden.
Paragraf 2
Jenis Rekening
Pasal 90
(1) Penyelenggara menetapkan rekening yang dimiliki Peserta
sesuai dengan kegiatan dan fungsi dalam kepesertaan.
(2) Jenis rekening pada BI-SSSS terdiri atas:
a. rekening untuk mencatat kepemilikan Surat
Berharga dan instrumen keuangan; dan
b. rekening administratif,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Paragraf 3
Setelmen
Pasal 91
(1) Setelmen pada BI-SSSS dilakukan pada tanggal Setelmen.
(2) Setelmen terdiri atas Setelmen Surat Berharga dan/atau
Setelmen Dana.
(3) Setelmen hanya dapat dilakukan apabila:
a. Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga
mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen Surat
Berharga; atau
b. Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga
mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen Surat
Berharga dan saldo pada Rekening Setelmen Dana
Peserta atau Rekening Setelmen Dana Bank
Pembayar mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen
Dana.
84
(4) Dalam hal saldo Rekening Surat Berharga sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b tidak
mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen maka instruksi
Setelmen atas transaksi Surat Berharga Peserta akan
masuk dalam mekanisme antrian.
(5) Dalam hal saldo Rekening Setelmen Dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b tidak mencukupi untuk
pelaksanaan Setelmen maka instruksi Setelmen akan
masuk dalam mekanisme antrian atau dibatalkan.
(6) Ketentuan mengenai instruksi Setelmen yang masuk
dalam mekanisme antrian atau dibatalkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) mengacu pada jenis transaksi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana
seketika melalui Sistem BI-RTGS.
(7) Instruksi Setelmen yang berada dalam mekanisme antrian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
dibatalkan apabila saldo Rekening Surat Berharga
dan/atau Rekening Setelmen Dana tidak mencukupi
sesuai dengan batas waktu Setelmen atas transaksi yang
ditetapkan atau pada awal periode cut-off warning BI-
SSSS.
(8) Setelmen di BI-SSSS bersifat final dan tidak dapat
dibatalkan.
Pasal 92
(1) Setelmen pada BI-SSSS dilakukan dengan cara:
a. delivery versus payment (DvP);
b. free of payment (FoP); atau
c. delivery versus delivery (DvD).
(2) Setelmen dilakukan berdasarkan data transaksi per
transaksi (gross to gross) sesuai dengan urutan transaksi
yang diterima BI-SSSS.
(3) Peserta dan/atau Bank Pembayar harus berstatus aktif
sebagai peserta Sistem BI-RTGS untuk melakukan
Setelmen dengan mekanisme DvP.
85
(4) Surat Berharga yang telah dicatat dalam rekening agunan
dalam BI-SSSS tidak dapat digunakan untuk tujuan lain.
Pasal 93
(1) Pelaksanaan Setelmen pada BI-SSSS meliputi Setelmen
atas:
a. penerbitan Surat Berharga di pasar perdana;
b. transaksi Surat Berharga di pasar sekunder;
c. pinjam meminjam dalam rangka transaksi pasar
uang antarbank (PUAB) dan pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah (PUAS); dan
d. pemindahbukuan Surat Berharga antar-Rekening
Surat Berharga Peserta.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a.
jual beli secara putus (outright);
b. repurchase agreement (repo);
c.
transfer;
d. pengagunan (pledge); dan
e. pinjam meminjam Surat Berharga (securities lending
and borrowing).
Pasal 94
Setelmen atas transaksi jual beli secara putus (outright)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a
dilakukan secara DvP.
Pasal 95
(1) Setelmen atas transaksi repo sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b dilakukan secara DvP.
(2) Jenis transaksi repo di BI-SSSS terdiri atas:
a. repo sell and buyback (repo SBB); dan
b. repo collateralized borrowing (repo CB).
(3) Dalam transaksi repo SBB sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:
86
a. kepemilikan Surat Berharga berpindah dari Peserta
peminjam dana kepada Peserta yang meminjamkan
dana; dan
b. Peserta yang meminjamkan dana
dapat
mentransaksikan Surat Berharga hasil Setelmen
atas transaksi repo SBB.
(4) Repo SBB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
terdiri atas:
a. repo SBB tipe 1 yaitu Setelmen repo SBB dengan re-
routing kupon/bunga atau imbalan pada saat
Setelmen second leg kepada Peserta peminjam dana;
dan
b. repo SBB tipe 2 yaitu Setelmen repo SBB dengan re-
routing kupon/bunga atau imbalan pada saat
pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh
waktu kepada Peserta peminjam dana.
(5) Dalam transaksi repo CB sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. kepemilikan Surat Berharga tetap berada pada
Peserta peminjam dana; dan
peminjam
b. Peserta
dana
tidak
dapat
mentransaksikan Surat Berharga hasil Setelmen
atas transaksi repo CB.
(6) Repo CB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
terdiri atas:
a. repo CB tipe 1 yaitu Setelmen repo CB dengan
pencatatan Surat Berharga tetap pada Rekening
Surat Berharga Peserta peminjam dana; dan
b. repo CB tipe 2 yaitu Setelmen repo CB dengan
pencatatan Surat Berharga pada Rekening Surat
Berharga Peserta yang meminjamkan dana dengan
re-routing kupon/bunga atau imbalan pada saat
pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh
waktu kepada Peserta peminjam dana.
(7) Pada tanggal transaksi repo jatuh waktu (second leg), BI-
SSSS secara otomatis melakukan Setelmen second leg.
87
(8) Dalam hal transaksi repo jatuh waktu (second leg)
merupakan transaksi pasar sekunder antar-Peserta maka
Setelmen second leg dilakukan berdasarkan persetujuan
dari Peserta peminjam dana dengan melakukan otorisasi
atas instruksi Setelmen yang diterimanya.
(9) Dalam hal tanggal transaksi repo jatuh waktu (second leg)
merupakan hari libur maka pelaksanaan Setelmen second
leg dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 96
(1) Setelmen atas transaksi transfer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 93 ayat (2) huruf c dilakukan secara FoP.
(2) Peserta harus menginformasikan tujuan Setelmen atas
transaksi transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pada instruksi Setelmen di BI-SSSS.
(3) Dalam hal Peserta melakukan transaksi transfer untuk
penyelesaian transaksi jual beli Surat Berharga dan
transaksi pinjam meminjam, maka Peserta harus mengisi
informasi nilai setelmen dana dan harga pada instruksi
Setelmen BI-SSSS.
(1) Setelmen
atas
Pasal 97
transaksi
pengagunan (pledge)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf d
dilakukan secara FoP.
(2) Setelmen atas transaksi pengagunan (pledge) terdiri atas:
a. pengagunan (pledge) tipe 1, yaitu Setelmen atas
transaksi pledge dengan pencatatan Surat Berharga
tetap pada Rekening Surat Berharga Peserta pemberi
agunan; dan
b. pengagunan (pledge) tipe 2, yaitu Setelmen atas
transaksi pledge dengan pencatatan Surat Berharga
pada Rekening Surat Berharga Peserta penerima
agunan dengan re-routing kupon/bunga atau imbalan
pada saat pembayaran kupon/bunga atau imbalan
jatuh waktu kepada Peserta pemberi agunan.
88
(3) Pada tanggal transaksi pengagunan (pledge) jatuh waktu
(second leg), BI-SSSS secara otomatis melakukan
Setelmen second leg.
(4) Dalam hal tanggal transaksi pengagunan (pledge) jatuh
waktu (second leg) merupakan hari libur maka
pelaksanaan Setelmen second leg dilakukan pada hari
kerja berikutnya.
Pasal 98
(1) Setelmen atas transaksi securities lending and borrowing
(SLB) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2)
huruf e dilakukan secara DvD atau DvP.
(2) Setelmen atas transaksi SLB dapat dilakukan dengan
menggunakan jaminan berupa:
a. Surat Berharga; atau
b. dana.
(3) Setelmen atas transaksi SLB dengan jaminan berupa
Surat Berharga dilakukan secara DvD yang terdiri atas:
a. SLB tipe 1, yaitu Setelmen atas transaksi SLB tanpa
re-routing kupon/bunga atau imbalan pada saat
pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh waktu
baik untuk Surat Berharga yang dipinjamkan
maupun Surat Berharga yang diserahkan sebagai
jaminan;
b. SLB tipe 2, yaitu Setelmen atas transaksi SLB dengan
re-routing kupon/bunga atau imbalan kepada Peserta
penerima pinjaman Surat Berharga pada saat
pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh waktu
untuk Surat Berharga yang diserahkan sebagai
jaminan;
c. SLB tipe 3, yaitu Setelmen atas transaksi SLB dengan
re-routing kupon/bunga atau imbalan kepada Peserta
pemberi pinjaman Surat Berharga pada saat
pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh waktu
untuk Surat Berharga yang dipinjamkan; dan
89
d. SLB tipe 4, yaitu Setelmen atas transaksi SLB dengan
re-routing kupon/bunga atau imbalan kepada Peserta
pemberi dan penerima pinjaman Surat Berharga pada
saat pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh
waktu baik untuk Surat Berharga yang dipinjamkan
maupun Surat Berharga yang diserahkan sebagai
jaminan.
(4) Setelmen atas transaksi SLB dengan jaminan berupa dana
dilakukan secara DvP yaitu SLB tipe 5 dengan re-routing
kupon/bunga atau imbalan kepada Peserta pemberi
pinjaman Surat Berharga pada saat pembayaran
kupon/bunga atau imbalan jatuh waktu untuk Surat
Berharga yang dipinjamkan.
(5) Pencatatan Surat Berharga yang dipinjamkan berpindah
dari Rekening Surat Berharga Peserta pemberi pinjaman
ke Rekening Surat Berharga Peserta penerima pinjaman.
(6) Pencatatan Surat Berharga yang diserahkan sebagai
jaminan berpindah dari Rekening Surat Berharga Peserta
penerima pinjaman ke Rekening Surat Berharga Peserta
pemberi pinjaman.
(7) Pada tanggal transaksi SLB jatuh waktu (second leg), BI-
SSSS secara otomatis melakukan Setelmen second leg.
(8) Dalam hal transaksi SLB jatuh waktu (second leg)
merupakan transaksi pasar sekunder antar-Peserta maka
Setelmen second leg:
a. untuk SLB tipe 1, SLB tipe 2, SLB tipe 3, dan SLB tipe
4, dilakukan berdasarkan persetujuan dari Peserta
penerima pinjaman Surat Berharga dengan
melakukan otorisasi atas instruksi Setelmen yang
diterimanya; atau
b. untuk SLB tipe 5, dilakukan berdasarkan
persetujuan dari Peserta pemberi pinjaman Surat
Berharga dengan melakukan otorisasi atas instruksi
Setelmen yang diterimanya.
(9) Dalam hal tanggal transaksi SLB jatuh waktu (second leg)
merupakan hari libur maka pelaksanaan Setelmen second
leg dilakukan pada hari kerja berikutnya.
90
Paragraf 4
Pengiriman dan Pemrosesan Instruksi Setelmen
Pasal 99
(1) Setelmen pada BI-SSSS dilakukan berdasarkan instruksi
Setelmen.
(2) Pengiriman instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:
a. Peserta; dan
b. Sistem BI-ETP.
(3) Instruksi Setelmen dapat dilakukan dengan prinsip
matching atau tanpa matching.
(4) Instruksi Setelmen atas transaksi titipan (future date
transaction) dapat dilakukan dengan tanggal valuta
Setelmen paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
pengiriman instruksi Setelmen.
Pasal 100
(1) Setiap instruksi Setelmen memiliki communication
reference yang merupakan kode unik dalam pengiriman
instruksi Setelmen.
(2) Communication reference diisi dengan nomor referensi
pelaporan transaksi yang diperoleh dari penerima laporan
transaksi efek (PLTE).
(3) Dalam hal transaksi yang dilakukan Peserta tidak harus
dilaporkan melalui PLTE, pengisian communication
reference dilakukan dengan mengacu pada format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Communication reference yang telah digunakan tidak dapat
digunakan kembali selama:
a. Setelmen belum berhasil dilakukan;
b. instruksi Setelmen masuk dalam antrian atau belum
dibatalkan; atau
c. Setelmen atas transaksi second leg belum jatuh
waktu.
91
Pasal 101
(1) Pemrosesan instruksi Setelmen pada BI-SSSS dilakukan
dengan mempertimbangkan paling sedikit:
a. kecukupan saldo di Rekening Surat Berharga atau
subrekening Surat Berharga milik Peserta atau pihak
pemilik Rekening Surat Berharga;
b. kecukupan saldo di Rekening Setelmen Dana milik
Peserta atau Bank Pembayar;
c.
tingkat prioritas transaksi di BI-SSSS dan Sistem BI-
RTGS;
d. urutan transaksi yang dikirimkan ke BI-SSSS;
e. batas Setelmen Dana (settlement limit);
f.
periode waktu kegiatan yang telah ditetapkan oleh
Penyelenggara;
g. status kepesertaan Peserta di BI-SSSS;
h. status kepesertaan Peserta dan/atau Bank Pembayar
di Sistem BI-RTGS; dan
i.
batas waktu terakhir Surat Berharga atau instrumen
keuangan lain, yang setelmennya dapat dilakukan
melalui BI-SSSS.
(2) Penyelenggara menetapkan prioritas Setelmen Surat
Berharga pada BI-SSSS sebagai berikut:
a. high priority;
b. normal priority; dan
c.
low priority.
(3) Peserta dapat menentukan waktu pelaksanaan Setelmen
dilakukan sebagai berikut:
a. waktu paling awal Setelmen dilakukan; dan/atau
b. waktu paling akhir Setelmen dilakukan.
Pasal 102
(1) Penyelesaian instruksi Setelmen yang masuk dalam
mekanisme antrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 ayat (4) dilakukan dengan prinsip:
a. first in first out (FIFO) untuk Setelmen Surat Berharga
atas transaksi outright, transfer, dan Surat Berharga
yang dipinjamkan dalam transaksi SLB; dan
92
b. first available first out (FAFO) untuk Setelmen Surat
Berharga atas transaksi repo, pledge, dan Surat
Berharga yang dijaminkan dalam transaksi SLB.
(2) Penyelesaian instruksi Setelmen yang berada dalam
mekanisme antrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS.
(3) Pelaksanaan Setelmen dalam mekanisme antrian dengan
prinsip FIFO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Setelmen grup low priority dilakukan setelah
Setelmen pada grup high priority dan normal priority
berhasil dilakukan;
b. Setelmen grup normal priority dilakukan setelah
Setelmen pada grup high priority berhasil dilakukan;
c.
instruksi Setelmen yang berada dalam mekanisme
antrian akan dibatalkan secara otomatis oleh sistem
pada awal periode cut-off warning BI-SSSS atau
waktu yang telah ditetapkan; dan
d. Peserta dapat melakukan pengelolaan prioritas untuk
grup normal priority dan low priority.
(4) Pengelolaan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf d dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a. reordering;
b. reprioritization; dan
c. cancellation.
Pasal 103
(1) Peserta dapat melakukan pembatalan instruksi Setelmen
atas transaksi Surat Berharga sepanjang belum dilakukan
Setelmen atas transaksi Surat Berharga.
(2) Pembatalan instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan dengan mekanisme sebagai
berikut:
93
a. pembatalan instruksi Setelmen dilakukan oleh
Peserta secara sepihak dalam hal lawan transaksi
belum melakukan pengiriman instruksi Setelmen
atau data instruksi Setelmen yang dikirim oleh kedua
belah pihak belum matching; atau
b. pembatalan instruksi Setelmen dilakukan oleh
Peserta berdasarkan kesepakatan dari kedua belah
pihak dalam hal status Setelmen sudah matching
namun masih dalam mekanisme antrian.
Paragraf 5
Penunjukan Bank Pembayar
Pasal 104
Peserta yang tidak memiliki Rekening Setelmen Dana dan Sub-
Registry harus menunjuk Bank Pembayar untuk melakukan
Setelmen Dana.
Pasal 105
(1) Peserta dan Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 104 dapat menunjuk lebih dari 1 (satu) Bank
Pembayar untuk keperluan Setelmen Dana dalam mata
uang rupiah atas Transaksi Pasar Keuangan.
(2) Penunjukan Bank Pembayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan surat
penunjukan Bank Pembayar kepada Penyelenggara yang
dilengkapi dengan surat konfirmasi dari Bank Pembayar.
Pasal 106
(1) Bank Pembayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105
melakukan pengelolaan batas dana yang dapat digunakan
untuk Setelmen Dana (settlement limit) bagi Peserta
dan/atau Sub-Registry yang menunjuk Bank Pembayar
tersebut.
94
(2)
Pengelolaan batas dana yang dapat digunakan untuk
Setelmen Dana (settlement limit) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penetapan batas dana yang dapat digunakan untuk
Setelmen Dana (settlement limit) dilakukan
berdasarkan kesepakatan Bank Pembayar dengan
Peserta atau Sub-Registry yang menunjuk;
b. batas dana yang dapat digunakan untuk Setelmen
Dana (settlement limit) dapat bertambah atau
berkurang sesuai dengan Setelmen Dana atas
transaksi Peserta atau Sub-Registry yang menunjuk;
dan
c. Bank Pembayar harus memantau batas dana yang
digunakan untuk Setelmen Dana (settlement limit).
Paragraf 6
Pengelolaan Surat Berharga Yang Dijadikan Sebagai Jaminan
(Collateral Management) oleh Penyelenggara
Pasal 107
Penyelenggara menetapkan parameter pengelolaan Surat
Berharga yang dijadikan sebagai jaminan (collateral
management) untuk pelaksanaan Setelmen atas transaksi yang
dilakukan dengan Bank Indonesia.
Paragraf 7
Pembayaran Kupon/Bunga atau Imbalan Surat Berharga atau
Instrumen Keuangan Lain
Pasal 108
(1) Penyelenggara melakukan pembayaran kupon/bunga
atau imbalan pada tanggal pembayaran kupon/bunga
atau imbalan dengan mendebit Rekening Setelmen Dana
penerbit dan mengkredit Rekening Setelmen Dana Peserta
atau Bank Pembayar, sebesar nilai kupon/bunga atau
imbalan.
95
(2) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan:
a. perhitungan dan tingkat kupon/bunga atau imbalan;
dan
b.
posisi pencatatan kepemilikan Surat Berharga atau
instrumen keuangan lain di BI-SSSS pada akhir hari
tanggal batas waktu penetapan penerima
kupon/bunga atau imbalan,
sesuai dengan ketentuan dan persyaratan masing-masing
seri Surat Berharga atau instrumen keuangan lain.
(3) Dalam hal terdapat re-routing kupon/bunga atau imbalan,
re-routing kupon/bunga atau imbalan kepada Peserta
dilakukan sesuai dengan jenis dan tipe transaksi Surat
Berharga yang dilakukan Peserta.
(4) Dalam hal tanggal pembayaran kupon/bunga atau
imbalan Surat Berharga dan instrumen keuangan lain
merupakan hari libur maka pelaksanaan pembayaran
kupon/bunga atau imbalan dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
Pasal 109
(1) Sub-Registry
wajib meneruskan pembayaran
kupon/bunga atau imbalan kepada nasabah pemilik Surat
Berharga atau instrumen keuangan lain pada tanggal yang
sama dengan tanggal pembayaran kupon/bunga atau
imbalan oleh Penyelenggara.
(2) Dalam hal Sub-Registry tidak meneruskan pembayaran
kupon/bunga atau imbalan pada tanggal yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sub-Registry harus
membayar kompensasi kepada nasabah pemilik Surat
Berharga atau instrumen keuangan lain sesuai
kesepakatan Sub-Registry dan nasabah.
96
Paragraf 8
Pelunasan Pokok/Nilai Nominal Surat Berharga atau
Instrumen Keuangan Lain
Pasal 110
(1) Pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga atau
instrumen keuangan lain dilakukan pada saat jatuh waktu
atau sebelum jatuh waktu (early redemption) sesuai
dengan ketentuan dan persyaratan masing-masing seri
Surat Berharga atau instrumen keuangan lain.
(2) Pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga atau
instrumen keuangan lain pada saat jatuh waktu atau
sebelum jatuh waktu (early redemption) dilakukan dengan
mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam
Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Dalam hal tanggal pelunasan pokok/nilai nominal Surat
Berharga atau instrumen keuangan lain merupakan hari
libur maka pelaksanaan pelunasan pokok/nilai nominal
Surat Berharga dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 111
(1) Dalam hal pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga
atau instrumen keuangan lain dilakukan sebelum jatuh
waktu (early redemption), Peserta yang menjual Surat
Berharga atau instrumen keuangan lain harus memiliki
saldo pada Rekening Surat Berharga yang mencukupi
sejumlah pokok/nilai nominal seri Surat Berharga atau
instrumen keuangan lain yang akan dilunasi.
(2) Pembayaran pelunasan pokok/nilai nominal Surat
Berharga atau instrumen keuangan lain sebelum jatuh
waktu (early redemption) dilakukan sebesar nilai Setelmen
Dana yang disepakati oleh Peserta dan penerbit Surat
Berharga atau instrumen keuangan lain.
97
Pasal 112
(1) Sub-Registry wajib meneruskan pembayaran pelunasan
pokok/nilai nominal Surat Berharga atau instrumen
keuangan lain kepada nasabah pemilik Surat Berharga
pada tanggal yang sama dengan tanggal pelunasan
pokok/nilai nominal Surat Berharga atau instrumen
keuangan lain oleh Penyelenggara.
(2) Dalam hal Sub-Registry tidak meneruskan pembayaran
pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga atau
instrumen keuangan lain pada tanggal yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sub-Registry harus
membayar kompensasi kepada nasabah pemilik Surat
Berharga atau instrumen keuangan lain sesuai
kesepakatan Sub-Registry dan nasabah.
Paragraf 9
Laporan Setelmen dan Laporan Posisi Rekening Surat
Berharga
Pasal 113
(1) Peserta memperoleh laporan Setelmen dan laporan posisi
harian Rekening Surat Berharga dari Penyelenggara setiap
akhir hari saat tutup sistem.
(2) Peserta dapat meminta kepada Penyelenggara laporan
Setelmen, laporan posisi Rekening Surat Berharga, dan
laporan lain yang tersedia pada BI-SSSS selama waktu
operasional BI-SSSS.
(3) Dalam hal terjadi perbedaan posisi harian Rekening Surat
Berharga yang tercatat di sistem Peserta dengan sistem
Penyelenggara maka yang digunakan dan berlaku adalah
posisi harian Rekening Surat Berharga yang tercatat di
sistem Penyelenggara.
98
Bagian Kelima
Penatausahaan Transaksi Pasar Keuangan
Paragraf 1
Setelmen atas Transaksi Pasar Sekunder Antar-Peserta
Pasal 114
Peserta pemilik Rekening Surat Berharga dapat mengirimkan
instruksi Setelmen atas transaksi Surat Berharga di pasar
sekunder melalui BI-SSSS untuk transaksi Surat Berharga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2).
Pasal 115
(1) Instruksi Setelmen atas transaksi Surat Berharga antar-
Peserta dilakukan dengan prinsip matching sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3).
(2) Pengiriman instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh kedua Peserta dengan meng-
input dan mengirim instruksi Setelmen.
(3) Instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh Peserta berdasarkan suatu perintah
pembukuan atau perintah penyelesaian transaksi Surat
Berharga sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
masing-masing Peserta.
Pasal 116
Pelaksanaan Setelmen atas Transaksi Pasar Sekunder antar-
Peserta dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana
tercantum dalam Lampiran X.
Pasal 117
(1) Dalam hal Setelmen atas transaksi pengagunan (pledge)
dilakukan untuk pinjaman likuiditas jangka pendek dari
Bank Indonesia maka Peserta sebagai pemberi agunan dan
Bank Indonesia sebagai penerima agunan mengirimkan
instruksi Setelmen atas transaksi pengagunan (pledge)
tipe 1.
99
(2) Dalam hal Peserta merupakan Bank Konvensional dan
akan menggunakan Surat Berharga milik UUS maka
pengiriman instruksi Setelmen atas transaksi pengagunan
(pledge) tipe 1 dilakukan oleh UUS sebagai pemberi
agunan dan Bank Indonesia sebagai penerima agunan.
(3) Setelmen second leg atas transaksi pengagunan (pledge)
tipe 1 dapat dilakukan apabila Peserta telah memenuhi
persyaratan penarikan (release) agunan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pinjaman likuiditas jangka pendek.
(4) Dalam hal dilakukan eksekusi agunan pinjaman likuiditas
jangka pendek maka Peserta dan Bank Indonesia
melakukan pembatalan Setelmen second leg (cancel
second leg) atas transaksi pengagunan (pledge).
Paragraf 2
Setelmen atas Transaksi Pasar Keuangan yang dilakukan
melalui Sistem BI-ETP
Pasal 118
Sistem BI-ETP dapat mengirimkan instruksi Setelmen atas
Transaksi Pasar Keuangan yang dilakukan melalui Sistem BI-
ETP.
Pasal 119
(1) Instruksi Setelmen atas Transaksi Pasar Keuangan yang
dilakukan melalui Sistem BI-ETP dilakukan dengan
prinsip tanpa matching sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 99 ayat (3).
(2) Transaksi Pasar Keuangan yang dilakukan melalui Sistem
BI-ETP dapat dilakukan dengan underlying Surat
Berharga atau tanpa underlying Surat Berharga.
(3) Instruksi Setelmen atas Transaksi Pasar Keuangan yang
dilakukan melalui Sistem BI-ETP yaitu:
a. transaksi pinjam meminjam dalam rangka transaksi
PUAB dan PUAS; dan
100
b. transaksi pasar sekunder antar-Peserta.
(4) Pelaksanaan Setelmen atas Transaksi Pasar Keuangan
yang dilakukan melalui Sistem BI-ETP dilakukan dengan
mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam
Lampiran X.
(5) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi PUAS sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta pengelola dana melakukan pencatatan term
and condition instrumen PUAS yang menjadi dasar
transaksi PUAS melalui BI-SSSS; dan
b. pelaksanaan Setelmen atas transaksi PUAS
dilakukan setelah pencatatan instrumen PUAS
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilaksanakan.
(6) Pada tanggal transaksi PUAB atau PUAS jatuh waktu
(second leg) atas transaksi pasar sekunder antar-Peserta
maka Setelmen second leg dilakukan berdasarkan
persetujuan dari:
a. Peserta peminjam dana untuk PUAB; atau
b. Peserta pengelola dana untuk PUAS,
dengan melakukan otorisasi atas instruksi Setelmen yang
diterimanya.
(7) Dalam hal tanggal transaksi PUAB atau PUAS jatuh waktu
(second leg) merupakan hari libur maka pelaksanaan
Setelmen second leg dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Paragraf 3
Setelmen atas Transaksi Second Leg Sebelum Jatuh Waktu
(Early Termination) dan Setelmen Perpanjangan Jangka Waktu
Transaksi
Pasal 120
Peserta dapat melakukan Setelmen sebelum jatuh waktu (early
termination) atas transaksi second leg atau perpanjangan
jangka waktu transaksi dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dilakukan berdasarkan kesepakatan antar-Peserta yang
bertransaksi; dan
101
b. dilakukan oleh Peserta yang bertransaksi melalui BI-SSSS
dengan mengubah tanggal Setelmen second leg paling
lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu
Setelmen second leg.
Paragraf 4
Penyelesaian Kegagalan Setelmen Second Leg atas Transaksi
Antar-Peserta
Pasal 121
(1) Setelmen second leg atas transaksi antar-Peserta
dinyatakan gagal dalam hal saldo pada Rekening Setelmen
Dana dan/atau Rekening Surat Berharga untuk
pelaksanaan transaksi second leg jatuh waktu tidak
mencukupi sampai dengan awal periode cut-off warning
BI-SSSS atau batas waktu Setelmen yang ditetapkan.
(2) Penyelesaian lebih lanjut atas kegagalan Setelmen second
leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. BI-SSSS melakukan perpanjangan jangka waktu
transaksi secara otomatis dengan jangka waktu 1
(satu) hari kerja;
b. BI-SSSS melakukan pelaksanaan Setelmen second
leg pada hari kerja berikutnya; dan
c. perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dilakukan sampai dengan Setelmen second leg
berhasil dilakukan atau dilakukan pembatalan
second leg (cancel second leg).
Paragraf 5
Pembatalan Second Leg (Cancel Second Leg) atas Transaksi
Antar-Peserta
Pasal 122
(1) Pembatalan second leg (cancel second leg) dilakukan
berdasarkan kesepakatan antar-Peserta.
102
(2) Pembatalan second leg (cancel second leg) oleh Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut:
a. Peserta yang menyerahkan Surat Berharga sebagai
jaminan mengirimkan instruksi pembatalan second
leg melalui BI-SSSS; dan
b. Peserta lawan transaksi yang menerima Surat
Berharga sebagai jaminan memberikan persetujuan
pembatalan second leg (cancel second leg) dengan
melakukan otorisasi atas instruksi yang diterimanya.
Pasal 123
(1) Penyelenggara membatalkan second leg (cancel second leg)
apabila Surat Berharga yang ditransaksikan memasuki
batas waktu untuk dapat ditransaksikan namun Peserta
tidak melakukan pembatalan second leg (cancel second
leg).
(2) Penyelenggara dapat melakukan pembatalan second leg
(cancel second leg) berdasarkan:
a. permintaan salah satu Peserta yang bertransaksi atas
dasar kuasa pembatalan dari Peserta lawan
transaksi;
b. permintaan lembaga pengawas yang berwenang; atau
c. putusan pengadilan dan/atau lembaga arbitrase yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap, yang
mengakibatkan second leg harus dibatalkan.
(3) Pembatalan berdasarkan permintaan salah satu Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
berdasarkan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
ayat (2) huruf c dilakukan dengan prosedur:
a. Peserta mengajukan permohonan pembatalan second
leg (cancel second leg) secara tertulis melalui surat
disertai dengan dokumen pendukung kepada
Penyelenggara yang dapat didahului dengan
administrative message dan/atau faksimile;
103
b. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf a
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari
Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di
Penyelenggara
dengan format
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.Y yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini;
c. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, berupa:
1. bukti transaksi;
2. surat kuasa dari Peserta lawan transaksi;
dan/atau
3. putusan pengadilan atau putusan arbitrase yang
mengakibatkan transaksi second leg harus
dibatalkan;
d. dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a disetujui, Penyelenggara melakukan
pembatalan second leg (cancel second leg) atas
transaksi Peserta yang bersangkutan; dan
e. Penyelenggara menyampaikan informasi pelaksanaan
pembatalan second leg (cancel second leg) kepada
kedua belah pihak Peserta yang bertransaksi melalui
surat, administrative message, dan/atau sarana lain.
Pasal 124
(1) Dalam hal dilakukan pembatalan second leg (cancel second
leg) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dan Pasal
123, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Setelmen first leg dianggap sebagai Setelmen atas
transaksi outright; dan
b. dalam hal first leg berupa Setelmen repo CB dan
pengagunan (pledge), pembatalan second leg
dilakukan dengan pemindahan Surat Berharga yang
menjadi jaminan kepada penerima jaminan.
(2) Pelaksanaan pemindahan jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mekanisme
Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X.
104
Paragraf 6
Pengelolaan Surat Berharga yang Dijadikan Sebagai Jaminan
(Collateral Management) oleh Peserta
Pasal 125
(1) Peserta dapat menetapkan kriteria Surat Berharga yang
dijadikan sebagai jaminan transaksi secara bilateral.
(2) Dalam pengelolaan Surat Berharga yang dijadikan sebagai
jaminan (collateral management), Peserta dapat
menetapkan potongan harga (haircut) Surat Berharga
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. haircut yang ditetapkan oleh Peserta pemberi agunan
harus lebih tinggi atau sama dengan yang ditetapkan
oleh Peserta penerima agunan; dan
b. dalam hal terdapat perbedaan haircut antara Peserta
penerima agunan dengan Peserta pemberi agunan
maka haircut yang digunakan yaitu haircut yang
ditetapkan Peserta penerima agunan.
(3) Peserta dapat melakukan penggantian Surat Berharga
yang sedang digunakan sebagai jaminan (collateral
substitution) untuk transaksi antar-Peserta dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. dilakukan sebelum tanggal second leg;
b. dilakukan berdasarkan kesepakatan antar-Peserta;
dan
c. Surat Berharga pengganti memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ketentuan
potongan harga (haircut) sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
105
Bagian Keenam
Penatausahaan Transaksi Operasi Moneter dan Operasi
Moneter Syariah
Paragraf 1
Penatausahaan Transaksi Operasi Moneter dan Operasi
Moneter Syariah untuk Absorpsi Likuiditas
Pasal 126
Setelmen atas transaksi operasi moneter dan operasi moneter
syariah untuk absorpsi likuiditas di pasar uang terdiri atas:
a. Setelmen atas transaksi penerbitan Surat Berharga oleh
Bank Indonesia;
b. Setelmen atas transaksi penempatan dana; dan
c. Setelmen atas transaksi pasar sekunder.
Pasal 127
(1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi operasi moneter dan
operasi moneter syariah untuk absorpsi likuiditas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dilakukan secara
DvP.
(2) Pelaksanaan Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sesuai dengan urutan instruksi Setelmen.
(3) Setelmen tidak dapat dilakukan selama saldo Rekening
Setelmen Dana dan/atau saldo Rekening Surat Berharga
tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen
atas transaksi operasi moneter dan operasi moneter
syariah atau awal periode cut-off warning BI-SSSS.
Pasal 128
Pelaksanaan Setelmen jatuh waktu atas operasi moneter dan
operasi moneter syariah mulai dilakukan pada awal hari yang
meliputi:
a. Setelmen jatuh waktu untuk pelunasan Surat Berharga
dan penempatan dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 126 huruf a dan huruf b; dan
106
b. Setelmen second leg transaksi di pasar sekunder
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c.
Pasal 129
Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
126 dan Pasal 128, dilakukan dengan mekanisme Setelmen
sebagaimana tercantum dalam Lampiran X.
Paragraf 2
Penatausahaan Transaksi Operasi Moneter dan Operasi
Moneter Syariah untuk Injeksi Likuiditas
Pasal 130
(1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi operasi moneter dan
operasi moneter syariah untuk injeksi likuiditas di pasar
uang dilakukan secara DvP.
(2) Pelaksanaan Setelmen dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan urutan instruksi Setelmen.
(3) Setelmen tidak dapat dilakukan selama saldo Rekening
Setelmen Dana dan/atau saldo Rekening Surat Berharga
tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen
transaksi operasi moneter dan operasi moneter syariah
atau awal periode cut-off warning BI-SSSS.
Pasal 131
Pelaksanaan Setelmen jatuh waktu atas operasi moneter dan
operasi moneter syariah mulai dilakukan pada awal hari.
Pasal 132
Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
130 dan Pasal 131, dilakukan dengan mekanisme Setelmen
sebagaimana tercantum dalam Lampiran X.
107
Paragraf 3
Pelaksanaan Pembebanan atas Pengenaan Sanksi
Administratif Kewajiban Membayar untuk Operasi Moneter
dan Operasi Moneter Syariah
Pasal 133
Penyelenggara mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta atau
Bank Pembayar untuk pembebanan atas pengenaan sanksi
administratif berupa kewajiban membayar sesuai dengan
ketentuan yang mengatur mengenai operasi moneter dan
operasi moneter syariah.
Bagian Ketujuh
Penatausahaan Transaksi SBN Atas Nama Pemerintah
Paragraf 1
Setelmen atas Transaksi SBN Atas Nama Pemerintah
Pasal 134
Penyelenggara melakukan Setelmen atas transaksi SBN atas
nama Pemerintah yang meliputi:
a. transaksi penerbitan SBN yang dilakukan melalui lelang
oleh Bank Indonesia;
b. transaksi penerbitan SBN yang tidak dilakukan melalui
lelang oleh Bank Indonesia;
c. transaksi pembelian kembali (buyback) dengan cara tunai
atau penukaran (debt switching); dan
d. transaksi peminjaman SBN oleh Dealer Utama.
Paragraf 2
Setelmen atas Transaksi Penerbitan SBN
Pasal 135
(1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi penerbitan SBN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 huruf a
dilakukan secara DvP.
108
(2) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi penerbitan SBN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 huruf b
dilakukan secara DvP atau melalui mekanisme lain yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Pelaksanaan Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilakukan secara FIFO sesuai dengan
urutan instruksi Setelmen.
(4) Setelmen tidak dapat dilakukan selama saldo Rekening
Setelmen Dana Peserta atau Rekening Setelmen Dana
Bank Pembayar tidak mencukupi sampai dengan batas
waktu Setelmen transaksi penerbitan SBN atau awal
periode cut-off warning BI-SSSS.
Pasal 136
Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
135, dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana
tercantum dalam Lampiran X.
Paragraf 3
Setelmen atas Transaksi Pembelian Kembali SBN oleh
Pemerintah (Buyback)
Pasal 137
Penyelenggara melakukan Setelmen atas transaksi pembelian
kembali SBN oleh Pemerintah (buyback) yang dilakukan
dengan cara tunai atau dengan cara penukaran (debt
switching).
Pasal 138
(1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi pembelian kembali
SBN oleh Pemerintah (buyback) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 137 dilakukan secara DvP atau melalui
mekanisme lain yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Pelaksanaan Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara FIFO sesuai dengan urutan instruksi
Setelmen.
109
(3) Setelmen tidak dapat dilakukan selama saldo Rekening
Surat Berharga Peserta dan/atau saldo Rekening Setelmen
Dana Peserta atau Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar
tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen
transaksi pembelian kembali SBN oleh Pemerintah
(buyback) atau awal periode cut-off warning BI-SSSS.
Pasal 139
Setelmen atas transaksi pembelian kembali SBN oleh
Pemerintah (buyback) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137,
dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana
tercantum dalam Lampiran X.
Paragraf 4
Setelmen Peminjaman SBN Oleh Dealer Utama
Pasal 140
(1) Setelmen peminjaman SBN oleh Dealer Utama dilakukan
dengan menggunakan mekanisme Setelmen atas transaksi
SLB tipe 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3)
huruf a.
(2) Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana
tercantum dalam Lampiran X.
Bagian Kedelapan
Penatausahaan Surat Berharga untuk FLI
Paragraf 1
Penatausahaan Surat Berharga untuk FLI Pada Sistem BI-
RTGS
Pasal 141
(1) Untuk penggunaan FLI pada Sistem BI-RTGS, Peserta
harus menyediakan Surat Berharga sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
fasilitas likuiditas intrahari.
110
(2) Peserta dapat melakukan release Surat Berharga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak
sebesar nilai nominal yang tidak digunakan untuk
menjamin penggunaan FLI.
(3) Penyediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
selama periode waktu kegiatan yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
(4) Penyediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
sesuai dengan mekanisme Setelmen sebagaimana
tercantum dalam Lampiran X.
Pasal 142
(1) Penyelenggara menghitung dan menetapkan nilai tunai
(cash value) atas Surat Berharga yang tercatat pada
rekening FLI.
(2) Nilai tunai (cash value) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) akan menjadi batas paling tinggi (limit) FLI yang dapat
digunakan oleh Peserta melalui Sistem BI-RTGS.
Pasal 143
(1) Peserta dapat melakukan pelunasan penggunaan FLI
melalui BI-SSSS selama periode waktu kegiatan Setelmen
pelunasan FLI yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sebesar nilai penggunaan FLI untuk setiap transaksi
penggunaan FLI di Sistem BI-RTGS.
(3) Dalam hal Peserta belum melunasi penggunaan FLI
sampai dengan berakhirnya periode waktu kegiatan
Setelmen pelunasan FLI, Penyelenggara akan melakukan
Setelmen pelunasan FLI sebesar penggunaan FLI yang
belum dilunasi dengan mendebit Rekening Setelmen Dana
Peserta di Sistem BI-RTGS.
111
Paragraf 2
Konversi Penggunaan FLI yang Belum Dilunasi Menjadi
Transaksi Lending Facility atau Financing Facility dengan
Bank Indonesia
Pasal 144
(1) Dalam hal Rekening Setelmen Dana Peserta di Sistem BI-
RTGS tidak mencukupi untuk melunasi penggunaan FLI
maka Penyelenggara melakukan konversi penggunaan
FLI yang belum dilunasi menjadi transaksi lending
facility atau financing facility dengan Bank Indonesia.
(2) Penyelenggara menetapkan Surat Berharga yang
menjadi agunan atas transaksi lending facility atau
financing facility dengan urutan prioritas sebagai
berikut:
a.
tipe Surat Berharga yaitu:
1. Surat Berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia; dan/atau
2. SBN; dan
b. sisa jangka waktu Surat Berharga yang lebih
pendek untuk Surat Berharga yang sama.
(3) Pelunasan atas transaksi lending facility atau financing
facility sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai:
a. koridor suku bunga (standing facilities);
b. tata cara transaksi repo sertifikat Bank Indonesia
syariah dengan Bank Indonesia; dan
c.
tata cara transaksi repo surat berharga syariah
negara dengan Bank Indonesia.
(4) Mekanisme konversi atas transaksi lending facility atau
financing facility dilakukan sesuai dengan mekanisme
Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X.
112
Bagian Kesembilan
Penatausahaan Surat Berharga Nasabah
Paragraf 1
Penatausahaan Surat Berharga Nasabah oleh Sub-Registry
Pasal 145
(1) Setiap pihak yang tidak memiliki Rekening Surat Berharga di
Central Registry, harus menunjuk Sub-Registry untuk
melakukan penatausahaan Surat Berharga yang dimilikinya.
(2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada Rekening
Surat Berharga Sub-Registry di Central Registry bersifat
global (omnibus account).
(3) Pencatatan Surat Berharga yang dimiliki nasabah
dilakukan tersendiri pada sistem yang dimiliki oleh Sub-
Registry.
(4) Dalam hal Sub-Registry telah melakukan setelmen
antarnasabah (inhouse transfer) atas transaksi repo CB
atau pengagunan (pledge) pada sistem Sub-Registry maka
Sub-Registry harus melakukan pemindahbukuan Surat
Berharga yang ditransaksikan sesuai mekanisme
Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X.
Pasal 146
(1) Dalam hal nasabah Sub-Registry berupa Dealer Utama non-
Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank, Sub-Registry
dapat membuka Rekening Surat Berharga di BI-SSSS
untuk dan atas nama Dealer Utama non-Bank atau peserta
lelang SBSN non-Bank yang digunakan khusus untuk
pelaksanaan Setelmen hasil lelang SBN di pasar perdana.
(2) Sub-Registry harus memindahkan Surat Berharga hasil
lelang SBN dari Rekening Surat Berharga Dealer Utama
non-Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke Rekening Surat
Berharga Sub-Registry di BI-SSSS yang bersifat global
(omnibus account) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
145 ayat (2), segera setelah Setelmen hasil lelang SBN
dilakukan.
113
Pasal 147
(1) Sub-Registry harus mengajukan permohonan tertulis
kepada Penyelenggara untuk pembukaan Rekening Surat
Berharga atas nama Dealer Utama non-Bank atau peserta
lelang SBSN non-Bank yang dilampiri dokumen sebagai
berikut:
a. informasi Dealer Utama non-Bank atau peserta lelang
SBSN non-Bank, yang paling sedikit memuat nama
dan nomor single investor identity yang digunakan di
pasar modal;
b. fotokopi surat penunjukan sebagai Dealer Utama
non-Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank dari
Menteri Keuangan; dan
c. surat pernyataan dari Dealer Utama non-Bank atau
peserta lelang SBSN non-Bank yang menyatakan
bahwa Dealer Utama non-Bank atau peserta lelang
SBSN non-Bank merupakan nasabah dari Sub-
Registry.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus ditandatangani pejabat yang memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara.
(3) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penyelenggara akan melakukan pembukaan
Rekening Surat Berharga atas nama Dealer Utama non-
Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank paling lama 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak dokumen diterima secara
lengkap.
Paragraf 2
Sarana Pelaporan bagi Sub-Registry
Pasal 148
Penyelenggara menyediakan SI BI-SSSS bagi Sub-Registry
sebagai sarana pelaporan dan rekonsiliasi data BI-SSSS terkait
penatausahaan nasabah.
114
Pasal 149
Pengelolaan dan kewenangan penggunaan SI BI-SSSS diatur
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penyelenggara memberikan user-ID dan password
administrator kepada setiap Sub-Registry untuk akses
terhadap aplikasi SI BI-SSSS;
b. administrator sebagaimana dimaksud dalam huruf a
memiliki kewenangan sebagai berikut:
1. membuat user setingkat administrator; dan
2. melakukan kegiatan menambah, menghapus, reset
password untuk user dan user group; dan
c. Sub-Registry dapat mengajukan permohonan reset
password kepada Penyelenggara melalui administrative
message
BI-SSSS atau dengan menyampaikan
permintaan tertulis yang ditandatangani oleh pengelola
Sub-Registry.
Paragraf 3
Pelaporan Sub-Registry
Pasal 150
(1) Sub-Registry
wajib
menyampaikan
laporan
penatausahaan Surat Berharga nasabah kepada
Penyelenggara.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
laporan berkala dan laporan sewaktu-waktu yang terdiri atas:
a. laporan harian;
b. laporan bulanan;
c. laporan Setelmen atas transaksi penerbitan Surat
Berharga;
d. laporan Setelmen atas transaksi buyback/debt
switching; dan
e. laporan data nasabah.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan melalui SI BI-SSSS dengan mengacu pada
tata cara dan format laporan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VI.
115
Pasal 151
(1) Ketentuan penyampaian laporan harian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 150 ayat (2) huruf a diatur sebagai
berikut:
a. Sub-Registry wajib menyampaikan laporan secara
harian pada hari yang sama dengan tanggal Setelmen;
b.
laporan harian sebagaimana dimaksud dalam huruf
a terdiri atas:
1. laporan Setelmen atas transaksi antarnasabah
dalam Sub-Registry yang sama (inhouse transfer);
dan/atau
2. laporan informasi data nasabah atas Setelmen
atas transaksi Surat Berharga yang dilakukan
melalui BI-SSSS; dan
c. dalam hal informasi data nasabah sebagaimana
dimaksud dalam huruf b tidak terdaftar dalam
database nasabah di SI BI-SSSS maka Sub-Registry
dianggap tidak
melengkapi data nasabah
sebagaimana dimaksud pada Pasal 70 huruf g.
(2) Ketentuan penyampaian laporan bulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 150 ayat (2) huruf b diatur sebagai
berikut:
a. Sub-Registry wajib menyampaikan laporan bulanan
paling lama 3 (tiga) hari kerja pada awal bulan
berikutnya; dan
b. laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a memuat informasi posisi kepemilikan Surat
Berharga nasabah Sub-Registry pada akhir bulan
yang disampaikan melalui SI BI-SSSS.
(3) Ketentuan penyampaian laporan Setelmen atas transaksi
penerbitan Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 150 ayat (2) huruf c diatur sebagai berikut:
a. Sub-Registry wajib menyampaikan laporan Setelmen
atas transaksi penerbitan Surat Berharga pada hari
yang sama dengan tanggal Setelmen transaksi
penerbitan Surat Berharga atas nasabah yang
tercatat di Sub-Registry; dan
116
b. laporan Setelmen atas transaksi penerbitan Surat
Berharga sebagaimana dimaksud dalam huruf a
memuat informasi hasil Setelmen atas transaksi
penerbitan Surat Berharga atas nasabah yang
tercatat di Sub-Registry.
