title
stringlengths
5
48
content
stringlengths
1.64k
26.3k
url
stringlengths
49
95
Mereka Yang Kubutuhkan
Aku terperangkap di ruangan yang gelap gulita, tiada cahaya sedikitpun. Aku tidak tahu harus kemana aku berlari dan apa sebenarnya tujuanku. Aku sendirian, aku menjerit meminta pertolongan namun jeritan yang kukeluarkan sekuat tenaga itu malah hampir tidak terdengar oleh telingaku sendiri. Aku sesak, menangis, takut, sekelilingku tidak ada sesuatu yang dapat menunjukkanku arah yang pasti, semua gelap. Hingga kutemukan suatu titik cahaya putih. Kulihat, kuperhatikan cahaya putih itu semakin lama semakin membesar dan terus membesar hingga cahayanya begitu menyilaukan. Aku terkejut, kulihat ada empat orang yang muncul di cahaya putih itu. Aku sangat mengenal mereka, senyum dan tawa mereka menemani setiap langkahku selama ini. Mereka tidak lain dan tidak bukan adalah ibu, ayah, kakak dan adikku. Namun, aku merasa aneh, mereka berempat melambaikan tangan kepadaku dan sembari mengatakan “sampai jumpa”. Aku sedih, airmataku tak terbendung lagi, aku bertanya, “Kalian mau kemana?” Rintihku dengan suara tertatih-tatih Namun tidak kutemukan jawaban dari mereka, kemudian cahaya itu kembali mengecil, mengecil, hingga terus mengecil sampai akhirnya tidak terlihat lagi, aku kembali menjerit memanggil mereka, aku tidak ingin sendirian, aku ingin ikut dengan mereka, aku terus memanggil mereka hingga… “Astaghfirullah, aku bermimpi” Aku terbangun dengan sekujur keringat di tubuhku, baru kusadar bahwa saat ini aku sedang berada di tepi sungai. Kuingat, satu jam yang lalu aku mendapati perlakuan yang tidak adil dari kedua orangtuaku, aku ingin dibelikan mereka sepeda seperti kakakku, tetapi mereka tidak mengindahkan permintaanku. Aku merajuk, lalu aku memilih menyendiri di tepi sungai hingga aku tertidur di atas bebatuan tepi sungai. Kuingat kembali mimpiku barusan, aku menjadi takut apabila itu menjadi sebuah kenyataan. Aku langsung berlari ke rumah dan yang terbayang di benakku hanya cahaya putih yang ada dalam mimpiku tadi. Sembari berlari tanpa tersadar airmataku ikut jatuh, aku tidak tahan apabila sampai di rumah nanti yang kutemukan hanya rumah kosong, tanpa penghuni dan ayah, ibu, kakak dan adikku telah pergi dariku. Aku bahkan tidak memikirkan sepeda yang kuimpikan itu, aku rela tidak mendapatkannya asalkan mereka jangan meninggalkanku. Sampai di depan rumah aku berhenti sejenak, kuperhatikan rumahku sepertinya tidak ada yang berubah, kulihat di sekeliling halaman tidak ada satu orang pun. Biasanya sore begini Ayah sering memberi makan ikan di kolam, kakak sering menyirami taman, adik dengan ligatnya bermain dengan kucing peliharaan, dan ibuku biasanya senantiasa menyiapkan hidangan sore hari di teras rumahku. Mengapa mereka tidak ada? Mengapa sore ini tak seperti biasanya? Apa yang ada di dalam mimpiku tadi benar-benar menjadi kenyataan? Apa aku memang harus rela kehilangan mereka semua? Aku semakin takut, langkahku kini menuju pintu rumahku. Kubuka pintu pelan-pelan yang tidak terkunci itu. Ku dorong perlahan pintu itu hingga terbuka lebar dan… Surpraaaiiise Aku benar-benar terkejut melihat keempat orang yang berada dalam mimpiku tadi berbaris menyambutku. Aku sendiri lupa, hari ini ternyata ulangtahunku yang ke sepuluh dan tak kusangka mereka semua mengingatnya. Satu lagi yang membuatku terkejut ternyata Ayah telah menyiapkan sepeda untuk kado hadiah ulangtahunku jauh sebelum aku mengemis meminta-minta kepadanya. Betapa bahagia aku hari ini, aku senang mempunyai keluarga seperti mereka, dan aku tidak sepantasnya bersikap egois seperti yang kulakukan satu jam sebelum ini. Cerpen Karangan: Raufi Yakub Blog: raufiyakub.blogspot.com Cerpen Mereka Yang Kubutuhkan merupakan cerita pendek karangan Raufi Yakub, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/mereka-yang-kubutuhkan.html
Jingga Tersenyum Untuk Kita
Matahari bersinar dengan teriknya, tempatku mulai penuh sesak para siswa dan siswi yang ingin tunaikan sholat dhuhur mereka, “Zahra!! Jama’ah sama aku ya!!” ucap seorang siswi “Iya, kamu yang jadi imam ya Farra!” ucap Zahra kemudian mulai masuk ke tempat wudlu, Farra mengikuti. Sesaat kemudian, Zahra menyudahi sholatnya dengan salam, berdo’a sejenak, lalu melipat mukenahnya. Ia berdiri kemudian melangkah ke luar dari tempatku, “Ups!!” seorang lelaki terhentak karena hampir-hampir menabrak Zahra, “hampir saja wudluku batal, hati-hati ya…” “eh… iya… ee… maaf, kak… maaf, ya…” ucap Zahra sekenanya, kakinya melangkah selangkah demi selangkah ke belakang, “ayo, Zahra…” ucap Farra sambil meraih tangan Zahra, kemudian menariknya keluar dari tempatku, Zahra kembali menoleh, menatap lelaki itu, begitupun sang lelaki, “hey! jangan melamun, Di! ayo kamu jadi imam” ucap lelaki yang lain. — “Ciyee… yang tadi pandang-pandangan…” ucap Farra sambil mencubit kedua pipiku yang semakin lama, makin bersemu merah, “aku tadi hampir aja menabraknya… iihh… maluu…” ucapku, kututup mukaku dengan helai kain jilbabku, “tapi bentar lagi udah nggak disini kakaknya…” mataku mulai berkaca, “Lho, emang mau kemana?” Tanya Farra dengan muka polosnya, matanya membulat, aku lesu, kutundukkan kepalaku, membenamkan wajahku dalam dekapan dua lenganku, “ya, keluar… kan udah kelas tiga…” gumamku, Farra hanya memonyongkan bibirnya membentuk huruf “o”, “kak Ardi…” ucapku sambil menerawang. raut muka kak ardi Esoknya, Farra dan Zahra, lagi-lagi menunaikan sholatnya di tempatku, lagi-lagi bercengkrama, lagi-lagi Zahra melayangkan pandang kepada Ardi, entah dibalas atau tidak, ia hadiahkan sebuah senyuman manis berlesung pipit kepada lelaki tersebut. Pernah, pada suatu hari, Zahra tergirang-girang, memeluk Farra erat, “kakaknya menyapaku!! senyumnya itu loh!” bisik Zahra di telinga Farra, tangan Farra menepuk-nepuk pundak Zahra “selamat…” ucapnya senang, “duluan ya dek” ucap Ardi, tiba-tiba, ia sudah ada di belakang Zahra, “hah?! iya kak…” sahut Farra, “aku gak tanya kamu, aku tanya ke Zahra.” Ucap Ardi lalu tersenyum pada Zahra, punggungnya sedikit ia bungkukkan meminta jalan, dan seperti yang kalian bayangkan, wajah Zahra, merah padam, Farra usil mencolek-colek perut Zahra “echiyeee…” lontarnya kemudian, dan wajah Zahra, semakin mirip tomat. — “Ardiii…” seseorang memanggil nama kak Ardi dengan centil, “nyanyi dong buat aku..” ucapnya kemudian, “aku gak bisa nyanyi, ca…” ucap kak Ardi sekenanya. Aku duduk di pinggir joglo, bersama Farra yang mencari sinyal wifi Lab. kimia, mataku sedari tadi menatap kak Ardi dan kakak kelas perempuan yang tadi dipanggil ca oleh kak Ardi, “ayo, suaramu kan enak…” ucap perempuan tersebut. “caca, aku Cuma bisa mengaji.” Ucap kak Ardi, lalu berdiri meninggalkan kak Caca, “aku mau sholat” ucapnya kemudian masuk ke tempat wudlu, kak Caca menghentakkan kakinya lalu melangkah pergi. Aku buru-buru berdiri, “Farra, aku mau ambil wudlu dulu.” Ucapku, Farra hanya menoleh lalu mengangguk, matanya tertuju pada layar laptop sedari tadi. Ku langkahkan kaki memasuki tempat wudlu, ada berbelas kran disini, tapi hanya ada aku dan kak Ardi yang ada untuk menggunakannya, gemercik air mengalir membasahi anggota wudlu kak Ardi, aku menatap dengan seksama, menatap kelihaiannya membasuh wajah arahnya, bagai bidadara turun dari surga, “kamu ngapain, Za?” tanya seseorang di belakangku, aku menoleh, lalu terhentak “kak… Caca…?” ucapku tertahan, dari mana dia tahu namaku? “ak… aku… mau wudlu…” jawabku terbata, kak Caca memincangkan matanya, “masa?” sambil menyelidik dari ujung jilbab hingga ujung kakiku, “kamu nggak kayak mau wudlu tuh” lanjutnya, lalu sengaja lewat sambil menabrak pundakku, “hay, Ardi sayang… jama’ah sama aku, yak” ucapnya, mataku terbelalak, “apa kak Caca sama kak Ardi udah jadian ya,” kata hatiku, tiba-tiba air mataku sudah menetes, tak kuat, tak mampu, kenyataan itu benar-benar menyakitkan, aku berbalik lalu berlari menjauh, memejamkan mataku, merendam hatiku yang hancur, “Zahra!!” teriak seseorang, “Farra!!” batinku, aku berbalik kemudian mendekap tubuh Farra, sambil tersedu, untuk sesaat aku harus menenangkan hatiku. “Dek!!” oh, itu suara kak Ardi, “Zahra!!” aku tetap membenamkan wajahku dalam dekapan Farra, “dek Zahra!!” aku makin mempererat dekapanku. “Far, ayo lari…” bisikku, “he’eh,” sahutnya. “satu… dua… tiga…!” komandoku, kami pun lari menjauh. Entah kenapa, hari-hari ini Zahra tak pernah terlihat melipat mukenahnya di tempatku, hanya Ardi yang masih setia dan tidak pernah absen tunaikan sholat dhuhurnya. Kulihat seusai salam, ia beranjak berdiri lalu mengambil mushaf al-qur’an di almari kaca, ia duduk kembali, lalu membaca ta’awudz, suaranya indah nan merdu, lirih, tapi, menyalurkan energi positif ke sekitarnya, nada tartilnya syahdu, sedikit menyiratkan rasa kesedihan, “apa sebenarnya yang terjadi?” batinku. Sedang di luar, Zahra berjalan lambat, kakinya ia seret dengan enggan, tiba-tiba ia berhenti tepat pada saat berada tiga meter dari pintu, ia tolehkan kepalanya, menatap lurus ke depan menerobos daun pintu, dahinya berkerut penasaran, “siapa pemilik suara ini?” batinnya, beberapa saat berikutnya ia tersadar bahwa suara itu milik Ardi, matanya berkaca-kaca, nafasnya berat entah kenapa hatinya sakit. Ia pun berjalan cepat sedapat mungkin menjauhi suara syahdu tersebut. Dan Ardi yang ada di dalam, melantunkan ayat Al-Qur’an dengan nada yang miris, menyayat hati, matanya berkaca-kaca, ia pun menutup mushafnya, meletakkan kembali di lemari kaca lalu berlari ke arah pintu dan menoleh ke arah Zahra pergi, “Ya Allah, aku menyayanginya…” gumamnya sambil menatap tas sekolah Zahra yang melangkah pergi tanpa berkedip. April, 2014 “Farr, udah berbulan-bulan aku gak lihat kak Ardi senyum buat aku,” ucapku lirih, di kejauhan, ku lihat kak Ardi bercanda tawa dengan teman-temannya, hari ini aku menemani Farra menjaga kopsis karena teman barengannya pada nggak masuk “ya, sana… sapa duluan…” ujar Farra “nggak mau…” rengekku, “eh aku mau ke kelas dulu, ambil uang buat jajan…” ucapku, kemudian melangkah ke luar kopsis, baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba seseorang memanggilku dari belakang “Zahra!!” aku tetap berjalan, “Zahra!! tunggu aku…” aku pun berhenti, derap lari mendekatiku dan, aku tahu, itu suara kak Ardi. “maafkan aku ya,” ucap kak Ardi di belakangku “I… iya…” sahutku terbata, tetap menbelakangi, dadaku berdegub kencang, semoga kak Ardi tak mendengarnya, “hadap sini dong, Zah… aku ingin melihat senyummu” ucap kak Ardi, meraih pundakku, lalu membalik tubuhku, “nah… gini kan enak…” ucap kak Ardi sambil memandang wajahku, aku menunduk, tersipu malu, sedang kak Ardi tersenyum manis. “udah dulu yaa…” ucap kak Ardi lirih sambil berjalan meninggalkanku. Sampai saat ini, dadaku tetap berdegup cepat, “Farraaa!!” teriakku sambil berlari menuju kopsis, “aku harus kasih tahu ke Farra!!” batinku. “Ayo jamaah Farr!” ucap Zahra sambil menoleh pada Farra yang masih berada di pintu. “Iya…” sahut Farra sambil meletakkan tasnya di atas almari kaca, “wudlu dulu yuk,” ajak Zahra, Farra pun mengikuti. Zahra dan Farra kembali lagi, mengambil mukenah dari tas mereka lalu memakainya, “kamu apa yang imam Farr?” Tanya Zahra, “ee… tiba-tiba aku pingin BAB nih…” ucap Farra sambil memgang perutnya. “hahh? sana… entar malah kentut disini lagi,” seru Zahra dengan posisi bak mengusir ayam, “huu… enggak lah yau!!” sahut Farra sambil memonyongkan bibirnya. “aku sholat duluan ya!!” ucap Zahra, “yaa… sana duluan” Farra berkata sambil melangkah pergi. Tiba-tiba seseorang berdiri di belakang Zahra saat ia sedang menggelar sajadahnya, “Zah…” panggilnya, “i… iya… kak?” jawab Zahra ragu-ragu, “ada apa kak Ardi?” tanyanya, “boleh aku jadi imammu?” Tanya Ardi, senyumnya mengembang, rambutnya yang basah terkena air wudlu berkilau tertimpa sinar mentari, Zahra melongo, kemudian mengangguk cepat-cepat, “makasih…” ucap Ardi lagi “jadi imam selamanya juga taka papa” gumam Zahra sambil menutup mulut dengan jemarinya, berharap Ardi tak sampai mendengarnya. “Boleh aja…” sahut Ardi singkat sambil mengembangkan senyum, Zahra terbelalak, pipinya merah, dan senyumnya, tak mampu sembunyikan lesung pipitnya. Agustus, 2014 Pagi yang cerah, kenari-kenari kecil hinggap di pohon samping musholla, pagi ini seluruh siswa-siswi MAU di wajibkan mengikuti mauidhotul hasanah dari kyai Dim, dan aku duduk di sisi kiri joglo, menatap lurus ke arah musholla, kyai Dim mengakhiri tausiyahnya dengan do’a, aku pun mengamini. Setelah kyai Dim meninggalkan joglo, ustad Sholihan meraih mike dan berucap salam “assalamu’alaikum wr. wb, anak-anakku, Alhamdulillah kakak kalian yang bernama Ardiansyah telah men…” “hah? Kak Ardi? ada apa?” batinku bertanya-tanya. Tiba-tiba, aku teringat akan kak Ardi, ia telah meninggalkan pondok ini empat bulan yang lalu, terkenang akan senyumnya, lantunan nada indahnya, rambutnya yang basah terkena air wudlu dan sentuhannya di pundakku. Aku terpelanting jauh di masa lalu, bernostalgia dengan segala kenangan yang aku punya. “wassalamu’alaikum wr. wb” ucap ustad Sholihan mengakhiri, “lho, Farr? ustad Sholihan tadi ngomong apa?” tanyaku pada Farra sambil menyikut pinggulnya, sedang Farra, hanya tersenyum tak mau menoleh, “Farraaa…” rengekku, “tadi ustad Sholihan bilang kalau kak Ardi dapet beasiswa ke Yaman” ucap Farra, mataku berkaca-kaca karena haru. Dua tahun kemudian, Maret, 2016 Hampir setiap saat di setiap harinya, aku melihat Zahra keluar-masuk pintu, entah hanya mengaca, tunaikan sholat, belajar, menghafal, ataupun bercengkrama dengan Farra temannya. Paras eloknya begitu ceria walau aku tak lagi pernah melihat Ardi di sisinya. Pada suatu saat Zahra dan Farra berbincang seusai tunaikan sholat dhuhur mereka, “aku ingin menyusulnya Farra,” ujar Zahra, Farra pun tersenyum “ya, ditambah lagi porsi belajarnya.” ucapnya. Yaman, Agustus 2016 Kutelusuri jalan setapak menuju Al-Ahqaaf University, langit mulai memega merah, jingganya melebur dengan segumpal-segumpal awan berwarna abu-abu, angin semilir, dedaunan pohon palm bergoyang-goyang teterpa, “dingin sekali…” gumamku sambil merapatkan jaket dengan satu tangan karena tangan yang lain memegang koper. Tiba-tiba, adzan berkumandang, cepat-cepat aku berjalan, langkahku kulebar-lebarkan, “dimana masjid yang kumandangkan adzan tadi?” tanyaku dalam hati. Sambil menoleh ke kanan-kiri, dan tetap terus berjalan. Hingga akhirnya terdengar pujian, suaranya begitu syahdu, merasuk ke hati, aku tersadar, ini suara milik seseorang yang telah membuatku harus menunggu begitu lama, tak salah lagi ini suara kak Ardi!!. Aku berlari dengan gagang koper tetap di genggaman tangan “ini, sudah tak jauh lagi!” sorak hatiku, suara pujian itu semakin lama semakin dekat. Ku toleh ke kiri, “itu dia” desisku. Sebuah bangun persegi yang terlihat sederhana, tapi begitu sejuk karena dikelilingi pohon palm yang menajuk. Ku langkahkan kaki masuk ke halaman masjid, dinding masjid seakan transparan, karena penuh dengan jendela-jendela kaca, dan dari luar, kulihat dengan mata kepalaku sendiri, kak Ardi berpeci putih, berbaju putih, dan bersarung putih, sedang menunduk dengan mike di tangannya, tiba-tiba air mataku menetes tanpa sempat ku tahan. Ku langkahkan kakiku lebih dekat, ku sentuh jendela kaca sambil memanggil kak Ardi dengan suara hampir tertelan, “kak Ardi” bisikku, dan, kak Ardi pun menoleh, mengucek-ucek matanya, lalu berlari ke arahku, “Zahra!!” teriaknya, kakiku melemas, air mataku semakin deras, dadaku berdegup kencang. Semakin dekat, jarak antara aku dan kak Ardi semakin dekat, tiba-tiba, ia memelukku “kali ini aku sangat serius, Zah” ucapnya, kurasa, wajahku tak rupa merah lagi, dan dada ini tak hanya berdegup, copot mungkin, “aku akan jadi imammu, selamanya” lanjutnya, tak hanya mataku, mata kak Ardi pun berkaca, “terimakasih, kak…” ucapku mafhum sambil menyeka air mata. — “Yah… hari-hariku datar,” gumamku. ”Kalian tahu pembaca? akulah saksi semua cerita cinta Zahra… hahaha” ucapku melantur “sekarang, Zahra dan Ardi mungkin telah berlaut dengan kebahagiaan mereka, semoga ada penerusnya ya, hahaha…” lanjutku, “tuuh kan, mulai melantur lagi,” tiba-tiba ustad Fauzan dan beberapa orang yang berpakaian seperti tukang masuk ruangan, “musholla ini sudah harus di renovasi bagian itu, itu, itu” ucap ustad Fauzan sambil mengacung-acungkan tangannya kepadaku, “yap!!” aku ini musholla, kebayang nggak? hahaha…” lanturku lagi, dasar. TAMAT Cerpen Karangan: Fanyna Farizha Blog: Http://fanyna-fayf.blogspot.com Cerpen Jingga Tersenyum Untuk Kita merupakan cerita pendek karangan Fanyna Farizha, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-islami/jingga-tersenyum-untuk-kita.html
Saranghae Sunbae
“Berdiri! Lakukan sekali lagi!” Sungguh gila Sunbaeku yang satu ini, tak ada hentinya dia meremehkanku. Meskipun aku tahu seberapa keras aku berusaha melawannya aku juga tak akan pernah menang. Tapi, semakin dia menjatuhkanku semakin besar keinginanku membuatnya jatuh juga. “sudah kubilang kau harus banyak berlatih, kan? Tapi kau selalu saja mengabaikan perkataanku. Latihan hari ini berakhir sampai di sini saja, baboya!” Aku hanya bisa tertunduk menyembunyikan wajah kesalku atas perlakuan Sunbae terhadapku. Saat ku dengar derap langkah Sunbae meninggalkanku, tanpa aku sadari tiba-tiba saja kalimat itu meluncur keluar dari dalam mulutku, “Sunbae! Bertarunglah lagi denganku. Tiga minggu lagi. Ya, tiga minggu lagi aku akan berubah menjadi gadis yang kuat dan pasti aku akan mengalahkanmu!” Tak sedikitpun kudengar jawaban dari Sunbae, bahkan kini derap langkahnya pun sudah tak ada. Aku berpikir mungkin dia sudah pergi, dengan sedikit keberanian yang tersisa aku mengangkat kepalaku untuk memastikan apa yang terjadi. “baiklah tiga minggu lagi kutunggu di sini dan pastikan kau bisa mengalahkanku. Jika tidak, Neo jugeo (kau mati)!” Perkenalkan namaku Song Hye Gyo, yang tadi itu adalah Sunbaeku, sekaligus Oppaku Mark Tuan. Pasti kalian bingung kenapa kami tak memiliki marga yang sama. “mworago? Neo Micheonnabwa (apa kau sudah gila)? Dia Oppamu!” setelah mendengar perkataanku im jae beom Oppa sangat marah dan dia memukul kepalaku. “appoyo (sakit)! Dia bukan Oppa kandungku, bahkan dia tak pernah mengaggapku adiknya.” “aissh.. bocah ini!” Dari balik sofa aku melihat ada sebuah tangan yang sedang bergerak. Dengan reflek aku memeluk JB Oppa. “Oppa!” Tiba-tiba JR memunculkan kepalanya. “hei JR! apa yang kau lakukan. Kau mau hyeong dan dongsaengmu ini mati?” JR tak mempedulikannya, dia hanya berjalan menuju dapur untuk mengambil minum sambil bergumam. “kalian berlebihan, kalian tak akan mati hanya karena terkejut.” Wang Jackson keluar dari persembunyiannya. Hyeongku yang satu ini sangatlah suka bersemedi dalam kamar. “neo achimbuteo shikeurewo (kau berisik sekali hari ini)!” JB Oppa menjelaskan semuanya kepada jakson Oppa. Reaksi yang mereka keluarkan semuanya sama. Bahkan jaskson Oppa menolak untuk mengajariku. “baiklah aku tak akan meminta bantuan kalian. Jangan menyesal jika kalian kehilangan seorang dongsaeng yang cantik sepertiku” aku memutuskan meninggalkan mereka tanpa peduli dengan teriakan Jackson Oppa yang terus memanggilku. Minggu Ke-I: “heit! heit! heit!” “Song Hye Gyo! Istirahatlah dulu. Kau sudah berlatih selama tiga hari tanpa istirahat. Kecuali tidur dan makan.” JR Oppa menghampiriku yang diikuti oleh Bambam. “aku membawakanmu coklat kesukaanmu. Kemarilah.” Karena mendengar kata coklat hatiku pun mulai goyah, aku menghampiri Bambam untuk mengambilnya. “gomawo,” Bambam Oppa memualai pembicaraan. “aku sudah mendengar semuanya. Apa kau yakin akan melakukan ini” “ne” tiba-tiba JR Oppa buka pendapat. “tapi bisakah kau menang?” “arasseo! Jangan pernah meragukan kemampuanku.” “Baiklah, waiting” Kreeek! Suara pintu dibuka aku melihat kepala Jackson Oppa muncul di balik pintu dojo. “apa yang kau lakukan! Bisa-bisanya kau enak-enak makan. Cepat mulai latihan!” “mwo (apa)?” aku menatap Oppaku satu persatu. Mereka hanya tersenyum. Aku pun berlari memeluk Jackson Oppa dan memberikan popo, -ciuman di pipi. Minggu Ke-II: “hanya segitu saja kemampuanmu? Bagaimana mungkin kau bisa mengalahkan hyeong!” Aku terus saja menyerang tanpa henti, aku tak boleh menyerah. Semua telah membantuku. Aku tak mau kalah dari Mark Oppa. Buk! “appo..” aku mendesis kesakitan. “appo? Kau bilang sakit? Bagaimana jika kau melawan hyeong nanti? Bisa-bisa kau akan kalah dan masuk ICU!” Tanpa kusadari air mataku mengalir di pipi. “mianhae Oppa. Aku sadar aku tak akan pernah menang melawan kalian.” Jackson Oppa pun menghampiriku. Aku merasakan tangannya menggenggam pundakku dengan erat, “mianhae Hye Gyo, aku hanya merasa khawatir dengan keputusanmu. Sebenarnya apa yang ingin kamu buktikan pada hyeongmu itu?” Aku hanya bisa diam, lebih tepatnya lidahku terasa kaku, tak sedikitpun kata-kata bisa keluar dari mulutku. “apa karena kamu mencintainya?” aku hanya bisa tersenyum sinis mendengar perkataan Jackson Oppa. “sarang? Ne, aku mencintai mark Oppa sejak pertama eomma dan appa membawaku ke rumah. Awalnya aku sangat benci dengan Oppa yang tak pernah mau menganggapku adik. Tapi aku sadar diri aku hanyalah anak pungut. Anak dari sahabat eomma yang meninggal. Tapi tanpa aku sadari perasaan ini sudah berubah begitu cepat.” JB Oppa yang sedari tadi hanya diam kini telah menggenggam tanganku dan menghapus air mataku. “kau salah paham, hyeong begitu menyayangimu bahkan dia mencintaimu. Bahkan sebelum eomma dan abeoji membawamu sebagai adik mark. Setiap pulang sekolah dia selalu melewati depan rumahmu dan dia berkata ‘dia putri teman eomma. Dia sangat cantik. Suatu saat nanti aku akan memanggilnya Chagiya’ Karena itu dia tak pernah bisa menggapmu seorang adik. Dia terus bekerja dari pagi hingga malam di kantor aboeji adalah karenamu. Semua hadiah yang kau dapat itu adalah hyeong. Sikap dinginnya karena dia tak ingin kehilanganmu” “bahkan yang memintaku membantumu adalah hyeong.” Perkataan Jackson Oppa dan JB Oppa membuat air mataku terus mengalir dengan deras, aku tak bisa berhenti. “karena itu jangan kalah hanya karena perasaanmu. Karena Oppa-Oppamu ini akan selalu menjagamu.” Minggu ke-III (hari terakhir): “heit! heit! heit!” Buk! “Oppa gwenchana?” Jackson Oppa terjatuh. “gwenchana. Kau sungguh hebat. Aku rasa latihan hari ini sudah cukup. Istirahatlah, dan aku akan meminta JR mengobati lukaku.” Aku tersenyum bahagia, aku telah berhasil menjatuhkan satu macan tutul. “gomawo Oppa!” setelah ini aku berniat untuk menemui Bambam Oppa. Tapi setelah aku mandi dan berganti pakaian. 19:00 PM Tok! Tok! Tok! “Oppa,” Aku tak melihat sedikitpun ada hidung mancung Bambam. Di mana dia sebenarnya, ketika aku berjalan ke taman belakang. Aku tak sengaja mendengar. “wae? Bukankah hyeong bilang akan melawan Hye Gyo?” bukankah itu suara bambam Oppa? Dengan siapa? “aku tak bisa melawannya. Aku tak bisa menyakitinya, katakan saja besok aku ada tugas ke luar kota. Dia pasti akan mendengarkanmu,” Mark Oppa? Mwo? Dia tak mau melawanku? Apa-apaan ini? “hyeong dia sudah berlatih sangat keras. Apa hyeong akan menghancurkan perasaannya? Bukankah hyeong mencintainya? Jika begini hyeong akan kehilangan dia.” Sarang? Naega? Aku bingung mendengar perkataan mereka. Jika dia mencintaiku tak seharusnya dia menghindariku. Aku berusaha pergi dari sana. Pyaaar!! Aishhh.. cerobohnya aku!! “siapa dis ana?” aku memutuskan untuk bersembunyi di kamar mandi. “bagaimana mungkin guci ini pecah dengan sendirinya?” aku mendengar derap kaki Oppa-Oppaku menjauh pergi. Hari penentuan: 06:00 AM Tok! Tok! Tok! Ku buka pintu kamar Mark Oppa. Kulihat dia sedang tidur membelakangi pintu. “Sunbae.. jangan pernah berpikiran kau bisa kabur. Dan aku tahu kau sedang tidak tidur, kutunggu di dojo siang ini” Kututup kembali pintu kamar Oppa. Ada rasa takut jika Oppa tak datang. Tapi aku harus percaya dengan Oppa. Dia tak pernah ingkar dengan janjinya. Pukul 14:00 PM Apa dia tak datang? Sudah jam segini dia tak juga muncul. Apa dia benar-benar, “aish Sunbae ternyata benar-benar pengecut!” “mwo? Siapa yang kau katai pengecut, babo? Ayo kita mulai” Setengah jam berlalu. Satu jam berlalu. “aish.. jika begini aku tak akan pernah bisa menang,” kalimat kekalahanku mulai memenuhi otakku. “wae? Kau akan menyerah? Gurae?” tersungging senyum sinis milik Sunbae. “Naega? Menyerah? Ani. Aku tak akan menyerah hanya karena orang seperti Sunbae!” Aku mulai bangkit kembali. Berkali-kali aku terjatuh. Tapi aku akan berkali-kali bangkit juga. Bukankah seperti itu perasaanku? Aku akan membuatnya mengakui hatinya padaku. Buk! Mwo? Sunbae terjatuh? Wae? “dari mana kau belajar tendangan memutar itu? Jackson?” “Ne. Sunbae gwenchana?” Aku baru saja menjatuhkannya. Aku tak percaya ini. Semuanya tak sia-sia. Aku menang. “apa maumu?” “naega, jadikan aku kekasihmu.” “mwo? Nae yoja chingu (kekasihku)?” “Ne. Neo yoja chingu!” Tiba-tiba saja Mark maju mendekatiku. Dan itu membuatku cukup takut, aku terus mundur menjauhinya. “wae (kenapa)? Kenapa kau terus mundur?” “eng.. a-a-ani!” saat aku akan mengatakan, “sa..sa..ranghae op..” Cup.. Tiba-tiba saja bibir Oppa mendarat di atas bibirku. Awalnya aku sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Oppa. Tapi ada perasaan bahagia menjalari hatiku. Singa ini akhirnya mengakui hatinya dan aku sangat menikmati perasaan itu. Cerpen Karangan: Nimas Putri Fitria Sari Facebook: Nimas Fitria Sari Nimas putri fitria sari, seorang pelajar SMA kelas XI IPA. lahir dikota Banjarmasin pada tahun 1997. Cerpen Saranghae Sunbae merupakan cerita pendek karangan Nimas Putri Fitria Sari, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-korea/saranghae-sunbae.html
