0
dict | 1
dict |
---|---|
{
"from": "human",
"value": "Apakah putusan BANI dapat dimintakan pembatalan? Apa alasan dan bagaimana prosedurnya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Pembatalan putusan BANI, sebagai salah satu badan arbitrase Indonesia, hanya dapat dilakukan jika terdapat hal-hal yang luar biasa . Mengacu pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif (“UU APSA”) , putusan arbitrase dapat dibatalkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu ; setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa Di samping itu, Reglement op de Rechtvordering (“Rv”) yang hingga saat ini masih berlaku juga memberikan kemungkinan pembatalan putusan arbitrase. Pasal 643 Rv menyebutkan secara limitatif alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase. Disebutkan bahwa ada 10 alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase, yaitu: apabila putusan diberikan melampaui batas-batas perjanjian; apabila putusan diberikan berdasarkan: suatu persetujuan yang batal, atau telah lewat waktunya; apabila putusan diambil oleh arbiter yang tidak berwenang memutus tanpa hadirnya arbiter-arbiter yang lainnya; apabila putusan: telah mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut; atau telah mengabulkan lebih daripada yang dituntut; apabila putusan mengandung keputusan-keputusan yang satu sama lain saling bertentangan; apabila arbiter telah melalaikan untuk memberikan keputusan tentang satu atau beberapa hal yang menurut persetujuan, telah diajukan kepada mereka untuk diputus; apabila arbiter melanggar formalitas-formalitas hukum acara yang harus diturut, dengan ancaman kebatalan putusannya; apabila putusan didasarkan atas: surat-surat yang palsu, dan kepalsuan itu diakui atau dinyatakan sebagai palsu setelah keputusan dijatuhkan; apabila setelah putusan diberikan: diketemukan lagi surat-surat yang menentukan, dan yang dulu disembunyikan oleh para pihak; apabila putusan didasarkan atas: kecurangan; atau itikad buruk. Proses Pengajuan Pembatalan Putusan BANI Merujuk pada Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 UU APSA beserta penjelasannya , permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada ketua pengadilan negeri . Pengajuannya disampaikan secara tertulis dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri . Ini berarti, permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan . Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 71 UU APSA, yakni: Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri Demikian pula, kewenangan untuk memeriksa pembatalan putusan arbitrase berada di tangan ketua pengadilan negeri . [1] Pemeriksaannya dilakukan menurut proses peradilan perdata. Pihak yang mengajukan tuntutan pembatalan putusan arbitrase harus mengemukakan alasannya disertai dengan buktinya. Atas dasar alasan dan bukti tersebut, ketua pengadilan negeri dapat mengabulkan atau menolak permohonan tuntutan pembatalan putusan arbitrase tersebut. Putusan atas permohonan pembatalan putusan arbitrase harus sudah ditetapkan oleh ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan pembatalan putusan arbitrase dimaksud diterima. [2] Apabila permohonan pembatalan putusan arbitrase dimaksud dikabulkan oleh ketua pengadilan negeri, maka ketua pengadilan negeri menentukan lebih lanjut akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan. [3] Setelah diucapkan pembatalan putusan arbitrase oleh ketua pengadilan negeri, sebagaimana dijelaskan dalam Alinea Kedua Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU APSA , ketua pengadilan negeri dapat memutuskan bahwa sengketa yang dibatalkan tersebut akan diperiksa kembali oleh: arbiter yang sama; arbiter yang lainnya; sengketa tersebut tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase. Sebaliknya, apabila alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut tidak terbukti, ketua pengadilan negeri akan menolak permohonan dimaksud disertai dengan alasan-alasannya . Terhadap putusan tersebut, dapat diajukan permohonan upaya hukum ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Demikian penegasan Pasal 72 ayat (4) dan (5) UU APSA yang berbunyi: Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir; Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. Jadi, UU APSA masih memberikan kemungkinan upaya hukum terhadap putusan pengadilan negeri atas permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut. Upaya hukum yang dimaksud hanya dapat diajukan ke Mahkamah Agung . Pengajuannya dilakukan secara tertulis oleh pihak yang menginginkan upaya hukum. Dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan upaya hukum diterima Mahkamah Agung, Mahkamah Agung sudah memberikan putusan terhadap permohonan tersebut. Putusan Mahkamah Agung ini merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir , artinya tidak ada upaya hukum lainnya yang bisa ditempuh jika ada pihak yang keberatan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Reglement op de Rechtvordering Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif [1] Alinea Pertama Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU APSA [2] Pasal 72 ayat (3) UU APSA [3] Alinea Pertama Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU APSA bani acara peradilan hukumonline perdata"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mengapa dalam sidang Tindak Pidana Ringan dalam Acara Pemeriksaan Cepat saksi tidak disumpah? Apakah perbuatan tersebut tidak menyalahi aturan Pasal 160 KUHAP yang menyatakan saksi itu harus disumpah?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Ya benar bahwa pada dasarnya dalam memberikan keterangan di sidang pengadilan saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Namun, dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali dianggap perlu oleh hakim . Apa alasannya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tindak Pidana Ringan Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 422) menyatakan antara lain bahwa Tindak Pidana Ringan (“Tipiring”) merupakan jenis tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan. Lebih lanjut Yahya menjelaskan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) tidak menjelaskan mengenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan acara ringan. Namun, KUHAP menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”. [1] Berikut pengaturan mengenai Tipiring dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP : Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini. Merujuk pada ketentuan-ketentuan di atas, jelas bahwa Tipiring adalah tindak pidana dimana ancaman hukumannya adalah pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500 (dengan penyesuaian), dan penghinaan ringan. Kemudian dengan adanya penyesuaian denda dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP , diterbitkanlah Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif ( Restorative Justice ) (“Nota Kesepakatan 2012”). Nota Kesepakatan 2012 tersebut menyebutkan bahwa Tipiring adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 10.000 kali lipat dari denda. Pasal-pasal yang merupakan Tipiring tersebut terdapat dalam Buku II KUHP. Penjelasan selengkapnya mengenai tindak pidana ringan dapat Anda simak dalam artikel Tindak Pidana Ringan (Tipiring) . Pemeriksaan Saksi Pada Tindak Pidana Ringan Pasal 160 ayat (3) dan (4) KUHAP memang mengatur mengenai keharusan saksi disumpah sebelum memberikan keterangan di persidangan, aturannya berbunyi: … … Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya ; Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan . Tetapi ada beberapa ketentuan dalam Acara Pemeriksaan Cepat (termasuk Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan) yang berbeda dengan ketentuan Pasal 160 (Acara Pemeriksaan Biasa) dalam hal pemeriksaan saksi. Yahya (hal. 423 s.d hal. 429) menjelaskan dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan diatur antara lain bahwa: Pelimpahan dan pemeriksaan perkara Tipiring langsung dilimpahkan oleh penyidik ke pengadilan tanpa melalui penuntut umum. Penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu 3 (tiga) hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan. [2] Lebih lanjut dijelaskan bahwa semua perkara Tipiring yang diterima pengadilan segera disidangkan pada hari itu juga. Pemeriksaan Tipiring diperiksa dan diadili oleh hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir. [3] Pengajuan perkara tanpa surat dakwaan. Ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili menurut acara pemeriksaan cepat tersebut tidak diperlukan surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum seperti untuk pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam buku register tersebut. [4] Saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu . [5] Jadi menurut Pasal 208 KUHAP , dalam acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan, saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali dianggap perlu oleh hakim. Prinsip pada Pasal 208 KUHAP ini seolah-olah bertentangan dengan Pasal 160 ayat (3) KUHAP yang menegaskan “kewajiban” saksi untuk mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberi keterangan. Apa yang menjadi latar belakang dan alasan pembuat undang-undang mengenai hal ini tidak dijelaskan . Bagaimanapun anggapan yang diberikan terhadap Tipiring jangan sampai melenyapkan nilai-nilai kekhidmatan dan kebenaran sejati dalam pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan. [6] Bertitik tolak dari prinsip pemikiran ini, sebaiknya hakim yang memeriksa perkara dalam acara tindak pidana ringan mengikuti saja kalimat terakhir Pasal 208 yang mengatakan saksi sebelum memberi keterangan mengucapkan sumpah atau janji “jika itu dianggap perlu oleh hakim”. Anggap saja pengucapan sumpah atau janji itu perlu demi untuk menjamin kejujuran dan moralitas saksi mengutarakan keterangan yang sebenarnya. Dari segi kejiwaan, hakim yang bersangkutan akan lebih lega menjatuhkan putusan jika didukung oleh keterangan saksi yang dilandasi dengan sumpah atau janji. [7] Tanpa saksi pun perkara dapat diputus, karena dalam acara tindak pidana ringan Pasal 183 KUHAP tentang asas minimum pembuktian sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, tidak perlu diterapkan secara mutlak. [8] Buktinya Pasal 208 KUHAP sendiri sudah menegaskan, saksi yang memberi keterangan di sidang pengadilan “tidak mengucapkan” sumpah atau janji. Akan tetapi seperti yang dikatakan, seandainya ada pemeriksaan keterangan saksi, sebaiknya saksi yang bersangkutan lebih dulu mengucapkan sumpah sebelum memberikan keterangan. Karena hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan undang-undang. [9] Jadi memang benar bahwa pada dasarnya dalam memberikan keterangan di sidang pengadilan saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Dan dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali dianggap perlu oleh hakim . Saksi yang tidak mengucapkan sumpah dalam memberikan keterangan dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidaklah menyalahi aturan. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Referensi : Harahap, Yahya. 2015. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. [1] Yahya Harahap, hal. 422 [2] Pasal 205 ayat (2) KUHAP [3] Pasal 205 ayat (3) KUHAP [4] Penjelasan Pasal 207 ayat (2) huruf b KUHAP [5] Pasal 208 KUHAP [6] Yahya Harahap, hal. 428 [7] Yahya Harahap, hal. 428 [8] Yahya Harahap, hal. 428 [9] Yahya Harahap, hal. 428 acara peradilan hukumonline google keterangan saksi tipiring klinik hukum tindak pidana klinik hukumonline saksi pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Teman saya menganut ateisme. Apakah hal ini diperbolehkan di Indonesia? Apabila boleh, apakah dia boleh menyebarkan kepercayaannya itu? Lalu bagaimana dengan agnostisisme? Mohon pencerahannya. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menurut Helmy Hidayahtulloh dalam buku Ateisme dan Teisme Modern (hal. 63) pengertian ateisme adalah sebagai berikut:\n\nKata “ateisme” dapat dipahami dari kata-kata penyusunnya. Imbuhan “a” berarti “tanpa” atau “kurang” dan “teisme” berasal dari istilah Yunani “theos” yang berarti Tuhan. Apabila “teisme” berarti kepercayaan kepada Tuhan”, maka pemahaman yang paling umum dari istilah “ateisme” adalahketidakyakinan pada Tuhan. Oleh sebab itu “ateis” merupakan individu yang tidak percaya pada Tuhan.\nLebih lanjut menurut Nurcholish Majid, pada dasarnya ateisme adalah paham yang mengingkari adanya Tuhan. Bagi kaum ateis, yang ada ialah alam kebendaan dan kehidupan pun terbatas hanya dalam kehidupan duniawi ini saja. Kehidupan ruhani serta alam setelah kematian adalah khayal manusia yang tidak terbukti kebenarannya, karena itu mereka tolak.[1]\n\nAdapun dalam KBBI, pengertian ateisme adalah paham yang tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa secara sederhana ateisme diartikan sebagai paham tidak mempercayai adanya Tuhan.\n\nSedangkan orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan, disebut dengan ateis.\nApakah Boleh Menjadi Ateis di Indonesia?\n\nPancasila sebagai ideologi negara sekaligus dasar filosofis negara Indonesia,[2] sila pertama menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan, yang menciptakan alam semesta beserta isinya.\n\nHal ini juga ditegaskan Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna yang menyatakan bahwa kuatnya saham keagamaan dalam fondasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak membayangkan ruang publik hampa Tuhan. Sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama, mengatasi komunitas kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas dari Ketuhanan (hal. 67).\n\nLebih lanjut, prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ini juga tertuang dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:\n\nNegara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.\n\nBerdasarkan hal tersebut, maka unsur ateisme bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.[3]\n\nAkan tetapi, sepanjang penelusuran kami tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas dan eksplisit melarang ataupun memberikan sanksi bagi seorang ateis.\n\nArtinya, secara hukum, tidak ada peraturan perundang-undangan yang tegas melarang seseorang menganut paham ateisme. Konsekuensi hukum dari seseorang yang menganut paham ateisme adalah tidak dapat menikmati hak-hak yang pada umumnya bisa dinikmati mereka yang menganut agama tertentu di Indonesia.\n\nMisalnya kesulitan mengurus perkawinan, karena menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan sahapabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Selain itu, juga akan kesulitan mengurus dokumen-dokumen kependudukan seperti KTP yang mengharuskan adanya pencantuman agama atau kepercayaan.[4]\n\nBerbeda halnya halnya dengan ateis yang “hanya” menganut paham ateisme, penyebar paham ateisme di Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini diatur di dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan[5] yaitu tahun 2026 sebagai berikut.\nPasal 156a KUHPPasal 302 UU 1/2023Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.Setiap orang yang di muka umum menghasut agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III yaitu Rp50 juta.[6]Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu Rp200 juta.[7]\n\nBerdasarkan Pasal 156a KUHP di atas dapat dipahami bahwa seorang ateisme dilarang menyebarkan paham ateisme. Sementara jika seseorang menyebarkan ateisme dengan cara menghasut atau menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain menjadi ateis dapat dipidana berdasarkan Pasal 302 UU 1/2023\nApakah di Indonesia Boleh Agnostik?\nMenurut Kamarusdiana dalam buku Filsafat Hukum (hal. 153) agnostisisme didefinisikan sebagai berikut:\n\nAgnostisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu umumnya yang berkaitan dengan theology, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa dan sebagainya adalah tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas, karena pengetahuan yang terbatas dan membawa keterbatasan dari segi ilmu pengetahuan.\n\nLebih lanjut Helmy Hidayatulloh (hal. 77) menjelaskan bahwa agnostisisme berarti tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan percaya bahwa pengetahuan tentang Tuhan tidak dapat diperoleh. Adapun penganut agnostisisme ini disebut dengan agnostik.\n\nSementara, menurut KBBI, agnostisisme adalah paham yang mempertahankan pendirian bahwa manusia itu kekurangan informasi atau kemampuan rasional untuk membuat pertimbangan tentang kebenaran tertinggi. Agnostisisme juga diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan.\n\nLebih lanjut, menurut KBBI, agnostik adalah orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (misalnya Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui.\n\nAgnostik juga dapat diartikan sebagai orang yang berpendapat bahwa beberapa aspek supranatural selamanya tertutup bagi pengetahuan manusia.[8]\n\nBerdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa agnostisisme suatu pandangan bahwa ada atau tidaknya Tuhan adalah suatu yang tidak diketahui atau tidak dapat diketahui. Sementara ateisme merupakan paham yang tidak mempercayai adanya Tuhan.\n\nLantas, apakah di Indonesia boleh agnostik? Mengacu pada ulasan di atas dapat dipahami bahwa terhadap paham agnostisisme maupun ateisme tidak secara tegas dilarang ataupun ditentukan sanksi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.\n\nAkan tetapi, patut diperhatikan Pasal 156a KUHP yang melarang seorang ateis ataupun agnostik menyebarkan pahamnya dengan tujuan agar orang lain tidak menganut suatu agama apapun. Terlebih jika penyebarannya dilakukan dengan cara menghasut atau dengan ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan, Pasal 302 UU 1/2023 melarang hal tersebut.\n\nBaca juga: Kebebasan Memeluk Agama dan Kepercayaan sebagai Hak Asasi Manusia\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/undang-undang-dasar-1945/consolidations?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n3. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974)\n4. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014/undang-undang-nomor-16-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_16_2019)\n5. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26195/undangundang-nomor-23-tahun-2006/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_23_2006)\n6. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e8dd4cb6d80/node/758/uu-no-24-tahun-2013-perubahan-atas-undang-undang-nomor-23-tahun-2006-tentang-administrasikependudukan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_24_2013)\n7. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e573e59d0487/nprt/lt4d50fbec8b2ce/uu-no-12-tahun-2011-pembentukan-peraturan-perundang-undangan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_12_2011)\n8. [Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5da039a94937f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_15_2019)\n9. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62b01b9e7e96e/undang-undang-nomor-13-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2022)\n10. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.\n\nREFERENSI:\n1. Helmy Hidayatulloh. Ateisme dan Teisme Modern: Studi Kritis terhadap Bertrand Russell dan Nurcholish Madjid. Tangerang Selatan: Pustakapedia, 2020\n2. Kamarusdiana. Filsafat Hukum. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2018\n3. Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012\n4. Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2016, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 14.20 WIB\n5. Ateisme, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 14.51 WIB\n6. Ateis, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 15.01 WIB\n7. Agnostisisme, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 15.51 WIB\n8. Agnostik, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 15.30 WIB.\n[1] Helmy Hidayatulloh. Ateisme dan Teisme Modern: Studi Kritis terhadap Bertrand Russell dan Nurcholish Madjid. Tangerang Selatan: Pustakapedia, 2020, hal. 167\n\n[2] Penjelasan Pasal 2 alinea ke-2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan\n\n[3]Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2016, hal. 125\n\n[4] Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukanjo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016\n\n[5] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)\n\n[6] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023\n\n[7] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023\n\n[8] Helmy Hidayatulloh. Ateisme dan Teisme Modern: Studi Kritis terhadap Bertrand Russell dan Nurcholish Madjid. Tangerang Selatan: Pustakapedia, 2020, hal. 78"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya sudah membaca artikel pertanyaan: Aturan Modifikasi Kendaraan Bermotor dan jawaban yang diberikan hukumonline. Namun saya masih belum jelas dengan hal berikut ini: Apakah memodifikasi warna kendaraan, baik sebagian maupun seluruhnya (menggunakan cat ataupun stiker) juga dianggap sebagai atau termasuk kategori \"Modifikasi Kendaraan Bermotor\" sebagaimana ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan PP No. 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan sehingga tetap memerlukan izin resmi? Demikian dan terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Modifikasi Kendaraan Bermotor adalah perubahan terhadap spesifikasi teknis dimensi, mesin, dan/atau kemampuan daya angkut Kendaraan Bermotor. Mengacu pada definisi ini, mengubah warna kendaraan bermotor dengan cat atau stiker itu bukanlah termasuk modifikasi kendaraan bermotor, melainkan perubahan fisik kendaraan bermotor. Terkait pengubahan warna kendaraan bermotor ini, ada ketentuan-ketentuan yang wajib dipatuhi yaitu antara lain: j ika pengubahan warna kendaraan bermotor hingga mengubah cat dasar sehingga berbeda dengan fisik warna kendaraan yang tercantum dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan, maka ini merupakan pelanggaran hukum jika mobil tersebut tidak diregistrasi dan diidentifikasi ulang. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Arti dan Lingkup Modifikasi Kendaraan Bermotor Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita perlu memahami arti dan lingkup Modifikasi Kendaraan Bermotor itu. Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan (“PP 55/2012”) menyebutkan sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Adakah Sanksi Jika Memodifikasi Knalpot Racing ? 15 Mei 2023 Agar Tidak Melanggar Hukum Saat Memasang Stiker Mobil 25 Jun 2015 Tidak Memasang Pelat Nomor di Bagian Depan Kendaraan 06 Mei 2015 Modifikasi Mobil Angkutan Barang Menjadi Angkutan Orang 05 Mar 2015 Modifikasi Kendaraan Bermotor adalah perubahan terhadap spesifikasi teknis dimensi, mesin, dan/atau kemampuan daya angkut Kendaraan Bermotor. Terhadapmodifikasi kendaraan bermotor yang menyebabkan perubahan tipe berupa dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut ini wajib dilakukan uji tipe yang salah satunya terdiri dari penelitian rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor. [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Apa yang dimaksud dengan modifikasi dimensi, mesin dan daya angkut? 1. Modifikasi dimensi hanya dapat dilakukan pada perpanjangan atau pemendekan landasan (chassis) tanpa mengubah jarak sumbu dan konstruksi Kendaraan Bermotor tersebut. 2. Modifikasi mesin dilakukan dengan mengganti mesin dengan mesin yang merek dan tipenya sama. 3. Modifikasi daya angkut hanya dapat dilakukan pada Kendaraan Bermotor dengan menambah sumbu bagian belakang tanpa mengubah jarak sumbu aslinya dan sumbu yang ditambahkan harus memiliki material yang sama dengan sumbu aslinya dan harus dilakukan perhitungan sesuai dengan daya dukung jalan yang dilalui. [2] Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Aturan Modifikasi Kendaraan Bermotor . Menjawab pertanyaan Anda, dari penjelasan soal modifikasi kendaraan bermotor di atas dapat dilihat bahwa mengubah warna kendaraan bukanlah termasuk modifikasi kendaraan bermotor. Mengubah warna sebagian atau seluruhnya warna kendaraan dengan menggunakan stiker maupun cat ini termasuk kategori perubahan identitas fisik kendaraan bermotor. Perubahan Identitas Fisik Kendaraan Bermotor Nah, terkait perubahan identitas fisik kendaraan bermotor ini ada ketentuan-ketentuan yang wajib dipatuhi. Jika pemasangan stiker atau mengubah warna cat kendaraan bermotor di seluruh badan kendaraan hingga me ng ubah cat dasar sehingga berbeda dengan fisik warna kendaraan yang tercantum dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan (“STNK”), maka hal ini merupakan pelanggaran hukum jika mobil tersebut tidak diregistrasi dan diidentifikasi ulang atas kendaraan tersebut. [3] Hal ini karena warna dasar fisik mobil dengan keterangan warna kendaraan bermotor pada STNK tidak boleh berbeda. Registrasi ini dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui sistem manajemen registrasi Kendaraan Bermotor yang merupakan bagian dari Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan digunakan untuk forensik kepolisian. [4] Jika Pemilik Kendaraan yang Warna Mobilnya Tidak Sesuai dengan di STNK Kasubdit Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya AKBP Hindarsono dalam artikel Berapa Tarif Ganti Warna Kendaraan? yang kami akses dari laman Detik Oto menuturkan bahwa kepolisian pastinya akan menindak pemilik kendaraan yang warna mobilnya tidak sesuai dengan di STNK. Menurut Hindarsono, warna mobil yang tidak sesuai STNK bisa jadi merupakan salah satu ciri dari kasus kejahatan, seperti mobil curian, atau bentuk kejahatan lainnya. Risiko hukumnya, jika suatu saat pengemudi mobil terkena razia atau pemeriksaan kendaraan bermotor namun tidak dapat menunjukkan STNK yang sesuai dengan fisik mobil dan ditetapkan oleh ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka ancaman pidananya adalah kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). [5] Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Agar Tidak Melanggar Hukum Saat Memasang Stiker Mobil ,apabila kita ingin mengubah warna mobil, maka harus terlebih dahulu mengubah identitas warna yang tertera di STNK. Hal ini bertujuan bukan hanya untuk tertib administrasi saja, tetapi yang lebih utama untuk pengendalian dan pengawasan kendaraan bermotor. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan . Referensi: http://oto.detik.com/read/2013/12/19/125218/2446518/1211/berapa-tarif-ganti-warna-kendaraan , diakses pada 7 Desember 2015 pukul 17.02 WIB. [1] Pasal 52 ayat (1) jo. ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) dan Pasal 131 huruf e jo. Pasal 123 ayat (1) huruf b PP Kendaraan [2] Penjelasan Pasal 131 huruf e PP Kendaraan [3] Pasal 64 ayat (2) huruf b UU LLAJ [4] Pasal 64 ayat (4) dan (5) UU LLAJ [5] Pasal 288 ayat (1) UU LLAJ klinik hukumonline uu lalu lintas hukumonline hukum"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon penjelasannya, dalam putusan pengadilan pada kasus perdata Majelis Hakim memutuskan dengan mengadili sebagai berikut: DALAM EKSEPSI : -- Menolak Eksepsi Tergugat, DALAM POKOK PERKARA : -- Menolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya -- Menghukum Penggugat untuk membayar ongkos yang timbul dalam perkara ini. Pertanyaannya, apakah arti:”DALAM EKSEPSI: Menolak Eksepsi Tergugat” tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pertama-tama, kami akan memperjelas pertanyaan Anda. Adapun yang ditanyakan adalah sebagai berikut:\n\nDALAM EKSEPSI:\nMenolak Eksepsi Tergugat\nDALAM POKOK PERKARA:\nMenolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya dan menghukum Penggugat.\n\nKutipan putusan pengadilan yang Anda sebutkan disebut amar putusan. Menurut Yahya Harahap dalam Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (hal. 811), diktum putusan atau amar adalah pernyataan (deklarasi) yang berkenaan dengan status dan hubungan hukum antara para pihak dengan barang objek yang disengketakan. Dan juga berisi perintah atau penghukuman atau condemnatoir yang ditimpakan kepada pihak yang berperkara.\n\nBunyi putusan sebagaimana yang Anda sebutkan itu dijatuhkan apabila gugatan konvensi tidak terbukti, eksepsi tidak berdasar, dan rekonvensi tidak terbukti. Apabila terhadap gugatan tergugat mengajukan eksepsi dan rekonvensi, berarti terdapat tiga pokok perkara yang harus diselesaikan dalam putusan yakni konvensi, eksepsi dan rekonvensi.[1]\n\nApabila ternyata dari hasil pemeriksaan gugatan konvensi tidak terbukti, eksepsi tidak mempunyai dasar, dan gugatan rekonvensi juga tidak terbukti, amar putusan yang harus dijatuhkan adalah:[2]\n\nDalam konvensi\n\nDalam eksepsi\n\nTolak atau tidak dapat diterima eksepsi\n\nDalam pokok perkara\n\nMenolak gugatan seluruhnya\n\nDalam rekonvensi\n\nMenolak gugatan rekonvensi seluruhnya\n\nLebih lanjut, istilah konvensi, rekonvensi, eksepsi, dalam proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan adalah:\n\nRekonvensi\n\nMenurut M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 468) istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya.\nDalam Penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya.\n\nKonvensi\n\nIstilah konvensi sebenarnya merupakan istilah untuk menyebut gugatan awal atau gugatan asli. Istilah ini memang jarang digunakan dibanding istilah gugatan karena istilah konvensi baru akan dipakai apabila ada rekonvensi (gugatan balik tergugat kepada penggugat).\nDi dalam penjelasannya, Yahya Harahap (hal. 470) menerangkan bahwa Anda dapat menemukan bahwa ketika penggugat asal (A) digugat balik oleh tergugat (B) maka gugatan A disebut gugatan konvensi dan gugatan balik B disebut gugatan rekonvensi.\n\nEksepsi\n\nMenurut Yahya Harahap (hal. 418), eksepsi secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam konteks hukum acara, bermakna tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima (oleh tergugat).\nAdapun tujuan pokok pengajuan eksepsi yaitu agar proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut memeriksa pokok perkara. Eksepsi diatur dalam Pasal 136 HIR.\n\nSepanjang penelusuran kami, contoh eksepsi antara lain gugatan penggugat kabur dan tidak jelas (obscuur libel), gugatan penggugat kurang pihak, gugatan prematur, ataupun gugatan penggugat error in persona. Sehingga, dalam eksepsi, biasanya tergugat meminta majelis hakim meminta agar gugatan penggugat dinyatakan ditolak atau tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).\nArti Putusan yang Menolak Eksepsi Tergugat\n\nDari kutipan amar putusan yang Anda sebutkan, eksepsi diperiksa dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara. Berdasarkan Pasal 136 HIR, penyelesaian eksepsi lain di luar eksepsi kompetensi:[3]\n\nDiperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara;Dengan demikian, pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersamaan secara keseluruhan dalam putusan akhir.\n\nJadi semua eksepsi, kecuali yang berkenaan dengan kompentensi, diperiksa dan diputus secara secara bersama-sama dengan pokok perkara, tidak diperiksa dan diputus secara terpisah dengan pokok perkara. Oleh karena itu, tidak boleh diputus dan dituangkan lebih dahulu dalam putusan sela.[4]\n\nAda dua acuan penerapannya yaitu:[5]\n\nEksepsi dikabulkan, putusan bersifat negatif.\n\nJika eksepsi dikabulkan, putusan akhir dijatuhkan berdasarkan eksepsi, dengan amar putusan:\n\nMengabulkan eksepsi tergugat, danMenyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima.\n\nEksepsi ditolak, putusan bersifat positif berdasarkan pokok perkara\n\nApabila hakim menolak eksepsi, putusan akhir yang dijatuhkan bersifat positif. Putusan yang dijatuhkan bertitik tolak dari materi pokok perkara, sehingga:\n\nPutusan yang dijatuhkan menyelesaikan persengketaan yang terjadi secara tuntas antara penggugat dan tergugat;Bentuk penyelesaian terkandung dalam putusan yang bersifat positif:Menolak gugatan penggugat, dengan demikian hak dan kedudukan tergugat atas objek yang disengketakan, tetap sah menurut hukum;Mengabulkan gugatan dibarengi dengan diktum yang menyatakan hak dan kedudukan tergugat atas objek sengketa, tidak sah dan harus dipulihkan ke pada penggugat.\n\nJadi menjawab pertanyaan Anda, arti dari putusan eksepsi ditolak yang Anda sebutkan adalah pemeriksaan gugatan konvensi tidak terbukti dan eksepsi tidak mempunyai dasar.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait arti putusan yang menolak eksepsi, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nHerzien Inlandsch Reglement (H.I.R).\n\nReferensi:\n\nYahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016\n\n[1] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 812[2] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 812[3] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 428[4] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 428[5] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 428–429"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana caranya membuktikan perjanjian tidak tertulis di hadapan pengadilan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami akan mengulas apakah perjanjian tidak tertulis sah menurut hukum? Dalam KUH Perdata, suatu perjanjian tidak harus dalam bentuk tertulis. Sebab, keabsahan dari suatu perjanjian didasarkan pada empat hal saja yaitu:[1]\n\nkesepakatan antar para pihak;kecakapan hukum para pihak;adanya pokok persoalan yang diperjanjikan; dankausa yang diperbolehkan.\n\nBaca juga: Pasal 1320 KUH Perdata tentang Syarat Sah Perjanjian\nBerdasarkan uraian di atas, maka secara umum tidak ada kewajiban untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertulis. Namun, undang-undang terkadang membuat pengecualian terhadap beberapa bentuk perjanjian agar dibentuk secara tertulis, antara lain:[2]\n\nPerjanjian hibah kecuali hibah hak atas tanah, dalam bentuk akta notaris;Perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotek atas kapal, dalam bentuk akta notaris;Perjanjian subrogasi, dalam bentuk akta notaris;Perjanjian pemberian kuasa membebankan hak tanggungan, dalam bentuk akta pejabat pembuat akta tanah;Perjanjian jaminan fidusia, dalam bentuk akta notaris.\n\nOleh karena itu, pembahasan ini akan didasarkan pada asumsi bahwa perjanjian yang akan dibuktikan di hadapan pengadilan bukanlah perjanjian yang harus dibentuk dalam bentuk tertulis.\nCara Membuktikan Perjanjian Tidak Tertulis\n\nDalam perkara perdata, sering kali bukti tulisan seperti perjanjian dalam bentuk tertulis yang diajukan oleh para pihak ke pengadilan untuk menegakkan hak mereka.\n\nNamun, perlu diketahui bahwa dalam pembuktian perkara perdata, Anda dapat menggunakan lima jenis alat bukti berupa:[3]\n\nbukti tulisan;keterangan saksi;persangkaan;pengakuan;\n\nBerdasarkan jenis alat bukti di atas, maka terdapat opsi lain selain bukti tulisan, seperti keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, atau sumpah untuk membuktikan adanya perjanjian di antara para pihak.\nSelain itu, pada dasarnya pengadilan harus memutus suatu perkara tanpa mengesampingkan prinsip unus testis nullus testis, yaitu bahwa suatu keterangan saksi yang tidak diperkuat alat bukti lain tidak boleh dipercaya oleh Majelis Hakim sebagai suatu kebenaran.[4]\n\nSehingga, dalam membuktikan suatu perjanjian tidak tertulis di depan pengadilan, maka tidak mutlak harus dibuktikan berdasarkan alat bukti surat. Namun, dapat dengan menghadirkan keterangan saksi dengan alat bukti lainnya seperti pengakuan dari para pihak yang melakukan perjanjian atau adanya bukti persangkaan lain seperti bukti transfer atau dokumen terkait pelaksanaan perjanjian.\n\nBukti elektronik seperti rekaman suara, foto, video, voice note, maupun surel juga dapat juga digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 5 ayat (1) UU 1/2024 yang menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.\n\nKeberadaan informasi dan/atau dokumen elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyelenggaraan sistem elektronik dan transaksi elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui sistem elektronik.[5]\n\nInformasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.[6]\n\nNamun perlu dicatat bahwa khusus untuk informasi dan/atau dokumen elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.[7]\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Herzien Inlandsch Reglement](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/27228/herzien-inlandsch-reglement?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=hir)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/undangundang-nomor-11-tahun-2008?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_2008)\n4. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n5. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65961ed500cf3/undang-undang-nomor-1-tahun-2024?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_2024)\nREFERENSI:\n1. Muhammad Syaifuddin. Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum. Bandung: CV. Mandar Maju, 2012.\n\n[1] Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)\n\n[2] Muhammad Syaifuddin. Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum. Bandung: CV. Mandar Maju, 2012, hal. 146\n\n[3] Pasal 1866 KUH Perdata jo. Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”)\n\n[4] Pasal 1905 KUH Perdata jo. Pasal 169 HIR\n\n[5] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”)\n\n[6] Pasal 5 ayat (2) UU 1/2024\n\n[7] Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU 1/2024"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya akan mendirikan sebuah perusahaan kecil yang terdiri dari bermacam bidang usaha, yaitu Warnet, Kantin, Kursus dan Workshop Multimedia. HukumOnline menjelaskan bahwa syarat mendirikan PT di antaranya perlu minimal 2 pemegang saham, sementara modal hanya berasal dari dana saya sendiri tanpa melibatkan modal orang lain. Kira-kira bentuk badan usaha apa yang cocok bagi perusahaan yang akan saya dirikan dan apa saja persyaratan dan perizinan yang harus saya penuhi sehingga perusahaan ini status hukumnya legal (tidak bermasalah dari segi hukum di kemudian hari)? Kemudian, seandainya tidak bisa berbentuk PT, apakah perusahaan itu diizinkan untuk ikut dalam tender-tender dan menjual produk, misalnya film animasi, dan lain-lain? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "I. Melihat dari deskripsi bidang usaha yand dijelaskan di atas, kami menyarankan Saudara untuk membentuk suatu Perseroan Terbatas (PT), dengan pertimbangan bahwa PT akan lebih diminati dalam hal Saudara ingin berpartisipasi mengikuti kegiatan tender di kemudian hari. II. Syarat-syarat pendirian PT: 1. memiliki minimal dua pemegang saham. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Memiliki modal dasar minimal Rp50 juta, yang paling sedikit 25% dari modal dasar tersebut telah ditempatkan dan disetor penuh pada saat pendirian (pasal 32 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas); 3. setiap pendiri wajib mengambil bagian saham; 4. didirikan dengan akta notaris. Izin-izin yang diperlukan bagi beroperasinya suatu PT: 1. Pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM 2. Surat Domisili 3. NPWP 4. SIUP 5. TDP. 6. Izin-izin teknis lainnya dari departmen teknis terkait. III.Keikutsertaan dalam tender: Syarat ini biasanya datang dari pihak penyelenggara tender. Walaupun tidak ada ketentuan dalam hukum yang mensyaratkan peserta tender harus berbentuk PT, akan tetapi penyelenggara tender biasanya mensyaratkan bagi calon peserta tender untuk berbentuk PT. Syarat bentuk badan hukum ini biasanya diikuti dengan syarat-syarat lain, seperti adanya pengalaman dalam bidang yang digeluti atau terdaftar dalam suatu organisasi nasional bidang tersebut yang telah diakui oleh pemerintah. Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah boleh membuat laporan kepada pihak Kepolisian mengenai suatu kasus tanpa mencantumkan nama asli pelapor, tapi hanya nama panggung/lainnya yang tidak sesuai dengan yang terdaftar pada kartu identitas (KTP)? Demikian pula dengan orang yang dilaporkan (terlapor), bolehkah menuliskan namanya pada surat tanda bukti laporan hanya dengan menggunakan nama panggungnya saja? Saya sedang sangat membutuhkan informasi ini. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Secara eksplisit tidak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana bahwa nama pelapor atau terlapor yang tercantum dalam laporan harus sesuai dengan identitas aslinya. Demikian halnya dalam penyelidikan dan penyidikan tidak ada keharusan menyebut suatu identitas tersangka. Namun, dalam hal seseroang membuat laporan suatu tindak pidana, saat meyampaikan laporan baik tertulis maupun lisan si pelapor diwajibkan untuk menandatangani laporan tersebut. Maka di sini pelapor harus menggunakan nama asli dalam melapor. Kemudian mengenai identitas tersangka (atau orang yang dilaporkan), penulisan nama alias dimungkinkan dilakukan jika seseorang benar-benar tidak mengetahui nama tersangkanya. Dalam penyelidikan dan penyidikan, jika seorang tersangka tidak diketahui identitasnya, polisi memiliki kewajiban untuk untuk mencari dan mengumpulkan salah satunya identitas tersangka. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Laporan Polisi Definisi laporan menurut Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat (1) KUHAP . Dari pengertian di atas, laporan merupakan suatu bentuk pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang bahwa telah ada atau sedang atau diduga akan terjadinya sebuah peristiwa pidana/kejahatan. Artinya, peristiwa yang dilaporkan belum tentu perbuatan pidana, sehingga dibutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang terlebih dahulu untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau bukan. [1] Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu . [2] Sedangkan laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik . [3] Apabila pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut. [4] Menjadi penting perihal dengan laporan yang harus ditandatangani. Menurut hemat kami meskipun tidak disebutkan secara jelas dalam peraturan, akan tetapi penandatanganan secara logis menjadi cara mempertanggung jawabkan “keabsahan” data dari suatu laporan sehingga identitas asli diperlukan. Mengenai laporan, secara lebih lanjut diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”) . Penyelidikan Kegiatan penyelidikan dilakukan : [5] sebelum ada laporan polisi/pengaduan, hal ini dilakukan untuk mencari dan menemukan tindak pidana ; [6] sesudah ada laporan polisi/pengaduan atau dalam rangka penyidikan, hal ini dilakukan untuk: [7] menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau bukan; membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan pelakunya; dan dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa. Sebelum melakukan penyelidikan, penyelidik wajib membuat rencana penyelidikan. Rencana penyelidikan sekurang-kurangnya memuat: [8] surat perintah penyelidikan; jumlah dan identitas penyidik/penyelidik yang akan melaksanakan penyelidikan; objek, sasaran dan target hasil penyelidikan ; kegiatan yang akan dilakukan dalam penyelidikan dengan metode sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; peralatan, perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan; waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan; dan kebutuhan anggaran penyelidikan. Sasaran penyelidikan meliputi: [9] orang; benda atau barang; tempat; peristiwa/kejadian; dan kegiatan. Penyelidikan dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan TKP, yaitu salah satunya untuk mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti, identitas tersangka, dan saksi/korban untuk kepentingan penyelidikan selanjutnya. [10] Penyidikan Laporan Polisi tentang dugaan adanya tindak pidana diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (“SPKT”) atau Siaga Bareskrim Polri, laporan tersebut dibuat dalam bentuk Laporan Polisi Model A atau Laporan Polisi Model B. [11] Selain itu, penyidik juga wajib membuat rencana penyidikan, yang dimaksudkan untuk melaksanakan penyidikan agar profesional, efektif dan efisien. [12] Rencana penyidikan yang dimaksud diajukan kepada atasan penyidik secara berjenjang sekurang-kurangnya memuat: [13] jumlah dan identitas penyidik; sasaran/target penyidikan ; kegiatan yang akan dilakukan sesuai tahap penyidikan; karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik; waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara; kebutuhan anggaran penyidikan; dan kelengkapan administrasi penyidikan. Tingkat kesulitan penyidikan perkara ditentukan berdasarkan kriteria: [14] perkara mudah, yang terdiri dari: [15] Saksi cukup; Alat bukti cukup; Tersangka sudah diketahui atau ditangkap; dan Proses penanganan relatif cepat. perkara sedang, antara lain: [16] Saksi cukup; Terdapat barang bukti petunjuk yang mengarah keterlibatan tersangka; Identitas dan keberadaan tersangka sudah diketahui dan mudah ditangkap; Tersangka tidak merupakan bagian dari pelaku kejahatan terorganisir; Tersangka tidak terganggu kondisi kesehatannya; dan Tidak diperlukan keterangan ahli, namun apabila diperlukan ahli mudah didapatkan perkara sulit, yaitu: [17] saksi tidak mengetahui secara langsung tentang tindak pidana yang terjadi tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu kesehatannya atau memiliki jabatantertentu; tersangka dilindungi kelompok tertentu atau bagian dari pelaku kejahatan terorganisir; barang Bukti yang berhubungan langsung dengan perkara sulit didapat; diperlukan keterangan ahli yang dapat mendukung pengungkapan perkara; diperlukan peralatan khusus dalam penanganan perkaranya; tindak pidana yang dilakukan terjadi di beberapa tempat; dan memerlukan waktu penyidikan yang cukup. perkara sangat sulit, yaitu: [18] belum ditemukan saksi yang berhubungan langsung dengan tindak pidana; saksi belum diketahui keberadaannya; saksi atau tersangka berada di luar negeri; TKP di beberapa negara/lintas negara; tersangka berada di luar negeri dan belum ada perjanjian ekstradisi; barang Bukti berada di luar negeri dan tidak bisa disita; tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu; dan memerlukan waktu penyidikan yang relatif panjang. Sebagai referensi tambahan Anda juga dapat simak artikel Prosedur Melaporkan Peristiwa Pidana ke Kantor Polisi . Kesimpulan Secara eksplisit tidak diatur bahwa seseorang harus mencantumkan nama si pelapor dan/atau tersangka dengan sesuai dengan identitas asli yang tertera dalam KTP. Bahkan dalam penyelidikan dan penyidikan tidak ada keharusan menyebut suatu identitas tersangka. Namun, dalam hal seseroang membuat laporan suatu tindak pidana, setelah meyampaikan laporan baik tertulis maupun lisan si pelapor diwajibkan untuk menandatangani laporan tersebut. Maka di sini pelapor harus menggunakan nama asli dalam melapor. Kemudian mengenai identitas tersangka (atau orang yang dilaporkan), penulisan nama alias dimungkinkan dilakukan jika seseorang benar-benar tidak mengetahui nama tersangkanya. Dalam penyelidikan, jika seorang tersangka tidak diketahui identitasnya, polisi memiliki kewajiban untuk untuk mencari dan mengumpulkan salah satunya identitas tersangka. Juga dalam penyidikan, jika tersangka belum diketahui identitasnya dimungkinkan untuk tetap diproses secara hukum. Hal ini tergantung dengan tingkat kesulitan perkaranya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana [1] Pasal 1 angka 5 KUHAP [2] Pasal 103 ayat (1) KUHAP [3] Pasal 103 ayat (2) KUHAP [4] Pasal 103 ayat (3) KUHAP [5] Pasal 11 ayat (1) Perkapolri 14/2012 [6] Pasal 11 ayat (2) Perkapolri 14/2012 [7] Pasal 11 ayat (3) Perkapolri 14/2012 [8] Pasal 16 Perkapolri 14/2012 [9] Pasal 12 ayat (2) Perkapolri 14/2012 [10] Pasal 24 huruf a angka 1 Perkapolri 14/2012 [11] Pasal 14 ayat (1) dan (2) Perkapolri 14/2012 [12] Pasal 17 ayat (1) jo. ayat (3) Perkapolri 14/2012 [13] Pasal 17 ayat (2) Perkapolri 14/2012 [14] Pasal 17 ayat (4) Perkapolri 14/2012 [15] Pasal 18 ayat (1) Perkapolri 14/2012 [16] Pasal 18 ayat (2) Perkapolri 14/2012 [17] Pasal 18 ayat (3) Perkapolri 14/2012 [18] Pasal 18 ayat (4) Perkapolri 14/2012 laporan hukumonline online tersangka korban hukum klinik hukumonline pengaduan polisi pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya dan beberapa teman ingin memulai usaha kurir, apakah izin usaha yang dibutuhkan? Terima kasih sebelumnya."
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITCara Mendapatkan Izin Usaha Produksi Pestisida18 Apr 2024 Izin Usaha Angkutan Bermotor untuk Barang Umum12 Apr 2024Izin Usaha Perdagangan Besar Hasil Perikanan07 Mar 2024Ini Izin Usaha Gym dan Nomor KBLI-nya24 Jan 2024\n\nBerdasarkan Lampiran Peraturan BPS 2/2020, pelaku usaha yang ingin melakukan kegiatan usaha aktivitas kurir dapat menggunakan Kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“KBLI”) 53201 (hal. 509).\n\nKBLI 53201 mencakup usaha jasa pelayanan pengiriman barang yang dilakukan secara komersial selain kegiatan pengiriman pos universal. Kegiatannya mencakup pengumpulan/pengambilan, penyortiran/pemrosesan, pengangkutan dan pengantaran surat, dokumen, parsel, barang, dan paket baik domestik maupun internasional melalui perusahaan dengan menggunakan satu atau lebih jenis angkutan dan kegiatannya dapat menggunakan angkutan pribadi atau angkutan umum. Aktivitas ini meliputi seluruh kegiatan penyelenggaraan pos yang jenis dan tarif layanannya ditetapkan oleh penyelenggara pos berdasarkan formula perhitungan berbasis biaya sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah.\nPerizinan Berusaha Aktivitas Kurir\nBerdasarkan Lampiran I – Sektor Pos, Telekomunikasi, Penyiaran, dan Sistem dan Transaksi Elektronik PP 5/2021 disebutkan bahwa Kode KBLI 53201 termasuk jenis usaha dengan risiko tinggi. Sehingga perizinan berusaha yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial aktivitas kurir adalah Nomor Induk Berusaha (“NIB”) dan izin. Selain itu, kegiatan usaha ini dapat dilakukan oleh seluruh pelaku usaha dari skala mikro hingga besar (hal. I.14.A.14).\n\nAdapun, izin yang dimaksud di atas merupakan persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.[1]\nSebelum memperoleh izin, pelaku usaha dapat menggunakan NIB untuk persiapan kegiatan usaha.[2] Berdasarkan Lampiran II – Sektor Pos, Telekomunikasi, Penyiaran PP 5/2021 (hal. II.14.A.34 – 36) persyaratan yang harus dipenuhi oleh KBLI 53201 untuk mendapatkan perizinan berusaha adalah sebagai berikut:\n\nMemiliki modal paling sedikit Rp500 juta;Proposal rencana usaha 5 tahun yang berisi:\n\nProfil badan usaha, struktur permodalan, susunan direksi atau pengurus, dan dewan komisaris atau pengawas;Aspek teknis;Aspek bisnis; danAspek keuangan.\n\nPernyataan:\n\nKesanggupan mematuhi ketentuan penyelenggaraan pos; danMenyampaikan data yang valid dan benar.\n\nDaftar susunan pengurus untuk membuktikan bahwa direksi, pengurus, dan/atau badan hukum pelaku usaha tidak ditetapkan dalam Daftar Hitam Penyelenggara.\n\nSelain itu, juga harus memenuhi persyaratan pembayaran biaya izin penyelenggaraan pos berdasarkan surat pemberitahuan pembayaran (hal. II.14.A.36)\n\nLebih lanjut, merujuk Lampiran III Perpres 49/2021 (hal. 3), kegiatan usaha aktivitas kurir terbuka untuk modal asing dengan maksimal kepemilikan saham sebesar 49%.\nJika mengalami kesulitan untuk mengurus pendirian perusahaan dan perizinan berusaha, silakan kontak Easybiz di [email protected] untuk solusi terbaik pendirian perusahaan dan perizinan berusaha yang legal dan tepat.\n\nDemikian jawaban kami, semoga bermanfaat.\n\nSumber Hukum:\n\nPeraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal;Peraturan Badan Pusat Statistik Nomor 2 Tahun 2020 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia.\nREFERENSI:\n1. KBLI 53201, yang diakses pada Senin, 29 April 2024 pukul 16.00 WIB.\n\n[1] Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 5/2021”)[2] Pasal 15 ayat (3) PP 5/2021"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kepada Hukumonline, saya mau bertanya, apa yang harus saya lakukan untuk memiliki izin angkutan barang umum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITKemudahan Pendirian PT untuk Usaha Mikro dan Kecil 18 Mar 2024Izin Usaha Perdagangan Besar Hasil Perikanan07 Mar 2024Izin Pertambangan Pihak Asing19 Feb 2024Ini Izin Usaha Gym dan Nomor KBLI-nya24 Jan 2024\n\nMerujuk Lampiran Permenhub PM 13/2023 (hal. 25) yang dimaksud dengan perusahaan angkutan umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan bermotor umum.\n\nAdapun, angkutan barang umum adalah angkutan barang pada umumnya yang tidak berbahaya dan tidak memerlukan sarana khusus.[1] Sedangkan yang dimaksud dengan barang umum tersebut terdiri atas:[2]\n\nmuatan umum;muatan logam;muatan barang pokok;muatan barang penting;muatan kayu;muatan yang dimasukkan ke palet/dikemas;kendaraan dengan tutup gorden samping; dankaca lembaran.\nUntuk mendapatkan izin usaha angkutan bermotor untuk barang umum, pertama-tama Anda perlu mengetahui terlebih dahulu Kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia atau KBLI untuk usaha tersebut.\n\nBerdasarkan Lampiran Peraturan BPS 2/2020 (hal. 478), pelaku usaha yang ingin melakukan kegiatan usaha angkutan bermotor untuk barang umum dapat menggunakan KBLI 49431.\nKBLI 49431 ini mencakup operasional angkutan barang dengan kendaraan bermotor dan dapat mengangkut lebih dari satu jenis barang, seperti angkutan dengan truk, pick up, bak terbuka dan bak tertutup (box).\nPerizinan Berusaha Angkutan Bermotor untuk Barang Umum\n\nLebih lanjut, dalam Lampiran I PP 5/2021 (hal. I.9.A.21) disebutkan bahwa KBLI 49431 termasuk ke dalam jenis usaha dengan tingkat risiko menengah tinggi sehingga perizinan berusaha yang dibutuhkan adalah Nomor Induk Berusaha (“NIB”) dan Sertifikat Standar yang terverifikasi. Selain itu, kegiatan usaha ini dapat dilakukan oleh seluruh pelaku usaha dari skala mikro hingga besar.\n\nSebagai informasi, sertifikat standar adalah sertifikat standar pelaksanaan kegiatan usaha yang diterbitkan pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh pelaku usaha.[3]\n\nSetelah mendapat NIB, pelaku usaha akan mendapatkan sertifikat standar yang belum terverifikasi dari Lembaga OSS.[4] Sertifikat standar yang belum terverifikasi tersebut menjadi dasar bagi pelaku usaha untuk melakukan persiapan kegiatan usaha.[5] Selanjutnya, NIB dan sertifikat standar yang telah terverifikasi merupakan perizinan berusaha untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial kegiatan usaha.[6]\n\nBerdasarkan Lampiran II – Sektor Transportasi PP 5/2021 (hal. II.9.A.108 – 109) persyaratan yang harus dipenuhi oleh KBLI 49431 untuk mendapatkan perizinan berusaha angkutan bermotor untuk kendaraan umum adalah sebagai berikut:\n\nmenggunakan mobil barang, kereta gandengan, dan/atau kereta tempelan;memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang dibuktikan dengan bukti kartu uji;dioperasikan di jalan sesuai dengan kelas jalan yang dilalui;tersedianya fasilitas bongkar muat;dilengkapi dengan surat muatan barang;memenuhi standar pelayanan minimal angkutan barang umum;menempatkan alat pemantau untuk kerja pengemudi yang dapat merekam kecepatan kendaraan dan perilaku pengemudi dalam mengoperasikan kendaraan;menempatkan perangkat sistem pemosisi global pada setiap mobil barang;memenuhi standar manajemen keselamatan; danmempunyai perjanjian muatan angkutan barang.\n\nJika mengalami kesulitan untuk mengurus pendirian perusahaan dan perizinan berusaha, silakan kontak Easybiz di [email protected] untuk solusi terbaik pendirian perusahaan dan perizinan berusaha yang legal dan tepat.\n\nDemikian jawaban kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6032548acffe0/node/534/peraturan-pemerintah-nomor-5-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_5_2021)\n2. [Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Transportasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60bdbcef78454/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenhub_12_2021)\n3. [Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Transportasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt645c8f082d9a9/peraturan-menteri-perhubungan-nomor-pm-13-tahun-2023/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenhub_13_2023)\n4. [Peraturan Badan Pusat Statistik Nomor 2 Tahun 2020 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f7aa1e49c8ba/peraturan-badan-pusat-statistik-nomor-2-tahun-2020/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=bps_2_2020)\nREFERENSI:\n1. KBLI 49431, yang diakses pada Rabu, 3 April 2024 pukul 10.01 WIB.\n\n[1] Lampiran Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Transportasi (“Permenhub PM 13/2023”) (hal. 25)\n\n[2] Lampiran Permenhub PM 13/2023 (hal. 25)\n\n[3] Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 5/2021”)\n\n[4] Pasal 14 ayat (3) dan (4) PP 5/2021\n\n[5] Pasal 14 ayat (5) PP 5/2021\n\n[6] Pasal 14 ayat (6) PP 5/2021"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adik saya menjalin hubungan suami istri dengan seorang pria. Si pria bilang kalau nanti tidak direstui oleh orang tuanya maka akan menghamili adik saya dulu biar dapat restu. Saat ini memang status adik saya sudah janda dan pria tersebut masih bujang. Setelah adik saya hamil, ternyata pria tersebut tidak mau menikahi, bahkan adik saya dipaksa minum jamu penggugur kandungan dengan iming-iming “kalau sudah minum jamu tersebut, tapi janin tidak gugur, si pria tersebut akan bilang ke orang tua untuk menikahi adik saya.” Tapi setelah diminum, janin tidak gugur. Namun si pria itu tetap mengelak untuk tanggung jawab. Apa yang bisa dilakukan oleh adik saya agar bisa menuntut pria tersebut? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu aborsi. Aborsi menurut KBBI adalah pengguguran kandungan. Selanjutnya sebagaimana disarikan dari Bunyi Pasal 346 KUHP tentang Aborsi, aborsi atau yang lebih dikenal dalam istilah hukumnya dengan abortus provocatus yang ditulis dalam bahasa latin memiliki arti dan makna pengguguran kandungan secara sengaja atau niat diri sendiri maupun orang lain.\n\nBerdasarkan cerita Anda, dapat diketahui bahwa aborsi yang dilakukan oleh adik Anda dan pacarnya atas dasar persetujuan adik Anda karena bujukan dari pacarnya tidaklah terjadi karena hal-hal di luar kehendak mereka. Walaupun aborsi tidak terjadi, adik Anda dan pacarnya tetap dapat dipidana atas tindakan percobaan melakukan aborsi.\n\nLantas, apa risiko hukum jika melakukan tindak percobaan aborsi? Berdasarkan Pasal 60 ayat (1) UU Kesehatan secara jelas melarang setiap orang untuk melakukan aborsi, kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam KUHP. Adapun pelaksanaan aborsi dengan kriteria yang diperbolehkan untuk pelaksanaan aborsi hanya dapat dilakukan dengan syarat:[1]\n\noleh tenaga medis dan dibantu tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan;pada fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri; dandengan persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban perkosaan.\n\nSelanjutnya berdasarkan Pasal 428 UU Kesehatan, sanksi yang bisa dijerat bagi Adik Anda sebagai pelaku yang melakukan aborsi dengan “persetujuan perempuan”, yaitu pidana penjara paling lama 5 tahun.\n\nSelain dalam UU Kesehatan, pada dasarnya aturan mengenai percobaan aborsi menggunakan jamu penggugur kandungan juga diatur di dalam KUHP yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan.[2] Adapun bunyi ketentuannya adalah sebagai berikut:\nKUHPUU 1/2023Pasal 53 ayat (1)Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi 1/3.Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. Pasal 17 ayat (1)Percobaan melakukan tindak pidana terjadi jika niat pelaku telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai, tidak mencapai hasil, atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri.Permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi jika:perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan untuk terjadinya tindak pidana; danperbuatan yang dilakukan langsung berpotensi menimbulkan tindak pidana yang dituju.Pidana untuk percobaan melakukan tindak pidana paling banyak 2/3 dari maksimum ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan.Percobaan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.Pidana tambahan untuk percobaan melakukan tindak pidana sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidana yang bersangkutan. Pasal 346 Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.Pasal 463 Setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.Pasal 348 Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan dengan izin perempuan itu dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.Pasal 464 Setiap orang yang melakukan aborsi terhadap seorang perempuan:dengan persetujuan perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun; atautanpa persetujuan perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.Jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.\nAdik Anda dapat dikenakan pidana terkait Pasal 60 ayat (1) jo. Pasal 428 UU Kesehatan jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP atau Pasal 17 ayat (1) UU 1/2023 dalam hal aborsi yang adik Anda lakukan termasuk ke dalam aborsi yang tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 60 ayat (2) UU Kesehatan sebagai aborsi ilegal. Apabila aborsi tersebut terjadi, maka berdasarkan Pasal 428 UU Kesehatan, adik Anda diancam dengan pidana pidana penjara paling lama 5 tahun. Sedangkan berdasarkan Pasal 346 KUHP atau Pasal 463 UU 1/2023, perbuatan aborsi tersebut apabila terjadi, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.\n\nSedangkan, pacar adik Anda dapat dipidana dengan Pasal 348 ayat (1) atau Pasal 464 ayat (1) UU 1/2023.\nNamun perlu diperhatikan, tindakan aborsi dengan minum jamu penggugur kandungan yang Anda lakukan tidak sampai pada tujuannya yaitu menggugurkan kandungan adik Anda, maka adik Anda dan pacarnya hanya dapat dipidana dengan percobaan aborsi.\n\nR. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menyinggung secara jelas mengenai unsur-unsur percobaan yang termuat dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP atau Pasal 17 ayat (1) UU 1/2023 yang diantaranya:\n\nNiat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu;Orang sudah mulai berbuat kejahatan itu; danPerbuatan kejahatan itu tidak sampai selesai, oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri.\n\nDalam hal ini, niat untuk menggugurkan kandungan tersebut sudah dari adik Anda dan pacarnya, tetapi tidak terlaksana karena hal yang di luar kehendak mereka.\n\nSedangkan, mengenai apakah adik Anda dapat menuntut pacarnya karena telah menghamili dan enggan menikahi, Anda dapat membaca ulasan berjudul Bisakah Menuntut Pacar Anak yang Enggan Menikahinya?\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n3. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt64d2f9cf7ee9d/undang-undang-nomor-17-tahun-2023/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_17_2023)\nREFERENSI:\n1. Aborsi, yang diakses pada 7 Mei 2024, pukul 08.21 WIB.\n\n[1] Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan[2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya penjual di suatu e-commerce, lalu ada pembeli yang ingin mengajukan pengembalian barang. Padahal saya sudah menulis secara jelas pada kolom deskripsi mengenai detail produk dan ketentuan tidak menerima komplain kekecilan. Tapi pembeli bersikeras karena size kekecilan. Selain itu, pembeli juga tidak mengirimkan bukti video unboxing bahwa itu benar produk yang dibeli dari saya. Pembeli merusak nama baik saya dan toko saya dengan mengatakan penipu dan mengintimidasi verbal. Saya tidak menipu karena sudah mengirim barang sesuai pesanan, dan bahkan saya berikan bonus. Apa saya bisa lapor ke polisi? Pasal berapa? Mohon bantuannya karena saya mengalami mental breakdown akibat ini."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dewasa ini, perundungan digital (cyberbullying) merupakan salah satu tindak pidana yang kerap terjadi di dunia maya. Cyberbullying merupakan bentuk intimidasi yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk keperluan yang disengaja, dilakukan terus menerus, dengan tujuan untuk merugikan orang lain dengan cara mengintimidasi, mengancam, menyakiti atau menghina harga diri orang lain, hingga menimbulkan permusuhan oleh seorang individu atau kelompok.[1]\nAdapun beberapa jenis cyberbullying sendiri antara lain flaming (pesan dengan amarah), harrasment (gangguan), denigration (pencemaran nama baik), impersonation (peniruan), outing (penyebaran), trickery (tipu daya), exclusion (pengeluaran), dan cyberstalking.[2]\nSalah satu kerusakan berat akibat tindak pidana cyberbullying yakni korban dapat mengalami tekanan secara psikis dan dapat berpotensi bunuh diri. Satu dari 5 anak korban cyberbully berpikir untuk melakukan bunuh diri. Bahkan 1 dari 10 korban cyberbully melakukan tindakan bunuh diri. Dalam setahun, ada sekitar 4500 anak yang mengakhiri nyawanya sendiri.[3]\nDalam hukum Indonesia, ketentuan cyberbullying diatur dalam UU ITE pada Pasal 27 ayat (3) dan (4) selengkapnya berbunyi:\nPasal 27 ayat (3)\nSetiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.\nPasal 27 ayat (4)\nSetiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.\nNamun kini ada ketentuan baru, Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (“RUU”) tentang perubahan kedua UU ITE dalam rapat paripurna. Adapun pada RUU Perubahan Kedua UU ITE (“RUU ITE”) tersebut, diatur ketentuan terbaru tentang pasal terkait sebagai berikut:\nPasal 27A\n\nSetiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.\nPasal 27B\n\nSetiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:\nmemberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; ataumemberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.\nSetiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:\nmemberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; ataumemberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.\n\nKemudian Penjelasan Pasal 27B ayat (1) RUU ITE menerangkan “ancaman kekerasan” dalam ketentuan ini adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi muatan yang ditujukan untuk menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir akan dilakukannya kekerasan.\n\nSementara pada Penjelasaan Pasal 27B ayat (2) RUU ITE terkait penjelasan “ancaman pencemaran” dalam ketentuan ini adalah ancaman menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.\n\nLalu, bagi yang melanggar Pasal 27A RUU ITE dipidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta sebagaimana diatur Pasal 45 ayat (4) RUU ITE. Sementara pelanggar Pasal 27B ayat (1) dan (2) RUU ITE dipidana dipenjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (8) dan (10) RUU ITE.\nUnsur-unsur Penghinaan dan Pengancaman\n\nPerbuatan yang dilakukan oleh pembeli produk Anda dapat dikategorikan sebagai perbuatan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam KUHP yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan.[4] Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut.\nPasal 310 KUHPPasal 433 UU 1/2023Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[5]Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[6]Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II yaitu Rp10 juta.[7]Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III yaitu Rp50 juta.[8]Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.\nAdapun unsur pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang dikenal sebagai penghinaan berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP yaitu: unsur kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, dan unsur maksud untuk diketahui umum. Adapun unsur-unsur ini telah dijelaskan lebih lanjut ke dalam penghinaan.\n\nSehingga pembeli yang menyebut Anda sebagai penipu tersebut dapat dikatakan telah melakukan penghinaan. Mengingat, perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.\n\nR. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 225) dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu”. “Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin\n\nBaca juga: Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk dalam Pasal Pencemaran Nama Baik\n\nJadi menjawab pertanyaan Anda, dapat disimpulkan berdasarkan UU ITE maupun RUU ITE, maka tindakan cyberbullying memenuhi unsur pelanggaran Pasal 27A atau Pasal 27B ayat (2) RUU ITE.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/27912/undangundang-nomor-11-tahun-2008?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_2008)\n3. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n4. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nREFERENSI:\n1. Friskilla Clara S.A.T, Eko Soponyono, AM. Endah Sri Astuti. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Cyberbullying dalam Upaya Pembaharuan Hukum Pidana. Diponegoro Law Journal, Volume 5, Nomor 3, 2016\n2. Nancy E. Willard. Cyberbullying and Cyberthreats: Responding to the Challenge of Online Aggression, Threats, and Distress. Research Press, 2007\n3. Seno Wibowo Gumbira, Adi Sulistiyono, Kukuh Tejomurti. Menanggulangi Cyberbullying di Sosial Media dalam Perspektif Analisa Ekonomi Mikro. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No. 4, Oktober 2019\n4. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.\n\n[1] Friskilla Clara S.A.T, Eko Soponyono, AM. Endah Sri Astuti. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Cyberbullying dalam Upaya Pembaharuan Hukum Pidana. Diponegoro Law Journal, Volume 5, Nomor 3, 2016[2] Nancy E. Willard. Cyberbullying and Cyberthreats: Responding to the Challenge of Online Aggression, Threats, and Distress. Research Press, 2007, hal. 255 – 267[3] Seno Wibowo Gumbira, Adi Sulistiyono, Kukuh Tejomurti. Menanggulangi Cyberbullying di Sosial Media dalam Perspektif Analisa Ekonomi Mikro. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No. 4, Oktober 2019, hal. 351[4] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[5] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”)[6] Pasal 3 Perma 2/2012[7] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023[8] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023"
} |
{
"from": "human",
"value": "Seorang korban penganiayaan telah mengadukan tindak pidana yang menimpa dirinya. Namun dalam menyampaikan kronologi kejadian kepada pihak kepolisian, korban tersebut merekayasa kronologi tindak pidana yang sama sekali tidak pernah terjadi. Apakah korban tersebut dapat dikenakan sanksi hukum karena memberikan keterangan palsu? Mohon jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Laporan atau Pengaduan Palsu\n\nPerlu diketahui bahwa tindakan merekayasa kronologi tindak pidana kepada pihak kepolisian pada dasarnya dapat dihukum pidana karena melanggar ketentuan dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku atau UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026, dengan bunyi sebagai berikut:\nPasal 220 KUHPPasal 361 UU 1/2023Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.Setiap orang yang melaporkan atau mengadukan kepada pejabat yang berwenang bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, padahal diketahui bahwa tindak pidana tersebut tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[2]\nAdapun R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 173) mengatakan bahwa sengaja mengajukan pemberitahuan palsu misalnya seorang istri karena takut kalah main, sehingga ia menggadaikan perhiasannya sendiri, kemudian mengatakan pada suaminya bahwa ia telah kecurian serta untuk menguatkan itu ia mengajukan juga pemberitahuan pada polisi, bahwa ia kecurian.\n\nLebih lanjut Soesilo mengatakan bahwa isi pemberitahuan itu harus suatu peristiwa pidana, misalnya kecurian, penggelapan, pembunuhan, dan sebagainya. Jika bukan peristiwa pidana tidak dapat dikenakan Pasal 220 KUHP atau Pasal 361 UU 1/2023.\n\nHal serupa juga dijelaskan oleh S.R. Sianturi, dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 132) mengenai unsur kesengajaan yang dirumuskan dengan “padahal diketahuinya”. Adapun yang termasuk dalam cakupan unsur kesengajaan hanyalah bahwa hal itu tidak dilakukan. Dalam hal ini pelaku menyadari bahwa tindakan itu tidak pernah terjadi, selain itu petindak tidak disyaratkan harus mengetahui atau mengerti apa yang dimaksud dengan tindak pidana.\n\nMasih dalam bukunya, Sianturi juga menjelaskan bahwa laporan/pengaduan itu harus diberikan kepada penguasa yang berwenang untuk menerima laporan atau pengaduan.[3]\n\nAdapun berdasarkan penjelasan Pasal 361 UU 1/2023, ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dikenal sebagai pelaporan atau pengaduan palsu. Perlu diketahui bahwa yang dilaporkan atau diadukan adalah terjadinya tindak pidana, bukan perbuatan yang tidak merupakan tindak pidana.\n\nOleh karena itu, menjawab pertanyaan Anda, jika korban penganiayaan tersebut melaporkan peristiwa yang dialaminya, akan tetapi kronologi kejadian tersebut ia rekayasa, maka ia dapat dihukum karena pengaduan atau pelaporan palsu yang diatur dalam Pasal 220 KUHP atau Pasal 361 UU 1/2023.\n\nSelanjutnya jika tindakan memberikan keterangan palsu dilakukan di atas sumpah, yang bersangkutan dapat dijerat dengan Pasal 242 KUHP atau Pasal 291 jo. Pasal 373 UU 1/2023.\n\nBaca juga: Pasal 242 KUHP tentang Pernyataan Sumpah Palsu\nContoh Putusan\n\nMengenai tindakan merekayasa kronologi tindak pidana, kami akan mencontohkan dalam Putusan PT Pontianak No. 37/PID/2019/PT PTK. Dalam putusan tersebut, terdakwa yang diperintahkan oleh ayahnya melakukan penipuan terkait laporan palsu atas hilangnya motor milik sepupu terdakwa seolah-olah menjadi korban begal. Padahal sebenarnya motor tersebut masih aman berada pada kediaman teman sepupu terdakwa (hal. 3).\n\nAtas tindakannya, terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama membuat laporan palsu” berdasarkan Pasal 220 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Terdakwa divonis pidana penjara selama tiga bulan, dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali di kemudian hari ada putusan hakim lain yang menyatakan terdakwa bersalah sebelum masa percobaan selama enam bulan berakhir (hal. 7).\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nREFERENSI:\n1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1991.S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023[3] S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983, hal. 134"
} |
{
"from": "human",
"value": "Istri saya laptopnya tertinggal di angkot, setelah dicari, supir angkot menghilang. Kami sudah melakukan hal persuasif, namun supir angkot tidak mau mengembalikan laptopnya, sekarang laptopnya sudah digadaikan supir tersebut, bagaimana menyelesaikan kasus ini secara hukum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum kami menjawab pertanyaan, dari kronologi singkat yang Anda sampaikan, kami mengasumsikan bahwa Anda dan istri sudah memastikan yang mengambil atau mencuri laptop adalah sopir angkot tersebut.\n\nSebelum kami mengulas tentang delik yang diduga dilakukan oleh sopir angkot apakah pencurian atau penggelapan, kami akan mengulas terlebih dahulu mengenai tindak pidana penggelapan sendiri diatur dalam Pasal 372 KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku atau Pasal 486 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026,[1] sebagai berikut:\nPasal 372 KUHPPasal 486 UU 1/2023Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[2] Setiap Orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[3]\nMemang antara pencurian dan penggelapan sulit untuk dibedakan, sebagaimana yang disebutkan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) dengan bunyi sebagai berikut:\n\nKadang-kadang sukar sekali untuk membedakan antara pencurian dan penggelapan, misalnya A menemukan uang di jalanan lalu diambilnya. Jika pada waktu mengambil itu sudah ada maksud (niat) untuk memiliki uang tersebut, maka peristiwa ini adalah pencurian. Apabila pada waktu mengambil itu pikiran A adalah: “uang itu akan saya serahkan ke kantor polisi” dan betul diserahkannya, maka A tidak berbuat suatu peristiwa pidana, akan tetapi jika sebelum sampai di kantor polisi kemudian timbul maksud untuk memiliki uang itu dan dibelanjakan, maka A salah menggelapkan.\n\nBerdasarkan pendapat R. Soesilo di atas, nantinya yang menentukan bahwa si sopir angkot diduga melakukan pencurian atau penggelapan adalah niatnya. Apakah pada saat menemukan laptop istri Anda, supir angkot tersebut awalnya memiliki niat untuk mengembalikan kepada istri Anda atau tidak? Karena jika ada niat awal untuk mengembalikan kepada istri Anda maka perbuatannya dapat dikategorikan sebagai penggelapan. Namun apabila si sopir angkot pada saat menemukan laptop istri Anda sudah berniat untuk menguasai dan menggadaikan laptop tersebut, maka perbuatannya dapat dikategorikan sebagai pencurian.\n\nSelain pendapat R. Soesilo, terkait penggelapan Cleiren juga berpendapat, sebagaimana yang dikutip Andi Hamzah dalam buku Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP (hal. 107), sebagai berikut:\n\nInti penggelapan ialah penyalahgunaan kepercayaan, selalu menyangkut secara melawan hukum memiliki suatu barang yang dipercayakan kepada orang yang menggelapkan itu.\n\nBerdasarkan pendapat Cleiren, penggelapan adalah penyalahgunaan kepercayaan yang dipercayakan kepada orang yang menggelapkan itu. Sehingga, berdasarkan pendapat tersebut, karena dari kronologi yang Anda sampaikan istri Anda tidak mempercayakan laptopnya kepada si sopir angkot, seperti menitipkannya, maka tindakan yang dilakukan si sopir angkot dapat dikatakan sebagai pencurian.\n\nAdapun agar suatu tindakan dapat dijerat pasal pencurian maka haruslah memenuhi unsur dalam pasal sebagai berikut:\nPasal 362 KUHPPasal 476 UU 1/2023Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[4] Setiap Orang yang mengambil suatu Barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipidana karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[5]\nPerlu diketahui terkait pasal ini, pada dasarnya R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 249) menjelaskan bahwa ini adalah “pencurian biasa”, berbagai elemen sebagai berikut:\n\nPerbuatan mengambil\n\nPerbuatan mengambil adalah tindakan mengambil barang dilakukan dengan maksud untuk menguasainya. Hal ini diartikan sebagai waktu saat pencuri mengambil barang tersebut namun barang itu belum ada pada penguasaannya.\nYang diambil harus sesuatu barang\n\nAdapun barang yang dimaksud oleh R. Soesilo adalah segala sesuatu yang memiliki wujud, yang mana hal ini termasuk pula binatang. Jenis barang juga diartikan termasuk gas maupun daya listrik yang dialirkan melalui kawat atau pipa meskipun tidak berwujud. Perlu diperhatikan bahwa barang ini tidak memerlukan harga yang bersifat ekonomis. Oleh karena itu, sebagai contoh tindakan untuk mengambil beberapa helai rambut wanita untuk kenang-kenangan tidak disertai izin dari wanita itu, termasuk sebagai pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya.\nBarang itu harus seluruhnya atau sebagian milik orang lain.\nPengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak).\nDilihat dari unsur-unsur dilakukan tindak pidana pencurian di atas, maka dapat diketahui barang kepunyaan orang lain yang diambil secara melawan hukum merupakan barang hasil kejahatan.\n\nKarena telah dilakukan upaya persuasif dan belakangan diketahui laptop istri Anda telah digadaikan, maka terdapat dugaan bahwa si sopir angkot sedari awal berniat untuk mengambil, memiliki, bahkan menggadaikan laptop tersebut secara melawan hukum. Sehingga istri Anda berhak melaporkan si sopir angkot ke pihak kepolisian setempat atas peristiwa pencurian laptop.\nTindak Pidana Penadahan\n\nAdapun pihak penerima gadai atas laptop juga dapat dilaporkan atas dugaan tindak pidana penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 480 KUHP atau Pasal 591 UU 1/2023 sebagai berikut:\nPasal 480 KUHPPasal 591 UU 1/2023Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu:[6]barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, meyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan. Dipidana karena penadahan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta,[7] setiap orang yang:membeli, menawarkan, menyewa, menukarkan, menerima jaminan atau gadai, menerima hadiah atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari tindak pidana; ataumenarik keuntungan dari hasil suatu benda, yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari tindak pidana.\nMengenai penadahan, Yurisprudensi MA No. 2/Yur/Pid/2018 menjelaskan sebagai berikut:\n\nBarang yang dibeli dengan harga yang tidak sesuai harga pasar patut diduga bahwa barang tersebut diperoleh dari kejahatan.\n\nSebagaimana telah diuraikan di atas, sebaiknya Anda terlebih dahulu menanyakan kepada pihak penerima gadai mengenai siapa yang menggadaikan laptop, apabila ternyata si sopir angkot yang menggadaikan, berarti benar si sopir angkot telah melakukan pencurian dan penerima gadai sebagai penadah.\n\nNamun demikian, kami tetap menyarankan agar Anda memastikan kembali dan mengumpulkan bukti yang cukup terkait kebenaran sopir angkot yang mencuri dan menggadaikan laptop Anda.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n3. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 2/Yur/Pid/2018.\nREFERENSI:\n1. Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP. (Sinar Grafika: Jakarta). 2009\n2. Rony A. Walandouw dkk., Unsur Melawan Hukum yang Subjektif dalam Tindak Pidana Pencurian Pasal 362 KUHP, Jurnal Lex Crimen, Vol. IX/No. 3/Jul-Sep/2020.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP[3] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023[4] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”)[5] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023[6] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, denda dilipatgandakan menjadi 1000 kali[7] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dalam perkara dengan salah satu Bank Perkreditan Rakyat dimana putusannya sudah inkracht di tingkat peninjauan kembali Mahkamah Agung. Dalam putusannya berbunyi bahwa Akta Pemberian Hak Tanggungan cacat hukum dan pihak bank diperintahkan untuk mengembalikan sertifikat. Namun, hingga sekarang belum juga dikembalikan sedangkan sudah terlaksana eksekusi oleh pengadilan. Bagaimana cara saya mendapat hak saya untuk memiliki sertifikat saya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITHak Tanggungan sebagai Satu-Satunya Hak Jaminan atas Tanah25 Jun 2024Cara Mengajukan Hak Milik atas Tanah yang Ditinggal Pemiliknya12 Jun 2024Kiat-kiat Membeli Tanah Girik yang Aman04 Jun 2024Siapa yang Menanggung Biaya Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)? 07 Okt 2021\n\nSebelum menjawab pokok pertanyaan yang Anda ajukan, kami akan mengulas terlebih dahulu apa itu hak tanggungan dan apa fungsinya. Definisi hak tanggungan dapat Anda temukan di dalam Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan yang berbunyi:\n\nHak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.\nAdapun, fungsi dari hak tanggungan menurut Pasal 6 UU Hak Tanggungan adalah sebagai berikut:\n\nApabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.\nBerdasarkan hal tersebut di atas, terlihat jelas bahwa fungsi dari hak tanggungan adalah untuk menjamin pelunasan utang atas fasilitas kredit yang telah diberikan oleh kreditur kepada debitur dalam hal debitur wanprestasi, dengan cara kreditur dapat melakukan eksekusi atas objek jaminan yang telah diikat dengan hak tanggungan tersebut dengan melakukan penjualan atas objek jaminan melalui pelelangan umum.\n\nAdapun, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”) yaitu akta PPAT yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.[1]\n\nBaca juga: Hak Tanggungan sebagai Satu-Satunya Hak Jaminan atas Tanah\nSifat Putusan Peninjauan Kembali\n\nSelanjutnya, untuk menjawab pertanyaan Anda perlu dipahami juga mengenai kapan suatu putusan dinyatakan inkracht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap. Disarikan dari artikel Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap dalam perkara perdata, ketika putusan tidak diajukan banding atau kasasi setelah 14 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan kepada pemohon, maka putusan dinyatakan berkekuatan hukum tetap.\n\nSelain itu, putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap pada saat telah dibacakannya putusan kasasi atas perkara itu.\n\nAdapun, permohonan peninjauan kembali merupakan suatu upaya hukum luar biasa yang diajukan atas suatu putusan yang telah inkracht.[2] Upaya hukum peninjauan kembali tersebut tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah inkracht.[3]\nJika APHT Diputus Cacat Hukum, Tapi Objek Telah Dieksekusi\n\nKarena dalam pertanyaan Anda tidak diuraikan mengenai amar putusan pengadilan negeri hingga putusan kasasi, kami mengasumsikan bahwa amar putusan di tingkat pengadilan negeri hingga kasasi kurang lebih menyatakan pengikatan hak tanggungan sah dan debitur dinyatakan wanprestasi. Sehingga, eksekusi hak tanggungan atas objek jaminan dilakukan melalui lelang dan pembeliannya dinyatakan sah. Atas hal tersebut, baik bank sebagai pemegang hak tanggungan dan pembeli lelang diasumsikan merupakan pemegang hak tanggungan dan pembeli yang beriktikad baik.\n\nTerhadap putusan inkracht itu, dalam perkembangannya terdapat upaya hukum peninjauan kembali yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa APHT cacat hukum dan pihak bank diperintahkan untuk mengembalikan sertifikat.\n\nKarena Anda tidak menjelaskan apa yang menjadi pertimbangan dan dasar hukum dibatalkannya APHT dalam putusan peninjauan kembali, maka atas hal tersebut, kami berasumsi yang menyebabkan APHT dinyatakan batal adalah karena ada bukti baru yang dapat membuktikan bahwa pemberi hak tanggungan merupakan orang yang tidak berhak. Sehingga, kami juga mengasumsikan bahwa pemohon peninjauan kembali bukanlah debitur dalam perkara a quo (perkara dari tingkat pengadilan negeri hingga peninjauan kembali), namun merupakan pihak yang berkepentingan atas objek sengketa yang dijadikan objek jaminan.\n\nBerdasarkan hal tersebut, perlu diingat bahwa bank yang merupakan pemegang hak tanggungan dalam pemberian kredit dan pengikatan hak tanggungan dapat diasumsikan sebagai pemegang hak tanggungan yang beriktikad baik. Atas hal tersebut, merujuk Lampiran SEMA 7/2012 Sub Kamar Perdata Umum butir VIII (hal. 6) dinyatakan bahwa pemegang hak tanggungan yang beritikad baik harus dilindungi sekalipun kemudian diketahui bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang tidak berhak.\n\nAdapun, terhadap pembeli objek jaminan melalui lelang juga harus dianggap sebagai pembeli yang beriktikad baik, sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak. Sehingga, pembeli itu haruslah dilindungi. Dalam hal ini, pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada penjual yang tidak berhak.[4]\n\nDengan demikian, kami berkesimpulan bahwa putusan peninjauan kembali tersebut menjadi putusan non-executable karena barang yang akan dieksekusi tidak berada di tangan tergugat[5] (kami mengasumsikan tergugat adalah bank). Sehingga, atas hal tersebut, pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada pihak yang telah menjaminkan objek jaminan tersebut ke bank.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/11822/undangundang-nomor-4-tahun-1996/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_1996)\n2. [Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/3781/nprt/2/undangundang-nomor-14-tahun-1985?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_14_1985)\n3. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17917?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_2004)\n4. [Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28864?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_3_2009)\n5. [Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt517a6aafc5078/surat-edaran-mahkamah-agung-nomor-7-tahun-2012/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=sema_7_2012)\nREFERENSI:\n1. Pedoman teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007.\n\n[1] Pasal 10 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah\n\n[2] Pasal 28 ayat (1) huruf c dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”)\n\n[3] Pasal 66 ayat (2) UU MA\n\n[4] Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, Sub Kamar Perdata Umum butir IX (hal. 6)\n\n[5]Pedoman teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, hal. 104."