(4) Ketentuan penyampaian laporan Setelmen atas transaksi
buyback/debt switching sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 150 ayat (2) huruf d diatur sebagai berikut:
a. Sub-Registry wajib menyampaikan laporan Setelmen
atas transaksi buyback/debt switching atas nasabah
yang tercatat di Sub-Registry pada hari yang sama
dengan tanggal Setelmen transaksi buyback/debt
switching; dan
b. laporan Setelmen atas transaksi buyback/debt
switching memuat informasi hasil Setelmen atas
transaksi buyback/debt switching atas nasabah yang
tercatat di Sub-Registry.
(5) Laporan data nasabah sebagaimana dimaksud dalam 150
ayat (2) huruf e disampaikan oleh Sub-Registry untuk
pengisian database nasabah di SI BI-SSSS, yang berisi:
a. data nasabah baru; dan/atau
b. perubahan data nasabah.
Pasal 152
(1) Dalam hal terdapat kesalahan dalam pelaporan maka Sub-
Registry wajib melakukan koreksi atas laporan yang
disampaikan kepada Penyelenggara.
(2) Koreksi atas laporan yang disampaikan Sub-Registry
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. koreksi
atas laporan harian Sub-Registry
disampaikan melalui SI BI-SSSS paling lambat 2
(dua) hari kerja setelah pemberitahuan dari
Penyelenggara;
117
b. koreksi
atas laporan bulanan Sub-Registry
disampaikan melalui SI BI-SSSS paling lambat 5
(lima) hari kerja setelah pemberitahuan dari
Penyelenggara; dan
c. ketentuan dan tata cara penyampaian koreksi
laporan dilakukan melalui SI BI-SSSS dengan
mengacu kepada tata cara dan format laporan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI.
BAB V
BIAYA
Bagian Kesatu
Biaya dalam Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga
Melalui BI-SSSS
Pasal 153
Penyelenggara menetapkan biaya terhadap Peserta dalam
penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui BI-
SSSS.
Pasal 154
Jenis biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 terdiri
atas:
a. biaya instruksi Setelmen;
b. biaya pengiriman administrative message;
c. biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank;
d. biaya perpanjangan periode waktu kegiatan operasional;
e. biaya penggantian atau penambahan digital certificate
hard token; dan
f.
biaya lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
118
Pasal 155
(1) Penetapan biaya instruksi Setelmen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 154 huruf a dikenakan untuk
setiap pengiriman instruksi Setelmen.
(2) Penetapan biaya pengiriman administrative message
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf b dikenakan
untuk setiap pengiriman administrative message.
(3) Penetapan biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf c, diatur
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya biaya ditetapkan oleh Penyelenggara
berdasarkan durasi waktu penggunaan setiap 1 (satu)
jam;
b. besarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam huruf
a berlaku untuk penggunaan sebagian atau seluruh
Fasilitas Guest Bank Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan/atau Sistem BI-RTGS; dan
c. durasi waktu penggunaan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dihitung berdasarkan waktu kehadiran
Peserta yang dibuktikan dalam daftar hadir Peserta.
(4) Penetapan besaran biaya perpanjangan periode waktu
kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
154 huruf d dikenakan berdasarkan durasi perpanjangan
periode waktu kegiatan setiap 30 (tiga puluh) menit.
(5) Biaya penggantian atau penambahan digital certificate
hard token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf
e dikenakan untuk setiap digital certificate hard token yang
diganti atau ditambahkan.
(6) Besarnya biaya dan contoh perhitungan biaya dalam
penggunaan BI-SSSS tercantum dalam Lampiran XI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(7) Besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak
termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).
119
Bagian Kedua
Pembebasan Biaya
Pasal 156
(1) Penyelenggara dapat membebaskan biaya tertentu dalam
penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui
BI-SSSS apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat.
(2) Pembebasan biaya tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak termasuk PPN.
Bagian Ketiga
Perhitungan dan Pembebanan Biaya
Pasal 157
(1) Penyelenggara melakukan perhitungan jumlah biaya
untuk masing-masing Peserta pada setiap akhir hari.
(2) Penyelenggara membebankan biaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pada hari kerja berikutnya dengan mendebit
Rekening Setelmen Dana Peserta atau Bank Pembayar.
Bagian Keempat
Pembebanan Biaya oleh Peserta Kepada Nasabah
Pasal 158
(1) Peserta Sub-Registry dapat menetapkan dan mengenakan
biaya kepada nasabah dalam jumlah yang wajar.
(2) Peserta Sub-Registry wajib mengumumkan besarnya biaya
penggunaan BI-SSSS yang ditetapkan Penyelenggara dan
besarnya biaya penggunaan BI-SSSS yang ditetapkan dan
dikenakan oleh Peserta Sub-Registry kepada nasabah.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditempatkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca
oleh nasabah.
120
BAB VI
PENANGANAN KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU
KEADAAN DARURAT
Bagian Kesatu
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di
Penyelenggara
Paragraf 1
Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara
Pasal 159
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara
yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan
Penatausahaan Surat Berharga melalui BI-SSSS atau
mengakibatkan operasional BI-SSSS tidak dapat
diselenggarakan maka berlaku prosedur penanganan
Keadaan Tidak Normal.
(2) Prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebagai
berikut:
a. Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh
Peserta mengenai terjadinya Keadaan Tidak Normal
dan tahapan yang perlu dilakukan melalui
administrative message dan/atau sarana lain yang
ditetapkan oleh Penyelenggara;
b. dalam hal Keadaan Tidak Normal mengakibatkan
operasional BI-SSSS tidak dapat diselenggarakan,
Peserta harus menghentikan sementara kegiatan
pengiriman instruksi Setelmen dan kegiatan lain
melalui BI-SSSS; dan
c. dalam hal BI-SSSS dapat beroperasi kembali, Peserta
melakukan hal sebagai berikut:
1. melakukan koneksi ulang ke BI-SSSS;
121
2. melakukan rekonsiliasi antara data transaksi di
sistem Peserta dengan data transaksi BI-SSSS di
Penyelenggara dan mengecek Setelmen terakhir
yang dilakukan dan posisi kepemilikan Surat
Berharga melalui SPP; dan
3. menginformasikan kepada help desk apabila dari
hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 terdapat perbedaan data transaksi
Setelmen dan/atau posisi kepemilikan Surat
Berharga.
(3) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c dilakukan oleh Peserta berdasarkan
pemberitahuan dari Penyelenggara melalui administrative
message, help desk, dan/atau sarana lainnya.
(4) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal yang
mengakibatkan BI-SSSS tidak dapat beroperasi sampai
dengan batas waktu yang ditentukan oleh Penyelenggara
maka Penyelenggara menetapkan kebijakan dan prosedur
penanganan Keadaan Tidak Normal dan memberitahukan
kepada Peserta.
Paragraf 2
Keadaan Darurat di Penyelenggara
Pasal 160
Dalam hal terjadi Keadaan Darurat di Penyelenggara yang
mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Penatausahaan
Surat Berharga melalui BI-SSSS atau mengakibatkan
operasional BI-SSSS tidak dapat diselenggarakan sampai
dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara maka
berlaku prosedur sebagai berikut:
a. Penyelenggara menetapkan kebijakan dan prosedur
penanggulangan Keadaan Darurat; dan
b. Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh Peserta
mengenai terjadinya Keadaan Darurat serta hal yang
harus dilakukan oleh Peserta dalam penyelenggaraan
Penatausahaan Surat Berharga melalui BI-SSSS.
122
Bagian Kedua
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta
Pasal 161
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat di Peserta yang menyebabkan
terganggunya kelancaran penyelesaian Setelmen melalui
BI-SSSS maka Peserta harus memberitahukan kepada
Penyelenggara.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Penyelenggara dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. pemberitahuan disampaikan kepada help desk BI-
SSSS melalui sarana telepon paling lama 30 (tiga
puluh) menit sejak terjadinya Keadaan Tidak Normal
dan/atau Keadaan Darurat yang ditindaklanjuti
dengan penyampaian pemberitahuan tertulis kepada
Penyelenggara mengenai hal tersebut dan
penyebabnya; dan/atau
b. pemberitahuan disampaikan kepada Penyelenggara
melalui surat yang didahului dengan faksimile dalam
hal Peserta memerlukan tindak lanjut perpanjangan
periode waktu kegiatan sesuai dengan prosedur
perpanjangan periode waktu kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76.
Pasal 162
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat di Peserta yang mengakibatkan Peserta
tidak dapat melakukan kegiatan operasional BI-SSSS
dengan menggunakan SPP utama maka Peserta
menggunakan SPP cadangan.
(2) Dalam hal Peserta tidak dapat menggunakan SPP
cadangan dan/atau tidak dapat mengirimkan instruksi
Setelmen di lokasi Peserta maka Peserta dapat melakukan
kegiatan operasional BI-SSSS dengan menggunakan
Fasilitas Guest Bank.
123
(3) Dalam hal Peserta memutuskan untuk tidak melakukan
kegiatan operasional maka Peserta harus segera
memberitahukan kepada Penyelenggara melalui surat
yang dapat didahului dengan faksimile atau sarana lain
yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(4) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat di Peserta Sub-Registry yang
menyebabkan Peserta Sub-Registry tidak dapat
mengirimkan laporan melalui SI BI-SSSS maka Peserta
Sub-Registry dapat mengirimkan laporan melalui surat
elektronik (e-mail) atau sarana lain yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
Pasal 163
Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan
Darurat di Peserta, Penyelenggara dapat menetapkan
kebijakan, prosedur, dan hal lain yang diperlukan untuk
pelaksanaan Setelmen melalui BI-SSSS.
Bagian Ketiga
Penggunaan Fasilitas Guest Bank
Pasal 164
(1) Fasilitas Guest Bank dapat digunakan oleh Peserta selama
jam operasional BI-SSSS untuk melakukan kegiatan
sesuai dengan periode waktu kegiatan yang masih
berlaku.
(2) Penyelenggara dapat menetapkan batas waktu maksimal
penggunaan Fasilitas Guest Bank dalam hal jumlah
Peserta yang mengajukan permohonan penggunaan
Fasilitas Guest Bank melebihi kapasitas yang tersedia.
(3) Peserta membebaskan Penyelenggara dari segala kerugian
yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami
Peserta sehubungan dengan pelaksanaan Setelmen Surat
Berharga melalui Fasilitas Guest Bank.
124
(4) Penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta di
Penyelenggara dapat dilakukan dengan menggunakan 4
(empat) metode yaitu:
a. shared SDG;
b. standalone SDG;
c. standalone SSTPG; atau
d. own SPP.
(5) Penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta di KPwDN
hanya dapat dilakukan dengan menggunakan metode
shared SDG.
Pasal 165
(1) Peserta yang akan menggunakan Fasilitas Guest Bank
harus mengajukan permohonan penggunaan Fasilitas
Guest Bank secara tertulis kepada Penyelenggara, yang
dapat didahului dengan menyampaikan informasi melalui
sarana telepon, faksimile, dan/atau sarana lainnya.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Peserta
yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara,
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.Z yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Untuk Peserta yang berada di wilayah kerja KPwDN,
permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan
kepada KPwDN yang menyediakan Fasilitas Guest Bank.
(4) Dalam hal Peserta menggunakan Fasilitas Guest Bank
untuk BI-SSSS, Sistem BI-RTGS, dan/atau Sistem BI-
ETP, permohonan tertulis penggunaan Fasilitas Guest
Bank cukup diajukan kepada salah satu penyelenggara,
sepanjang surat permohonan ditandatangani pejabat yang
memiliki kewenangan dalam operasional BI-SSSS, Sistem
BI-RTGS, dan/atau Sistem BI-ETP.
125
(5) Penyelenggara
menyampaikan persetujuan
atau
penolakan atas permohonan penggunaan Fasilitas Guest
Bank kepada peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya.
Pasal 166
Dalam penggunaan Fasilitas Guest Bank di lokasi
Penyelenggara atau KPwDN berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta menyiapkan data transaksi dan hal lain yang
diperlukan untuk operasional di Penyelenggara sesuai
dengan pedoman penggunaan Fasilitas Guest Bank
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
b. dalam hal jumlah Peserta yang mengajukan permohonan
melebihi kapasitas Fasilitas Guest Bank yang disediakan,
Penyelenggara dapat menetapkan urutan penggunaan
Fasilitas Guest Bank berdasarkan urutan kedatangan
Peserta.
BAB VII
PEMBEBASAN TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA
Pasal 167
(1) Penyelenggara dibebaskan dari segala tuntutan atas
kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang
dialami Peserta atau pihak ketiga akibat:
a. terlambat atau tidak terlaksananya Setelmen dan
pencatatan, pembayaran kupon/bunga atau imbalan
dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal Surat
Berharga; dan/atau
b. sebab lain.
(2) Keterlambatan atau tidak terlaksananya Setelmen dan
pencatatan, pembayaran kupon/bunga atau imbalan
dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disebabkan
oleh:
126
a. pengiriman instruksi Setelmen atas transaksi oleh
Peserta kepada Penyelenggara dilakukan oleh pejabat
yang tidak berwenang;
b. kesalahan data dan/atau instruksi Setelmen yang
dikirimkan oleh Peserta kepada Penyelenggara;
c. gangguan jaringan komunikasi dan/atau sistem pada
Peserta yang mengakibatkan keterlambatan Setelmen;
d. ketidakmampuan atau keterlambatan pengisian dana
oleh Peserta sebagai penerbit Surat Berharga pada
Rekening Setelmen Dana yang mengakibatkan tidak
terbayar atau terlambatnya pembayaran
kupon/bunga atau imbalan dan/atau pelunasan
pokok/nilai nominal Surat Berharga pada saat jatuh
waktu kepada Peserta pemilik Surat Berharga;
e. ketidakmampuan atau keterlambatan Peserta
menyediakan dana pada Rekening Setelmen Dana
dan/atau Surat Berharga pada Rekening Surat
Berharga oleh Peserta;
f. pembatalan Setelmen atas transaksi second leg
(cancel second leg) oleh Penyelenggara yang dilakukan
melalui BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf e;
g. kelalaian Peserta; dan/atau
h. Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat baik
yang dialami oleh Penyelenggara maupun Peserta.
BAB VIII
PEMANTAUAN KEPATUHAN PESERTA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 168
(1) Penyelenggara melakukan pemantauan kepatuhan
Peserta untuk memastikan kepatuhan Peserta terhadap
ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
127
(2) Pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek:
a.
tata kelola;
b. operasional;
c.
infrastruktur;
d. BCP; dan
e. perlindungan konsumen.
(3) Pemantauan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara tidak langsung dan/atau
secara langsung.
Bagian Kedua
Pemantauan Tidak Langsung
Pasal 169
(1) Pemantauan secara tidak langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 168 ayat (3) dilakukan melalui
penelitian, analisis, dan evaluasi terhadap:
a. laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-waktu
yang disampaikan oleh Peserta kepada
Penyelenggara; dan
b. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh
Penyelenggara.
(2) Peserta wajib menyampaikan laporan berkala dan/atau
laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a kepada Penyelenggara.
(3) Peserta wajib menyampaikan informasi, data, dan/atau
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dalam hal diminta oleh Penyelenggara.
(4) Berdasarkan hasil pemantauan tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara
dapat melakukan klarifikasi dan/atau konfirmasi kepada
Peserta atas laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-
waktu, informasi, data, dan/atau dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
128
(5) Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan langsung
berdasarkan hasil klarifikasi dan/atau konfirmasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Paragraf 1
Laporan Berkala
Pasal 170
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169
ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a.
b.
laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK); dan
laporan penatausahaan Surat Berharga nasabah oleh
Sub-Registry.
(2) Penyampaian LHPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, diatur sebagai berikut:
a. LHPK merupakan laporan tahunan yang memuat
hasil penilaian pemeriksaan internal untuk periode 1
Januari sampai dengan 31 Desember;
b. LHPK disampaikan secara tertulis kepada
Penyelenggara melalui surat dan/atau sarana lain
yang ditetapkan oleh Penyelenggara;
c. LHPK disampaikan dengan batas waktu paling
lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya;
d. dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
huruf c jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur
maka batas waktu penyampaian LHPK yaitu hari
kerja berikutnya;
e. dalam hal Peserta terlambat menyampaikan LHPK
sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
huruf c, Peserta tetap wajib menyampaikan LHPK
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak batas
waktu penyampaian LHPK yang ditetapkan oleh
Penyelenggara; dan
f.
Peserta dinyatakan tidak menyampaikan LHPK
apabila Peserta tidak menyampaikan LHPK sampai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
huruf e.
129
(3) Penyampaian laporan penatausahaan Surat Berharga
nasabah oleh Sub-Registry sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b yang berupa laporan harian dan laporan
bulanan, dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) dan ayat (2).
Paragraf 2
Laporan Sewaktu-Waktu
Pasal 171
(1) Laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 169 ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. laporan sewaktu-waktu yang disampaikan oleh
Peserta kepada Penyelenggara atas permintaan
Penyelenggara; dan/atau
b. laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara
atas inisiatif dari Peserta.
(2) Selain laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sub-
Registry juga menyampaikan laporan sewaktu-waktu
berupa:
a.
laporan Setelmen atas transaksi penerbitan Surat
Berharga;
b.
laporan Setelmen atas transaksi buyback/debt
switching; dan
c. laporan data nasabah,
yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) sampai dengan ayat (5).
Bagian Ketiga
Pemantauan Langsung
Pasal 172
(1) Pemantauan secara langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 168 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan
langsung.
130
(2) Pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu
apabila diperlukan.
(3) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas
nama Penyelenggara melakukan pemeriksaan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Petugas yang melakukan pemeriksaan langsung
dilengkapi dengan surat tugas dari Penyelenggara.
(5) Peserta wajib memberikan akses kepada petugas yang
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), paling sedikit berupa:
a. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperlukan
sesuai dengan permintaan petugas Penyelenggara;
dan/atau
b. akses untuk melakukan pemeriksaan langsung
terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukung yang
terkait dengan operasional BI-SSSS di Peserta.
(6) Peserta wajib memberikan penjelasan atau keterangan
kepada Petugas yang melakukan pemeriksaan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(7) Pada akhir pemeriksaan langsung, dilakukan exit meeting
untuk menyampaikan dan/atau membahas pokok hasil
pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu
ditindaklanjuti oleh Peserta.
(8) Hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu
ditindaklanjuti oleh Peserta disampaikan secara tertulis
kepada Peserta.
(9) Peserta wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan
dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti sebagaimana
dimaksud pada ayat (8).
BAB IX
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 173
(1) Penyelenggara mengenakan sanksi administratif kepada
Peserta berupa kewajiban membayar, teguran tertulis,
dan/atau penurunan status kepesertaan.
131
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil pemantauan
kepatuhan Peserta terhadap pemenuhan:
a. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
huruf a;
b. kewajiban penyampaian laporan berkala dan/atau
laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 169 ayat (2);
c. kewajiban penyampaian koreksi laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (1);
d. kewajiban penyampaian informasi, data, dan/atau
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169
ayat (3); dan/atau
e. kewajiban menindaklanjuti hasil pemeriksaan
langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (9).
(3) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, tidak menyampaikan
laporan berkala dan laporan sewaktu-waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c, huruf d, dan huruf e, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(4) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Peserta yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, tidak
menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, dan tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, dapat
dikenakan sanksi administratif berupa penurunan status
kepesertaan dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti
teguran tertulis yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(5) Peserta yang terlambat menyampaikan laporan berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikenakan
sanksi administratif berupa kewajiban membayar.
132
Pasal 174
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 173 ayat (5) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal
173 ayat (2) huruf b apabila Peserta tidak
menyampaikan laporan berkala sesuai batas waktu
yang ditetapkan Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) sampai dengan
ayat (4) dan Pasal 170 ayat (2) huruf c;
b. Peserta yang dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan berkala sesuai batas waktu yang ditetapkan
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
151 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dikenakan
sanksi administratif berupa kewajiban membayar
sebesar Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) per hari
kerja keterlambatan per laporan dengan batas
nominal paling banyak sebesar Rp10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah); dan
(2) Penyelenggara
c. Peserta yang dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan berkala sesuai batas waktu yang ditetapkan
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
170 ayat (2) huruf c, dikenakan sanksi administratif
berupa kewajiban membayar sebesar Rp500.000,-
(lima ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan
dengan batas nominal paling banyak sebesar
Rp15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
menginformasikan
pembebanan
pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar melalui surat setelah pelaksanaan
pembebanan sanksi.
133
BAB X
KORESPONDENSI
Pasal 175
(1) Kegiatan korespondensi terkait kepesertaan dan
operasional penyelenggaraan BI-SSSS yang disampaikan
kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi
penyelenggaraan sistem pembayaran ditujukan ke alamat:
Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
c.q. Divisi Setelmen Dana dan Penatausahaan Surat
Berharga
Gedung D Lantai 3
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(2) Kegiatan korespondensi terkait pemantauan kepatuhan
Peserta yang disampaikan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem
pembayaran ditujukan ke alamat:
Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
c.q. Divisi Kepatuhan dan Informasi Sistem Pembayaran
Gedung D Lantai 3
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(3) Kegiatan korespondensi yang disampaikan kepada satuan
kerja yang melaksanakan fungsi
pengawasan
makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran
ditujukan ke alamat:
Bank Indonesia
c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan
Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(4) Layanan help desk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2), dapat dihubungi melalui nomor:
Telepon : 021-29818888
Faksimile : 021-2311476.
134
(5) Dalam hal terjadi perubahan alamat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta
perubahan nomor telepon dan/atau faksimile
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Penyelenggara
memberitahukan perubahan tersebut melalui surat
dan/atau sarana lain.
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 176
Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan atau ketentuan
yang berbeda mengenai penyelenggaraan penatausahaan Surat
Berharga melalui BI-SSSS bagi Bank Indonesia, Kementerian
Keuangan, dan lembaga lain yang disetujui Penyelenggara
menjadi Peserta berdasarkan kebutuhan dan karakteristik
tertentu.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 177
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP tanggal
13
November 2015
perihal Penyelenggaraan
Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/20/DPSP tanggal
23 September 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP tanggal 13 November
2015 perihal Penyelenggaraan Penatausahaan Surat
Berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali:
a. ketentuan mengenai kepesertaan sebagaimana dimaksud
dalam butir III.F.2.g. dinyatakan masih tetap berlaku
sampai dengan tanggal 31 Mei 2018;
135
b. ketentuan mengenai setelmen sebagaimana dimaksud dalam
butir IV.D.3.a.2) dan butir IV.D.3.a.3) dinyatakan masih tetap
berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018; dan
c. ketentuan mengenai penatausahaan surat berharga dalam
rangka FLI sebagaimana dimaksud dalam butir IV.H
dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31
Desember 2018.
Pasal 178
(1) Ketentuan mengenai kewajiban Sub-Registry untuk
mengelola dan melaporkan data nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 huruf g khusus informasi berupa
prinsip usaha mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2018.
(2) Ketentuan mengenai Setelmen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 91 ayat (4) sampai dengan ayat (7), Pasal 95
ayat (8), Pasal 98 ayat (8), Pasal 102 ayat (2), dan Pasal 119
ayat (6), serta ketentuan mengenai Penatausahaan Surat
Berharga untuk FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal
141 sampai dengan Pasal 144, mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 2019.
Pasal 179
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
dengan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/4/PADG/2018
TENTANG
PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI
BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM
I. UMUM
Untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih
lancar, aman, efisien, dan andal, diperlukan penyempurnaan kebijakan
terkait Penatausahaan Surat Berharga untuk FLI. Selain itu, dalam rangka
meningkatkan aspek pelayanan, tata kelola, dan efektivitas Penatausahaan
Surat Berharga milik nasabah oleh Sub-Registry, perlu menyempurnakan
pengaturan mengenai pihak yang dapat menjadi Peserta dan Sub-Registry
dalam penyelenggaraan BI-SSSS. Sebagai upaya mendukung kebijakan
Bank Indonesia untuk memberikan pelayanan perizinan secara terpadu
dalam hubungan operasional bagi Bank umum maka pengaturan mengenai
tata cara permohonan dan perubahan kepesertaan yang bersifat strategis
dan mendasar dalam penyelenggaraan BI-SSSS dilakukan secara
tersentralisasi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
2
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โperubahan data kepesertaanโ
adalah perubahan nama dan kegiatan usaha Peserta.
Yang dimaksud dengan โpenyampaian informasi yang
memengaruhi data Peserta di Bank Indonesiaโ adalah
perubahan data pimpinan dan alamat kantor Peserta.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โperubahan data kepesertaan BI-
SSSS selain yang terkait dengan langkah strategis dan
mendasarโ antara lain perubahan participant code dan
perubahan Bank Pembayar.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pedoman pengoperasian BI-SSSS berupa buku atau bentuk
lainnya.
Penyampaian pedoman pengoperasian BI-SSSS dilakukan
melalui surat dan/atau sarana lain.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
3
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โbatas waktu Surat Berharga dapat
ditransaksikanโ adalah batas waktu Surat Berharga untuk
ditransaksikan oleh Peserta sesuai dengan term and condition
untuk masing-masing Surat Berharga.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Persetujuan bagi lembaga lain untuk menjadi Peserta
didasarkan pada pertimbangan antara lain:
1. ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pengembangan pasar Surat Berharga di Indonesia;
3.
4. pertimbangan teknis.
efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia; dan/atau
4
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Infrastruktur BI-SSSS yang digunakan dapat dikelola sendiri
atau dikelola oleh pihak lain.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan Bank Indonesia antara lain ketentuan mengenai
operasi moneter dan/atau operasi moneter syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
5
Ayat (3)
Huruf a
Ketentuan Bank Indonesia antara lain ketentuan mengenai
operasi moneter dan/atau operasi moneter syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โpengelolaโ adalah pejabat yang
bertanggung jawab terhadap operasional kegiatan penatausahaan
Surat Berharga dan/atau dalam kegiatan penyimpanan Surat
Berharga, tidak termasuk direksi dan pejabat setingkat direksi.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
6
Huruf j
Surat Berharga yang dicatat dan/atau disimpan merupakan
Surat Berharga yang dapat diperdagangkan di pasar uang
dan/atau pasar modal.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Pengalihan aset dan kewajiban dapat terjadi karena
penggabungan, peleburan, pemisahan, atau bentuk lain yang
dilakukan berdasarkan persetujuan dari lembaga yang
berwenang.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โpengelolaโ adalah pejabat yang
bertanggung jawab terhadap operasional kegiatan
penatausahaan Surat Berharga dan/atau dalam kegiatan
penyimpanan Surat Berharga, tidak termasuk direksi dan
pejabat setingkat direksi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
7
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Security audit yang dilakukan oleh auditor internal dilengkapi
dengan surat pernyataan pimpinan calon Peserta yang
menyatakan bahwa pelaksanaan security audit dilakukan secara
independen.
Pasal 16
Cukup jelas.
8
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemeriksaan dilakukan melalui kunjungan ke lokasi calon
Peserta untuk memastikan kesiapan operasional BI-SSSS calon
Peserta antara lain dengan melihat kesesuaian informasi dalam
dokumen yang disampaikan dengan kondisi di lapangan dan
kesiapan infrastruktur.
Pasal 19
Ayat (1)
Permohonan tertulis yang tidak disetujui akan diberitahukan oleh
Penyelenggara melalui surat yang disertai alasan penolakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
9
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan โidentitas diriโ adalah:
1. Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM),
atau paspor bagi warga negara indonesia (WNI); atau
2. Paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara (KITAS), dan
surat izin kerja dari instansi berwenang bagi warga negara
asing (WNA).
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permohonan perubahan participant code yang tidak disetujui
akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang
disertai alasan penolakan.
10
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permohonan perubahan nama yang tidak disetujui akan
diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai
alasan penolakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Permohonan perubahan kegiatan usaha yang tidak disetujui akan
diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai
alasan penolakan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permohonan perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan,
dan/atau pemindahan JKD Peserta yang tidak disetujui akan
diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai
alasan penolakan.
11
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permohonan perubahan Bank Pembayar yang tidak disetujui
akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang
disertai alasan penolakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Permohonan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan yang
tidak disetujui akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui
surat yang disertai alasan penolakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
12
Ayat (4)
Permohonan perubahan kuasa yang tidak disetujui akan
diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai
alasan penolakan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Permohonan perubahan penggunaan infrastruktur yang tidak
disetujui akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat
yang disertai alasan penolakan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
13
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Peserta dengan status aktif dapat melakukan seluruh fungsi
pada SPP sesuai dengan jenis kepesertaan dan hak akses
Peserta yang bersangkutan.
Huruf b
Peserta dengan status ditangguhkan tidak dapat melakukan
kegiatan tertentu di BI-SSSS sesuai dengan pembatasan
yang dilakukan oleh Penyelenggara.
Peserta dengan status ditangguhkan dapat mengirim atau
menerima instruksi, namun terhadap instruksi atas kegiatan
yang sedang dibatasi akan diproses sesuai prosedur setelah
status Peserta kembali aktif.
Huruf c
Peserta dengan status dibekukan tidak dapat mengirim dan
menerima seluruh instruksi melalui BI-SSSS.
Peserta dengan status dibekukan masih dapat mengakses
informasi atau data yang telah disinkronisasi dari SCN ke
SPP.
Huruf d
Peserta dengan status ditutup merupakan Peserta yang telah
dihentikan kepesertaannya dalam BI-SSSS dan tidak dapat
diaktifkan kembali sebagai Peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
14
Huruf b
Lembaga yang berwenang melakukan pengawasan antara
lain Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas
makroprudensial dan sistem pembayaran serta Otoritas Jasa
Keuangan sebagai otoritas pengawas mikroprudensial.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk dalam alasan lain yaitu pengalihan aset dan kewajiban
yang terjadi berdasarkan persetujuan dari lembaga yang
berwenang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Huruf a
Kewajiban dalam penyelenggaran BI-SSSS antara lain biaya
penggunaan BI-SSSS, pelunasan fasilitas pendanaan yang
diperoleh dari Bank Indonesia, dan transaksi second leg yang
belum jatuh waktu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengalihan aset dan kewajiban yang bukan merupakan
penggabungan, peleburan, atau pemisahan yaitu pengalihan aset
dan kewajiban yang dilakukan berdasarkan persetujuan dari
lembaga yang berwenang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
15
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Huruf a
Yang dimaksud dengan โKPTโ adalah ketentuan yang berlaku
sebagai pedoman operasional BI-SSSS di Peserta yang ditetapkan
oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di internal Peserta.
16
Penyusunan KPT mencakup juga prosedur pengamanan
penggunaan BI-SSSS di lingkungan internal Peserta.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 58
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal KPT dibuat dalam bahasa asing, KPT harus
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah
tersumpah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
17
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Dalam hal security audit dilakukan oleh auditor internal maka
dilengkapi dengan surat pernyataan pimpinan Peserta yang
menyatakan bahwa pelaksanaan security audit dilakukan secara
independen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Huruf a
Data yang wajib dipelihara antara lain:
1. data transaksi;
2. aplikasi yang diberikan oleh Penyelenggara; dan/atau
3. ketentuan dan prosedur yang diberikan oleh Penyelenggara.
Huruf b
Pengamanan data antara lain berupa perlindungan dari akses
pihak yang tidak berwenang.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 63
Huruf a
Kegiatan memastikan petugas memahami sistem dan operasional
BI-SSSS dilakukan antara lain melalui pelatihan secara berkala.
18
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โaplikasi internalโ adalah aplikasi internal
yang terhubung langsung dengan SPP.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Menjamin integritas database termasuk data cadangan (back-up)
yang tersimpan dalam bentuk compact disc (CD), tape, cartridge,
USB flash drive, dan/atau media penyimpanan elektronik lainnya.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Penyimpanan dilakukan di tempat yang aman dan bebas dari
berbagai sumber yang dapat merusak aplikasi SPP.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemilihan jenis dan lokasi SPP cadangan serta JKD cadangan
Peserta dilakukan berdasarkan pertimbangan antara lain:
19
1. volume transaksi Peserta dan tingkat urgensi BI-SSSS bagi
Peserta; dan
2. pengendalian internal guna memitigasi risiko operasional di
Peserta.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan JKD dilakukan agar
BI-SSSS bebas dari segala kemungkinan sumber perusak termasuk
pada kemungkinan pemalsuan (fraud), pembobolan data elektronis
(hacking), serta perusakan sistem dengan cara membanjiri sistem
dengan data dan/atau instruksi Setelmen serta data lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 70
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
20
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Penyediaan KPT oleh Peserta antara lain termasuk pemberian
akses dan pengamanan penggunaan aplikasi SI BI-SSSS.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan โnomor tunggal identitas investorโ adalah
kode tunggal dan khusus yang digunakan nasabah dan/atau
pemilik Surat Berharga yang ditatausahakan di BI-SSSS.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
21
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โconnected userโ adalah user yang
ditatausahakan dan diberikan oleh Penyelenggara kepada
Peserta untuk melakukan akses ke SCN melalui SPP serta
memiliki Digital Certificate untuk mekanisme pengamanan
pengiriman dan penerimaan message dari dan ke SCN.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โunconnected userโ adalah user yang
didaftarkan oleh Peserta pada SPP dan dapat membuat
instruksi serta melakukan kegiatan yang bersifat lokal, namun
tidak dapat mengirimkan instruksi ke SCN.
Ayat (2)
Huruf a
Administrator user memiliki fungsi untuk mendaftarkan
unconnected user dan melakukan pengelolaan user melalui
SPP.
Huruf b
Regular user memiliki fungsi untuk membuat dan mengirim
instruksi Setelmen dari SPP ke SCN, namun tidak dapat
mendaftarkan unconnected user dan tidak dapat melakukan
pengelolaan user melalui SPP.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
22
Huruf b
Angka 1
Penggelolaan akses connected user antara lain:
a) penetapan hak akses bagi connected user terhadap
menu di SPP; dan
b) penetapan role dan limit bagi connected user.
Angka 2
Pengelolaan pendaftaran dan akses unconnected user
antara lain:
a) pendaftaran dan penyesuaian unconnected user;
b) penetapan security level bagi unconnected user;
c) penetapan hak akses bagi unconnected user terhadap
menu di SPP; dan
d) penetapan role dan limit bagi unconnected user.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Huruf a
Digital certificate hard token disimpan di dalam media USB
flash drive.
Huruf b
Digital certificate soft token disimpan di dalam media compact
disc (CD) atau media lain yang akan diinstalasi pada server
SPP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
23
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โresidenโ adalah orang, badan
hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau berencana
berdomisili di Indonesia paling singkat 1 (satu) tahun,
termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia
di luar negeri.
24
Huruf b
Yang dimaksud dengan โnonresidenโ adalah orang, badan
hukum, atau badan lainnya yang tidak berdomisili di
Indonesia atau tidak berencana berdomisili di Indonesia.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Rekening untuk mencatat kepemilikan Surat Berharga dan
instrumen keuangan terdiri atas beberapa subrekening.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โdelivery versus paymentโ adalah
mekanisme Setelmen dengan cara Setelmen Surat Berharga
dan Setelmen Dana dilakukan secara bersamaan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โfree of paymentโ adalah mekanisme
Setelmen dengan cara Setelmen Surat Berharga tanpa disertai
Setelmen Dana.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โdelivery versus deliveryโ adalah
mekanisme Setelmen yang melibatkan dua kewajiban
Setelmen Surat Berharga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
25
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โpemindahbukuan Surat Berhargaโ
adalah pemindahbukuan Surat Berharga antar-Rekening Surat
Berharga atau subrekening Surat Berharga pada satu Peserta.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โjual beli secara putus (outright)โ adalah
transaksi pembelian dan penjualan Surat Berharga secara
putus tanpa kewajiban penjualan dan pembelian kembali.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โrepurchase agreement (repo)โ yaitu
transaksi pinjam meminjam dana dengan jaminan Surat
Berharga sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โtransferโ adalah Setelmen yang
mengakibatkan perpindahan kepemilikan Surat Berharga
kepada Peserta lain yang tidak disertai Setelmen Dana.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โpengagunan (pledge)โ adalah
pemindahan Surat Berharga yang digunakan untuk menjamin
dipenuhinya kewajiban salah satu pihak yang bertransaksi
tanpa pengalihan hak atau kepemilikan atas Surat Berharga.
Huruf e
Yang dimaksud dengan โpinjam meminjam Surat Berharga
(securities lending and borrowing)โ adalah transaksi pinjam
meminjam Surat Berharga dengan jaminan Surat Berharga
atau dana.
26
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โrepo sell and buyback (repo SBB)โ
adalah Setelmen repo dengan pencatatan Surat Berharga
berpindah dari Rekening Surat Berharga Peserta peminjam
dana kepada Peserta yang meminjamkan dana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โrepo collateralized borrowing (repo CB)โ
adalah Setelmen repo dengan pencatatan Surat Berharga tetap
pada Rekening Surat Berharga Peserta peminjam dana atau
pencatatan Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga
Peserta yang meminjamkan dana, yang dicatatkan pada
rekening agunan atas transaksi repo.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
27
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan โprinsip matchingโ adalah data instruksi
Setelmen yang dikirim oleh kedua Peserta harus sesuai.
Yang dimaksud dengan โprinsip tanpa matchingโ adalah instruksi
Setelmen dapat dijalankan tanpa melalui proses pencocokan data
instruksi Setelmen yang dikirimkan oleh Peserta lain. Pada prinsip
tanpa matching instruksi Setelmen hanya dikirimkan oleh satu
pihak yang diberikan kewenangan untuk mengirimkan instruksi
Setelmen tanpa matching antara lain Sistem BI-ETP.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
High priority antara lain diperuntukkan bagi
instruksi
Setelmen atas Transaksi Dengan Bank Indonesia, transaksi
Surat Berharga dengan Pemerintah, dan transaksi FLI, yang
terdiri atas angka prioritas 1000 sampai dengan 1029.
28
Huruf b
Normal priority antara lain diperuntukkan bagi instruksi
Setelmen atas transaksi antar-Peserta, yang terdiri atas angka
prioritas 1030 sampai dengan 1059.
Huruf c
Low priority antara lain diperuntukkan bagi instruksi Setelmen
atas transaksi antar-Peserta, yang terdiri atas angka prioritas
1060 sampai dengan 1089.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Mekanisme reordering dilakukan dengan mengubah angka
prioritas Setelmen dalam satu grup prioritas.
Huruf b
Mekanisme reprioritization dilakukan dengan mengubah grup
prioritas instruksi Setelmen, dari grup normal priority ke grup
low priority atau sebaliknya.
Huruf c
Mekanisme cancellation dilakukan dengan membatalkan
instruksi Setelmen yang belum final.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
29
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Penetapan parameter pengelolaan Surat Berharga yang dijadikan sebagai
jaminan (collateral management) antara lain tipe Surat Berharga, batas
waktu Surat Berharga dapat ditransaksikan, dan potongan harga
(haircut).
Transaksi yang dilakukan dengan Bank Indonesia antara lain transaksi
operasi moneter, operasi moneter syariah, dan transaksi FLI.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Ayat (1)
Laporan posisi harian Rekening Surat Berharga memuat
informasi mutasi selama waktu operasional BI-SSSS yang
mempengaruhi perubahan posisi pencatatan pada Rekening
Surat Berharga Peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
30
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Input instruksi Setelmen dapat dilakukan oleh masing-masing
Peserta atau salah satu Peserta melakukan input dan Peserta
lawan transaksi membuat instruksi Setelmen berdasarkan
instruksi Setelmen lawan transaksinya (make pair).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Yang dimaksud dengan โtransaksi second legโ adalah transaksi repo
jatuh waktu, transaksi pengagunan (pledge) jatuh waktu, transaksi
SLB jatuh waktu, transaksi PUAB jatuh waktu, dan transaksi PUAS
jatuh waktu.
Yang dimaksud dengan โjangka waktu transaksiโ adalah jangka waktu
transaksi repo, jangka waktu transaksi pengagunan (pledge), jangka
waktu transaksi SLB, jangka waktu transaksi PUAB, dan jangka waktu
transaksi PUAS.
31
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pembatalan second leg (cancel second leg) antara lain
dilakukan dengan mekanisme collateral execution.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 124
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โSetelmen first legโ adalah Setelmen
atas transaksi repo, transaksi pengagunan (pledge), dan
transaksi SLB.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 125
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โjaminan transaksiโ adalah jaminan atas
transaksi repo, transaksi pengagunan (pledge), dan transaksi SLB.
32
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 126
Yang dimaksud dengan โabsorpsiโ adalah pengurangan likuiditas
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter dan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai operasi moneter syariah.
Huruf a
Setelmen transaksi penerbitan Surat Berharga antara lain Sertifikat
Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), dan
Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI).
Huruf b
Setelmen transaksi penempatan dana antara lain Term Deposit,
Deposit Facility, dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah
(FASBIS).
Huruf c
Setelmen transaksi pasar sekunder antara lain reverse repo SBN
dan outright jual SBN oleh Bank Indonesia.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Huruf a
Setelmen transaksi pelunasan antara lain untuk SBI, SBIS, SDBI,
Term Deposit, Deposit Facility, dan FASBIS.
Huruf b
Setelmen transaksi second leg di pasar sekunder antara lain untuk
Reverse Repo SBN.
Pasal 129
Cukup jelas.
33
Pasal 130
Ayat (1)
Setelmen transaksi operasi moneter dan operasi moneter syariah
untuk injeksi likuiditas antara lain Setelmen transaksi repo
dengan Bank Indonesia, outright beli SBN oleh Bank Indonesia,
lending facility, dan financing facility.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Huruf a
Transaksi penerbitan SBN melalui lelang oleh Bank Indonesia
antara lain lelang SUN dan lelang SBSN.
Huruf b
Transaksi penerbitan SBN yang tidak dilakukan oleh Bank
Indonesia antara lain penjualan SBN oleh Pemerintah secara
bookbuilding dan private placement.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
34
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โrekening FLIโ adalah rekening ILF-RSTR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud โSurat Berharga yang diterbitkan oleh
Bank Indonesiaโ antara lain SBI, SBIS, dan SDBI.
Angka 2
Cukup jelas.
35
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
36
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
37
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โshared SDGโ adalah metode layanan
Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara kepada
Peserta dengan menggunakan 1 (satu) aplikasi SDG yang
dipasang (install) pada 1 (satu) infrastruktur dan dikonfigurasi
untuk dapat digunakan secara bersama-sama oleh lebih dari 1
(satu) Peserta.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โstandalone SDGโ adalah metode
layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara
dengan 1 (satu) aplikasi SDG yang dipasang (install) pada 1
(satu) infrastruktur untuk digunakan oleh 1 (satu) Peserta.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โstandalone SSTPGโ adalah metode
layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara
dengan 1 (satu) aplikasi SSTPG yang dipasang (install) pada 1
(satu) infrastruktur untuk digunakan oleh 1 (satu) Peserta.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โown SPPโ adalah metode layanan
Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara dalam
bentuk akses ke sistem di Penyelenggara dengan
menggunakan aplikasi SPP yang diinstalasi pada infrastruktur
milik Peserta yang dibawa ke lokasi Fasilitas Guest Bank.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
38
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh
Penyelenggara dapat diperoleh dari:
1. Peserta yang bersangkutan;
2. kegiatan operasional Peserta di Penyelenggara;
dan/atau
3. pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jeas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas
inisiatif dari Peserta antara lain laporan gangguan BI-SSSS
yang dialami Peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
39
Pasal 172
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Data dan/atau dokumen yang diperlukan termasuk namun
tidak terbatas pada dokumen asli dan/atau salinan dokumen
yang berupa warkat dan/atau data elektronik yang terkait
dengan pelaksanaan BI-SSSS.
Huruf b
Pemeriksaan langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi
pendukung termasuk permintaan pengujian infrastruktur
Peserta yang digunakan dalam operasional BI-SSSS.
Akses untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap
sarana fisik dan aplikasi pendukung yang terkait dengan
operasional BI-SSSS di Peserta antara lain SPP serta interface
dari dan ke sistem internal Peserta.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 173
Ayat (1)
Sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan
dikenakan antara lain dengan pertimbangan keikutsertaan
Peserta dapat mengakibatkan terganggunya keamanan BI-SSSS.
40
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/4/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM </reg_title>
<set_date> 5 April 2018 </set_date>
<effective_date> 5 April 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '17/31/DPSP|SE-BI/2015', '18/20/DPSP|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '17/18/PBI/2015', '19/14/PBI/2017' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX', 'BAB IV Bagian Keenam Paragraf 3 Pasal 133' </penalty_list>
|
1
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/3/PADG/2018
TENTANG
LAYANAN SUB-REGISTRY BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna pengelolaan kas pemerintah dan
pengejawantahan hubungan keuangan antara Bank
Indonesia dengan pemerintah, Bank Indonesia perlu
untuk senantiasa menyediakan dan meningkatkan
pemberian layanan Sub-Registry kepada pemerintah;
b. bahwa untuk lebih meningkatkan kualitas dan efektivitas
pemberian layanan Bank Indonesia kepada pemerintah,
termasuk dalam rangka pelaksanaan konversi penyaluran
dana bagi hasil dan/atau dana alokasi umum dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah di seluruh
Indonesia dalam bentuk nontunai berupa surat berharga
negara maka dengan tetap mengutamakan penerapan
prinsip governance dan pelayanan yang baik (service
excellence), Bank Indonesia memandang perlu untuk
melakukan penyesuaian ketentuan terkait agar terdapat
pedoman yang jelas dalam pelaksanaannya dan
senantiasa dapat dipertanggungjawabkan secara baik dan
benar;
2
c. bahwa oleh karena jenis surat berharga yang
ditatausahakan pada Sub-Registry Bank Indonesia yaitu
surat berharga negara (SBN) baik yang dapat
diperdagangkan maupun yang tidak dapat
diperdagangkan maka penyediaan layanan Sub-Registry
selain diberikan kepada pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, juga diberikan kepada pihak lain yang menurut
pertimbangan Bank Indonesia dipandang perlu untuk
memperoleh layanan Sub-Registry dimaksud;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Layanan
Sub-Registry Bank Indonesia;
Mengingat
: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008
tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4888) sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/19/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008
tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5763);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015
tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/14/PBI/2017
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan
Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen
Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia
3
Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5762);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
LAYANAN SUB-REGISTRY BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh penyelenggara
sebagai peserta Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System, untuk melakukan fungsi
penatausahaan bagi kepentingan nasabah.
2. Sub-Registry Bank Indonesia yang selanjutnya disebut
Sub-Registry BI adalah satuan kerja di Bank Indonesia
yang melaksanakan fungsi sebagai Sub-Registry surat
berharga negara.
3. Nasabah Sub-Registry BI yang selanjutnya disebut
Nasabah adalah pihak ekstern yang mendapat
persetujuan dari Sub-Registry BI untuk memiliki rekening
surat berharga negara di Sub-Registry BI.
4. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang
negara.
5. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
6. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah SUN dan SBSN.
4
7. Rekening SBN adalah rekening SBN atas nama Nasabah
yang ditatausahakan oleh Sub-Registry BI.
8. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern di Bank
Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan
transaksi dari simpanan yang penyetoran dan
penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan
dan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
9. Penyelenggara Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement (Sistem BI-RTGS) dan Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) yang
selanjutnya disebut Penyelenggara adalah satuan kerja di
Bank Indonesia yang menyelenggarakan Sistem BI-RTGS
dan BI-SSSS.
10. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi
keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening
setelmen dana, rekening surat berharga, dan/atau
rekening lainnya di Bank Indonesia.
11. Pimpinan adalah pejabat yang berwenang untuk mewakili
pemilik Rekening SBN.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Bank Indonesia memberikan layanan Sub-Registry
kepada pihak ekstern.
(2) Jenis surat berharga yang ditatausahakan oleh Sub-
Registry BI yaitu SBN.