Ketika Hati Harus Memilih
Aku hancur, ku terluka Namun engkaulah nafasku Kau cintaku, meski aku Bukan di benakmu lagi Dan ku beruntung sempat memiliki mu *Yovie & Nuno ~ sempat memiliki Yah, lagu ini adalah kenang-kenangan dari seorang cowok kocak dan gokil, namanya Arfie. Terakhir kali kami telfonan, dia menyanyikan lagu ini sambil main gitar, yeah.. walaupun rada-rada fales juga suara gitarnya. Dan setelah itu, kami memang tidak ada menghubungi satu sama lain. Nomor handphone dia juga sudah aku hapus dari kontak ku. Mau tidak mau, yah harus mau. Awal perkenalan kami yah, gara-gara facebook.(kayak lagu dangdut). Arfie ini adalah seorang penyiar di salah satu radio, dan aku suka banget dengarin radio ini. Hingga pada akhirnya aku gabung group radio ini di facebook. Dan setelah bergabung, selang beberapa hari ada seorang cowok inbox aku. Nama akun facebooknya “Arfie Nafizar”. Aku bingung, siapa cowok ini langsung inbox dan rada-rada sok kenal gitu kata-katanya. Dia inbox begini: “hey, kamu anak semester 4 itu ya” Aku reply saja “bukan, kau salah orang” And dia reply again “masa sih, tapi aku yakin deh yang aku lihat di kampus tadi emang kamu” “ha? kapan kakak lihat aku? Eh, ini kak Arfie penyiar radio itu ya” “iya, haruskah aku membentangkan spanduk biar kamu lihat aku di kampus?” “harus dong, jangan lupa di spanduknya di tulis “SLANK” hahahaha” Yah, begitulah awal perkenalan kami. Dan dia ternyata kakak tingkat ku di kampus. Tiap hari, aku selalu chatting sama dia. Anaknya memang asyik sih, gokil pula. And dia ini penggemar berat Liverpool. sedangkan aku sendiri, pecinta Manchester United. Jadilah kami selalu nyambung kalau ngomongin soal bola. Dan ini semua membuat kami jadi makin akrab. Walau di kampus kami cuma melihat dari jauh saja, karena kelas kita seberangan. Huhu.. Dan, semua ini membuat aku jadi takut. Yah, takut kalau nanti dia suka sama aku. Karena bagaimanapun juga, aku sendiri sudah ada yang punya, dan kekasihku itu sekarang sedang kuliah di luar kota. Aku dan dia menjalani hubungan jarak jauh selama 3 tahun. Dan kedekatanku dengan Arfie, tentu saja tidak diketahui olehnya. Tapi aku tetap saja was-was, karena kakak dari kekasihku ini satu kelas dengan Arfie di kampus, dan mereka juga berteman akrab. Dan hal yang aku takuti, akhirnya terjadi juga. Arfie nyatakan perasaannya ke aku. Dan aku? Hah, bodohnya aku ini, kenapa aku juga suka sama Arfie. Dan akhirnya, Arfie tahu kalau aku sudah punya cowok. Tapi dia tetap sayang, walaupun semenjak dia tahu hal itu, dia sempat nggak ada hubungin aku lagi. Dan aku pun berusaha buat lupain dia, tapi ternyata nggak semudah yang di bayangkan. Karena di kampus, tanpa disengaja kami sering bertemu. Dan kadang saling curi pandang lewat jendela kelas masing-masing. Sampai akhirnya, dia kembali kirim sms ke aku “entah kenapa, dari tadi aku memikirkan kamu terus, maaf” Semakin sakit rasa hatiku baca pesan singkat dari dia. Dan setelah sms itu, kami jadi komunikasi lagi, dan akrab lagi, walaupun dia tahu, aku ini milik orang lain. Dan akhirnya, aku kembali berhenti komunikasi dengan dia, semua ku lakukan demi keutuhan cintaku dengan kekasihku. walaupun memang berat untuk melupakan Arfie. Dan malam itu aku iseng dengar radio. Dan ternyata, Arfie yang lagi siaran, dan di sela cuap-cuapnya itu dia bilang malam itu mau berangkat ke Bandung. Wow, mau ngapain ya dia ke sana? Tanyaku dalam hati. But, siapa gue gitu harus tahu mau ngapain dia ke Bandung. Ya udah, tutup mulut aja deh. Dan selama 4 hari dia nggak masuk kuliah. Jadi nggak semangat aku, sepi juga nggak ada yang di lihatin di kelas seberang. Dan bebarapa hari kemudian, saat aku siap-siap ke kampus, aku dapat sms dari Arfie “kamu dimana” “di kampus” jawabku singkat “aku tunggu di gerbang kampus yah, aku mau ketemu sebentar, ada sesuatu yg mau aku kasih ke kamu” Wow banget aku dapat sms dari dia. Aku fikir sudah bisa lupain aku, tapi ternyata malah ngajak ketemuan. Sampai di kampus, ternyata kelasku sudah ada dosen. Aku sms aja dia “kelasku udah ada dosen nih” And dia reply “ya udah, ntar kalau kamu duluan pulang tunggu aku di gerbang ya, jangan pulang dulu” “oke” Dan ternyata benar, kelasku duluan pulang. Jadi deh aku nunggu dia di gerbang. Tapi lama-lama bete juga, akhirnya aku pindah tempat deh ke depan kampus. Nggak lama kemudian dia sms “dimana?” “aku di depan kampus” Tidak lama kemudian, dia datang dan memanggil aku. Aku kemudian mendatangi dia “ini buat kamu”. Kata Arfie “apa ini?” “udah ambil aja, aku duluan ya” kata Arfie yang langsung pergi meninggalkan aku. Aku masih saja bengong dengan sesuatu yang ada di tanganku sekarang ini, sambil ngeliatin Arfie yang senyum dari kejauhan. Gantungan kunci Manchester United? Oleh-oleh dari Bandung nih? Aku pun bergegas pulang. Dan setelah pemberian kunci itu lah terakhir kali aku komunikasi dengan dia. Sampai pada akhirnya aku lihat berita di facebook, kalau dia berpacaran dengan seorang cewek yang berasal dari luar pulau. Jujur, sempat jealous juga membaca berita itu, tapi siapa aku sampai harus jealous, harusnya aku senang, karena dia sudah dapat pengganti aku. Dan aku, langsung delete nomor handphone Arfie. Mungkin dia juga begitu. Dan sejak saat itu, aku fokus dengan hubunganku sendiri. Dan, malapetaka itu akhirnya terjadi juga. Entah dapat berita dari siapa, kekasihku tahu tentang kedekatanku dengan Arfie. Dia marah, sedih dan kecewa denganku. Dan aku, merasa jadi orang paling bodoh sedunia karena sudah menghancurkan kepercayaan kekasihku sendiri. Dan untungnya, kekasihku mau memaafkan ku, dan hubungan kami masih berjalan hingga saat ini. Aku benar-benar menyesal sudah menyakiti hati seorang pria yang tulus cinta padaku. Dan cinta memang harus memilih, karena hati itu sepasang, hanya ada aku dan kamu, dua, bukan tiga. Aku berharap Arfie juga bisa segera melupakan aku, dan membuang jauh semua kenangan yang pernah terjadi antara aku dan dia. Karena cinta, memang harus memilih Cerpen Karangan: Elita Nur Fhadillah Facebook: Lita Nur Fhadillah Cerpen Ketika Hati Harus Memilih merupakan cerita pendek karangan Elita Nur Fhadillah, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-galau/ketika-hati-harus-memilih.html
Hijab
“Kenapa cewek itu harus berhijab?” Tanya Syifa pada seorang pemuda yang duduk di bangku di depannya. Cowok itu tidak menoleh, hanya cukup mendengar. Sepasang kedua matanya yang teduh menerawang ke depan. Seulas senyum indah terukir di bibirnya. “Yeee dijawab malah senyum. Lo masih waras kan syihab? Gue nanya nih.” Pria yang dipanggil Syihab itu lantas merogoh saku celananya dan mengeluarkan dua bungkus permen. Lalu menyodorkannya ke Syifa. “Untuk gue ya?” Tanya cewek itu dengan binar-binar di matanya. Syihab mengangguk. Namun belum sempat Syifa mengambil permen itu, Syihab terlebih dulu membuka salah satu bungkus permen dan menjatuhkan kedua permen itu di lantai. Syifa merengut, “niat ngasih nggak sih? Berasa sengaja tadi.” Lagi-lagi Syihab hanya memberikan tersenyum. Syifa memungut salah satu permen itu seraya menggerutu, “nggak apa-apalah, yang satunya belum kebuka juga.” “Kok nggak ambil permen yang itu juga.” Tunjuk Syihab pada permen yang telah terbuka bungkusnya. “Gue masih waras Syihab. Nggak gila. Itu permen sudah kotor, tuh nggak lihat belum berapa menit sudah ada semut di sana. Gue manusia, pengen makan yang enak dan pasti yang bersih tambahin higienis.” “Nah, itulah jawabannya.” Syifa cengo, ia hampir keselek permen yang baru masuk di mulutnya. “Permen itu mengibaratkan wanita yang berhijab dan tidak. Kita umpamakan permen yang terbuka itu adalah wanita yang tidak berhijab. Permen itu manis bukan? Dan pasti banyak yang suka. Sehingga ketika ia terbuka, akan banyak mendekati. Tentunya dengan macam-macam cara dan tujuan. Coba lihat permen itu ketika telah terbuka. Apakah masih ada yang mau memakannya? Tidak kan. Apakah masih berharga, jika sudah tergeletak di lantai lalu ditutupi oleh debu-debu yang menempel di tubuhnya. Coba lihat permen yang kau pegang. Kau mengambilnya karena masih bersih dan bisa dimakan. Karena masih ada pembungkus yang melindunginya, begitulah perumpamaan cewek yang berhijab. Pembungkus itu berfungsi untuk melindungi permen tadi baik dari debu, kotoran, maupun yang lainnya. Fungsinya sama seperti hijab. Paham?” Syifa mengedip lucu, “paham ustadz.” Sementara Syihab tertawa kecil mendengar guyonan dari Syifa. Cerpen Karangan: Yenni Marlina Facebook: Yenni Marlina Salah satu murid SMA Negeri 19 Palembang yang tengah menghadapi Un. Penulis Wattpad, dengan username DeyliraSenja98. Selamat membaca, dan mendapatkan hal positif didalamnya. Cerpen Hijab merupakan cerita pendek karangan Yenni Marlina, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/hijab.html
Bintang Utama
Adeeva Point Of View Ini aku, sang bintang utama. Aku pemegang peran utama pada cerita ini. Namaku Adeeva Afsheen Myesha. Aku hidup serba berkecukupan. Aku cantik dan selalu menjadi pusat perhatian. Banyak yang menyukaiku, tapi banyak juga yang membenciku karena iri denganku. Tapi dari semua itu, aku juga manusia biasa. Tak ada yang mengetahui aku memiliki kelainan pada jantungku. Aku tak punya sahabat ataupun teman. Aku tak ingin banyak orang yang menangisiku bila aku sudah tak bisa bertahan di dunia ini. Hari ini seperti biasa aku menjadi pusat perhatian semua murid di sekolah. Aku berjalan seolah tak ada orang di sekitarku. Bukan sombong, aku hanya tak ingin ada teman. Di kejauhan sana, ku lihat seorang murid. Ia terlihat seperti kutu buku di sekolah. Ketika aku sedang asik memperhatikannya yang kesulitan membawa buku ia pun menengok ke arahku. Seketika aku melempar pandanganku ke arah lain. BRUKKKK JEDUR JEDER Terdengar suara benda terjatuh yang cukup kencang. Aku menoleh ke asal suara dan menemukan murid kutu buku itu terjatuh dan semua bukunya berserakan. Kacamata yang ia kenakan sudah terlepas entah ke mana. Secara reflek aku segera berlari ke arahnya dan membantunya untuk berdiri dan mengumpulkan buku-bukunya. Setelah itu kucarikan kacamatanya yang terjatuh. Naasnya kacamatanya retak mungkin karena ia terjatuh cukup kencang. Setelah ku bantu berdiri, aku sudah siap untuk beranjak namun ia menahan tanganku dan berkata, “Hei, ma…ma…makasih ya… u..udah ba..ban…bantu a…ku..” mendengar murid tersebut berbicara tergagap-gagap aku tersenyum tipis sambil berkata, “gak usah gugup gitu, kayak ngomong sama setan aja.. Lain kali hati-hati kalo jalan..” setelah berkata demikian aku segera berlalu dari hadapannya. Selama di kelas aku tersenyum membayangkan ekspresi murid culun itu. Penampilannya yang culun itu membuatnya menjadi aneh. “ADEEVA AFSHEEN MYESHA, TOLONG PERHATIKAN GURU KETIKA MENGAJAR!” mendengar teguran itu seketika aku tersadar dari lamunanku. “Ah, iya Pak. Maaf saya lagi kurang enak badan. Bolehkah saya minta izin ke UKS?” guru tersebut mengangguk dan aku segera berjalan-jalan. Pergi ke UKS hanya alibiku untuk keluar dari kelas. Sejujurnya penyakitku sedang tidak kambuh. karena tak ada kerjaan yang dapat kulakukan, akhirnya aku pergi ke kantin untuk membeli teh hangat. Aku membuka ponsel pintarku dan memainkan game untuk menghilangkan bosan. Tak terasa bell telah berbunyi akupun segera membayar minumanku dan bergegas kembali ke kelas. Tak terasa jam munjukkan pukul 14.30 waktunya aku untuk segera pulang karena jam 16.00 aku ada janji dengan dokter keluarga untuk mengontrol kesehatan jantungku. Ketika aku melewati koridor tiba-tiba seorang menahan tanganku. Ternyata dia adalah murid yang kutolong pagi ini. “Hei, aku kayaknya belum kenalan secara resmi sama kamu. Aku rasa kamu juga belum tahu namaku siapa. Kenalin, namaku Zaidan Randi Tohari. Panggil aja Zaidan.” Aku hanya menatapnya datar kemudian berkata, “Deeva.” Setelah aku mengatakan itu aku segera melepas pegangannya pada tanganku kemudian aku berjalan menuju mobilku yang sudah berada di depan lobby sekolah. sekali lagi, aku bukannya sombong, tapi aku takut ketika waktuku habis semakin banyak orang yang menangisi kepergianku. Jam menunjukkan pukul 16.00, dokter yang kutunggu sudah tiba di rumahku. “selamat sore Nona Deeva.. Bagaimana kabar anda hari ini? Apakah ada suatu keluhan?” Tanya dokter itu ramah. “Ah.. Sore, Dok… hari ini saya baik dan kebetulan tidak ada keluhan yang cukup serius.” Jawabku dengan ramah. “Dokter yang mendengar perkataanku tersenyum kemudian berkata, “Kalau gitu, mari kita mulai pemeriksaannya, Nona” akupun mengangguk kecil dan bangkit dari tempat duduk menuju kamarku untuk memeriksa keadaanku. “Nona… sejauh dari yang saya lihat, kondisi jantung anda baik untuk hari ini. Tapi anda tetap harus berjaga-jaga dan jangan sampai anda membuat jantung anda bekerja terlalu keras, karena ini bisa mempengaruhi kondisi anda kedepannya.” Jelas dokter tersebut. “Dok.. Apa aku masih ada kesempatan untuk sembuh dari kelainan ini?” tanyaku perlahan. “Satu-satunya cara hanya mencari pendonor jantung yang memiliki jantung yang cocok dengan Nona.” Jawab dokter itu dengan hati-hati. “Yah, saya hanya bisa berdoa semoga ada pendonor yang memiliki jantung yang cocok denganku. Kalau begitu terima kasih Dok telah memeriksa saya.” Kataku dengan pasrah. “Kalau gitu saya balik dulu ya, Nona. Permisi.” Kata dokter itu sambil keluar dari kamarku. Aku memutuskan untuk tidur untuk menghilangkan berbagai macam pikiran buruk yang bersarang di otakku saat ini. Mataku terbuka dan tak terasa waktu sudah pagi. Aku segera bangun dan bersiap untuk sekolah. ketika menuruni tangga terlihat di sana ada orangtuaku dan adik laki-lakiku. Aku menyapa mereka dan memulai sarapan. Setelah itu ayahku yang mengantarkan aku ke sekolah. Beginilah keseharianku jika berangkat diantar oleh ayah namun ketika pulang dijemput oleh supir keluarga. “Deev, gimana kontrol kemarin? Semua baik-baik saja kan?” Tanya ayah. “Ya… seperti biasa sih. Kata dokter keadaanku masih baik-baik saja, Yah.” Jawabku. Ketika mobil yang dikendarai ayahku tiba di sekolah, aku mencium pipi ayahku dan segera turun dari mobil. Selama perjalanan ke kelas seperti biasa semua orang memperhatikanku. Saat aku sudah memegang gagang pintu kelas, Zaidan memanggilku sambil berlari ke arahku. “huh… huh… pagi.. huhhh.. Deevaaa…” Katanya sambil tersenyum manis. Kuakui ia tidak jelek hanya terlihat culun saja. Aku hanya menatapnya datar kemudian masuk ke dalam kelas karena kurasa bell masuk akan segera berbunyi. Ketika kulihat jam tanganku, ternyata sudah waktunya pulang sekolah. aku harus segera pulang agar supirku tak menunggu terlalu lama. Belum sempat beranjak dari kursi, laki-laki itu Zaidan menghampiriku sambil tersenyum “Deev, mau pulang bersama?” tanyanya dengan ramah. Inikah rasanya memiliki teman? Ada yang memperhatikan, bisa diajak pulang bersama, jalan-jalan bersama. Ah, aku segera menghilangkan angan-anganku itu. Aku memutuskan untuk tidak menjawab tawarannya dan pergi dari kelas. “DEEV..! KOK KAMU PERGI SIH? KAMU MALU YA JALAN SAMA COWOK CUPU KAYAK AKU?” pertanyaan yang lebih mirip pernyataan itu membuatku berhenti berjalan. “Denger ya cowok cupu, semua yang lo omongin itu bener. Gue malu jalan sama cowok cupu kayak lo. Dan jangan sekali-sekali lo sok akrab sama gue, ngerti?” kataku penuh tekanan. Zaidan hanya diam dan menatapku dengan sorot terluka. Maafkan aku Zaidan, sebernarnya aku tak ingin berbicara seperti itu pada laki-laki sebaik kamu. Tapi, aku harus melakukannya agar kamu tidak jadi temanku dan menambah daftar orang yang sedih akan kematianku yang tak tahu kapan. Aku segera berjalan cepat menuju mobil. Ketika berjalan kurasakan jantungku berdetak kencang. Tidak!! Tolong jangan sekarang ya Tuhan. Aku percepat lajuku ke mobil. Ketika aku ingin membuka pintu mobil, tiba-tiba semuanya menjadi gelap – Sebulan Kemudian – Zaidan Point Of View Sebulan yang lalu. Tepat ketika Deeva membuat hatiku terluka. Saat itu pula, pertemuan terakhir kami. Bahkan ia tak masuk ke sekolah selama sebulan ini. Kemana dia? Apa sebegitu malunyakah ia pada cowok cupu sepertiku? Setelah Deeva membuatku terluka, aku memutuskan untuk mengubah penampilanku menjadi lebih baik. Sekarang semua orang tak ada yang mengataiku cowok cupu atau culun lagi. Meskipun aku senang karena sudah tak ada ledekkan yang dilontarkan untukku, namun hatiku terasa kosong. Sejujurnya aku merindukannya, orang yang telah melukai harga diriku meski yang dikatakannya itu seratus persen adalah benar. Saat ini aku sedang berjalan sambil memikirkan di mana rumah Deeva. Tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk bertanya kepada ibu di tata usaha. TOK.. TOK.. TOK.. “Permisi Bu, saya mau tanya boleh?” Ibu tata usaha menatapku dengan pandangan tak bersahabat, “Mau tanya apa kamu?” Aku tersenyum tipis, kemudian berkata “apakah ibu memiliki data lengkap dari siswi yang bernama Adeeva Afsheen Myesha?” Ibu tata usaha itu menatap tajam ke arahku, “Maaf ya, itu tidak bisa diberikan kepada sembarang orang! Kamu mengerti?!” Sepertinya tak ada cara lain. “Bu, gimana kalo saya kasih uang berapapun yang Ibu mau, asal data itu bisa saya dapatkan, karena ini penting..” Ibu tata usaha itu berpikir sebentar kemudian berkata, “baiklah saya minta lima ratus ribu rupiah untuk uang tutup mulut dan pemberian data.” Segera kukeluarkan lima lembar seratus ribu dan ia langsung memberikan data yang kubutuhkan. Deeva… Tunggu aku. Aku akan segera ke sana. Jam menunjukkan pukul 14.30, aku segera bergegas menuju rumah Deeva. Di perjalanan aku terus memikirkan apa yang akan aku ucapkan pada Deeva nantinya. “Ohh, ini rumahnya.. gede juga ya” gumamku. “Dek, ada apa ya ke mari?” tiba-tiba satpam itu datang dan menemuiku. “Ah, gini pak, apa benar ini rumah Adeeva?” tanyaku dengan sopan. “Ohh… temennya Nona Deeva ya, Den? Kalo Aden cari Non Deeva, dia gak ada di sini, tapi di Rumah Sakit X. DEGG… Rumah Sakit X? bukannya itu rumah sakit khusus penyakit jantung? Ada apa dengan Deeva? Ya Tuhan semoga apa yang aku pikirkan tidak terjadi. Seketika semua kalimat yang aku rangkai saat perjalanan sudah hilang. “Oh, oke Pak, saya ke sana aja deh.. kalo boleh tau siapa yang sakit ya, Pak?” Satpam itu tersenyum sedih kemudian berkata, “Non Deeva mengalami kelainan jantung sejak lahir, saya bisa tahu karena saya sudah mengabdi pada keluarga ini sejak saya masih muda.” Jelas satpam itu. Aku segera menyalakan mesin motorku dan beranjak menuju Rumah Sakit X. Sesampainya di rumah sakit, aku segera ke ruang resepsionis dan menanyakan ruangan atas nama Adeeva. Setelah mengetahui aku segera menuju lift. Sepertinya dewi fortuna sedang baik padaku kebetulan lift kosong dan aku segera masuk kemudian menekan tombol lantai yang akan kutuju. Kata resepsionis tadi kamarnya nomor 712. Kuketuk pelan pintunya kemudian membuka. Di sana terlihat sepasang suami istri dengan raut lelah menengok ke arahku kemudian bertanya, “Cari siapa ya, Dek?” aku langsung menjawab “Saya temennya Adeeva, Tante, Om. Nama saya Zaidan. Saya ingin melihat keadaan Deeva.. boleh kan?” Ibu tersebut tersenyum sedih dan berkata, “Silahkan masuk, Nak. Deeva sekarang koma. Ini tepat sebulan setelah ia pingsan di samping mobil dan koma. Dokter tak ada yang dapat mengetahui kapan Deeva akan bangun. Kita semua di sini hanya bisa berdoa agar Deeva segera bangun dan kembali kepada kami..” aku tak bisa menahan air mata ketika mendengar penjelasan dari Ibunya Deeva. Ternyata ini sebab ia tak masuk selama sebulan ini. Kudekati ranjang di mana Deeva terbujur. Bibirnya yang dulu merah sekarang putih seperti mayat. Tubuhnya yang berisi sekarang menjadi kurus. Matanya yang selalu bercahaya, kini tertutup rapat. Ia yang terlihat kuat kini sangat rapuh. Tanpa kusadari air mataku terjun. “Deev.. kenapa kamu bisa begini?? Apa hanya aku yang tak mengetahui penyakitmu ini?” tiba-tiba kurasakan tangannya bergerak dan matanya mulai terbuka perlahan. Aku segera berteriak, “TANTEE!! OMM!! DEEVA SADARRR…” aku langsung memencet tombol untuk memanggil suster dan dokter. Setelah mereka datang aku dan orangtua Deeva diminta untuk menunggu di luar. Ketika sedang menunggu tiba-tiba seorang suster keluar dan berkata, “Apakah ada yang bernama Zaidan? Nona Deeva ingin berbicara kepada anda.” Aku langsung berdiri dan berkata, “Saya Zaidan, Sus.” Suster itu mempersilahkan aku masuk. Aku langsung menghampiri Deeva. “Deev, apa karena ini kamu gak mau berteman padaku? Kenapa aku harus tau dengan cara seperti ini Deev?” lalu dengan terbata Deeva menjawab, “Iya itu memang benar. Inilah alasan aku selalu bersikap dingin pada semua orang. Aku tak ingin ada banyak orang yang bersedih ketika kematian menjemputku.. Soal yang waktu itu aku hanya ingin kamu membenciku.” Tatapan matanya kosong tiba-tiba kosong. Perasaanku semakin tak enak. “Deev, kamu bakal balik seperti biasa kan?” tanyaku. Tolong Deev, katakan ya… batinku berteriak. “Maaf Dan, aku rasa waktuku sudah selesai. Aku bangun dari tidur panjangku hanya untuk meminta maaf padamu… tolong jangan menangisi kepergianku ini. Itu membuatku tak tenang.. selamat tinggal Zaidan, sampai bertemu di kehidupan selanjutnya…” setelah itu mata Deeva tertutup dan terdengar suara bunyi yang panjang pada monitor pendeteksi detak jantung. Aku hanya bisa diam di tempat. Menangis pun sudah tak sanggup. Kini aku sadar bahwa aku telah kehilangannya. Kehilangan seorang Adeeva Afsheen Myesha. Seorang perempuan dingin tapi baik hati. Terima kasih Deeva, sudah mau membantuku berubah menjadi lebih baik. Kaulah bintang utama di hatiku. Dan selamanya akan seperti itu. Sampai jumpa dI kehidupan selanjutnya… Adeeva Afsheen Myesha. Cerpen Karangan: J. Abigail Facebook: Jacklyn Abigail J. Abigail biasa dipanggil jeje. Adalah seorang murid kelas 2 SMA yang memiliki imajinasi tinggi. Semua karyanya 100% fiksi dan tidak nyata. Cerpen Bintang Utama merupakan cerita pendek karangan J. Abigail, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-sedih/bintang-utama.html