} |
{
"from": "human",
"value": "Pasal 433 KUH Perdata menyatakan bahwa orang dungu, sakit otak, atau mata gelap dan orang yang boros berada di bawah pengampuan. Apa saja kriteria orang dungu sakit otak atau mata gelap itu? Lalu apa ukuran seseorang dianggap berada di bawah ampuan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITBisakah Minta Pengampuan atas Orang yang Sering Utang?22 Mei 2023Tak Setiap Lansia Diletakkan dalam Pengampuan08 Jun 2020\n\nPengampuan adalah suatu keadaan seorang yang telah dewasa dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, sehingga diampu oleh orang yang berhak untuk mengampu. Kedudukan seorang yang telah ditaruh di bawah pengampuan adalah seperti seorang yang belum dewasa, dimana ia tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah.[1]\n\nSiapa saja yang termasuk dalam pengampuan diatur di dalam Pasal 433 KUH Perdata yang berbunyi:\nSetiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.\n\nKetentuan Pasal 433 KUH Perdata ini, menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, ada 3 alasan untuk pengampuan, yaitu karena:[2]\n\nKeborosan (verkwisting);Lemah akal budinya (zwakheid van vermogen);Kekurangan daya berpikir: sakit ingatan, dungu (onnozelheid) dan dungu disertai sering mengamuk (razemij).\nLebih lanjut, dalam Pasal 434 KUH Perdata ditegaskan bahwa:\n\nSetiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila, atau gelap mata. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri.\n\nBerdasarkan Pasal 436 KUH Perdata, yang berwenang menetapkan pengampuan adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman orang yang akan diajukan pengampuan.\nAturan Orang di Bawah Pengampuan Pasca Putusan MK\n\nPasal 433 KUH Perdata telah diujikan ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) dan telah diputus dalam Putusan Nomor 93/PUU-XX/2022. Putusan tersebut menyatakan bahwa kata “dungu, sakit otak atau mata gelap” dan kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dungu, sakit otak atau mata gelap” tidak dimaknai “adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual”, dan sepanjang kata “harus” tidak dimaknai “dapat” (hal. 478). Sehingga ketentuan Pasal 433 KUH Perdata selengkapnya menjadi (hal. 478):\n\nSetiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dapat ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.\n\nMK berpendapat bahwa berkenaan dengan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” mempunyai kesamaan karakter dengan istilah disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Oleh karena itu, MKi menimbang penting dan relevan untuk mengaitkan isu “disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual” yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata dengan pengertian disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang secara substansial saat ini telah diatur di dalam UU 8/2016, sebagai wujud kehadiran negara untuk mengatur dan memberikan perlindungan terhadap para penyandang disabilitas (hal. 462).\n\nAdapun Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 dan penjelasannya menerangkan bahwa ragam penyandang disabilitas meliputi:\nPenyandang disabilitas fisik adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layu atau kaku, paraplegi, cerebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.Penyandang disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome.Penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku antara lain:\nPsikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; danDisabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.Penyandang disabilitas sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.\n\nNorma Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 dan penjelasannya tersebut memiliki kaitan, bahwa istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” yang ada di dalam KUH Perdata bertalian erat bukan hanya dengan pengertian disabilitas mental, namun juga dengan pengertian disabilitas intelektual. Keterkaitan dimaksud tidak lain disebabkan antara lain karena disabilitas mental maupun disabilitas intelektual keduanya bermuara pada suatu kondisi di mana seseorang tidak mampu untuk melakukan analisis dan membuat keputusan, atau dengan kata lain seseorang tidak mampu untuk secara layak mempertimbangkan akibat/risiko dari suatu tindakan yang dilakukannya (hal. 463).\n\nSebagai informasi, dalam Pasal 32 UU 8/2016 dan penjelasannya diatur bahwa penyandang disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap (orang yang belum dewasa dan/atau di bawah pengampuan) berdasarkan penetapan pengadilan negeri.\n\nLebih lanjut, dalam pertimbangan putusan MK tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 433 KUH Perdata dan UU 8/2016, orang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”, yang bersangkutan kadang-kadang berada dalam keadaan baik atau cakap. Artinya, ada saatnya orang dalam ketiga kategori demikian dipandang cakap untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum. Sementara itu, penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual mempunyai hak keperdataan dengan cara memilih atau mewakilkan kepentingan keperdataannya baik di dalam maupun di luar pengadilan. Artinya, yang bersangkutan dapat bertindak sendiri untuk memilih maupun mewakilkan hak-hak keperdataannya (hal. 468).\n\nBerdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpendapat bahwa pemaknaan kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata merujuk pada kata “dapat” dalam Pasal 32 UU 8/2016. Artinya, setelah ada Pasal 32 UU 8/2016, maka Pasal 433 KUH Perdata dimaknai bahwa bagi/terhadap setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”, baik permanen atau pun sementara, pengadilan negeri memiliki pilihan apakah akan menetapkan yang bersangkutan berada di bawah pengampuan atau tidak, sepanjang pengadilan negeri dimaksud didasarkan pada fakta hukum di persidangan khususnya yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ahli serta mempertimbangkan antara lain keterangan dan/atau bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 33 UU 8/2016 jo. Pasal 436 sampai dengan 446 KUH Perdata (hal. 468 – 469).\n\nPengadilan negeri dapat berkesimpulan bahwa orang yang dimohonkan untuk ditempatkan di bawah pengampuan apabila yang bersangkutan terbukti dalam keadaan baik atau cakap, dan mampu bertindak serta bertanggung jawab secara hukum, maka permohonan pengampuan tidak beralasan untuk dikabulkan. Sedangkan jika fakta hukum membuktikan hal yang sebaliknya, yaitu pemohon terbukti dalam keadaan tidak baik atau tidak cakap, pengadilan negeri akan mengabulkan permohonan pengampuan tersebut (hal. 469).\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt573571e451dfb/undang-undang-nomor-8-tahun-2016?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_2016)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XX/2022.\n\nREFERENSI:\n1. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan. Hukum Orang dan Keluarga (Personen En Familie Recht). Cetakan kedua. Surabaya\n2. Airlangga University Press, 1995\n3. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan empat belas. Jakarta: Intermasa, 1979.\n\n[1] Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan Empat Belas. Jakarta Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 47-48.\n\n[2] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan. Hukum Orang dan Keluarga (Personen En Familie Recht, Cetakan Kedua. Surabaya: Airlangga University Press, 1995, hal. 237."
} |
{
"from": "human",
"value": "Langkah apa yang harus saya lakukan jika Facebook teman saya diduplikat dan namanya dicemarkan dengan menulis status FB yang tidak patut serta mencemarkan nama sekolah? Bagaimanakah cara pembuktiannya jika saya tidak tahu siapa yang melakukan itu? Mohon bantuannya, status yang dia tulis dengan mengatasnamakan teman saya sungguh sangat keterlaluan. Mohon bantuannya, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran oleh Sovia Hasanah, S.H. dari artikel dengan judul “Langkah Apa yang Harus Dilakukan Jika Dicemarkan Lewat FB” yang dibuat oleh Maddenleo T. Siagian, S.H. dan pertama kali dipublikasikan Rabu, 09 November 2011. Intisari: Pencemaran nama baik dengan cara menduplikat account (akun) Facebook memenuhi unsur Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, sehingga termasuk perbuatan pidana. Menurut kami, ada 2 (dua) langkah awal yang dapat diambil yaitu; Mengirimkan laporan langsung yang ditujukan ke bagian Privacy and Safety Facebook dengan menginformasikan adanya pihak lain yang membuat duplikat dengan account (akun) atas nama teman Anda dengan serangkaian maksud dari si pembuat untuk mencemarkan nama sekolah, serta meminta agar menutup account (akun) tersebut, sehingga si pelaku tidak lagi dapat mengulangi perbuatannya, dan Dapat diadukan melalui laman Aduan Konten dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Anda harus mendaftarkan diri sebagai pelapor terlebih dahulu dengan mengisi beberapa kolom isian. Aduan yang dikirim harus ada URL/link, screenshot t tampilan serta alasannya. Semua laporan yang masuk dan memenuhi syarat (terdapat link/url, screenshot dan alasannya) akan diproses/ditindaklanjuti. Adapun prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap perbuatan pencemaran nama baik dengan cara menduplikat account (akun) Facebook , secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: Anda sebagai Pemilik akun yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian Cybercrime atau kepada penyidik PPNS (Pejabat Pegawai Negeri Sipil) pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE. Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI. Bagaimana cara membuktikannya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pencemaran Nama Baik Berdasarkan UU ITE Pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) . Berikut bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Ancaman pidana jika melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 , yakni: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Sehingga, dari ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut di atas, pencemaran nama baik dengan cara menduplikat account (akun) Facebook memenuhi unsur “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik”, sehingga termasuk perbuatan pidana. Ketentuan mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dijelaskan di atas merupakan delik aduan. [1] Delik aduan sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Adakah Delik Aduan yang Tetap Diproses Meski Pengaduannya Sudah Dicabut? , adalah delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana . Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II , dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban) . Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Itu artinya orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan cara menduplikat account (akun) Facebook dapat dipidana apabila adanya aduan dari korban. Penghinaan Berdasarkan KUHP Jika UU ITE mengatur mengenai pencemaran nama baik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur tentang pasal penghinaan. Penghinaan tersebut diatur dalam Pasal 310 KUHP , yang berbunyi: Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum , diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah . Sehingga dari ketentuan Pasal 310 KUHP tersebut, harus dibuktikan unsur-unsur sebagai berikut: Unsur kesengajaan; Unsur menyerang kehormatan dan nama baik; Unsur di muka umum. Cara Pembuktian Untuk membuktikan kedua dugaan tersebut, adalah tidak mudah untuk mengajukan bukti-bukti mengingat kejahatan yang demikian bersifat maya ( cyber crime ). Namun demikian, bukti permulaan dapat disajikan dengan bukti hasil cetakan ( print-out ) yang menunjukkan pencemaran nama sekolah tersebut, sehingga penyidik dapat melakukan olah data dan informasi lebih lanjut. Untuk lebih meyakinkan, sangat diperlukan kehadiran ahli di bidang informasi dan teknologi yang dapat membantu menterjemahkan fakta dalam dunia maya tersebut menjadi fakta hukum. Dari sisi hukum perdata, dengan bukti adanya putusan yang berkuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde ) mengenai pidana dimaksud, sehingga dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , yang dikutip sebagai berikut: “ Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. ” Seperti yang sering dijelaskan dalam beberapa artikel sebelumnya, salah satunya dalam artikel Merasa Dirugikan Tetangga yang Menyetel Musik Keras-keras , dikatakan antara lain Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “ KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan ”, seperti dikutip Rosa Agustina dalam buku Perbuatan Melawan Hukum (hal. 36) yang menjabarkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagai berikut: Harus ada perbuatan (positif maupun negatif); Perbuatan itu harus melawan hukum ; Ada kerugian ; Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian ; Ada kesalahan. Menurut Rosa Agustina (hal. 117), dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat: Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku Bertentangan dengan hak subjektif orang lain Bertentangan dengan kesusilaan Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Langkah Hukum Menurut kami, ada 2 (dua) langkah awal yang dapat diambil yaitu; Mengirimkan laporan langsung yang ditujukan ke bagian Privacy and Safety Facebook dengan menginformasikan adanya pihak lain yang membuat duplikat dengan account (akun) atas nama teman Anda dengan serangkaian maksud dari si pembuat untuk mencemarkan nama sekolah, serta meminta agar menutup account (akun) tersebut, sehingga si pelaku tidak lagi dapat mengulangi perbuatannya, dan Dapat diadukan melalui laman Aduan Konten dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Anda harus mendaftarkan diri sebagai pelapor terlebih dahulu dengan mengisi beberapa kolom isian. Aduan yang dikirim harus ada URL/link, screenshot t tampilan serta alasannya. Semua laporan yang masuk dan memenuhi syarat (terdapat link/url, screenshot dan alasannya) akan diproses/ditindaklanjuti. Adapun prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap perbuatan pencemaran nama baik dengan cara menduplikat account (akun) Facebook , secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: [2] Anda sebagai Pemilik akun yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian Cybercrime atau kepada penyidik PPNS (Pejabat Pegawai Negeri Sipil) pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE. Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [1] Pasal 45 ayat (5) U 19/2016 [2] Pasal 42 UU ITE jo. Pasal 43 UU 19/2016 dan Pasal 102 s.d. Pasal 143 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hukumonline teknologi facebook penghinaan uu ite hukum klinik pencemaran nama baik klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Akhir-akhir ini terdapat kasus viral dokter gigi diancam dibunuh. Pelaku yang ancam bunuh dokter gigi di Bandung ditangkap dan jadi tersangka. Selain kasus tersebut, ada juga kasus seorang gitaris band dari Indonesia yang menjadi korban pengancaman. Gitaris band diancam injak leher oleh orang tak dikenal. Lantas, apa hukuman apabila terjadi pengancaman (berniat menyakiti/membunuh orang yang diancam) bagi si pengancam walaupun belum terjadi? Bagaimana jika ancaman dilakukan secara online?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita kenali terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pengancaman. Menurut KBBI, pengancaman adalah proses, cara, atau perbuatan mengancam. Adapun, yang dimaksud dengan mengancam adalah menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan pihak lain.\nPasal Pengancaman Pembunuhan dalam KUHP\n\nPada dasarnya, di Indonesia pengaturan mengenai ancaman pembunuhan diatur dalam Pasal 336 KUHP lama[1] yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan KUHP baru yaitu Pasal 449 UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[2] yakni pada tahun 2026.\n\nSebagai informasi, baik dalam KUHP lama dan UU 1/2023, tindak pidana pengancaman pembunuhan termasuk dalam kejahatan terhadap kemerdekaan orang atau perampasan kemerdekaan orang, sebagai berikut:\nPasal 336 KUHPPasal 449 UU 1/2023 Diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan, barang siapa mengancam dengan kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan dengan tenaga bersama, dengan suatu kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang, dengan perkosaan atau perbuatan yang melanggar kehormatan kesusilaan, dengan sesuatu kejahatan terhadap nyawa, dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran.Bilamana ancaman dilakukan secara tertulis dan dengan syarat tertentu, maka dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta[3], setiap orang yang mengancam dengan:kekerasan secara terang terangan dengan tenaga bersama yang dilakukan terhadap orang atau\nbarang;suatu tindak pidana yang mengakibatkan bahaya bagi keamanan umum terhadap orang atau barang;perkosaan atau dengan perbuatan cabul;suatu tindak pidana terhadap nyawa orang;penganiayaan berat; ataupembakaran. Jika ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan dengan syarat tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[4]\nDengan memperhatikan rumusan Pasal 336 ayat (1) KUHP, unsur-unsur pasal tersebut adalah:[5]\n\nbarang siapa;mengancam dengan kekerasan di muka umum dengan memakai kekuatan bersama-sama kepada orang atau barang;dengan sesuatu kejahatan yang mendatangkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang;dengan memaksa atau dengan perbuatan yang melanggar kesopanan (perkosaan atau perbuatan yang melanggar kehormatan kesusilaan);dengan suatu kejahatan terhadap jiwa orang;dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran.\n\nKemudian berdasarkan Penjelasan Pasal 449 ayat (1) UU 1/2023, tindak pidana dalam ketentuan ini diklasifikasikan sebagai tindak pidana pemerasan yang menyangkut\nperampasan kemerdekaan. Pemerasan dapat dilakukan dengan berbagai cara dan melalui berbagai bentuk ancaman.\n\nMenjawab pertanyaan Anda, baik pelaku yang ancam bunuh dokter gigi di Bandung maupun pelaku yang ancam injak leher gitaris band, kami asumsikan bahwa pelaku melakukan tindakan pengancaman dengan kekerasan ataupun kejahatan terhadap nyawa dan penganiayaan berat. Jika tindakan pelaku memenuhi unsur-unsur di atas, maka pelaku berpotensi dihukum berdasarkan Pasal 336 ayat (1) KUHP atau Pasal 449 ayat (1) huruf d dan e UU 1/2023.\nPasal Pengancaman dalam UU ITE\n\nLebih lanjut, jika ancaman tersebut dilakukan melalui media elektronik, pelaku pengancaman dapat dikenakan pidana berdasarkan UU ITE dan perubahannya. Berdasarkan Pasal 29 UU ITE, tindakan dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi merupakan perbuatan yang dilarang.\n\nKemudian, setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 29 UU ITE berpotensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 45B UU 19/2016. Sebagai informasi, ketentuan ini termasuk juga di dalamnya perundungan di dunia siber (cyber bullying) yang mengandung unsur ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dan mengakibatkan kekerasan fisik, psikis, dan/atau kerugian materiil.[6]\n\nLebih lanjut, terhadap pengancaman yang dilakukan melalui media elektronik, dapat diterapkan asas atau doktrin lex specialis derogat legi generali, yang artinya hukum khusus menyampingkan hukum umum.[7] Dalam kasus hukum pidana, terdapat tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan tindak pidana khusus yang pengaturan hukumnya berada di luar KUHP.\n\nMenyambung kasus hukum yang Anda tanyakan, jika pengancaman pembunuhan/penganiayaan dilakukan melalui media elektronik, maka berlaku UU ITE dan perubahannya. Sebab, Pasal 29 UU ITE jo. Pasal 45B UU 19/2016 memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik dibandingkan Pasal 336 KUHP dan Pasal 449 UU 1/2023.\n\nWalau demikian, dalam praktiknya penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur pengancaman sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU 1/2023, serta UU ITE dan perubahannya. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Pidana;Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.\n\nReferensi:\n\nMuchamad Iksan. Kebijakan Penal dalam Perlindungan Saksi Perkara Pidana. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14, No. 1, 2011;Rizky Putri Praditamas (et.al). Studi Perbandingan Pengaturan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dan United Kingdom Penal Code. Jurnal Recidive, Vol. 5, No. 1, 2016;Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015;Pengancaman, yang diakses pada Selasa, 24 Oktober 2023, pukul 21.28 WIB;Mengancam, yang diakses pada Rabu, 25 Oktober 2023, pukul 10.16 WIB.\n\n[1] Rizky Putri Praditamas (et.al). Studi Perbandingan Pengaturan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dan United Kingdom Penal Code. Jurnal Recidive, Vol. 5, No. 1, 2016, hal. 91.[2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).[3] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023.[4] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023.[5] Muchamad Iksan. Kebijakan Penal dalam Perlindungan Saksi Perkara Pidana. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14, No. 1, 2011, hal. 113.[6] Penjelasan Pasal 45B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.[7] Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015, hal. 504."
} |
{
"from": "human",
"value": "Perusahaan kami berdomisili di Kabupaten Karawang dan saat ini kami menerapkan UMSK Karawang. Adapun UMSK Karawang 2020 sebesar Rp 5.343.083, sedangkan UMK Karawang 2021 sebesar Rp 4.798.312. Dengan berlakunya UU Cipta Kerja, maka ketentuan Pasal 89 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah dihapuskan oleh Pasal 81 angka 26 UU Cipta Kerja. Terkait itu, pertanyaan kami:\n\nDengan tidak adanya UMSK 2021, apabila kami hendak merekrut pekerja baru, aturan upah mana yang harus diterapkan? Apakah UMSK Karawang 2020 atau UMK Karawang 2021?\nDapatkah kami menerapkan UMK Karawang 2021 untuk pekerja baru?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Apakah Law Firm Tunduk pada Hukum Ketenagakerjaan? 06 Mar 2024 Bolehkah Memotong Gaji Karyawan karena Perusahaan Terdampak COVID-19? 06 Mei 2021 Apakah Besarnya Take Home Pay Setara Upah Minimum? 15 Mar 2021 Bolehkah PKB/PP Mengatur Uang Pesangon Lebih Tinggi? 07 Jan 2021 Merujuk pada artikel Masih Adakah Upah Minimum Sektoral dengan Berlakunya UU Cipta Kerja? , Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) sebelumnya menyatakan bahwa upah minimum dapat terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (“upah minimum sektoral”). Akan tetapi, memang benar seperti yang Anda sebutkan, ketentuan upah minimum sektoral telah dihapuskan oleh Pasal 81 angka 26 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) , sehingga saat ini ketentuan tersebut sudah tidak berlaku. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Adapun ketentuan upah minimum yang diatur dalam UU Cipta Kerja adalah Upah Minimum Provinsi (“UMP”) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (“UMK”) . [1] Dalam hal ini, besaran UMK harus lebih tinggi dari UMP. [2] Patut diperhatikan, perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum UU Cipta Kerja dilarang mengurangi atau menurunkan upah . [3] Sehingga, perusahaan tidak boleh mengurangi/menurunkan upah pekerja yang sebelumnya telah diupah lebih tinggi dari upah minimum. Pengupahan Karyawan Baru Pasca UU Cipta Kerja Pada dasarnya, besaran upah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja yang kemudian dituangkan dalam perjanjian kerja, dengan besaran yang tidak boleh rendah dari ketentuan pengupahan . [4] Lebih lanjut, kesepakatan upah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan (“PP”), peraturan kerja bersama (“PKB”) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [5] Tidak boleh bertentangan di sini berarti isi perjanjian kerja, baik kualitas maupun kuantitasnya tidak boleh lebih rendah dari yang telah diatur dalam PP atau PKB . [6] Untuk menjawab pertanyaan Anda, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Edisi Revisi) menjelaskan pada asasnya, undang-undang hanya mengikat peristiwa yang terjadi setelah undang-undang itu diundangkan dan tidak berlaku surut (hal .125 ). Hal ini sesuai dengan asas lex posteriori derogat legi priori , yang berarti apabila terdapat konflik antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan yang baru, sedangkan keduanya mengatur hal yang sama, maka peraturan perundang-undangan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lama. [7] Dengan demikian, dikarenakan Anda merekrut karyawan baru setelah UU Cipta Kerja berlaku, maka dalam hal pengupahan tunduk pada UU Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah, dihapus, dan/atau ditetapkan pengaturan baru oleh UU Cipta Kerja. Patut Anda perhatikan, Pasal 81 angka 68 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 191A huruf a UU Ketenagakerjaan menyatakan: Pada saat berlakunya Undang-Undang ini: untuk pertama kali upah minimum yang berlaku , yaitu upah minimum yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan . Maka dari itu, mengenai pengupahan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP 78/2015”) masih berlaku. Upah Minimum Kabupaten Karawang Menyambung pertanyaan Anda, melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/KEP.774-YANBANGSOS/2020 Tahun 2020 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2021 (“Kepgub Jabar 561/2020”) telah diatur: Besaran Upah Minimum Kabupaten Karawang Tahun 2021 adalah Rp 4.798.312,00 . Upah minimum ini mulai dibayarkan pada 1 Januari 2021 dan bagi pengusaha yang telah membayar upah lebih tinggi dari UMK di atas dilarang mengurangi dan/atau menurunkan upah pekerjanya . [8] Maka, perusahaan yang sebelumnya sudah membayar lebih tinggi dari UMK Karawang 2021 di atas atau dalam hal ini menerapkan pembayaran menurut upah minimum sektoral, tidak boleh mengurangi/menurunkan upahnya. Sementara itu, untuk karyawan baru menurut hemat kami sejauh ini dapat dibayarkan merujuk pada ketentuan UMK di atas . Sebab, sepanjang penelusuran kami tidak menemukan ketentuan upah minimum sektoral Kabupaten Karawang 2021. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bagi Anda untuk memberikan upah yang lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh UMK Karawang 2021. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/KEP.774-YANBANGSOS/2020 Tahun 2020 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2021 REFERENSI:\n1. Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Edisi Revisi) . Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2010\n2. Andika Wijaya dan Wida Peace Ananta. Update Paling Lengkap Ujian Profesi Advokat . Jakarta: Grasindo, 2018. [1] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88C ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan [2] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88C ayat (5) UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 81 angka 68 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 191A huruf b UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 52 jo . Pasal 54 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88A ayat (4) UU Ketenagakerjaan [5] Pasal 54 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [6] Penjelasan 54 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [7] Andika Wijaya dan Wida Peace Ananta. Update Paling Lengkap Ujian Profesi Advokat . Jakarta: Grasindo, 2018, hal.161 [8] Diktum Ketiga dan Keempat Kepgub Jabar 561/2020 umsp karyawan ketenagakerjaan pekerja uu cipta kerja umk ump perusahaan upah pengupahan upah minimum"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau bertanya perlukah pemilik usaha kecil dan menegah (UKM) mendaftarkan merek dagangnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan usaha kecil dan menengah (“UKM”) yang Anda maksud mengacu pada Pasal 35 PP 7/2021 dimana UKM dikelompokkan berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan.\nSelanjutnya, merek (trademark), menurut Rahmi Jened dalam buku Hukum Merek, Trademark Law dalam Era Global & Integrasi Ekonomi (hal. 3), adalah tanda untuk mengidentifikasikan asal barang dan jasa (an indication of origin) dari suatu barang dan/atau jasa perusahaan lain.\n\nDefinisi merek menurut Pasal 1 angka 1 UU Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 dimensi dan/atau 3 dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.\nLebih lanjut, Insan Budi Maulana dan Emilie Flohil dalam buku bertajuk Perbandingan Singkat Pelindungan Merek Belanda dan Indonesia (hal. 10), setiap tanda yang membedakan barang dan jasa suatu perusahaan biasa dianggap sebagai merek.\nAdapun yang dimaksud dengan merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya.[1]\nPentingnya UKM Mendaftarkan Merek Dagangnya\n\nMenjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami pemilik UKM perlu dan dianjurkan untuk mendaftarkan merek dagangnya. Terutama apabila UKM yang Anda miliki membutuhkan merek yang akan digunakan dalam jangka panjang dan terus menerus.\n\nHal ini berkaitan dengan UU Merek yang mengadopsi prinsip first to file, dimana pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran merek dan disetujui untuk didaftar, menjadi pihak yang memiliki hak atas merek tersebut.\n\nPasal 1 angka 5 UU Merek menegaskan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.\n\nAdapun, hak atas merek tersebut diperoleh setelah merek tersebut terdaftar, yaitu setelah setelah permohonan melalui proses pemeriksaan formalitas, proses pengumuman, dan proses pemeriksaan substantif serta mendapatkan persetujuan menteri untuk diterbitkan sertifikat.[2]\n\nLebih lanjut, merek tidak dapat didaftar jika tidak memiliki daya pembeda[3] atau mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan terlebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis.[4]\n\nBaca juga: First to File atau First to Use, Indonesia Anut yang Mana?\nMengutip Cita Citrawinda Noerhadi dalam Perlindungan Merek Terkenal & Konsep Dilusi Merek dari Perspektif Global (hal. 20) disebutkan bahwa suatu merek hanya akan berharga apabila memiliki hak eksklusif. Sebab tanpa hak eksklusif, maka orang akan bebas meniru dan memalsukan merek orang lain.\n\nHal tersebut ditegaskan pula oleh Henry Soelistyo dalam buku Hak Kekayaan Intelektual: Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi (hal. 50) yang menyebutkan bahwa UU Merek disusun untuk menunjang tatanan dan kegiatan perekonomian dan perdagangan yang berfungsi untuk memfilter peredaran komoditas barang dan/atau jasa dengan merek kembar atau serupa.\n\nDengan demikian, penting bagi pemilik UKM yang berencana menggunakan merek tersebut dalam jangka panjang untuk mendaftarkan merek atau merek dagangnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pihak lain atau pemohon yang beriktikad tidak baik yaitu yang berniat meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.[5] Sehingga, mereknya dapat dilindungi, mendapatkan kepastian hukum, dan akan terlindung dari pesaing yang menggunakan merek dagangnya tanpa hak.\nContoh Kasus\n\nTerdapat salah satu contoh putusan pengadilan mengenai pentingnya mendaftarkan merek dagang yang dapat Anda lihat dalam Putusan MA No. 512 K/Pdt.Sus-HKI/2016. Dijelaskan dalam putusan tersebut bahwa penggugat menjual produk berupa minyak rambut, bedak, sabun, dan sejenisnya dengan merek “Mawar + Logo”. Merek “Mawar” dengan “lukisan bunga mawar” telah diajukah permohonan merek oleh penggugat kepada Dirjen HKI tanggal 28 April 2004 (hal. 1 – 2).\n\nSementara itu, tergugat dengan sengaja dan iktikad tidak baik telah mengajukan permohonan merek “Mawar+Logo” pada tanggal 6 Agustus 2008 agar menimbulkan konflik dan persaingan curang atau menyesatkan. Hal ini karena merek tergugat mempunyai persamaan pada keseluruhan atau persamaan pada pokoknya dengan merek penggugat (hal. 3).\n\nPengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya dan membatalkan pendaftaran merek tergugat (hal. 8 – 9).\n\nPutusan ini dikuatkan kembali pada tingkat kasasi dengan pertimbangan bahwa pertimbangan hukum putusan judex facti yang mengabulkan gugatan penggugat dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah menerapkan hukum dalam perkara a quo, di mana ternyata antara merek milik penggugat yaitu merek dagang “Mawar + Logo” terdaftar, telah terdapat persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang yang sejenis dengan merek tergugat. Persamaan tersebut baik bunyi, ucapan dan atau susunan kata atau huruf, yang dapat menyesatkan konsumen dan merek penggugat telah terlebih dahulu terdaftar dari pada merek tergugat, sehingga penggugat berhak untuk mengajukan gugatan a quo (hal. 14)\n\nBerdasarkan putusan tersebut di atas, dapat dilihat pentingnya mendaftarkan merek agar dilindungi apabila terjadi atau ditemukan merek yang mengandung unsur persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang/jasa yang sejenis.\n\nOleh karena itu, bagi UKM yang mendaftarkan mereknya, selain mendapatkan pelindungan dari pendaftaran mereknya, pemilik UKM memiliki kemungkinan besar untuk mendapatkan manfaat ekonomis dari merek tersebut di masa depan.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5850fd588be8e/undang-undang-nomor-20-tahun-2016?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_20_2016)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60320cfe8e3b3/peraturan-pemerintah-nomor-7-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_7_2021)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 512 K/Pdt.Sus-HKI/2016\n\nREFERENSI:\n1. Cita Citrawinda Noerhadi. Perlindungan Merek Terkenal & Konsep Dilusi Merek dari Perspektif Global. Cetakan Pertama. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020\n2. Henry Soelistyo. Hak Kekayaan Intelektual: Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi. Cetakan Pertama. Jakarta Selatan: Penaku, 2014\n3. Insan Budi Maulana dan Emilie Flohil, Perbandingan Singkat Pelindungan Merek Belanda dan Indonesia. Cetakan Pertama. Bandung: Penerbit PT Alumni, 2018\n4. Rahmi Jened. Hukum Merek, Trademark Law dalam Era Global dan Integrasi Ekonomi. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2015.\n\n[1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU Merek”)[2] Pasal 3 UU Merek dan penjelasannya[3] Pasal 108 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 20 huruf e UU Merek[4] Pasal 21 ayat (1) huruf a UU Merek[5] Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UU Merek"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya seorang ayah yang mempunyai anak kandung berusia 13 tahun. Istri saya meninggal dunia dan meninggalkan warisan tanah atas nama saya dan anak saya. Apabila saya selaku ayah ingin menjual tanah tersebut, apakah perlu persetujuan dari anak? Jika perlu apakah anak di bawah umur bisa membuat persetujuan secara notariil atau hanya persetujuan lisan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPembagian Waris Tidak Sesuai Hukum Waris Islam, Bolehkah?05 Mei 2023Bisakah Menolak Warisan Utang dalam Hukum Waris Islam?14 Apr 2023Hak Ahli Waris Pekerja yang Meninggal Saat Proses PHK27 Feb 2023Hak Waris Istri Kedua Jika Suaminya Meninggal18 Jan 2023\n\nTerkait dengan pertanyaan Anda ada 2 hal yang perlu diperhatikan yaitu terkait:\n\nSiapa saja yang menjadi ahli waris manakala seorang istri meninggal dunia dan meninggalkan suami dan anak;Pengertian anak di bawah umur.\n\nKami asumsikan bahwa pewaris (dalam hal ini istri yang meninggal dunia) beragama Islam. Lalu, siapa saja yang menjadi ahli waris manakala seorang istri meninggal dunia dan meninggalkan suami dan anak?\nBerdasarkan ketentuan KHI, dalam hal istri meninggal dan meninggalkan seorang suami serta seorang anak, maka yang menjadi ahli waris dari istri (almarhumah) adalah:\n\nSuami almarhumah mendapatkan hak atas harta warisan sebesar 1/4 bagian atau 25% dari total harta milik istri;[1]Ayah almarhumah (jika masih hidup) mendapatkan hak warisan 1/6 bagian dari total harta almarhumah;[2]Ibu almarhumah (jika masih hidup) mendapatkan hak warisan 1/6 bagian dari total harta almarhumah;[3]Anak almarhumah mendapatkan hak warisan 1/2 bagian bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat 2/3 bagian. Dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah 2:1 dengan anak perempuan.[4]\n\nBaca juga: Empat Golongan Ahli Waris Menurut KUH Perdata\nMaka Anda dan anak Anda tergolong sebagai ahli waris istri Anda. Berkenaan dengan pembuktian sebagai ahli waris, kami sarankan untuk segera mengurus surat keterangan ahli waris ke institusi/pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.\nKategori Anak di Bawah Umur\n\nDalam Pasal 330 KUH Perdata mengatur perihal batasan seseorang dianggap dewasa yang berbunyi:\n\nSeseorang dianggap sudah dewasa jika sudah berusia 21 tahun atau sudah (pernah) menikah.\n\nBerdasarkan rumusan pasal tersebut secara a contrario, seseorang disebut belum dewasa jika masih berusia di bawah 21 tahun atau dengan kata lain masih di bawah umur.\n\nSedangkan terkait seseorang yang hendak melangsungkan perkawinan diberikan izin apabila telah mencapai usia 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 16/2019.\nTata Cara Menjual Harta Waris Anak di Bawah Umur oleh Ayahnya\n\nMenjawab pertanyaan Anda, apabila ayah ingin menjual tanah tersebut apakah perlu persetujuan dari anak?\n\nDalam praktik, sebelum menjual harta waris tersebut, Anda selaku ayah terlebih dahulu mengajukan permohonan perwalian/penetapan wali ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam atau Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam dan permohonan penetapan izin menjual harta anak di bawah umur dari Pengadilan Negeri.\n\nSalah satu contoh penetapan izin menjual harta anak di bawah umur dapat Anda simak dalam Putusan PN Surabaya No. 5172/Pdt.P/2013/PN.Sby. Pemohon adalah ibu rumah tangga yang akan menjual sebidang tanah warisan suaminya. Karena anak-anak kandung pemohon belum cukup umur, pemohon meminta pengadilan untuk memberikan izin kuasa menjual harta tersebut (hal. 2). Majelis hakim menerima permohonan pemohon dengan memberikan izin untuk menjual harta kekayaannya yang berdasarkan pada penetapan perwalian anak di bawah umur dari Pengadilan Agama Surabaya No. 0573/Pdt.P/2013/PA. Sby (hal. 7)\n\nBaca juga: Seluk Beluk Perwalian Anak\n\nHal tersebut sesuai dengan Pasal 359 KUH Perdata yang berbunyi:\n\nBagi sekalian anak belum dewasa, yang tidak bernaung di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya tidak telah diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau memanggil dengan sah para keluarga sedarah dan semenda.\n\nSelain itu, juga diatur pada Pasal 362 KUH Perdata:\n\nWali berwajib segera setelah perwaliannya mulai berlaku, dibawah tangan Balai Harta Peninggalan mengangkat sumpah, bahwa ia akan menunaikan perwalian yang dipercayakan kepadanya dengan baik dan tulus hati. Jika ditempat tinggal si wali atau dalam jarak lima belas pal dari itu tiada Balai Harta Peninggalan, pun tiada suatu perwakilan dari itu berkedudukan, maka sumpah boleh diangkat didepan Pengadilan Negeri atau pun di muka Kepala Pemerintah daerah tempat tinggal si wali.\n\nIzin dari Pengadilan Negeri tidak hanya terkait dengan penjualan harta anak di bawah umur saja, melainkan termasuk juga untuk persetujuan menjaminkan harta yang terdaftar atas nama anak yang masih di bawah umur.\nDalam Pasal 107 s.d. Pasal 112 KHI, juga diatur ketentuan mengenai perwalian. Pasal 107 KHI mengatur bahwa:\n\nperwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinanperwalian ini meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.\n\nDari rumusan ketentuan Pasal 107 KHI tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab seorang wali menurut KHI tidak mudah, bahkan tidak menutup kemungkinan seorang wali akan diminta untuk mengganti kerugian terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya dalam hal diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya.[5]\n\nSelain itu, seorang wali tetap wajib untuk menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya bila yang bersangkutan telah mencapai usia 21 tahun atau telah kawin.[6]\n\nDengan demikian, apabila ayah hendak menjual tanah warisan dari almarhumah istrinya, wajib terlebih dahulu mengurus perwalian si anak. Ketika nantinya si anak telah berusia 21 tahun atau telah kawin maka sang ayah berkewajiban untuk menyerahkan seluruh harta dari sang anak.\n\nMenjawab pertanyaan Anda selanjutnya mengenai perlukah persetujuan anak di bawah umur dibuatkan akta notaris, hendaknya memperhatikan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU 2/2014 yang berbunyi:\n\nPenghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut :\n\nPaling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; danCakap melakukan perbuatan hukum;\n\nAdapun, kriteria seseorang yang tidak cakap diatur di dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu:\n\nAnak yang belum dewasa;Orang yang ditaruh dibawah pengampuan;Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertetntu.\n\nBerdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang hanya dapat melakukan perbuatan hukum di hadapan notaris, apabila telah berusia 18 tahun.\n\nDalam hal seseorang di bawah usia 18 tahun hendak melakukan perbuatan hukum yang mana dalam hal ini berkenaan dengan pelepasan haknya dengan membuat dan menandatangani akta notaris, dapat diwakili oleh wali.\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda perlukah persetujuan anak di bawah umur untuk menjual harta waris perlu dituangkan dalam akta notaris, jawabannya tidak perlu. Sebab untuk menjual harta waris anak di bawah umur perlu penetapan perwalian dan izin menjual harta anak di bawah umur dari pengadilan.\n\nNamun, sebagai ayah, Anda perlu juga memperhatikan kepentingan anak ketika menjual harta waris sebagaimana diatur di dalam Pasal 48 UU Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut.\n\nOrang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.\n\nKesimpulannya, untuk menjual harta waris milik anak di bawah umur perlu penetapan perwalian dan izin menjual harta waris anak di bawah umur dari pengadilan. Penetapan pengadilan terkait perwakilan seseorang untuk bertindak jika ada pelepasan hak yang dimiliki oleh anak di bawah umur bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan sang anak.\n\nDengan kata lain, peralihan hak tersebut harus dilakukan oleh seseorang yang mewakili anak di bawah umur baik oleh orang tua maupun orang lain yang diangkat sebagai wali sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Perkawinan)\n3. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014/undang-undang-nomor-16-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_16_2019)\n4. [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19754/undangundang-nomor-30-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_30_2004)\n5. [Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e61d0707fe3/undang-undang-nomor-2-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2014)\n6. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI)\nPUTUSAN\n\nPutusan PN Surabaya No. 5172/Pdt.P/2013/PN.Sby.\n\n[1] Pasal 179 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)[2] Pasal 177 KHI[3] Pasal 178 KHI[4] Pasal 176 KHI[5] Pasal 110 ayat (3) KHI[6] Pasal 111 ayat (1) KHI"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja unsur-unsur konstitusional terbentuknya suatu negara? Mohon jelaskan dan sebutkan unsur-unsur berdirinya suatu negara ini."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur berdirinya negara adalah elemen dari suatu organisasi negara, atau hal-hal yang dianggap perlu untuk terbentuknya suatu negara.[1]\nDari perspektif hukum internasional, instrumen yang telah mengatur secara pasti unsur-unsur terbentuknya negara adalah Montevideo Convention yang menyebutkan adanya empat unsur yang menjadi kualifikasi sebuah negara sebagai subjek hukum internasional:[2]\n\nPenduduk tetap\n\nSyarat “tetap” dalam unsur ini bisa diartikan dalam 2 hal. Pertama, penduduk menjadikan wilayah yang ada sebagai dasar untuk menentukan tempat tinggalnya. Kedua, wilayah itu -sebagai tempat tinggal- dapat diajukan tuntutan sebagai lingkungan tertentu. Pada dasarnya tidak ada ketetapan yang pasti mengenai jumlah minimum penduduk untuk membentuk suatu negara. Penentu status penduduk adalah ikatan hukum dalam satu kebangsaan.[3]\n\nWilayah\n\nTidak ada ketentuan yang pasti berapa luas minimum suatu wilayah untuk dapat ditetapkan sebagai salah satu unsur yang membentuk sebuah negara. Crawford menyatakan bahwa hak suatu negara yang independen untuk menyusun pemerintahan yang berada dalam suatu wilayah tertentu.[4]\n\nSebagai catatan, adanya sengketa batas negara tidak mempengaruhi status sebuah negara. Contohnya, Israel pada tahun 1949 diterima sebagai anggota PBB meskipun ada konflik batas negara yang sedang berlangsung ketika itu.[5]\n\nPemerintahan\n\nMenurut Crawford juga, persyaratan bahwa sebuah negara yang dianggap ada mempunyai pemerintahan yang efektif bisa dianggap sebagai hal yang sentral dalam klaim telah terbentuknya sebuah negara. Makna pemerintahan sendiri dapat dikaitkan dalam hubungan kepada 2 hal. Pertama, meliputi lembaga-lembaga politik, administratif, dan eksekutif, yang bertujuan untuk melakukan pengaturan dalam komunitas yang bersangkutan dan melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan dalam aturan hukum.[6]\n\nKedua, dengan menggunakan prinsip efektivitas, kriteria pemerintahan menunjuk kepada makna “pemerintahan yang efektif” yang berarti lembaga politik, administratif, dan eksekutif sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya dalam wilayah yang bersangkutan dan diakui oleh penduduk setempat. Supaya efektif, maka pembentukan lembaga-lembaga itu didirikan dan diatur oleh hukum yang ditetapkan setelah terbentuknya negara yang bersangkutan.[7]\n\nKemampuan untuk menjalin hubungan internasional dengan negara lain\n\nSebagian ahli menyebutkan bahwa syarat yang terakhir ini merupakan unsur deklaratif, dan bukan unsur konstitutif terbentuknya suatu negara. Hal tersebut dikarenakan kemampuan menjalin hubungan dengan negara lain lebih merupakan konsekuensi lahirnya suatu negara dibandingkan sebagai syarat pendiriannya. Bahkan, syarat ini tak hanya diperuntukkan bagi negara, akan tetapi juga untuk organisasi internasional, termasuk bagian dari pengaturan konstitusional seperti halnya dalam sistem federasi.[8]\n\nKeempat unsur tersebut sering disebut dengan the traditional criteria.[9] Hal serupa disampaikan oleh Soehino dalam Ilmu Negara, syarat ada daerahnya yang tertentu, ada rakyatnya, dan ada pemerintahan yang berdaulat adalah syarat formil suatu negara, bukan syarat materiilnya (hal. 7-8).\n\nBelakangan berkembang juga pendapat dari sebagian ahli yang mensyaratkan adanya syarat-syarat tambahan dari aspek legalitas, yaitu pembentukan negara tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental dalam hukum internasional, di antaranya yaitu prinsip democratically legitimated authority dan hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination).[10]\n\nDemikian jawaban dari kami terkait unsur-unsur negara atau unsur terbentuknya negara sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nThe 1933 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States.\n\nREFERENSI:\n1. Ali Zounuzy Zadeh. International Law and the Criteria for Statehood: The Sustainability of the Declaratory and Constitutive Theories as the Method for Assessing the Creation and Continued Existence of States. LL.M Thesis Public International Law, Tilburg University\n2. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016\n3. Isrok dan Dhia Al Uyun. Ilmu Negara (Berjalan dalam Dunia Abstrak) (e-book). Malang: UB Press, 2012\n4. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2005\n5. Stefan Talmon. The Constitutive Versus the Declaratory Doctrine of Recognition: Tertium Non Datur? British Year Book of International Law, Vol. 75, 2004.\n\n[1] Isrok dan Dhia Al Uyun. Ilmu Negara (Berjalan dalam Dunia Abstrak) (e-book). Malang: UB Press, 2012.\n\n[2] Pasal 1 Montevideo Convention\n\n[3] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 37\n\n[4] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 36\n\n[5] Ali Zounuzy Zadeh. International Law and the Criteria for Statehood: The Sustainability of the Declaratory and Constitutive Theories as the Method for Assessing the Creation and Continued Existence of States. LL.M Thesis Public International Law, Tilburg University, hal. 19-20\n\n[6] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 38\n\n[7] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 38\n\n[8] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 38–39\n\n[9] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 36\n\n[10] Stefan Talmon. The Constitutive Versus The Declaratory Doctrine of Recognition: Tertium Non Datur? British Year Book of International Law, Vol. 75, 2004, hal. 121-122"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon pencerahannya, apa saja asas-asas hukum acara perdata?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Pengertian Hukum dan Unsur-unsur Hukum 17 Jul 2023 Kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif di Indonesia 16 Jun 2023 8 Penggolongan Hukum di Indonesia 16 Jun 2023 Memaknai Harmonisasi Peraturan di Indonesia 06 Jun 2022 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Catat! Ini 10 Asas Hukum Acara Perdata yang pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 17 Juni 2022. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan mengacu pada asas-asas hukum acara perdata yang diterangkan Benny Rijanto dalam modul berjudul Sejarah, Sumber, dan Asas-asas Hukum Acara Perdata (hal. 126-138). Dalam modul tersebut, diterangkan bahwa ada 10 asas-asas hukum acara perdata. Adapun yang dimaksud 10 asas-asas hukum acara perdata adalah hakim bersifat menunggu, hakim pasif, hakim aktif, sidang pengadilan terbuka untuk umum, mendengar kedua belah pihak, putusan disertai alasan, hakim menunjuk dasar hukum putusan, hakim harus memutus semua tuntutan, beracara dikenakan biaya, dan tidak ada keharusan untuk mewakilkan. Berikut paparan selengkapnya. Hakim Bersifat Menunggu Pertama, dalam asas hukum acara perdata yaitu inisiatif untuk mengajukan gugatan diserahkan kepada pihak yang berkepentingan atau pihak yang beperkara. Jika tidak ada gugatan, maka tidak ada hakim. Secara sederhana, asas hukum acara perdata yang artinya hakim bersifat menunggu adalah menerangkan bahwa hakim menunggu diajukannya perkara atau gugatan. Dengan kata lain, hakim tidak boleh aktif mencari perkara atau “menjemput bola” di masyarakat. Akan tetapi, sekali suatu perkara diajukan, hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadilinya dengan alasan apapun. Hakim Pasif Asas hukum acara perdata yang kedua yaitu hakim dalam memeriksa suatu perkara bersikap pasif. Artinya, ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim ditentukan oleh pihak yang beperkara dan bukan oleh hakim. Dengan kata lain, penggugat menentukan apakah ia akan mengajukan gugatan, seberapa luas (besar) tuntutan, juga tergantung para pihak (penggugat/tergugat) suatu perkara akan dilanjutkan atau dihentikan, misalnya lewat perdamaian atau gugatan dicabut. Semua tergantung para pihak, bukan pada hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan menilai siapa di antara para pihak yang berhasil membuktikan kebenaran dalilnya dan mana yang benar dari dalil yang dikemukakan tersebut. Hakim Aktif Hakim harus aktif sejak perkara dimasukkan ke pengadilan, dalam artian untuk memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu para pihak mencari kebenaran, sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi). Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut sebagaimana dimaksud Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR , Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg . Adapun asas hakim pasif dan aktif dalam hukum acara perdata disebut dengan verhandlungsmaxime . Meskipun hakim bersifat pasif (tidak menentukan luasnya pokok perkara), bukan berarti hakim tidak berbuat apa-apa. Sebagai pimpinan sidang, hakim harus aktif memimpin jalannya persidangan, menentukan pemanggilan, menetapkan hari sidang, karena jabatan memanggil sendiri saksi (apabila perlu), serta memerintahkan alat bukti untuk disampaikan di depan persidangan. Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum Asas hukum acara perdata yang keempat adalah sidang perkara perdata di pengadilan terbuka untuk umum. Artinya, setiap orang boleh menghadiri dan mendengarkan pemeriksaan perkara di persidangan. Hal ini secara tegas dituangkan dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU 48/2009 : Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Tidak dipenuhinya ketentuan ayat (1) dan (2) di atas, mengakibatkan putusan batal de mi hukum. [1] Dalam praktiknya, meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, kalau dalam berita acara persidangan dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, putusan yang telah dijatuhkan tetap sah. Namun, dalam pemeriksaan perkara perceraian atau perzinaan, sering kali persidangan dilakukan secara tertutup. Tetapi pada awalnya, persidangan harus tetap dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu sebelum dinyatakan tertutup. Mendengar Kedua Belah Pihak Asas hukum acara perdata yang kelima adalah kedua belah pihak harus diperlakukan sama, tidak memihak, dan didengar bersama-sama. Asas acara perdata bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas audi et alteram partem atau eines mannes rede ist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide . Asas hukum acara perdata yang satu ini mengartikan hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar apabila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Putusan Harus Disertai Alasan Semua putusan hakim (pengadilan) pada asas hukum acara perdata harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan ini merupakan argumentasi sebagai pertanggungjawaban hakim kepada masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum sehingga mempunyai nilai objektif. Karena alasan-alasan tersebut, putusan hakim (pengadilan) mempunyai wibawa. Sering kali, alasan-alasan yang dikemukakan dalam putusan didukung yurisprudensi dan doktrin. Ini tidak berarti hakim terikat pada putusan hakim sebelumnya, tapi hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Asas the binding force of precedent tidak dianut di Indonesia, namun terikatnya atau berkiblatnya hakim terhadap yurisprudensi ialah karena yakin bahwa putusan mengenai perkara yang sejenis memang sudah tepat dan meyakinkan. Hakim Harus Menunjuk Dasar Hukum Putusannya Hakim (pengadilan) tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. [2] Larangan ini karena anggapan hakim tahu akan hukumnya ( ius curia novit ). Jika dalam suatu perkara, hakim tidak menemukan hukum tertulis, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masy arakat. [3] Hakim Harus Memutus Semua Tuntutan Selain asas hukum acara perdata bahwa hakim harus menunjuk dasar hukum dalam putusan, hakim harus memutus semua tuntutan penggugat. Hakim tidak boleh memutus lebih atau lain dari pada yang dituntut. Ini dikenal dengan iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur adalah hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya. Misalnya penggugat mengajukan tuntutan agar tergugat dihukum mengembalikan utangnya, tergugat dihukum membayar ganti rugi, dan tergugat dihukum membayar bunga. Maka, tidak ada satu pun dari tuntutan tersebut yang boleh diabaikan hakim. Beracara Dikenakan Biaya Asas hukum acara perdata selanjutnya adalah seseorang yang akan beperkara dikenakan biaya perkara. Biaya perkara tersebut meliputi biaya kepaniteraan, biaya panggilan, pemberitahuan para pihak, serta biaya meterai. Namun, bagi yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma ( prodeo ) dengan mendapat izin untuk dibebaskan dari membayar biaya perkara, dan dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat setempat. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan Tidak ada ketentuan yang mewajibkan para pihak mewakilkan pada orang lain (kuasa) untuk beperkara di muka pengadilan, sehingga dapat terjadi langsung pemeriksaan terhadap para pihak yang beperkara. Adapun beperkara di pengadilan tanpa seorang kuasa akan lebih menghemat biaya. Namun, para pihak bisa saja memberi kuasa kepada kuasa hukumnya apabila dikehendaki. Sebab, bagi pihak yang ‘buta hukum’ tapi terpaksa beperkara di pengadilan, kuasa hukum yang mengetahui hukum tentu sangat membantu pihak yang bersangkutan. Demikian jawaban dari kami perihal asas-asas hukum acara perdata sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Herzien Inlandsch Reglement (HIR) Reglement Tot Regeling van Het Rechtswezen in De Gewesten Buiten Java en Madura (RBg) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman REFERENSI:\n1. Benny Rijanto. Sejarah, Sumber, dan Asas-asas Hukum Acara Perdata . Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2021. [1] Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) [2] Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 [3] Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 asas hukum acara hukum acara perdata hukum perdata"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa yang dimaksud dengan kode etik hakim dan apa saja kode etik hakim?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Etika Profesi, Apa Artinya?\n\nIstilah “etika” menurut Bartens berasal dari bahasa Yunani kuno “etos” yang artinya kebiasaan, adat istiadat, dan akhlak yang baik.[1] Dalam pembahasan ini, hakim adalah entitas utama yang memaknai kata “pengadilan” sebagai tempat diselenggarakannya proses yang disebut mengadili. Profesi hakim yang mulia membutuhkan sandaran etika yang dapat memberikan tuntutan pada tugas sehari-hari hakim, baik dalam lingkup administratif, memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara.[2]\nSebagai bagian dari profesi terhormat dalam mengadili perkara, hakim memiliki kode etik agar hakim mampu menghindari godaan dalam profesi yang memberinya stigma amoral.[3] Kode etik hakim diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Bersama MA dan KY sebagai berikut:\n\nKode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah Panduan keutamaan moral bagi setiap hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 - 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.\nBaca juga: Tujuan Kode Etik Profesi Hukum dan Hambatannya\nKode Etik Hakim dan Penjelasannya\n\nBerdasarkan Pasal 4 Peraturan Bersama MA dan KY, kewajiban dan larangan bagi hakim dijabarkan dari 10 (sepuluh) prinsip kode etik. Berikut adalah penjelasan masing-masing kode etik hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.\n\nBerperilaku adil\n\nAdil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasari prinsip semua orang memiliki kedudukan sama di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang.[4] Sebagai contoh, hakim wajib melaksanakan tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan.[5]\nBerperilaku jujur\n\nHakim harus berperilaku jujur dan menghindari perbuatan tercela.[6] Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya di dalam maupun di luar pengadilan selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan hakim dan lembaga peradilan.[7]\n\nTerkait dengan perilaku jujur, hakim tidak boleh meminta atau menerima, dan harus mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari advokat, penuntut, orang yang sedang diadili, dan sebagainya.[8]\nBerperilaku arif dan bijaksana\n\nArif dan bijaksana berarti mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat.[9] Pada dasarnya, hakim wajib menghindari tindakan tercela.[10] Hakim, dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi hukum lain yang beracara di pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan.[11]\n\nSebagai contoh, hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, kritik atau pembenaran secara terbuka atas perkara atau putusan pengadilan yang belum maupun sudah inkracht dalam kondisi apapun.[12] Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya juga wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga.[13]\nBersikap mandiri\n\nHakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun.[14]\nBerintegritas tinggi\n\nIntegritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan.[15] Salah satu penerapannya, hakim tidak boleh mengadili perkara jika memiliki konflik kepentingan seperti hubungan pribadi, kekeluargaan, atau hubungan lain dan patut diduga mengandung konflik kepentingan.[16] Hakim juga wajib bersikap terbuka dan memberikan informasi mengenai kepentingan pribadi yang menunjukkan tidak adanya konflik kepentingan dalam menangani suatu perkara.[17]\nBertanggung jawab\n\nBertanggungjawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugas tersebut.[18] Contoh penerapannya, hakim dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain.[19]\nMenjunjung tinggi harga diri\n\nHakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan.[20]\nBerdisiplin tinggi\n\nHakim berkewajiban mengetahui dan melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan.[21] Hakim harus menghormati hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara sederhana, cepat dan biaya ringan.[22]\nBerperilaku rendah hati\n\nHakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, karena pekerjaan hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian untuk mendapat penghasilan materi, melainkan amanat yang dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.[23]\nBersikap profesional\n\nHakim wajib mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan yang lain secara profesional.[24] Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak, atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak.[25]\n\nKesimpulannya, sebagai bagian dari profesi terhormat dalam mengadili perkara, hakim perlu memiliki pedoman berperilaku guna menerapkan hukum secara benar dan memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan. Pedoman tersebut dirumuskan dalam bentuk kode etik yang wajib ditaati oleh hakim. Anda dapat membaca mengenai penjelasan kode etik hakim dan penerapannya secara lengkap pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Peraturan Bersama MA dan KY, serta membaca Bagian C Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.\nBaca juga: Cara Melaporkan Hakim yang Langgar Kode Etik\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim](https://jdih.komisiyudisial.go.id/upload/produk_hukum/Peraturan-Bersama-MA-KY-tentang-KEPPH.pdf)\n2. [Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim](https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/artikel/kode%20etik%20dan%20pedoman%20perilaku%20hakim%20ma%20ky.pdf)\nREFERENSI:\n1. Imran, Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim: Kajian Putusan Nomor 63/Pid.B/2012/PN.TBL dan Nomor 64/Pid.B/2012/PN.TBL, Jurnal Yudisial, Vol. 12, No. 1, 2019.\n\n[1] Imran, Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim: Kajian Putusan Nomor 63/Pid.B/2012/PN.TBL dan Nomor 64/Pid.B/2012/PN.TBL, Jurnal Yudisial, Vol. 12, No. 1, 2019, hal. 4[2] Imran, Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim: Kajian Putusan Nomor 63/Pid.B/2012/PN.TBL dan Nomor 64/Pid.B/2012/PN.TBL, Jurnal Yudisial, Vol. 12, No. 1, 2019, hal. 6[3] Imran, Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim: Kajian Putusan Nomor 63/Pid.B/2012/PN.TBL dan Nomor 64/Pid.B/2012/PN.TBL, Jurnal Yudisial, Vol. 12, No. 1, 2019, hal. 7[4] Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim”) Nomor 1[5] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 1.1 ayat (1)[6] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 2.1 ayat (1)[7] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 2.1 ayat (2)[8] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 2.2 ayat (1)[9] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 3[10] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 3.1 ayat (1)[11] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 3.1 ayat (2)[12] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 3.2 ayat (5)[13] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 3.1 ayat (5)[14] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 4 ayat (1)[15] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 5[16] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 5.1.2[17] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 5.1.6[18] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 6[19] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 6.1[20] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 7.1[21] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 8.1[22] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 8.2[23] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 9.1[24] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 10.3[25] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 10.4"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya punya pertanyaan tentang hapusnya perikatan. Kemudian, apabila ada seorang pelukis yang telah dibayar (baik sebagian ataupun seluruhnya) untuk menyelesaikan suatu lukisan diri, tapi tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya itu karena ia meninggal dunia, bagaimana perikatan yang terjadi antara pelukis tadi dengan orang yang memberinya pekerjaan? Apakah perikatan itu hapus atau masih berlanjut? Mengapa? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Lantas, bagaimana status perjanjian jika salah satu pihak dalam perjanjian meninggal? Pada asasnya, suatu perjanjian hanya mengikat para pihak itu sendiri, baik yang dilakukan sendiri maupun melalui kuasanya. Adapun pihak ketiga dapat memperoleh hak-hak dari perjanjian di mana ia bukan merupakan pihak, asal dipenuhi apa yang dirumuskan dalam Pasal 1317 KUH Perdata.\n\nUntuk mengetahui apakah suatu perjanjian dapat berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak, harus dilihat terlebih dahulu perjanjian apa yang mengikat para pihak tersebut.\n\nSebab, terdapat beberapa jenis perjanjian di mana dalam perjanjiannya melekat sedemikian eratnya pada sifat-sifat dan kecakapan yang bersifat sangat pribadi, atau melekat pada diri/persoon salah satu pihak, seperti pada perjanjian kerja. Dalam perjanjian jenis ini, perjanjian berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak.[14] Begitu juga dalam perjanjian pemberian kuasa, sebagaimana yang dijelaskan dalam Kuasa Hukum Meninggal Dunia Saat Proses Perkara, Ini Cara Menunjuk yang Baru.\n\nDalam perjanjian semacam itu, sejak saat meninggalnya salah satu pihak, perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak berpindah kepada pihak lainnya atau kepada ahli warisnya. Namun, hasil yang sudah keluar dari perjanjian tersebut tidak hapus dan beralih kepada para ahli waris.\n\nSebagai contoh, dalam hal pekerja meninggal dunia, maka perikatan yang lahir dari perjanjian kerja tidak berpindah pada pihak lainnya atau kepada ahli warisnya. Tetapi, hak-hak pekerja yang diperoleh akibat pekerja meninggal dunia, seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, tetap diberikan kepada ahli waris pekerja yang bersangkutan.\n\nJadi, sejak kematian salah satu pihak, perjanjian tersebut tidak menimbulkan perikatan-perikatan baru lagi dan perikatan yang sudah ada tak mempunyai daya kerja lagi, sedangkan yang sudah dihasilkan oleh perikatan tersebut tetap.\n\nTetapi ada pula jenis perjanjian lainnya yang tidak berakhir dengan kematian salah satu atau kedua belah pihak, misalnya perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli, sebagaimana yang dijelaskan dalam Akibat Hukum Jika Salah Satu Pihak dalam Perjanjian Meninggal Dunia.\n\nLantas, bagaimana dengan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan berupa membuat suatu lukisan, jika si pelukis meninggal dunia dalam kondisi belum menyelesaikan pekerjaan sedangkan pihak pengguna jasa telah membayar?\n\nMengenai hal ini, kami berpendapat bahwasannya dalam perjanjian untuk membuat lukisan ini, prestasi yang harus dipenuhi si pelukis atau debitur merupakan pembuatan lukisan yang dilakukan sendiri oleh debitur, sebab pemenuhan prestasi tersebut berkaitan dengan keahlian debitur. Sehingga, pemenuhan prestasi tersebut tidak boleh dilakukan pihak ketiga/orang lain tanpa persetujuan kreditur selaku orang yang meminta dilakukannya pekerjaan tersebut.\n\nOleh karena itu pula, menurut hemat kami, perjanjian antara pelukis dan pelanggannya juga merupakan jenis perjanjian di mana di dalamnya melekat sedemikian eratnya pada sifat-sifat dan kecakapan yang bersifat sangat pribadi, atau melekat pada diri si pelukis, karena hasil lukisan sangat bergantung kepada keahlian yang dimiliki pelukis. Sehingga jika pelukis meninggal dunia, maka perjanjian tersebut juga berakhir sebagaimana dalam perjanjian kerja dan pemberian kuasa.\nDemikian jawaban dari kami terkait hapusnya perikatan sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\nREFERENSI:\n1. Ahmadi Miru dan Sakka Pati. Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW. Depok: Rajawali Pers, 2019.\n\n[1] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 110[2] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 111–112[3] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 111[4] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 127[5] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 127[6] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 134[7] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 146[8] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 147[9] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 150[10] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 150–151[11] Pasal 1446 KUH Perdata[12] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 153[13] Pasal 1946 KUH Perdata[14] Pasal 81 angka 16 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "What are the examples of citizens' rights in the field of law? Please explain citizens' rights in law as regulated in laws and regulations."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Before answering your question about examples of citizens' rights in the field of law, it is necessary to first understand what citizens' rights are.\nAccording to Manfred Nowak, as cited in The Difference Between Human Rights and Citizens’ Rights, citizens’ rights are rights specifically given to citizens (in Bahasa Indonesia known as warga negara), and as long as the state regulates these rights do not extend to foreigners.\n\nMeanwhile, Article 26 section (2) Law 39/1999 stipulates that everyone has the right to enjoy the rights derived from and attached to their citizenship and must carry out their obligations as citizens in accordance with statutory regulations.\nExamples of Citizens’ Rights in the Field of Law\nThere are lots of types of citizens' rights. However, to answer examples of citizens' rights in the field of law, the scope of the answer will be narrowed down to rights covering legal and judicial matters. The rights of citizens in the field of law are as follows:\n\nThe right to equality before the law and government.[1]\n\nExample: all citizens have the right to protection, certainty and equality before the law to be free from racial and ethnic discrimination (diskriminasi ras dan etnis).[2]\n\nThe right to equal treatment before the law.[3]\n\nYou can read a more detailed explanation of the right to equal treatment before the law in The Meaning of Equality Before The Law and Examples.\n\nThe right to fair recognition, guarantees, protection, and legal certainty.[4]The right to be recognized as a person (individual) before the law.[5]The right not to be prosecuted on the basis of retroactive laws.[6]The right to be adjudicated according to law without discrimination.[7]The right to access a simple, speedy and low cost trial.[8]The right not to be arrested, detained, searched or seized except by written order of a legitimate authority.[9]The right to the application of the presumption of innocence.[10]\n\nEvery person who is suspected, arrested, detained, prosecuted or brought before a court shall be presumed innocent until there is a court decision that states his guilt and has obtained permanent legal force.\n\nThe right to claim compensation or rehabilitation if arrested, detained, prosecuted or adjudicated without reason based on law or mistaken person or law applied.[11]The right to have the case examined if it has been submitted to the court.[12]\n\nCourts are prohibited from refusing to examine, hear and decide cases that have been filed on the basis that the law does not exist or is unclear. Thus, the court is obliged to examine and adjudicate the case.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nThe 1945 Constitution of the Republic of Indonesia;Law Number 39 of 1999 on Human Rights;Law Number 40 of 2008 on the Elimination of Racial and Ethnic Discrimination;Law Number 48 of 2009 on Judicial Authority.\n\n[1] Article 27 section (1) The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (“1945 Constitution”).[2] Article 5 letter a Law Number 40 of 2008 on the Elimination of Racial and Ethnic Discrimination (“Law 40/2008”).[3] Article 28D section (1) 1945 Constitution.[4] Article 28D section (1) 1945 Constitution.[5] Article 28I section (1) 1945 Constitution.[6] Article 28I section (1) 1945 Constitution.[7] Article 4 section (1) Law Number 48 of 2009 on Judicial Authority (“Law 48/2009”).[8] Article 4 section (2) Law 48/2009.[9] Article 7 Law 48/2009.[10] Article 8 section (1) Law 48/2009.[11] Article 9 section (1) Law 48/2009.[12] Article 10 section (1) Law 48/2009."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja contoh hak-hak warga negara dalam bidang hukum? Tolong bantu tuliskan hak warga negara dalam bidang hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda tentang contoh hak warga negara dalam bidang hukum, perlu dipahami terlebih dahulu apa itu hak warga negara.\nMenurut Manfred Nowak sebagaimana dikutip dalam Perbedaan Hak Asasi Manusia dan Hak Warga Negara, hak warga negara adalah hak yang khusus diberikan kepada warga negara dan sepanjang aturan-aturan negara tentang hak tersebut tidak menyentuh orang asing.\nSementara itu, Pasal 26 ayat (2) UU 39/1999 mengatur bahwa setiap orang berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajiban sebagai warga negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.\nContoh Hak Warga Negara di Bidang Hukum\nHak-hak warga negara ini banyak jenisnya. Namun, untuk menjawab contoh hak warga negara di bidang hukum, maka lingkup jawaban akan kami kerucutkan pada hak yang meliputi masalah hukum dan peradilan. Adapun hak warga negara dalam bidang hukum adalah sebagai berikut:\n\nHak atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan.[1]\n\nContoh: semua warga negara berhak untuk mendapatkan perlindungan, kepastian dan kesamaan kedudukan di dalam hukum untuk bebas dari diskriminasi ras dan etnis.[2]\n\nHak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum.[3]\n\nAnda dapat membaca ulasan lebih detail tentang hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dalam Makna Asas Equality Before The Law dan Contohnya.\n\nHak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil.[4]Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.[5]Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.[6]Hak untuk diadili menurut hukum tanpa diskriminasi.[7]Hak untuk mengakses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.[8]Hak untuk tidak ditangkap, ditahan, digeledah atau disita kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah.[9]Hak atas penerapan asas praduga tak bersalah.[10]\n\nSetiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.\n\nHak atas menuntut ganti rugi atau rehabilitasi apabila ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau keliru orang atau hukum yang diterapkan.[11]Hak untuk diperiksa perkaranya apabila sudah diajukan ke pengadilan.[12]\n\nPengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang telah diajukan dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Sehingga, pengadilan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang hak warga negara di bidang hukum sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987/uud-undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4d5b5fc6abcb2/undangundang-nomor-39-tahun-1999?r=1&p=1&q=UU%20HAM%20&rs=1847&re=2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_39_1999)\n3. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28539/undangundang-nomor-40-tahun-2008?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_40_2008)\n4. [Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4b01297e9d172/nprt/1060/uu-no-48-tahun-2009-kekuasaan-kehakiman?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_48_2009)\n[1] Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD 1945”)[2] Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis[3] Pasal 28D ayat (1) UUD 1945[4] Pasal 28D ayat (1) UUD 1945[5] Pasal 28I ayat (1) UUD 1945[6] Pasal 28I ayat (1) UUD 1945[7] Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”)[8] Pasal 4 ayat (2) UU 48/2009[9] Pasal 7 UU 48/2009[10] Pasal 8 ayat (1) UU 48/2009[11] Pasal 9 ayat (1) UU 48/2009[12] Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon sebutkan dan jelaskan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang berlaku di Indonesia. Selain itu, mohon berikan contoh penerapannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menurut Ridwan HR dalam Hukum Administrasi Negara, asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah asas-asas umum yang dijadikan dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sehingga penyelenggaraan pemerintahan menjadi baik, sopan, adil, terhormat dan bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang serta tindakan sewenang-wenang (hal. 234).\nAdapun, secara yuridis, asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.[1]\nFungsi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik\nMenurut Jazim Hamidi sebagaimana dikutip Ridwan HR, asas-asas umum pemerintahan yang baik (“AAUPB”) berfungsi sebagai (hal. 235):\n\npegangan bagi pejabat administrasi negara untuk menjalankan fungsinya;merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai administrasi negara (yang berwujud penetapan/beschikking); dansebagai dasar pengajuan gugatan bagi penggugat.\nAdapun, menurut Ridwan HR, fungsi AAUPB adalah sebagai berikut (hal. 239):\n\nbagi administrasi negara/pemerintah, berfungsi sebagai pedoman dalam menafsirkan dan menerapkan peraturan yang samar atau tidak jelas, serta menghindarkan administrasi negara dari tindakan yang menyimpang dari ketentuan perundang-undangan;bagi masyarakat sebagai pencari keadilan berfungsi sebagai dasar gugatan;bagi hakim PTUN berfungsi sebagai alat untuk menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat administrasi negara;bagi badan legislatif, AAUPB dapat digunakan dalam merancang undang-undang.\n17 Macam-Macam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik\nSecara yuridis, UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan setidaknya ada 8 macam AAUPB. Akan tetapi, kami akan menyebutkan 17 asas yang mengacu dari 8 asas dalam UU Administrasi Pemerintahan dan 13 asas dari pendapat Ridwan HR dalam bukunya Hukum Administrasi Negara, yang kami sesuaikan kembali karena ada beberapa persamaan. Dengan demikian, 17 macam asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam tulisan ini didasarkan pada undang-undang dan doktrin, yang meliputi:\n\n1. Asas Kepastian Hukum\nAsas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajekan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.[2]\n\nSecara teoritis, asas kepastian hukum memiliki dua aspek, yaitu:[3]\n\nAspek hukum material, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan keputusan pemerintah, meskipun keputusan tersebut salah. Sehingga, demi kepastian hukum, keputusan yang telah dikeluarkan pemerintah akan terus berlaku hingga diputus pengadilan.Aspek hukum formal mensyaratkan bahwa keputusan pemerintah yang memberatkan maupun yang menguntungkan harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Pihak yang berkepentingan berhak untuk mengetahui dengan tepat apa maksud atau kehendak dari keputusan tersebut.\n2. Asas Kemanfaatan\n\nAsas kemanfaatan adalah manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara:[4]\n\nkepentingan individu yang satu dengan individu yang lain;kepentingan individu dengan masyarakat;kepentingan warga masyarakat dan masyarakat asing;kepentingan kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain;kepentingan pemerintah dengan warga masyarakat;kepentingan generasi sekarang dengan generasi yang akan datang;kepentingan manusia dengan ekosistemnya; dankepentingan pria dan wanita.\n\n3. Asas Ketidakberpihakan\n\nAsas ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.[5]\n\n4. Asas Kecermatan atau Asas Bertindak Cermat\n\nAsas kecermatan menghendaki bahwa suatu keputusan dan/atau tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaannya sehingga keputusan dan/atau tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum ditetapkan dan/atau dilakukan.[6]\n\nAsas ini bertujuan agar aktivitas penyelenggaraan pemerintahan tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Dengan demikian, ketika pemerintah hendak mengeluarkan keputusan harus meneliti semua fakta dan kepentingan yang relevan dalam pertimbangan.[7]\n\n5. Asas Tidak Menyalahgunakan Kewenangan\n\nAsas tidak menyalahgunakan kewenangan adalah asas yang mewajibkan setiap badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan lain yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.[8]\n\nRidwan HR menyebut sebagai asas tidak mencampuradukkan kewenangan. Dalam asas tidak mencampuradukkan kewenangan menghendaki pejabat pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenangnya secara melampaui batas.[9]\n\n6. Asas Keterbukaan\n\nAsas keterbukaan adalah asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskiminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.[10]\n\n7. Asas Kepentingan Umum\n\nAsas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif.[11]\n\nAsas kepentingan umum atau asas penyelenggaraan kepentingan umum pada dasarnya menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya mengutamakan kepentingan umum yaitu kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Contohnya, kepentingan warga negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga negara sendiri seperti persediaan sandang pangan, perumahan kesejahteraan, dan lain-lain.[12]\n\n8. Asas Pelayanan yang Baik\n\nAsas pelayanan yang baik adalah asas yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.[13]\n\n9. Asas Keseimbangan\n\nAsas umum pemerintahan yang baik yang satu ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian seorang pegawai. Selain itu, perlu adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan seseorang sehingga jika pelanggaran atau kealpaan tersebut dilakukan oleh orang yang berbeda, dapat dikenai sanksi yang sama, sesuai dengan kriteria yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.[14]\n\n10. Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan\n\nAsas ini menghendaki pemerintah agar mengambil tindakan yang sama atau tidak saling bertentangan atas kasus-kasus yang faktanya sama. Namun demikian dalam kenyataannya akan sulit menemukan kesamaan mutlak antar kasus, sehingga pemerintah dalam menjalankan kebijakan harus bertindak cermat untuk mempertimbangkan titik-titik persamaan. Perlu diperhatikan bahwa asas ini tidak berlaku pada keputusan pemerintah yang salah atau keliru yang pernah dikeluarkan pada kasus-kasus sebelumnya.[15]\n\n11. Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan\n\nAsas ini menghendaki agar setiap keputusan pemerintah harus mempunyai alasan atau motivasi yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan. Alasan tersebut haruslah jelas, terang, benar, objektif dan adil.[16]\n\nAdapun asas ini meliputi subvarian berikut:[17]\n\nsyarat bahwa suatu keputusan harus diberi alasan;keputusan harus memiliki dasar fakta yang kuat/teguh; danpemberian alasan atau motivasi harus cukup dapat mendukung.\n\n12. Asas Permainan yang Layak (Fair Play)\n\nAsas ini menghendaki agar warga negara diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan. Selain itu, warga negara juga diberi kesempatan untuk membela diri dan memberikan argumentasi sebelum adanya putusan administrasi. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara.[18]\n\n13. Asas Keadilan dan Kewajaran\n\nAsas keadilan dan kewajaran menuntut badan atau pejabat administrasi negara untuk memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran dalam setiap tindakannya. Asas keadilan adalah tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang dan selaras dengan hak setiap orang. Sedangkan asas kewajaran menekankan bawa setiap aktivitas pemerintah harus memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat seperti agama, moral, adat istiadat, dan nilai lainnya.[19]\n\n14. Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang Wajar\n\nAsas umum pemerintahan yang baik satu ini menghendaki agar setiap tindakan pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan untuk warga negara. Sehingga, ketika suatu harapan sudah diberikan kepada warga negara, maka tidak boleh ditarik kembali meskipun menguntungkan bagi pemerintah.[20]\n\n15. Asas Meniadakan Akibat suatu Keputusan yang Batal\n\nAsas ini berkaitan dengan pegawai yang dipecat melalui surat keputusan. Namun, alasan pemecatan pegawai karena tuduhan melakukan kejahatan ternyata tidak terbukti di pengadilan. Dengan demikian, pegawai tersebut harus dikembalikan pada posisi di pekerjaan semula beserta dengan ganti rugi dan/atau kompensasi serta direhabilitasi nama baiknya. Proses inilah yang disebut sebagai cara-cara meniadakan akibat keputusan yang batal atau tidak sah.[21]\n\n16. Asas Perlindungan atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi\n\nAsas ini menghendaki agar pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai negeri dan warga negara secara umum, sebagai konsekuensi negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi manusia.[22]\n\n17. Asas Kebijaksanaan\n\nAsas ini menghendaki agar pemerintah diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa terpaku pada peraturan perundang-undangan formal dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini untuk mengantisipasi ketika suatu peraturan perundang-undangan tidak fleksibel atau tidak menampung persoalan masyarakat, sehingga pemerintah dituntut bertindak cepat dan dinamis, berpandangan luas dan mampu memperhitungkan akibat-akibat yang muncul dari tindakannya.[23]\nContoh Penerapan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik\n\nSalah satu contoh penerapan AAUPB yaitu asas kecermatan yang dapat dilihat dalam Putusan MA Nomor 07 K/TUN/2014 antara Bupati Kampar vs masyarakat adat Kenegerian Tambang Terantang. Bupati Kampar menerbitkan surat keputusan Bupati Kampar tertanggal 31 Oktober 2012 tentang persetujuan izin usaha pertambangan operasi produksi bahan galian batuan pasir dan batu kepada orang lain di luar masyarakat adat di atas tanah ulayat mereka (hal. 1 dan 4).\n\nMajelis hakim menolak permohonan kasasi dari Bupati Kampar dengan alasan bahwa putusan judex facti sudah benar dan tidak salah menerapkan hukum, yakni keputusan tata usaha negara objek sengketa melanggar asas kecermatan dalam AAUPB dan tidak memedomani Perda Kampar 12/1999 (hal. 21). Menurut judex facti, Bupati Kampar melanggar asas kecermatan karena dalam menerbitkan izin usaha pertambangan tidak berdasarkan fakta-fakta hukum yang terjadi di masyarakat, tidak melakukan musyawarah dengan para pucuk adat dan tidak berpedoman pada Perda Kampar 12/1999 (hal. 16).\n\nDemikian jawaban dari kami tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5462bc42d6073/undang-undang-nomor-30-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_30_2014)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 07 K/TUN/2014.\n\nREFERENSI:\n1. Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Press, 2011.\n\n[1] Pasal 175 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”)[2] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Administrasi Pemerintahan[3] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 245-246[4] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf b UU Administrasi Pemerintahan[5] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Administrasi Pemerintahan[6] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Administrasi Pemerintahan[7] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 248-249[8] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Administrasi Pemerintahan [9] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 252[10] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf f UU Administrasi Pemerintahan[11] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf g UU Administrasi Pemerintahan[12] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 263[13] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf h UU Administrasi Pemerintahan [14] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 246-247[15] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 247-248[16] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 250[17] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 251-252[18] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 255[19] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 258[20] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 259[21] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 260[22] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 261[23] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 262"
} |
{
"from": "human",
"value": "Please mention and explain the general principles of good governance that apply in Indonesia. In addition, please provide examples of their application."