(3) Layanan Sub-Registry BI meliputi kegiatan:
a. Setelmen;
b. pencatatan kepemilikan;
c. pembayaran kupon/bunga atau imbalan; dan/atau
d. pelunasan pokok/nominal,
atas hasil transaksi SBN.
5
Pasal 3
(1) Pihak ekstern yang dapat memperoleh layanan Sub-
Registry BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
meliputi:
a. Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal
Perbendaharaan;
b. pemerintah daerah; dan
c. lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dapat
memperoleh layanan Sub-Registry BI.
(2) Layanan Sub-Registry BI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. diberikan kepada Kementerian Keuangan c.q.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk pengelolaan
kas pemerintah;
b. diberikan kepada pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk SBN hasil
konversi penyaluran dana bagi hasil dan/atau dana
alokasi umum; dan
c. diberikan kepada lembaga lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c yang akan
dituangkan lebih lanjut dalam perjanjian antara
Bank Indonesia dengan lembaga lain.
(3) Penetapan lembaga lain yang menurut Bank Indonesia
dapat memperoleh layanan Sub-Registry BI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut:
a. memiliki keterkaitan dengan tugas Bank Indonesia
dalam bidang moneter, makroprudensial, dan sistem
pembayaran;
b. memiliki hubungan kerja sama internasional dengan
Bank Indonesia secara bilateral atau multilateral;
dan/atau
c. memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas dan
fungsi Bank Indonesia.
6
(4) Pihak ekstern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menjadi Nasabah setelah memperoleh persetujuan dari
Sub-Registry BI.
BAB III
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB SUB-REGISTRY BI
Pasal 4
Sub-Registry BI memiliki tugas sebagai berikut:
a. melakukan pendaftaran single investor identification
untuk seluruh Nasabah ke Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI);
b. melakukan pemantauan ketersediaan dana dan/atau
SBN milik Nasabah sebelum melakukan Setelmen;
c. melakukan Setelmen untuk Nasabah pada tanggal yang
sama dengan tanggal pelaksanaan Setelmen oleh
Penyelenggara;
d. melaksanakan pencatatan kepemilikan SBN;
e. melakukan pemotongan pajak atas transaksi Nasabah
berdasarkan ketentuan perpajakan;
f. melakukan pembayaran kupon/bunga atau imbalan;
g. melakukan pelunasan pokok/nominal;
h. menyediakan informasi atas layanan Sub-Registry BI
kepada Nasabah; dan
i. menjaga kerahasiaan data Nasabah.
Pasal 5
Sub-Registry BI memiliki tanggung jawab sebagai berikut:
a. memastikan terlaksananya Setelmen untuk kepentingan
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c;
b. memastikan kebenaran pencatatan
dimaksud dalam Pasal 4 huruf d; dan
sebagaimana
c. memastikan kebenaran informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf h.
7
BAB IV
TANGGUNG JAWAB NASABAH
Pasal 6
(1) Nasabah Sub-Registry BI memiliki tanggung jawab
sebagai berikut:
a. memastikan ketersediaan dana dan/atau SBN
sehubungan dengan transaksi yang akan dilakukan;
b. memastikan kebenaran, keakuratan, dan keabsahan
setiap instruksi Setelmen dan penandatanganan
surat dan/atau kegiatan yang terkait dengan
Rekening SBN di Bank Indonesia;
c. memberitahukan secara tertulis kepada Sub-Registry
BI apabila terjadi perubahan data yang telah
disampaikan sebelumnya; dan
d. melakukan
verifikasi
data
disampaikan oleh Sub-Registry BI.
(2) Nasabah tetap bertanggung jawab penuh dan tidak dapat
menuntut Sub-Registry BI dalam hal terjadi kerugian bagi
Nasabah dan/atau pihak ketiga yang timbul dan/atau
yang akan timbul akibat:
a. keterlambatan atau tidak terlaksananya Setelmen
yang diakibatkan karena kelalaian Nasabah,
keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat;
b. kesalahan data instruksi Setelmen yang dikirimkan
oleh Nasabah; dan/atau
c.
tidak dilaksanakannya instruksi Setelmen
berdasarkan permintaan dari
berwenang, dan/atau putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b bagi Nasabah berupa pemerintah
daerah dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
otoritas yang
informasi
yang
8
BAB V
PERSYARATAN DAN TATA CARA MENJADI NASABAH
Pasal 7
(1) Pihak yang dapat menjadi Nasabah Sub-Registry BI harus
telah memiliki Rekening Giro yang digunakan sebagai
rekening dana untuk Setelmen dengan mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
Rekening Giro di Bank Indonesia.
(2) Persyaratan kepemilikan Rekening Giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pemerintah
daerah.
Pasal 8
(1) Pihak ekstern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) mengajukan permohonan tertulis untuk menjadi
Nasabah kepada Sub-Registry BI.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilengkapi dengan dokumen pendukung.
Pasal 9
Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
bagi calon Nasabah berupa Kementerian Keuangan c.q.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
b.
ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan;
dan
c. dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa:
1. fotokopi Surat Keputusan Presiden dan/atau Surat
Keputusan Menteri yang telah dilegalisasi dan/atau
dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh pejabat yang
berwenang;
2. fotokopi bukti identitas diri Direktur Jenderal
Perbendaharaan;
9
3. data identitas Kementerian Keuangan c.q. Direktorat
Jenderal Perbendaharaan dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
4. surat permohonan pembuatan spesimen tanda
tangan Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
5. surat kuasa dari Direktur Jenderal Perbendaharaan
kepada pejabat penerima kuasa dalam hal
diperlukan
dengan menggunakan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 10
Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
bagi calon Nasabah berupa pemerintah daerah dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I;
b. ditandatangani oleh kepala daerah atau pejabat yang
menerima kuasa dari kepala daerah; dan
c.
dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa:
1.
fotokopi surat keputusan atau surat pengangkatan
kepala daerah yang telah dilegalisasi dan/atau
dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh pejabat yang
berwenang;
2. fotokopi bukti identitas diri kepala daerah;
3. data identitas dan rekening kas umum daerah
dengan menggunakan
format
tercantum dalam Lampiran II; dan
4. surat kuasa dari kepala daerah kepada pejabat
penerima kuasa dengan menggunakan format
format
sebagaimana
10
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini dan fotokopi identitas
diri pejabat penerima kuasa, dalam hal permohonan
tertulis diajukan oleh pejabat penerima kuasa.
Pasal 11
(1) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 bagi calon Nasabah berupa lembaga lain dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I;
b. ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dari Pimpinan; dan
c.
dilengkapi dengan dokumen pendukung paling
sedikit berupa:
1. fotokopi akta pendirian yang telah dilegalisasi
dan/atau dinyatakan sesuai dengan aslinya
oleh pejabat yang berwenang;
2. fotokopi surat keputusan atau
surat
pengangkatan Pimpinan yang telah dilegalisasi
dan/atau dinyatakan sesuai dengan aslinya
oleh pejabat yang berwenang;
3. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) bagi
Nasabah yang merupakan wajib pajak di
Indonesia atau bussines registration number
bagi Nasabah yang merupakan wajib pajak di
negara lain;
4. struktur organisasi dan kepengurusan;
5. surat permohonan pembuatan spesimen tanda
tangan
sebagaimana
Lampiran IV;
6. data identitas Nasabah dengan menggunakan
contoh
sebagaimana
Lampiran II;
7. fotokopi bukti identitas diri Pimpinan; dan
tercantum dalam
tercantum dalam
11
8. surat kuasa dari Pimpinan
dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III dan fotokopi identitas diri
pejabat
penerima
kuasa,
dalam hal
permohonan tertulis diajukan oleh pejabat
penerima kuasa.
(2) Permohonan tertulis bagi lembaga lain berupa lembaga
keuangan internasional atau bank sentral negara lain,
selain dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, juga dapat
dilakukan oleh satuan kerja di Bank Indonesia yang
memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama
lembaga keuangan internasional atau bank sentral
negara lain tersebut.
Pasal 12
Dalam hal menurut pertimbangan Sub-Registry BI diperlukan
adanya dokumen tambahan, Sub-Registry BI meminta kepada
calon Nasabah untuk melengkapi dokumen tambahan
tersebut.
Pasal 13
(1) Dalam memproses permohonan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Sub-Registry BI melakukan:
a. penelitian pemenuhan persyaratan sebagai Nasabah;
dan
b. penelitian administratif.
(2) Penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan terhadap dokumen yang
disampaikan oleh calon Nasabah meliputi:
a. penelitian kelengkapan dokumen; dan
b. penelitian kesesuaian dokumen.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian pemenuhan
persyaratan sebagai Nasabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, calon Nasabah tidak memenuhi
persyaratan, Sub-Registry BI menolak permohonan calon
Nasabah.
12
(4) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan Sub-Registry BI secara tertulis paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
terdapat dokumen yang tidak lengkap, Sub-Registry BI
meminta calon Nasabah melengkapi dokumen paling
lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan
dari Sub-Registry BI.
(6) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kesesuaian
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
terdapat dokumen yang tidak sesuai, Sub-Registry BI
meminta calon Nasabah memperbaiki dokumen paling
lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan
dari Sub-Registry BI.
(7) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) calon Nasabah
belum melengkapi dan/atau belum menyampaikan
dokumen yang telah diperbaiki maka calon Nasabah
dinyatakan telah membatalkan permohonan.
Pasal 14
(1) Berdasarkan hasil penelitian pemenuhan persyaratan
dan penelitian administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, Sub-Registry BI memutuskan untuk:
a. menyetujui; atau
b. menolak,
permohonan yang diajukan.
(2) Sub-Registry BI menyampaikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara
tertulis dan dapat didahului dengan faksimile atau
sarana elektronik lainnya kepada:
a. Kementerian Keuangan cq. Direktorat Jenderal
Perbendaharaan dan
pemerintah
daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
13
a dan huruf b, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak dokumen
diterima secara lengkap;
2. dalam hal disetujui, surat Sub-Registry BI
paling sedikit memuat:
a) persetujuan atas permohonan menjadi
Nasabah;
b) nama dan nomor Rekening SBN; dan
c) nomor single investor identification.
b. lembaga lain yang menurut Sub-Registry BI dapat
menjadi nasabah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c, dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak
dokumen diterima secara lengkap;
2. waktu penyampaian sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 dapat diperpanjang selama 15
(lima belas) hari kerja oleh Sub-Registry BI,
dalam hal terdapat pertimbangan untuk
penerapan prinsip kehati-hatian; dan
3. dalam hal disetujui, surat Sub-Registry BI
paling sedikit memuat:
a) persetujuan atas permohonan menjadi
Nasabah;
b) nama dan nomor Rekening SBN;
c) nomor single investor identification; dan
d)
jenis layanan yang diberikan.
(3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b angka 3 disertai dengan naskah perjanjian
antara Sub-Registry BI dengan Nasabah dan/atau kartu
specimen
tanda tangan dalam hal nasabah
berkedudukan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(4) Naskah perjanjian dan kartu spesimen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus ditandatangani oleh
Nasabah dan disampaikan kepada Sub-Registry BI paling
14
lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat
persetujuan Sub-Registry BI.
BAB VI
SPESIMEN TANDA TANGAN
Pasal 15
Tata cara pembuatan spesimen tanda tangan dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pembuatan spesimen tanda tangan dilakukan pada kartu
spesimen tanda tangan di hadapan pejabat Sub-Registry
BI;
b. masing-masing kartu spesimen tanda tangan dibubuhi 3
(tiga) tanda tangan dan dibuat dalam rangkap 2 (dua);
c. dalam hal spesimen tidak dibuat di hadapan pejabat Sub-
Registry BI sebagaimana dimaksud pada huruf a maka
spesimen tanda tangan tersebut disampaikan kepada
Sub-Registry BI melalui surat;
d. spesimen tanda tangan Nasabah berlaku efektif 2 (dua)
hari kerja setelah diterima oleh Sub-Registry BI; dan
e. spesimen tanda tangan Nasabah dapat berlaku efektif
lebih awal sepanjang terdapat permohonan dengan
mengacu pada format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 16
(1) Dalam hal terdapat perubahan spesimen tanda tangan,
Nasabah harus menyampaikan informasi tertulis disertai
alasan yang mendasarinya dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. untuk perubahan berupa penambahan pejabat yang
mewakili, menggunakan contoh permohonan
pembuatan spesimen tanda tangan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV;
b. untuk perubahan berupa penggantian pejabat yang
mewakili, menggunakan contoh surat permohonan
15
pencabutan spesimen tanda tangan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini dan contoh permohonan
pembuatan spesimen tanda tangan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV; dan
c. untuk perubahan berupa pencabutan pejabat yang
mewakili, menggunakan contoh surat permohonan
pencabutan spesimen tanda tangan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VII.
(2) Perubahan spesimen tanda tangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif:
a. 2 (dua) hari kerja setelah penandatanganan
spesimen, untuk perubahan berupa penambahan
pejabat yang mewakili;
b. 2 (dua) hari kerja setelah penandatanganan
spesimen, untuk perubahan berupa penggantian
pejabat yang mewakili; dan
c.
sejak surat pemberitahuan diterima oleh Sub-
Registry BI, untuk perubahan berupa pencabutan
pejabat yang mewakili.
Pasal 17
(1) Dalam hal terdapat perbedaan:
a. penulisan nama pejabat yang mewakili Nasabah
antara yang tercantum dalam bukti identitas dengan
yang tercantum dalam dokumen yang disampaikan
kepada Sub-Registry BI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9, Pasal 10, atau Pasal 11; dan/atau
b. tanda tangan pejabat yang mewakili Nasabah
antara yang tercantum dalam bukti identitas dengan
yang tercantum dalam kartu spesimen tanda tangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15,
pejabat yang mewakili Nasabah harus membuat
pernyataan tertulis dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan
16
Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diketahui oleh:
a. pemberi kuasa,
b. 1 (satu) orang Pimpinan lainnya dalam hal yang
mewakili Nasabah adalah Pimpinan lembaga, atau
c. atasan dari pejabat yang mewakili Nasabah.
Pasal 18
Dalam hal terjadi perubahan pejabat yang mewakili dan
Nasabah tidak memberitahukan perubahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, maka spesimen tanda tangan yang
ditatausahakan di Sub-Registry BI masih berlaku.
BAB VII
EVALUASI KEPEMILIKAN REKENING SBN
Pasal 19
Sub-Registry BI berwenang melakukan evaluasi atas rekening
SBN milik lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf c.
BAB VIII
PERUBAHAN DAN PENUTUPAN REKENING SBN
Pasal 20
(1) Rekening SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) dapat dilakukan perubahan oleh Sub-Registry BI.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perubahan:
a. nomor rekening; dan/atau
b. nama rekening.
(3) Perubahan nomor rekening sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a hanya dapat dilakukan atas inisiatif Sub-
Registry BI.
17
(4) Perubahan nama rekening sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dapat dilakukan dengan persetujuan
Sub-Registry BI berdasarkan permohonan tertulis dari
Nasabah.
(5) Sub-Registry BI menyampaikan secara tertulis perubahan
rekening SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada Nasabah.
Pasal 21
(1) Penutupan Rekening SBN dapat dilakukan berdasarkan:
a. permintaan Nasabah; atau
b. pertimbangan Sub-Registry BI.
(2) Penutupan Rekening SBN berdasarkan pertimbangan
Sub-Registry BI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b hanya dilakukan terhadap Rekening SBN milik
lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf c.
(3) Penutupan Rekening SBN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan setelah saldo Rekening SBN nihil.
Pasal 22
Penutupan Rekening SBN yang didasarkan pada permintaan
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Nasabah harus menyampaikan permintaan penutupan
Rekening SBN secara tertulis kepada Sub-Registry BI dan
permintaan pemindahbukuan untuk penihilan saldo
Rekening SBN dalam hal masih terdapat saldo;
b. permintaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus
disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja
sebelum pelaksanaan penutupan Rekening SBN;
c. Sub-Registry
BI
melaksanakan
permintaan
pemindahbukuan saldo sebagaimana dimaksud pada
huruf a ke rekening yang ditunjuk oleh Nasabah;
d. jangka waktu dan mekanisme penutupan Rekening SBN
yang tidak dapat diperdagangkan dilakukan sesuai
18
dengan perjanjian layanan Sub-Registry antara Sub-
Registry BI dan Nasabah;
e. Sub-Registry
BI menyampaikan pemberitahuan
penutupan Rekening SBN secara tertulis kepada Nasabah
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pelaksanaan
penutupan Rekening SBN.
Pasal 23
(1) Penutupan Rekening SBN karena pertimbangan Sub-
Registry BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf b dilakukan berdasarkan:
a. permintaan tertulis dan/atau keputusan dari
otoritas yang berwenang, dan/atau putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang
menyebabkan penutupan Rekening SBN;
b.
hasil evaluasi Sub-Registry BI atas kesesuaian
kepemilikan Rekening SBN dengan kriteria
penetapan lembaga lain sebagai Nasabah; dan/atau
c. pertimbangan lainnya.
(2) Penutupan Rekening SBN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Sub-Registry BI menyampaikan surat:
1. pemberitahuan rencana penutupan Rekening
SBN; dan
2. permintaan agar Nasabah segera melakukan
penihilan saldo pada Rekening SBN dimaksud
paling lambat 15 (lima belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal pemberitahuan, dalam
hal masih terdapat saldo pada Rekening SBN;
b. dalam hal Nasabah tidak melakukan penihilan saldo
Rekening SBN dalam waktu sebagaimana dimaksud
dalam huruf a angka 2, Sub-Registry BI:
1. memindahkan seluruh saldo tersebut ke
rekening Sub-Registry milik Nasabah pada
pihak lain; atau
2. menyetorkan seluruh saldo Rekening SBN
sebagai penerimaan negara,
19
sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian
antara Sub-Registry BI dan Nasabah; dan
c. Sub-Registry BI menyampaikan pemberitahuan
penutupan Rekening SBN secara tertulis paling lama
2 (dua) hari kerja setelah penutupan Rekening SBN.
BAB IX
MEKANISME PELAKSANAAN SETELMEN
Pasal 24
(1) Sub-Registry BI melaksanakan Setelmen berdasarkan
instruksi Setelmen tertulis dari Nasabah.
(2) Untuk Nasabah berupa pemerintah daerah, Setelmen
dilaksanakan berdasarkan instruksi Setelmen yang
disampaikan oleh Kementerian Keuangan cq. Direktorat
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
(3) Instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan
ketentuan internal yang berlaku bagi Nasabah dan
memiliki spesimen tanda tangan pada Sub-Registry BI.
(4) Instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat informasi:
a. seri surat berharga yang dibeli atau dijual;
b. harga bersih (clean price) per unit;
c. accrued interest;
d. yield;
e.
jumlah total setelmen transaksi:
1. nominal surat berharga; dan
2. dana (cash proceed);
f. data counterparty:
1. securities settlement agent berupa bank atau
Sub-Registry peserta transaksi BI-SSSS; dan
g.
2. payment agent;
tanggal transaksi; dan
h. tanggal Setelmen.
(5) Untuk persiapan pelaksanaan Setelmen, instruksi
Setelmen dapat disampaikan terlebih dahulu kepada Sub-
20
Registry BI melalui surat elektronik atau sarana lainnya
yang disetujui oleh Sub-Registry BI.
BAB X
BIAYA
Pasal 25
Bank Indonesia tidak membebankan biaya atas layanan jasa
Sub-Registry kepada Nasabah.
BAB XI
PENYEDIAAN INFORMASI
Pasal 26
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf h, Sub-Registry BI menyediakan informasi
kepada Nasabah secara:
a. rutin bulanan;
b. rutin untuk setiap Setelmen; dan/atau
c.
insidental.
Pasal 27
(1) Informasi rutin bulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 huruf a mencakup:
a. kepemilikan surat berharga,
b. penerimaan kupon/bunga atau imbalan; dan
c. pemotongan pajak.
(2) Sub-Registry BI menyediakan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat 5 (lima) hari kerja
setelah berakhirnya bulan yang bersangkutan.
Pasal 28
(1) Informasi rutin untuk setiap Setelmen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 huruf b yaitu informasi atas
setiap hasil Setelmen surat berharga.
21
(2) Sub-Registry BI menyediakan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1 (satu) hari kerja
setelah pelaksanaan Setelmen.
Pasal 29
(1) Informasi insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 huruf c yaitu informasi yang disediakan Sub-Registry
BI berdasarkan permintaan Nasabah.
(2) Permintaan Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan secara tertulis kepada Sub-Registry BI
disertai alasan permintaan.
Pasal 30
(1) Informasi yang disediakan oleh Sub-Registry BI kepada
Nasabah dinyatakan telah sesuai dan diterima
kebenarannya oleh Nasabah apabila dalam waktu paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja, Nasabah tidak
menyampaikan koreksi kepada Sub-Registry BI.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara informasi yang
disediakan oleh Sub-Registry BI dengan pencatatan
Nasabah maka Nasabah dapat menyampaikan koreksi
secara tertulis kepada Sub-Registry BI dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus disertai dengan bukti yang cukup.
BAB XII
KEADAAN TIDAK NORMAL
DAN/ATAU KEADAAN DARURAT
Pasal 31
(1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal dan/atau
keadaan darurat di Penyelenggara yang memengaruhi
kelancaran Setelmen
pada
Sub-Registry
BI,
22
penanganannya mengacu pada:
a. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga dan setelmen dana seketika; dan/atau
b. ketentuan Bank Indonesia lainnya.
(2) Sub-Registry BI menginformasikan terjadinya keadaan
tidak normal dan/atau keadaan darurat kepada:
a. Nasabah; atau
b. khusus bagi Nasabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, pemberitahuan
tersebut juga disampaikan kepada Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan,
Direktorat
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko,
dan/atau Direktorat Jenderal Perbendaharaan,
melalui media telepon, faksimile, dan/atau sarana
elektronik lainnya.
BAB XIII
KORESPONDENSI
Pasal 32
(1) Kegiatan korespondensi terkait dengan layanan Sub-
Registry BI sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini ditujukan kepada:
Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman
Bank Indonesia
Jalan M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350.
Faksimile 021-2310982
Surat elektronik: customerservice_ljp@bi.go.id
(2) Dalam hal terjadi perubahan alamat korespondensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sub-Registry BI
memberitahukan kepada Nasabah secara tertulis.
23
BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 33
Dalam hal terdapat perubahan atas data yang telah
disampaikan pada saat permohonan menjadi Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11,
namun Nasabah tidak menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Sub-Registry BI maka data yang berlaku
adalah yang ditatausahakan pada Sub-Registry BI.
Pasal 34
Sepanjang penyediaan informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 belum dapat diakses oleh Nasabah secara
online, Sub-Registry BI menyampaikan informasi tersebut
kepada Nasabah melalui surat dan/atau sarana lainnya.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/4/DPTP
tanggal 28 Maret 2016 tentang Layanan Sub-Registry Bank
Indonesia dalam rangka Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil
dan/atau Dana Alokasi Umum dalam Bentuk Nontunai
berupa Surat Berharga Negara, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 36
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
24
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
1
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/3/PADG/2018
TENTANG
LAYANAN SUB-REGISTRY BANK INDONESIA
I. UMUM
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008
tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 17/19/PBI/2015, dan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor
17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi,
Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/14/PBI/2017, Bank Indonesia telah ditetapkan
sebagai salah satu Sub-Registry yang melakukan fungsi penatausahaan
bagi kepentingan nasabah. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan fungsi
Bank Indonesia sebagai Sub-Registry, telah diterbitkan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 18/4/DPTP tanggal 28 Maret 2016 perihal
Layanan Sub-Registry Bank Indonesia dalam rangka Konversi Penyaluran
Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum dalam bentuk Nontunai
berupa Surat Berharga Negara, yang secara khusus mengatur mengenai
kegiatan pemberian layanan Sub-Registry kepada pemerintah daerah
sehubungan dengan konversi penyaluran dana bagi hasil dan/atau dana
alokasi umum dalam bentuk nontunai berupa Surat Berharga Negara.
Bahwa pelaksanaan fungsi Sub-Registry oleh Bank Indonesia dalam
perkembangannya tidak hanya dibutuhkan dalam rangka konversi
penyaluran dana bagi hasil dan/atau dana alokasi umum dalam bentuk
nontunai berupa Surat Berharga Negara, akan tetapi juga dibutuhkan
2
dalam rangka pengelolaan kas pemerintah. Mengingat adanya
perkembangan kebutuhan dimaksud diperlukan penyesuaian terhadap
ketentuan yang mengatur mengenai pemberian layanan Sub-Registry
Bank Indonesia. Penyesuaian ketentuan yang mengatur mengenai
pemberian layanan Sub-Registry Bank Indonesia juga perlu dilakukan
dengan memperluas pemberian layanan Sub-Registry Bank Indonesia
kepada lembaga lain selain Kementerian Keuangan dan pemerintah
daerah, yang memiliki keterkaitan dengan tugas Bank Indonesia dalam
bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, memiliki
hubungan kerja sama internasional dengan Bank Indonesia baik secara
bilateral maupun multilateral, dan/atau memiliki keterkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan fungsi Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โpemerintah daerahโ adalah
pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah
yang meliputi pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota.
Huruf c
Lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dapat
memperoleh layanan Sub-Registry BI antara lain bank
sentral negara lain dan lembaga pemerintah non
kementerian.
3
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
SBN hasil konversi penyaluran dana bagi hasil dan/atau
dana alokasi umum mengacu pada Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai konversi penyaluran
dana bagi hasil dan/atau dana alokasi umum dalam bentuk
nontunai.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โmemiliki keterkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan fungsi Bank Indonesiaโ antara lain
pihak tersebut memiliki keterkaitan dengan kebijakan
pemerintah dan/atau kebijakan Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Bagi calon Nasabah yang telah memiliki Rekening Giro dapat
4
menggunakan Rekening Giro yang sudah ada, selama disetujui
oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Bukti Identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk
(KTP), SIM, Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS)
dan/atau Paspor.
5
Angka 8
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Persetujuan atau penolakan bagi pemerintah daerah
disampaikan kepada:
1. pemerintah daerah selaku Nasabah dengan tembusan
kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan, dalam hal permohonan
diajukan oleh pemerintah daerah; atau
2. Kementerian Keuangan c.q. Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan dengan tembusan kepada
pemerintah daerah selaku Nasabah dalam hal
permohonan yang diajukan oleh Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan โpenerapan prinsip kehati-
hatianโ antara lain perlunya pemastian oleh Sub-
Registry BI mengenai profil dan eksistensi calon
nasabah sehubungan dengan penerapan prinsip anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme,
termasuk kemungkinan adanya pengenaan sanksi dari
6
Office of Foreign Asset Control (OFAC).
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Evaluasi terhadap pihak lain atas kepemilikan Rekening SBN
dilakukan antara lain dengan meminta data dan/atau informasi
kepada Nasabah untuk melihat kesesuaian kepemilikan Rekening
SBN dengan pertimbangan Bank Indonesia.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
7
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan โbiaya atas layanan jasaโ antara lain biaya
administrasi dan biaya transaksi namun tidak termasuk beban pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
Informasi kepada Nasabah memuat antara lain nama Nasabah,
nomor Rekening SBN, dan nomor single investor identification.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Informasi pemotongan pajak antara lain berupa bukti
pemotongan pajak oleh Sub-Registry BI yang dapat
dilengkapi dengan daftar rincian pemotongan pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
8
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/3/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> LAYANAN SUB-REGISTRY BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 29 Maret 2018 </set_date>
<effective_date> 29 Maret 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '18/4/DPTP|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '17/19/PBI/2015', '17/18/PBI/2015', '19/14/PBI/2017', '10/13/PBI/2008' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/36/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/8/PADG/2018 TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT
BERHARGA DALAM OPERASI MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter,
Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia
sebagai salah satu instrumen operasi moneter
berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa Sukuk Bank Indonesia ditetapkan sebagai surat
berharga yang dapat digunakan dalam operasi moneter;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas
Peraturan
Anggota
Dewan Gubernur Nomor
20/8/PADG/2018 tentang Kriteria dan Persyaratan Surat
Berharga Dalam Operasi Moneter;
2
Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6189) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/14/PBI/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi
Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6278);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/8/PADG/2018 TENTANG KRITERIA
DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA DALAM OPERASI
MONETER.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/8/PADG/2018 tentang Kriteria dan
Persyaratan Surat Berharga Dalam Operasi Moneter diubah
sebagai berikut:
1. Di antara angka 18 dan angka 19 Pasal 1 disisipkan 1
(satu) angka, yakni angka 18A sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1.
Bank adalah bank umum konvensional, bank
umum syariah, dan unit usaha syariah.
2.
Bank Umum Konvensional yang selanjutnya
disingkat BUK adalah bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
3
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan.
3.
Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat
BUS adalah bank umum yang menjalankan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
4.
Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
5.
Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter, yang dilakukan secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah.
6.
Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya
disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter yang dilakukan secara konvensional.
7.
Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat
OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh
Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
8.
Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat
OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang
dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain
untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.
9.
Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang
selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah
kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar
valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan BUK dan/atau pihak lain.
10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya
disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di
pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau
4
pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain.
11. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana
rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan
penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank
Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan
secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
12. Standing Facilities Konvensional adalah kegiatan
penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank
Indonesia kepada BUK dan penempatan dana
rupiah (deposit facility) oleh BUK di Bank Indonesia.
13. Standing Facilities Syariah adalah kegiatan
penyediaan dana rupiah (financing facility) dari Bank
Indonesia kepada BUS atau UUS dan penempatan
dana rupiah (deposit facility) oleh BUS atau UUS di
Bank Indonesia.
14. Peserta Operasi Moneter adalah peserta OMK dan
peserta OMS yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia sebagai peserta Operasi Moneter
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan
operasi moneter.
15. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai
peserta OMK sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kepesertaan operasi moneter.
16. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS
yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia
sebagai peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kepesertaan operasi moneter.
17. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
5
18. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan
prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka
waktu pendek.
18A. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut
SukBI adalah sukuk yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia dengan menggunakan underlying asset
berupa surat berharga berdasarkan prinsip syariah
milik Bank Indonesia.
19. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek
yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK.
20. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah surat utang negara dan surat berharga
syariah negara.
21. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara.
22. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah
negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai surat berharga
syariah negara.
23. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon
dan/atau dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
24. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya
disingkat SPN adalah SUN yang berjangka waktu
sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
6
25. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka
waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau
secara diskonto.
26. SBSN Jangka Pendek atau Surat Perbendaharaan
Negara Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu
sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau
secara diskonto.
27. Zero Coupon Bond yang selanjutnya disingkat ZCB
adalah Obligasi Negara tanpa kupon, dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
28. Obligasi Negara Ritel yang selanjutnya disingkat ORI
adalah Obligasi Negara yang pada pasar perdana
dijual kepada individu atau perseorangan Warga
Negara Indonesia melalui agen penjual.
29. SBSN Ritel yang selanjutnya disebut Sukuk Negara
Ritel adalah SBSN yang pada pasar perdana dijual
kepada individu atau orang perseorangan Warga
Negara Indonesia melalui agen penjual.
30. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga
untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi
penjualan surat berharga oleh Peserta OPT
Konvensional kepada Bank Indonesia dengan
kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT
Konvensional sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
31. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga
untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi
penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah
kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian
kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati.
7
32. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang
selanjutnya disebut Transaksi Repo SBIS adalah
transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia
kepada Peserta Standing Facilities Syariah dengan
agunan SBIS.
33. Transaksi Lending Facility adalah penyediaan dana
rupiah dari Bank Indonesia kepada BUK untuk
OMK.
34. Transaksi Financing Facility adalah penyediaan
dana rupiah dari Bank Indonesia kepada BUS
dan/atau UUS untuk OMS.
35. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Untuk OPT
Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi
pembelian surat berharga oleh Peserta OPT
Konvensional dari Bank Indonesia, dengan
kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT
Konvensional sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
36. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Untuk OPT
Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse
Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat
berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank
Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh
Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan
jangka waktu yang disepakati.
37. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah
Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
38. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah
BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
8
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
39. Sistem Bank IndonesiaโElectronic Trading Platform
yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah
Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
40. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat
berharga milik Bank pada BI-SSSS dalam mata
uang rupiah dan/atau valuta asing yang
ditatausahakan di Bank Indonesia untuk
pencatatan kepemilikan dan setelmen atas transaksi
surat berharga, transaksi dengan Bank Indonesia,
dan/atau transaksi pasar keuangan.
41. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di
Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau
valuta asing.
42. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia,
termasuk hari kerja operasional terbatas Bank
Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
Jenis surat berharga yang memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:
a. SBI;
b. SDBI;
c. SukBI;
d. SBN, yang meliputi:
1. SUN, meliputi SPN dan Obligasi Negara
termasuk ZCB dan ORI; dan
2. SBSN, yang meliputi SBSN Jangka Pendek dan
SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel; dan
9
e. surat berharga dalam valuta asing jangka pendek
atau jangka panjang yang diterbitkan oleh
pemerintah negara lain (sovereign bond).
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1) SBI, SDBI, dan SukBI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf a sampai dengan huruf c dapat
digunakan dalam Transaksi Repo OPT Konvensional
dan Transaksi Lending Facility.
(2) SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d
dapat digunakan dalam Transaksi Repo OPT
Konvensional, Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional, dan Transaksi Lending Facility.
(3) Surat berharga dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf e hanya dapat
digunakan dalam Transaksi Repo OPT Konvensional.
4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
Surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
harus memenuhi persyaratan sisa jangka waktu sebagai
berikut:
a. untuk SBI, memiliki sisa jangka waktu paling singkat
2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi
Repo OPT Konvensional dan Transaksi Lending
Facility;
b. untuk SDBI, memiliki sisa jangka waktu paling
singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg
Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi
Lending Facility;
c. untuk SukBI, memiliki sisa jangka waktu paling
singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg
10
Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi
Lending Facility;
d. untuk SBN, memiliki sisa jangka waktu paling
singkat 3 (tiga) Hari Kerja pada saat second leg
Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi
Lending Facility; dan
e. untuk surat berharga dalam valuta asing, memiliki
sisa jangka waktu paling singkat 30 (tiga puluh) hari
kalender pada saat second leg Transaksi Repo OPT
Konvensional.
5. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8
Jenis surat berharga yang memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 terdiri atas:
a. SBIS;
b. SukBI;
c. SBSN, yang meliputi:
1. SBSN Jangka Pendek; dan
2. SBSN Jangka Panjang, termasuk SBSN Ritel.
6. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
(1) SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a
dapat digunakan dalam Transaksi Financing Facility.
(2) SukBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dapat digunakan dalam Transaksi Repo OPT Syariah
dan Transaksi Financing Facility.
(3) SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c
dapat digunakan dalam Transaksi Repo OPT Syariah,
Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, dan Transaksi
Financing Facility.
11
7. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
Surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
harus memenuhi persyaratan sisa jangka waktu sebagai
berikut:
a. untuk SBIS, memiliki sisa jangka waktu paling
singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg
Transaksi Financing Facility;
b. untuk SukBI, memiliki sisa jangka waktu paling
singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg
Transaksi Repo OPT Syariah dan Transaksi Financing
Facility; dan
c. untuk SBSN, memiliki sisa jangka waktu paling
singkat 3 (tiga) Hari Kerja pada saat second leg
Transaksi Repo OPT Syariah dan Transaksi Financing
Facility.
8. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 12
Penetapan harga surat berharga oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur sebagai
berikut:
a. harga SBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan rata-rata tertimbang tingkat
diskonto saat penerbitan, sisa jangka waktu setiap
seri SBI, dan/atau variabel lainnya;
b. harga SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen)
sejak tanggal penerbitan sampai dengan tanggal jatuh
waktu;
c. harga SDBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan rata-rata tertimbang tingkat
diskonto saat penerbitan, sisa jangka waktu setiap
seri SDBI, dan/atau variabel lainnya;
12
d. harga SukBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan harga saat penerbitan, tingkat
imbalan, jangka waktu berjalan, dan/atau variabel
lainnya;
e. harga SBN ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan harga pasar masing-masing jenis
dan seri SBN dan/atau variabel lainnya; dan
f.
harga surat berharga dalam valuta asing ditetapkan
oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan
harga pasar masing-masing jenis, seri surat berharga
dalam valuta asing (sovereign bond), dan/atau
variabel lainnya.
9. Ketentuan Pasal 13 ayat (2) diubah sehingga Pasal 13
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Haircut merupakan faktor pengurang terhadap harga
surat berharga.
(2) Haircut terhadap surat berharga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk SBI sebesar 0% (nol persen);
b. untuk SBIS sebesar 0% (nol persen);
c. untuk SDBI sebesar 0% (nol persen);
d. untuk SukBI sebesar 0% (nol persen);
e. untuk SBN yang terdiri atas:
1. SUN sebesar 5% (lima persen);
2. SBSN sebesar 6,5% (enam koma lima
persen); dan
f. untuk surat berharga dalam valuta asing
(sovereign bond), besar haircut diumumkan oleh
Bank Indonesia pada tanggal pelaksanaan
transaksi.
13
10. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) diubah sehingga Pasal 18
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Nilai setelmen surat berharga yaitu sebesar nilai
nominal surat berharga yang di-repo-kan atau di-
reverse repo-kan.
(2) Nilai setelmen dana untuk setelmen first leg dihitung
sebagai berikut:
a. SBI, SDBI, SukBI, SPN, ZCB, dan SBSN Jangka
Pendek
Nilai
Setelmen
First Leg
=
Nominal surat
berharga yang
di-repo-kan atau
di-reverse repo-kan
ร (
Harga surat
berharga
โHaircut)
b. SBIS
Nilai setelmen first leg yaitu sebesar nilai
nominal SBIS yang diagunkan.
c.
Obligasi Negara termasuk ORI dan SBSN Jangka
Panjang
Nilai
Setelmen
First Leg
= [
Nominal surat
berharga yang
di-repo-kan atau
di-reverse repo-kan
x (
Harga surat
berharga
- Haircut)] +
Accrued
Interest/
Imbalan
Keterangan:
Harga surat
berharga
: harga surat berharga
sebagaimana diumumkan
pada Sistem BI-ETP, BI-
SSSS, dan/atau sarana lain
pada tanggal Transaksi Repo
OPT Konvensional, Transaksi
Reverse
Repo
OPT
Konvensional, Transaksi
Lending Facility, Transaksi
Repo OPT Syariah, Transaksi
Reverse Repo OPT Syariah,
14
atau Transaksi Financing
Facility
Haircut
: haircut
sebagaimana
diumumkan dalam Sistem
BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau
sarana lain pada Transaksi
Repo OPT Konvensional,
Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional, Transaksi
Lending Facility, Transaksi
Repo OPT Syariah, Transaksi
Reverse Repo OPT Syariah,
atau Transaksi Financing
Facility
Accrued
interest atau
Imbalan
: - hak atas kupon atau
imbalan surat berharga
yang dihitung sejak 1
(satu) hari sesudah tanggal
pembayaran kupon atau
imbalan terakhir sampai
dengan tanggal setelmen
first leg
- perhitungan hak atas
imbalan SBSN didasarkan
pada jumlah hari yang
sebenarnya (actual per
actual)
d. Obligasi Negara termasuk ORI dan SBSN Jangka
Panjang dalam hal terdapat pembayaran kupon
atau imbalan surat berharga pada 1 (satu) Hari
Kerja setelah tanggal setelmen first leg
Nilai
setelmen
๐๐๐๐ ๐ก ๐๐๐
= [
Nominal surat berharga
yang di-repo-kan atau
di-reverse repo-kan
x(
Harga
surat berharga
โ Haircut)] โ
Accrued
Interest/
Imbalan
15
Keterangan:
Harga surat
berharga
: harga surat berharga
sebagaimana diumumkan
pada Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan/atau sarana lain pada
tanggal Transaksi Repo OPT
Konvensional, Transaksi
Reverse
Repo
OPT
Konvensional, Transaksi
Lending Facility, Transaksi
Repo OPT Syariah, Transaksi
Reverse Repo OPT Syariah,
atau Transaksi Financing
Facility
Haircut
: haircut
sebagaimana
diumumkan pada Sistem BI-
ETP, BI-SSSS, dan/atau
sarana lain pada tanggal
Transaksi
Repo
Repo
Konvensional, Transaksi
Reverse
OPT
OPT
Konvensional, Transaksi
Lending Facility, Transaksi
Repo OPT Syariah, Transaksi
Reverse Repo OPT Syariah,
atau Transaksi Financing
Facility
Accrued interest
atau Imbalan
: hak atas kupon atau imbalan
surat berharga yang dihitung
sejak tanggal setelmen first
leg sampai dengan tanggal
pembayaran kupon atau
imbalan surat berharga pada
1 (satu) Hari Kerja sesudah
tanggal setelmen first leg
16
(3) Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg
dihitung sebagai berikut:
a. SBI, SDBI, SukBI, SBN
Nilai Setelmen
Second Leg
a
Bunga/ Nilai Margin
Transaksi Repo/
Transaksi Reverse Repo/ =
Transaksi Lending Facility/
Transaksi Financing Facility
Nilai
Setelmen
๐๐๐๐ ๐ก ๐๐๐
ร
Repo rate/
Reverse Repo rate/
Margin Repo/
Margin Reverse Repo
ร
Jangka waktu
360
Nilai
=
Setelmen
First Leg
+
Bunga/Nilai Margin Transaksi
Repo/Reverse Repo/
Lending Facility/Financing Facility
Keterangan:
Jangka waktu
: jangka waktu Transaksi Repo
OPT Konvensional, Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional,
Transaksi
Lending Facility,
Transaksi Repo OPT Syariah,
Transaksi Reverse Repo OPT
Syariah, atau Transaksi
Financing Facility
b. SBIS
Nilai setelmen
second leg
Nilai
=
setelmen
first leg
+ Biaya Transaksi Repo SBIS
Biaya Transaksi
Repo SBIS
Nilai
=
setelmen
๐๐๐๐ ๐ก ๐๐๐
x
Tingkat Biaya
Repo SBIS
ร
Jangka waktu
360
Keterangan:
Biaya Transaksi
Repo SBIS
: kewajiban
membayar
(gharamah) yang ditetapkan
Bank Indonesia pada
Transaksi Repo SBIS karena
peserta OMS tidak menepati
17
jangka waktu kesepakatan
pembelian SBIS
11. Ketentuan Bab IV ditambahkan 1 (satu) bagian, yakni
Bagian Kedelapan dan di antara Pasal 24 dan Pasal 25
disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 24A sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kedelapan
Pelunasan SukBI Sebelum Jatuh Waktu
(Early Redemption)
Pasal 24A
(1) Pelunasan SukBI sebelum jatuh waktu (Early
Redemption) dilakukan dalam hal terjadi:
a. kegagalan setelmen Transaksi Repo OPT
Konvensional dan Transaksi Repo OPT Syariah
jatuh waktu;
b. kegagalan setelmen Transaksi Lending Facility,
dan Transaksi Financing Facility jatuh waktu;
atau
c.
transaksi antara Bank dengan pihak selain
Bank,
yang menggunakan SukBI.
(2) Nilai pelunasan SukBI sebelum jatuh waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar nilai
nominal SukBI yang di-early redeem dan imbalan
SukBI yang menjadi hak Bank pemilik SukBI.
(3) Imbalan SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dihitung sampai dengan tanggal Early Redemption
SukBI.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
18
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/36/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/8/PADG/2018 TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN
SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa
tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia
menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi
Moneter berdasarkan prinsip syariah dan Sukuk Bank Indonesia
ditetapkan sebagai surat berharga yang dapat digunakan dalam Operasi
Moneter. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/8/PADG/2018 tentang Kriteria dan
Persyaratan Surat Berharga Dalam Operasi Moneter.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 8
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 8A
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 12
Cukup jelas.
3
Angka 9
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 24A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/36/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/8/PADG/2018 TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER </reg_title>
<set_date> 20 Desember 2018 </set_date>
<effective_date> 20 Desember 2018 </effective_date>
<changed_reg> '20/8/PADG/2018' </changed_reg>
<related_reg> '20/14/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
|
1
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/32/PADG/2018
TENTANG
PENYELENGGARAAN TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-
ELECTRONIC TRADING PLATFORM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan transaksi
yang lancar, aman, efisien, dan andal, perlu
menyempurnakan ketentuan mengenai penyelenggaraan
transaksi melalui sistem Bank Indonesia-Electronic
Trading Platform;
b. bahwa untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank
Indonesia dalam pelayanan perizinan terpadu dalam
hubungan operasional bagi bank umum maka perlu
menyempurnakan ketentuan mengenai kepesertaan dalam
penyelenggaraan transaksi melalui sistem Bank Indonesia-
Electronic Trading Platform;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Penyelenggaraan
Transaksi Melalui Sistem Bank Indonesia-Electronic
Trading Platform;
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga,
dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 20/11/PBI/2018 tentang Perubahan Ketiga
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015
tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 186, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6256);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PENYELENGGARAAN TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK
INDONESIA-ELECTRONIC TRADING PLATFORM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang
selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transaksi yang dilakukan
secara elektronik.
2. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi
dan penatausahaan surat berharga yang dilakukan secara
elektronik.
3. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik
yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara
individual.
3
4. Transaksi adalah transaksi dengan Bank Indonesia dan
transaksi pasar keuangan.
5. Transaksi dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang
dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia untuk
kegiatan operasi moneter, transaksi surat berharga negara
untuk dan atas nama pemerintah, dan/atau transaksi
lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia.
6. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi surat
berharga dan transaksi pinjam meminjam antarpeserta
secara konvensional atau yang dipersamakan berdasarkan
prinsip syariah dalam transaksi pasar uang dan/atau
transaksi surat berharga di pasar sekunder.
7. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter
oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
8. Penatausahaan adalah kegiatan yang mencakup
pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta
pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan
pokok/nominal atas hasil transaksi surat berharga dan
hasil transaksi tanpa surat berharga.
9. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia, pemerintah, dan/atau lembaga lain,
yang ditatausahakan pada BI-SSSS.
10. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang
negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai surat berharga syariah negara.
11. Penyelenggara Sistem BI-ETP yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah Bank Indonesia dalam kedudukan
sebagai pihak yang menyelenggarakan Sistem BI-ETP.
12. Peserta Sistem BI-ETP yang selanjutnya disebut Peserta
adalah pihak yang memenuhi persyaratan dan telah
memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta
dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP.
4
13. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Penyelenggara
sebagai Peserta BI-SSSS, untuk melakukan fungsi
Penatausahaan bagi kepentingan nasabah.
14. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
15. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi
keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening
setelmen dana, rekening surat berharga, dan/atau
rekening lainnya di Bank Indonesia.
16. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan rekening surat berharga untuk Penatausahaan.
17. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir
transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan
rekening setelmen dana.
18. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta dalam
mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang
ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pencatatan
kepemilikan dan Setelmen atas transaksi Surat Berharga,
Transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau Transaksi
Pasar Keuangan.
19. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta pada
Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta
asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk
pelaksanaan Setelmen Dana.
20. Bank Pembayar adalah peserta Sistem BI-RTGS yang
ditunjuk sebagai pihak untuk melakukan pembayaran
dan penerimaan dana oleh Peserta lain dan/atau peserta
BI-SSSS.
21. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang
terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan
pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan
komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung Sistem
BI-ETP yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP.
5
22. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di
luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang
menyebabkan kegiatan operasional Sistem BI-ETP tidak
dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh kebakaran,
kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti
gempa bumi dan banjir, dan/atau sebab lain, yang
dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang
berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia.