Misteri Penjaga Sekolah
Suati hari ada 5 orang sahabat yang selalu bersama-sama, nama mereka adalah Widya, Aldo,,Putra, Goris dan Shinta. Mereka bersekolah di SMP N 14 Kendari. Mereka semua sekolah pada siang hari dan pulang pada malam. Pada sore itu mereka sedang duduk di dalam kelas sambil berbincang-bincang tentang hantu “di sekolah kita ada hantu berbadan hitam dan memegang cahaya terang di tangannya” kata Shinta. “Iihh seram banget!” Kata Goris “apa itu di dekat jendela, kayaknya itu hantu?” Kata Putra Serempak mereka berkata “di mana?” “Tapi aku bohong, hahahahah” Putra pun tertawa terpingkal-pingkal. Semua teman-temannya pun langsung memarahi Putra. Jam pelajaran Matematika berlangsung yang diajarkan oleh Bu Hamna, Putra pun melihat sekelebat bayangan hitam lewat “Teman-teman apa itu? Ada bayangan hitam” kata putra “ah, aku tidak percaya” kata Widya “hahaha Putra… Putra… Kamu kerjanya bohong terus sih, jadi kamu tidak dipercaya lagi” kata Aldo. Putra pun menenangkan dirinya dan berpikir itu hanya perasaannya saja. Jam pelajaran pun selesai mereka semua sedang duduk di bangku taman dan hari sudah mulai gelap. “Apa itu, sepertinya itu hantu yang kita ceritakan tadi!” Kata Widya “baiklah kalau begitu lebih baik kita pastikan.” Kata Aldo “OK” kata mereka semua. Sesampai di bayangan hitam membawa cahaya terang mereka semua sangat kaget ternyata itu bukan hantu, Akan tetapi itu pak Rusdin. “Apa yang Bapak lakukan disini?” Tanya Shinta “Sebenarnya saya hanya piket malam.” Kata pak Rusdin. Cerpen Karangan: Rindy Sastra Facebook: Rindy Queenerra Cerpen Misteri Penjaga Sekolah merupakan cerita pendek karangan Rindy Sastra, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-misteri/misteri-penjaga-sekolah.html
Hadiah Terindah dari Sahabat
Dua gadis cilik sedang asyik bercengkerama di atas rumah pohon milik Almarhum Kakek salah satu gadis. Mereka bernama Aura dan Naura. Mereka adalah sahabat yang akrab dan kompak satu sama lain. “Aura, aku pulang dulu, ya! Udah sore nih.” Pamit Naura. Aura mengangguk dan tersenyum. Naura turun dari rumah pohon dan segera pulang. Jarak rumah Aura dan Naura hanya sekitar 100 meter. Keadaan Naura pada malam hari.. “Nak, ada sesuatu yang harus Bunda sampaikan kepadamu.” Ujar Bunda Naura kepada anak semata wayangnya itu. “Ada apa, Bunda?” Tanya Naura penasaran. “3 hari lagi, kita ikut Nenek ke Inggris. Tapi hanya 5 tahun tinggal di sana.” Kata bunda sambil menyeruput teh hangatnya. “APA? Bagaimana dengan Aura, bun? Naura sayang banget dengan Aura dan teman-teman yang lain. Hiks.. Hiks..” ujar Naura sambil menangis karena harus berpisah dengan Aura. “Naura, kamu bisa ngobrol dengannya via sosmed.. Atau, kamu bisa belikan hadiah untuknya.” Usul Bunda. Naura terdiam. Keesokan harinya.. Aura menyapa Naura. Namun, Naura bersikap dingin kepada Aura. Ada apa ini? “Naura sikapnya aneh gitu.. Aku bakal bikin surat, lalu aku simpan di tasnya.” Gumam Aura. Lalu, Aura membuat surat untuk Naura. Naura sedih. Ia merasa, kalau Aura sudah banyak menolongnya. Ia akan meminta maaf kalau saat dia akan pindah. Malamnya, Naura terkejut karena ada surat dari Aura. “Naura, aku mau minta maaf kalau aku punya salah. Tapi, aku mau nanya, kamu itu tadi kenapa sih? Ada masalah ya? Kalau ada masalah, jawab surat ini, kumohon. -Aura-” Lalu, Naura menjawab suratnya Aura secara langsung. Esoknya.. “Aura, aku mau cerita sesuatu kepadamu.” Ucap Naura pelan. Aura tersenyum sumringah. “Wahhh mau cerita apa, Nau?” Tanya Aura. “Hmm.. Sebenarnya.. Besok aku pindah ke inggris. Aku menetap di sana selama 5 tahun.” Cerita Naura. Aura terkejut, lalu ia memeluk Naura. “Nau, kumohon, hari ini kita harus bersenang-senang sebelum kepindahanmu.” Kata Aura. Naura terharu. Aura dan Naura memutuskan pergi ke Mall. Ini salah satu hadiah terindah bagi Naura. “Aku mau ke sana ya!” “Aku ke sana dulu oke!” Mereka berpisah. Naura membeli 2 Kalung bertuliskan “Ra2” karena nama belakang mereka sama-sama huruf A. Sedangkan Aura membeli 2 Buku diary, untuknya dan untuk Naura. Ketika mereka bertemu kembali… “Aura, ini kalung buat kamu.” Kata Naura. Aura terharu. “Terimakasih, Nau. Ini juga diary buat kamu.” Kata Aura. “Thank you so much, Aura..” Naura memeluk Aura. Besoknya… “Bye Naura!! Selamat sampai tujuan yaa.” Kata Aura keras. “Iyaa aku pasti merindukanmu, jaga diri baik-baik!” Pesan Naura. Ya, mereka akan saling merindukan satu sama lain. Cerpen Karangan: Haifa Khairiyyah Facebook: Haifa Khairiyyah Haifa Khairiyyah, lahir pada tanggal 13 April 2005 yang memiliki hobi menulis dan membaca. Cerpen Hadiah Terindah dari Sahabat merupakan cerita pendek karangan Haifa Khairiyyah, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" ada ga kalau cerpen yang menganjurkan berbahasa yang baik dalam kehidupan Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/hadiah-terindah-dari-sahabat.html
Tikus Kantor
Hiruk pikuk manusia berkumpul dalam suatu lapangan nan luas sedang berjuang menegakkan keadilan dan hak-hak mereka. Suara takbir “Allahu akbar!!” lantang terdengar di langit. Semuanya saling menyuarakan aspirasinya kepada sang pemimpin yang dhalim atas perlakuan dan kebijakannya yang membuat rakyatnya sangat tercekik. Lautan manusia dengan membawa atribut serta spanduk-spanduk semakin mendekati kantor bupati yang berada di ujung lapangan. Para petugas keamanan yang jumlahnya tak sebanding dengan jumlah masa demonstran akhirnya tertembus juga oleh kerumunan masa pada saat itu. Saat itu saya adalah salah satu bagian dari para demonstran itu, sebagai mahasiswa dan rakyat kecil saya merasa pemimpin yang menjabat saat ini tidak pernah peduli dengan rakyatnya, kebijakannya sering menimbulkan polemik di masyarakat, salah satu contoh kebijakannya yang menimbulkan pertanyaan besar adalah proyek pembangunan rumah sakit yang ditargetkan pada tahun 2015 ini selesai, namun hingga tahun 2016 ini pembangunan rumah sakit berhenti tanpa ada alasan yang jelas. Bahkan ada gosip yang mengatakan bahwa sang bupati telah melakukan tindakan korupsi dalam proyek pembangunan rumah sakit itu. Setengah hari kami berkumpul di tengah lapangan dengan suara teriakan yang masih lantang terdengar, menyuarakan permintaan rakyat agar bupati yang sekarang segera turun dari jabatannya dan diproses secara hukum. Semuanya nihil tanpa ada respon dari pihak pemerintahan. Barisan keamanan pun semakin melonggarkan jeratan kami yang membuat rombongan para demonstran dapat menembus barisan keamanan. Dengan suara teriakan “Allahu Akbar!!” kerumunan demontran berhasil masuk melewati barisan keamanan. Tanpa rasa ragu-ragu lagi kami memasuki kantor bupati dan langsung dihadang oleh tim pengamanan bupati. Kami mencoba menerobos keamanan itu namun sangatlah susah. Tetapi Alhamdulillah saya dan 4 demonstran lainnya berhasil masuk ke dalam kantor dan bertemu dengan sang bupati. Walau awalnya kami terus ditarik keluar oleh tim keamanan, akan tetapi akhirnya sang bupati mengijinkan kami berlima untuk masuk menemuinya. Ketika itu kami disuruh untuk duduk di depan meja pak bupati, di samping kanan kiri kami banyak para pejabat pemerintahan dan beberapa anggota DPRD yang sedang duduk dengan muka tegang. Terlihat di samping tempat duduk pak bupati 4 anggota KPK dengan menggunakan kaos bertuliskan KPK di dada sebelah kirinya. Nampaknya kasus korupsi pak bupati kami sudah semakin terbuka kejelasannya, hal itulah yang membuat kami semakin yakin akan tindakan kami ini. Salah satu pejabat pemerintahan yang ada di sekitar kami menanyakan tujuan kami melakukan aksi ini. Kemudian dengan lantangnya saya menjawab. “ada tiga permintaan kami kepada engkau wahai bapak bupatiku, pertama, kami ingin kejelasan mengenai pembangunan rumah sakit yang ditargetkan selesai tahun 2016 akan tetapi sekarang proses pembangunannya berhenti total. Kedua, kami ingin keadilan hukum di daerah kami ini, hukum yang tidak selalu manis bagi kalangan atas tetapi pahit bagi kalangan bawah seperti kami. Dan yang terakhir jika bapak terbukti melakukan tindakan korupsi atas pembangunan rumah sakit tersebut, kami ingin hukum yang berbicara dan tajam ke anda”. Kemudian setelah di dalam kantor kami menyampaikan berbagai permintaan kami, kami berlima pun dipersilahkan pulang dan membubarkan barisan demonstrasi. Sang bupati telah berjanji bahwa dia akan menuruti semua permintaan rakyatnya tadi, dan nampaknya sudah kelihatan jelas bahwa dia akan terjerat kasus korupsi atas pembangunan rumah sakit tersebut. Tepat pukul 17.00 kami pun keluar, dan membubarkan diri bersama ratusan masa demonstran. Selang beberapa hari, di berita surat kabar langganan saya bahwa bupati kami telah ditangkap oleh KPK atas keterlibatannya dalam kasus korupsi pembangunan rumah sakit. Dan tentunya secara otomatis sang bupati akan turun dari jabatannya sebagai bupati. Cerpen Karangan: Arief Budiono Yusuf Facebook: Arief Budiono Yusuf Mahasiswa UIN Walisongo Semarang Cerpen Tikus Kantor merupakan cerita pendek karangan Arief Budiono Yusuf, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-kehidupan/tikus-kantor.html
Perjanjian Maut
Sebelum membaca cerpen “Perjanjian Maut”, alangkah lebih baik lagi jika membaca cerpen “The Train”, dan “Deja Vu”. Karena cerpen ini adalah Trilogi dari kedua cerpen sebelumnya. Terima kasih. Saat tersadar, aku tengah berbaring di atas gundukan pasir tandus dan gersang. Tempat yang menurutku aneh dan sangat jauh berbeda dengan dunia manusia, umunya. Langit terlihat jingga kemerahan, di atasnya ada empat buah matahari yang bersinar terang tanpa berterik panas membakar kulit, lalu debu-debu bertaburan tanpa henti-hentinya seiring angin mendesau, tetapi anehnya aku merasakan udara yang sangat dingin hingga terasa menusuk kedalam kulit dan tulangku. Aneh, benar-benar aneh. Hembusan angin di temani pasir kecil menari-nari menerpa wajahku. Perih mata ini terus menahan setiap terpaan angin sejuk seolah membawa luka. Aku mendecak seiring tubuh ini tak berdaya tertelungkup di atas hamparan pasir berwarna hijau gelap. Mataku menatap sebuah telaga bening di depan sana. Air di telaga itu melimpah ruah hingga melebar ke setiap sisinya. Rasanya ingin sekali aku berenang dan berendam di telaga itu. Di setiap sisi telaga itu di tumbuhi rumput-rumput hijau dan subur. Lalu sebatang pohon filicium tua menaungi telaga itu yang terdengar seperti laut. Fatamorgana! Sudah lelah aku berputar-putar mengelilingi tempat ini, agaknya diriku hanya menemui kesia-siaan. Ternyata, di tempat ini semuanya hanyalah tanah berpasir yang sepertinya tidak ada ujung pangkalnya. Aku tersesat. Aku terisolasi. Aku seperti orang asing yang hanya tinggal menunggu ajal menjemput kematian. Sedangkan Ainara, entah bagaimana kabarnya aku pernah tidak tahu. Seingatku, hanya aku yang di lempar ke tempat aneh ini, dan Ainara tetap bersama lelaki berjubah hitam yang berada di dalam mobil berkarat itu. Lalu kemana dia membawa Ainara? Kepalaku rasanya pusing. Persendian di tubuhku seolah remuk dan hancur. Dingin. Dingin sekali. Tenggorokanku pun kering. Aku berusaha berjalan mencari tempat lain yang mungkin ada penduduknya. Aku butuh pertolongan. Jalanku masih seperti malam itu, terseok-seok karena lelah terus menggelayuti seluruh persendian tulangku. Tempurung kepalaku berdenyut. Kencang sekali dan menimbulkan efek sakit. Buuuk! Kembali aku terjatuh diatas gundukan pasir seiring rasa lelah dan haus menyengat tubuh ini. Kepalaku seperti di pukul palu godam. Mataku terpejam. Hanya pikiranku membayangkan air yang melimpah ruah di depan sana. Aku haus. Aku lelah. Aku nyaris mati dalam keterasingan. Dimana aku bisa minum seteguk air? Aku butuh pertolongan. “Serah. Avios. Lavozah.” Sayup aku mendengar suara itu menggema di sekitarku. Mata ini tak mampu terbuka. “Serah. Avios. Lavozah.” Kedua kalinya suara itu terdengar berdesis di telingaku. “Alfi. Datanglah padaku…” suara itu berbisik memanggil namaku. “Datanglah…” *** “Banguuuun!” byur! Sontak mataku terbuka ketika suara keras seorang lelaki memaki dan menyirami tubuhku dengan se-ember air dingin. Dalam keadaan lemas aku melihat dua orang lelaki berjubah hitam berdiri tegap di hadapanku dengan wajah sangar dan keras. Mata mereka terkesan merah menyala. Sedang wajah keduanya pucat pasi penuh bekas luka. Mereka berdua menatapku sinis. “Jadi, ini. Remaja yang di ramalkan itu…” ucap salah satu dari mereka. “Aku kira sehebat apa dia..” lanjutnya lagi seraya meletakkan ember kayu di depan batu tempatku berdiri. Ku lihat tubuhku tak berbusana selain hanya mengenakan kain putih penutup kemaluanku. Tanganku terikat kuat di tiang besar ini. Terbayang dengan lukisan yang selalu aku gambar di sekolah itu. Semua menjadi kenyataan? “Di-di mana aku?” lirihku dengan suara yang nyaris hilang. Parau. “Kau di tempat yang sudah semestinya!” sahut lelaki yang memegang cambuk berduri. Matanya menatapku galak. Sesekali dia mengibas-ngibaskan cambuk itu ke arahku tanpa melukai. “Kenapa aku berdiri di batu ini?” tanyaku memberanikan diri. “Kau berdiri di atas dolmen razkutah. Kau adalah penyelamat negeri kami. Dan kau adalah orang yang akan membebaskan kami dari ancaman Murzah!” “Murzah?” tanyaku mendengar nama asing itu di sebut. “Dia adalah seorang penyihir hitam yang menginginkan seorang anak manusia untuk di jadikan penerusnya. Dan, anak manusia itu adalah dirimu…” “Apa?!” “Ya. Kamu adalah anak manusia yang telah di ramalkan Engku Albi datang untuk menyelamatkan junjungan kami dengan menukar beliau dengan dirimu nanti. Tapi perlu kau tahu, kau bukan hanya sekedar anak manusia biasa. Kau istimewa, itulah sebabnya kami menumbalkanmu. Hahahahaha.” Lelaki itu tertawa dengan angkuhnya. “Aku menjadi tumbal?” tanyaku kaget. “Apa ada, istilah yang lebih baik dari kata tumbal untuk mengembalikan raja kami yang telah lama menghilang dengan menyerahkan dirimu sebagai tebusannya kepada Murzah?” “Kenapa mesti aku?” tanyaku takut. “Karena kau yang terpilih!” “Apah?” desisku kecil. Kedua lelaki berjubah hitam itu masih menatapku sinis. Mereka tersenyum penuh kemenangan karena sebentar lagi raja mereka akan di bebaskan dan di gantikan dengan diriku. Mereka licik. Teringat aku dengan teman kedua manusia aneh ini yang datang dan membunuh teman-temanku di sekolah waktu itu. Sepertinya mereka satu pasukan. Atau mereka memang prajurit? Ku amati setiap sisi tempat ini. Obor-obor yang di letakkan di atas batu lalu berkobar di terpa angin malam. Beberapa bangunan dan puing-puing nyaris runtuh mengelilingi tempat ini. Seperti tumpukan batu yang ada di Inggris, Stonehenge. Lalu di setiap batu itu di ukir dengan tulisan yang mirip sekali dengan hieroglif. “Apa lelaki yang datang membunuh teman-temanku di sekolah malam itu adalah utusan dari raja kalian?” tanyaku penasaran. “Maksudmu, Rashka?” “Ja-jadi. Namanya Rashka?” tanyaku terkejut hebat mendengar nama orang itu. “Rashka ‘kan membunuh temanku, Rian?” tanyaku marah. “Semua orang yang ada di dekatmu akan mati, jika menghalangi-halangi pasukan Hotebi guna menemukanmu!” kelakar lelaki yang memegang cambuk. “Jadi, kalian ini adalah pasukan bernama Hotebi?” “Benar sekali.” *** Hari terus berlalu. Entah sudah berapa lama aku berdiri di atas dolmen ini aku tidak tahu lagi. Badanku sepertinya sangat lemah. Mereka memberiku makanan yang rasanya aneh dan tidak enak sama sekali. Siang aku kepanasan, malam aku kedinginan. Kadar udara di sekitar dolmen ini berbeda dengan padang pasir itu. Di sini udaranya selayaknya alam manusia biasa. Empat matahari terbit secara bersamaan dan dengan warna yang berbeda. Di timur, matahari terbit dengan warna putih, di timurnya lagi berwarna merah, di timurnya lagi berwarna jingga, di timurnya lagi berwarna hijau elektrik. Sekilas, cahaya-cahaya matahari itu seperti warna aurora yang melayang-layang di petala. Indah dan menakjubkan. Di kejauhan sana, aku melihat beberapa pasukan Hotebi datang mendekati domen ini. Mereka datang mengawal seorang kepala pasukan. Selang beberapa saat, mereka pun sampai dan berhenti di depanku. “Pakaikan jubah ini di tubuhnya!” lirih ketua Hotebi pada dua orang anggota di samping kanan dan kirinya. Aku tidak melihat wajahnya karena di tutupi dengan jubah. Dari suaranya aku tidak asing lagi. Seperti suara… “Rashka?!” tanyaku terkejut ketika ketua Hotebi itu membuka penutup kepalanya dan memperlihatkan wajahnya yang ternyata berubah menjadi sangat tampan dan muda. Dia berbeda. Tetapi aku masih mengenali perawakannya. “Selamat datang, Alfi! Semoga kau berkenan di tempat ini. Sekarang, kau pakai jubah itu, dan temuilah junjungan kami…” kelakarnya penuh kesopanan dan wibawa. Dia berbeda dengan perawakannya saat membunuh teman-temanku malam itu. Aku jadi teringat denga Rian, Riska, Randi, Dimas, kenapa Rashka membunuh mereka? “Kau jahat, Rashka! Kau pembunuh!” teriakku kesal. “Kau tidak tahu apa-apa Alfi, jangan berkomentar. Sekarang, ikutlah denganku. Ramaz, Ritaz, pakaikan jubah itu setelah kalian memandikannya di telaga Abusaar.” “Baik, Tuanku!” Sejam berlalu, kedua pesuruh Rashka itu selesai memandikanku dengan berbagai ritual-ritualnya. Setelah aku berpakaian jubah berwarna hijau tua, mereka membawaku ke sebuah tempat. Tempat yang sangat jauh. Lalu di depan sana, tampak sebuah bangunan seperti istana yang nyaris rubuh dan tidak berpenghuni lagi. Di kelilingi hutan dan sungai lebar yang airnya sangat jernih. “Rashka! Dimana kau sembunyikan Ainara? Apa kau juga membunuhnya?” tanyaku saat kami memasuki jembatan penyeberangan. “Beraninya kau menyebut nama…” “Ritaz. Diamlah! Dia tidak mengerti apa-apa…” sela Rashka terlebih dahulu. Beberapa pasukan Hotebi melihatku sinis. Kami terus berjalan dan mencapai ujung jembatan ini. Lalu memasuki sebuah aula yang sangat luas. “Toloooongg! Tolooong! Toloongg!” telingaku sayup mendengar suara orang meminta tolong di ruangan yang sepertinya tidak jauh dari aula ini. “Siapa mereka?” tanyaku pada Rashka karena mendengar suara itu. “Pecundang!” “Kau yang pecundang. Rashka!” teriakku mengumpat. “Hurrggg!” seorang Hotebi nyaris menampar wajahku dengan tangannya yang gatal. Bersyukur Rashka menghalangi. Rashka menatapku tersenyum. *** Akhirnya aku dan pasukan Hotebi sampai di sebuah tempat yang indah dan megah. Seperti ruang kerajaan. Tiang-tiang menjulang tinggi menyangga tempat ini. Bangunan ini di ukir dengan tulisan dan ukiran yang indah berwarna indah pula. Sempat aku terpesona dan takjub melihat tempat ini. Seorang lelaki berjubah hijau tua sepertiku turun dari balkon dan menuruni anak tangga satu persatu. Di belakangnya ada dua orang berpakaian tentara yang aku kira adalah panglima. Dan di belakang panglima itu ada beberapa orang dayang bergaun indah mengiringi langkah mereka. Lelaki berjubah hijau indah itu berhenti di depanku. Berjarak beberapa meter saja. Dia tersenyum manis dan menyambut kedatanganku dengan bangga. “Selamat datang di Arafa. Alfi! Terima kasih sudah sudi singgah kemari…” sapa lelaki muda yang seumuran Rashka. Usianya sekitar dua puluh tahunan. Bahkan bisa jadi lebih muda lagi. Dia tersenyum. “Anda siapa?” tanyaku ketus. “Aku adalah Razaka. Anak tunggal Raja Hirab Alabi yang di tawan oleh Murzah selama lebih dari 16 tahun…” “Apa hubungannya denganku?” “Bukankah Rashka dan pasukannya telah menceritakan semuanya padamu?” kelakar Razaka dengan nada merendah. Aku mengernyitkan dahi. Seketika itu juga perasaanku tidak enak. Ada kecemasan yang menjalar di tubuhku dengan hebatnya. Aku takut. “Aku tidak mau menjadi tumbal!” teriakku marah. Sontak semua mata menatapku kaget dan merka bergumam seperti lebah