} | {
"from": "gpt",
"value": "According to Ridwan HR in State Administration Law, the general principles of good governance are general principles that are used as the basis and procedures in good governance, so that governance becomes good, polite, fair, honorable, and free from injustice, violation of regulations, acts of abuse of authority and arbitrary actions (p. 234).\nMeanwhile, juridically, the general principles of good governance are principles used as a reference for the use of authority for government officials in issuing decisions and/or actions in the administration of government.[1]\nThe Function of General Principles of Good Government\n\nAccording to Jazim Hamidi as cited by Ridwan HR, the general principles of good governance function as (p. 235):\n\na guide for state administrative officials to carry out their functions;as a testing instrument for administrative judges in assessing state administration (in the form of stipulations/beschikking); andas the basis for filing a lawsuit for the plaintiff.\nMeanwhile, according to Ridwan HR, the functions of general principles of good governance are as follows (p. 239):\n\nfor the state administration/government, it serves as a guideline in interpreting and applying vague or unclear regulations, as well as preventing the state administration from deviating from statutory provisions;for the public as a seeker of justice serves as the basis for a lawsuit;for State Administrative Court judges, serves as a testing instrument and cancel decisions issued by state administrative bodies or officials;for the legislative body, general principles of good governance can be used in drafting laws.\n17 Types of General Principles of Good Government\n\nJuridically, the Government Administration Law mentions at least 8 kinds of general principles of good governance. However, we will mention 17 principles that refer to the 8 principles in the Government Administration Law and 13 principles from Ridwan HR's opinion in his book Hukum Administrasi Negara, which we readjust because there are some similarities. Thus, the 17 kinds of general principles of good governance in this article are based on laws and doctrines, which include:\n\nThe Principle of Legal Certainty\n\nThe principle of legal certainty is a principle in a state based on the law that prioritizes the cornerstone of provisions of laws and regulations, appropriateness, consistency (keajegan), and fairness in each government administration policy.[2]\n\nTheoretically, the principle of legal certainty has two aspects, namely:[3]\n\nThe material law aspect, this principle requires respect for the rights that have been obtained by a person based on a government decision, even if the decision is wrong. Thus, for the purpose of legal certainty, decisions that have been issued by the government will continue to apply until they are decided by the court.The formal legal aspect requires that both burdensome and favorable government decisions must be clearly worded. Interested parties have the right to know exactly what the intention of the decision is.\nThe Principle of Benefit\n\nThe principle of benefit is the benefit that should be considered in a balanced way between:[4]\n\nthe interests of one individual and the interests of another individual;individual and public interests;the interests of Community Members and foreign citizens;the interests of one community group and the interests of another community group;the interests of the government and Community Members;the interests of the current generation and future generation;the interests of humans and their ecosystem; andthe interests of men and women.\nThe Principle of Impartiality\n\nThe principle of impartiality is a principle obliging Government Agencies and/or Officials in establishing and/or carrying out Decrees and/or Actions to take into consideration the interests of the parties as a whole and are not discriminatory.[5]\n\nThe Principle of Accuracy or the Principle of Acting Carefully\n\nThe principle of accuracy is a principle which implies that a Decree and/or Action should be based upon complete information and documents to support the legality of the establishment and/or implementation of a Decree and/or Action so that the Decree and/or Action in question is carefully prepared before said Decree and/or Action is established and/or carried out.[6]\n\nThis principle aims to ensure that government administration activities do not cause harm to citizens. Thus, when the government wants to issue a decision, it must examine all relevant facts and interests in consideration.[7]\n\nThe Principle of Not Abusing Authorities\n\nThe principle of not abusing authorities is a principle obliging each Government Agency and/or Official to not use its authorities for personal interests or other interests and not in accordance with the purpose of granting such authorities, not exceeding, not abusing, and/or not mixing up authorities.[8]\n\nRidwan HR describes it as the principle of non-interference with authority. The principle of non-interference with authority requires that government officials do not use their authority for purposes other than those specified in the applicable regulations or use their authority in an excessive manner.[9]\n\nThe Principle of Transparency\n\nThe principle of transparency is a principle that serves the community in obtaining access and acquiring correct, truthful, and non-discriminative information in government administration while still paying attention to the protection of personal human rights, groups, and state confidentiality.[10]\n\nThe Principle of Public Interests\n\nThe principle of public interests is a principle that prioritizes public welfare and benefits using aspirational, accommodating, selective, and non-discriminatory.[11]\n\nThe principle of public interest or the principle of organizing public interest basically requires that the government in carrying out its duties prioritize the public interest, namely interests that cover all aspects of the lives of many people. For example, the interests of citizens who cannot be maintained by citizens themselves such as food supplies, welfare housing, etc.[12]\n\nThe Principle of Good Service\n\nThe principle of good service is a principle that provides timely services, clear procedures and costs, in accordance with service standards, and provisions of laws and regulations.[13]\n\nThe Principle of Balance\n\nThis general principle of good governance requires a balance between official punishment and employee negligence. In addition, there needs to be clear criteria regarding the types of violations or negligence committed by a person so that if the violation or negligence is committed by different people, the same sanctions can be imposed, in accordance with the criteria in the applicable laws and regulations.[14]\n\nThe Principle of Equality in Making Decisions\n\nThis principle requires the government to take the same action or not contradict each other on cases with the same facts. However, in reality it will be difficult to find absolute similarities between cases, so the government in carrying out policies must act carefully to consider points of similarity. It should be noted that this principle does not apply to wrong or erroneous government decisions that have been issued in previous cases.[15]\n\nMotivation Principle for Every Decision\n\nThis principle requires that every government decision must have sufficient reasons or motivation as a basis for issuing a decision. The reasons must be clear, bright, true, objective and fair.[16]\n\nThis principle includes the following sub-variants:[17]\n\nthe requirement that a decision must be given reasons;the decision must have a solid factual basis; andthe provision of reasons or motivation must be sufficiently supportable.\nPrinciple of Fair Play\n\nThis principle requires that citizens are given the widest possible opportunity to seek truth and justice. In addition, citizens are also given the opportunity to defend themselves and provide arguments before an administrative decision. This principle also emphasizes the importance of honesty and openness in the process of resolving state administrative disputes.[18]\n\nPrinciples of Justice and Fairness\n\nThe principles of justice and fairness require state administrative bodies or officials to pay attention to aspects of justice and fairness in every action. The principle of justice is an action that is proportional, appropriate, balanced and in line with the rights of everyone. Meanwhile, the principle of fairness emphasizes that every government activity must pay attention to the values prevailing in society such as religion, morals, customs, and other values.[19]\n\nThe Principle of Trust and Responding to Reasonable Expectations\n\nThis general principle of good governance requires that every government action must raise expectations for citizens. Thus, when an expectation has been given to citizens, it should not be withdrawn even if it is beneficial to the government.[20]\n\nThe Principle of Nullifying the Effects of a Canceled Decision\n\nThis principle relates to employees who are dismissed through a decree. However, the reason for the dismissal of the employee due to allegations of committing a crime was not proven in court. As such, the employee must be reinstated to his/her original job position along with compensation and rehabilitation of his/her good name. This process is referred to as the means of nullifying the effects of a void or invalid decree.[21]\n\nPrinciple of Protection of Personal Views or Way of Life\n\nThis principle requires the government to protect the right to private life of every civil servant and citizen in general, as a consequence of a democratic state of law that upholds and protects human rights.[22]\n\nThe Principle of Discretion\n\nThis principle requires that the government be given the freedom and discretion to apply discretion without being fixated on formal laws and regulations in carrying out its duties. This is to anticipate when a statutory regulation is inflexible or does not accommodate community problems, so that the government is required to act quickly and dynamically, be broad-minded and able to take into account the consequences that arise from its actions.[23]\nExamples of the Application of the General Principles of Good Government\n\nOne example of the application of general principles of good government, namely the principle of accuracy, can be seen in Supreme Court Decision Number 07 K/TUN/2014 between the Kampar Regent vs. the indigenous people of Kenegerian Tambang Terantang. The Kampar Regent issued a decree of the Kampar Regent dated October 31, 2012 regarding the approval of a mining business license for the production operation of sand and rock excavation materials to other people outside the indigenous community on their customary land (pp. 1 and 4).\n\nThe panel of judges rejected the appeal from the Kampar Regent on the grounds that the judex facti's decision was correct and did not misapply the law, namely that the state administrative decision of the object of dispute violated the principle of accuracy in general principles of good government and did not guide the Kampar Regional Regulation 12/1999 (p. 21). According to the judex facti, the Kampar Regent violated the principle of accuracy because in issuing the mining business license, it was not based on legal facts that occurred in the community, did not conduct deliberations with the customary leaders and was not guided by Kampar Regional Regulation 12/1999 (p. 16).\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nLaw Number 30 of 2014 on Government Administration;Regulation of the Government in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation which has been enacted into law under Law Number 6 of 2023.\n\nCourt Decision:\n\nThe Decision of the Supreme Court Number 07 K/TUN/2014.\n\nReference:\n\nRidwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011.\n\n[1] Article 175 number 1 Regulation of the Government in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation which has been enacted into law under Law Number 6 of 2023 which amended Article 1 number 17 Law Number 30 of 2014 on Government Administration (“Government Administration Law”).[2] Elucidation to Article 10 section (1) letter a Government Administration Law.[3] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, pp. 245-246.[4] Elucidation to Article 10 section (1) letter b Government Administration Law.[5] Elucidation to Article 10 section (1) letter c Government Administration Law.[6] Elucidation to Article 10 section (1) letter d Government Administration Law.[7] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, pp. 248-249.[8] Elucidation to Article 10 section (1) letter e Government Administration Law.[9] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, p. 252.[10] Elucidation to Article 10 section (1) letter f Government Administration Law.[11] Elucidation to Article 10 section (1) letter g Government Administration Law.[12] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, p. 263.[13] Elucidation to Article 10 section (1) letter h Government Administration Law.[14] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, pp. 246-247.[15] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, pp. 247-248.[16] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, p. 250.[17] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, pp. 251-252.[18] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, p. 255.[19] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, p. 258.[20] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, p. 259.[21] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, p. 260.[22] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, p. 261.[23] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Revised Edition. Jakarta: Rajawali Press, 2011, p. 262."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apabila si terdakwa telah mendapat vonis, apakah pihak yang menjadi korban tetap dapat meminta ganti rugi terhadap si terdakwa? Bagaimana prosedur dalam permintaan ganti rugi atas kasus suatu pidana? Siapakah yang menentukan besarnya ganti rugi? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelumnya perlu Anda ketahui, Pasal 101 KUHAP menyebutkan ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang tidak diatur lain. Artinya pihak yang merasa dirugikan oleh perbuatan terpidana dapat mengajukan gugatan, bahkan setelah terdakwa diputuskan bersalah.\nDasar hukum permohonan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Adapun unsur untuk mengajukan gugatan ini adalah adanya perbuatan yang melawan hukum, kesalahan, kerugian yang timbul, dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.[1]\nHak menuntut ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum tidak memerlukan somasi. Kapan saja, pihak yang dirugikan dapat langsung mengajukan gugatan. KUH Perdata sendiri tidak mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi. Dengan demikian, penggugat bisa mengajukan ganti kerugian yang nyata-nyata diderita dan dapat diperhitungkan (material) dan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang (immaterial).[2]\n\nKerugiaan materiil merupakan kerugian yang senyatanya diderita dan dapat dihitung jumlahnya berdasarkan nominal uang sehingga ketika tuntutan materiil dikabulkan dalam putusan hakim maka penilaian dilakukan secara objektif. Misalnya biaya pengobatan dan perbaikan kendaraan atas kecelakaan lalu lintas. Sedangkan immaterial diartikan sebagai “tidak bisa dibuktikan” merupakan kerugiaan yang diderita akibat perbuatan melawan hukum yang tidak dapat dibuktikan, dipulihkan kembali dan/atau menyebabkan terjadinya kehilangan kesenangan hidup sementara, ketakutan, sakit, dan terkejut sehingga tidak dapat dihitung berdasarkan uang.\n\nAdapun cakupan kerugian immaterial menurut Putusan MA No. 650/PK/Pdt/1994 disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 1370, 1371, 1372 KUH Perdata ganti kerugian immateril hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja seperti perkara kematian, luka berat dan penghinaan.\n\nAdapun Pasal 1365 KUH Perdata telah memberikan kemungkinan beberapa jenis gugatan perbuatan melawan hukum, antara lain:[3]\n\nganti kerugian dalam bentuk uang;ganti kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian keadaan pada keadaan semula;pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hukum;larangan untuk melakukan suatu perbuatan;meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum;pengumuman daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki.\n\nUmumnya, pihak yang menuntut ganti kerugian harus dapat membuktikan besarnya kerugian. Akan tetapi, karena sulitnya pembuktian, hakim dapat menentukan besarnya kerugian menurut rasa keadilan. Putusan MA No. 610 K/Sip/1968 menyebutkan meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas, sedangkan penggugat tetap pada tuntutannya, hakim berwenang untuk menetapkan berapa pantasnya harus dibayar.[4]\nSepanjang penelusuran kami, berikut persyaratan untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, yang mana untuk semua bukti surat dilegalisir di kantor pos:\n\nSurat gugatan yang ditujukan ke Ketua Pengadilan Negeri yang sesuai dengan domisili tergugat;Surat kuasa yang sudah dilegalisir (apabila ada kuasa hukum);Bukti-bukti yang menguatkan untuk mengajukan gugatan.\nPermohonan Restitusi\n\nUpaya lain yang dapat ditempuh oleh korban adalah permohonan restitusi. Sebab, dalam hal korban tidak mengajukan permohonan restitusi dalam proses persidangan, permohonan dapat diajukan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Demikian yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Perma 1/2022.\n\nKorban yang mengajukan restitusi berhak memperoleh restitusi berupa:[5]\n\nganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan;ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/ataukerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.\n\nSyarat untuk mengajukan permohonan restitusi harus memuat:[6]\n\nidentitas pemohon;identitas korban, dalam hal pemohon bukan korban sendiri;uraian mengenai tindak pidana;identitas terdakwa/termohon;uraian kerugian yang diderita; danbesaran restitusi yang diminta.\n\nLebih lanjut, perihal prosedur permohonan restitusi dapat Anda baca dalam Tata Cara Permohonan Restitusi dan Kompensasi untuk Korban Tindak Pidana.\n\nSebagai tambahan informasi, permohonan restitusi dapat diajukan ke pengadilan langsung atau melalui LPSK, yang mana harus diajukan dengan durasi paling lama 90 hari sejak pemohon mengetahui putusan pengadilan atas tindak pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Serta pengadilan wajib memutus permohonan restitusi dalam bentuk penetapan paling lama 21 hari sejak sidang pertama. Apabila permohonan Restitusi diajukan melalui LPSK, maka salinan penetapan pengadilan disampaikan kepada LPSK paling lambat 7 hari dihitung sejak penetapan diucapkan.[7]\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/node/629/uu-no-8-tahun-1981-hukum-acara-pidana?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\n3. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt62415f4e6638d/peraturan-mahkamah-agung-nomor-1-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_1_2022)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 610 K/Sip/1968;Putusan Mahkamah Agung Nomor 650/PK/Pdt/1994.\nREFERENSI:\n1. M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976\n2. Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Alumni, 1982\n3. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan keempat. Bandung: Percetakan Binacipta, 1987\n4. Tata Cara Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan Negeri, yang diakses pada 3 Juli 2023, pukul 15.09 WIB.\n\n[1] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan keempat. Bandung: Percetakan Binacipta, 1987, hal. 75-76[2] Tata Cara Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan Negeri, yang diakses pada 3 Juli 2023, pukul 15.09 WIB[3] M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976, hal. 102[4] Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Alumni, 1982, hal. 31[5] Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana (“Perma 1/2022”)[6] Pasal 5 ayat (1) Perma 1/2022[7] Pasal 12 ayat (1), (2), Pasal 14 ayat (9), dan Pasal 15 ayat (1) Perma 1/2022"
} |
{
"from": "human",
"value": "Menurut UU PT dan UU Cipta Kerja, apa saja jenis-jenis saham dan pemegang saham itu?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kami sampaikan bahwa saat ini UU Cipta Kerja sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Perppu Cipta Kerja.[1] Sehingga perubahan UU PT diatur di dalam Perppu Cipta Kerja.\nSelanjutnya, klasifikasi saham diatur dalam UU PT. Sedangkan dalam Perppu Cipta Kerja mengatur lebih khusus terkait pemegang saham dan syarat khusus pendirian perseroan terbatas (“PT”).\n\nTerkait dengan pertanyaan Anda tentang jenis-jenis pemegang saham, sebenarnya dalam UU PT tidak mengenal secara spesifik jenis-jenis pemegang saham, namun setiap pemegang saham dibedakan dari haknya dalam sebuah perusahaan. Hak dari pemegang saham tersebut diatur dalam klasifikasi saham.\n\nApa itu klasifikasi saham? Klasifikasi saham adalah pengelompokan saham berdasarkan karakteristik yang sama.[2] Saham pada dasarnya diklasifikasikan menjadi dua yaitu saham biasa (common stocks) dan saham preferen atau saham prioritas.\n\nSaham Biasa (Commond Stocks)\n\nSaham biasa adalah saham yang mempunyai hak suara untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai segala hal yang berkaitan dengan pengurusan perseroan, mempunyai hak untuk menerima dividen yang dibagikan, dan menerima sisa kekayaan hasil likuidasi. Terkait dengan hak suara yang dimiliki oleh pemegang saham biasa, hal ini juga dapat dimiliki oleh pemegang saham klasifikasi lainnya.[3]\n\nMenurut Munir Fuady dalam buku Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, saham biasa mutlak harus ada dalam setiap perseroan terbatas. Saham biasa ini adalah saham yang kepada pemegangnya tidak diberikan syarat-syarat khusus dan tidak didahulukan dari yang lainnya (hal. 29 dan 32)\n\nPemegang saham biasa memiliki kedudukan yang sama dan tidak ada keisitimewaan antara satu dengan yang lain. Menurut Pasal 52 ayat (1) UU PT, saham biasa memberikan hak kepada pemiliknya untuk:\n\nmenghadiri dan mengeluarkan suara pada RUPS;menerima pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi;menjalankan hak lainnya berdasarkan UUPT\nSaham Preferen atau Saham Prioritas\n\nApabila terdapat saham yang memiliki hak khusus selain dari hak yang diberikan Pasal 52 UU PT, maka anggaran dasar perseroan wajib menetapkan salah satu diantaranya sebagai saham biasa.[4]\n\nAdapun, klasifikasi saham selain saham biasa menurut Pasal 53 ayat (4) UU PT antara lain:\n\nsaham dengan hak suara atau tanpa hak suara;saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota direksi dan anggota dewan komisarissaham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain;saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima deviden lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian deviden secara kumulatif dan non kumulatif;saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima deviden lebih dulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan perseroan dalam likuidasi.\n\nSaham prioritas menurut M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Perseroan Terbatas adalah saham yang memberikan hak berbicara khusus kepada pemiliknya. Pemegang saham prioritas diberi hak untuk mencalonkan anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris dan hak ini tidak diberikan kepada pemilik klasifikasi saham lainnya (hal. 265).\n\nSementara itu, pada saham preferen mempunyai hak lebih dahulu untuk memperoleh pembagian dividen dari pemegang saham klasifikasi yang lain (hal. 266).\n\nDemikian jawaban dari kami mengenai klasifikasi saham, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_40_2007)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\nREFERENSI:\n1. M. Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Cetakan Keenam. Jakarta: Sinar Grafika, 2016\n2. Munir Fuady. Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007). Cetakan Ketiga. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008.\n\n[1] Pasal 185 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja[2] Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”)[3] Penjelasan Pasal 53 ayat (3) UU PT[4] Pasal 53 ayat (3) UU PT"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya bekerja di sebuah perusahaan, yang upahnya dihitung dan dibayarkan secara harian. Saya kira saya akan dibayar bulanan seperti orang-orang pada umumnya. Memangnya boleh/sah ya, diupah secara harian menurut hukum? Lantas bagaimana penghitungannya yang benar? Mohon pencerahannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kami sampaikan bahwa terdapat dua jenis sistem upah di Indonesia menurut Pasal 81 angka 28 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88B ayat (1) UU Ketenagakerjaan yaitu upah dapat ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil.\n\nSecara teknis, sistem upah tersebut diatur di dalam PP Pengupahan yang uraiannya sebagai berikut.\n\nUpah berdasarkan satuan waktu ditetapkan secara per jam, harian, atau bulanan.[1]\nKhusus untuk upah per jam, diperuntukkan bagi pekerja/buruh paruh waktu, yang dibayarkan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha. Perlu dicatat bahwa kesepakatan upah per jam tersebut tidak boleh lebih rendah dari perhitungan formula upah per jam.[2]\nUpah berdasarkan satuan hasil ditetapkan sesuai dengan hasil pekerjaan yang telah disepakati.[3]\n\nSelanjutnya, upah tersebut dapat dibayarkan dengan cara harian, mingguan, atau bulanan sesuai dengan yang telah diperjanjikan oleh pengusaha dan pekerja/buruh.[4]\nFormula Perhitungan Upah\n\nUpah per Jam[5]\n\nUpah per jam =\nAngka penyebut dalam formula ini dapat dilakukan peninjauan apabila terjadi perubahan median jam pekerja/buruh paruh waktu secara signifikan, dengan mempertimbangkan hasil kajian dari dewan pengupahan nasional.\nUpah Harian[6]\n\nsistem waktu kerja 6 hari dalam seminggu:\nsistem waktu kerja 5 hari dalam seminggu:\nUpah Bulanan\n\nMengenai upah bulanan, dalam peraturan perundang-undangan diatur bahwa upah bulanan terendah ditetapkan berdasarkan upah minimum yaitu upah tanpa tunjangan atau upah pokok dan tunjangan tetap.[7]\nUpah Berdasarkan Satuan Hasil\n\nBerdasarkan hasil kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha sesuai dengan hasil pekerjaan yang disepakati.[8]\nUntuk pemenuhan kewajiban pengusaha kepada pekerja/buruh seperti THR keagamaan, upah lembur, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan upah karena sakit, serta iuran dan manfaat jaminan sosial, maka penentuan upah sebulan berdasarkan satuan hasil, ditetapkan berdasarkan upah rata-rata 12 bulan terakhir yang diterima oleh pekerja/buruh.[9]\nHal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Memberikan Upah\n\nDalam hal membayarkan upah, baik secara harian, mingguan, ataupun bulanan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:[10]\n\nSetiap pekerja berhak dapat upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.Upah wajib dibayarkan sesuai dengan kesepakatan.Upah yang ditetapkan sesuai kesepakatan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan dalam peraturan perundang-undangan. Jika lebih rendah, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum dan upah dibayarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.Upah tidak boleh terlambat dibayarkan.\n\nBaca juga: Bolehkah Upah Pokok di Bawah Upah Minimum?\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan, dibolehkan dan sah apabila pengusaha/pemberi kerja membayarkan dan mendasarkan perhitungan upah secara harian kepada pekerja/buruh. Sepanjang, pemberian upah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, misalnya berdasarkan kesepakatan, formula perhitungan, dan tidak lebih rendah dari upah minimum.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322fc0d665f/peraturan-pemerintah-nomor-36-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_36_2021)\n[1] Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”)[2] Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) PP Pengupahan[3] Pasal 18 ayat (1) PP Pengupahan[4] Pasal 55 ayat (1) dan (3) PP Pengupahan[5] Pasal 16 ayat (4), (5), dan (6) PP Pengupahan[6] Pasal 17 PP Pengupahan[7] Pasal 23 ayat (1) PP Pengupahan[8] Pasal 18 ayat (2) PP Pengupahan[9] Pasal 19 PP Pengupahan dan penjelasannya[10] Pasal 81 angka 28 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88A ayat (2), (3), (4), (5), (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 23 ayat (3) PP Pengupahan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja upaya hukum putusan pengadilan? Khususnya saya mohon untuk dijelaskan dalam perkara pidana."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda tentang apa saja upaya hukum putusan pengadilan? menurut Pasal 1 angka 11 KUHAP mendefinisikan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.\n\nDari pengertian tersebut, penggolongan putusan pengadilan adalah sebagai:[1]\n\nputusan bebas dari segala tuduhan hukum;putusan lepas dari segala tuntutan hukuman;putusan yang mengandung pemidanaan.\nTerhadap putusan hakim yang mengandung pemidanaan, hakim wajib memberitahukan kepada terdakwa akan hak-haknya. Dengan adanya hak-hak terdakwa, terhadap setiap putusan hakim yang mengandung pemidanaan di mana terdakwa merasa tidak puas, dapat mengajukan upaya hukum sebagaimana diatur Pasal 196 ayat (3) KUHAP.\n\nSegera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu:\nhak segera menerima atau segera menolak putusan; hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini; hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan; hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan; hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini.\nUpaya Hukum\n\nPasal 1 angka 12 KUHAP menyebutkan upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.\n\nJadi jika ditanya apa saja upaya hukum putusan pengadilan? Adapun jenis upaya hukum terbagi atas 2 yaitu:\n\nupaya hukum biasa yang terdiri atas banding dan kasasi;upaya hukum luar biasa yang terdiri atas pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali.\nUpaya Hukum Biasa\n\nMengenai upaya hukum biasa diatur dalam Bab XVII KUHAP. Berikut penjelasannya:\n\nBanding\n\nAndi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia (hal. 292) menyatakan bahwa jika Pasal 233 ayat (1) jo. Pasal 67 KUHAP dihubungkan dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau penuntut umum dengan beberapa pengecualian. Artinya banding adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk menolak putusan pengadilan, dengan tujuan untuk meminta pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi serta untuk menguji ketepatan penerapan hukum dan putusan pengadilan tingkat pertama.[2]\nKasasi\n\nUpaya hukum kasasi diatur dalam Pasal 244-258 KUHAP. Pasal 244 KUHAP jo. Putusan MK No. 114/PUU-X/2012 mengatur terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.\n\nPemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak guna menentukan:[3]\n\napakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya\n\nAndi Hamzah masih dalam buku yang sama (hal. 298) menyatakan tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.\nUpaya Hukum Luar Biasa\n\nSedangkan upaya hukum luar biasa diatur dalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri atas dua upaya berikut ini.\n\nPemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum\n\nAndi Hamzah dalam bukunya (hal. 303) menyatakan sebagai upaya hukum luar biasa, kasasi demi kepentingan hukum ialah untuk mencapai kesatuan penafsiran hukum oleh pengadilan. Kasasi demi kepentingan hukum diajukan jika sudah tidak ada upaya hukum biasa yang dapat dipakai.\n\nPasal 259 ayat (1) KUHAP menjelaskan pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum berlaku terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, yang dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh jaksa agung.\n\nMenurut ketentuan KUHAP, kasasi demi kepentingan hukum pada dasarnya hanya bisa diajukan oleh jaksa agung kepada Mahkamah Agung yang diajukan secara tertulis melalui panitera pengadilan negeri yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.[4] Kemudian, panitera menyampaikan salinan risalah kepada yang berkepentingan.[5] Setelah itu, ketua pengadilan negeri yang bersangkutan segera meneruskannya kepada Mahkamah Agung.[6]\n\nKasasi demi kepentingan hukum diajukan apabila putusan pengadilan negeri terdapat:[7]\n\nsuatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan, tidak sebagaimana mestinya;apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang.pengadilan melampaui wewenangnya.\n\nJika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi demi kepentingan hukum, selanjutnya Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang lebih rendah, dengan demikian terjawablah keraguan atau hal yang dipermasalahkan itu.[8]\nBaca juga: Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap?\nPeninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap (herziening)\n\nUpaya hukum peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (herziening) diatur dalam Pasal 263-269 KUHAP.\n\nKetentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.\n\nPermintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:[9]\n\napabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.\n\nDalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:[10]\n\napabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:\n\nputusan bebas;putusan lepas dari segala tuntutan hukum;putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.\n\nPatut dicatat, pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.[11]\nDemikian jawaban dari kami tentang upaya hukum atas putusan pengadilan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012.\nREFERENSI:\n1. Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.Rendi Renaldi Mumbunan. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa Terhadap Putusan Hakim dalam Perkara Pidana. Lex Crimen Vol. VII No. 10, 2018.\n\n[1] Pasal 191 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)[2] Rendi Renaldi Mumbunan. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa Terhadap Putusan Hakim dalam Perkara Pidana. Lex Crimen Vol. VII No. 10, 2018, hal. 41[3] Pasal 253 ayat (1) KUHAP[4] Pasal 260 ayat (1) KUHAP[5] Pasal 260 ayat (2) KUHAP[6] Pasal 260 ayat (3) KUHAP[7] Rendi Renaldi Mumbunan. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa Terhadap Putusan Hakim dalam Perkara Pidana. Lex Crimen Vol. VII No. 10, 2018, hal. 43[8] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 304[9] Pasal 263 ayat (2) KUHAP[10] Pasal 266 ayat (2) KUHAP[11] Pasal 266 ayat (3) KUHAP"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah yang dimaksud dengan pailit dan apa syarat dapat dikatakan pailit?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Memahami hukum kepailitan melalui UU Kepailitan memang tidaklah mudah. Sebab hukum kepailitan tersebut diatur dalam ratusan pasal yang saling terkait satu sama lain. Tak hanya soal hukum kepailitan, UU Kepailitan juga mengatur perihal Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”).\nPengertian kepailitan menurut Pasal 1 angka 1 UU Kepailitan menyebutkan kepailitan adalah:\nKepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.\n\nSedangkan menurut Hadi Shubhan dalam bukunya berjudul Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, pailit adalah suatu keadaan di mana debitur tidak mampu melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) (hal. 1).\n\nSedangkan kepailitan adalah putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari (hal. 1).\n\nHadi juga menyebutkan kepailitan adalah suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, di mana debitur sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para krediturnya (hal. 2).\n\nBaca juga: Arsip Jawaban Seleb Jurist Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., CN\nSyarat Kepailitan\n\nMenjawab pertanyaan Anda, syarat kepailitan sendiri secara jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan yang selengkapnya berbunyi:\n\nDebitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.\n\nDari bunyi pasal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa setidaknya ada dua syarat kepailitan:\n\nAda dua atau lebih kreditur; danAda satu utang yang telah jatuh waktu atau jatuh tempo dan dapat ditagih (due and payable) yang tidak dibayar lunas oleh debitur.\nPermohonan pernyataan pailit harus dikabulkan oleh Pengadilan Niaga apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa dua syarat kepailitan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan telah dipenuhi.[1]\n\nTerkait fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana, Hadi menyatakan terdapat perbedaan batasan konsep dari pembuktian sederhana tersebut. Penjelasan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan hanya menyebutkan tentang fakta dua atau lebih kreditur dan fakta uang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit (hal. 124).\n\nBaca juga: Prosedur Pendirian Yayasan di Indonesia\n\nMasih bersumber dari buku yang sama, ada pula kelengkapan yang harus dipenuhi dalam pengajuan kepailitan sesuai dengan formulir yang disediakan oleh Pengadilan Niaga antara lain (hal. 120):\n\nSurat permohonan bermeterai dari advokat yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat;Izin/kartu advokat yang dilegalisasi pada kepaniteraan Pengadilan Niaga setempat;Surat kuasa khusus;Surat tanda bukti diri/KTP suami/istri yang masih berlaku (bagi debitur perorangan), akta pendirian dan tanda daftar perusahaan yang dilegalisir (bagi debitur PT), akta pendaftaran yayasan/asosiasi yang dilegalisir (bagi debitur yayasan/partner), surat pendaftaran perusahaan/bank/perusahaan efek yang dilegalisir (bagi pemohon kejaksaan/BI/Bapepam);Surat persetujuan suami/istri (bagi debitur perorangan), berita acara RUPS tentang permohonan pailit (bagi debitur PT), putusan dewan pengurus (bagi yayasan/partner);Daftar aset dan kewajiban (bagi debitur perorangan), neraca keuangan terakhir (bagi PT/yayasan/partner); danNama serta alamat kreditur dan debitur.\n\nBaca juga: SIUP dan TDP Tak Berlaku Lagi, Benarkah?\n\nNamun dari kelengkapan di atas, ada beberapa syarat yang harus ditinjau ulang seperti tidak berlakunya tanda daftar perusahaan (TDP). Kemudian jika yang mengajukan permohonan pailit adalah kreditur, maka ditambah dengan beberapa kelengkapan, antara lain surat perjanjian utang dan rincian utang yang tidak dibayar (hal. 120).\n\nDi sisi lain, dalam hal debitur telah menjalani PKPU hingga disepakati perdamaian, namun debitur tersebut dalam perjalanannya lalai memenuhi perdamaian PKPU, maka kreditur dapat mengajukan pembatalan perdamaian dan debitur dinyatakan pailit. Selengkapnya bisa disimak dalam Akibat Hukum Jika Debitur Lalai Memenuhi Isi Perdamaian PKPU.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait hukum kepailitan secara singkat dan syarat kepailitan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.\n\nREFERENSI:\n1. Hadi Shubhan. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana, 2008.\n\n[1] Pasal 8 ayat (4)"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dengan adanya putusan MK, terhadap putusan PKPU dapat diajukan upaya hukum kasasi. Apa dan bagaimana cara mengajukan upaya hukum kasasi? Bagaimana jika putusan PKPU sudah diputus tahun-tahun sebelumnya, masihkah bisa diajukan kasasi? Dan apakah setelah upaya hukum kasasi dilakukan, masih ada upaya hukum lainnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITLangkah Memperoleh Homologasi dalam Kepailitan dan PKPU18 Mei 2022Adakah Aturan Besaran Harta Pailit bagi Kreditur Konkuren?17 Mei 2022Fungsi Balai Harta Peninggalan sebagai Kurator Kepailitan16 Mar 2022Bisakah Rencana Perdamaian Diajukan Kedua Kalinya?10 Mar 2022\n\nMahkamah Konstitusi (“MK”) melalui Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 telah memutus permohonan uji materiil yang diajukan terhadap Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor.\nSebelumnya diatur bahwa terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Namun kemudian, MK memutus untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materiil dengan amar putusan yang menyatakan kedua pasal tersebut di atas berlaku secara inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitusional) atau dinyatakan bertentangan secara bersyarat.\n\nAdapun yang dimaksud dengan inkonstitusional bersyarat adalah pasal yang dimohonkan pengujian materiilnya menjadi inkonstitusional apabila syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi, sedangkan apabila syarat yang ditentukan telah dipenuhi maka penerapan pasal yang diuji dimaksud menjadi konstitusional (tidak bertentangan dengan UUD 1945).\nOleh sebab itu, terhadap putusan PKPU hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi sepanjang memenuhi dua syarat yaitu:\n\npermohonan PKPU diajukan oleh kreditor; dantawaran rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor ditolak oleh kreditor.\n\nDalam hal tidak terpenuhinya kedua syarat tersebut, maka upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan.\n\nBaca juga: Babak Baru Polemik UU Kepailitan dan PKPU\nTeknis Pengajuan Kasasi Putusan PKPU\n\nBerdasarkan pertimbangannya, MK mengisyaratkan agar Mahkamah Agung (“MA”) segera membuat regulasi lebih lanjut yang berkaitan dengan tata cara atau mekanisme pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU.\n\nKami memandang pertimbangan tersebut perlu ditindaklanjuti mengingat adanya perbedaan antara teknis pengajuan kasasi bagi perkara perdata umum yang termuat dalam UU Mahkamah Agung dengan kasasi yang diatur dalam UU 37/2004. Perbedaan tersebut antara lain kami rangkum dalam tabel berikut:\n|\n| 0\n| 1\n| 2\n|\n|---:|:--------------------------|:---------------------------------------------------------------------------------|:--------------------------------------------------------------------------------------------|\n| 0 | Pembeda\n| UU 37/2004\n| UU Mahkamah Agung\n|\n| 1 | Jangka Waktu\n| Diajukan paling lambat dalam 8 hari setelah tanggal putusan diucapkan.\n| Diajukan paling lambat 14 hari sesudah tanggal putusan diberitahukan kepada pemohon kasasi. |\n| 2 | Yang Mengajukan\n| Debitor, Kreditor pemohon atau Kreditor lain.\n| Pihak di dalam perkara.\n|\n| 3 | Pengajuan Memori Kasasi\n| Bersamaan pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan.\n| Dalam 14 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan.\n|\n| 4 | Putusan Permohonan Kasasi | Dalam waktu paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima MA. | Dalam waktu paling lama 250 hari.\n|\n\nSehingga, petunjuk pelaksanaan dan teknis mengenai tata cara atau mekanisme pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU penting untuk diundangkan.\nUpaya Hukum Kasasi Bukan untuk Putusan PKPU Terdahulu\n\nMenjawab pertanyaan Anda selanjutnya, dapat kami sampaikan bahwa upaya hukum kasasi tidak dapat diterapkan pada putusan PKPU yang diputus sebelum dikeluarkannya Putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021 karena putusan tidak menganut asas berlaku surut (retroaktif).\n\nTidak diterapkannya asas berlaku surut tercermin sebagaimana ketentuan Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 76 PMK 2/2021 yang pada pokoknya memuat bahwa:\n\nUndang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.\nAtas ketentuan tersebut, pada prinsipnya putusan MK berlaku ke depan. Sebab, penerapan putusan MK yang retroaktif justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Bagaimana jika putusan PKPU terdahulu kemudian berakhir pailit dan sedang proses pemberesan? Tentu, hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum.\nDapatkah PK Setelah Kasasi Putusan PKPU?\n\nSelain kasasi, permohonan dalam putusan MK tak semuanya dikabulkan. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan berkaitan dengan upaya hukum peninjauan kembali (PK) tidak dibenarkan dengan alasan:\n\nUntuk menghindari pembengkakan jumlah perkara di MA; danDemi kepastian hukum dalam kelangsungan dunia usaha merujuk pada sifat perkara PKPU adalah perkara berdimensi cepat (speedy trial).\n\nMenurut hemat kami, MK berpegang pada asas kelangsungan usaha yang menjadi marwah PKPU yaitu untuk memungkinkan debitor segera melanjutkan usahanya yang masih prospektif. Oleh sebab itu, upaya hukum kasasi dipandang cukup untuk memenuhi rasa keadilan sehingga upaya hukum lanjutan berupa peninjauan kembali tidak dapat diajukan.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987/uud-undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/3781/nprt/2/undangundang-nomor-14-tahun-1985?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_14_1985)\n3. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17917/nprt/537/uu-no-5-tahun-2004-perubahan-atas-undang-undang-nomor-14-tahun-1985-tentang-mahkamah-agung?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_2004)\n4. [Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28864?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_3_2009)\n5. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13664/nprt/538/undangundang-nomor-24-tahun-2003?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_24_2003)\n6. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e3118f0c4f79/nprt/lt51ee17b11ad42/undangundang-nomor-8-tahun-2011?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_2011)\n7. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e63b5c46dc0/nprt/lt51ee17b11ad42/undang-undang-nomor-4-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_2014)\n8. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f76abc40155f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_2020)\n9. [Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/20144/undangundang-nomor-37-tahun-2004/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Kepailitan)\n10. [Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60b0b29d1724b/peraturan-mahkamah-konstitusi-nomor-2-tahun-2021/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pmk_2_2021)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021."
} |
{
"from": "human",
"value": "What are the legal remedies for court decisions? Specifically, on a criminal case."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Before answering your question about what are the types of legal remedies for court decisions? According to Article 1 number 11 Criminal Procedure Code, a court decision is a statement made by a judge in an open court session, which may be in the form of a criminal punishment or acquittal or release from all lawsuits in terms of and according to the method regulated under this law.\n\nFrom this understanding, the classifications of court decisions are as follows:[1]\n\nthe decision to be acquitted of all legal charges;the decision to be released from all lawsuits;the decision which involves criminal punishment.\nUpon a judge decision that contains a criminal punishment, the judge must notify the defendant about his/her rights. With the existence of the defendant's rights, towards any decision of a judge which contains a criminal punishment in which the defendant is not satisfied, the defendant may submit legal remedies as regulated in Article 196 section (3) of the Criminal Procedure Code.\n\nImmediately after the verdict is pronounced, the presiding judge must notify the defendant of his/her rights, as follows:\n\nthe right to immediately accept or reject a decision;the right to learn the decision before declaring to accept or reject the decision, within the time period determined by this law;the right to request a postponement of the implementation of the decision within the time period determined by law in order to be able to apply for clemency, in the event that he/she receives the decision;the right to request that his/her case be examined at the appeal level within the time period determined by this law, in the event that he/she rejects the decision;the right to revoke the statement as referred to in letter a within the time period determined by this law.\nLegal Remedy\nArticle 1 number 12 Criminal Procedure Code states that legal remedies are the right of the defendant or public prosecutor not to accept a court decision in the form of resistance or appeal or cassation or the right of the convict to submit an application for judicial review in terms of and according to the method regulated in this law.\n\nSo, if you ask about what are the legal remedies for court decisions? The types of legal remedies are divided into 2, namely:\n\nordinary legal remedies which consist of appeal and cassation;extraordinary legal remedies which consist of examination at the cassation level in the interest of the law and judicial review.\nOrdinary Legal Remedies\n\nThe ordinary legal remedies are regulated under Chapter XVII Criminal Procedure Code. Here are the explanations:\n\nAppeal\n\nAndi Hamzah in his book entitled Indonesian Criminal Procedure Code (p. 292) explains that if we connect Article 233 section (1) jo. Article 67 Criminal Procedure Code, it can be concluded that all district court decisions may be appealed to the high court by defendants or public prosecutors with a few exceptions. This means that an appeal is the right of a defendant or public prosecutor to reject a court decision, with the aim of requesting a re-examination by a higher court as well as to test the accuracy of the application of the law and decisions of the district court.[2]\n\nCassation\n\nCassation is regulated under Article 244-258 Criminal Procedure Code. Article 244 Criminal Procedure Code jo. Decision of the Constitutional Court Number 114/PUU-X-2012 regulates that for decisions on criminal cases which are given at the last level by courts other than the Supreme Court, defendants or public prosecutors may submit cassation requests to the Supreme Court.\n\nExaminations at the cassation level are conducted by the Supreme Court at the request of the parties in order to determine:[3]\n\nIs it true that a legal regulation is not applied or is applied improperly;Is it true that the adjudication method is not implemented in accordance with the provisions of the law;Is it true that the court has exceeded the limit of its authority.\n\nAndi Hamzah, still in the same book (p. 298) states that the purpose of cassation is to create unity in the application of the law by canceling decisions that are contrary to the law or applying the law incorrectly.\nExtraordinary Legal Remedies\n\nMeanwhile, extraordinary legal remedies are regulated under Chapter XVIII Criminal Procedure Code, which consists of the following two remedies.\n\nCassation Level Examination for Legal Interests\n\nAndi Hamzah in his book (p. 303) states as an extraordinary legal remedy, cassation in the interests of the law is to achieve unity of interpretation of the law by the court. Cassation in the interest of the law shall be submitted if there are no ordinary legal remedies that can be used.\n\nArticle 259 section (1) Criminal Procedure Code explains that the examination of cassation in the interests of the law shall apply to all decisions which have obtained permanent legal force from courts other than the Supreme Court, which may be submitted once by the attorney general.\n\nBasically, according to the Criminal Procedure Code, a cassation in the interests of the law can only be submitted by the attorney general to the Supreme Court, which is submitted in writing through the registrar (clerk of the court) of the district court that has decided upon the case in the first instance/at the first level, along with minutes that contain the reasons for the request.[4] Then, the registrar shall deliver a copy of the minutes to the concerned parties.[5] After that, the head of the relevant district court shall immediately forward it to the Supreme Court.[6]\n\nCassation in the interest of the law shall be submitted if the decision of the district court contains:[7]\n\na legal regulation is not applied or is applied improperly;whether the adjudication method is not implemented in accordance with the provisions of the law.court exceeds its authority.\n\nIf the Supreme Court accepts the cassation request in the interest of the law, then the Supreme Court will annul the decision of the lower court, thereby this will answer the doubt or matter in question.[8]\n\nAlso read: When Does a Court Decision Obtain Permanent Legal Force?\n\nJudicial Review on Court Decision that Has Obtained Permanent Legal Force (herziening)\n\nLegal remedies for the review of court decisions that have obtained permanent legal force (herziening) are regulated in Article 263-269 Criminal Procedure Code.\n\nThe provision of Article 263 section (1) Criminal Procedure Code determines that upon a court decision that has obtained permanent legal force, unless the decision is in the form of acquittal or release from all lawsuits, the convict or his/her heir may submit a request for judicial review to the Supreme Court.\n\nRequests for judicial reviews are to be made on the basis of:[9]\n\nif there are new conditions that give rise to a strong suspicion, that if the situation was known at the time of the trial/court is still ongoing, the result will be in the form of an acquittal or a release from all lawsuits or demands of the public prosecutor cannot be accepted or a lighter criminal provision will be applied to the case;if in various decisions there is a statement that something has been proven, however, the matter or circumstances as the basis and reason for the decision which is stated to have been proven turns out to be contradictory to one another;if the decision clearly shows a judge's error or a real mistake.\n\nIn the event that the Supreme Court is of the opinion that a request for judicial review is acceptable for examination, the following provisions shall apply:[10]\n\nif the Supreme Court does not justify the reasons of the applicant, the Supreme Court shall reject the request for judicial review by stipulating that the decision requested for the review remains valid along with the basis for its consideration;if the Supreme Court justifies the applicant’s reason, the Supreme Court shall annul the decision requested for a review and impose a decision which may be in the form of:\nacquittal;acquittal of any lawsuits;the decision not to accept the demands from the public prosecutor;the decision by implementing lighter criminal provisions.\n\nIt should be noted that the sentence imposed under a judicial review decision must not exceed the sentence imposed under the original decision.[11]\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nLaw Number 8 of 1981 on the Criminal Procedure Code;\n\nCourt Decision:\n\nDecision of the Constitutional Court Number 114/PUU-X-2012.\n\nReference:\n\nAndi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.Rendi Renaldi Mumbunan. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa Terhadap Putusan Hakim dalam Perkara Pidana. Lex Crimen Vol. VII No. 10, 2018.\n\n[1] Article 191 Law Number 8 of 1981 on the Criminal Procedure Code (“Criminal Procedure Code”).[2] Rendi Renaldi Mumbunan. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa Terhadap Putusan Hakim dalam Perkara Pidana. Lex Crimen Vol. VII No. 10, 2018, p. 41.[3] Article 253 section (1) Criminal Procedure Code.[4] Article 260 section (1) Criminal Procedure Code.[5] Article 260 section (2) Criminal Procedure Code.[6] Article 260 section (3) Criminal Procedure Code.[7] Rendi Renaldi Mumbunan. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa Terhadap Putusan Hakim dalam Perkara Pidana. Lex Crimen Vol. VII No. 10, 2018, p. 43.[8] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, p. 304.[9] Article 263 section (2) Criminal Procedure Code.[10] Article 266 section (2) Criminal Procedure Code.[11] Article 266 section (3) Criminal Procedure Code."
} |
{
"from": "human",
"value": "I work for a company, where wages are calculated and paid daily. I thought I would be paid monthly like most people in general. Is it actually allowed to pay daily wages according to the law? Therefore, what is the correct calculation?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Before answering your question, we should mention that there are two types of wage systems in Indonesia, according to Article 81 number 28 Perppu 2/2022, which adds the new Article 88B section (1) Law 13/2003 that wages can be determined based on the unit of time and/or the unit of output.\n\nTechnically, the wage system is regulated under Government Regulation 36/2021, which is elaborated upon as follows.\n\nWages based on the unit of time, are determined hourly, daily, or monthly.[1]\nSpecifically, the hourly wages, which are given to part-time workers/employees, are paid based on an agreement between the employee and the employer. It should be noted that the hourly wages agreement must not be lower than the calculated hourly wages formula.[2]\n\nWages based on the unit of output shall be determined in accordance with the agreed work output/result.[3]\n\nFurthermore, these wages may be paid daily, weekly, or monthly in accordance with the agreement between the employer and the worker/laborer.[4]\nWage Calculation Formulas\n\nHourly Wages[5]\nHourly wages = Monthly Wage/126\n\nThe denominator of this formula may be subject to a review if there is a significant change in the median hours of part-time workers and taking into account the results of a review by the National Wages Council.\nDaily Wages[6]\n\n6 days a week work time system = Monthly Wage/255 days a week work time system = Monthly Wage/21\nMonthly Wages\n\nRegarding monthly wages, the laws and regulations stipulate that the lowest monthly wage is determined based on the minimum wage, namely wages without allowances or basic wages and fixed allowances.[7]\n\nWages based on the unit of output\n\nBased on the results of an agreement between the worker/laborer and the employer in accordance with the agreed results/output of the work.[8]\n\nFor the fulfillment of the obligations of employers to workers/laborers, such as religious holiday allowances, overtime pays, severance pays, tenure awards, and wages due to illness, as well as social security contributions and benefits, then, the determination of monthly wages based on the unit of output, shall be determined based on the average wage for the last 12 (twelve) months that are received by workers/laborers.[9]\nMatters to be Considered in the Granting of Wages\n\nIn terms of the payment of wages, either daily, weekly, or monthly, the following matters must be taken into account:[10]\n\nEvery worker has the right to receive equal pay for work that has the same value.Wages must be paid in accordance with the agreement.Wages determined in accordance with the agreement must not be lower than the wage provisions in the laws and regulations. If it is lower, then the agreement is null and void and wages are paid in accordance with the provisions of the laws and regulations.Employers are prohibited from paying wages lower than the minimum wage.Wages must not be late paid.\n\nAlso read: Can Basic Wages be Lower than Minimum Wages?\n\nTherefore, answering your question, basically according to laws and regulations, it is permitted and legal if the entrepreneur/employer pays and bases the daily wage calculation on workers/laborers. As long as the remuneration is in accordance with statutory provisions, for example, wages are based on an agreement, calculation formula, and are not lower than the minimum wage.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nLaw Number 13 of 2003 on Manpower;Regulation of the Government in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation;Regulation of the Government Number 36 of 2021 on Wages.\n\n[1] Article 15 Regulation of the Government Number 36 of 2021 on Wages (“Government Regulation 36/2021”).[2] Article 16 section (1), (2), and (3) Government Regulation 36/2021.[3] Article 18 section (1) Government Regulation 36/2021.[4] Article 55 section (1) and (3) Government Regulation 36/2021.[5] Article 16 section (4), (5), and (6) Government Regulation 36/2021.[6] Article 17 Government Regulation 36/2021.[7] Article 23 section (1) Government Regulation 36/2021.[8] Article 18 section (2) Government Regulation 36/2021.[9] Article 19 Government Regulation 36/2021 and the Elucidation.[10] Article 81 number 28 Regulation of the Government in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation (“Perppu 2/2022”) which adds the new Article 88A section (2), (3), (4), (5), (6) Law Number 13 of 2003 on Manpower (“Law 13/2003”) and Article 23 section (3) Government Regulation 36/2021."
} |
{
"from": "human",
"value": "Sudah ada ikrar wakaf untuk perorangan, dan sekarang mau diubah ke wakaf yayasan. Caranya bagaimana? Terima kasih atas jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Aturan Wakaf di Indonesia 30 Mar 2022 Wakaf Hanya Secara Lisan, Begini Cara Mempertahankannya 29 Jun 2021 Sertifikat sebagai Bukti Kepemilikan Tanah 04 Mei 2021 Mengenal Cash Waqf Linked Sukuk (Sukuk Wakaf) 16 Apr 2021 Persyaratan Nazhir Badan Hukum Berdasarkan pertanyaan Anda, kami asumsikan permasalahan ini adalah mengenai upaya perubahan status wakaf, dari yang awalnya diserahkan kepada nazhir (pihak penerima harta benda wakaf) perseorangan ke nazhir badan hukum. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sebelumnya perlu kami jelaskan terlebih dahulu berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (“UU Wakaf”) , nazhir meliputi perseorangan, organisasi, atau badan hukum. Agar badan hukum dapat menjadi nazhir haruslah memenuhi persyaratan: [1] pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan, yang bisa dilihat pada Pasal 10 ayat (1) UU Wakaf ; badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Kemudian terdapat syarat tambahan bagi badan hukum yang akan menjadi nazhir, berdasarkan Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (“PP Wakaf”) , yaitu: badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam; pengurus badan hukum harus memenuhi persyaratan nazhir perseorangan; salah seorang pengurus badan hukum harus berdomisili di kabupaten/kota benda wakaf berada; memiliki: salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi berwenang; daftar susunan pengurus; anggaran rumah tangga; program kerja dalam pengembangan wakaf; daftar terpisah kekayaan yang berasal dari harta benda wakaf atau yang merupakan kekayaan badan hukum; dan surat pernyataan bersedia untuk diaudit. Sementara itu, menyambung pertanyaan Anda, Yayasan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan perubahannya termasuk dalam kategori badan hukum. Maka pertama-tama, calon nazhir dari yayasan yang Anda maksud harus dipastikan terlebih dahulu memenuhi persyaratan sebagaimana disebut di atas. Alternatif Cara Ganti Nazhir Adapun mengenai pertanyaan Anda soal perubahan status nazhir perseorangan ke nazhir yayasan, setidaknya terdapat 3 alternatif cara: Pengunduran diri nazhir perseorangan . Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) PP Wakaf , kedudukan nazhir dalam hal ini perseorangan dapat berhenti jika: meninggal dunia; berhalangan tetap; mengundurkan diri; atau diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia (“BWI”). Jika nazhir perseorangan berhenti dari kedudukannya sebagai nazhir, maka nazhir harus melaporkan ke Kantor Urusan Agama (“KUA”) untuk selanjutnya diteruskan kepada BWI paling lambat 30 hari sejak tanggal berhentinya nazhir perseorangan. [2] Dalam hal tidak ada KUA setempat, maka laporan dapat disampaikan oleh nazhir ke KUA terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan BWI di provinsi/kabupaten/ kota. [3] Selanjutnya, pengganti nazhir tersebut akan ditetapkan oleh BWI. [4] Atas dasar inisiatif KUA dapat mengusulkan kepada BWI agar dilakukan pemberhentian dan penggantian nazhir jika dalam jangka satu tahun sejak terbitnya Akta Ikrar Wakaf (AIW), nazhir tidak menjalankan tugasnya. [5] Atas usulan wakif atau ahli waris wakif kepada Kepala KUA dapat mengusulkan agar dilakukan pemberhentian dan penggantian nazhir, yang selanjutnya akan diusulkan kepada BWI. [6] Sehingga perlu digarisbawahi, pemberhentian dan penggantian nazhir adalah kewenangan BWI, baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota sebagai perwakilan. Sebagai contoh, jika harta benda wakaf Anda berupa tanah, untuk klasifikasi luasan tanah wakaf di atas 20.000 meter 2 menjadi kewenangan BWI pusat. Tapi jika luasan tanah wakafnya antara 1.000 sampai dengan 20.000 meter 2 , maka menjadi kewenangan BWI provinsi. Sedangkan jika luasan tanah wakafnya kurang dari 1.000 meter 2 , maka menjadi kewenangan BWI kabupaten/kota. [7] Sebelumnya jika kita melihat berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) , pemberhentian dan penggantian nazdir menjadi kewenangan KUA, namun sekarang sudah tidak lagi. [8] Kewenangan pemberhentian dan penggantian nazhir kini menjadi kewenangan BWI sebagaimana telah diterangkan. Disarikan dari laman yang sama, KUA sendiri hanya menerbitkan surat pengantar permohonan pergantian nazhir yang ditujukan kepada BWI. Surat pengantar tersebut harus menyebutkan alasan penggantian dan pemberhentian nazhir sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya masih bersumber dari laman yang sama, setelah surat keputusan BWI tentang penggantian dan pemberhentian nazhir terbit, lalu nazhir harus mengurus surat pengesahan nazhir yang baru di KUA setempat agar dicatatkan kembali sebagai nazhir yang baru yang sah mengelola wakaf. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam REFERENSI:\n1. Pergantian Nazhir, Bagaimana Seharusnya? , yang diakses pada 3 September 2021 pukul 12.58 WIB. [1] Pasal 10 ayat (3) UU Wakaf [2] Pasal 6 ayat (1) PP Wakaf [3] Pasal 6 ayat (3) PP Wakaf [4] Pasal 6 ayat (1) PP Wakaf [5] Pasal 6 ayat (4) PP Wakaf [6] Pasal 6 ayat (4) PP Wakaf [7] Pergantian Nazhir, Bagaimana Seharusnya? , yang diakses pada 3 September 2021 pukul 12.58 WIB [8] Pasal 221 ayat (1) KHI pertahanan kua agama wakaf nazhir"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan tentang lex superior derogat legi inferiori. Ada pula asas lex spesialis derogat lex generali. Sehubungan dengan itu, bagaimana kedudukan kedua asas tersebut? Jika terjadi benturan antara peraturan yang bersifat umum dengan yang bersifat khusus, apakah bukan asas lex spesialis derogat lex generali yang berlaku? Terima kasih sebelumnya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Asas ini menyatakan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian, peraturan yang lebih tinggi akan mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Asas ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki tidak sederajat dan saling bertentangan.\n\nMenurut Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah:\n\nUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;Peraturan Pemerintah;Peraturan Presiden;Peraturan Daerah Provinsi; danPeraturan Daerah Kabupaten/Kota\n\nBerdasarkan hierarki yang telah disebutkan di atas, maka materi muatan UU tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Begitu juga materi muatan peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UU tidak boleh bertentangan dengan UU dan UUD 1945.\n\nMisalnya, keberlakuan Peraturan Daerah (“Perda”) yang tidak boleh dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Ini dibuktikan dengan tindakan Kementerian Dalam Negeri telah mengunggah 3.143 Perda yang dibatalkan pemerintah pusat yang dianggap bermasalah serta tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya pada tahun 2016.[1]\n\nNamun, patut dicatat, kewenangan pembatalan Perda oleh pemerintah pusat ini telah dicabut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, sebagaimana dikutip dari Lembaga Negara yang Punya Kekuasaan Yudikatif Menguji Perda.\n\nSehingga, kini lembaga negara yang mempunyai kekuasaan yudikatif menguji Perda adalah Mahkamah Agung, maka yang membatalkan Perda jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya adalah Mahkamah Agung.\n\nContoh asas lex superior derogat legi inferiori adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 P/HUM/2019 yang menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Bupati Kepulauan Aru Nomor 53 Tahun 2018 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 5 huruf c, Pasal 6 ayat (1) huruf i UU 12/2011 (hal. 43).\n\nOleh karena itu, amar putusan kemudian menyatakan pasal yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 43).\nAsas Lex Specialis Derogat Legi Generali\n\nAsas ini menyatakan bahwa peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Asas lex specialis derogat legi generali hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki sederajat dan mengatur mengenai materi yang sama.\n\nContoh asas lex specialis derogat lex generalis adalah misalnya mengenai pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak pelaku tindak pidana. Lex generalis dalam Pasal 10 KUHP disebutkan:\n\nPidana terdiri atas:\n\npidana pokok\n\npidana mati;pidana penjara;pidana kurungan;pidana denda;pidana tutupan.\n\npidana tambahan\n\npencabutan hak-hak tertentu;perampasan barang-barang tertentu;pengumuman putusan hakim.\n\nSedangkan lex specialis dalam Pasal 71 ayat (1) dan (2) UU SPPA menyebutkan:\n\nPidana pokok bagi Anak terdiri atas:\n\npidana peringatan;pidana dengan syarat:\n\npembinaan di luar lembaga;pelayanan masyarakat; ataupengawasan.\n\npelatihan kerja;pembinaan dalam lembaga; danpenjara.\n\nPidana tambahan terdiri atas:\n\nperampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; ataupemenuhan kewajiban adat.\n\nSehingga, dapat dipahami bahwa contoh asas lex specialis derogat lex generalis adalah ketentuan UU SPPA tentang pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak pelaku tindak pidana adalah lex specialis dari ketentuan pidana pokok dan pidana tambahan dalam KUHP.\nAsas Lex Posterior Derogat Legi Priori\n\nSederhananya, asas ini berarti peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama. Asas ini bertujuan untuk mencegah ketidakpastian hukum yang mungkin timbul manakala terdapat dua peraturan yang sederajat berdasarkan hierarki.\n\nContoh asas lex posterior derogat legi priori adalah UU 11/2012 yang mencabut keberlakuan UU 3/1997. Sehingga, sejak berlakunya UU 11/2012, semua tindak pidana yang dilakukan anak akan dijerat dan diproses dengan menggunakan ketentuan UU 11/2012 dan bukan UU 3/1997.\n\nBaca juga: Makna Trias Politica dan Penerapannya di Indonesia\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987/uud-undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs/document/lt4c7b80e19969e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5024cc61e623d/undang-undang-nomor-11-tahun-2012?r=1&p=1&q=uu%2011%202012&rs=1847&re=2022&h=uu?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_2012)\n4. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e573e59d0487/nprt/lt4d50fbec8b2ce/uu-no-12-tahun-2011-pembentukan-peraturan-perundang-undangan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_12_2011)\n5. [Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5da039a94937f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_15_2019)\nREFERENSI:\n1. Kemendagri Resmi Umumkan 3.143 Perda yang Dibatalkan yang diakses pada 26 April 2022, pukul 15.17 WIB.\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015;Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016;Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 P/HUM/2019.\n[1] Kemendagri Resmi Umumkan 3.143 Perda yang Dibatalkan yang diakses pada 26 April 2022, pukul 15.17 WIB"
} |
{
"from": "human",
"value": "With the development of a wider scope of business to foreign countries, what things should be considered by entrepreneurs/businessmen when making international trade contracts, with the aim of minimizing disputes in the future? For example, a businessman wants to carry out export-import cooperation with a company abroad. Please provide an explanation."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Business relationships between companies that cross national territorial boundaries do require the formulation of a comprehensive contract. This is inseparable from the vital role of international business contracts as a legal basis that will unite the relationship of the parties who bind themselves. International trade or business contracts are not simple considering that they need to accommodate different systems, paradigms, and rules of law.\n\nQuoting Ida Bagus Wyasa Putra's book entitled Hukum Kontrak Internasional, an international contract is an agreement made by two or more parties that contains foreign elements. The meaning of foreign elements here are elements arising from differences in the nationality of the parties to the contract, differences in the nationality of the parties to the contract and the location of the contract, the use of foreign languages, the use of foreign currencies, and the market target (p. 6).\nIn the article The Nature and Benefits of International Trade Contracts for Entrepreneurs, it is stated that trading contracts are not only a medium of agreement between two parties, but more than that, contracts have the following benefits:\n\nEnsuring that what is desired in the relationship between the parties is reflected in the words and sentences in the contract.If there are differences in interpretation, the contract can be used as a guide to address these differences.If the dispute enters the litigation stage, whether it is court or arbitration, the contract is used to present arguments to convince the judge or arbitrator.The contract is used as a basis for judges and arbitrators in deciding cases.\nMatters to be Considered in Making International Business Contracts\n\nThus, in order to minimize disputes in the future, it is necessary to pay proper attention to each clause in the contract. One of them is related to boilerplate clauses that must be drafted carefully.\nWhat is meant by boilerplate is a clause generally found at the end of the contract which is usually for resolving general matters such as choice of law, procedures for notification to the parties, amendments, dispute/difference resolution, and so on.[1]\n\nQuoting Afifah Kusumadara in the book Kontrak Bisnis Internasional, it is explained that boilerplate plays an important role in \"running\" the contents of the contract because many legal disputes arise due to clauses in the boilerplate being drafted with less care, causing multiple interpretations between the parties (p. 77).\n\nThe book describes boilerplate which generally contains the following clauses (p. 75):\n\nchoice of law;choice of jurisdiction;choice of language;force majeure;notification;duration/term of agreement;severability;integration;amendments;anti-waiver;counterpart;assignment of contract.\n\nThese clauses can be used in accordance with the needs of the parties to the contract. Therefore, to answer your question, we try to review some of the things that often become problems in international business contracts, namely related to choice of law, choice of jurisdiction, and choice of language. Even in contracts that do not involve cross-border companies, these three clauses are still important to note.\n\nChoice of Law\n\nIn an international business contract, of course, it involves parties such as companies domiciled in different countries. For example, a business transaction involving a company in Indonesia and a company in America. Choice of law is important to regulate, in order to accommodate legal differences and determine which law is used as a reference in business transactions. By determining the choice of law, if a dispute arises in the future, the settlement will be much easier for the parties.\n\nThis choice of law is part of the freedom of contract where the parties are free to determine it. In Indonesia, the principle of freedom of contract is stated in Article 1338 Civil Code.\n\nAccording to Sudargo Gautama in the book Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia as quoted in the article Tips for Determining Choice of Law and Jurisdiction in Agreements, the choice of law can be chosen by the parties to the contract with restrictions, namely as long as it does not violate public order and must not transform into legal smuggling.\n\nChoice of Jurisdiction\n\nHuala Adolf in a book entitled Dasar-Dasar, Prinsip & Filosofi Arbitrase explains that Black's Law Dictionary defines jurisdiction as the power or authority of the court to adjudicate a dispute and also known as the authority of the court or competent jurisdiction (p. 141).\n\nThus, the choice of jurisdiction or choice of forum regulates the provisions related to the country or forum in which the dispute will be resolved by the parties.\n\nThe drafting of this clause must always be linked to the choice of law clause. In the book Hukum Bisnis Internasional, Afifah Kusumadara provides an example, if the choice of law chosen is the law of the state of New York, USA, then the choice of jurisdiction is also the court of the state of New York, USA. However, it does not exclude the possibility that there is a practice of drafting contracts that take the law of a country that is different from the place or jurisdiction where the parties' dispute will be resolved later (p. 83).\n\nIn general, if one of the parties to an international business contract, has a foreign element in it, whether it is a foreign nationality or a foreign legal entity, then the choice of jurisdiction that will be agreed upon for dispute resolution is arbitration.\n\nMeanwhile, arbitration is a way of resolving a civil dispute outside the public courts based on an arbitration agreement made in writing by the parties to the dispute.[2]\n\nIn line with that, Huala Adolf in the book International Dispute Resolution Law explains that if the two parties agree to submit their dispute to an arbitration body, then the dispute submission clause must be made (p. 48). Thus, if the parties have made an arbitration agreement, the district court is no longer authorized to examine disputes arising between the parties.\n\nChoice of Language\n\nIn the drafting of international business contracts, the position of the choice of language clause is as important as the position of the choice of law and choice of jurisdiction clauses.[3]\n\nThis is because the choice of language clause will provide certainty for the parties regarding what language will be used by the parties in interpreting the contents of the contract, especially if there are differences in interpretation of the meaning of sentences in the contract because the parties come from different countries with different national languages. Therefore, with the use of the choice of language clause, it is expected that disputes caused by differences in interpretation of the contents or sentences in the contract can be avoided.\n\nThis is our answer, hopefully, you find it useful.\n\nLegal Basis:\n\nIndonesian Civil Code;Law Number 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Settlement.\n\nReference:\n\nAfifah Kusumadara. Kontrak Bisnis Internasional. 1st edition. Jakarta: Sinar Grafika, 2013;Huala Adolf. Dasar-Dasar, Prinsip & Filosofi Arbitrase. 1st edition. Bandung: Keni Media, 2014;Huala Adolf. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. 4th edition. Jakarta: Sinar Grafika, 2012;Ida Bagus Wyasa Putra. Hukum Kontrak Internasional. 1st edition. Bandung: PT Refika Aditama, 2017;Guidelines for the Preparation and Review of International Public Contracts for Commitment Making Officials of the Ministry of Foreign Affairs and Representatives of the Republic of Indonesia, 2nd edition, Bureau of Law and Administration of Ministries and Representatives, Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, 2020.\n\n[1] Appendix I Guidelines for the Preparation and Review of International Public Contracts for Commitment Making Officials of the Ministry of Foreign Affairs and Representatives of the Republic of Indonesia, 2nd edition, Bureau of Law and Administration of Ministries and Representatives, Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, 2020.[2] Article 1 number 1 Law Number 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Settlement.[3] Afifah Kusumadara. Kontrak Bisnis Internasional. 1st edition. Jakarta: Sinar Grafika, 2013, p. 82."