23. Fasilitas Guest Bank adalah fasilitas Sistem BI-ETP di
lokasi Penyelenggara dan kantor perwakilan Bank
Indonesia dalam negeri yang disediakan oleh
Penyelenggara untuk Peserta sebagai cadangan dalam hal
terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat
yang menyebabkan Peserta tidak dapat menggunakan
Sistem BI-ETP di lokasi Peserta.
24. Sistem BI-ETP Central Node yang selanjutnya disebut ECN
adalah sistem di Penyelenggara yang menyediakan fungsi
untuk pelaksanaan kegiatan pencatatan Transaksi dan
fungsi pendukung lain untuk penyelenggaraan Transaksi
melalui Sistem BI-ETP.
25. Sistem BI-ETP Participant Platform yang selanjutnya
disebut EPP adalah Sistem BI-ETP di Peserta yang
terhubung dengan ECN, yang digunakan Peserta untuk
melakukan kegiatan terkait Transaksi dan fungsi
pendukung lainnya.
26. Digital Certificate Hard Token adalah media penyimpanan
berupa universal serial bus (USB) flash drive yang berisi
sertifikat (digital certificate) dalam bentuk file terproteksi
yang memuat identitas pemilik sertifikat, kunci enkripsi
untuk melakukan verifikasi tanda tangan digital pemilik,
dan periode validitas sertifikat, yang dihasilkan oleh
infrastruktur kunci publik (public key infrastructure) Bank
Indonesia.
27. Position Account adalah rekening yang digunakan dalam
melakukan Transaksi yang terdiri atas Rekening Surat
Berharga di BI-SSSS dan Rekening Setelmen Dana di
Sistem BI-RTGS.
6
28. Portfolio adalah kumpulan Position Account yang
digunakan dalam melakukan Transaksi.
29. Broker Bidding Limit adalah batas paling tinggi nominal
penawaran yang diberikan oleh pihak yang diwakili
kepada Peserta untuk dapat melakukan penawaran untuk
dan atas nama pihak yang diwakili.
BAB II
PENYELENGGARA
Pasal 2
(1) Ruang lingkup penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem
BI-ETP meliputi:
a. kepesertaan;
b. operasional; dan
c. kepatuhan Peserta.
(2) Penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan
oleh Bank yang baru didirikan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu
terkait hubungan operasional bank umum dengan
Bank Indonesia, disampaikan kepada satuan kerja
yang melaksanakan fungsi
pengawasan
makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran;
b. permohonan untuk menjadi Peserta, perubahan
status kepesertaan menjadi ditutup, dan perubahan
data kepesertaan Sistem BI-ETP, sebagai dampak
dari adanya langkah strategis dan mendasar, serta
penyampaian informasi yang memengaruhi data
Peserta di Bank Indonesia yang diajukan oleh Bank,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan
perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank
umum dengan Bank Indonesia, disampaikan kepada
7
satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan
makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran;
c. permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan
oleh Bank selain sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan huruf b serta pihak selain Bank, disampaikan
kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi
penyelenggaraan sistem pembayaran;
d. permohonan perubahan data kepesertaan Sistem BI-
ETP selain yang terkait dengan langkah strategis dan
mendasar sebagaimana dimaksud dalam huruf b
yang diajukan oleh Bank disampaikan kepada satuan
kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan
sistem pembayaran; dan
e. permohonan perubahan status kepesertaan menjadi
ditutup dan perubahan data kepesertaan Sistem BI-
ETP yang diajukan oleh pihak selain Bank,
disampaikan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem
pembayaran.
(3) Penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c
dilakukan oleh satuan kerja yang melaksanakan fungsi
penyelenggaraan sistem pembayaran.
Pasal 3
Dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP,
Penyelenggara memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. menetapkan ketentuan dan prosedur penyelenggaraan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP;
b. menyediakan sarana dan prasarana penyelenggaraan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP;
c. melaksanakan kegiatan operasional Sistem BI-ETP;
d. melakukan upaya untuk menjamin keandalan,
ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan Transaksi
melalui Sistem BI-ETP;
e. melakukan pemantauan kepatuhan Peserta terhadap
ketentuan dan prosedur yang ditetapkan oleh Penyelenggara;
8
f. menetapkan jenis dan besarnya biaya dalam
penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP; dan
g. mengenakan sanksi administratif.
Pasal 4
Sarana dan prasarana penyelenggaraan Transaksi melalui
Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b
paling sedikit mencakup:
a. perangkat keras di Penyelenggara dan aplikasi ECN;
b. satu jaringan komunikasi data (JKD) yang
menghubungkan EPP utama di Peserta dengan ECN di
Penyelenggara;
c.
d.
aplikasi EPP dan perubahannya serta pedoman
pengoperasian Sistem BI-ETP;
Fasilitas Guest Bank; dan
e. sarana dan prasarana pendukung lainnya, termasuk
Digital Certificate Hard Token.
Pasal 5
(1) Penyelenggara menjamin keandalan, ketersediaan, dan
keamanan penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-
ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d dengan
kegiatan paling sedikit:
a. melakukan pengelolaan dan pengoperasian ECN;
b. menyediakan layanan help desk;
c. memberikan layanan yang berkaitan dengan
kepesertaan dalam Sistem BI-ETP;
d. menetapkan waktu operasional penyelenggaraan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP;
e. menerapkan standar layanan minimum dalam
penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP;
f. menetapkan dan memberlakukan ketentuan dan
prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal
dan/atau Keadaan Darurat;
g. memberikan pelatihan kepada calon Peserta dan
pelatihan secara berkala kepada Peserta; dan
h. menetapkan status kepesertaan.
9
(2) Layanan help desk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b ditujukan untuk menangani permasalahan yang
dihadapi Peserta terkait dengan:
a. operasional Sistem BI-ETP; dan/atau
b. JKD Sistem BI-ETP.
BAB III
KEPESERTAAN
Bagian Kesatu
Ketentuan Umum Kepesertaan
Pasal 6
(1) Pihak yang dapat menjadi Peserta yaitu:
a. Bank Indonesia;
b. Kementerian Keuangan;
c. Lembaga Penjamin Simpanan;
d. Bank;
e. perusahaan efek;
f. perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta
asing; dan
g. lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara.
(2) Berdasarkan fungsi Peserta di Sistem BI-ETP, pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibedakan
menjadi:
a. penerbit Surat Berharga;
b. peserta Operasi Moneter sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
operasi moneter;
c. lembaga perantara sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
operasi moneter;
d. peserta transaksi SBN di pasar perdana sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai lelang surat berharga negara di
pasar perdana;
e. peserta Transaksi Pasar Keuangan; dan/atau
10
f.
fungsi lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(3) Berdasarkan kepemilikan rekening untuk Setelmen Surat
Berharga, pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibedakan menjadi:
a. Peserta yang memiliki Rekening Surat Berharga, yang
terdiri atas:
1. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan
atas nama diri sendiri dengan menggunakan
Rekening Surat Berharga miliknya sendiri; dan
2. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan
atas nama pihak lain yang diwakili dengan
menggunakan Rekening Surat Berharga Sub-
Registry dan/atau Rekening Surat Berharga
milik pihak lain yang diwakili; dan
b. Peserta yang tidak memiliki Rekening Surat Berharga,
yang terdiri atas:
1. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan
atas nama diri sendiri dengan menggunakan
Rekening Surat Berharga Sub-Registry; dan
2. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan
atas nama pihak lain yang diwakili dengan
menggunakan Rekening Surat Berharga Sub-
Registry dan/atau Rekening Surat Berharga
milik pihak lain yang diwakili.
(4) Berdasarkan kepemilikan rekening untuk Setelmen Dana,
pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dibedakan menjadi:
a. Peserta yang memiliki Rekening Setelmen Dana, yang
terdiri atas:
1. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan
atas nama diri sendiri dengan menggunakan
Rekening Setelmen Dana miliknya sendiri untuk
pelaksanaan Setelmen Dana dan pembayaran
kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan
Transaksi; dan
2. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan
atas nama pihak lain yang diwakili dengan
menggunakan:
11
a) Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar
dan/atau Rekening Setelmen Dana milik
pihak lain yang diwakili untuk pelaksanaan
Setelmen Dana; dan
b) Rekening Setelmen Dana miliknya sendiri
untuk pembayaran kewajiban lainnya
terkait dengan kegiatan Transaksi; dan
b. Peserta yang tidak memiliki Rekening Setelmen Dana,
yang terdiri atas:
1. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan
atas nama diri sendiri dengan menggunakan
Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar untuk
pelaksanaan Setelmen Dana dan pembayaran
kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan
Transaksi; dan
2. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan
atas nama pihak lain yang diwakili, dengan
menggunakan:
a) Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar
dan/atau Rekening Setelmen Dana milik
pihak lain yang diwakili untuk pelaksanaan
Setelmen Dana; dan
b) Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar
untuk pembayaran kewajiban lainnya
terkait dengan kegiatan Transaksi.
Bagian Kedua
Persyaratan Menjadi Peserta
Pasal 7
(1) Calon Peserta harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari lembaga
yang berwenang;
b. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan;
c.
telah menjadi peserta dalam Sistem BI-RTGS dan BI-
SSSS, untuk calon Peserta berupa Bank;
12
d. pimpinan calon Peserta telah memperoleh:
1. penunjukan dari lembaga terkait; atau
2. persetujuan atau dinyatakan lulus dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan dari
lembaga pengawas yang berwenang;
e. menunjuk Sub-Registry dan/atau peserta BI-SSSS
lain untuk pelaksanaan Setelmen Surat Berharga
terkait dengan kegiatan Transaksi, untuk calon
Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3)
huruf b;
f. menunjuk Bank Pembayar untuk pelaksanaan
Setelmen Dana dan pembayaran kewajiban lainnya
terkait dengan kegiatan penggunaan Sistem BI-ETP
untuk calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (4) huruf b; dan
g. menggunakan infrastruktur Sistem BI-ETP sesuai
dengan
spesifikasi yang telah ditetapkan
Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Infrastruktur Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf g dapat dikelola sendiri atau dikelola oleh
pihak lain.
Pasal 8
(1) Calon Peserta yang menggunakan infrastruktur yang
dikelola oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2), harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memiliki perjanjian kerja sama penggunaan
infrastruktur dengan pihak lain yang mengelola
infrastruktur Sistem BI-ETP; dan
b. memiliki surat pernyataan dari pihak lain atas
penggunaan infrastrukturnya oleh calon Peserta yang
bersangkutan.
(2) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a paling sedikit memuat:
13
a. pengaturan hak dan kewajiban antara calon Peserta
dengan pihak lain;
b.
tanggung jawab atas kerahasiaan dan/atau
penyalahgunaan data dan informasi;
c. mekanisme pelaksanaan pengiriman instruksi baik
dalam keadaan normal maupun pada saat terjadi
Keadaan Tidak Normal atau Keadaan Darurat di
lokasi calon Peserta atau pihak lain;
d. pengaturan penyelesaian perselisihan antara calon
Peserta dengan pihak lain;
e. biaya penggunaan infrastruktur yang dikenakan
kepada calon Peserta;
f. pemberian akses kepada Penyelenggara untuk
melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap:
1. sarana fisik yang terkait dengan calon Peserta;
2. aplikasi pendukung pihak lain yang terkait
Sistem BI-ETP dalam hal memiliki aplikasi
pendukung; dan
3. kegiatan operasional pihak lain yang terkait
dengan calon Peserta; dan
g. pernyataan bahwa perjanjian tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan Bank Indonesia.
(3) Dalam hal calon Peserta merupakan unit usaha syariah
dan menggunakan infrastruktur milik Bank pemilik unit
usaha syariah yang menjadi Peserta maka substansi
perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dituangkan dalam bentuk kebijakan dan prosedur tertulis
internal Bank pemilik unit usaha syariah.
Pasal 9
Dalam hal calon Peserta merupakan Bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional sekaligus melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk unit
usaha syariah maka kepesertaan dalam penyelenggaraan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP untuk kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah harus terpisah dari kepesertaan
untuk kegiatan usaha secara konvensional.
14
Bagian Ketiga
Prosedur Menjadi Peserta
Pasal 10
(1) Penyelenggara memberikan persetujuan kepesertaan
dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui 2 (dua) tahapan sebagai berikut:
a. persetujuan prinsip; dan
b. persetujuan operasional.
Pasal 11
(1) Calon Peserta mengajukan permohonan tertulis untuk
menjadi Peserta kepada Penyelenggara.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.A yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
b. ditandatangani oleh pimpinan calon Peserta;
c. ditembuskan kepada kantor perwakilan Bank
Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal
kantor pusat calon Peserta berkedudukan di wilayah
kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam
negeri; dan
d. dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan
oleh Penyelenggara.
(3) Dalam hal calon Peserta merupakan unit usaha syariah
maka dalam permohonan tertulis untuk menjadi Peserta
dijelaskan bahwa permohonan tersebut diajukan oleh
Bank pemilik unit usaha syariah untuk unit usaha syariah
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.A.
15
(4) Dalam hal calon Peserta merupakan peserta Sistem BI-
RTGS, BI-SSSS, dan/atau Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI), dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d yang telah disampaikan kepada
penyelenggara Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan/atau SKNBI
tidak perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara
sepanjang tidak terdapat perubahan.
Pasal 12
(1) Persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) huruf d terdiri atas:
a. data kepesertaan dari calon Peserta dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
b. fotokopi persetujuan, izin usaha, atau izin kegiatan
usaha yang masih berlaku dari lembaga berwenang
yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang
atau dinyatakan sesuai aslinya oleh pimpinan calon
Peserta;
c.
fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahan
terakhir apabila ada, yang mencantumkan mengenai
nama dan struktur pengurus dari calon Peserta;
d. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta yang
menyatakan bahwa calon Peserta tidak sedang dalam
proses likuidasi atau kepailitan;
e.
fotokopi surat dari lembaga pengawas yang
berwenang mengenai:
1. keputusan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan pimpinan calon Peserta, untuk calon
Peserta berupa Bank; atau
2. susunan pimpinan calon Peserta yang tercatat
pada tata usaha lembaga yang berwenang,
untuk calon Peserta selain Bank;
16
f.
surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta yang
memuat mengenai kesiapan infrastruktur dan
informasi spesifikasi infrastruktur dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.C yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini; dan
g. surat permohonan dari pimpinan calon Peserta untuk
mendapatkan user dan Digital Certificate Hard Token
dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.D yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
(2) Dalam hal diperlukan, calon Peserta harus
memperlihatkan dokumen asli atas dokumen yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Penyelenggara.
Pasal 13
(1) Dokumen yang harus dilengkapi calon Peserta yang
menggunakan infrastruktur yang pengelolaannya berada
dalam kewenangan pihak lain terdiri atas:
a. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1);
b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf d; dan
c. dokumen tambahan lainnya.
(2) Dokumen tambahan lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c berupa:
a. surat pernyataan dari pihak lain yang mengelola
infrastruktur untuk calon Peserta sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.E yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini; dan
17
b. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta yang
menyatakan bahwa calon Peserta telah memiliki
perjanjian kerja sama penggunaan infrastruktur
Sistem BI-ETP yang dikelola oleh pihak lain
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.F yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 14
(1) Penyelenggara melakukan penelitian administratif
mengenai pemenuhan persyaratan yang disampaikan oleh
calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 12, dan/atau Pasal 13.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditemukan bahwa
dokumen yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak
sesuai, Penyelenggara meminta calon Peserta untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan dari Penyelenggara.
(3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) calon Peserta belum
menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi, calon
Peserta dianggap membatalkan permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(4) Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan ke lokasi
calon Peserta untuk memastikan kesiapan operasional
Sistem BI-ETP dari calon Peserta.
Pasal 15
(1) Penyelenggara memberikan persetujuan prinsip atau
penolakan atas permohonan calon Peserta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(2) Persetujuan prinsip atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis paling
lama 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak surat
permohonan dan dokumen pendukung diterima secara
lengkap oleh Penyelenggara.
18
Pasal 16
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
memuat paling sedikit hal sebagai berikut:
a. persetujuan menjadi Peserta;
b. nama dan participant code;
c. kegiatan yang harus dilakukan oleh calon Peserta paling
sedikit berupa:
1. pelatihan;
2. instalasi; dan
3. penandatanganan perjanjian penggunaan Sistem BI-
ETP; dan
d. kelengkapan dokumen administrasi yang harus dipenuhi
oleh calon Peserta untuk pelaksanaan kegiatan
operasional.
Pasal 17
(1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1), calon Peserta menyampaikan
kelengkapan dokumen administrasi untuk pelaksanaan
kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 huruf d kepada Penyelenggara.
(2) Kelengkapan dokumen administrasi untuk pelaksanaan
kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. surat pemberitahuan mengenai nama dan jabatan
pimpinan yang akan melakukan penandatanganan
perjanjian penggunaan Sistem BI-ETP dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.G yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
b. surat kuasa dari
pimpinan dalam hal
penandatanganan perjanjian akan dilakukan oleh
pejabat selain pimpinan, dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.H
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
19
c. surat pemberitahuan kewenangan pimpinan terkait
dengan kepesertaan dan operasional Sistem BI-ETP,
dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini;
d. surat kuasa terkait dengan kepesertaan dan
operasional Sistem BI-ETP;
e. surat permohonan dari pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dari pimpinan untuk membuat
spesimen tanda tangan bagi:
1. pimpinan; atau
2. pejabat yang berwenang untuk melakukan
kegiatan terkait kepesertaan dan operasional
Sistem BI-ETP,
dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.J yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini; dan
f. Surat mengenai penambahan kewenangan pemilik
spesimen tanda tangan di BI-SSSS, Sistem BI-RTGS,
dan/atau SKNBI dengan kewenangan dalam
operasional Sistem BI-ETP kepada Penyelenggara
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.K yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini, dalam hal
kewenangan operasional Sistem BI-ETP juga akan
diberikan kepada pemilik spesimen tanda tangan di
BI-SSSS, Sistem BI-RTGS, dan/atau SKNBI.
(3) Dalam hal calon Peserta melakukan Transaksi untuk dan
atas nama pihak lain, calon Peserta dimaksud harus
menyampaikan dokumen tambahan berupa:
20
a. daftar nama pihak yang diwakili oleh calon Peserta
dalam melakukan Transaksi dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.L yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
b. surat penunjukan Sub-Registry dan/atau peserta
BI-SSSS lain yang ditandatangani oleh pimpinan
atau pejabat yang berwenang dari calon Peserta yang
memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.M yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
c. surat konfirmasi dari Sub-Registry dan/atau peserta
BI-SSSS lain sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.N yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
d. surat penunjukan Bank Pembayar yang
ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang
berwenang dari calon Peserta yang memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.O yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan/atau
e. surat konfirmasi dari Bank Pembayar sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.P yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Pasal 18
Surat kuasa terkait dengan kepesertaan dan operasional
Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf d diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
21
a. pimpinan dapat memberi surat kuasa kepada pejabat
penerima kuasa tanpa hak substitusi atau dengan 1 (satu)
kali hak substitusi dengan menggunakan format surat
kuasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Q yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini;
b. surat kuasa berlaku untuk 1 (satu) kantor Bank
Indonesia;
c. surat kuasa dibuat untuk melakukan kegiatan sebagai
berikut:
1. penandatanganan surat menyurat, laporan,
dan/atau dokumen lain, baik dokumen tertulis
maupun dokumen elektronik, yang terkait dengan
kepesertaan dan operasional dalam Sistem BI-ETP;
2. pengelolaan user dan Digital Certificate Hard Token;
3. penyerahan dan/atau pengambilan surat, laporan,
dan dokumen lain, baik dokumen tertulis maupun
dokumen elektronik, yang terkait dengan kepesertaan
dan operasional dalam Sistem BI-ETP; dan/atau
4. penyerahan dan/atau pengambilan user dan Digital
Certificate Hard Token;
d. pimpinan atau pejabat penerima kuasa dengan 1 (satu)
kali hak substitusi dapat memberikan kuasa tanpa hak
substitusi kepada petugas di kantor pusat atau kantor
cabang calon Peserta hanya untuk melakukan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3;
e.
jumlah pejabat penerima kuasa untuk melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf c paling
banyak 10 (sepuluh) orang;
f.
kegiatan yang dikuasakan dalam surat kuasa
sebagaimana dimaksud dalam huruf c dapat dituangkan
dalam 1 (satu) atau lebih surat kuasa sesuai dengan
kebutuhan calon Peserta; dan
g. surat kuasa harus disertai dengan fotokopi identitas diri
yang masih berlaku dari penerima kuasa.
22
Pasal 19
(1) Berdasarkan dokumen administrasi yang disampaikan
calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1),
Penyelenggara menyampaikan surat yang
memberitahukan mengenai:
a. penandatanganan perjanjian penggunaan Sistem BI-
ETP;
b. pembuatan spesimen tanda tangan pimpinan dan
pejabat atau petugas yang menerima kuasa dari
pimpinan;
c. pengambilan Digital Certificate Hard Token;
d. waktu pelatihan penggunaan Sistem BI-ETP; dan
e. waktu pemasangan JKD.
(2) Berdasarkan pemberitahuan dari Penyelenggara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon Peserta harus
melakukan hal sebagai berikut:
a. menandatangani perjanjian penggunaan Sistem BI-
ETP dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini;
b. mengambil dokumen user dan Digital Certificate Hard
Token yang pelaksanaannya dilakukan oleh pimpinan
atau pejabat berwenang mewakili calon Peserta yang
memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara;
c. mengikutsertakan petugas yang akan menangani
teknis operasional EPP calon Peserta dalam pelatihan
teknis dan operasional penggunaan Sistem BI-ETP;
dan
d. melakukan uji koneksi dengan Penyelenggara atas
EPP yang telah diinstalasi oleh Penyelenggara.
Pasal 20
(1) Dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja sejak tanggal surat persetujuan prinsip dari
Penyelenggara, calon Peserta harus melakukan:
23
a. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
huruf c;
b. penyampaian dokumen administrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1); dan
c. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2).
(2) Dalam hal calon Peserta tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka:
a. persetujuan prinsip yang telah diterbitkan oleh
Penyelenggara menjadi tidak berlaku dan calon
Peserta dinyatakan telah membatalkan permohonan;
dan
b. calon Peserta harus mengembalikan aplikasi EPP,
buku pedoman pengoperasian Sistem BI-ETP, user,
dan Digital Certificate Hard Token kepada
Penyelenggara paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
persetujuan tidak berlaku.
Pasal 21
(1) Penyelenggara memberitahukan secara tertulis mengenai
persetujuan operasional keikutsertaan sebagai Peserta
dan tanggal efektif operasional, paling lama 14 (empat
belas) hari kerja setelah calon Peserta melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1).
(2) Persetujuan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan kepada:
a. calon Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan
b. seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya.
Pasal 22
Peserta yang telah memperoleh persetujuan operasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat melakukan
Transaksi dengan Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP
dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
24
a. kepesertaan dalam Operasi Moneter mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
operasi moneter; dan
b. kepesertaan dalam Transaksi SBN untuk dan atas nama
pemerintah mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai lelang surat berharga negara.
Bagian Keempat
Perubahan Data Kepesertaan
Paragraf 1
Prinsip Umum
Pasal 23
(1) Peserta harus menyampaikan permohonan persetujuan
secara tertulis kepada Penyelenggara terkait dengan
perubahan data kepesertaan, meliputi perubahan:
a. participant code;
b. nama Peserta;
c. kegiatan usaha;
d. lokasi EPP dan/atau pemindahan JKD;
e. spesimen tanda tangan pimpinan;
f.
kuasa;
g. penggunaan infrastruktur; dan/atau
h. pihak lain yang diwakili oleh Peserta dalam
melakukan Transaksi.
(2) Peserta harus menyampaikan informasi secara tertulis
kepada Penyelenggara terkait dengan perubahan data
kepesertaan meliputi perubahan:
a. data pimpinan; dan/atau
b. alamat kantor.
(3) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan penyampaian informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
25
a. ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dari pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan
b. disampaikan kepada
Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
Paragraf 2
Perubahan Participant Code
Pasal 24
Perubahan participant code sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Penyelenggara karena
alasan sebagai berikut:
a. Peserta yang bukan merupakan anggota Society for
Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)
berubah menjadi anggota SWIFT; atau
b. adanya perubahan SWIFT Bank Identifier Code (BIC)
Peserta.
Pasal 25
(1) Perubahan participant code sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan
participant code, yang dilengkapi dengan dokumen
berupa:
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B; dan
2. dokumen pendukung yang menunjukkan
Peserta sebagai anggota SWIFT atau adanya
perubahan SWIFT BIC Peserta; dan
26
b. pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3).
(2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan permohonan perubahan participant code
melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului
dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan,
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh
Penyelenggara secara lengkap.
Pasal 26
(1) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (2) memuat paling sedikit:
a. nama Peserta;
b. participant code yang baru; dan
c. permintaan agar Peserta mengajukan surat
permohonan user dan Digital Certificate Hard Token
untuk participant code yang baru.
(2) Peserta menyampaikan surat permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c yang memuat informasi:
a. nama Peserta; dan
b. participant code yang baru.
(3) Berdasarkan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara menyampaikan:
a. tanggal efektif perubahan participant code, user-ID,
dan Digital Certificate Hard Token baru kepada
Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan
b. tanggal efektif perubahan participant code kepada
seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lain.
(4) Peserta harus mengembalikan Digital Certificate Hard
Token yang digunakan pada participant code lama, paling
lama 7 (tujuh) hari kerja sejak Peserta menerima surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a.
27
Paragraf 3
Perubahan Nama Peserta
Pasal 27
(1) Perubahan nama Peserta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan nama
Peserta yang dilengkapi dokumen pendukung sebagai
berikut:
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B dengan menggunakan nama yang
tercantum dalam perubahan anggaran dasar
yang telah disetujui oleh lembaga yang
berwenang;
2. fotokopi dokumen yang terdiri atas:
a) akta perubahan anggaran dasar untuk
badan hukum Indonesia;
b) surat persetujuan perubahan anggaran
dasar dari lembaga yang berwenang; dan
c) surat keputusan dari lembaga yang
berwenang tentang perubahan nama, dalam
hal Peserta berupa Bank,
yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang
berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh
pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda
tangan di Penyelenggara;
b. dalam hal Peserta merupakan kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri, dokumen
pendukung yang disampaikan meliputi data
kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
angka 1 dan surat keputusan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a angka 2 huruf c); dan
c. pengajuan permohonan perubahan nama Peserta
dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3).
28
(2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan permohonan perubahan nama melalui surat
yang dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta
yang bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak surat permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a diterima oleh Penyelenggara secara
lengkap.
(3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan
nama Peserta,
Penyelenggara
memberitahukan:
a. tanggal efektif perubahan nama Peserta kepada
Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan
b. tanggal efektif perubahan nama Peserta kepada
seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lain.
Paragraf 4
Perubahan Kegiatan Usaha
Pasal 28
(1) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c meliputi
perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional
menjadi bank umum syariah.
(2) Dalam hal Peserta melakukan perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta harus
melakukan perubahan data kepesertaan, berupa:
a. kegiatan usaha Peserta; dan
b. nama Peserta.
Pasal 29
(1) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
29
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan
kegiatan usaha Peserta yang dilengkapi dengan
fotokopi dokumen pendukung yang telah dilegalisasi
oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan
sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara;
b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terdiri atas:
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B;
2. akta perubahan anggaran dasar;
3. surat persetujuan perubahan anggaran dasar
dari lembaga yang berwenang; dan
4. surat keputusan dari lembaga yang berwenang
mengenai izin perubahan kegiatan usaha Peserta
dari bank umum konvensional menjadi bank
umum syariah; dan
c. pengajuan permohonan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam huruf a harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1. menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.R yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
2. dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3).
(2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan permohonan perubahan kegiatan usaha
Peserta melalui surat yang dapat didahului dengan
faksimile, kepada Peserta yang bersangkutan paling lama
14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan dan
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
(3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan kegiatan usaha Peserta dalam Sistem BI-ETP,
Penyelenggara memberitahukan:
30
a. tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta
kepada Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan
b. tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta
kepada seluruh Peserta melalui administrative
message atau sarana lain.
Paragraf 5
Perubahan Lokasi EPP dan/atau JKD
Pasal 30
(1) Perubahan lokasi EPP dan/atau pemindahan JKD Peserta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan kepada
Penyelenggara mengenai perubahan lokasi EPP
utama, EPP cadangan, dan/atau pemindahan JKD
yang dilengkapi dengan formulir data kepesertaan
dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B; dan
b. penyampaian permohonan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (3).
(2) Penyelenggara
menyampaikan persetujuan atau
penolakan permohonan perubahan lokasi EPP utama, EPP
cadangan, dan/atau pemindahan JKD melalui surat, yang
dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang
bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
surat permohonan dan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
(3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memuat hal sebagai berikut:
a. perubahan lokasi EPP utama dan/atau EPP cadangan
Peserta telah dicatat dalam tata usaha Penyelenggara;
b. waktu pelaksanaan pemindahan JKD; dan
c. kegiatan yang harus dilakukan oleh Peserta terkait
dengan perubahan lokasi EPP utama, EPP cadangan,
dan/atau JKD.
31
Paragraf 6
Perubahan Spesimen Tanda Tangan Pimpinan
Pasal 31
(1) Perubahan spesimen tanda tangan pimpinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf e dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. perubahan spesimen tanda tangan pimpinan dapat
dilakukan apabila terdapat perubahan nama,
kewenangan, dan/atau jabatan pimpinan;
b. Peserta menyampaikan permohonan perubahan
spesimen tanda tangan pimpinan yang dilengkapi
dengan dokumen pendukung yang telah dilegalisasi
oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan
sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara;
c. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf b
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.S yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
2. dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3);
dan
3. dalam hal seluruh pimpinan dan pejabat yang
menerima kuasa dari pimpinan yang memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara
mengalami perubahan dan/atau penggantian
maka permohonan tertulis mengenai perubahan
spesimen tanda tangan diajukan oleh pimpinan
yang baru;
d. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
huruf b terdiri atas:
1. fotokopi perubahan anggaran dasar mengenai
pengangkatan pimpinan, bagi Peserta yang
berbadan hukum Indonesia; dan
32
2. fotokopi bukti identitas diri pimpinan, berupa:
a) kartu tanda penduduk (KTP) atau surat izin
mengemudi (SIM) atau paspor, bagi warga
negara Indonesia (WNI); atau
b) paspor, keterangan izin tinggal sementara
(KITAS), dan surat izin kerja dari lembaga
berwenang, bagi warga negara asing (WNA),
yang masih berlaku; dan
e. pembuatan spesimen tanda tangan dilakukan setelah
permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
huruf b dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam huruf d telah diterima secara
lengkap oleh Penyelenggara.
(2) Dalam hal perubahan spesimen tanda tangan pimpinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh
penggantian dan/atau penambahan pimpinan baru, selain
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d, Peserta juga harus melengkapi dokumen
tambahan berupa:
a.
fotokopi surat dari lembaga yang berwenang
mengenai:
1. susunan pimpinan Peserta yang tercatat pada
tata usaha lembaga yang berwenang; atau
2. persetujuan
penilaian kemampuan dan
kepatutan dari lembaga pengawas yang
berwenang;
b. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari
pimpinan kantor pusat Bank yang berkedudukan di
luar negeri kepada pimpinan kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri berikut
terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang dibuat
oleh penerjemah tersumpah, bagi kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri; dan
c.
fotokopi struktur organisasi yang masih berlaku, bagi
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri.
33
(3) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) harus membuat spesimen tanda tangan di hadapan
pejabat Penyelenggara atau pejabat kantor perwakilan
Bank Indonesia dalam negeri.
(4) Dalam hal pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah memiliki spesimen tanda tangan di BI-SSSS, Sistem
BI-RTGS, dan/atau SKNBI, Peserta dapat meminta
penambahan kewenangan pimpinan pemilik spesimen
tanda tangan di BI-SSSS, Sistem BI-RTGS, dan/atau
SKNBI, dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.K.
(5) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) maka:
a. Peserta tidak perlu melakukan pembuatan spesimen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan
b. Peserta menyampaikan surat pernyataan tetap
diberlakukannya spesimen tanda tangan pimpinan,
dengan
tercantum dalam Lampiran II.T yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
Pasal 32
(1) Penyelenggara menyampaikan
persetujuan atau
penolakan permohonan perubahan spesimen tanda
tangan pimpinan kepada Peserta paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak permohonan tertulis dan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 diterima secara
lengkap oleh Penyelenggara.
(2) Persetujuan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi
sebagai berikut:
a. waktu pembuatan spesimen tanda tangan bagi
pimpinan baru; dan
b. tanggal efektif pencabutan kewenangan pimpinan,
dalam hal terdapat perubahan kewenangan
pimpinan.
menggunakan format sebagaimana
34
(3) Spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a berlaku efektif:
a.
sejak pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai
tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan;
atau
b.
paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal
pembuatan spesimen tanda tangan, dalam hal tidak
terdapat pemberitahuan dari Penyelenggara.
(4) Dalam hal Peserta tidak mengajukan permohonan
perubahan spesimen tanda tangan pimpinan kepada
Penyelenggara, spesimen tanda tangan pimpinan yang telah
ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku
dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh pimpinan
tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta.
pencabutan kewenangan pimpinan
(5) Dalam hal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b belum
berlaku efektif, spesimen tanda tangan pimpinan yang
telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih
berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh
pimpinan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta.
Paragraf 7
Perubahan Kuasa
Pasal 33
(1) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf f dilakukan untuk penambahan, pergantian,
dan/atau pencabutan kuasa dari pejabat dan/atau
petugas yang menerima kuasa.
(2) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan pemberian
kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(3) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan kuasa
secara tertulis dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3);
35
b. selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, permohonan tertulis juga harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. dalam hal terdapat penambahan dan/atau
pergantian kuasa pejabat dan/atau petugas
yang menerima kuasa maka:
a) permohonan diajukan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran
II.U yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
b) penambahan kuasa berlaku efektif paling
lambat 5 (lima) hari kerja sejak dokumen
sebagaimana dimaksud dalam huruf a) dan
spesimen tanda tangan telah diterima
secara lengkap oleh Penyelenggara;
2. dalam hal terdapat pencabutan seluruh atau
sebagian kuasa kepada pejabat dan/atau
petugas yang menerima kuasa maka:
a) permohonan juga dilampiri dengan surat
pernyataan pencabutan kuasa dengan
menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini;
b) pencabutan seluruh atau sebagian kuasa
tersebut berlaku efektif terhitung sejak
tanggal surat pernyataan pencabutan
kuasa diterima secara lengkap oleh
Penyelenggara; dan
c) spesimen tanda tangan pejabat dan/atau
petugas yang menerima kuasa yang dicabut
sebagaimana dimaksud dalam huruf b)
dinyatakan tidak berlaku; dan
36
(4) Penyelenggara
3. dalam hal terdapat perubahan kewenangan
dalam surat kuasa yang diberikan kepada
pejabat dan/atau petugas yang menerima
kuasa, Peserta harus menyampaikan surat
permohonan yang dilampiri dengan surat kuasa
yang baru dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Q.
menyampaikan persetujuan atau
penolakan permohonan perubahan kuasa melalui surat
kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak surat permohonan dan dokumen diterima secara
lengkap oleh Penyelenggara.
(5) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan kuasa, Penyelenggara menyampaikan surat
persetujuan kepada Peserta yang memuat informasi
tanggal efektif perubahan kuasa pejabat dan/atau petugas
yang menerima kuasa.
(6) Dalam hal terdapat perubahan kuasa pejabat dan/atau
petugas yang menerima kuasa yang tidak disampaikan
kepada Penyelenggara maka data yang telah
ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku
dan segala tindakan hukum yang dilakukan pejabat
dan/atau petugas yang menerima kuasa tersebut
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta.
Paragraf 8
Perubahan Penggunaan Infrastruktur
Pasal 34
Perubahan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) huruf g meliputi:
a. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola sendiri
menjadi penggunaan infrastruktur yang dikelola pihak
lain;
b. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh
pihak lain menjadi penggunaan infrastruktur yang
dikelola sendiri; atau
37
c. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh
pihak lain yang berbeda.
Pasal 35
(1) Perubahan penggunaan infrastruktur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan
penggunaan infrastruktur yang dilengkapi dengan
dokumen pendukung berupa:
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B;
2. surat pernyataan
dari pimpinan yang
menyatakan kesiapan infrastruktur dan memuat
informasi spesifikasi infrastruktur yang telah
ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f; dan
3. persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, dalam hal Peserta menggunakan
infrastruktur yang dikelola pihak lain; dan
b. pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3).
(2) Dalam hal diperlukan, Penyelenggara dapat melakukan
pemeriksaan ke lokasi infrastruktur yang akan digunakan
Peserta.
(3) Penyelenggara
penolakan
permohonan
menyampaikan persetujuan atau
perubahan
penggunaan
infrastruktur melalui surat, yang dapat didahului dengan
faksimile, kepada Peserta paling lama 21 (dua puluh satu)
hari kerja setelah surat permohonan dan dokumen
pendukung diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
(4) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan penggunaan infrastruktur, Penyelenggara
menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang
memuat informasi tanggal efektif perubahan penggunaan
infrastruktur Peserta.
38
Paragraf 9
Perubahan Pihak Lain yang Diwakili oleh Peserta dalam
Melakukan Transaksi
Pasal 36
(1) Perubahan pihak lain yang diwakili oleh Peserta dalam
melakukan Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1) huruf h dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan perubahan pihak
lain yang diwakili oleh Peserta dalam melakukan
Transaksi yang dilengkapi dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3); dan
b. pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3).
(2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan
permohonan perubahan pihak lain yang diwakili oleh
Peserta dalam melakukan Transaksi melalui surat yang
dapat didahului dengan faksimile, kepada Peserta yang
bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak surat
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diterima oleh Penyelenggara secara lengkap.
(3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan
perubahan pihak lain yang diwakili oleh Peserta dalam
melakukan Transaksi, Penyelenggara memberitahukan
kepada Peserta yang bersangkutan mengenai persetujuan
dan tanggal efektif perubahan pihak lain yang diwakili oleh
Peserta dalam melakukan Transaksi.
Paragraf 10
Perubahan Data Pimpinan
Pasal 37
(1) Perubahan data pimpinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2) huruf a dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
39
a. Peserta menyampaikan informasi kepada
Penyelenggara
mengenai perubahan nama,
kewenangan, dan/atau jabatan pimpinan yang
dilengkapi dengan dokumen pendukung yang telah
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah
dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah
memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara;
b. penyampaian informasi sebagaimana dimaksud
dalam huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1. menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.W yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini; dan
2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3); dan
c. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terdiri atas:
1. fotokopi perubahan anggaran dasar mengenai
pengangkatan pimpinan, bagi Peserta yang
berbadan hukum Indonesia;
2. fotokopi surat dari lembaga pengawas yang
berwenang mengenai:
a) keputusan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan pimpinan Peserta, bagi Peserta
berupa Bank; atau
b) susunan pimpinan Peserta yang tercatat
pada tata usaha lembaga yang berwenang,
bagi Peserta selain Bank; dan
3.
fotokopi bukti identitas diri pimpinan, berupa:
a) kartu tanda penduduk (KTP) atau surat izin
mengemudi (SIM) atau paspor, bagi warga
negara Indonesia (WNI); atau
b) paspor, keterangan izin tinggal sementara
(KITAS), dan surat izin kerja dari otoritas
berwenang, bagi warga negara asing (WNA),
yang masih berlaku; dan
40
4. untuk Peserta berupa kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri, selain
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
pada angka 2 dan angka 3, Peserta juga harus
melengkapi dokumen tambahan berupa:
a)
fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari
kantor pusat bank yang berkedudukan di
luar negeri kepada pimpinan kantor cabang
berikut terjemahannya dalam bahasa
Indonesia yang dibuat oleh penerjemah
tersumpah; dan
b) fotokopi struktur organisasi yang masih
berlaku.
(2) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan perubahan
data pimpinan kepada Peserta paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak informasi tertulis dan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara
lengkap oleh Penyelenggara.
(3) Perubahan data pimpinan yang mengakibatkan
perubahan spesimen tanda tangan pimpinan dilakukan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 dan Pasal 32.
Paragraf 11
Perubahan Alamat Kantor Peserta
Pasal 38
(1) Perubahan alamat kantor Peserta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan informasi perubahan alamat
kantor pusat Peserta dan alamat kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri yang
dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai
berikut:
41
1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.B; dan
2. fotokopi surat persetujuan atau penerimaan
pemberitahuan perubahan alamat kantor dari
lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi
oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan
sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan
b. penyampaian informasi sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3);
(2) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan perubahan
alamat kantor kepada Peserta melalui surat, yang dapat
didahului dengan faksimile, paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak informasi tertulis dan dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diterima secara lengkap oleh Penyelenggara.
(3) Pemberitahuan perubahan alamat kantor sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memuat informasi mengenai
tanggal efektif perubahan alamat kantor Peserta.
Paragraf 12
Penyampaian Dokumen Perubahan Data Kepesertaan
Pasal 39
Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS, peserta
BI-SSSS, dan/atau peserta SKNBI serta dokumen pendukung
yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-
RTGS, penyelenggara BI-SSSS, dan penyelenggara SKNBI sama
dengan dokumen pendukung di Sistem BI-ETP maka dokumen
untuk perubahan data kepesertaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 38 yang telah
disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS,
penyelenggara BI-SSSS, dan/atau penyelenggara SKNBI tidak
perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara sepanjang
tidak terdapat perubahan.
42
Paragraf 13
Perbedaan Tanda Tangan
Pasal 40
Dalam hal terdapat perbedaan tanda tangan antara yang
tercantum pada identitas diri dengan yang tercantum pada
spesimen tanda tangan pimpinan, pejabat, dan/atau petugas
yang menerima kuasa yang ditatausahakan di Penyelenggara
maka Peserta harus menyampaikan surat pernyataan
perbedaan tanda tangan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Bagian Kelima
Status Kepesertaan dan Perubahannya
Paragraf 1
Status Kepesertaan
Pasal 41
(1) Status kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dibedakan
menjadi:
a. aktif;
b. dibekukan; atau
c. ditutup.
(2) Status dibekukan tidak berlaku bagi Peserta yang memiliki
fungsi sebagai penerbit Surat Berharga.
(3) Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS
dan/atau BI-SSSS, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. perubahan status Peserta tidak menyebabkan
perubahan status kepesertaan pada Sistem BI-RTGS
dan/atau BI-SSSS; dan/atau
b. perubahan status Peserta dipengaruhi oleh
perubahan status pada Sistem BI-RTGS dan/atau BI-
SSSS sebagai berikut:
43
1. dalam hal perubahan status Peserta di Sistem
BI-RTGS dan/atau BI-SSSS menjadi
ditangguhkan maka status kepesertaan Sistem
BI-ETP dapat menjadi dibekukan; dan/atau
2. dalam hal perubahan status Peserta di Sistem
BI-RTGS dan/atau BI-SSSS menjadi dibekukan
atau ditutup maka menyebabkan perubahan
status kepesertaan yang sama pada Sistem BI-
ETP.
Paragraf 2
Perubahan Status Kepesertaan
Pasal 42
(1) Perubahan status kepesertaan dapat dilakukan dari:
a. status aktif menjadi dibekukan;
b. status aktif menjadi ditutup; atau
c. status dibekukan menjadi ditutup.
(2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut:
a. pengenaan sanksi administratif oleh Penyelenggara;
b. permintaan tertulis dari lembaga pengawas yang
berwenang terhadap kegiatan Peserta; atau
c. permintaan tertulis dari Peserta untuk mengubah
status dari status aktif menjadi ditutup.
(3) Permintaan tertulis dari Peserta sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c didasarkan pada alasan self-
liquidation, penggabungan, peleburan, pemisahan,
pengunduran diri, atau alasan lain yang telah memperoleh
persetujuan dari Penyelenggara atau lembaga pengawas
yang berwenang.
(4) Dalam hal terjadi perubahan status Peserta,
Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada:
a. Peserta yang bersangkutan melalui surat yang
penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile;
44
b. seluruh Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya yang ditetapkan oleh Penyelenggara;
dan/atau
c. lembaga pengawas yang berwenang terhadap
kegiatan Peserta melalui surat yang penyampaiannya
dapat didahului dengan faksimile.
Pasal 43
(1) Dalam hal dilakukan perubahan status kepesertaan
menjadi ditutup, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta harus menyelesaikan seluruh kewajiban
dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-
ETP; dan
b. Peserta harus mengembalikan Digital Certificate Hard
Token, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
efektif perubahan status kepesertaan menjadi
ditutup.
(2) Dalam hal dilakukan perubahan status kepesertaan
menjadi ditutup yang disebabkan oleh penggabungan,
peleburan, atau pemisahan, maka penyelesaian kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. hak dan kewajiban Peserta yang akan ditutup beralih
kepada Peserta hasil penggabungan, peleburan, atau
pemisahan; dan
b. peralihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dilengkapi dengan surat pernyataan pengambilalihan
hak dan kewajiban dari Peserta hasil penggabungan,
peleburan, atau pemisahan.
(3) Dalam hal dilakukan perubahan status kepesertaan
menjadi ditutup yang disebabkan oleh adanya pengalihan
aset dan kewajiban yang bukan merupakan
penggabungan, peleburan, atau pemisahan, maka
penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
45
a. hak dan kewajiban Peserta yang ditutup beralih
kepada Peserta yang menerima pengalihan aset dan
kewajiban; dan
b. peralihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dilakukan berdasarkan
surat pernyataan
pengambilalihan hak dan kewajiban dari Peserta yang
menerima pengalihan aset dan kewajiban.
Pasal 44
(1) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis
dari lembaga pengawas yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b, dilakukan oleh
lembaga pengawas yang berwenang dengan mengajukan
permohonan perubahan status kepesertaan kepada
Gubernur Bank Indonesia dengan tembusan kepada
Penyelenggara.
(2) Permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat informasi
sebagai berikut:
a. nama Peserta dan perubahan status kepesertaan
yang diminta;
b. alasan perubahan status kepesertaan; dan
c.
tanggal efektif perubahan status kepesertaan.
(3) Permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen
pendukung sebagai berikut:
a.
fotokopi surat dari lembaga yang berwenang yang
mendasari alasan perubahan status kepesertaan;
dan/atau
b. fotokopi surat keputusan pencabutan izin kegiatan
usaha dari lembaga yang berwenang, putusan
kepailitan, dan/atau likuidasi.
(4) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status
kepesertaan apabila:
a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (3) telah diterima secara lengkap oleh
Penyelenggara; dan
46
b. Peserta telah memenuhi ketentuan dan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a,
dalam hal status kepesertaan berubah menjadi ditutup.
(5) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (4).
Pasal 45
(1) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis
dari Peserta yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c karena self-liquidation,
pengunduran diri, dan alasan lainnya, dilakukan oleh
Peserta dengan mengajukan permohonan penutupan
kepesertaan kepada Penyelenggara dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Y yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut:
a.
fotokopi keputusan pencabutan izin usaha, dalam hal
Peserta melakukan self-liquidation;
b. dokumen alasan pengunduran diri, dalam hal Peserta
mengundurkan diri; atau
c. dokumen terkait lainnya untuk alasan lain yang telah
memperoleh persetujuan dari Penyelenggara atau
lembaga pengawas yang berwenang.