berterbangan di sarangnya. Razaka berjalan lebih mendekat kearahku lagi. “Siapa yang ingin menjadikanmu tumbal?” tanyanya ramah. “Sudahlah, Razaka! Aku malas beradu mulut denganmu. Aku tidak mau menjadi tumbal. Aku mau kau segera mengantarku pulang kerumahku. Ketempat asalku…” “Alfi!” teriak Rashka di belakang. Dia tidak terima aku berkata kasar pada junjungannya itu. “Rashka, biarkan dia…” sela Razaka bijak seiring tersenyum padaku. “Kalian semua pembunuh. Kalian bajingan! Demi menyelamatkan raja kalian, aku dan teman-temanku menjadi tumbal? Keparat!” “Cukup Alfi! Jaga ucapanmu…” lagi-lagi Rashka menyela. Ku lihat Razaka meminta pengertian Rashka untuk memberiku keleluasaan berbicara. “Aku, dan kami semua tidak seperti yang kau bicarakan Alfi. Kau belum mengerti…” “Mengerti apa? Hah?! Kau tidak tahu, Rashka datang ke duniaku dan membunuh Rian! Lalu di sekolah, dia juga membunuh Randi, Riska, Dimas, dan terakhir. Dia membunuh Ainara!” “Ainara?” tanya Razaka tersenyum. Sontak aku menautkan alis karena Razaka menganggap ucapanku seperti goyon. “Apa benar, yang di ucapkan Alfi, Rashka?” tanya Razaka menatap pemuda di belakangku. “Ng, ti-tidak, Tuanku! Saya tidak membunuh siapapun…” “Bohong! Jelas-jelas aku melihat dia melakukannya…” “Saya tida membunuh siapapun, Tuanku. Percayalah!” desis Rashka dengan suara tegas. “Baiklah, Rashka. Aku percaya padamu. Sekarang, tinggalkan aku berdua dengan Alfi di ruangan ini…” “Baik Tuanku…” serempak semua yang ada di sini menjawab. *** Lama aku duduk di atas dipan yang terbuat dari bahan empuk seperti kursi kleopatra. Razaka meminta jawabanku sejak tadi. Tapi aku masih diam. Aku tidak ingin mati demi membantu mereka yang telah membunuh semua teman-temanku. Aku tidak mau. “Bagiamana, Alfi? Apa kau bersedia membantu kami?” “Aku tidak mau! Kalian salah memilih orang. Aku tidak bisa menggunakan sihir. Aku tidak bisa beladiri. Aku tidak bisa mengucapkan mantra. Aku tidak bisa apa-apa…” “Kau akan bisa melakukan semuanya setelah belajar…” “Aku ingin pulang.” “Dan kau akan pulang setelah membantu kami…” “Apa? Membantu kalian? Setelah kalian menukarku dengan rajamu itu, bisa saja aku mati di kediaman Murzah. Apa kau bisa menjamin keselamatanku?” “Aku akan berusaha.” “Hah! Berusaha? Bahkan tentara dan panglima perang kalian saja tidak bisa menyelamatkan seorang Raja yang katanya hebat dan bijaksana itu? Bagaimana kalian akan menyelamatku yang jelas-jelas tidak bisa banyak berbuat apa-apa…” “Dengar Alfi, kau adalah orang di cari. Kau adalah orang yang diminta. Kami tidak bisa menebus ayahku kecuali denganmu. Dan perlu kau ketahui, setelah ayah kami selamat, aku dan pasukanku akan siap untuk menyelamatkanmu. Percayalah. Rashka akan melindungimu dari serangan Murzah dan sekutunya…” “Apa? Rashka mau melindungiku?” “Ya. Dia akan mengawasimu dan menjaga keselamatanmu…” “Setelah dia membunuh semua teman-temanku?” “Alfi! Kau memang keras kepala…” desis Razaka lalu pergi meninggalkanku sendiri. Selang beberapa saat dua orang Hotebi datang menjemput dan membawaku ke kamar megah yang telah di siapkan sebelumnya. Dan kamar itu, adalah tempat kaburku nanti demi menyelamatkan diri dari kelicikan Razaka dan Rashka. *** “Kalau kau perlu apa-apa. Panggil saja namaku tiga kali…” tukas Rashka lalu beranjak meningalkanku di kamar ini sendiri. “Aku tidak butuh bantuanmu!” Hening. Kamar yang luas ini terasa hening dan lengang. Aku merasakan pikiran dan hati ini terus di gelayuti kembimbangan. Razaka menjamin keselamatanku? Tapi aku tidak yakin akan ada yang menjamin keselamatanku. Aku terlanjur membenci mereka semua. Terutama Rashka. Niatku malam ini adalah, kabur dari tempat ini dan segera meminta bantuan orang untuk mengeluarkanku dari tempat terkutuk ini. Hampir dua jam aku mencoba untuk telelap, namun mataku benar-benar tidak bisa kantuk. Setelah memastikan semua aman. Segera aku membuka jendela dan menyelinap keluar melompati satu persatu balkon di istana ini. Dan akhirnya aku pun sampai di lantai dasar. Setelah itu segera aku berlari menuju semak-semak. “Siapa itu?” teriak dua orang penjaga di depan gerbang. Ups! Nyaris aku ketahuan. Dengan jantung berdebar kencang aku mencoba tenang meski sebenarnya aku tidak bisa tenang. Ku intip dua penjaga itu dari bonsai dimana aku bersembunyi selanjutnya. Mereka menuju kearahku perlahan seiring tombak di pegang kuat-kuat dan posisi mereka dengan langkah kuda-kuda yang siap menyerang. Mataku membulat karena takut ketahuan. Dalam hati aku berdoa agar mereka tidak lebih jauh lagi mendekatiku. Salah seorang Hotebi menggerak-gerakkan tombaknya ke bonsai di sebelahku. “Tidak ada siapa-siapa…” lirihnya lalu kembali ke tempat semula. Sedang seorang lelaki yang datang semakin mendekat kearahku belum bergeming, dia ingin lebih memastikan lagi. Haduh, bagaimana ini? “Penyelamat kabuuuurrr! Penyelamat kabuuuur!” terdegar suara dari dalam istana menggegerkan semua Hotebi termasuk lelaki yang sedikit lagi menemukan keberadaanku ini. Serta merta mereka berlari masuk kedalam istana dan memastikan keadaan. Tanpa membuang waktu, aku berlari menyelematakan diri dengan menjeburkan diri ke dalam sungai yang mengelilingi istana ini. “Penyelamat masuk kedalam sungai…” lirih salah satu Hotebi. Sial! Aku berenang semakin cepat ke tepian ketika kudapati puluhan ekor buaya raksasa keluar dari lubuknya dan berenang hendak memangsaku. Mereka seperti buaya-buaya kelaparan yang setahun belum di beri makan. “Ehek,” aku menelan banyak air hingga perut ini terasa kembung. “Itu dia!” teriak orang di atas sana. Aku semakin terkejut ketika belasan pasukan Hotebi berdiri melemparkan tombak kearahku. Dan tak satupun tombak itu mengenai diriku. Malah buaya-buaya malang itu yang menjadi tumbalnya. Aku segera berenang ketempat yang lebih jauh lagi. Anehnya, tak seorang Hotebi pun yang menjeburkan dirinya demi menangkapku. Ini kesempatan emas. Setelah keluar dari sungai itu, tanganku meraih tebing dan secepat kilat aku melarikan diri kedalam hutan. Hotebi mengejarku. Aku terus berlari. “Jangan lari, Alfi!” teriak Rashka berkali-kali. Aku tidak peduli. “Alfi, hutan itu berbahaya…” teriak Rashka lagi. Aku semakin tidak peduli. Mereka masih mengejarku. “Alfi, berhenti, atau kau dalam masalah besar. Hutan itu banyak Andoga…” Rashka mencoba mengingatkanku. Apa itu Andoga? Pikirku dalam hati seiring terus berlari menjauhi mereka. “Alfi. Berhenti, lihat di belakangmu…” aku memang mendengar suara desahan aneh di belakangku. Suara itu mengaum dan cepat merayap. Pasukan Hotebi sepertinya melemparkan tombak dan panah mereka untuk menghentikan langkahku. Tetapi semua senjata mereka tidak mengenaiku sama sekali. Buuuk. Terdengar suara seseorang jatuh di belakangku. Sontak aku berhenti demi mengetahui siapa yang jatuh tersebut. Apakah itu Hotebi atau… “Hwaaaaaaa!” teriakku terkejut saat melihat sesosok menyeramkan bertubuh besar dengan bulu berwarna putih terang menyelimuti tubuhnya tewas mengenaskan. Mukanya seperti srigala, tetapi tubuhnya seperti manusia. “Alfi, jangan bergerak…” perintah Rashka memintaku tenang. Sontak aku menurut. Semua keadaan menjadi tenang. “Andoga akan hidup kembali jika ada gerakan-gerakan di sekitarnya yang merangsang jantungnya berdetak kembali. Tunggu sampai beberapa menit. Maka kau akan aman, tenang Alfi, jangan panik…” lirih Rashka pelan. *** Tanpa basa-basi lagi aku pun memilih berlari mengindari Andoga dan para Hotebi itu. Sepertinya itu adalah trik atau akal-akalan Rashka agar mudah menangkapku dan membawa kembali ke istana Arafa lalu menukarku dengan raja mereka kelak. Aku tidak mudah di tipu. Dia pikir aku anak kecil? Megetahui aku kabur, Rashka dan para Hotebi itu kembali mengejar. Kali ini sepertinya mereka tidak memberiku ampun. Puluhan panah mereka lepaskan untuk bisa melumpuhkanku, aku terus menghindar. Rashka berteriak memintaku agar mau berhenti. Aku tidak peduli. Selain Rashka dan Hotebi, aku melihat ratusan ekor Andoga tiba-tiba muncul dan mengejar kami bersamaan. Beberapa Hotebi spertinya di terkam, lalu beberapa dari mereka melawan. Banyak Andoga tewas. Banyak pula Hotebi yang mati. Entah dengan Rashka. “Alfi, jangan lari lurus kedepan, usahakan kau mencari jalan yang berlainan agar Andoga tidak mudah menerkammu, mereka lambat jika mengejar orang yang lari berbelok-belok…” kelakar Rashka tanpa mau aku menggubrisnya. Aku terus lari kedepan. Ternyata dia masih hidup. “Alfi, dengarkan aku. Sekali saja.” lanjut Rashka memohon. “Berlarilah ke sebelah kanan, di sana ada air terjun, Andoga tidak suka dengan air, kau akan selamat di sana…” aku tidak menggubris. “Alfi, dengarkan aku. Demi dirimu, demi Negeriku, demi Ainara…” sontak aku memperlambat lari sesaat setelah mendengar Rashka mengucap kata demi Ainara. Itu tandanya… “Awas, Alfi!” teriak Rashka terlambat setelah seekor Andoga melompat dan mengarah hendak menerkamku. Aku berlari menghindar dengan berbelok kearah kanan. Andoga tersungkur dengan sendirinya, manusia srigala itu jatuh dan bergulingan lalu terperosok kedalam jurang. *** Aku terus berlari menghindari kejaran Rashka dan beberapa Hotebi yang selamat dari amukan Andoga-Andoga lapar. Aku pun berhenti di depan sebuah jurang. Nyaris aku terjatuh dan mati di dasar sana. Rashka semakin mendekat, aku bingung harus lari kemana lagi. Tanpa pikir panjang, dari pada aku tertangkap dan di jadikan tumbal mereka, lebih baik aku mati. Dengan niat yang bulat, segera aku menyusuri lereng bebatuan terjal itu dengan kaki sebagai tumpuan agar aku tidak tersungkur. Aku berlari terposok dan sesekali jatuh meluncur. Aku terus meluncur. Demi nyawaku. “Alfi….” teriak Rashka di atas tebing sana. “Alfi! Kembalilah, kau akan baik-baik saja…” teriakan itu menggema. “Alfi….” ketiga kalinya aku tidak menggubris. *** Di dasar lembah ini, aku mencari jalan menuju tempat yang lebih aman. Sekeliling lembah di tumbuhi pohon-pohon kecil dan rumput setinggi pinggang. Dan beberapa lagi adalah tanah basah. Dengan hati-hati aku berjalan dan mata ini tetap awas dari ancaman-ancaman binatang buas atau Andoga lain yang lebih ganas. Aku melewati rawa-rawa yang airnya tampak jernih. Di dalam rawa itu aku melihat tumbuhan alga dan rumput liar yang melambai-lambai di bawa riak air yang mengalir. Ku lihat wajahku di dari permukaan air. Kenapa berbeda? Seperti bukan wajahku? Aneh. Aku meraba pipi kananku yang terlihat jauh sekali dengan wajah asliku. Kenapa ini? Apa ini hanya fatamorgana? “Itulah wajah aslimu.” Aku tersentak ketika suara seseorang membenarkan pertanyaan yang ada di dalam hati ini. Mataku secepat kilat mengitari sekeliling yang lengang. Hanya angin malam yang berhembus sepoi menggoyangkan rumput-rumput dan alang-alang liar. Tidak ada siapa-siapa. Lalu, dari mana asal suara itu? “Lihatlah kedalam air…” suara itu kembali memberiku tanda. Lalu dengan sendirinya akupun melihat kedalam air. Aku terkejut, di dalam air itu ada sebuah kepala manusia yang dapat berbicara dengan jelas. Dia sempat tersenyum saat aku melihatnya. “Si-siapa kamu?” tanyaku terkejut setengah mati. Bagaimana tidak? Aku melihat kepala terpenggal yang dapat berbicara. “Jangan takut, anak muda. Kau akan baik-baik saja…” “Siapa kamu?!” tanyaku semakin terkejut lagi. “Baiklah. Namaku Amura. Penghuni rawa ini sejak ribuan tahun silam. Apa kau mau singgah kerumahku?” tanyanya ramah. Aku menggeleng. “Ti-tidak. Aku tidak mau kemana-mana. Aku mau pulang keduniaku. Bisakah kau membantuku…?” kepala lelaki tua itu tampak berfikir. “Aku tidak bisa kemana-mana. Inilah alamku. Inilah rumahku. Aku akan mati jika keluar dari rawa ini. Tetapi, kalau kau mau bertamu, aku bisa memberimu nafas selama kau ada di dalam rawa ini. Dan nanti, aku akan mencari jalan keluar agar kau bisa kembali ke alammu. Bagaimana?” tanya Amura dengan senyum yang dapat aku artikan senyuman licik. “Maaf, aku tidak bisa percaya begitu saja dengan orang yang tidak aku kenal…” lelaki itu terdiam. Dia memejamkan matanya seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu perlahan matanya terbuka dan ia tertawa terbahak-bahak. Sontak aku berlari dan menghindari rawa itu. Aku terkejut saat akar-akar basah yang datang dari segala penjuru menjalar dan mengejarku. Sepertinya lelaki itu hendak membunuhku. Aku berlari kedaratan. Akar-akar basah itu terus mengejar. Lalu, satu persatu akar-akar itu mampu meraih kakiku, melilit pinggangku, badanku, hingga seluruh tubuhku. Aku sulit bernafas. Aku merasa sesak sekali. “To…” bahkan berteriak aku tidak sanggup lagi. Apakah aku akan mati di tempat ini? Apakah aku akan menjadi mayat dan terbuang sia-sia dalam keterasingan? Entahlah, tiba-tiba aku tersadar saat sekelebat cahaya putih bersinar terang datang dari kejauhan dan mengarah ketubuhku ini. Cahaya itu membuat akar-akar basah terlepas dengan sendirinya. Lalu, dari kejauhan sana, tampak sosok seseorang wanita berkedurung hitam datang dengan anggunya menuju kearahku. Selang beberapa saat, wanita itu berhenti persis di hadapanku. “Kau baik-baik saja?” tanyanya tegas. Aku tidak bisa melihat wajahnya yang tertutup tabir. Dia menjulurkan tangan kanannya demi membantuku tegak dari keterpurukan ini. “Terima kasih…” sahutku lalu berdiri menghadapnya. “Kamu siapa?” tanyaku penasaran. Perlahan wanita itu membuka tabir. Aku begitu penasaran. Sangat penasaran. Sontak aku terkejut tatkala wanita itu membuka tabir yang menutupi wajahnya dengan sempurna. “Ainara?!” tanyaku tak percaya. “Ya, Alfi. Ini aku…” “Ba-bagaimana bisa kau ada di sini?” tanyaku masih belum percaya dengan apa yang aku lihat. Ternyata, Ainara masih hidup. “Aku di selamatkan oleh seorang lelaki di sekitar tempat ini, saat lelaki berjubah hitam itu hendak melemparku kedasar jurang…” Ainara mengamati keadaan sekeliling. “Oh ya, di sini tempatnya kurang aman. Angin dan tumbuh-tumbuhan dapat berbicara dan mendengar perkataan kita. Sekarang, kau ikut aku…” tukas Ainara lalu mengajakku ke suatu tempat. “Kemana kita akan pergi?” “Yang jelas keluar dari tempat ini. Aku sudah lama menunggumu. Ku kira kau sudah mati….” Dalam perjalanan menuju rumah lelaki yang sudah menyelamatkan nyawa Ainara, aku menceritakan semua yang ku alami saat kami terpisah dari mobil berkarat itu. Ainara terkejut, dia bahkan nyaris di bunuh oleh beberapa pasukan Hotebi yang datang dari segala arah. Beruntung dia tidak kenapa-napa. “Lalu, dari mana kau bisa mengeluarkan cahaya putih tadi?” tanyaku teringat dengan apa yang Ainara lakukan saat ia menolongku dari jeratan akar-akar basah itu. “Aku belajar dari lelaki yang menyelamatkanku itu…” “Wow! Keren. Apa lelaki itu mau mengajariku juga?” “Hmmm, aku bisa memintanya mengajarimu nanti.” “Baiklah. Aku harap dia tidak keberatan…” Kami sampai di sebuah gubuk panggung yang terbuat dari kayu jati. Ainara masuk dan langsung membawaku kepada lelaki yang di maksud. “Kakak, ini Alfi. Aku sudah membawanya kepadamu…” lirih Ainara pada lelaki berjubah hijau tua yang membelakangi kami. Perlahan lelaki itu membalikkan badan dan melihatku tersenyum. “Selamat datang kembali Alfi! Senang melihatmu…” ucap lelaki itu tersenyum. “Razaka?!” tanyaku terkejut bukan main. Sontak aku melihat Ainara yang tersenyum mendekati lelaki itu. Mereka? “Maaf, Alfi. Razaka adalah kakak kandungku. Sengaja aku datang keduniamu hanya untuk membawamu ke tempat ini. Semua aku lakukan demi Ayahku. Demi Negeriku. Aku mohon pengertianmu…” tukas Ainara membuatku shock. Sangat shock. “Rashka! Bawa Alfi ke kamarnya, dan pastikan dia tidak kabur lagi…” sambung Ainara tersenyum manis padaku. SEKIAN Cerpen karangan: Jibril Facebook: Jibril Almuchliesh Twitter: @jibril1990 Cerpen Perjanjian Maut merupakan cerita pendek karangan Imuk Yingjun, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Cerita adikku lumayan lah… bila lanjutannya sob ? Mana lanjutan ny??? lanjutannya mana? Udh penasaran…! Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-fantasi-fiksi/perjanjian-maut.html
Dirknight
Dirknight The Northen Thief/Guardian of Prince of the northern Empires Hari ini aku tepati janjiku kepada Sang raja untuk menemuinya pagi ini. di pagi yang cerah dan sejuk ini, dengan semangat ku langkahkan kakiku menuju istana Bersama temanku yang selalu berada di sampingku. Dirga itu namaku tinggal di sebuah desa dekat perbatasan antara kerajaan Utara dan kerajaan timur bersama temanku bernama Steele. Sebenarnya dulu aku adalah seorang pencuri ulung yang selalu membuat kekacauan dimana-mana tetapi kini aku berusaha untuk berubah dan menjadi manusia sesungguhnya yang dalam keadaan suci dan lepas dari segala dosa. Aku merasa sangat kecewa karena pernah menjadi seorang pencuri dan kesal hatiku tidak menyadarinya waktu itu. Hingga akhirnya, mereka para prajurit kerajaan itu menangkap kami dan membawa kami ke hadapan Sang raja untuk diadili. Dan terasa lega di hati ini karena Yang mulia memberiku ampunan, dan membiarkan aku hidup untuk membayar semua yang telah ku lakukan selama ini tetapi, Aku juga harus mengabdi padanya untuk menjadi seorang pengawal kerajaan. Bersama seorang penyihir kecil berusia 12 tahun bernama caillou Sesampai di istana kami pun memberinya hormat dan berlutut di hadapannya sambil mendengarkan apa yang harus kami lakukan. “Kau sudah kembali!” kata sang raja itu “Kami siap menerima perintah tuanku! Apa yang harus hamba lakukan?” kami bertiga menghadapnya dan memberi penghormatan “Louie!” Yang mulia pun memanggil putranya sang pangeran Louie, kesatria pedang dan juga seorang jenderal perang kerajaan tenggara. “Kau sudah siap untuk pergi?” kata sang raja pada anaknya “Aku siap, demi kerajaan ini dan ayah!” sang pangeran itu berkata sambil memeluk ayahnya Dan kami pun memulai perjalanan menuju kerajaan timur dengan berjalan kaki selama 5 hari ini untuk sampai ke negara itu. Sempat kami temui kendala seperti, musuh yang menyerang kami namun, kami dapat menghadapinya dan melewatinya dengan baik. 5 hari kemudian kami sampai di perbatasan negara tenggara dan negara timur yaitu sebuah desa kecil dan damai yang penuh dengan keramahan. Disinilah tempat kami menghinap untuk sementara waktu. “baiklah kita istirahat dulu di tempat ini selama 1 hari dan esok kita akan pergi ke istana kerajaan timur! Bila ada sesuatu harap hubungi yang lain dan minta bantuan!” sang pangeran memberi kami perintah selama kita semua berpencar mencari penginapan. Saat aku bertanya-tanya kepada masyarakat sekitar, akhirnya aku menemukan sebuah penginapan di sebuah tempat yang mereka sering sebut Danau kunang-kunang. Indah dan sejuk terasa di tempat ini membuat hatiku serasa damai dan tenang. Terdengar suara lantunan bunyi piano di dekat sini, indah dan merdunya membuatku serasa ingin melayang ke angkasa bersama lantunan itu. Membuatku penasaran dan bertanya siapa yang memainkan nada itu, akhirnya ku temukan dia seorang gadis desa bernama Aisha. “mainkanlah lagi lagumu itu sungguh merdu terasa ketika aku mendengarnya!” aku memintanya untuk memainkan lagi piano itu. Lalu dimainkanlah lagi piano itu olehnya. Tenang dan damai menyatu dalam indahnya melodi membuatku benar-benar seperti melayang ke angkasa Hingga nada-nada terakhir. Setelah selesai memainkan piano tersebut, kami pun saling berkenalan dan jatuh cinta. Yang membuatku jatuh cinta adalah nada-nada itu yang telah mencuri perhatianku untuknya juga adalah kecantikan dan kedermawanan hatinya menolong dan membantu penduduk desa. “malam sunyi ku impikanmu ku lukiskan kita bersama namun selalu aku bertanya adakah aku di mimpimu?” (Sherina – simfoni hitam) Terdengar suara nyanyiannya pada malam hari yang sunyi dan damai bersama kunang-kunang kami menari dan bernyanyi dan bercanda tawa bersama-sama. Esok harinya aku pun meninggalkan desa itu dan kami pun saling berjanji untuk saling mengingat dan menjadi kekasih untuk selamanya. Terdengar Sang pangeran berhenti melangkahkan kakinya dan memerintahkan kami semua untuk pulang. “Sudah cukup kalian mengantarkan aku sampai disini! Pulanglah! Sekarang waktunya aku untuk berjalan sendirian!” kata sang pangeran itu “tidak! Aku tidak akan meninggalkan tuan! Hamba akan selalu menemani anda!” aku, steele, caillou berlutut padanya. Dan kami pun melanjutkan perjalanan kami dan akhirnya sampai di depan istana kerajaan timur. Kami segera memasukinya dan menghadap raja dari kerajaan timur itu yaitu Griff. “aku sudah lama menunggumu sekarang masuklah kau ke dalam penjara bawah tanah!” kata sang raja itu dengan kasarnya memerintahkan sang pangeran untuk ke penjara “tunggu dulu bukankah ini adalah tugas untuk membuat perjanjian perdamaian?” caillou bertanya “ya memang benar! Tetapi perjanjiannya adalah mereka akan memberikan perdamaian bila menyerahkan diriku kepada mereka!” kata sang pangeran dan ia pun berlutut kepada sang raja itu “sebelum kau menangkapnya, lawan aku terlebih dahulu!” aku berkata sambil menembakan anak panah padanya Sekelompok prajurit pun dari kerajaan timur datang dan mencoba menghalangi kami. Dengan emosi aku lawan mereka semua karena rasa kesalku kepada mereka. Niatku untuk menyelamatkan pangeran namun dihalangi oleh prajurit itu membuatku semakin kesal dan kesal. Dan ketika semua berhasil kami kalahkan yang mulia pun dibunuh oleh raja itu. “ucapkan selamat tinggal pada tuanmu! Hah…!!!” Griff melepaskan kekuatannya “tidak…!!! Tidak… tidak boleh… tidak boleh ada yang membunuhnya! AAARRRGGGHHH!!!” aku marah dan membalas dendam Sekejap mataku berubah merah kekuatan emosiku mulai mencapai puncaknya. Terasa panas hawa peperangan ini rasa marahku tak bisa aku padami dengan rasa kesal di hati ini. hawa peperangan ini semakin panas dan semakin panas terasa sangat panas saat dalam pertarungan semakin marahku semakin kesal diriku padanya. Dan akhirnya aku berhasil mengalahkannya. “pangeran Louie! Pangeran Louie bangunlah! Sadarlah! Tidak dia sudah…” terasa detak jantungnya berhenti “sudah tidak ada harapan lagi!!” kata Steele padaku “tidak! Masih ada! Aku akan memberikan nyawaku untuk membangkitkannya kembali!” aku berkata dan yakin dalam hati ini “kau yakin Dir?” kata caillou padaku “ya! Yakin dalam hatiku. Pesan terakhirku sebelum pergi tolong bawa jasadku ke hadapan sang raja!” kataku pada mereka Segera ku letakkan tangan ini di atas dada sang pangeran dan mulai menyerahkan nyawaku padanya untuk membangkitkannya kembali. “sacht ki raaho pechella karo dukh na kisi ko diya karo joh duniya ka malik hai nam usi ka liya karo allahi allah!” ku bacakan mantra urdu (Maher zain feat irfan makki – Allahi allah) Berhasil aku membangkitkannya kembali sang pangeran. Dan jasadku pun dibawa oleh mereka ke hadapan sang raja. Lalu terdengar suara lantunan piano berpadu dengan lirik lagu dengan suara merdu yang dimainkan oleh caillou di alam bawah sadarku. “Min dooni quyood !! al-hubbu yasood fa allahul wadood hatmaan san’aud! hatmaan san’aud wal hubbu yasood!” (Maher zain – Al-hubbu yasood (Love will prevail)) lalu tersadar dan kembali bangkit diriku. Terasa seperti dilahirkan kembali ke dunia ini. akhirnya aku kembali bisa melihat wajah mereka untuk Selamanya. Cerpen Karangan: Ahmad Wiradirga Blog: http://ahmadwiradirga95.wordpress.com/ Cerpen Dirknight merupakan cerita pendek karangan Ahmad Wiradirga, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-fantasi-fiksi/dirknight.html