} |
{
"from": "human",
"value": "Diatur di mana mengenai kewajiban setiap orang dalam hak asasi manusia? Lalu, kewajiban menghormati hak asasi manusia orang lain terdapat pada pasal berapa?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITTata Cara Permohonan Restitusi dan Kompensasi untuk Korban Tindak Pidana08 Apr 2022Apa yang Dimaksud dengan Pelanggaran HAM Berat?06 Apr 2022Apakah Terorisme = Kejahatan Terhadap Kemanusiaan?31 Mar 2022Dapatkah ICC Melakukan Peninjauan Kembali Kasus Timor Timur?29 Mar 2022\n\nSebelum menjawab inti pertanyaan tersebut, perlu Anda pahami konsep hak dan kewajiban dalam hukum Hak Asasi Manusia (“HAM”) secara umum.\n\nDalam hukum HAM internasional, negara ditempatkan sebagai duty bearer (pemangku kewajiban) utama yang mempunyai 3 kewajiban pokok yaitu:[1]\n\nMenghormati (to respect), yang pemenuhannya dilakukan dengan tidak melakukan interferensi terhadap penikmatan HAM. Contohnya, negara harus menahan diri dari melakukan pengusiran paksa atau membatasi secara sewenang-wenang kebebasan untuk berkumpul.[2]Melindungi (to protect), yang berarti negara harus mengambil tindakan untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengganggu penikmatan hak oleh pemegang hak. Contohnya, negara harus melindungi akses terhadap pendidikan dengan memastikan bahwa orang tua dan/atau pemberi kerja tidak melarang sesorang untuk pergi ke sekolah;[3] danMemenuhi (to fulfill), yang berarti negara harus mengambil langkah progresif untuk memenuhi hak terkait. Contohnya seperti membantu kelompok tertentu yang tidak dapat memenuhi haknya sendiri.[4] Misalnya dengan cara memberi bantuan untuk kelompok yang termarginalkan secara ekonomi.\nDi sisi lain, setiap individu dalam hukum HAM dipandang sebagai rights holder (pemangku hak).[5]\n\nDari ketiga pilar kewajiban tersebut, adapun pelanggaran HAM dapat terjadi dalam 2 bentuk yaitu:[6]\n\nBy omission, yaitu pelanggaran HAM yang dilakukan karena negara mengabaikan kewajibannya untuk bertindak secara aktif terkait kewajiban untuk melindungi dan/atau memenuhi HAM. Contohnya seperti kegagalan negara untuk bertindak, ketika suatu kelompok etnis tertentu menyerang kelompok etnis tertentu lainnya, dan kegagalan untuk mengimplementasikan sistem pendidikan gratis pada tingkat primer.By commission, yaitu pelanggaran HAM yang terjadi karena negara secara aktif melakukan hal yang justru mengurangi penikmatan HAM oleh pemegang hak, seperti pelarangan serikat buruh atau kebebasan berkumpul.\nKewajiban Menghormati Hak Asasi Orang Lain\n\nSelanjutnya, menjawab pertanyaan Anda mengenai kewajiban menghormati hak asasi manusia orang lain terdapat pada pasal berapa, perlu dipahami dulu bahwa meskipun dalam hukum HAM yang menjadi pemangku kewajiban utama adalah negara, bukan berarti individu tak punya kewajiban.\n\nSetiap individu mempunyai kewajiban menghormati hak asasi orang lain.[7] Di Indonesia, kewajiban menghormati hak asasi manusia orang lain terdapat pada Pasal 69 ayat (1) UU HAM yang berbunyi:\n\nSetiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.\n\nBahkan, kewajiban menghormati hak orang lain tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28J ayat (1):\n\nSetiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.\n\nJadi, dalam hukum HAM kewajiban setiap individu secara umum adalah menghormati hak asasi manusia orang lain. Dengan kata lain, setiap orang harus menahan diri dari melakukan tindakan terlarang yang akan mengurangi penikmatan HAM oleh orang lain.\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987/uud-undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4d5b5fc6abcb2/undangundang-nomor-39-tahun-1999/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_ham)\nREFERENSI:\n1. Farid Wajdi dan Imran. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Tanggung Jawab Negara Terhadap Korban Kajian Putusan Nomor 46-K/PM II-11/AD/VI/2013. Jurnal Yudisial Vol. 14 No. 2 Agustus 2021\n2. M. Syafi’ie. Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM di Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, Desember 2012\n3. Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights. Frequently Asked Questions on A Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, 2006, yang diakses pada 13 April 2022, pukul 08.24 WIB.\n\n[1] M. Syafi’ie. Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM di Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, Desember 2012, hal. 706[2] Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights. Frequently Asked Questions on A Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, 2006, hal. 2[3] Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights. Frequently Asked Questions on A Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, 2006, hal. 2[4] Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights. Frequently Asked Questions on A Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, 2006, hal. 2[5] M. Syafi’ie. Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM di Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, Desember 2012, hal. 706[6] Farid Wajdi dan Imran. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Tanggung Jawab Negara Terhadap Korban Kajian Putusan Nomor 46-K/PM II-11/AD/VI/2013. Jurnal Yudisial Vol. 14 No. 2 Agustus 2021: hal. 233-234[7] Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, Frequently Asked Questions on A Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, 2006, hal. 4"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dengan berkembangnya cakupan bisnis yang semakin luas hingga ke mancanegara, hal-hal apa saja yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha/pebisnis ketika membuat kontrak dagang internasional, dengan tujuan untuk meminimalisasi sengketa di masa depan? Misalnya pebisnis ingin melakukan kerja sama ekspor impor dengan perusahaan di luar negeri. Mohon penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITBagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum?09 Nov 2023Perbedaan MoU dan Perjanjian atau Kontrak13 Okt 2023Apakah Terms and Conditions Termasuk Perjanjian Elektronik?18 Sep 2023Unsur-Unsur dan Tahapan Pembentukan Kontrak22 Des 2022\n\nHubungan bisnis antar-perusahaan yang melewati batas-batas teritorial negara memang membutuhkan perumusan kontrak yang komprehensif. Hal ini tidak terlepas dari peran vital kontrak bisnis internasional sebagai landasan hukum yang akan menyatukan hubungan para pihak yang mengikatkan diri. Kontrak perdagangan atau bisnis internasional bukanlah suatu yang sederhana mengingat di dalamnya perlu mengakomodasi perbedaan sistem, paradigma, serta aturan hukum.\n\nMengutip buku Ida Bagus Wyasa Putra yang berjudul Hukum Kontrak Internasional, kontrak internasional adalah kesepakatan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mengandung unsur asing. Maksud dari unsur asing di sini adalah unsur yang timbul dari perbedaan kewarganegaraan pihak-pihak yang membuat kontrak, perbedaan kewarganegaraan para pihak yang membuat kontrak dengan lokasi pelaksanaan kontrak, penggunaan bahasa asing, penggunaan mata uang asing, dan target pasar (hal. 6).\nDalam artikel Hakikat dan Manfaat Kontrak Perdagangan Internasional bagi Pengusaha disebutkan bahwa kontrak perdagangan bukan hanya sebagai media perjanjian di antara dua pihak, lebih dari itu kontrak memiliki manfaat sebagai berikut:\n\nMemastikan apa yang diinginkan dalam hubungan antar para pihak tercermin dalam kata dan kalimat dalam kontrak.Bila ada perbedaan penafsiran, maka kontrak dapat dijadikan panduan untuk menyikapi perbedaan tersebut.Bila sengketa masuk dalam tahap litigasi, baik itu jalur pengadilan maupun arbitrase, maka kontrak dijadikan basis untuk menyampaikan argumentasi dalam rangka meyakinkan hakim atau arbiter.Kontrak dijadikan basis bagi hakim dan arbiter dalam memutus perkara.\nHal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Membuat Kontrak Bisnis Internasional\n\nDengan demikian, untuk meminimalisasi sengketa di masa depan, maka dalam penyusunan kontrak bisnis internasional perlu diperhatikan dengan benar setiap klausul yang ada di dalam kontrak. Salah satunya adalah terkait dengan klausul-klausul boilerplate yang harus disusun secara hati-hati.\nAdapun yang dimaksud dengan boilerplate adalah klausul yang umumnya terdapat di bagian akhir kontrak yang biasanya untuk penyelesaian hal-hal umum seperti pilihan hukum, tata cara notifikasi kepada para pihak, amandemen, penyelesaian sengketa/perbedaan, dan sebagainya.[1]\n\nMengutip Afifah Kusumadara dalam buku Kontrak Bisnis Internasional dijelaskan bahwa boilerplate berperan penting dalam \"menjalankan\" isi kontrak karena banyak sengketa hukum muncul akibat klausul-klausul dalam boilerplate disusun dengan kurang hati-hati sehingga menimbulkan multitafsir di antara para pihak (hal. 77).\n\nDalam buku tersebut dijabarkan boilerplate yang pada umumnya memuat klausul-klausul sebagai berikut (hal. 75):\n\nchoice of law (pilihan hukum);choice of jurisdiction (pilihan yurisdiksi);choice of language (pilihan bahasa);force majeure;pemberitahuan;duration/term of agreement;severability;integration (integrasi kontrak);amandement;anti-waiver;counterpart (duplikat);assignment (pengalihan kontrak).\n\nKlausul-klausul tersebut dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan para pihak dalam berkontrak. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan Anda, kami coba mengulas beberapa hal yang kerap kali menjadi masalah dalam kontrak bisnis internasional, yaitu terkait dengan choice of law, choice of jurisdiction, dan choice of language. Meski sebenarnya, dalam kontrak yang tidak melibatkan perusahaan-perusahaan lintas negara sekalipun, tiga klausul tersebut tetap penting untuk diperhatikan.\n\nChoice of Law\nDalam kontrak bisnis internasional, tentunya melibatkan para pihak seperti perusahaan yang berkedudukan di negara yang berbeda. Misalnya, suatu transaksi bisnis yang melibatkan perusahaan di Indonesia dengan perusahaan di Amerika. Choice of law (pilihan hukum) penting untuk diatur, guna mengakomodasi perbedaan hukum dan menentukan hukum mana yang dipakai sebagai acuan dalam transaksi bisnis. Dengan ditentukannya pilihan hukum, jika terjadi sengketa yang timbul di kemudian hari, penyelesaiannya akan jauh lebih mudah bagi para pihak.\n\nPilihan hukum ini adalah bagian dari kebebasan berkontrak di mana para pihak bebas menentukannya. Di Indonesia, asas kebebasan berkontrak tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata.\n\nMenurut Sudargo Gautama dalam buku Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia sebagaimana dikutip artikel Tips Menentukan Pilihan Hukum dan Yurisdiksi dalam Perjanjian, pilihan hukum dapat dipilih oleh para pihak untuk kontrak dengan pembatasan, yaitu sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan tidak boleh menjelma menjadi penyelundupan hukum.\n\nChoice of Jurisdiction\n\nHuala Adolf dalam buku berjudul Dasar-Dasar, Prinsip & Filosofi Arbitrase menjelaskan bahwa Black's Law Dictionary mengartikan yurisdiksi sebagai kekuasaan atau kewenangan pengadilan untuk memutus suatu sengketa atau disebut juga sebagai kewenangan pengadilan atau competent jurisdiction (hal. 141).\n\nJadi, pilihan yurisdiksi (choice of jurisdiction) atau dapat pula disebut sebagai choice of forum mengatur ketentuan terkait di negara atau di forum mana sengketa akan diselesaikan oleh para pihak.\n\nPenyusunan klausul ini selalu harus dihubungkan dengan klausul choice of law. Dalam buku Kontrak Bisnis Internasional, Afifah Kusumadara memberikan contoh, jika choice of law yang dipilih adalah hukum negara bagian New York, USA, maka untuk choice of jurisdiction-nya juga pengadilan negara bagian New York, USA. Meski tidak menutup kemungkinan bila terdapat praktik penyusunan kontrak yang mengambil hukum dari suatu negara yang berbeda dari tempat atau yurisdiksi di mana sengketa para pihak akan diselesaikan nantinya (hal. 83).\n\nPada umumnya, jika salah satu pihak dalam kontrak bisnis internasional, yaitu yang memiliki unsur asing di dalamnya, baik itu kewarganegaraan asing atau badan hukum asing, maka choice of jurisdiction atau pilihan yurisdiksi yang akan disepakati untuk penyelesaian sengketa adalah dengan arbitrase.\n\nAdapun, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[2]\n\nSelaras dengan itu, Huala Adolf dalam buku Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional menjelaskan bahwa apabila kedua pihak sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada suatu badan arbitrase, maka klausul penyerahan sengketa tersebut harus dibuat (hal. 48). Dengan demikian, apabila para pihak telah membuat perjanjian arbitrase, maka pengadilan negeri tidak lagi berwenang untuk memeriksa sengketa yang timbul di antara para pihak.\n\nChoice of Language\n\nDalam penyusunan kontrak bisnis internasional, kedudukan klausul choice of language (pilihan bahasa) sama pentingnya dengan kedudukan klausul choice of law dan choice of jurisdiction.[3]\n\nHal ini dikarenakan klausul mengenai choice of language akan memberikan kepastian bagi para pihak terkait dengan bahasa apa yang akan digunakan oleh para pihak dalam menginterpretasikan isi kontrak, terlebih apabila terjadi perbedaan penafsiran atas makna kalimat di dalam kontrak karena para pihak berasal dari negara yang berbeda dengan bahasa nasional yang berbeda. Oleh karena itu, dengan digunakannya klausul choice of language, diharapkan sengketa yang diakibatkan oleh perbedaan penafsiran atas isi atau kalimat-kalimat dalam kontrak dapat dihindari.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/815/undangundang-nomor-30-tahun-1999-/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_30_1999)\nREFERENSI:\n1. Afifah Kusumadara. Kontrak Bisnis Internasional. Cetakan pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 2013\n2. Huala Adolf. Dasar-Dasar, Prinsip & Filosofi Arbitrase. Cetakan pertama. Bandung: Keni Media, 2014\n3. Huala Adolf. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Cetakan keempat. Jakarta: Sinar Grafika, 2012\n4. Ida Bagus Wyasa Putra. Hukum Kontrak Internasional. Cetakan pertama. Bandung: PT Refika Aditama, 2017\n5. Panduan Penyusunan dan Review Kontrak Publik Internasional bagi Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan Republik Indonesia, Edisi Kedua, Biro Hukum dan Administrasi Kementerian dan Perwakilan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2020.\n\n[1] Lampiran I Panduan Penyusunan dan Review Kontrak Publik Internasional bagi Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan Republik Indonesia, Edisi Kedua, Biro Hukum dan Administrasi Kementerian dan Perwakilan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2020.[2] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa[3] Afifah Kusumadara. Kontrak Bisnis Internasional. Cetakan pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hal. 82"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kapan perseroan perorangan harus berubah menjadi perseroan terbatas pada umumnya? Dan bagaimana prosedur perubahannya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perseroan Terbatas (“PT”) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil (“UMK”) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai UMK. [1] PT terdiri atas; [2] PT persekutuan modal , yakni badan hukum persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian dan melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham; dan PT perorangan , yakni badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria UMK sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai UMK. Pendirian PT perorangan merupakan salah satu bentuk kemudahan yang diberikan oleh pemerintah bagi pelaku usaha UMK agar dapat mendirikan PT. Disarikan dari Kemudahan Pendirian PT untuk Usaha Mikro dan Kecil , kemudahan yang diberikan tersebut di antaranya yaitu dapat didirikan oleh 1 orang, mendapat keringanan biaya pendirian badan hukum, serta tidak memerlukan akta notaris, melainkan cukup dengan membuat surat pernyataan pendirian berbahasa Indonesia yang didaftarkan secara elektronik kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Perubahan PT Perorangan Menjadi PT Persekutuan Modal Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, PT perorangan harus mengubah status badan hukumnya menjadi PT persekutuan modal jika : [3] Pemegang saham menjadi lebih dari 1 orang; dan/atau Tidak memenuhi kriteria UMK sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun kriteria UMK yang dimaksud telah kami jelaskan dalam Mungkinkah PT Didirikan oleh Pemegang Saham Tunggal? . Berdasarkan ketentuan di atas, jika suatu PT perorangan sudah tidak memenuhi kriteria UMK dan/atau pemegang sahamnya menjadi lebih dari 1 orang, maka PT tersebut harus mengubah statusnya menjadi PT persekutuan modal . Adapun langkah-langkah untuk mengubahnya adalah sebagai berikut: Melakukan perubahan status melalui akta notaris. [4] Akta tersebut memuat: [5] Pernyataan pemegang saham yang memuat perubahan status PT perorangan menjadi PT persekutuan modal; Perubahan anggaran dasar dari semula pernyataan pendirian dan/atau pernyataan perubahan PT perorangan menjadi anggaran dasar PT, yang meliputi: [6] nama dan/atau tempat kedudukan PT; maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PT; jangka waktu berdirinya PT; besarnya modal dasar; modal ditempatkan dan disetor; dan status PT tertutup atau terbuka. Data Perseroan, yang meliputi: [7] Perubahan susunan pemegang saham karena pengalihan saham dan/atau perubahan jumlah kepemilikan saham yang dimiliki; Perubahan susunan nama dan jabatan anggota direksi dan/atau dewan komisaris; Penggabungan, pengambilalihan, dan pemisahan yang tidak disertai perubahan anggaran dasar; Pembubaran PT; Berakhirnya status badan hukum PT; Perubahan nama pemegang saham karena pemegang saham ganti nama; dan Perubahan alamat lengkap PT. Mendaftarkan perubahan status tersebut secara elektronik; [8] Mengisi surat pernyataan secara elektronik. Surat pertanyataan tersebut menyatakan format isian PT dan keterangan mengenai dokumen pendukung yang diajukan telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta pemohon bertanggung jawab penuh terhadap kebenaran format isian dan keterangan tersebut. [9] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2021 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Badan Hukum Perseroan Terbatas [1] Pasal 109 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang merubah Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) [2] Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2021 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Badan Hukum Perseroan Terbatas (“Permenkumham 21/2021”) [3] Pasal 17 ayat (1) Permenkumham 21/2021 [4] Pasal 17 ayat (2) Permenkumham 21/2021 [5] Pasal 17 ayat (3) Permenkumham 21/2021 [6] Pasal 8 ayat (2) Permenkumham 21/2021 [7] Pasal 8 ayat (4) Permenkumham 21/2021 [8] Pasal 17 ayat (2) Permenkumham 21/2021 [9] Pasal 18 Permenkumham 21/2021 pendirian pt pt hukumonline uu cipta kerja pt perorangan klinik perusahaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dalam undang-undang yang mengatur mengenai kekayaan intelektual, seperti UU Hak Cipta, UU Rahasia Dagang, UU Merek dan Indikasi Geografis, dan lain-lain, disyaratkan bahwa perjanjian lisensi harus didaftarkan. Bagaimana prosedurnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual KLINIK TERKAIT Aturan Hukum Perlindungan Varietas Tanaman Hasil Penyilangan 25 Mar 2022 Bisakah Lisensi Merek Dijadikan Jaminan Utang? 22 Apr 2021 Rahasia Dagang Bocor karena Karyawan, Bisa Dijerat Pidana 20 Apr 2021 Hukumnya Memproduksi Barang yang Mirip dengan Produk Perusahaan Lain 19 Apr 2021 Pada dasarnya, lisensi didefinisikan berbeda-beda di setiap undang-undang yang mengatur mengenai kekayaan intelektual, di antaranya sebagai berikut: Menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”) : Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu. Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten”) : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten, baik yang bersifat eksklusif maupun non-eksklusif, kepada penerima lisensi berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Paten yang masih dilindungi dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Menurut Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”) : Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain berdasarkan perjanjian secara tertulis sesuai peraturan perundang-undangan untuk menggunakan Merek terdaftar. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (“UU Rahasia Dagang”) : Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Hak Rahasia Dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu . Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa lisensi adalah izin yang diberikan pemegang hak kekayaan intelektual kepada pihak lain untuk menggunakan/menikmati manfaat ekonomi atas penggunaan kekayaan intelektual tersebut dalam jangka waktu dan syarat tertentu berdasarkan perjanjian tertulis. Lisensi diberikan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi lisensi (pemegang hak kekayaan intelektual) dan penerima lisensi. [1] Jika perjanjian lisensi dibuat dalam bahasa asing, maka wajib diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. [2] Perjanjian lisensi minimal memuat: [3] Tanggal, bulan, tahun, dan tempat perjanjian lisensi ditandatangani; Nama dan alamat pemberi lisensi dan penerima lisensi; Objek perjanjian lisensi; Ketentuan mengenai lisensi bersifat eksklusif atau noneksklusif, termasuk sublisensi; Jangka waktu perjanjian lisensi; Wilayah berlakunya perjanjian lisensi; dan Pihak yang melakukan pembayaran biaya tahunan untuk paten. Patut diperhatikan, perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat: [4] Merugikan perekonomian Indonesia dan kepentingan nasional Indonesia; Memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam melakukan pengalihan, penguasaan, dan pengembangan teknologi; Mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat; dan/atau Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, nilai-nilai agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Selain itu, terhadap kekayaan intelektual yang telah berakhir masa perlindungannya atau telah dihapuskan tidak dapat dilakukan pemberian lisensi. [5] Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual Terhadap perjanjian lisensi wajib dilakukan pencatatan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Menteri”). [6] Pencatatan tersebut dilakukan terhadap objek kekayaan intelektual di bidang: [7] hak cipta dan hak terkait; paten; merek; desain industri; desain tata letak sirkuit terpadu; rahasia dagang; dan varietas tanaman. Secara garis besar, prosedur pencatatan linsensi kekayaan intelektual ialah sebagai berikut: Pengajuan permohonan Pemohon mengajukan permohonan pencatatan perjanjian lisensi secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Menteri, yang dapat dilakukan melalui media elektronik atau nonelektronik. [8] Jika pemberi lisensi dan/atau penerima lisensi bertempat tinggal/berkedudukan tetap di luar wilayah Indonesia atau warga negara asing (“WNA”), permohonan pencatatan lisensi harus diajukan melalui kuasa . [9] Permohonan tersebut harus melampirkan dokumen, minimal: [10] Salinan perjanjian lisensi; Petikan resmi sertifikat paten, sertifikat merek, sertifikat desain industri, sertifikat desain tata letak sirkuit terpadu, bukti kepemilikan ciptaan atau hak terkait, atau bukti kepemilikan rahasia dagang yang dilisensikan dan masih berlaku; Surat kuasa, jika permohonan diajukan melalui kuasa; dan Bukti pembayaran biaya. Pemeriksaan permohonan Terhadap setiap permohonan pencatatan perjanjian lisensi wajib dilakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan dan kesesuaian dokumen yang dilampirkan, saat pengajuan permohonan diterima. [11] Pemeriksaan kelengkapan dokumen Jika dokumen yang dilampirkan belum lengkap, permohonan dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi. [12] Pemeriksaan kesesuaian dokumen Maksimal 5 hari terhitung sejak dokumen dinyatakan lengkap, dilakukan pemeriksaan permohonan terhadap kesesuaian dokumen. [13] Jika dokumen dinyatakan tidak sesuai, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk menyesuaikan dokumen maksimal 30 hari setelah tanggal pengiriman surat pemberitahuan. [14] Jika lewat dari batas jangka waktu tersebut, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada pemohon bahwa permohonan dianggap ditarik kembali dan biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali. [15] Pencatatan dan pengumuman Menteri menerbitkan surat pencatatan perjanjian lisensi dan memberitahukan kepada pemohon dalam jangka waktu maksimal 2 hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan dinyatakan lengkap dan sesuai. [16] Lalu, perjanjian lisensi dicatat dalam daftar umum : [17] Desain industri; Desain tata letak sirkuit terpadu; Perjanjian lisensi hak cipta; atau Perjanjian lisensi hak kekayaan intelektual lainnya. Pencatatan perjanjian tersebut kemudian diumumkan dalam [18] : Berita resmi desain industri; Berita resmi desain tata letak sirkuit terpadu; Berita resmi rahasia dagang; Berita resmi merek; Berita resmi paten; atau Daftar umum perjanjian lisensi hak cipta. Penting untuk digarisbawahi, perjanjian lisensi yang tidak dicatatkan dan diumumkan, tidak berakibat hukum kepada pihak ketiga . [19] Pengajuan Permohonan Petikan Pencatatan Perjanjian Lisensi Selain itu, apabila perjanjian lisensi sudah dicatatkan, setiap orang dapat mengajukan permohonan petikan pencatatan perjanjian lisensi, yang diajukan secara tertulis kepada Menteri dengan dilengkapi dokumen: [20] Fotokopi identitas pemohon; Keterangan mengenai uraian dan nomor pencatatan perjanjian lisensi yang dimohonkan; dan Bukti pembayaran biaya. Menteri menerbitkan petikan pencatatan perjanjian lisensi maksimal 5 hari terhitung sejak tanggal permohonan lengkap. [21] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata–mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual [1] Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual (“PP 36/2018”) [2] Pasal 5 ayat (2) PP 36/2018 [3] Pasal 7 ayat (2) PP 36/2018 [4] Pasal 6 PP 36/2018 [5] Pasal 4 PP 36/2018 [6] Pasal 7 ayat (1) 36/2018 [7] Pasal 2 ayat (1) PP 36/2018 [8] Pasal 10 ayat (1) dan (2) PP 36/2018 [9] Pasal 8 PP 36/2018 [10] Pasal 10 ayat (4) PP 36/2018 [11] Pasal 11 jo . Pasal 12 ayat (1) PP 36/2018 [12] Pasal 12 ayat (2) PP 36/2018 [13] Pasal 13 ayat (1) PP 36/2018 [14] Pasal 13 ayat (2) jo . Pasal 14 ayat (1) PP 36/2018 [15] Pasal 14 ayat (2) PP 36/2018 [16] Pasal 15 ayat (1) PP 36/2018 [17] Pasal 15 ayat (2) PP 36/2018 [18] Pasal 15 ayat (3) PP 36/2018 [19] Pasal 15 ayat (4) PP 36/2018 [20] Pasal 16 ayat (1) dan (2) PP 36/2018 [21] Pasal 16 ayat (3) PP 36/2018 perjanjian lisensi hukumonline kemenkumham pendaftaran haki ahu klinik lisensi kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya tertarik membeli aset kripto di Indonesia. Apakah hal tersebut sudah legal di Indonesia? Lalu, apa saja persyaratan dan hal-hal lain yang perlu saya ketahui terkait transaksi aset kripto di Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Aset Kripto KLINIK TERKAIT Legalitas Bitcoin dan Blockchain sebagai Komoditas dan Teknologi Finansial di Indonesia 20 Jul 2023 Apakah Binomo Legal di Indonesia? 17 Feb 2022 Syarat dan Prosedur Izin Usaha Equity Crowdfunding 12 Nov 2021 Ditipu Website Cryptocurrency , Ini Langkah Hukumnya 27 Okt 2021 Aset kripto ( crypto asset ) adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital, menggunakan kriptografi, jaringan informasi teknologi, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain. [1] Ketentuan mengenai perdagangan aset kripto di Indonesia diatur di Peraturan Bappebti 8/2021 . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dengan diundangkannya peraturan tersebut, kini transaksi jual-beli aset kripto dapat dilakukan melalui pasar fisik aset kripto di bursa berjangka, yakni pasar fisik aset kripto yang diselenggarakan menggunakan sarana elektronik yang dimiliki oleh pedagang fisik aset kripto untuk transaksi jual atau beli aset kripto yang pengawasan pasarnya dilakukan oleh bursa berjangka. [2] Istilah Penting Terkait Transaksi Jual-Beli Aset Kripto Sebelum membahas lebih jauh mengenai transaksi jual-beli aset kripto, terdapat beberapa istilah penting yang harus kamu ketahui berkaitan dengan transaksi jual-beli aset kripto, yaitu: [3] Wallet , yakni media yang dipergunakan untuk menyimpan aset kripto berupa koin atau token. Koin , yakni salah satu bentuk aset kripto yang memiliki konfigurasi blockchain tersendiri dan memiliki karakteristik seperti aset kripto yang muncul pertama kali, yaitu bitcoin. Token , yakni salah satu bentuk aset kripto yang dibuat sebagai produk turunan dari koin. Pihak yang Terlibat dalam Transaksi Jual-Beli Aset Kripto Secara garis besar, terdapat 3 pihak yang terlibat dalam transaksi jual-beli aset kripto, yaitu: Pedagang fisik aset kripto, yakni pihak yang telah memperoleh persetujuan dari Kepala Bappebti untuk melakukan kegiatan transaksi yang berkaitan dengan aset kripto, baik atas nama diri sendiri dan/atau memfasilitasi pelanggan aset kripto; [4] Pelanggan aset kripto , yakni pihak yang menggunakan jasa pedagang fisik aset kripto untuk membeli atau menjual aset kripto yang diperdagangkan di pasar fisik aset kripto; [5] Pengelola tempat penyimpanan aset kripto , yakni pihak yang telah memperoleh persetujuan dari kepala Bappebti untuk mengelola tempat penyimpanan aset kripto dalam rangka melakukan penyimpanan, pemeliharaan, pengawasan, dan/atau penyerahan aset kripto. [6] Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan Aset kripto dapat diperdagangkan di Indonesia jika memenuhi kriteria, minimal: [7] Berbasis distributed ledger technology ; Berupa aset kripto utilitas ( utility crypto ) atau aset kripto beragun aset ( crypto backed asset ); dan Telah memiliki hasil penilaian dengan metode analytical hierarchy process (AHP) yang ditetapkan oleh Bappebti. Jenis Aset Kripto yang dapat diperdagangkan oleh pedagang fisik aset kripto ditetapkan oleh Kepala Bappebti dalam daftar aset kripto yang diperdagangkan di pasar fisik aset kripto. [8] Syarat Menjadi Pelanggan Aset Kripto Patut diperhatikan, tidak semua orang dapat menggunakan jasa pedagang fisik aset kripto untuk membeli atau menjual aset kripto yang diperdagangkan di pasar fisik aset kripto. Untuk menjadi pelanggan aset kripto, yang bersangkutan harus memenuhi syarat: [9] Berusia 17 tahun; Memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi warga negara Indonesia atau passport dan kartu identitas yang diterbitkan oleh negara asal atau Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) bagi warga negara asing; dan Menggunakan dana atau aset kripto milik sendiri dan bukan dana atau aset kripto yang bersumber atau milik orang lain, atau hasil tindak pidana, pencucian uang, pendanaan terorisme dan/atau senjata pemusnah massal. Mekanisme Transaksi Jual Beli Aset Kripto Berikut ini adalah langkah-langkah untuk melakukan transaksi aset kripto di Indonesia: Membuka rekening Hal pertama yang harus dilakukan agar dapat melakukan transaksi jual beli aset kripto adalah membuka rekening, dengan ketentuan: Calon pedagang fisik aset kripto atau pedagang fisik aset kripto dalam proses penerimaan calon pelanggan aset kripto wajib memiliki sistem penerimaan pelanggan aset kripto secara elektronik online , dengan tahapan: [10] Pengisian data atau identitas calon pelanggan; Penyajian dokumen profil perusahaan yang di dalamnya minimal memuat informasi alamat website perusahaan, alamat kantor perusahaan, susunan manajemen perusahaan, nomor perizinan dari Bappebti, nomor telepon yang dapat dihubungi, nomor rekening terpisah pedagang fisik aset kripto yang telah disetujui oleh Kepala Bappebti, dan email perusahaan; Daftar jenis aset kripto yang diperdagangkan; Penyajian informasi risiko perdagangan pasar fisik aset kripto; Tata cara dan aturan perdagangan ( trading rules ) untuk selanjutnya dibaca, dipahami, dan disetujui oleh calon pelanggan aset kripto; dan Dokumen akhir berupa perjanjian antara pedagang fisik aset kripto dan pelanggan aset kripto yang menyatakan bahwa telah dilakukan proses pendaftaran pelanggan aset kripto dan secara resmi telah diterima sebagai pelanggan aset kripto, yang minimal memuat informasi mengenai profil pelanggan aset kripto, hotline aktif pengaduan, serta syarat dan ketentuan yang berlaku. Pedagang fisik aset kripto menyampaikan aktivasi akun yang dibuat sendiri oleh pelanggan aset kripto untuk dapat melakukan transaksi aset kripto kepada pelanggan aset kripto. [11] Akun pelanggan aset kripto hanya dapat dipergunakan jika pelanggan aset kripto telah lulus proses identifikasi dan verifikasi sesuai dengan ketentuan penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal. [12] Perlu diperhatikan, pedagang fisik aset kripto hanya dapat membuka 1 akun untuk setiap pelanggan aset kripto dengan identitas yang sama. [13] Penempatan Dana dan Aset Kripto Setelah berhasil aktivasi akun dan membuka rekening, selanjutnya pelanggan aset kripto dapat melakukan penempatan dana dan aset kripto. Hal ini penting, sebab pelanggan aset kripto yang melakukan perdagangan aset kripto melalui pedagang fisik aset kripto wajib terlebih dahulu menempatkan: [14] Dana yang dipergunakan untuk pelaksanaan transaksi pada rekening yang terpisah atas nama (calon) pedagang fisik aset kripto untuk kepentingan Lembaga Kliring Berjangka; dan/atau Aset kripto yang dipergunakan untuk pelaksanaan transaksi ke dalam wallet milik (calon) pedagang fisik aset kripto, dengan menerapkan prinsip travel rule . Transaksi Aset Kripto Setelah melakukan penempatan dana, barulah pelanggan aset kripto dapat melakukan transaksi aset kripto. Penempatan dana penting dilakukan, sebab pelanggan aset kripto hanya dapat melakukan transaksi apabila yang bersangkutan memiliki kecukupan dana dan/atau saldo aset kripto . [15] Setiap transaksi yang dilakukan oleh pelanggan aset kripto yang difasilitasi oleh pedagang fisik aset kripto wajib dilakukan verifikasi oleh Lembaga Kliring Berjangka untuk kepentingan penjaminan dan penyelesaian transaksi serta melakukan fungsi DvP ( Delivery versus Payment ) dengan: [16] Memastikan kesesuaian dana yang ada pada rekening yang terpisah dengan saldo atau catatan kepemilikan aset kripto; Melakukan pencatatan perpindahan dana dan saldo atau catatan kepemilikan aset kripto; Meminta kepada pedagang fisik aset kripto dan/atau pengelola tempat penyimpanan aset kripto untuk mengubah saldo atau catatan atas kepemilikan aset kripto yang disimpan di tempat penyimpanan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya; dan Melakukan pendebetan dan pengkreditan rekening keuangan pelanggan aset kripto dan/atau pedagang fisik aset kripto untuk kepentingan penjaminan dan penyelesaian transaksi. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto ( Crypto Asset ) di Bursa Berjangka . [1] Pasal 1 angka 7 Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto ( Crypto Asset ) di Bursa Berjangka (“Peraturan Bappebti 8/2021”) [2] Pasal 1 angka 6 Peraturan Bappebti 8/2021 [3] Pasal 1 angka 12, 13, dan 14 Peraturan Bappebti 8/2021 [4] Pasal 1 angka 8 Peraturan Bappebti 8/2021 [5] Pasal 1 angka 9 Peraturan Bappebti 8/2021 [6] Pasal 1 angka 10 Peraturan Bappebti 8/2021 [7] Pasal 3 ayat (2) Peraturan Bappebti 8/2021 [8] Pasal 3 ayat (4) Peraturan Bappebti 8/2021 [9] Pasal 25 ayat (6) Peraturan Bappebti 8/2021 [10] Pasal 25 ayat (1) jo. Pasal 28 ayat (3) Peraturan Bappebti 8/2021 [11] Pasal 25 ayat (4) Peraturan Bappebti 8/2021 [12] Pasal 27 ayat (3) Peraturan Bappebti 8/2021 [13] Pasal 25 ayat (7) Peraturan Bappebti 8/2021 [14] Pasal 30 Peraturan Bappebti 8/2021 [15] Pasal 35 ayat (1) Peraturan Bappebti 8/2021 [16] Pasal 35 ayat (3) dan (4) Peraturan Bappebti 8/2021 teknologi klinik hukumonline hukumonline investasi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah terdapat lembaga yang mampu menangani permasalahan perlindungan konsumen? Jika ada, apa saja lembaga perlindungan konsumen yang dikenal di Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAIT3 Prinsip dan 5 Asas Hukum Perlindungan Konsumen27 Jul 2022Hukum Perlindungan Konsumen: Cakupan, Tujuan, dan Dasarnya26 Jul 2022Lelang Online di Instagram, Legalkah? 12 Jul 2022Hukum Menjual Barang Cacat Tersembunyi bagi Penjual 24 Jun 2022\n\nBerdasarkan Pasal 1 ayat (12) UU Perlindungan Konsumen, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (“BPKN”) adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. BPKN dibentuk dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen,[1] dan memiliki fungsi dalam memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.[2]\nUntuk menjalankan fungsi tersebut, berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, BPKN memiliki tugas sebagai berikut:\n\nmemberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha; danmelakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.\n\nAnggota dari BPKN sendiri terdiri dari pemerintah, pelaku usaha, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, akademisi, dan tenaga ahli.[3]\nPada dasarnya, BPKN dibentuk sebagai pengembangan upaya perlindungan konsumen yang berkaitan dengan:[4]\n\npengaturan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha;pengaturan larangan bagi pelaku usaha;pengaturan tanggung jawab pelaku usaha; danpengaturan penyelesaian sengketa konsumen.\n\nBaca juga: Tugas dan Fungsi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)\nLembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat\n\nLembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (“LPKSM”) diatur dalam Pasal 1 ayat (9) UU Perlindungan Konsumen, yakni sebuah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Pengakuan pemerintah terhadap LPKSM bukanlah tanpa syarat, artinya lembaga tersebut harus terdaftar di pemerintah kabupaten/kota dan bergerak di bidang perlindungan konsumen. Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai pencatatan, dan bukan perizinan.[5]\n\nBerikut adalah tugas LPKSM yang diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen:\n\nmenyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; danmelakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.\n\nKemudian, ketentuan lebih lanjut mengenai tugas LPKSM diatur dalam Peraturan Pemerintah.[6] Sebagai contoh, dalam melaksanakan tugas sebagaimana tercantum di atas, berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PP 89/2019, LPKSM dapat bekerja sama dengan organisasi atau lembaga lainnya, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Di Indonesia, gerakan perlindungan konsumen melalui LPKSM ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pada tanggal 11 Mei 1973, yang didirikan dengan tujuan membantu konsumen Indonesia agar tidak dirugikan dalam mengonsumsi barang dan jasa.[7]\n\nBaca juga: Apakah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Dapat Beracara di Persidangan?\nBadan Penyelesaian Sengketa Konsumen\n\nPasal 1 ayat (11) UU Perlindungan Konsumen mendefinisikan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”) yakni sebuah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.\n\nTugas dan wewenang BPSK diatur dalam Pasal 52 UU Perlindungan Konsumen, yang terdiri dari:\n\nmelaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;memberikan konsultasi perlindungan konsumen;melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen;menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen;meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Perlindungan Konsumen.\n\nImplikasi dari kegiatan bisnis terhadap lembaga hukum juga berakibat terhadap lembaga pengadilan yang dianggap tidak profesional dalam menangani sengketa bisnis. Akibatnya, lembaga pengadilan dianggap kurang efektif dan efisien dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan sengketa bisnis yang diajukan. Dengan demikian, pelaku usaha memilih untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya di luar pengadilan.[8]\n\nSelain itu, penyelesaian sengketa di luar pengadilan menawarkan beberapa karakteristik seperti:[9]\n\nterjaminnya kerahasiaanmelibatkan para ahli dalam bidangnyaprosedur cepat dan sederhanaputusan final dan mengikatputusan tidak dipublikasikan tanpa izin para pihak.\n\nBaca juga: Asas Perlindungan Konsumen dan Tujuan Perlindungannya\n\nUntuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis yang berjumlah ganjil, paling sedikit 3 orang yang mewakili unsur pemerintah, konsumen, pelaku usaha, dan dibantu oleh seorang panitera.[10] Dan untuk menghindari proses penyelesaian sengketa konsumen yang berlarut-larut, berdasarkan Pasal 55 UU Perlindungan Konsumen, setelah gugatan diterima, BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 hari kerja.\n\nKetentuan tersebut dinilai penting untuk konsumen, mengingat posisi konsumen yang berada di bawah pelaku usaha. Maka, melalui proses penyelesaian sengketa dengan jangka waktu yang singkat, akan menguntungkan konsumen guna menghindari biaya yang tinggi. Keuntungan juga diterima oleh pelaku usaha, yakni pelaku usaha pada umumnya sangat berminat terhadap penyelesaian sengketa dengan jangka waktu yang singkat, karena hal tersebut berkaitan dengan kegiatan bisnis yang membutuhkan waktu dan percepatan usaha.[11]\n\nKesimpulannya, terdapat beberapa lembaga perlindungan konsumen yang pada dasarnya memiliki tujuan dan tugas yang serupa, yaitu memberikan perlindungan terhadap konsumen, membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, dan menangani sengketa yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Lembaga-lembaga tersebut antara lain BPKN, LPKSM, dan BPSK. Ketiga lembaga atau badan tersebut pada intinya memiliki tujuan untuk membantu konsumen Indonesia agar tidak dirugikan ketika mengonsumsi barang dan jasa.\n\nDemikian jawaban kami tentang lembaga perlindungan konsumen di Indonesia, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen](Data Kepolisian /pusatdata/detail/447/undangundang-nomor-8-tahun-1999/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_1999)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/453/nprt/546/pp-no-59-tahun-2001-lembaga-perlindungan-konsumen-swadaya-masyarakat#?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_59_2001)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5e1c16733834d?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=)\nREFERENSI:\n1. Widi Nugrahaningsih dan Mira Erlinawati, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Online, Grogol, Sukoharjo: CV Pustaka Bengawan, 2017\n2. Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013\n3. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, diakses pada Selasa, 26 Juli 2022, pukul 17.23 WITA.\n\n[1] Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”).[2] Pasal 33 UU Perlindungan Konsumen.[3] Pasal 37 Perlindungan Konsumen.[4] Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 135.[5] Widi Nugrahaningsih dan Mira Erlinawati, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Online, Grogol, Sukoharjo: CV Pustaka Bengawan, 2017, hal. 44.[6] Pasal 44 Ayat (3) UU Perlindungan Konsumen.[7] Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 140.[8] Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 140-141.[9] Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 141.[10] Pasal 54 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen.[11] Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 145."
} |
{
"from": "human",
"value": "Dalam menarik suatu kesimpulan, termasuk dalam hukum, ada metode silogisme. Apa macam-macam silogisme dan apa saja contohnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada pembahasan ini, kami akan jelaskan beberapa bentuk silogisme disertai contoh penarikan kesimpulan.\n\nSilogisme Kategoris\n\nSilogisme kategoris merupakan argumen deduktif yang terdiri dari 2 premis dan 1 kesimpulan. Bentuk dari kesimpulan silogisme kategoris mengandung term subjek (“Ts”), term predikat (“Tp”). Tp dari kesimpulan disebut term mayor silogisme, sedangkan Ts dari kesimpulan disebut term minor silogisme.[3]\nBerikut adalah hukum-hukum silogisme kategorik:[4]\n\nApabila salah satu premis bersifat partikular, maka kesimpulan harus partikular juga. Contoh:\n\nSemua yang halal dimakan menyehatkan. (mayor)\n\nSebagian makanan tidak menyehatkan. (minor)\n\nJadi, sebagian makanan tidak halal dimakan. (konklusi)\n\nApabila salah satu premis bersifat negatif, maka kesimpulannya harus negatif juga. Contoh:\n\nSemua korupsi tidak disenangi. (mayor)\n\nSebagian pejabat korupsi. (minor)\n\nJadi, sebagian pejabat tidak disenangi. (konklusi)\n\nApabila kedua premis bersifat partikular, maka tidak sah diambil kesimpulan. Contoh:\n\nBeberapa politikus tidak jujur. (premis 1)\n\nBapak X adalah politikus. (premis2)\n\nKedua premis tersebut tidak bisa disimpulkan. Jika dibuat kesimpulan, maka kesimpulannya hanya bersifat kemungkinan, bukan kepastian. Maka, Bapak X mungkin tidak jujur. (konklusi)\n\nApabila kedua premis bersifat negatif, maka tidak akan sah diambil kesimpulan. Hal ini dikarenakan tidak ada mata rantai yang menghubungkan kedua proposisi premisnya. Kesimpulan dapat diambil jika salah satu premisnya positif. Contoh:\n\nBuku logika bukan bunga mawar. (premis 1)\n\nKucing bukan bunga mawar. (premis 2)\nKedua premis tersebut tidak mempunyai kesimpulan.\n\nApabila term penengah dari suatu premis tidak tentu, maka tidak akan sah diambil kesimpulan. Contoh:\n\nSemua ikan berdarah dingin.\n\nBinatang ini berdarah dingin.\n\nMaka, binatang ini adalah ikan? Mungkin saja binatang melata.\n\nTp dalam kesimpulan harus konsisten dengan Tp yang ada pada premisnya. Apabila tidak konsisten, maka kesimpulannya akan salah. Contoh:\n\nKuda adalah binatang. (premis 1)\n\nKambing bukan kuda. (premis 2)\n\nJadi, kambing bukan binatang?\n\nBinatang pada konklusi merupakan term negatif sedangkan pada premis 1 bersifat positif.\n\nTerm penengah harus bermakna sama, baik dalam premis mayor maupun premis minor. Bila term penengah bermakna ganda kesimpulan menjadi lain. Contoh:\n\nBulan itu bersinar di langit.(mayor)\n\nJanuari adalah bulan. (minor)\n\nJadi, Januari bersinar di langit?\n\nSilogisme harus terdiri tiga term, yaitu term subjek (S), predikat (P), dan term, tidak bisa diturunkan konklusinya. Contoh:\n\nKucing adalah binatang. (premis 1)\n\nDomba adalah binatang. (premis 2)\n\nBeringin adalah tumbuhan. (premis 3)\n\nSilogisme Hipotesis\n\nSilogisme hipotesis merupakan argumen yang premis mayornya berupa proposisi hipotetis, sedangkan premis minornya merupakan proposisi kategoris yang menetapkan atau mengingkari term anteseden (antecedent) atau term konsekuen premis mayornya.\n\nPremis mayor tersebut terdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengandung syarat (sebab) yang dimulai dengan “jika”, dan lazimnya disebut anteseden. Lalu, bagian kedua mengandung apa yang disyaratkan (akibat) yang dimulai dengan “maka”, dan lazimnya disebut konsekuen.[5]\n\nBerikut adalah hukum-hukum silogisme hipotesis:[6]\n\nSilogisme hipotetis yang premis minornya mengakui bagian anteseden. Contoh:\n\nJika hujan, saya naik becak.\n\nSekarang hujan.\n\nJadi saya naik becak.\n\nSilogisme hipotetis yang premis minornya mengakui bagian konsekuensinya. Contoh:\n\nJika hujan saya naik becak. (mayor)\n\nSekarang hujan. (minor)\n\nJadi, saya naik becak. (konklusi)\n\nSilogisme hipotetis yang premis minornya mengingkari anteseden. Contoh:\n\nJika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka kegelisahan akan timbul.\n\nPolitik pemerintah tidak dilaksanakan dengan paksa, jadi kegelisahan tidak akan timbul.\n\nSilogisme hipotetis yang premis minornya mengingkari bagian konsekuensinya Contoh:\n\nBila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah.\n\nPihak penguasa tidak gelisah, jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.\n\nSilogisme Disjungtif\n\nSilogisme disjungtif merupakan bentuk silogisme yang premis mayornya adalah keputusan disjungtif, sedangkan premis minornya bersifat kategoris yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor. Silogisme disjungtif kemudian dibagi menjadi silogisme disjungtif dalam arti sempit dan arti luas.[7]\n\nSilogisme dalam arti sempit, artinya mayornya memiliki alternatif kontradiktif. Misalnya:[8]\n\nHeri jujur atau berbohong. (premis1)\n\nTernyata Heri berbohong. (premis2)\n\nJadi, Heri tidak jujur. (konklusi)\n\nSedangkan silogisme dalam arti luas, merupakan premis mayor yang memiliki alteratif bukan kontradiktif. Sebagai contoh:\n\nHasan di rumah atau di pasar. (premis1)\n\nTernyata tidak di rumah. (premis2)\n\nJadi, Hasan di pasar. (konklusi)\n\nBerikut adalah hukum-hukum silogisme disjungtif:[9]\n\nSilogisme disjungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya valid. Contoh:\n\nHasan berbaju putih atau tidak putih.\n\nTernyata Hasan berbaju putih.\n\nJadi, Hasan bukan tidak berbaju putih.\n\nSilogisme disjungtif dalam arti luas, kebenaran konklusinya adalah bila premis minor mengakui salah satu alternatif, maka konklusinya sah atau benar. Contoh:\n\nBudi menjadi guru atau pelaut.\n\nBudi adalah guru.\n\nMaka, Budi bukan pelaut.\n\nBila premis minor mengingkari salah satu alternatif, maka konklusinya tidak sah atau salah. Contoh:\n\nPenjahat itu lari ke Solo atau ke Yogyakarta.\n\nTernyata tidak lari ke Yogyakarta\n\nJadi, dia lari ke Solo?\n\nIni adalah konklusi yang salah karena bisa jadi dia lari ke kota lain.\n\nBaca juga: Logika, Penalaran Hukum, dan Argumentasi Hukum\n\nDemikian jawaban kami tentang silogisme dalam ilmu logika, semoga bermanfaat.\nREFERENSI:\n1. Musa Darwin Pane (et.al), Asas-Asas Berpikir Logika dalam Hukum, Bandung: Penerbit Cakra, 2018.\n\n[1] Musa Darwin Pane (et.al), Asas-Asas Berpikir Logika dalam Hukum, Bandung: Penerbit Cakra, 2018, hal. 141.[2] Musa Darwin Pane (et.al), Asas-Asas Berpikir Logika dalam Hukum, Bandung: Penerbit Cakra, 2018, hal. 145.[3] Musa Darwin Pane (et.al), Asas-Asas Berpikir Logika dalam Hukum, Bandung: Penerbit Cakra, 2018, hal. 150-157.[4] Musa Darwin Pane (et.al), Asas-Asas Berpikir Logika dalam Hukum, Bandung: Penerbit Cakra, 2018, hal. 150-157.[5] Musa Darwin Pane (et.al), Asas-Asas Berpikir Logika dalam Hukum, Bandung: Penerbit Cakra, 2018, hal. 157-159.[6] Musa Darwin Pane (et.al), Asas-Asas Berpikir Logika dalam Hukum, Bandung: Penerbit Cakra, 2018, hal. 157-159.[7] Musa Darwin Pane (et.al), Asas-Asas Berpikir Logika dalam Hukum, Bandung: Penerbit Cakra, 2018, hal. 159-161.[8] Musa Darwin Pane (et.al), Asas-Asas Berpikir Logika dalam Hukum, Bandung: Penerbit Cakra, 2018, hal. 159-161.[9] Musa Darwin Pane (et.al), Asas-Asas Berpikir Logika dalam Hukum, Bandung: Penerbit Cakra, 2018, hal. 159-161."
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana cara menyelesaikan perselisihan hubungan industrial? Selain itu, apa saja perkara yang dapat diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Jenis Perselisihan Hubungan Industrial\n\nSengketa yang terjadi antara pengusaha dan pekerja dikenal dengan perselisihan hubungan industrial. Terdapat 4 jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu:[1]\n\nPerselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.\nPerselisihan hak ini juga bisa didefinisikan sebagai perselisihan mengenai hak normatif yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.[2]\nPerselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.\nPerselisihan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat terkait pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.\nPerselisihan pemutusan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan karena perbedaan paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan.\nBaca juga: Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia dan Cara Penyelesaiannya\nMekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial\n\nTerdapat 3 langkah penyelesaian perselisihan hubungan industrial yaitu melalui upaya bipartit, tripartit dan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.\n\nPerundingan Bipartit\n\nPerundingan bipartit adalah perundingan antara pengusaha/gabungan pengusaha dan pekerja/serikat pekerja atau antar serikat pekerja dalam satu perusahaan yang berselisih.[3]\n\nPada prinsipnya memang ketika terjadi perselisihan, upaya yang wajib diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.[4]\n\nPerundingan bipartit harus diselesaikan dalam waktu maksimal 30 hari. Namun jika dalam jangka waktu tersebut salah satu pihak menolak berunding atau tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.[5]\n\nApabila perundingan bipartit ternyata mencapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian bersama ini bersifat mengikat dan menjadi hukum sehingga wajib dilaksanakan oleh para pihak.[6]\n\nSetelah itu, perjanjian bersama wajib didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama. Sehingga, jika perjanjian tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Hubungan Industrial tersebut.[7]\nPerundingan Tripartit\n\nApabila perundingan bipartit gagal, maka perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan dengan perundingan tripartit. Apa itu perundingan tripartit? Perundingan tripartit adalah perundingan antara pekerja dan pengusaha dengan melibatkan pihak ketiga sebagai fasilitator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Perundingan tripartit bisa melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase.[8]\n\nMediasi\n\nMediasi dilakukan untuk kasus perselisihan hak, perselisihan kepentingan, PHK, atau perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan, dengan cara musyawarah yang ditengahi oleh mediator yang netral[9] yang berasal dari kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.[10]\n\nJika dalam mediasi tercapai kesepakatan maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan disaksikan mediator, kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum para pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapat akta bukti pendaftaran.[11]\n\nApabila perjanjian bersama tidak dilakukan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama didaftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi.[12]\n\nNamun, jika melalui mediasi tidak tercapai kesepakatan, maka mediator akan mengeluarkan anjuran tertulis dan para pihak juga harus memberikan jawaban tertulis kepada mediator untuk menyetujui atau menolak anjuran tertulis tersebut. Jika tidak memberikan tanggapan, maka dianggap menolak anjuran tertulis.[13]\n\nApabila para pihak menyetujui anjuran tertulis dari mediator, maka dalam waktu paling lambat 3 hari kerja, mediator membantu para pihak membuat perjanjian bersama dan didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial.[14]\n\nSedangkan, apabila para pihak atau salah satu pihak menolak anjuran tertulis maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.[15]\n\nKonsiliasi\n\nBerbeda dengan mediasi, konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat pekerja yang dilakukan oleh konsiliator yang netral[16] dan terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.[17]\n\nKonsiliator yang menangani berada di wilayah kerja meliputi tempat pekerja bekerja. Para pihak perlu mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati.[18]\n\nJika melalui konsiliasi tercapai kesepakatan maka dibuat perjanjian bersama dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum para pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.[19]\n\nNamun, apabila tidak tercapai kesepakatan maka konsiliator akan mengeluarkan anjuran tertulis dan dijawab oleh para pihak apakah setuju atau tidak. Jika para pihak setuju maka akan dibuatkan perjanjian bersama dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial.[20] Dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian bersama, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi.[21]\n\nSedangkan jika para pihak atau salah satu pihak menolak anjuran tertulis maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.[22]\n\nArbitrase\n\nPenyelesaian perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.[23]\n\nArbitrase adalah penyelesaian perselisihan di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.[24]\n\nSelanjutnya, para pihak membuat perjanjian arbitrase dan memilih arbiter baik tunggal maupun majelis yang dilakukan melalui penunjukan tertulis.[25] Perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase wajib diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari sejak penunjukan arbiter, yang dapat diperpanjang selambat-lambatnya 1 x 14 hari kerja atas kesepakatan para pihak.[26]\n\nProses penyelesaian perselisihan melalui arbitrase dimulai dengan mendamaikan para pihak. Jika terjadi kesepakatan, maka akan dibuat akta perdamaian. Jika tidak maka diteruskan pemeriksaan hingga dikeluarkan putusan.[27]\n\nPutusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak serta bersifat akhir dan tetap. Putusan arbitrase tersebut kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. Jika putusan arbitrase tidak dilaksanakan, maka dapat diajukan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri wilayah tempat kedudukan pihak yang harus menjalankan putusan.[28]\n\nPerlu diketahui bahwa putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan ke Mahkamah Agung (“MA”) paling lambat 30 hari kerja sejak diputuskan dengan alasan sebagaimana tercantum dalam Pasal 52 ayat (1) UU PPHI.\n\nNamun demikian, jika perselisihan telah diselesaikan melalui arbitrase maka tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.[29]\nGugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial\n\nBerdasarkan penjelasan di atas, maka gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dapat diajukan apabila upaya tripartit yang meliputi mediasi dan konsiliasi gagal. Namun tidak demikian jika perselisihan telah diselesaikan melalui arbitrase, karena tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai apa saja perkara yang dapat diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial? Jawabannya adalah:[30]\n\ndi tingkat pertama untuk perselisihan hak dan perselisihan PHK;di tingkat pertama dan terakhir untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.\n\nArtinya, dalam perselisihan hak dan perselisihan PHK masih dapat diajukan upaya hukum lebih lanjut yaitu melalui kasasi ke MA. Sedangkan untuk kasus perselisihan kepentingan dan perselisihan serikat pekerja dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi ke MA.[31]\n\nAdapun hukum acara yang berlaku dalam Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata pada lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam UU PPHI.[32]\n\nUntuk mengajukan gugatan perselisihan, diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja bekerja.[33]\n\nHal-hal yang perlu diperhatikan ketika mengajukan gugatan adalah sebagai berikut.[34]\n\nHarus dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi;Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak;Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan atau objek gugatan;Dokumen-dokumen, surat-surat dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh penggugat.\n\nSetelah gugatan diajukan, selanjutnya akan dilaksanakan pemeriksaan oleh hakim dan akan diputus perkara perselisihannya.\nBaca juga: Upaya Tripartit Diabaikan Perusahaan, Tempuh Langkah Ini\nDemikian jawaban dari kami tentang mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.\nREFERENSI:\n1. Rai Mantili, Konsep Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial antara Serikat Pekerja dengan Perusahaan melalui Combined Process (Med-Arbitrase), Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 6 No. 1 September 2021.\n\n[1] Pasal 1 angka 1, 2, 3, 4 dan 5 jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”)[2] Penjelasan Pasal 2 UU PPHI[3] Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU PPHI[4] Pasal 3 ayat (1) UU PPHI[5] Pasal 3 ayat (2) dan (3) UU PPHI[6] Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU PPHI[7] Pasal 7 ayat (3) dan (5) UU PPHI[8] Rai Mantili, Konsep Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial antara Serikat Pekerja dengan Perusahaan melalui Combined Process (Med-Arbitrase), Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 6 No. 1 September 2021, hal. 53[9] Pasal 1 angka 11 UU PPHI[10] Pasal 8 UU PPHI[11] Pasal 13 ayat (1) UU PPHI[12] Pasal 13 ayat (3) huruf b UU PPHI[13] Pasal 13 ayat (2) huruf a, b, c, dan d UU PPHI[14] Pasal 13 ayat (2) huruf e UU PPHI[15] Pasal 14 UU PPHI[16] Pasal 1 angka 13 UU PPHI[17] Pasal 17 UU PPHI[18] Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU PPHI[19] Pasal 23 ayat (1) UU PPHI[20] Pasal 23 ayat (2) UU PPHI[21] Pasal 23 ayat (3) huruf b UU PPHI[22] Pasal 24 UU PPHI[23] Pasal 29 UU PPHI[24] Pasal 1 angka 15 UU PPHI[25] Pasal 32, Pasal 33 ayat (1), (2) dan (5) UU PPHI[26] Pasal 40 ayat (1) dan (3) UU PPHI[27] Pasal 44 s.d. 49 UU PPHI[28] Pasal 51 UU PPHI[29] Pasal 53 UU PPHI[30] Pasal 56 UU PPHI[31] Penjelasan Umum UU PPHI[32] Pasal 57 UU PPHI[33] Pasal 81 UU PPHI[34] Pasal 83 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 83 ayat (2) UU PPHI"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa perbedaan sewa beli dan leasing? Mohon jelaskan perbedaan sewa beli dan leasing ini secara singkat. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sewa guna usaha atau leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.[1]\n\nKemudian, apa itu finance lease dan operating lease? Finance lease atau sewa pembiayaan adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang oleh perusahaan pembiayaan untuk digunakan debitur selama jangka waktu tertentu, yang mengalihkan secara substansial manfaat dan risiko atas barang yang dibiayai.[2]\n\nSedangkan operating lease atau sewa operasi adalah sewa yang tidak secara substansial mengalihkan manfaat dan risiko atas barang yang disewakan.[3]\n\nAdapun yang dimaksud dengan opsi adalah hak lessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa guna usaha.[4]\n\nDalam hal lessee menggunakan opsi membeli, maka dasar penyusutannya adalah nilai sisa barang modal.[5] Untuk melaksanakan hak opsi membeli, dilakukan dengan melunasi pembayaran nilai sisa barang modal yang disewa guna usaha.[6]\n\nMenurut Muhamad Djumhana dalam Hukum Perbankan di Indonesia, sewa guna usaha adalah istilah yang dipakai untuk menggantikan istilah leasing. Istilah leasing berasal dari bahasa Inggris, yaitu to lease yang berarti menyewakan, tetapi berbeda pengertiannya dengan rent. Dalam bahasa Belandanya istilah ini adalah financieringshuur (hal. 214).\n\nLebih lanjut, Muhamad Djumhana berpendapat bahwa leasing adalah kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara sukarela yang disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut, untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati (hal. 214).\nApakah yang Dimaksud dengan Sewa Beli?\n\nSuharnoko dalam Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, menjelaskan bahwa beli-sewa atau sewa beli adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata. Akan tetapi karena Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, maka para pihak boleh membuat perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata (hal. 64).\n\nPerjanjian yang diatur secara khusus dalam Buku III KUH Perdata disebut perjanjian nominat sedangkan perjanjian yang tidak diatur dalam Buku III KUH Perdata disebut perjanjian innominat.[7]\n\nMenurut ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata, setiap perjanjian nominat maupun perjanjian innominat tunduk pada ketentuan umum hukum perjanjian. Dengan demikian perjanjian beli-sewa sebagai suatu perjanjian innominat juga tunduk kepada ketentuan umum tentang perjanjian seperti misalnya syarat sahnya perjanjian dan tentang wanprestasi.[8]\n\nLebih lanjut Suharnoko menjelaskan beli-sewa atau sewa beli adalah suatu perjanjian campuran di mana terkandung unsur perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa. Dalam perjanjian sewa beli, selama harga belum dibayar lunas, maka hak milik atas barang tetap berada pada si penjual sewa, meskipun barang sudah berada di tangan pembeli sewa. Hak milik baru beralih dari penjual sewa kepada pembeli sewa setelah pembeli sewa membayar angsuran terakhir untuk melunasi harga barang.[9]\n\nAkan tetapi, perlu diketahui bahwa sewa beli berbeda dengan jual beli dengan angsuran. Munir Fuady dalam Hukum tentang Pembiayaan (hal. 26) menjelaskan bahwa perbedaan terpenting di antara keduanya adalah tentang saat beralihnya hak dari penjual kepada pembeli.\nPada sewa beli, beralihnya hak (levering) terjadi pada saat seluruh cicilannya lunas terbayarkan. Jadi sebelum harganya lunas seluruhnya, kedudukan pembeli sewa hanya sebagai penyewa belaka. Dan berubah menjadi pembeli setelah habis angsurannya (hal. 26).\n\nSementara pada jual beli dengan angsuran, hak atas barang sudah beralih (levering) dari penjual kepada pembeli setelah transaksinya terjadi walaupun saat itu harga belum seluruhnya dibayar (hal. 26).\nPerbedaan Leasing dan Sewa Beli\n\nMenurut Munir Fuady, kecuali untuk bentuk operating lease, bentuk transaksi yang paling mirip dengan leasing adalah transaksi sewa beli.\n\nWalaupun antara leasing dan sewa beli mirip, tetapi ada beberapa perbedaan di antara keduanya, yaitu:[10]\nLeasingSewa BeliKepemilikan barang oleh lessee hanya terjadi apabila hak opsinya dilaksanakan oleh lessee.Lessee otomatis demi hukum jadi pemilik barang di akhir masa sewa.Lessor hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang modal oleh lessee dan barang tersebut tidak berasal dari lessor melainkan dari pihak ketiga atau dari lessee sendiri.Pihak lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang disewakan dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu, biasanya barang tersebut merupakan milik pembeli sewa beli sendiri.Metode pembiayaan diperkenankan dilakukan oleh perusahaan pembiayaan.Tidak termasuk kegiatan lembaga atau perusahaan pembiayaan.\n\nBerdasarkan pada penjelasan di atas, terlihat bahwa dalam leasing terdapat hak opsi bagi penyewa guna usaha (lessee) untuk membeli membeli barang modal atau memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha.\nIni berarti penyewa guna usaha menjadi pemilik dari barang tersebut apabila ia melaksanakan hak opsinya. Sedangkan dalam sewa beli, jika pembeli telah selesai membayar lunas harga yang telah disepakati, maka hak milik barang berpindah kepada pembeli.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang perbedaan leasing dan sewa beli, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Perdata;Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK. 012/2006 Tahun 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan;Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan sebagaimana diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/POJK.05/2022 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan;Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21/M-DAG/PER/10/2005 Tahun 2005 tentang Pencabutan Beberapa Perizinan dan Pendaftaran di Bidang Perdagangan;Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tahun 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).\n\nReferensi:\n\nMuhamad Djumhana. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996;Munir Fuady. Hukum tentang Pembiayaan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006;Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana, 2004.\n\n[1] Pasal 1 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK. 012/2006 Tahun 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan (“PMK 84/2006”)[2] Pasal 1 angka 5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan (“POJK 35/2018”)[3] Penjelasan Pasal 2 ayat (2) POJK 35/2018[4] Pasal 1 huruf o Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tahun 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) (“Kepmenkeu 1169/1991”)[5] Pasal 12 Kepmenkeu 1169/1991[6] Pasal 11 ayat (1) Kepmenkeu 1169/1991[7] Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana, 2004, hal. 64[8] Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana, 2004, hal. 64[9] Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana, 2004, hal. 64–65[10] Munir Fuady. Hukum tentang Pembiayaan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 26"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa persamaan dan perbedaan mediasi dan arbitrase?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum membahas mengenai perbedaan mediasi dan arbitrase, perlu Anda ketahui, arbitrase dan mediasi adalah jenis alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia yang dilakukan di luar pengadilan. Ketentuan mengenai alternatif penyelesaian sengketa lebih lanjut diatur dalam UU 30/1999.\n\nMenurut Pasal 1 angka 10 UU 30/1999, pengertian alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.\n\nMeski pengertian alternatif penyelesaian sengketa tersebut di atas tidak menyebutkan arbitrase, namun arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum. Berikut ini kami jelaskan satu per satu mengenai mediasi dan arbitrase.\nMediasi\n\nPengertian mediasi di Indonesia adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.[1]\n\nMediator di sini adalah hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.[2]\n\nMediasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin, yaitu “mediare” yang memiliki pengertian “berada di tengah”. Pihak ketiga atau mediator ini berada di tengah sebab dipilih berdasarkan kenetralan dan kedua belah pihak harus saling bersepakat dalam hal menunjuk pihak ketiga. Sehingga pihak ketiga dapat bersikap netral dalam hal memberi solusi, masukan, atau jalan keluar dari sengketa tersebut.\n\nMediator selaku pihak ketiga yang menengahi harus mengerti permasalahan kedua pihak yang bersengketa, di mana mediator akan memperoleh informasi secara lengkap dari masing-masing pihak guna memahami permasalahan dan mencarikan solusi. Setelah itu, mediator selaku pihak ketiga akan memberikan solusi yang mana masing-masing pihak harus mendengar segala bentuk masukan dari mediator, guna mempercepat penyelesaian sengketa sehingga dapat mengurangi penumpukan berkas perkara di pengadilan.\n\nPatut dicatat, mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan dan menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, sebab tugas mediator di sini hanyalah menengahi sekaligus memberi masukan guna memperoleh jalan keluar sengketa.\n\nSebagai informasi tambahan, biasanya dalam website pengadilan mencantumkan daftar nama mediator non hakim. Seperti contohnya Anda dapat mengakses Daftar Mediator yang dimuat dalam Pengadilan Agama Demak.\n\nBaca juga: Perbedaan Mediator, Arbiter, dan Konsiliator\nArbitrase\n\nLantas, apa yang dimaksud dengan arbitrase? Pengertian arbitrase di Indonesia dapat Anda temukan dalam Pasal 1 angka 1 UU 30/1999 yaitu arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.\n\nSengketa arbitrase diawali dengan adanya sebuah kontrak kerja sama, dan apabila di antara para pihak tidak dapat menyelesaikan tugasnya sebagaimana diperjanjikan, dapat dilakukan arbitrase dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase. Persetujuan menyelesaikan sengketa lewat arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani para pihak.[3]\n\nPraktik arbitrase di Indonesia dilakukan dengan cara para pihak menentukan bersama arbiter yang akan menjadi eksekutor atau pengambil keputusan atas sengketa yang terjadi. Penunjukan arbiter berdasarkan kesepakatan bertujuan agar arbiter yang dipilih independen.\n\nArbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.[4]\n\nPeran arbiter selaku pihak ketiga dalam arbitrase tidak seperti mediator yang hanya memberi masukan atau solusi saja, akan tetapi arbiter juga memiliki kebijaksanaan dalam memberikan putusan sengketa para pihak. Sehingga, dapat dikatakan arbiter memiliki kewenangan yang lebih dari mediator.\n\nBaca juga: Hak Makelar dan Mediator Nonhakim\nPersamaan serta Perbedaan Mediasi dan Arbitrase\n\nGuna mempermudah pemahaman Anda, berikut ini kami rangkum dalam bentuk tabel persamaan serta perbedaan mediasi dan arbitrase beserta contoh mediasi dan contoh arbitrase di Indonesia.\nAspekMediasiArbitrasePersamaanKeduanya merupakan alternatif penyelesaian sengketa, yaitu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan.Keduanya dilakukan dengan menunjuk dan menggunakan pihak ketiga sebagai pihak netral yang menengahi.Keduanya bertujuan untuk mempersingkat atau mempercepat proses penyelesaian sengketa.PerbedaanMediator dalam mediasi bertugas sebagai penengah dan memberikan masukan penyelesaian sengketa.Arbiter dalam arbitrase bertugas memberikan putusan atas sengketa para pihak.Hasil mediasi bersifat win-win solution.Hasil arbitrase bersifat win-lose judgement.Saran mediator dalam mediasi bersifat tidak mengikat.Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.ContohContoh mediasi di Indonesia dalam perkara perceraian dilakukan untuk mendamaikan para pihak sebelum perceraian di depan sidang pengadilan dilakukan. (Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan)Praktik arbitrase di Indonesia dalam hubungan industrial yaitu penyelesaian perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan. (Pasal 1 angka 15 UU 2/2004)\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang persamaan serta perbedaan mediasi dan arbitrase, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.\n\nReferensi:\n\nDaftar Mediator, yang diakses pada 14 Februari 2023, pukul 07.29 WIB.\n\n[1] Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“Perma 1/2016”)[2] Pasal 1 angka 2 Perma 1/2016[3] Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”)[4] Pasal 1 angka 7 UU 30/1999"
} |
{
"from": "human",
"value": "Pasca lahirnya UU Yayasan, orang kemudian sibuk beralih pada perkumpulan/perhimpunan. Apa perbedaan perkumpulan dan yayasan? Dari sisi hukum, legalitas dan kekuatan hukumnya lebih kuat yang mana?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "None"
} |
{
"from": "human",
"value": "Tolong diterangkan secara gamblang perbedaan surat kuasa khusus dengan surat kuasa. Lalu, dalam kondisi seperti apa saja wajib menggunakan surat kuasa khusus?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Secara umum, Pasal 1792 KUH Perdata mengartikan surat kuasa sebagai persetujuan atas pemberian kekuasaan kepada orang lain atau penerimanya untuk melakukan suatu hal.\nPemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.\n\nSementara itu mengacu dari laman KBBI, surat kuasa adalah surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu.\nDisarikan dari artikel Cara Membuat Surat Kuasa yang Baik dan Benar Beserta Contohnya, surat kuasa adalah surat yang di dalamnya berisi segala pernyataan yang berkaitan dengan pemberian kekuasaan atau wewenang dari seorang pemberi kuasa kepada penerima kuasa.\n\nBerdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa surat kuasa merupakan sebuah dokumen yang memberikan wewenang kepada pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum, untuk dan atas nama pemberi kuasa, karena pihak pemberi kuasa sedang tidak dapat melakukannya sendiri.\n\nUntuk menjawab pertanyaan Anda tentang perbedaan surat kuasa umum dan surat kuasa khusus, kami akan menjelaskan secara spesifik mengenai perbedaan keduanya.\nSurat Kuasa Umum\nSurat kuasa umum dijelaskan di dalam Pasal 1796 KUH Perdata, yang berbunyi:\n\nPemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.\n\nJika disederhanakan, Pasal 1796 KUH Perdata menerangkan bahwa surat kuasa umum bertujuan untuk memberikan kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberian kuasa. Sedangkan untuk memindahtangankan benda-benda, atau perbuatan lain yang hanya dilakukan oleh pemilik, tidak dapat menggunakan surat kuasa umum.\n\nOleh karena itu, ditinjau dari segi hukum, kuasa umum tidak dapat dijadikan dasar untuk mewakili pemberian kuasa di depan pengadilan.\n\nHal ini juga dijelaskan oleh Yahya Harahap dalam Hukum Acara Perdata, yang juga memberikan contoh penggunaan surat kuasa umum. Misalnya, seorang manajer yang bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas (“PT”) berdasarkan surat kuasa Direktur PT, tidak dapat mengajukan gugatan di pengadilan, karena surat kuasa pengurusan perusahaan yang diberikan oleh direktur kepada manajer bersifat umum, bukan khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 123 HIR (hal. 6-7).\nSurat Kuasa Khusus\n\nSelanjutnya, surat kuasa khusus didasarkan pada Pasal 1795 KUH Perdata, yang berbunyi:\n\nPemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai suatu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa.\n\nLantas, apa itu surat kuasa khusus? Sederhananya, Pasal 1795 KUH Perdata menerangkan bahwa surat kuasa khusus adalah surat kuasa yang di dalamnya dijelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa.\n\nBentuk surat kuasa inilah yang dapat menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan, mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak prinsipal.\n\nSetiap surat kuasa khusus harus dicatatkan dalam Register Kuasa Khusus di kepaniteraan pada badan peradilan dimana akan dicantumkan untuk pendataan dan pengawasan pemberi kuasa yang berkedudukan sebagai pihak materiel atau prinsipal dan penerima kuasa sebagai pihak formil.\nPerbedaan Surat Kuasa Umum dan Surat Kuasa Khusus\n\nSecara garis besar, yang tiga perbedaan surat kuasa umum dan surat kuasa khusus. Pertama, dasar hukumnya. Surat kuasa umum didasarkan pada Pasal 1796 KUH Perdata, sementara surat kuasa khusus didasarkan pada Pasal 1795 KUH Perdata.\n\nKedua, bagian sub-judulnya. Pada surat kuasa umum, sub-judulnya mencantumkan frasa “surat kuasa umum”, sementara pada surat kuasa khusus mencantumkan “surat kuasa khusus”.\n\nKetiga, isi surat kuasanya. Isi surat kuasa umum, melingkupi pengurusan segala kepentingan kuasa. Lalu, pada surat kuasa khusus, isinya melingkupi kepentingan pemberi kuasa dengan terperinci, mengenai apa yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa.\n\nUntuk mempermudah, berikut rangkuman 3 perbedaan surat kuasa umum dan surat kuasa khusus dalam bentuk tabel.\nPerbedaanSurat Kuasa UmumSurat Kuasa KhususDasar HukumPasal 1796 KUH PerdataPasal 1795 KUH PerdataSub-JudulMencantumkan frasa “Surat Kuasa Umum”Mencantumkan frasa “Surat Kuasa Khusus”IsiMelingkupi pengurusan segala kepentingan kuasa.Melingkupi 1 kepentingan atau lebih dari pemberi kuasa yang diperinci mengenai hal-hal yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa.\n\nDengan demikian, dapat disimpulkan bahwa surat kuasa umum pada dasarnya hanya melingkupi hal-hal yang umum saja dan tidak untuk melakukan hal-hal yang dilakukan secara khusus atau untuk kepentingan hukum yang detail.\n\nSelain itu, surat kuasa umum tidak dapat dijadikan dasar untuk mewakili ataupun mendampingi dalam proses persidangan. Sehingga, menjawab pertanyaan Anda mengenai dalam kondisi apa wajib menggunakan surat kuasa khusus, salah satunya digunakan untuk mewakili di muka persidangan.\n\nDemikian jawaban dari kami mengenai perbedaan surat kuasa umum dan surat kuasa khusus, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Herzien Inlandsch Reglement (HIR).](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27228/herzien-inlandsch-reglement/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=hir)\nREFERENSI:\n1. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Cetakan ke-8. Jakarta: Sinar Grafika, 2008\n2. KBBI, surat kuasa, yang diakses pada Jumat, 26 Maret 2024, pukul 11.01 WIB."