(3) Surat permohonan perubahan status kepesertaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan
b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
47
(4) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status
kepesertaan apabila:
a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) telah diterima secara lengkap oleh
Penyelenggara; dan
b. Peserta telah memenuhi ketentuan dan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf
a.
(5) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (4).
Paragraf 3
Perubahan Status Kepesertaan Karena Penggabungan
Pasal 46
(1) Setiap Peserta yang menggabungkan diri harus
mengajukan permohonan penutupan kepesertaan secara
tertulis kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.Y.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan fotokopi surat keputusan dari lembaga
yang berwenang yang menyetujui penggabungan yang
telah dilegalisasi oleh pejabat berwenang atau telah
dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan.
(3) Peserta yang menerima penggabungan menyampaikan
pemberitahuan penggabungan secara tertulis yang paling
sedikit memuat:
a. persetujuan penggabungan dari lembaga yang
berwenang;
b.
informasi mengenai Peserta yang menerima
penggabungan dan Peserta yang menggabungkan diri;
c. waktu pelaksanaan:
1. peralihan operasional dalam penyelenggaraan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP dari Peserta
yang menggabungkan diri kepada Peserta yang
menerima penggabungan; dan
48
2. penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP
dari Peserta yang menggabungkan diri;
d.
pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang
menggabungkan diri oleh Peserta yang menerima
penggabungan terhitung sejak tanggal penggabungan
secara hukum; dan
e.
informasi pengumuman penggabungan yang dimuat
dalam surat kabar harian berskala nasional,
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.Z yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagai berikut:
a. surat pernyataan dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.AA yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
b.
fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh
pimpinan berupa:
1. akta penggabungan;
2. akta perubahan anggaran dasar Peserta yang
menerima penggabungan;
3.
izin penggabungan dari lembaga pengawas yang
berwenang memberikan persetujuan tentang
penggabungan untuk Peserta berupa Bank;
4. surat persetujuan perubahan anggaran dasar
dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia atau dokumen pendaftaran akta
penggabungan dan akta perubahan anggaran
dasar dalam daftar perusahaan; dan
5. pengumuman penggabungan yang dimuat dalam
surat kabar harian berskala nasional.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus:
49
a. ditandatangani oleh pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan
b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
Pasal 47
(1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis
kepada Peserta yang menerima penggabungan, setelah
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 diterima
secara lengkap.
(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat:
a. waktu pelaksanaan penggabungan secara
operasional dalam Sistem BI-ETP; dan
b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta.
(3) Status kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Peserta yang
menggabungkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada
tanggal pelaksanaan penggabungan secara operasional
dalam Sistem BI-ETP.
(4) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (4).
Paragraf 4
Perubahan Status Kepesertaan Karena Peleburan
Pasal 48
(1) Calon Peserta yang merupakan hasil peleburan harus
mengajukan permohonan menjadi Peserta Sistem BI-ETP
dengan memenuhi persyaratan menjadi Peserta Sistem BI-
ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan mengikuti
prosedur menjadi Peserta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dalam hal calon Peserta akan menjadi Peserta
Sistem BI-ETP.
50
(2) Calon Peserta yang merupakan hasil peleburan
menyampaikan pemberitahuan peleburan secara tertulis
yang paling sedikit memuat:
a. persetujuan peleburan dari lembaga yang berwenang;
b. informasi mengenai calon Peserta hasil peleburan dan
Peserta yang meleburkan diri;
c. waktu pelaksanaan:
1. peralihan operasional dalam penyelenggaraan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP dari Peserta
yang meleburkan diri kepada Peserta hasil
peleburan; dan
2. penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP
dari Peserta yang meleburkan diri;
d.
pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang
meleburkan diri oleh calon Peserta hasil peleburan
terhitung sejak tanggal peleburan secara hukum; dan
e.
informasi pengumuman peleburan yang dimuat
dalam surat kabar harian berskala nasional,
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.Z.
(3) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagai berikut:
a. surat pernyataan dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.AA; dan
b. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli
oleh pimpinan calon Peserta, berupa:
1. akta peleburan;
2. akta pendirian calon Peserta yang merupakan
hasil peleburan;
3.
izin peleburan dari lembaga pengawas yang
berwenang memberikan persetujuan tentang
peleburan untuk calon Peserta berupa Bank;
dan
51
4. surat pengesahan badan hukum perseroan dari
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
atas akta pendirian calon Peserta yang
merupakan hasil peleburan.
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh pimpinan calon Peserta; dan
b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat calon Peserta berkedudukan di wilayah kerja
kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
Pasal 49
(1) Setiap Peserta yang meleburkan diri harus mengajukan
permohonan penutupan kepesertaan secara tertulis
kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.Y.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen yang telah dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli
oleh pimpinan Peserta, sebagai berikut:
a.
b. fotokopi anggaran dasar terakhir Peserta yang
meleburkan diri.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh pimpinan Peserta; dan
b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
fotokopi surat keputusan dari lembaga yang
berwenang menyetujui peleburan; dan
52
Pasal 50
(1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis
kepada Peserta yang merupakan hasil peleburan setelah
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2)
dan ayat (3) serta Pasal 49 ayat (2) diterima secara lengkap.
(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat:
a. waktu pelaksanaan peleburan secara operasional
dalam Sistem BI-ETP; dan
b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta.
(3) Status kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Peserta yang
meleburkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada
tanggal pelaksanaan peleburan secara operasional dalam
Sistem BI-ETP.
(4) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (4).
Paragraf 5
Perubahan Status Kepesertaan Karena Pemisahan
Pasal 51
Perubahan status kepesertaan karena pemisahan dilakukan
dalam hal terdapat Peserta berupa unit usaha syariah yang
memisahkan diri dari Peserta berupa bank konvensional sebagai
induknya yang dilakukan dengan cara:
a. mendirikan bank umum syariah baru; atau
b. mengalihkan hak dan kewajiban Peserta unit usaha
syariah kepada Peserta berupa bank umum syariah.
Pasal 52
(1) Dalam hal bank umum syariah baru hasil pemisahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a akan
menjadi Peserta Sistem BI-ETP maka bank umum syariah
baru harus terlebih dahulu mengajukan permohonan
untuk menjadi Peserta Sistem BI-ETP kepada
Penyelenggara.
53
(2) Bank umum syariah baru yang akan menjadi Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan menjadi Peserta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dan mengikuti prosedur menjadi Peserta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(3) Bank umum syariah baru yang akan menjadi Peserta
menyampaikan pemberitahuan pemisahan secara tertulis
yang paling sedikit memuat:
a. persetujuan pemisahan dari lembaga yang
berwenang;
b. informasi mengenai calon Peserta hasil pemisahan
dan Peserta yang memisahkan diri;
c. waktu pelaksanaan:
1. peralihan operasional dalam penyelenggaraan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP dari Peserta
yang memisahkan diri kepada Peserta hasil
pemisahan; dan
2. penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP
dari Peserta yang memisahkan diri; dan
d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang
memisahkan diri oleh calon Peserta hasil pemisahan
terhitung sejak tanggal pemisahan secara hukum,
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.Z.
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagai berikut:
a. surat pernyataan dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.AA; dan
b. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli
oleh pimpinan calon Peserta, berupa:
1. akta pemisahan;
2. akta pendirian bank umum syariah baru yang
akan menjadi Peserta;
54
3.
izin pemisahan dari lembaga pengawas yang
berwenang memberikan persetujuan tentang
pemisahan; dan
4. surat pengesahan badan hukum perseroan dari
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
atas akta pendirian bank umum syariah baru
yang akan menjadi Peserta.
(5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh pimpinan bank umum syariah
baru yang akan menjadi Peserta; dan
b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat bank umum syariah baru yang akan menjadi
Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
Pasal 53
(1) Peserta berupa unit usaha syariah yang akan memisahkan
diri harus mengajukan permohonan penutupan
kepesertaan dalam Sistem BI-ETP secara tertulis kepada
Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.Y.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen yang telah dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli
oleh pimpinan Peserta, sebagai berikut:
a.
b. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang yang
mendasari pemisahan.
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ditandatangani oleh pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan
fotokopi surat keputusan dari lembaga pengawas
yang berwenang menyetujui pemisahan; dan
55
b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
Pasal 54
(1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis
kepada Peserta berupa bank umum syariah yang baru,
setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
dan Pasal 53 diterima secara lengkap.
(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat hal sebagai berikut:
a. waktu pelaksanaan pemisahan secara operasional
dalam Sistem BI-ETP; dan
b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta.
(3) Status kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Peserta
berupa unit usaha syariah yang memisahkan diri efektif
berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan
pemisahan secara operasional dalam Sistem BI-ETP.
(4) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (4).
Pasal 55
(1) Pemisahan dengan cara mengalihkan hak dan kewajiban
Peserta berupa unit usaha syariah kepada Peserta berupa
bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 huruf b dilakukan melalui penutupan kepesertaan
Peserta berupa unit usaha syariah yang akan memisahkan
diri.
(2) Peserta berupa unit usaha syariah yang akan memisahkan
diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dengan
ketentuan sebagai berikut:
56
a. Peserta berupa unit usaha syariah mengajukan
permohonan penutupan kepesertaan dalam Sistem
BI-ETP secara tertulis kepada Penyelenggara dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II.Y; dan
b. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dilengkapi dengan fotokopi surat keputusan
dari lembaga pengawas yang berwenang yang
menyetujui pemisahan yang telah dilegalisasi oleh
pejabat berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli
oleh pimpinan.
(3) Peserta berupa bank umum syariah yang menerima hasil
pemisahan menyampaikan pemberitahuan pemisahan
secara tertulis yang paling sedikit memuat:
a. persetujuan pemisahan dari lembaga yang
berwenang;
b. informasi mengenai Peserta yang menerima
pemisahan dan Peserta yang memisahkan diri;
c. waktu pelaksanaan:
1. peralihan operasional dalam penyelenggaraan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP dari Peserta
yang memisahkan diri kepada Peserta yang
menerima pemisahan; dan
2. penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP
dari Peserta yang memisahkan diri; dan
d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang
memisahkan diri oleh Peserta yang menerima
pemisahan terhitung sejak tanggal pemisahan secara
hukum,
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.Z.
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagai berikut:
a. surat pernyataan dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.AA; dan
57
b.
fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh
pimpinan berupa:
1. akta pemisahan; dan
2.
izin pemisahan dari lembaga pengawas yang
berwenang memberikan persetujuan tentang
pemisahan.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b, pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus:
a. ditandatangani oleh pimpinan yang telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan
b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan
tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia
dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor
pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri.
Pasal 56
(1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis
kepada Peserta berupa bank umum syariah yang
menerima hasil pemisahan, setelah dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 diterima secara
lengkap.
(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat:
a. waktu pelaksanaan pengalihan hak dan kewajiban
secara operasional dalam Sistem BI-ETP; dan
b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta.
(3) Status kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Peserta
berupa unit usaha syariah yang memisahkan diri efektif
berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan
pengalihan hak dan kewajiban secara operasional dalam
Sistem BI-ETP.
(4) Penyelenggara menginformasikan perubahan status
Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (4).
58
Paragraf 6
Penyampaian Dokumen Perubahan Status Kepesertaan
Pasal 57
Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS, peserta
BI-SSSS, dan/atau peserta SKNBI serta dokumen pendukung
yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-
RTGS, penyelenggara BI-SSSS, dan/atau penyelenggara SKNBI
sama dengan dokumen pendukung di Sistem BI-ETP maka
dokumen pendukung untuk perubahan status kepesertaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal
56 yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-
RTGS, penyelenggara BI-SSSS, dan/atau penyelenggara SKNBI
tidak perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara
sepanjang tidak terdapat perubahan.
Bagian Keenam
Kewajiban Peserta
Pasal 58
Dalam penggunaan Sistem BI-ETP, Peserta wajib:
a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan
Sistem BI-ETP;
b. bertanggung jawab atas kebenaran Transaksi dan seluruh
informasi yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara
melalui Sistem BI-ETP;
c. melaksanakan kegiatan operasional Sistem BI-ETP sesuai
dengan perjanjian penggunaan sistem antara
Penyelenggara dan Peserta serta ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP, serta ketentuan terkait
lainnya;
d. menginformasikan biaya Transaksi melalui Sistem BI-ETP
secara transparan kepada pihak lain yang diwakili oleh
Peserta;
59
e. memberikan data, dokumen dan/atau informasi kepada
Penyelenggara termasuk dokumen asli dan/atau salinan
dokumen yang berupa warkat dan/atau data elektronik
terkait dengan pelaksanaan operasional Sistem BI-ETP;
dan
f. mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi
terkait Sistem BI-ETP.
Pasal 59
Kewajiban Peserta untuk menjaga kelancaran dan keamanan
dalam penggunaan Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 huruf a, meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis yang
mendukung sistem kontrol internal yang baik dalam
pelaksanaan operasional Sistem BI-ETP;
b. melakukan pemeriksaan internal untuk menjamin
keamanan operasional Sistem BI-ETP;
c. melakukan security audit;
d. menyusun kebijakan teknologi informasi terkait dengan
Sistem BI-ETP yang di-review dan di-update secara
reguler;
e. memiliki pedoman disaster recovery plan (DRP) dan
business continuity plan (BCP);
f. menggunakan aplikasi EPP sesuai dengan buku pedoman
pengoperasian Sistem BI-ETP;
g. melakukan pengkinian data atau informasi kepesertaan;
h. melakukan pemeliharaan data;
i. menjamin EPP utama dan EPP cadangan berfungsi dengan
baik untuk melakukan Transaksi dan aktivitas lainnya
melalui Sistem BI-ETP; dan
j.
mengikuti uji coba sistem yang diselenggarakan oleh
Penyelenggara apabila diminta oleh Penyelenggara.
Pasal 60
Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 huruf a dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
60
a. kebijakan dan prosedur tertulis wajib dibuat dalam waktu
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal efektif
kepesertaan di Sistem BI-ETP;
b. kebijakan dan prosedur tertulis wajib dibuat dalam
Bahasa Indonesia;
c. kebijakan dan prosedur tertulis wajib dibuat dengan
mengacu pada ketentuan terkait dengan Sistem BI-ETP
yang ditetapkan oleh Penyelenggara dan ketentuan yang
dikeluarkan oleh asosiasi terkait Sistem BI-ETP;
d. kebijakan dan prosedur tertulis wajib memuat materi
paling sedikit sebagai berikut:
1. pendahuluan;
2. organisasi pengoperasian Sistem BI-ETP;
3. ketentuan dan prosedur operasional Sistem BI-ETP;
4. pengawasan operasional Sistem BI-ETP;
5. penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat; dan
6. perlindungan konsumen, dalam hal Peserta
melakukan Transaksi atas nama pihak lain;
e. penyusunan rincian cakupan minimum materi kebijakan
dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf
d dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini;
f. dalam hal terdapat perubahan terhadap materi kebijakan
dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf
d dan/atau perubahan ketentuan yang dikeluarkan oleh
Penyelenggara dan/atau asosiasi terkait Sistem BI-ETP,
yang berdampak pada materi kebijakan dan prosedur
tertulis, Peserta harus melakukan pengkinian terhadap
kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud; dan
g. pengkinian terhadap kebijakan dan prosedur tertulis
sebagaimana dimaksud dalam huruf f wajib dilakukan
dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak terjadinya
perubahan materi dan ketentuan tersebut.
61
Pasal 61
Pemeriksaan internal untuk menjamin keamanan operasional
Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b
dilakukan oleh satuan kerja pengawas internal Peserta dengan
ruang lingkup pemeriksaan paling sedikit mencakup materi
penilaian kepatuhan yang disampaikan oleh Penyelenggara.
Pasal 62
(1) Security audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
huruf c bertujuan untuk memastikan keamanan dan
keandalan infrastuktur yang digunakan untuk EPP, serta
kondisi lingkungan tempat Peserta melakukan kegiatan
operasional.
(2) Security audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dilakukan paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun sekali
terhitung sejak menjadi Peserta;
b. dilakukan oleh auditor internal Peserta dan/atau
auditor eksternal; dan
c. cakupan security audit paling sedikit mencakup
ruang lingkup sebagaimana tercantum dalam
Lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini.
Pasal 63
Pedoman DRP dan BCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
huruf e harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pedoman DRP dan BCP memuat prosedur yang dilakukan
oleh Peserta dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal
dan/atau Keadaan Darurat untuk memastikan bahwa
operasional Sistem BI-ETP di Peserta tetap dapat
dilakukan atau upaya lainnya yang perlu dilakukan dalam
hal sistem cadangan tidak dapat digunakan;
b. pedoman DRP sebagaimana dimaksud dalam huruf a
paling sedikit memuat hal sebagai berikut:
1. unit kerja sebagai penanggung jawab;
62
2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab
terdiri atas beberapa unit;
3. prosedur terkait penyiapan infrastruktur cadangan
untuk menjamin kegiatan operasional Sistem BI-ETP
tetap berjalan;
4. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan
5. petugas operasional, termasuk data nomor telepon
yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara;
dan
c. pedoman BCP sebagaimana dimaksud dalam huruf a
paling sedikit memuat hal sebagai berikut:
1. unit kerja sebagai penanggung jawab;
2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab
terdiri atas beberapa unit;
3. langkah bisnis yang dilakukan untuk menjamin
kegiatan Transaksi tetap berjalan;
4. mekanisme pengujian prosedur BCP;
5. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan
6. petugas operasional, termasuk data nomor telepon
yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara.
Pasal 64
Pemeliharaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
huruf h dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pemeliharaan data dilakukan melalui penyimpanan data
secara harian dalam media elektronik dan/atau dalam
bentuk hasil olahan komputer Sistem BI-ETP;
b. data sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus
mendapat pengamanan yang memadai serta terjaga
kerahasiaannya;
c. melakukan pencadangan atas data sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dengan penyimpanan dalam
media elektronik yang terpisah dengan media elektronik
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. memastikan data sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c
tidak rusak; dan
63
e. menyimpan seluruh data sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam
huruf c, sesuai dengan ketentuan pengarsipan yang
berlaku di internal Peserta dan masa retensi sesuai
ketentuan
mengatur mengenai dokumen perusahaan.
Pasal 65
Untuk menjamin EPP utama dan EPP cadangan berfungsi
dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf i,
Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. memastikan petugas yang menangani Sistem BI-ETP
memahami sistem dan prosedur operasional Sistem BI-
ETP yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara dan internal
Peserta;
b. menetapkan dan mengelola user dan kewenangan user
yang melakukan operasional Sistem BI-ETP;
c. menyediakan dan mengelola sistem cadangan untuk
Sistem BI-ETP di Peserta;
d. menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik;
e. menjamin keamanan dan keandalan JKD yang digunakan
untuk menghubungkan EPP utama dan/atau EPP
cadangan dengan perangkat komputer Peserta yang
digunakan untuk operasional Sistem BI-ETP;
f. melakukan langkah preventif yang diperlukan agar
perangkat keras berfungsi dengan baik dan perangkat lunak
yang digunakan dalam Sistem BI-ETP dan/atau yang terkait
dengan Sistem BI-ETP bebas dari segala jenis virus;
g. melakukan instalasi setiap terjadi perubahan aplikasi EPP
utama dan/atau EPP cadangan sesuai dengan buku
pedoman pengoperasian Sistem BI-ETP;
h. menyimpan dengan baik aplikasi EPP, termasuk setiap
terdapat perubahan aplikasi EPP yang telah diberikan oleh
Penyelenggara; dan
i. melakukan perpanjangan masa aktif Digital Certificate
Hard Token sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan
oleh Penyelenggara.
peraturan perundang-undangan yang
64
Pasal 66
Penetapan dan pengelolaan user sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 huruf b dilakukan dengan memperhatikan paling
sedikit hal sebagai berikut:
a. pengaturan kewenangan user memperhatikan rentang
kendali (span of control) untuk meminimalisasi kesalahan
manusia (human error) dan penyalahgunaan (fraud);
b. pengiriman transaksi dilakukan secara berjenjang sesuai
dengan tingkat kewenangan petugas;
c. pengaturan petugas pengganti untuk user sesuai dengan
perannya masing-masing;
d. penetapan dan penatausahaan user penanggung jawab
Digital Certificate Hard Token dan serial number token;
e. memastikan keamanan penggunaan Digital Certificate
Hard Token oleh user yang telah ditetapkan; dan
f. menyimpan dokumen keamanan yang terkait dengan user
dan Digital Certificate Hard Token.
Pasal 67
Penyediaan dan pengelolaan sistem cadangan untuk Sistem BI-
ETP di Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf c,
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta menyediakan EPP cadangan dan JKD cadangan
dari lokasi EPP cadangan Peserta ke Penyelenggara sesuai
dengan standar yang ditetapkan oleh Penyelenggara;
b. biaya penyediaan dan penggunaan infrastruktur
sebagaimana dimaksud dalam huruf a menjadi beban
Peserta; dan
c. pemilihan jenis dan lokasi EPP cadangan serta JKD
cadangan Peserta diserahkan kepada setiap Peserta.
Pasal 68
Untuk menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf d, Peserta:
a. mengikuti kegiatan uji coba sistem cadangan sesuai
dengan pemberitahuan dari Penyelenggara;
65
b. melakukan uji coba koneksi sistem cadangan secara
berkala; dan
c. mengoperasikan sistem cadangan secara berkala untuk
kegiatan operasional dalam kondisi normal.
Pasal 69
(1) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf b dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
uji coba koneksi dilakukan terhadap EPP cadangan,
JKD cadangan, dan data cadangan (back-up), paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
b.
uji coba koneksi sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dapat dilakukan dengan menggunakan:
1. environment testing Penyelenggara selama jam
operasional Sistem BI-ETP; atau
2. environment production Penyelenggara yang
dapat dilakukan setiap bulan pada hari Jumat
minggu pertama atau minggu ketiga setelah
proses akhir hari
Sistem BI-ETP di
Penyelenggara berakhir; dan
c. penggunaan environment production Penyelenggara
dilakukan paling lama 1 (satu) jam.
(2) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan permohonan uji coba koneksi
sistem cadangan melalui administrative message
kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja
sebelum pelaksanaan uji coba koneksi sistem
cadangan;
b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan uji coba
koneksi sistem cadangan kepada Peserta melalui
administrative message; dan
66
c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil
pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan
kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari
kerja setelah pelaksanaan uji coba selesai dilakukan.
Pasal 70
(1) Pengoperasian sistem cadangan untuk kegiatan
operasional dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68 huruf c dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. penggunaan sistem cadangan dilakukan secara
berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun; dan
b. pengoperasian sistem cadangan dapat mencakup
pengoperasian EPP cadangan dan/atau JKD cadangan.
(2) Pengoperasian sistem cadangan untuk kegiatan
operasional dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Peserta menyampaikan permohonan melalui
administrative message kepada Penyelenggara paling
lambat 1 (satu) hari kerja sebelum menggunakan
sistem cadangan;
b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan
penggunaan EPP cadangan dan/atau JKD cadangan
kepada Peserta melalui administrative message; dan
c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil
pengoperasian
Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja
setelah pelaksanaan pengoperasian sistem cadangan
selesai dilakukan.
Pasal 71
Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan JKD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf e dilakukan
terhadap JKD yang menghubungkan EPP utama dan EPP
cadangan dengan perangkat komputer Peserta yang digunakan
untuk operasional Sistem BI-ETP.
sistem cadangan kepada
67
BAB IV
OPERASIONAL PENYELENGGARAAN TRANSAKSI
MELALUI SISTEM BI-ETP
Bagian Kesatu
Waktu Operasional Penyelenggaraan Transaksi
Melalui Sistem BI-ETP
Pasal 72
(1) Penyelenggara menetapkan
waktu
operasional
penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP yang
mencakup hari operasional, jam operasional, dan periode
waktu kegiatan.
(2) Hari operasional, jam operasional, dan periode waktu
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diubah sewaktu-waktu oleh Penyelenggara.
(3) Perubahan hari operasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan:
a. kebijakan pemerintah; dan/atau
b. kebijakan Bank Indonesia.
(4) Perubahan jam operasional dan/atau periode waktu
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan berdasarkan kebijakan Penyelenggara.
(5) Dalam hal terdapat perubahan hari operasional, jam
operasional, dan/atau periode waktu kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara
memberitahukan hal tersebut kepada seluruh Peserta
melalui administrative message dan/atau sarana lainnya.
Pasal 73
Hari operasional Sistem BI-ETP dilaksanakan setiap hari kerja
sesuai yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
Pasal 74
(1) Jam operasional penyelenggaraan Transaksi melalui
Sistem BI-ETP mulai pukul 06.30 waktu Indonesia barat
(WIB) sampai dengan pukul 18.30 WIB.
68
(2) Penyelenggara menetapkan periode waktu kegiatan untuk
melakukan kegiatan Transaksi melalui Sistem BI-ETP.
(3) Penetapan kegiatan dalam periode waktu kegiatan dan jam
operasional tercantum dalam Lampiran VI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal 75
Perubahan jam operasional dan/atau periode waktu kegiatan
berdasarkan kebijakan Penyelenggara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 ayat (4) dapat dilakukan berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut:
a. adanya Keadaan Tidak Normal pada Sistem BI-ETP
dan/atau Keadaan Darurat yang mengakibatkan adanya
kebutuhan perubahan jam operasional dan/atau
perpanjangan periode waktu kegiatan untuk
melaksanakan Transaksi melalui Sistem BI-ETP;
b. adanya perubahan jam operasional pada Sistem BI-RTGS
dan/atau BI-SSSS; dan/atau
c. adanya kepentingan Bank Indonesia untuk kegiatan
Operasi Moneter, Transaksi SBN untuk dan atas nama
pemerintah, dan Transaksi dengan Bank Indonesia
lainnya, yang mengakibatkan adanya kebutuhan
perubahan jam operasional dan/atau perpanjangan
periode waktu kegiatan untuk melaksanakan Transaksi
melalui Sistem BI-ETP.
Bagian Kedua
Pengelolaan Pengguna (User)
Pasal 76
Berdasarkan kewenangannya, pengguna (user) Sistem BI-ETP
terdiri atas:
a. administrator;
b. supervisor;
c. operator; dan
d. viewer.
69
Pasal 77
(1) Penyelenggara melakukan pengelolaan pengguna (user)
paling sedikit berupa kegiatan pendaftaran, penyesuaian,
reset password, penghentian, dan penetapan security
level.
(2) Pengelolaan pengguna (user) yang telah diserahkan oleh
Penyelenggara kepada Peserta dilakukan berdasarkan
ketentuan internal Peserta dan menjadi tanggung jawab
sepenuhnya Peserta yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Pengguna (User) dan Digital Certificate Hard Token
Pasal 78
(1) Penyelenggara memberikan user-ID kepada Peserta yang
dilengkapi dengan password user, Digital Certificate Hard
Token, dan password Digital Certificate Hard Token untuk
setiap Peserta.
(2) Penyelenggara menyediakan user-ID sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk 10 (sepuluh) pengguna
(user) yang terdiri atas:
a. dua administrator;
b. empat supervisor; dan
c. empat operator.
(3) Masa aktif Digital Certificate Hard Token sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) tahun sejak
tanggal efektif yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(4) Pengambilan dokumen user-ID, password user, Digital
Certificate Hard Token, dan/atau password Digital
Certificate Hard Token dilakukan oleh pimpinan atau
pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara.
70
Paragraf 1
Penambahan Pengguna (User) serta Penggantian dan/atau
Perpanjangan Masa Aktif Digital Certificate Hard Token
Pasal 79
(1) Peserta dapat mengajukan permohonan penambahan
pengguna (user) yang dilengkapi dengan password user,
Digital Certificate Hard Token, dan password Digital
Certificate Hard Token sepanjang tidak melebihi jumlah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2).
(2) Penambahan pengguna (user) yang melebihi jumlah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dapat
diberikan kepada Peserta berdasarkan persetujuan
Penyelenggara.
(3) Peserta dapat mengajukan permohonan penggantian
Digital Certificate Hard Token yang hilang, rusak, atau
tidak dapat digunakan karena sebab apapun.
(4) Penambahan pengguna (user) sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan penggantian Digital Certificate Hard
Token sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan
biaya.
(5) Penyelenggara membebankan biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ke Rekening Setelmen Dana dalam
rupiah Peserta atau Bank Pembayar.
(6) Peserta harus mengajukan permohonan perpanjangan
masa aktif Digital Certificate Hard Token sebelum masa
aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3)
berakhir.
Pasal 80
Permohonan penambahan pengguna (user) serta penggantian
dan/atau perpanjangan masa aktif Digital Certificate Hard
Token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
71
a. Peserta mengajukan permohonan penambahan pengguna
(user) serta penggantian dan/atau perpanjangan masa
aktif Digital Certificate Hard Token secara tertulis kepada
Penyelenggara;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dan memiliki spesimen tanda tangan di
Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.D;
c. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
memuat informasi paling sedikit:
1. untuk penambahan pengguna (user) yang dilengkapi
dengan password user, Digital Certificate Hard Token,
dan password Digital Certificate Hard Token:
a) nama dan participant code Peserta;
b) jumlah penambahan pengguna (user) dan
kewenangan pengguna (user); dan
c) alasan permintaan tambahan pengguna (user),
dalam hal permintaan melebihi jumlah yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
78 ayat (2);
2. untuk penggantian Digital Certificate Hard Token:
a) nama dan participant code Peserta;
b) user-ID untuk Digital Certificate Hard Token yang
akan diganti;
c) nomor seri Digital Certificate Hard Token; dan
d) alasan permintaan penggantian Digital
Certificate Hard Token; dan
3. untuk perpanjangan masa aktif Digital Certificate
Hard Token:
a) nama dan participant code Peserta;
b) user-ID untuk Digital Certificate Hard Token yang
akan diperpanjang masa aktifnya; dan
c) nomor seri Digital Certificate Hard Token;
d. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
disertai dokumen pendukung sebagai berikut:
72
1. Digital Certificate Hard Token, dalam hal Peserta
mengajukan perpanjangan masa aktif atau
penggantian Digital Certificate Hard Token; dan/atau
2. surat keterangan kehilangan Digital Certificate Hard
Token dari pihak kepolisian, dalam hal Peserta
mengajukan penggantian Digital Certificate Hard
Token yang hilang; dan
e. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. ditembuskan kepada kantor perwakilan Bank
Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal
kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja
kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri; dan
2. bagi Peserta yang mengajukan permohonan
perpanjangan masa aktif, permohonan disampaikan
paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum masa
aktif Digital Certificate Hard Token berakhir.
Pasal 81
(1) Penyelenggara memberitahukan secara tertulis kepada
Peserta melalui administrative message atau sarana lain
untuk pengambilan dokumen user-ID, password user,
Digital Certificate Hard Token, dan/atau password Digital
Certificate Hard Token.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Penyelenggara paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak permohonan yang disertai dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf
d diterima secara lengkap oleh Penyelenggara.
(3) Peserta melakukan pengambilan dokumen user-ID,
password user, Digital Certificate Hard Token, dan/atau
password Digital Certificate Hard Token dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. bagi Peserta yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia, pengambilan dokumen
dilakukan di lokasi kantor Penyelenggara;
73
b. bagi Peserta yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri,
pengambilan dokumen dilakukan:
1.
di kantor perwakilan Bank Indonesia dalam
negeri yang mewilayahi Peserta; atau
2.
di kantor Penyelenggara dalam hal Peserta
memiliki kantor cabang di wilayah kerja kantor
pusat Bank Indonesia; dan
c. pengambilan dokumen dilakukan oleh pimpinan atau
pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki
spesimen tanda tangan di Penyelenggara.
(4) Dalam hal penambahan pengguna (user), yang dilengkapi
dengan password user, Digital Certificate Hard Token, dan
password Digital Certificate Hard Token melebihi jumlah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2),
Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan tersebut kepada Peserta
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan
diterima lengkap oleh Penyelenggara.
Paragraf 2
Penghapusan User
Pasal 82
(1) Penghapusan pengguna (user) dapat dilakukan atas dasar
inisiatif Penyelenggara atau permintaan Peserta.
(2) Penghapusan pengguna (user) oleh Penyelenggara
dilakukan dalam hal Peserta telah dihentikan
kepesertaannya dalam penyelenggaraan Transaksi melalui
Sistem BI-ETP atau berdasarkan pertimbangan lain.
(3) Penghapusan pengguna (user) atas permintaan Peserta
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta mengajukan permohonan penghapusan
pengguna (user) secara tertulis kepada Penyelenggara
yang dapat disampaikan terlebih dahulu melalui
faksimile dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.D;
74
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
disertai dengan Digital Certificate Hard Token dari
pengguna (user) yang dimohonkan untuk dihapus;
dan
c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, Penyelenggara menyampaikan surat
pemberitahuan kepada Peserta mengenai
penghapusan pengguna (user).
Paragraf 3
Reset Password User, Unlock User, dan/atau Reset Password
Digital Certificate Hard Token
Pasal 83
Peserta dapat mengajukan permohonan reset password user,
unlock user, dan/atau reset password Digital Certificate Hard
Token kepada Penyelenggara.
Pasal 84
Permohonan reset password user sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 83 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. permohonan diajukan secara tertulis melalui surat oleh
Peserta yang dapat didahului dengan faksimile kepada
Penyelenggara;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda
tangan di Penyelenggara, yang paling sedikit memuat
informasi:
1. nama dan participant code Peserta;
2. user-ID untuk password user yang dimohonkan
untuk dilakukan reset; dan
3. nama, nomor telepon, dan alamat surel pihak yang
berwenang di Peserta bersangkutan yang dapat
dihubungi;
75
c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, Penyelenggara menyampaikan password user
kepada Peserta melalui surat; dan
d. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf c diambil oleh
pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah
memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara.
Pasal 85
Permohonan unlock user sebagaimana dimaksud dalam Pasal
83 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. permohonan secara tertulis mengenai unlock user kepada
Penyelenggara dapat disampaikan melalui administrative
message atau surat yang ditandatangani oleh pimpinan
atau pejabat yang menerima kuasa dan memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara yang dapat didahului
dengan faksimile;
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling
sedikit memuat informasi:
1. nama dan participant code Peserta;
2. user-ID yang dimohonkan untuk di-unlock; dan
3. nama, nomor telepon, dan alamat surel pihak yang
berwenang di Peserta bersangkutan yang dapat
dihubungi; dan
c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, Penyelenggara memberitahukan penyelesaian
proses unlock user kepada Peserta yang bersangkutan
melalui administrative message atau sarana lain yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
Pasal 86
Permohonan reset password Digital Certificate Hard Token
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. permohonan diajukan secara tertulis melalui surat oleh
Peserta yang dapat didahului dengan faksimile kepada
Penyelenggara;
76
b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda
tangan di Penyelenggara yang paling sedikit memuat
informasi:
1. nama dan participant code Peserta;
2. user-ID untuk password Digital Certificate Hard Token
yang dimohonkan untuk di-reset;
3. nomor seri Digital Certificate Hard Token; dan
4. nama, nomor telepon, dan alamat surel pihak yang
berwenang di Peserta bersangkutan yang dapat
dihubungi; dan
c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, Penyelenggara memberitahukan melalui telepon
kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b
angka 4 untuk melakukan tahapan proses reset password
Digital Certificate Hard Token di EPP.
Bagian Keempat
Pengelolaan Account dan Limit Transaksi
Paragraf 1
Pengelolaan Account
Pasal 87
Penyelenggara melakukan pengelolaan account yang
mencakup:
a. Portfolio; dan
b. Position Account.
Pasal 88
(1) Portfolio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf a
terdiri atas:
a. Portfolio atas nama Peserta; dan
b. Portfolio atas nama pihak lain yang diwakili oleh
Peserta dalam melakukan Transaksi.
77
(2) Portfolio atas nama Peserta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a terhubung dengan Position Account atas
nama Peserta dimaksud.
(3) Portfolio atas nama pihak lain yang diwakili oleh Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terhubung
dengan Position Account milik pihak lain yang diwakili oleh
Peserta.
Pasal 89
(1) Position Account sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87
huruf b terdiri atas:
a. Position Account atas nama Peserta; dan/atau
b. Position Account atas nama pihak lain yang diwakili
oleh Peserta dalam melakukan Transaksi.
(2) Pengelolaan Position Account atas nama Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
untuk Peserta berdasarkan kepemilikan Rekening Surat
Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3)
huruf a angka 1 dan huruf b angka 1 serta berdasarkan
kepemilikan Rekening Setelmen Dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf a angka 1 dan
huruf b angka 1.
(3) Pengelolaan Position Account atas nama pihak lain yang
diwakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan untuk Peserta berdasarkan kepemilikan
Rekening Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (3) huruf a angka 2 dan huruf b angka 2 serta
berdasarkan kepemilikan Rekening Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf a
angka 2 dan huruf b angka 2.
(4) Dalam hal terdapat perubahan pihak yang diwakili oleh
Peserta dalam melakukan Transaksi,
Peserta
menyampaikan pengkinian daftar nama pihak lain yang
memiliki hubungan transaksi kepada Penyelenggara
dengan format sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
78
Paragraf 2
Pengelolaan Limit Transaksi
Pasal 90
Limit Transaksi terdiri atas:
a. Broker Bidding Limit;
b. global limit; dan
c. supervisor limit.
Pasal 91
(1) Pengelolaan Broker Bidding Limit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 90 huruf a diatur dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. dalam hal pihak lain yang diwakili merupakan
Peserta yang memiliki Rekening Setelmen Dana,
setting Broker Bidding Limit dilakukan oleh Peserta
yang diwakili;
b. dalam hal pihak lain yang diwakili merupakan
Peserta yang tidak memiliki Rekening Setelmen Dana,
setting Broker Bidding Limit dilakukan oleh Peserta
yang menjadi Bank Pembayar untuk melakukan
Setelmen Dana; dan/atau
c. dalam hal pihak lain yang diwakili bukan merupakan
Peserta, setting Broker Bidding Limit dilakukan oleh
Peserta yang menjadi Bank Pembayar untuk
melakukan Setelmen Dana.
(2) Mekanisme penggunaan Broker Bidding Limit diatur
sebagai berikut:
a. Broker Bidding Limit terakumulasi untuk setiap nilai
setelmen Transaksi yang belum terselesaikan;
b. dalam hal Transaksi yang diajukan melampaui Broker
Bidding Limit, Transaksi dimaksud akan ditolak oleh
Sistem BI-ETP; dan
c. penggunaan Broker Bidding Limit akan berkurang
sebesar nilai Setelmen setiap terjadi Setelmen.
79
Pasal 92
(1) Setting global limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
huruf b dilakukan oleh Peserta untuk menetapkan
batasan nominal penawaran beserta tahapan otorisasi
untuk penawaran yang dilakukan dalam Transaksi
dengan Bank Indonesia.
(2) Berdasarkan hasil setting global limit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. penawaran dengan nominal yang sama atau di bawah
global limit diotorisasi oleh 1 (satu) pengguna (user)
supervisor Peserta; dan/atau
b. penawaran dengan nominal di atas global limit
diotorisasi 2 (dua) pengguna (user) supervisor Peserta.
Pasal 93
Pengelolaan supervisor limit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 90 huruf c diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta melakukan setting supervisor limit untuk
menetapkan batasan nominal penawaran yang dapat
diotorisasi oleh masing-masing pengguna (user) supervisor
dalam rangka Transaksi dengan Bank Indonesia; dan
b. dalam hal nominal penawaran yang diajukan melampaui
supervisor limit, otorisasi atas penawaran dimaksud akan
ditolak oleh Sistem BI-ETP.
Bagian Kelima
Kegiatan Transaksi Melalui Sistem BI-ETP
Paragraf 1
Transaksi Dengan Bank Indonesia
Pasal 94
(1) Transaksi dengan Bank Indonesia dilakukan untuk
kegiatan Operasi Moneter dan/atau Transaksi SBN untuk
dan atas nama pemerintah, serta transaksi lainnya yang
dilakukan dengan Bank Indonesia.
80
(2) Pelaksanaan Transaksi dengan Bank Indonesia untuk
Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter.
(3) Pelaksanaan Transaksi SBN untuk dan atas nama
pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
lelang surat berharga negara.
Pasal 95
(1) Jenis Transaksi dengan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) meliputi:
a. transaksi penerbitan Surat Berharga;
b. transaksi penempatan dana; dan
c. transaksi Surat Berharga di pasar sekunder.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
paling sedikit berupa:
a. jual beli Surat Berharga secara putus (outright);
b. repurchase agreement (repo); dan
c. reverse repo.
Pasal 96
(1) Transaksi dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 95 ayat (1) dilakukan secara lelang atau
nonlelang.
(2) Setelmen Transaksi dengan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) akan dilakukan melalui BI-SSSS
dan/atau Sistem BI-RTGS.
Paragraf 2
Transaksi Pasar Keuangan
Pasal 97
(1) Transaksi Pasar Keuangan dilakukan secara bilateral
antar-Peserta.
(2) Transaksi Pasar Keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
81
a. Transaksi Surat Berharga yang dilakukan di pasar
uang;
b. Transaksi Surat Berharga di pasar sekunder;
dan/atau
c. Transaksi pinjam meminjam tanpa menggunakan
Surat Berharga yang dilakukan di pasar uang.
(3) Transaksi Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b meliputi:
a. jual beli secara putus (outright);
b. repo; dan
c. pinjam meminjam Surat Berharga (securities lending
and borrowing).
(4) Transaksi pinjam meminjam tanpa menggunakan Surat
Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
meliputi:
a. transaksi pasar uang antarbank (PUAB); dan
b. transaksi pasar uang antarbank berdasarkan prinsip
syariah (PUAS).
(5) Pelaksanaan transaksi di pasar uang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (2) huruf c
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pasar uang.
Pasal 98
(1) Transaksi Pasar Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 dilakukan dengan mekanisme kuotasi yang dapat
dinegosiasikan.
(2) Kuotasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan atas nama Peserta atau untuk dan atas nama
pihak lain.
(3) Kuotasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diajukan kepada 1 (satu) Peserta tertentu atau kepada
seluruh Peserta.
(4) Peserta dapat menetapkan batas waktu kuotasi secara
otomatis atau manual.
82
(5) Setelmen Transaksi Pasar Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang telah disepakati oleh Peserta
dilakukan melalui BI-SSSS dan/atau Sistem BI-RTGS.
BAB V
BIAYA
Bagian Kesatu
Biaya dalam Transaksi Melalui Sistem BI-ETP
Pasal 99
Penyelenggara menetapkan biaya kepada Peserta dalam
penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP.
Pasal 100
Jenis biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 terdiri atas:
a. biaya instruksi Transaksi;
b. biaya pengiriman administrative message;
c. biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank;
d. biaya penggantian atau penambahan Digital Certificate
Hard Token; dan
e. biaya lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
Pasal 101
(1) Penetapan biaya instruksi Transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 100 huruf a dikenakan untuk
setiap instruksi Transaksi yang terdiri atas pengiriman,
perubahan, penerimaan, dan penolakan penawaran.
(2) Penetapan biaya pengiriman administrative message
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf b
dikenakan untuk setiap pengiriman administrative
message.
(3) Penetapan biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf c, diatur
dengan ketentuan sebagai berikut:
83
a. besarnya biaya ditetapkan oleh Penyelenggara
berdasarkan durasi waktu penggunaan setiap 1 (satu)
jam;
b. besarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam huruf
a berlaku untuk penggunaan sebagian atau seluruh
Fasilitas Guest Bank Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan/atau Sistem BI-RTGS; dan
c. durasi waktu penggunaan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dihitung berdasarkan waktu kehadiran
Peserta yang dibuktikan dalam daftar hadir Peserta.
(4) Biaya penggantian atau penambahan Digital Certificate
Hard Token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100
huruf d dikenakan untuk setiap Digital Certificate Hard
Token yang diganti atau ditambahkan.
(5) Besarnya biaya dan contoh perhitungan biaya dalam
penggunaan Sistem BI-ETP tercantum dalam Lampiran VII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(6) Besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak
termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).
Bagian Kedua
Pembebasan Biaya
Pasal 102
(1) Penyelenggara dapat membebaskan biaya tertentu dalam
penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP apabila
terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.
(2) Pembebasan biaya tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak termasuk PPN.
Bagian Ketiga
Perhitungan dan Pembebanan Biaya
Pasal 103
(1) Penyelenggara melakukan perhitungan biaya untuk
masing-masing Peserta pada setiap akhir hari.
84
(2) Penyelenggara membebankan biaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pada hari kerja berikutnya dengan mendebit
Rekening Setelmen Dana Peserta atau Bank Pembayar.
Bagian Keempat
Biaya Transaksi Melalui Sistem BI-ETP yang Dikenakan
Peserta Kepada Pihak Lain yang Diwakili
Pasal 104
(1) Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan atas nama
pihak lain yang diwakili dapat menetapkan dan
mengenakan biaya kepada pihak lain dimaksud dalam
jumlah yang wajar.
(2) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menginformasikan:
a. besarnya biaya Transaksi melalui Sistem BI-ETP yang
ditetapkan Penyelenggara kepada Peserta; dan
b. besarnya biaya Transaksi melalui Sistem BI-ETP yang
ditetapkan dan dikenakan oleh Peserta kepada pihak
lain yang diwakili.
BAB VI
PENANGANAN KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU
KEADAAN DARURAT
Bagian Kesatu
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di
Penyelenggara
Paragraf 1
Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara
Pasal 105
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara
yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan Transaksi
melalui Sistem BI-ETP atau mengakibatkan operasional
Sistem BI-ETP tidak dapat diselenggarakan maka berlaku
prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal.
85
(2) Prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai
berikut:
a. Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh
Peserta mengenai terjadinya Keadaan Tidak Normal
dan tahapan yang perlu dilakukan melalui
administrative message dan/atau sarana lain yang
ditetapkan oleh Penyelenggara;
b. dalam hal Keadaan Tidak Normal mengakibatkan
operasional
Sistem BI-ETP
tidak dapat
diselenggarakan, Peserta harus menghentikan
sementara kegiatan pengiriman Transaksi dan
kegiatan lain melalui Sistem BI-ETP; dan
c. dalam hal Sistem BI-ETP dapat beroperasi kembali,
Peserta melakukan hal sebagai berikut:
1. melakukan koneksi ulang ke Sistem BI-ETP;
2. mengecek Transaksi terakhir yang dilakukan
melalui EPP; dan
3. menginformasikan kepada help desk Sistem BI-
ETP apabila berdasarkan hasil pengecekan
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 terdapat
ketidaksesuaian data Transaksi.
(3) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c dilakukan oleh Peserta berdasarkan
pemberitahuan dari Penyelenggara melalui administrative
message, help desk, dan/atau sarana lainnya.
(4) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal yang
mengakibatkan Sistem BI-ETP tidak dapat beroperasi
sampai dengan batas waktu yang ditentukan oleh
Penyelenggara maka Penyelenggara menetapkan
kebijakan penanganan Keadaan Tidak Normal dan
memberitahukan kepada Peserta.
86
Paragraf 2
Keadaan Darurat di Penyelenggara
Pasal 106
Dalam hal terjadi Keadaan Darurat di Penyelenggara yang
memengaruhi kelancaran penyelenggaraan Transaksi melalui
Sistem BI-ETP atau mengakibatkan operasional Sistem BI-ETP
tidak dapat diselenggarakan sampai dengan batas waktu yang
ditetapkan oleh Penyelenggara maka berlaku prosedur sebagai
berikut:
a. Penyelenggara menetapkan kebijakan dan prosedur
penanggulangan Keadaan Darurat; dan
b. Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh Peserta
mengenai terjadinya Keadaan Darurat serta hal yang
harus dilakukan oleh Peserta dalam penyelenggaraan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP.