Persahabatan Berdarah di Dunia Lain
Malam berganti pagi, seperti biasa ibu mengajakku untuk bersih bersih rumah. Setelah itu aku pun segera mandi dan sarapan. Aku pun masuk sekolah jam setengah 7 pagi. Sesampainya aku disana, aku melihat ada seorang anak kelas 1 yang sepertinya belum pernah aku jumpai, entah mengapa kepalanya selalu menunduk. “de? Ade namanya siapa?” kataku. “nama saya nia…” kata anak itu. “looh? Kamu murid baru ya? Habis, aku sudah tahu semua nama anak kelas 1 selain kamu…” kataku lagi. Tetapi, pas aku tanya begitu, dia langsung berlari ke arah ruang kelas yang telah dikosongkan kemarin, aku pun tidak segan segan untuk mengejarnya, tapi saat aku lihat ke dalam kelas kosong tersebut, anak kelas 1 itu sudah tidak ada. Aku pun segera berlari ke kelas karena takut, aku takut anak itu bukan manusia melainkan setan atau jin yang menggangguku. Aku pun berlari lebih cepat agar tidak ketinggalan baris berbaris. Setelah aku baris berbaris, aku pun masuk ke kelas. “eh.. Aurell, kok wajahmu tiba tiba pucat?” kata olivia. “gak kok” kataku singkat. Padahal aku ingin sekali menceritakan apa yang terjadi tadi. Pagi pun menjelang siang, istirahat pun dimulai, aku penasaran dengan kelas kosong itu, jadi aku pun tergoda untuk masuk ke dalam kelas kosong itu lagi, aku juga mengajak temanku olivia untuk menemaniku di kelas kosong itu, tiba tiba wussss ada bayangan hitam masuk ke dalam mulutku, aku pun tidak dapat mengingat apa apa, aku berteriak, “aku nia, aku sudah mati ahahahahaha!!!” kataku mengelegar. Temanku olivia pun memanggil teman teman yang lainnya, antara lain tanaya, syahra, rifan, salman, riza, kamila, kalisa, sekar, dzaki dan zahra. Riza dan syahra mengikat tanganku dengan tali rafia, olivia membaca ayat ayat kursi, salman dan kalisa membaca surat surat pendek, rifan melakukan pengusiran, rifan memang ahlinya dalam mengurus hal seperti ini. Yang lainnya menahan tangan, kaki dan memborgol tali rafia tersebut “aku merasa ada di dunia yang berbeda, semuanya berwarna putih… Tak ada jalan keluar…” kataku lagi, setelah berjam jam berlari, aku pun mmenemukan jalan pintasnya, wuuuusss… Bayangan hitam itu pun keluar dari mulutku, rifan pun menangkapnya dan membakarnya. Hari pun berlalu… Aku pun segera pulang ke rumah, tapi hal ini belum diselesaikan… Ternyata aku baru tahu bahwa nia itu sahabatku di dunia lain… Cerpen Karangan: Aurellia Khadeliu Susanto Facebook: Cerpen Misteri Cerpen Persahabatan Berdarah di Dunia Lain merupakan cerita pendek karangan Aurellia Khadeliu Susanto, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Wiiiihhhhh horor nya dapet banget! Horor lagi dong! Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-horor-hantu/persahabatan-berdarah-di-dunia-lain.html
Sang Lengan Panjang
Panggil gua Rian. Malam ini hujan turun cukup lebat, gua, Diki dan Yayan berlari kecil ke saung dekat sawah rumah pak RT, kami berkumpul di saung ini untuk berbincang hangat sambil menyeruput kopi hangat, apa lagi malam ini hujan kehangatan kopi sangat nikmat menemani. Kegiatan kami berkumpul di saung ini, di sawah ini hanya setiap malam Kamis dan Sabtu. Hari hari biasanya kami kuliah di salah satu universitas swasta di Jawa tengah. Kami hanya libur di hari Jumat dan Minggu. Senin sampai Rabu jadwal terlalu padat jadi terlalu lelah untuk berkumpul hahaha. Di malam kami berkumpul, kegiatan kami adalah mencari belut di sawah pak RT, tentu kami sudah minta izin pada pak RT untuk memancing belut di sawah miliknya. Dari hari Kamis sampai Sabtu, hanya hari Jumat yang tidak boleh. Entah apa alasannya tapi pak RT menegaskan agar kami tidak berkumpul di saung ini hanya di hari Jumat malam. Pak RT ini orang yang ramah pada warga sekitar, rumah dua lantai tetapi tampak sederhana. Depan rumah pak RT terbentang sawah yang cukup luas untuk bercocok tanam. Dari semua hal itu ada sisi aneh dari rumah pak RT yang selalu gua, Diki dan Yayan debatkan. Yaitu di kamar kiri tepat sebelah pintu keluar, jika malam telah tiba. Dari luar terlihat lampu di seluruh rumah itu menyala kecuali di kamar itu. Dari jendela luar sama sekali tidak tampak cahaya yang menyala. Entah memang ruang itu tidak terpakai atau sudah menjadi gudang, hal ini sudah kami debatkan sejak lama tapi tidak menemukan jawabannya. Singkat cerita. Di hari Kamis malam ini. Hujan turun cukup lebat yang kami lakukan hanya nongkrong sambil menyeruput kopi hangat. Kami tidak bisa menangkap belut seperti biasa. Padahal benang kail pancing dan umpan kodok sudah disiapkan, gua pikir hujan turun hanya sebentar. Tapi ternyata jam menunjukan pukul 11:23. Kami tak bisa berbuat apa-apa dan memutuskan untuk pulang. Ini adalah Pertama kalinya kami tidak memancing di hari Kamis Sesampai di rumah. gua mendapat telepon dari Diki, “Ian hari ini gak dapet hasil. Agak ada yang kurang jadinya hehehe”. Yah kami berbincang biasa dalam koneksi jauh itu. Seketika Diki ngajak gua untuk mengganti hari yang gagal ini dengan Jumat malam. “Gila lu. Kalo ketauan pak RT bisa berabe urusan” jawab gua dengan cepat, “elah kita gak pernah berisik kalo lagi mancing. Jadi kalo emang setiap Jumat malem pak RT ada acara di rumahnya gak bakal keganggu, gua dah bilang ke si Yayan, dia bilang ok ok aja.” Jawab Diki. gua berpikir sejenak dan menyetujui ide tersebut. Walau perasaan gua tidak enak tapi gak mungkin gua ninggalin kawan. Malam itu pun datang juga di Jumat malam. Semua berkumpul di rumah Yayan, karena di sana lah tempat terdekat ke saung kami. gua sedikit terlambat malam ini, penyelesaian tugas yang harus dikumpulkan hari sabtu akhirnya selesai. Dan gua langsung berangkat ke rumah yayan sesampainya di sana Diki dan Yayan sedang duduk sambil makan gorengan. Yah memang malam ini sedikit telat, karena waktu sudah menunjukkan pukul 9:57, intinya sudah jam 10. Tanpa mengulur waktu semua peralatan langsung berada di genggaman kami, dan kami langsung berangkat menuju sawah pak RT. Rumah pak RT begitu sepi dan senyap, sepeti malam biasanya, lantas mengapa kami dilarang kesini di hari jumat. Pikiran itu terlewat di benak gua. Kami memancing dan mencoba tidak berisik agar tidak ketahuan oleh pak RT. Tak terasa tangkapan kami cukup banyak. Angin bertiup lembut malam ini pohon dan rerumputan terasa hidup karenanya, entah mengapa suasana seperti ini malah membuat gua merinding, perasaan ini mulai tidak enak, kami memutuskan untuk mengakhiri kegiatan kami. Dan waktu menunjukan pukul 01:12. Sudah cukup larut malam kami memutuskan untuk duduk di saung sejenak dan membersihkan alat alat yang kami bawa, entah angin apa yang lewat Yayan terjatuh tersungkur ke belakang sambil berteriak, aaaahh!. Dengan sigap Diki menutup mulut Yayan. “lu kenapa sih!, Gak usah cari gara gara”. Yayan hanya terdiam dan matanya tertuju pada atap rumah pak RT. “Tadi ada orang di atas situ, sumpah gua liat dia lagi ngeliatin kita. Sumpah!”. Jawab Yayan sambil ketakutan, bener perasaan gua emang udah gak enak dari awal, “udah yan tenangin diri dulu abis itu kita langsung balik”. Sambil menenangkan Yayan gua terus menatap rumah pak RT, tidak ada yang aneh walau jika di lihat terus menerus, “sumpah wujud orangnya aneh. gua liat setengah badan dia muncul dari balik atap rumah pak RT. Badan itu begitu kurus pas gua teriak orang itu seperti sembunyi di belakang atap itu” Yayan masih menceritakan apa yang dia lihat, Tak lama pintu rumah pak RT terbuka, sontak kami loncat ke belakang saung untuk sembunyi. Yap bukan seperti khayalan kami tapi memang pak RT yang keluar, ia menatap sekitar seperti memastikan Ada orang atau tidak. Tak lama pak RT masuk kembali ke dalam rumah, kami mengelus dada dan mencoba berdiri agar dapat pulang. Tetapi sesaat kami berdiri Diki memegang bajuku erat, “kenapa lu?” Tanya gua. Dia mengangkat jari telunjuk mengarah ke atap rumah pak RT dengan tatapan ketakutan, lantas gua dan Yayan langsung melihat ke arah yang di tuju, apa yang kami lihat benar benar diluar dugaan sebuah tangan yang panjang keluar dari balik belakang genting itu, tangan yang begitu kurus tetapi cukup panjang, jujur gua sama sekali gak bisa gerakin kaki. Getaran ini begitu kuat hingga gua tak sanggup berjalan. Tangan itu menarik kembali ke balik genting rumah itu. Kami mencoba untuk lari tapi tak bisa. “Guys bagaimana jika itu adalah maling?. Kasian pak RT” tanya Yayan. “lu gila gak mungkin maling wujudnya kek gitu”. Jawab Diki dengan panik, “intinya mau gak mau kita harus kasih tau pak RT soal ini, apapun itu jika ini bersangkutan keselamatan pak RT harus kita bantu” dengan tegas gua berbicara, “tapi Ian gak malem ini juga”. Suasana makin tidak nyaman. Akhirnya kami bulatkan tekad untuk meminta maaf dan memberitahu kan hal ini pada pak RT, kami berjalan perlahan menuju pintu masuk, sesampai di depan pintu perasaan ini semakin berat, seperti ada tekanan yang begitu hebat dari dalam. Lalu “guys lihat ada cahaya remang remang dari jendela kiri kamar pak RT” Bisik Yayan kepada kami, Yap memang benar dari malam malam yang sudah kami lewati di sini, kamar itu sama sekali tidak pernah ada cahaya, rasa penasaran gua semakin menguat, perlahan gua berjalan ke arah jendela itu dan mengintip kecil kedalamnya. Gua gak percaya sama apa yang gua liat, kamar yang hanya diberi pencahayaan lilin itu penuh dengan sesajen dan beberapa botol yang terbuat dari tanah liat, berjejer di samping sesajen itu. Terlihat begitu jelas pak RT ada di dalam ruangan itu. Sambil duduk bersila dan menundukkan kepala seperti orang tertidur, melihat hal aneh tersebut, gua langsung mencoba memanggil teman gua yang masih berdiri menunggu di pintu, entah mengapa mereka hanya terdiam di pinggir pintu dengan tatapan terpaku ke atas kepala gua, jujur gua gak berani ngeliat ke atas tekanan ini begitu berat. Sontak gua paksa kepala ini menoleh ke atas dengan cepat. Dan tubuh ini menjadi kaku, apa yang gua liat sama sekali bukan hal yang biasa, wajah itu 20 cm berada tepat di depan wajah gua, tubuh yang menggantung dengan kaki dikaitkan ke genting, kepala yang nyaris botak tak berambut dan wajah itu begitu kurus mata itu menatap langsung ke mata gua, tubuh itu kecil tapi lengan dan kaki begitu panjang melebihi tubuhnya, gua ingin teriak tapi gak bisa, gua ingin lari tapi tubuh ini seperti tidak mengizinkan, temen gua gak bisa lakuin apa-apa mereka cuman terdiam ketakutan melihat makhluk ini Perlahan ia menarik tubuhnya ke atas dan berdiri tetapi tetap menatap gua, sialannya tubuh gua masih gak bisa gerak!, Seketika ia menoleh ke samping kiri ke arah pemukiman warga dan menurunkan tubuhnya layaknya seekor hewan berkaki empat, lalu dia melompat dari rumah pak RT ke rumah lain, jarak rumah itu 13 meter dari rumah pak RT ia terus melompat dari rumah ke tiang listrik dan seterusnya sampai kami tidak bisa melihatnya lagi, seketika tubuh gua bisa kembali digerakan. Tak peduli ketahuan atau tidak dengan pak RT kami bertiga lari pulang menuju rumah Yayan. Sesampainya di rumah Yayan, semua masih berkeringat dingin, gua dan Diki memutuskan untuk menginap di rumah Yayan, gua gak berani balik ke rumah kalo makhluk itu masih berkeliaran di kampung gua. yang jelas dari apa yang gua yakini bahwa mahkluk itu punya pak RT entah apa yang pak RT inginkan dengan makhluk itu. Keesokan paginya gua dan diki pulang ke rumah masih masing, apa yang terjadi semalam masih terbayang di pikiran gua apa lagi wajah itu, entah sampai kapan akan terus ada di pikiran gua, saat gua sampai rumah, ibu gua dapet telepon dari ibunya Diki katanya orangtua Diki baru saja kemalingan setengah uangnya, Diki juga langsung ngabarin gua pas dia sampai di rumahnya, persetan dengan maling masalah semalem aja belum selesai sekarang ada lagi masalah maling di kampung ini. Dengan perasaan yang bercampur aduk, gua berjalan ke kamar mandi untuk bersiap berangkat kuliah. END Cerpen Karangan: Ahmad Faiz Maulana Blog / Facebook: freezefaiz[-at-]yahoo.com Tinggal di Ciomas Bogor, kuliah di universitas Djuanda, humoris hobi menulis, kamera, dan menggambar, anak generasi 99 IG: underfreeze Cerpen Sang Lengan Panjang merupakan cerita pendek karangan Ahmad Faiz Maulana, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-horor-hantu/sang-lengan-panjang.html
Gunung Bukan Tempat Sampah
Agus adalah seorang mahasiswa yang berasal dari salah satu Universitas ternama di Bali. Agus sangat suka mendaki gunung, dan sudah beberapa gunung di Indonesia sudah ia taklukan dalam waktu setahun. Dia juga sangat mencintai lingkungan, bahkan teman-temannya saja jika membuang sampah selalu dimarahinya. Menurut sahabatnya yang selalu menemaninya saat mendaki, Agus selalu membawa kantong-kantong plastik besar untuk menampung semua sampah yang berserakan. Bahkan teman-temannya yang ikut mendaki selalu membawa sampah ketika pulang dari mendaki dan dibuang di tempat sampah yang telah disediakan di pos pertama pendakian. Pelajaran ini didapatkan Agus dari ayahnya yang waktu SMA mengikuti ekstra SISPALA. Ketika itu Ayah Agus diajarkan oleh gurunya untuk tidak pernah membuang sampah ketika pendakian ke gunung, apalagi kulit permen dan jika ketahuan akan dapat hukuman yaitu membawa seluruh sampah teman-temannya dan memungut sampah yang berserakan di jalan. Ayah agus juga mengajarkan bahwa sampah dapat merusak bumi juga kehidupan di masa depan, dan selalu menegur Agus ketika membuang sampah sembarangan dan juga dinasehati agar tidak melakukan hal tersebut. Hingga beranjak SMA, Agus mengikuti ekstra SISPALA. Ketika itu, ia diajarkan seperti yang diceritakan ayahnya waktu Agus kanak-kanak. Tapi gurunya juga mengajarkan sistem daur ulang pada sampah-sampah yang masih bisa didaur ulang. Maka di sekolahnya dibuat peraturan khusus untuk tidak membakar sampah-sampah yang berlabel daur ulang agar dapat lagi digunakan dan diolah kembali. Suatu ketika, Agus dan teman-temannya pertama kali diajak mendaki ke Gunung Batur oleh gurunya dan juga diikuti oleh Ayah Agus yang kebetulan juga berpengalaman dalam pendakian dan diajak langsung oleh guru pembina ekstra SISPALA. “Kalian di sini bukan hanya sekedar mendaki gunung saja, tapi kita akan membersihkan jalan yang akan kita lewati dan jangan membuang sampah apapun sembarangan, jika ketahuan bapak akan berikan hukuman, kalian di sini sudah membawa kantong yang bapak suruh?,” ujar pak pembina dengan tegas “Sudah kami bawa pak,” siswanya menjawab dengan serentak. Setelah diberikan penjelasan dan wejangan dari bapak pembina dan bapak Kepala Sekolah. Mereka langsung menuju pos pendakian pertama setelah dilakukan upacara pelepasan di sekolah. Tibalah rombongan tersebut di pos pendakian pertama, mereka dipandu langsung oleh pemandu lokal, bapak pembina, serta ayah Agus yang sudah berpengalaman dalam pendakian. Sebelum itu, mereka diberikan penjelasan mengenai larangan membuang sampah sembarangan dan berkata-kata kasar saat pendakian oleh pemandu. “Kalian di sini juga harus jaga tata krama dan jangan mengatakan kata JAUH saat pendakian, karena menurut cerita jika mengucapkan kata itu saat mendaki maka akan terasa jauh untuk sampai ke puncak. Kalian di sini semua paham!,” ujar pak pemandu. Sesudah selesai diberikan penjelasan mereka langsung berangkat menuju puncak Gunung Batur dengan penuh semangat. Di tengah perjalanan, rombongan istirahat sejenak dan mereka banyak menemukan banyak sampah berserakan dan yang paling terparah hampir semua batu dicorat-coret oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. “Apa bapak mengetahui saat batu-batu ini di corat-coret oleh orang yang tidak bertanggung jawab?,” tanya Indra kepada pak pemandu. “Saya juga kurang mengetahuinya dik, karena pada saat dilakukannya pencoretan mungkin ketika lulus UN dan tanpa dampingan pemandu. Jadi kami para pemandu, membuat peraturan khusus bagi para pencorat-coret batu jika ketahuan melakukan aksinya yaitu dengan membersihkan seluruh wilayah gunung selama satu bulan,” jawab pak pemandu. Ayah Agus juga memberikan wejangan kepada para siswa untuk tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari. “Jika kalian ini telah lulus Ujian, sebaiknya kalian jangan melakukan aksi corat-coret baju, mendingan kita sumbangkan saja kepada adik kelas atau ke orang yang membutuhkan,” ujar Ayah Agus dengan tegas. Setelah Ayah Agus memberikan sedikit wejangan kepada para siswa. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan menuju ke puncak dengan penuh gembira dan berharap cuaca tidak mendung dan hujan. “Pak, apakah benar di puncak banyak terdapat sampah dan apakah Pemerintah Kabupaten Bangli belum menyediakan fasilitas tong sampah di sana, kan tempat ini sudah masuk Situs Warisan Dunia oleh UNESCO beberapa tahun lalu,” tanya Dede ke pak pemandu. “Dulu sudah pernah diberikan tong sampah, tapi karena pendakinya membandel, maka tong sampah itu rusak dimakan usia, sampai pada gunung Batur mengeluarkan belerang, tong sampah sumbangan dari beberapa pihak rusak karena zat belerang,” jawab pak pemandu sambil menjelaskan kerusakan tong sampah. Dengan itu, mereka juga ingin menyumbangkan tong sampah agar para pendaki tidak membuang sampah sembarangan. Sampailah mereka di puncak, para siswa tidak tinggal diam di sana, sebagai kepedulian terhadap lingkungan sekitar, mereka pun langsung membagi tugas masing-masing untuk membersikhkan areal puncak. Bukan hanya para siswa yang membersihkan puncak para turis asing pun membantunya. Salah satu turis yang bernama Michael juga bercakap-cakap kepada bapak pembina mengenai kegiatan siswa di sekolah “Excuse me, sir I’m Michael and my friend Malik tourism from Switzerland. I would like to ask about the concers of students who loved his homeland. Does the school have been educated like this” tanya Michael dan Malik kepada pak pembina “In school, students are also taught how to separate garbage bins that are easy to recycle. So, in our school there is a recycling program. Our recycled every shelf or we sell,” dengan cekatan pak pembina menjawab pertanyaan turis asing itu. Turis itu pun merasa senang bahwa ada juga yang peduli pada lingkungannya, namun ada beberapa yang masih sering membuang sampah sembarangan. Berkat kerja keras para siswa dan beberapa turis asing yang turut membantu, kawasan terssebut akhirnya bersih bebas dari sampah. Dan kawasan tersebut tidak seperti dulu lagi yang masih dipenuhi sampah. Mereka semua bermalam di sana dengan saling menghibur dan keesokan harinya mereka kembali turun. Sekembalinya ke sekolah, Agus tidak pernah melupakan kenangannya pada pendakiannya yang pertama kali dan ingin lagi mendaki ke gunung-gunung di seluruh Nusantara. Dan tidak lupa untuk tidak membuang sampah sembarangan dan tidak mencemari lingkungan karena lingkungan sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia. Kemarin sore, Agus dengan teman sekampusnya yaitu Darma, Indra, Arta, Bayu, Adit, dan Yande merencanakan sebuah pendakian menuju gunung Agung dalam rangka memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Ke-71. Mereka akan melewati jalur pendakian Pura Pasar Agung karena dikatakan lebih dekat. Akhirnya mereka sepakat, Agus juga akan mengajak beberapa anggota SISPALA serta bapak pembina SISPALA di salah satu sekolah di Kecamatan Rendang dan telah diberi izin dari kepala sekolah yang bersangkutan. Bukan hanya itu, Ayah Agus juga tertarik untuk ikut mendaki dan mereka yang akan mendaki semakin banyak. Keesokan harinya, mereka semua telah berkumpul di Pura Pasar Agung. Tetapi sebelum mendaki, mereka semua bersembahyang di Pura Pasar Agung untuk memohon keselamatan ketika melakukan pendakian ke Gunung Agung. Mereka sudah siap dengan peralatannya masing-masing, mulai dari kantong plastik berukuran besar yang digunakan untuk memungut sampah ketika pendakian dan beberapa alat-alat lainnya. Setelah memeriksa alat-alat, mereka semua langsung mendaki didampingi oleh bapak pembina SISPALA dari salah satu sekolah di Kecamatan Rendang, dan tiga orang pemandu lokal. “Pak saya ingin bertanya, di tahun sebelumnya telah ada para pendaki yang telah mengibarkan bendera Merah Putih di Gunung Agung,” tanya Agus kepada pak pemandu “Setiap tahun pasti ada yang ke sini, mereka para pendaki biasanya melewati ke sini, ada juga yang melewati jalur lain,” “Jalur mana saja itu yang digunakan para pendaki, pak,” tanya Indra ke pak pemandu. “Sebenarnya ada beberapa jalur yang digunakan, jalur pertama dari Pura Pengubengan Besakih, kedua, dan yang paling sering digunakan jalurnya yaitu jalur ini, karena menurut beberapa pendaki jalur ini yang terpendek, karena pura Pasar Agung berada kurang lebih di ketinggian 2000 mdpl,” jelas pak pemandu Akhirnya, setelah menempuh 4 jam perjalanan dari Pura Pasar Agung mereka akhirnya sampai. Sebelum itu, mereka akan membersihkan tempat terlebih dahulu, membangun tenda, dan membuat tiang bendera dengan bambu. Setelah semua sudah selesai, mereka langsung bersembahyang di salah satu pelinggih yang berada di bibir kawah gunung, dengan canang sari dan banten pejati. Ketika itu, ada beberapa orang yang mendaki untuk memperingati Hari Kemerdekaan di puncak gunung, mereka langsung bertanya kepada Ayah Agus “Om Swastyastu, pak saya ingin bertanya, di mana kami bisa mendirikan tenda-tenda untuk kami bermalam,” tanya Gede kepada Ayah Agus. “Di sana bisa, bersebelahan dengan tenda kami,” ujar Ayah Agus Setelah bertanya, mereka pun langsung membangun tenda di sebelah tendanya Agus. Rupanya itu adalah teman satu kampus Agus yang bernama Gede. Mereka akhirnya bercakap-cakap sambil duduk di depan tenda. “De, kamu tadi lewat mana mendakinya, kok tidak ketemu tadi”, tanya Agus kepada Gede “Oh, aku tadi mendaki lewat Pura Pengubengan, berarti kamu lewat Pura Pasar Agung ya?,” jawab Gede sambil bertanya kembali pada Agus “Ya,” jawab Agus kepada Gede Malam harinya, mereka semua membuat api unggun, dengan senang dan gembira, Ayah Agus mulai bercerita tentang sejarah Indonesia Merdeka dan membuat mereka semua yang mendengar merasa bangga karena kegigihan pahlawan kita tiada duanya demi negara ini untuk mewujudkan Indonesia Merdeka. Keesokan harinya, mereka mulai berkumpul dan bersiap-siap untuk mengibarkan bendera Merah Putih, dengan dipimpin langsung oleh Ayah Agus. Upacara ini juga berlangsung dengan lancar tanpa gangguan. Setelah bendera berkibar, mereka semua bersiap-siap untuk turun dan merapikan seluruh peralatan, serta memungut semua sampah yang berada di puncak gunung agar tidak mencemari lingkungan. Serta tetap menjaga lingkungan agar anak dan cucu bisa melihatnya dan bukan melihat segunung sampah yang bertumpuk. Sehingga seluruh gunung di muka bumi yang dipenuhi sampah dapat bersih jika ada orang-orang yang sangat peduli pada lingkungan. Dan menjaga nilai-nilai luhur pancasila dengan cara melestarikan lingkungan sekitar. Bukan gunung yang kita taklukan, tapi diri kita sendiri ~ Sir edmund hillary Cerpen Karangan: I Gusti Agung Michael Swisnandya Blog: agungmichael15.blogspot.com Facebook: Michael Agung Cerpen Gunung Bukan Tempat Sampah merupakan cerita pendek karangan I Gusti Agung Michael Swisnandya, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-lingkungan/gunung-bukan-tempat-sampah.html