} |
{
"from": "human",
"value": "Where is the obligation of every person in human rights regulated? Then, in which article is the obligation to respect other people's human rights regulated?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Before answering the main question, you need to understand the concept of rights and obligations in human rights law in general.\n\nIn international human rights law, the state is placed as the main duty bearer, which has 3 main obligations, namely:[1]\n\nTo respect, which is fulfilled by not interfering with the enjoyment of human rights. For example, states must refrain from carrying out forced evictions or arbitrarily restricting the freedom to assemble.[2]To protect, which means the state must take measures to ensure that no one interferes with the enjoyment of the right by the rights holder. For example, the state should protect access to education by ensuring that parents and/or employers do not prevent people from going to school;[3] andTo fulfill, which means the state must take progressive steps to fulfill the relevant right. For example, by assisting certain groups who cannot fulfill their own rights.[4] For example, by providing assistance to economically marginalized groups.\nOn the other hand, every individual in human rights law is seen as a rights holder.[5]\n\nFrom these three pillars of obligation, human rights violations can occur in 2 forms, namely:[6]\n\nBy omission, human rights violations are committed because the state neglects its obligation to act actively in relation to the obligation to protect and/or fulfill human rights. For example, the failure of the state to act when a particular ethnic group attacks another ethnic group, and the failure to implement a free education system at the primary level.By commission, which is a human rights violation that occurs because the state actively does things that reduce the enjoyment of human rights by rights holders, such as banning labor unions or freedom of assembly.\nObligation to Respect the Human Rights of Others\nFurthermore, to answer your question regarding in which article the obligation to respect the human rights of others is stipulated, it is necessary to first understand that although the state is the main obligation holder in human rights law, it does not mean that individuals do not have obligations.\n\nEvery individual has the obligation to respect the human rights of others.[7] In Indonesia, the obligation to respect the human rights of others is found in Article 69 section (1) of the Human Rights Law which reads:\n\nEvery person shall respect the human rights of others, morals, ethics, and the orderly life of society, nation, and state.\n\nIn fact, the obligation to respect the rights of others is stated in Article 28J section (1) of the 1945 Constitution:\n\nEvery person shall respect the human rights of others in the orderly life of society, nation and state.\n\nSo, according to human rights law, the general obligation of every individual is to respect the human rights of others. In other words, everyone must refrain from committing prohibited acts that will reduce the enjoyment of human rights by others.\n\nThis is our answer, hopefully, you find it useful.\n\nLegal Basis:\n\nThe 1945 Constitution of the Republic of Indonesia;Law Number 39 of 1999 on Human Rights.\n\nReferences:\n\nFarid Wajdi and Imran. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Tanggung Jawab Negara Terhadap Korban Kajian Putusan Nomor 46-K/PM II-11/AD/VI/2013. Jurnal Yudisial Vol. 14, No. 2, August 2021;M. Syafi’ie. Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM di Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 4, December 2012;Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights. Frequently Asked Questions on A Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, 2006, accessed on 13 April 2022, at 08.24 West Indonesian Time (zone).\n\n[1] M. Syafi’ie. Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM di Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 4, December 2012, p. 706.[2] Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights. Frequently Asked Questions on A Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, 2006, p. 2.[3] Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights. Frequently Asked Questions on A Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, 2006, p. 2.[4] Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights. Frequently Asked Questions on A Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, 2006, p. 2.[5] M. Syafi’ie. Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM di Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 4, December 2012, p. 706.[6] Farid Wajdi and Imran. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Tanggung Jawab Negara Terhadap Korban Kajian Putusan Nomor 46-K/PM II-11/AD/VI/2013. Jurnal Yudisial Vol. 14, No. 2, August 2021, pp. 233-234.[7] Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights. Frequently Asked Questions on A Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, 2006, p. 2."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja asas-asas hukum perlindungan konsumen?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perlindungan hukum bagi konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama yang didasari oleh 5 (lima) asas,[1] dan asas hukum perlindungan konsumen tersebut dicantumkan dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen yakni:\n\nManfaat;Keadilan;Keseimbangan;Keamanan dan keselamatan konsumen; danKepastian hukum.\nLebih lanjut, berikut penjelasan asas-asas hukum perlindungan konsumen tersebut di atas:\n\nAsas manfaat, yakni untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan hukum konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.[2]Asas keadilan, memiliki maksud agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan dengan maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen serta pelaku usaha untuk memperoleh haknya, juga melaksanakan kewajibannya secara adil.[3] Asas keadilan juga menghendaki bahwa melalui peraturan hukum perlindungan konsumen, konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban. Maka dari itu, UU Perlindungan Konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen dan juga pelaku usaha.[4]Asas keseimbangan merupakan asas guna memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.[5] Artinya, kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[6]Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang serta jasa yang digunakan.[7] Artinya terdapat jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dipakai, dan produk tidak akan mengancam keselamatan konsumen.[8]Asas kepastian hukum, yakni bertujuan agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan hukum konsumen. Kemudian, negara dalam hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut.[9]\n\nBaca juga: Hukum Perlindungan Konsumen: Cakupan, Tujuan, dan Dasarnya\nPrinsip-prinsip Perlindungan Konsumen\n\nSelain asas yang terdapat dalam UU Perlindungan Konsumen, terdapat beberapa prinsip perlindungan konsumen, antara lain:\n\nPrinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan (negligence);Prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (breach of warranty);Prinsip tanggung jawab mutlak (strict product liability).\n\nBerikut adalah penjelasan masing-masing prinsip tanggung jawab di atas:\n\nPrinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan (negligence)\n\nTanggung jawab berdasarkan kelalaian merupakan prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, artinya tanggung jawab yang ditentukan oleh perilaku produsen.[10] Berdasarkan prinsip ini, kelalaian produsen yang membawa akibat pada kerugian yang dirasakan konsumen adalah faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan gugatan ganti rugi pada produsen.[11]\n\nPrinsip ini dibagi menjadi:\n\nTanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan dengan persyaratan hubungan kontrak, yaitu teori tanggung jawab yang paling merugikan konsumen. Gugatan konsumen hanya dapat dilakukan jika telah memenuhi unsur kelalaian dan kesalahan dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen.[12]Tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan dengan beberapa pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak. Dalam prinsip ini terdapat 3 (tiga) pengecualian terhadap hubungan kontrak, pertama, pengecualian berdasarkan alasan karakter produk membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen. Kedua, pengecualian berdasarkan konsep implied invitation di mana tawaran produk pada pihak ketiga yang tidak memiliki hubungan hukum. Ketiga, jika produk membahayakan konsumen, kelalaian produsen untuk memberitahu kondisi produk saat penyerahan barang dapat melahirkan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, walaupun tidak ada hubungan hukum antara produsen dan konsumen.[13]Tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan tanpa persyaratan hubungan kontrak. Prinsip ini memiliki filosofi di mana pelaku usaha yang menjual produk berbahaya, bertanggung jawab bukan karena atau berdasarkan kontrak, melainkan karena ancaman yang dapat diperhitungkan jika tidak melakukan upaya untuk mencegah kerugian konsumen.[14]Prinsip praduga lalai dan prinsip praduga bertanggung jawab dengan pembuktian terbalik. Prinsip ini mengandung arti bahwa dengan adanya beban pembuktian terbalik, kelalaian tidak perlu dibuktikan lagi. Berdasarkan doktrin ini, pembuktian dibebankan kepada pihak tergugat, apakah tergugat lalai atau tidak. Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah.[15]\nPrinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (breach of warranty)\n\nGugatan berdasarkan breach of warranty dapat diterima walaupun tidak ada hubungan kontrak, namun dengan pertimbangan bahwa dalam praktik bisnis modern, proses distribusi dan iklan langsung ditujukan kepada konsumen melalui media massa. Maka, tidak perlu ada hubungan kontrak yang mengikat antara produsen dan konsumen.[16]\n\nPrinsip ini dibagi menjadi:\n\nTanggung jawab berdasarkan jaminan produk yang tertulis (express warranty). Express warranty adalah jaminan dalam bentuk kata-kata atau tindakan penjual, artinya pernyataan yang dikemukakan produsen merupakan janji yang mengikat produsen untuk memenuhinya.[17]Tanggung jawab berdasarkan jaminan produk yang tidak tertulis (implied warranty). Artinya, tanggung jawab dibebankan kepada produsen dan produk yang didistribusikan kepada konsumen sudah memenuhi standar kelayakan.[18]\nPrinsip tanggung jawab mutlak (strict product liability)\n\nPrinsip ini memiliki dasar bahwa konsumen tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri dari risiko kerugian yang disebabkan oleh produk cacat, maka dari itu penerapan prinsip ini terhadap produsen memberikan perlindungan bagi konsumen. Karena, tidak dibebani untuk membuktikan kesalahan produsen akibat penggunaan suatu produk.[19]\nKesimpulannya, Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen telah mengatur asas-asas hukum perlindungan konsumen yang terdiri dari asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Namun selain asas yang dikenal dalam undang-undang, terdapat juga beberapa prinsip perlindungan konsumen, yakni prinsip negligence, breach of warranty, dan strict product liability.\nDemikian jawaban dari kami tentang prinsip dan asas hukum perlindungan konsumen, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.\nREFERENSI:\n1. Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016\n2. Yapiter Marpi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Keabsahan Kontrak Elektronik dalam Transaksi E-Commerce, Tasikmalaya: PT. Zona Media Mandiri, 2020\n3. Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.\n\n[1] Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 16[2] Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 16[3] Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 16[4] Yapiter Marpi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Keabsahan Kontrak Elektronik dalam Transaksi E-Commerce, Tasikmalaya: PT. Zona Media Mandiri, 2020, hal. 118[5] Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 16[6] Yapiter Marpi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Keabsahan Kontrak Elektronik dalam Transaksi E-Commerce, Tasikmalaya: PT. Zona Media Mandiri, 2020, hal. 119[7] Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 16[8] Yapiter Marpi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Keabsahan Kontrak Elektronik dalam Transaksi E-Commerce, Tasikmalaya: PT. Zona Media Mandiri, 2020, hal. 119[9] Abdul Halim Barkatullah, Framework Sistem Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Bandung: Nusa Media, 2016, hal. 16[10] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 83[11] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 84[12] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 85[13] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 87-88[14] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 105[15] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 106[16] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 93[17] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 106[18] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 106[19] Zulham, Hukum Perlidungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hal. 106-107"
} |
{
"from": "human",
"value": "Jika saya galbay pinjol karena kondisi keuangan, apa konsekuensinya jika saya tidak membayarnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Apa maksud galbay pinjol? Galbay pinjol adalah kependekan dari gagal bayar pinjaman online yaitu kondisi di mana seorang debitur tidak mampu melunasi cicilan pinjamannya dari perusahaan penyedia pinjaman online atau pinjol.\n\nDalam pertanyaan Anda tidak disebutkan secara tegas apakah Anda meminjam uang di platform pinjaman online legal atau ilegal. Sehingga, untuk menyederhanakan jawaban, kami asumsikan bahwa pinjaman yang Anda ambil adalah dari platform pinjol legal atau yang telah memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”).\n\nBaca juga: 5 Ciri Pinjol Legal yang Harus Kamu Tahu\nApa Risiko Galbay Pinjol Legal?\n\nPertama-tama kami akan membahas apakah pinjol legal harus dibayar? Jawabannya harus dibayar. Hal ini berkaitan dengan kewajiban debitur untuk melunasi utangnya kepada kreditur. Secara umum, utang piutang diatur di dalam Pasal 1754 KUH Perdata yang berbunyi:\n\nPinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.\nApabila debitur atau peminjam di pinjol tidak melunasi utangnya akan dianggap wanprestasi. Apabila debitur wanprestasi, maka pinjol wajib melakukan penagihan kepada penerima dana/peminjam paling sedikit dengan memberikan surat peringatan sesuai dengan jangka waktu dalam perjanjian.[1]\n\nLantas, risiko hukum jika pinjol tidak dibayar bagaimana?\n\nBunga dan Denda Pinjaman Menjadi Lebih Besar\n\nKarena tidak mampu melunasi pinjamannya, debitur atau peminjam biasanya dikenakan denda dan/atau bunga yang lebih besar.\n\nMeskipun dalam pinjol legal dilarang mengenakan predatory lending atau praktik pemberian pinjaman dengan syarat, ketentuan, bunga, dan/atau biaya-biaya yang tidak wajar bagi penerima pinjaman,[2] namun, pinjol legal biasanya tetap menentukan bunga dan/atau denda atas keterlambatan pembayaran yang dihitung per hari.\n\nSaat ini, berdasarkan SE OJK 19/2023 terdapat ketentuan batas maksimum manfaat ekonomi yang diterapkan oleh penyelenggara pinjol yaitu berupa imbal hasil, termasuk bunga/margin/bagi hasil, biaya administrasi/komisi/ujrah/fee platform, dan biaya lainnya selain denda keterlambatan, bea meterai, serta pajak (hal. 11).\n\nUntuk pendanaan produktif, per 1 Januari 2024 batas maksimal manfaat ekonomi seperti bunga pinjol adalah sebesar 0.1% per hari dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian. Adapun, per 1 Januari 2026, menjadi 0,067% per hari dari nilai pendanaan (hal. 11).\n\nBerbeda dengan pendanaan produktif, terhadap pendanaan konsumtif yang dibatasi untuk tenor jangka pendek (kurang dari 1 tahun), batas maksimal bunga pinjol dan manfaat ekonomi lainnya per 1 Januari 2024 adalah 0,3% per hari dari nilai pendanaan. Adapun per 1 Januari 2025 menjadi sebesar 0.2% per hari, dan per 1 Januari 2026 menjadi sebesar 0.1% per hari (hal. 11 – 12).\n\nLantas, bagaimana perhitungan bunga pinjol? Cara menghitung bunga pinjol dapat Anda simak dalam ilustrasi berikut. Pada bulan Februari 2024, A mendapatkan pendanaan di pinjol X dengan nilai pendanaan konsumtif Rp1 juta dengan tenor 30 hari. Maka total bunga pinjol adalah Rp1 juta x 0.3% x 30 hari yaitu sebesar Rp90 ribu.\n\nDi luar bunga dan manfaat ekonomi lainnya, terdapat denda keterlambatan. Ketentuan denda keterlambatan menurut SE OJK 19/2023 yaitu untuk pendanaan produktif sebesar 0.1% per hari (per 1 Januari 2024) dan 0.067% per hari (per 1 Januari 2016). Sementara, untuk pendanaan konsumtif sebesar 0.3% per hari (per 1 Januari 2024), 0.2% per hari (per 1 Januari 2025), dan 0.1% per hari (per 1 Januari 2026) (hal. 13).\n\nSeluruh manfaat ekonomi dan denda keterlambatan tersebut tidak boleh melebihi 100% dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian pendanaan (hal. 13).\n\nApabila debitur tidak segera melunasi utangnya, tentu bunga dan denda yang dikenakan akan semakin banyak.\nDitagih Debt Collector\n\nJika Anda tidak melunasi utang Anda di pinjol, tentu akan ditagih oleh debt collector. Meski demikian, dalam menagih utang debitur, penyelenggara pinjol terikat dengan peraturan perundang-undangan.\n\nPada dasarnya, penyelenggara pinjol dapat bekerja sama dengan pihak lain untuk menagih utang dengan syarat pihak lain tersebut berbadan hukum, punya izin dari instansi yang berwenang, penagih utang tersertifikasi dari lembaga sertifikasi profesi yang terdaftar di OJK, dan bukan afiliasi penyelenggara pinjol atau pemberi dana.[3]\n\nPenagihan harus dilaksanakan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.[4]\n\nBaca juga: Etika Penagihan Utang oleh Debt Collector\nTercatat di SLIK OJK dengan Skor Kredit yang Buruk\n\nPenyelenggara pinjol yang telah memenuhi syarat pada dasarnya dapat menjadi pelapor untuk menyampaikan laporan debitur kepada OJK yang mencakup informasi mengenai debitur, fasilitas penyediaan dana, agunan, penjamin, pengurus dan pemilik, dan keuangan debitur.[5]\n\nInformasi debitur tersebut akan tercatat di SLIK OJK dan lembaga jasa keuangan (“LJK”) lainnya maupun bank dapat meminta informasi debitur tersebut untuk:[6]\n\nMendukung kelancaran proses pemberian fasilitas penyediaan dana.Menerapkan manajemen risiko kredit atau pembiayaan seperti pemantauan debitur existing, pelaksanaan audit, serta penerapan strategi anti fraud, namun tidak termasuk untuk penyusunan daftar prospek calon debitur dan cross selling selain nasabah pelapor dan mengidentifikasi kualitas debitur.Mengidentifikasi kualitas debitur untuk pemenuhan ketentuan OJK atau pihak lain yang berwenang. Contoh, penggunaan informasi debitur untuk penyamaan kualitas terhadap satu debitur atau satu proyek yang sama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam informasi debitur tersebut, akan tercatat kualitas kredit/pembiayaan yang dilakukan oleh debitur apakah lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, atau macet.[7]Pengelolaan sumber daya manusia pada pelapor misalnya untuk proses calon pegawai pelapor.Verifikasi untuk kerja sama pelapor dengan pihak ketiga misalnya untuk seleksi rekanan, agen, merchant, maupun vendor pelapor.\n\nArtinya, ketika pinjaman di pinjol tidak dibayarkan, maka debitur yang tercatat di SLIK OJK dengan kualitas kurang baik misalnya pembiayaan macet, maka nantinya akan menjadi pertimbangan LJK lain atau bank untuk memberikan pinjaman, proyek, seleksi pegawai, atau keperluan lainnya sebagaimana disebutkan di atas.\n\nUntuk mengetahui informasi skor kredit di SLIK OJK, Anda dapat menyimak ulasannya dalam Mengenal Apa itu SLIK OJK dan Cara Cek Skor Kredit Debitur.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang galbay pinjol legal, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt59228850d6e51/peraturan-otoritas-jasa-keuangan-nomor-18-pojk03-2017-tahun-2017/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pojk_18_2017)\n3. [Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 64/POJK.03/2020 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.03/2017 tahun 2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5ff3dfec7a015?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pojk_64_2020)\n4. [Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62ce684f3bf66/peraturan-otoritas-jasa-keuangan-nomor-10-pojk05-2022-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=POJK_10_2022)\n5. [Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/SEOJK.06/2023 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt654dd38537a9a/surat-edaran-otoritas-jasa-keuangan-nomor-19seojk.062023-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=SE_OJK_19_2023)\nREFERENSI:\n1. Surat Keputusan Pengurus Perkumpulan Fintech Pendanaan Bersama (“AFPI”) Nomor 002/SK/COC/INT/IV/2020 perihal Penetapan Peraturan Khusus Pedoman Perilaku AFPI Tahun 2020\n2. Cara Membaca Informasi Debitur Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), yang diakses pada Kamis, 15 Februari 2024, pukul 21.17 WIB\n3. SLIK OJK, yang diakses pada Kamis, 15 Februari 2024, pukul 21.01 WIB.\n\n[1] Pasal 102 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 10/2022”)[2] Lampiran III Surat Keputusan Pengurus Perkumpulan Fintech Pendanaan Bersama (“AFPI”) Nomor 002/SK/COC/INT/IV/2020 perihal Penetapan Peraturan Khusus Pedoman Perilaku AFPI Tahun 2020[3] Pasal 103 ayat (1) dan (3) POJK 10/2022[4] Pasal 104 ayat (1) POJK 10/2022[5] Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 64/POJK.03/2020 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (“POJK 64/2020”)[6] Pasal 2 ayat (1), Pasal 15 ayat (1) dan (4) beserta penjelasannya POJK 64/2020[7] Cara Membaca Informasi Debitur Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) , yang diakses pada Kamis, 15 Februari 2024, pukul 21.17 WIB."
} |
{
"from": "human",
"value": "What are the stages in the international treaty-making process? Please explain."
} | {
"from": "gpt",
"value": "International treaties are one of the main sources of international law, as described in Article 38 section (1) ICJ Statute. The definition of an international treaty if it refers to Article 2 section (1) letter a VCLT 1969 are:\n“treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.\n\nIf the above definitions are interpreted, in essence, treaties are international agreements which are made between countries in written form and are regulated by international law.\nIt should be noted that the VCLT 1969 is indeed one of the main instruments in international law governing international treaties. However, the applicability of the rules in the convention is limited to agreements between countries/states, and does not apply to agreements between countries and international organizations or agreements between international organizations.\n\nUnder international law, agreements between states and international organizations as well as agreements between international organizations are regulated under a separate convention, which is VCLT 1986.\n\nSuch separations are to be carried out on the basis of the consideration that the authority to draw up international treaties by international organizations is different from the authority to draw up international treaties by states, as well as the procedure to draw up international treaties which are undertaken by states differ from the procedures undertaken by international organizations.[1]\n\nDue to these differences in procedures, in order to simplify our answers, we will focus on the process/stages of international treaty-making, which are drawn up by states only.\nStages of International Treaty\n\nFurthermore, in answering your question, what are the stages in the process of making international treaties? In essence, there are three stages of international treaty-making. The 3 stages of international treaties are as follows.[2]\n\nNegotiation/Negotiation of International Agreement\n\nThe first stage of an international treaty is negotiation, which is usually preceded by approaches by parties who intend to enter into international agreements, or in diplomatic language, this is known as lobbying. Lobbying can be conducted formally or informally. If in the lobbying there are clear points on an agreement of an issue, then an official negotiation will be held, which will be carried out by people who officially represent their country, accept the agreement that has been formulated, and ratify it.[3]\n\nThese persons who are authorized to represent their country are further regulated under Article 7 VCLT 1969, among them are the Heads of State (i.e. the President), the Head of Government (i.e. the Prime Minister), and the Ministers for Foreign Affairs.\n\nIn this stage of negotiation, there is also an adoption of the text process,[4] in which the negotiating parties formulate the text of the agreement which is then accepted by each of the negotiating parties. The adoption of the text of a treaty at an international conference takes place by the vote of 2/3 (two-thirds) of the States present and voting unless, by the same majority, they shall decide to apply a different rule.[5]\n\nSigning (Signature) of International Treaty\n\nAfter the adoption of the text during the negotiation stage, the next stage of the international treaty is the authentication of the text that is received by the negotiating parties.[6] The process or stage of authentication of the text of the international treaty is carried out in accordance with the agreement of the negotiating parties, or by affixing the signature of the state representative in the text of the international agreement.[7]\n\nRatification of International Treaty (if necessary)\n\nAccording to Article 1 number 2 Law 24/2000, ratification is one of the legal acts to bind to an international treaty.\n\nHowever, from the perspective of international treaty law, this ratification process is not always necessary in order for an international treaty to be binding to a country. This is due to the fact that the parties in the negotiation of international treaties may agree that the signing of the treaty alone is sufficient to signify the state's approval of the agreement.[8]\n\nThis ratification process is necessary if the text of the relevant international treaty states that the state's consent to be bound is indicated by way of ratification.[9]\n\nIn Indonesia, ratification as the authentication of an international agreement is conducted by law or by decree of the president.[10]\n\nFor the record, in addition to ratification, there are also various other ways to show the approval of a country to be bound to international treaties, such as accession, acceptance, and approval. The use of any of the abovementioned methods may be undertaken subject to the consent of the parties and to the provisions of international treaties.[11]\n\nIt can be concluded that in short, there are 3 stages in international treaties, namely their establishment through negotiation, signing, and ratification if necessary.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nStatute of the International Court of Justice;Vienna Convention on the Law of Treaties 1969;Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986;Law Number 24 of 2000 on International Treaty.\n\nReference:\n\nI Made Pasek Diantha (et.al). Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional. Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016;Sri Setianingsih Suwardi and Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.\n\n[1] Sri S. Suwardi, Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, p. 4.[2] Sri S. Suwardi, Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, p. 25; I Made Pasek Diantha (et.al), Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional, Bagian Hukum Internasional: Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016, p. 19.[3] Sri S. Suwardi, Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, pp. 24–25.[4] Sri S. Suwardi, Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, p. 29.[5] Article 9 section (2) Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (“VCLT 1969”).[6] Sri S. Suwardi, Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, p. 29.[7] Article 10 VCLT 1969.[8] Article 12 section (1) letter b VCLT 1969.[9] Article 14 section (1) letter a VCLT 1969.[10] Article 9 section (2) Law Number 24 of 2000 on International Treaty (“Law 24/2000”).[11] Article 11 VCLT 1969."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja tahapan dalam proses pembuatan perjanjian internasional? Mohon penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber utama hukum internasional, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional. Adapun definisi dari perjanjian internasional (treaty) jika merujuk pada Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1969 adalah:\n“treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.\n\nJika definisi tersebut diartikan, pada intinya yang dimaksud dengan treaty atau perjanjian internasional adalah kesepakatan internasional yang dibuat antarnegara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional.\nPerlu diperhatikan, Konvensi Wina 1969 memang merupakan salah satu instrumen utama dalam hukum internasional yang mengatur tentang perjanjian internasional. Akan tetapi, keberlakuan aturan dalam konvensi tersebut terbatas hanya terhadap perjanjian antarnegara, dan tidak berlaku untuk perjanjian antara negara dengan organisasi internasional maupun perjanjian antara sesama organisasi internasional.\n\nDalam hukum internasional, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional maupun perjanjian antara sesama organisasi internasional diatur dalam konvensi terpisah yakni Konvensi Wina 1986.\n\nPemisahan tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa kewenangan membuat perjanjian internasional oleh organisasi internasional berlainan dengan kewenangan membuat perjanjian internasional oleh negara, demikian pula prosedur untuk membuat perjanjian internasional yang dilakukan oleh negara berbeda dengan prosedur yang dilakukan oleh organisasi internasional.[1]\n\nKarena adanya perbedaan prosedur tersebut, guna menyederhanakan jawaban, kami akan fokus membahas proses/tahapan pembuatan perjanjian internasional yang dibuat oleh negara saja.\nTahapan Perjanjian Internasional\n\nSelanjutnya, menyambung pertanyaan Anda, apa saja tahapan dalam proses pembuatan perjanjian internasional? Pada pokoknya, ada tiga tahapan pembuatan perjanjian internasional. Adapun 3 tahapan perjanjian internasional ialah sebagai berikut.[2]\n\nNegosiasi/Perundingan Perjanjian Internasional\n\nTahapan perjanjian internasional yang pertama adalah perundingan, di mana biasanya didahului oleh pendekatan-pendekatan oleh pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian internasional, atau yang dalam bahasa diplomatik dikenal dengan lobbying. Lobbying dapat dilakukan secara formal maupun secara nonformal. Bila dalam lobbying telah ada titik terang tentang kesepakatan tentang suatu masalah, maka kemudian diadakan perundingan secara resmi yang akan dilakukan oleh orang-orang yang resmi mewakili negaranya, menerima kesepakatan yang telah dirumuskan, dan mengesahkannya.[3]\n\nOrang-orang yang berwenang mewakili negaranya ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969, di antaranya yaitu kepala negara (seperti presiden), kepala pemerintahan (seperti perdana menteri), dan menteri luar negeri.\n\nDalam tahapan perundingan ini terdapat juga proses penerimaan teks (adoption of the text),[4] di mana para pihak yang berunding merumuskan teks dari perjanjian yang kemudian diterima oleh masing-masing pihak peserta perundingan. Penerimaan naskah/teks dalam konferensi yang melibatkan banyak negara dilakukan dengan persetujuan 2/3 dari negara yang hadir dan menggunakan suaranya, kecuali jika 2/3 negara tersebut setuju untuk memberlakukan ketentuan lain.[5]\n\nPenandatanganan Perjanjian Internasional\n\nSetelah adanya penerimaan teks dalam tahapan perundingan, tahapan perjanjian internasional selanjutnya adalah dilakukan pengesahan teks yang telah diterima oleh peserta perundingan tadi.[6] Proses atau tahap pengesahan teks perjanjian internasional dilakukan sesuai kesepakatan para peserta perundingan, atau dengan pembubuhan tanda tangan wakil negara dalam teks perjanjian internasional tersebut.[7]\n\nRatifikasi Perjanjian Internasional (jika perlu)\n\nMenurut Pasal 1 angka 2 UU 24/2000, ratifikasi merupakan salah satu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.\n\nNamun, dari perspektif hukum perjanjian internasional, proses ratifikasi ini tak selalu diperlukan agar sebuah perjanjian internasional bisa berlaku mengikat terhadap suatu negara. Hal ini dikarenakan, bisa saja peserta perundingan perjanjian internasional menyepakati bahwa penandatanganan perjanjian saja sudah cukup menandakan persetujuan negara terhadap perjanjian tersebut.[8]\n\nProses ratifikasi ini diperlukan, di antaranya jika teks perjanjian internasional terkait menyatakan bahwa persetujuan negara untuk terikat ditunjukkan dengan cara ratifikasi.[9]\n\nDi Indonesia, ratifikasi sebagai pengesahan perjanjian internasional ini dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.[10]\n\nSebagai catatan, selain ratifikasi, ada juga berbagai cara lainnya untuk menunjukkan persetujuan sebuah negara untuk terikat kepada perjanjian internasional, seperti aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Penggunaan cara-cara tersebut bisa dilakukan tergantung kepada persetujuan para pihak dan ketentuan dalam perjanjian internasional.[11]\n\nDapat disimpulkan bahwa singkatnya, ada 3 tahapan dalam perjanjian internasional adalah pembentukannya melalui perundingan, penandatanganan, hingga ratifikasi jika diperlukan.\nDemikian jawaban kami mengenai tahapan dalam perjanjian internasional, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Statuta Mahkamah Internasional](https://www.icj-cij.org/en/statute)\n2. [Vienna Convention on the Law of Treaties 1969](https://legal.un.org/ilc/texts/instruments/english/conventions/1_1_1969.pdf)\n3. [Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986](https://legal.un.org/ilc/texts/instruments/english/conventions/1_2_1986.pdf)\n4. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17498/nprt/15/uu-no-24-tahun-2000-perjanjian-internasional?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_24_2000)\nREFERENSI:\n1. I Made Pasek Diantha, dkk. Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional. Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016\n2. Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.\n\n[1] Sri S. Suwardi, Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 4[2] Sri S. Suwardi, Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 25; I Made Pasek Diantha, dkk, Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional, Bagian Hukum Internasional: Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016, hal. 19[3] Sri S. Suwardi, Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 24–25.[4] Sri S. Suwardi, Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 29.[5] Pasal 9 ayat (2) Konvensi Wina 1969[6] Sri S. Suwardi, Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal 29.[7] Pasal 10 Konvensi Wina 1969[8] Pasal 12 ayat (1) huruf b Konvensi Wina 1969[9] Pasal 14 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1969[10] Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional[11] Pasal 11 Konvensi Wina 1969"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kenapa hukuman mati tidak langsung dilakukan? Apa saja alasan penundaan eksekusi pidana mati?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Alasan penundaan eksekusi pidana mati selanjutnya adalah terpidana mati yang bersangkutan sedang hamil. Hal ini disebut dalam Pasal 7 PNPS 2/1964 yang berbunyi:\n\nApabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.\n\nBerdasarkan ketentuan tersebut, maka eksekusi pidana mati tidak akan dilakukan jika terpidana mati dalam keadaan hamil.\n\nHal ini juga diatur di dalam UU 1/2023 bahwa pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut melahirkan, tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa itu sembuh.[10]\nAlasan Pemenuhan Hak Terpidana atas Permintaan Terakhir\n\nPenundaan eksekusi pidana mati juga dapat dilakukan karena faktor lain, yaitu perihal permintaan terpidana. Dalam Pasal 6 ayat (2) PNPS 2/1964 dikatakan bahwa apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.\n\nBerdasarkan ketentuan tersebut, terpidana memiliki kesempatan mengajukan permintaan terakhir, misalnya terpidana ingin bertemu keluarga, sementara keluarganya sedang sakit sehingga minta waktu dan permintaan ini harus dipenuhi.\nAlasan Masa Percobaan Pidana Mati dalam UU 1/2023\n\nSebagai tambahan informasi, dalam ketentuan UU 1/2023 untuk menjatuhkan pidana mati hakim harus mencantumkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri, atau peran terdakwa dalam tindak pidana dalam putusan pengadilan. Tenggang waktu percobaan 10 tahun tersebut dimulai sehari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.[11]\n\nJika dalam masa percobaan tersebut terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, apabila terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki selama masa percobaan tersebut, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.[12]\n\nDengan demikian, dalam KUHP yang baru atau UU 1/2023 memberikan ketentuan mengenai penundaan eksekusi hukuman mati dengan adanya masa percobaan selama 10 tahun.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b8db0f2ffb/node/629?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=penpres_2_1964)\n2. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/node/629/uu-no-8-tahun-1981-hukum-acara-pidana?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\n3. [Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17452/undangundang-nomor-22-tahun-2002/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_22_2002)\n4. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c85eaa36031f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_5_2010)\n5. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n6. [Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4d3d216f13909/node/629/peraturan-kapolri-no-12-tahun-2010-tata-cara-pelaksanaan-pidana-mati?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perkapolri_12_2010)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015.\n\n[1] Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati[2] Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)[3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015, hal. 79[4] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi[5] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[6] Pasal 62 ayat (1) UU 1/2023[7] Pasal 99 ayat (1) UU 1/2023[8] Pasal 2 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi[9] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015, hal. 81[10] Pasal 99 ayat (4) UU 1/2023[11] Pasal 100 ayat (1), (2), dan (3) UU 1/2023[12] Pasal 100 ayat (4) dan (6) UU 1/2023"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan perihal jual beli saham yang akan kami lakukan. Kebetulan pembelinya adalah perseroan, di sini saya ingin menanyakan untuk laporan-laporan pajaknya bagaimana? Lalu apa plus minus dari penjualan saham? Serta pembagiannya sendiri seperti apa tentang tanggung jawabnya. Mohon pencerahannya, Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ.5/1990 tentang PPN atas Jasa Pialang (Broker) (Seri PPN-168) Jasa perantara perdagangan efek sendiri sudah ditetapkan sebagai jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”) sejak 1990-an. Penegasan atas jasa pialang sebagai jasa terutang PPN ini tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ.5/1990 tentang PPN atas Jasa Pialang. KLINIK TERKAIT Mudah! Ini Cara Daftar NPWP Secara Online 23 Jul 2024 Apakah Hak Guna Bangunan Dikenakan BPHTB? 09 Nov 2022 Apakah Organisasi Internasional Dibebaskan dari PPh? 05 Apr 2021 Sanksi Konsultan Pajak yang Tak Sampaikan Laporan Tahunan 31 Mar 2021 Oleh karena itu, perusahaan sekuritas pun wajib berstatus Pengusaha Kena Pajak (“PKP”). Penegasan keharusan perusahaan sekuritas ditetapkan sebagai PKP tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.51/1991 tentang Perantara Perdagangan Efek (Pialang/Broker) sebagai PKP (Seri PPN-173) . Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek ( “ KMK 282/1997 ” ) Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 KMK 282/1997 disebutkan besarnya tarif pajak penghasilan (“PPh”) atas penjualan saham adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan. Sementara, untuk pemilik saham pendiri akan dikenakan tambahan pajak penghasilan dan bersifat final sebesar 0,5% dari nilai saham. PPh ini dikenakan saat transaksi penjualan saham saja yakni PPh Final yang dibayarkan melalui pihak sekuritas sebesar 0,1% dari nilai bruto transaksi . Adapun PPh Final ini dikenakan bagi penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura. [1] Pajak Pertambahan Nilai ( “ PPN ” ) PPN merupakan pungutan yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari transaksi sebuah barang atau jasa. Tarif pajak yang dikenakannya berupa tarif tunggal yakni sebesar 10%. Pada transaksi jual beli saham, tarif yang menjadi dasar pengenaan PPN adalah 0,03% dari jumlah transaksi . Komisi Broker ( Broker Fee ) Komisi broker ( broker fee ) merupakan biaya yang dibebankan pihak sekuritas kepada investor dalam rangka proses transaksi jual beli saham. Jumlah fee di setiap sekuritas berbeda-beda, umumnya berkisar 0,15 – 0,25% hingga 0,25% – 0,35% dari nilai transaksi saham (sudah termasuk PPN), dan ditambah PPh 0,1% khusus untuk transaksi penjualan saham. Biaya Transaksi ( Levy ) Levy atau biaya transaksi merupakan biaya yang dikenakan kepada setiap transaksi jual beli saham atas penggunaan jasa atau fasilitas transaksi bursa. Besarnya levy tersebut 0,04% dari nilai transaksi hingga artikel ini diterbitkan (besaran transaksi untuk BEI (0,01%), KSEI (0,01%), biaya kliring KPEI (0,01%), dan ditambah dana jaminan KPEI (0,01%). Sebagai informasi, pengenaan PPh dilakukan dengan cara pemotongan oleh penyelenggara bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat pelunasan transaksi penjualan saham. Penyelenggara bursa efek wajib menyetor PPh kepada bank persepsi atau kantor pos dan giro dan wajib menyampaikan laporan pemotongan dan penyetoran PPh kepada kepala kantor pelayanan pajak setempat. Dalam hal ini, yang bertanggung jawab atas transaksi jual beli saham ini adalah penjual saham. Karena, keuntungan transaksi jual beli saham ini diperoleh penjual sehingga kewajibannya ada pada penjual Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tetang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek [1] Pasal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tetang Pajak Penghasilan pajak ppn saham pph"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya sudah resign di sebuah perusahaan, bisakah uang JHT program BPJS Ketenagakerjaan saya cairkan? Mengingat saya belum berusia 56 tahun pensiun dan masa kerja saya masih 2 tahun. Jika bisa, BPJS Ketenagakerjaan bisa dicairkan setelah berapa lama resign? Dan bagaimana cara mencairkan BPJS Ketenagakerjaan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya, setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia wajib menjadi peserta program jaminan sosial.\nOleh karenanya, pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“BPJS”), sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada BPJS.\n\nKewajiban pemberi kerja untuk mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta dalam program jaminan sosial tenaga kerja pada BPJS Ketenagakerjaan berlaku bagi pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp1 juta sebulan.\nProgram jaminan sosial tenaga kerja tersebut terdiri atas:\n\nJaminan berupa uang yang meliputi:\n\nJaminan Kecelakaan Kerja;Jaminan Kematian; danJaminan Hari Tua.\n\nJaminan berupa pelayanan, yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.\n\nBerdasarkan ketentuan di atas, maka memang benar bahwa Anda selaku pekerja berhak didaftarkan sebagai peserta dalam program jaminan sosial tenaga kerja BPJS Ketenagakerjaan, salah satunya yakni program Jaminan Hari Tua (“JHT”).\nJHT BPJS Ketenagakerjaan\n\nJHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.\n\nSebagaimana telah diterangkan sebelumnya, manfaat JHT dibayarkan ke peserta apabila:\n\nPeserta mencapai usia pensiun;Peserta mengalami cacat total tetap; atauPeserta meninggal dunia.\n\nLalu, bagaimana dengan pekerja yang resign? Apakah pekerja yang resign tidak berhak menerima manfaat JHT?\n\nPenjelasan Pasal 26 ayat (1) PP 60/2015 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “mencapai usia pensiun” termasuk peserta yang berhenti bekerja, meliputi:\n\nPeserta mengundurkan diri;Peserta terkena pemutusan hubungan kerja (“PHK”);Peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.\n\nSehingga, pekerja yang mengundurkan diri atau resign tetap berhak menerima manfaat JHT.\n\nSelanjutnya, menjawab pertanyaan Anda mengenai BPJS Ketenagakerjaan bisa dicairkan setelah berapa lama resign, pada dasarnya pemberian manfaat JHT bagi peserta yang mengundurkan diri dapat dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 bulan terhitung sejak diterbitkan keterangan pengunduran diri dari pemberi kerja.\nKetentuan Pencairan BPJS Ketenagakerjaan\n\nUntuk pencairan JHT Ketenagakerjaan, ada beberapa ketentuan pencairan BPJS Ketenagakerjaan yang perlu Anda perhatikan:\n\nPencairan JHT ketenagakerjaan sebesar 10% dan 30% bisa dilakukan untuk pekerja yang masih bekerja dengan syarat kepesertaan BPJS sudah 10 tahun. Pencairan tersebut hanya boleh dipilih salah satu saja yaitu antara 10% atau 30%. Besaran 10% tersebut digunakan untuk dana persiapan pensiun dan 30% untuk biaya kepemilikan rumah.Sedangkan untuk mencairkan saldo JHT bagi peserta yang sudah resign atau di-PHK, jangka waktu pencairan saldo tersebut bisa dilakukan selama 1 bulan sejak waktu keluar dari perusahaan.\n\nJika berdasarkan peraturan pencairan BPJS Ketenagakerjaan, maka Anda bisa mencari tahu terlebih dahulu ketentuan di atas.\nSyarat Pencairan BPJS Ketenagakerjaan\n\nSetiap cairkan BPJS Ketenagakerjaan dengan besaran 10%, 30% hingga sekaligus 100% memiliki persyaratan yang berbeda-beda. Berikut adalah beberapa syarat pencairan BPJS Ketenagakerjaan 10% yang bisa Anda lengkapi:\n\nSyarat Pencairan BPJS Ketenagakerjaan 10%\n\nKartu Peserta BPJAMSOSTEK;E-KTP;Kartu Keluarga;Buku tabungan;Surat keterangan masih aktif pekerja dari perusahaan atau surat keterangan berhenti bekerja.\n\nSyarat Pencairan BPJS Ketenagakerjaan 30%\nKartu Peserta BPJAMSOSTEK;E-KTP;Kartu keluarga;Surat keterangan masih aktif pekerja dari perusahaan atau surat keterangan berhenti bekerja;Dokumen perbankan (tergantung dari peruntukannya dan diperoleh dari bank yang telah bekerja sama);Buku tabungan bank kerja sama pembayaran JHT 30% untuk kepemilikan rumah;NPWP (jika punya).\n\nSyarat Pencairan BPJS Ketenagakerjaan 100%\n\nKartu peserta BPJAMSOSTEK;E-KTP;Buku tabungan;Kartu keluarga;NPWP (jika ada)Surat keterangan berhenti bekerja, surat pengalaman kerja, surat perjanjian kerja, atau surat penetapan PHI untuk yang mengundurkan diri atau PHK;Surat keterangan pensiun untuk pekerja yang telah memasuki usia pensiun;Surat keterangan berhenti bekerja, surat keterangan cacat total tetap dari dokter yang merawat atau dokter penasihat bagi pekerja yang mengalami cacat total tetap.\nBagaimana Cara Mencairkan BPJS Ketenagakerjaan?\n\nSecara garis besar, terdapat 4 cara yang bisa Anda tempuh untuk mencairkan manfaat JHT BPJS Ketenagakerjaan, yakni dengan melakukan klaim JHT di kantor cabang, klaim di bank yang telah bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan, via aplikasi JMO, atau ikuti cara mencairkan BPJS Ketenagakerjaan online melalui Lapak Asik BPJS Ketenagakerjaan.\nCara Mencairkan BPJS Ketenagakerjaan di Kantor Cabang\n\nBegini cara mencairkan BPJS Ketenagakerjaan di kantor cabang:\n\nPastikan kamu membawa dokumen asli;Mengisi data formulir pengajuan Klaim Jaminan Hari Tua (JHT);Ambil antrian;Nomor antrian kamu akan dipanggil untuk wawancara;Setelah verifikasi dari wawancara berhasil, kamu akan menerima tanda terima;Proses selesai! Jangan lupa berikan penilaian kepuasan di e-survey;Tunggu hingga saldo JHT masuk di rekening.\nCara Mencairkan BPJS Ketenagakerjaan di Bank\n\nPastikan bahwa bank yang Anda datangi telah bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Jika akan mencairkan BPJS Ketenagakerjaan di bank, pada dasarnya cara yang dilakukan hampir sama dengan cara mencairkan BPJS Ketenagakerjaan di kantor cabang. Berikut prosedurnya:[13]\n\nDatang ke kantor cabang bank sesuai jam operasional layanan.Bawa dokumen fotokopi persyaratan klaim dan berkas asli untuk verifikasi.Petugas akan melakukan proses verifikasi berkas dan wawancara.Setelah proses selesai, manfaat JHT akan dikirim ke rekening yang telah Anda lampirkan di formulir.\nCara Mencairkan BPJS Ketenagakerjaan Online\n\nBegini cara mencairkan BPJS Ketenagakerjaan online:\n\nKunjungi laman Lapak Asik BPJS Ketenagakerjaan.Isi data diri Anda, berupa NIK, nama lengkap, dan nomor kepesertaan.Unggah semua dokumen persyaratan dan foto diri terbaru tampak depan dengan jenis file JPG/JPEG/PNG/PDF dengan ukuran file maksimal sebesar 6MB.Saat mendapat konfirmasi data pengajuan, klik simpan.Selanjutnya, Anda akan mendapat mendapat jadwal wawancara online yang dikirimkan melalui email Anda.Setelah itu, Anda akan dihubungi oleh petugas untuk verifikasi data melalui wawancara via video call.Setelah proses selesai, saldo JHT akan dikirimkan ke rekening yang telah Anda lampirkan di formulir.\nCara Mencairkan BPJS Ketenagakerjaan Secara Online via JMO\n\nSelain mencairkan melalui Lapak Asik BPJS Ketenagakerjaan, kamu juga bisa melakukannya melalui JMO atau Jamsostek Mobile. Cara mencairkan BPJS ketenagakerjaan online lewat handphone ini harus dengan melakukan pembaharuan data pada aplikasi JMO.\n\nBerikut cara pencairan BPJS ketenagakerjaan online:\n\nDownload terlebih dulu aplikasi JMO dan login menggunakan e-mail dan kata sandi yang sudah terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.Pilih menu “Pengkinian Data”.Selanjutnya akan muncul data mengenai kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Periksa data tersebut dan pilih “Sudah” jika semua datanya benar.Anda akan diminta melakukan verifikasi data meliputi biometrik wajah.Isi data berupa nomor handphone dan alamat email.Masukkan data mengenai NPWP dan rekening bank Anda.Selanjutnya, tampil data yang sudah dimasukkan ketika proses pengkinian data.Pilih “konfirmasi” jika semua data yang ditampilkan sudah benar dan proses pembaharuan data sudah selesai.Selanjutnya pilih “Jaminan Hari Tua” dan “Klaim JHT”Pilih alasan pengajuan klaim bila semua syarat yang dibutuhkan sudah terpenuhi.Setelah itu akan ada tampilan data kepesertaan. Pilih “selanjutnya” jika sudah selesai.Anda akan diminta untuk melakukan verifikasi wajah.Kemudian akan muncul saldo JHT dan pilih “selanjutnya”.Terakhir akan muncul tampilan konfirmasi untuk klaim JHTJika sudah sesuai pilih “konfirmasi” dan cara pencairan bpjs ketenagakerjaan online telah selesai.\n\nSebagai informasi tambahan, Anda dapat melakukan pengecekan status klaim di Lacak Klaim BPJS Ketenagakerjaan dengan memasukkan nomor kepesertaan atau NIK dan klik ‘Lacak Klaim Saya’.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ee0b09735304/undangundang-nomor-24-tahun-2011/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_24_2011)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/114/peraturan-pemerintah-nomor-14-tahun-1993/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_14_1993)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perubahan Kesembilan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52c5404ecab27?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_84_2013)\n7. [Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt559b653d0d770/peraturan-pemerintah-nomor-46-tahun-2015/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_46_2015)\n8. [Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt55d55325449f7?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_60_2015)\n9. [Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 4 Tahun 2022](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6268e38dc8689/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenaker_4_2022)\n10. [tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6268e38dc8689/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenaker_4_2022)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-X/2012.\n\nREFERENSI:\n1. Cara Klaim BPJS Ketenagakerjaan, yang diakses pada Senin, 13 Mei 2024, pukul 12.18 WIB\n2. Jamsostek Mobile, yang diakses pada Rabu, 15 Mei 2024 pukul 15.51 WIB\n3. Lapak Asik BPJS Ketenagakerjaan, yang diakses pada Senin, 13 Mei 2024, pukul 12.18 WIB\n4. Mencairkan Saldo Jaminan Hari Tua (JHT), yang diakses pada Rabu, 15 Mei 2024 pukul 15.51 WIB\n5. Lacak Klaim BPJS Ketenagakerjaan, yang diakses pada Senin, 13 Mei 2024, pukul 12.18 WIB."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan mengenai hal-hal apa saja yang harus ada dalam menyusun draf perjanjian? Apa saja poin penting yang harus diperhatikan dalam me-review perjanjian, mengingat dalam perjanjian antar perusahaan, klausul perjanjian selalu menjadi perdebatan antara legal officer masing-masing perusahaan."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Istilah perjanjian memiliki persamaan makna dengan kontrak yang merupakan pertukaran kepentingan yang menempatkan kewajiban pada masing-masing pihak yang terikat.\n\nPerjanjian merupakan sumber dari perikatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi:\nSuatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.\nBatasan ini telah berubah, sebagaimana diatur di dalam Pasal 213 Bab 5 Buku 6 Nieuw Burgerlijk Wetboek (“NBW”) yang berbunyi:[1]\n\nA contract in the sense of this title is a multilateral juridical act whereby one or more parties assume an obligation towards one or more other parties.\n\nPerbedaan dari kedua batasan tersebut adalah bahwa NBW memberikan penekanan kontrak merupakan perbuatan banyak pihak.\n\nAdapun, menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.[2]\n\nApabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan.[3]\n\nAturan-aturan umum mengenai hukum kontrak sampai saat ini masih mengacu pada Buku III KUH Perdata tentang perikatan sebagai sumber hukum utama. Beberapa perjanjian sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus, misalnya mengenai kontrak kerja konstruksi dalam UU 2/2017 dan perubahannya.\n\nDalam membuat suatu perjanjian, hal yang harus dipahami adalah latar belakang dibuatnya kontrak oleh para pihak, sehingga dapat dirancang suatu kontrak yang dapat melandasi hubungan para pihak sesuai dengan kepentingan masing-masing.\n\nUntuk itu, perlu mengenali dan memahami para pihak yang akan membuat perjanjian dan objek transaksi, yang selanjutnya dituangkan dalam garis besar transaksi serta dirumuskan dalam pokok-pokok kontrak.\n\nAda tiga tahapan dalam pembuatan kontrak yang harus diperhatikan yaitu tahap pre-contractual (adanya penawaran dan penerimaan), tahap contractual (adanya persesuaian pernyataan kehendak antara pihak yang mengadakan perjanjian), dan tahap post contractual (pelaksanaan perjanjian).\n\nBaca juga: Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi\nHal-hal yang Harus Diperhatikan Ketika Review Suatu Perjanjian\n\nJika Anda membuat suatu perjanjian perjanjian, ada cara review perjanjian dengan memperhatikan 4 hal berikut:\n\nKenali jenis perjanjian yang dibuat\n\nHal ini dapat dilakukan dengan melihat judul dan menemukan unsur esensialia perjanjian. Misalnya, objek suatu perjanjian adalah rumah. Jika di dalam perjanjian tidak dijumpai klausul mengenai penyerahan atau peralihan kepemilikan rumah, hanya ada klausul tentang jangka waktu, maka perjanjian tersebut tentunya bukan perjanjian jual beli rumah melainkan perjanjian sewa menyewa rumah.\n\nIdentifikasi para pihak dalam perjanjian\n\nHal ini dapat dilakukan dengan memastikan kecakapan para pihak dengan berpedoman pada syarat kecakapan yang berlaku. Indikator syarat kecakapan untuk subjek hukum orang yaitu usia 18 tahun,[4] sedangkan untuk badan hukum dengan melihat kewenangan para pihak yang melakukan perwakilan.\n\nTabulasi klausul-klausul dalam perjanjian\n\nHal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi unsur esensialia, unsur naturalia, dan unsur aksidentalia untuk memastikan semua kepentingan para pihak telah tertuang dalam perjanjian secara lengkap.\n\nBaca juga: Unsur-Unsur dan Tahapan Pembentukan Kontrak\n\nNegosiasi ulang terkait hal yang perlu untuk disepakati kembali\n\nHal ini dapat dilakukan dengan memberikan komentar yang berisi tawaran kembali mengenai kepentingan-kepentingan para pihak dalam kontrak lainnya. Apabila terdapat benturan, maka yang dapat dilakukan adalah menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.\n\nEmpat hal tersebut dapat dilakukan oleh masing-masing pihak untuk memastikan isi dalam perjanjian telah sesuai. Bila kontrak sudah berjalan, maka perubahan kontrak dapat dilakukan sepanjang terbentuk atas dasar kesepakatan bersama yang dituangkan dalam adendum kontrak.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Perkawinan)\n3. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014/undang-undang-nomor-16-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_16_2019)\n4. [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19754/undangundang-nomor-30-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_30_2004)\n5. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e61d0707fe3/undang-undang-nomor-2-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2014)\nREFERENSI:\n1. Atharyanshah Puneri. Comparison of the Law of Contract Between Islamic Law and Indonesian Law. Journal of Law and Legal Reform, Vol. 2 No. 1, 2021\n2. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005.\n\n[1] Atharyanshah Puneri. Comparison of the Law of Contract Between Islamic Law and Indonesian Law. Journal of Law and Legal Reform, Vol. 2 No. 1, 2021, hal. 73[2] Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 1.[3] Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 3.[4] Pasal 47 jo. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa maksud dari ketentuan Pasal 94 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang bunyinya, upah pokok 75% dari upah pokok dan tunjangan tetap? Undang-undang mana saja yang terkait dengan pasal ini? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Komponen Upah\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami komponen upah terdiri dari apa saja. Komponen upah dapat terdiri atas:[1]\n\nupah tanpa tunjangan;upah pokok dan tunjangan tetap;upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap; atauupah pokok dan tunjangan tidak tetap.\nDalam PP Pengupahan, penjelasan mengenai komponen upah di atas hanya disebutkan mengenai apa itu upah tanpa tunjangan, yaitu sejumlah uang yang diterima oleh pekerja/buruh secara tetap tanpa adanya tambahan tunjangan. Contoh: A menerima upah Rp3 juta sebagai upah bersih (clean wages). Besaran upah tersebut utuh digunakan sebagai dasar perhitungan hal-hal yang terkait dengan upah seperti tunjangan hari raya, upah lembur, pesangon, iuran jaminan sosial, dan lain-lain.[2]\n\nSementara itu, dalam UU Ketenagakerjaan, dijelaskan tentang tunjangan tetap adalah pembayaran kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi tertentu.[3]\nPersentase Minimal Upah Pokok\nSelanjutnya, untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai persentase upah pokok, hal tersebut diatur di dalam Pasal 81 angka 35 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 94 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi sebagai berikut.\n\nDalam hal komponen Upah terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap.\n\nLebih lanjut, dalam PP Pengupahan diatur mengenai persentase upah berdasarkan komponen upah sebagai berikut.[4]\n\nUpah pokok + tunjangan tetap, maka upah pokok minimal 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.Upah pokok + tunjangan tetap + tunjangan tidak tetap, maka upah pokok minimal 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.\n\nSementara persentase besaran upah pokok dalam komponen upah untuk jabatan tertentu dapat diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[5] Yang dimaksud dengan jabatan atau pekerjaan tertentu adalah jabatan yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, dan pengendali jalannya perusahaan antara lain jabatan pada supervisor, manajer, dan ahli dengan besaran upah paling sedikit sebesar batas paling tinggi upah untuk dasar perhitungan iuran jaminan pensiun.[6]\n\nBerdasarkan ketentuan di atas, apabila upah pekerja terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap atau upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap, maka rumus upah pokok dari komponen upah haruslah sebagai berikut.\n\nUpah yang diterima (100%) = upah pokok (minimal 75%) + tunjangan tetap (maksimal 25%)\n\nJadi, besaran persentase upah pokok tidak boleh kurang dari 75% dari total jumlah upah yang diterima.\nContoh\n\nSebuah perusahaan X memberlakukan upah dengan komponen yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap. A yang bekerja di perusahaan X memperoleh upah sebesar Rp5 juta/bulan dengan komponen:\n\nUpah pokok: Rp3.750.000Tunjangan tetap: Rp1.250.000\n\nContoh perhitungan komponen upah di atas dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan karena upah pokoknya adalah 75% dari upah yang seharusnya diterima oleh pekerja (upah pokok dan tunjangan tetap).\n\nDemikian jawaban dari kami tentang persentase minimal upah pokok, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322fc0d665f/peraturan-pemerintah-nomor-36-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_36_2021)\n[1] Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”)[2] Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf a PP Pengupahan[3] Penjelasan Pasal 81 angka 35 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Penjelasan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan[4] Pasal 7 ayat (2) dan (3) PP Pengupahan[5] Pasal 7 ayat (5) PP Pengupahan[6] Penjelasan Pasal 7 ayat (5) PP Pengupahan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin mendirikan CV dan mendaftarkannya secara resmi. Apakah ada dampaknya terhadap hukum bila belum didaftarkan secara resmi? Apa syarat mendirikan CV dan berapa biayanya? Ke lembaga mana yang berhak mengesahkan pendirian CV saya tersebut? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul yang sama yang dibuat oleh Bung Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 02 September 2004 , kemudian dimutakhirkan pertama kali pada 14 Maret 2016. KLINIK TERKAIT Catat! Ini 6 Perbedaan CV dan PT 15 Nov 2023 Mau Dirikan Kantor Advokat? Ini Pilihan Badan Usahanya 17 Jun 2021 CV Wajib Taat Aturan Perpajakan Ini! 03 Jun 2021 CV Wajib Taat Aturan Perpajakan Ini! 03 Jun 2021 Bolehkah CV Menjadi Perusahaan Outsourcing ? 05 Mar 2021 Apa Itu CV dan Aturan Pendiriannya Mulanya, ketentuan, prosedur dan syarat mendirikan Commanditaire Vennootschap (“CV”) diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”) . Seiring dengan perkembangan zaman, ketentuan yang berkaitan dengan pendirian CV atau yang dikenal juga dengan Persekutuan Komanditer telah mengalami banyak perubahan, di antaranya melalui Permenkumham 17/2018 . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dalam Pasal 1 angka 1 Permenkumham 17/2018 dinyatakan bahwa Persekutuan Komanditer atau CV adalah persekutuan yang didirikan oleh satu atau lebih sekutu komanditer dengan satu atau lebih sekutu komplementer, untuk menjalankan usaha secara terus menerus. Prosedur Pendirian CV Permohonan pendaftaran pendirian CV diajukan oleh pemohon kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Menteri”) melalui Sistem Administrasi Badan Usaha (SABU). [1] Namun permohonan tersebut harus didahului dengan pengajuan nama CV. [2] Berikut ini kami jelaskan langkah-langkahnya dari awal: Pengajuan Nama CV Permohonan pengajuan nama CV ditujukan kepada Menteri melalui SABU. [3] Nama CV yang diajukan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: [4] Ditulis dengan huruf latin; Belum dipakai secara sah dengan CV lain dalam SABU; Tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan; Tidak sama atau tidak mirip dengan lembaga negara, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional kecuali mendapat izin dari lembaga yang bersangkutan; dan Tidak terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf, atau rangkaian huruf yang tidak membentuk kata. Pengajuan nama dilakukan dengan mengisi Format Pengajuan Nama, [5] yang paling sedikit memuat nomor pembayaran persetujuan pemakaian nama CV dari bank persepsi dan nama CV yang dipesan. [6] Menyambung pertanyaan Anda soal biaya, permohonan pengajuan nama CV dikenai biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. [7] Persetujuan Nama oleh Menteri Selanjutnya Menteri dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas pemakaian nama CV tersebut secara elektronik. Jika mendapatkan persetujuan Menteri maka pemakaian nama CV berlaku untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari. [8] Permohonan Pendaftaran Pendirian CV Setelah mendapatkan persetujuan pemakaian nama CV, proses berikutnya adalah permohonan pendaftaran pendirian CV. Permohonan tersebut harus diajukan oleh pemohon melalui SABU paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian CV ditandatangani . Permohonan dilakukan dengan cara mengisi Format Pendaftaran. Perlu diperhatikan, apabila pendaftaran pendirian CV dilakukan melebihi jangka waktu yang ditentukan maka pemohon tidak dapat mengajukannya kepada Menteri . [9] Pengisian Format Pendaftaran juga harus dilengkapi dokumen pendukung yang disampaikan secara elektronik, yaitu berupa: [10] Pernyataan secara elektronik dari pemohon yang menyatakan bahwa dokumen untuk pendaftaran CV telah lengkap; dan Pernyataan dari korporasi mengenai kebenaran informasi pemilik manfaat CV. Selain menyampaikan pernyataan tersebut, pemohon juga harus menggugah akta pendirian CV. [11] Selanjutnya pemohon wajib mengisi pernyataan secara elektronik yang menyatakan Format Pendaftaran dan keterangan mengenai dokumen pendukung telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta pemohon bertanggung jawab penuh terhadap Format Pendaftaran dan keterangan tersebut. [12] Perlu diketahui, seperti halnya pengajuan nama CV, pendaftaran CV juga dikenai biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. [13] Penerbitan SKT Setelah semuanya diproses, Menteri akan menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) CV pada saat permohonan diterima, yang disampaikan kepada pemohon secara elektronik. [14] SKT tersebut wajib ditandatangani dan dibubuhi cap jabatan oleh Notaris serta memuat frasa yang menyatakan “Surat Keterangan Terdaftar ini dicetak dari Sistem Administrasi Badan Usaha”. [15] Perizinan Berusaha Selanjutnya Anda dapat melengkapi dokumen lain yang dibutuhkan CV menjalankan aktivitas bisnisnya seperti NPWP dan perizinan berusaha. Untuk perizinan berusaha, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PP 5/2021 perizinan berusaha berbasis risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala kegiatan usaha meliputi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UMK-M”) dan/atau usaha besar. Masing-masing tingkat risiko memiliki perizinan berusaha yang berbeda. Apabila kegiatan usaha yang Anda jalani masuk dalam tingkat risiko rendah maka perizinan berusahanya cukup menggunakan Nomor Induk Berusaha (NIB) saja. [16] Baca Juga: 3 Hal Utama Seputar Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (OSS RBA) Sebagai tambahan informasi, saat ini ada beberapa dokumen yang sudah tidak digunakan lagi sebagai persyaratan untuk mendirikan perusahaan. Di antaranya adalah Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU) yang tidak dapat diterbitkan lagi berdasarkan SE Mendagri 503/6491/SJ Tahun 2019 . Selain itu, Tanda Daftar Perusahaan (TDP) juga sudah tidak digunakan sebagai salah satu dokumen persyaratan pendirian perusahaan hal ini berdasarkan Pasal 116 UU Cipta Kerja yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU 3/1982 yang mengatur tentang wajib daftar perusahaan. Terkait pertanyaan Anda mengenai dampak jika CV Anda belum didaftarkan secara resmi, kami kurang menangkap maksud Anda. Namun jika yang Anda maksud adalah belum melakukan pendaftaran pendirian CV, maka salah satu dampaknya adalah Anda tidak bisa mengurus dokumen legalitas lainnya seperti perizinan berusaha. Jika tidak ada dokumen legalitas, akan sulit untuk mengembangkan bisnis Anda. Misalnya, hambatan untuk membuka rekening bank atas nama CV Anda serta hambatan untuk bermitra dengan perusahaan lain . Jika mengalami kesulitan untuk mendirikan perusahaan dan mengurus perizinannya, silakan kontak Easybiz di [email protected] untuk solusi terbaik pendirian perusahaan dan perizinan berusaha yang legal dan tepat. Baca Juga: Prosedur dan Syarat Pendirian CV Berdasarkan Aturan Terbaru Demikian jawaban Kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Perdata Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 503/6491/SJ Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di Daerah [1] Pasal 3 Permenkumham 17/2018 [2] Pasal 4 Permenkumham 17/2018 [3] Pasal 5 ayat (1) Permenkumham 17/2018 [4] Pasal 5 ayat (2) Permenkumham 17/2018 [5] Pasal 5 ayat (3) Permenkumham 17/2018 [6] Pasal 5 ayat (4) Permenkumham 17/2018 [7] Pasal 6 ayat (1) Permenkumham 17/2018 [8] Pasal 9 Permenkumham 17/2018 [9] Pasal 10 Permenkumham 17/2018 [10] Pasal 12 ayat (1) dan (2) Permenkumham 17/2018 [11] Pasal 12 ayat (3) Permenkumham 17/2018 [12] Pasal 13 Permenkumham 17/2018 [13] Pasal 11 ayat (1) Permenkumham 17/2018 [14] Pasal 14 ayat (1) dan (2) Permenkumham 17/2018 [15] Pasal 14 ayat (4) Permenkumham 17/2018 [16] Pasal 12 ayat (1) PP 5/2021 akta otentik hukumonline persekutuan perdata hukum klinik perusahaan klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Why is death penalties not implemented right away? What are the reasons for the delay in death penalties?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "The death penalty or capital punishment is one of the main punishments sentenced by judges to convicted persons who have obtained permanent legal force.[1] It means, the requirement for the execution of capital punishment is the existence of a court decision that already has permanent legal force. In relation to when a court decision obtains permanent legal force, it can be read in the article entitled When Does a Court Decision Have Permanent Legal Force?\n\nUpon a court decision that has become legally binding, a convicted person has the right to submit a request for a judicial review to the Supreme Court[2] on the basis as regulated in Article 263 section (2) Criminal Procedure Code, one of which is a new situation or novum. However, the time period to discover a novum itself is uncertain.[3]\nBesides the judicial review, a convicted person is also entitled to apply for clemency or pardon in the form of an application for amendment, mitigation, reduction, or abolishment of the execution of the sentence, given by the President.[4]\n\nAccording to Article 3 Law 22/2002, the execution of the death penalty cannot be carried out or postponed/delayed until a decision is made by the president on the petition for clemency from the convicted person.\n\nThis is also affirmed in Law 1/2023 on the Criminal Code which will entry into force 3 years from the date of its promulgation[5] which is in 2026, that the petition for clemency basically does not postpone the implementation of criminal decisions, except in the case of capital punishment decisions.[6] The death penalty may only be carried out after the President rejects the petition for clemency.[7]\n\nFor information, a clemency petition may only be submitted once upon a legally binding court decision[8] and is not limited to a certain time period.[9]\n\nThe time period limit for the submission of clemency petitions according to the Decision of the Constitutional Court Number 107/PUU-XIII/2015 eliminates the constitutional rights of convicted persons, specifically death row inmates. Therefore, the provision of Article 7 section (2) Law 2/2022 on the limitation of the submission of clemency petitions, does not have binding legal force. However, in consideration of the Constitutional Court, the prosecutor as the executor of the death penalty needs to ask the convicted person or his/her family whether the right to apply for clemency will be used or not, so that there is no delay in the execution of the death penalty (p. 79 and p. 81).\n\nTherefore, even though there is a court decision that has become legally binding, the execution of the death penalty cannot be carried out immediately considering that the convicted person has the right to take legal efforts for judicial review and clemency for an indefinite or unspecified period.\nReasons for Pregnant Convicted Persons\n\nThe reason for the subsequent postponement/delay of the execution of the death penalty is that the death row inmate in question is pregnant. This is referred to in Article 7 Stipulation of the President 2/1964 namely:\n\nIf the convicted person is pregnant, then the implementation of the death penalty can only be carried out forty days after the birth of the child.\n\nBased on this provision, the execution of capital punishment will not be carried out if the death row inmate is pregnant.\n\nIt is also regulated under Law 1/2023 that the implementation of the death penalty for pregnant women, women who are breastfeeding their babies, or mentally ill persons, is postponed until said women give birth, no longer breastfeed their babies, or mentally ill people are cured.[10]\nReasons for the Fulfillment of the Convicts’ Right to the Last Request\n\nThe delay of the execution of death penalties may also be carried out due to other factors, namely the request of the convicts. In Article 6 section (2) Stipulation of the President 2/1964, it is said that if the convicted person wants to state something, then the information or message is received by the High Prosecutor/Prosecutor.\n\nBased on these provisions, the convicted person has the opportunity to make a final request, for example, the convicted person wants to meet his/her family, while his/her family is sick so he/she asks for time and this request must be fulfilled.\nReasons for the Probation of Death Penalty Under Law 1/2023\n\nAs additional information, under the provisions of Law 1/2023, to impose the death penalty, judges must include a death sentence with a probationary period of 10 years by taking into account the defendant's remorse and hope for improvement, or the role of the defendant in the criminal act in court decisions. The 10-year probationary period begins the day after the court's decision becomes final and binding.[11]\n\nIf during the probation period, the convicted person shows a commendable attitude and action, then the death sentence may be changed to life imprisonment by Decree of the President after obtaining consideration from the Supreme Court. However, if the convicted person does not exhibit commendable attitudes and actions and there is no hope of reparation during the probation period, then the death penalty may be carried out on an order from the Attorney General.[12]\n\nThus, the new Criminal Code or Law 1/2023 provides for the postponement/ delay of the execution of the death penalty with a probationary period of 10 years.\n\nEnrich your legal research with the latest bilingual legal analysis, as well as the collection of regulatory translations integrated into Hukumonline Pro, click here to learn more.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nStipulation of the President Number 2 of 1964 on the Procedures for the Execution of Death Penalty Imposed by the Court within the Public/General and Military JurisdictionLaw Number 8 of 1981 on the Criminal Procedure Code;Law Number 22 of 2002 on Clemency as amended by Law Number 5 of 2010 on the Amendment of Law Number 22 of 2002 on Clemency;Law Number 1 of 2023 on the Criminal Code;Regulation of the Chief of Indonesian National Police Number 12 of 2010 on the Procedure of Death Penalty.\n\nCourt Decision:\n\nDecision of the Constitutional Court Number 107/PUU-XIII/2015.\n\n[1] Article 1 number 3 Regulation of the Chief of Indonesian National Police Number 12 of 2010 on the Procedure of Death Penalty (“Regulation of the Chief of Indonesian National Police 12/2010”).[2] Article 263 section (1) Law Number 8 of 1981 on the Criminal Procedure Code (“Criminal Procedure Code”).[3] Decision of the Constitutional Court Number 107/PUU-XIII/2015, p. 79.[4] Article 1 number 1 Law Number 22 of 2002 on Clemency (“Law 22/2002”).[5] Article 624 Law Number 1 of 2023 on the Criminal Code (“Law 1/2023”).[6] Article 62 section (1) Law 1/2023.[7] Article 99 section (1) Law 1/2023.[8] Article 2 section (1) and (3) Law Number 5 of 2010 on the Amendment of Law Number 22 of 2002 on Clemency (“Law 5/2010”).[9] Decision of the Constitutional Court Number 107/PUU-XIII/2015, p. 81.[10] Article 99 section (4) Law 1/2023.[11] Article 100 section (1), (2), and (3) Law 1/2023.[12] Article 100 section (4) and (6) Law 1/2023."