Bagian Kedua
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta
Pasal 107
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat di Peserta yang menyebabkan
terganggunya kelancaran Transaksi melalui Sistem BI-ETP
maka Peserta harus memberitahukan keadaan tersebut
kepada Penyelenggara.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Penyelenggara dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. pemberitahuan disampaikan kepada help desk
Sistem BI-ETP melalui sarana telepon paling lama 30
(tiga puluh) menit sejak terjadinya Keadaan Tidak
Normal dan/atau Keadaan Darurat; dan/atau
b. penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, ditindaklanjuti dengan penyampaian
pemberitahuan tertulis kepada Penyelenggara
mengenai hal tersebut dan penyebabnya.
87
Pasal 108
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat di Peserta yang mengakibatkan Peserta
tidak dapat melakukan kegiatan operasional Sistem BI-
ETP dengan menggunakan EPP utama maka Peserta
menggunakan EPP cadangan.
(2) Dalam hal Peserta tidak dapat menggunakan EPP
cadangan dan/atau tidak dapat mengirimkan instruksi
Transaksi di lokasi Peserta maka Peserta dapat melakukan
kegiatan operasional Sistem BI-ETP dengan menggunakan
Fasilitas Guest Bank.
Pasal 109
Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan
Darurat di Peserta, Penyelenggara dapat menetapkan
kebijakan, prosedur, dan hal lain yang diperlukan untuk
pelaksanaan Transaksi melalui Sistem BI-ETP.
Bagian Ketiga
Penggunaan Fasilitas Guest Bank
Paragraf 1
Prinsip Umum
Pasal 110
(1) Fasilitas Guest Bank dapat digunakan oleh Peserta selama
jam operasional Sistem BI-ETP untuk melakukan kegiatan
sesuai dengan periode waktu kegiatan yang masih
berlaku.
(2) Penyelenggara dapat menetapkan batas waktu maksimal
penggunaan Fasilitas Guest Bank dalam hal jumlah
Peserta yang mengajukan permohonan penggunaan
Fasilitas Guest Bank melebihi kapasitas yang tersedia.
(3) Peserta membebaskan Penyelenggara dari segala kerugian
yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami
Peserta sehubungan dengan pelaksanaan Transaksi
melalui Fasilitas Guest Bank.
88
(4) Penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta di
Penyelenggara dapat dilakukan dengan menggunakan 3
(tiga) metode yaitu:
a. shared EPP;
b. standalone EPP; atau
c. own EPP.
(5) Penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta di kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri hanya dapat
dilakukan dengan menggunakan metode shared EPP.
Paragraf 2
Prosedur Penggunaan Fasilitas Guest Bank
Pasal 111
(1) Peserta yang akan menggunakan Fasilitas Guest Bank
harus mengajukan permohonan penggunaan Fasilitas
Guest Bank secara tertulis kepada Penyelenggara, yang
dapat didahului dengan menyampaikan informasi melalui
sarana telepon, faksimile, dan/atau sarana lainnya.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang
menerima kuasa dari Peserta dan telah memiliki spesimen
tanda tangan di Penyelenggara, dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.AB
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
(3) Untuk Peserta yang berada di wilayah kerja kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri, permohonan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor
perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang
menyediakan Fasilitas Guest Bank.
89
(4) Dalam hal Peserta menggunakan Fasilitas Guest Bank
untuk Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-
RTGS, permohonan tertulis penggunaan Fasilitas Guest
Bank cukup diajukan kepada salah satu penyelenggara,
sepanjang surat permohonan ditandatangani pejabat yang
memiliki kewenangan dalam operasional Sistem BI-ETP,
BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS.
(5) Penyelenggara
menyampaikan persetujuan
atau
penolakan atas permohonan penggunaan Fasilitas Guest
Bank kepada Peserta melalui administrative message atau
sarana lainnya.
Pasal 112
Dalam penggunaan Fasilitas Guest Bank di lokasi
Penyelenggara atau kantor perwakilan Bank Indonesia dalam
negeri berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta menyiapkan data transaksi dan hal lain yang
diperlukan untuk operasional di Penyelenggara sesuai
dengan pedoman penggunaan Fasilitas Guest Bank
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini; dan
b. dalam hal jumlah Peserta yang mengajukan permohonan
melebihi kapasitas Fasilitas Guest Bank yang disediakan,
Penyelenggara dapat menetapkan urutan penggunaan
Fasilitas Guest Bank.
BAB VII
PEMBEBASAN TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA
Pasal 113
(1) Penyelenggara dibebaskan dari segala tuntutan atas
kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang
dialami Peserta atau pihak ketiga akibat:
a. terlambat atau tidak terlaksananya Transaksi;
dan/atau
b. sebab lain.
90
(2) Keterlambatan atau tidak terlaksananya Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disebabkan
oleh:
a. pengiriman instruksi Transaksi oleh Peserta kepada
Penyelenggara dilakukan oleh pejabat yang tidak
berwenang;
b. kesalahan data dan/atau instruksi Transaksi yang
dikirimkan oleh Peserta kepada Penyelenggara;
c. ketidaksiapan EPP dan/atau pengguna (user) untuk
melakukan Transaksi;
d. gangguan JKD dan/atau sistem pada Peserta;
e. kesalahan dan/atau keterlambatan setting limit
Transaksi oleh Peserta;
f.
tidak diteruskannya instruksi Transaksi berdasarkan
keputusan lembaga pengawas yang berwenang,
keputusan lembaga arbitrase, dan/atau putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
g. kelalaian Peserta; dan/atau
h. Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat baik
yang dialami oleh Penyelenggara maupun Peserta.
BAB VIII
PEMANTAUAN KEPATUHAN PESERTA
Bagian Kesatu
Prinsip Umum
Pasal 114
(1) Penyelenggara melakukan pemantauan kepatuhan Peserta
terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek:
a.
tata kelola;
b. operasional;
c.
infrastruktur;
d. BCP; dan
e. perlindungan konsumen.
91
(3) Pemantauan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara tidak langsung dan/atau
secara langsung.
Bagian Kedua
Pemantauan Tidak Langsung
Pasal 115
(1) Pemantauan secara tidak langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dilakukan melalui
penelitian, analisis, dan evaluasi terhadap:
a. laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-waktu
yang disampaikan oleh Peserta kepada
Penyelenggara; dan
b. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh
Penyelenggara.
(2) Peserta wajib menyampaikan laporan berkala dan/atau
laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a kepada Penyelenggara.
(3) Peserta wajib menyampaikan informasi, data, dan/atau
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dalam hal diminta oleh Penyelenggara.
(4) Berdasarkan hasil pemantauan tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara
dapat melakukan klarifikasi dan/atau konfirmasi kepada
Peserta atas laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-
waktu, informasi, data, dan/atau dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Paragraf 1
Laporan Berkala
Pasal 116
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115
ayat (1) huruf a berupa laporan hasil penilaian kepatuhan
(LHPK).
92
(2) Penyampaian LHPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diatur sebagai berikut:
a. LHPK merupakan laporan tahunan yang memuat
hasil penilaian pemeriksaan internal Peserta untuk
periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
b. LHPK disampaikan secara tertulis kepada
Penyelenggara melalui surat dan/atau sarana lain
yang ditetapkan oleh Penyelenggara;
c. LHPK disampaikan dengan batas waktu paling
lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya;
d. dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
huruf c jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur
maka batas waktu penyampaian LHPK jatuh pada
hari kerja berikutnya;
e. dalam hal Peserta terlambat menyampaikan LHPK,
Peserta tetap wajib menyampaikan LHPK paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak batas waktu
penyampaian LHPK yang ditetapkan oleh
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam huruf c;
dan
f.
Peserta dinyatakan tidak menyampaikan LHPK
apabila Peserta tidak menyampaikan LHPK sampai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
huruf e.
Paragraf 2
Laporan Sewaktu-Waktu
Pasal 117
Laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
115 ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. laporan yang disampaikan oleh Peserta kepada
Penyelenggara atas permintaan Penyelenggara; dan/atau
b. laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas
inisiatif dari Peserta.
93
Bagian Ketiga
Pemantauan Langsung
Pasal 118
(1) Pemantauan secara langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 114 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan
langsung.
(2) Pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu
apabila diperlukan.
(3) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas
nama Penyelenggara melakukan pemeriksaan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Petugas yang melakukan pemeriksaan langsung
dilengkapi dengan surat tugas dari Penyelenggara.
Pasal 119
(1) Dalam pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 118 ayat (4) Peserta wajib memberikan:
a. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperlukan
sesuai dengan permintaan petugas Penyelenggara;
dan/atau
b. akses untuk melakukan pemeriksaan langsung
terhadap sarana fisik dan infrastruktur pendukung
yang terkait dengan operasional Sistem BI-ETP di
Peserta.
(2) Pada akhir pemeriksaan langsung, dilakukan exit meeting
untuk menyampaikan dan/atau membahas pokok hasil
pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu
ditindaklanjuti oleh Peserta.
(3) Hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu
ditindaklanjuti oleh Peserta sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada Peserta.
(4) Peserta wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan
langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
94
BAB IX
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 120
(1) Penyelenggara mengenakan sanksi administratif kepada
Peserta berupa kewajiban membayar, teguran tertulis,
dan/atau penurunan status kepesertaan.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil pemantauan
kepatuhan Peserta terhadap pemenuhan:
a. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
huruf a;
b. kewajiban menginformasikan biaya Transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf d dan
Pasal 104 ayat (2);
c. kewajiban penyampaian laporan berkala dan/atau
laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 115 ayat (2);
d. kewajiban penyampaian informasi, data, dan/atau
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115
ayat (3); dan/atau
e. kewajiban menindaklanjuti hasil pemeriksaan
langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (4).
(3) Peserta yang terlambat menyampaikan laporan berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (2),
dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar.
(4) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 huruf a,
tidak
menginformasikan biaya Transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 huruf d dan Pasal 104 ayat (2),
tidak menyampaikan laporan berkala dan/atau laporan
sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115
ayat (2), serta tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 115 ayat (3) dan Pasal 119 ayat (4),
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
95
(5) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Peserta yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a, tidak
menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 115 ayat (2), dan tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (4), dapat
dikenakan sanksi administratif berupa penurunan status
kepesertaan dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti
teguran tertulis yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
Pasal 121
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 120 ayat (3) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
berkala berupa LHPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 116 ayat (2) huruf b apabila Peserta tidak
menyampaikan laporan berkala sesuai batas waktu
yang ditetapkan Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf c; dan
b. Peserta yang dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) per hari kerja keterlambatan dengan batas
nominal paling banyak sebesar Rp15.000.000,00
(lima belas juta rupiah).
(2) Penyelenggara menginformasikan pembebanan pengenaan
sanksi administratif berupa kewajiban membayar melalui
surat setelah pelaksanaan pembebanan sanksi.
BAB X
KORESPONDENSI
Pasal 122
(1) Kegiatan korespondensi terkait kepesertaan dan
operasional penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-
96
ETP yang disampaikan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi penyelenggaraan Transaksi melalui
sistem pembayaran ditujukan ke alamat:
Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
c.q. Divisi Setelmen Dana dan Penatausahaan Surat
Berharga
Gedung D Lantai 3
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(2) Kegiatan korespondensi terkait pemantauan kepatuhan
Peserta yang disampaikan kepada satuan kerja yang
melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem
pembayaran ditujukan ke alamat:
Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
c.q. Divisi Kepatuhan dan Informasi Sistem Pembayaran
Gedung D Lantai 3
Jalan M. H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(3) Kegiatan korespondensi yang disampaikan kepada satuan
kerja yang melaksanakan fungsi
pengawasan
makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran
ditujukan ke alamat:
Bank Indonesia
c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan
Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
(4) Layanan help desk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2), dapat dihubungi melalui nomor:
Telepon : 021-29818888
Faksimile : 021-2311476
Surel
: helpdeskSPBI@bi.go.id
(5) Dalam hal terjadi perubahan alamat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta
perubahan nomor telepon, faksimile, dan/atau surel
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Penyelenggara
memberitahukan perubahan tersebut melalui surat
dan/atau sarana lain.
97
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 123
Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan atau ketentuan
yang berbeda mengenai penyelenggaraan Transaksi melalui
Sistem BI-ETP bagi Bank Indonesia, Kementerian Keuangan,
dan lembaga lain yang disetujui Penyelenggara menjadi Peserta
berdasarkan kebutuhan dan karakteristik tertentu.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 124
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/36/DPM
tanggal 16 November 2015 perihal Penyelenggaraan Sistem
Bank Indonesia-Electronic Trading Platform dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 125
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
dengan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/32/PADG/2018
TENTANG
PENYELENGGARAAN TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-
ELECTRONIC TRADING SYSTEM
I. UMUM
Untuk mewujudkan penyelenggaraan Transaksi yang lebih lancar,
aman, efisien, dan andal, diperlukan penyempurnaan ketentuan mengenai
penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP. Sebagai upaya
mendukung kebijakan Bank Indonesia untuk memberikan pelayanan
perizinan secara terpadu dalam hubungan operasional bagi bank umum
maka pengaturan mengenai tata cara permohonan dan perubahan
kepesertaan yang bersifat strategis dan mendasar dalam penyelenggaraan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP dilakukan secara tersentralisasi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
2
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โperubahan data kepesertaanโ
adalah perubahan nama dan kegiatan usaha Peserta.
Yang dimaksud dengan โpenyampaian informasi yang
memengaruhi data Peserta di Bank Indonesiaโ adalah
perubahan data pimpinan dan alamat kantor Peserta.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โperubahan data kepesertaan Sistem
BI-ETP selain yang terkait dengan langkah strategis dan
mendasarโ antara lain perubahan participant code dan
perubahan pihak yang diwakili oleh Peserta dalam
melakukan Transaksi.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pedoman pengoperasian Sistem BI-ETP berupa buku atau bentuk
lainnya yang disampaikan oleh Penyelenggara melalui surat
dan/atau sarana lain.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
3
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan โperusahaan efekโ adalah
perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai pasar modal.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โperusahaan pialang pasar uang
rupiah dan valuta asingโ adalah perusahaan pialang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang
rupiah dan valuta asing.
Huruf g
Persetujuan bagi lembaga lain untuk menjadi Peserta
didasarkan pada pertimbangan antara lain:
1. ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pengembangan pasar keuangan di Indonesia;
3.
4. pertimbangan teknis.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia; dan/atau
4
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Penetapan fungsi lain oleh Penyelenggara didasarkan pada
pertimbangan antara lain:
1. ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pengembangan pasar keuangan di Indonesia;
3.
4. pertimbangan teknis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pembayaran kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan
penggunaan Sistem BI-ETP antara lain ditujukan untuk
pembebanan biaya Sistem BI-ETP dan pembebanan
pengenaan sanksi administratif terkait Sistem BI-ETP.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia; dan/atau
5
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemeriksaan dilakukan melalui kunjungan ke lokasi calon
Peserta untuk memastikan kesiapan operasional Sistem BI-ETP
calon Peserta antara lain dengan melihat kesesuaian informasi
dalam dokumen yang disampaikan dengan kondisi di lapangan
dan kesiapan infrastruktur.
Pasal 15
Ayat (1)
Penolakan permohonan akan diberitahukan oleh Penyelenggara
melalui surat yang disertai alasan penolakan.
6
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan โidentitas diriโ adalah:
1. kartu tanda penduduk (KTP), surat izin mengemudi (SIM),
atau paspor bagi warga negara Indonesia (WNI); atau
2. paspor, keterangan izin tinggal sementara (KITAS), dan surat
izin kerja dari instansi berwenang bagi warga negara asing
(WNA).
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
7
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โuji koneksi dengan Penyelenggaraโ
adalah uji coba antara EPP yang berada di lokasi calon
Peserta dengan ECN.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penolakan permohonan perubahan participant code disertai
dengan alasan penolakan.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
8
Ayat (2)
Penolakan permohonan perubahan nama disertai dengan alasan
penolakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penolakan permohonan perubahan kegiatan usaha disertai
dengan alasan penolakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penolakan permohonan perubahan lokasi EPP utama, EPP
cadangan, dan/atau pemindahan JKD Peserta disertai dengan
alasan penolakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Penolakan permohonan perubahan spesimen tanda tangan
pimpinan disertai dengan alasan penolakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
9
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penolakan permohonan perubahan kuasa disertai dengan alasan
penolakan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penolakan permohonan perubahan penggunaan infrastruktur
disertai dengan alasan penolakan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
10
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penolakan permohonan perubahan pihak lain yang diwakili oleh
Peserta dalam melakukan Transaksi disertai dengan alasan
penolakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Peserta dengan status aktif dapat melakukan seluruh fungsi
pada EPP sesuai dengan jenis kepesertaan dan hak akses
Peserta yang bersangkutan.
Huruf b
Peserta dengan status dibekukan tidak dapat mengirim dan
menerima seluruh instruksi Transaksi melalui Sistem BI-ETP.
Peserta dengan status dibekukan masih dapat mengakses
informasi atau data yang telah disinkronisasi dari ECN ke EPP.
Huruf c
Peserta dengan status ditutup merupakan Peserta yang
dihentikan kepesertaannya dalam Sistem BI-ETP dan tidak
dapat diaktifkan kembali sebagai Peserta.
11
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Lembaga pengawas yang berwenang antara lain Bank
Indonesia
sebagai
otoritas moneter,
pengawas
makroprudensial dan sistem pembayaran, serta Otoritas
Jasa Keuangan sebagai otoritas pengawas mikroprudensial.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk dalam alasan lain yaitu pengalihan aset dan kewajiban
yang terjadi berdasarkan persetujuan dari lembaga pengawas
yang berwenang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Kewajiban dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem
BI-ETP antara lain biaya dan sanksi administratif berupa
kewajiban membayar dalam Sistem BI-ETP.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
12
Ayat (3)
Pengalihan aset dan kewajiban yang bukan merupakan
penggabungan, peleburan, atau pemisahan yaitu pengalihan aset
dan kewajiban yang dilakukan berdasarkan persetujuan dari
lembaga pengawas yang berwenang.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
13
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Huruf a
Yang dimaksud dengan โkebijakan dan prosedur tertulisโ adalah
ketentuan yang berlaku sebagai pedoman operasional Sistem BI-
ETP di Peserta yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di internal Peserta.
Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis mencakup juga
prosedur pengamanan penggunaan Sistem BI-ETP di lingkungan
internal Peserta.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
14
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 60
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal kebijakan dan prosedur tertulis dibuat dalam bahasa
asing, kebijakan dan prosedur tertulis harus diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal security audit dilakukan oleh auditor internal
maka dilengkapi dengan surat pernyataan pimpinan Peserta
yang menyatakan bahwa pelaksanaan security audit
dilakukan secara independen.
Huruf c
Cukup jelas.
15
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Huruf a
Data yang wajib dipelihara antara lain:
1. data transaksi;
2. aplikasi yang diberikan oleh Penyelenggara; dan/atau
3. ketentuan dan prosedur yang diberikan oleh Penyelenggara.
Huruf b
Pengamanan data antara lain berupa perlindungan dari akses
pihak yang tidak berwenang.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 65
Huruf a
Kegiatan memastikan petugas memahami sistem dan operasional
Sistem BI-ETP dilakukan antara lain melalui pelatihan secara
berkala.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
16
Huruf h
Penyimpanan dilakukan di tempat yang aman dan bebas dari
berbagai sumber yang dapat merusak aplikasi EPP.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemilihan jenis dan lokasi EPP cadangan serta JKD cadangan
Peserta dilakukan berdasarkan pertimbangan antara lain:
1. volume transaksi Peserta dan tingkat urgensi Sistem BI-ETP
bagi Peserta; dan
2. pengendalian internal guna memitigasi risiko operasional di
Peserta.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan JKD dilakukan agar
Sistem BI-ETP bebas dari segala sumber yang dapat merusak sistem
termasuk kemungkinan penyalahgunaan (fraud), pembobolan data
elektronis (hacking), serta perusakan sistem dengan cara membanjiri
sistem dengan data dan/atau instruksi Transaksi serta data lainnya.
17
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Huruf a
Yang dimaksud dengan โadministratorโ adalah pengguna (user)
yang memiliki kewenangan antara lain untuk melakukan setting
limit Transaksi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โsupervisorโ adalah pengguna (user) yang
memiliki kewenangan operasional pada Sistem BI-ETP untuk
melakukan kegiatan supervisi, termasuk menyetujui atau menolak
data yang dikirim oleh operator meliputi hasil entry, construct,
dan/atau perubahan data Transaksi dengan Bank Indonesia, serta
mengirimkan administrative message antar-Peserta dan/atau
kepada Penyelenggara.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โoperatorโ adalah pengguna (user) yang
memiliki kewenangan operasional pada Sistem BI-ETP untuk
melakukan entry atau construct data Transaksi, mengubah data
Transaksi, membatalkan kuotasi Transaksi Pasar Keuangan, dan
mengirimkan administrative message antar-Peserta dan/atau
kepada Penyelenggara.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โviewerโ adalah pengguna (user) yang hanya
dapat memonitor data dan/atau informasi pada Sistem BI-ETP serta
tidak dapat melakukan fungsi kegiatan pengguna (user) dengan
level administrator, supervisor, dan operator.
18
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Digital Certificate Hard Token disimpan di dalam media USB flash
drive.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penolakan permohonan penambahan pengguna (user) disertai
alasan penolakan.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
19
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Huruf a
Dalam hal Peserta yang bertransaksi atas nama diri sendiri
bukan merupakan peserta BI-SSSS dan/atau peserta Sistem
BI-RTGS, Position Account berisi informasi:
1. Rekening Surat Berharga Sub-Registry yang ditunjuk
oleh Peserta; dan
2. Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar yang ditunjuk
oleh Peserta.
Huruf b
Dalam hal Peserta bertransaksi atas nama pihak lain yang
diwakili, yang merupakan peserta BI-SSSS dan/atau peserta
Sistem BI-RTGS, Position Account berisi informasi:
1. Rekening Surat Berharga milik pihak yang diwakili; dan
2. Rekening Setelmen Dana milik pihak yang diwakili,
untuk kepentingan Setelmen.
Dalam hal Peserta bertransaksi atas nama pihak yang
diwakili, yang bukan merupakan peserta BI-SSSS dan/atau
peserta Sistem BI-RTGS, Position Account berisi informasi:
1. Rekening Surat Berharga Sub-Registry yang ditunjuk
oleh pihak yang diwakili; dan
20
2. Rekening Dana Bank Pembayar yang ditunjuk oleh
pihak yang diwakili, untuk kepentingan Setelmen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โjual beli Surat Berharga secara putus
(outright)โ adalah transaksi penjualan dan pembelian Surat
Berharga oleh Peserta kepada Bank Indonesia secara putus
tanpa kewajiban pembelian dan penjualan kembali.
21
Huruf b
Yang dimaksud dengan โrepurchase agreement (repo)โ yaitu
transaksi penjualan Surat Berharga oleh Peserta kepada Bank
Indonesia, dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โreverse repoโ yaitu transaksi
pembelian Surat Berharga oleh Peserta kepada Bank
Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โjual beli secara putus (outright)โ
adalah transaksi penjualan dan pembelian Surat Berharga
oleh Peserta secara putus tanpa kewajiban pembelian dan
penjualan kembali.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โrepoโ yaitu transaksi penjualan Surat
Berharga oleh Peserta, dengan kewajiban pembelian kembali
oleh Peserta sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โpinjam meminjam Surat Berharga
(securities lending and borrowing)โ adalah transaksi pinjam
meminjam Surat Berharga oleh Peserta dengan jaminan
Surat Berharga atau dana.
22
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
23
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โshared EPPโ adalah metode layanan
Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara kepada
Peserta dengan menggunakan 1 (satu) aplikasi EPP yang di-
install pada 1 (satu)
infrastruktur dan dikonfigurasi untuk
dapat digunakan secara bersama-sama oleh lebih dari 1 (satu)
Peserta.
Huruf b
Yang dimaksud dengan โstandalone EPPโ adalah metode
layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara
dengan 1 (satu) aplikasi EPP yang di-install pada 1 (satu)
infrastruktur untuk digunakan oleh 1 (satu) Peserta.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โown EPPโ adalah metode layanan
Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara dalam
bentuk akses ke sistem di Penyelenggara dengan
menggunakan aplikasi EPP yang di-install pada infrastruktur
milik Peserta yang dibawa ke lokasi Fasilitas Guest Bank.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
24
Pasal 113
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Termasuk keterlambatan atau tidak terlaksananya
Transaksi dalam Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan
Darurat antara lain disebabkan oleh penggunaan Fasilitas
Guest Bank oleh Peserta.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh
Penyelenggara dapat diperoleh dari:
a. Peserta yang bersangkutan;
b. kegiatan operasional Peserta di Penyelenggara;
dan/atau
25
c. pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jeas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas inisiatif
dari Peserta antara lain laporan gangguan Sistem BI-ETP yang
dialami Peserta.
Pasal 118
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemeriksaan langsung secara sewaktu-waktu antara lain
dilakukan berdasarkan hasil klarifikasi dan/atau konfirmasi yang
dilakukan dalam pemantauan tidak langsung.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 119
Ayat (1)
Huruf a
Informasi data dan/atau dokumen yang diperlukan antara
lain:
26
1. dokumen asli dan/atau salinan dokumen yang berupa
warkat atau deal ticket;
2. data elektronik yang terkait dengan pelaksanaan
Transaksi melalui Sistem BI-ETP; dan/atau
3. penjelasan atau keterangan yang terkait dengan
pelaksanaan Transaksi dan/atau kegiatan operasional
Sistem BI-ETP lainnya.
Huruf b
Pemeriksaan langsung terhadap sarana fisik dan infrastruktur
pendukung termasuk permintaan pengujian infrastruktur
Peserta yang digunakan dalam operasional Sistem BI-ETP.
Akses untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap
sarana fisik dan infrastruktur pendukung yang terkait dengan
operasional Sistem BI-ETP di Peserta antara lain pemeriksaan
terhadap EPP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 120
Ayat (1)
Sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan
dikenakan antara lain dengan pertimbangan keikutsertaan
Peserta dapat mengakibatkan terganggunya keamanan Sistem BI-
ETP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
27
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/32/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-ELECTRONIC TRADING PLATFORM </reg_title>
<set_date> 30 November 2018 </set_date>
<effective_date> 30 November 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '17/36/DPM|SE-BI/2015' </replaced_reg>
<related_reg> '17/18/PBI/2015', '20/11/PBI/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/5/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI
MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna memastikan tetap terjaganya stabilitas sistem
keuangan, Bank Indonesia perlu untuk mendorong
penyaluran kredit atau pembiayaan perbankan;
b. bahwa untuk mendorong penyaluran kredit atau
pembiayaan perbankan tersebut, perlu ditingkatkan
kisaran batas bawah dan batas atas yang digunakan
dalam pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial
dan Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
2
20/11/PADG/2018 tentang Rasio
Makroprudensial dan Penyangga
Intermediasi
Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang
Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga
Likuiditas Makroprudensial
bagi Bank Umum
Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6194);
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi
Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/33/PADG/2018
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio
Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO
INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA
LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM
KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA
SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio
3
Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas
Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, dan Unit Usaha Syariah sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/33/PADG/2018 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/11/PADG/2018
tentang
Rasio
Intermediasi
Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial
bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 huruf a dan huruf b diubah sehingga
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Besaran dan parameter yang digunakan dalam
pemenuhan Giro RIM ditetapkan sebagai berikut:
a. batas bawah Target RIM sebesar 84% (delapan puluh
empat persen);
b. batas atas Target RIM sebesar 94% (sembilan puluh
empat persen);
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen);
d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma
satu); dan
e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma
dua).
2. Ketentuan Pasal 12 huruf a dan huruf b diubah sehingga
Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
Besaran dan parameter yang digunakan dalam
pemenuhan Giro RIM Syariah ditetapkan sebagai berikut:
a. batas bawah Target RIM Syariah sebesar 84%
(delapan puluh empat persen);
b. batas atas Target RIM Syariah sebesar 94% (sembilan
puluh empat persen);
4
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen);
d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma
satu); dan
e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma
dua).
3. Lampiran III dan Lampiran IV diubah sehingga menjadi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan Lampiran
IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal II
1. Ketentuan pengenaan sanksi bagi BUK yang melanggar
kewajiban pemenuhan Giro RIM, BUS yang melanggar
kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah, dan UUS yang
melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 sampai dengan
Pasal 47 mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2019.
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku
pada tanggal 1 Juli 2019.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2019............
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/5/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI
MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL
BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Sejalan dengan momentum pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia
akan senantiasa menempuh kebijakan makroprudensial yang akomodatif
guna mendorong pertumbuhan kredit atau pembiayaan ekonomi, dengan
tetap memperhatikan terjaganya stabilitas sistem keuangan. Meskipun saat
ini pertumbuhan fungsi intermediasi perbankan masih terjaga dengan baik,
secara umum, pertumbuhan kredit atau pembiayaan dari industri
perbankan masih dapat ditingkatkan. Terkait dengan hal tersebut, Bank
Indonesia perlu untuk memperkuat kebijakan makroprudensial melalui
penyesuaian kisaran batas bawah dan batas atas yang digunakan dalam
pemenuhan RIM dan RIM Syariah.
Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi
Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank
Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/5/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 29 Maret 2019 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2019 </effective_date>
<changed_reg> '20/11/PADG/2018' </changed_reg>
<extension_of> '20/33/PADG/2018' </extension_of>
<related_reg> '20/11/PADG/2018', '20/4/PBI/2018', '20/33/PADG/2018' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal II Angka 1' </penalty_list>
|
1
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/10/PADG/2019
TENTANG
STANDAR LAYANAN NASABAH DALAM PELAKSANAAN
TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL
MELALUI SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memberikan kepastian kepada masyarakat
dalam memperoleh layanan transfer dana dan layanan
pembayaran reguler pada penyelenggaraan transfer dana
dan kliring berjadwal yang semakin cepat, perlu dilakukan
penyesuaian terhadap standar layanan bagi peserta dalam
melakukan proses penyelesaian transaksi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Standar Layanan Nasabah
dalam Pelaksanaan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal
melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah beberapa kali
2
diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
21/8/PBI/2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6355);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
STANDAR LAYANAN NASABAH DALAM PELAKSANAAN
TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL MELALUI
SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh
Bank Indonesia dalam penyelenggaraan transfer dana dan
kliring berjadwal untuk memproses data keuangan
elektronik pada layanan transfer dana, layanan kliring
warkat debit, layanan pembayaran reguler, dan layanan
penagihan reguler.
2. Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal
adalah kegiatan dalam rangka memproses perhitungan
hak dan kewajiban antarpeserta SKNBI yang setelmennya
dilakukan pada waktu tertentu.
3. Layanan Transfer Dana adalah layanan dalam SKNBI yang
memproses pemindahan sejumlah dana antarpeserta dari
1 (satu) pengirim kepada 1 (satu) penerima.
4. Layanan Kliring Warkat Debit adalah layanan dalam
SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana yang
dilakukan antarpeserta dari 1 (satu) pengirim tagihan
3
kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai dengan fisik
warkat debit.
5. Layanan Pembayaran Reguler adalah layanan dalam
SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana
antarpeserta dari 1 (satu) atau beberapa pengirim kepada
1 (satu) atau beberapa penerima.
6. Layanan Penagihan Reguler adalah layanan dalam SKNBI
yang memproses penagihan sejumlah dana antarpeserta
dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada beberapa penerima
tagihan.
7. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat DKE
adalah data keuangan dalam format elektronik yang
digunakan sebagai dasar perhitungan dalam
penyelenggaraan SKNBI.
8. DKE Transfer Dana adalah DKE yang dibuat berdasarkan
perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam Layanan Transfer Dana.
9. DKE Warkat Debit adalah DKE yang dibuat berdasarkan
perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam Layanan Kliring Warkat Debit.
10. DKE Pembayaran adalah DKE yang dibuat berdasarkan
perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam Layanan Pembayaran Reguler.
11. DKE Penagihan adalah DKE yang dibuat berdasarkan
perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam Layanan Penagihan Reguler.
12. Warkat Debit adalah alat pembayaran nontunai yang
diperhitungkan atas beban nasabah atau bank melalui
Layanan Kliring Warkat Debit.
13. Penyelenggara SKNBI yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah Bank Indonesia.
14. Peserta SKNBI yang selanjutnya disebut Peserta adalah
pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah
memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai
Peserta.
4
BAB II
STANDAR LAYANAN NASABAH
DALAM LAYANAN TRANSFER DANA
Bagian Kesatu
Tata Cara Pengisian Perintah Transfer Dana
Pasal 2
(1) Peserta pengirim harus mensyaratkan kepada nasabah
pengirim untuk mengisi perintah transfer dana secara
lengkap dan benar.
(2) Perintah transfer dana yang dibuat oleh nasabah pengirim
paling sedikit memuat informasi sebagai berikut:
a. identitas nasabah pengirim;
b. identitas nasabah penerima;
c. identitas Peserta penerima;
d. jumlah dana yang ditransfer;
e. tanggal perintah transfer dana; dan
f.
yang berlaku
dicantumkan dalam perintah transfer dana.
(3) Identitas nasabah pengirim sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan identitas nasabah penerima
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit
memuat nama dan nomor rekening.
(4) Identitas Peserta penerima sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c paling sedikit memuat nama Peserta
penerima.
(5) Dalam hal nasabah pengirim tidak memiliki rekening pada
Peserta pengirim, identitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) paling sedikit memuat nama, alamat, nomor
telepon, dan nomor identitas nasabah pengirim.
informasi lain yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan
wajib
5
Bagian Kedua
Tanggung Jawab Peserta Pengirim
Pasal 3
Dalam melaksanakan perintah transfer dana, Peserta pengirim
bertanggung jawab untuk:
a. memastikan kelengkapan pengisian perintah transfer
dana;
b. memastikan kesesuaian DKE Transfer Dana dengan
perintah transfer dana;
c. mengirimkan DKE Transfer Dana kepada Peserta penerima
setelah melakukan pengaksepan perintah transfer dana;
d. mengirimkan kembali DKE Transfer Dana yang tidak
diproses oleh Penyelenggara karena alasan tertentu;
e. menyelesaikan kekeliruan pengiriman DKE Transfer Dana;
dan
f. melakukan pengembalian dana apabila DKE Transfer
Dana dikembalikan oleh Peserta penerima karena alasan
tertentu.
Pasal 4
(1) Pengiriman DKE Transfer Dana kepada Peserta penerima
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, diatur
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta pengirim harus meneruskan perintah transfer
dana dalam bentuk DKE Transfer Dana;
b. pengiriman DKE Transfer Dana sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan pada tanggal
yang sama dengan tanggal diterimanya perintah
transfer dana;
c. pengiriman DKE Transfer Dana pada tanggal yang
sama sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib
dilakukan oleh Peserta pengirim paling lama 1 (satu)
jam sejak pengaksepan perintah transfer dana;
d. DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam
huruf c harus didukung dengan dana yang cukup;
dan
6
e. pendebitan rekening nasabah pengirim harus
dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal
pengiriman DKE Transfer Dana.
(2) Peserta pengirim harus mengirimkan DKE Transfer Dana
pada hari kerja berikutnya paling lama 1 (satu) jam setelah
jam Layanan Transfer Dana dimulai dalam hal perintah
transfer dana dari nasabah diterima oleh Peserta pengirim:
a. kurang dari 1 (satu) jam sebelum jam Layanan
Transfer Dana berakhir di Penyelenggara dan Peserta
pengirim tidak mempunyai cukup waktu untuk
meneruskan perintah transfer dana; atau
b. setelah berakhirnya jam layanan nasabah yang
ditetapkan oleh Peserta.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
ayat (1) huruf c, dan ayat (2) dikecualikan sepanjang
terdapat kesepakatan antara nasabah pengirim dan
Peserta pengirim.
(4) Dalam hal pendebitan rekening nasabah dilakukan lebih
awal dari tanggal pengiriman DKE Transfer Dana, Peserta
pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200
(dua ratus) basis points.
(5) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal pendebitan rekening nasabah
pengirim sampai dengan tanggal Peserta pengirim
mengirimkan DKE Transfer Dana, dengan rumus jumlah
hari keterlambatan x (jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim + 2)%
x 1/365 x nominal dana yang ditransfer.
Pasal 5
Pengiriman kembali DKE Transfer Dana yang tidak diproses
oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf d, diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
7
a. Peserta pengirim membuat dan mengirimkan kembali DKE
Transfer Dana pada:
1. tanggal yang sama; atau
2. pada hari kerja berikutnya paling lama 1 (satu) jam
setelah jam Layanan Transfer Dana dimulai;
b. dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta pengirim
wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada
jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening
nasabah pengirim; dan
c.
jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal pendebitan rekening nasabah
pengirim sampai dengan tanggal Peserta pengirim
mengirimkan kembali DKE Transfer Dana, dengan rumus
jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan,
atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim x
1/365 x nominal dana yang ditransfer.
Pasal 6
(1) Penyelesaian kekeliruan pengiriman DKE Transfer Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, diatur
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Transfer
Dana pada tanggal yang sama dengan pengaksepan
perintah transfer dana atas beban Peserta pengirim;
b. dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga,
imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim
yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan,
atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim;
dan
c.
jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal pendebitan rekening nasabah
8
pengirim sampai dengan tanggal Peserta pengirim
mengirimkan kembali DKE Transfer Dana, dengan
rumus jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa,
bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis
rekening nasabah pengirim x 1/365 x nominal dana
yang ditransfer.
(2) Peserta pengirim dapat meminta pengembalian dana
akibat kekeliruan pengiriman DKE Transfer Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai penyerahan
surat pernyataan pembebasan tanggung jawab (indemnity)
kepada Peserta penerima.
(3) Peserta penerima harus melaksanakan permintaan
pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 7
(1) Pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf f diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengembalian dana oleh Peserta pengirim kepada
nasabah pengirim dilakukan melalui:
1. pengkreditan rekening nasabah pengirim; atau
2. penyampaian pemberitahuan kepada nasabah
pengirim untuk mengambil kembali dana, dalam
hal nasabah pengirim tidak memiliki rekening di
Peserta pengirim;
b. pengkreditan
rekening
nasabah pengirim
sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1
dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal
pengembalian DKE Transfer Dana; dan
c. pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a angka 2 dilakukan pada tanggal yang sama dengan
tanggal pengembalian DKE Transfer Dana oleh
Peserta penerima.
9
(2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf c, Peserta pengirim harus membayar jasa,
bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah
pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga,
imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah
pengirim, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points.
(3) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal pengembalian DKE Transfer Dana
sampai dengan tanggal Peserta pengirim melakukan
pengkreditan rekening nasabah pengirim atau
menyampaikan pemberitahuan kepada nasabah pengirim,
dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa,
bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening
nasabah pengirim + 2)% x 1/365 x nominal dana yang
ditransfer.
Bagian Ketiga
Tanggung Jawab Peserta Penerima
Pasal 8
Dalam melaksanakan perintah transfer dana, Peserta penerima
bertanggung jawab untuk:
a. meneruskan dana kepada nasabah penerima setelah
melakukan pengaksepan atas hasil verifikasi DKE Transfer
Dana;
b. menyelesaikan kekeliruan penerusan dana kepada
nasabah penerima yang tidak berhak; dan
c. mengembalikan dana kepada Peserta pengirim karena
alasan tertentu.
Pasal 9
(1) Penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, diatur dengan ketentuan
sebagai berikut:
10
a. Peserta penerima meneruskan dana kepada nasabah
penerima setelah melakukan pengaksepan atas hasil
verifikasi DKE Transfer Dana yang diterima dari
Peserta pengirim;
b. penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf
a wajib dilakukan pada tanggal yang sama dengan
tanggal setelmen dana oleh Penyelenggara;
c. penerusan dana pada tanggal yang sama
sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib
dilakukan paling lama 1 (satu) jam setelah setelmen
dana oleh Penyelenggara;
d. penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dilakukan melalui pengkreditan rekening nasabah
penerima; dan
e. batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf c
tidak berlaku dalam hal terdapat perbedaan nama
atau nomor rekening nasabah penerima dengan
nama atau nomor rekening nasabah penerima yang
ditatausahakan oleh Peserta penerima.
(2) Peserta penerima dapat melakukan pengkreditan rekening
nasabah penerima setelah Peserta penerima melakukan
download confirmed incoming DKE Transfer Dana.
(3) Dalam hal Peserta penerima tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga, imbalan,
atau kompensasi kepada nasabah penerima yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah penerima, ditambah dengan 200
(dua ratus) basis points.
(4) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal setelmen dana sampai dengan
tanggal Peserta penerima melakukan pengkreditan
rekening nasabah penerima, dengan rumus jumlah hari
keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi untuk jenis rekening nasabah penerima + 2)%
x 1/365 x nominal dana yang ditransfer.
11
(5) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan 200 (dua
ratus) basis points sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak
berlaku apabila Peserta penerima menunda penerusan
dana berdasarkan:
a. permintaan pihak yang berwenang; atau
b. ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 10
Penyelesaian kekeliruan penerusan dana kepada nasabah
penerima yang tidak berhak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf b, diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta penerima melakukan pengkreditan rekening
nasabah penerima yang berhak pada tanggal yang sama
dengan tanggal setelmen dana oleh Penyelenggara;
b. pengkreditan rekening nasabah penerima yang berhak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan tanpa
menunggu pengembalian dana dari nasabah penerima
yang tidak berhak;
c. dalam hal Peserta penerima tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta
penerima wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi kepada nasabah penerima yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah penerima, ditambah dengan 200
(dua ratus) basis points;
d. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf c dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal setelmen dana sampai dengan
tanggal pengkreditan rekening nasabah penerima yang
berhak, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x
(tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk
jenis rekening nasabah penerima + 2)% x 1/365 x nominal
dana yang ditransfer.
12
Pasal 11
(1) Pengembalian dana kepada Peserta pengirim karena
alasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf c, diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengembalian dana kepada Peserta pengirim
dilakukan dalam hal:
1. berdasarkan hasil verifikasi, Peserta penerima
tidak dapat meneruskan dana kepada nasabah
penerima; atau
2. Peserta pengirim mengajukan permintaan
pengembalian dana karena kekeliruan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
dan
b. dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud
dalam huruf a angka 2 dan Peserta penerima telah
meneruskan dana sesuai dengan perintah transfer
dana dari Peserta pengirim maka Peserta penerima
harus memberikan tanggapan kepada Peserta
pengirim paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
tanggal permintaan pengembalian dana dari Peserta
pengirim.
(2) Peserta penerima harus membantu penyelesaian
pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB III
STANDAR LAYANAN NASABAH
DALAM LAYANAN KLIRING WARKAT DEBIT
Bagian Kesatu
Tata Cara Pengisian Perintah Transfer Debit
Pasal 12
(1) Perintah transfer debit yang dibuat oleh nasabah pengirim
paling kurang memuat:
a. identitas nasabah pengirim;
b. jenis Warkat Debit;
c. tanggal perintah transfer debit;
13
d. jumlah dana yang ditagih;
e. identitas nasabah penerima; dan
f.
informasi lain yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku
dicantumkan dalam perintah transfer debit.
(2) Identitas nasabah pengirim sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a paling sedikit memuat nama dan nomor
rekening.
(3) Dalam hal nasabah pengirim tidak memiliki rekening pada
Peserta pengirim, identitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a paling sedikit memuat nama, alamat,
nomor telepon, dan nomor identitas nasabah pengirim.
(4) Jenis Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas:
a. cek;
b.
bilyet giro;
c. nota debit; dan
d. Warkat Debit lainnya yang disetujui oleh
Penyelenggara untuk dikliringkan.
Bagian Kedua
Tanggung Jawab Peserta Pengirim
Pasal 13
Dalam melaksanakan perintah transfer debit, Peserta pengirim
bertanggung jawab untuk:
a. menerima Warkat Debit dengan memperhatikan ketentuan
yang berlaku;
b. memastikan kesesuaian DKE Warkat Debit dengan data
pada Warkat Debit yang menjadi dasar pembuatan DKE
Warkat Debit;
c. mengirimkan DKE Warkat Debit dan Warkat Debit kepada
Peserta penerima setelah melakukan pengaksepan
perintah transfer debit;
wajib
14
d. menyelesaikan kekeliruan dalam pengiriman DKE Warkat
Debit; dan
e. meneruskan dana kepada nasabah pengirim.
Pasal 14
(1) Pengiriman DKE Warkat Debit dan Warkat Debit kepada
Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf c, diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta pengirim meneruskan perintah transfer debit
dalam bentuk DKE Warkat Debit disertai dengan
Warkat Debit;
b. pengiriman DKE Warkat Debit sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan pada:
1. tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya
Warkat Debit dari nasabah; atau
2. paling lambat hari kerja berikutnya apabila
Warkat Debit diterima setelah berakhirnya jam
layanan nasabah;
c. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b
dapat dikecualikan sepanjang terdapat kesepakatan
lain antara nasabah pengirim dengan Peserta
pengirim; dan
d. khusus untuk wilayah kliring yang memberlakukan
penyelesaian lebih dari 1 (satu) hari kerja, pengiriman
DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam
huruf b dapat dilakukan oleh Peserta pengirim 1
(hari) kerja sebelum tanggal berlakunya Warkat
Debit.
(2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan,
atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200
(dua ratus) basis points.
15
(3) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal pengaksepan perintah transfer
debit sampai dengan tanggal Peserta pengirim
mengirimkan DKE Warkat Debit, dengan rumus jumlah
hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim + 2)%
x 1/365 x nominal dana yang ditagih.
(4) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan 200 (dua
ratus) basis points sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku apabila Peserta pengirim menunda
pengiriman DKE Warkat Debit berdasarkan:
a. permintaan pihak yang berwenang; atau
b. ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 15
Penyelesaian kekeliruan pengiriman DKE Warkat Debit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d, diatur dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Warkat Debit
atas beban Peserta pengirim sesuai dengan perintah
transfer debit pada tanggal yang sama dengan tanggal
pengaksepan perintah transfer debit;
b. dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta
pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah pengirim; dan
16
c.
jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal pengaksepan perintah transfer
debit sampai dengan tanggal Peserta pengirim
mengirimkan kembali DKE Warkat Debit, dengan rumus
jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan,
atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim
x 1/365 x nominal dana yang ditagih.
Pasal 16
(1) Penerusan dana kepada nasabah pengirim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf e, diatur dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta pengirim wajib meneruskan dana hasil
penagihan Warkat Debit kepada nasabah pengirim
setelah setelmen dana oleh Penyelenggara;
b. untuk nasabah pengirim yang memiliki rekening di
Peserta pengirim, penerusan dana sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan melalui
pengkreditan rekening nasabah pengirim pada
tanggal yang sama dengan tanggal setelmen dana;
dan
c. untuk nasabah pengirim yang tidak memiliki
rekening di Peserta pengirim maka Peserta pengirim
menyampaikan pemberitahuan kepada nasabah
pengirim pada tanggal yang sama dengan tanggal
setelmen dana atau paling lambat pada hari kerja
berikutnya.
(2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta
pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200
(dua ratus) basis points.
17
(3) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal setelmen dana sampai dengan
tanggal pelaksanaan pengkreditan pada rekening nasabah
pengirim, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x
(tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk
jenis rekening nasabah pengirim + 2)% x 1/365 x nominal
dana yang ditagih.