Mimpi Menjadi Kenyataan
Pada malam hari “Hoaammm” aku sudah mengantuk. Lalu aku pergi ke kamar mandi untuk gosok gigi, setelah itu aku tertidur lelap. Saat aku tidur, aku bermimpi aku diajak ke sebuah toko squishy terkenal di kotaku, nama tokonya “Squishy Collection”. Sesampainya aku di toko squishy, aku terkagum-kagum melihat banyak sekali squishy yang bagus, slow dan jumbo. Tentunya tidaklah murah, semua squishy yang ada di toko itu mahal. Saat itu juga dad bilang “Kalau mau beli squishy, ambil aja mana yang kamu suka” “Yeaay” akupun bersorak girang “Terima kasih dad” kataku Aku pun membeli squishy yang aku sukai, salah satunya panda egg, punimaru animal donut, squishy yang berbentuk roti jumbo, squishy yang berbentuk kue ulang tahun yang tingkat, dan masih banyak lagi. Aku membeli 100 squishy sekaligus. Saat aku sampai di rumah aku cepat cepat mengambil hp, dan aku memvideokan squishy yang aku beli tadi, lalu aku posting ke instagram. “Kring… Kring… Kring” alarmku berbunyi. Aku baru tersadar dari mimpiku semalam. Aku pun berdoa dalam hati supaya mimpi itu menjadi kenyataan. Aku beranjak dari tempat tidur dan aku melihat kalender. Ternyata hari ini adalah hari ulang tahunku, aku senang sekali. Berhubung ini hari Minggu aku bisa langsung meminta hadiah kepada mom dan dad. Karena biasanya, selain hari Sabtu dan Minggu, mom dan dad kerja. Aku segera turun ke bawah, melewati tangga. Lalu aku segera bilang “Mom, dad, hari ini hari ulang tahunku. Aku mau hadiahnya squishy” kataku. “Boleh saja, ya udah siap siap yuk!” kata mom “Yeayyy, ya udah aku mau siap siap dulu” kataku. Aku pun segera bersiap siap. Aku segera menyambar handuk, lalu aku pergi ke kamar mandi. Setelah selesai, aku memakai baju kaos berwarna putih berlengan panjang bertuliskan “My Girl”, lalu aku memakai celana jeans berwarna hitam, dan aku memakai cardigan panjang berwarna hitam putih dan tidak berlengan, tidak lupa aku memakai kerudung pasmina berwarna hitam “Tiiinnn… Tiiinnn… Tiiinnn” suara klakson mobil dad terdengar, aku segera turun ke bawah. Aku pun menaiki mobil. Mobil pun melaju kencang, dad mengajakku ke toko squishy terkenal yang ada di kotaku namanya “Squishy Collection”. Aku pun menjadi teringat akan mimpiku semalam. “Apakah mimpiku akan menjadi kenyataan?” tanyaku dalam hati. Sesampainya disana, ternyata mimpiku menjadi kenyataan. Aku dibolehkan untuk membeli squishy sebanyak yang aku mau. Setelah itu aku, mom, dan dad segera menuju kasir. Jumlah squishy yang aku beli ada 100 squishy. Sesampainya di rumah aku segera memposting squishyku ke instagram. Sungguh tak terduga. Ternyata mimpiku semalam menjadi kenyataan. Cerpen Karangan: Hasna Ainan Cerpen Mimpi Menjadi Kenyataan merupakan cerita pendek karangan Hasna Ainan, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-anak/mimpi-menjadi-kenyataan.html
Janji Tahun Baru
Asap putih keluar dari dalam kopiku. Menandakan kalau kopi ini masih panas. Dan secara tidak langsung memerintahkanku untuk menunggunya sedikit lebih lama agar dingin dulu baru bisa meminumnya. Tapi pada saat ini hal itu tidak berlaku sama sekali. Dinginnya hujan mengalahkan panasnya kopi ini. Saking dinginnya malam berhujan ini, badanku yang sudah diselimuti jaket tebal, tetap saja terasa tertusuk-tusuk oleh jarum es. Walaupun begitu tetap saja aku belum mau mengusik kopi ini sama sekali. Pandanganku hanya terpaku menatap pantai melalui jendela kaca kafe ini. Gerombolan orang yang berada di pantai sekarang sudah tiada lagi. Mereka samua dipaksa bubar oleh hujan yang datang secara medadak. Sepertinya perayaan malam tahun baru yang biasanya dihiasi oleh hujan kembang api, sekarang akan berganti dengan hujan yang sesungguhnya. Dan hasilnya kafe yang semula lengang, menjadi penuh oleh gerombolan orang-orang yang ingin menghangatkan diri. Dan sialnya aku juga termasuk dalam gerombolan orang-orang ini. Detik demi detik jam tanganku terus berjalan. Mungkin seperti inilah rasa bosan karena menunggu. Mungkinkah mereka tidak akan pernah datang? apa mereka sudah melupakan janji yang mereka buat itu? Pikirku. Semua pertanyaan itu terus bermunculan di dalam otakku, berkecamuk tak menentu dan semakin membuat malam ini terasa semakin dingin. Jika sudah seperti ini aku hanya memilin-milin rambut panjangku dengan jari, untuk sekedar membuang rasa bosanku. “Kita akan berkumpul kembali di sini, untuk bertemu. Kita akan bertemu setiap malam tahun baru.” begitulah bunyi janji kami. Aku sangat ingat sekali akan janji tersebut, yang diucapkan oleh salah satu temanku saat itu. Tentu saja kami semua mengiyakan janji yang dibuat ketika liburan kelas untuk merayakan kelulusan kami dari SMA. Lima tahun janji ini berjalan. Memang pada tahun pertamanya janji ini melihatkan keampuhannya. Namun semakin lama sebuah janji dibuat semakin lemah pula kekuatannya. Dan semakin bertambah tahun demi tahun semakin usanglah janji tersebut. Kemudian itu terbukti pada tahun lalu. Semua temanku tidak datang sama sekali. Mereka semua berkilah bahwa mereka memiliki urusan lain, seperti urusan keluarga, ada acara keluarga atau sedang ada kerjaan. Mereka tidak lagi menepati janji mereka. Sekarang kekuatan janji itu sudah hilang, benar-benar hilang tak berbekas sama sekali. Aku ingat sekali seperti apa malam pergantian tahun 2016. Mereka, teman-temanku tidak ada satu pun yang datang. Mereka hanya membuatku lelah menunggu. Tapi ada satu hal yang tidak bisa kulupakan pada saat itu. Apu pikir hanya aku sendiri yang mengalami. Tetapi tidak, seseorang juga memiliki nasib yang sama denganku. Aku sangat ingat sekali. Laki-laki itu berdiri mematung memandang laut yang gelap. Sekilas aku lihat, dia seperti orang yang pernah aku kenal. Jadi kuputuskan untuk menghampirinya dan melihat dia dalam jarak dekat. Tidak, tidak, aku sama sekali tidak mengenalnya, pikirku. Walau aku sudah sedekat ini, dia juga tak terusik dengan keberadaanku. “Kau menunggu seseorang?” tanyanya membuatku kaget. “Ehm” anggukku kecil memberikan jawabnya padanya “teman-temanku.” “Apa mereka akan datang?” tanyannya lagi. “Sepertinya mereka tidak akan datang.” simpulku. “Kamu?” “Sama, aku juga sedang menunggu.” Setelah obrolan singkat itu, tidak ada lagi perkataan yang keluar dari mulut kami berdua. Kami benar-benar terdiam mendengarkan ratusan suara orang yang sedang berkicau di telinggaku dan suara deburan ombak menghempas pantai. Jika dari obrolan sebentar tadi aku menilainya, maka aku mengangap laki-laki ini adalah orang pediam. Itu terbukti karena dia tidak begitu banyak bertanya padaku. Beda dengan setiap orang yang aku temui selama ini. Tapi terlepas dari sifat pendiamnya itu, dia adalah orang yang sangat menyenangkan untuk diajak mengobrol. Memang baru sebentar kami bertemu, tetapi dia begitu akrab denganku. Sehingga dia dengan mudah mengatakan semua yang dipikirkannya padaku, dan begitu juga aku. Karena hal itulah obrolan kami berdua ini lebih terlihat seperti curhat. Tentu saja aku mengatakan padanya tentang kekesalanku, karena teman-temanku tidak dapat menepati janji mereka. Tetapi yang membuat aku tertarik adalah curhatannya padaku. Dia berkata padaku, bahwa sebenarnya dia tidak tahu sedang menunggu siapa. “Sebenarnya aku tidak tahu siapa yang aku tunggu.” “Kenapa?” tanyaku meminta penjelasan. Dia menjelaskannya padaku, bahwa sebenarnya dia sering melupakan seseorang, jika dia tidak bertemu dalam waktu yang lama. Hal itu sering mengganggunya. Karena itulah dia tidak tahu siapa yang akan datang. “Sudah pernah bertanya ke dokter?” tanyaku padanya. Dia hanya menganguk kecil sambil tersenyum tipis di wajahnya. Kembali dia melanjutkan ceritanya, mengupas lebih dalam tentang kekurangannya. Yang lebih membuatku tertarik dengan kekurangannya ini adalah dia hanya melupakan orang. Atau lebih tepatnya, dia hanya melupakan tentang orang-orang yang berada di sekitarnya saja. Yang dia luapakan dari mereka seperti siapa nama meraka dan seperti apa wajahnya. Kekuranganya memang aneh, tapi bagituku sangat unik dan membuatku tertarik padanya. “Sepuluh… sembilan… delapan…” teriak semua orang menghitung dengan jarinya. Hanya hal itu yang dapat menghentikan obrolan kami berdua. Semua orang baru saja menghitung mundur untuk menuju tahun baru. Terlebih lagi ini adalah momen yang sangat aku tunggu saat tahun baru. “Tiga… dua… satu..” suara terompet bergema di seluruh tempat. Disusul oleh puluhan kembang api yang meluncur dari tempat persembunyian mereka. Terbang membentuk garis cahaya indah di langit, kemudian meledak membentuk bunga mekar yang begitu indah dipandang mata. Ledakan-ledakan cahaya di langit sudah sangat cukup untuk mengalihkan perhatianku. Tanpa aku sadari orang yang mengobrol denganku sudah tidak ada lagi di sampingku. Tanpa basa-basi dia menghilang begitu saja. Belum sempat aku berkenalan dengannya. Sudah satu tahun sejak saat itu. Jarum jam terus begerak dan menunjukan pukul setangah sebelas malam. Sepertinya janji itu memang sudah tidak ada lagi. Mungkin sudah saatnya melupakan semua janji tersebut, seperti teman-temanku. Bukannya aku menyerah tanpa usaha, tapi semua usahaku selama ini tidak membuahkan hasilnya. Aku selalu menghubungi semua temanku yang terikat janji. Sekedar mengingatkan mereka tentang janji yang kami buat. Tapi semuanya sia-sia, mereka seperti ditelan oleh bumi. Hilang tak berbekas. Foto kami sekelas inilah yang menjadikan obat kekecewaanku. Aku selalu menyusuri setiap wajah mereka di foto ini. Sekedar mengingatkanku pada teman-teman yang sekarang sudah terpisah jauh. Memulai dari sisi kiri lalu kanan, aku selalu melihat wajah mereka dan mengingat namanya. Aku sangat mengingat wajah dan nama mereka, walau sudah dalam hitungan tahun tidak bertemu dengan mereka. Namun jariku terhenti pada seorang siswa di foto ini. “Boleh aku duduk” minta seseorang padaku. Aku mengiyakannya dengan senyum pada laki-laki yang basah oleh hujan tersebut. Dia melihatku dengan penuh heran di wajahnya. “Apa kita pernah bertemu atau kenal?” tanyanya padaku. Tapi aku tetap membalasnya dengan senyumanku. “Namaku Kirana Elma Putri” menjulurkan tangan padanya. “Namaku Arianto Mulyana” kenalnya, menjabat tanganku. Mungkin janji itu telah usang dimakan waktu. Akan tetapi janji itu terus berjalan seiring waktu, hanya saja janji tersebut terkikis oleh lupa. Dan aku bersyukur janji tersebut terus berjalan sampai saat ini. Hanya aku saja yang tidak menyadarinya. Cerpen Karangan: MHI Cerpen Janji Tahun Baru merupakan cerita pendek karangan MHI, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/janji-tahun-baru.html
Hijrah Cinta Dalam Balutan Jilbab Zazkia
Matahari telah terbit dari ufuk timur, udara segar pagi hari, kicauan burung-burung riang seolah-olah bertasbih atas keindahan Ilahi. Suara kendaraan bermotor pagi hari yang berisik menjadi kebiasaan di kota Jakarta. Saat itu, zazkia aisya fitri yang akrab dengan panggilan zazkia sedang asyik belajar mempersiapkan karya puisi yang harus ia baca nanti siang di kampusnya. Zazkia belajar di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta. Ia mengambil jurusan sastra Indonesia. Ia sangat menyukai sastra, baginya sastra adalah jiwanya, sastra telah menyatu dalam hati dan jiwanya. Detik demi detik telah berlalu dengan amat cepat bagi zazkia, rasanya ia baru saja mengerjakan karya puisinya, ia juga belum sempat istirahat siang. Saat jam telah menunjukkan angka 12.30, zazkia bergegas berangkat ke kampusnya, karena memang perjalanan dari kost ke kampusnya hamper 30 menit jika berjalan kaki. Di hari itu, zazkia terpaksa berjalan kaki karena tidak ada satupun angkot yang lewat seperti hari biasanya. Di tengah perjalanan ia melihat Dion, pacar zazkia yang sudah hampir 2 tahun mereka berpacaran. Ia melihat Dion sedang berdua-duaan dengan wanita lain yang jauh lebih cantik dan lebih seksi dibndingkan dengan zazkia, mereka berdua terlihat begitu mesra. Zazkia tak tahan melihat itu semua, air matanya mengalir membasahi pipi, hati zazkia terasa sesak, hancur, remuk, gundah, ia ingin sekali menjerit, tetapi tidak bisa. Ia tadak nmenyangka ternyata apa yang dikatakan Aurel, teman karibnya itu memang benar. Dion adalah laki-laki brengsek, laki-laki yang suka mempermainkan perasaan wanita. Ia menyesal tidak mempercayai sahabatnya itu. Rasanya ia ingin sekali menampar muka Dion, tapi ia berusaha sabar, ia berusaha tegar. “Sudahlah zazklia, lupakan laki-laki itu, lupakan Dion, mungkin Dion bukanlah laki-laki yang terbaik untukmu. Di luar sana masih banyak lelaki yang jauh-jauh lebih baik dari pada Dion, yang mungkin lebih pantas untuk bersanding denganmu”. Pinta zazkia dalam hatinya. Akhirnya, dengan keberaniannya ia memutuskan untuk menyapa Dion dan wanita misterius itu sekaligus melepas ikatan dengan Dion. “Permisi, maaf mengganggu, saya hanya ingin berbicara empat mata dengan dion sebentar.” Sapa zazkia pada dion dan wanita disampingnya. “kamu siapa?” Tanya wanita itu dengan bingung. Raut muka dion berubah total melihat zazkia berada di depannya, ia menjadi pucat seketika. “i ini…” “saya zazkia mbak, teman kampusnya dion, saya ingin membahas tugas mata kuliah dengan dion, kebetulan dion satu kelompok dengan saya, dan tugas kami harus diselesaikan nanti siang.” Sambung zazkia memotong pembicaraan dion. “ia sayang, ini zazkia, temen kampusku, zazkia perkenalkan ini Anita, pacar baruku.” kata dion. Mendengar kata-kata dion, zazkia hampir tak kuasa menahan air matanya, ia ingin sekali menampar muka dion di depan pacar barunya, ia ingin sekali mengatakan bahwa dirinya adalah pacar dion juga kepada Anita, tapi ia tetap berusaha tabah, ia ingin misinya kali ini berjalan dengan lancar. Zazkia mengambil nafas yang panjang… “ya udah mbak, saya mohon waktunya untuk berbicara sebentar dengan pacarnya.” kata zazkia “oke. Tapi jangan lama-lama.” Kata anita “hmm” kata zazkia sambil mengangguk Akhirnya, zazkia dan Dion berbicara berdua disudut yang agak jauh dengan Anita. Zazkia yang mengawali pembicaraan mereka berdua “Maaf dion, sepertinya aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Sekian lama kita menjalani hubungan ini dengan suka cita, saling mengerti, saling memahami, saling percaya satu sama lain dan saat ini, di hadapanku sendiri, semua itu telah lenyap, cinta yang sudah bersatu dan bersemi saat ini telah musnah oleh sebuah pengkhianatan, janji yang telah terucap waktu itu mungkin hanya lelucon saja bagimu, tapi prinsip bagiku. Dan saat ini janji itu sirna begitu saja ternodai oleh lisan kebohongan, kesetiaan yang selama ini kita jaga telah lenyap bagai tsunami yang menghancurkan berjuta-juta rumah dengan sekejap mata. Aku jaga kepercayaanku oleh lisan-lisan yang menggumbar aibmu, aku berusaha percaya padamu, tapi apa yang saat ini aku lihat? Di depan mata kepalaku sendiri aku melihat sebuah kenyataan besar yang pahit, bahwa pacar yang selama ini aku percaya dengan sepenuh hati telah berhianat hanya gara-gara kecantikan yang tak mungkin kekal. Ia telah menodai kesucian cinta. Dion, aku mohon dengan hormat, saat ini juga, detik ini juga, kita lepaskan ikatan pada diri kita. Aku ingin hubungan kita berakhir sampai di sini. Aku ingin kita mengakhiri hubungan kita dengan baik-baik seperti halnya kita memulai hubungan ini dengan kebaikan. Aku ingin hubungan kita berakhir sampai di sini. Semoga anita adalah wanita yang terbaik untukmu, semoga kau lebih bisa menjaga dan menghormati serta menghargai perasaan wanita, semoga dengan ini kamu bisa sadar dion.” Kata zazkia panjang lebar mengungkapkan isi hatinya pada dion yang telah terpendam dengan tetesan air mata. Mendengar ungkapan zazkia yang amat sangat tulus itu pada dirinya, hati dion bergetar, matanya berkaca-kaca dan tak tahan mengeluarkan air mata, ia terharu dengan semua yang terjadi. “iya zazkia, maafkan aku telah menodai kesucian cintamu, maafkan aku tidak bias menjaga cintamu. Maafkan aku…” kata dion.Ia hanya bias meminta maaf dengan zazkia. “sudahlah dion, tidak apa, walaupun pahit yang kurasa, tapi aku ikhlas, aku hanya berharap kamu menjadi lebih baik lagi.” Kata zazkia dengan ungkapan yang tulus dari hatinya. “ya sudah dion, aku mau pergi, nggak enak kamu sudah ditunggu anita.” Sambung Zazkia sambil pamit meninggalkan dion menyusuri jalan perkotaan. Sesampainya di kampus ia bertemu aurel, ia langsung menceritakan apa yang telah di alaminya tadi di jalan, ia memeluk aurel sambil menangis, hatinya masih terasa sakit. “yang sabar zazkia, cinta tak selamanya kita miliki. Ada kalanya cinta itu hanya kita rasa bahagia saat yang kita cintai itu bahagia dengan orang lain, mungkin dion bukanlah yang terbai yang allah pilihkan kepadamu, dengan allah menunjukkan kebejatan dion di depanmu. Bukankah allah masih sangat menyayangimu?” kata aurel wanita cantik yang berjilbab itu sambil mengenggam tangan zazkia dan menenangkannya. “Terima kasih Aurel, kau telah sudi mendengar keluh kesahku.” Kata Zazkia kepada sahabat terbaiknya “sama-sama.” Kata Aurel kepada Zazkia dengan senyuman yang indah dan tulus. Di tengah keasyikan mereka saling berbagi, Dra. St. Nurbaya M.Si, dosen fakultas sastra UI memasuki kelas mereka dan memanggil satu nama untuk membaca karya puisi, dan nama yang dipanggil adalah Zazkia Aisya Syifa. Zazkia berdiri di depan teman-temannya dan membacakan bait per bait karya puisinya dengan penuh penghayatan. DALAM BUTIRAN TASBIH CINTA Cinta kasih tersirat indah di pelupuk mata Melambai-lambai alunan irama asmara Kala hati berselimut deraian air mata Menyapa rindu kasih belahan jiwa Melodi cinta berpijar indah nyata Rebab iring hening melenyapkan gelisah sukma Cinta suci tersimpan indah di dada Bagai bunga ranum mekar menghias dunia Tafsir cinta tersirat untaian do’a Melingkar dalam butiran tasbih cinta Hasrat rindu menyapa takdir cinta Bersimpuh penuh taklim dalam balutan mukena Setelah Zazkia usai membaca bait per bait puisi tersebut, ia mendapat tepuk tangan yang amat sangat meriah dari teman-temannya. Puisi yang singkat penuh makana, dibaca dengan penuh penghayatan seolah-olah mencerminkan isi hati Zazkia yang sedang gelisah karena cinta, Tanpa terasa kelas sastra telah usai, zazkia mampir di toko buku untuk membeli salah satu novel karangan Habiburrahman El Shirazy, semua karangannya memberi inpirasi dan motivasi bagi zazkia. Saat di toko buku, ia melihat novel berjudul “DIATAS SAJADAH CINTA” Karya Habirrahman El Shirazy. Hatinya langsung terpikat dengan novel itu, ia ingin langsung membelinya dan cepat-cepat membacanya. Akan tetapi ketika ia akan mengambil novel itu, ada seorang lelaki yang juga mengagumi novel itu. Mereka berdua sama-sama mengambil novel tersebut secara bersamaan. Melihat laki-laki tersebut, hati zazkia bergetar, jantungnya berdegup kencang, entah mengapa rasa pilu karena tersakiti dion tiba-tiba hilang bagai terkana angin puting beliung. Lelaki di hadapannya itu adalah lelaki yang berbeda dari lelaki yang selam ini ia pernah kenal. Lelaki itu sangatlah sopan terhadap wanita. “Astaghfirullahal’adzim, Maaf mbak saya tidak sengaja.” Kata lelaki dihadapan Zazkia yang tidak sengaja memegang tangan halus Zazkia. “Eh, iya tidak apa.” Kata Zazkia “Penggemar Habiburrahman El-Shirazy juga ya mbak?” Tanya lelaki itu “Iya mas, penulis yang sangat cerdas, penulis dengan untaian kata yang semua orang akan terpana oleh kata-kata yang penuh makna. Semua karya-karya beliau adalah inspirasi dalam kehidupanku. Terutama karya yang satu ini DI ATAS SAJADAH CINTA membuat semua orang akan penasaran dengan isi novel tersebut.” Terang Zazkia sambil menunjuk novel favoritnya. “emmm… iya mbak, Habiburrahman El-Shirazy memanglah penulis inspiratif dan motivator bagi pembaca karya-karya beliau. Saya juga penggemar semua karya-karyanya, termasuk DI ATAS SAJADAH CINTA.” Kata lelaki itu menyambung pembicaraan zazkia. “Oh iya, dari tadi kita sudah terlalu banyak mengobrol satu sama lain, tapi kok belum tahu nama masing-masing…” Kata Zazkia kepada lelaki itu dengan senyuman. “iya juga ya mbak, maaf mbak, Nama saya Maulana, Maulana Al Asyrof.” Kata lelaki itu sambil memperkenalkan dirinya kepada zazkia Mendengar nama tersebut, entah mengapa hati zazkia berdegup kencang, ada sesuatu yang tidak bias dipahami oleh Zazkia. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Zazkia. “mbak, kok bengong? Maaf kalau boleh tahu nama mbak siapa?” kata lelaki itu “Maaf, nama saya Zazkia Aisya Syifa. Biasa dipanggil Zazkia.” Kata Zazkia sambil tersenyum kepada lelaki itu. Berawal dari pertemuan itu, zazkia dan Maulana saling berhubungan satu sama lain.saat zazkia usai jam kuliahnya, ia selalu menanti kehadiran sosok Maulana begitupun dengan Maulana selalu menanti sosok Zazkia. Mereka selalu bertemu saat mereka sama-sama membeli novel karangan Habiburrahman El Shirazy. Hingga suatu hari, zazkia mendapatkan hadiah terindah dari Maulana, lelaki idamannya berupa Jilbab berwarna biru muda yang begitu indah, dengan sepucuk surat singkat. “Assalamu’alaikum Warohmatullah… Zazkia, semoga Allah selalu melimpahkan Rahmat dan Taufiqnya kepadamu, melalui sepucuk surat ini aku ingin meberikan sebuah hadiah, semoga kamu menyukainya. Semoga Allah mempertemukan kita kembali suatu hari nanti dengan jilbab itu. Wassalamu’alaikum Warahmatullah… Salam Hormat. Maulana” Zazkia selalu membaca surat yang amat singkat itu dari Maulana, baginya surat dan hadiah yang diberikan Maulana adalah sebuah pemberian terindah dari orang-orang di sekelilingnya setelah kasih sayang Kedua orangtuanya dan semua pemberian yang tulus dari orangtua dan keluarganya. Setiap saat, setiap waktu ia hanya bisa memandangi jilbab indah dari Maulana. Ia ingin sekali berjumpa dengan sosok Maulana, ia rindu semua tentang maulana. Akan tetapi Maulana yang ia rindukan tiba-tiba hilang ditelan bumi setelah memberikan sepucuk surat dan jilbab kepada zazkia. Kegundahan dan kegelisahan hati hadir kembali menyelimuti hati zazkia. Hari demi hari berlalu dengan sangat cepat. Tanpa terasa satu tahun telah berlalu, zazkia masih belum bisa melupakan sosok maulana yang telah merubah hidupnya. Kini zazkia telah memutuskan berhijab. Ia mulai mendalami agama, saat ini ia melanjutkan study S-2nya di Al-Azhar Kairo jurusan Sastra bahasa Arab. Zazkia telah berubah menjadi wanita dewasa, wanita yang anggun penuh pesona, wanita yang selalu menjaga auratnya dari pandangan lelaki yang bukan mahromnya. Suatu hari, zazkia ingin membeli karangan terbaru Habiburrahman El Shirazy, zazkia bertemu sosok lelaki yang tidak asing bagi dirinya, laki-laki tersebut juga ingin membeli novel terbaru Habiburrahman El Shirazy. Ia teringat dengan pertemuan pertamanya dengan Maulana. Tapi ia sadar, itu hanyalah nafsu yang hadir di hati zazkia, ia sadar itui hanyalah tipu muslihat syetan yang mengganggu pikiran manusia. Lelaki di hadapan zazkia terus memandanginya, seolah olah ia mengenali jilbab yang dipakai oleh Zazkia. Dan tanpa sengaja, tangan mereka bertemu ketika keduanya akan mengambil novel yang sama-sama di kagumi mereka berdua Ketika zazkia ingin membeli sastra arab, ia bertemu sosok lelaki yang juga mengambil novel tersebut. Tiba-tiba ia teringat pertemuan pertamanya dengan Maulana, akan tyetapi ia tak berani melihat wajah lelaki itu, sementara lelaki itu terus saja memandangi dirinya. Lelaki di hadapannya itu sangat mengenal jilbab yang dipakai zazkia. “Afwan ukhty, apakah ukhty bernama Zazkia Aisya Syifa asal Indonesia, dan hijab yang ukhty pakai dari seorang lelaki sederhan bernama Maulana Al Asyrof?” kata lelaki itu penuh penasaran. Mendengar pertanyaan lelaki itu, zazkia sangatlah kaget dan heran, dari mana lelaki itu tahu identitas dirinya serta jilbab yang ia pakai itu, saat itulah ia baru berani menatap lelaki dihadapannya. Dan maha besar Allah, lelaki dihadapannya itu adalah lelaki yang selama ini bersinggah di hati zazkia, ia merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan Maulana, begitu juga dengan maulana. Ia bertakbir, dan bertasbih menyebut asma Allah. Setelah beberapa lama mereka berbicara, akhirnya mereka sama-sama mengungkapkan isi hati mereka masing-masing dan berencana melangsungkan pernikahan setelah kembali ke Indonesia. Cerpen Karangan: Siti Ririn Mu’tamiroh Facebook: Siti Ririn Mu’tamiroh Siti Ririn Mu’tamiroh Lahir di Bojonegoro, 29 Juli 1998. saat ini ia menempuh pendidikan di KEPQ Nurul Hayat Surabaya. Cerpen Hijrah Cinta Dalam Balutan Jilbab Zazkia merupakan cerita pendek karangan Siti Ririn Mu'tamiroh, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-islami/hijrah-cinta-dalam-balutan-jilbab-zazkia.html
Masih Seperti Dulu
Aula Symphonia. Gedung ini masih tercium aroma seperti dulu. Tirai beludru merah yang menutupi panggung masih lembut seperti dulu. Dinding dengan pilar-pilar yang masih tetap kokoh seperti dulu. Aku menghirup udara perlahan. Suasana sejuk yang juga masih seperti dulu. Satu yang tak pernah aku bisa lupa, ruangan ini begitu syahdu. Tak peduli berapa ratus orang di dalam sini, tetap terasa syahdu bagiku. Setiap lagu mengalun terdengar begitu merdu. Aku menahan air mata mengingat masa itu. Terharu. Aku menyadarkan diri dari lamunan akan kenangan. Hari ini akan menjadi hari yang penuh memori bagi setiap muridku dan juga bagiku (seperti dulu). Ini adalah kali pertama aku mengadakan konser. Aku mewujudkan mimpiku untuk membangun sebuah sekolah musik. Aku yang menjadi Kepala Sekolah. Menyelenggarakan konser di gedung indah ini pun merupakan mimpiku. Aku tak sabar melihat penampilan murid-muridku beberapa menit lagi. Betapa menawannya mereka dengan musik. Tanpa diragukan lagi, Bayu adalah salah satu anak yang amat sangat kunantikan permainannya. Tidak. Tidak pilih kasih. Aku tak bermaksud pilih kasih. Tapi memang Bayu merupakan seorang anak yang super dan mempesona. Ia merupakan anugerah Tuhan bagi siapa saja yang mendengarkan alunan pianonya. Seperti namanya, Bayu mampu membawa siapapun yang mendengar musiknya akan terbawa layaknya angin bertiup dan menerbangkan benda-benda di sekitarnya. Alunannya begitu merdu. Setiap detil permainannya mampu menyihir siapapun. Termasuk aku. Ah, inilah saat yang aku tunggu. Beberapa muridku tampil begitu baik dan mengagumkan. Kini giliran Bayu yang menampilkan performanya. Umurnya masih delapan tahun tapi ia begitu brilian. Bayu mulai menaiki panggung. Walaupun terlihat polos dan lucu, ia tampak lebih tampan dengan tuksedo hitam membalut tubuhnya. Hentakkan sepatu pantofel di kaki mungilnya terdengar gagah menggema ke seluruh ruangan. Ia kemudian menundukkan kepalanya dengan tangan di perutnya sebagai tanda hormat kepada para penonton. Tepuk tangan penonton mewarnai langkah Bayu dari pusat panggung menuju piano. Bahkan tepukan audiens pun terdengar syahdu merdu di sini. Aku memandangi Bayu. Aku duduk tepat di depan panggung bagian tengah. Aku terus memandanginya. Aku sedikit terkejut ketika Bayu pun melihat ke arahku sebelum ia menjatuhkan tangan ke pianonya. Kami saling melempar senyum. Bayu mengingatkanku pada seorang anak seumuran dengannya. Dua puluh dua tahun lalu di tempat yang sama, seorang anak laki-laki seumur Bayu melakukan hal yang sama. Datang dari balik tirai panggung, berjalan kecil, hormat, dan duduk di depan piano. Siap menaklukkan setiap melodi yang menantang. Moonlight Sonata. Aiih, jari-jari mungil Bayu mulai berlarian pada tuts hitam putih itu. Indah sekali. Aku terhanyut mendengarnya. Irama yang begitu khidmat. Nada yang berbisik tak hanya sekedar mengintip telingaku. Aku terbayang kembali pada seorang anak yang jatuh cinta dengan sinar rembulan ketika mendengar Moonlight Sonata, untuk pertama kalinya dua puluh dua tahun lalu. Seorang anak perempuan berkuncir kuda memainkannya. Begitu menakjubkan. Sama menakjubkannya dengan Bayu saat ini. Anak lelaki itu terlena. Anak lelaki itu memandangi bulan purnama yang tersenyum terang. Ia tak peduli dengan semakin sepinya Aula Symphonia karena konser telah usai. Anak lelaki yang polos itu berkehendak membawa pulang purnama untuk menemaninya. Ia naik ke atas bangku di halaman aula. Melompat-lompat setinggi mungkin untuk memetik purnama. Malang. Ia malah terjatuh dan tersungkur. Seorang anak perempuan menertawakannya. Tawanya kecil tapi kemudian meledak. Sepertinya geli sekali. Si anak lelaki sempat malu. Anak perempuan kecil itu lalu berteriak, “Kamu tadi yang main Croatian Rhapsody ya?”. Anak lelaki itu pun sadar bahwa yang tadi menertawakannya dan sekarang meneriakinya adalah Si Moonlight Sonata. Tiba-tiba si Moonlight Sonata berlari kecil ke arah orangtuanya yang telah menunggu di depan gerbang aula. Tinggallah anak lelaki itu sendiri dan tetap tak berhasil memetik purnama. Ia meraba luka di pipinya yang terbentur ujung kursi taman aula. Sedikit goresan dan berdarah setetes. Bayu usai memainkan Moonlight Sonatanya dengan amat sempurna. Ia kembali hormat pada penonton. Sorak sorai penonton begitu ramai. Aku tersenyum padanya lalu meraba pipi kananku. Luka itu masih ada. Luka anak lelaki yang terjatuh saat berusaha memetik bulan. Anak lelaki itu adalah aku. Aku terdiam. Aku tak menyangka aku pernah meletakkan hatiku pada si Moonlight Sonata. Anak perempuan yang menertawakanku ternyata membalas kasihku padanya. Saat itulah aku merasa berhasil memetik bulan yang terang. Saat itulah Moonlight Sonata menjadi melodi cinta kami. Aku dan si anak perempuan yang menertawakanku. Penampilan Bayu menjadi ending yang klimaks untuk konser ini. Aku merasa puas menyaksikan semua muridku. Tangan lembut istriku yang sejak tadi duduk di sampingku menggenggam hangat tanganku, “Yuk pulang, Mas. Sudah selesai kan?”. Aku tersenyum dan mengangguk padanya. Kurangkul pundaknya. Kami berjalan ke luar aula dengan penuh romansa. Lalu aku melihat Bayu tampak menanti seseorang. Wajahnya memperlihatkan rasa khawatir. “Dik, itu Bayu kan?” tanyaku pada istri. “Iya, Mas. Mungkin dia juga mau pulang.” “Aku samperin dulu ya. Kamu mau ikut?” Istriku menggeleng pelan, “Nggak, Mas. Kamu aja, aku tunggu di mobil ya.” Aku bergegas menghampiri si brilian Bayu. “Bayu, belum pulang?”. Bayu kaget. “Belum, Pak. Lagi tunggu Bunda.” jawabnya pelan. “Ooo, Bun…” belum selesai aku berbicara, Bayu memekik, “Itu diaaaa… Bundaaaaa…!!!” Bayu berlari menghampiri wanita yang berjalan dari arah tempat parkir. Wanita yang Bayu sebut Bunda itu nampak terkejut melihatku. Ooops!!! Aku pun terkejut melihatnya. Bayu menarik Bunda itu berjalan ke arahku. Aku hafal benar, cara wanita itu berjalan, berpakaian, memandang, dan… aku hafal semua tentangnya. Astaga!!! Kami kini berdiri berhadapan. Ia tersenyum sedikit padaku. Sedikit sekali. “Terima kasih untuk bimbingannya. Bayu sangat suka belajar di musik di sekolah anda.” katanya. Aku memandang langit. Rembulan penuh tersenyum lebar. Terang sinarnya menyinari kami bertiga. “Pantas ya Bayu hebat sekali bermain pianonya. Sama seperti Bundanya.” ucapku tanpa basa-basi. “Bayu, ayo bilang terima kasih sama Bapak sudah diajarin main piano.” katanya. Bayu mencium tanganku lalu tersenyum. “Bunda, Bayu naik ke mobil Om Rino ya. Bayu ngantuk.” Lalu Bayu berlari. Mungkin menuju mobil si Om Rino yang dimaksud. “Apa kabar?” aku mengulurkan tangan. “Sama seperti dulu. Selalu baik.” jawab Bunda Bayu singkat dan menjabat tanganku juga singkat. “Maaf, aku dulu…” “Sudahlah, aku baik-baik saja kok. Tidak masalah kalau dulu kamu pergi dan tidak pernah mencariku lagi.” Aku menghela nafas, “Bayu piawai sekali memainkan Moonlight Sonata. Alunannya mampu menyihirku. Sama seperti kau dulu. Tak kusangka, ternyata dia…” “Dia bukan anakku. Bayu dititipkan padaku. Siska dan Andri meninggal. Kamu ingat mereka kan?” Aku menelan ludah. Begitu banyak masa lalu yang aku tinggalkan dan aku kehilangan masa depan akan itu semua. Bahkan Andri yang pernah menjadi partnerku telah pergi selamanya. “Lalu, anakmu mana? Tidak mau ikut belajar musik di sini?” tanyaku mencoba mencairkan suasana. Wanita itu tertawa. Aku memandang heran. “Bagaimana punya anak, menikah saja belum.” jawabnya dengan riang. Ia tidak lagi dingin seperti pertama tadi, ia tersenyum lebih ceria. Sama seperti dulu. “Lho, mengapa belum menikah?” aku penasaran. “Galuh, anak perempuan yang menertawakanmu itu selalu menanti lelaki dengan luka di pipinya.” Ia menjawab sambil berlalu. Aku hampir bisu. “Kinan… Kinanti… tunggu Kinanti!!!” aku berharap ia tidak segera pergi. Ia terus melangkah dan menengok sejenak, “Happy for you with her, Galuh.” katanya tersenyum. Langkahnya cepat sekali. Aku hanya bisa mematung. Aku lagi-lagi tidak mengejarnya. Dua puluh dua tahun lalu, ia berlari menuju orang tuanya. Aku malu mengejarnya walau aku sangat menginginkannya. Saat kami remaja, aku pergi darinya. Aku takut untuk mencarinya meski nuraniku begitu menginginkan dia kembali. Aku melepaskannya. Dadaku mendadak sesak. Aku kini HARUS melepaskannya. Anak perempuan itu. Si Moonlight Sonata. Sama seperti dulu. Selepas konser. Di halaman aula. Di bawah sinar rembulan. Ia berlari kecil. Semakin lama semakin hilang. Bayangannya pun perlahan lenyap. Hanya aku dan purnama. Si Moonlight Sonata, Kinanti. Cerpen Karangan: Astien Setianingrum Blog: stillego.blogspot.com Facebook: https://www.facebook.com/astienningrum Mahasiswa jurusan Industrial Engineering, President University Bekasi, Jawa Barat Cerpen Masih Seperti Dulu merupakan cerita pendek karangan Astien Setianingrum, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/masih-seperti-dulu.html
Langit Senja Saksi Cinta
“KRIIING…!!!” Bel pulang sekolah berbunyi, seperti biasa pada saat musim penghujan, setiap hari sepulang sekolah, tetes air dari langit selalu mengiringi perjalanku ke istana sederhanaku yang aku menyebutnya rumah. Aku tinggal di pesisir utara Boyolali Kota. Berjarak lebih dari 7 km dari sekolah, aku selalu naik bus disaat pulang ataupun berangkat sekolah. Sore itu hari Sabtu, aku terpaksa harus pulang sendirian, Doni kawanku yang biasa satu bus denganku, hari itu dia tidak bisa ke sekolah karena sakit. “Pyuk.. pyuk.. pyuk..” terdengar alunan langkah kakiku menyapu kolam kolam kecil yang ditinggalkan oleh hujan. Aku mengira, gerimis akan segera reda, namun hujan kembali memperlihatkan tajinya, kemudian aku mempercepat langkahku, ku berlari terbang tinggi dengan langkah pasti.. (eh malah nyanyi, hhehehe). Aku berlari, kemudian melompat sambil terbang, hampir saja aku nyungsep ke selokan, tapi Tuhan masih menyelamatkanku. Dan begitulah caraku sampai ke halte, tempatku biasa menunggu jemputan pribadiku yang banyak orang menyebuynya bus. Di sana, nampak aku melihat gadis cantik duduk sendirian. Sejak lama kuketahui namanya adalah Vina. Sudah sejak lama aku diam-diam memperhatikannya. Sebenarnya, selama ini aku menyimpan rasa kepadanya. Untuk sekedar menghangatkan suasana, aku mencoba mengajaknya bicara. “Vina,.. sedang nunggu bus ya Vin?” tanyaku basa basi sambil gugup. “I..ya Ham.. aku nunggu bus” jawabnya sambil menggigil kedinginan. “Kamu kedinginan ya Vin kok menggigil gitu?” tanyaku lagi. “Iya Ham.. aku lupa bawa jaketku” jawabnya sambil gemeteran. “Ya udah… nih pakai aja jaketku” tawarku kepada Vina. “Nggak usah Ham, ntar kamu yang kedinginan” tolak Vina gak enak hati. Sambil menyerahkan jaket bergambar singo edan aku bilang “Gak papa Vin, aku takut kamu sakit. Kalau aku udah biasa kok hujan-hujanan.” “Makasih Ham, makasiiih banget” sahut Vina sembari menerima jaketku. “Iya sama-sama” jawabku sambil senyum. Aku bergumam dalam hati “Tenang aja Vin, dinginnya hujan takkan mampu mengalahkan hangatnya cintaku padamu.” Kemudian, dari situ kami mulai terlibat dalam banyak perbincangan. Tak terasa hujan mulai reda, sang surya mulai menampakan pesonanya. Langit senja warna jingga makin memperindah hatiku yang berbunga-bunga. Namun, tak lama kemudian bus yang biasa ditumpangi Vina lewat dan menghentikan lajunya. Vina melangkah pergi sambil meninggalkan senyum sapa kepadaku. Aku sedikit sedih Vina pulang, tapi ini demi kebaikan semuannya. Walau begitu, pengalaman indah ini takkan pernah aku menghapusnya dari ingatanku. Walau hanya sebentar tapi aku sangat bahagia, dan aku sangat berharap bisa mengulangi kebersamaanku dengan Vina lagi selamanya. END Cerpen Karangan: Muhammad Ilham Blog: ilhamizaki.wordpress.com Cerpen Langit Senja Saksi Cinta merupakan cerita pendek karangan Muhammad Ilham, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-dalam-hati-terpendam/langit-senja-saksi-cinta.html
Taruhan Cinta
Aku masih berdiri dengan kakiku disini, menatap lurus bangunan megah diseberang jalan itu. Ya, kampus tercintaku. Meski tahun semakin membuatnya terlihat gagah, namun tak begitu membuat kakiku tetap kokoh berdiri. Aku terduduk diatas trotoar yg telah berkali-kali ku pijak sejak aku masuk di kampus ini. Rasanya semangatku mulai kendor, tak seperti awal aku menggebu ingin kuliah dan mendapat gelar Sarjana Filsafat Islam. Mungkin niatku dari semula telah salah kaprah, hanya sekedar ingin punya embel-embel di belakang namaku. Tapi apa peduliku, itu menjadi sebuah gengsi tersendiri. “San,” tiba-tiba seorang menepuk pundakku dari belakang, sontak ku menatap ke arahnya. “Oh, kamu Zin.” Jawabku lesu padanya. Ia Faizin, teman sekelasku dr semester satu. Bisa dibilang hanya dialah teman perjuanganku di kota kecil ini. Sedikit berlebihan memang, tapi itu kenyataan hidupku. “kenapa tadi gak masuk?” tanyanya membuyarkan lamunku, aku diam. Aku tak tau apa yg mesti aku katakan. Sedangkan aku sendiri tak mengerti apa yang terjadi dengan diriku. “Vina?” tanyanya lagi. Dan aku masih saja diam. “kamu tu, wong idup kayak ga idup. La yamutu wala yahya.” Katanya seraya pergi dariku. “ayo lah ngangkring wae, udud po piye, tak traktir wes.” Aku berpikir sejenak, akhirnya kuputuskan untuk mengikuti ajakannya. “vin, jangan bengong aja napa? Lagi ada masalah ya?” Tanya Naya sambil duduk disamping Vina. “tadi Mbak Neli Tanya katanya kamu jadi buatin undangan buat rapat besok enggak.” Katanya sambil nyodorin setumpuk program kerja pengurus tahun ini. Ya, tepatnya Vina dan Naya adalah santri di salah satu pesantren di Jogja. “aku lagi pusing Nay, ntar malem aja aku buatin.” Kata Vina ogah-ogahan. “crita kalo ada masalah, jangan dipendem sendiri.” “mungkin lain waktu, aku belum siap.” “yaudah, tapi lama-lama kalo kamu gitu bisa-bisa kamu jadi sakit, inget kalo kamu tu gampang drop.” “hmmm,, aku bener-bener bingung, aku pusing.” “ya pusing kenapa, crita aja kyak aku ni orang asing.” “aku mau dijodohin.” Kata Vina tiba-tiba yang membuat Naya sontak terlonjak dari duduknya. Ia tertawa, namun seketika diam ketika terlihat raut muka Vina berubah. “emm, sama siapa?” “aku gak tau, besok pagi aku disuruh pulang.” Naya diam, ia tak menjawab apa-apa lagi. Dan mereka terbang dalam pikiran masing-masing. Esok hari. “Nay, ini undangannya tolong kasih ke bagian humas. Aku pamit pulang dulu.” Kata Vina seraya menyodorkan beberapa bendel undangan ke Naya. “aku temenin pulang ya, kamu pucat banget, takutnya gak kuat bawa motor sendiri kerumah.” “udah, aku bisa sendiri. Emangnya aku anak kecil,” jawab Vina tersenyum padanya. “nah gitu lho, senyum. Yaudah ati-ati dijalan.” Pelan-pelan dibawa motor bebeknya membelah jalanan yg sudah begitu ramai. Pikirannya melayang, sesekali konsentrasinya buyar. Klakson bersahut-sahutan ketika kadang ia oleng mengendarai bebek merahnya. 1 jam perjalanan cukup membuatnya pegal-pegal. Sampai di rumah, terlihat beberapa santri lalu lalang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ia parkirkan motornya disamping rumah setelah terlihat tempat parkir yg telah penuh. ia berdiri kaku, seraya dihembuskannya nafas yang begitu berat dirasa. Sempat ingin berteriak, tapi urung. Takut jadi bahan tontonan, dikira ntar aku gila, pikirnya. “Assalamu’alaikum.” Ucapnya seraya masuk lewat pintu samping rumah. Terlihat disana beberapa santri putri sedang menyiapkan beberapa piring camilan yg buatnya semakin layu mengayunkan langkahnya. “umi dimana?” tanyanya pada salah satu santri. “itu neng didapur belakang.” Jawab santri yg terlihat paling tua. Pelan ia ayunkan lagi kakinya, terlihat umi sedang mencicipi masakan yg mungkin akan dihidangkan nanti. Umi meliriknya, “kok baru nyampe Vin?” Tanya Umi ketika Vina jabat tangannya ta’dim. “iya, jalanan lagi di perbaiki, jd macet Mi.” “yaudah, sana makan dulu, trus benahin penampilanmu. Mau ada tamu sambut dengan baik.” Perintah beliau yang buatnya semakin perih. Ia ayunkan lagi langkahnya, perlahan ia buka pintu kamar, terlihat ada sebuah gamis yg menggantung digagang pintu lemarinya. Gamis itu cantik, dengan paduan warna krem dan pink fanta terlihat apik. Umi benar-benar telah mempersiapkan semuanya. Seketika ia tersadar kalau belum menemui abi. Sontak ia keluar kamar dan mencari abi. Ia temukan beliau sedang berbincang dengan pakde diteras rumah. Ia hampiri seraya mengecup tangannya, lalu kembali lagi ke kamar. Abi tidak berucap apa-apa. Hanya anggukan pelan ketika menatapnya yang kemudian berlalu. Ia rebahkan tubuhnya diatas kasur kamar yang telah lama tidak ia tempati. Sekilas bayangan Hasan muncul dalam lamunnya. “maafkan aku San,” lirihnya. Tak terasa airmata telah mengalir deras. Buru-buru ia usap dan beranjak mengambil gamis yg sedari tadi ia perhatikan. Setelah ia rasa cukup dengan penampilannya, ia keluar kamar. Ternyata tamu yang abi dan umi tunggu telah datang. Namun bukan untuk ia tunggu. Sekali lagi ia hembuskan dengan berat nafas yang terasa semakin sesak. Allah…… Pelan ia buka gorden yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga rumahnya. Ia menunduk, tak berani menatap sekelilingnya. Pelan didekatinya umi dan duduk disebelahnya. Rasanya semua mata tertuju padanya. Pelan umi menepuk pundaknya seraya tersenyum. Suasana yang seketika hening itu berubah sumringah ketika salah satu perwakilan dari tamu mengungkapkan maksud kedatangan rombongan keluarga itu kesini. Abi menjawabnya dengan begitu wibawa. “Mungkin ini telah jalanku. Aku tak berani berkata tidak. Pilihan abi dan umi pastilah yang terbaik buatku. Meski sangat perih aku rasa. Serasa kembali pada masa siti nurbaya.” Batinnya sendu. “vina, jadi ini namanya Taufiqurrahman, dia skrg masih nyantri di Al-munawwar, asli Kediri, dan besok juli insyallah akan melangsungkan wisuda S2-nya.” Kata abi yang tiba-tiba membuatnya kram setengah mati. Seketika ia tatap lelaki yang abi maksud. Deg! Masyaallah! Sontak airmatanya mengalir. Ia tak bisa berucap apa-apa. Harus bagaimana ia hadapi semua ini? Seketika pula ia tatap sosok lelaki yang duduk dibelakang laki-laki yang abi sebut barusan. Kali ini ia benar-benar serasa tak kuat hidup. Tak disangka laki-laki ia maksud itu tersenyum simpul kearahnya. “San, ternyata kau pula menghendaki semua ini.” Batin vina menunduk diam dalam tangisnya. Cerpen Karangan: Anis Nuraini Fatayati Facebook: https://www.facebook.com/anis.fatayati Masih membiarkan pena menari-nari semaunya… Cerpen Taruhan Cinta merupakan cerita pendek karangan Anis Nuraini Fatayati, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-kehidupan/taruhan-cinta.html
Sepucuk Tape Singkong Kado Ulang Tahunku