} |
{
"from": "human",
"value": "What is the impact of the 4.0 industrial revolution on the law in Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "The 4.0 industrial revolution, according to Astrid Savitri, is the fourth industrial era since the first industrial revolution in the 18th century. The era of revolution is characterized by a combination of technologies that combine the boundaries between the physical, digital and biological fields, or collectively referred to as the cyber-physical system.[2]\nIn the 4.0 industrial revolution, humans are very dependent on communication technology, namely communication in the form of artificial intelligence (\"AI\") and the internet of things (\"IoT\").[3] In addition, the 4.0 industrial revolution has led to an era in which technology has brought humans into the world of tangible virtuality, which will fundamentally change the pattern of life and the way they work, both nationally and internationally. Furthermore, the 4.0 industrial revolution emphasizes several patterns, such as the digital economy, artificial intelligence, big data, and robotics.[4]\n\nThe characteristics of the 4.0 industrial revolution are:[5]\n\nRobots are used as a basis which is connected to the internet in a shared network, and this is referred to as the early part of the 4.0 industrial revolution as the internet of things;Technological advances create new sensors and ways to utilize information that is recorded over a 24-hour period;A new phenomenon in the form of loss of privacy or personal life, since all human movements and activities can be monitored in the control center;Cloud computing system, namely a system in a computer that can perform complex calculations;Machine learning, namely machines that are capable of learning, are aware that they have made mistakes and make appropriate corrections in order to improve the results.\nAlso read: Artificial Intelligence in the Legal Industry, Welcoming the Future of Law without Judges and Lawyers?\nLegal Basis of 4.0 Industrial Revolution in Indonesia\n\nEssentially, the law moves dynamically along with the development of the live of the sociely. Thus, the law must be able to provide room for change. This is known as the adage of tempora mutantur, nos et mutamur en illis.[6]\n\nThe development target of the 4.0 industrial revolution is the empowerment of information technology resources. Without a good legal information and communication system, the legal substance will be difficult to be accessed by the public and its validity will be criticized.[7]\n\nThe Indonesian government has a program known as Making Indonesia 4.0, which is preparing Indonesia to face the 4.0 industrial revolution. The legal basis for the implementation of this program are:[8]\n\nPresidential Regulation 18/2020\n\nUnder this regulation, the implementation of the 4.0 industrial revolution is stipulated as a major project of the 2020-2024 National Medium-Term Development Plan. This Presidential Regulation is translated into Annual Government Work Plans in order to secure the support of Ministries/Agencies and budgeting programs.\n\nPresidential Regulation 74/2022\n\nUnder this regulation, the 10 (ten) priority strategies for Making Indonesia 4.0 will become the basis for the 2020-2024 Industrial Development Plan Direction. The development of 7 (seven) priority industrial sectors in Making Indonesia 4.0 is included in chapter IV of the Stages of Prioritized Industrial Development Outcomes.\n\nRegulation of the Minister of Industry 21/2020\n\nThis regulation regulates the measurement of industrial readiness in transforming towards 4.0 industry.\n\nRevised Draft of Government Regulation 14/2015\n\nIn this revised draft, the substance of Making Indonesia 4.0 is added to the substance of the National Industry Development Master Plan.\n\nThe Indonesian government has also issued several regulations and policies in order to support and encourage the 4.0 industrial revolution program, namely:[9]\n\nGovernment Regulation 5/2021Presidential Regulation 33/2012Presidential Regulation 39/2019Presidential Instruction 3/2003\nDevelopment of the 4.0 Industrial Revolution in Indonesia\n\nIndonesia is a country with the 4th (fourth) largest workforce in the world, namely 104 million workers. Improving the quality of the workforce will undoubtedly have an impact on increasing productivity which will also have an impact on economic growth. Labourers in Indonesia have a big role in the achievement of Making Indonesia 4.0 activities. Based on data from the Ministry of Industry, until 2021 there have been several achievements of Making Indonesia 4.0, namely:[10]\n\n838 industries have conducted INDI4.0 self-assessments;45 industries have been awarded INDI4.0;There are 5 Lighthouse Industries (2 Global Lighthouse Network industries and 3 National Lighthouse industries);108 industries have attended industry 4.0 mentoring;There are 8 capability centers (1 digital capability center for industry 4.0, 4 satellite capability centers, and 3 learning factories);A total of 2,171 people participated in the development of industrial 4.0 Human Resources in the form of training, technical guidance and certification;There are 13,183 Small and Medium Industries (Industri Kecil Menengah/ “IKM”) that have undergone training with e-commerce, and 4,600 Small and Medium Industries participated in the e-smart IKM webinar;Since 2018, 723 startups have participated in the Startup4industry program and have produced 73 finalists and 35 implementation projects;The ratification of Regulation of the Minister of Industry 21/2020 on the measurement of industrial readiness level in transforming towards 4.0 industry.\nLegal Challenges in Facing the 4.0 Industrial Revolution\n\nThe 4.0 industrial revolution also raises new challenges in the legal aspect, one of which is legal certainty over the ease of doing business in this era, for example:\n\nAuthentic Notarial Deed\n\nThe authentic notarial deed has the power of outward proof and the strength of formal and material evidence which is the strongest and most complete evidence. The proving power of the notarial deed will be faced with the challenge of digitization relating to the use of computers in the era of the 4.0 industrial revolution.\n\nThis issue requires further study, namely the extent to which the authority of a notary and the process of making a notarial deed can use the internet network in order to still fulfill its authentic nature and have perfect evidentiary power.\n\nCybernotary\n\nCybernotary is a concept that utilizes technological advances in carrying out the duties and authorities of a notary. Digitization of documents is a challenge for notaries, especially in relation to the authentication and legalization of documents.\n\nElectronic Transactions and Signatures\n\nElectronic transactions in the 4.0 industrial revolution implement modern business, for example, agreements are carried out with the non-face method or without presenting the perpetrator physically, and non-sign i.e. not using original/wet signatures, as well as paperless or without the use of paper.[11] Moreover, especially during the COVID-19 pandemic, almost everything has been transformed digitally. One of them is the signature system. This is a legal challenge in determining the validation of electronic signatures. In addition, if applied in court technicalities, it is necessary to regulate whether the electronic signature system is legal or not.[12]\n\nAlso read: Government and INI Discuss the Concept of Cyber Notary\nLegal Advice in Facing the Challenges of the 4.0 Industrial Revolution\n\nFurthermore, we will explain some of the legal advices in facing the 4.0 industrial revolution, which has brought developments and changes in various fields, one of which is the law. Thus, this development needs to be regulated by law as law-making, and it is necessary to enforce the law as law enforcement.[13]\n\nThe development of legal materials in facing the challenges of the 4.0 industrial revolution is also important, one of which is the renewal and establishment of new legal products that reflect the values of Pancasila and the 1945 Constitution. Therefore, the Indonesian government must continuously evaluate laws and regulations, for example, those relating to modern industry, namely trade law.[14]\n\nAccording to Liona Nanang Supriatna, Lecturer and Dean of the Faculty of Law at Universitas Katolik Parahyangan, the challenges for the legal aspect in the 4.0 industrial era are legal information systems and legal communications that are quickly connected to the internet as well as the use of artificial intelligence or AI.\n\nFurthermore, Liona explained that with internet and AI connectivity, the law will be easily accessed by the public and even assessed for its validity, which in turn will shape the legal culture, so that the law is not left behind with the latest technological developments. All regulations must be made based on the understanding of the internet of things which is the main characteristic of the 4.0 industrial revolution. For this reason, it is very important for the Indonesian government that the legal aspects of artificial intelligence or AI continue to be reviewed in order to remain in accordance with the values of Pancasila and the 1945 Constitution.\n\nAlso read: Are the Faculty of Law and the Law Profession in Indonesia Relevant in the Vortex of the Industrial Revolution 4.0?\n\nIn conclusion, the development of the 4.0 industrial revolution does not only have an impact on the economic and industrial sectors, but also an impact on the legal aspect.[15] There are several legal challenges in facing the 4.0 industrial revolution, for instance, relating to data, deeds, transactions, and electronic signatures.\n\nTo deal with these challenges, several legal advices are provided, namely the development of legal materials, the establishment of legal products, and the evaluation of laws and regulations, as well as the review of artificial intelligence laws which are in line with the values of Pancasila and the 1945 Constitution.\n\nAlso read: Patents and the Industrial Revolution 4.0\n\nAre you confused about determining the relationship between your articles and business obligations, as well as the applicability of the regulations? Know your company's legal obligations and sanctions under an integrated platform with Hukumonline Regulatory Compliance System, click here to learn more.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find it useful.\n\nLegal Basis:\n\nThe 1945 Constitution of the Republic of Indonesia;Law Number 30 of 2004 on Position of Notary as amended by Law Number 2 of 2014 on Amendment to Law Number 30 of 2004 Concerning the Position of Notary;Government Regulation Number 14 of 2015 on 2015-2035 National Industry Development Master Plan;Government Regulation Number 5 of 2021 on Implementation of Risk-Based Business Licensing;Presidential Regulation Number 33 of 2012 on National Legal Documentation and Information Network;Presidential Regulation Number 39 of 2019 on One Data Indonesia;Presidential Regulation Number 18 of 2020 on National Medium Term Development Plan for 2020-2024;Presidential Regulation Number 74 of 2022 on National Industrial Policy for 2020-2024;Regulation of the Minister of Industry Number 21 of 2020 on Measurement of Industrial Readiness Level in Transforming Towards 4.0 Industry;Presidential Instruction Number 3 of 2003 on Policy and National Strategy for E-Government Development.\n\nReferences:\n\nBenny Riyanto, Pembangunan Hukum Nasional di Era 4.0, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 9, No. 2, 2020;Choirul Fajri (et.al), Public Relations dan Periklanan: Menghadapi Revolusi Industri 4.0, Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta, 2019;Irena Relani (et.al), Pengaruh Revolusi Industri 4.0 terhadap Online Service Terminal Petikemas Koja Jakarta, Majalah Ilmiah Gema Maritim, Vol. 21, No. 2, 2019;Muhammad Akbar, Kepastian Hukum dalam Kemudahan Berusaha di Era Revolusi Industri 4.0 Terkait dengan Profesi Notaris, Jurnal Ilmiah Penelitian/Law Jurnal, Vol. 1, No. 2, 2021;Soesi Idayanti, Pembangunan Hukum Bisnis dalam Perspektif Pancasila Pada Era Revolusi Industri 4.0, Jurnal Jurisprudence, Vol. 9, No. 1, 2019;Andi Rizaldi, Expert Staff to the Minister of Business Climate and Investment at the Ministry of Industry, which was delivered during the presentation session of the Hukumonline Compliance Talks Webinar #5: Industry 4.0, the Benchmark of Indonesia's Future Industry, which was held on Friday, 1 July 2022, at 14.30 West Indonesian Time (zone).\n\nNB:\n\nWe have conducted an interview with the Lecturer and Dean of the Faculty of Law of Parahyangan Catholic University, Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum. via WhatsApp on Friday, July 1 2022 at 22:44 Central Indonesian Time (zone).\n[1] Muhammad Akbar, Kepastian Hukum dalam Kemudahan Berusaha di Era Revolusi Industri 4.0 Terkait dengan Profesi Notaris, Jurnal Ilmiah Penelitian/Law Jurnal, Vol. 1, No. 2, 2021, p. 117.[2] Irena Relani (et.al), Pengaruh Revolusi Industri 4.0 terhadap Online Service Terminal Petikemas Koja Jakarta, Majalah Ilmiah Gema Maritim, Vol. 21, No. 2, 2019, p. 121.[3] Choirul Fajri (et.al), Public Relations dan Periklanan: Menghadapi Revolusi Industri 4.0, Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta, 2019, pp. 38-39.[4] Soesi Idayanti, Pembangunan Hukum Bisnis dalam Perspektif Pancasila Pada Era Revolusi Industri 4.0, Jurnal Jurisprudence, Vol. 9, No. 1, 2019, p. 94.[5] Muhammad Akbar, Kepastian Hukum dalam Kemudahan Berusaha di Era Revolusi Industri 4.0 Terkait dengan Profesi Notaris, Jurnal Ilmiah Penelitian/Law Jurnal, Vol. 1, No. 2, 2021, p. 118.[6] Benny Riyanto, Pembangunan Hukum Nasional di Era 4.0, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 9, No. 2, 2020, p. 162.[7] Benny Riyanto, Pembangunan Hukum Nasional di Era 4.0, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 9, No. 2, 2020, pp. 163.[8] Andi Rizaldi, Expert Staff to the Minister of Business Climate and Investment at the Ministry of Industry, which was delivered during the presentation session of the online Legal Compliance Talks Webinar #5: Industry 4.0, the Benchmark of Indonesia's Future Industry, which was held on Friday, 1 July 2022, at 14.30 West Indonesian Time (zone).[9] Benny Riyanto, Pembangunan Hukum Nasional di Era 4.0, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 9, No. 2, 2020, pp. 163 -164.[10] Andi Rizaldi, Expert Staff to the Minister of Business Climate and Investment at the Ministry of Industry, which was delivered during the presentation session of the Hukumonline Compliance Talks Webinar #5: Industry 4.0, the Benchmark of Indonesia's Future Industry, which was held on Friday, 1 July 2022, at 14.30 West Indonesian Time (zone).[11] Soesi Idayanti, Pembangunan Hukum Bisnis dalam Perspektif Pancasila Pada Era Revolusi Industri 4.0, Jurnal Jurisprudence, Vol. 9, No. 1, 2019, p. 95.[12] Andi Rizaldi, Expert Staff to the Minister of Business Climate and Investment at the Ministry of Industry, which was delivered during the presentation session of the Hukumonline Compliance Talks Webinar #5: Industry 4.0, the Benchmark of Indonesia's Future Industry, which was held on Friday, 1 July 2022, at 14.30 West Indonesian Time (zone).[13] Soesi Idayanti, Pembangunan Hukum Bisnis dalam Perspektif Pancasila Pada Era Revolusi Industri 4.0, Jurnal Jurisprudence, Vol. 9, No. 1, 2019, pp. 97-98.[14] Soesi Idayanti, Pembangunan Hukum Bisnis dalam Perspektif Pancasila Pada Era Revolusi Industri 4.0, Jurnal Jurisprudence, Vol. 9, No. 1, 2019, pp. 98-100.[15] Andi Rizaldi, Expert Staff to the Minister of Business Climate and Investment at the Ministry of Industry, which was delivered during the presentation session of the Hukumonline Compliance Talks Webinar #5: Industry 4.0, the Benchmark of Indonesia's Future Industry, which was held on Friday, 1 July 2022, at 14.30 West Indonesian Time (zone)."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mahasiswa hukum dan sedang mempelajari hukum tata negara. Di dalam hukum tata negara terdapat asas-asas yang perlu diketahui. Mohon pencerahannya, apa saja asas-asas hukum tata negara dan bagaimana penjelasannya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "None"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau pinjam di pinjaman online yang lebih gampang cairnya. Tapi takut kena pinjol ilegal. Pertanyaan saya, apa saja ciri-ciri pinjol legal yang aman? Mohon pencerahannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menjamurnya pinjaman online atau pinjol merupakan fenomena yang tidak dapat dipungkiri, mengingat layanan pinjol dapat memberikan dana segar yang dibutuhkan masyarakat dengan cepat dan syarat yang lebih sederhana.\nNamun demikian, agar tidak terjebak dengan pinjol ilegal yang tidak diawasi Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) dan tidak sesuai dengan standar pinjol dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, Anda perlu memahami ciri-ciri pinjol legal yang aman.\n\nKetentuan mengenai pinjol diatur di dalam POJK 10/2022 yang dikenal dengan istilah layanan pendanaan berbasis teknologi informasi (“LPBBTI”) yaitu layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi dana dengan penerima dana dalam melakukan pendanaan konvensional atau berdasarkan prinsip syariah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan internet.[1] LPBBTI ini juga disebut dengan peer to peer lending atau fintech lending atau pinjaman online.\nAdapun, ciri-ciri pinjol legal adalah sebagai berikut.\n\nMempunyai Izin dari OJK\n\nPasal 8 ayat (1) POJK 10/2022 yang menegaskan bahwa penyelenggara yang melaksanakan kegiatan usaha LPBBTI/pinjol harus terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari OJK. Artinya, pinjol legal adalah LPBBTI yang telah memperoleh izin usaha dari OJK.\n\nSelanjutnya, penyelenggara pinjol yang telah memperoleh izin usaha dari OJK wajib mengajukan pendaftaran sebagai penyelenggara sistem elektronik kepada instansi yang berwenang maksimal 30 hari kalender sejak diterbitkannya izin usaha dari OJK.[2]\n\nLantas, pinjol legal apa saja? Untuk mengetahui daftar pinjol legal atau yang berizin dari OJK, Anda dapat mengakses tautan Daftar Penyelenggara Fintech Berizin OJK. Dari laman tersebut Anda dapat mengetahui daftar pinjol ilegal dengan melihat mana saja penyelenggara pinjol yang berizin. Apabila terdapat aplikasi/website pinjol yang tidak terdaftar, maka otomatis pinjol tersebut ilegal.\nBerbentuk Perseroan Terbatas\n\nPinjol legal atau yang berizin, harus berbentuk badan hukum berupa perseroan terbatas dengan modal disetor minimal Rp25 miliar pada saat pendirian.[3] Selain itu, sumber dana penyertaan modal pinjol dilarang berasal dari kegiatan pencucian uang, pendanaan terorisme, pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal, dan kejahatan keuangan lain serta dilarang berasal dari pinjaman.[4]\n\nKetentuan mengenai bentuk badan hukum, kepemilikan, dan permodalan pinjol secara tegas diatur di dalam Pasal 2 s.d. Pasal 4 POJK 10/2022.\nKetentuan Penagihan\n\nBerbeda dengan penagihan pinjol ilegal yang cenderung bertentangan dengan hukum, penagihan yang dilakukan oleh pinjol legal harus sesuai dengan POJK 10/2022.\n\nMemberikan surat peringatan yang memuat informasi yaitu jumlah hari keterlambatan pembayaran, posisi akhir total pendanaan yang belum dilunasi atau pokok terutang, manfaat ekonomi, dan denda yang terutang.[5]Penyelenggara pinjol bisa kerja sama dengan pihak lain untuk menagih utang dengan syarat pihak lain tersebut berbadan hukum, punya izin dari instansi yang berwenang, penagih utang tersertifikasi dari lembaga sertifikasi profesi yang terdaftar di OJK, dan bukan afiliasi penyelenggara pinjol atau pemberi dana.[6]Penagihan harus dilaksanakan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.[7]\nBatas Maksimum Bunga\n\nBiasanya, pada penyelenggara pinjol ilegal, bunga dan denda yang dikenakan cenderung sangat tinggi dan tidak transparan. Sementara, pada pinjol legal, bunga dan denda harus sesuai dengan aturan.\n\nMelalui Lampiran III SK AFPI 002/2020 diterangkan bahwa pinjol dilarang menerapkan predatory lending atau praktik pemberian pinjaman yang mengenakan syarat, ketentuan, bungan, dan/atau biaya-biaya yang tidak wajar bagi penerima pinjaman, atau yang tidak memperhatikan kemampuan membayar kembali penerima pinjaman.\n\nLantas, berapa bunga maksimal pinjaman online? Dalam SK tersebut, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (“AFPI”) menetapkan total tingkat biaya keterlambatan baik dalam bentuk denda atau biaya lainnya tidak melebihi 0.8% per hari yang dihidtung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima.\n\nKemudian, pada tahun 2022, sebagaimana dikutip dari artikel Ini Batasan Maksimum per Hari Bunga Jangka Pendek Pinjaman Fintech menyebutkan OJK menetapkan bunga maksimum pinjol legal adalah 0.4% per hari untuk pinjaman jangka pendek.\n\nArtinya, pinjol legal bunga rendah dibanding dengan pinjol ilegal yang tidak mengikuti ketentuan bunga yang ditetapkan oleh AFPI/OJK.\nAsosiasi\n\nPenyelenggara pinjol ilegal tidak memiliki asosiasi dan tidak dapat menjadi anggota AFPI. Sementara, pinjol legal atau yang berizin di OJK wajin menjadi anggota AFPI.\nAFPI merupakan asosiasi resmi yang penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi yang ditunjuk oleh OJK. Hal ini ditegaskan oleh AFPI dalam tautan Tentang AFPI.\n\nUntuk mengetahui penyelenggara pinjol yang menjadi anggota AFPI, Anda dapat klik Anggota AFPI kemudian menuliskan nama penyelenggara pinjol di bagian pencarian. Selanjutnya, Anda akan mengetahui apakah penyelenggara pinjol tersebut terdaftar di AFPI atau tidak.\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami mengenai ciri-ciri pinjol legal, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nPeraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.\nREFERENSI:\n1. Surat Keputusan Pengurus Perkumpulan Fintech Pendanaan Bersama (“AFPI”) Nomor 002/SK/COC/INT/IV/2020 perihal Penetapan Peraturan Khusus Pedoman Perilaku AFPI Tahun 2020\n2. Anggota AFPI, yang diakses pada Senin, 20 Maret 2023 pukul 08.46 WIB\n3. Daftar Penyelenggara Fintech Berizin OJK, yang diakses pada Jumat, 17 Maret 2023 pukul 19.03 WIB\n4. Tentang AFPI, yang diakses pada Senin, 20 Maret 2023 pukul 08.13 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 10/2022”)[2] Pasal 8 ayat (2) POJK 10/2022[3] Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) POJK 10/2022[4] Pasal 4 ayat (3) POJK 10/2022[5] Pasal 102 ayat (1) dan (2) POJK 10/2022[6] Pasal 103 ayat (1) dan (3) POJK 10/2022[7] Pasal 104 ayat (1) POJK 10/202"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah semua benda dapat dijadikan jaminan utang?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Hak kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda dan merupakan hak perdata. Hak ini memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang atas suatu benda dan dapat dipertahankan. Hak kebendaan dapat dibedakan sebagai berikut:\n\nHak kebendaan yang memberikan jaminan (zakelijk zekenheidsrecht). Contohnya gadai, hipotek, hak tanggungan, dan fidusia.Hak kebendaaan yang memberikan kenikmatan (zakelijk genotsrecht). Contohnya hak milik dan bezit.[1]\nJaminan Umum dan Khusus\n\nJaminan adalah harta kekayaan debitur yang dijadikan suatu tanggungan kepada kreditur untuk menjamin pelaksanaan kewajibannya yaitu pemenuhan prestasi dalam suatu perikatan.[2]\n\nBerdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata, semua kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan, atau dengan kata lain sebagai bentuk jaminan umum.\n\nSelain jaminan umum, ada pula jaminan khusus yang dapat diberikan oleh debitur kepada kreditur, di mana krediturnya memiliki hak-hak tagihan yang sifatnya didahulukan (hak preferen).[3]\nAdapun jaminan khusus ini dibagi menjadi dua yaitu jaminan kebendaan (Pasal 1131 KUH Perdata) dan jaminan perorangan (Pasal 1820 s.d. Pasal 1850 KUH Perdata). Jaminan kebendaan dibagi dua yaitu jaminan benda bergerak dan tidak bergerak. Adapun salah satu contoh jaminan benda bergerak dapat berupa gadai sebagaimana tertera pada Pasal 1150 KUH Perdata. Sementara untuk jaminan benda tidak bergerak adalah hipotek sebagaimana tertera pada Pasal 1162 KUH Perdata.\nJenis Jaminan Kebendaan\nPengertian jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda yang mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya. Apabila debitur wanprestasi atas utangnya, objek jaminan tidak dapat dimiliki oleh kreditur, karena lembaga jaminan bukan bertujuan untuk memindahkan hak milik atas suatu barang.[4]\n\nAdapun ciri-ciri jaminan kebendaan antara lain:[5]\n\nMerupakan hak mutlak atas suatu benda;Dapat dipertahankan terhadap tuntutan oleh siapapun;Selalu mengikuti benda di tangan siapapun benda itu berada (droit de suite/zakaaksqevolg);Mengandung asas prioritas, yaitu hak kebendaan lebih dulu terjadi akan lebih diutamakan daripada yang terjadi kemudian (droit de preference).\n\nJenis dan contoh jaminan kebendaan antara lain dapat berupa:\n\nGadai\n\nKetentuan gadai diatur dalam Pasal 1150 s.d. Pasal 1160 KUH Perdata. Benda yang digadaikan harus diletakkan di bawah kekuasaan si berpiutang (kreditur) atau pihak yang disepakati. Ini berarti tidak mungkin barang tersebut adalah barang yang akan ada di kemudian hari. Contoh objek yang dapat digadaikan adalah perhiasan misalnya emas, berlian serta kendaraan bermotor.\nFidusia\n\nPasal 1 angka 2 UU Fidusia mengatur benda yang dapat dijadikan jaminan dalam fidusia adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak bewujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.\nJaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian.[6] Kemudian, kecuali jika diperjanjikan lain, jaminan fidusia juga meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia, serta meliputi klaim asuransi dalam hal objek jaminan fidusia diasuransikan.[7]\nPatut dicatat, fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa hak kepemilikan benda tersebut tetap pada penguasaan pemilik benda sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Fidusia. Contoh objek yang dapat dijaminkan fidusia adalah kendaraan bermotor.\n\nBaca juga: Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Jika Debitur Wanprestasi\nHak Tanggungan\nDiatur tersendiri dalam UU 4/1996 bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud UUPA berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Selengkapnya mengenai hak tanggungan dapat Anda baca dalam Hak Tanggungan sebagai Satu-Satunya Hak Jaminan atas Tanah.\nHipotek Kapal\nDiatur dalam Pasal 1162 s.d. Pasal 1232 KUH Perdata serta UU Pelayaran. Satu-satunya objek yang dapat dijadikan sebagai hipotek adalah kapal. Ini karena tanah yang dahulu dijaminkan dengan hipotek telah dijaminkan dengan hak tanggungan sejak adanya UU 4/1996. Hipotek diberikan kepada jaminan benda tidak bergerak. Objek hipotek adalah kapal dengan bobot 7 ton ke atas atau isi 20 m3.\nResi Gudang\nPerihal resi gudang diatur dalam UU 9/2006 dan perubahannya. Resi gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan pengelola gudang.[8] Setiap resi gudang yang diterbitkan hanya dapat dibebani satu jaminan utang.[9]\n\nSehingga dapat disimpulkan jenis-jenis jaminan kebendaan terdiri dari gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek kapal, dan resi gudang.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang jenis dan contoh jaminan kebendaan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/11822/undangundang-nomor-4-tahun-1996?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_1996)\n3. [Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17484/undangundang-nomor-42-tahun-1999/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_42_1999)\n4. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27983/undangundang-nomor-17-tahun-2008?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_17_2008)\n5. [Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/25745/undangundang-nomor-9-tahun-2006?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_9_2006)\n6. [Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4e5499c53fce5?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_9_2011)\nREFERENSI:\n1. Anisah Firdausi. Penerbitan Resi Gudang sebagai Jaminan Utang. Tesis. Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2017\n2. Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, Jakarta: Kencana, 2013Mariam Darus Badrulzaman. Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan. Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 11, 2000\n3. Rivaldo Marcello Kalley. Kedudukan Benda Tak Bergerak sebagai Jaminan dalam Perjanjian Kredit. Jurnal Lex Privatum, Vol. 11, No. 1, 2023\n4. Trisadini Prasastinah Usanti. Lahirnya Hak Kebendaan. Jurnal Perspektif, Vol. XVII, No. 1, 2012.\n\n[1] Trisadini Prasastinah Usanti. Lahirnya Hak Kebendaan. Jurnal Perspektif, Vol. XVII, No. 1, 2012, hal. 45[2] Mariam Darus Badrulzaman. Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan. Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 11, 2000, hal. 12[3] Rivaldo Marcello Kalley. Kedudukan Benda Tak Bergerak sebagai Jaminan dalam Perjanjian Kredit. Jurnal Lex Privatum, Vol. 11, No. 1, 2023, hal. 8[4] Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, Jakarta: Kencana, 2013, hal. 59[5] Anisah Firdausi. Penerbitan Resi Gudang sebagai Jaminan Utang. Tesis. Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2017, hal. 22[6] Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”)[7] Pasal 10 UU Fidusia[8] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang[9] Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah aturan hukum yang mengatur kewajiban seorang ayah kepada anaknya? Jika ada, tolong sebutkan apa kewajiban ayah itu. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Saat masih berada di rentang usia kategori “anak”, seorang anak dapat meminta orang tuanya memenuhi kewajibannya. Adapun makna dari orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, dan ayah dan/atau ibu angkat.[2]\n\nUU Perlindungan Anak dan perubahannya beserta UU PKDRT mengatur sejumlah kewajiban atau tanggung jawab ayah sebagai orang tua.\n\nAdapun 5 kewajiban ayah berdasarkan hukum adalah sebagai berikut.\n\nMengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.[3]Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.[4]Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.[5]Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.[6]Dilarang menelantarkan dan wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan anak.[7]\n\nDalam hal orang tua dan keluarga anak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab tersebut, seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.[8]\nLarangan Orang Tua Menelantarkan Anak\n\nAnak merupakan orang dalam lingkup rumah tangga yang perlu dirawat dan dipelihara oleh orang yang menjadi penanggung baginya, dalam hal ini adalah ayah. Oleh karena, itu, secara undang-undang, memberikan nafkah bagi anak adalah kewajiban ayah atau tugas seorang ayah yang wajib dilakukan.\n\nAdapun sanksi bagi seorang ayah yang tidak memenuhi kewajiban ayah yang melekat padanya untuk memberikan nafkah pada anaknya adalah pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.[9]\n\nSelain itu, UU 35/2014 juga mengatur larangan bagi setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.[10] Setiap orang yang melanggar ketentuan ini, dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.[11]\nDemikian jawaban dari kami terkait kewajiban ayah sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1974)\n2. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_16_2019)\n3. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17453/undangundang-nomor-23-tahun-2002?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_23_2002)\n4. [Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt548fdfd3a87d2/undang-undang-nomor-35-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_35_2014)\n5. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19748/node/18/uu-no-23-tahun-2004-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_23_2004)\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”)[2] Pasal 1 angka 4 UU 35/2014[3] Pasal 26 ayat (1) huruf a UU 35/2014[4] Pasal 26 ayat (1) huruf b UU 35/2014[5] Pasal 26 ayat (1) huruf c UU 35/2014[6] Pasal 26 ayat (1) huruf d UU 35/2014[7] Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”)[8] Pasal 33 ayat (1) UU 35/2014[9] Pasal 49 huruf a UU PKDRT[10] Pasal 76B UU 35/2014[11] Pasal 77B UU 35/2014"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa perbedaan kepailitan dan wanprestasi meskipun sama-sama mempunyai dua kreditur yang salah satunya jatuh tempo? Dan kapan orang dapat mengajukan kepailitan dan kapan wanprestasi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai perbedaan kepailitan dan wanprestasi, kami akan membahas terlebih dahulu mengenai apa itu kepailitan dan wanprestasi.\nPengertian kepailitan menurut Pasal 1 angka 1 UU KPKPU, yaitu sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam UU KPKPU.\n\nSementara, menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio kepailitan merupakan keadaan seorang debitur apabila ia telah menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan yang menghendaki campur tangan majelis hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para krediturnya.[1]\nAdapun, persyaratan pengajuan kepailitan adalah:[2]\n\ndebitur mempunyai dua atau lebih kreditur; dandebitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.\n\nDebitur yang memenuhi persyaratan tersebut dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.[3] Terkait dengan syarat kepailitan, dapat Anda baca selengkapnya di dalam artikel 2 Syarat Kepailitan dan Penjelasannya.\n\nDalam proses kepailitan, pihak-pihak yang terlibat antara lain debitur pailit, kreditur, kurator dan hakim pengawas pada Pengadilan Niaga[4] yang terdapat pada Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Semarang, Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Makassar.\n\nSelain itu juga dalam proses kepailitan melibatkan seluruh pihak yang menjadi kreditur. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) UU KPKPU yang mewajibkan semua kreditur menyerahkan piutangnya masing-masing kepada kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya Kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda.\n\nAdapun akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit yaitu debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.[5]\n\nApabila dalam proses pengajuan kepailitan tersebut tidak dapat dibuktikan fakta atau keadaannya secara sederhana yaitu fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar, sedangkan perbedaan jumlah utang yang didalilkan pemohon dan termohon pailit tidak menghalangi jatuhnya putusan pernyataan pailit,[6] maka terhadap semua utang yang dimiliki debitur dapat diajukan wanprestasi.\nPengertian Wanprestasi\n\nWanprestasi menurut Pasal 1238 KUH Perdata merupakan suatu keadaan dimana debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.\n\nMenurut M. Yahya Harahap, wanprestasi merupakan pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali.[7]\n\nPendapat tersebut diperkuat dengan Yurisprudensi MA No. 4/Yur/Pid/2018 yang menyatakan para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan, kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan iktikad buruk/tidak baik.\n\nBaca juga: Pengertian Wanprestasi, Akibat, dan Cara Menyelesaikannya\n\nSelanjutnya terkait syarat wanprestasi sebagaimana Pasal 1243 KUH Perdata yang menyatakan bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetapi lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukan hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.\n\nSehingga syarat wanprestasi dapat diuraikan sebagai berikut:\n\nTerdapat perjanjian yang mengikat para pihak;Terdapat salah satu pihak yang ingkar janji atau melanggar perjanjian tersebut;Para pihak telah dinyatakan lalai, namun tetap tidak memenuhi isi perjanjian.\n\nWanprestasi dapat berbentuk:[8]\n\nsama sekali tidak memenuhi prestasi;tidak tunai memenuhi prestasi;terlambat memenuhi prestasi;keliru memenuhi prestasi.\n\nDalam wanprestasi tidak diharuskan adanya minimal dua orang kreditur. Satu orang kreditur saja sudah cukup untuk mengajukan gugatan wanprestasi. Adapun gugatan wanprestasi dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri setempat.\n\nBerdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata, pihak dirugikan dapat memilih memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.\n\nAdapun pihak-pihak yang terlibat dalam proses persidangan wanprestasi hanya antara debitur dengan salah satu krediturnya sesuai ketentuan perjanjian atau perikatannya. Karena dalam suatu perkara wanprestasi, majelis hakim akan mempersilahkan para pihak untuk membuktikan dasar hukum dan fakta-fakta yang menyebabkan adanya gugatan wanprestasi tersebut.\n\nDalam perkara wanprestasi, kreditur lain di luar dari perjanjian atau perikatan yang menjadi dasar hukum gugatan tidak bisa ikut serta dalam persidangan tersebut. Hal ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan bahwa persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberikan keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 1317.\n\nAdapun akibat hukum jika majelis hakim pada Pengadilan Negeri setempat memberikan putusan wanprestasi, maka berdasarkan Pasal 1239 KUH Perdata debitur wajib memberikan penggantian biaya, kerugian, dan bunga.\n\nPerbedaan Kepailitan dan Wanprestasi\nFaktor PembedaKepailitanWanprestasiPengertianSita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.Kelalaian debitur untuk memenuhi perjanjian.SyaratAda dua atau lebih kreditur; danDebitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh dan dapat ditagih.Ada perjanjian yang mengikat para pihak;Salah satu pihak ingkar atau melanggar perjanjian;Telah dinyatakan lalai, namun tetap tidak memenuhi perjanjian. Dalam wanprestasi tidak disyaratkan ada 2 kreditur. Satu kreditur cukup untuk mengajukan gugatan.Pihak yang terlibatDebitur pailit, kreditur, kurator dan hakim pengawasDebitur dengan salah satu krediturnya sesuai dengan perjanjian.Kompetensi pengadilanPengadilan NiagaPengadilan NegeriAkibat hukumDebitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.Debitur wajib memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga.\n\nKemudian, menjawab pertanyaan Anda yang kedua kapan seseorang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan kapan mengajukan gugatan wanprestasi, berdasarkan penjelasan di atas, maka hal tersebut tergantung pada mekanisme/strategi yang ingin dilakukan kreditur dan pemenuhan syaratnya.\n\nSelain itu, disarikan dari artikel Wanprestasi dan Kepailitan, Mana yang Didahulukan? jika terdapat kondisi dimana gugatan wanprestasi dan permohonan pernyataan pailit dilakukan dalam waktu yang sama, apabila putusan pernyataan pailit belum dijatuhkan, maka seluruh perkara yang berjalan (wanprestasi dan kepailitan) dapat berproses secara bersamaan.\n\nNamun, apabila putusan pernyataan pailit sudah dijatuhkan, maka segala gugatan yang sedang berjalan terhadap debitur yang tujuannya adalah pemenuhan kewajiban dari harta pailit gugur demi hukum.\n\nDemikian jawaban dari kami mengenai perbedaan kepailitan dan wanprestasi, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/20144/node/19/uu-no-37-tahun-2004-kepailitan-dan-penundaan-kewajiban-pembayaran-utang?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_37_2004)\nYurispudensi:\n\nYurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 4/Yur/Pid/2018.\n\nREFERENSI:\n1. M. Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Cet. II, Bandung: Alumni, 1986\n2. Riduan Syahrani. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 1989\n3. Victor Situmorang & Soekarso. Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.\n\n[1] Victor Situmorang & Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta; Rineka Cipta, 1994, hal. 18.[2] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”)[3] Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU[4] Pasal 1 angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, angka 7, angka 8, UU KPKPU[5] Pasal 24 ayat (1) UU KPKPU[6] Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU dan penjelasannya[7] Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet. II, Bandung: Alumni, 1986, hal. 60.[8] Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 1989, hal. 228"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sebagai mahasiswa hukum saya sedang mencari referensi buku hukum tata negara. Mohon bantuannya untuk memberikan rekomendasi hukum tata negara yang dapat saya jadikan rujukan kuliah. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Pengertian Hukum Tata Negara Menurut Para Ahli 05 Okt 2023 Pengertian Konstitusi Menurut Para Ahli dan Secara Etimologis 09 Agt 2022 Perbedaan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara 08 Agt 2022 5 Asas-Asas Hukum Tata Negara dan Penjelasannya 04 Agt 2022 Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, kami sampaikan bahwa pengertian hukum tata negara menurut Jimly Asshidiqie adalah cabang ilmu hukum yang mempelajari tentang prinsip dan norma hukum praktek kenegaraan berkenaan dengan konstitusi, institusi kekuasaan negara beserta fungsinya, mekanisme hubungan antar institusi tersebut dan prinsip hubungan antara kekuasaan negara dan warga negara. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Adapun, ruang lingkup hukum tata negara menurut John Alder meliputi lembaga negara, hubungan antar cabang kekuasaan, pengisian jabatan dari cabang kekuasaan, pembatasan dan kontrol terhadap kekuasaan negara, dan prosedur amandemen konstitusi. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk mempermudah mempelajari hukum tata negara, kami merekomendasikan 5 buku hukum tata negara sebagai berikut: Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I ditulis oleh Jimly Asshiddiqie yang membahas tentang dasar-dasar dan teori seputar ilmu hukum tata negara. Buku ini terdiri dari 6 bab, yaitu pendahuluan, disiplin ilmu hukum tata negara, konstitusi sebagai objek kajian hukum tata negara, sumber hukum tata negara, penafsiran dalam hukum tata negara serta praktik hukum tata negara. Dari buku ini Anda dapat mempelajari hukum tata negara secara lebih global dan umum, dari sejarah hingga perbandingan dengan negara lain. Contohnya, di dalam Bab III, ketika membahas konstitusi, pertama-tama dijelaskan tentang sejarah konstitusi dari terminologi klasik, zaman Yunani Kuno, Romawi Kuno, Piagam Madinah, hingga modern. Masuk pembahasan konstitusi modern, buku ini memberikan contoh dan perbandingan konstitusi dengan negara lain. Hukum Tata Negara Indonesia Buku Hukum Tata Negara Indonesia (Edisi Revisi) ditulis oleh Ni’matul Huda membahas tentang hukum tata negara di Indonesia. Berbeda dengan buku sebelumnya yang lebih global, buku ini fokus pada pembahasan seluk beluk hukum tata negara di Indonesia. Buku ini terdiri dari 8 bab, yaitu pendahuluan, sumber hukum tata negara, asas-asas hukum tata negara, sejarah ketatanegaraan Indonesia, lembaga negara menurut UUD 1945, lembaga-lembaga negara independen, demokrasi Indonesia dan sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Tidak hanya membahas hukum tata negara pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 saja, melainkan buku ini juga membahas tentang sejarah perkembangan hukum tata negara sebelum masa amandemen UUD 1945. Misalnya, pembahasan tentang konstitusi di Indonesia dimulai dari berlakunya UUD 1945, konstitusi RIS, UUDS 1950, UUD 1945 pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga UUD 1945 pasca amandemen. Konstitusi & Konstitusionalisme Buku selanjutnya berjudul Konstitusi & Konstitusionalisme ditulis oleh Jimly Asshiddiqie membahas tentang konstitusi dan pembatasan kekuasaan. Pembahasan hukum tata negara tentu tidak lepas dari konstitusi. Semua konstitusi, menurut Jimly, selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian. Sehingga kekuasaan perlu diatur dan dibatasi. Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap sebagai corak umum dari materi konstitusi (hal. 17). Pembatasan dan pengendalian kekuasaan inilah yang disebut sebagai konstitusionalisme (hal. 20). Adapun menurut KBBI, konstitusionalisme adalah paham tentang pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui konstitusi. Buku ini secara garis besar membahas tentang konstitusi dan konstitusionalisme yang ditulis dalam 9 bab, di antaranya seperti prinsip penyelenggaraan negara, organ negara dan pemisahan kekuasaan, dan sebagainya. Baca juga: Pengertian Konstitusi dan Praktiknya dalam Ketatanegaraan Konstitusi-Konstitusi Modern Salah satu rekomendasi buku yang membahas konstitusi secara komprehensif adalah Konstitusi-Konstitusi Modern yang ditulis oleh K.C. Wheare . Buku ini dibagi menjadi 9 bab yang membahas pengertian, klasifikasi, isi, dan jenis-jenis amandemen konstitusi. Teori yang cukup populer dari K.C. Wheare adalah klasifikasi konstitusi. Misalnya konstitusi tertulis dan tidak tertulis, konstitusi berdasarkan cara amandemennya yakni kaku dan lentur serta konstitusi federal dan kesatuan. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi karya Jimly Asshiddiqie membahas tentang cabang kekuasaan negara yang dimanifestasikan dalam lembaga-lembaga negara. Buku ini terdiri dari 6 bab, di antaranya organisasi negara dan lembaga-lembaga negara, lembaga tinggi negara, lembaga konstitusional lainnya, lembaga negara lainnya, lembaga-lembaga daerah dan pentingnya konsolidasi kelembagaan negara. Dari 6 bab tersebut, lembaga negara di Indonesia dibahas secara komprehensif mulai dari posisi suatu lembaga, dasar hukum dan wewenangnya. Demikian jawaban dari kami tentang buku hukum tata negara, semoga bermanfaat. REFERENSI:\n1. Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006\n2. Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006\n3. Jimly Asshiddiqie. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2011\n4. K.C. Wheare. Konstitusi Konstitusi Modern. Bandung: Nusamedia, 2015\n5. Ni’matul Huda. Hukum Tata Negara Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Press, 2012\n6. Konstitusionalisme , yang diakses pada 15 Agustus 2022, pukul 21.05 WIB. anak hukum fakultas hukum hukum tata negara jurusan hukum kampus hukum kuliah hukum maba hukum mahasiswa hukum tata negara"
} |
{
"from": "human",
"value": "What are the sources of international law? According to Article 38 of the Charter of the International Court of Justice, what about the formal sources of international law? Thank you."
} | {
"from": "gpt",
"value": "According to Mochtar Kusumaatmadja, the source of law is the answer to the question of where we can find the law.[1] In the context of international law, the substance of international law can be sourced from state practice, the practice of international organizations, the practice of entities other than states, and the writings of international law experts.[2]\nJ.G. Starke uses the term material sources which is defined as the actual materials used by international law scholars to determine the law applicable to a particular situation. According to J.G. Starke, the sources of international law consist of:[3]\n\ncustom or international custom;treaties;decisions of courts or arbitral bodies;juridical or juristic works; anddecisions or decrees of organs of international organizations.\n\nMochtar Kusumaatmadja defines the sources of international law as a number of provisions contained in Article 38 paragraph (1) ICJ Statute, which consist of:[4]\n\ninternational conventions;international custom;general principles of law; andjudicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations.\nThe provisions of Article 38 paragraph (1) ICJ Statute, are as follows:\n\ninternational conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;international custom, as evidence of a general practice accepted as law;the general principles of law recognized by civilized nations;subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination\n\nIt is important to note that the sources of international law in the article above do not have a hierarchical connection.[5]\n\nTo continue answering your question about Article 38 of the Charter of the International Court of Justice or the ICJ Statute, it can be concluded that according to Article 38 of the Charter of the International Court of Justice, the formal sources of international law can be divided into international treaties, international custom, general principles of law, court decisions, and the teachings of the most prominent scholars from various countries. The following is a complete description of these sources of international law.\n\nFunction of International Conventions\n\nInternational treaties have a very important role in international law. International conventions have various other terminologies, such as treaties, international agreements, pacts, general acts, charters, statutes, declarations, and covenants.[6]\n\nInternational treaties serve as a means to enhance international cooperation. One of the advantages of international treaties compared to customary international law is that they are written, making it easier to prove compared to unwritten customary international law.[7]\n\nInternational treaty according to Article 2 paragraph (1) letter (a) 1969 Vienna Convention/VCLT 1969 is an international agreement concluded between States in written form and governed by international law.\n\nBased on the number of participants, international treaties can be divided into bilateral, trilateral, multilateral, regional, and universal.[8] Examples of international treaties are UNCLOS 1982, SUA Convention, ReCAAP, VCLT 1961, and others.\n\nInternational Custom/Customary of International Law\n\nAccording to Martin Dixon, customary international law is a law that develops from the practice or habits of states. Customary international law must be distinguished from custom (usage) or international courtesy (international community) or friendship. Welcoming state guests with special ceremonies, rolling out red carpets, garlanding flowers, blasting cannons, and blowing trumpets is not customary international law. Therefore, the non-performance of these actions by a state cannot be prosecuted as a violation of international law.[9]\n\nThe elements of customary international law include:[10]\n\nFactual element, meaning a common practice by states that is carried out repeatedly over a long period of time;psychological element (opinion jurissive necessitas), meaning that to test the existence of a customary law it is not enough just to look at the practice of countries, but it is necessary to know why the state is practicing like that. This must be followed by a belief in the state, that what they practice is an obligation or law that must be obeyed not just habitually.\n\nIn customary international law, there is the principle of persistent objector, meaning that it is still possible that there are some countries that are not bound by customary international law, or in other words reject customary international law continuously. Evidence of such objection or rejection must be clearly presented by a state.[11]\n\nGeneral Principles of Law\n\nGeneral principles of law are principles of law in general, which are not only limited to international law but also in civil law, criminal law, environmental law, and others. Some examples of general principles of law include:[12]\n\npacta sunt servanda;good faith;res judicata;nullum delictum nulla poena legenali;nebis in idem;retroactive;good governance;duty to cooperate;[13] etc.\nJudicial Decisions\n\nCourt decisions or court decisions in Article 38 paragraph (1) ICJ Statute are additional sources of law to the sources of law above. However, this does not mean that international court decisions have a lower position than the sources of law above them. Court decisions can stand on their own as the basis for decisions made by judges, and can be used to strengthen the sources of law above them. It should be noted that similar court decisions in similar cases can give rise to customary international law.[14]\n\nAn example is the 1952 Anglo-Norwegian Fisheries Case, where judges created a new provision in international law for the delimitation of the territorial sea by taking into account the geographical conditions of a region. Later, in the 1949 Reparation for Injuries Suffered in the Service of the UN case, judges created a new rule that the United Nations (\"UN\") as an organization could claim compensation under international law.[15]\n\nTeachings of the Most Highly Qualified Publicists\n\nAs for the teachings of the most eminent scholars, it should be noted that these teachings are also called juristic works or doctrines. These juristic works are not binding law, however, many of them have been of tremendous significance in the development of international law. For example, Gidel's opinion on additional zones at sea was followed by many scholars and eventually became customary international law. Later, Alfred Pedro's opinion on the concept of the common heritage of mankind became a recognized concept in the high seas zone and deep ocean seabed.[16]\n\nThis is our answer, hopefully, you find it useful.\n\nLegal Basis:\n\nStatute of the International Court of Justice, accessed on Thursday, 27 April 2023, at 16.35 Western Indonesian Time (zone);Vienna Convention on The Law of Treaties 1969, accessed on Thursday, 27 April 2023, at 16.45 Western Indonesian Time (zone).\n\nReference:\n\nAnthony Aust. Handbook of International Law. UK: Cambridge University Press, 2010;Atip Latipulhayat. Hukum Internasional: Sumber-Sumber Hukum. Yogyakarta: Sinar Grafika, 2021;Ekram Pawiroputro. Hukum dan Lembaga Internasional: Modul 1. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2016;G. Starke. Introduction to International Law: 7th Edition, London: Butterworths, 1972;James R. Crawford. Brownlie’s Principle of Public International Law: 8thEdition. Oxford: Oxford University Press, 2012;Malcolm N. Shaw. International Law: 8th Edition, UK: Cambridge University Press, 2017;Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta, 1982;Patricia Wouters. Dynamic Cooperation in International Law and the Shadow of State Sovereignty in the context of Transboundary Waters. Environmental Liability Journal, Vol. 04, 2013;Sefriani. Suatu Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010.\n\nCourt Decisions:\n\nAnglo-Norwegian Fisheries Case 1952, accessed on Thursday, 27 April 2023, at 16.00 Western Indonesian Time (zone);Reparation for Injuries Suffered in the Service of the UN 1949, accessed on Thursday, 27 April 2023, at 16.25 Western Indonesian Time (zone).\n\n[1] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Binacipta, 1982, p. 106[2] Atip Latipulhayat, Hukum Internasional: Sumber-Sumber Hukum, Yogyakarta: Sinar Grafika, 2021, p. 39[3] J.G. Starke, Introduction to International Law: 7th Edition, London: Butterworths, 1972, p. 34[4] Ekram Pawiroputro, Hukum dan Lembaga Internasional: Modul 1, Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2016, p. 34[5] Anthony Aust, Handbook of International Law, UK: Cambridge University Press, 2010, p. 6[6] Malcolm N. Shaw, International Law: 8th Edition, UK: Cambridge University Press, 2017, p. 69[7] Anthony Aust, Handbook of International Law, UK: Cambridge University Press, 2010, p. 6[8] Sefriani, Suatu Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010, p. 29[9] Sefriani, Suatu Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010, p. 41[10] Sefriani, Suatu Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010, pp. 42–45[11] James R. Crawford, Brownlie’s Principle of Public International Law: 8th Edition, Oxford: Oxford University Press, 2012, pp. 242-243[12] Sefriani, Suatu Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010, p. 49[13] Patricia Wouters, Dynamic Cooperation in International Law and the Shadow of State Sovereignty in the Context of Transboundary Waters, Environmental Liability Journal, Vol. 04, 2013, p. 143[14] Sefriani, Suatu Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010, p. 50[15] Sefriani, Suatu Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010, pp. 51[16] Sefriani, Suatu Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010, pp. 51–52"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja sumber hukum internasional? Bagaimana dengan sumber hukum formal internasional menurut Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pengertian Sumber Hukum Internasional\n\nMenurut Mochtar Kusumaatmadja, sumber hukum adalah jawaban atas pertanyaan di mana kita dapat menemukan hukum.[1] Dalam konteks hukum internasional, sumber hukum internasional dapat berasal dari praktik negara, praktik organisasi internasional, praktik entitas selain negara, dan tulisan para pakar hukum internasional.f[2]\n\nJ.G. Starke menggunakan istilah material sources yang diartikan sebagai bahan-bahan aktual yang dipergunakan para sarjana hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu situasi tertentu. Menurut J.G. Starke, sumber-sumber hukum internasional terdiri dari:[3]"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon penjelasannya tentang apa itu peraturan daerah dan lembaga apa yang berwenang membentuk peraturan daerah? Selain itu, bagaimanakah proses pembentukan peraturan daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh daerah yang terdiri dari provinsi dan kabupaten/kota.[1] Peraturan daerah dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama kepala daerah. Untuk peraturan daerah provinsi, dibentuk oleh DPRD provinsi dengan persetujuan bersama gubernur.[2] Sedangkan, peraturan daerah kabupaten atau kota dibuat oleh DPRD kabupaten/kota dengan persetujuan bersama bupati/walikota.[3]\nAdapun, materi muatan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota adalah materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah; dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[4]\n\nContoh peraturan daerah provinsi yaitu Perda Propinsi DKI Jakarta 8/2007 tentang ketertiban umum. Sedangkan contoh peraturan daerah kabupaten yaitu Perda Kabupaten Badung 5/2013 tentang retribusi pengendalian menara telekomunikasi.\nProses Pembentukan Peraturan Daerah\n\nUntuk menyederhanakan jawaban, kami akan bahas mengenai proses pembentukan peraturan daerah provinsi. Secara umum, mekanisme penyusunan peraturan daerah (“perda”) terbagi menjadi 5 tahap, yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan/pengesahan dan pengundangan.\nBaca juga: Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia\n\nPerencanaan\n\nPerencanaan penyusunan peraturan daerah provinsi dilakukan dalam Program Legislasi Daerah (“prolegda”) provinsi. Prolegda provinsi memuat program pembentukan peraturan daerah provinsi dengan judul rancangan peraturan daerah provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya.[5]\n\nMateri yang diatur merupakan keterangan mengenai konsepsi rancangan peraturan daerah provinsi yang meliputi:[6]\n\nlatar belakang dan tujuan penyusunan;sasaran yang ingin diwujudkan;pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; danjangkauan dan arah pengaturan.\n\nMateri yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah akademik.[7]\n\nDalam penyusunan prolegda provinsi, penyusunan daftar rancangan perda provinsi didasarkan atas:[8]\n\nperintah peraturan perundang-undangan lebih tinggi;rencana pembangunan daerah;penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; danaspirasi masyarakat daerah.\n\nHasil penyusunan prolegda provinsi antara DPRD provinsi dan pemerintah daerah provinsi disepakati menjadi prolegda provinsi dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD provinsi. Prolegda provinsi ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi.[9]\nSelain melalui prolegda, rancangan peraturan daerah juga dapat direncanakan penyusunannya dengan:\n\ndimuat dalam daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas akibat putusan Mahkamah Agung, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan perda provinsi yang dibatalkan, diklarifikasi, atau atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;[10]perencanaan penyusunan di luar prolegda, di mana pemrakarsa dapat mengajukan rancangan perda provinsi di luar prolegda provinsi berdasarkan izin prakarsa dari gubernur dengan syarat dalam keadaan tertentu seperti untuk mengatasi kejadian luar biasa seperti konflik atau bencana alam, akibat kerja sama dengan pihak lain dan keadaan tertentu lain yang urgen untuk membentuk perda dengan persetujuan bersama Balegda dan biro hukum.[11]\n\nPenyusunan\n\nRancangan perda provinsi dapat berasal dari DPRD provinsi atau gubernur.[12] Selain itu, rancangan perda provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.[13]\nRancangan perda provinsi disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik.[14]\n\nTahap penyusunan rancangan perda provinsi adalah sebagai berikut:\n\nPenyusunan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang memuat paling sedikit pokok pikiran dan materi muatan yang akan diatur di dalam perda provinsi yang disiapkan oleh pemrakarsa;[15]Biro hukum pemerintah daerah provinsi melakukan penyelarasan naskah akademik yang diterima satuan kerja perangkat daerah provinsi yang dilaksanakan dalam rapat penyelarasan dengan melibatkan pemangku kepentingan;[16]Gubernur memerintahkan pemrakarsa untuk menyusun rancangan perda provinsi berdasarkan prolegda provinsi dengan membentuk tim penyusun yang terdiri dari gubernur, sekda, pemrakarsa, biro hukum, satuan kerja perangkat daerah terkait dan perancang peraturan perundang-undangan;[17]Dalam penyusunan rancangan perda provinsi, tim penyusun dapat mengundang peneliti dan/atau tenaga ahli dari perguruan tinggi atau organisasi kemasyarakatan sesuai kebutuhan;[18]Rancangan perda provinsi yang telah disusun diberi paraf koordinasi oleh tim penyusun dan pemrakarsa;[19]Pengharmonisasaian, pembulatan dan pemantapan konsepsi yang dikoordinasikan oleh kepala biro hukum dan dapat melibatkan instansi vertikal dari kementerian bidang hukum;[20]Rancangan perda dibubuhi paraf persetujuan dari pemrakarsa dan pimpinan satuan kerja perangkat daerah provinsi dan disampaikan sekda kepada gubernur. [21]\n\nPembahasan\nPembahasan rancangan peraturan daerah provinsi dilakukan oleh DPRD provinsi bersama gubernur. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.[22]\n\nSecara lebih rinci, berikut tahapan pembahasan rancangan peraturan daerah provinsi:\n\nRancangan perda provinsi yang berasal dari gubernur disampaikan dengan surat pengantar kepada pimpinan DPRD Provinsi yang memuat latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran dan materi pokok yang diatur yang menggambarkan substansi rancangan perda;[23]Rancangan perda provinsi dari DPRD provinsi disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPRD provinsi kepada gubernur untuk dilakukan pembahasan yang memuat latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran dan materi pokok yang diatur serta menggambarkan substansi rancangan perda;[24]Pembicaraan tingkat I yang meliputi:[25]\nRancangan Perda Provinsi dari GubernurRancangan Perda Provinsi dari DPRD ProvinsiPenjelasan gubernur dalam rapat paripurna mengenai rancangan perdaPenjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Balegda, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat paripurna mengenai rancangan perdaPemandangan umum fraksi terhadap rancangan perdaPendapat gubernur terhadap rancangan perdaTanggapan dan/atau jawaban gubernur terhadap pemandangan umumTanggapan dan/atau jawaban fraksi terhadap pendapat gubernur\n\nPembicaraan tingkat II terdiri dari keputusan rapat paripurna yang didahului dengan laporan pimpinan komisi/gabungan komisi/panitia khusus yang berisi pendapat fraksi serta hasil pembahasan dan permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna dan diakhiri dengan pendapat akhir gubernur.[26]\n\nJika dalam pembicaraan tingkat II rancangan perda provinsi tidak dapat dicapai persetujuan melalui musyawarah, maka keputusan didasarkan pada suara terbanyak.[27]\n\nAdapun jika rancangan perda provinsi tidak mendapat persetujuan bersama antara DPRD provinsi dan gubernur, maka rancangan perda tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPRD Provinsi pada masa sidang itu.[28]\n\nPenetapan/Pengesahan\n\nRancangan perda provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD provinsi dan gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD provinsi kepada gubernur untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah provinsi. Penyampaian rancangan perda provinsi dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.[29]\n\nRancangan perda provinsi ditetapkan oleh gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak rancangan perda provinsi disetujui bersama oleh DPRD provinsi dan gubernur.[30]\n\nDalam hal rancangan perda provinsi tidak ditandatangani oleh gubernur dalam waktu paling lama 30 hari sejak rancangan perda provinsi tersebut disetujui bersama, rancangan perda provinsi tersebut sah menjadi peraturan daerah provinsi dan wajib diundangkan.[31]\n\nNaskah yang telah ditandatangani gubernur dibubuhi nomor dan tahun oleh sekda provinsi.[32] Adapun jika lebih dari 30 hari naskah tidak ditandatangani gubernur maka ditulis kalimat pengesahan oleh sekda provinsi yang berbunyi “Peraturan Daerah ini dinyatakan sah” di halaman terakhir naskah perda, yang kemudian dibubuhi nomor dan tahun oleh sekda provinsi.[33]\n\nPengundangan\n\nPeraturan daerah provinsi diundangkan dalam Lembaran Daerah oleh sekda.[34] Adapun penjelasan perda provinsi diundangkan dalam Tambahan Lembaran Daerah.[35] Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.[36]\nBaca juga: Status Kekuatan Hukum Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)\n\nDemikian jawaban dari kami tentang proses pembentukan peraturan daerah, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e573e59d0487/nprt/lt4d50fbec8b2ce/uu-no-12-tahun-2011-pembentukan-peraturan-perundang-undangan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_12_2011)\n2. [Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5da039a94937f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_15_2019)\n3. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62b01b9e7e96e/undang-undang-nomor-13-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2022)\n4. [Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt541021fe6cc4b/nprt/lt51ee13ce8e9ef/perpres-no-87-tahun-2014-peraturan-pelaksanaan-undang-undang-nomor-12-tahun-2011-tentang-pembentukan-peraturan-perundang-undangan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_87_2014)\n5. [Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt612c795e1b2cb?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_76_2021)\n6. [Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27283/node/629/perda-propinsi-dki-jakarta%5b%E2%80%A6%5dm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perda_DKI_8_2007)\n7. [Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 5 Tahun 2013 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/pd51035201301/peraturan-daerah-kabupaten-%5b%E2%80%A6%5d=internal_link_klinik&utm_campaign=perda_kab_bandung_5_2013)\n[1] Pasal 7 ayat (1) huruf f dan g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) jo. Pasal 1 angka 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 15/2019”)[2] Pasal 1 angka 7 UU 15/2019[3] Pasal 1 angka 8 UU 15/2019[4] Pasal 14 UU 12/2011[5] Pasal 32 dan Pasal 33 ayat (1) UU 12/2011[6] Pasal 33 ayat (2) UU 12/2011[7] Pasal 33 ayat (3) UU 12/2011[8] Pasal 35 UU 12/2011[9] Pasal 37 UU 12/2011[10] Pasal 33 jo. Pasal 40 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“Perpres 87/2014”)[11] Pasal 33 jo. Pasal 41 Perpres 87/2014[12] Pasal 56 ayat (1) UU 12/2011[13] Pasal 60 ayat (1) UU 12/2011[14] Pasal 56 ayat (2) UU 12/2011[15] Pasal 67 Perpres 87/2014[16] Pasal 68 Perpres 87/2014[17] Pasal 70 Perpres 87/2014[18] Pasal 71 Perpres 87/2014[19] Pasal 73 Perpres 87/2014[20] Pasal 74 dan Pasal 75 Perpres 87/2014[21] Pasal 76 Perpres 87/2014[22] Pasal 75 ayat (1), (2) dan (3) UU 12/2011[23] Pasal 94 jo. Pasal 95 ayat (1) Perpres 87/2014[24] Pasal 98 jo. Pasal 99 ayat (1) Perpres 87/2014[25] Pasal 104 huruf a dan b Perpres 87/2014[26] Pasal 105 Perpres 87/2014[27] Pasal 106 ayat (1) Perpres 87/2014[28] Pasal 106 ayat (2) Perpres 87/2014[29] Pasal 78 UU 12/2011[30] Pasal 79 ayat (1) UU 12/2011[31] Pasal 79 ayat (2) UU 12/2011[32] Pasal 117 ayat (3) Perpres 87/2014[33] Pasal 118 Perpres 87/2014[34] Pasal 86 ayat (1) UU 12/2011[35] Pasal 157 Perpres 87/2014[36] Pasal 87 UU 12/2011"
} |
{
"from": "human",
"value": "What is a legal system? And how many legal systems are there in the world?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "The legal system is open and can be influenced and affect other systems outside the law. Therefore, in legal systems, there are similarities and differences.[5] The following are some of the legal systems in the world that are often referred to as \"the world's major legal systems\"[6] among others:\n\nContinental European (Civil Law System)\n\nThis legal system adopted by Continental European countries is rooted and sourced from Roman law, which is called civil law. The use of civil law terminology is because Roman law comes from the work of King Justinianus, namely Corpus Juris Civilis.[7]\n\nCorpus Juris Civilis is a compilation of legal rules made at the direction of King Justinianus, containing a codification of laws derived from the decisions of previous kings, with additional modifications tailored to the social and economic conditions of that era.[8]\n\nThe characteristic of the Continental European legal system is that it prioritizes rechtsstaat or a state of law that has an administrative character and considers the law to be written. This means that the truth of law and justice lies in the written provisions. The civil law legal system is used in several countries, such as France, Germany, Italy, Switzerland, Austria, Latin America, Turkey, several Arab countries, North Africa and Madagascar.[9]\n\nAnglo Saxon (Common Law System)\n\nThe Anglo Saxon legal system is a legal system that developed in the 16th century in England. In the Anglo Saxon system, there is no standardized and written source of law as known in the civil law system.\n\nAccording to the common law system, the highest source of law is the custom of the community developed in court or has become a court decision. The source of law derived from this custom is what then makes this legal system called the common law system or unwritten law.[10]\n\nThe most specific difference between the common law system and the civil law system lies in the source of positive law, namely in the common law system the main source is the judge's decision or judge-made law. Whereas in the civil law system, the source of law is legislation.[11]\n\nSome countries that adhere to the common law or Anglo Saxon legal system are England, India, Afghanistan, Australia, Canada, Fiji, and others.[12]\n\nIslamic Legal System\n\nOne of the strongest characteristics of the Islamic legal system that distinguishes it from the Continental European and Anglo Saxon systems is the legal basis for its implementation which is based on the holy book of Islam and the teachings of the Prophet Muhammad's sunnah in the form of the Qur'an and al-Hadith.\n\nBased on the sunnah, Islamic law is a static law and it is impossible to make amendments as in the Continental European and Anglo Saxon systems. However, changes in Islamic law can be made by methods of interpretation based on scholarship in the Islamic legal tradition, such as through fiqh, ushul fiqh, ulumul hadith through the method of ijtihad that has been determined by scholars and jurists.[13]\n\nSocialist Legal System\n\nSocialist legal system is a legal system based on communist ideology. This system is more socialist-oriented, which lays the foundation on the ideology of the communist state with a spirit of minimizing private rights.\n\nIn addition, the state also regulates and distributes the rights and obligations of its citizens. Thus, in this legal system, personal interests are merged into common interests.\n\nSome countries that apply the Socialist Legal System are Bulgaria, Yugoslavia, Cuba, and the former colonies of the Soviet Union.[14]\n\nSub-Saharan Law (African Law System)\n\nThe African law system is a community-oriented legal system, in other words, all matters relating to the social solidarity of a community become mutually agreed upon rules of law to be implemented, adhered to and obeyed together.\n\nIn the sub-saharan legal system, all citizens are bound by the rules of their community. In countries that follow this system, customary rules have a very strong position and almost all legal content is a codification of customary rules.[15]\n\nFar East Law System\n\nThe main characteristic of the far east law system is that it emphasizes harmony and social order. This means that the system always seeks to strengthen harmony and social order, and dislikes the presence of open conflict. This is because open conflict tends to encourage the birth of disintegration and break down social order.\n\nAs a result, in this legal system, people avoid the legal litigation process and prefer to resolve conflicts through non-legal methods.[16] The Far East Asian legal system is practiced in Japan, Malta, the Philippines, Sri Lanka, Swaziland, and others.[17]\n\nBased on the previous explanation, it can be concluded that there are at least 6 systems that apply in the world, namely Continental Europe, Anglo Saxon, Islamic law, Socialist law, Sub-Saharan law, and Far East Asian law.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nReference:\n\nAgus Riwanto. Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016;C.S.T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986;Erick Christian Fabrian Siagian (et.al). Sejarah Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan Implementasinya di Indonesia. Jurnal Lex Specialis, Vol. 1, No. 1, 2021;Farihan Aulia (et.al). Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law, dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir. Jurnal Legality, Vol. 25, No. 1, 2017;Nurul Qamar. Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan. Makassar: Refleksi, 2010.\n\n[1] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, p. 71.[2] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, p. 71.[3] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, p. 84.[4] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, p. 84.[5] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, p. 72.[6] Nurul Qamar, Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan, Makassar: Refleksi, 2010, p. 16.[7] Erick Christian Fabrian Siagian (et.al). Sejarah Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan Implementasinya di Indonesia. Jurnal Lex Specialis, Vol. 1, No. 1, 2021, p. 45.[8] Erick Christian Fabrian Siagian (et.al). Sejarah Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan Implementasinya di Indonesia. Jurnal Lex Specialis, Vol. 1, No. 1, 2021, p. 46.[9] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, p. 74.[10] Farihan Aulia (et.al). Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law, dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir. Jurnal Legality, Vol. 25, No. 1, 2017, p. 103.[11] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, p. 77.[12] Nurul Qamar. Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan. Makassar: Refleksi, 2010, pp. 21-22.[13] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, p. 79.[14] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, p. 80.[15] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, p. 81.[16] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, p. 82.[17] Nurul Qamar. Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan. Makassar: Refleksi, 2010, p. 23."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa yang dimaksud dengan sistem hukum? Dan ada berapa sistem hukum di dunia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sistem hukum sifatnya terbuka dan dapat dipengaruhi serta mempengaruhi sistem lain di luar hukum. Oleh karena itu, dalam sistem hukum terdapat persamaan dan perbedaan.[5] Berikut beberapa sistem hukum di dunia yang kerap disebut sebagai “sistem hukum utama di dunia” atau the world’s major legal system,[6] antara lain:\n\nEropa Kontinental (Civil Law System)\n\nSistem hukum ini dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental yang berakar dan bersumber dari hukum Romawi, yang disebut dengan civil law. Penggunaan terminologi civil law adalah karena hukum Romawi berasal dari karya Raja Justinianus, yakni Corpus Juris Civilis.[7]\n\nCorpus Juris Civilis adalah kompilasi aturan hukum yang dibuat atas arahan Raja Justinianus, berisi kodifikasi hukum yang bersumber dari keputusan raja-raja sebelumnya, dengan tambahan modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi pada zaman itu.[8]\n\nCiri sistem hukum Eropa Kontinental adalah lebih mengutamakan rechtsstaat atau negara hukum yang memiliki berkarakter administratif dan menganggap hukum itu tertulis. Artinya, kebenaran hukum dan keadilan terletak pada ketentuan yang tertulis. Sistem hukum civil law digunakan di beberapa negara, seperti Prancis, Jerman, Italia, Swiss, Austria, Amerika Latin, Turki, beberapa negara Arab, Afrika Utara dan Madagaskar.[9]\nAnglo Saxon (Common Law System)\n\nSistem hukum Anglo Saxon adalah sistem hukum yang berkembang sejak abad ke-16 di Inggris. Dalam sistem Anglo Saxon, tidak dikenal sumber hukum baku dan tertulis sebagaimana dikenal dalam civil law system.\n\nMenurut common law system, sumber hukum tertinggi merupakan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan atau telah menjadi keputusan pengadilan. Sumber hukum yang berasal dari kebiasaan inilah yang kemudian menjadikan sistem hukum ini disebut common law system atau unwritten law, yang artinya hukum tidak tertulis.[10]\n\nPerbedaan paling spesifik antara common law system dan civil law system terletak pada sumber hukum positif, yakni dalam common law system sumber utama nya adalah putusan hakim atau judge made law. Sedangkan dalam civil law system, sumber hukumnya merupakan perundang-undangan.[11]\n\nBeberapa negara yang menganut sistem hukum common law atau Anglo Saxon adalah Inggris, India, Afghanistan, Australia, Kanada, Fiji, dan lain-lain.[12]\nSistem Hukum Islam\n\nSalah satu ciri khas terkuat dari sistem hukum Islam yang membedakan dengan sistem Eropa Kontinental dan Anglo Saxon adalah dasar hukum pelaksanaannya yang berlandaskan pada kitab suci agama Islam dan ajaran sunah Nabi Muhammad berupa al-Quran dan al-Hadits.\n\nBerdasarkan sunah, hukum Islam adalah hukum yang statis dan tidak mungkin dilakukan amandemen seperti pada sistem Eropa Kontinental dan dan Anglo Saxon. Namun, perubahan dalam hukum Islam bisa dilakukan dengan metode penafsiran berdasarkan pada keilmuan dalam tradisi hukum Islam, seperti melalui fikih, ushul fikih, ulumul hadis melalui metode ijtihad yang telah ditentukan ulama dan ahli fikih.[13]\nSistem Hukum Sosialis\n\nSistem hukum sosialis adalah sebuah sistem hukum yang didasari oleh ideologi komunis. Sistem ini lebih berorientasi sosialis, yakni meletakkan pondasi pada ideologi negara komunis dengan semangat pada minimalisasi hak-hak pribadi.\n\nSelain itu, negara juga menjadi pengatur dan pendistribusi hak serta kewajiban warga negaranya. Sehingga, pada sistem hukum ini kepentingan pribadi melebur dalam kepentingan bersama.\n\nBeberapa negara yang menerapkan Sistem Hukum Sosialis adalah Bulgaria, Yugoslavia, Kuba, dan negara-negara bekas jajahan Uni Soviet.[14]\nHukum Sub-Sahara (African Law System)\n\nAfrican law system adalah sistem hukum yang berorientasi pada komunitas, dalam arti lain semua hal yang berkaitan dengan solidaritas sosial dari suatu komunitas menjadi aturan hukum yang disepakati bersama untuk dijalankan, ditaati dan dipatuhi bersama.\n\nDalam sistem hukum sub-sahara, semua warga negara terikat dengan aturan komunitasnya. Dalam negara yang menganut sistem ini, aturan adat (customary rules) posisinya sangat kuat dan hampir semua isi hukumnya adalah kodifikasi dari aturan-aturan adat.[15]\nSistem Hukum Asia Timur Jauh (Far East Law)\n\nCiri utama dari far east law system adalah menekankan harmoni dan tatanan sosial. Artinya, sistem ini selalu berusaha untuk memperkuat harmoni dan tatanan sosial, dan tidak menyukai hadirnya konflik secara terbuka. Hal tersebut disebabkan karena konflik terbuka cenderung mendorong lahirnya disintegrasi dan memecah tatanan sosial.\n\nAkibatnya, dalam sistem hukum ini masyarakat menghindari proses litigasi hukum dan lebih memilih menyelesaikan konflik media non hukum.[16] Sistem hukum Asia Timur Jauh dipraktikkan di Jepang, Malta, Filipina, Sri Lanka, Swaziland, dan lainnya.[17]\n\nBerdasarkan paparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada 6 sistem yang berlaku di dunia, yakni Eropa Kontinental, Anglo Saxon, hukum Islam, hukum Sosialis, hukum Sub-Sahara, dan hukum Asia Timur Jauh.\nDemikian jawaban dari kami tentang sistem hukum sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nREFERENSI:\n1. Agus Riwanto. Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016\n2. C.S.T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986\n3. Erick Christian Fabrian Siagian (et.al). Sejarah Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan Implementasinya di Indonesia. Jurnal Lex Specialis, Vol. 1, No. 1, 2021\n4. Farihan Aulia (et.al). Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law, dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir. Jurnal Legality, Vol. 25, No. 1, 2017\n5. Nurul Qamar. Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan. Makassar: Refleksi, 2010.\n\n[1] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 71[2] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 71[3] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 84[4] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 84[5] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 72[6] Nurul Qamar, Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan, Makassar: Refleksi, 2010, hal. 16[7] Erick Christian Fabrian Siagian (et.al), Sejarah Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan Implementasinya di Indonesia, Jurnal Lex Specialis, Vol. 1, No. 1, 2021, hal. 45[8] Erick Christian Fabrian Siagian (et.al), Sejarah Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan Implementasinya di Indonesia, Jurnal Lex Specialis, Vol. 1, No. 1, 2021, hal. 46[9] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 74[10] Farihan Aulia (et.al), Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law, dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir, Jurnal Legality, Vol. 25, No. 1, 2017, hal. 103[11] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 77[12] Nurul Qamar, Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan, Makassar: Refleksi, 2010, hal. 21-22[13] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 79[14] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 80[15] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 81[16] Agus Riwanto, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 82[17] Nurul Qamar, Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan, Makassar: Refleksi, 2010, hal. 23"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dokumen apa yang menunjukkan bukti kepemilikan kendaraan bermotor dalam menjual/membeli kendaraan bermotor? Apakah STNK disebut sebagai bukti kepemilikan? Bagaimana hukumnya jual beli kendaraan yang hanya menggunakan STNK? Amankah?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Registrasi Kendaraan Bermotor\n\nPada prinsipnya, setiap kendaraan bermotor, termasuk sepeda motor, wajib diregistrasikan. Registrasi tersebut meliputi:\n\nRegistrasi kendaraan bermotor baru, mencakup:\n\nRegistrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pemiliknya;Penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (“BPKB”); danPenerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (“STNK”) dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (“TNKB/Plat Nomor”).\n\nRegistrasi perubahan identitas kendaraan bermotor dan pemilik;Registrasi perpanjangan kendaraan bermotor; dan/atauRegistrasi pengesahan kendaraan bermotor.\nRegistrasi kendaraan bermotor bertujuan untuk:\n\ntertib administrasi;pengendalian dan pengawasan kendaraan bermotor yang dioperasikan di Indonesia;mempermudah penyidikan pelanggaran dan/atau kejahatan;perencanaan, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas dan angkutan jalan; danperencanaan pembangunan nasional.\n\nPenerbitan dan pemberian BPKB, STNK, dan TNKB kepada pemilik kendaraan bermotor merupakan tanda bahwa kendaraan bermotor telah diregistrasi oleh kepolisian.\nJadi, berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerbitan dan pemberian BPKB, STNK serta TNKB kepada pemilik kendaraan bermotor merupakan tanda bahwa kendaraan bermotor telah diregistrasi oleh kepolisian. Dengan demikian, STNK bukanlah tanda/bukti kepemilikan kendaraan bermotor.\nDokumen Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor\nKarena STNK bukanlah bukti kepemilikan kendaraan bermotor, lantas apa yang menjadi bukti kepemilikan kendaraan bermotor itu? Untuk menjawabnya, kita perlu apa yang dimaksud dengan BPKB, STNK, dan TNKB berdasarkan Perkapolri 7/2021:\n\nBuku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) adalah dokumen pemberi legitimasi kepemilikan kendaraan bermotor (“ranmor”) yang diterbitkan Polri dan berisi identitas ranmor dan pemilik, yang berlaku selama ranmor tidak dipindahtangankan.Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) adalah dokumen yang berfungsi sebagai bukti legitimasi pengoperasian ranmor yang berbentuk surat atau bentuk lain yang diterbitkan Polri yang berisi identitas pemilik, identitas ranmor dan masa berlaku termasuk pengesahannya.Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) adalah tanda regident ranmor yang berfungsi sebagai bukti legitimasi pengoperasian ranmor berupa pelat atau berbahan lain dengan spesifikasi tertentu yang diterbitkan Polri.\n\nDari penjelasan tersebut, yang merupakan bukti kepemilikan sepeda motor adalah BPKB. Sedangkan STNK dan TNKB hanya berfungsi sebagai bukti legitimasi pengoperasian kendaraan bermotor. Jadi menjawab pertanyaan Anda, STNK tidak bisa dijadikan sebagai bukti kepemilikan sepeda motor, melainkan BPKB.\n\nMeski demikian, STNK dan TNKB wajib dilengkapi dan dibawa oleh pengemudi kendaraan bermotor. Hal ini penting sekali, sebab membawa kendaraan bermotor tanpa STNK dan TNKB merupakan tindak pidana lalu lintas sebagaimana diatur dalam Pasal 288 ayat (1) dan Pasal 280 UU LLAJ:\nPasal 288 ayat (1) UU LLAJ\n\nSetiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500 ribu.\nPasal 280 UU LLAJ\n\nSetiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500 ribu.\nPentingnya BPKB dalam Jual Beli Motor Bekas\n\nKarena BPKB berfungsi sebagai dokumen legitimasi kepemilikan suatu kendaraan bermotor, maka status keberlakuannya tergantung pada ada atau tidaknya pemindahan kepemilikan kendaraan bermotor, yang salah satunya dapat terjadi akibat jual beli, sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (1) UU LLAJ:\n\nBuku Pemilik Kendaraan Bermotor berlaku selama kepemilikannya tidak dipindahtangankan.\n\nDalam hal kepemilikan kendaraan bermotor beralih, misalnya dijual atau dihibahkan, atau buku registrasi hilang atau rusak, maka pemilik kendaraan bermotor wajib melaporkan kepada kepolisian. Pelaporan ini disampaikan kepada kepolisian di tempat kendaraan bermotor tersebut terakhir diregistrasi.\n\nSebagaimana diterangkan sebelumnya, kepemilikan kendaraan bermotor dapat beralih karena dijual. Secara hukum, perbuatan jual beli motor bekas ini mengacu pada Pasal 1457 KUH Perdata:\n\nJual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.\n\nJual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.\n\nAkan tetapi, perlu dicermati bahwa jual beli pada dasarnya ialah suatu persetujuan (perjanjian). Maka dari itu, supaya terjadi persetujuan/perjanjian yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat berikut:\n\nKesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;Suatu pokok persoalan tertentu;Suatu sebab yang tidak terlarang.\n\nDengan demikian, jual beli motor bekas atau mobil bekas tidak dapat hanya menggunakan STNK, karena fungsi STNK bukanlah sebagai bukti kepemilikan, tapi hanya sebagai bukti legitimasi suatu kendaraan bermotor beroperasi.\n\nJika jual beli motor bekas atau mobil bekas hanya menggunakan STNK, patut dicurigai ini merupakan modus penipuan atau kendaraan bermotor hasil curian, sebab terdapat risiko hukumnya yaitu kepemilikan sepeda motor bekas menjadi tidak terlegitimasi karena tidak ada BPKB. Untuk itu, guna mengantisipasi persoalan hukum di kemudian hari, kami menyarankan Anda meminta BPKB sebagai bukti kepemilikan dalam jual beli motor bekas, bukan hanya STNK.\n\nSelain itu, hal ini juga untuk menghindari risiko hukum yang mungkin terjadi, yakni menghindari kejahatan dalam jual beli motor bekas atau mobil bekas, salah satunya penipuan. Jika terjadi penipuan berarti telah terjadi suatu sebab yang terlarang, sehingga tidak memenuhi unsur persetujuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Ketika penipuan terjadi, maka penipuan tersebut dapat dijadikan dasar untuk membatalkan suatu jual beli motor bekas. Tetapi, pada praktiknya tidak semudah itu membatalkan suatu jual beli. Biasanya pelaku penipuan membawa kabur uang korban dan tidak mengembalikannya.\nTips Hukum Jual Beli Motor Bekas\n\nDalam rangka meminimalisir risiko hukum penipuan dari jual beli motor atau mobil bekas, berikut tips aman membeli kendaraan bekas menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI):\n\nPerhatikan dokumen kendaraan dan periksalah keasliannya\n\nDokumen kendaraan yang diperiksa yaitu STNK dan BPKB. Jika Anda ragu, mintalah informasi ke kepolisian. Cocokkan keterangan yang ada pada STNK, seperti warna kendaraan, nomor mesin, nomor rangka dan tahun pembuatan dengan kondisi fisik motor bekas atau mobil bekas.\n\nPerhatikan tahun pembuatan dan angka di speedometer\n\nPerhatikan tahun pembuatan kendaraan dan angka yang ada di speedometer, apakah wajar atau ada kejanggalan.\n\nCek mesin kendaraan\n\nJangan hanya memperhatikan kemulusan fisik kendaraan saja namun lakukan pengecekan mesin motor bekas atau mobil bekas. Jika awam, maka datanglah dengan teman yang tahu tentang mesin.\n\nUtamakan untuk membeli dari pemilik pertama, karena akan mengetahui track record kondisi kendaraan. Jika informasi kendaraan berasal dari iklan, tanyakan kepada pemasang iklan apakah dia mempunyai motor bekas lain yang dijual. Jika jawabnya ada motor yang lain, maka orang itu adalah makelar, bukan pemilik pertama.Hindari kendaraan yang masih menjadi jaminan kredit pada pihak ketiga.Jangan mudah tergiur dengan harga yang murah\n\nCarilah informasi harga pasaran dari motor bekas atau mobil bekas tersebut sebelum melakukan penawaran. Lakukan pembayaran dengan cara cash and carry. Jika pembayaran dengan transfer maka lakukanlah bersama-sama dan segera minta kendaraannya. Serta mintalah fotokopi tanda pengenal si pemilik yang masih berlaku, untuk keperluan balik nama kendaraan.\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686/burgerlijk-wetboek-kitab-undang-undang-hukum-perdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4a604fcfd406d/undangundang-nomor-22-tahun-2009/document)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e)\n4. [Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2021 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6110e249b8687)\nREFERENSI:\n1. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), diakses pada 18 Februari 2022, pukul 14.00 WIB."