(4) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan 200 (dua
ratus) basis points sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku apabila Peserta pengirim menunda
penerusan dana berdasarkan:
a. permintaan pihak yang berwenang; atau
b. ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bagian Ketiga
Tanggung Jawab Peserta Penerima
Pasal 17
Dalam melaksanakan perintah transfer debit, Peserta penerima
bertanggung jawab untuk:
a. melakukan verifikasi Warkat Debit yang diterima dengan
memperhatikan ketentuan yang berlaku; dan
b. memproses DKE Warkat Debit yang diterima dari Peserta
pengirim.
Pasal 18
Pemrosesan DKE Warkat Debit yang diterima dari Peserta
pengirim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b,
diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta penerima memproses DKE Warkat Debit yang
diterima sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
b. dalam hal Warkat Debit telah memenuhi persyaratan
untuk dibayarkan namun tidak didukung dengan prefund
debit yang cukup, Peserta penerima wajib melakukan
pembayaran di luar kliring kepada Peserta pengirim pada
18
tanggal yang sama dengan tanggal penolakan DKE Warkat
Debit;
c. dalam hal Peserta penerima tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Peserta
penerima wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi kepada nasabah pengirim melalui Peserta
pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga,
imbalan, atau kompensasi pada rekening di Peserta
penerima; dan
d. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf c dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal penolakan sampai dengan Peserta
penerima melakukan pembayaran, dengan rumus jumlah
hari keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi untuk jenis rekening di Peserta penerima x
1/365 x nominal dana yang ditagih.
BAB IV
STANDAR LAYANAN NASABAH
DALAM LAYANAN PEMBAYARAN REGULER
Bagian Kesatu
Tata Cara Pengisian Perintah Transfer Dana
Pasal 19
(1) Peserta pengirim harus mensyaratkan kepada nasabah
pengirim untuk mengisi perintah transfer dana secara
lengkap dan benar.
(2) Perintah transfer dana yang dibuat oleh nasabah pengirim
paling sedikit memuat informasi sebagai berikut:
a. identitas nasabah pengirim;
b. identitas nasabah penerima;
c. identitas Peserta penerima;
d. jumlah dana yang ditransfer;
19
e. tanggal perintah transfer dana; dan
f.
informasi lain yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku
dicantumkan dalam perintah transfer dana.
(3) Identitas nasabah pengirim sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan identitas nasabah penerima
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit
memuat nama dan nomor rekening.
(4) Identitas Peserta penerima sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c paling sedikit memuat nama Peserta
penerima.
Bagian Kedua
Tanggung Jawab Peserta Pengirim
Pasal 20
Dalam melaksanakan perintah transfer dana, Peserta pengirim
bertanggung jawab untuk:
a. memastikan kelengkapan pengisian perintah transfer
dana;
b. memastikan kesesuaian DKE Pembayaran dengan
perintah transfer dana;
c. mengirimkan DKE Pembayaran kepada Peserta penerima
setelah melakukan pengaksepan perintah transfer dana;
d. mengirimkan kembali DKE Pembayaran yang tidak
diproses oleh Penyelenggara karena alasan tertentu;
e. menyelesaikan kekeliruan pengiriman DKE Pembayaran;
dan
f. melakukan pengembalian dana apabila DKE Pembayaran
dikembalikan oleh Peserta penerima karena alasan
tertentu.
Pasal 21
(1) Pengiriman DKE Pembayaran kepada Peserta penerima
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c, diatur
dengan ketentuan sebagai berikut:
wajib
20
a. Peserta pengirim harus meneruskan perintah transfer
dana dalam bentuk DKE Pembayaran;
b. pengiriman DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dilakukan pada tanggal yang sama
dengan tanggal diterimanya perintah transfer dana;
c. pengiriman DKE Pembayaran pada tanggal yang
sama sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib
dilakukan oleh Peserta pengirim paling lama 1 (satu)
jam sejak pengaksepan perintah transfer dana;
d. DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
huruf c harus didukung dengan dana yang cukup;
dan
e. pendebitan rekening nasabah pengirim harus
dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal
pengiriman DKE Pembayaran.
(2) Peserta pengirim harus mengirimkan DKE Pembayaran
pada hari kerja berikutnya paling lama 1 (satu) jam setelah
jam Layanan Pembayaran Reguler dimulai dalam hal
perintah transfer dana dari nasabah diterima oleh Peserta
pengirim:
a. kurang dari 1 (satu) jam sebelum jam Layanan
Pembayaran Reguler berakhir di Penyelenggara dan
Peserta pengirim tidak mempunyai cukup waktu
untuk meneruskan perintah transfer dana; atau
b. setelah berakhirnya jam layanan nasabah yang
ditetapkan oleh Peserta.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
ayat (1) huruf c, dan ayat (2) dikecualikan sepanjang
terdapat kesepakatan antara nasabah pengirim dan
Peserta pengirim.
(4) Dalam hal pendebitan rekening nasabah dilakukan lebih
awal dari tanggal pengiriman DKE Pembayaran, Peserta
pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200
(dua ratus) basis points.
21
(5) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal pendebitan rekening nasabah
pengirim sampai dengan tanggal Peserta pengirim
mengirimkan DKE Pembayaran, dengan rumus jumlah
hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim + 2)%
x 1/365 x nominal dana yang ditransfer.
Pasal 22
Pengiriman kembali DKE Pembayaran yang tidak diproses oleh
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d,
diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta pengirim membuat dan mengirimkan kembali DKE
Pembayaran pada:
1. tanggal yang sama; atau
2. pada hari kerja berikutnya paling lama 1 (satu) jam
setelah jam Layanan Pembayaran Reguler dimulai;
b. dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta pengirim
wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada
jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening
nasabah pengirim; dan
c.
jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal pendebitan rekening nasabah
pengirim sampai dengan tanggal Peserta pengirim
mengirimkan kembali DKE Pembayaran, dengan rumus
jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan,
atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim x
1/365 x nominal dana yang ditransfer.
22
Pasal 23
(1) Penyelesaian kekeliruan pengiriman DKE Pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e, diatur
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE
Pembayaran pada tanggal yang sama dengan
pengaksepan perintah transfer dana atas beban
Peserta pengirim;
b. dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga,
imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim
yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan,
atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim;
dan
c.
jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal pendebitan rekening nasabah
pengirim sampai dengan tanggal Peserta pengirim
mengirimkan kembali DKE Pembayaran, dengan
rumus jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa,
bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis
rekening nasabah pengirim x 1/365 x nominal dana
yang ditransfer.
(2) Peserta pengirim dapat meminta pengembalian dana
akibat kekeliruan pengiriman DKE Pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai penyerahan
surat pernyataan pembebasan tanggung jawab (indemnity)
kepada Peserta penerima.
(3) Peserta penerima harus melaksanakan permintaan
pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
23
Pasal 24
(1) Pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 huruf f, diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengembalian dana oleh Peserta pengirim kepada
nasabah pengirim melalui pengkreditan rekening
nasabah pengirim; dan
b. pengkreditan
rekening
nasabah pengirim
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan
pada tanggal yang sama dengan tanggal
pengembalian DKE Pembayaran.
(2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
Peserta pengirim harus membayar jasa, bunga, imbalan,
atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200
(dua ratus) basis points.
(3) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal pengembalian DKE Pembayaran
sampai dengan tanggal Peserta pengirim melakukan
pengkreditan rekening nasabah pengirim, dengan rumus
jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan,
atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim +
2)% x 1/365 x nominal dana yang ditransfer.
Bagian Ketiga
Tanggung Jawab Peserta Penerima
Pasal 25
Dalam melaksanakan perintah transfer dana, Peserta penerima
bertanggung jawab untuk:
a. meneruskan dana kepada nasabah penerima setelah
melakukan pengaksepan atas hasil verifikasi DKE
Pembayaran;
24
b. menyelesaikan kekeliruan penerusan dana kepada
nasabah penerima yang tidak berhak; dan
c. mengembalikan dana kepada Peserta pengirim karena
alasan tertentu.
Pasal 26
(1) Penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 huruf a, diatur dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta penerima meneruskan dana kepada nasabah
penerima setelah melakukan pengaksepan atas hasil
verifikasi DKE Pembayaran yang diterima dari Peserta
pengirim;
b. penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf
a wajib dilakukan pada tanggal yang sama dengan
tanggal setelmen dana oleh Penyelenggara;
c. penerusan dana pada tanggal yang sama
sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib
dilakukan paling lama 1 (satu) jam setelah setelmen
dana oleh Penyelenggara;
d. penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dilakukan melalui pengkreditan rekening nasabah
penerima; dan
e. batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf c
tidak berlaku dalam hal terdapat perbedaan nama
atau nomor rekening nasabah penerima dengan
nama atau nomor rekening nasabah penerima yang
ditatausahakan oleh Peserta penerima.
(2) Peserta penerima dapat melakukan pengkreditan rekening
nasabah penerima setelah Peserta penerima melakukan
download confirmed incoming DKE Pembayaran.
25
(3) Dalam hal Peserta penerima tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga, imbalan,
atau kompensasi kepada nasabah penerima yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah penerima, ditambah dengan 200
(dua ratus) basis points.
(4) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal setelmen dana sampai dengan
tanggal Peserta penerima melakukan pengkreditan
rekening nasabah penerima, dengan rumus jumlah hari
keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi untuk jenis rekening nasabah penerima + 2)%
x 1/365 x nominal dana yang ditransfer.
(5) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan 200 (dua
ratus) basis points sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak
berlaku apabila Peserta penerima menunda penerusan
dana berdasarkan:
a. permintaan pihak yang berwenang; atau
b. ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 27
Penyelesaian kekeliruan penerusan dana kepada nasabah
penerima yang tidak berhak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 huruf b, diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta penerima melakukan pengkreditan rekening
nasabah penerima yang berhak pada tanggal yang sama
dengan tanggal setelmen dana oleh Penyelenggara;
b. pengkreditan rekening nasabah penerima yang berhak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan tanpa
menunggu pengembalian dana dari nasabah penerima
yang tidak berhak;
c. dalam hal Peserta penerima tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta
penerima wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau
26
kompensasi kepada nasabah penerima yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah penerima, ditambah dengan 200
(dua ratus) basis points;
d. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf c dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal setelmen dana sampai dengan
tanggal pengkreditan rekening nasabah penerima yang
berhak, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x
(tingkat jasa, bunga, atau kompensasi untuk jenis
rekening nasabah penerima + 2)% x 1/365 x nominal dana
yang ditransfer.
Pasal 28
(1) Pengembalian dana kepada Peserta pengirim karena
alasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
huruf c, diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengembalian dana kepada Peserta pengirim
dilakukan dalam hal:
1. berdasarkan hasil verifikasi Peserta penerima
tidak dapat meneruskan dana kepada nasabah
penerima; atau
2. Peserta pengirim mengajukan permintaan
pengembalian dana karena kekeliruan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2);
dan
b. dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud
dalam huruf a angka 2 dan Peserta penerima telah
meneruskan dana sesuai dengan perintah transfer
dana dari Peserta pengirim maka Peserta penerima
harus memberikan tanggapan kepada Peserta
pengirim paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
tanggal permintaan pengembalian dana dari Peserta
pengirim.
(2) Peserta penerima harus membantu penyelesaian
pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
27
BAB V
STANDAR LAYANAN NASABAH
DALAM LAYANAN PENAGIHAN REGULER
Bagian Kesatu
Tata Cara Pengisian Perintah Transfer Debit
Pasal 29
(1) Perintah transfer debit yang dibuat oleh nasabah pengirim
paling kurang memuat:
a. identitas nasabah pengirim;
b. tanggal perintah transfer debit;
c. jumlah dana yang ditagih;
d. identitas nasabah penerima; dan
e. informasi lain yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku
dicantumkan dalam perintah transfer debit.
(2) Identitas nasabah pengirim sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan identitas nasabah penerima
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling
kurang memuat nama dan nomor rekening.
Bagian Kedua
Tanggung Jawab Peserta Pengirim
Pasal 30
Dalam melaksanakan perintah transfer debit, Peserta pengirim
bertanggung jawab untuk:
a. memastikan kesesuaian DKE Penagihan dengan perintah
transfer debit yang disampaikan oleh nasabah pengirim;
b. mengirimkan DKE Penagihan kepada Peserta penerima
setelah melakukan pengaksepan perintah transfer debit;
c. menyelesaikan kekeliruan dalam pengiriman DKE
Penagihan; dan
d. meneruskan dana kepada nasabah pengirim.
wajib
28
Pasal 31
(1) Pengiriman DKE Penagihan kepada Peserta penerima
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b, diatur
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta pengirim meneruskan perintah transfer debit
dalam bentuk DKE Penagihan; dan
b. pengiriman DKE Penagihan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dilakukan pada tanggal yang sama
dengan tanggal perintah transfer debit.
(2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan,
atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200
(dua ratus) basis points.
(3) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal pengaksepan perintah transfer
debit sampai dengan tanggal Peserta pengirim
mengirimkan DKE Penagihan, dengan rumus jumlah hari
keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim + 2)%
x 1/365 x nominal dana yang ditagih.
(4) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan 200 (dua
ratus) basis points sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku apabila Peserta pengirim menunda
pengiriman DKE Penagihan berdasarkan:
a. permintaan pihak yang berwenang; atau
b. ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 32
Penyelesaian
kekeliruan pengiriman DKE Penagihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c, diatur dengan
ketentuan sebagai berikut:
29
a. Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Penagihan
atas beban Peserta pengirim sesuai dengan perintah
transfer debit pada tanggal yang sama dengan tanggal
pengaksepan perintah transfer debit;
b. dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta
pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah pengirim; dan
c.
jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal pengaksepan perintah transfer
debit sampai dengan tanggal Peserta pengirim
mengirimkan DKE Penagihan, dengan rumus jumlah hari
keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan, atau
kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim x
1/365 x nominal dana yang ditagih.
Pasal 33
(1) Penerusan dana kepada nasabah pengirim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 huruf d, diatur dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta pengirim wajib meneruskan dana hasil
penagihan kepada nasabah pengirim setelah
setelmen dana oleh Penyelenggara; dan
b. penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dilakukan melalui pengkreditan rekening nasabah
pengirim pada tanggal yang sama dengan tanggal
setelmen dana.
(2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan,
atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya
didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi
pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200
(dua ratus) basis points;
30
(3) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal setelmen dana sampai dengan
tanggal pelaksanaan pengkreditan rekening nasabah
pengirim, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x
(tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk
jenis rekening nasabah pengirim + 2)% x 1/365 x nominal
dana yang ditagih.
(4) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan 200 (dua
ratus) basis points sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku apabila Peserta pengirim menunda
penerusan dana berdasarkan:
a. permintaan pihak yang berwenang; atau
b. ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bagian Ketiga
Tanggung Jawab Peserta Penerima
Pasal 34
(1) Dalam melaksanakan perintah transfer debit, Peserta
penerima bertanggung jawab memproses DKE Penagihan
yang diterima dari Peserta pengirim.
(2) Pemrosesan DKE Penagihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peserta penerima memproses DKE Penagihan yang
diterima sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
b. dalam hal DKE Penagihan telah memenuhi
persyaratan untuk dibayarkan namun tidak
didukung dengan prefund debit yang cukup, Peserta
penerima wajib melakukan pembayaran tagihan di
luar kliring kepada Peserta pengirim pada tanggal
yang sama dengan tanggal penolakan DKE
Penagihan;
c. dalam hal Peserta penerima tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b,
Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga,
31
imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim
melalui Peserta pengirim yang besarnya didasarkan
pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada
rekening di Peserta penerima; dan
d.
jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam huruf c dihitung berdasarkan hari
kalender, sejak tanggal penolakan sampai dengan
Peserta penerima melakukan pembayaran, dengan
rumus jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa,
bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis
rekening di Peserta penerima x 1/365 x nominal dana
yang ditagih.
BAB VI
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 35
(1) Peserta pengirim yang tidak memenuhi kewajiban
pengiriman DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c dan/atau DKE Pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c
dikenai sanksi administratif berupa kewajiban membayar.
(2) Peserta penerima yang tidak memenuhi kewajiban
penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dan/atau Pasal
26 ayat (1) huruf c dikenai sanksi administratif berupa
sanksi kewajiban membayar.
(3) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan
mendebit rekening setelmen dana Peserta.
(4) Pendebitan rekening setelmen dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak periode pemantauan berakhir.
32
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku maka:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/14/DPSP tanggal
5 Juni 2015 perihal Perlindungan Nasabah dalam
Pelaksanaan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal melalui
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/9/DPSP tanggal
2 Mei 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 17/14/DPSP tanggal 5 Juni 2015 perihal
Perlindungan Nasabah dalam Pelaksanaan Transfer Dana
dan Kliring Berjadwal melalui Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 37
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 1 September 2019.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
dengan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
SUGENG
2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/10/PADG/2019
TENTANG
STANDAR LAYANAN NASABAH DALAM PELAKSANAAN
TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL MELALUI
SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA
I. UMUM
Bank Indonesia selalu berupaya untuk meningkatkan efisiensi
penyelesaian transaksi di masyarakat melalui penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran yang semakin cepat dengan tetap memperhatikan perlindungan
kepada nasabah. Untuk memastikan kebijakan percepatan setelmen dana
dirasakan oleh masyarakat, Bank Indonesia melakukan penyesuaian
terhadap standar layanan pemrosesan transaksi yang harus diberikan
Peserta kepada nasabahnya dari 2 (dua) jam menjadi 1 (satu) jam.
Pemberlakuan standar layanan tersebut tidak hanya mencakup dari sisi
Peserta pengirim dalam meneruskan perintah transfer dana yang diterima
dari nasabah namun juga dari sisi Peserta penerima untuk meneruskan
dana kepada nasabah penerima.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
2
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โketentuan peraturan perundangan-
undangan yang berlakuโ antara lain ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai:
1. transfer dana;
2. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan terorisme; dan
3. prinsip mengenal nasabah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โmelakukan pengaksepan perintah
transfer danaโ adalah apabila Peserta pengirim telah:
1. melakukan pendebitan rekening nasabah pengirim;
3
2. menerbitkan perintah transfer dana yang dimaksudkan
untuk melaksanakan perintah transfer dana dari nasabah
pengirim; atau
3. menyampaikan pemberitahuan pengaksepan kepada
nasabah pengirim melalui media yang disepakati.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โalasan tertentuโ antara lain:
1. DKE Transfer Dana tidak didukung dengan dana yang
cukup; atau
2. sandi Peserta penerima tidak valid.
Huruf e
Yang dimaksud dengan โkekeliruan pengiriman DKE Transfer
Danaโ antara lain Peserta pengirim melakukan pengiriman DKE
Transfer Dana yang tidak sesuai dengan perintah transfer dana
yang dibuat oleh nasabah pengirim.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โalasan tertentuโ antara lain:
1. nama dan nomor rekening nasabah penerima tidak ada
dalam administrasi Peserta penerima; dan/atau
2. rekening nasabah penerima telah ditutup.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Nasabah memberikan perintah transfer dana dengan nominal
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei
2019 pukul 10.00 dan rekeningnya telah didebit pada tanggal
yang sama. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5%
(lima persen) per tahun. Namun demikian, Peserta pengirim baru
4
mengirimkan DKE Transfer Dana pada tanggal 13 Mei 2019.
Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan
bunga sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 (dua ratus) basis
points selama 3 (tiga) hari, dengan perhitungan sebagai berikut:
3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00
365
Pasal 5
Huruf a
Angka 1
Pengiriman kembali DKE Transfer Dana dilakukan pada
tanggal yang sama apabila Penyelenggara tidak melakukan
pemrosesan DKE Transfer Dana dengan alasan selain DKE
Transfer Dana tidak didukung dengan dana yang cukup.
Angka 2
Pengiriman kembali DKE Transfer Dana dilakukan pada hari
kerja berikutnya apabila Penyelenggara tidak melakukan
pemrosesan DKE Transfer Dana dengan alasan DKE Transfer
Dana tidak didukung dengan dana yang cukup.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh:
Nasabah memberikan perintah transfer dana dengan nominal
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 9 Mei
2019 pukul 15.00. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu
sebesar 5% (lima persen) per tahun. Peserta pengirim
mengirimkan DKE Transfer Dana pada tanggal yang sama.
Namun demikian, DKE Transfer Dana tersebut tidak diproses oleh
Penyelenggara karena tidak didukung dengan dana yang cukup.
Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Transfer Dana pada
tanggal 10 Mei 2019 pukul 11.00. Berdasarkan hal tersebut,
Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima
persen) selama 1 (satu) hari, dengan perhitungan sebagai berikut:
1 x 5% x Rp2.000.000,00
365
= Rp273,97
= Rp1.150,69
5
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh:
Nasabah memberikan perintah transfer dana dengan
nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada
tanggal 10 Mei 2019 dan rekeningnya telah didebit pada
tanggal yang sama. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu
sebesar 5% (lima persen) per tahun. Pengiriman DKE
Transfer Dana dilakukan pada tanggal yang sama. Namun
demikian, Peserta pengirim melakukan kesalahan yang
mengakibatkan dana ditujukan kepada nasabah yang tidak
berhak. Peserta pengirim baru mengirimkan DKE Transfer
Dana yang baru pada tanggal 14 Mei 2019. Berdasarkan hal
tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar
5% (lima persen) selama 4 (empat) hari, dengan perhitungan
sebagai berikut:
4 x 5% x Rp2.000.000,00
365
Ayat (2)
Surat pernyataan pembebasan tanggung jawab (indemnity) paling
sedikit berisi:
a. pembebasan tanggung jawab Peserta penerima, termasuk
seluruh karyawannya dan pihak lainnya yang terkait dengan
pengembalian dana, terhadap kemungkinan gugatan atau
tindakan hukum lainnya akibat pengembalian dana yang
dilakukan oleh Peserta penerima; dan
b. kesediaan Peserta pengirim untuk menanggung segala akibat
hukum yang timbul akibat pengembalian dana oleh Peserta
penerima.
Ayat (3)
Cukup jelas.
= Rp1.095,89
6
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pemberitahuan merupakan dasar bagi nasabah
pengirim untuk mengambil kembali dana di Peserta
pengirim.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โalasan tertentuโ antara lain Peserta
pengirim melakukan kekeliruan dalam pengiriman DKE Transfer
Dana.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
7
Ayat (4)
Contoh:
Peserta penerima memperoleh DKE Transfer Dana dengan
nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal
10 Mei 2019. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5%
(lima persen) per tahun. Namun demikian, Peserta penerima
melakukan penerusan dana pada tanggal 13 Mei 2015 ke
rekening nasabah penerima. Berdasarkan hal tersebut, Peserta
penerima wajib memberikan bunga kepada nasabah penerima
sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 basis points selama 3
(tiga) hari, dengan perhitungan sebagai berikut:
3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00
365
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpihak yang berwenangโ antara lain
kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan, dan pengadilan.
Huruf b
Yang dimaksud โketentuan peraturan perundang-undanganโ
antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai:
a. pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit
valuta asing oleh Bank;
b. prinsip mengenal nasabah; dan
c. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
= Rp1.150,69
8
Huruf d
Contoh:
Peserta penerima memperoleh DKE Transfer Dana dengan
nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal
10 Mei 2019. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5%
(lima persen) per tahun. Namun demikian, Peserta penerima
melakukan kekeliruan sehingga mengakibatkan dana diterima
oleh nasabah yang tidak berhak. Peserta penerima melakukan
penerusan dana kembali pada tanggal 14 Mei 2019 ke rekening
nasabah penerima yang berhak. Berdasarkan hal tersebut,
Peserta penerima wajib memberikan bunga kepada nasabah
penerima yang berhak sebesar 5% (lima persen) ditambah 200
basis points selama 4 (empat) hari, dengan perhitungan sebagai
berikut:
4 x (5% +2%) x Rp2.000.000,00
365
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tanggapan kepada Peserta pengirim dilakukan dengan
mempertimbangkan pembebasan
tanggung
= Rp1.534,25
jawab
(indemnity) yang diterima dari Peserta pengirim dan
kebijakan serta ketentuan internal Peserta penerima.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โmembantu penyelesaian pengembalian
danaโ antara lain berupa memberikan data terkait dengan
pengkreditan rekening nasabah penerima yang tidak berhak.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
9
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โperaturan perundangan-undangan
yang berlakuโ antara lain ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai:
a. transfer dana;
b. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan terorisme; dan
c. prinsip mengenal nasabah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Yang dimaksud dengan โmenerima Warkat Debitโ adalah
penerimaan Warkat Debit dari nasabah yang memiliki tagihan.
Yang dimaksud dengan โketentuan yang berlakuโ antara lain
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai:
1. cek dan bilyet giro; dan
2. penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh
Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
10
Huruf d
Kekeliruan dalam pengiriman DKE Warkat Debit dapat
disebabkan oleh:
1. DKE Warkat Debit tidak sesuai dengan data pada Warkat
Debit yang diterima; atau
2. DKE Warkat Debit dikirim tanpa disertai Warkat Debit atau
sebaliknya,
sehingga ditolak oleh Peserta penerima.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Penerusan perintah transfer debit dalam bentuk DKE
Warkat Debit pada tanggal yang sama dilakukan apabila
Warkat Debit diterima dalam jam layanan nasabah dan
Peserta pengirim mempunyai cukup waktu untuk
mengkliringkannya.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Nasabah pengirim di Kota Denpasar menyetorkan Warkat Debit
yang telah jatuh tempo dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00
(dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019 kepada Peserta
pengirim. Bunga rekening giro yaitu sebesar 5% (lima persen) per
11
tahun. Peserta pengirim baru mengkliringkan Warkat Debit dan
mengirimkan DKE Warkat Debit tersebut pada tanggal 13 Mei
2019. Peserta penerima tidak melakukan penolakan atas Warkat
Debit tersebut dan setelmen dana dapat dilakukan pada tanggal
yang sama. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib
memberikan bunga sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 (dua
ratus) basis points selama 3 (tiga) hari, dengan perhitungan
sebagai berikut:
3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00
365
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpihak yang berwenangโ antara lain
kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan, dan pengadilan.
Huruf b
Yang dimaksud โperaturan perundang-undanganโ antara
lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai:
a. penerapan prinsip mengenal nasabah; dan
b. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh:
Nasabah pengirim di Kota Denpasar menyetorkan Warkat Debit
yang telah jatuh tempo pada tanggal 09 Mei 2019 pukul 09.00
kepada Peserta pengirim. Bunga rekening giro yaitu sebesar 5%
(lima persen) per tahun. Peserta pengirim mengirimkan DKE
Warkat Debit pada tanggal yang sama namun tanpa disertai
Warkat Debit sehingga ditolak oleh Peserta penerima. Peserta
pengirim mengirimkan DKE Warkat Debit dan mengkliringkan
= Rp1.150,69
12
kembali Warkat Debit tersebut pada tanggal 10 Mei 2019.
Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan
bunga sebesar 5% (lima persen) selama 1 (satu) hari, dengan
perhitungan sebagai berikut:
1 x 5% x Rp2.000.000,00
365
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemberitahuan merupakan dasar bagi nasabah pengirim
untuk mengambil dana di Peserta pengirim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Nasabah pengirim di Kota Denpasar menyetorkan Warkat Debit
yang telah jatuh tempo dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00
(dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019 pukul 09.00 kepada
Peserta pengirim. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu
sebesar 5% (lima persen) per tahun. Peserta pengirim
mengkliringkan Warkat Debit dan mengirimkan DKE Warkat
Debit tersebut pada tanggal yang sama. Peserta penerima tidak
melakukan penolakan atas Warkat Debit tersebut dan setelmen
dana dapat dilakukan pada tanggal yang sama. Peserta pengirim
melakukan kekeliruan sehingga mengakibatkan dana diterima
oleh nasabah yang tidak berhak. Peserta pengirim melakukan
penerusan dana pada tanggal 13 Mei 2019 ke rekening nasabah
pengirim. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib
memberikan bunga kepada nasabah pengirim sebesar 5% (lima
persen) ditambah 200 (dua ratus) basis points selama 3 (tiga) hari,
dengan perhitungan sebagai berikut:
= Rp273,97
13
3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00
365
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpihak yang berwenangโ antara lain
kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan, dan pengadilan.
Huruf b
Yang dimaksud โperaturan perundang-undanganโ antara
lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai:
a. pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit
valuta asing oleh Bank;
b. penerapan prinsip mengenal nasabah; dan
c. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud dengan โketentuan yang berlakuโ antara lain
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai:
1. cek dan bilyet giro; dan
2. penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh
Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
= Rp1.150,69
14
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โketentuan peraturan perundangan-
undangan yang berlakuโ antara lain ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai:
1. transfer dana;
2. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan terorisme; dan
3. prinsip mengenal nasabah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
15
Huruf c
Yang dimaksud dengan โmelakukan pengaksepan perintah
transfer danaโ adalah apabila Peserta pengirim telah:
1. melakukan pendebitan rekening nasabah pengirim;
2. menerbitkan perintah transfer dana yang dimaksudkan
untuk melaksanakan perintah transfer dana dari nasabah
pengirim; atau
3. menyampaikan pemberitahuan pengaksepan kepada
nasabah pengirim melalui media yang disepakati.
Huruf d
Yang dimaksud dengan โalasan tertentuโ antara lain:
1. DKE Pembayaran tidak didukung dengan dana yang cukup;
atau
2. sandi Peserta penerima tidak valid.
Huruf e
Yang dimaksud dengan โkekeliruan pengiriman DKE
Pembayaranโ antara lain Peserta pengirim melakukan pengiriman
DKE Pembayaran yang tidak sesuai dengan perintah transfer
dana yang dibuat oleh nasabah pengirim.
Huruf f
Yang dimaksud dengan โalasan tertentuโ antara lain:
1. nama dan nomor rekening nasabah penerima tidak ada
dalam administrasi Peserta penerima; dan/atau
2. rekening nasabah penerima telah ditutup.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
16
Ayat (5)
Contoh:
Nasabah memberikan perintah transfer dana dengan nominal
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei
2019 pukul 10.00 dan rekeningnya telah didebit pada tanggal
yang sama. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5%
(lima persen) per tahun. Namun demikian, Peserta pengirim baru
mengirimkan DKE Transfer Dana pada tanggal 13 Mei 2019.
Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan
bunga sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 (dua ratus) basis
points selama 3 (tiga) hari, dengan perhitungan sebagai berikut:
3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00
365
Pasal 22
Huruf a
Angka 1
Pengiriman kembali DKE Pembayaran dilakukan pada
tanggal yang sama apabila Penyelenggara tidak melakukan
pemrosesan DKE Pembayaran dengan alasan selain DKE
Pembayaran tidak didukung dengan dana yang cukup.
Angka 2
Pengiriman kembali DKE Pembayaran dilakukan pada hari
kerja berikutnya apabila Penyelenggara tidak melakukan
pemrosesan DKE Pembayaran dengan alasan DKE
Pembayaran tidak didukung dengan dana yang cukup.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh:
Nasabah memberikan perintah transfer dana dengan nominal
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 09 Mei
2019 pukul 15.00. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu
sebesar 5% (lima persen) per tahun. Peserta pengirim
mengirimkan DKE Pembayaran pada tanggal yang sama. Namun
demikian, DKE Pembayaran tersebut tidak diproses oleh
Penyelenggara karena tidak didukung dengan dana yang cukup.
= Rp1.150,69
17
Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Pembayaran pada
tanggal 10 Mei 2019 pukul 11.00. Berdasarkan hal tersebut,
Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima
persen) selama 1 (satu) hari, dengan perhitungan sebagai berikut:
1 x 5% x Rp2.000.000,00
365
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh:
Nasabah memberikan perintah transfer dana dengan
nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada
tanggal 10 Mei 2019 dan rekeningnya telah didebit pada
tanggal yang sama. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu
sebesar 5% (lima persen) per tahun. Pengiriman DKE
Pembayaran dilakukan pada tanggal yang sama. Namun
demikian, Peserta pengirim melakukan kesalahan yang
mengakibatkan dana ditujukan kepada nasabah yang tidak
berhak. Peserta pengirim baru mengirimkan DKE Transfer
Dana yang baru pada tanggal 14 Mei 2019. Berdasarkan hal
tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar
5% (lima persen) selama 4 (empat) hari, dengan perhitungan
sebagai berikut:
4 x 5% x Rp2.000.000,00
365
= Rp1.095,89
= Rp273,97
18
Ayat (2)
Surat pernyataan pembebasan tanggung jawab (indemnity) paling
sedikit berisi:
a. pembebasan tanggung jawab Peserta penerima, termasuk
seluruh karyawannya dan pihak lainnya yang terkait dengan
pengembalian dana, terhadap kemungkinan gugatan atau
tindakan hukum lainnya akibat pengembalian dana yang
dilakukan oleh Peserta penerima; dan
b. kesediaan Peserta pengirim untuk menanggung segala akibat
hukum yang timbul akibat pengembalian dana oleh Peserta
penerima.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan โalasan tertentuโ antara lain Peserta
pengirim melakukan kekeliruan dalam pengiriman DKE
Pembayaran.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
19
Ayat (4)
Contoh:
Peserta penerima memperoleh DKE Pembayaran dengan nominal
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei
2019. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima
persen) per tahun. Namun demikian, Peserta penerima
melakukan penerusan dana pada tanggal 13 Mei 2015 ke
rekening nasabah penerima. Berdasarkan hal tersebut, Peserta
penerima wajib memberikan bunga kepada nasabah penerima
sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 basis point selama 3 (tiga)
hari, dengan perhitungan sebagai berikut:
3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00
365
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpihak yang berwenangโ antara lain
kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan, dan pengadilan.
Huruf b
Yang dimaksud โketentuan peraturan perundang-undanganโ
antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai:
a. pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit
valuta asing oleh Bank;
b. prinsip mengenal nasabah; dan
c. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Pasal 27
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
= Rp1.150,69
20
Huruf d
Contoh:
Peserta penerima memperoleh DKE Pembayaran dengan nominal
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei
2019. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima
persen) per tahun. Namun demikian, Peserta penerima
melakukan kekeliruan sehingga mengakibatkan dana diterima
oleh nasabah yang tidak berhak. Peserta penerima melakukan
penerusan dana kembali pada tanggal 14 Mei 2019 ke rekening
nasabah penerima yang berhak. Berdasarkan hal tersebut,
Peserta penerima wajib memberikan bunga kepada nasabah
penerima yang berhak sebesar 5% (lima persen) ditambah 200
basis points selama 4 (empat) hari, dengan perhitungan sebagai
berikut:
4 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00
365
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tanggapan kepada Peserta pengirim dilakukan dengan
mempertimbangkan pembebasan
tanggung
= Rp1.534,25
jawab
(indemnity) yang diterima dari Peserta pengirim dan
kebijakan serta ketentuan internal Peserta penerima.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โmembantu penyelesaian pegembalian
danaโ antara lain berupa memberikan data terkait dengan
pengkreditan rekening nasabah penerima yang tidak berhak.
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
21
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan โperaturan perundangan-undangan
berlakuโ antara lain ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai:
a. transfer dana;
b. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan terorisme; dan
c. prinsip mengenal nasabah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kekeliruan dalam pengiriman DKE Penagihan dapat disebabkan
oleh:
1. DKE Penagihan tidak sesuai dengan perintah transfer debit;
atau
2. DKE Penagihan dikirim tidak sesuai dengan waktu yang
ditetapkan dalam perjanjian,
sehingga DKE Penagihan ditolak oleh Peserta penerima.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
22
Ayat (3)
Contoh:
Nasabah pengirim memberikan perintah transfer debit dengan
nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal
10 Mei 2019 kepada Peserta pengirim. Peserta pengirim baru
mengirimkan DKE Penagihan pada tanggal 13 Mei 2019. Peserta
penerima tidak melakukan penolakan atas tagihan karena telah
sesuai dengan standing instruction dan setelmen dana dilakukan
pada tanggal yang sama. Berdasarkan hal tersebut, Peserta
pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima persen)
ditambah 200 (dua ratus) basis points selama 3 (tiga) hari, dengan
perhitungan sebagai berikut:
3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00
365
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpihak yang berwenangโ antara lain
kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan, dan pengadilan.
Huruf b
Yang dimaksud โperaturan perundang-undanganโ antara lain
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai:
a. penerapan prinsip mengenal nasabah; dan
b. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Pasal 32
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh:
Nasabah pengirim memberikan perintah transfer debit dengan
nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal
09 Mei 2019 pukul 10.00 kepada Peserta pengirim. Bunga
= Rp1.150,69
23
rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per
tahun. Peserta pengirim mengirimkan DKE Penagihan pada
tanggal yang sama namun nominal penagihan tidak sesuai
dengan perintah transfer debit yang disampaikan oleh nasabah
pengirim maupun standing instruction sehingga ditolak oleh
Peserta penerima. Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE
Penagihan tersebut pada tanggal 10 Mei 2019. Berdasarkan hal
tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5%
(lima persen) selama 1 (satu) hari, dengan perhitungan sebagai
berikut:
1 x 5% x Rp2.000.000,00
365
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Nasabah pengirim memberikan perintah transfer debit dengan
nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal
10 Mei 2019 pukul 10.00 kepada Peserta pengirim. Bunga
rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per
tahun. Peserta penerima tidak melakukan penolakan atas tagihan
karena telah sesuai dengan standing instruction dan Setelmen
Dana dilakukan pada tanggal yang sama. Peserta pengirim
melakukan kekeliruan sehingga mengakibatkan dana diterima
oleh nasabah yang tidak berhak. Peserta pengirim melakukan
penerusan dana kembali pada tanggal 13 Mei 2019 ke rekening
nasabah pengirim yang berhak. Berdasarkan hal tersebut,
Peserta pengirim wajib memberikan bunga kepada nasabah
pengirim sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 (dua ratus)
basis points selama 3 (tiga) hari, dengan perhitungan sebagai
berikut:
3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00
365
= Rp1.150,69
= Rp273,97
24
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โpihak yang berwenangโ antara lain
kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan, dan pengadilan.
Huruf b
Yang dimaksud โperaturan perundang-undanganโ antara lain
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai:
a. pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit
valuta asing oleh Bank;
b. prinsip mengenal nasabah;, dan
c. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan โketentuan yang berlakuโ antara lain
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai:
1. transfer dana; dan
2. penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal
oleh Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
25
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/10/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> STANDAR LAYANAN NASABAH DALAM PELAKSANAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL MELALUI SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 31 Mei 2019 </set_date>
<effective_date> 1 September 2019 </effective_date>
<replaced_reg> '17/14/DPSP|SE-BI/2015', '18/9/DPSP|SE-BI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '17/9/PBI/2015', '21/8/PBI/2019' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 22/2/PADG/2020
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan
sistem keuangan serta mendorong momentum
pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian
global yang melambat, perlu dilakukan penyesuaian
pemenuhan giro wajib minimum dalam valuta asing bagi
bank umum konvensional;
b. bahwa penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dilakukan untuk menambah ketersediaan likuiditas
valuta asing perbankan dalam meningkatkan pembiayaan
dan mendukung pertumbuhan ekonomi oleh perbankan
konvensional;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Keempat
atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
2
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional,
Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang
Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi
Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6193);
2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional,
Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
21/27/PADG/2019 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional,
Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO
WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI
BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN
UNIT USAHA SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tanggal 31 Mei 2018
tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing
bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan
3
Unit Usaha Syariah yang telah beberapa kali diubah dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur:
a. Nomor 20/30/PADG/2018 tanggal 30 November 2018
tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank
Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah;
b. Nomor 21/14/PADG/2019 tanggal 26 Juni 2019 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank
Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah;
c. Nomor 21/27/PADG/2019 tanggal 26 Desember 2019
tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank
Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit
Usaha Syariah,
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar rata-rata 4%
(empat persen) dari DPK BUK dalam valuta asing selama
periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi:
a. secara harian sebesar 2% (dua persen); dan
b. secara rata-rata sebesar 2% (dua persen).
2. Ketentuan ayat (3) Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 7 tidak berlaku bagi BUK yang
menerima pinjaman likuiditas jangka pendek.
4
(2) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara
harian sebesar 5,5% (lima koma lima persen) dari
DPK BUK dalam rupiah.
(3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka
pendek wajib memenuhi GWM dalam valuta asing
secara harian sebesar 4% (empat persen) dari DPK
BUK dalam valuta asing.
(4) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) dilakukan sejak tanggal aktivasi
pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelunasan
pinjaman likuiditas jangka pendek.
3. Lampiran II, Lampiran IV, dan Lampiran V diubah
sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II, Lampiran IV, dan Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal 16 Maret 2020.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 2020
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
DODY BUDI WALUYO
TTD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 22/2/PADG/2020
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM
RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL,
BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta
mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah
perekonomian global yang melambat, Bank Indonesia senantiasa berupaya
melakukan penyempurnaan kebijakan pengaturan GWM.
Kebijakan pengaturan GWM diarahkan untuk menambah
ketersediaan likuiditas valuta asing perbankan dalam pembiayaan ekonomi
oleh perbankan konvensional. Kebijakan pengaturan GWM tersebut
dilakukan dengan menurunkan besaran GWM dalam valuta asing BUK
yang semula sebesar 8% (delapan persen) menjadi 4% (empat persen).
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Anggota
Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum
dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank
Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 7
Periode laporan tertentu DPK BUK dalam valuta asing
dihitung dengan menggunakan hari kalender.
Huruf a
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing
secara harian dilakukan berdasarkan posisi saldo
Rekening Giro Valas BUK di Bank Indonesia pada
akhir hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
Huruf b
Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing
secara rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata
posisi saldo Rekening Giro Valas BUK di Bank
Indonesia pada akhir hari, pada setiap akhir
periode laporan tertentu.
Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam
valuta asing secara rata-rata dihitung dengan
menggunakan hari pada saat Bank Indonesia
menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement.
Angka 2
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan โBUK yang menerima pinjaman
likuiditas jangka pendekโ adalah BUK yang menerima
pinjaman likuiditas jangka pendek sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek.
Ayat (2)
Cukup jelas.
3
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 22/2/PADG/2020 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 10 Maret 2020 </set_date>
<effective_date> 16 Maret 2020 </effective_date>
<changed_reg> '20/10/PADG/2018' </changed_reg>
<extension_of> '20/30/PADG/2018', '21/14/PADG/2018', '21/27/PADG/2019' </extension_of>
<related_reg> '21/27/PADG/2019', '20/3/PBI/2018', '20/10/PADG/2018' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/21/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/5/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI
DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa guna penguatan kredibilitas pasar keuangan perlu
dilakukan peningkatan kompetensi dan integritas pelaku
pasar dengan penerapan kewajiban sertifikasi tresuri dan
kode etik pasar;
b. bahwa guna mendorong persaingan usaha yang sehat
antarpelaku pasar di pasar uang dan pasar valuta asing
diperlukan penguatan implementasi kode etik pasar
melalui penyempurnaan prosedur internal pelaku pasar
terkait kode etik pasar;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan
atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/5/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri
dan Penerapan Kode Etik Pasar;
Mengingat
: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016
tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5909);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/5/PBI/2017 tentang
Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6046);
3. Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
Nomor
19/5/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri
dan Penerapan Kode Etik Pasar;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017
TENTANG
PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN
KODE ETIK PASAR.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 19/5/PADG/2017 tentang Pelaksanaan
Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2
Kode Etik Pasar yang menjadi pedoman Direksi dan
Pegawai, mengacu pada:
a. market code of conduct yang diterbitkan oleh
Indonesia Foreign Exchange Market Committee
(IFEMC), untuk Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar
yang berdasarkan prinsip konvensional;
b.
islamic financial market code of conduct yang
diterbitkan oleh Indonesia Islamic Global Market
Association (IIGMA), untuk Direksi dan Pegawai
Pelaku Pasar yang berdasarkan prinsip syariah; dan
c. pedoman terkait pencegahan persaingan usaha tidak
sehat yang diterbitkan oleh Global Foreign Exchange
Committee (GFXC), untuk Direksi dan Pegawai
Pelaku Pasar yang berdasarkan prinsip konvensional
dan prinsip syariah.
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1) Direksi dan Pegawai harus memahami dan
menerapkan Kode Etik Pasar.
(2) Pelaku Pasar wajib memiliki prosedur internal untuk
memastikan Direksi dan Pegawai memahami dan
menerapkan Kode Etik Pasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Pelaku Pasar harus menyampaikan prosedur internal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank
Indonesia.
(4) Prosedur internal sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) untuk pertama kali disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat tanggal 14 April 2020.
(5) Dalam hal terdapat perubahan atas prosedur internal
yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaku Pasar
harus menyampaikan perubahan prosedur internal
kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kalender sejak terjadi perubahan.
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
Prosedur internal Pelaku Pasar mengenai penerapan Kode
Etik Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
paling sedikit memuat:
a. kegiatan untuk memahami Kode Etik Pasar yang
dilakukan secara berkala;
b. penerapan Kode Etik Pasar;
c. pengendalian penerapan Kode Etik Pasar; dan
d. tata cara penyelesaian permasalahan penerapan
Kode Etik Pasar.
4. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 5A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
(1) Pelaku Pasar dapat membuat pernyataan telah
memahami dan menerapkan Kode Etik Pasar dengan
mengacu pada contoh surat pernyataan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
(2) Pelaku Pasar harus menyampaikan surat pernyataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank
Indonesia untuk dipublikasikan pada laman resmi
Bank Indonesia.
5. Ketentuan Pasal 24 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (5),
sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Pelaku Pasar menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia yang terdiri atas:
a. daftar Direksi dan Pegawai serta kepemilikan
Sertifikat Tresuri posisi akhir tahun;
b. laporan tindak lanjut terhadap Direksi dan
Pegawai yang belum memenuhi ketentuan
kewajiban Sertifikasi Tresuri; dan
c. laporan daftar Direksi dan Pegawai yang
diberhentikan karena melakukan pelanggaran
Kode Etik Pasar.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a disampaikan kepada Bank Indonesia setiap tahun
paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya,
dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b disampaikan kepada Bank Indonesia setiap tahun
paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya,
dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota
Dewan Gubernur ini.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat
1 (satu) bulan sejak Direksi atau Pegawai yang
bersangkutan diberhentikan, dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
(5) Pelaku Pasar harus menyampaikan laporan
kepemilikan Sertifikat Tresuri paling lambat tanggal
14 April 2020 dalam hal Direksi dan Pegawai dari
Pelaku Pasar:
a. berdasarkan
prinsip konvensional yang
bertanggung jawab dan/atau melaksanakan
Aktivitas Tresuri berupa penjualan produk di
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta
derivatifnya (sales); dan
b. berdasarkan prinsip syariah yang bertanggung
jawab dan/atau melaksanakan Aktivitas
Tresuri,
belum memenuhi ketentuan mengenai kepemilikan
Sertifikat Tresuri sampai dengan tanggal 13 April
2020, dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I.
6. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 24A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24A
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(1) disampaikan kepada Bank Indonesia secara
online.
(2) Penyampaian laporan secara online sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyampaian laporan secara
online.
(3) Dalam hal laporan secara online sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, laporan
disampaikan secara offline.
7. Lampiran I diubah sehingga menjadi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini dan lampiran ditambahkan 1 (satu)
lampiran, yakni Lampiran VI yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan
Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 November 2019
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
DESTRY DAMAYANTI
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 21/21/PADG/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 19/5/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI
DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR
I. UMUM
Pengembangan pasar keuangan perlu diimbangi dengan pembentukan
pasar keuangan yang kredibel melalui upaya peningkatan kompetensi dan
integritas Pelaku Pasar. Dalam hal ini Pelaku Pasar bertanggung jawab atas
kompetensi dan integritas Direksi dan Pegawai yang melakukan Aktivitas
Tresuri.