Tak terasa hari-hariku semakin bertambah usia dan bertambah dewasa. Semakin bertambahnya umur ini, diriku mulai terus belajar menjadi seseorang yang berguna dan bermanfaat untuk sesama, walau mungkin terasa berat kurasa namun aku akan tetap tersenyum menjalaninya. Betapa senangnya hatiku, hari ini genap diriku berusia 21 tahun sejak aku dilahirkan dari rahim ibuku, untukku dapat melihat indahnya warna-warni dunia. Kini aku bertumbuh dan berkembang menjadi manusia seutuhnya untuk menggapai cita dan asa ku, untuk membanggakan Ibu yang selalu mendoakanku. Diriku hanyalah seorang gadis di sebuah desa kecil di kaki bukit hijau yang membentang subur, dengan tumbuhan teh sebagai ciri khasnya. Aku sangat bahagia karena disanalah diriku dididik dan diajari arti dari Ramah Tamah dan Sopan Santun itu berada. Semenjak ayahku pergi ke Surga, Ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ibu rela menjajakan potongan gorengan yang tertata rapi di atas tampah anyaman bambu, demi gemerincing uang yang mungkin tak ada nilainya. Namun bagi kami koin demi koin itu sangat berarti bagiku dan Ibu untuk menyambung hidup. Senyuman mentari selalu menyapaku dikala diriku masih berselimutkan sejuk udara pagi. Ku buka mata dan kubalas senyum mentari dengan harapan dan keoptimisan, untukku meringankan beban Ibu yaitu berjalan membeli sepotong tempe, sesisir pisang, dan seplastik tepung terigu. Diriku berjalan dan berlari-lari kecil di tengah perkebunan. Penuh senyuman, ku sapa deretan ibu-ibu pemetik daun teh demi mencari sesuap nasi untuk anaknya ketika mereka selesai menunaikan pekerjaannya. Sepulangnya diriku membeli bahan baku, ku bantu Ibu mempersiapkan segala dagangan untuk dijual nantinya. — Ibu mulai berjalan menyusuri ladang, kebun hingga sampai di depan pertokoan. Langkah kakinya selalu memancarkan keoptimisan meski dibalik itu semua tulang-tulangnya mulai rapuh termakan usia. Senyumannya tanda ketulusan, tanda hati berbicara bahwa pekerjaan ini hanya untuk anakku tercinta. Kepalanya sebagai tumpuan dagangannya, sambil berjalan tak henti mulutnya selalu berkata “Gorengan… Gorengan…”. Tidak semua orang mempedulikannya, bahkan cibiran dan hujatan yang diterimanya. Dia hanya bisa tertunduk diam sambil tersenyum, dimana hatinya memendam kepedihan yang begitu dalam. Sambil berjalan Ibuku terkadang meneteskan air mata, beban berat yang diterimanya tak sebanding dengan usaha yang dibuatnya. Ibuku meratap sedih dengan hati yang berbicara “Kerja Kerasku demi masa depan anakku, aku harus berusaha apapun resikonya!”. Tiba-tiba awan hitam pun menyelimuti langit yang enggan tersenyum, tanda langit mulai merasakan kepedihan yang Ibu pendam. Titik-titik air mata langit membasahi bumi dengan lebatnya, langkah kecil Ibuku yang tertatih, dengan tangannya memegang lembaran koran untuk menyelamatkan dagangannya. Berlari pun tak mampu hanya bisa pasrah air hujan membasahinya dalam tangisan. Ibu berkata “Tuhan aku pasrah, atas semua ini… namun aku memohon satu permintaan pada-Mu, buatlah anakku tersenyum di kemudian hari, buatlah dia merasakan arti dari kata bahagia. aku mohon jangan pernah Kau biarkan anakku menderita. Aku pasrah menerima semua ini, hanya pada-Mu aku meminta”. Dengan pakaian basah kuyupnya dan dagangan yang tak semuanya laku, ibuku mengetok pintu sambil meneteskan air mata yang membanjiri pipinya. Dalam isak tangisnya ibu berkata “Nak, maafkan ibu, hari ini jualan ibu tidak laku, hanya segenggam nasi yang hari ini bisa ibu dapatkan… ini makanlah..” dengan penuh kepedihan kupeluk dan kurangkul Ibu. Hari berganti hari bulan berganti bulan dan tahun pun terus berganti, kini diriku bermetamorfosa menjadi seorang gadis cantik jelita, tumbuh dewasa dan karena prestasiku, kini aku memperoleh beasiswa berkuliah di universitas swasta di kota sejuk Salatiga. Hari-hariku sangat berbahagia berkat doa Ibuku yang selalu dipanjatkan dalam setiap harinya, dan satu yang selama ini menjadi pegangan hidupku yaitu perkataan Ibu “Jadilah sosok yang Berguna bagi Nusa dan Bangsa, Hiduplah dalam Ketulusan dan Tekunlah dalam Bekerja maka Kesuksesan akan mengikutimu”. Perkataan itu yang selalu terngiang dalam benakku. Kini aku pulang untuk bertemu Ibu, memeluk dan meminta doa restu. Di tangan Ibu terdapat piring dengan sepucuk tape singkong yang dihiasi taburan susu coklat sachetan dengan satu lilin kecil yang memancarkan cahaya pengharapan. Kata Ibu kepadaku “Nak, kini engkau telah tumbuh dewasa sudah saatnya dirimu menentukan arah dan tujuan hidupmu, pesan Ibu hitunglah hari-harimu dengan senyuman dan pancarkanlah kebaikan bagi setiap orang. Ibu berharap langkah impianmu dapat mengantarkan dirimu kepada senyum Kesuksesan”. Ibu pun berkata lagi “Ibu tidak bisa membelikanmu kue tart yang penuh hiasan, namun hanya ini yang Ibu bisa berikan. Ingatlah nak, kelak jika dirimu Sukses dengan Kebahagiaan, ingatlah pesan ibu, terus bercerminlah pada Kesederhanaan sama seperti sepucuk tape singkong ini”. Lalu kupeluk dan kucium Ibu tanda betapa sayangnya aku kepada Ibu. Semester demi semesterpun sudah kulalui, kini baju toga wisuda sudah menghiasi tubuhku. Diriku lulus dengan nilai terbaik dan aku bekerja pada sebuah perusahaan ternama di ibu kota. Pekerjaanku sukses dan aku sekarang sudah diangkat menjadi Manager di Perusahaan tersebut. Pagi itu terdengar telepon berdering mengagetkanku, kuangkat dan terdengar suara serak yang tidak asing bagiku. Itu adalah suara Mbok Parmi, tetanggaku. Beliau berkata “Bisa bicara dengan Sari?”. Jawabku “Iya Mbok, ini Sari sendiri”. Terdengar suara balasan “Nduk Sari… Pulang nduk, Ibumu sakit keras”. Saat itu juga aku bergegas pulang untuk melihat keadaan Ibu. Perjalananku kulalui dengan menaiki pesawat terbang selama 1 jam dan dilanjut mengendarai mobil selama kurang lebih 2 jam. Betapa terkejutnya diriku ketika bendera kuning menghiasi rumah masa kecilku. Hatiku pilu dan perih, ku berlari dan tersungkur meratap menangis serta memeluk Ibu yang sudah membujur kaku. Dalam tangisku hatiku berbicara “Aku sangat beruntung mempunyai seorang Pahlawan dalam hidupku, sesosok Ibu yang mati-matian bekerja keras membanting tulang untukku bisa makan. Sosok teladan yang tak pernah ada duanya, selamat jalan Ibu… damailah di Surga”. Setelah pemakaman Ibu, dengan tertatih-tatih Mbok Parmi datang kepadaku dengan sepucuk surat yang ada di tangannya. “Nduk, ini ada titipan dari Ibumu sebelum beliau pergi”. Mbok Parmi mengulurkan surat itu kepadaku, dengan penuh hati-hati kubuka surat itu dan kubaca: “Untuk Sari anakku tersayang, nduk kini hidupmu sudah mapan, jalanmu sudah tak berliku, dan kesuksesan sudah ada di tanganmu. Selalu ingat pesan Ibu, jadilah orang yang berguna bagi Nusa dan Bangsa dan jalanilah kehidupanmu dengan menjadi Manfaat bagi orang-orang di sekitarmu. Hitunglah hari-harimu dengan Senyuman dan peliharalah Api Keoptimisan salalu berkobar dalam dirimu. Kini perjuangan Ibu sudah berakhir, Ibu bangga melihatmu Berhasil dalam kehidupanmu. Waktu Ibu sudah dekat dan Tuhan sudah menjemput Ibu untuk bertemu Bapakmu yang sudah ada di Surga lebih dulu. Jangan bersedih kelak kita akan bersama-sama lagi di Surga jika waktu-Nya tiba.” Salam Sayang dari Ibumu Nduk/Genduk : Sebutan untuk anak perempuan dalam bahsa Jawa Cerpen Karangan: Ardhityan Tomi Facebook: https://www.facebook.com/ardhi.tomee Nama saya Ardhityan Tomi. Menulis adalah kesukaan saya. Jika ingin berkenalan silahkan mampir disini Blog : Artobercerita.blogspot.com Terimakasih. Cerpen Sepucuk Tape Singkong Kado Ulang Tahunku merupakan cerita pendek karangan Ardhityan Tomi, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/sepucuk-tape-singkong-kado-ulang-tahunku.html
Aku Bukan Mantanmu dan Tak Akan Menjadi Mantanmu
Saat itu setelah aku selesei mandi, aku kini melihat wajahku di kaca. Terlihat dandananku yang begitu natural itu aku akan pergi ke pantai bersama Ari. Namaku Dila, aku memang suka bepergian ke pantai. Sesampainya di pantai, aku terkagum melihat ombak yang menghantam batu karang. Walau ratusan kali ombak memghantam menghantamnya, batu karang masih kokoh berdiri. Suasana saat itu tenang. Udara terasa begitu sejuk. Aku berlarian ke sana ke sini demgan hati yang gembira. Kemudian diikuti oleh Ari yang menyiramkan air pantai kepadaku. Aku pun tak tinggal diam. Aku juga melakukan hal yang sama kepadanya. Setelah puas bermain dengan air, kini kami duduk di atas ribuan pasir pantai. Tanpa aku sadari, kini tanganku mulai menulis dua angkaa yaitu,”22″. Angka ini merupakan angka kesukaan bagiku. Pada tanggal itu, Ari memintaku untuk menjadi pacarnya. Masih teringat olehku, saat itu Ari terlihat begitu malu-malu. Wajahnya yang putih dengan sekejab memerah, serta tangannya yang terlihat begitu gemetaran menyodorkan sesuatu padaku. Ternyata Ari memberiku sebuah gelang berwarna hijau yang bertuliskan, “22”. Terdengar teguran di telingaku, Ari mencoba membangunkan aku dari lamunanku. Kini mata kami berdua tertuju pada sebuah titik terang di depan sana. Itu adalah sunset. Moment itu kami abadikan demgan sebuah foto. Hari sudah mulai agak gelap, Ari mengantarkanku pulang. “Makasih Ari. Hati-hati di jalan ya”. Ari menganggukkan kepalanya dan kemudian berlalu meninggalkanku. Tanganku kini telah berhenti melambai, kemudian aku masuk ke dalam rumah. Dua belas bulan sudah kami menjalani ini bersama-sama. Suka, duka, canda tawa serta air mata menjadi pengikut setia kami. Tapi yang paling sering sih, canda tawa ya! Hingga pada sutu sore hari yang cerah, aku diajak Ari ke suatu tempat dengan mata yang tertutup. Aku semakin penasaran dengan Ari. Lalu perlahan Ari membuka tutup mataku. Alangkah terkejutnya diriku, Ari memberikan sebuah kejutan yang tak pernah aku sangka. Aku kira dia sudah lupa pada hari ini. Ternyata dia merayakannya. Air mata kini membasahi pipiku. Kemudian Ari memegang kedua tanganku lalu meletakkannya di dadanya. Senyuman yang begitu manis nampak di bibirnya. Kemudian mencium keningku. Beberapa saat kemudian Ari memainkan gitarnya dan diiringi demgan lagu kesukaan kami berdua, “Takkan Pisah”. Kami berdua bernyanyi dan terhanyut dalam alunan lagu tersebut. Hubungan kami berdua makin hari makin lancar. Bahkan kami semakin akrab. Besok rencananya Ari mengajakku ke taman kota. Aku kini ingin terlihat beda dari hari biasanya. Saat aku keluar menemui Ari, Ari Begitu tercengang melihat penampilanku yang berubah drastis itu. Aku tertawa kecil. Aku kini memakai make up serta hiasan di rambutku, dan tak lupa aku memakai gelang yang diberikan Ari padaku. Kami kemudian menuju taman kota. Setelah sampai di sana, Ari membelikan coklat untukku. Ari memang yang perhatian dan romantis. Kami kemudian duduk bersama. Ari bercerita tentang perasaannya selama bersamaku. Ekspresi wajahnya yang lucu membuat aku tertawa geli. Saking gelinya aku, aku menarik kedua pipinya hingga memerah. Ari juga ikut menarik kedua pipiku hingga aku berteriak kesakitan. Ari tersenyum dan kemudian memegang tangan kananku. Namun, dari arah belakang tempat duduk kami, ada seorang cewek berambut panjang langsung memeluk Ari. Sungguh pemandangan yang tak ingin aku lihat. Wajahku langsung memerah, tanganku menggempal bajuku. Ari pun langsung melepaskan pelukkan itu, sekarang membalikkan badannya ke arah belakang. “Lola. Kamu ngapain di sini!” Ari langsung memegang tanganku kembali, setelah tadi terlepas olehku. “Ari, aku kangen kamu. Aku masih sayang sama kamu Ri”. Cewek itu kemudian memeluk tubuh Ari kembali. Aku menarik tangan Ari, sehingga pelukkan itu terlepas. Hati aku terasa hancur seketika, perasaan marah yang begitu dalam muncul seketika. “Ini cewek kamu Ri. Apa sih yang bikin kamu mau sama dia. Masih kalah jauh dari aku Ri!” Cewek itu berkata seakan dia lebih menarik di bandingkan aku. “Eh, kamu diam!” Suaraku terdengar begitu keras, membuat orang di sekitar kami memusatkan perhatian pada kami. “Lola mending kamu pergi dari sini sekarang”. Ari mengusirnya dengan nada yang sedikit keras. Lola menghampiriku dan memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung rambut. “Dasar cewek nggak tau diri kamu ya”. Nada itu seakan-akan memaki-maki diriku. “Nggak Tau diri! Bukannya kamu yang nggak tau diri”. Ari kini merasa khawatir pada diriku, dia takut jika aku melakukan hal yang aneh pada Lola, karena dia tahu kalo aku anak karate. Cuman aku saja yang bergaya biasa-biasa saja. “Kamu, kamu udah ngerebut Ari dari aku. Kegatelan kamu jadi cewek”. Tangannya hampir saja mengenai bahuku, langsung saja aku memegang tanggannya lalu menepisnya. Dia seperti menahan sakit. Dan kemudian pergi meninggalkan aku Dan Ari “Itu siapa Ri!” Mataku kini melotot kepada Ari. Dan aku kemudian duduk kembali karena pegel kalau terus berdiri. “Itu mantanku, sayang”. Memelukku dan mengelus rambutku. Baru saja aku akan membuka mulutku, Ari sudah memotongnya. Ari tahu aku akan bertanya apa. “Apapun yang terjadi, aku nggak bakalan ninggalin kamu sayang. Ingat ya, aku bukan mantanmu, dan tak akan menjadi mantanmu”. Senyuman yang begitu lebar menghiasi bibirku. Aku merasa sedikit kesal pada Ari, dan mencubit perutnya itu. Aku kini tertidur dalam pelukannya. Cerpen Karangan: Ayu Purnama Sari Facebook: Ayu Cager Sweger Nama: Ayu Purnama Sari Alamat: Batusangkar, Sumatera Barat Cerpen Aku Bukan Mantanmu dan Tak Akan Menjadi Mantanmu merupakan cerita pendek karangan Ayu Purnama Sari, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-segitiga/aku-bukan-mantanmu-dan-tak-akan-menjadi-mantanmu.html
Seratus Persen Muslimah
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam masalah agama (ini).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Sang fajar perlahan-lahan mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur, matahari terlihat lebih cerah hari ini, seolah menandakan senyuman bahagia setelah gelap menyelimuti. Ada yang mengagetkan hari ini. Kaget bukan karena nilai ujian tiba-tiba anjlok, atau kaget karena digertak teman yang biasa usil di kampus. Tapi kaget dengan penampilan Alfia yang berubah 360 derajat. Penampilannya yang tertutup membuat Mahasiswa seantero kampus sastra menjadi geger. Baju panjang dan kerudung lebar membuatnya terlihat lebih anggun daripada pakaian ketat yang selalu ia pakai di hari-hari sebelumnya. Pasalnya, Alfia terkenal sebagai cewek yang tomboy, celana ketat dan kaos oblong biasa menemani kesehariannya, hingga muncul pemikiran bahwa mustahil bagi Alfia mengenakan baju panjang dan kerudung lebar. Alfia mengayunkan langkahnya menuju ruang kelas, ia menyapa teman-teman yang sedari tadi melongo melihatnya, ada yang menatapnya dengan memasang muka cemberut, ada juga yang tersenyum, bahkan ada yang melihatnya tanpa berkedip. “Assalamu’alaikum” sapa Alfia kepada teman-teman yang mulai tadi terkejut melihatnya. Namun mereka hanya diam tertegun tanpa menjawab salam dari Alfia. “Hei Al, kesurupan jin apa loe? Kok tiba-tiba berubah jadi gini?” tanya Sofia, sahabatnya. “Alhamdulillah, Allah masih memberiku kesempatan untuk berhijrah.” Sambil tersenyum ia masuk ke dalam kelas dan duduk di kursi paling depan, tepat di depan meja dosen. “Wuuih, Alfia sekarang berubah eey. Lihat tuh sekarang udah belajar duduk di depan. Biasanya kan tidur di belakang. Haha..” Gumam salah satu teman diiringi suara gaduh teman sekelas. “Astaghfirullah, ojo ngunu toh rek, dia kan sekarang lagi belajar jadi orang baik, hargai lah” seru Khoir kepada teman-temannya yang heboh menggoda Alfia. Tiba-tiba pak Nadi dosen jurnalistik yang terkenal killer masuk ke dalam kelas. Suara gaduh teman-teman pun mulai menghilang. Jam kuliah telah usai. Alfia masih duduk di bangkunya. Entah apa yang sedang ia fikirkan, wajahnya yang cantik menyiratkan kegelisahan. “Assalamu’alaikum ukhty” sapaan Maria membuyarkan lamunannya. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” jawab Alfia spontan. “MasyaAllah, barakallah nggeh ukh, semoga istiqomah” lanjut Maria melemparkan senyuman manisnya. “Aamiin. InsyaAllah ukh, ternyata gak mudah ya jadi orang baik, banyak yang mencibir.” Lanjut Alfia mengisak tangis. Maria yang sedari tadi merasakan kegelisahan Alfia mencoba untuk menenangkannya. Ia langsung memeluk Alfia dan mengusap air mata yang mengalir di wajah cantik Alfia. “yang sabar ya ukh, sesungguhnya Allah tidak akan mengujimu melebihi batas kemampuanmu. Ikhlaslah melakukan sesuatu karena Allah, InsyaAllah semua yang kita lakukan akan terasa ringan.” Ucap Maria menenangkan hati Alfia. “jazakillah khoir ukh, anti selalu menguatkan ana”, Alfia kini kembali tersenyum. “Waiyyaki ukh, sebaik-baik manusia adalah yang saling mengingatkan dalam kebaikan, yaudah yuk kita balik ke kos.” Maria menarik tangan Alfia. Mereka berjalan menyusuri trotoar kampus dan berbincang-bincang seputar ajaran Islam. “Oya, nanti malem kita ngaji yuk” ucap Maria kepada Alfia. Maria adalah teman setianya yang dulu pernah disia-siakan oleh Alfia. Maria pun salah satu orang yang mengajak Alfia untuk berhijrah dan mengenal Islam secara kaffaah. “Emm, boleh ukh. Di mana? Kaifa kalau di kos ana saja? Jawab Alfia. “Okesip deh, nanti malem ana ke rumah anti yaa.” Ucap Maria. Mereka pun berpisah di persimpangan jalan untuk kembali ke tempat kos masing-masing. Malam ini angin bertiup sepoi-sepoi, suara gemericik air mancur di depan kos menjadikan suasana malam ini begitu tentram. Alfia duduk di gazebo yang tersedia di depan kos menunggu kedatangan Maria. Dua gelas teh hangat dan semangkuk makanan sudah ia sediakan untuk menyambut kedatangan sahabat taatnya itu. “Assalamu’alaikum” ucap Maria. Alfia menjawab salam dan langsung menyambut kedatangan sahabatnya dengan hangat. Seperti biasa, mereka bersalaman terlebih dahulu setiap kali bertemu. “kaifa sudah siap ngaji?” tanya Maria. “Siaap dong!” jawab Alfia dengan wajah sumringah. Mereka memulai aktifitas mengaji dengan bacaan basmalah dan surah Al-fatihah. Maria menjadi pemandu sekaligus sebagai ustadzah bagi Alfia. “Anti bangga menjadi seorang muslimah?” tiba-tiba pertanyaan Maria mengejutkan Alfia. “Na’am, ana bangga menjadi seorang muslimah” tanpa basa-basi Alfia pun menjawab pertanyaan yang dilontarkan Maria. “Alhamdulillah, apakah saat ini anti sudah menjadi seratus persen muslimah?” Pertanyaan Maria yang terakhir ini benar-benar menohok, Alfia terdiam dan sesekali menelan ludahnya. Melihat respon Alfia yang terdiam tanpa kata-kata, akhirnya Maria melanjutkan kalimatnya “pertanyaan ini juga berlaku buat ana ukh. Di sini kita sama-sama belajar, mari mulai dari sekarang kita belajar untuk menjadi seratus persen muslimah. Bukan menjadi muslimah abal-abal, yang pagi hari beriman, sore harinya kafir. Tetapi jadilah muslimah yang benar-benar muslimah, yang tetap istiqomah dalam keimanan. Jika kita menolong agama Allah, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, InsyaAllah kebahagiaan dunia akhirat pasti akan kita dapat dan Allah akan menolong kita pula nanti di yaumul hisab.” Alfia yang sedari tadi terdiam kini mencoba untuk membuka suaranya “Na’am ukhty, jazakillah khoir. Mulai malam ini ana akan berusaha untuk menjadi seratus persen muslimah. Kita harus sama-sama saling mengingatkan dalam kebaikan yaa.”, “Amiin. InsyaAllah ukh. Sebagaimana yang tertera dalam (HR. Al-Bukhari dan Muslim) ‘Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam masalah agama (ini)’. Semoga kita menjadi salah satu dari orang-orang yang Allah faqihkan dalam agama ini.” , “Aamiin” Alfia memeluk sahabatnya itu dengan penuh kasih sayang. Malam semakin larut, suara jangkrik semakin kompak bak paduan suara. Sedang langit masih terang dengan bintang-bintang dan sinar indah sang rembulan. Sebelum beranjak ke tempat tidur, Alfia menjatuhkan pandangannya menuju cermin besar yang tersedia di kamarnya. Ia menatap wajah yang terpampang di hadapannya dalam-dalam. Pertanyaan Maria yang tadi masih melekat dalam pikirannya, “benarkah aku sudah menjadi seratus persen muslimah?” ia terus bertanya-tanya dan berbicara dengan dirinya sendiri. Ia rebahkan tubuhnya ke atas kasur yang tak begitu empuk itu. Kasur spon yang sudah menemaninya selama 3 tahun sejak menjadi mahasiswa. Hatinya terus berkata-kata “Bismillah! Mulai saat ini aku bertekat untuk menjadi seratus persen muslimah.” Ia pun mematikan lampu dan memulai kehidupannya dengan rangkaian mimpi keindahan surga. Cerpen Karangan: Ulfiatul Khomariah Nama: Ulfiatul Khomariah Status: Mahasiswi S1 Sastra Indonesia FIB Universitas Jember Alamat: Jember-Besuki Situbondo Aktivitas: Kuliah, Dakwah, Kerja, Menulis, dan Mengkaji Islam Riwayat Pendidikan: SD Negeri 5 Jatibanteng SMP Negeri 1 Besuki SMA Negeri 1 Suboh PT Negeri Universitas Jember Don’t forget to follow my sosmed guys! FB: Ulfiatul Khomariah IG: ulfiatul.khomariah Twitter: @ulfiatul05 Cerpen Seratus Persen Muslimah merupakan cerita pendek karangan Ulfiatul Khomariah, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Bagus banget, i love it Your email address will not be published. Required fields are marked * Comment Name * Email * Website
http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/seratus-persen-muslimah.html

Dataset Card for Cerpen Corpus

Dataset Summary

This is a small size for Indonesian short story gathered from the internet. We keep the large size for internal research. if you are interested, please join to our discord server

Supported Tasks and Leaderboards

[More Information Needed]

Languages

[More Information Needed]

Dataset Structure

Data Instances

[More Information Needed]

Data Fields

[More Information Needed]

Data Splits

[More Information Needed]

Dataset Creation

Curation Rationale

[More Information Needed]

Source Data

Initial Data Collection and Normalization

[More Information Needed]

Who are the source language producers?

[More Information Needed]

Annotations

Annotation process

[More Information Needed]

Who are the annotators?

[More Information Needed]

Personal and Sensitive Information

[More Information Needed]

Considerations for Using the Data

Social Impact of Dataset

[More Information Needed]

Discussion of Biases

[More Information Needed]

Other Known Limitations

[More Information Needed]

Additional Information

Dataset Curators

[More Information Needed]

Licensing Information

[More Information Needed]

Citation Information

[More Information Needed]

Contributions

Thanks to @andreaschandra for adding this dataset.

Downloads last month
2
Edit dataset card