} |
{
"from": "human",
"value": "Mengapa investor asing tertarik untuk berinvestasi di Indonesia? Dari sejumlah negara, apa potensi yang dimiliki Indonesia yang menjadi daya tarik investor asing?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Ini Aturan Pendirian PT PMA di Indonesia 19 Okt 2023 Status Perusahaan Joint Venture antara BUMN dan PT Swasta 13 Jun 2022 Penerapan Doktrin Business Judgment Rule di Indonesia 13 Apr 2022 Bisakah Yayasan Asing Membeli Gedung di Indonesia? 09 Des 2021 Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sebelumnya kami jelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan penanaman modal berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 25/2007 , penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Untuk membedah jawaban atas pertanyaan mengapa investor asing tertarik untuk berinvestasi di Indonesia? Menurut Prof Erman Rajagukguk , berbagai studi tentang penanaman modal asing menunjukkan bahwa motif suatu perusahaan menanamkan modalnya di suatu negara adalah mencari keuntungan. [1] Keuntungan tersebut diperoleh dari beberapa faktor di antaranya: Upah Buruh Murah Kebanyakan negara berkembang memiliki tenaga kerja yang melimpah dengan tingkat upah yang jauh lebih murah dibandingkan upah buruh untuk pekerjaan yang sama di negara-negara maju. [2] Dengan menanamkan modal di negara berkembang yang memiliki tenaga kerja yang melimpah, para investor dapat mengembangkan modalnya atau usahanya dengan ongkos atau biaya yang murah. [3] Dekat dengan Sumber Bahan Mentah Bahan mentah merupakan faktor yang sangat penting dalam proses produksi. Kebanyakan negara-negara maju memiliki bahan mentah yang sangat terbatas, sedangkan negara-negara berkembang memiliki bahan mentah yang belum dieksploitasi. [4] Untuk itu, negara-negara maju melakukan penanaman modal memindahkan industrinya ke negara-negara berkembang dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari dekatnya bahan mentah, dalam arti tidak perlu mengimpor bahan mentah yang memakan waktu dan biaya. [5] Menemukan Pasar yang Baru Negara-negara berkembang merupakan pasar yang sangat efektif untuk memasarkan hasil produksi dari negara-negara maju. Dengan adanya pasar baru akan membawa keuntungan tersendiri bagi negara penanam modal asing. [6] Jumlah penduduk yang sangat besar yang umumnya damai dan adaptif secara dinamis pada kemajuan merupakan salah satu potensi yang menjadi daya tarik bagi investor. [7] Royalti dari Alih Teknologi Penanaman modal asing, seringkali akan diikuti dengan alih teknologi . Teknologi pada awalnya dikuasai negara-negara maju dan pada perkembangan berikutnya dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang. Pada proses pemanfaatan ini lah terjadi transfer of technology . [8] Negara-negara maju melakukan transformasi teknologi dalam rangka melakukan sosialisasi budaya teknologi dan sekaligus untuk meningkatkan keuntungan finansial. Sedangkan negara berkembang berkenan menerima transformasi teknologi dalam rangka mempercepat pembangunan. [9] Penjualan Bahan Baku dan Suku Cadang Investor asing juga dapat memperoleh keuntungan dari penjualan bahan baku. Hal ini terkait dengan ciri negara berkembang yaitu belum dapat memproduksi bahan baku yang memadai yang dapat dijadikan barang jadi. Selain itu, penanaman modal asing juga memperoleh keuntungan dari penjualan suku cadang ( spare parts ). Investasi yang paling banyak berhubungan dengan suku cadang adalah di bidang industri otomotif. [10] Insentif Lain Faktor lain yang menarik investor adalah adanya insentif-insentif lain, tax holiday (pembebasan pajak). Akan tetapi, kebijakan tax holiday telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Dalam sejarah kebijakan penanaman modal Indonesia, tax holiday pernah diberikan pada tahun 1970-an. Fasilitas ini dicabut pada tahun 1980-an ketika terjadi reformasi perpajakan. [11] Hal ini dipengaruhi pendapat bahwa pemberian fasilitas tax holiday dinilai tidak adil karena yang dapat menikmati hanya sebagian pengusaha tertentu sedangkan pengusaha kecil yang jumlahnya sangat banyak tidak dapat menikmati dan malah memikul bebannya. Selain itu, pemberian tax holiday dianggap bukan merupakan peralatan yang ampuh untuk menarik minat para investor memasuki suatu industri, dan tax holiday terbukti bukan merupakan suatu kebijakan yang efektif dalam menarik investor asing. [12] Status Khusus Negara-negara Tertentu dalam Perdagangan Internasional Tujuan lain dari penanaman modal di luar negeri adalah karena status khusus negara-negara tertentu dalam perdagangan internasional. Misalnya, investor asing lebih tertarik membuka usaha di negara-negara berkembang yang masih mendapatkan status GSP ( Generalized System of Preferences ) dari negara maju. [13] Dengan demikian, ekspor dari negara-negara yang mempunyai status GSP tersebut lebih menguntungkan dari pada ekspor dari negara yang tidak memiliki lagi status GSP. [14] Baca juga: Mengenang Tokoh Inspiratif Mendiang Prof Erman Rajagukguk Jadi menjawab pertanyaan Anda, mengapa investor asing tertarik untuk berinvestasi di Indonesia? Ada beberapa faktor keuntungan yang menjadi motif investor asing untuk menanamkan modal di negara-negara berkembang seperti Indonesia yakni upah buruh yang murah, dekat dengan sumber bahan mentah, luasnya pasar yang baru, menjual teknologi, menjual bahan baku untuk dijadikan barang jadi, insentif untuk investor, dan status khusus negara-negara tertentu dalam perdagangan internasional. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja REFERENSI:\n1. Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Materi Kuliah\n2. Suparji. Pokok-Pokok Pengaturan Penanaman Modal di Indonesia . Jakarta: UAI Press, 2016. [1] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal , Materi Kuliah, hal. 1 [2] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal , Materi Kuliah, hal. 2 [3] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal , Materi Kuliah, hal. 2 [4] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal , Materi Kuliah, hal. 5 [5] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal , Materi Kuliah, hal. 5 [6] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal , Materi Kuliah, hal. 9 [7] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal , Materi Kuliah, hal. 9 [8] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal , Materi Kuliah, hal. 11 [9] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal , Materi Kuliah, hal. 10-11 [10] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal , Materi Kuliah, hal. 13 [11] Suparji. Pokok-Pokok Pengaturan Penanaman Modal di Indonesia . Jakarta: UAI Press, 2016, hal. 46-47 [12] Suparji. Pokok-Pokok Pengaturan Penanaman Modal di Indonesia . Jakarta: UAI Press, 2016, hal. 47 [13] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal , Materi Kuliah, hal. 18 [14] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal , Materi Kuliah, hal. 18 investasi investasi asing investor asing"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon sebutkan dan jelaskan asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara di Indonesia."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dipublikasikan pertama kali pada Senin, 18 Juli 2022. KLINIK TERKAIT 17 Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dan Penjelasannya 27 Jul 2023 Arti Asas Ius Curia Novit 21 Des 2022 5 Asas-Asas Hukum Tata Negara dan Penjelasannya 04 Agt 2022 Subjek Hukum yang Dapat Menggugat ke PTUN 18 Apr 2022 Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Sebelum menjawab pertanyaan Anda tentang asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara atau asas hukum acara PTUN, perlu dipahami tentang makna dari asas itu sendiri. Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip, jiwa atau cita-cita. Asas adalah dalil umum yang dinyatakan dengan istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Adapun asas hukum adalah prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum yang terdiri dari pengertian-pengertian atau nilai-nilai yang menjadi landasan atau titik tolak pemikiran tentang hukum. Asas hukum dapat disebut juga sebagai ratio legis dari peraturan hukum. [2] Asas dalam hukum acara peradilan tata usaha negara disusun dari berbagai sumber, baik dari asas dalam ilmu hukum ataupun asas hukum umum/khusus. Menurut para ahli, jumlah asas hukum acara peradilan tata usaha negara ini bervariasi. Misalnya Sjahran Basah menyebutkan 6 asas, Indroharto menyebutkan 5 asas, sedangkan SF Marbun 20 asas. [3] Adapun dalam artikel ini akan menyebutkan 7 asas yang khusus terkait asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara. Tujuh asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara ini kami rangkum dari buku SF Marbun berjudul Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif Indonesia dan Ridwan berjudul Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi. Adapun 7 asas hukum acara PTUN adalah sebagai berikut. 1. Asas Hakim Aktif Asas hakim aktif bermakna bahwa hakim tidak hanya menunggu dan terikat pada dalil-dalil yang disampaikan para pihak yang bersengketa. Asas ini didasarkan pada dua hal, yaitu untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak seimbang dan hakim dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil. [4] Perlu dipahami bahwa tergugat dalam sengketa tata usaha negara adalah pemerintah/administrasi yang dilekati dengan kekuasaan/kewenangan publik, exorbinate rechten atau hak istimewa serta monopoli van het physieke gewel atau monopoli paksaan fisik. Sedangkan penggugat adalah perorangan atau badan hukum perdata yang tidak memiliki kekuasaan/keistimewaan seperti tergugat. [5] Dengan demikian, untuk mengimbanginya, jika penggugat mengalami kesulitan untuk mendapatkan data yang diperlukan seputar keputusan tata usaha negara (“KTUN”), maka hakim dapat memerintahkan penjelasan kepada badan atau pejabat yang bersangkutan. 2. Asas Pembuktian Bebas Asas hukum acara peradilan tata usaha negara ini merupakan konsekuensi logis dari diterapkannya asas hakim aktif. Asas pembuktian bebas bermakna hakim tidak terikat dengan alat bukti yang diajukan oleh para pihak dan penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Selain itu, hakim juga dapat menguji aspek lain di luar sengketa. [6] 3. Asas Het Verdomen van Rechmatigheid atau Asas Presumptio Iustea Causa atau Asas Praduga Rechtmatig Asas hukum acara peradilan tata usaha negara ini menyatakan bahwa demi kepastian hukum, setiap keputusan tata usaha negara dianggap benar menurut hukum, sehingga dapat dilaksanakan terlebih dahulu sampai dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh hakim sebagai keputusan yang melawan hukum. [7] Artinya, jika KTUN tidak digugat atau masih dalam proses pemeriksaan di pengadilan, KTUN dianggap sah menurut hukum meskipun di dalamnya mengandung cacat hukum. [8] 4. Asas Pengujian Ex-tunc Asas pengujian ex tunc bermakna pengujian yang dilakukan oleh hakim hanya terbatas pada fakta-fakta atau keadaan hukum pada saat KTUN yang disengketakan itu dikeluarkan. Adapun perubahan fakta dan keadaan hukum tidak ikut dipertimbangkan. [9] Dengan penerapan asas pengujian ex tunc maka KTUN yang disengketakan dinyatakan batal dan berakibat tidak sah. Keputusan tersebut berlaku surut terhitung dari saat dikeluarkannya keputusan itu. Sehingga keadaan dikembalikan pada keadaan semula sebelum KTUN dikeluarkan. Artinya, akibat hukum yang ditimbulkan dari KTUN tersebut dianggap tidak sah dan tidak pernah ada. [10] Putusan hakim bersifat deklaratoir dan bukan konstitutif atau disebut putusan retroaktif. Sehingga putusan hakim tidak berisi pembatalan yang bersifat konstitutif. [11] 5. Asas Gugatan Tidak Menunda Pelaksanaan KTUN Dengan berlakunya asas praduga rechtmatig sebagaimana disebut di atas, berdampak pada gugatan yang diajukan kepada hakim tidak mempengaruhi pelaksanaan KTUN. Artinya suatu KTUN akan tetap dijalankan meski ada gugatan atasnya. [12] Namun demikian, KTUN tetap dapat ditunda pelaksanaannya atau dihentikan sementara dengan alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (4) UU PTUN beserta penjelasannya yaitu: adanya keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat dirugikan jika KTUN tetap dilaksanakan. Kerugian penggugat diukur dari tidak seimbangnya kerugian dibanding manfaat bagi kepentingan yang dilindungi dari pelaksanaan KTUN; dan pelaksanaan KTUN tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan. 6. Asas Putusan Bersifat Erga Omnes Asas putusan bersifat erga omnes maksudnya adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) mengikat pihak-pihak di luar yang bersengketa karena putusan hakim berada dalam ranah hukum publik atau mengikat umum. Selain itu, putusan PTUN mengikat sengketa yang mengandung persamaan yang timbul di masa mendatang. [13] 7. Asas Pemeriksaan dari Segi Rechtmatig, bukan Doelmatig Pemeriksaan yang dilakukan oleh PTUN hanya terbatas pada segi rechtmatigheid atau dari segi yuridis KTUN yang disengketakan. Hakim dilarang menguji dari segi kebijaksanaan atau doelmatigheid meskipun hakim tidak sependapat dengan keputusan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat yang bersangkutan. [14] Hakim PTUN hanya boleh menguji apakah suatu keputusan bertentangan atau tidak dengan hukum. Artinya, hakim hanya menilai keputusan dari segi sah atau tidaknya, bukan dari layak atau tidaknya suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat pemerintah. [15] Demikian jawaban dari kami tentang asas-asas hukum acara peradilan tata usaha negara, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara . REFERENSI:\n1. Ridwan. Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi. Yogyakarta: FH UII Press, 2009\n2. S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: FH UII Press, 2011. [1] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Cetakan Ketiga. Yogyakarta: FH UII Press, 2011, hal. 203 [2] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Cetakan Ketiga. Yogyakarta: FH UII Press, 2011, hal. 203 [3] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Cetakan Ketiga. Yogyakarta: FH UII Press, 2011, hal. 205-206 [4] Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta: FH UII Press, 2009, hal. 158 [5] Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta: FH UII Press, 2009, hal. 158 [6] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Cetakan Ketiga. Yogyakarta: FH UII Press, 2011, hal. 221 [7] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Cetakan Ketiga. Yogyakarta: FH UII Press, 2011, hal. 222 [8] Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta: FH UII Press, 2009, hal. 157 [9] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Cetakan Ketiga. Yogyakarta: FH UII Press, 2011, hal. 225 [10] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Cetakan Ketiga. Yogyakarta: FH UII Press, 2011, hal. 225 [11] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Cetakan Ketiga. Yogyakarta: FH UII Press, 2011, hal. 225 [12] Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta: FH UII Press, 2009, hal. 157 [13] Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta: FH UII Press, 2009, hal. 160 [14] SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Cetakan Ketiga. Yogyakarta: FH UII Press, 2011, hal. 223-224 [15] Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta: FH UII Press, 2009, hal. 161 pengadilan tata usaha negara tata usaha negara asas"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon sebutkan dan jelaskan tentang jenis/macam aliran hukum dalam penemuan hukum di Indonesia."
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAIT7 Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara28 Jul 2023Catat! Ini 11 Jenis Interpretasi Hukum18 Jul 2022Penemuan Hukum dan Konstruksi Hukum15 Jul 2022Catat! Ini 21 Asas Hukum dan 7 Adagium Hukum yang Perlu Dipahami15 Jul 2022\n\nAda kalanya teks undang-undang memiliki penjelasan yang tidak jelas dan terang, sehingga undang-undang tidak dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa hukum, sehingga untuk mengatasi hal tersebut hakim melakukan penemuan hukum atau rechtsvinding.\n\nDalam penemuan hukum tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sejarah. Munculnya macam-macam aliran dalam penemuan hukum menunjukan bahwa hukum adalah sesuatu yang dinamis, terbuka dan mengikuti perkembangan zaman, sehingga mengalami perkembangan dari masa ke masa.[1]\nBaca juga: Penemuan Hukum dan Konstruksi Hukum\n\nBerikut adalah jenis aliran hukum dalam penemuan hukum:\n\nBegriffsjurisprudenz\nDalam aliran begrifjurisprudenz, undang-undang tidak lengkap sehingga perlu peran aktif dari hakim. Aliran ini melihat hukum sebagai suatu sistem atau satu kesatuan yang tertutup yang menguasai tingkah laku manusia. Aliran ini memiliki persamaan dengan aliran historis, namun dalam aliran ini hukum dilihat sebagai sistem yang tertutup dan menguasai semua tingkah laku manusia. Sehingga meskipun hakim dibebaskan dari ikatan undang-undang, tetapi harus bekerja dalam sistem hukum yang tertutup, dengan menggunakan hukum logika.[2] Penggunaan hukum logika tersebut dikenal dengan silogisme.[3]\n\nInteressenjurisprudenz (Freirechtsschule)\nAliran freirerechtsschule merupakan kritik terhadap aliran begrifjurisprudenz.[4] Aliran ini adalah cara penemuan hukum yang memberi kebebasan pada hakim melalui metode konstruksi hukum. Hakim diberi kebebasan dalam menemukan hukum yang artinya hakim bukan hanya menerapkan undang-undang, akan tetapi juga memperluas dan membentuk hukum melalui putusannya.[5]\n\nSoziologische Rechtsschule\nAliran ini lahir sebagai reaksi terhadap aliran freirerechtsschule yang pada intinya hendak menahan kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan hakim.[6] Hakim dalam menafsirkan ketentuan undang-undang, senantiasa menyesuaikan dengan nilai hukum dan kultus hukum yang dianut oleh masyarakat. Sehingga, putusan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas keadilan, kesadaran, dan perasaan hukum yang hidup di masyarakat.[7]\n\nLegisme\n\nAliran legisme adalah aliran hukum yang menganggap bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum. Sedangkan peradilan hanya menerapkan undang-undang. Dalam aliran ini, hakim hanya sebagai corong undang-undang. Dengan demikian, tidak ada hukum di luar undang-undang.[8]\n\nHistoris\n\nAliran historis muncul dilatarbelakangi dengan pemikiran bahwa undang-undang tidak lengkap dan selalu ketinggalan dengan perkembangan zaman sehingga kekosongan norma tidak akan dapat menyelesaikan peristiwa konkret. Dalam kondisi seperti ini, maka hakim dapat membuat hukum (judge made law) dengan didasari hukum kebiasaan. Putusan hakim tersebut kemudian menjadi yurisprudensi yang juga merupakan sumber hukum selain undang-undang.[9]\n\nFreirechtsbewengung\n\nAliran freirechtsbewengung adalah aliran penemuan hukum yang bebas, artinya hakim dalam menemukan hukum tidak terikat secara kaku pada undang-undang, namun berdasarkan asas kepatutan.[10]\n\nOpen system van het recht\n\nAliran ini menganggap bahwa hukum sebagai sistem yang membuka diri dan menerima nilai-nilai yang ada di luar hukum. Hakim dalam menemukan hukum berpedoman pada pemahaman intelektual atau logika serta penalaran logis. Aliran ini menilai bahwa sistem hukum tidak realistis sehingga senantiasa membutuhkan perluasan putusan hakim melalui penilaian yang dilakukan dalam wujud interpretasi dan konstruksi hukum.[11]\n\nBaca juga: Aliran Hukum Alam dan Tokoh-Tokoh Penting dalam Perkembangannya\n\nDemikian jawaban kami tentang macam-macam aliran hukum dalam rechtsvinding, semoga bermanfaat.\nREFERENSI:\n1. Muliadi Nur, Rechtsvinding: Penemuan Hukum, Suatu Perbandingan Metode Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam, Jurnal Ilmiah Al- Syir’ah, Vol. 2, No. 1, 2004\n2. Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017.\n\n[1] Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 226.\n\n[2] Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 229-230.\n\n[3] Muliadi Nur, Rechtsvinding: Penemuan Hukum, Suatu Perbandingan Metode Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam, Jurnal Ilmiah Al- Syir’ah, Vol. 2, No. 1, 2004, hal. 10.\n\n[4] Muliadi Nur, Rechtsvinding: Penemuan Hukum, Suatu Perbandingan Metode Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam, Jurnal Ilmiah Al- Syir’ah, Vol. 2, No. 1, 2004, hal. 10.\n\n[5] Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 230.\n\n[6] Muliadi Nur, Rechtsvinding: Penemuan Hukum, Suatu Perbandingan Metode Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam, Jurnal Ilmiah Al- Syir’ah, Vol. 2, No. 1, 2004, hal. 11.\n\n[7] Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 231.\n\n[8] Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 227-228.\n\n[9] Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 228.\n\n[10] Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 232.\n\n[11] Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 233."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin tahu tentang bank syariah. Apa yang menjadikannya berbeda dengan bank umum atau bank konvensional? Apa saja perbedaan antara bank umum dan bank syariah itu? Mohon penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami dulu apa definisi bank. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.[1]\n\nAdapun, yang dimaksud bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran.[2]\n\nSelain bank umum, terdapat bank perekonomian rakyat (“BPR”) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.[3]\n\nBerdasarkan definisi bank, bank umum, dan BPR di atas, dapat digambarkan sebagai berikut:\nLebih lanjut, yang dimaksud bank syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan/atau bentuk lain berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank perekonomian rakyat syariah.[4]\nBerdasarkan penjelasan di atas, maka bank syariah merupakan salah satu jenis bank umum, disamping bank konvensional. Sedangkan bank syariah itu sendiri terdiri atas bank umum syariah dan BPR syariah. Maka, menurut hemat kami, istilah yang tepat adalah bank umum syariah dan bank umum konvensional untuk menggambarkan karakteristik masing-masing.\nPerbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah\n\nPerbedaan bank umum konvensional dan bank umum syariah dapat digambarkan pada tabel di bawah ini.\nAspek PembedaBank Umum SyariahBank Umum KonvensionalPrinsip yang melandasi kegiatan usahaPrinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.Berasaskan demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian.Dasar HukumAl-Quran dan hadisUU 21/2008 dan UU 4/2023 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”)Peraturan Bank Indonesia (“BI”)Fatwa DSN-MUIUU 7/1992 sebagaimana telah diubah dengan UU 10/1998 dan UU 4/2023 Peraturan Otoritas Jasa KeuanganPeraturan Bank IndonesiaFungsiLembaga intermediasiFungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal.Lembaga intermediasiOrientasi kegiatan usahaProfit dan falah oriented.Profit oriented.Perolehan keuntunganMargin pada akad jual beli, nisbah bagi hasil pada akad bagi hasil, dan imbalan jasa pada akad sewa.Perangkat bunga.PengawasanOJK dan Dewan Pengawas Syariah.OJKPenyelesaian SengketaPengadilan AgamaBadan Arbitrase Syariah (Basyarnas-MUI)Pengadilan NegeriBadan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”)\n\nBerdasarkan tabel di atas, akan kami menjelaskan satu persatu. Pertama, perbedaan prinsip yang melandasi kegiatan usaha antara bank umum syariah dengan bank umum konvensional adalah pada kegiatan usaha bank umum syariah harus berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.[5]\nKegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah yaitu tidak mengandung unsur:[6]\n\nriba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atauzalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.\n\nAdapun yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Sementara, arti dari “prinsip kehati-hatian” adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[7]\n\nSementara pada bank umum konvensional, kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.[8]\n\nKedua, landasan hukum bagi bank umum syariah tidak hanya UU 21/2008, UU 4/2023, Peraturan OJK dan Peraturan BI saja, tetapi juga harus berdasarkan pada Al-Quran, hadis dan Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (“DSN-MUI”)[9] sebagai konsekuensi karakter bank umum syariah yang berlandaskan pada prinsip syariah.\n\nKetiga, fungsi utama bank umum syariah tidak berbeda dengan bank umum konvensional, yaitu berfungsi sebagai lembaga intermediasi yaitu menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat.\n\nNamun, pada bank umum syariah dan unit usaha syariah (“UUS”) juga diamanahkan menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Disamping itu, bank umum syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menjadi pengelola wakaf/nazir dan/atau menyalurkannya melalui pengelola wakaf/nazir sesuai dengan kehendak pemberi wakaf/wakif.[10]\n\nKeempat, orientasi kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank umum syariah tidak berbeda dengan bank umum konvensional yaitu mencari untung. Tetapi pada bank umum syariah tidak terbatas hanya mencari untung saja, tetapi juga falah oriented atau orientasi kebahagiaan dunia akhirat.[11]\n\nKelima, di dalam mencari keuntungan, bank umum syariah tidak menggunakan perangkat bunga seperti pada bank umum konvensional, tetapi tergantung pada akad yang membingkai hubungan hukum para pihak. Pada akad jual beli seperti akad murabahah maka keuntungannya dalam bentuk margin keuntungan. Pada akad bagi hasil seperti pada akad mudarabah dan musyarakah, maka keuntungannya diperoleh dari persentase nisbah bagi hasil yang disepakati antara bank dengan nasabahnya. Sedangkan pada akad sewa seperti pada akad ijarah dan ijarah muntahiyyah bittamlik, maka keuntungannya diperoleh dari imbalan jasa (ujrah).[12]\n\nKeenam, pengawasan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank umum syariah maupun bank umum konvensional dilakukan oleh OJK.[13] Akan tetapi, untuk bank umum syariah ada pengawasan khusus terhadap kepatuhan syariah yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (“DPS”). DPS sendiri adalah dewan yang bertugas untuk memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah.[14]\n\nDasar hukum DPS adalah Pasal 109 UU PT dan Pasal 32 UU 21/2008. Ketidak patuhan bank umum syariah terhadap prinsip syariah akan berdampak pada sanksi administratif dan sanksi pidana jika melanggarnya.[15]\n\nKetujuh, kompetensi absolut penyelesaian sengketa secara litigasi antara bank umum syariah dengan nasabahnya adalah pada pengadilan agama bukan pada pengadilan negeri.[16] Sedangkan, penyelesaian sengketa secara non litigasi, bank umum syariah diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.[17] Sedangkan pada bank umum konvensional penyelesaian sengketanya dilakukan ke pengadilan negeri atau ke BANI.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan;Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/POJK.03/2022 Tahun 2022 tentang Bank Umum Syariah.\n\nPutusan:\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012\n\nReferensi:\n\nAbdul Ghofur Anshori. Hukum Perbankan Syariah (UU No.21 Tahun 2008). Bandung: Refika Aditama, 2009;Amran Suadi. Eksekusi Jaminan dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah. Jakarta: Prenada Media Group, 2019;Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah: dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, 2001;Basyarnas MUI, yang diakses pada Senin, 1 September 2023, pukul 10.46 WIB.Konsep Operasional Perbankan Syariah, yang diakses pada Rabu, 20 September 2023 pukul 15.29 WIB;Perbankan Syariah dan Kelembagaannya Kebahagiaan, yang diakses pada Kamis, 31 Agustus 2023.\n\n[1] Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (“UU 4/2023”) yang mengubah Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU 10/1998”)[2] Pasal 14 angka 1 UU 4/2023 yang mengubah Pasal 1 angka 3 UU 10/1998[3] Pasal 14 angka 1 UU 4/2023 yang mengubah Pasal 1 angka 4 UU 10/1998[4] Pasal 15 angka 1 UU 4/2023 yang mengubah Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU 21/2008”)[5] Pasal 2 UU 21/2008[6] Penjelasan Pasal 2 UU 21/2008[7] Penjelasan Pasal 2 UU 21/2008[8] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan penjelasannya[9] Lihat Penjelasan Umum UU 21/2008[10] Pasal 15 angka 3 UU 4/2023 yang mengubah Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3) UU 21/2008[11] Perbankan Syariah dan Kelembagaannya Kebahagiaan yang diakses pada Kamis, 31 Agustus 2023, pukul 14.55 WIB. Lihat juga Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah: dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h.34[12] Lihat Konsep Operasional Perbankan Syariah, yang diakses pada Rabu, 20 September 2023 pukul 15.29 WIB.[13] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”) dan Pasal 8 angka 4 UU 4/2023 yang mengubah Pasal 6 ayat (1) huruf a UU OJK[14] Pasal 1 angka 14 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/POJK.03/2022 Tahun 2022 tentang Bank Umum Syariah[15] Abdul Ghofur Anshori. Hukum Perbankan Syariah (UU No.21 Tahun 2008). Bandung: Refika Aditama, 2009, hal. 113[16] Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan penjelasannya dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, hal. 39[17] Basyarnas MUI, yang diakses pada Senin, 1 September 2023, pukul 10.46 WIB. Lihat juga Amran Suadi. Eksekusi Jaminan dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah. Jakarta: Prenada Media Group, 2019, hal. 224"
} |
{
"from": "human",
"value": "What are the different types of law? Please explain."
} | {
"from": "gpt",
"value": "When in college for the first time majoring in law, most students are always asked about the definition of law by the lecturers. The answer or definition of law given by each student is different, depending on the perspective and way of interpreting.\n\nProfessor W.L.G. Lemaire quoted by C.S.T. Kansil in the book entitled Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia explains that law is difficult to give an exact definition, because law has many aspects and forms, so it is impossible to fully encompass all aspects and forms of law in a definition (p. 36).\nFurthermore, still from the same book, the law cannot be seen, however, the law is very important for society, regulating the relationship between members of society and others (p. 37).\n\nJ.C.T Simorangkir and Woerjono Sastropranoto define law as compelling rules, which determine human behavior in a community environment made by authorized official bodies, violation of which against these rules results in taking action, namely with certain penalties (p. 38).\nAlso read: Definition of Law and Elements of Law\nTypes of Law in Indonesia\n\nFurthermore, discussing the types of law or what are the kinds of law? C.S.T. Kansil explains that there are several divisions of types of law, namely (pp. 73-75):\n\nAccording to the source:\n\nStatutory law, which is contained in legislation;Customary law (adat law), which is contained in customary regulations;Treaty law, which is established by the state in a treaty between states;Jurisprudential law, which is law taken from previous judicial decisions.\nAccording to its form:\n\nWritten law, consisting of codified and uncodified;Unwritten law (customary law).\nAccording to the place of enactment:\n\nNational law, applicable within a country;International law, governing legal relations within the international community;Foreign law, which applies within another country;Church law, a collection of norms established by the church for its members.\nAccording to the time of enactment:\n\nIus constitutum (positive law), which is the law that currently applies to a certain society in a certain area;Ius constituendum, which is the law that is expected to apply in the future;Natural law, which is the law that applies everywhere at all times and to all nations in the world.\nAccording to the way of maintenance:\n\nMaterial law, which is the law that contains rules governing interests and relationships in the form of orders and prohibitions. Examples: criminal law, civil law;Formal law, which is the law that contains regulations governing how to implement and maintain material law, how to file a case in court, and how judges give decisions. Examples: criminal procedure law, civil procedure law.\nAccording to its nature:\n\nCompelling law, which is a law that under any circumstances must and has absolute coercion;Regulating law, which is a law that can be overridden if the parties concerned have made their own rules in an agreement.\nAccording to its manifestation:\n\nObjective law, which is the law that applies generally in a country, regulates legal relations between two or more people regardless of certain groups;Subjective law, which is the law that arises from objective law and applies to a particular person or more. Subjective law is also called rights.\nAccording to its content:\n\nPrivate law (civil law), which regulates the relationship between one person and another, emphasizing individual interests;Public law (state law), which is the law that regulates the relationship between the state and its equipment or the relationship between the state and individuals.\n\nAlso read: The Definition of Ius Constitutum and Ius Constituendum\n\nTherefore, when asked how many divisions of law are there? There are at least 8 divisions of law in Indonesia based on the things mentioned earlier.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nReference:\n\nC.S.T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja macam-macam hukum? Mohon penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dalam mengartikan hukum, setiap orang mungkin memiliki definisi yang berbeda. Hal tersebut bergantung pada perspektif dan cara memaknai makna hukum itu sendiri. Para ahli hukum pun demikian, memiliki perbedaan dalam memaknai hukum. Berikut sejumlah definisi hukum yang umum diketahui publik.\nGuru Besar W.L.G. Lemaire dikutip oleh C.S.T. Kansil dalam buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia menerangkan bahwa hukum itu sulit diberikan definisi yang tepat, karena hukum mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tak mungkin mencakup keseluruhan segi dan bentuk hukum dalam suatu definisi (hal. 36).\n\nLebih lanjut, masih dari buku yang sama, hukum itu tidak dapat dilihat, meski demikian, hukum sangat penting bagi masyarakat, mengatur hubungan antar anggota masyarakat dengan yang lain (hal. 37).\nJ.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto mendefinisikan hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu (hal. 38).\nMacam-macam Hukum di Indonesia\n\nSelanjutnya, membahas mengenai jenis-jenis hukum atau penggolongan hukum, C.S.T. Kansil menjelaskan terdapat beberapa pembagian jenis hukum menurut beberapa hal berikut ini (hal. 73-75):\n\nPenggolongan hukum menurut sumbernya:\n\nHukum undang-undang, yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan;Hukum kebiasaan (adat), yang terletak di dalam peraturan kebiasaan adat;Hukum traktat, yaitu yang ditetapkan oleh negara di dalam suatu perjanjian antar negara;Hukum yurisprudensi, yaitu hukum yang diambil dari putusan hakim terdahulu.\nPenggolongan hukum menurut bentuknya:\n\nHukum tertulis, terdiri dari yang dikodifikasi dan yang tidak dikodifikasi;Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan).\nPenggolongan hukum menurut tempat berlakunya:\n\nHukum nasional, berlaku di dalam suatu negara;Hukum internasional, mengatur hubungan hukum dalam dunia internasional;Hukum asing, yang berlaku dalam negara lain;Hukum gereja, kumpulan norma yang ditetapkan gereja untuk para anggotanya.\nPenggolongan hukum menurut waktu berlakunya:\n\nIus constitutum (hukum positif), yaitu hukum yang berlaku saat ini bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu;Ius constituendum, yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang;Hukum alam, yaitu hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia.\nPenggolongan hukum menurut cara mempertahankan:\n\nHukum material, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Contoh: hukum pidana, hukum perdata;Hukum formal, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material, cara mengajukan suatu perkara di pengadilan, dan cara hakim memberi putusan. Contoh: hukum acara pidana, hukum acara perdata.\nPenggolongan hukum menurut sifatnya:\n\nHukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus dan mempunyai paksaan mutlak;Hukum yang mengatur, yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian.\nPenggolongan hukum menurut wujudnya:\n\nHukum objektif, yaitu hukum yang berlaku secara umum di suatu negara, mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih tanpa memandang golongan tertentu;Hukum subjektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum objektif dan berlaku terhadap seorang tertentu atau lebih. Hukum subjektif disebut juga hak.\nPenggolongan hukum menurut isinya:\n\nHukum privat (hukum sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang lain, menitikberatkan pada kepentingan perseorangan;Hukum publik (hukum negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan negara dengan alat perlengkapan atau hubungan negara dengan perseorangan\n\nJadi, jika ditanya hukum dibagi menjadi berapa? Setidaknya terdapat 8 penggolongan hukum atau pembagian macam-macam hukum di Indonesia berdasarkan hal-hal sebagaimana disebutkan sebelumnya.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang penggolongan hukum, semoga bermanfaat.\nREFERENSI:\n1. C.S.T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja sifat hak asasi manusia, dan bagaimana penjelasannya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . KLINIK TERKAIT Pengertian, Asas, dan Prinsip Hukum Humaniter Internasional 07 Sep 2023 Hubungan Hak Asasi Manusia dengan Negara Hukum 25 Jul 2022 Hak Asasi Manusia: Pengertian, Sejarah, dan Prinsipnya 21 Jul 2022 Catat! Ini 21 Asas Hukum dan 7 Adagium Hukum yang Perlu Dipahami 15 Jul 2022 Istilah hak asasi manusia (“HAM”) adalah terjemahan dari bahasa Prancis “ droits de l’homme ”, atau bahasa Inggris “ human rights” yang artinya “hak manusia”. Pengertian secara teoritis dari HAM adalah hak yang melekat pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai anugerah Illahi. Dengan demikian, HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, karena itu HAM bersifat luhur dan suci. [1] Baca juga: Hak Asasi Manusia: Pengertian, Sejarah, dan Prinsipnya Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pada dasarnya, ciri khusus HAM adalah: tidak dapat dicabut; tidak dapat dibagi; hakiki; dan universal. Sedangkan sifat hak asasi manusia adalah sebagai berikut: [2] HAM adalah anugerah Pencipta, diberikan kepada individu, ada dengan sendirinya, tidak tergantung pada pengakuan dan penerapannya dalam sistem hukum; HAM didasarkan pada penghormatan harkat dan martabat manusia; HAM merupakan hak dasar yang kodrati, otomatis melekat pada diri setiap manusia sebagai karunia Pencipta; HAM bersifat universal, melekat abadi sepanjang hidup pada entitas kemanusiaan selama individu masih menjadi manusia; HAM didasarkan pada asas kesetaraan antar sesama manusia, yaitu semua yang terlahir setara tentu memiliki HAM yang setara (non-diskriminasi); dan HAM mengimplementasikan kewajiban bagi individu dan pemerintah. Sifat hak asasi manusia yang universal, tidak terbagi, non-diskriminasi tersebut dibahas secara spesifik dalam lingkup prinsip hak asasi manusia. Manfred Nowak menyebut bahwa terdapat 4 prinsip HAM yaitu universal, tak terbagi, saling bergantung, dan saling terkait. Sedangkan Rhona K.M. Smith menambahkan prinsip lain yaitu kesetaraan, non-diskriminasi dan martabat manusia. Sedangkan Indonesia memberikan penekanan penting terhadap prinsip tanggung jawab negara. [3] Berikut adalah penjelasan masing-masing prinsip HAM yang juga mengandung sifat hak asasi manusia: Universal ( Universality ) Hak asasi manusia yang bersifat universal artinya bahwa semua orang di seluruh dunia tidak peduli apa agamanya, apa warga negaranya, apa bahasanya, apa etnisnya, tanpa memandang identitas politik dan antropologisnya, dan terlepas dari status disabilitasnya, memiliki hak yang sama sebagai manusia . Tak Terbagi ( Indivisibility ) Hak asasi manusia yang tidak dapat dibagi artinya semua HAM adalah sama-sama penting dan oleh karenanya tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan hak-hak tertentu atau kategori hak tertentu dari bagiannya. Sifat HAM yang universal dan tidak terbagi dianggap sebagai 2 prinsip suci paling penting atau the most important sacred principle . Keduanya menjadi slogan utama dalam ulang tahun UDHR yang ke-50, yakni all human rights for all . Saling Bergantung ( Interdependent ) Sifat HAM yang saling bergantung maksudnya adalah terpenuhinya satu kategori hak tertentu akan selalu bergantung dengan terpenuhinya hak yang lain. Sebagai contoh, hak atas pekerjaan akan bergantung pada terpenuhinya hak atas pendidikan. Kemudian hak untuk memilih dan menjalankan suatu keyakinan akan bergantung pada hak untuk menyatakan pendapat di muka umum. Para penganut agama tertentu akan boleh memimpin jalannya ibadah jika hak untuk menyatakan pendapat di muka umum terpenuhi. Saling Terkait ( Interrelated ) HAM yang saling terkait dipahami bahwa keseluruhan HAM merupakan bagian tidak terpisahkan dari yang lain . Dengan arti lain, seluruh kategori HAM adalah satu paket dan satu kesatuan. Sebagai contoh, seseorang akan dapat memilih calon anggota legislatif dengan baik jika pendidikannya juga baik. Dengan terpenuhinya hak mendapat pendidikan, seseorang mampu membaca surat suara dan visi misi dari calon anggota legislatif dan partai politik yang mengusungnya dengan baik. Penegasan sifat hak asasi manusia yang bersifat universal, tidak terbagi, saling bergantung, dan saling terkait terdapat dalam Pasal 5 Vienna Declaration and Programme of Action 1993 , yakni all human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated . Kesetaraan ( Equality ) Kesetaraan adalah prinsip HAM yang sangat fundamental . Kesetaraan dimaknai sebagai perlakuan yang setara, di mana pada situasi yang sama manusia harus diperlakukan dengan sama, dan pada situasi berbeda manusia diperlakukan secara berbeda juga. Kesetaraan dianggap sebagai prasyarat mutlak dalam negara demokrasi , contohnya kesetaraan di depan hukum, kesetaraan kesempatan, kesetaraan akses dalam pendidikan, kesetaraan dalam mengakses peradilan yang adil, kesetaraan berkeyakinan dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya, dan lain-lain. Non-Diskriminasi ( Non-Discrimination ) Diskriminasi terjadi ketika setiap orang diperlakukan atau memiliki kesempatan yang tidak setara seperti inequality before the law, inequality of treatment, or education opportunity , dan lain-lain. Diskriminasi dimaknai sebagai a situation is discriminatory of inequal if like situations are treated differently or different situation are treated similarity atau sebuah situasi dikatakan diskriminatif jika situasi sama diperlakukan secara berbeda dan/atau situasi berbeda diperlakukan secara sama. Martabat Manusia ( Human Dignity ) Tujuan utama disepakati dan dikodifikasikannya hukum HAM adalah untuk memastikan bahwa semua manusia dapat hidup secara bermartabat . Karena, pada dasarnya manusia harus dihormati, diperlakukan secara baik, dan dianggap bernilai. Jika seseorang memiliki hak, artinya dia bisa menjalani hidup dengan bermartabat. Namun jika hak seseorang dicabut, maka dia tidak diperlakukan secara bermartabat. Tanggung Jawab Negara ( State’s Responsibility ) Pemenuhan, perlindungan dan penghormatan HAM adalah tanggung jawab negara. Aktor utama yang dibebani tanggung jawab untuk memenuhi, melindungi dan menghormati HAM adalah negara melalui aparatur pemerintahannya. Prinsip ini ditegaskan di seluruh konvensi HAM internasional maupun peraturan domestik. Di Indonesia, kewajiban negara diakui secara tegas pada Pasal 8 UU HAM yang berbunyi: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab negara juga dapat ditemukan di dalam Konsideran UDHR , yaitu Whereas Member States have pledged themselves to achieve, in cooperation with the United Nations, the promotion of universal respect for and observance of human rights and fundamental freedoms . Artinya, negara anggota berjanji untuk mencapai kemajuan dan penghormatan umum terhadap HAM dan kebebasan asasi, dengan bekerja sama dengan PBB. Baca juga: Masyarakat Sipil Desak Komnas HAM Tetapkan Kasus Munir Sebagai Pelanggaran HAM Berat Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa sifat hak asasi manusia yang mendasar, antara lain universal, tidak terbagi, setara, saling terkait, dan lain-lain. Sifat-sifat hak asasi manusia tersebut kemudian dibahas secara rinci dalam ruang lingkup prinsip-prinsip HAM. Pada intinya, HAM adalah hak yang dimiliki manusia karena ia manusia. Selain bersifat universal, HAM juga tidak dapat dicabut. Artinya, seburuk dan sebengis apapun perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu ia tetap memiliki HAM tersebut. Dengan kata lain, HAM melekat pada dirinya sebagai makhluk insani. [4] Demikian jawaban kami tentang prinsip dan sifat hak asasi manusia, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights Vienna Declaration and Programme of Action 1993 REFERENSI:\n1. Bayu Dwiwiddy Jatmiko, Menelisik Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Asasi Politik Pasca Perubahan UUD 1945, Jurnal Panorama Hukum, Vol. 3, No. 2, 2018\n2. Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia: Perspektif Internasional, Regional , Depok: PT RajaGrafindro Persada, 2018\n3. Rhona K.M. Smith ( et.al ), Hukum Hak Asasi Manusia , Yogyakarta: PUSHAM UII, 2010\n4. Serlika Aprita dan Yonani Hasyim, Hukum dan Hak Asasi Manusia , Bogor: Mitra Wacana Media, 2020. [1] Serlika Aprita dan Yonani Hasyim, Hukum dan Hak Asasi Manusia , Bogor: Mitra Wacana Media, 2020, hal. 5. [2] Bayu Dwiwiddy Jatmiko, Menelisik Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Asasi Politik Pasca Perubahan UUD 1945, Jurnal Panorama Hukum, Vol. 3, No. 2, 2018, hal. 219. [3] Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia: Perspektif Internasional, Regional , Depok: PT Raja Grafindro Persada, 2018, hal. 25. [4] Rhona K.M. Smith ( et.al ), Hukum Hak Asasi Manusia , Yogyakarta: PUSHAM UII, 2010, hal. 11. anak hukum fakultas hukum hak asasi hak asasi manusia ham jurusan hukum kampus hukum kuliah hukum maba hukum mahasiswa hukum"
} |
{
"from": "human",
"value": "Untuk melakukan audit, tahapan apa saja yang harus dilakukan oleh auditor? Mohon untuk jelaskan satu per satu. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITSeluk Beluk Audit Pajak: Dari Pengertian Hingga Pemeriksaan Dokumen 29 Nov 2023Hal-hal yang Perlu Diperiksa Saat Legal Audit12 Sep 2023Tugas dan Tanggung Jawab Komite Audit Perusahaan12 Sep 2017Legal Audit18 Nov 2003\n\nMenurut Hamzah Halim dalam buku Legal Audit & Legal Opinion, pengertian legal audit diambil dari pengertian \"legal\" dan \"audit\", atau secara singkat adalah pemeriksaan (audit) hukum. Mengacu pada pandangan H.R. Daeng Naja, Hamzah Halim menulis bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan atau audit adalah suatu proses penilaian dalam arti yang luas terhadap data dan faktual untuk menilai kesesuaian, keamanan, dan kewajaran secara independen (hal. 13-14).\n\nBerdasarkan uraian di atas, legal audit adalah pemeriksaan serta analisa hukum atas peraturan perundang-undangan atau ketentuan hukum oleh seorang auditor kepada pihak tertentu yang diaudit (“auditee”), baik perorangan maupun lembaga, sehingga dapat diketahui tingkat kepatuhan hukum yang dipatuhi pihak-pihak yang bersangkutan.\nLalu, mengapa perlu dilakukan audit hukum? Tujuan umum dari legal audit menurut H.R. Daeng Naja sebagaimana dikutip oleh Hamzah Halim adalah untuk mengamankan legal risk aspect dalam operasional suatu perusahaan/organisasi yang diaudit. Di samping itu, legal audit pun memiliki tujuan khusus, yakni mengetahui kekuatan hukum dari bukti-bukti tertulis secara yuridis formal yang dimiliki oleh pihak yang diaudit. Dengan demikian, apabila di kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, perusahaan/organisasi yang diaudit tersebut telah memiliki alat bukti yang kuat dan lengkap untuk melakukan tindakan hukum (hal. 49-50).\nTahapan Legal Audit\n\nUntuk mencapai tujuan tersebut, auditor memiliki standar kerja khusus dalam melakukan tugasnya. Mulai dari tahap persiapan audit, penyusunan program audit, pelaksanaan, hingga pelaporan hasil audit. Mengutip Yovita Arie Mangesti et.al dalam buku Mengenal Audit Hukum (Legal Audit) disebutkan bahwa pola pikir seorang auditor hukum itu terstruktur dan terukur. Oleh karena itu dalam melakukan audit perlu dibuat kerangka kerja audit hukum (hal. 37).\nTerdapat 8 langkah atau tahapan legal audit dalam kerangka kerja seorang auditor hukum, yaitu sebagai berikut:\n\n1. Menyusun Kerangka Perencanaan Legal Audit\n\nPerencanaan audit hukum disesuaikan dengan tujuan penugasan. Di mana langkah-langkah perencanaan ini dituangkan di dalam kertas kerja yang berisi:\n\ntujuan penugasan auditor;ruang lingkup penugasan auditor;materi uji kepatuhan dalam korelasinya dengan peraturan perundang-undangan terkait;klasifikasi manajerial dan pembagian tugas;anggaran biaya dan sarana-prasarana pelaksanaan;jadwal kerja.\n\n2. Menyusun Ruang Lingkup Pekerjaan Legal Audit\n\nRuang lingkup ini disusun dalam kertas kerja sesuai permintaan yang dikehendaki oleh auditee dan telah dituangkan dalam surat penugasan.\n\n3. Mengumpulkan Peraturan Perundang-undangan\n\nBagian ini sangat penting sebab pada saat melakukan legal audit, peraturan yang digunakan disesuaikan dengan penugasan. Semua peraturan yang terkumpul, divalidasi dan diklasifikasikan sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UU 12/2011.\n\n4. Menentukan Materi Audit\nPada tahap ini dilakukan audit hukum dengan mengumpulkan objek, baik berupa dokumen maupun observasi yang nantinya akan dilakukan analisis, guna diuji kepatuhannya atas undang-undang yang berlaku dan berkenaan dengan penugasan.\n\n5. Membentuk Tim Kerja Audit\n\nDalam membentuk tim kerja audit dilakukan klasifikasi manajerial tim kerja legal audit. Tim kerja ini disiapkan dengan pengalaman dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam penugasan. Adapun dilakukan pembagian tugas masing-masing personil serta persiapan sarana-prasarana.\n\n6. Menentukan Jadwal Kerja Legal Audit\nJadwal kerja akan masuk dalam kerangka perencanaan legal audit. Semakin rumit, tentu saja akan semakin lama dan biaya yang dibutuhkan akan semakin besar.\n\n7. Menentukan Anggaran Biaya Pelaksanaan Audit\n\nAnggaran biaya pelaksanaan audit bisa sangat bervariasi sesuai dengan penugasan, ruang lingkup pekerjaan, dan alokasi sumber daya.\n\n8. Menyusun kertas kerja untuk pelaksanaan Legal Audit\n\nKertas kerja atau laporan hasil audit disusun secara sistematis sebagai berikut:\n\npendahuluan;tujuan penugasan audit;identitas auditor hukum dan susunan tim kerja;identitas penerima laporan hasil audit hukum;identitas auditee;dasar penunjukan sebagai auditor hukum;tujuan penugasan audit hukum;materi audit hukum;ringkasan kerja auditor hukum;asumsi dan kualifikasi;ringkasan eksekutif;hasil audit hukum;pendapat hukum;penutup.\n\nMengutip Yovita Arie Mangesti et.al dalam buku Mengenal Audit Hukum (Legal Audit), hasil dari uji kepatuhan hukum akan menghasilkan hasil audit yang kemudian akan diserahkan kepada auditee. Asosiasi Auditor Hukum Indonesia (ASAHI) memberikan model kesimpulan 4 kriteria, yaitu:\n\nClear and Clean (C&C)\n\nTingkat C&C ini merupakan kondisi terbaik bagi auditee. C&C berarti kepatuhan terhadap hukum positif yang tertinggi. Selain itu, \"clean\" menunjukkan bahwa adanya ketuntasan terhadap masalah hukum terhadap pihak ketiga.\n\nClear, But Not Clean (CBNC)\n\nCBNC yaitu tingkat kepatuhan hukum tinggi. Pada kondisi ini semua ketentuan, prosedur, dan proses hukum telah dilalui dan dijalankan secara benar sesuai hukum. Namun, terdapat permasalahan hukum terhadap subjek hukum (legal standing, kecakapan, kompetensi, kewenangan) dan objek hukum (aspek perizinan, harta kekayaan, permodalan), dan/atau perbuatannya (perjanjian-perjanjian dengan mitra dan lain-lain).\n\nNot Clear, But Clean (NCBC)\n\nTingkat NCBC adalah tingkat kepatuhan hukum yang kurang tinggi. Artinya, tidak semua ketentuan, prosedur, dan proses hukum telah dilalui dan dijalankan secara benar sesuai hukum. Namun, pada aras perbuatan hukum dengan pihak ketiga, mitra, ataupun harta kekayaan tidak bermasalah.\n\nNot Clear, Not Clean (NCNC)\n\nTingkat NCNC merupakan tingkat kepatuhan hukum terendah. Pada tahap ini auditee tidak taat hukum, dan tidak tuntas menyelesaikan beban tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, mitra, maupun masyarakat secara luas.\n\nSetelah keluar laporan hasil legal audit, laporan tersebut dikaji ulang kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan materi audit hukum. Pengkajian ulang tersebut, disesuaikan dengan hasil analisis data serta informasi. Kemudian, setelah semua tahap tersebut selesai, dilakukan penyampaian laporan hasil audit hukum untuk kemudian dipresentasikan dan dilakukan penyerahan Laporan Hasil Audit Hukum (LHAH) melalui Berita Acara Serah Terima.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nREFERENSI:\n1. Hamzah Halim. Legal Audit & Legal Opinion. Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015\n2. Yovita Arie Mangesti et.al. Mengenal Audit Hukum (Legal Audit). Cetakan Pertama. Karanganyar: CV. Cipta Mandiri Solusindo, 2021."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya sering mendengar bahwa hukum itu untuk mewujudkan keadilan. Tapi saya belum paham apa pengertian keadilan. Mohon dijelaskan tentang makna atau teori keadilan dalam perspektif filsafat hukum menurut para ahli."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Setidaknya terdapat 8 teori keadilan dalam filsafat hukum menurut para ahli.\n\nTeori Keadilan Menurut Plato\nBagi Plato, keadilan adalah emansipasi dan partisipasi warga polis/negara dalam memberikan gagasan tentang kebaikan untuk negara. Hal tersebut kemudian dijadikan pertimbangan filsafat bagi suatu undang-undang.[2]\n\nTeori Keadilan Menurut Aristoteles\nAristoteles lebih terang menjelaskan tentang keadilan. Menurutnya, keadilan dimaknai sebagai keseimbangan. Adapun ukuran keseimbangan menurut Aristoteles adalah kesamaan numerik dan kesamaan proporsional.[3]\n\nKesamaan numerik dimaknai bahwa setiap manusia disamakan dalam satu unit. Misalnya setiap orang sama di hadapan hukum.Kesamaan proporsional adalah memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya, sesuai kemampuan dan prestasinya.[4]\n\nAristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:[5]\n\nKeadilan distributif adalah keadilan yang berlaku dalam ranah hukum publik, yaitu fokus pada distribusi kekayaan dan barang lain yang diperoleh masyarakat.Keadilan korektif berhubungan dengan membetulkan atau membenarkan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi bagi pihak yang dirugikan atau memberikan hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan.\n\nTeori Keadilan Menurut Derrida\n\nTeori keadilan dalam hukum menurut Derrida justru tidak diperoleh dari sumber-sumber dalam tatanan hukum, tetapi dari sesuatu yang melampaui hukum itu sendiri. Menurutnya, keadilan tidak berarti kesesuaian dengan undang-undang, karena kesesuaian dengan undang-undang belum memastikan adanya keadilan.[6]\n\nTeori Keadilan Menurut Thomas Aquinas\n\nHampir sama dengan Aristoteles, pendapat Thomas Aquinas tentang keadilan adalah apa yang sepatutnya bagi orang lain menurut suatu kesamaan proporsional.[7]\n\nUraian pembagian keadilan menurut Thomas Aquinas adalah sebagai berikut:[8]\n\nKeadilan distributif (iustitia distributiva) adalah keadilan yang berkenaan dengan pembagian jabatan, pembayaran pajak, dan sebagainya.Keadilan legal (iustitia legalis) adalah menyangkut pelaksanaan hukum, atau keadilan umum atau keadilan menurut undang-undang yang sesuai dengan lex naturalis.[9]Keadilan komutatif atau keadilan tukar menukar (iustitia commutativa) adalah berkenaan dengan transaksi jual beli.Keadilan balas dendam (iustitita vindicativa) yang pada masa itu berkenaan dengan hukum pidana.\n\nTeori Keadilan Menurut Reinhold Zippelius\n\nZippelius membagi keadilan menjadi lima bentuk yaitu:[10]\n\nKeadilan komutatif adalah keadilan timbal balik yang terjadi ketika warga masyarakat melakukan transaksi kontraktual. Keadilan terjadi pada saat pemulihan dari keadaan cidera hak, misalnya pemberian ganti rugi bagi pihak yang dirugikan.Keadilan distributif yaitu keadilan dalam pembagian. Misalnya dalam lapangan hukum perdata, jika ada orang memecahkan barang di toko, ia harus menggantinya tanpa melihat latar belakang sosial ekonominya. Keadilan distributif ini juga relevan dalam kerangka keadilan sosial.Keadilan pidana yang dijadikan dasar dan tujuan pengenaan hukum pidana. Salah satunya asas nulla poena sine lege praevia. Keadilan hukum acara ditentukan oleh kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk menegaskan posisinya dan hakim yang tidak berat sebelah.Keadilan konstitusional berkaitan dengan penentuan syarat-syarat pemangkuan jabatan kenegaraan misalnya dalam pemilu.\n\nTeori Keadilan Menurut Gustav Radbruch\nBagi Gustav Radbruch, keadilan memiliki beberapa arti, yaitu:[11]\n\nKeadilan dimaknai sebagai sifat atau kualitas pribadi. Keadilan subjektif sebagai keadilan sekunder adalah pendirian atau sikap, pandangan dan keyakinan yang diarahkan kepada terwujudnya keadilan objektif sebagai keadilan yang primer.Sumber keadilan berasal dari hukum positif dan cita hukum (rechtsidee).Inti dari keadilan adalah kesamaan. Dalam hal ini Radbruch mengikuti pandangan Aristoteles dan membagi keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan komutatif.\n\nTeori Keadilan Menurut Jeremy Bentham dan John Stuart Mill\n\nJeremy Bentham dan John Stuart Mill mewakili pandangan utilitarianisme yang memaknai keadilan adalah manfaat atau kebahagiaan sebesar-besarnya untuk sebanyak mungkin orang.[12]\n\nTeori Keadilan Menurut John Rawls\n\nJohn Rawls terkenal dengan gagasan teori keadilan substantif dan membagi prinsip keadilan menjadi dua, yaitu:\n\nPrinsip kebebasan setara, bahwa setiap pribadi memiliki hak yang setara terhadap kebebasan-kebebasan dasar yang sistemnya sama dengan kebebasan untuk semua (liberty for all).[13]Prinsip perbedaan menyangkut sosial ekonomi yaitu prinsip ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang disusun agar memberi keuntungan terbesar bagi pihak yang tidak beruntung.[14]\n\nBerdasarkan kedua prinsip tersebut, John Rawls merumuskan keadilan dalam konsep umum adalah nilai-nilai sosial didistribusikan dengan setara kecuali distribusi tidak setara itu membawa keuntungan bagi semua orang. Artinya setiap orang harus mengambil manfaat dari ketidaksetaraan sosial apa pun.[15]\n\nDemikian jawaban dari kami tentang teori keadilan dalam filsafat hukum menurut para ahli, semoga bermanfaat.\nREFERENSI:\n1. Budiono Kusumohamidjojo. Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil. Bandung: CV Mandar Maju, 2011\n2. Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011\n3. Karen Leback. Penerjemah Yudi Santoso. Teori-Teori Keadilan. Cetakan ke-6. Bandung: Nusa Media, 2018.\n[1] Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 239\n\n[2] Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 240–241.\n\n[3] Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 241.\n\n[4] Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 241.\n\n[5] Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 241–242.\n\n[6] Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 248.\n\n[7] Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 243.\n\n[8] Budiono Kusumohamidjojo. Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil. Bandung: CV Mandar Maju, 2011, hal. 641\n\n[9] Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 243.\n\n[10] Budiono Kusumohamidjojo. Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil. Bandung: CV Mandar Maju, 2011, hal. 158.\n\n[11] Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 245.\n\n[12] Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 246.\n\n[13] Karen Leback. Penerjemah Yudi Santoso. Teori-Teori Keadilan. Cetakan ke-6, Bandung: Nusa Media, 2018, hal. 53\n\n[14] Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 246-247 dan Karen Leback. Penerjemah Yudi Santoso. Teori-Teori Keadilan. Cetakan ke-6, Bandung: Nusa Media, 2018, hal. 57\n[15] Karen Leback. Penerjemah Yudi Santoso. Teori-Teori Keadilan. Cetakan ke-6, Bandung: Nusa Media, 2018, hal. 53"
} |
{
"from": "human",
"value": "Perbuatan-perbuatan apa saja yang digolongkan sebagai tindak pidana dalam Pemilu? Saya ingin tahu sebagai bahan antisipasi pemilu 2024 mendatang."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Apa yang dimaksud dengan tindak pidana pemilu? Tindak pidana pemilihan umum (“pemilu”) pada dasarnya merupakan bagian dari tindak pidana dalam rezim hukum pidana yang juga disebut sebagai perbuatan pidana atau delik. Dengan menggunakan istilah delik atau tindak pidana pemilu, maka akan menjadi lebih khusus, yaitu hanya terkait dengan perbuatan pidana yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu. Artinya, istilah tindak pidana pemilu diperuntukan bagi tindak pidana yang terjadi dalam atau berhubungan dengan pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu.[1]\n\nSecara yuridis, tindak pidana pemilu menurut Pasal 1 angka 2 Perma 1/2018 adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan sebagaimana diatur dalam UU Pemilu.\n\nSedangkan yang dimaksud dengan pemilu menurut Pasal 1 angka 1 UU Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.\nJenis-Jenis Tindak Pidana Pemilu\n\nJenis-jenis tindak pidana pemilu diatur dalam Bab II tentang Ketentuan Pidana Pemilu, yaitu Pasal 488 s.d. Pasal 554 UU Pemilu. Namun demikian, guna menyederhanakan jawaban, maka dalam artikel ini kami akan membahas 9 contoh tindak pidana pemilu sebagai berikut:\n\nMemberikan Keterangan Tidak Benar dalam Pengisian Data Diri Daftar Pemilih\n\nPasal 488 UU Pemilu\n\nSetiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain terutang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.\n\nData diri untuk pengisian daftar pemilih antara lain mengenai nama, tempat dan tanggal lahir, gelar, alamat, jenis kelamin, dan status perkawinan.[2]\n\nKepala Desa Menguntungkan atau Merugikan Peserta Pemilu\n\nPasal 490 UU Pemilu\n\nSetiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.\n\nMengacaukan, Menghalangi, atau Mengganggu Kampanye Pemilu\n\nPasal 491 UU Pemilu\nSetiap orang yang mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye pemilu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.\n\nKampanye di Luar Jadwal yang Ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (“KPU”)\nPasal 492 UU Pemilu\n\nSetiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.\n\nKampanye pemilu sebagaimana dimaksud berupa iklan media massa cetak, media massa elektronik, internet, dan rapat umum. Kampanye tersebut dilaksanakan selama 21 hari dan berakhir sampai dimulainya masa tenang.[3]\n\nMelakukan Pelanggaran Larangan Kampanye\n\nTerdapat 10 bentuk larangan bagi pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu ketika melakukan kampanye, yang tercantum di dalam Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu yaitu:\n\nmempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaaan UUD 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (“NKRI”);melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI;menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain;menghasut dan mengadu domba perseorangan atau masyarakat;mengganggu ketertiban umum;mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta pemilu lain;merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu;menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; danmenjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.\n\nSelain itu, Pasal 280 ayat (2) UU Pemilu melarang pelaksana dan/atau tim kampanye mengikutsertakan beberapa pihak dalam kegiatan kampanye, seperti hakim agung dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, aparatur sipil negara, kepala desa dan perangkatnya, anggota TNI/Polri, pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural, dan lain-lain.\n\nPelanggaran terhadap larangan sebagaimana diatur di dalam Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta. Hal ini diatur dalam Pasal 521 dan Pasal 523 ayat (1) UU Pemilu.\n\nSementara itu, pelanggaran terhadap larangan sebagaimana diatur di dalam Pasal 280 ayat (2) UU Pemilu, diatur dalam Pasal 493 UU Pemilu yaitu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 belas juta.\n\nMemberikan Keterangan Tidak Benar dalam Laporan Dana Kampanye Pemilu\n\nPasal 496 UU Pemilu\n\nPeserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) serta Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.\n\nPasal 497 UU Pemilu\n\nSetiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.\n\nMenyebabkan Orang Lain Kehilangan Hak Pilihnya\n\nPasal 510 UU Pemilu\n\nSetiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.\n\nMenetapkan Jumlah Surat Suara yang Dicetak Melebihi Jumlah yang Ditentukan\n\nPasal 514 UU Pemilu\n\nKetua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp240 juta.\n\nAdapun, jumlah surat suara yang seharusnya dicetak adalah jumlah pemilih tetap ditambah dengan 2% dari jumlah pemilih tetap sebagai cadangan. Selain itu, KPU juga menetapkan besarnya jumlah surat suara untuk pelaksanaan pemungutan ulang sebanyak 1.000 surat suara pemungutan suara ulang yang diberi tanda khusus untuk setiap daerah, masing-masing surat suara untuk pasangan calon, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.[4]\n\nMemberikan Suara Lebih dari Satu Kali\n\nPasal 516 UU Pemilu\n\nSetiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu TPS/ TPSLN atau lebih, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 bulan dan denda paling banyak Rp18 juta.\nPenanganan Tindak Pidana Pemilu\n\nTerhadap tindak pidana pemilu, Pasal 2 huruf b Perma 1/2018 mengatur bahwa pengadilan negeri dan pengadilan tinggi berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana pemilu yang timbul karena laporan dugaan tindak pidana pemilu yang diteruskan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (“Bawaslu”), Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota dan/atau Panitia Pengawas Pemilu (“Panwaslu”) kecamatan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling lama 1 x 24 jam, sejak Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dan/atau Panwaslu Kecamatan menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana pemilu.\n\nPengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu menggunakan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilu.[5]\n\nDalam hal putusan pengadilan negeri diajukan banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan. Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara banding paling lama 7 hari setelah permohonan banding diterima. Putusan pengadilan tinggi yang memeriksa dan memutus perkara banding dalam tindak pidana pemilu merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.[6\n\nBaca juga: Bisakah Dipidana Jika Golput dalam Pemilu?\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023;Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum.\n\nReferensi:\n\nKhairul Fahmi. Sistem Penanganan Tindak Pidana Pemilu. Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 2, Juni 2015.\n\n[1] Khairul Fahmi. Sistem Penanganan Tindak Pidana Pemilu. Jurnal Konstitusi. Vol. 12, No. 2, Juni 2015, hal. 266.[2] Penjelasan Pasal 203 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”).[3] Pasal 276 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum jo. Pasal 275 ayat (1) huruf f dan g UU Pemilu.[4] Pasal 344 ayat (2), (3), dan (4) UU Pemilu.[5] Pasal 481 ayat (1) UU Pemilu.[6] Pasal 482 ayat (2), (4), dan (5) UU Pemilu"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sebenarnya apakah menurut hukum aborsi itu diperbolehkan? Bagaimana dengan pandangan Islam?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan aborsi. Aborsi atau yang lebih dikenal dalam istilah hukumnya dengan Abortus Provocatus yang ditulis dalam bahasa latin memiliki arti dan makna pengguguran kandungan secara sengaja atau niat diri sendiri maupun orang lain.[1] Aborsi juga dapat diartikan sebagai kondisi dimana keluarnya hasil kehamilan yaitu bayi dari kandungan sang ibu sebelum waktu yang seharusnya dalam kondisi meninggal dunia.[2]\n\nHukum aborsi di Indonesia dilihat dari sudut pandang KUHP adalah tindak pidana yang dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana bagi siapapun yang melakukan aborsi.[3] Namun, UU Kesehatan memberikan ruang dan celah untuk dilakukannya aborsi dengan kondisi tertentu[4] yang akan kami jelaskan sebagai berikut.\n\nAborsi diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, dan Pasal 194 UU Kesehatan. Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi.[5] Namun, Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan memberikan dua alasan untuk dapat dilakukannya aborsi, yaitu:\n\nindikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.\n\nKemudian, tindakan aborsi hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.[6]\n\nPasal 76 UU Kesehatan juga menegaskan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan:\n\nsebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan;dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; danpenyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.\n\nLalu, berdasarkan Pasal 194 UU Kesehatan, orang yang sengaja melakukan aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).\nSelain UU Kesehatan, ketentuan mengenai aborsi juga diatur dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[7] yakni pada tahun 2026, dapat dilihat pada pasal:\n|\n| 0\n| 1\n|\n|---:|:----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------|:-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------|\n| 0 | KUHP\n| UU 1/2023\n|\n| 1 | Pasal 346Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.\n| Pasal 463Setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 (empat belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.\n|\n| 2 | Pasal 347Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.\n| Pasal 464Setiap Orang yang melakukan aborsi terhadap seorang perempuan:dengan persetujuan perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun; atautanpa persetujuan perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. |\n| 3 | Pasal 348Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan.Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.\n| nan\n|\n| 4 | Pasal 349Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupunmelakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, makapidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. | Pasal 465Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 464, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a dan huruf f.Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 463 ayat (2) tidak dipidana.\n|\nAborsi dalam Pandangan Islam\n\nDi berbagai literatur fikih, terdapat perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya seseorang melakukan aborsi atau pengguguran kandungan sebagaimana diterangkan M. Ali Hasan dalam buku Masail Fiqhiyah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (hal. 44).\n\nSementara itu, aborsi dalam bahasa Arab diartikan al-ijhad, yang merupakan bentuk masdar dari kata ajhada, yang artinya lahirnya janin karena dipaksa atau lahir dengan sendirinya sebelum tiba saatnya sebagaimana dijelaskan Mahjuddin dalam buku Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini (hal. 76).\n\nSecara terminologi, mengutip Yurnalis Uddin (et.al) dalam buku Reinterpretasi Hukum Islam tentang Aborsi (hal. 131), ahli fikih memberikan definisi aborsi dengan redaksi berbeda, namun bermuara pada substansi yang sama.\n\nIbrahim al-Nakhai mengatakan bahwa aborsi adalah pengguguran janin dari rahim ibu hamil, baik sudah berbentuk sempurna atau belum. Senada dengan al-Nakhai adalah definisi Abdullah bin Ahmad yang menyatakan bahwa aborsi adalah merusak makhluk yang ada dalam rahim perempuan.\n\nDemikian pula, menurut Abdul Qadir Audah, aborsi adalah pengguguran kandungan dan perampasan hak hidup janin atau perbuatan yang dapat memisahkan antara janin dengan ibunya. Sedangkan bagi al-Gazali, aborsi adalah pelenyapan nyawa janin atau merusak sesuatu yang sudah terkonsepsi (mawjud al-hasil).\n\nDefinisi aborsi lebih detail terurai dalam tulisan Khoiruddin Nasution dalam artikel Pandangan Islam tentang Aborsi, dengan mengutip Grolier Family Encyclopedia (hal. 114):\n\n...is the termination of a pregnancy by loss or destruction of the fetus before birth. An abortion may be spontaneous or induced. The latter is an act with ethical and legal ramifications.\n\nPerbedaan tersebut dapat disimpulkan sebagaimana diterangkan Istibsjaroh dalam buku Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi, dan Aborsi dalam Perspektif Islam (hal. 64 – 65) sebagai berikut:\n\nDiperbolehkan aborsi sebelum usia janin 120 hari. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian besar ulama Hanafiyyah dan sebagian kecil ulama Syafi’iyyah.Diperbolehkan aborsi sebelum usia janin 40 - 45 hari (tahalluk). Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha’ Syafi’iyyah, sebagian besar fuqaha Hanabilah, dan sebagian kecil fuqaha’ Hanafiyyah sebagaimana diterangkan Yurnalis Uddin (et.al) dalam buku yang sama (hal. 86).Aborsi hukumnya makruh tahrim, baik sebelum maupun sesudah 40 hari. Pendapat ini dikemukakan sebagian kecil fuqaha’ Hanafiyyah.Aborsi hukumnya haram secara mutlak. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha’ Malikiyyah, Imam al-Gazali, Ibn al-Jawzi, dan Ibn Hazm al-Zahiri. Pelakunya dapat dikenai sanksi yang disesuaikan dengan akibat yang ditimbulkannya.\n\nMajelis Ulama Indonesia (“MUI”) pada tahun 2005 mengeluarkan Fatwa MUI 4/2005 atas pertimbangan bahwa dewasa ini semakin banyak terjadi tindakan aborsi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan tuntunan agama.[8]\n\nSelain itu, aborsi juga banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya, sehingga banyak masyarakat yang mempertanyakan hukumnya, apakah haram secara mutlak ataukah boleh dalam kondisi-kondisi tertentu.[9]\n\nDengan mendasarkan pada al-Qur’an, hadis, kaidah fikih, dan pendapat para ulama klasik, maka MUI menyatakan:[10]\n\nAborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat.\n\nKeadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan aborsi adalah:\n\nPerempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan cavern dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh tim dokter.Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.\n\nKeadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah:\n\nJanin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan.Kehamilan akibat pemerkosaan yang ditetapkan oleh tim yang berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter dan ulama.\n\nKebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.\n\nAborsi yang dibolehkan karena uzur sebagaimana dimaksud pada angka 2 hanya boleh dilaksanakan di fasilitas kesehatan yang telah ditunjuk oleh pemerintah.Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.\n\nMenjawab pertanyaan Anda, dilihat dari sudut pandang KUHP, maka aborsi adalah tindak pidana. Namun, UU Kesehatan memberikan ruang untuk dilakukannya aborsi dengan kondisi tertentu. Kemudian, mengenai aborsi dalam islam, berdasarkan Fatwa MUI dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya MUI sepakat dengan ulama klasik maupun kontemporer, bahwa aborsi qabla nafkh al-ruh diharamkan, sebagaimana pendapatnya al-Gazali, bahwa aborsi qabla nafkh al-ruh dilarang sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). Meskipun demikian, MUI memberikan pengecualian aborsi jika ada indikasi yang bersifat darurat maupun hajat. Sementara aborsi akibat perzinaan, MUI secara mutlak mengharamkannya.\n\nBaca juga: Disuruh Aborsi oleh Calon Mertua, Ini Hukumnya\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Pidana;Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi.\n\nReferensi:\n\nBayu Anggara. Harmonisasi Pengaturan Aborsi di Indonesia. Jurnal Hukum Saraswati, Vol. 3, No. 1, 2021;Istibsjaroh. Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi, dan Aborsi dalam Perspektif Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2007;Khoiruddin Nasution. Pandangan Islam tentang Aborsi. Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 2, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003;Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini. Jakarta: Kalam Mulia, 2005;M. Ali Hasan. Masail Fiqhiyah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998;Yurnalis Uddin (et.al). Reinterpretasi Hukum Islam tentang Aborsi. Jakarta: Penerbit Universitas Yarsi, 2006.\n\n[1] Bayu Anggara. Harmonisasi Pengaturan Aborsi di Indonesia. Jurnal Hukum Saraswati, Vol. 3, No. 1, 2021, hal. 121.[2] Bayu Anggara. Harmonisasi Pengaturan Aborsi di Indonesia. Jurnal Hukum Saraswati, Vol. 3, No. 1, 2021, hal. 123.[3] Bayu Anggara. Harmonisasi Pengaturan Aborsi di Indonesia. Jurnal Hukum Saraswati, Vol. 3, No. 1, 2021, hal. 123.[4] Bayu Anggara. Harmonisasi Pengaturan Aborsi di Indonesia. Jurnal Hukum Saraswati, Vol. 3, No. 1, 2021, hal. 124.[5] Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).[6] Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan.[7] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).[8] Diktum Menimbang angka 1 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi (“Fatwa MUI 4/2005”).[9] Diktum Menimbang angka 2 Fatwa MUI 4/2005.[10] Ketentuan Hukum Kedua Fatwa MUI 4/2005."