Selanjutnya, guna mendorong persaingan usaha yang sehat antar-
Pelaku Pasar baik di Pasar Uang maupun Pasar Valuta Asing, Pelaku Pasar
perlu untuk menyempurnakan pedoman internal Pelaku Pasar dengan
mengadopsi juga international best practice mengenai pedoman terkait
pencegahan persaingan usaha yang tidak sehat yang diterbitkan oleh
Global Foreign Exchange Committee (GFXC). Oleh karena itu, Bank
Indonesia melakukan penyempurnaan atas Peraturan Anggota Dewan
Gubernur yang mengatur mengenai pelaksanaan sertifikasi tresuri dan
penerapan kode etik pasar.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 4
Huruf a
Contoh kegiatan untuk memahami Kode Etik Pasar
yang dilakukan secara berkala antara lain dengan
mengikuti pelatihan dan membuat surat pernyataan
telah memahami dan mengerti Kode Etik Pasar oleh
Direksi dan Pegawai secara berkala.
Huruf b
Contoh kegiatan penerapan Kode Etik Pasar yang
dilakukan antara lain:
1) Pelaku Pasar harus menerapkan Kode Etik Pasar
dalam melakukan Aktivitas Tresuri; dan
2) Pelaku pasar tidak melakukan tindakan yang
mendukung dan/atau mendorong persaingan
usaha yang tidak sehat antara lain price fixing
agreements, boycotts, allocations of customers or
market division, dan abuse of dominant position.
Huruf c
Kegiatan pengendalian penerapan Kode Etik Pasar
dilakukan oleh atasan Pegawai dan unit kerja yang
menjalankan fungsi pengendalian internal dan/atau
unit kerja yang melaksanakan fungsi audit internal
sesuai dengan ketentuan internal Pelaku Pasar antara
lain:
1) melakukan monitoring dan evaluasi atas penerapan
prosedur internal secara berkala;
2) melakukan evaluasi atas prosedur internal; dan
3) melakukan pengkinian atas prosedur internal
dalam hal diperlukan.
Huruf d
Tata cara penyelesaian permasalahan penerapan Kode
Etik Pasar juga termasuk mekanisme penunjukkan
lembaga yang dipilih sebagai lembaga perantara seperti
IFEMC, Association Cambiste Internationale The
Financial Market Association Indonesia (ACI FMA
Indonesia), atau IIGMA.
Angka 4
Pasal 5A
Ayat (1)
Surat pernyataan merupakan bentuk komitmen dari
Pelaku Pasar dalam menerapkan Kode Etik Pasar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Laporan dibuat untuk menyampaikan rencana
kegiatan sampai dengan batas waktu pemenuhan
kepemilikan sertifikat.
Huruf c
Laporan hanya disampaikan apabila terdapat
pemberhentian Direksi dan/atau Pegawai.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 24A
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 21/21/PADG/2019 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR </reg_title>
<set_date> 27 November 2019 </set_date>
<effective_date> 27 November 2019 </effective_date>
<changed_reg> '19/5/PADG/2017' </changed_reg>
<related_reg> '19/5/PBI/2017', '19/5/PADG/2017', '18/11/PBI/2016' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/28/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG
INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, Bank
Indonesia menerbitkan transaksi domestic non-deliverable
forward sebagai salah satu instrumen operasi moneter;
b. bahwa dengan diterbitkannya transaksi domestic non-
deliverable forward sebagai instrumen operasi moneter,
diperlukan pengaturan mengenai mekanisme pelaksanaan
transaksi domestic non-deliverable forward tersebut;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar
Terbuka;
2
Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/12/PBI/2018 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 199, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6259)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG
INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen
Operasi Pasar Terbuka diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 ditambahkan 4 (empat) angka diantara
angka 35 dan angka 36 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah.
2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya
disingkat BUK adalah bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan.
3
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter yang dilakukan secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah.
6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya
disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter yang dilakukan secara konvensional.
7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat
OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh
Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat
OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang
dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain
untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.
9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang
selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah
kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar
valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan BUK dan/atau pihak lain.
10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya
disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di
pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau
pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain.
4
11. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta
OMK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan
operasi moneter.
12. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang
telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai
peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kepesertaan operasi moneter.
13. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah
dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai
dealer utama yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi
Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kepesertaan operasi moneter.
14. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
15. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan
prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu
pendek.
16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek
yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK.
17. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing
yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat
berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka
waktu pendek.
5
18. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah surat utang negara dan surat berharga
syariah negara.
19. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara.
20. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
21. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga
untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi
penjualan surat berharga oleh Peserta OPT
Konvensional kepada Bank Indonesia, dengan
kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT
Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu
yang disepakati.
22. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga
untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi
penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah
kepada Bank Indonesia, dengan janji pembelian
kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati.
23. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT
Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi
pembelian surat berharga oleh Peserta OPT
Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban
penjualan kembali oleh Peserta OPT Konvensional
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati.
24. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT
Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse
Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat
6
berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank
Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh
Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
25. Penempatan Berjangka OPT Konvensional yang
selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional adalah penempatan dana secara
berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah dan/atau
valuta asing milik Peserta OPT Konvensional.
26. Penempatan Berjangka OPT Syariah yang selanjutnya
disebut Transaksi Term Deposit OPT Syariah adalah
penempatan dana secara berjangka di Bank
Indonesia dalam valuta asing milik Peserta OPT
Syariah.
27. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana
dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
28. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia adalah transaksi
beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia
dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja
setelah tanggal transaksi.
29. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia adalah transaksi
jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua)
hari kerja setelah tanggal transaksi.
30. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta
asing terhadap rupiah melalui pembelian atau
penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau
pembelian kembali secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang
sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
31. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia adalah transaksi
jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi
pembelian kembali valuta asing terhadap rupiah oleh
Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang
7
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang
sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
32. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia adalah
transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi
penjualan kembali valuta asing terhadap rupiah oleh
Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang
sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
33. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli
valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan
dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal transaksi.
34. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia adalah
transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih
dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
35. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah
transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih
dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
36. Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward yang
selanjutnya disebut Transaksi DNDF adalah
transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang
standar (plain vanilla) berupa transaksi forward
dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar
domestik.
37. Mekanisme Fixing adalah mekanisme penyelesaian
transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara
menghitung selisih antara kurs Transaksi Forward
dan kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah
ditetapkan di dalam kontrak (fixing date).
38. Transaksi DNDF Jual Bank Indonesia adalah
transaksi derivatif jual valuta asing terhadap rupiah
yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia
8
berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing
yang dilakukan di pasar domestik.
39. Transaksi DNDF Beli Bank Indonesia adalah
transaksi derivatif beli valuta asing terhadap rupiah
yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia
berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing
yang dilakukan di pasar domestik.
40. Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate
yang selanjutnya disebut JISDOR adalah representasi
harga spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah dari
transaksi antar Bank di pasar domestik, termasuk
transaksi Bank dengan bank di luar negeri, yang
informasi data transaksinya dapat diakses melalui
Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta
asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak
domestik.
41. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat
DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan
cara setelmen surat berharga dan setelmen dana
dilakukan secara bersamaan.
42. Pelunasan atau Pencairan Sebelum Jatuh Waktu
yang selanjutnya disebut Early Redemption adalah
pelunasan SBI, SDBI, SBBI Valas sebelum jatuh
waktu atau pencairan Term Deposit OPT Konvensional
atau Term Deposit OPT Syariah sebelum jatuh waktu.
43. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform
yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah
Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
44. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah
BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
9
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
45. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia,
termasuk hari kerja operasional terbatas Bank
Indonesia.
2. Ketentuan Bab IV ditambahkan 1 (satu) bagian, yakni
Bagian Kedua Belas, yang terdiri dari 5 (lima) Pasal, yakni
Pasal 48A sampai dengan Pasal 48E sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Bagian Kedua Belas
Transaksi DNDF
Paragraf 1
Karakteristik Transaksi DNDF
Pasal 48A
Transaksi DNDF merupakan instrumen yang digunakan
oleh Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar
rupiah dengan cara:
a. Transaksi DNDF Jual Bank Indonesia; atau
b. Transaksi DNDF Beli Bank Indonesia.
Pasal 48B
Transaksi DNDF memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
jenis valuta asing yang digunakan yaitu dolar
Amerika Serikat;
b. waktu penyerahan dana (tenor) Transaksi DNDF
dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja dan paling
lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam
hari kalender yang dihitung sejak tanggal spot sampai
dengan tanggal setelmen;
c. penyelesaian Transaksi DNDF dilakukan dengan
Mekanisme Fixing;
d. kurs DNDF dolar Amerika Serikat terhadap rupiah
yang digunakan yaitu kurs JISDOR pada tanggal
10
tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date)
yang disepakati pada saat transaksi;
e. penyelesaian Transaksi DNDF dilakukan dalam mata
uang rupiah; dan
f. Transaksi DNDF tidak dapat dilakukan perpanjangan
transaksi (roll over), pengakhiran transaksi (unwind),
dan percepatan penyelesaian transaksi (early
termination).
Paragraf 2
Mekanisme Transaksi DNDF
Pasal 48C
Transaksi DNDF dilakukan secara lelang atau secara
nonlelang.
Pasal 48D
(1) Transaksi DNDF secara lelang dilakukan melalui
sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing
dan/atau sarana transaksi lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(2) Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan metode sebagai berikut:
a. harga tetap (fixed rate tender), dengan kurs
DNDF pada Transaksi DNDF ditetapkan oleh
Bank Indonesia; atau
b. harga beragam (variable rate tender), dengan
kurs DNDF pada Transaksi DNDF diajukan oleh
Peserta OPT Konvensional.
Pasal 48E
(1) Transaksi DNDF secara nonlelang dilakukan secara
bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT
Konvensional secara langsung atau melalui Lembaga
Perantara.
(2) Transaksi DNDF secara nonlelang dilakukan melalui
sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing
11
atau sarana transaksi lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 November 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/28/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR
TERBUKA
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa
tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui penerbitan Transaksi
DNDF sebagai salah satu instrumen Operasi Moneter. Oleh karena itu perlu
dilakukan perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka yang
mengatur mengenai karakterisktik Transaksi DNDF tersebut
2
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 48A
Cukup jelas.
Pasal 48B
Cukup jelas.
Pasal 48C
Cukup jelas.
Pasal 48D
Cukup jelas.
Pasal 48E
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/28/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 7 November 2018 </set_date>
<effective_date> 7 November 2018 </effective_date>
<changed_reg> '20/5/PADG/2018' </changed_reg>
<related_reg> '20/12/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/8/PADG/2018
TENTANG
KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA
DALAM OPERASI MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi tujuan Bank Indonesia yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank
Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter;
b. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, Bank
Indonesia melakukan pengendalian moneter yang salah
satunya dilakukan melalui pelaksanaan operasi moneter
baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip
syariah;
c. bahwa dalam pelaksanaan operasi moneter baik secara
konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah, Bank
Indonesia perlu menetapkan kriteria dan persyaratan
surat berharga yang digunakan dalam operasi moneter;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Kriteria dan
Persyaratan Surat Berharga Dalam Operasi Moneter.
2
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6198);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA DALAM
OPERASI MONETER.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah.
2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter
oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
3
6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat
OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan
secara konvensional.
7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS
adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah.
8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT
adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar
valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya
disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di
pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan
oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain.
10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut
OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang
berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing
yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS,
dan/atau pihak lain.
11. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana
rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan
dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi
Moneter yang dilakukan secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah.
12. Standing Facilities Konvensional adalah kegiatan
penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank
Indonesia kepada BUK dan penempatan dana rupiah
(deposit facility) oleh BUK di Bank Indonesia.
13. Standing Facilities Syariah adalah kegiatan penyediaan
dana rupiah (financing facility) dari Bank Indonesia kepada
BUS atau UUS dan penempatan dana rupiah (deposit
facility) oleh BUS atau UUS di Bank Indonesia.
4
14. Peserta Operasi Moneter adalah peserta OMK dan peserta
OMS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia
sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kepesertaan operasi moneter.
15. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMK
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter.
16. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter.
17. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek.
18. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip
syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek.
19. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang
rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat
diperdagangkan hanya antar-BUK.
20. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat utang negara dan surat berharga syariah
negara.
21. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang
negara.
22. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai surat berharga syariah negara.
5
23. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih
dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
24. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat
SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12
(dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
25. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran
imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto.
26. SBSN Jangka Pendek atau Surat Perbendaharaan Negara
Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai
dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan
berupa kupon dan/atau secara diskonto.
27. Zero Coupon Bond yang selanjutnya disingkat ZCB adalah
Obligasi Negara tanpa kupon, dengan pembayaran bunga
secara diskonto.
28. Obligasi Negara Ritel yang selanjutnya disingkat ORI
adalah Obligasi Negara yang pada pasar perdana dijual
kepada individu atau perseorangan Warga Negara
Indonesia melalui agen penjual.
29. SBSN Ritel yang selanjutnya disebut Sukuk Negara Ritel
adalah SBSN yang pada pasar perdana dijual kepada
individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia
melalui agen penjual.
30. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk
OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi
Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat
berharga oleh Peserta OPT Konvensional kepada Bank
Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh
Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
31. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk
OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT
Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh
Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia dengan janji
6
pembelian kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
32. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya
disebut Transaksi Repo SBIS adalah transaksi pemberian
pinjaman oleh Bank Indonesia kepada Peserta OPT
Syariah dengan agunan SBIS.
33. Transaksi Lending Facility adalah penyediaan dana rupiah
dari Bank Indonesia kepada BUK untuk OMK.
34. Transaksi Financing Facility adalah penyediaan dana
rupiah dari Bank Indonesia kepada BUS dan/atau UUS
untuk OMS.
35. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Untuk OPT
Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse
Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat
berharga oleh Peserta OPT Konvensional dari Bank
Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh
Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
36. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Untuk OPT
Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo
OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat berharga
oleh Peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan
janji penjualan kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
37. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI-
RTGS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen
dana seketika.
38. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
7
39. Sistem Bank IndonesiaโElectronic Trading Platform yang
selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem BI-ETP
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
40. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat berharga
milik Bank pada BI-SSSS dalam mata uang rupiah
dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank
Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan setelmen
atas transaksi surat berharga, transaksi dengan Bank
Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan.
41. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank
Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing.
42. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk
hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia.
BAB II
SURAT BERHARGA YANG DIGUNAKAN
DALAM OPERASI MONETER
Pasal 2
Bank Indonesia menetapkan persyaratan surat berharga yang
digunakan dalam Operasi Moneter.
Bagian Kesatu
Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga Yang Digunakan
dalam OMK
Pasal 3
(1) Kriteria surat berharga dalam mata uang rupiah yang
dapat digunakan dalam OMK diatur sebagai berikut:
a. diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara
Republik Indonesia;
b. tercatat di BI-SSSS; dan
c. tidak sedang diagunkan.
8
(2) Kriteria surat berharga dalam valuta asing yang dapat
digunakan dalam OMK diatur sebagai berikut:
a. diterbitkan oleh pemerintah negara lain yang bank
sentralnya memiliki kerja sama dengan Bank
Indonesia;
b. sesuai denominasi asal negara penerbit;
c.
tercatat pada aktiva peserta OMK yang tercatat pada
rekening surat berharga milik peserta OMK di
lembaga kustodian yang disepakati;
d. memiliki peringkat investasi (investment grade); dan
e. tidak sedang diagunkan.
Pasal 4
Jenis surat berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:
a. SBI;
b. SDBI;
c. SBN, yang meliputi:
1. SUN, meliputi SPN dan Obligasi Negara termasuk
ZCB dan ORI; dan
2. SBSN, yang meliputi SBSN Jangka Pendek dan SBSN
Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel; dan
d. surat berharga dalam valuta asing jangka pendek atau
jangka panjang yang diterbitkan oleh pemerintah negara
lain (sovereign bond).
Pasal 5
Surat berharga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) hanya digunakan dalam Transaksi Repo
OPT Konvensional.
Pasal 6
Surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus
memenuhi persyaratan sisa jangka waktu sebagai berikut:
a. untuk SBI, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2
(dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT
Konvensional dan Transaksi Lending Facility;
9
b. untuk SDBI, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2
(dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT
Konvensional dan Transaksi Lending Facility;
c. untuk SBN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3
(tiga) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT
Konvensional dan Transaksi Lending Facility; dan
d. untuk surat berharga dalam valuta asing, memiliki sisa
jangka waktu paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender
pada saat second leg Transaksi Repo OPT Konvensional.
Bagian Kedua
Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga Yang Digunakan
dalam OMS
Pasal 7
Kriteria surat berharga yang dapat digunakan dalam OMS
diatur sebagai berikut:
a. diterbitkan dengan memenuhi prinsip syariah;
b. diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara
Republik Indonesia;
c. diterbitkan dalam mata uang rupiah;
d. tercatat di BI-SSSS; dan
e. tidak sedang diagunkan.
Pasal 8
Jenis surat berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 terdiri atas:
a. SBIS;
b. SBSN, yang meliputi:
1) SBSN Jangka Pendek; dan
2) SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel.
Pasal 9
Surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus
memenuhi persyaratan sisa jangka waktu sebagai berikut:
10
a. untuk SBIS, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2
(dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Financing
Facility; dan
b. untuk SBSN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3
(tiga) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT
Syariah dan Transaksi Financing Facility.
Bagian Ketiga
Penggunaan SBN yang Diperoleh dari Transaksi Reverse Repo
OPT Konvensional dan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
Pasal 10
(1) SBN yang diperoleh Peserta Operasi Moneter dari Bank
Indonesia dalam Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional atau Transaksi Reverse Repo OPT Syariah
dapat digunakan kembali dalam transaksi di pasar
sekunder.
(2) Dalam hal Peserta Operasi Moneter melakukan transaksi
di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
transaksi dimaksud dilakukan dengan tetap
memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas
yang berwenang.
BAB III
HARGA DAN HAIRCUT SURAT BERHARGA
DALAM OPERASI MONETER
Pasal 11
Bank Indonesia menetapkan harga dan haircut surat berharga
yang digunakan dalam Operasi Moneter.
Pasal 12
Penetapan harga surat berharga oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur sebagai berikut:
a. harga SBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan rata-rata tertimbang tingkat diskonto
11
saat penerbitan, sisa jangka waktu setiap seri SBI,
dan/atau variabel lainnya;
b. harga SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen)
sejak tanggal penerbitan sampai dengan tanggal jatuh
waktu;
c. harga SDBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan rata-rata tertimbang tingkat diskonto
saat penerbitan, sisa jangka waktu setiap seri SDBI,
dan/atau variabel lainnya;
d. harga SBN ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan harga pasar masing-masing jenis dan
seri SBN dan/atau variabel lainnya; dan
e. harga surat berharga dalam valuta asing ditetapkan oleh
Bank Indonesia dengan mempertimbangkan harga pasar
masing-masing jenis, seri surat berharga dalam valuta
asing (sovereign bond), dan/atau variabel lainnya.
Pasal 13
(1) Haircut merupakan faktor pengurang terhadap harga
surat berharga.
(2) Haircut terhadap surat berharga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk SBI sebesar 0% (nol persen);
b. untuk SBIS sebesar 0% (nol persen);
c. untuk SDBI sebesar 0% (nol persen);
d. untuk SBN yang terdiri atas:
1. SUN sebesar 5% (lima persen);
2. SBSN sebesar 6,5% (enam koma lima persen);
dan
e. untuk surat berharga dalam valuta asing (sovereign
bond), besar haircut diumumkan oleh Bank Indonesia
pada tanggal pelaksanaan transaksi.
Pasal 14
Bank Indonesia dapat melakukan perubahan haircut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
12
Pasal 15
Harga surat berharga yang digunakan dalam Operasi Moneter
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 serta haircut surat
berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan
perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
diumumkan oleh Bank Indonesia di Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 16
(1) Dalam hal terjadi transaksi penjualan SBN secara putus
(outright) oleh peserta OMK karena kegagalan setelmen
second leg pada Transaksi Repo OPT Konvensional atau
Transaksi Lending Facility, harga SBN yang digunakan
dalam perhitungan nilai setelmen transaksi penjualan
SBN secara putus (outright) yaitu harga SBN pada tanggal
transaksi penjualan SBN secara putus (outright) paling
tinggi sebesar harga SBN pada transaksi first leg.
(2) Dalam hal terjadi transaksi pembelian SBN secara putus
(outright) oleh Peserta OPT Konvensional karena kegagalan
setelmen second leg Transaksi Reverse Repo OPT
Konvensional, harga SBN yang digunakan dalam
perhitungan nilai setelmen transaksi pembelian SBN
secara putus (outright) yaitu harga SBN pada tanggal
transaksi pembelian SBN secara putus (outright) paling
rendah sebesar harga SBN pada transaksi first leg.
(3) Dalam hal terjadi penjualan surat berharga dalam valuta
asing oleh Peserta OPT Konvensional karena kegagalan
setelmen second leg Transaksi Repo OPT Konvensional,
harga surat berharga yang digunakan dalam perhitungan
yaitu harga penjualan surat berharga dalam valuta asing
oleh Bank Indonesia pada tanggal penjualan.
Pasal 17
(1) Dalam hal terjadi transaksi penjualan SBSN secara putus
(outright) oleh peserta OMS karena kegagalan setelmen
second leg Transaksi Repo OPT Syariah atau Transaksi
Financing Facility, harga SBSN yang digunakan dalam
13
perhitungan nilai setelmen transaksi penjualan SBSN
secara putus (outright) yaitu harga SBSN pada tanggal
transaksi first leg.
(2) Dalam hal terjadi transaksi pembelian SBSN secara putus
(outright) oleh Peserta OPT Syariah karena kegagalan
setelmen second leg Transaksi Reverse Repo OPT Syariah,
harga SBSN yang digunakan dalam perhitungan nilai
setelmen transaksi pembelian SBSN secara putus
(outright) yaitu harga SBSN pada tanggal transaksi first leg.
BAB IV
PERHITUNGAN NILAI SETELMEN TRANSAKSI OPERASI
MONETER
Bagian Kesatu
Perhitungan Nilai Setelmen Transaksi Repo OPT
Konvensional, Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional,
Transaksi Lending Facility, Transaksi Repo OPT Syariah,
Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, dan Transaksi
Financing Facility
Pasal 18
(1) Nilai setelmen surat berharga yaitu sebesar nilai nominal
surat berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan.
(2) Nilai setelmen dana untuk setelmen first leg dihitung
sebagai berikut:
a. SBI, SDBI, SPN, ZCB, dan SBSN Jangka Pendek:
Nilai
Setelmen
First Leg
=
Nominal surat
berharga yang
di-repo-kan atau
di-reverse repo-kan
ร (
Harga surat
berharga
โHaircut)
b. SBIS
Nilai setelmen first leg yaitu sebesar nilai nominal
SBIS yang diagunkan.
14
c.
Obligasi Negara termasuk ORI dan SBSN Jangka
Panjang
Nilai
Setelmen
First Leg
= [
Nominal surat
berharga yang
di-repo-kan atau
di-reverse repo-kan
Keterangan:
Harga surat
berharga
x (
Harga surat
berharga
- Haircut)] +
Accrued
Interest/
Imbalan
: harga
surat
berharga
sebagaimana diumumkan pada
Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan/atau sarana lain pada
tanggal Transaksi Repo OPT
Konvensional, Transaksi Reverse
Repo
Transaksi
OPT Konvensional,
Lending Facility,
Transaksi Repo OPT Syariah,
Transaksi Reverse Repo OPT
Syariah, atau Transaksi Financing
Facility
Haircut
: haircut sebagaimana diumumkan
dalam Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan/atau sarana lain pada
Transaksi
Repo
Transaksi
OPT Konvensional,
Lending Facility,
OPT
Konvensional, Transaksi Reverse
Repo
Transaksi Repo OPT Syariah,
Transaksi Reverse Repo OPT
Syariah, atau Transaksi Financing
Facility
Accrued
Interest atau
Imbalan
:
- hak atas kupon atau imbalan
surat berharga yang dihitung
sejak 1 (satu) hari sesudah
tanggal pembayaran kupon atau
imbalan terakhir sampai dengan
tanggal setelmen first leg
15
- perhitungan hak atas imbalan
SBSN didasarkan pada jumlah
hari yang sebenarnya (actual per
actual)
d. Obligasi Negara termasuk ORI dan SBSN Jangka
Panjang dalam hal terdapat pembayaran kupon atau
imbalan surat berharga pada 1 (satu) Hari Kerja
setelah tanggal setelmen first leg
Nilai
setelmen
๐๐๐๐ ๐ก ๐๐๐
= [
Nominal surat berharga
yang di-repo-kan atau
di-reverse repo-kan
Keterangan :
Harga
berharga
x(
Harga
surat berharga
โ Haircut)] โ
Accrued
Interest/
Imbalan
surat
: harga
surat
berharga
sebagaimana diumumkan pada
Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan/atau sarana lain pada
tanggal Transaksi Repo OPT
Konvensional,
Reverse
Repo
Konvensional,
Lending Facility,
Transaksi
OPT
Transaksi
Transaksi
Repo OPT Syariah, Transaksi
Reverse Repo OPT Syariah, atau
Transaksi Financing Facility
Haircut
: haircut
sebagaimana
diumumkan pada Sistem BI-
ETP, BI-SSSS, dan/atau
sarana lain pada tanggal
Transaksi
Repo
Konvensional,
Reverse
Konvensional,
Repo
OPT
Transaksi
OPT
Transaksi
Lending Facility, Transaksi
Repo OPT Syariah, Transaksi
Reverse Repo OPT Syariah, atau
Transaksi Financing Facility
16
Accrued Interest
atau Imbalan
: hak atas kupon atau imbalan
surat berharga yang dihitung
sejak tanggal setelmen first leg
sampai dengan tanggal
pembayaran kupon atau
imbalan surat berharga pada 1
(satu) Hari Kerja sesudah
tanggal setelmen first leg
(3) Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung
sebagai berikut:
a. SBI, SDBI, SBN
Nilai Setelmen
Second Leg
Nilai
=
Setelmen
First Leg
Bunga/ Nilai Marjin
Transaksi Repo/
Transaksi Reverse Repo/ =
Transaksi Lending Facility/
Transaksi Financing Facility
+
Bunga/Nilai Marjin Transaksi
Repo/Reverse Repo/
Lending Facility/Financing Facility
Nilai
Setelmen
๐๐๐๐ ๐ก ๐๐๐
ร
Repo rate/
Reverse Repo rate/
Marjin Repo/
Marjin Reverse Repo
Keterangan :
Jangka waktu : jangka waktu Transaksi Repo OPT
Konvensional, Transaksi Reverse
Repo OPT Konvensional, Transaksi
Lending Facility, Transaksi Repo OPT
Syariah, Transaksi Reverse Repo
OPT Syariah, atau Transaksi
Financing Facility
b. SBIS
Nilai setelmen
second leg
Nilai
=
setelmen
first leg
Biaya Transaksi
Repo SBIS
Nilai
=
setelmen
๐๐๐๐ ๐ก ๐๐๐
x
+ Biaya Transaksi Repo SBIS
ร
Jangka waktu
360
Tingkat Biaya
Repo SBIS
ร
Jangka waktu
360
17
Keterangan :
Biaya
Transaksi
Repo SBIS
: kewajiban membayar (gharamah)
yang ditetapkan Bank Indonesia
pada Transaksi Repo SBIS karena
peserta OMS tidak menepati
jangka waktu kesepakatan
pembelian SBIS
Bagian Kedua
Perhitungan Nilai Setelmen Transaksi Pembelian atau
Penjualan Surat Berharga Secara Putus (Outright)
Pasal 19
(1) Nilai setelmen surat berharga yaitu sebesar nilai nominal
surat berharga yang ditransaksikan secara putus
(outright).
(2) Nilai setelmen dana untuk transaksi pembelian atau
penjualan surat berharga secara putus (outright) sebagai
berikut:
a. SPN, ZCB, dan SBSN Jangka Pendek:
Nilai
Setelmen
Outright
=
Nominal
surat
berharga
ร
Harga
surat
berharga
b. Obligasi Negara termasuk ORI, dan SBSN Jangka
Panjang:
Nilai Setelmen
Outright
= [
Keterangan :
Harga surat
berharga
Nominal
surat
ร
Harga
surat
berharga berharga
] + Accrued Interest/
Imbalan
: harga
surat
berharga
sebagaimana ditetapkan Bank
Indonesia dalam hal transaksi
pembelian atau penjualan surat
berharga secara putus (outright)
18
dilakukan dengan mekanisme
lelang, dan/atau harga surat
berharga
berdasarkan
kesepakatan para pihak dalam
hal transaksi pembelian atau
penjualan surat berharga secara
putus (outright)
dilakukan
dengan mekanisme nonlelang
Accrued
Interest atau
Imbalan
: hak atas kupon atau imbalan
surat berharga yang dihitung
sejak 1 (satu) hari sesudah
tanggal pembayaran kupon atau
imbalan terakhir sampai dengan
tanggal setelmen transaksi
pembelian atau penjualan surat
berharga secara putus (outright)
c.
Obligasi Negara termasuk ORI dan SBSN Jangka
Panjang, dalam hal terdapat pembayaran kupon atau
imbalan surat berharga pada 1 (satu) Hari Kerja
sesudah tanggal setelmen transaksi pembelian atau
penjualan surat berharga secara putus (outright):
Nilai Setelmen
Outright
Keterangan :
Harga surat
berharga
= [
Nominal
surat
ร
Harga
surat
berharga berharga
] - Accrued Interest/
Imbalan
: harga surat berharga
sebagaimana ditetapkan Bank
Indonesia dalam hal transaksi
pembelian atau penjualan
surat berharga secara putus
(outright) dilakukan dengan
mekanisme lelang, dan/atau
harga surat berharga
berdasarkan kesepakatan
para pihak dalam hal
transaksi pembelian atau
19
penjualan surat berharga
secara putus (outright)
dilakukan dengan mekanisme
nonlelang
Accrued
Interest atau
Imbalan
: hak atas kupon atau imbalan
surat berharga yang dihitung
sejak tanggal setelmen
transaksi pembelian atau
penjualan surat berharga
secara putus (outright) sampai
dengan tanggal pembayaran
kupon atau imbalan surat
berharga pada 1 (satu) Hari
Kerja sesudah tanggal
transaksi pembelian atau
penjualan surat berharga
secara putus (outright)
Bagian Ketiga
Perhitungan Accrued Interest atau Imbalan
Pasal 20
Accrued interest atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (2) huruf c dan huruf d serta Pasal 19 ayat (2)
huruf b dan huruf c, dihitung dengan rumus perhitungan
accrued interest atau imbalan per unit sebagai berikut:
AI = N ร
C
n
Keterangan :
AI
N
C
n
:
:
:
:
ร
a
E
Accrued Interest atau Imbalan per unit
nominal surat berharga per unit yaitu Rp
1.000.000 (satu juta rupiah)
nilai kupon atau imbalan
frekuensi pembayaran kupon atau imbalan
20
dalam setahun
a
E
:
:
jumlah hari sebenarnya (actual days)
jumlah hari sebenarnya (actual days) yang
dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal
dimulainya periode kupon atau imbalan
sampai dengan tanggal pembayaran kupon
atau imbalan berikutnya
Bagian Keempat
Perhitungan Nilai Nominal Surat Berharga dan Nilai
Setelmen Transaksi Repo OPT Konvensional yang
Menggunakan Surat Berharga dalam Valuta Asing
Pasal 21
(1) Nilai nominal surat berharga dalam valuta asing yang
diagunkan pada setelmen first leg dihitung sebagai
berikut:
Nilai nominal
surat berharga dalam
valuta asing yang diagunkan
=
Kurs
transaksi
ร (
Harga
surat berharga
โHaircut)
Nilai setelmen
first leg
Keterangan :
Nilai setelmen
first leg
Kurs transaksi
: besarnya nominal rupiah yang
dimenangkan pada saat setelmen
first leg
: kurs tengah dari kurs transaksi
Bank Indonesia pada tanggal
transaksi
Harga surat
berharga
: harga
surat
berharga
sebagaimana diumumkan pada
saat pelaksanaan transaksi untuk
surat berharga dalam valuta asing
(sovereign bond)
Haircut
: haircut sebagaimana diumumkan
oleh Bank Indonesia pada saat
21
pelaksanaan transaksi untuk
surat berharga dalam valuta asing
(sovereign bond)
(2) Kurs yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen
atas transaksi yang menggunakan surat berharga dalam
valuta asing yaitu kurs transaksi Bank Indonesia pada
tanggal transaksi.
(3) Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung
sebagai berikut:
Nilai
setelmen =
second leg
Bunga
=
Transaksi Repo
Nilai
setelmen
first leg
Nilai
setelmen
first leg
ร Repo rate ร
+
Bunga
Transaksi Repo
Jangka waktu
360
Keterangan :
Jangka waktu : jangka waktu Transaksi Repo OPT
Konvensional
Bagian Kelima
Pelunasan SBI Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption)
Pasal 22
(1) Pelunasan SBI sebelum jatuh waktu (early redemption)
dilakukan dalam hal terjadi:
a. kegagalan setelmen Transaksi Repo OPT
Konvensional jatuh waktu; atau
b. kegagalan setelmen Transaksi Lending Facility jatuh
waktu,
yang menggunakan SBI.
(2) Pelunasan SBI sebelum jatuh waktu (early redemption)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
perhitungan setelmen nilai tunai sebagai berikut:
Nilai tunai
early redemption =
Nilai nominal ร 360
360+(Tingkat diskonto ร Sisa jangka waktu)
22
Keterangan :
Nilai nominal
Tingkat diskonto
: nilai nominal SBI
: rataโrata tertimbang tingkat
diskonto pada saat SBI diterbitkan
Sisa jangka waktu : jumlah hari sebenarnya (actual
days) yang dihitung sejak 1 (satu)
hari sesudah tanggal gagal setelmen
transaksi Operasi Moneter sampai
dengan tanggal jatuh waktu SBI
(maturity date)
Bagian Keenam
Pelunasan SBIS Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption)
Pasal 23
(1) Dalam hal terjadi kegagalan setelmen Transaksi
Financing Facility jatuh waktu yang menggunakan SBIS,
nilai setelmen pelunasan SBIS sebelum jatuh waktu
(early redemption) yaitu sebesar nilai nominal SBIS yang
di-early redeem dan imbalan SBIS yang menjadi hak
peserta OMS.
(2) Imbalan SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung sampai dengan tanggal early redemption SBIS.
Bagian Ketujuh
Pelunasan SDBI Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption)
Pasal 24
(1) Pelunasan SDBI sebelum jatuh waktu (early redemption)
dilakukan dalam hal terjadi:
a. kegagalan setelmen Transaksi Repo OPT
Konvensional jatuh waktu;
b. kegagalan setelmen Transaksi Lending Facility jatuh
waktu; atau
c. transaksi antara BUK dengan pihak selain BUK,
yang menggunakan SDBI.
23
(2) Pelunasan SDBI sebelum jatuh waktu (early redemption)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
perhitungan setelmen nilai tunai sebagai berikut:
Nilai tunai
early redemption =
Keterangan :
Nilai nominal
Nilai nominal ร 360
360 + (Tingkat diskonto ร Sisa jangka waktu)
: nilai nominal SDBI
Tingkat diskonto : rata-rata tertimbang tingkat
diskonto pada saat SDBI
diterbitkan
Sisa jangka
waktu
: jumlah hari sebenarnya (actual
days) yang dihitung sejak 1 (satu)
hari sesudah tanggal gagal
setelmen transaksi OMK sampai
dengan tanggal jatuh waktu SDBI
(maturity date)
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai kriteria dan persyaratan surat
berharga dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud
dalam:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/29/DPM
tanggal 29 November 2016 perihal Kriteria dan
Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga
Perantara dalam Operasi Moneter; dan
b. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
19/17/PADG/2017 tanggal 28 Desember 2017 tentang
Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan
Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter Syariah,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
24
Pasal 26
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan
Anggota Dewan Gubernur
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 April 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/8/PADG/2018
TENTANG
KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA
DALAM OPERASI MONETER
I. UMUM
Dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai tujuan
Bank Indonesia, dilakukan pengendalian moneter yang salah satunya
melalui pelaksanaan Operasi Moneter yang dilakukan baik secara
konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.
Dalam melaksanakan Operasi Moneter baik secara konvensional
maupun berdasarkan prinsip syariah tersebut, Bank Indonesia
menetapkan kriteria dan persyaratan surat berharga yang dapat digunakan
dalam Operasi Moneter.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
2
Ayat (2)
Huruf a
Kerja sama antara bank sentral negara lain dengan Bank
Indonesia antara lain dalam bentuk cross border collateral
arrangement.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Pemenuhan prinsip syariah dinyatakan dalam bentuk pemberian
fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas yang berwenang
mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
3
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
4
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/8/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER </reg_title>
<set_date> 30 April 2018 </set_date>
<effective_date> 30 April 2018 </effective_date>
<replaced_reg> '18/29/DPM|SE-BI/2016', '19/17/PADG/2017' </replaced_reg>
<related_reg> '20/5/PBI/2018' </related_reg>
|
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/34/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter,
Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia
sebagai salah satu instrumen operasi moneter
berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa sebagai salah satu instrumen operasi moneter
berdasarkan prinsip syariah, diperlukan pengaturan
karakteristik Sukuk Bank Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar
Terbuka;
Mengingat
: Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang
Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah beberapa kali
2
diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/14/PBI/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi
Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6278);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN
GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG
INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen
Operasi Pasar Terbuka sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/28/PADG/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang
Instrumen Operasi Pasar Terbuka diubah sebagai berikut:
1. Di antara angka 15 dan angka 16 Pasal 1 disisipkan 1
(satu) angka, yakni angka 15A dan angka 42 diubah
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah.
2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya
disingkat BUK adalah bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan.
3
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter, yang dilakukan secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah.
6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya
disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian
moneter yang dilakukan secara konvensional.
7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat
OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh
Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat
OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang
dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain
untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.
9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang
selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah
kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar
valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan BUK dan/atau pihak lain.
10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya
disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di
pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau
pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain.
4
11. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta
OMK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan
operasi moneter.
12. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang
telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai
peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kepesertaan operasi moneter.
13. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah
dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai
dealer utama yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi
Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kepesertaan operasi moneter.
14. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
15. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan
prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu
pendek.
15A. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut
SukBI adalah sukuk yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia dengan menggunakan underlying asset
berupa surat berharga berdasarkan prinsip syariah
milik Bank Indonesia.
16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek
yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK.
5
17. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing
yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat
berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka
waktu pendek.
18. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah surat utang negara dan surat berharga
syariah negara.
19. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara.
20. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
21. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga
untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi
penjualan surat berharga oleh Peserta OPT
Konvensional kepada Bank Indonesia, dengan
kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT
Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu
yang disepakati.
22. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga
untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi
penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah
kepada Bank Indonesia, dengan janji pembelian
kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati.
23. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT
Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi
Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi
pembelian surat berharga oleh Peserta OPT
Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban
penjualan kembali oleh Peserta OPT Konvensional
6
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati.
24. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT
Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse
Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat
berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank
Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh
Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati.
25. Penempatan Berjangka OPT Konvensional yang
selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT
Konvensional adalah penempatan dana secara
berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah dan/atau
valuta asing milik Peserta OPT Konvensional.
26. Penempatan Berjangka OPT Syariah yang selanjutnya
disebut Transaksi Term Deposit OPT Syariah adalah
penempatan dana secara berjangka di Bank
Indonesia dalam valuta asing milik Peserta OPT
Syariah.
27. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta
asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana
dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
28. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia adalah transaksi
beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia
dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja
setelah tanggal transaksi.
29. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia adalah transaksi
jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua)
hari kerja setelah tanggal transaksi.
30. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta
asing terhadap rupiah melalui pembelian atau
penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau
pembelian kembali secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang
sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
7
31. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia adalah transaksi
jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi
pembelian kembali valuta asing terhadap rupiah oleh
Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang
sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
32. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia adalah
transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi
penjualan kembali valuta asing terhadap rupiah oleh
Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang
dilakukan secara simultan dengan counterpart yang
sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
33. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli
valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan
dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal transaksi.
34. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia adalah
transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih
dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
35. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah
transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank
Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih
dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
36. Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward yang
selanjutnya disebut Transaksi DNDF adalah
transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang
standar (plain vanilla) berupa transaksi forward
dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar
domestik.
37. Mekanisme Fixing adalah mekanisme penyelesaian
transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara
menghitung selisih antara kurs Transaksi Forward
8
dan kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah
ditetapkan di dalam kontrak (fixing date).
38. Transaksi DNDF Jual Bank Indonesia adalah
transaksi derivatif jual valuta asing terhadap rupiah
yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia
berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing
yang dilakukan di pasar domestik.
39. Transaksi DNDF Beli Bank Indonesia adalah
transaksi derivatif beli valuta asing terhadap rupiah
yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia
berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing
yang dilakukan di pasar domestik.
40. Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate
yang selanjutnya disebut JISDOR adalah representasi
harga spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah
dari transaksi antar Bank di pasar domestik,
termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri,
yang informasi data transaksinya dapat diakses
melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank
dengan pihak domestik.
41. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat
DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan
cara setelmen surat berharga dan setelmen dana
dilakukan secara bersamaan.
42. Pelunasan atau Pencairan Sebelum Jatuh Waktu
yang selanjutnya disebut Early Redemption adalah
pelunasan SBI, SDBI, SukBI, SBBI Valas sebelum
jatuh waktu atau pencairan Term Deposit OPT
Konvensional atau Term Deposit OPT Syariah sebelum
jatuh waktu.
43. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform
yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah
Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
9
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
44. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah
BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
45. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia,
termasuk hari kerja operasional terbatas Bank
Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3) huruf b dilaksanakan melalui instrumen sebagai
berikut:
a. penerbitan SBIS dan/atau SukBI;
b. Transaksi Repo OPT Syariah dan/atau Transaksi
Reverse Repo OPT Syariah;
c.
transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara
putus (outright) di pasar sekunder;
d. Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta
asing; dan/atau
e. transaksi lainnya yang memenuhi prinsip syariah
baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta
asing.
10
3. Di antara Bagian Kesatu dan Bagian Kedua Bab V
disisipkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Kesatu A dan di
antara Pasal 52 dan Pasal 53 disisipkan 5 (lima) pasal,
yakni Pasal 52A sampai dengan Pasal 52E sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kesatu A
Penerbitan SukBI
Paragraf 1
Karakteristik SukBI
Pasal 52A
Penerbitan SukBI merupakan instrumen yang digunakan
oleh Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di
pasar uang berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 52B
(1) SukBI memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. menggunakan underlying asset berupa SBSN;
b. memiliki satuan unit sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah);
c. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang
dinyatakan dalam jumlah hari kalender, yang
dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal
setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu;
d. diterbitkan tanpa warkat (scripless) dan
ditatausahakan di BI-SSSS;
e. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia;
f. hanya dapat dibeli oleh BUS dan UUS di pasar
perdana;
g. dapat diperdagangkan (tradable) di pasar
sekunder;
h. hanya dapat dimiliki oleh Bank; dan
i. hanya dapat ditransaksikan antar-Bank antara
lain dengan cara pembelian dan/atau penjualan
11
secara putus (outright), pinjam-meminjam,
repurchase agreement (repo), atau dijadikan
agunan.
(2) SukBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
menggunakan akad al-musyarakah al-muntahiyah bi
al-tamlik.
(3) Bank Indonesia menetapkan nisbah bagi hasil SukBI
untuk pemilik SukBI.
(4) SukBI diterbitkan dan ditransaksikan di Sistem BI-
ETP.
(5) SukBI yang masih dalam status agunan tidak dapat
diperdagangkan.
Pasal 52C
(1) Bank Indonesia melunasi SukBI sebesar nilai
nominal pada saat jatuh waktu.
(2) Bank Indonesia dapat melakukan Early Redemption
atas SukBI, dalam hal:
a. terdapat pertimbangan Bank Indonesia terkait
strategi pengelolaan moneter; atau
b. SukBI dimiliki oleh pihak selain Bank.
(3) Early Redemption atas SukBI sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan persetujuan
pemilik SukBI.
(4) Contoh perhitungan jangka waktu SukBI tercantum
pada Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur
ini.
Pasal 52D
(1) Bank Indonesia membayar imbalan atas SukBI
kepada Bank dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pada saat SukBI jatuh waktu; atau
b. sebelum jatuh waktu, dalam hal Bank tidak
dapat memenuhi kewajiban second leg transaksi
repurchase agreement (repo) SukBI sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
12
mengatur mengenai operasi pasar terbuka dan
standing facilities.
(2) Perhitungan imbalan SukBI dihitung berdasarkan
rumus sebagai berikut:
Nilai
=
Imbalan SukBI
Nilai
Nominal
SukBI
ร (
Jangka Waktu
SukBI
360
) ร
Paragraf 2
Mekanisme Penerbitan SukBI
Pasal 52E
Penerbitan SukBI dilakukan dengan mekanisme lelang
melalui Sistem BI-ETP.
4. Ketentuan dalam Pasal 54 huruf a diubah sehingga Pasal
54 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 54
Transaksi Repo OPT Syariah memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. menggunakan akad al baiโ (jual beli) yang disertai
dengan janji (al waโd) oleh Peserta OPT Syariah
kepada Bank Indonesia, dalam dokumen terpisah,
untuk membeli kembali SBSN dan/atau SukBI dalam
jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati;
b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender
dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
dalam hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari
kalender setelah tanggal setelmen sampai dengan
tanggal jatuh waktu;
c. margin repo diperhitungkan pada saat setelmen
second leg Transaksi Repo OPT Syariah; dan
d. hak penerimaan imbalan atas surat berharga yang di-
repo-kan selama periode Transaksi Repo OPT Syariah
tetap merupakan milik Peserta OPT Syariah.
Tingkat
Imbalan
SukBI
13
5. Lampiran ditambahkan 1 (satu) lampiran, yakni Lampiran
V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini.
Pasal II
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2018
ANGGOTA DEWAN GUBERNUR,
TTD
ERWIN RIJANTO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/34/PADG/2018
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR
NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa
tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia
menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi
Moneter berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu perlu dilakukan
perubahan kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor
20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
2
Angka 2
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 52A
Cukup jelas.
Pasal 52B
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
BUK dapat memiliki SukBI melalui transaksi di
pasar sekunder.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan โakad al-musyarakah al-
muntahiyah bi al-tamlikโ adalah kontrak syirkah 2 (dua)
pihak atau lebih yang diikuti dengan pembelian porsi
(hishshah) oleh 1 (satu) pihak dari pihak lain pada saat
akhir kontrak atau jatuh waktu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
3
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 52C
Cukup jelas.
Pasal 52D
Cukup jelas.
Pasal 52E
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 54
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
| <reg_type> PADG </reg_type>
<reg_id> 20/34/PADG/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 20 Desember 2018 </set_date>
<effective_date> 20 Desember 2018 </effective_date>
<changed_reg> '20/5/PADG/2018' </changed_reg>
<extension_of> '20/28/PADG/2018' </extension_of>
<related_reg> '20/14/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
|