} |
{
"from": "human",
"value": "What are the duties of an Account Representative in the Tax Service Office? Are there any separate regulations? Thank you."
} | {
"from": "gpt",
"value": "According to Article 1 number 1 Regulation of the Minister of Finance 45/2021, Account Representative is an executive position in a Tax Service Office with several levels of office/position as regulated in laws and regulations.\nAccount Representatives shall be appointed and dismissed by the Director-General of Tax in accordance with provisions of laws and regulations.[1]\n\nEmployees who can be appointed as an Account Representative shall fulfill the following requirements:[2]\nhave a Civil Servant status;have a working period of at least 2 (two) years;have an education of at least Diploma III; andat the time of proposal have the rank/category of at least Regulator (II/c).\nThe appointment as an Account Representative shall be conducted by considering the availability of the employees of the Directorate-General of Taxes, workload, and tax revenue potential in the relevant Tax Service Office.[3]\n\nThe position and rank position of an Account Representative shall refer to the Decree of the Minister of Finance on the position and rank of executives within the Ministry of Finance.[4] The position and rank position of an Account Representative within the Tax Services Office shall be stipulated by a junior high-ranking official (pimpinan tinggi pratama) who administratively supervises the Tax Services Office for and on behalf of the middle high-ranking official (pimpinan tinggi madya).[5]\n\nAny employee who has been appointed as an Account Representative prior to the enforcement of Regulation of the Minister of Finance 45/2021, shall remain in office and be acknowledged as an Account Representative as well as perform their duties in accordance with this regulation until the relevant is appointed to a Functional Position of a Tax Auditor or a Functional Position of an Assistant Tax Auditor or other positions.[6]\nWorking Area of Account Representatives\n\nThe distribution of taxpayers or work areas within the scope of the duty of an Account Representative shall be stipulated by the Head of a Tax Service Office.[7] The number of Account Representatives in a Tax Service Office shall be stipulated by the Head of the relevant Tax Service Office in accordance with the availability of the employees of the Directorate-General of Taxes, workload, and tax revenue potential at the relevant Tax Service Office.[8]\nDuties and Functions of Account Representatives\n\nAccording to the Considerations point a Regulation of the Minister of Finance 45/2021, states that the position of an Account Representative in Tax Service Office is in order to support the implementation of the duty of taxation intensification through the provision of guidance, consultation, analysis and supervision of taxpayers which aims to explore the potential of state revenue in the field of taxation.\n\nIn answering your question, Account Representatives have the following duties:[9]\ncarry out an analysis, elaboration and management in order to ensure that taxpayers comply with laws and regulations on taxation through planning, implementation and follow-up of data collection-based intensification and extensification as well as mapping of tax subjects and objects;carry out territory control, tax potential observation, and information control;carry out search, collection, processing, research, analysis, updating and follow-up of taxation data;carry out the supervision of taxpayers’ taxation obligations;formulate the concept of appeal and conduct counselling to taxpayers;carry out supervision and monitoring on the follow-up of data and information including but not limited to data on notification, third party data, and tax amnesty data; andimplement administration management of stipulations and formulate concept for issuance of legal product and tax supervision product.\n\nIn carrying out their duties, Account Representatives shall be responsible to a supervising official who is their direct superior.[10]\n\nEnrich your legal research with the latest bilingual legal analysis, as well as the collection of regulatory translations integrated into Hukumonline Pro, click here to learn more.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nRegulation of the Minister of Finance Number 45/Pmk.01/2021 Of 2021 on Account Representatives in Tax Service Offices.\n\n[1] Article 5 Regulation of the Minister of Finance Number 45/Pmk.01/2021 Of 2021 on Account Representatives in Tax Service Offices (“Regulation of the Minister of Finance 45/2021”).[2] Article 6 section (1) Regulation of the Minister of Finance 45/2021.[3] Article 6 section (2) Regulation of the Minister of Finance 45/2021.[4] Article 7 section (1) Regulation of the Minister of Finance 45/2021.[5] Article 7 section (2) Regulation of the Minister of Finance 45/2021.[6] Article 8 Regulation of the Minister of Finance 45/2021.[7] Article 4 section (1) Regulation of the Minister of Finance 45/2021. [8] Article 4 section (2) Regulation of the Minister of Finance 45/2021. [9] Article 2 Regulation of the Minister of Finance 45/2021.[10] Article 3 Regulation of the Minister of Finance 45/2021."
} |
{
"from": "human",
"value": "Is it considered maltreatment/persecution if a boyfriend/girlfriend rubs chilies on his/her significant other’s face?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Regarding provisions relating to persecution, you can refer to Article 351 to Article 358 of the previous Criminal Code, which is still applicable at the time this article was published, as well as the new Criminal Code, Law 1/2023, which will entry into force 3 years from the date of its promulgation, [1] namely:\n|\n| 0\n| 1\n|\n|---:|:-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------|:----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------|\n| 0 | Criminal Code\n| Law 1/2023\n|\n| 1 | Article 351Maltreatment shall be punished by a maximum imprisonment of two years and eight months or a maximum fine of IDR 4.5 million.[2]If the act results in a serious physical injury, the offender shall be punished with a maximum imprisonment of five years.If the act results in death, he shall be punished by a maximum imprisonment of seven years.With maltreatment shall be identified as intentional injury to the health.Attempt to this crime shall not be punished.\n| Article 466Any Person who commits a persecution, shall be sentenced to imprisonment for a maximum of 2 (two) years and 6 (six) Months or a maximum criminal fine of category III, that is IDR 50 million.[3]If the act as referred to in paragraph (1) results in Serious Injury, shall be sentenced to imprisonment for a maximum of 5 (five) years.If the act as referred to in paragraph (1) results in the death of a person, shall be sentenced to imprisonment for a maximum of 7 (seven) years.Included as a persecution as referred to in paragraph (1) are actions that damage health.Attempts to commit a Crime as referred to in paragraph (1) shall not be sentenced. |\n| 2 | Article 352Except for articles 353 and 356 maltreatment that does not result in an illness or obstacle in the performance of official or professional activities, shall, as light maltreatment, be punished by a maximum imprisonment of three months or a maximum fine of IDR 4.5 million.[4] This sentence may be enhanced with one-third in respect of the offender, who commits the crime against a person who is in service with him or who is his subordinate.Attempt to this crime shall not be punished. | Article 467Any Person who commits persecution with prior planning shall be sentenced with imprisonment for a maximum of 4 (four) years.If the act as referred to in paragraph (1) results in Serious Injury, shall be sentenced with imprisonment for a maximum of 7 (seven) years.If the act as referred to in paragraph (1) results in the death of a person, shall be sentenced with imprisonment for a maximum of 9 (nine) years.\n|\n| 3 | Article 353Maltreatment committed with premeditation shall be punished with a maximum imprisonment of four years.If the act results in a serious physical injury, the offender shall be punished by a maximum imprisonment of seven years. If the act results in death, he shall be punished by a maximum imprisonment of nine years.\n| Article 468Any Person who seriously injures another person, shall be sentenced due to severe persecution, with imprisonment for a maximum of 8 (eight) years.If the act as referred to in paragraph (1) results in death, shall be sentenced with imprisonment for a maximum of 10 (ten) years.\n|\n| 4 | Article 354The person who deliberately causes serious physical injury to another, shall, being guilty of serious maltreatment, be punished by a maximum imprisonment of eight years.If the act results in death, the offender shall be punished by a maximum imprisonment of ten years.\n| Article 469Any Person who commits severe persecution with prior planning shall be sentenced with imprisonment for a maximum of 12 (twelve) years.If the Crime as referred to in paragraph (1) results in the death of a person, shall be sentenced with imprisonment for a maximum of 15 (fifteen) years.\n|\n| 5 | Article 355Serious maltreatment committed with premeditation shall be punished by a maximum imprisonment of twelve years.If the act result in death, the offender shall be punished with a maximum imprisonment of fifteen years.\n| Article 470The Crimes as referred to in Article 466 to Article 469, the criminal sentence may be increased by 1/3 (one third), if said Crime is committed:against Officials when or due to carrying out their legitimate duties;by providing materials which are hazardous to life or health; ortowards mother or Father.\n|\n| 6 | Article 356The punishments laid down in articles 351, 353, 354 and 355 may be enhanced with one third:in respect of the offender who commits the crime against his mother, his lawful father, his spouse or his child;if the crime is committed against an official during or on account of the lawful exercise of his office;if the crime is committed by administering any substances injurious to life or to health, to be eaten or drunk.\n| Article 471In addition to the persecution as referred to in Article 467 and Article 470, any persecution which does not cause any disease or hindrance to the performance of any professional position or livelihood, shall be sentenced due to minor persecution, with imprisonment for a maximum of 6 (six) months or a maximum criminal fine of category II, that is IDR 10 million.[5]If the Crime as referred to in paragraph (1) is committed against a person who works for them or becomes their subordinate, the criminal sentence may be increased by 1/3 (one-third).Attempts to commit the Crime as referred to in paragraph (1) shall not be sentenced.\n|\n| 7 | Article 357In one of the crimes under Articles 356 and 355, revocation of rights can be imposed under Article 35 No.1-4.\n| nan\n|\n| 8 | Article 358Those who deliberately take part in an assault or a fight in which several people are involved, apart from their individual responsibility for what was specifically done by them, are threatened:by a maximum imprisonment of two years and eight months, if the assault or fight only results in a serious physical injury;by a maximum imprisonment of four years, if the assault or fight results in the death of a person.\n| nan\n|\nElements of the Crime of Persecution\n\nRegarding the persecution under Article 351 Criminal Code, R. Soesilo in his book entitled The Book of Criminal Code (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/ “KUHP”) and its Commentaries Article by Article explains that the law does not provide any provisions as to what is defined as “persecution”. According to jurisprudence, \"persecution\" is defined as intentionally causing unhappiness/uneasy feelings (suffering), pain, or injuries. According to paragraph 4 of this article, the definition of persecution is also \"intentionally damaging people's health\".\nR. Soesilo then gives examples of uneasy feelings, pain, injuries, and damage to health as follows.\n\nuneasy feelings, for example, push people to jump into the river so that the person gets wet, tell people to stand in the hot sun, and so forth.Pain, for example, pinching, squeezing, hitting, smacking, and so forth.Injuries such as slicing, cutting, stabbing with a knife, etc.Damaging people’s health, for example, when a person is sweating while this person is sleeping, the perpetrator opens the window of his room, so that the person catches a cold.\n\nAccording to R. Soesilo, the abovementioned actions must be carried out intentionally and not with good intentions or exceeding the permitted limits. For example, a dentist removes a tooth from a patient. In fact, he intentionally causes pain, but his actions are not abuse, because there are good intentions (medication). A father smacks his son on the bum because the kid is naughty. This, too, is actually intentionally causing pain, but the act is not considered abuse, because there is a good intention (teaching children).\n\nHowever, if both of these incidents were to be carried out in a way that exceeded the permitted limits, for example, the dentist pulled out a tooth while joking around with his wife, or a father was teaching his child by hitting him with a piece of iron and hit his child’s head, then these acts are considered as abuse.\nBased on the explanations above, if a boyfriend/girlfriend intentionally rubs chilies on his/her significant other’s face, and causes uneasy feelings (suffering), pain, or injury to another person, then the said action may be convicted as a criminal act of maltreatment/persecution.\n\nAlso read: Differences of Articles on Minor Persecution and Severe Persecution\nCase Study\n\nIn order to make it easier for you to understand, we give an example of a case of persecution that has been stipulated at the cassation level through the Decision of the Supreme Court Number 555 K/Pid/2006. The testimony/statement of the witness and the defendant himself explained that the defendant had abused the victim by hitting and slapping the victim. This persecution resulted in the victim suffering bruises (p. 10 and 12).\n\nThen, at the verdict, the panel of judges declared that the defendant was legally and convincingly proven guilty of committing the criminal act of persecution based on Article 351 section (1) Criminal Code and shall be sentenced to imprisonment for 4 months (p. 13).\n\nHowever, the defendant does not have to serve the sentence unless there is another order in the judge's decision since the defendant is guilty of committing the crime before the 8-month probation period has elapsed (p. 13).\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nIndonesian Criminal Code;Law Number 1 of 2023 on the Criminal Code;Regulation of the Supreme Court Number 2 of 2012 on the Adjustment to the Limitation of Criminal Minor Acts and Total Fine in the Criminal Code.\n\nReference:\n\nR. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.\n\nCourt Decision:\n\nDecision of the Supreme Court Number 555 K/Pid/2006.\n\n[1] Article 624 Law Number 1 of 2023 on the Criminal Code (“Law 1/2023”).[2] Article 3 Regulation of the Supreme Court Number 2 of 2012 on the Adjustment to the Limitation of Criminal Minor Acts and Total Fine in the Criminal Code (“Supreme Court Regulation 2/2012”).[3] Article 79 section (1) letter c Law 1/2023.[4] Article 3 Supreme Court Regulation 2/2012.[5] Article 79 section (1) letter b Law 1/2023."
} |
{
"from": "human",
"value": "Dear Admin, apabila saya berniat mengundurkan diri dari kantor saya di pertengahan Juni 2014 untuk pertengahan Juli 2014, di mana di akhir Juli 2014 sudah hari raya lebaran. Apakah saya masih berhak untuk mendapatkan THR? Sebagai informasi saya sudah bekerja selama 3 tahun. Terima kasih saya ucapkan untuk jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”) adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain sebagaimana yang telah disebut dalam Pasal 1 huruf d Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan (“Permenaker 4/1994”) . KLINIK TERKAIT Aturan Gaji Ke-14 untuk Karyawan Swasta 20 Jun 2024 Apakah Karyawan yang Cuti Melahirkan Tetap Dapat THR? 04 Apr 2024 Cara Menghitung THR untuk Karyawan Kontrak yang Diangkat Jadi Tetap 02 Apr 2024 Apakah Karyawan yang Resign Berhak Mendapatkan THR? 28 Mar 2024 Pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih, demikian disebut dalam Pasal 2 ayat (1) Permenaker 4/1994 . Mengacu pada ketentuan ini, berarti Anda yang telah bekerja selama 3 (tiga) tahun berhak atas THR. Lalu bagaimana ketentuan pemberian THR jika pekerja ingin resign sebelum hari raya keagamaan? Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Ketentuan THR Karyawan yang Mengundurkan Diri , jika pekerja/karyawan resign (mengundurkan diri) yang berakibat putusnya hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha, maka ia berhak atas THR selama masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Permenaker 4/1994 , yakni 30 (tiga puluh) hari. Pengaturan ini disebut dalam Pasal 6 ayat (1) Permenaker 4/1994 yang berbunyi: “Pekerja yang putus hubungan kerjanya terhitung sejak waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR .” Anda berniat mengundurkan diri dari kantor pada pertengahan Juni 2014 untuk pertengahan Juli 2014. Dari sini, kami asumsikan bahwa surat pengunduran diri Anda ajukan pada pertengahan Juni 2014 dan surat persetujuan pengunduran diri yang dikeluarkan oleh perusahaan kepada Anda akan terbit pada pertengahan Juli 2014. Dengan kata lain, putusnya hubungan kerja resmi terjadi pada pertengahan Juli 2014 (kurang dari 30 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 28 s.d 29 Juli 2014). Ini berarti Anda masih berhak atas THR. Terkait dengan hal ini, kami mengutip artikel Batasan Hak Karyawan Resign Atas THR : “Jika pekerja putus hubungan kerjanya lebih dari 30 hari sebelum hari raya keagamaan, pekerja tersebut tidak berhak atas THR. Berbeda halnya jika pengajuan pengunduran diri dilakukan 4 bulan sebelum hari raya keagamaan tapi pekerja baru putus hubungan kerjanya setidaknya 30 hari sebelum hari raya keagamaan, maka dia tetap berhak atas THR.” Hal ini menunjukkan bahwa acuan hak atas THR bagi pekerja/karyawan yang mengundurkan diri itu dilihat dari kapan pemutusan hubungan kerja itu terjadi, yakni setidaknya 30 hari sebelum hari raya keagamaan, bukan dilihat dari kapan pengajuan surat permohonanan pengunduran diri. Dalam konteks pertanyaan Anda, jika memang pemutusan hubungan kerja setidaknya terjadi 30 hari sebelum hari raya keagamaan, yakni pada pertengahan Juli 2014, maka Anda masih berhak atas THR. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan . tunjangan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah seorang karyawati dapat melakukan pengaduan atau tuntutan atas peristiwa pelecehan di tempat kerja yang pernah dialaminya pada waktu lalu? Pada saat itu, karyawati tidak berani bertindak karena takut dipecat bos. Saat ini dia sedang dalam proses PHK, dan dari rekan kerja lainnya diperoleh informasi ternyata bosnya memang sering melakukan pelecehan seksual kepada para karyawatinya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Setiap pekerja, baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan di tempat kerja, termasuk kekerasan seksual.\n\nDalam UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:[1]\n\nkeselamatan dan kesehatan kerja;moral dan kesusilaan; danperlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.\nSelain itu, diatur pula ketentuan bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 – 07.00 wajib untuk menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.[2\n\nMeskipun dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur secara spesifik mengenai pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja, namun ada rambu-rambu yang wajib dilaksanakan pengusaha terkait pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan di atas.\nJerat Hukum Pelaku Pelecehan Seksual di Tempat Kerja\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda mengenai langkah hukum atas kasus pelecehan seksual di tempat kerja, perlu kami sampaikan mengenai apa itu pelecehan seksual.\n\nMenurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.[3]\n\nLantas, apa saja yang termasuk kasus pelecehan seksual? Dalam UU TPKS, pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang terdiri atas pelecehan seksual fisik dan pelecehan seksual non-fisik,[4] sebagai berikut:\n\nPelecehan seksual non-fisik adalah perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.[5]\n\nSedangkan yang dimaksud dengan ‘perbuatan seksual secara nonfisik’ adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.[6]\n\nPelecehan seksual fisik terdiri dari tiga bentuk yaitu:[7]\n\nPerbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya;Perbuatan seksual fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan.Penyalahgunaan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau orang lain.\n\nContoh pelecehan seksual adalah antara lain siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh.[8]\n\nBerdasarkan penjelasan di atas, kami mengasumsikan bahwa kejadian pelecehan seksual yang dialami oleh karyawati tersebut adalah berupa pelecehan seksual fisik.\n\nSelanjutnya, Anda menyampaikan bahwa pelecehan seksual tersebut dilakukan oleh bos selaku atasan kepada bawahan, sehingga perbuatan ini termasuk pelecehan seksual yang berbentuk penyalahgunaan kedudukan dan wewenang dengan memanfaatkan ketidaksetaraan untuk melakukan perbuatan cabul. Adapun jerat pidana bagi pelaku menurut Pasal 6 huruf c UU TPKS adalah pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta.\n\nSedangkan menurut KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan KUHP baru yakni UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[9] yaitu tahun 2026, pelecehan seksual atau perbuatan cabul yang dilakukan di tempat kerja oleh atasan, dapat dijerat dengan pasal berikut ini:\nPasal 294 ayat (2) angka 1 KUHPPasal 418 ayat (2) huruf a UU 1/2023Dipidana dengan pidana yang sama (yaitu pidana penjara paling lama 7 tahun):1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun:a. Pejabat yang melakukan percabulan dengan bawahannya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga;\n\nKetentuan dalam Pasal 294 ayat (2) angka 1 KUHP merupakan delik biasa (tindak pidana biasa) dan bukan delik aduan, maka yang berlaku adalah daluwarsa penuntutan yaitu 12 tahun jika merujuk ketentuan pidana dan ketentuan daluwarsa dalam KUHP[10] atau 18 tahun jika ketentuan pidana dan daluwarsanya merujuk pada UU 1/2023.[11] Maka, jika ancaman hukumannya mengacu pada Pasal 6 huruf c UU TPKS, maka daluwarsa menurut KUHP adalah 12 tahun atau 18 tahun menurut UU 1/2023.[12]\n\nSelengkapnya mengenai ketentuan masa daluwarsa dalam hukum pidana, dapat Anda baca di artikel Berapa Lama Masa Daluwarsa Penuntutan dan Menjalankan Pidana?\n\nAdapun, jika merujuk pada asas lex specialis derogat legi generali, maka ketentuan yang berlaku adalah UU TPKS karena merupakan peraturan yang secara khusus mengatur tentang kekerasan seksual.\n\nOleh karena itu, karyawati tersebut masih dapat melakukan penuntutan (dengan melaporkannya ke kepolisian) dalam jangka waktu 12 sejak tindak pidana tersebut dilakukan, dengan catatan ketentuan pidananya adalah UU TPKS dan ketentuan daluwarsanya adalah KUHP lama.\n\nBaca juga: Perbedaan Delik Biasa dan Delik Aduan Beserta Contohnya\nCara Mengatasi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja\n\nPertama, korban dapat mengadukan pelecehan seksual kepada penyelia (pengawas/supervisor), manajer lain atau pejabat penanganan keluhan yang ditentukan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Lampiran SE Menaker 03/2011 (hal. 16). Menurut hemat kami, korban dapat juga melapor kepada pimpinan perusahaan, serikat pekerja, atau kantor dinas tenaga kerja setempat.\n\nKedua, korban dapat melaporkan ke polisi berdasarkan KUHP dan UU TPKS. Adapun mengenai prosedur melaporkan tindak pidana ke polisi, dapat disimak dalam artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.\n\nKetiga, apabila korban takut melaporkan sendiri ke polisi, dapat juga dilaporkan oleh atau orang yang mengetahui, melihat dan/atau menyaksikan kejadian tersebut ataupun oleh tenaga medis.\n\nKeempat, mencari pendampingan. Salah satunya ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (“UPTD PPA”), lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat untuk diberikan pendampingan dan pelayanan terpadu yang dibutuhkan korban.[13]\n\nDisarikan dari artikel Cara Melaporkan Pelecehan Seksual Tanpa Bukti dijelaskan bahwa korban dapat melaporkan pelecehan seksual melalui layanan call center Sabahat Perempuan dan Anak (“SAPA”) 129 yang dapat diakses melalui hotline 021-129 atau Whatsapp 08111-129-129. SAPA 129 ini memiliki 6 jenis layanan yaitu layanan pengaduan masyarakat, penjangkuan korban, pengelolaan kasus, akses penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban.\n\nPerlu Anda ketahui bahwa korban kekerasan seksual pada dasarnya mempunyai hak atas penanganan, pelindungan dan pemulihan seperti penguatan psikologis, kerahasiaan identitas, rehabilitasi medis, mental dan sosial.[14]\n\nSelain itu, ketika melaporkan kasus ke polisi dan selama proses peradilan pidana, korban juga berhak atas pendampingan hukum[15] oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”), tenaga kesehatan, psikolog, pekerja sosial, psikiater, advokat, paralegal dan lain-lain.[16]\n\nKemudian, korban kekerasan seksual juga berhak untuk mendapatkan restitusi yaitu pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiel/imateriel yang diderita korban atau ahli warisnya.[17]\nPencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja\n\nSelain upaya hukum di atas, menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari pelecehan seksual adalah hal penting untuk mencegah pelecehan seksual dan kekerasan seksual terjadi di tempat kerja.\n\nPekerja maupun serikat pekerja/buruh perlu mendorong perusahaan untuk melakukan beberapa kebijakan terkait dengan pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja. Adapun pencegahan yang perlu dilakukan pemberi kerja yaitu:[18]\n\nMembuat, mengesahkan, dan menginformasikan kepada semua pekerja mengenai kebijakan tentang pelecehan seksual dalam lingkungan kerja termasuk dari masa rekrutmen hingga orientasi;Mengambil tindakan perbaikan yang efektif dan wajar bila terjadi pelecehan seksual.\n\nSelain kedua hal tersebut, upaya bagaimana menghindari pelecehan seksual pada dunia kerja, maka perlu ada tindakan berupa komunikasi, edukasi, pelatihan serta mendorong perusahaan untuk membangun komitmen pelaksanaan pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja, termasuk pemberian sanksi dan tindakan disiplin bagi pelaku melalui kebijakan perusahaan, perjanjian kerja/peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama.[19]\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n3. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt627b23aa80fff/undang-undang-nomor-12-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_12_2022)\n4. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n5. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n6. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023)\n7. [Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.03/MEN/IV/2011 Tahun 2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f59ca5c84b0a/surat-edaran-menteri-tenaga-kerja-dan-transmigrasi-nomor-se03-men-iv-2011-tahun-2011/document?utm_medium=internal_link_klinik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=SE_Menaker_03_2011)\nREFERENSI:\n1. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan, yang diakses pada Minggu, 28 Januari 2024 pukul 23.01 WIB.\n\n[1] Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 76 ayat (3) huruf b UU Ketenagakerjaan[3] Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan, hal. 6[4] Pasal 4 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”)[5] Pasal 5 UU TPKS[6] Penjelasan Pasal 5 UU TPKS[7] Pasal 6 UU TPKS[8] Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan, hal. 6[9] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[10] Pasal 78 ayat (1) angka 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)[11] Pasal 136 ayat (1) huruf d UU 1/2023[12] Pasal 78 ayat (1) angka 3 KUHP dan Pasal 136 ayat (1) huruf d UU 1/2023[13] Pasal 39 dan Pasal 40 UU TPKS[14] Pasal 67, Pasal 68 huruf d, Pasal 69 huruf d dan Pasal 70 ayat (1) huruf a dan b UU TPKS[15] Pasal 70 ayat (2) huruf e UU TPKS[16] Pasal 26 ayat (2) UU TPKS[17] Pasal 1 angka 20 UU TPKS[18] Lampiran Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.03/MEN/IV/2011 Tahun 2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja (“SE Menaker 03/2011”), hal. 11[19] Lampiran SE Menaker 03/2011, hal. 13"
} |
{
"from": "human",
"value": "1. Adakah ketentuan minimum waktu dalam surat perjanjian? 2. Jika surat perjanjian kerja sama dibuat dalam dua bahasa (Inggris dan Indonesia), apabila ada inkonsistensi, disepakati yang dipakai adalah bahasa Inggris. Adakah aturan yang mengikat mengenai penggunaan bahasa dalam surat perjanjian kerja sama? Terima kasih atas jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada suatu perjanjian, tidak ada ketentuan minimum waktu yang harus ditentukan dalam perjanjian. Hal ini berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan para pihak dalam membuat kontrak bebas untuk membuat suatu perjanjian, apapun isi dan bagaimana bentuknya, yang mana selengkapnya berbunyi:\n\nSemua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.\n\nKekuatan suatu perjanjian pada dasarnya mengikat bagi para pihak yang membuatnya sepanjang para pihak menyetujui mengenai bentuk dan isi dari perjanjiannya dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.\nBaca juga: 5 Asas-Asas Hukum Perdata terkait Perjanjian\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, ketentuan minimum lamanya waktu perjanjian yang Anda maksudkan tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundang-undangan, melainkan diatur dan disepakati bersama oleh para pihak.\nPenggunaan Bahasa dalam Perjanjian\n\nMengenai penggunaan bahasa dalam suatu perjanjian kerja sama dengan pihak asing, hal ini telah diatur berdasarkan Pasal 31 UU 24/2009 yang menyatakan bahwa:\n\nBahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.\n\nLebih jauh dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris. Namun, khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.[1]\n\nPatut Anda catat, dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.[2]\n\nDengan demikian, pengaturan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian kerja sama dengan pihak asing telah diatur secara tegas dalam Pasal 31 UU 24/2009 yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam suatu kontrak yang seluruh atau sebagian pihaknya adalah dari Indonesia. Lalu jika kontrak tersebut sebagian pihaknya adalah pihak asing, maka kontrak tersebut juga ditulis dalam bahasa nasional pihak asing bersangkutan dan/atau dalam bahasa Inggris.\n\nSehingga menjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami, apabila terjadi inkonsistensi/perbedaan isi perjanjian, dapat disepakati oleh para pihak, versi manakah yang berlaku karena sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa semua naskah perjanjian yang dibuat dalam berbagai bahasa itu sama aslinya, atau dengan kata lain kekuatan berlakunya sama.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4a8148b5af61c/undangundang-nomor-24-tahun-2009/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_24_2009)\n[1] Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”)[2] Penjelasan Pasal 31 ayat (2) UU 24/2009"
} |
{
"from": "human",
"value": "Baru-baru ini sedang viral berita penyitaan harta seorang artis yang suami terjerat kasus korupsi timah di Indonesia. Dalam proses penyidikan, Kejagung menyita aset tersangka. Pertanyaan saya, jika pasangan suami istri memiliki perjanjian perkawinan pisah harta, dan suaminya terlibat kasus korupsi, bisakah aset istrinya juga ikut disita?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITJenis-jenis Korupsi dan Hukumnya di Indonesia01 Apr 2024Adakah Batas Waktu Penyitaan Akun Media Sosial?24 Sep 2021Penyitaan Tabungan di Bank karena Tindak Pidana27 Okt 2020Aturan Penyitaan Akta Notaris untuk Keperluan Penyidikan22 Feb 2018\n\nPenyitaan aset milik tersangka tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik bertujuan untuk pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Hal ini termaktub dalam pengertian penyitaan menurut Pasal 1 angka 16 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud, atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.\nAdapun, benda yang dapat dikenai penyitaan menurut Pasal 39 ayat (1) KUHAP adalah:\n\nbenda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.\nBenda yang berada dalam sitaan karena perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (1) di atas. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (2) KUHAP.\n\nPerlu diketahui bahwa aset atau benda yang disita dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada yang paling berhak jika:[1]\n\nkepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.\nApabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim, benda itu dirampas untuk negara, dimusnahkan atau dirusakkan sampai tidak dapat digunakan lagi, atau jika masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.[2]\nBisakah Menyita Aset Istri Tersangka Tipikor Jika Ada Perjanjian Perkawinan?\n\nLantas, apakah aset milik istri tersangka korupsi tetap disita meski ada perjanjian perkawinan? Menurut Disriani Latifah Soroinda, S.H., M.H., M.Kn., Dosen Hukum Acara Perdata, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, untuk dilakukan penyitaan, maka perlu secara jelas diperhatikan bagaimana bentuk dari perjanjian perkawinan mengenai apa saja yang memang menjadi milik bersama dan apa saja yang menjadi milik masing-masing.\n\nBerkaitan dengan hal tersebut, perlu diketahui bahwa salah satu jenis perjanjian perkawinan adalah terkait dengan pemisahan harta dengan meniadakan harta bersama dan memisahkan harta secara penuh sepanjang perkawinan. Selengkapnya mengenai jenis-jenis perjanjian perkawinan dapat Anda simak dalam artikel Fungsi, Isi Materi, dan Bentuk-Bentuk Perjanjian Kawin.\n\nDengan demikian, kami berpendapat bahwa penyitaan terhadap harta tersangka korupsi tetap harus melihat isi perjanjian perkawinannya. Apabila perjanjian perkawinan tersebut meniadakan harta bersama selama perkawinan atau lazim disebut dengan perjanjian pisah harta, maka penyitaan benar-benar harus memperhatikan aset mana yang hanya dimiliki oleh tersangka dan mana aset milik istrinya.\n\nAkan tetapi, menurut hemat kami, apabila aset sang istri memenuhi kriteria Pasal 39 ayat (1) KUHAP, misalnya tergolong sebagai benda yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan tersangka, maka Kejagung dapat menyita aset tersebut. Contohnya aset yang disita merupakan hadiah sang suami kepada istri, yang didapatkan dari hasil tindak pidana korupsi, maka aset tersebut dapat disita dalam proses penyidikan.\n\nJika penyitaan aset atau barang yang disita Kejagung tersebut dianggap tidak sah, maka tersangka memiliki hak untuk mengajukan upaya praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 huruf a KUHAPjo. Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 (hal. 110).\n\nBaca juga:Seluk Beluk Praperadilan: Dari Objek Hingga Upaya Hukumnya\n\nJika tersangka mengajukan praperadilan dan hakim berkeyakinan bahwa penyitaan aset tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka penyitaan dinyatakan sah. Sebaliknya, apabila penyitaan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka hakim akan menyatakan bahwa penyitaan aset tidak sah dan bertentangan dengan hukum, serta memerintahkan penyidik untuk melepaskan dan menyerahkan aset kepada pemohon.\n\nSalah satu contoh putusan mengenai sah tidaknya suatu penyitaan dapat Anda simak dalam Putusan PN Tarakan No. 1/Pid.Pra/2022/PN Tarakan. Namun demikian, perlu diperhatikan lebih lanjut, bahwa hakim praperadilan hanya berhak menentukan sah atau tidaknya suatu tindakan penyitaan. Sementara, pemeriksaan terkait apakah barang yang disita ada hubungannya dengan tindak pidana atau bukan merupakan wewenang dari hakim pidana pemeriksa pokok perkara (hal. 21).\n\nMasih berdasarkan putusan yang sama, suatu tindakan penyitaan pada dasarnya dapat dikatakan sah apabila memenuhi berbagai ketentuan sebagai berikut (hal. 22-23):\n\nMendapatkan izin atau persetujuan Ketua Pengadilan Negeri;Tanda terima bukti penyitaan yang diberikan kepada orang dari mana barang itu disita;Berita Acara Penyitaan yang ditandatangani semua pihak yang terlibat (termasuk tanda tangan dari orang yang menyerahkan barang sitaan tersebut);\n\nDengan demikian, untuk memutuskan suatu aset terkait atau tidak terkait sama sekali dengan tindak pidana yang disangkakan atau dituduhkan kepada tersangka, maka diputuskan oleh hakim pidana yang memeriksa pokok perkara.\n\nDisarikan dari artikel Dasar Hukum Penyitaan Aset yang Dilakukan KPK, apabila pengadilan telah memeriksa pokok perkara dan menyatakan terdakwa bersalah maka majelis hakim juga dapat menilai apakah barang-barang yang disita oleh Kejagung benar hasil dari tindak pidana korupsi yang didakwakan. Jika majelis hakim yakin dan menganggap demikian, maka barang yang disita dapat dinyatakan disita oleh negara.\n\nNamun, apabila majelis hakim berpendapat bahwa barang yang disita tidak ada hubungan dengan tindak pidana yang didakwakan, maka majelis hakim dapat memerintahkan untuk mengembalikan barang-barang yang disita tersebut kepada terdakwa atau pihak yang berhak.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;\n\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014;Putusan Pengadilan Negeri Tarakan Nomor 1/Pid.Pra/2022/PN Tarakan.\n\nCatatan:\n\nKami telah melakukan wawancara dengan Ibu Disriani Latifah Soroinda, S.H., M.H., M.Kn selaku Dosen Hukum Acara Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia via Whatsapp pada Jum’at, 26 April 2024, jam 11.00 WIB.\n[1] Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)\n\n[2] Pasal 46 ayat (2) KUHAP"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dalam proses PKPU sebuah koperasi ditemukan indikasi terjadi kecurangan, karena anggota koperasi dipaksa ikut menggunakan pengacara yang sudah disediakan oleh pihak koperasi. Hal ini membuat proposal perdamaian koperasi agar segera disetujui oleh pengacara yang bersangkutan. Apakah indikasi persekongkolan kesepakatan proposal perdamaian ini dapat jadi alasan pembatalan perdamaian PKPU, setelah dihomologasi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Bahwa terkait dengan perdamaian dalam PKPU, telah diatur dalam UU 37/2004, pada Bab III tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bagian Kedua tentang Perdamaian, pada Pasal 265 sampai dengan Pasal 294.\n\nKapan rencana perdamaian atau juga disebut dengan proposal perdamaian diajukan dalam PKPU? Debitor berhak pada waktu mengajukan permohonan PKPU atau setelah itu, menawarkan suatu perdamaian kepada kreditur.[1]\nKemudian, dalam rapat rencana perdamaian, baik pengurus maupun ahli, apabila telah diangkat, harus secara tertulis memberikan laporan tentang rencana perdamaian yang ditawarkan itu.[2]\n\nSelain itu, debitur dalam PKPU berhak memberikan keterangan mengenai rencana perdamaian dan membelanya serta berhak mengubah rencana perdamaian tersebut selama berlangsungnya perundingan.[3]\n\nRencana perdamaian yang diajukan dapat diterima berdasarkan:[4]\n\npersetujuan lebih dari 1/2 jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; danpersetujuan lebih dari 1/2 jumlah kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan dari kreditur tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.\n\nBaca juga: Waktu ‘Tepat’ Mengajukan Rencana Perdamaian dalam Kepailitan dan PKPU\n\nApabila rencana perdamaian diterima, Hakim Pengawas wajib menyampaikan laporan tertulis kepada pengadilan pada tanggal yang telah ditentukan untuk keperluan pengesahan perdamaian, dan pada tanggal yang ditentukan tersebut pengurus serta kreditur dapat menyampaikan alasan yang menyebabkan ia menghendaki pengesahan atau penolakan perdamaian.[5]\n\nSebaliknya, pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian apabila alasan-alasan dalam Pasal 285 ayat (2) UU 37/2004 terpenuhi sebagaimana pernah diulas dalam Dapatkah PKPU Diajukan Kedua Kalinya setelah Homologasi?\n\nApabila pengadilan menolak mengesahkan perdamaian, maka dalam putusan yang sama pengadilan wajib menyatakan debitur pailit dan putusan tersebut harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 surat kabar harian dengan jangka waktu paling lambat 5 hari setelah putusan diterima oleh Hakim Pengawas dan Kurator.[6]\n\nPerlu diketahui pula, perdamaian yang telah disahkan mengikat semua kreditur, kecuali kreditur yang tidak menyetujui rencana perdamaian, di mana kreditur yang bersangkutan akan diberikan kompensasi sebesar nilai terendah di antara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang secara langsung dijamin dengan hak agunan atas kebendaan.[7]\nDugaan Persekongkolan dalam Persetujuan Rencana Perdamaian\n\nMenyambung pertanyaan Anda, apabila ada dugaan persekongkolan dalam persetujuan rencana perdamaian sebagaimana Anda dalilkan, seharusnya diungkapkan di muka persidangan pada saat sebelum dilakukannya pengesahan perdamaian (homologasi).\n\nSebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pengadilan diwajibkan menolak mengesahkan perdamaian yang sudah disetujui debitur dan kreditur apabila salah satunya karena, perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih kreditur, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitur atau pihak lain bekerjasama untuk mencapai hal (perdamaian) ini.\n\nJika Anda berniat memberitahukan terkait persekongkolan ini, tentunya Anda harus dapat membuktikan indikasi persekongkolan tersebut dengan bukti-bukti yang cukup memadai.\n\nTetapi, apabila Anda berniat mengungkapkan indikasi persekongkolan setelah pengesahan perdamaian (homologasi), hal ini sudah tidak dimungkinkan lagi oleh peraturan perundang-undangan, karena merujuk Pasal 286 UU 37/2004, perdamaian yang telah disahkan mengikat semua kreditur.\n\nDengan demikian, seluruh kreditur demi hukum harus patuh terhadap perdamaian yang telah disahkan (homologasi). Di sisi lain, dalam hal di kemudian hari si debitur lalai memenuhi isi rencana perdamaian, Anda selaku kreditur bisa menuntut pembatalan homologasi perdamaian.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.\n\n[1] Pasal 265 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”)[2] Pasal 278 ayat (1) UU 37/2004[3] Pasal 278 ayat (2) jo. Pasal 150 UU 37/2004[4] Pasal 281 ayat (1) UU 37/2004[5] Pasal 284 ayat (1) UU 37/2004[6] Pasal 285 ayat (3) UU 37/2004[7] Pasal 286 jo. Pasal 281 ayat (2) UU 37/2004"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana keabsahan perjanjian jika salah satu pihak berganti tanda tangan dan tidak mengakui perjanjian? Apa yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan atas kejadian tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Penggantian tanda tangan atau ganti tanda tangan diperbolehkan sepanjang diakui oleh orang yang membuat tanda tangan. Hal ini diatur dalam Pasal 1875 KUH Perdata yang menyatakan:\n\nSuatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.\n\nAkan tetapi, apabila tanda tangan lama sudah digunakan di berbagai dokumen penting seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK), penggunaan tanda tangan baru perlu didahului oleh penetapan Pengadilan Negeri.\nSebagai contoh, dalam Penetapan PN Mataram Nomor 115/Pdt.P/2021/PN Mtr disebutkan bahwa pemohon mengajukan permohonan mengganti tanda tangan di KTP elektronik dengan alasan tanda tangan yang lama sangat mudah ditiru oleh orang lain dan juga untuk kepentingan pekerjaan pemohon (hal. 5).\nKemudian hakim menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk mengganti tanda tangan yang tertera pada KTP elektronik serta memerintahkan kepada pemohon untuk melaporkan perubahan tanda tangan tersebut kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lombok Utara untuk dicatatkan dalam register yang tersedia untuk itu (hal. 5-6).\nKeabsahan Perjanjian\n\nPertanyaan selanjutnya, apakah perubahan tanda tangan memengaruhi keabsahan perjanjian? Pada dasarnya para pihak diberikan kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, apapun isi dan bagaimana bentuknya. Hal ini sesuai dengan penerapan asas kebebasan berkontrak.[1]\n\nNamun, meski diberikan kebebasan, suatu perjanjian wajib memperhatikan ketentuan keabsahan perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi:\n\nSupaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;\n\nKesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;Suatu pokok persoalan tertentu;Suatu sebab yang tidak terlarang.\nPenting untuk dipahami bahwa keempat syarat sah perjanjian tersebut terdiri dari syarat subjektif dan objektif. Sebagaimana diuraikan oleh Titik Triwulan Tutik dalam bukunya Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional (hal. 225-226), syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif. Sedangkan syarat ketiga dan keempat termasuk syarat objektif.\nLebih lanjut, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi, apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Di sisi lain, perjanjian menjadi batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat objektif.\n\nJawaban atas pertanyaan Anda yang mempersoalkan tentang keabsahan perjanjian akibat mengganti/tidak mengakui tanda tangan, dapat dikaitkan dengan syarat kesepakatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata di atas.\n\nUntuk dapat dikatakan tidak sah, salah satu pihak harus mengajukan pembatalan ke pengadilan. Dengan demikian, selama tidak ada pihak yang mengajukan tuntutan pembatalan perjanjian itu, maka perjanjian tetap mengikat para pihak sama seperti perjanjian yang sah.\n\nMenurut hemat kami berdasarkan uraian tersebut, keengganan salah satu pihak untuk mengakui tanda tangan di dalam suatu perjanjian tidak serta-merta membuat perjanjian tersebut batal atau kehilangan keabsahannya. Para pihak tetap berkewajiban untuk memenuhi ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian yang mengikat selayaknya undang-undang tersebut.\nTindak Lanjut atas Perjanjian yang Tidak Diakui\n\nMengingat tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai sifat dan bentuk perjanjian yang menjadi objek pertanyaan Anda, kami asumsikan perjanjian tersebut berupa akta bawah tangan. Penjelasan Pasal 165 HIR mendefinisikan akta bawah tangan sebagai berikut:\n\nSuatu akte yang ditandatangani di bawah tangan dan dibuat tidak dengan perantaraan pejabat umum, seperti misalnya akte jual beli, sewa-menyewa, utang-piutang dan lain sebagainya yang dibuat tanpa perantaraan pejabat umum.\n\nSebagaimana telah dijelaskan di atas, segala tulisan termasuk akta bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian seperti akta otentik apabila para pihak yang menandatangani mengakui kebenarannya.[2] Akan tetapi jika ada pihak yang memungkiri kebenaran tulisan atau tanda tangannya di akta bawah tangan sebagaimana yang Anda alami, maka hakim harus memerintahkan supaya kebenaran tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan.[3]\n\nDengan demikian, langkah yang dapat dilakukan jika salah satu pihak berdalih mengganti tanda tangan dan tidak mengakui perjanjian, pihak yang lain dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Oleh karena dalam hal ini pihak tersebut juga menolak memenuhi kewajibannya, maka jenis gugatan yang dapat diajukan adalah gugatan wanprestasi.\nDemikian jawaban dari kami terkait penggantian tanda tangan sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Herzien Inlandsch Reglement](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27228/node/2/reglemen-indonesia-yang-diperbaharui-(r.i.b.)-herzien-inlandsch-reglement-(h.i.r)-(s.-1941-44)/)\n2. [(HIR);](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27228/node/2/reglemen-indonesia-yang-diperbaharui-(r.i.b.)-herzien-inlandsch-reglement-(h.i.r)-(s.-1941-44)/)\n3. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\nPUTUSAN\n\nPenetapan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 115/Pdt.P/2021/PN Mtr.\nREFERENSI:\n1. Tan Thong Kie. Studi Notariat & Serba-Serbi Praktik Notaris. Jakarta: PT Ichitiar Baru van Hoeve, 2007\n2. Titik Triwulan Tutik. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2008\n3. Tanda tangan, yang diakses pada 27 Juni 2023, pukul 18.00 WIB.\n\n[1] Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)[2] Pasal 1875 KUH Perdata[3] Pasal 1877 KUH Perdata"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa isi Pasal 185 ayat (2) KUHAP? Pasal 185 ayat (2) KUHAP mengatur tentang apa?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Bunyi Pasal 185 ayat (2) KUHAP\n\nPada dasarnya, terdapat adagium hukum “unus testis nullus testis” yang memiliki arti satu saksi bukan merupakan saksi.[1] Adagium ini tercantum dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:\nKeterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.\n\nNamun, dalam memahami Pasal 185 ayat (2) KUHAP, kita juga perlu melihat ketentuan lain dalam KUHAP sebagai berikut:\nPasal 185 ayat (3)\n\nKetentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.\nPasal 185 ayat (4)\n\nKeterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.\nKetentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP dapat dibandingkan dengan Pasal 300 ayat (1) HIR dahulu yang mengatakan bahwa hakim pengadilan negeri tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika terdakwa menyangkal kesalahannya dan hanya ada seorang saksi saja yang memberatkan terdakwa sedangkan tidak ada alat bukti lain.[2]\n\nLalu, menurut D. Simons, satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri. Ajaran D. Simons tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) dan (4) KUHAP.[3]\n\nAkan tetapi, penting untuk diketahui bahwa dalam KUHAP, unus testis nullus testis hanya berlaku bagi pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat, dan tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari Penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut:\n\nDalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.\n\nBaca juga: Alat Bukti Sah Menurut Pasal 184 KUHAP\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) (S. 1941-44)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27228/herzien-inlandsch-reglement?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=hir)\n2. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/node/629/uu-no-8-tahun-1981-hukum-acara-pidana?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\nREFERENSI:\n1. Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012\n2. Ni Made Yulia Chitta Dewi (et.al). Asas Unus Testis Nullus Testis dalam Tindak Pidana Pemerkosaan Anak. Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 2, No. 1, 2021.\n\n[1] Ni Made Yulia Chitta Dewi (et.al). Asas Unus Testis Nullus Testis dalam Tindak Pidana Pemerkosaan Anak. Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 2, No. 1, 2021, hal. 192[2] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 269[3] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 269-270"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau bertanya, apakah dalam perjanjian kontrak antara perusahaan finance terhadap debitur (konsumen) tidak ada istilah diberikan pengecualian (pemutihan) terhadap debitur yang telah meninggal? Thanks Klinik hukumonline."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dalam hal ini, antara debitur dengan perusahaan finance (pembiayaan) kami asumsikan saling terikat dengan adanya perjanjian kredit yang secara sederhana dikenal sebagai utang piutang. KLINIK TERKAIT Bisakah Minta Pengampuan atas Orang yang Sering Utang? 22 Mei 2023 Terjerat Utang dengan Lintah Darat, Ini Hukumnya 07 Des 2021 Akibat Hukum Menjual Barang Kredit yang Belum Lunas 07 Jun 2011 Apakah Seorang Eks Napi Juga Harus Bayar Utang? 29 Apr 2011 Dalam suatu perikatan utang piutang, pada prinsipnya utang tersebut harus dilunasi oleh debitur. Dan apabila debitur kemudian meninggal sebelum dilunasinya utang tersebut, maka utang tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini b erdasarkan pada ketentuan hukum perdata Pasal 833 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) . Pasal tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Sebagaimana dikemukakan pula oleh J. Satrio, S.H. dalam bukunya “ Hukum Waris” (hal. 8), bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris. Walaupun memang, tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya (lihat Pasal 1045 KUHPerdata ). Dan bagi ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (lihat Pasal 1058 KUHPerdata ). Dalam hal para ahli waris telah bersedia menerima warisan, maka para ahli waris harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu (lihat Pasal 1100 KUHPerdata ). Lebih jauh, simak Tagihan Kartu Kredit Diwariskan ke Anak-Cucu? Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kembali pada perjanjian kredit antara debitur dengan perusahaan pembiayaan. Pada intinya, pada perjanjian kredit atau utang piutang tersebut berlaku hal yang sama sebagaimana telah kami kemukakan di atas. Jadi, tidak ada istilah “pemutihan” atau penghapusan utang apabila debitur meninggal. Terhadap utang, debitur maupun ahli warisnya tetap harus berusaha untuk melunasinya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana akibat hukum apabila tidak mencatatkan ciptaan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : T idak ada akibat hukum yang dapat menimbulkan suatu ciptaan menjadi tidak terlindungi dengan tidak dilakukannya pencatatan karena pelindungan hak cipta tidak mewajibkan pencatatan. Pelindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pencatatan. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta ( “ UU Hak Cipta ” ) telah mengatur mengenai bagaimana lahirnya perlindungan hak cipta. Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta menyatakan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perhatikan kalimat “timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata”. Kalimat ini bermakna bahwa perlindungan hak cipta lahir secara otomatis sesaat setelah suatu c iptaan diwujudkan dalam bentuk nyata . Penentuan dimulainya perlindungan ini ditentukan oleh saat terbentuknya ciptaan, dalam hal ini tergantung pada bentuk ciptaan tersebut. Ini kaitannya dengan yang disebut sebagai prinsip deklaratif. Sebagai contoh, apabila ciptaan yang dibuat adalah suatu karya tulis, maka perlindungan karya tulis tersebut timbul secara otomatis pada saat karya tulis tersebut selesai dibuat dan dibaca oleh orang lain meskipun belum diterbitkan dalam bentuk buku ataupun jurnal. Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami bahwa Menteri Hukum dan HAM menyelenggarakan pencatatan dan penghapusan ciptaan dan produk hak terkait. [1] Tetapi perlu dipahami dalam Pasal 64 ayat (2) UU Hak Cipta diatur bahwa pencatatan ciptaan dan produk hak terkait bukan merupakan syarat untuk mendapatkan hak cipta dan hak terkait . Dalam Penjelasan Pasal 64 ayat (2) UU Hak Cipta dinyatakan juga sebagai berikut: Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan merupakan suatu keharusan bagi Pencipta, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait. Pelindungan suatu Ciptaan dimulai sejak Ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pencatatan . Hal ini berarti suatu Ciptaan baik yang tercatat maupun tidak tercatat tetap dilindungi. Terkait pertanyaan Anda mengenai akibat hukum tidak mencatatkan ciptaan, maka dapat dijelaskan bahwa tidak ada akibat hukum yang dapat menimbulkan suatu ciptaan menjadi tidak terlindungi dengan tidak dilakukannya pencatatan karena pelindungan hak cipta tidak mewajibkan pencatatan. Hak cipta lahir secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencatatan hanya dilakukan jika dirasakan penting bagi pencipta dan diperlukan sebagai alat pembuktian. Selain itu, pencatatan ciptaan atau produk hak terkait dalam daftar umum ciptaan bukan merupakan pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari ciptaan atau produk hak terkait yang dicatat. [2] Oleh karena itu, Menteri Hukum dan HAM tidak bertanggung jawab atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari ciptaan atau produk hak terkait yang terdaftar. [3] Simak cara untuk mencatatkan hak cipta dalam artikel Tata Cara Pendaftaran Hak Cipta Lagu . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta [1] Pasal 64 ayat (1) UU Hak Cipta [2] Pasal 72 UU Hak Cipta [3] Penjelasan Pasal 72 UU Hak Cipta hak hukumonline hak cipta online hak kekayaan intelektual haki hukum hki hak atas kekayaan intelektual kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "1. Bagaimana akibat hukum pengunggah foto hewan buruan di media sosial, dimana hewan tersebut termasuk hewan yang dilindungi? 2. Apakah bisa dijerat dengan pasal 302 KUHP?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. 1. Sebelumnya, terlebih dahulu kita mengetahui apa yang dimaksud dengan hewan yang dilindungi itu. Pada dasarnya, menurut Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU 5/1990”) dan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (“PP 7/1999”) , tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis: KLINIK TERKAIT Jerat Hukum Bagi 'Pemerkosa' Hewan 19 Jun 2023 Langkah Hukum Jika Diserang Anjing Tetangga 07 Jan 2014 Langkah Hukum Jika Dicakar Ayam Tetangga 05 Sep 2013 Jerat Hukum Penganiaya Binatang 22 Mei 2013 a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi; b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 4 ayat (2) PP 7/1999 yaitu j enis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini. Di dalam lampiran PP 7/1999 disebutkan mengenai jenis satwa/hewan yang dilindungi, antara lain adalah Orang utan, Harimau Jawa, Harimau Sumatera, Badak Jawa, Penyu, dan sebagainya. Kami kurang mendapatkan informasi dari Anda mengenai foto hewan yang dilindungi yang diunggah ke media sosial tersebut. Apakah hanya berupa foto satwa yang dilindungi saja? Jika hanya berupa foto, maka pada dasarnya pelaku pengunggah tidak dapat dikenakan sanksi pidana oleh karena foto tersebut tidak mengandung muatan-muatan yang dilarang oleh undang-undang, khususnya Pasal 27 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang berbunyi: (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. (3) Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman Menjawab pertanyaan Anda, perbuatan mengunggah suatu konten/foto ke media sosial disebut sebagai perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Jadi, sepanjang foto hewan yang diunggah tersebut tidak mengandung muatan-muatan di atas, maka terhadap pelaku yang mengunggahnya di media sosial tidak dapat dijerat pidana. 2. Selanjutnya kami menjawab pertanyaan Anda lainnya mengenai apakah pelaku yang mengunggah foto hewan yang dilindungi tersebut dapat dikenakan Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Pasal tersebut berbunyi: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan 1. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya; 2. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya. (2). Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan. (3). Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas. (4). Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.” Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat (1) ialah kejahatan penganiayaan enteng pada binatang. Untuk itu harus dibuktikan bahwa: Sub 1: a. orang itu sengaja menyakiti, melukai, atau merusakkan kesehatan binatang b. perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan Sub 2: a. sengaja tidak memberi makan atau minum kepada binatang b. binatang itu sama sekali atau sebagian menjadi kepunyaan orang itu atau di dalam penjagaannya atau harus dipeliharanya c. perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan Dari penjelasan R. Soesilo tersebut, dapat kita ketahui bahwa hewan yang dimaksud dalam KUHP adalah hewan secara umum, bukan hewan/satwa yang dilindungi oleh negara. Selain itu, Pasal 302 KUHP juga memberikan hukuman pada orang yang menganiaya hewan. Artinya, mengunggah foto hewan yang dilindungi tidak memiliki keterkaitan dengan Pasal 302 KUHP. Penjelasan lebih lanjut mengenai pasal ini dapat Anda simak dalam artikel Jerat Hukum Penganiaya Binatang. Akan tetapi, lain halnya apabila hewan yang dilindungi tersebut disiksa/dianiaya, kemudian difoto. Tindakan menyiksa, menganiaya, atau bahkan membunuh hewan yang dilindungi tersebut dapat dipidana. Mengenai larangan perlakuan secara tidak wajar terhadap satwa yang dilindungi terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) UU 5/1990 yang berbunyi: “Setiap orang dilarang untuk a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup ; b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.” Sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) tersebut adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) [ Pasal 40 ayat (2) UU 5/1990 ]. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ; 3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Referensi : R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Politeia: Bogor. satwa"
} |